Anda di halaman 1dari 13

1

REKAYASA WILAYAH PESISIR

Topik Pembahasan:
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR YANG BERKELANJUTAN

I. DEFINISI

Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam,
wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Lebih
jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai
sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan
lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan
sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap
manusia. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan
pembangunan sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah.
Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan
yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai
kepentingan yang ada di wilayah pesisir.
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT) adalah pendekatan
yang layak untuk mengelola masalah yang ada di wilayah pesisir. Di mana
di wilayah pesisir ini melingkup beragam masalah: dari pencemaran hingga
degradasi habitat, hingga masalah yang lebih panjang implikasinya seperti
perubahan permukaan air laut. Penyebab timbulnya masalah pesisir terdiri
dari beragam isu. Permintaan sosial akan produk wilayah pesisir biasanya
melebihi daya dukung wilayah tersebut. Karena produk wilayah pesisir tidak
selamanya dapat diukur dalam ukuran moneter, pasar bebas tidak dapat
berfungsi sebagai mekanisme alokasi sumberdaya.
PWPT merupakan suatu proses yang berkesinambungan, interaktif,
adaptif, partisipatiif, merupakan suatu mekanisme pembangunan konsensus.
PWPT terdiri dari rangkaian pekerjaan untuk mencapai tujuannya. Dalam
konteks pengelolaan, PWPT haruslah dapat adaptif terhadap perubahan
waktu dan kondisinya. Perencanaan PWPT dan implementasinya tidak dapat
berupa suatu kegiatan yang sifatnya sekali tempuh.
2

II. METODE PENELITIAN EKOSISTEM WILAYAH PESISIR

a. Kerangka Pengambilan Contoh

Ekosistem pesisir merupakan suatu himpunan integral dari variabel-


variabel abiotik (fisik-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berhubungan
satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu struktur fungsional.
Variabel-variabel ini secara fungsional tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari variabel-variabel tersebut,
maka perubahan tersebut akan mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada,
baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangan.
Agar perencanaan dan pengelolaan ekosistem pesisir dapat memenuhi
pertimbangan di atas, pemilihan variabel biofisik perlu dilakukan dalam suatu
pengumpulan data yang diwujudkan melalui pengambilan contoh. Pemilihan
variabel biofisik ini hendaknya didasarkan pada tiga pendekatan berikut:
a. Identifikasi sumber perubahan dan variasinya (diikuti oleh bentuk
perubahan);
b. Penilikan kualitas lingkungan pesisir sebagai proses koreksi
dalam jangka waktu pendek;
c. Pencirian kualitas lingkungan pesisir sebagai elemen program
pemantauan dalam jangka panjang.

b. Kerangka Dasar Metode Analisis Data

Optimasi satu hasil penelitian memerlukan beberapa komponen


penting, terutama komponen pengambilan contoh yang seringkali
memonopoli keberhasilan tersebut. Secara klasik, peneliti senantiasa
berupaya membuat hubungan yang baik antara rencana pengambilan contoh
dan analisis data agar kesimpulan yang ditarik dapat menjawab dengan baik
masalah-masalah yang ditetapkan sejak awal.
Korespondensi antara pengambilan contoh dan analisis data diarahkan
untuk dapat mengadaptasikan dengan baik berbagai kemungkinan pada akhir
penelitian, yaitu :
mengoptimasi hasil pengambilan contoh, dan
mengoptimasi hasil analisis data dalam rangka menjawab
problematika yang diajukan.
Prespektif ini mengarah pada suatu interaksi antara problematika
penelitian, perencanaan pengambilan contoh, dan analisis data.
3

III. KOMPONEN WILAYAH PESISIR

Seperti halnya wilayah lain dalam permukaan bumi, wilayah pesisir


memiliki aspek keruangan. Wilayah pesisir terjadi karena mekanisme yang
bekerja dalam batas bentang alam tertentu, yaitu: proses geomorfologis yang
terjadi dalam rentang waktu yang sangat lama, pola kolonisasi organisme,
serta perubahan yang sifatnya lokal dalam rentang waktu yang relatif pendek,
baik alami maupun gangguan aktivitas manusia. Wilayah pesisir dengan
demikian adalah suatu bentang alam yang "distinct", suatu unit terukur yang
ditentukan oleh kelompok ekosistem yang saling berinteraksi dimana
kelompok ini berulang, baik dalam skala ruang/luas maupun dalam skala
temporal, proses geomorfologi yang berulang, serta regim perubahannya.
Dengan demikian, komponen sistem wilayah pesisir dapat ditelaah
dari segi:
1. Struktur: hubungan keruangan antara ekosistem yang distinct atau
elemen-elemen yang ada. Lebih spesifik, struktur keruangan
dilihat dari distribusi energi, materi, serta spesies yang berkaitan
dengan besar, bentuk, jumlah, jenis, serta konfigurasi dari
ekosistem tersebut
2. Fungsi: interaksi antara elemen spasial yang berkaitan dengan
"aliran" energi, material, spesies, serta proses yang dipicu oleh
kegiatan manusia dalam elemen ekosistem tersebut
3. Perubahan: aksi yang menyebabkan perubahan struktur dan fungsi
mosaik ekologis sejalan dengan waktu.

a. Struktur: Organisasi ruang

Wilayah pesisir dan laut Indonesia terdiri dari rangkaian sistem


ekologi yang terkait satu sama lain. Rangkaian tersebut terdiri dari: wilayah
estuaria, wilayah mangrove, wilayah padang lamun, dan wilayah terumbu
karang.

1) Kawasan estuaria

Kawasan estuaria merupaka pertemuan antara perairan air tawar dan


air laut. Kawasan ini terbentuk di ujung sungai-sungai besar yang bermuara
ke laut yang berpantai landai. Bercampurnya air tawar dan air laut
menjadikan wilayah ini unik dengan terbentuknya air payau dengan salinitas
yang berfluktuasi. Perbedaan salinitas mengakibatkan terjadinya lidah air
tawar dan pergerakan massa air di muara. Aliran air tawar dan air laut yang
terus menerus membawa mineral, bahan organik, serta sedimen dari hulu
sungai ke laut dan sebaliknya dari laut ke muara. Unsur hara ini
mempengaruhi produktivitas wilayah perairan muara. Karena itu,
produktivitas muara lebih tinggi dari produktivitas ekosistem laut lepas dan
perairan tawar.
4

Jumlah spesies flora dan fauna yang berada di perairan muara relatif
lebih sedikit dibandingkan dengan spesies di perairan tawar atau laut, tetapi
kerapatan (jumlah individu) dari setiap spesies relatif lebih besar. Wilayah
estuaria merupakan habitat yang penting bagi sejumlah besar ikan dan udang
untuk memijah dan membesarkan anak-anaknya. Beberapa larva ikan yang
dipijahkan di laut lepas juga bermigrasi ke wilayah estuari pad fase larvanya.
Karena bersifat sebagai ecotone (wilayah peralihan ekosistem) dan
karakter lokasinya serta morfologinya yang landai, estuaria sangat rentan
terhadap kerusakan dan perubahan alami atau buatan. Pembuangan limbah,
penggunaan perairan sebagai sarana pengangkutan, serta berubahnya sistem
DAS, merupakan sebagian dari penyebab degradasi kualitas ekosistem
estuaria.

2) Kawasan Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove terdiri dari hutan atau vegetasi mangrove yang


merupakan komunitas pantai tropis. Secara umum, karakteristik habitat hutan
mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung, dan/atau berpasir. Daerah habitat mangrove tergenang air laut
secara berkala, setiap hari, atau pada saat pasang purnama. Frekuensi
genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Hutan mangrove
menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat serta terlindung dari
gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
Pohon mangrove mempunyai karakter yang khas, ekosistem
mangrove berfungsi sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi,
penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Ekosistem mangrove juga
merupakan penghasil detritus dan merupakan daerah asuhan (nursery
ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground), serta daerah
pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut
lainnya. Selain juga sebagai pemasok larva ikan, udang, dan sebagai tempat
pariwisata.
Pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan memberikan
kontribusi tinggi bagi tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, secara
langsung (misalnya penebangan, konversi lahan) dan tidak langsung
(misalnya pencemaran akibat limbah padat dan cair, serta tumpahan minyak).

3) Kawasan Ekosistem Padang Lamun (Sea grass bed)

Padang lamun adalah ekosistem yang ditumbuhi lamun sebagai


vegetasi yang dominan. Wilayah ini terdapat antara batas terendah daerah
pasang surut sampai kedalaman tertentu di mana matahari masih dapat
mencapai dasar laut. Padang lamun mendukung kehidupan biota yang cukup
beragam dan berhubungan satu sama lain.
5

Di Indonesia, padang lamun sering di jumpai berdekatan dengan


ekosistem mangrove dan terumbu karang. sehingga interaksi ketiga
ekosistem ini sangat erat. Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga ekosistem
ini saling medukung, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu, ekosistem
yang lain akan terpengaruh. Seperti terumbu karang, padang lamun
memperlambat gerakan arus dan gelombang. Karenanya, sedimen yag
tersuspensi dalam air akan mengendap dengan lebih cepat. Sejumlah
organisme yang tumbuh pada daun-daun lamun juga membantu proses
sedimentasi ini, yang selanjutnya dapat menjaga kualitas ekosistem di
sekitarnya yang rentan terhadap sedimentasi.
Ancaman terberat yang dihadapi ekosistem padang lamun adalah
pembuangan limbah dan air panas industri dan domestik. Eutrofikasi dan
sedimentasi juga menjadi ancaman yang besar bagi padang lamun yang dapat
menyebabkan layunya padang lamun akibat cendawan lumpur
(Myxomycetes). Gangguan fisik seperti reklamasi, pembangunan tambak
memberikan pengaruh negatif bagi eksistensi ekosistem padang lamun.

4) Wilayah ekosistem terumbu karang

Wilayah ekosistem terumbu karang mencakup dataran terumbu (reef


bed), lereng terumbu (fringing reef), goba (laguna yang terdapat didaerah
terumbu karang), serta gosong karang. Ekosistem terumbu karang terdapat
di lingkungan perairan yang agak dangkal. Untuk mencapai pertumbuhan
maksimumnya, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan
suhu yang hangat, gerakan gelombang yang besar, serta sirkulasi yang lancar
dan terhindar dari proses sedimentasi.
Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan
paling tinggi keaneka ragaman hayatinya. Berdasarkan data yang
dikumpulkan selama Ekspedisi Snelius II (1984), di perairan Indonesia
terdapat sekitar 350 spesies karang keras yang termasuk ke dalam 75 genera.
Kerangka hewan karang berfungsi sebagai tempat berlindung atau tempat
menempelnya biota laut lainnya.
Terumbu karang juga merupakan habitat bagi banyak spesies laut.
Selain itu, terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari
erosi. Dari sisi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber perikanan yang
produktif, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan, penduduk
pesisir, dan devisa negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata.
Pembukaan lahan yang menyebabkan peningkatan sedimentasi,
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun,
pariwisata, dan transporatsi laut yang serampangan merupakan ancaman
terbesar bagi kondisi terumbu karang Indonesia. Ancaman ini telah
menunjukan gejala yang mengkhawatirkan sehingga kondisi terumbu karang
yang masih baik hanya tinggal 7% saja.
6

IV. ISU-ISU PENGELOLAAN PESISIR

a. Perubahan Keseimbangan
Perubahan keseimbangan yang menurunkan kualitas dan kuantitas
sumberdaya pesisir sebagian besar disebabkan oleh tekanan yang ditimbulkan
oleh manusia, utamanya oleh pertumbuhan populasi di wilayah pesisir.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan sumberdaya pesisir
meningkat. Beberapa contoh adalah pembangunan infrastuktur, transportasi,
serta konsumsi hasil sumberdaya pesisir, baik secara ruang, maupun secara
material. Di samping kebutuhan konsumsi, limbah produk dan kegiatan juga
menimbulkan perubahan keseimbangan di wilayah pesisir. Pencemaran
perairan pesisir dapat menurunkan secara drastis produksi perikanan.
Perubahan keseimbangan ini akan menimbulkan perubahan alokasi
sumberdaya bagi seluruh stakeholders yang ada di wilayah pesisir. Dengan
demikian, perubahan ini akan mempengaruhi kondisi masalah, tujuan
pengelolaan, kapasitas produksi, konstituensi, serta institusi dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir.

b. Masalah yang ditimbulkan

Konflik lokasi dan alokasi:

Kegiatan pembangunan wilayah pesisir dapat mempengaruhi ekologi


wilayah pesisir serta fungsi dan proses dari pesisir dan laut serta
sumberdayanya. Pembangunan industri di wilayah pesisir dapat menurunkan
produktivitas lahan basah dengan menambahkan pencemar seperti logam
berat, serta mengubah pola sirkulasi air dan suhu. Kegiatan akuakultur
seringkali mengalih-fungsikan mangrove menjadi tambak, menyebabkan
terganggunya fungsi dan proses yang ada di sistem mangrove, seperti fungsi
daerah penyangga bagi badai pesisir dan abrasi, serta sebagai nursery bagi
banyak hidupan yang laut yang ekonomis.
Konflik yang sering terjadi di wilayah pesisir dan berkaitan dengan
sumberdayanya dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
Konflik di antara pengguna yang mengenai pemanfaatan daerah
pesisir dan laut tertentu.
Konflik di antara lembaga pemerintah yang melaksanakan
program yang berkaitan dengan pesisir dan laut.

Konflik antar pengguna melingkup:

kompetisi terhadap ruang dan sumberdaya pesisir dan laut


Dampak negatif dari suatu kegiatan pemanfaatan terhadap kegiatan
yang lain
Dampak negatif terhadap ekosistem.
7

Konflik antar lembaga sering kali disebabkan oleh ketidak jelasan


mandat hukum dan misi yang berbeda, perbedaan kapasitas, perbedaan
pendukung atau konstituensi, serta kurangnya komunikasi dan informasi.

Peningkatan pencemaran

Kegiatan manusia di wilayah pesisir telah menimbulkan perubahan


yang mengarah pada peningkatan pencemaran. Melalui badan-badan air
bahan pencemar mencapai wilayah pesisir dan berakibat pada turunnya
produktivitas habitat. Selain itu, pencemaran pesisir juga membahayakan
kesehatan penduduk di wilayah pesisir. Sebagai gambaran, pencemaran
mercury di Teluk Jakarta telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
Pencemaran pesisir juga mengancam industri yang berbasiskan air seperti
akuaculture, perikanan, dan pariwisata.

Penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya

Pemanfaatan sumberdaya pesisir yang berorientasi pada produksi


tanpa memperhatikan proses dan siklus perubahan dalam sumberdaya
wilayah pesisir dan laut menyebabkan siklus pemulihan yang dimiliki oleh
sumberdaya pesisir terganggu. Orientasi pada output produksi juga telah
menyebabkan rusaknya habitat dalam ekosistem pesisir. Hal ini kemudian
menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya wilayah pesisir.
Over-fishing telah menurunkan hasil tangkap dan dengan demikian
menurunkan penghasilan dari perikanan. Sekitar 80% terumbu karang di
wilayah timur Indonesia telah rusak karena perikanan dengan cara yang
merusak. Hasil penelitian Pet-Soede et al. (1999), menunjukan bahwa
kerugian ekonomi akibat pemboman ikan setelah 20 tahun dapat mencapai
US$ 306,800 per kilometer persegi. Angka ini mencerminkan biaya bagi
masyarakat, dimana biaya ini adalah empat kali lebih besar dari manfaat total
(total benefit) kegiatan ini.

V. TUJUAN PENGELOLAAN PESISIR

PWPT adalah suatu proses yang menyatukan pemerintah, masyarakat


(komunitas), ilmu pengetahuan dan pengelolaan, kepentingan sektoral dan
kepentingan umum (publik) dalam menyiapkan dan melaksanakan suatu
pengelolaan yang terpadu untuk perlindungan dan pembangunan ekosistem
pesisir dan sumberdayanya.
Tujuan umum dari PWPT adalah untuk memperbaiki kualitas hidup
komunitas manusia yang tergantung pada sumberdaya pesisir dengan
memelihara keanekaragaman hayati dan produktivitas sumberdaya dan
ekosistem wilayah pesisir.
8

VI. PRINSIP-PRINSIP PENGELOLAAN

PWPT harus berupa proses yang bersifat berkesinambungan


(continuous), interaktif, adaptif, dan partisipatif. Dengan demikian, PWPT
harus mengedepankan faktor-faktor berikut:

permintaan (demand) yang bersilangan satu sama lain di wilayah


pesisir. Demand ini dapat timbul dari dalam atau pun dari luar
wilayah pesisir
peningkatan populasi penduduk dan permintaan yang berkaitan
dengan pembangunan ekonomi di wilayah pesisir
kejadian/perubahan alam yang sifatnya sporadik dan stokastik
(probabilistic), seperti intensitas dan durasi badai; frekuensi, kualitas,
dan kuantitas aliran masuk air tawar ke wilayah pesisir, serta
fenomena alam yang lain
Laju dan besar (magnitude) proses alam seperti erosi dan akresi;
suksesi ekologis; turun atau naiknya tanah (subsidence atau uplift)
Kapasitas pengelolaan yang terbatas, karena ragam permintaan
terhadap produk dan jasa
Ketidak-pastian akan variable-variable yang terlingkup dalam PWPT,
seperti program dan kebijakan pemerintah, kondisi dan
kecenderungan demografis dan ekonomis, perilaku dan cita rasa
masyarakat, perubahan teknologi, dan faktor harga.

Ketidak-pastian akan variable-variable yang terlingkup dalam PWPT,


seperti program dan kebijakan pemerintah, kondisi dan kecenderungan
demografis dan ekonomis, perilaku dan cita rasa masyarakat, perubahan
teknologi, dan faktor harga.
Perubahan kondisi klimat secara global dan pengaruh jangka
panjangnya terhadap ekosistem pesisir dan terhadap kegiatan manusia di
wilayah pengelolaan PWPT.
Dengan demikian, PWPT harus sejalan dengan prinsip-prinsip yang
berkaitan dengan lingkungan hidup dan pembangunan, yang secara garis
besar dapat dijabarkan sebagai berikut:
Prinsip hubungan timbal-balik dan keterpaduan
Prinsip persamaan dan keadilan dalam dan antar generasi
Prinsip pengakuan hak untuk pembangunan
Prinsip perlindungan lingkungan hidup
Prinsip kehati-hatian
Prinsip bahwa biaya lingkungan akibat kegiatan ekonomi tidak
dibebankan pada masyarakat ("polluter pays" principle)
Prinsip transparansi dan prinsip yang berorientasi pada proses

Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan Karakter Khusus Pesisir dan


Laut, dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:
9

Prinsip yang berkaitan dengan karakter publik dari laut


Prinsip yang berkaitan dengan karakter biofisik dari wilayah
pesisisr
Prinsip yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya serta
ruang pesisir dan laut.

VI. PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR YANG


BERKELANJUTAN

a. Perlindungan daya dukung pesisir dan laut

Sesuai dengan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan karakter khusus


pesisir dan laut yang telah ditelaah di atas, pengelolaan wilayah pesisir dan
laut yang terpadu mencakup:

Perlindungan sumberdaya

Prinsip yang berkaitan dengan karakter publik pesisir dan laut


menuntut pengambilan keputusan yang bersifat perlindungan terhadap
kepentingan seluruh lapisan komunitas pesisir serta perlindungan terhadap
kepentingan persamaan dan keadilan antar generasi.
Sehingga prioritas perlindungan sumberdaya mencakup:
perlindungan sumberdaya yang hidup serta habitatnya dari
eksploitasi
pemanfaatan non-eksklusif
pemanfaatan eksklusif yang pulih
identifikasi potensi konflik

Perlindungan khusus harus dilakukan terhadap ekosistem yang langka


dan rentan serta spesies langka dan hampir punah untuk memastikan bahwa
keanekaragaman hayati dari ekosistem wilayah pesisir tetap utuh.

Monitoring
Penelitian dan analisa ilmiah yang terus-menerus diperlukan untuk
memonitor serta mengawasi keberadaan dan kualitas sumberdaya pesisir dan
laut, sebagaimana dicantumkan dalam Principle 15 Deklarasi Rio: "Pada saat
terjadi ancaman kerusakan yang serius atau tak terpulihkan, kurangnya
penelitian ilmiah tidak dapat menjadi alasan untuk menunda penerapan
ukuran dan standard dalam pencegahan kerusakan lingkungan".

Pendidikan
Kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya pesisir dan laut
harus dibangkitkan secara terus menerus. Strategi yang digunakan untuk
pendidikan dalam rangka perlindungan daya dukung wilayah pesisir dan
10

lautan ini harus dapat mengubah perspektif pemanfaatan dan eksploitasi


menjadi perspektif konservasi. Namun demikian, perspektif konservasi harus
ditekankan pemahamannya dalam kaitan dengan pemanfaatan. Strategi yang
digunakan harus bersifat multi-media, multi-target, dan multi-objektif.
Dengan demikian, strategi pendidikan bagi kesadaran masyarakat
berbentuk intervensi sosial yang bertujuan untuk mengubah kesadar-tahuan
menjadi etika lingkungan hidup. Perubahan ini diharapkan dapat masuk
kedalam sistem nilai dan kepercayaan yang ada dan kemudian dapat menjadi
bagian dari gaya hidup dan perilaku.

Strategi pendidikan bagi perlindungan daya dukung wilayah pesisir


dan laut harus mencakup jangka panjang melalui pendidikan formal, jangka
menengah melalui pelatihan-pelatihan serta jangka pendek melalui kampanye
penyadaran lingkungan yang terus menerus. Indikator yang digunakan adalah
indikator perbaikan kondisi biologis dan ekologis sumberdaya alam serta
peningkatan ekonomi dan kesejahteraan sumberdaya manusia.

b. Pengelolaan ruang

Data dan informasi

Penyediaan dan pencarian data dan informasi menjadi prioritas dalam


kaitannya dengan pembangunan konsensus. Dengan demikian, data dan
informasi menjadi isu bersama dalam setiap tingkat pengambilan keputusan.
Data dan informasi juga menjadi tulang punggung perencanaan ruang.
Penyediaan pencarian data dan informasi diusahakan dengan menggunakan
teknologi dan pengetahuan yang terkini, (seperti penginderaan jauh, sistem
informasi geografis, dan sistem posisi kebumian - GPS, serta perangkat
teknologi lingkungan) sehingga keakuratan data dan informasi yang didapat
menjadi optimal. Data dan informasi yang akurat diperlukan bagi penataan
ruang dan penetapan standar dan kriteria yang diperlukan bagi pengelolaan.

Perencanaan ruang/Area Planning

Perencanaan tata ruang wilayah ditujukan untuk kegiatan jangka


pendek dan panjang dalam wilayah pesisir. Pembangunan di wilayah pesisir
yang bergantung pada ketersediaan air harus diprioritaskan. Wilayah/ruang
atau sumberdaya yang dinyatakan sebagai milik adat (ulayah) harus diberi
pengakuan serta sedapat mungkin diterapkan tata-cara tradisional yang
berkaitan dengan sumberdaya pesisir dan laut. Akses publik kepada wilayah
pesisir dan laut juga harus menjadi pertimbangan utama bagi PWPT.
Di wilayah pesisir, air adalah daya yang mempersatukan sistem
sumberdaya, karena air memiliki mekanisme sebagai interface daratan dan
lautan. Dalam penataan ruangnya, PWPT harus mempertimbangkan interaksi
yang terjadi di batas laut dan daratan dan mensyaratkan bahwa sistem di
11

wilayah hulu, wilayah daratan, wilayah pasang surut, wilayah perairan


dangkal, serta wilayah perairan laut lepas dikelola sebagai satu kesatuan yang
integral.
Bentuk bentang alam yang berhadapan dengan sisi muka perairan
seperti mangrove, terumbu karang tepi, serta gunungan pasir (sand dunes)
berperan sebagai pelindung erosi dan naiknya muka air laut.

Dengan demikian bentuk-bentuk bentang alam ini harus


dipertahankan. Dalam kaitan dengan wilayah daratan pesisir seperti rawa
asin, lahan basah pesisir, serta habitat pesisir lain, karena kepekaan dan
kerentanannya, harus dipertahankan seoptimal mungkin.

Konsep perancangan dengan alam (designing with nature) harus


sedapat mungkin diterapkan. Sebagai contoh penggunaan vegetasi khusus
bagi pencegahan erosi. Dalam kegiatan pembangunan, interupsi terhadap
sistem longdrift alami harus dibatasi seminimal mungkin.

Berkaitan dengan penelitian tentang perubahan iklim global,


pengaruh negatif di wilayah pesisir seperti peningkatan laju erosi, banjir, serta
intrusi air laut harus dipertimbangkan dalam perencanaan.

c. Kelembagaan

Dalam pelaksanaan PWPT, kapasitas kelembagaan di tingkat


nasional, provinsial, dan lokal harus dikuatkan. Kapasitas kelembagaan
tersebut mencakup:
o Kapasitas hukum dan administrasi
o Kapasitas pendanaan
o Kapasitas teknis
o Kapasitas sumberdaya manusia.

Sehingga pelaksanaan, pemantauan (monitoring) PWPT, resolusi


konflik serta pentaatan hukum dapat berjalan.
12

BAHAN PUSTAKA

GESAMP and IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP


(1996). The Contribution of Science to Integrated Coastal
Management, FOOD AND AGRICULTURE ORGANIZATION OF
THE UNITED NATIONS, Rome.
Bengen, D. G. (1999) Pedoman Teknis Pengenalan & Pengelolaan Ekosistem
Mangrove, PKSPL-Institut Pertanian Bogor dan Proyek Pesisir,
Bogor.
Cicin-Sain, B. (1992) Research Agenda on Ocean Governance In Ocean
Governance:A New Vision(Ed, Cicin-Sain, B.) University of
Delaware, Center for the Study of Marine Policy, Newark, Delaware,
pp. 9-16.
Cicin-Sain, B. and Knecht, R. W. (1998) Integrated Coastal Zone
Management: Concepts and Practices, Island Press, Washington D.C.
Conrad, J. M. (1999) Resource Economics, Cambridge University Press,
Cambridge.
Costanza, R. (Ed.) (1991) Ecological Economics: The Science and
Management of Sustainability, Columbia University Press, New
York.
Delaware (1999) University of Delaware, NOAA's National Ocean Service,
Intergovernmental Oceanographic Commission, The World Bank, ,
pp. 50.
Dutton, I. M. (2000) In Seminar on the Future of Jakarta Bay Bapedal and
DKI Jakarta, Jakarta, Hotel Horison, Ancol, pp. 24pp.
Effendi, E. (1999) Penilaian Ekonomi Sumberdaya: Suatu Peralatan Teknis
dalam Membantu Penyempurnaan Kebijakan Pengelolaan Kawasan
Konservasi, Natural Resources Management Program, Jakarta.
Fauzi, A. (1998) In Department of Economics Simon Fraser University,
Canada, .
Forman, R. T. T. and Godron, M. (1986) Landscape Ecology, John Wiley &
Sons, New York, USA.
Grant, W. E., Pedersen, E. K. and Marin, S. L. (1997) Ecology and Natural
resources Management: System Analysis and Simulation, John Willey
& Sons, New York.
Gunawan, I. (1994) A Methodological Approach to Sustainable Resources
Utilization in Indonesia: Integrating Geographic Information
Systems, Mathematical Modeling, and Expert Systems, Unpublished
Dissertation, College Station, TX.
Hall, C. A. S. and John W. Day, J. (Eds.) (1977) Ecosystem Modeling in
Theory and Practice: An Introduction with Case Histories, John
Wiley & Sons, New York.
Kay, R. and Alder, J. (1999) Coastal Management and Planning, E & FN
SPON, New York.
13

Pernetta, J. C. and Elder, D. L. (1993) World Conservation Union, Gland,


Switzerland.
Perrings, C., Maler, K.-G., Folke, C., Holling, C. S. and Jansson, B.-O. (Eds.)
(1997) Biodiversity Loss - Economic and Ecological Issues,
Cambridge University Press, New York, USA.
Pet-Soede, C., Cesar, H. S. J. and Pet, J. S. (1999) An Economic Analysis of
Blast Fishing on Indonesian Coral ReefsEnvironmental Conservation,
26, 83-93.
PKSPL-IPB (1999) Studi Kajian Kebutuhan Investasi Pembangunan
Perikanan dalam Lima Tahun Mendatang, Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan - IPB, Bogor.
Pollnac, R. B. and Crawford, B. R. (2000) Assessing Behavioral Aspects,
Proyek Pesisir, Coastal Resources Center - University of Rhode
Island, Narragansett, Rhode Island USA.
Strahler, A. and Strahler, A. (1998) Introducing Physical Geography, John
Willey & Sons, New Yerk.
Tomascik, T., Mah, A. J., Nontji, A. and Moosa, M. K. (1997) The Ecology
of the Indonesian Seas - Part One, Periplus Editions (HK) Ltd.,
Singapore.
Volk, R. (2000) As Water Flows, So Goes the Health of Our
CoastsInterCoast, Spring 2000, 2-3.
Wibowo, P., Nirarita, C. E., Susanti, S., Padmawinata, D., Kusmarini, Syarif,
M., Hendriani, Y., Kusniangsih and Sinulingga, L. b. (1996)
Ekosistem Lahan Basah Indonesia: Buku Panduan untuk Guru dan
Praktisi Pendidikan, Wetlands International Indonesia Programme,
Bogor.

Anda mungkin juga menyukai