PENGELOLAAN EKOSISTEM
DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT SECARA TERPADU
Benny Hartanto
Dosen Akademi Maritim Yogyakarta
Abstrak
Sebagai salah satu negara kepulauan besar di dunia, Indonesia
memiliki potensi sumberadaya alam pesisir yang besar. Oleh karena itu mutlak
diperlukan perencanaan yang terpadu dalam pengelolaan pesisir terkait dengan
kapasitas fungsional ekosistem pesisir dan laut serta pengaruh dari lahan atas
dan laut, di samping tentunya keterpaduan berbagai sektor dan berbagai
pemangku kepentingan (stakeholders) yang memanfaatkan pesisir.
Beberapa potensi sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Indonesia
antara lain : estuaria, hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.
Masing-masing mempunyai karakteristik yang kuat dalam ekosistemnya,
sehingga diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu dan berkesinambungan.
Demikian juga keterkaitan ekologis, zonasi dan kesesuaian pada lingkungannya
sangat menentukan pola dan strategi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
dan laut agar bisa optimal.
Kata kunci : ekosistem pesisir dan laut, pengelolaan terpadu
I. PENDAHULUAN
Sebagai suatu negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas
laut (termasuk ZEE) sekitar 5,8 juta km2 dan panjang pantai sekitar
95.181 km, Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan
laut yang sangat besar. Ekosistem pesisir dan laut dan laut menyediakan
sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang
mineral dan energi, transportasi, media komunikasi maupun kawasan
rekreasi atau pariwisata. Karena itu ekosistem pesisir dan laut
merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya di masa datang.
Ekosistem pesisir dan laut yang merupakan suatu himpunan
integral dari komponen hayati (organisme hidup) dan nir-hayati (fisik),
mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan
mutu kehidupan. Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional
berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu
sistem, yang dikenal dengan ekosistem atau sistem ekologi. Apabila
terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka
21
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
22
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
23
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
24
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
25
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
Sonneratia griffithii dan dominan Rhizophora sp. Sedangkan pada area yang
terendam kurang dari sembilan kali setiap bulan, dapat ditemukan
semisal Rhizophora sp., Bruguiera sp. Dan pada area yang terendam hanya
beberapa hari dalam setahun, contohnya Bruguiera gymnorhiza dominan,
dan Rhizophora apiculata. (2) Zona air tawar hingga air payau, dimana
salinitas berkisar antara 0- 10‰, meliputi : Area yang kurang lebih
masih dibawah pengaruh pasang surut, seperti asosiasiasi Nypa dan di
area yang terendam secara musiman, biasanya didominasi Hibiscus.
Adaptasi Pohon Bakau
Hutan mangrove yang umumnya didominasi oleh pohon bakau
dari empat genera (Rhizophora, Avicennia, Sonneratia dan Bruguiera),
memiliki daya adaptasi yang khas untuk dapat hidup dan berkembang
pada substrat berlumpur yang sering bersifat asam dan anoksik. Daya
adaptasi ini meliputi : (1) Sistem perakaran yang khas bertipe cakar ayam
dan penyangga. Sistem perakaran cakar ayam yang menyebar luas di
permukaan substrat, memiliki sederet cabang akar berbentuk pinsil yang
tumbuh tegak lurus ke permukaan substrat. Cabang akar ini disebut
pneumatofora dan berfungsi untuk mengambil oksigen. Sistem
perakaran penyangga berbeda dengan sistem perakaran cakar ayam,
dimana akar-akar penyangga tumbuh dari batang pohon menembus
permukaan substrat. Pada akar penyangga ini tidak ditemukan
pneumatofora seperti pada akar cakar ayam, tapi mempunyai lobang-
lobang kecil yang disebut lentisel yang juga berfungsi untuk melewatkan
udara (mendapatkan oksigen). (2) Berdaun tebal dan kuat yang
mengandung kelenjar-kelenjar garam untuk dapat menyekresi garam. (3)
Mempunyai jaringan internal penyimpan air untuk mengatur
keseimbangan garam.
Fungsi Ekologis Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya
Sebagai suatu ekosistem khas perairan pesisir, hutan mangrove
memiliki beberapa fungsi ekologis penting : (1) Sebagai peredam
gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan
lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air
permukaan. (2) Sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang
berasal dari daun dan dahan pohon bakau yang rontok. Sebagian dari
detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para
pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi
mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan. (3)
Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding
26
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
27
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
28
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
29
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
30
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
31
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
32
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
5X
+ 0.1
.0 6
=0
Y
33
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
34
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
35
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
36
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
37
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
38
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
Aspek ekologis
Dari aspek ekologis dapat didekati dengan menganalisis : (1)
Potensi Maksimum Sumberdaya Berkelanjutan. Berdasarkan analisis
ilmiah dan teoritis dihitung potensi atau kapasitas maksimum
sumberdaya untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services)
dalam jangka waktu tertentu. (2) Kapasitas Daya Dukung (Carrying
Capacity), yaitu sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau
ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan
sumberdaya alam dan lingkungannya. (3) Kapasitas Penyerapan Limbah
(Assimilative Capacity), yaitu kemampuan sumberdaya alam dapat pulih
(misalnya air, udara, tanah) untuk menyerap limbah aktifitas manusia.
Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca, temperatur
dan intervensi manusia.
Aspek Sosial
Aspek sosial dapat ditilik dari penerimaan masyarakat terhadap
aktifitas yang akan dilakukan, mencakup dukungan sosial/terhindar dari
konflik pemanfaatan, terjaganya kesehatan masyarakat dari akibat
pencemaran, budaya, estetika, keamanan, dan kompatibilitas.
Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi dapat ditinjau dari kelayakan usaha dari
aktifitas yang akan dilaksanakan. Analisisnya meliputi : Revenue Cost
Ratio (R/C), Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C),
Internal Rate Return (IRR), dan Analisis Sensitivitas (Sensitivity Analysis).
Pada tataran praktis, proses penyusunan kesesuaian lingkungan
dilakukan dengan prinsip membandingkan kriteria faktor-faktor
penentu kesesuaian lingkungan dengan kondisi saat ini, melalui teknik
tumpang susun (overlay) dan analisis tabular dengan menggunakan alat
(tools) berupa Sistem Informasi Geografis (SIG). Kriteria awal yang
disusun umumnya dari prasyarat ekologis, selanjutnya secara terpisah
hasil analisis SIG berupa lokasi dan luasan yang sesuai dengan kriteria
yang dipersyaratkan, menjadi bahan bagi analisis daya dukung, analisis
kapasitas asimilasi dan analisis kelayakan usahanya. Hasil analisis
kesesuaian lingkungan secara menyeluruh dapat menghasilkan: (1)
Kawasan yang memenuhi kriteria yang dipersyaratkan (sangat sesuai),
(2) Kawasan dengan pemenuhan sebagian persyaratan kesesuaian
(sesuai), (3) Kawasan dengan sedikit pemenuhan persyaratan
kesesuaian, tetapi dengan bantuan teknologi dapat diatasi (sesuai
39
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
bersyarat), dan (4) Kawasan yang sama sekali tidak sesuai dengan
persyaratan kesesuaian (tidak sesuai).
Hasil akhir dari analisis kesesuaian, dapat terjadi suatu kawasan
sangat sesuai untuk beberapa alternatif aktifitas pembangunan. Pada
kondisi seperti ini, maka harus ditetapkan skala prioritas terhadap
aktifitas pembangunan yang akan dilaksanakan pada kawasan tersebut,
misalnya prioritas utama untuk kawasan konservasi, mengingat sudah
banyak terjadi degradasi lingkungan akibat aktifitas manusia.
Penetapan skala prioritas ini sudah menyangkut aspek kebijakan yang
merupakan kewenangan para pengambil keputusan (decision maker).
Meskipun demikian tersedia juga perangkat yang dapat membantu
decision maker menetapkan kebijakan, diantaranya Analytical Hierarchy
Process (AHP) melalui public hearing, Linier Programming, Decision Support
System, Analisis Multikriteria, dan sebagainya. Perangkat tersebut
fungsinya adalah membantu proses pengambilan keputusan, dimana
keputusan akhir tetap berada pada para pengambil keputusan itu
sendiri.
40
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
41
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
Keterangan :
* Pembacaan tabel dari kiri ke kanan
* S = Aktivitas pembangunan di sebelah kiri tidak memberikan dampak
negatif terhadap aktivitas pembangunan di sebelah kanan
* K= Aktivitas pembangunan di sebelah kiri memberikan dampak
negatif terhadap aktivitas pembangunan di sebelah kanan
Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam
setiap perencanaan suatu kegiatan (single activity) seperti pembukaan
tambak di lahan mangrove perlu pula menerapkan kaidah-kaidah
pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana diketahui, bahwa kawasan
hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting, tidak hanya fungsi
ekologis tetapi juga fungsi ekonomis. Oleh karena itu kawasan hutan
mangrove tersebut perlu dipertahankan.
42
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
43
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
IV. SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
keterpaduan pengelolaan pesisir mutlak harus memperhatikan
keterkaitan dan kapasitas fungsional ekosistem pesisir dan laut serta
44
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G., 2002, Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut serta Prinsip Pengelolaannya, PKSPL IPB, Bogor.
Berwick, N.K., 1993, Guidelines for the Analysis of Biophysical Impacts to
Tropical Coastal Marine Resources, The Bombay Natural History
Society Centenary Seminar Conservation in Developing Countries,
Bombay, India.
Carter, R.W.G., 1988, Coastal Environment : An Introduction to the Physical,
Ecological and Cultural Systems of Coastlines, Academic Press Inc.,
San Diego, USA.
Clark, J.R., 1979, Coastal Ecosystem Management. A Technical Manual for the
Conservation of Coastal Zone Resources, John Wiley & Sons, New
York, USA.
Nair, N.B. & Thampy, D.M., 1980, A Textbook of Marine Ecology,
The MacMillan Company of India Ltd, New Delhi, India.
Nybakken, J.W., 1993, Marine Biology : An Ecological Approach, Third
Edition, Harper Collins College Publishers, New York, USA.
Odum, E.P., 1971., Fundamentals of Ecology, W.B. Saunders Company,
Philadelphia, USA.
Ogden, J.C. & Gladfelter E.H., (Eds.), 1983, Coral Reefs, Seagrass Beds and
Mangroves : Their Interaction in The Coastal Zone of the Caribbean,
Unesco Reports in Marine Science 23: 6 16.
Ortolano, L.,1984, Environmental Planning and Decision Making, John
Wiley and Sons, Toronto.
45
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011
Russell, F.S., & Yonge M., (eds), 1968, Advances in Marine Biology,
Volume 6. Academic Press, Inc., New York, USA.
46