Anda di halaman 1dari 26

BAHARI Jogja Vol.XI No.

19 /2011 Juli 2011

PENGELOLAAN EKOSISTEM
DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT SECARA TERPADU
Benny Hartanto
Dosen Akademi Maritim Yogyakarta
Abstrak
Sebagai salah satu negara kepulauan besar di dunia, Indonesia
memiliki potensi sumberadaya alam pesisir yang besar. Oleh karena itu mutlak
diperlukan perencanaan yang terpadu dalam pengelolaan pesisir terkait dengan
kapasitas fungsional ekosistem pesisir dan laut serta pengaruh dari lahan atas
dan laut, di samping tentunya keterpaduan berbagai sektor dan berbagai
pemangku kepentingan (stakeholders) yang memanfaatkan pesisir.
Beberapa potensi sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Indonesia
antara lain : estuaria, hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.
Masing-masing mempunyai karakteristik yang kuat dalam ekosistemnya,
sehingga diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu dan berkesinambungan.
Demikian juga keterkaitan ekologis, zonasi dan kesesuaian pada lingkungannya
sangat menentukan pola dan strategi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
dan laut agar bisa optimal.
Kata kunci : ekosistem pesisir dan laut, pengelolaan terpadu

I. PENDAHULUAN
Sebagai suatu negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas
laut (termasuk ZEE) sekitar 5,8 juta km2 dan panjang pantai sekitar
95.181 km, Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan
laut yang sangat besar. Ekosistem pesisir dan laut dan laut menyediakan
sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang
mineral dan energi, transportasi, media komunikasi maupun kawasan
rekreasi atau pariwisata. Karena itu ekosistem pesisir dan laut
merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya di masa datang.
Ekosistem pesisir dan laut yang merupakan suatu himpunan
integral dari komponen hayati (organisme hidup) dan nir-hayati (fisik),
mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan
mutu kehidupan. Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional
berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu
sistem, yang dikenal dengan ekosistem atau sistem ekologi. Apabila
terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka

21
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam


kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya.
Di dalam suatu ekosistem terjadi pertukaran materi dan
transformasi energi yang berlangsung di antara kedua komponen dalam
sistem tersebut, maupun dengan komponen-komponen dari sistem lain
di luarnya. Kelangsungan suatu fungsi ekosistem sangat menentukan
kelestarian dari sumberdaya alam sebagai komponen yang terlibat dalam
sistem tersebut. Karena itu untuk menjamin kelestarian sumberdaya
alam, kita perlu memperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang
berlangsung di antara komponen-komponen sumberdaya alam yang
menyusun suatu sistem.
Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk
meningkatkan taraf hidup manusia, tidak terlepas dari aktivitas
pemanfaatan sumberdaya alam. Di dalam aktivitas ini sering dilakukan
perubahan-perubahan pada sumberdaya alam. Perubahan-perubahan
yang dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada lingkungan
hidup. Makin tinggi laju pembangunan, makin tinggi pula tingkat
pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan
yang terjadi pada lingkungan hidup. Oleh karena itu, dalam perencanaan
pembangunan pada suatu sistem ekologi yang berimplikasi pada
perencanaan penggunaan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-
kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif
yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara
menyeluruh. Perencanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
alam perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam setiap
perencanaan pembangunan, sehingga dapat dicapai suatu
pengembangan lingkungan hidup dalam lingkungan pembangunan.

II.KETERKAITAN FUNGSIONAL EKOSISTEM PESISIR


DAN LAUT
2.1. Keragaman Ekosistem Utama Pesisir
Dilihat dari sudut ekologi, wilayah pesisir kita merupakan lokasi
beragam ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis dan produktif.
Beberapa ekosistem utama di wilayah pesisir yang dikemukakan di
Indonesia adalah : (1) estuaria, (2) hutan mangrove, (3) padang lamun,
dan (4) terumbu karang.
2.1.1 Estuaria
Deskripsi dan Klasifikasi

22
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

Estuaria adalah perairan pesisir semi tertutup yang mempunyai


hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar
dari daratan. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat
berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air
laut. Contoh dari estuaria adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang-
surut.
Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air, terdapat tiga tipe
estuaria : (1) Estuaria berstratifikasi sempurna/nyata atau estuaria baji
garam, dicirikan oleh adanya batas yang jelas antara air tawar dan air
asin. Estuaria tipe ini ditemukan di daerah-daerah dimana aliran air
tawar dari sungai besar lebih dominan dari pada intrusi air asin dari laut
yang dipengaruhi oleh pasang -surut. (2) Estuaria berstratifikasi
sebagian/parsial merupakan tipe yang paling umum dijumpai. Pada
estuaria ini, aliran air tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang
masuk melalui arus pasang. Pencampuran air dapat terjadi karena
adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh aksi pasang-
surut. (3) Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal.
Estuaria tipe ini didapatkan di lokasi-lokasi di mana arus pasang-surut
sangat dominan dan kuat, sehingga air estuaria tercampur sempurna dan
tidak terdapat stratifikasi.
Karakteristik Fisik
Perpaduan antara beberapa sifat fisik estuaria mempunyai
peranan yang penting terhadap kehidupan biota estuaria. Beberapa sifat
fisik yang penting adalah sebagai berikut : (1) Salinitas. Estuaria
memiliki gradien salinitas yang bervariasi, terutama bergantung pada
masukan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang-surut. Variasi
ini menciptakan kondisi yang menekan bagi organisme, tapi mendukung
kehidupan biota yang padat dan juga menangkal predator dari laut yang
pada umumnya tidak menyukai perairan dengan salinitas yang rendah.
(2) Substrat. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur
yang berasal dari sedimen yang dibawa melalui air tawar dan air laut.
Sebagian besar partikel lumpur estuaria bersifat organik, sehingga
substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan organik ini menjadi
cadangan makanan yang penting bagi organisme estuaria. (3) Sirkulasi
Air. Selang waktu mengalirnya air tawar ke dalam estuaria dan
masuknya air laut melalui arus pasang-surut menciptakan suatu gerakan
dan transport air yang bermanfaat bagi biota estuaria, khususnya
plankton yang hidup tersuspensi dalam air. (4) Pasang-surut. Arus

23
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

pasang-surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan


plankton. Di samping itu arus ini juga berperan untuk mengencerkan
dan menggelontorkan limbah yang sampai di estuaria. (5) Penyimpanan
Zat Hara. Peranan estuaria sebagai penyimpan zat hara sangat besar.
Pohon bakau dan rumput laut serta ganggang lainnya dapat
mengkonversi zat hara dan menyimpannya sebagai bahan organik yang
akan digunakan kemudian oleh organisme hewani.
Komposisi Biota dan Produktivitas Hayati
Di estuaria terdapat tiga komponen fauna, yaitu fauna lautan,
air tawar dan payau. Komponen fauna yang terbesar didominasi oleh
fauna lautan, yaitu hewan stenohalin yang terbatas kemampuannya dalam
mentolerir perubahan salinitas (umumnya 30‰) dan hewan eurihalin
yang mempunyai kemampuan mentolerir berbagai penurunan salinitas
di bawah 30‰. Komponen air payau terdiri dari spesies organisme yang
hidup di pertengahan daerah estuaria pada salinitas antara 5 - 30‰.
Spesies-spesies ini tidak ditemukan hidup pada perairan laut maupun
tawar. Komponen air tawar biasanya terdiri dari hewan yang tidak
mampu mentolerir salinitas di atas 5‰ dan hanya terbatas pada bagian
hulu estuaria.
Jumlah organisme yang mendiami estuaria jauh lebih sedikit
jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan
laut. Sedikitnya jumlah spesies ini terutama disebabkan oleh fluktuasi
kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan
fisiologis yang mampu bertahan hidup di estuaria. Selain miskin dalam
jumlah spesies fauna, estuaria juga miskin akan flora. Keruhnya perairan
estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuh
mendominasi.
Rendahnya produktivitas primer di kolom air, sedikitnya
herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa
jaring-jaring makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai
makanan detritus. Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan
bakteri dan algae yang kemudian menjadi sumber makanan penting bagi
organisme pemakan suspensi dan detritus. Suatu penumpukan bahan
makanan yang dimanfaatkan oleh organisme estuaria merupakan
produksi bersih dari detritus ini.
Secara fisik dan biologis, estuaria merupakan ekosistem
produktif yang setaraf dengan hutan hujan tropik dan terumbu karang ,
karena : (1) Estuaria berperan sebagai jebak zat hara yang cepat

24
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

didaurulang. (2) Beragamnya komposisi tumbuhan di estuaria baik


tumbuhan makro (makrofiton) maupun tumbuhan mikro (mikrofiton),
sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun. (3)
Adanya fluktuasi permukaan air terutama akibat aksi pasang-surut,
sehingga antara lain memungkinkan pengangkutan bahan makanan dan
zat hara yang diperlukan berbagai organisme estuaria.
Fungsi Ekologis Estuaria dan Pemanfaatannya
Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting,
antara lain sebagai berikut : (1) Sebagai sumber zat hara dan bahan
organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang-surut (tidal circulation). (2)
Penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan (ikan, udang...) yang
bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat
mencari makanan (feeding ground). (3) Sebagai tempat untuk bereproduksi
dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutrama bagi sejumlah
spesies ikan dan udang.
Sedangkan secara umum estuaria dapat dimanfaatkan oleh
manusia sebagai : tempat pemukiman, tempat penangkapan dan
budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, bahkan juga pelabuhan
maupun kawasan industri.
2.1.2 Hutan Mangrove
Deskripsi dan Zonasi
Hutan mangrove atau bakau merupakan komunitas vegetasi
pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon bakau yang
mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai
berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah
intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung
dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Karena itu hutan
mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal,
estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung.
Penyebaran hutan mangrove ditentukan oleh berbagai faktor
lingkungan, salah satu diantaranya adalah salinitas. Berdasarkan salinitas
kita mengenal zonasi hutan mangrove sebagai berikut (De Haan dalam
Russell & Yonge, 1968) :
(1) Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam
air pasang berkisar antara 10 – 30 per mil (‰), yang meliputi : Area
yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan,
seperti Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh. Area yang
terendam 10 - 19 kali per bulan, misalnya Avicennia (A. alba, A. marina),

25
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

Sonneratia griffithii dan dominan Rhizophora sp. Sedangkan pada area yang
terendam kurang dari sembilan kali setiap bulan, dapat ditemukan
semisal Rhizophora sp., Bruguiera sp. Dan pada area yang terendam hanya
beberapa hari dalam setahun, contohnya Bruguiera gymnorhiza dominan,
dan Rhizophora apiculata. (2) Zona air tawar hingga air payau, dimana
salinitas berkisar antara 0- 10‰, meliputi : Area yang kurang lebih
masih dibawah pengaruh pasang surut, seperti asosiasiasi Nypa dan di
area yang terendam secara musiman, biasanya didominasi Hibiscus.
Adaptasi Pohon Bakau
Hutan mangrove yang umumnya didominasi oleh pohon bakau
dari empat genera (Rhizophora, Avicennia, Sonneratia dan Bruguiera),
memiliki daya adaptasi yang khas untuk dapat hidup dan berkembang
pada substrat berlumpur yang sering bersifat asam dan anoksik. Daya
adaptasi ini meliputi : (1) Sistem perakaran yang khas bertipe cakar ayam
dan penyangga. Sistem perakaran cakar ayam yang menyebar luas di
permukaan substrat, memiliki sederet cabang akar berbentuk pinsil yang
tumbuh tegak lurus ke permukaan substrat. Cabang akar ini disebut
pneumatofora dan berfungsi untuk mengambil oksigen. Sistem
perakaran penyangga berbeda dengan sistem perakaran cakar ayam,
dimana akar-akar penyangga tumbuh dari batang pohon menembus
permukaan substrat. Pada akar penyangga ini tidak ditemukan
pneumatofora seperti pada akar cakar ayam, tapi mempunyai lobang-
lobang kecil yang disebut lentisel yang juga berfungsi untuk melewatkan
udara (mendapatkan oksigen). (2) Berdaun tebal dan kuat yang
mengandung kelenjar-kelenjar garam untuk dapat menyekresi garam. (3)
Mempunyai jaringan internal penyimpan air untuk mengatur
keseimbangan garam.
Fungsi Ekologis Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya
Sebagai suatu ekosistem khas perairan pesisir, hutan mangrove
memiliki beberapa fungsi ekologis penting : (1) Sebagai peredam
gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan
lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air
permukaan. (2) Sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang
berasal dari daun dan dahan pohon bakau yang rontok. Sebagian dari
detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para
pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi
mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan. (3)
Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding

26
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan


(ikan, udang dan kerang-kerangan...) baik yang hidup di perairan pantai
maupun lepas pantai.
Sedangkan manfaat dari hutan mangrove sebagai penghasil
kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku untuk membuat
arang, dan juga untuk dibuat pulp. Di samping itu ekosistem mangrove
dimanfaatkan sebagai pemasok nutrient, larva ikan dan udang alam.
2.1.3 Padang Lamun
Deskripsi
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga
yang hidup terendam di dalam laut. Lamun umumnya membentuk
padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh
cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di
perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air
yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan
oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah
padang lamun.
Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari
substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas
lebih sering ditemukan di substrat lumpur-berpasir yang tebal antara
hutan wara mangrove dan terumbu karang. Padang lamun merupakan
ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya. Pada ekosistem ini
hidup beraneka ragam biota laut, seperti ikan, krustasea, moluska, dan
cacing.
Fungsi Padang Lamun dan Pemanfaatannya
Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi
penting bagi perairan pesisir, yaitu : produsen detritus dan zat hara,
mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem
perakaran yang padat dan saling menyilang. Di samping itu juga sebagai
tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi
beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di
lingkungan ini, serta sebagai tudung pelindung yang melindungi
penghuni padang lamun dari sengatan matahari secara langsung.
Sedangkan manfaat dari padang lamun antara lain : seabagai
tempat kegiatan marikultur berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan
tiram, rekreasi atau pariwisata, pendidikan dan penelitian, serta sebagai
sumber pupuk hijau.
2.1.4 Terumbu Karang

27
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

Diskripsi Struktur dan Tipe Terumbu Karang


Sama halnya dengan hutan mangrove, terumbu karang
merupakan suatu ekosistem khas yang terdapat di perairan pesisir
daerah tropis. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-endapan
masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme
karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria,
ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan
sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang
menyekresi kalsium karbonat.
Karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) hidup
berkoloni, dan tiap individu karang yang disebut polip menempati
mangkuk kecil yang dinamakan koralit. Tiap mangkuk koralit
mempunyai beberapa septa yang tajam dan berbentuk daun yang
tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa ini merupakan dasar
penentuan spesies karang. Tiap polip adalah hewan berkulit ganda,
dimana kulit luar yang dinamakan epidermis dipisahkan oleh lapisan
jaringan mati (mesoglea) dari kulit dalamnya yang disebut gastrodermis.
Dalam gastrodermis terdapat tumbuhan renik bersel tunggal yang
dinamakan zooxantellae yang hidup bersimbiosis dengan polip.
Zooxantellae dapat menghasilkan bahan organik melalui proses
fotosintesis, yang kemudian disekresikan sebagian ke dalam usus polip
sebagai pangan.
Secara umum terumbu karang terdiri atas tiga tipe: (1) terumbu
karang tepi (fringing reef), (2) terumbu karang penghalang (barrier reef), dan
(3) terumbu karang cincin atau atol. Terumbu karang tepi dan
penghalang berkembang sepanjang pantai, namun perbedaannya adalah
bahwa terumbu karang penghalang berkembang lebih jauh dari daratan
dan berada di perairan yang lebih dalam dibandingkan dengan terumbu
karang tepi. Terumbu karang cincin atau atol merupakan terumbu
karang yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan.
Faktor-faktor Pembatas Perkembangan Terumbu Karang
Perkembangan terumbu dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik
lingkungan yang dapat menjadi pembatas bagi karang untuk
membentuk terumbu. Adapun faktor-faktor fisik lingkungan yang
berperan dalam perkembangan terumbu adalah sebagai berikut : (1)
Suhu air >18oC, tapi bagi perkembangan yang optimal diperlukan suhu
rata-rata tahunan berkisar antara 23 - 25oC, dengan suhu maksimal yang
masih dapat ditolerir berkisar antara 36 - 40oC. (2) Kedalaman perairan

28
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

<50 m, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25 m atau


kurang. (3) Salinitas air yang konstan berkisar antara 30 - 36‰. (4)
Perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen.
Komposisi Biota Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota antara
lain beragam avertebrata (hewan tak bertulang belakang): terutama
karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan kerang-
kerangan, ekinodermata (bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut
dan leli laut). Juga beraneka ragam ikan : 50 - 70% ikan karnivora
oportunistik, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora. Sedangkan
jenis reptil : umumnya ular laut dan penyu laut dan berupa ganggang
maupun rumput laut, seperti : algae koralin, algae hijau berkapur dan
sejenisnya.
Fungsi Terumbu Karang dan Pemanfaatannya
Terumbu karang, khususnya terumbu karang tepi dan
penghalang, berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan
ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. Selain itu, terumbu karang
mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat
mencari makanan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran
(nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota
yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya. Sedangkan manfaat dari
terumbu karang baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai
tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi, dan berbagai
jenis ikan hias, bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur,
bahan perhiasan maupun sebagai bahan baku farmasi.
2.2 Komponen Fungsional Ekosistem Pesisir dan Laut
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa sumberdaya
hayati pesisir yang merupakan satuan kehidupan (organisme hidup)
saling berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan nir-hayatinya
(fisik) membentuk suatu sistem. Dengan demikian, pembahasan
selanjutnya dititik beratkan pada ekosistem pesisir dan laut yang
merupakan unit fungsional komponen hayati (biotik) dan nir-hayati
(abiotik).
Komponen biotik yang menyusun suatu ekosistem pesisir dan
laut terbagi atas empat kelompok utama: (1) produser, (2) konsumer
primer, (3) konsumer sekunder dan (4) dekomposer. Sebagai produser
adalah vegetasi autotrof, algae dan fitoplankton yang menggunakan
energi matahari untuk proses fotosintesa yang menghasilkan zat organik

29
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

kompleks dari zat anorganik sederhana. Sebagai konsumer primer


adalah hewan-hewan yang memakan produser, disebut herbivora.
Herbivora ini menghasilkan pula materi organik (pertumbuhan,
reproduksi.), tapi mereka tergantung sepenuhnya dari materi organik
yang disintesa oleh tumbuhan atau fitoplankton yang dimakannya.
Konsumer sekunder adalah karnivora, yaitu semua organisme yang
memakan hewan. Untuk suatu analisis yang lebih jelas, kita dapat
membagi lagi konsumer sekunder ke dalam konsumer tersier yang
memakan konsumer sebelumnya. Sesungguhnya banyak jenis organisme
yang tidak dengan mudah dapat diklasifikasikan ke dalam tingkatan
trofik ini, karena mereka dapat dimasukkan ke dalam beberapa
kelompok: konsumer primer dan sekunder (omnivora), konsumer
sekunder dan tersier (predator atau parasit herbivora dan karnivora).
Sebagai dekomposer adalah organisme avertebrata, bakteri dan
cendawan yang memakan materi organik mati: bangkai, daun-daunan
yang mati, ekskreta...
Pada prinsipnya terdapat tiga proses dasar yang menyusun
struktur fungsional komponen biotik ini : (1) proses produksi (sintesa
materi organik), (2) proses konsomasi (memakan materi organik) dan
(3) proses dekomposisi atau mineralisasi (pendaurulangan materi).
Komponen abiotik dari suatu ekosistem pesisir dan laut terbagi
atas tiga komponen utama : (1) unsur dan senyawa anorganik, karbon,
nitrogen dan air yang terlibat dalam siklus materi di suatu ekosistem, (2)
bahan organik, karbohidrat, protein dan lemak yang mengikat
komponen abiotik dan biotik dan (3) regim iklim, suhu dan faktor fisik
lain yang membatasi kondisi kehidupan.
Dari sejumlah besar unsur dan senyawa anorganik sederhana
yang dijumpai di suatu ekosistem pesisir dan laut, terdapat unsur-unsur
tertentu yang penting bagi kehidupan. Unsur-unsur tersebut merupakan
substansi biogenik atau unsur hara baik makro (karbon, nitrogen,
fosfor) maupun mikro (besi, seng, magnesium).
Karbohidrat, protein dan lemak yang menyusun tubuh
organisme hidup juga terdapat di lingkungan. Senyawa tersebut dan
ratusan senyawa kompleks lainnya menyusun komponen organik dari
kompartimen abiotik. Bila tubuh organisme hancur, selanjutnya akan
terurai menjadi fragmen-fragmen dengan berbagai ukuran yang secara
kolektif disebut detritus organik. Karena biomassa tanaman lebih besar
dibandingkan dengan hewan, maka detritus tanaman biasanya lebih

30
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

menonjol dibandingkan dengan hewan. Demikian pula tanaman


biasanya lebih lambat hancur dibandingkan dengan hewan.
Bahan organik terdapat dalam bentuk terlarut dan partikel. Bila
bahan organik terurai, bahan tersebut dinamakan humus atau zat
humik, yaitu suatu bentuk yang resisten terhadap penghancuran lebih
lanjut. Peranan humus dalam ekosistem tidak sepenuhnya dimengerti,
tapi diketahui dengan pasti kontribusinya pada sifat tanah.
Kategori ketiga dari komponen abiotik suatu ekosistem pesisir
dan laut adalah faktor-faktor fisik (iklim). Faktor iklim (suhu, curah
hujan, kelembaban) sebagaimana halnya sifat kimiawi air dan tanah serta
lapisan geologi di bawahnya, merupakan penentu keberadaan suatu jenis
organisme. Faktor-faktor ini senantiasa berada dalam satu seri
gradien.Kemampuan adaptasi organisme seringkali berubah secara
bertahap sepanjang gradien tersebut, tapi sering pula terdapat titik
perubahan yang berbaur atau zona persimpangan yang disebut ekoton
(misalnya zona intertidal perairan laut).
2.3. Keterkaitan Ekologis Ekosistem Pesisir dan Laut
Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem daratan
dan laut yang saling berhubungan satu sama lain. Karena itu
pengelolaan wilayah pesisir baik langsung maupun tidak langsung harus
memperhatikan keterkaitan ekologis antar ekosistem di wilayah pesisir
dan juga dengan daratan.
Ekosistem pesisir dan laut berperan penting sebagai penyedia
pangan, tempat perlindungan dan tempat berkembangbiak berbagai
jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya (Bengen, 2000). Selain
itu, ekosistem pesisir dan laut (terutama ekosistem mangrove dan
terumbu karang) juga memiliki fungsi yang sangat penting sebagai
pelindung pantai dan pemukiman pesisir dari hantaman gelombang,
badai dan erosi pantai. Karena itu pengelolaan ekosistem pesisir dan
laut baik langsung maupun tidak langsung harus memperhatikan
keterkaitan ekologis antar ekosistem di wilayah pesisir.
Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem darat dan laut di
wilayah pesisir dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran air
limpasan (run-off), aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi
yang terkandung di dalamnya (seperti nutrien, sedimen dan bahan
pencemar) yang akhirnya bermuara di perairan pesisir. Pola sedimentasi
dan abrasi juga ditentukan pergerakan massa air baik dari daratan
maupun laut. Di samping itu pergerakan massa air ini juga berperan

31
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

dalam perpindahan biota perairan (misalnya plankton, ikan, dan udang)


dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Keterkaitan berbagai ekosistem pesisir dan laut, seperti antara
ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang, menyebabkan
wilayah pesisir memiliki produktivitas hayati yang tinggi, dan berperan
penting sebagai penunjang kehidupan manusia. Hal ini dapat terlihat
dari kenyataan bahwa kehidupan dari sekitar 85% biota laut tropis,
termasuk Indonesia, bergantung pada ekosistem pesisir dan laut
(Berwick, 1993). Demikian pula sekitar 90% dari total hasil tangkapan
ikan dunia berasal dari perairan pesisir (coastal waters) (FAO, 1998).
Ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang
sebagai ekosistem utama di pesisir memiliki keterkaitan dan interaksi
yang erat satu sama lain, dimana bila terjadi gangguan pada salah satu
ekosistem tersebut akan mempengaruhi ekosistem lainnya, dan
selanjutnya keseluruhan ekosistem di kawasan pesisir akan terganggu
pula (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Interaksi antara tiga ekosistem utama di pesisir (Ogden


dan Gladfelter, 1983)

Selain bentuk interaksi seperti terlihat pada Gambar 1, ekosistem


pesisir dan laut (khususnya keempat ekosistem tersebut di atas)
memiliki keterkaitan ekologis penting sebagai tempat pemijahan,
asuhan, dan mencari makanan bagi beragam biota laut, disamping
sebagai tempat persinggahan satwa burung pada saat migrasi maupun
sebagai penunjang kehidupan lainnya. Di samping itu interaksi ketiga

32
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

ekosistem pesisir dan laut tersebut juga berperan sebagai perangkap


sedimen dari lahan atas (hulu), mereduksi konsentrasi bahan-bahan
pencemar, menahan laju abrasi yang disebabkan oleh gelombang laut
dan banjir.
Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem utama di
wilayah pesisir memiliki peran biologis yang sangat penting untuk tetap
menjaga kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati
wilayah pesisir. Hal ini mengingat karena ekosistem mangrove juga
merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan (spawning
ground) beberapa jenis biota perairan seperti udang, ikan dan kerang-
kerangan. Menurut Martosubroto dan Naamin (1979) dan Turner
(1985) produksi hasil tangkapan udang di suatu perairan pesisir
berbanding lurus dengan luas hutan mangrove di wilayah tersebut (lihat
Gambar 2).
Hasil Tangkapan Udang (ton/th)

5X
+ 0.1
.0 6
=0
Y

Luas hutan m angrove (Ha)

Gambar 2. Grafik hubungan antara produksi hutan dengan luas hutan


mangrove di suatu perairan (Naamin, 1979; Turner, 1985)

III. KETERPADUAN DALAM PENGELOLAAN PESISIR


BERBASIS EKOSISTEM
Kompleksitas sistem pada wilayah pesisir, baik itu sumberdaya
alam maupun masyarakatnya, mutlak memerlukan suatu pengelolaan
yang tepat dan terpadu, bagi keberlanjutan pembangunan wilayah
pesisir. Berdasarkan pada karakteristik dan dinamika dari wilayah
pesisir, potensi dan permasalahan pembangunan, serta banyaknya
tumpang tindih kepentingan pemanfaatan, baik dari masyarakat maupun

33
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

pemerintah, maka pencapaian pembangunan wilayah pesisir secara


berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah secara
terpadu.
Pembangunan wilayah merupakan proses interaksi positif di
antara faktor-faktor internal (nasional) dan eksternal (internasional).
Keterbatasan pemanfaatan sumberdaya alam di daratan sudah sampai
pada batas-batas yang mengkhawatirkan , entah karena keterbatasan
semata atau salah kelola. Kondisi seperti ini mendorong pergeseran
basis dari pemanfaatan intensif (padat modal dan teknologi) di daratan
ke pemanfaatan alternatif di pesisir. Pergeseran ini sekaligus menjadi
peringatan keras terhadap metode dan sistem pengelolaan sumberdaya
alam pesisir yang akan dikembangkan, yaitu agar menghindari
pengulangan hal yang sama seperti dialami dalam pemanfaatan
sumberdaya alam di daratan.
Di pihak lain tema pengelolaan lebih menitikberatkan pada inovasi
dari aspirasi lokal. Kata ini sejalan dengan konsep pembangunan
partisipatif, demokratis, dan bertumpu pada kemampuan lokal.
Berbagai kebutuhan masyarakat yang selama ini terpenuhi oleh
ketersediaan sumberdaya lokal dengan teknologi tradisional, perlu
mendapat perhatian untuk pengembangannya lebih lanjut, dalam
bentuk asimilasi teknologi tradisional dengan yang mutakhir dalam
rangka peningkatan efisiensi. Di samping itu introduksi teknologi yang
sudah terlanjur dikembangkan tetapi memberikan dampak pada
penurunan kualitas lingkungan hidup baik di darat maupun di laut, perlu
mendapat peninjauan ulang demi pertumbuhan teknologi tradisional
dan kelestarian lingkungan hidup. Teknologi yang memberikan dampak
negatif terhadap kualitas lingkungan hidup biasanya berdampak pula
pada penghambatan proses peningkatan kesejahteraan masyarakat
miskin.
Fenomena reformasi dan krisis, mengajarkan kepada kita untuk
lebih memperhatikan konteks sosial dari pekerjaan-pekerjaan
pengelolaan pesisir. Kita tidak dapat dengan serta merta, meminta
masyarakat Indonesia untuk mendukung pendekatan pengelolaan
sumberdaya pesisir secara terpadu tanpa memberikan banyak contoh
dan implementasi pengelolaan pesisir di banyak wilayah di Indonesia.
Hal ini bermakna, keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir
menjadi urgen sebagai upaya pembelajaran baik teknis maupun
kapabilitas untuk memperkaya dan menyempurnakan contoh-contoh

34
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

(aplikasi) lapangan mengenai substansi pengelolaan pesisir Indonesia


yang terpadu dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

3.1. Kepentingan Zonasi Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu


Berdasarkan perspektif keterpaduan pembangunan wilayah
berbasis ekosistem, maka pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
pada dasarnya adalah bagaimana mengelola segenap kegiatan
pembangunan yang terkait dengan ekosistem pesisir agar total
dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsional ekosistem tersebut.
Setiap ekosistem alamiah, termasuk di wilayah pesisir, memiliki 4 fungsi
pokok bagi kehidupan manusia : (1) sebagai penyedia jasa-jasa
pendukung kehidupan, (2) sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan, (3)
sebagai penyedia sumberdaya alam, dan (4) sebagai penerima limbah
(Ortolano, 1984).
Dari keempat fungsi ekosistem alamiah tersebut, dapatlah
dimengerti bahwa kemampuan dua fungsi yang pertama tidak terlepas
dari dua fungsi yang terakhir. Ini berarti bahwa jika kemampuan dua
fungsi terakhir (sebagai penyedia sumberdaya alam dan sebagai
penerima limbah) dari suatu ekosistem alamiah tidak dirusak oleh
kegiatan manusia, maka fungsinya sebagai pendukung kehidupan dan
penyedia jasa-jasa kenyamanan diharapkan tetap terpelihara. Sedangkan
berdasarkan keempat fungsi ekosistem di atas, maka secara ekologis
terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pengelolaan
ekosistem yang optimal dan lestari, yaitu : (1) keharmonisan spasial, (2)
kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan
spasial mensyaratkan, bahwa suatu wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
hendaknya memiliki tiga zona, yaitu zona preservasi, konservasi dan
pemanfaatan, atau dengan kata lain suatu wilayah pesisir seyogyanya
tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi juga
dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Contoh daerah
preservasi adalah daerah pemijahan ikan (spawning ground) dan jalur hijau
pantai. Dalam zona preservasi ini tidak diperkenankan adanya kegiatan
pembangunan yang bersifat ekstraktif, kecuali untuk pendidikan dan
penelitian. Sementara itu, beberapa kegiatan pembangunan, seperti
pariwisata alam, pemanfaatan hutan mangrove dan kegiatan perikanan
secara berkelanjutan dapat berlangsung dalam zona konservasi

35
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

Keberadaan zona preservasi dan konservasi dalam suatu


wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai
proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara,
membersihkan limbah secara alamiah, dan sumber keanekaragaman
hayati (biodiversity). Selanjutnya, setiap kegiatan pembangunan (industri,
pertanian, budidaya perikanan, pemukiman dan lainnya) dalam zona
pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik
sesuai, sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis.
Penempatan setiap kegiatan dalam zona pemanfaatan ini hendaknya
memperhatikan: (1) kesesuaian (suitability) dari unit lahan atau perairan bagi
setiap kegiatan pemanfaatan; (2) pengaruh (dampak) kegiatan di lahan
atas/daratan, terutama dalam bentuk pencemaran, sedimentasi, dan
perubahan regim hidrologi; dan (3) keserasian (compatibility) antar kegiatan
pemanfaatan.
Keunikan dan kompleksitas wilayah pesisir dengan beragam
ekosistem yang ada, mengisyaratkan pentingnya pengelolaan ekosistem di
wilayah tersebut secara terpadu dengan berbasis pada zonasi. Hal ini
dapat dijelaskan dengan alasan sebagai berikut : (1) Secara empiris,
terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem
di dalam wilayah pesisir maupun antara wilayah pesisir dengan lahan
atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu
ekosistem pesisir dan laut (ekosistem mangrove, misalnya), cepat atau
lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya, jika
pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan
lain-lain) di lahan atas suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan
secara arif (berwawasan lingkungan), maka dampak negatifnya akan
merusak tatanan dan fungsi ekologis wilayah pesisir (Gambar 3). (2)
Dalam beragam ekosistem di wilayah pesisir, biasanya terdapat lebih dari
satu macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat
dikembangkan untuk kepentingan pembangunan. (3) Baik secara ekologis
maupun ekonomis, pemanfaatan tunggal ekosistem di wilayah pesisir
(single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun
eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha.

36
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

Gambar 3. Keterkaitan antara berbagai komponen ekosistem dan pemanfaatannya


di kawasan pesisir.
Dengan berbagai alasan keunikan dan kompleksitas sistem pada
wilayah pesisir sebagaimana dikemukakan di atas, maka untuk
menjamin pemanfaatan potensi sumberdaya dan lingkungan pesisir
secara bekelanjutan, mutlak diperlukan suatu pendekatan pengelolaan
pesisir terpadu yang berbasis pada zonasi.

3.2.Kesesuaian Lingkungan Sebagai Basis Zonasi Pengelolaan


Pesisir
Kesesuaian unit lahan/perairan untuk zonasi pengelolaan pesisir
pada dasarnya mensyaratkan agar setiap kegiatan pemanfaatan pesisir
ditempatkan pada zona yang secara ekologis (biogeofisik-kimiawi) sesuai
dengan kegiatan pemanfaatan dimaksud. Untuk wilayah pesisir yang
menerima dampak negatif (negative externalities) berupa bahan pencemar,
sedimen, atau perubahan regim hidrologi, baik melalui aliran sungai,
limpasan air permukaan (run off), atau aliran air tanah (ground water), dampak
kegiatan pemanfaatan tersebut hendaknya ditekan seminimal mungkin,
sehingga kegiatan yang berada di wilayah pesisir masih dapat menenggang
segenap dampak negatif tersebut. Contohnya, jika suatu wilayah pesisir
sudah diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata, budidaya tambak, budidaya
laut, atau kawasan konservasi, maka dampak negatif (pencemaran,
sedimentasi, atau perubahan regim hidrologi) yang diakibatkan oleh

37
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

kegiatan pemanfaatan di lahan atas/daratan hendaknya diminimalkan atau


kalau mungkin ditiadakan.
Pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih (ikan, udang,
kayu mangrove, rumput laut, dll) hendaknya dilakukan tidak boleh
melebihi potensi lestarinya. Sementara itu, pemanfaatan sumberdaya alam
tidak dapat pulih perlu dilakukan secara efisien, hemat hingga dapat
ditemukan sumberdaya substitusinya, dan dampaknya diminimalkan.
Manakala perairan pesisir digunakan untuk tempat penampungan limbah,
maka jenis limbah yang dibuang tidak boleh mengandung B3 (Bahan
Beracun dan Berbahaya). Selain itu, jumlah limbah yang dibuang ke
dalamnya tidak boleh melampaui kapasitas asimilasi (assimilative capacity)
dari perairan pesisir bersangkutan.
Jika melakukan kegiatan rekayasa pesisir (coastal engineering,
construction, and development), maka perubahan proses-proses ekologis atau
oseanografis serta bentang alam (landscape) yang ditimbulkan hendaknya
masih dapat ditenggang oleh ekosistem pesisir dan laut tersebut. Dengan
perkataan lain, kegiatan pembangunan (seperti reklamasi, pembuatan jetty,
pemecah gelombang, dll) hendaknya menyesuaikan dengan karakteristik
dan dinamika alamiah (design with nature principles).
Setiap aktifitas manusia dalam pemanfaatan sumberdaya tentu
dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran bagi dirinya dan
lingkungan sekitarnya. Dalam prakteknya upaya untuk memakmurkan
diri dan lingkungannya dibatasi oleh hak individu lainnya dan
kemampuan terbatas sumberdaya untuk memenuhi segenap maksud
manusia tersebut. Dengan demikian perlu optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya melalui pengelolaan yang terpadu, agar kebutuhan manusia
dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumberdaya agar tetap
lestari/berkelanjutan. Salah satu cara untuk mencapai keseimbangan
antara ketersediaan sumberdaya dan kebutuhan manusia adalah
menetapkan jenis dan besaran aktifitas manusia sesuai dengan
kemampuan lingkungan untuk menampungnya. Dengan perkataan lain
penzonasian pemanfaatan sumberdaya di suatu wilayah pesisir harus
didasarkan pada analisis kesesuaian lingkungan.
Secara teoritis analisis kesesuaian lingkungan harus mencakup
aspek ekologis, sosial dan ekonomi .

38
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

Aspek ekologis
Dari aspek ekologis dapat didekati dengan menganalisis : (1)
Potensi Maksimum Sumberdaya Berkelanjutan. Berdasarkan analisis
ilmiah dan teoritis dihitung potensi atau kapasitas maksimum
sumberdaya untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services)
dalam jangka waktu tertentu. (2) Kapasitas Daya Dukung (Carrying
Capacity), yaitu sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau
ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan
sumberdaya alam dan lingkungannya. (3) Kapasitas Penyerapan Limbah
(Assimilative Capacity), yaitu kemampuan sumberdaya alam dapat pulih
(misalnya air, udara, tanah) untuk menyerap limbah aktifitas manusia.
Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca, temperatur
dan intervensi manusia.
Aspek Sosial
Aspek sosial dapat ditilik dari penerimaan masyarakat terhadap
aktifitas yang akan dilakukan, mencakup dukungan sosial/terhindar dari
konflik pemanfaatan, terjaganya kesehatan masyarakat dari akibat
pencemaran, budaya, estetika, keamanan, dan kompatibilitas.
Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi dapat ditinjau dari kelayakan usaha dari
aktifitas yang akan dilaksanakan. Analisisnya meliputi : Revenue Cost
Ratio (R/C), Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C),
Internal Rate Return (IRR), dan Analisis Sensitivitas (Sensitivity Analysis).
Pada tataran praktis, proses penyusunan kesesuaian lingkungan
dilakukan dengan prinsip membandingkan kriteria faktor-faktor
penentu kesesuaian lingkungan dengan kondisi saat ini, melalui teknik
tumpang susun (overlay) dan analisis tabular dengan menggunakan alat
(tools) berupa Sistem Informasi Geografis (SIG). Kriteria awal yang
disusun umumnya dari prasyarat ekologis, selanjutnya secara terpisah
hasil analisis SIG berupa lokasi dan luasan yang sesuai dengan kriteria
yang dipersyaratkan, menjadi bahan bagi analisis daya dukung, analisis
kapasitas asimilasi dan analisis kelayakan usahanya. Hasil analisis
kesesuaian lingkungan secara menyeluruh dapat menghasilkan: (1)
Kawasan yang memenuhi kriteria yang dipersyaratkan (sangat sesuai),
(2) Kawasan dengan pemenuhan sebagian persyaratan kesesuaian
(sesuai), (3) Kawasan dengan sedikit pemenuhan persyaratan
kesesuaian, tetapi dengan bantuan teknologi dapat diatasi (sesuai

39
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

bersyarat), dan (4) Kawasan yang sama sekali tidak sesuai dengan
persyaratan kesesuaian (tidak sesuai).
Hasil akhir dari analisis kesesuaian, dapat terjadi suatu kawasan
sangat sesuai untuk beberapa alternatif aktifitas pembangunan. Pada
kondisi seperti ini, maka harus ditetapkan skala prioritas terhadap
aktifitas pembangunan yang akan dilaksanakan pada kawasan tersebut,
misalnya prioritas utama untuk kawasan konservasi, mengingat sudah
banyak terjadi degradasi lingkungan akibat aktifitas manusia.
Penetapan skala prioritas ini sudah menyangkut aspek kebijakan yang
merupakan kewenangan para pengambil keputusan (decision maker).
Meskipun demikian tersedia juga perangkat yang dapat membantu
decision maker menetapkan kebijakan, diantaranya Analytical Hierarchy
Process (AHP) melalui public hearing, Linier Programming, Decision Support
System, Analisis Multikriteria, dan sebagainya. Perangkat tersebut
fungsinya adalah membantu proses pengambilan keputusan, dimana
keputusan akhir tetap berada pada para pengambil keputusan itu
sendiri.

3.2.1 Kesesuaian Lingkungan Pesisir dan Laut Untuk Kawasan


Konservasi
Sasaran utama penetapan kawasan konservasi di pesisir adalah
untuk melindungi (konservasi) ekosistem dan sumberdaya alam, agar
proses-proses ekologis di suatu ekosistem dapat terus berlangsung dan
tetap dipertahankan produksi nutrien (bahan makanan) dan jasa-jasa
lingkungan bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan. Kriteria
kesesuaian lingkungan untuk kawasan konservasi mencakup 3
kelompok kriteria, yaitu :
(1) Kriteria Ekologis, yang terdiri dari: (a) Kenanekaragaman hayati; (b)
Kealamian; (c) Ketergantungan; (d) Keterwakilan; (e) Keunikan; (f)
Integritas; (g) Produktivitas; dan (h) Kerentanan.
(2)Kriteria Sosial, yang terdiri dari: (a) Penerimaan sosial; (b) Kesehatan
masyarakat; (c) Relokasi; (d) Budaya; (e) Estetika; (f) Konflik
kepentingan; (g) Keamanan; (h) Aksesibilitas; (i) Kepedulian
masyarakat; dan (j) Konflik dan kompatibilitas.
(3) Kriteria Ekonomi, terdiri dari: (a) Spesies penting; (b) Kepentingan
perikanan; (c) Bentuk ancaman; (d) Manfaat ekonomi; dan (e)
Pariwisata.

40
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

3.2.2 Kesesuaian Lingkungan Pesisir dan Laut Untuk Perikanan


Bisnis/usaha perikanan di kawasan pesisir dapat dikelompokkan
menjadi usaha perikanan tangkap, budidaya laut (marine culture) dan
Perikanan air payau (tambak). Kriteria kesesuaian lingkungan masing-
masing peruntukan usaha perikanan tersebut berbeda dan dapat
diuraikan sebagai berikut :
(1) Kesesuaian lingkungan untuk usaha tambak. (2) Kesesuaian
lingkungan untuk usaha budidaya laut : keramba jaring apung, budidaya
rumput laut dan moluska (kerang darah, kerang bulu, mutiara dan
tiram) dan teripang. (3) Kesesuaian lingkungan untuk perikanan
tangkap, dibatasi oleh jenis alat tangkap dan armada/kapal penangkap
ikan serta aspek sosial untuk melindungi nelayan kecil. Secara umum
zonasi wilayah penangkapan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Zonasi Wilayah Penangkapan, Jenis Kapal dan Jenis Alat


Tangkap yang digunakan
Zona Jenis Perahu/Kapal Jenis Alat Tangkap
Penangkapan 2 - Perahu Tanpa Motor Alat tangkap yang bersifat menetap
mil laut - Perahu Motor Tempel (pasif) seperti bubu, sero, ambai, jaring
- Bermesin 25 PK insang tetap dengan panjang tali ris <
200, pancing ulur
Penangkapan Kapal Motor < 5 GT Alat tangkap pasif dan aktif seperti jaring
2 – 4 mil laut insang tetap dengan panjang tali ris <
200, pancing rawai dengan jumlah mata
pancing < 100 unit, bagan perahu
dengan jumlah lampu petromaks 4 – 6
unit
Penangkapan Kapal Motor 5 – 30 GT Alat tangkap pasif dan aktif seperti
4 – 12 mil laut payang, dogol, pukat layang (mini trawl)
yang dilengkapi Juvenile Excluder Device
(JED), gillnet, pukat cincin, rawai dasar,
rawai tuna, gillnet ukuran besar, dan stick
held dip net.

Selain itu lokasi usaha perikanan tangkap harus berada di luar


kawasan perikanan budidaya, jalur transportasi, kuasa pertambangan,
dan kawasan konservasi serta tidak menggunakan bahan dan alat yang
dapat menyebabkan degradasi lingkungan.

41
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

Untuk menguji apakah dua kegiatan dapat secara serasi


berdampingan, dapat ditempuh dengan menyusun matriks keserasian
(Tabel 2). Matriks ini disusun berdasarkan pada kemungkinan dampak
yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, dan respon dari kegiatan yang
berdampingan di dalam menenggang dampak dimaksud. Misalnya,
kegiatan tambak udang tidak mungkin dapat berdampingan dengan
industri kimia yang mengeluarkan limbah tanpa diolah terlebih dahulu.
Tabel 2. Matriks Keserasian (Compatibility Matrix) Antar
Kegiatan Pembangunan di Wilayah Pesisir
KEGIATAN
No KEGIATAN
A B C D E F G H I J K L M
1. Perikanan tangkap (A) S S S S S S S S S S S S
2. Perikanan Tambak (B) S S S S S K K K S S S S
3. Marikultur (C) S S S S K S S S S S S S
4. Pertanian (D) K K K S S K K K S S S S
5. Perhutanan (E) S S S S S S S S S S S S
6. Perhubungan (F) S K K S K K K K S S S S
7. Pariwisata Pantai Diving (G) S S S S S S S S S S S S
8. Pariwisata Pantai Berpasir (H) S S S S S S S S S S S S
9. Pariwisata Renang & selancar (I) S S S S S K S S S S S S
10. Pertambangan migas (J) K K K K K K K K K K S S
11. Pertambangan mineral (K) K K K K K K K K K K S S
12. Pelabuhan (L) S K K S K S K K K S S S
13 Galangan Kapal (M) S S S S K S S S S S S S

Keterangan :
* Pembacaan tabel dari kiri ke kanan
* S = Aktivitas pembangunan di sebelah kiri tidak memberikan dampak
negatif terhadap aktivitas pembangunan di sebelah kanan
* K= Aktivitas pembangunan di sebelah kiri memberikan dampak
negatif terhadap aktivitas pembangunan di sebelah kanan
Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam
setiap perencanaan suatu kegiatan (single activity) seperti pembukaan
tambak di lahan mangrove perlu pula menerapkan kaidah-kaidah
pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana diketahui, bahwa kawasan
hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting, tidak hanya fungsi
ekologis tetapi juga fungsi ekonomis. Oleh karena itu kawasan hutan
mangrove tersebut perlu dipertahankan.

42
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

Namun demikian, bila suatu kawasan hutan mangrove akan


dikonversi sebagai lahan tambak, maka petak-petak tambak sebaiknya
ditempatkan di belakang wilayah mangrove, atau pada jarak tertentu
dari garis pantai sebagaimana yang telah digariskan dalam Keppres 32
tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Misalkan pada
suatu kawasan nilai selisih pasang tertinggi dengan surut terendah
tahunan sebesar 2,31 m, maka kawasan hutan mangrove yang harus
dipertahankan (sempadan pantai) adalah 130 x 2,31 meter = 300 m;
sedangkan kawasan hutan mangrove di sepanjang sungai (sempadan
sungai) yang harus dipertahankan adalah minimal 100 meter. Untuk
daerah yang memiliki ketebalan mangrove tidak sampai 300 meter,
penempatan petak-petak tambak tetap harus mengacu kepada jarak 300
meter tersebut, bahkan sebaiknya pada lahan di belakang mangrove
tersebut ditanami dengan anakan mangrove.
Pengaturan letak tambak dalam posisi seperti disebutkan di atas
memiliki beberapa keuntungan, khususnya bagi usaha pelestarian
kawasan mangrove. Namun demikian, sesungguhnya jika pengelolaan
dilakukan dengan baik, penempatan posisi seperti tersebut juga dapat
memberikan manfaat bagi usaha budidaya tambak itu sendiri. Beberapa
keuntungan tersebut antara lain :
(1) Pantai akan terlindung dari kikisan ombak dan abrasi pantai.
(2) Dengan terlindungnya pantai dari abrasi, secara tidak langsung akan
mengurangi biaya produksi tambak, khususnya dalam pembuatan
pematang ataupun tanggul pencegah abrasi. Pada petak tambak
yang langsung berhadapan dengan laut, pematang tambak harus
diperkuat (memerlukan biaya tambahan tersendiri) dan bahkan
perlu membuat tanggul pengaman pencegah abrasi pantai.
(3) Mencegah timbulnya kerusakan ekologis dan ekonomis lingkungan
sekitar mangrove dan tambak, yaitu : mempertahankan
keanekaragaman hayati di dalam kawasan hutan mangrove. Di
kawasan hutan mangrove dimaksud masih dapat dijumpai berbagai
jenis satwa, di antaranya primata, biawak, ular dan burung.
Kemudian mencegah terjadinya intrusi air asin ke daratan. Dengan
adanya kawasan mangrove, air pasang masih dapat terhalang oleh
pepohonan mangrove, sehingga tidak akan masuk jauh ke arah
daratan, yang sekaligus mencegah intrusi air asin ke dalam tanah.
Seperti diketahui, lahan di belakang mangrove dimaksud, banyak

43
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

diusahakan oleh penduduk sebagai ladang pertanian dan kebun.


Jika terjadi intrusi air asin ke daerah perkebunan, dapat
mengakibatkan kematian ataupun penurunan produksi perkebunan
rakyat di luar tambak. Kerugian lainnya dari intrusi air asin adalah
terpengaruhnya sumber air tawar penduduk oleh air asin. Jika hal
tersebut terjadi, masyarakat akan sangat terganggu kehidupannya.
Diharapkan, dengan sistem penataan ruang di wilayah hutan
mangrove yang dikaitkan dengan budidaya pertambakan, kelestarian
ekologis hutan mangrove dapat terpelihara. Selain itu, pengusahaan
budidaya sebagai penghasil devisa negara tetap terlaksana. Penataan
ruang itu sendiri merupakan suatu kerangka kerja untuk melakukan
koordinasi kegiatan seluruh sektor yang telah dan berkembang di suatu
wilayah. Dalam upaya ini, maka elemen-elemen untuk melakukan
penilaian terhadap alternatif rencana tata ruang yang akan dipilih, yaitu
(a) produktivitas, (b) kelayakan ekonomi, (c) perlindungan lingkungan
fisik, (d) pemerataan ekonomi dan kesejahteraan, dan (e) dapat diterima
oleh seluruh atau mayoritas stakeholder.
Kriteria produktivitas dapat diartikan bahwa perubahan
pemanfaatan ruang yang direkomendasikan di dalam perencanaan harus
memiliki efisiensi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kondisi
penggunaan pada saat ini. Di samping pilihan perubahan kondisi
tersebut efisien, maka harus dapat dilaksanakan secara ekonomi untuk
jangka panjang, baik oleh investasi swasta maupun Pemerintah Daerah
(kriteria kelayakan ekonomis). Agar pembangunan serta hasil-hasilnya
dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang, maka perhatian
terhadap kerusakan lingkungan fisik perlu dipersyaratkan di dalam
penilaian rekomendasi rencana penataan ruang. Dengan demikian,
pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir yang diarahkan di dalam
penataan ruang akan mampu menjamin kegiatan ekonomi secara
berkelanjutan yang merupakan kunci pokok dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat baik saat sekarang maupun di masa akan
datang.

IV. SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
keterpaduan pengelolaan pesisir mutlak harus memperhatikan
keterkaitan dan kapasitas fungsional ekosistem pesisir dan laut serta

44
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

pengaruh dari lahan atas dan laut, disamping tentunya keterpaduan


sektor dan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang
memanfaatkan pesisir.
Sejalan dengan semangat desentralisasi yang berintikan demokrasi,
perumusan kebijakan pengelolaan pesisir secara terpadu dan partisipatif
merupakan tuntutan yang tak bisa dihindarkan. Kebijakan pengelolaan
pesisir harus terpadu baik berskala local maupun nasional, sehingga
dalam proses perumusannya harus menjangkau kepentingan-
kepentingan pihak yang terkait agar terakomodasi secara adil dan
proporsional, baik peranan dari bawah maupun dari atas yang dijalin
melalui pola kepentingan bersama (co-management).

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G., 2002, Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut serta Prinsip Pengelolaannya, PKSPL IPB, Bogor.
Berwick, N.K., 1993, Guidelines for the Analysis of Biophysical Impacts to
Tropical Coastal Marine Resources, The Bombay Natural History
Society Centenary Seminar Conservation in Developing Countries,
Bombay, India.
Carter, R.W.G., 1988, Coastal Environment : An Introduction to the Physical,
Ecological and Cultural Systems of Coastlines, Academic Press Inc.,
San Diego, USA.
Clark, J.R., 1979, Coastal Ecosystem Management. A Technical Manual for the
Conservation of Coastal Zone Resources, John Wiley & Sons, New
York, USA.
Nair, N.B. & Thampy, D.M., 1980, A Textbook of Marine Ecology,
The MacMillan Company of India Ltd, New Delhi, India.
Nybakken, J.W., 1993, Marine Biology : An Ecological Approach, Third
Edition, Harper Collins College Publishers, New York, USA.
Odum, E.P., 1971., Fundamentals of Ecology, W.B. Saunders Company,
Philadelphia, USA.
Ogden, J.C. & Gladfelter E.H., (Eds.), 1983, Coral Reefs, Seagrass Beds and
Mangroves : Their Interaction in The Coastal Zone of the Caribbean,
Unesco Reports in Marine Science 23: 6 16.
Ortolano, L.,1984, Environmental Planning and Decision Making, John
Wiley and Sons, Toronto.

45
BAHARI Jogja Vol.XI No.19 /2011 Juli 2011

Russell, F.S., & Yonge M., (eds), 1968, Advances in Marine Biology,
Volume 6. Academic Press, Inc., New York, USA.

46

Anda mungkin juga menyukai