MIFTAHUL HUDA
MIFTAHUL HUDA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
NIM : A34052093
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat,
rahmat, dan hidayah-NYA sehingga penulis dengan segala keterbatasannya dapat
menyelesaikan skripsi dengan lancar.
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak. Untuk itu dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada Kedua Orang Tua tercinta yang selalu
mengharapkan agar penulis menjadi yang terbaik, selalu memberikan doa, nasihat,
dan semangat yang tiada hentinya.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga,
M.Sc. sebagai dosen pembimbing skripsi yang selalu membimbing dan
mengarahkan penulis dalam proses magang penelitian yang telah penulis jalankan,
Ir. Dhamayanti Adidharma Ph.D. selaku dosen penguji tamu yang telah berkenan
memberikan saran perbaikan skripsi kepada penulis, Dr. Ir. Giyanto M.Si. sebagai
dosen pembimbing akademik yang telah memberikan nasihat dan bimbingannya
selama penulis menempuh studi di Departemen Proteksi Tanaman IPB dan kepada
Dr. Ir. Bonny P.W. Soekarno, MS. yang telah memberikan bimbingan,
pengarahan dan pelajaran dalam berorganisasi.
Penulis ucapkan terimakasih kepada Nurochman dan M. Yusro selaku
kakak penulis yang tiada hentinya memberikan semangat serta adik penulis Sri
Rahayu semoga semua menjadi yang terbaik. Penulis juga menyampaikan ucapan
terimakasih dan rasa simpatik kepada keluarga besar Gold Generation DPT 42,
rekan-rekan Organic Farming-club 2007/2010 dan khususnya kepada Septripa S,
Sp. dan Hardiyanto, Sp. yang selalu memberikan semangat dan bantuan selama
menjalankan penelitian ini.
Penulis masih menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan
kemajuan penelitian di bidang proteksi tanaman atau yang lainnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN .................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................... 1
Tujuan Penelitian ............................................................................. 5
Manfaat Penelitian .......................................................................... 5
LAMPIRAN ............................................................................................ 37
DAFTAR TABEL
No. Halaman
Teks
No. Halaman
Teks
No. Halaman
Teks
1. Gejala layu Fusarium pada tanaman asal bibit anakan dan kultur
jaringan ......................................................................................... . 37
perlakuan . .................................................................................. . 39
6. Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik
budidaya (S) terhadap persentase kejadian penyakit (KjP)
di lapangan. ................................................................................. . 41
7. Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik
budidaya (S) terhadap laju tinggi tanaman (LTT) di lapangan... . 41
8. Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik
budidaya (S) terhadap laju lingkar batang (LLB) di lapangan. . . 41
9. Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik
budidaya (S) terhadap persentase asosiasi FAM . ...................... . 42
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam rangka memenuhi permintaan dalam negeri dan meningkatkan
devisa negara dari sektor non migas, pemerintah telah menempuh beberapa upaya
diantaranya pengembangan komoditas hortikultura. Salah satu komoditas
hortikultura yang sangat berpotensi untuk meningkatkan sumber pendapatan
masyarakat dan devisa negara yaitu pisang.
Pisang merupakan komoditas buah-buahan terpenting di Indonesia dan
sebagai komoditas buah-buahan unggulan nasional (BPTP Jatim 2007). Tanaman
pisang merupakan penghasil jenis buah-buahan yang dikenal luas penduduk
Indonesia, bahkan dunia. Tanaman pisang mempunyai peranan penting dalam
perekonomian masyarakat, terutama di daerah sentra produksi. Dibandingkan
dengan tanaman hortikultura dan buah-buahan lainnya, harga pisang lebih stabil
(Sinaro 2007).
Pisang merupakan tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di
Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika
(Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Pisang (Musa spp.) berasal dari
Genus Musa, famili Musaceae, ordo Zingiberales, dan kelas Monocotyledonae.
Tanaman pisang dapat dimanfaatkan buah, daun, batang, dan bonggolnya.
Buah pisang mengandung zat gizi, antara lain , protein, vitamin A C, B
kompleks, B6, kalsium, kalium, zat besi, dan senyawa serotonin yang aktif
sebagai neurotransmitter dalam kelancaran fungsi otak. Selain memberikan
kontribusi gizi lebih tinggi dari pada apel, pisang juga dapat menyediakan
cadangan energi dengan cepat bila dibutuhkan (Wikipedia 2008).
Bahan baku pisang merupakan faktor utama yang harus terjamin baik
kuantitas maupun kontinuitasnya. Kebutuhan pisang untuk industri pengolahan
skala rumah tangga (10-50 kg/hari), skala usaha kecil menengah (UKM) kripik
(100-120 kg/hari), sale (1,5-2 ton/bln), ledre (70-120 kg/hari), puree (300-500
kg/h) dan tepung (700-1000 kg/minggu). Untuk melayani pasar dalam negeri
terutama pasar-pasar swalayan dan luar negeri dibutuhkan skala besar 10-12 ton
pisang segar/hari. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan buah dan produk olahan
2
pisang ekspor pada tahun 2010 diperkirakan memerlukan areal pertanaman sekitar
5.000-6.000 ha (Balitbang 2007).
Penanaman pisang berskala besar telah dilakukan di beberapa tempat antara
lain di pulau Halmahera (Maluku Utara), Lampung, Mojokerto (Jawa Timur), dan
beberapa tempat lainnya, sehingga Indonesia pernah mengekspor pisang dengan
volume mencapai lebih dari 100.000 ton pada tahun 1996, tetapi pada tahun-tahun
berikutnya volume ekspor tersebut terus menurun dan mencapai titik terendah
pada tahun 2004 yaitu hanya 27 ton (Balitbang 2007). Pisang menyumbang 50%
total produksi buah nasional. Agribisnis pisang di Indonesia menghadapi beberapa
kendala salah satunya yaitu adanya penyakit tanaman. Penyakit yang paling utama
dan paling banyak menyerang pertanaman pisang di Indonesia adalah penyakit
layu Fusarium dan layu bakteri (Ika 2007).
Layu Fusarium (Agrios 2005, Booth 1985) merupakan penyakit pada
tanaman pisang yang disebabkan oleh cendawan patogen yaitu Fusarium
oxysporum Schl. f. sp. cubense. (E. F. Smith) (FOC). Layu Fusarium adalah salah
satu penyakit utama pisang yang menghancurkan pertanaman pisang bukan hanya
di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara penghasil pisang dunia seperti India,
Cina dan Filipina. Patogen penyebab layu Fusarium menyerang semua kultivar
pisang komersial di dunia. Hingga tahun 1950-an, perkebunan pisang komersial
Gros Michel seluas 40.000 ha di Amerika Latin hancur akibat serangan patogen
itu. Diperkirakan hingga saat ini, total kerusakan lahan pisang Gros Michel,
Cavendish dan kultivar lokal lainnya di dunia akibat layu Fusarium, sudah
mendekati 100.000 ha. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh munculnya
perkebunan pisang skala besar di Asia dan kemudian hancur secara sporadis
dalam kurun waktu 20 tahun akibat serangan patogen penyakit layu Fusarium.
Penyakit layu tersebut telah dilaporkan menyebar luas di benua Asia, Amerika
(Latin) dan Australia (Ploetz dkk. 1993). Penyebab alami terjadinya endemik layu
Fusarium di Indonesia karena letaknya berdekatan dengan khatulistiwa, hanya
terdapat dua musim yaitu kemarau dan penghujan. Akibatnya, siklus penyakit
berjalan terus dan kelembaban juga tinggi sehingga penyakit tumbuh subur.
Kecepatan penyebaran penyakit (epidemi) layu Fusarium dapat mencapai 100 km
per tahun (Dir PTH 2007).
3
Tujuan
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Gejala Penyakit
Fusarium dapat sangat bervariasi dan dapat mulai tampak pada tanaman pisang
yang berumur 5-10 bulan (Semangun; AOI 2007). Pada bibit tanaman pisang
dalam invitro, gejala layu Fusarium dapat menyebabkan tunas mati yang pada
awalnya menunjukkan gejala busuk pada pangkal batang kemudian menjalar ke
bagian atas dan berwarna coklat kehitaman (Sukmadjadja et al. 2002).
Pengendalian Hayati
Gliocladium fimbriatum
G. fimbriatum termasuk golongan cendawan yang berasal dari filum
Ascomycota, kelas Ascomycetes, ordo Hypocreales, dan genus Gliocladium
(Agrios 2005). Gliocladium spp. merupakan cendawan mikoparasit sebagai salah
satu cendawan antagonis bagi cendawan patogen yang mempunyai beberapa
mekanisme antagonisme antara lain: penyerangan terhadap patogen diantaranya
dapat mematikan atau menghancurkan hifa inangnya dengan mengeluarkan satu
macam atau lebih antibiotik atau enzim, dan mekanisme hiperparasit dengan
melilit hifa patogen sebagai inang, kemudian hidup dan berkembang pada isi sel
inang yang telah mati (Sinaga 1992).
Sinaga (2002) mengemukakan bahwa Gliocladium spp. mempunyai prospek
yang tinggi sebagai agens biokontrol berbagai patogen yang merupakan penyebab
penyakit pada berbagai jenis tanaman. hasil penelitiannya, baik pengujian secara
invitro maupun invivo dalam rumah kaca maupun di lapangan menunjukkan
bahwa G. fimbriatum memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengendalikan
penyakit yang disebabkan berbagai patogen terutama patogen tular tanah seperti
F. oxysporum. Gliocladium spp. juga dapat meningkatkan vigor tanaman jauh
lebih baik dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan Gliocladium spp.
Menurut Agrios (2005) Gliocladium spp. dapat digunakan sebagai agens
antagonis terhadap layu Fusarium melalui mekanisme antagonismenya.
Berdasarkan berbagai percobaan yang dilakukan oleh Sinaga (2000),
diketahui bahwa penggunaan Gliocladium spp. Sebagai agens biokontrol di
lapangan akan lebih optimum bila dikombinasikan dengan komponen PHT yang
lain. Yulianti (2001) melaporkan hasil pemanfaatan kombinasi cendawan fungi
mikoriza arbuskula (FMA) dan G. fimbriatum dapat menekan perkembangan
penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit (Ganoderma boninense) dan
meningkatkan vigor tanaman.
Solarisasi Tanah
Solarisasi tanah merupakan salah satu metode kultur teknis dalam
pengendalian patogen akar (Agrios 2005). Solarisasi tanah merupakan suatu
metode untuk menaikkan suhu tanah dengan cara menutup permukaan tanah
menggunakan plastik mulsa transparan dalam hal pengendalian patogen tular
tanah seperti Fusarium spp. Metode tersebut bekerja sesuai dengan efek green
house, temperatur tanah mencapai suhu 50-600C pada kedalaman 10 cm. Hal
tersebut sudah cukup besar dalam mengendalikan patogen tular tanah (soil borne)
(Horiuchi 2000). Penutupan plastik transparan (polyethylene) pada tanah yang
lembab pada musim panas, temperatur tanah pada kedalaman 5 cm akan mencapai
suhu 520C dan jika solarisasi dengan menggunakan mulsa selain plastik suhu
maksimum hanya sekitar 370C. Solarisasi tanah dapat menurunkan inokulum
patogen sehingga akan mengurangi potensi terjadinya panyakit (Agrios 2005).
Menurut Lisnawita (2003) pengusahaan pengolahan tanah sehat bertujuan
untuk memperkecil kondisi yang dapat menyebabkan tanaman stres dan
mengurangi organisme tanah yang merugikan serta meningkatkan organisme
tanah yang menguntungkan salah satunya dengan metode solarisasi tanah.
Solarisasi tanah dilakukan dengan menutup tanah dengan plasik transparan selama
6-8 minggu, sehingga panas matahari terperangkap dan akan menaikkan suhu
tanah. Saylendra (2007) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa sorasisasi
tanah dapat menghambat perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora
13
dari FOC. Suhu tanah harian selama solarisasi tanah pada kedalaman 0.5 cm
menunjukkan adanya peningkatan di setiap waktunya. Suhu tanah tertinggi
dicapai pada solarisasi 4 minggu yaitu 44.50C. Pada kisaran tersebut struktur
pertahanan patogen seperti badan sklerotium sudah mengalami kerusakan/
kematian (Kartini dan Widodo 2000).
Kultur Jaringan
Kultur jaringan adalah suatu metode penanaman protoplas, sel, jaringan, dan
organ pada media buatan dalam kondisi aseptik sehingga dapat beregenerasi
menjadi tanaman lengkap. Salah satu aplikasi kultur jaringan yang telah dikenal
secara meluas dan telah banyak diusahakan untuk tujuan komersial adalah
perbanyakan tanaman (Mariska & Sukmadjadja 2003). Hampir semua teknik
kultur jaringan yang digunakan oleh ahli tumbuhan penting bagi ilmu penyakit
tumbuhan yang digunakan untuk menghasilkan tumbuhan bebas patogen (Agrios
1996). Penyediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan dalam pengembangan pertanian di masa mendatang.
Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan diaplikasikan terutama pada
tanaman-tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif, selain itu
perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan memeiliki beberapa
keuntungan, yaitu diperolehnya bibit yang seragam dalam jumlah besar dan bebas
penyakit sehingga meningkatkan hasil dan mencegah penyebaran penyakit ke
sentra-sentra produksi baru dibanding dengan penggunaan bibit asal konvensional
(anakan) [Biogen 2008]. Menurut Murashige (1974 dalam Mattjik 2005),
mengemukakan bahwa salah satu dari kegunaan teknik kultur jaringan yaitu
untuk memperoleh klon yang bebas dari penyakit sistemik. Menurut lembaga
laboratotium kultur jaringan SEAMEO BIOTROP (2007) menyatakan bahwa
keunggulan bibit pisang hasil kultur jaringan dibandingkan dengan bibit dari
anakan adalah bibit kultur jaringan terbebas dari penyakit seperti bakteri layu
Moko (Pseudomonas solanacearum) dan layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp
cubense). Tingkat kecermatan dalam pemilihan bibit pisang sangat berperan/
menentukan munculnya penyakit layu pisang. Penyakit layu pisang dapat ditekan
dengan menggunakan bibit hasil kultur jaringan [Dir. PTH 2008].
14
Bahan
Bahan dan alat yang digunakan adalah bibit pisang varietas ambon putih
umur 2 bulan asal anakan yang berasal dari kebun pisang Sukabumi dan bibit
kultur jaringan yang berasal dari Laboratorium Kultur Jaringan, SEAMEO
BIOTROP Bogor, agens biokontrol yang tediri dari Gliocladium fimbriatum
(isolat koleksi Laboratorium Mikologi, Departemen proteksi Tanaman,
FAPERTA-IPB), fungi mikoriza arbuskula (FMA) (formulasi Balai Pengkajian
Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Puspitek,
Serpong), dan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) formulasi
Laboratorium Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman-IPB), pupuk
kandang, pupuk sintetis (NPK), dan plastik transparan polyethylene (untuk
solarisasi tanah).
Metode
Penyiapan lahan percobaan. Lahan uji bertempat di Kebun Buah dan Tanaman
Tropika BIOTROP (Tajur I). Lahan percobaan yang digunakan untuk menanam
bibit pisang digemburkan, pembuatan lubang tanam kemudian dilakukan
perlakuan solarisasi tanah dengan cara menutup tanah menggunakan plastik
transparan (polyethylene) selama dua minggu dan tanah tanpa perlakuan
solarisasi. Setelah solarisasi tanah, lubang tanam kemudian diberi pupuk kandang
dengan dosis 5 kg/lubang.
Perlakuan agens biokontrol. FMA diintroduksikan ke sekitar perakaran bibit
tanaman pisang (20 g/tanaman) dan diinkubasikan selama dua bulan dalam
polybag. Setelah perlakuan solarisasi tanah bibit kemudian di tanam di lapangan
15
Rancangan Percobaan
Rancangan perlakuan
Tabel Kombinasi perlakuan bibit pisang, agens antagonis dan teknik budidaya
Perlakuan A0 A1 A2 A3 A4
Laju (r) tinggi tanaman dan lingkar batang dihitung dengan modifikasi
rumus Zadoks & Schein (1979):
sacara acak pada cawan petri berdiameter 14 cm yang sudah diberi kotakan
berukuran 0,8 cm x 0,8 cm sebanyak 100 kotak. Potongan akar yang melewati
gridline dihitung sebagai infeksi, apabila ditemukan struktur mikoriza (spora, hifa,
vesikel, atau arbuskula) pada jaringan akar yang ditandai dengan bagian yang
berwarna lebih gelap dibandingkan bagian lain. Pengamatan dilakukan
menggunakan mikroskop binokuler dengan cara mengamati seluruh kotakan
gridline secara vertikal dan horisontal. Tingkat asosiasi FMA dihitung
menggunakan rumus-rumus berikut (Newman 1966; Tennant 1975; Giovannetti &
Mosse 1980 dalam Brundett et al. 1996):
Analisis Data
Kondisi Umum
Tanaman pisang hasil kultur jaringan maupun anakan berasal dari kultivar
ambon putih. Sebelum penanaman, bibit tanaman pisang dilakukan aklimatisasi
selama 2 bulan. Setelah aklimatisasi bibit pisang ditanam pada lahan seluas
600 m2 dengan tumpangsari tanaman manggis (tinggi tanaman antara 1-4 m) dan
lahan dikelilingi oleh vegetasi pohon buah-buahan (durian dan rambutan). Lahan
yang digunakan untuk percobaaan sudah terinfestasi berat oleh Fusarium
oxysporum fsp. cubense secara alami. Elevasi lahan sedikit miring dari arah Timur
ke Barat. Penyiraman dilakukan setiap hari selama musim kemarau. Keadaan
lingkungan saat solarisasi tanah dan penanaman yaitu suhu rata-rata harian 27,20
C (maksimal 31,7 dan minimal 22.40 C), kelembaban udara harian 77.7 %, radiasi
surya 327 (MJ/m2/bulan), dan curah hujan 222 mm/bulan. Tidak dilakukan
pemotongan anakan yang tumbuh dari induk dari tanaman pisang hingga 30
minggu setelah tanam. Hingga akhir pengamatan (45 MST) secara umum tanaman
belum berbunga.
Tabel 3 Pengaruh kombinasi perlakuan bibit, agens antagonis dan kultur teknis
terhadap periode laten kejadian penyakit
Perlakuan Periode Laten (MST) Kejadian Penyakit (%)
B0A0S0 16 40
B0A1S0 16 20
B0A3S2 16 40
B0A4S2 16 60
B0A2S0 16 60
B0A0S1 16 20
B0A3S0 16 40
B0A3S1 16 60
B0A4S0 16 40
B1A2S2 26 40
B1A1S2 26 80
B1A4S2 26 20
B1A0S1 26 20
B1A0S1 26 40
B1A4S1 26 80
Keterangan: MST (minggu setelah tanam)
di lapangan (Tabel 3). Periode laten pada bibit pisang asal anakan (B0) terjadi
pada 16 minggu setelah tanam (MST) yaitu pada kombinasi perlakuan B0A0S0,
B0A1S0, B0A3S2, B0A4S2, B0A2S0, B0A0S1, B0A3S0, B0A3S1 dan B0A4S0
dengan masing-masing kejadian penyakit 40, 20, 40, 60, 60, 20, 40, 60, dan 40 %.
Sedangkan pada bibit pisang asal kultur jaringan (B1) terjadi setelah 26 MST
yaitu pada kombinasi perlakuan B1A2S2, B1A1S2, B1A4S2, B1A0S0, dan
B1A4S1 dengan masing-masing kejadian penyakit sebesar 40, 80, 20, 20, 40, dan
80 %. Periode laten terjadinya penyakit Fusarium di lapangan tersebut sama
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sibarani (2008). Lisnawita, dkk.
(1998) mengemukakan bahwa periode laten terjadinya penyakit layu Fusarium di
rumah kaca 95 hari setelah inokulasi ( 3 bulan) pada tanaman umur 7 bulan.
Sedangkan menurut Ploetz dkk. 2003 mengemukakan bahwa gejala eksternal
penyakit layu Fusarium di lapangan, biasanya muncul setelah tanaman berumur
lebih dari 4 bulan.
Periode laten merupakan periode munculnya gejala yang tertunda karena
hubungan parasitik yang tidak aktif (pasif) yang kemudian akan dapat berubah
menjadi aktif pada kondisi lingkungan/ inang yang mendukung. Kolonisasi inang
tertunda karena adanya infeksi laten. Periode laten menunjukkan tingkat
kerentanan/ ketahanan inang terhadap serangan patogen. Semakin singkat periode
laten maka semakin rentan tanaman terhadap serangan patogen. Infeksi/ periode
laten dapat disebabkan oleh adanya senyawa toksik yang menghambat patogen
(Sinaga 2006). Hal tersebut dapat dihasilkan dari proteksi langsung terhadap
patogen atau induksi ketahanan terhadap inang atau oleh karena adanya aplikasi
agens antagonis. Susanna (2000) menyatakan bahwa perlakuan agens antagonis
seperti G. fimbriatum, B. subtilis dan P. flurescens (PGPR) dapat memperpanjang
periode laten pada tanaman pisang oleh serangan FOC. Selain itu bibit kultur
jaringan yang dikombinasikan dengan agens biokontrol dapat menghambat
perkembangan penyakit. Pada gambar 1 (Lampiran) dapat dilihat bahwa gejala
penyakit pada pisang asal anakan lebih cepat berkembang dibanding pisang asal
kultur jaringan.
23
100
90
Kejadianpenyakit(%)
80
70
60
50
40
30
20
10
0
B0A0S0
B1A2S2
B1A1S1
B0A1S0
B0A3S2
B0A4S2
B0A2S2
B0A1S2
B1A4S2
B0A0S2
B0A2S1
B1A2S0
B0A1S1
B1A3S0
B1A0S1
B1A0S0
B0A0S1
B0A3S0
B0A3S1
B1A4S0
B0A4S0
B1A1S2
B1A2S1
B1A0S2
B0A2S0
B1A1S0
B1A3S1
B0A4S1
B1A3S2
B1A4S1
Perlakuan
(BPB) oleh Ganoderma boninense pada kelapa sawit hingga > 45%. Perlakuan
kombinasi menunjukkan efektifitas yang lebih baik dibandingkan perlakuan
tunggal. FMA yang diaplikasikan dengan cendawan saprofitik akan bersifat
sinergis dan meningkatkan infeksi/ asoasiasi FMA dengan akar.
Menurut lembaga laboratorium kultur jaringan SEAMEO BIOTROP (2007)
menyatakan bahwa keunggulan bibit pisang hasil kultur jaringan dibandingkan
dengan bibit dari anakan adalah bibit kultur jaringan terbebas dari penyakit seperti
layu Fusarium (FOC) dan dapat mencegah penyebaran patogen di lapangan
(Biogen 2008). Hasil penelitian Sibarani (2008) juga menyatakan bahwa
penggunaan bibit pisang asal kultur jaringan dapat menekan laju penyakit layu
Fusarium namun tidak berpengaruh nyata terhadap karakter agronomis tanaman
pisang di lapangan.
FOC hanya mengadakan infeksi melalui akar (Hwang 1980). Ujung akar
dan luka pada rhizom (akar) merupakan tempat infeksi awal yang paling utama
(Beckman 1990 dalam Ploetz dan Pegg 2000) sehingga penggunaan FMA yang
diaplikasikan saat pembibitan akan mengkolonisasi akar tanaman pisang sebelum
kontak langsung dengan FOC di lapangan. Menurut Susanna (2000) introduksi
agens antagonis sebelum adanya kontak langsung dengan patogen akan
meningkatkan proliferasi dan mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih baik.
Aplikasi PGPR yang dilakukan saat pindah tanam akan memberikan peluang yang
sama dalam hal kompetisi ruang atau makanan terhadap FOC yang akan
melakukan infeksi pada akar inang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Saylendra (2007) bahwa penggunaan bakteri Pseudomonas flurescens ES32 dan
Bacillus subtilis SB3 (PGPR) dapat menghambat FOC pada perakaran tanaman
pisang. Solarisasi tanah berpengaruh terhadap jumlah inokulum awal (X0) di
lapangan. Saylendra (2007) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa
solasisasi tanah dapat menghambat perkecambahan konidia dan pembentukan
klamidospora dari FOC. Suhu tanah harian selama solarisasi tanah pada
kedalaman 0.5 cm menunjukkan adanya peningkatan di setiap waktunya. Suhu
tanah tertinggi dicapai pada solarisasi 4 minggu yaitu 44.50C. Pada kisaran
tersebut struktur pertahanan patogen seperti badan sklerotium sudah mengalami
kerusakan/ kematian (Kartini dan Widodo 2000). Aplikasi agens antagonis setelah
27
solarisasi tanah akan lebih baik dibandingkan dengan tanpa solarisasi. Hal
tersebut kemungkinan disebabkan oleh penurunan jumlah inokulum FOC
sehingga kompetisi patogen tersebut dengan agens antagonis juga menurun dan
meningkatkan kolonisasinya terhadap perakaran tanaman pisang.
Tabel 6 Pengaruh kombinasi bibit pisang dengan agens antagonis terhadap laju
lingkar batang
Perlakuan Laju Lingkar batang (cm/ 2-minggu)
B1A3 1.110065a
B0A1 1.100014ab
B0A2 1.095818 ba
B1A2 1.091729ba
B0A3 1.087317 b
B0A0 1.085816 b
B1A0 1.083176b
B0A4 1.081598 b
B1A4 1.081577 b
B1A1 1.081184 b
Keterangan: Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan
perbedaan nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf =10%
(September) yaitu sebesar 7.5 % dan meningkat secara signifikan pada 5 BST
(Oktober) hingga 7 BST (Desember) berturut-turut yaitu sebesar 28, 40.67 dan
52.5%. Setelah 7 hingga 11 BST (Desember-April) persentase kejadian penyakit
meningkat secara tidak signifikan berturut-turut yaitu sebesar 52.5, 58, 63, 66, dan
68 %.
4BST=Sep
5BST=Okt
6BST=Nov
7BST=Des
8BST=Jan
9BST=Feb
10BST=Mar
11BST=Apr
Lahan uji yang dipakai untuk penelitian menurut Sulaiman [komunikasi pribadi]
selama 10 tahun terakhir terus menerus di tanami pisang dan terinfestasi berat
oleh FOC. Tindakan penanaman pisang terus menerus akan menyebabkan sumber
penyakit/ inokulum akan semakin banyak dan bertahan dari waktu ke waktu dan
bisa terjadi endemik. Klon tanaman pisang yang rentan tidak dapat ditanam
kembali hingga 30 tahun pada tanah yang sudah terinfeksi FOC (Ploetz 2003).
Mak, dkk. (2004) mengemukakan bahwa peningkatan konsentrasi patogen di
dalam tanah yang tinggi juga akan meningkatkan gejala serangan layu Fusarium.
Selain itu, stres tanaman juga dapat disebabkan oleh jumlah inokulum FOC di
dalam tanah yang tinggi serta tanaman kekurangan air karena curah hujan yang
rendah (<500mm/ bulan) dan menurun pada tiap bulannya (Gambar 3).
DAFTAR PUSTAKA
Sukmadaja et al. 2002: Pengujian Planlet Abaka Hasil Seleksi terhadap Fusarium
oxysporum. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian (32:38).
[Stasiun Cuaca Klimatologi]. Sumber Data Iklim Bulan Mei 2008-Mei 2009.
Bogor: Stasiun Cuaca Klimatologi Baranangsiang FMIPA-IPB.
Susanna. 2000. Analisis Introduksi mikroorganisme Antagonis untuk
Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum f.sp. cubense)
pada Pisang (Musa sapientum L.). Tesis. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Watanabe, T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi: Morphologies and
Cultural Fungi and Key to Spesies. Edisi ke-2. New York. RC Press.
Widono S, Sumardiyono S, Hardisutrisno B. 2003. Pengimbasan ketahanan
penyakit layu Fusarium dengan Burkholderia Sepasia. Jur Agrosains 5 : 2.
Wadlaw, CW. 1972. Banana Disease Inclcuding Plantain and Abaca. London:
Longman.
Yulianti S. 2001. Pemanfaatan Mikoriza Vesikula Arbuskula dan Gliocladium
fimbriatum (gilman&abbot) untuk pengendalian penyakit busuk pangkal
batang (Ganoderma boninense Pat.) pada kelapa sawit. Skripsi, jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB.
Zadoks, JC & Schein, RD. 1979. Epidemiology and Plant Disease Management.
New York: Oxford University Press.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Pokok_Pisang [1 Juni 2008].
37
Lampiran 1 Gejala layu Fusarium pada tanaman asal bibit anakan (kiri) dan asal
kultur jaringan (kanan) pada 23 MST
Lampiran 2 Performa tanaman sehat bibit asal anakan (kiri) dan bibit asal kultur
jaringan (kanan) pada 23 MST
Lampiran 1 Interaksi perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik
budidaya (S) terhadap kejadian penyakit layu Fusarium di lapangan
Perlakuan Kejadian Penyakit* (%)
B0A4S0 20 a
B0A1S0 20 a
B0A0S2 20 a
B0A2S0 20 a
B0A3S1 20 a
B0A4S2 20 a
B0A3S0 16 ba
B0A1S2 16 ba
B0A2S1 16 ba
B1A3S1 16 ba
B0A0S0 16 ba
B0A3S2 16 ba
B0A2S2 16 ba
B0A4S1 16 ba
B0A1S1 16 ba
B1A1S2 16 ba
B1A1S0 16 ba
B1A4S1 16 ba
B1A2S2 12 ba
B0A0S1 12 ba
B1A4S0 12 ba
B1A2S0 12 ba
B1A0S1 12 ba
B1A3S0 12 ba
B1A0S0 8 ba
B1A0S2 8 ba
B1A2S1 8 ba
B1A1S1 8 ba
B1A3S2 4b
B1A4S2 4b
Keterangan: Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan
perbedaan nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf =10%. *Semakin
besar angka semakin tinggi persentase kejadian penyakit.
39
Lampiran 3 Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik
budidaya (S) terhadap persentase kejadian penyakit (KjP) di
lapangan
Jumlah Kuadrat
Sumber Db F hitung Pr > F
Kuadrat Tengah
B 1 266.66666667 266.66666667 3.16 0.0779
A 4 90.66666667 22.66666667 0.27 0.8974
S 2 325.33333333 162.66666667 1.93 0.1498
B*A 4 293.33333333 73.33333333 0.87 0.4842
B*S 2 197.33333333 98.66666667 1.17 0.3138
A*S 8 341.33333333 42.66666667 0.51 0.8496
B*A*S 8 1162.66666667 145.33333333 1.72 0.0998
BLOK 4 304.00000000 76.00000000 0.90 0.4654
Lampiran 4 Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik
budidaya (S) terhadap laju tinggi tanaman (LTT) di lapangan
Jumlah Kuadrat
Sumber Db F hitung Pr > F
Kuadrat Tengah
B 1 0.00030480 0.00030480 0.37 0.5466
A 4 0.00291065 0.00072766 0.87 0.4826
S 2 0.00035291 0.00017646 0.21 0.8096
B*A 4 0.00392557 0.00098139 1.18 0.3246
B*S 2 0.00211225 0.00105613 1.27 0.2856
A*S 8 0.00696267 0.00087033 1.08 0.4076
B*A*S 8 0.00717897 0.00089737 3.90 0.3846
BLOK 4 0.01301063 0.00325266 1.04 0.0052
Lampiran 5 Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik
budidaya (S) laju lingkar batang (LLB) di lapangan
Jumlah Kuadrat
Sumber Db F hitung Pr > F
Kuadrat Tengah
B 1 0.00001201 0.00001201 0.02 0.8983
A 4 0.00573132 0.00143283 1.96 0.1059
S 2 0.00120762 0.00060381 0.82 0.4412
B*A 4 0.00670595 0.00167649 2.29 0.0641
B*S 2 0.00029592 0.00014796 0.20 0.8174
A*S 8 0.00064335 0.00008042 0.11 0.9988
B*A*S 8 0.00574148 0.00071768 0.98 0.4556
BLOK 4 0.00481730 0.00120432 1.64 0.1680
42
Lampiran 6 Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik
budidaya (S) terhadap persentase asosiasi FAM
Jumlah Kuadrat
Sumber Db F hitung Pr > F
Kuadrat Tengah