Anda di halaman 1dari 51

IDENTIFIKASI NEMATODA PARASIT PADA BEBERAPA

SPESIES GULMA YANG BERPOTENSI SEBAGAI


INANG ALTERNATIF

ERIKSON BUTARBUTAR

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul identifikasi nematoda


parasit pada beberapa spesies gulma yang berpotensi sebagai inang alternatif
adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

Erikson Butarbutar
NIM A34120003
ABSTRAK

ERIKSON BUTARBUTAR. Identifikasi Nematoda Parasit pada Beberapa


Spesies Gulma yang Berpotensi Sebagai Inang Alternatif. Dibimbing oleh
ABDUL MUNIF.

Nematoda parasit umumnya dilaporkan menyerang berbagai jenis tanaman


budidaya. Informasi serangan nematoda parasit tanaman pada gulma yang berada
di sekitar lahan budidaya masih sangat sedikit dilaporkan. Tujuan dari penelitian
ini mengidentifikasi nematoda parasit yang berasosiasi dengan beberapa jenis
gulma yang ada di kebun percobaan Pasir Sarongge, Desa Ciputri, Kabupaten
Cianjur. Ekstraksi nematoda dilakukan dengan menggunakan metode flotasi-
sentrifugasi, modifikasi metode corong Baermann dan pengabutan (mist
chamber). Identifikasi spesies Meloidogyne dilakukan berdasarkan karakter pola
perineal nematoda betina. Nematoda parasit tanaman ditemukan berasosiasi
dengan tujuh spesies gulma, yaitu Ageratum conyzoides (babadotan), Ageratum
haustonianum (kembang benang). Portulaca orelacea (krokot), Eleusine indica
(rumput belulang), Amaranthus spinosus (bayam duri), Borreria laevis (rumput
kancing ungu), dan Borreria alata (rumput kancing). Tujuh genus nematoda
parasit yang ditemukan yaitu Meloidogyne, Helicotylenchus, Hoplolaimus,
Pratylenchus, Rotylenchulus, Scutellonema, dan Tylenchulus. Empat spesies
Meloidogyne, yaitu M. incognita, M. hapla, M. javanica, dan M. arenaria berhasil
diidentifikasi berdasarkan karakter pola perineal nematoda betina. Hasil penelitian
ini menunjukkan potensi ketujuh spesies gulma sebagai inang alternatif sehingga
dapat digunakan sebagai landasan dalam penentuan tindakan pengendalian yang
dilakukan.

Kata kunci: karakter morfologi, keragaman, pola perenial.


vii

ABSTRACT

ERIKSON BUTARBUTAR. Identification of Plant Parasitic Nematodes on


Potential Weeds as Alternative Hosts. Supervised by ABDUL MUNIF.

Plant parasitic nematodes are commonly reported to affect various crops.


Information about plant parasitic nematodes on weeds in the cultivation area is
still limited. The objective of this research was to identify plant parasitic
nematodes associated with weeds in Pasir Sarongge university farm, Ciputri,
Cianjur Regency. Nematodes were extracted from root of weeds by mist chamber
method and from soil by flotation-centrifugation and Baermann funnel modified
method. Meloidogyne was characterized by the female perineal pattern. Plant
parasitic nematodes were found associated with seven species of weeds, i.e.
Ageratum conyzoides (babadotan), Ageratum haustonianum (kembang benang),
Portulaca orelacea (krokot), Eleusine indica (rumput belulang), Amaranthus
spinosus (bayam duri), Borreria laevis (rumput kancing ungu), and Borreria alata
(rumput kancing). The results showed that seven genera of plant parasitic
nematodes were found, namely Meloidogyne, Helicotylenchus, Hoplolaimus,
Pratylenchus, Rotylenchulus, Scutellonema, and Tylenchulus. Four species of
Meloidogyne, i.e. M. incognita, M. hapla, M. javanica, and M. arenaria were
identified based on the female perineal pattern character. The result indicated that
the seven species of weeds are potential as alternative hosts so that can be used as
a basic for formality appropriate control measures.

Key words: diversity, morphological character, perineal pattern.


©
Hak Cipta Milik IPB, tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
xi

IDENTIFIKASI NEMATODA PARASIT PADA BEBERAPA


SPESIES GULMA YANG BERPOTENSI SEBAGAI
INANG ALTERNATIF

ERIKSON BUTARBUTAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
xv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih
karunia dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini
yang berjudul “Identifikasi Nematoda Parasit pada Beberapa Spesies Gulma yang
Berpotensi Sebagai Inang Alternatif”. Penelitian telah dilaksanakan di Kebun
Percobaan Pasir Sarongge, Desa Ciputri, Kabupaten Cipanas dan Laboratorium
Nematologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai
Oktober 2016.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Abdul Munif, MScAgr
selaku dosen pembimbing skripsi dan Ir Djoko Prijono, MAgrSc yang telah
banyak memberikan penjelasan, pengarahan, perbaikan dan motivasi dalam
penyelesaian tugas akhir ini dan juga kepada Prof Dr Ir Meity S. Sinaga, MSc
selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan dukungan
kepada penulis selama masa perkuliahan di Departemen Proteksi Tanaman.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Ayahanda Elbin Butarbutar,
Ibunda Ratna Samosir, dan kakak tercinta Ernita Butarbutar, S.Pd. keluarga kecil
yang selalu memberikan cinta, semangat dan motivasi kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Mea Fitri
Kartika Sari Silaban yang selalu memberikan motivasi, canda dan dukungan
penuh cinta dan kasih sayang, keluarga besar diaspora PMK IPB, teman-teman
PTN 49, keluarga besar IKANMASS IPB, Entomology Club Proteksi Tanaman,
panitia Natal CIVA PMK-Kemaki 2015, keluarga Laboratorium Nematologi
Tumbuhan (Tipa, Azizi, Salim, Elvina, Kiki, Mila, Ainun, Mely, Ilmi, Yuli,
Agung, Kak Dinul, Bu Cici, Mas Pandu, Kak Daus, Bu Didit, Pak Slamet, Kak
Nela) yang senantiasa memberikan bantuan, canda, cinta dan semangat kepada
penulis serta kepada penanggungjawab Laboratorium Nematologi Ibu
Fitrianingrum Kurniawati, SP MSi.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan tugas akhir
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk mendukung penulis dalam menyempurnakan karya tulis ini.
Penulis berharap hasil penulisan tugas akhir ini dapat bermanfaat sebagai
informasi kepada petani dan juga pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang
hama dan penyakit tumbuhan.

Bogor, Januari 2017

Erikson Butarbutar
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
BAHAN DAN METODE 3
Waktu dan Tempat Penelitian 3
Alat 3
Bahan 3
Metode Penelitian 3
Survei 3
Pengambilan Sampel Tanah dan Gulma 3
Ekstraksi Nematoda dari Tanah 4
Ekstraksi Nematoda dari Akar 4
Penghitungan Nematoda 5
Pembuatan Preparat Nematoda Semipermanen 5
Identifikasi Nematoda Berdasarkan Morfologi 5
Identifikasi Meloidogyne Berdasarkan Pola Perineal 5
Pewarnaan Nematoda pada Jaringan Akar Tanaman 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Keadaan Umum Kabupaten Cianjur 7
Keadaan Umum Kebun Percobaan Pasir Sarongge 7
Gejala Penyakit dan Distribusi Gulma yang Terinfeksi Nematoda Parasit 7
Gejala Penyakit 7
Distribusi Gulma 9
Fitonematoda Hasil Ekstraksi yang Ditemukan 10
Nematoda pada Sampel Tanah 10
Nematoda pada Sampel Akar 11
Meloidogyne 13
Pratylenchus 14
Helicotylenchus 15
Rotylenchulus 16
Hoplolaimus 17
Scutellonema 17
Tylenchulus 18
Nematoda Non-Parasit 19
Siklus Hidup Nematoda Puru Akar Meloidogyne Hasil Pewarnaan Akar 20
Spesies Meloidogyne Berdasarkan Identifikasi Pola Perineal 21
KESIMPULAN DAN SARAN 23
Kesimpulan 23
Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 24
RIWAYAT HIDUP 31
xix

DAFTAR TABEL

1 Distribusi gulma yang terinfeksi nematoda parasit pada lahan


tomat, seledri, wortel dan pembibitan wortel 9
2 Jumlah nematoda per 100 gram sampel tanah pada gulma di lahan
tomat, seledri, wortel dan pembibitan wortel dengan metode
flotasi-sentrifugasi dan modifikasi corong Baermann 11

DAFTAR GAMBAR

1 Teknik pembuatan preparat semi permanen pola perineal 6


2 Gejala yang ditemukan pada gulma 8
3 Spesies gulma yang berasosiasi dengan nematoda parasit tanaman 9
4 Kondisi lahan dan sebaran gulma di lahan pengamatan 10
5 Jumlah nematoda dalam 5 gram akar 12
6 Morfologi larva Meloidogyne stadia dua 13
7 Morfologi Pratylenchus juvenil 14
8 Morfologi Helicotylenchus dewasa 15
9 Morfologi Rotylenchulus juvenil 16
10 Morfologi Hoplolaimus dewasa 17
11 Morfologi Scutellonema dewasa 18
12 Morfologi Tylenchulus dewasa 19
13 Nematoda non-parasit hasil ekstraksi sampel tanah dan akar gulma 19
14 Siklus hidup nematoda puru akar Meloidogyne spp. 20
15 Siklus hidup Meloidogyne hasil pewarnaan akar 21
16 Pola perineal Meloidogyne betina dewasa 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji beda nyata kelimpahan populasi total tujuh spesies


nematoda hasil ekstraksi tanah di lahan wortel dengan metode
flotasi-sentrifugasi dan modifikasi corong Baermann 29
2 Hasil uji beda nyata kelimpahan populasi total tujuh spesies
nematoda hasil ekstraksi tanah di lahan pembibitan wortel dengan
metode flotasi-sentrifugasi dan modifikasi corong Baermann 29
3 Hasil uji beda nyata kelimpahan populasi total tujuh spesies
nematoda hasil ekstraksi tanah di lahan tomat dengan metode
flotasi-sentrifugasi dan modifikasi corong Baermann 30
4 Hasil uji beda nyata kelimpahan populasi total tujuh spesies
nematoda hasil ekstraksi tanah di lahan seledri dengan metode
flotasi-sentrifugasi dan modifikasi corong Baermann 30
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang tumbuh di sekitar tanaman


budidaya dan menyebabkan kehilangan hasil produksi dalam budidaya pertanian.
Milberg dan Hallgren (2004) melaporkan terjadinya peningkatan kehilangan hasil
produksi serealia di Swedia pada tahun 2004 akibat gulma menjadi 31.3% dari
tahun 1691 yang hanya mencapai 5.4%. Kerugian ekonomi nasional dalam bentuk
kehilangan hasil yang disebabkan oleh adanya asosiasi gulma dengan tanaman
belum ada dilaporkan. Kehilangan hasil akibat gulma umumnya dilaporkan
berdasarkan komoditas tertentu dan dipengaruhi oleh intensitas sebaran gulma di
lahan budidaya. Kehilangan hasil yang ditimbulkan oleh gulma disebabkan oleh
persaingan gulma dan tanaman dalam memperoleh sarana tumbuh seperti hara,
air, cahaya, CO2, dan ruang tumbuh suatu habitat (Moenandir 2010). Bentuk
kerugian lain yang ditimbulkan oleh gulma terjadi melalui proses alelopati yang
dapat menekan pertumbuhan tanaman akibat senyawa kimia (alelokimia) yang
dikeluarkan oleh gulma (Sembodo 2010).
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh gulma selain asosiasi secara
langsung dengan tanaman budidaya adalah peranan gulma sebagai inang alternatif
hama dan penyakit tanaman (Sembodo 2010). Menurut Mulyadi (2009) inang
alternatif merupakan suatu bahan tanaman atau organisme lain yang dapat
dimanfaatkan sebagai pengganti untuk organisme pengganggu tanaman dalam
mendapatkan bahan makanan dan melakukan aktivitas parasitisme. Nematoda
parasit tanaman merupakan salah satu patogen yang dapat memanfaatkan gulma
sebagai inang alternatif dalam perkembangbiakan dan penyebarannya di suatu
habitat budidaya tanaman. Queneherve et al. (2006) melaporkan 24 spesies gulma
sebagai inang Radopholus similis, 23 spesies inang Helicotylenchus spp., 13
spesies inang Pratylenchus spp., 13 spesies inang Hoplolaimus seinhorsti, 29
spesies inang Meloidogyne spp., dan 24 spesies inang Rotylenchulus reniformis
yang berasal dari pertanaman pisang di kebun buah-buahan Martinique.
Nematoda parasit merupakan organisme patogen yang memiliki bentuk
seperti benang memanjang atau berbentuk tabung dan kumparan. Filum nematoda
memiliki keanekaragaman terbesar kedua di antara kelompok organisme
pengganggu tanaman (OPT) setelah serangga (Dropkin 1991). Keanekaragaman
genus dan spesies nematoda parasit di negara beriklim tropik dan subtropik lebih
besar dibandingkan dengan negara beriklim sedang. Kehilangan hasil akibat
serangan nematoda parasit diperkirakan mencapai 100 milyar dollar AS dalam
periode satu tahun (Luc et al. 2001).
Nematoda puru akar (NPA), Meloidogyne spp. merupakan salah satu
nematoda parasit tanaman yang memiliki berbagai jenis inang. Khan et al. (2010)
melaporkan kehilangan ekonomi yang disebabkan serangan nematoda pada
tanaman tomat di India mencapai 27.2% dan tanaman wortel sebesar 18.2% dalam
periode satu tahun. NPA dilaporkan telah menginfestasi sentra produksi sayuran
di Pulau Jawa. Trianada (2015) melaporkan infeksi tanaman wortel yang
disebabkan M. javanica, M. incognita, dan M. arenaria di Kabupaten Cianjur.
2

Selain tanaman budidaya, NPA juga dilaporkan menginfeksi beberapa spesies


gulma yang berpotensi sebagai inang alternatif dalam perkembangbiakannya.
Singh (2009) melaporkan infeksi oleh M. javanica, M. incognita dan M. arenaria
dengan intensitas dan sebaran yang beragam pada beberapa spesies gulma di Fiji.
Beberapa jenis gulma yang dilaporkan memiliki potensi sebagai inang alternatif
NPA di antaranya Eleusine indica (Queneherve et al. 2006), Amaranthus spp.
(Singh et al. 2010), Chenopodium spp. (Tedford dan Fortnum 1988) dan
Portulaca orelacea (Burelle dan Rosskopf 2012; Gharabadiyan et al. 2012).
Informasi asosiasi nematoda parasit pada gulma yang berpotensi sebagai
inang alternatif masih sedikit dilaporkan di Indonesia sehingga perlu dilakukan
penelitian. Penelitian ini dilakukan sebagai informasi terbaru dalam bidang hama
penyakit tanaman.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi nematoda parasit yang berasosiasi


dengan beberapa jenis gulma yang berpotensi sebagai inang alternatif pada lahan
tomat, seledri, wortel, dan pembibitan wortel di Desa Ciputri, Kecamatan Pacet,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terbaru mengenai


keberadaan nematoda parasit pada beberapa jenis gulma yang berpotensi sebagai
inang alternatif di habitat tanaman budidaya khususnya tanaman tomat, seledri,
wortel, dan pembibitan wortel sehingga dapat digunakan sebagai dasar
pengendalian di lapangan.
3

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nematologi Tumbuhan,


Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sampel tanah dan akar gulma diambil dari empat lahan yang ada di kebun
percobaan IPB Pasir Sarongge (106o 42’ – 107o 25’ BT dan 6o 21’ – 7o 25’ LS),
Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Empat lahan
budidaya yang menjadi asal gulma yaitu lahan tomat, seledri, wortel, dan
pembibitan wortel. Penelitian dilaksanakan dari Agustus hingga Oktober 2016.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu bor tanah, kantung plastik, botol
film, kotak penyimpanan tanah, saringan kasar, saringan nematoda bertingkat (20,
50, 400 dan 500 mesh), tabung sentrifus, sentrifus, mikroskop stereo, mikroskop
majemuk dan kamera digital.

Bahan

Bahan yang digunakan yaitu sampel tanah di sekitar gulma yang terinfestasi
nematoda, perakaran gulma yang memiliki gejala puru (gall), akuades, laktofenol
0.03%, larutan gula 40%, FAA, cincin parafin, NaOCl dan larutan Phloxine B.

Metode Penelitian

Survei
Survei dilakukan di kebun percobaan IPB Pasir Sarongge, Desa Ciputri,
Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Pengambilan sampel gulma dilakukan di
beberapa lahan budidaya yaitu tomat, seledri, wortel dan pembibitan wortel.
Gulma yang digunakan sebagai sampel adalah gulma yang menunjukkan gejala
puru (gall) pada akar.
Survei dilakukan sebagai pendataan untuk mendapatkan informasi awal
mengenai lokasi lahan, luas lahan, ketinggian lokasi, sejarah tanaman, produksi
lahan, teknik olah tanam dan budidaya tanaman, jenis tanah, sebaran gulma dan
keberadaan gulma yang menunjukkan gejala puru (gall) pada akar. Hasil survei
diharapkan dapat menjadi informasi dasar mengenai kondisi wilayah serta
keberadaan gejala penyakit di lokasi penelitian.

Pengambilan Sampel Tanah dan Gulma


Pengambilan sampel gulma dilakukan secara purposif (purposive sampling),
yaitu memilih sampel berdasarkan kriteria spesifik gejala penyakit tanaman yang
ditemukan di lahan pengamatan. Sampel yang diambil berupa tanah yang diduga
terinfestasi nematoda parasit tanaman dan perakaran gulma yang menunjukkan
4

adanya gejala puru (gall). Sampel yang digunakan sebanyak lima gulma untuk
masing-masing spesies dikomposit dari keempat lahan pengamatan.
Sampel tanah diambil sebanyak 100 gram dengan menggunakan bor tanah
pada kedalaman 10 cm. Sampel tanah diambil pada jarak 20 cm dari gulma yang
menunjukkan gejala. Sampel tanah dimasukkan ke dalam kantung plastik dan
disimpan ke dalam kotak penyimpanan. Penyimpanan sampel diharapkan dapat
menghindari terjadinya benturan terhadap sampel sehingga tidak terjadi
pemadatan tanah yang dapat menyebabkan kematian nematoda. Sampel akar
disimpan dalam keadaan lembap pada kantung plastik yang dilapisi koran. Sampel
tersebut kemudian disimpan dalam kotak berpendingin secara terpisah untuk
menjaga kestabilan suhu.

Ekstraksi Nematoda dari Tanah


Ekstraksi nematoda dari sampel tanah dilakukan dengan metode flotasi
sentrifugasi dan modifikasi corong Baermann. Ekstraksi dengan metode
modifikasi corong Baermann dilakukan dengan menggunakan saringan yang
terbuat dari bahan plastik berdiameter 6-8 cm. Salah satu saringan dilubangi dan
dilekatkan saringan yang terbuat dari kain nilon. Kertas tisu diletakkan di dalam
saringan. Sebanyak 100 gram tanah diletakkan di atas kertas tisu. Bagian atas
sampel tanah ditutup dengan kertas tisu untuk menjaga agar tetap lembap dan
bahan tidak mengapung. Saringan berisi sampel tanah diletakkan ke dalam air
pada gelas plastik lainnya. Posisi bahan harus selalu setinggi permukaan air,
apabila tidak, maka harus ditambah air secara hati-hati di antara bagian luar
saringan dan tepi dalam gelas plastik penampung. Setelah disimpan selama satu
malam dalam ruang kedap cahaya, saringan diambil dengan hati-hati dan air di
dalam gelas plastik penampung disaring melewati saringan 500 mesh dengan
posisi agak miring (30o). Suspensi hasil saringan kemudian dapat diamati
nematodanya (Luc et al. 2001).
Metode lain yang digunakan adalah metode flotasi-sentrifugasi. Sampel
tanah diambil sebanyak 100 gram dan dibersihkan dari sampah dan kotoran
lainnya. Sampel tanah dimasukkan ke dalam wadah berisi 800 ml air bersih,
diaduk dan didiamkan selama 20 detik. Air kemudian dituang ke dalam ember
plastik B melewati saringan 20 mesh dan didiamkan selama 1 menit. Setelah itu
suspensi disaring kembali dengan saringan 50 mesh yang di bawahnya diletakkan
saringan berukuran 400 mesh dengan posisi agak miring (30o).
Suspensi nematoda hasil saringan 400 mesh disentrifugasi dengan kecepatan
1 700 rpm (rotation per minute) selama 5 menit. Suspensi dalam tabung dibuang,
endapan tanah dan nematoda parasit ditambahkan dengan larutan gula (40%),
dikocok dan kemudian disentrifugasi kembali selama 1 menit. Suspensi disaring
dengan saringan 500 mesh, lalu dibilas dengan air dan ditampung ke dalam botol
koleksi untuk diidentifikasi dan dihitung jumlah nematoda di bawah mikroskop
stereo dengan perbesaran 400x (Luc et al. 2001).

Ekstraksi Nematoda dari Akar


Ekstraksi nematoda dari sampel akar dilakukan dengan menggunakan
metode pengabutan (mist chamber). Akar gulma sebanyak 5 gram dibersihkan
dengan air kemudian akar dipotong-potong sepanjang ±1 cm . Akar disimpan di
atas saringan kasar dengan diameter 100 µm , lalu diletakkan di atas corong yang
5

di bawahnya terdapat gelas plastik untuk menampung suspensi nematoda.


Nematoda yang tertampung pada gelas plastik disimpan di dalam tempat
pengabutan selama 48 jam. Setelah itu, nematoda dipanen dengan menyaring
nematoda menggunakan saringan 500 mesh dengan posisi agak miring (30o).
Nematoda yang tersaring dalam saringan dipindahkan dan disimpan dalam botol
koleksi untuk pengamatan selanjutnya (Luc et al. 2001).

Penghitungan Nematoda
Suspensi nematoda diletakkan pada cawan sirakus, kemudian jumlah
nematodanya dihitung di bawah mikroskop stereo dengan perbesaran 40x.
Nematoda yang dihitung adalah yang bersifat parasit. Jumlah sampel diambil 1 ml
tiap perhitungan dan dilakukan lima kali ulangan. Data yang diperoleh merupakan
hasil penghitungan jumlah nematoda per 5 gram akar gulma dan jumlah nematoda
per 100 gram tanah.

Pembuatan Preparat Nematoda Semipermanen


Suspensi nematoda dari tanah dan akar dipindahkan ke dalam cawan
sirakus dan diberi larutan FAA dengan perbandingan volume 1:1. Cincin parafin
dicetak di atas gelas objek. Laktofenol 0.03% diteteskan di tengah cincin parafin
yang telah dicetak. Nematoda pada suspensi hasil ekstraksi akar dan tanah dikait,
diletakkan di atas gelas preparat, kemudian ditutup dengan gelas penutup.
Preparat dipanaskan di atas pemanas bunsen selama 5 detik agar parafin mencair.
Setelah parafin mengering, tepi gelas penutup diberi kutek dan nematoda dapat
dihitung dan diidentifikasi (Luc et al. 2001).

Identifikasi Nematoda Berdasarkan Morfologi


Nematoda diidentifikasi dengan pengamatan ciri-ciri morfologi yang terlihat
dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 100 – 400x. Identifikasi
nematoda dilakukan dengan menggunakan buku pedoman Plant Parasitic
Nematodes: a Pictorial Key to Genera (May et al. 1996) dan Nematology
(Eisenback 2003).

Identifikasi Meloidogyne Berdasarkan Pola Perineal


Metode pengamatan pola perineal mengikuti prosedur Eisenback (2003).
Identifikasi spesies Meloidogyne dilakukan dengan mengamati pola perineal atau
sidik pantat nematoda betina. Akar gulma yang menunjukkan gejala puru (gall)
dicuci untuk menghilangkan partikel tanah yang menempel. Puru dipisahkan ke
dalam wadah yang telah terisi air dan direndam selama 3 hari agar melunak dan
menghindari kerusakan nematoda betina pada saat pembedahan puru. Setelah puru
melunak, dibedah secara hati-hati dan nematoda betina dipindahkan ke dalam
cawan sirakus yang berisi asam cuka. Perendaman nematoda betina dengan asam
cuka dilakukan selama 24 jam. Asam cuka digunakan untuk melunturkan lemak
pada tubuh nematoda betina.
6

Gambar 1 Teknik pembuatan preparat semi permanen pola perineal nematoda


betina Meloidogyne (Eisenback 2003).
Nematoda betina yang telah direndam asam cuka dipindahkan ke kaca
preparat. Bagian anterior dipotong dengan pisau bedah (scalpel blade), kemudian
bagian posterior ditekan untuk mengeluarkan sisa kotoran dan lemak dari dalam
tubuh nematoda. Potongan direndam dalam laktofenol 0.03% dan dibiarkan
selama 24 jam. Bagian posterior disayat dan jaringan di dalam dibuang secara
hati-hati, kemudian dipindahkan ke gelas objek lain dengan ditetesi laktofenol dan
ditutup dengan gelas penutup. Pada bagian posterior akan terlihat pola perineal
yang dapat digunakan untuk menentukan spesies Meloidogyne. Preparat pola
perineal nematoda dilihat di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x
dan diamati ciri morfologinya untuk menentukan spesies nematoda.

Pewarnaan Nematoda pada Jaringan Akar Tanaman


Sampel akar gulma yang menunjukkan gejala puru diambil sebanyak 1
gram. Akar dibersihkan dari kotoran tanah yang menempel, kemudian dipotong-
dipotong dengan panjang 1 cm. Potongan akar direndam dalam air yang diberi
larutan NaOCl dengan perbandingan volume 2:3 selama 4 menit. Akar yang telah
direndam dibilas dengan air yang mengalir selama 45 detik kemudian direndam
dalam air selama 15 menit dan dibilas agar bau NaOCl hilang.
Pewarnaan akar dilakukan dengan menggunakan larutan pewarna (formulasi
3.5 gram asam fuchsin, 250 ml asam asetat dan 750 ml akuades). Larutan pewarna
didihkan, kemudian akar dimasak dalam larutan pewarna selama 30 detik pada
penangas. Larutan pewarna dibuang, akar didingankan dan dibilas dengan air
mengalir. Akar diberi larutan gliserin sebanyak 30 ml dan HCl 2 tetes, kemudian
dipanaskan sampai warna pada akar terlarut dan akar terlihat bersih. Hasil
pewarnaan akar didinginkan dan dibiarkan selama 1 minggu agar warna pada
nematoda lebih terang dibandingkan dengan akar. Akar yang telah diwarnail
diletakkan beberapa potong secara vertikal, ditutup dengan gelas penutup dan fase
perkembangbiakan nematoda siap diamati.
7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Kabupaten Cianjur

Kabupaten Cianjur secara geografi terletak pada koordinat 106o 42’ – 107o
25’ BT dan 6o 21’ – 7o 25’ LS dengan luas wilayah 361.434.98 hektar. Kabupaten
Cianjur berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta di
sebelah utara, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut di sebelah timur,
Samudera Hindia di sebelah selatan serta Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten
Bogor di sebelah barat. Ketinggian wilayah Kabupaten Cianjur berkisar dari 7
hingga 2 962 m dpl. Wilayah dengan letak tertinggi yaitu Kecamatan Cipanas dan
Pacet dengan ketinggian berkisar dari 1 080 hingga 2 962 m dpl.
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu sentra pertanian di provinsi Jawa
Barat. Luas lahan pertanian pada tahun 2013 mencapai 350 148 hektar yang
terdiri atas 65 909 hektar lahan sawah dan 284 329 hektar lahan bukan sawah.
Wilayah Cianjur Selatan (Kecamatan Kadupandak, Pagelaran, Agrabinta dan
Cibeber) didominasi oleh lahan sawah. Wilayah Cianjur Utara (kawasan Puncak,
Kecamatan Pacet dan Cipanas) didominasi oleh lahan tanaman hortikultura.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kemiringan dan ketinggian wilayah.
Wilayah Cianjur Selatan terletak pada ketinggian 7 hingga 1 250 m dpl sedangkan
wilayah Cianjur Utara terletak pada ketinggian 1 080 hingga 2 962 m dpl (BPS
2015).

Keadaan Umum Kebun Percobaan Pasir Sarongge

Kebun percobaan Pasir Sarongge terletak di Desa Ciputri, Kecamatan Pacet,


Kabupaten Cianjur. Pasir Sarongge berbatasan dengan Desa Leuwibuleud di
sebelah timur, Desa Bulakan di sebelah selatan, Desa Ciakar di sebelah Barat dan
Desa Cilimus di sebelah utara. Kebun percobaan Pasir Sarongge berada pada
ketinggian 1 000 m dpl dengan suhu rata-rata berkisar 17-26 oC. Jenis tanah di
kebun percobaan Pasir Sarongge adalah tanah andosol.
Kebun percobaan Pasir Sarongge memiliki lahan total seluas 71 300 m2.
Luas lahan yang efektif berkisar 50 000 m2 yang digunakan untuk kegiatan
pendidikan, penelitian dan juga lahan komersil yang dikelola oleh petani di sekitar
kebun percobaan. Umumnya tanaman yang ditanam di kebun percobaan adalah
tanaman hortikultura dan tanaman pangan seperti tomat, wortel, selederi, kubis,
asparagus, dan jagung (UF IPB 2016).

Gejala Penyakit dan Distribusi Gulma yang Terinfeksi Nematoda Parasit

Gejala Penyakit
Asosiasi nematoda dengan tanaman dapat memengaruhi proses fotosintesis,
transpirasi, dan status hara tanaman (Melakeberhan et al. 1987). Serangan pada
gulma menunjukkan pengaruh yang sama seperti pada tanaman budidaya
umumnya yang terinfestasi oleh nematoda parasit. Infestasi nematoda pada gulma
mengakibatkan munculnya gejala primer dan sekunder. Gejala primer yang timbul
pada akar gulma berupa puru akar (root knot). Hasil pengamatan di lahan
8

menunjukkan gejala dominan pada gulma yaitu adanya puru akar yang disebabkan
oleh nematoda puru akar Meloidogyne spp. (Gambar 2a). Dominasi gejala puru
pada gulma memiliki korelasi dengan populasi nematoda puru akar yang lebih
tinggi di antara seluruh genus nematoda parasit yang ditemukan. Tipe puru yang
muncul berbentuk bulat dan berukuran kecil. Gejala ini memiliki kesamaan
dengan gejala yang terdapat pada tanaman wortel di Desa Ciputri (Trianada
2015). Gejala sekunder di atas permukaan yang terlihat yaitu daun menguning dan
layu (Dropkin 1991). Gambar 2b menunjukkan daun gulma menguning dan layu.
Gejala sekunder yang terlihat disebabkan oleh Meloidogyne spp. dan nematoda
parasit lainnya.

a b c d
a

e f g h

Gambar 2 Gejala yang ditemukan pada gulma babadotan. a) Puru akar (root knot)
pada A. conyzoides, b) daun menguning dan layu, c) puru akar pada A.
haustonianum, d) puru akar pada P. orelacea, e) puru akar pada E.
indica, f) puru akar pada A. spinosus, g) puru akar pada B. alata, h)
puru akar pada B. laevis.
Gulma yang terinfeksi oleh nematoda puru akar (NPA) ditemukan pada
keempat lahan tanaman budidaya yang diamati. Gulma yang ditemukan
berasosiasi dengan NPA adalah Ageratum conyzoides, Ageratum haustonianum,
Portulaca orelacea, Eleusine indica, Amaranthus spinosus, Borreria laevis, dan
Borreria alata (Gambar 3). Gejala puru akar yang diamati pada ketujuh spesies
gulma yang berasosiasi dengan nematoda parasit berukuran kecil. Ukuran puru
yang timbul pada akar dipengaruhi oleh umur gulma dan lama asosiasi gulma
dengan nematoda parasit yang berkisar 3 minggu. Waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan satu siklus hidup dari larva stadia dua ke generasi selanjutnya
berkisar dari 6 hingga 8 minggu (Singh 2009).
9

a b c d

e f g
a
Gambar 3 Spesies gulma yang berasosiasi dengan nematoda parasit tanaman. a)
A. conyzoides, b) A. haustonianum, c) P. orelacea, d) E. indica, e) A.
spinosus, f) B. alata. g) B. laevis.

Distribusi Gulma
Keragaman gulma yang berasosiasi dengan NPA tertinggi ditemukan pada
lahan seledri. Gulma yang ditemukan berasosiasi dengan NPA pada lahan seledri
yaitu Ageratum conyzoides, Portulaca orelacea, Eleusine indica, Amaranthus
spinosus, dan Borreria alata. Keragaman gulma yang paling rendah terdapat pada
lahan wortel. Gulma yang ditemukan berasosiasi dengan NPA pada lahan wortel
yaitu Ageratum conyzoides, Borreria alata, dan Borreria laevis (Tabel 1).

Tabel 1 Distribusi gulma yang terinfeksi nematoda parasit pada lahan tomat,
seledri, wortel, dan pembibitan wortel di kebun percobaan Pasir
Sarongge
Lahan Gulma yang terinfeksi nematoda parasit
Tomat A. conyzoides, A. haustonianum, P. orelacea, A. spinosus,
Seledri A. conyzoides, P. orelacea, A. spinosus, E. indica, B. alata
Wortel A. conyzoides, B. alata, B. laevis
Pembibitan wortel A. conyzoides, A. haustonianum, P. orelacea, B. laevis

Spesies gulma yang banyak ditemukan berasosiasi dengan nematoda puru


akar Meloidogyne spp. yaitu A. conyzoides (Tabel 1). Sebaran A. conyzoides
merata di seluruh lahan yang ada di kebun percobaan dan berstatus sebagai gulma
dominan. Selain A. conyzoides gulma lain yang dominan ditemukan di kebun
percobaan yaitu A. spinosus, P. orelacea, dan B. laevis. Salah satu faktor yang
memengaruhi dominansi gulma di suatu lahan karena adanya seed bank. Seed
bank merupakan propagul gulma dalam bentuk biji, stolon atau rimpang yang
akan berkembang menjadi individu gulma pada kondisi lingkungan yang
10

mendukung (Sembodo 2010). Menurut Siahaan et al. (2014) kedalaman seed bank
memengaruhi jumlah gulma yang tumbuh. Seed bank gulma A. conyzoides yang
berasal dari kedalaman 0-5 cm menunjukkan tingkat perkembangan yang tinggi
menjadi individu gulma.
Penyebaran dan dominasi gulma di suatu areal pertanian dipengaruhi oleh
kegiatan budidaya pertanian yang dilakukan di lahan pengamatan. Aktivitas
budidaya seperti olah tanah yang dilakukan oleh petani membantu mengangkat
biji gulma ke atas permukaan tanah. Menurut Fadhly dan Tabri (2008)
perkecambahan gulma meningkat dengan terangkatnya biji gulma ke atas
permukaan tanah dan kelembapan yang sesuai. Lahan wortel menunjukkan
kondisi dengan sebaran gulma yang rendah (Gambar 4). Hal ini dipengaruhi oleh
intensitas penyiangan yang dilakukan oleh petani dalam periode 2 minggu.
Perbedaan yang kontras terlihat pada lahan tomat, seledri, dan pembibitan wortel
dengan sebaran gulma lebih merata di permukaan lahan (Gambar 4). Penyebaran
gulma yang merata disebabkan oleh intensitas penyiangan yang dilakukan oleh
petani dalam periode 1 bulan.

a b

c d

Gambar 4 Kondisi lahan dan sebaran gulma di lahan pengamatan. a) Lahan


tomat, b) lahan seledri, c) lahan wortel, d) lahan pembibitan wortel.

Fitonematoda Hasil Ekstraksi yang Ditemukan

Nematoda pada Sampel Tanah


Ekstraksi sampel tanah dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu
metode flotasi-sentrifugasi dan modifikasi corong Baermann. Berdasarkan hasil
ekstraksi sampel pada tanah ditemukan tujuh genus yang berasosiasi dengan
gulma pada empat lahan di kebun percobaan Pasir Sarongge yaitu lahan tomat,
seledri, wortel, dan pembibitan wortel. Ketujuh genus nematoda tersebut yaitu
Meloidogyne, Helicotylenchus, Pratylenchus, Rotylenchulus, Hoplolaimus,
Criconemoides, dan Scutellonema.
11

Tabel 2 Jumlah nematoda per 100 gram sampel tanah pada gulma di lahan tomat,
seledri, wortel, dan pembibitan wortel dengan metode flotasi-sentrifugasi
dan modifikasi corong Baermann
Jumlah nematoda
Metode flotasi-sentrifugasia Metode corong Baermanna
Nematoda
Lahan Lahan
a
T S W PW T S W PW
Meloidogyne 52 65 43 22 45 48 32 26
Helicotylenchus 16 8 13 6 5 6 6 7
Pratylenchus 4 3 2 2 1 2 1 0
Rotylenchulus 11 13 16 11 14 4 10 5
Hoplolaimus 4 15 8 13 8 9 5 9
Criconemoides 7 1 5 3 1 0 1 0
Scutellonema 2 0 0 1 0 0 0 0
a
T = tomat, S = seledri, W = wortel, PW = pembibitan wortel

Hasil ekstraksi sampel tanah menunjukkan kelimpahan populasi


Meloidogyne lebih tinggi dibandingkan genus nematoda parasit lainnya yang
ditemukan (Tabel 2). Meloidogyne yang banyak ditemukan merupakan larva
stadia dua. Larva stadia dua bersifat infektif dan aktif bergerak di dalam tanah
maupun dalam jaringan tanaman (Mulyadi 2009). Larva Meloidogyne mampu
bertahan di dalam tanah selama beberapa tahun tanpa keberadaan inang. Menurut
Dropkin (1991), larva yang infektif menyimpan lipida dalam jumlah yang banyak
sebagai cadangan makanan pada saat aktif bergerak mencari tanaman inang.
Kemampuan larva Meloidogyne untuk bertahan hidup juga didukung dengan
adanya relung pada tanah yang ditemukan larva pada kondisi tanpa inang utama.
Relung tersebut berada di remahan tanah yang melindungi larva dari dampak
kekeringan selama tinggal inaktif dengan tekanan oksigen yang rendah. Kondisi
seperti ini didukung oleh jenis tanah di kebun pengamatan yang memiliki tipe
tanah andosol. Menurut BBSDLP (2014) tanah andosol memiliki struktur remah
dan kadar bahan organik yang tinggi.
Ekstraksi sampel tanah dilakukan dengan menggunakan 2 metode yang
berbeda untuk membandingkan tingkat efektivitas di antara kedua metode
ekstraksi. Hasil ekstraksi nematoda pada sampel tanah dengan menggunakan
metode flotasi-sentrifugasi menunjukkan hasil yang lebih efektif dibandingkan
metode modifikasi corong Baermann. Menurut Luc et al. (2001) hal ini
disebabkan oleh tingkat mobilitas nematoda. Ekstraksi sampel tanah dengan
menggunakan metode flotasi-sentrifugasi tidak bertumpu pada mobilitas
nematoda sehingga efektif digunakan untuk ekstraksi nematoda dengan mobilitas
rendah, nematoda yang sudah mati atau nematoda yang mengikatkan diri pada
relung tanah.

Nematoda pada Sampel Akar


Hasil ekstraksi nematoda dari sampel akar menunjukkan adanya asosiasi
beberapa spesies gulma dengan nematoda parasit. Terdapat tujuh spesies gulma
12

yang berasosiasi dengan nematoda parasit yaitu A. conyzoides, B. alata, P.


orelacea, E. indica, A. spinosus, A. haustonianum, dan B. laevis. Beberapa genus
nematoda parasit yang ditemukan berasosiasi dengan gulma di lahan pengamatan
yaitu Meloidogyne, Pratylenchus, Rotylenchulus, Hoplolaimus, Helicotylenchus,
Scutellonema, dan Tylenchulus.
Kelimpahan nematoda parasit hasil ekstraksi sampel akar dengan
menggunakan metode mist chamber menunjukkan jumlah rata-rata tertinggi pada
genus Meloidogyne (Gambar 5). Meloidogyne yang banyak ditemukan berupa
larva stadia dua. Menurut Mulyadi (2009) larva stadia dua merupakan satu-
satunya stadia yang bersifat infektif dan aktif bergerak. Larva stadia dua
melakukan penetrasi ke dalam akar di jaringan yang berada di belakang ujung
akar yang sedang mengalami pertumbuhan. Aktivitas infeksi kemudian mencapai
sel di daerah korteks untuk menemukan tempat makan (feeding site). Larva
menggunakan stilet untuk merusak dinding sel di sekitarnya dan juga
mengeluarkan sekresi dari kelenjar esofagus yang menyebabkan terbentuknya sel-
sel raksasa (giant cell) sebagai sumber makanan.

Gambar 5 Jumlah nematoda dalam 5 gram akar pada beberapa spesies gulma di
lahan tomat, seledri, wortel, dan pembibitan wortel yang ada di kebun
percobaan Pasir Sarongge.
Genus Tylenchulus menunjukkan jumlah rata-rata paling rendah di antara
ketujuh genus nematoda parasit yang ditemukan pada sampel akar gulma (Gambar
5). Penyebaran Tylenchulus terbatas dan bergantung pada keberadaan inang
utama. Menurut Dropkin (1991) terdapat beberapa ras Tylenchulus dengan kisaran
inang berbeda dan satu di antaranya hanya dapat berbiak pada rumput. Niko et al.
(2002) melaporkan penyebaran Tylenchulus yang sangat terbatas di daerah
Spanyol bagian selatan. Faktor lain yang memengaruhi kepadatan populasi
Tylenchulus yaitu temperatur. Temperatur udara di kebun percobaan berkisar 15
hingga 25 oC. Rahman et al. (2008) melaporkan penurunan kepadatan populasi
Tylenchulus di New South Wales pada musim dingin.
Ektraksi sampel akar dilakukan dengan mencampur akar beberapa gulma
dalam satu spesies yang sama secara komposit dari keempat lahan pengamatan.
Pencampuran sampel akar ini diharapkan dapat memberikan informasi
penyebaran dan asosiasi spesies gulma dengan nematoda parasit secara spesifik.
A. conyzoides, A. spinosus, dan B. laevis menunjukkan tingkat asosiasi yang
13

paling tinggi dengan nematoda parasit berdasarkan jumlah rata-rata nematoda


parasit yang ditemukan pada sampel akar yang diekstraksi. Ketiga spesies gulma
ini juga memiliki sebaran yang lebih tinggi di keempat lahan dan menjadi gulma
dominan di kebun percobaan Pasir Sarongge. Asosiasi gulma dengan nematoda
parasit dipengaruhi oleh umur gulma yang diamati. Umur gulma yang digunakan
dalam pengamatan berkisar 10-25 hari. Umur gulma menentukan ketahanan akar
terhadap penetrasi yang dilakukan oleh nematoda parasit. Menurut Anwar et al.
(2009) Pratylenchus dapat lebih mudah bereproduksi dan melakukan penetrasi
pada gulma yang memiliki tekstur akar lembut.

Meloidogyne
Meloidogyne disebut nematoda puru akar (root knot nematode) karena
menimbulkan gejala puru atau bengkak pada tanaman inang yang diserang
(Mulyadi 2009). Menurut Dropkin (1991) nematoda betina dewasa memiliki
bentuk khas menyerupai botol, leher pendek, dan tidak memiliki ekor. Nematoda
jantan dewasa berbentuk silindris memanjang (vermiform) dan bergerak lambat di
dalam tanah.

b c

Gambar 6 Morfologi larva Meloidogyne stadia dua. a) Bentuk tubuh keseluruhan


b) bagian tubuh anterior, dan c) bagian tubuh posterior.
Meloidogyne yang banyak ditemukan berasosiasi dengan gulma berupa
larva stadia dua. Larva stadia dua berbentuk seperti cacing silindris memanjang.
Bagian anterior menunjukkan ciri kepala membulat dan memiliki stilet lemah
dengan knob stilet yang jelas. Bagian posterior menunjukkan ciri ekor panjang
meruncing dengan ujung terlihat keriting dan jelas (Gambar 6).
Kelimpahan jumlah Meloidogyne ditemukan lebih banyak di antara
nematoda parasit lainnya. Meloidogyne memiliki kisaran inang yang luas baik
tanaman budidaya maupun gulma. Singh (2009) melaporkan 25 spesies gulma
yang berperan baik sebagai inang alternatif di antara 45 spesies yang dapat
14

berperan sebagai inang Meloidogyne di Fiji. Keberadaan tanaman inang utama


pada lahan pengamatan memengaruhi perkembangan dan penyebaran
Meloidogyne. Trianada (2015) melaporkan adanya serangan Meloidogyne pada
tanaman wortel di Desa Ciputri yang menyebabkan gejala umbi bercabang. Faktor
lain yang juga memengaruhi kelimpahan Meloidogyne yaitu temperatur.
Temperatur di kebun percobaan Pasir Sarongge berada di kisaran 18-26 oC dan
sesuai dengan syarat bioekologi Meloidogyne. Menurut Morris et al. (2011)
temperatur 15-25 oC sangat cocok untuk mendukung perkembangan larva stadia
satu menjadi larva stadia dua.

Pratylenchus
Pratylenchus disebut sebagai nematoda luka akar (root-lesion nematodes).
Serangan pada tanaman inang menimbulkan luka berwarna kuning yang akan
berubah menjadi cokelat dan pembusukan akar lateral (Mulyadi 2009). Gejala
serangan Pratylenchus tidak terlihat pada akar gulma. Hal ini disebabkan karena
kerusakan tanaman di dalam jaringan relatif sulit untuk diamati dan kelimpahan
populasi Pratylenchus yang rendah. Pratylenchus yang ditemukan berasosiasi
dengan gulma menunjukkan ciri morfologi yang khas pada bagian ujung anterior
kepala (bibir) yang mendatar, stilet pendek dan kuat dengan basal knob yang jelas
(Gambar 7).

b c

Gambar 7 Morfologi Pratylenchus juvenil. a) Bentuk tubuh keseluruhan, b)


bagian tubuh anterior, c) bagian tubuh posterior.
Menurut Luc et al. (2001) Pratylenchus merupakan nematoda yang bersifat
endoparasit berpindah dan umumnya seluruh stadia perkembangan terjadi di
dalam jaringan korteks tanaman inang. Pratylenchus memiliki kisaran inang yang
luas. Selain tanaman budidaya, Gast et al. (1984) melaporkan asosiasi
Pratylenchus dengan tujuh spesies gulma pada lahan budidaya kacang hijau.
Kelimpahan populasi Pratylenchus pada gulma ditemukan dalam jumlah yang
15

rendah. Perkembangan Pratylenchus pada akar gulma sangat dipengaruhi oleh


kondisi tanaman inang di lahan. Tanaman inang pada lahan asal gulma yang
diamati menunjukkan pertumbuhan yang baik. Menurut Dropkin (1991)
Pratylenchus berkembang biak lebih baik pada akar tanaman yang
pertumbuhannya tidak baik dan ketersediaan zat makanan minimum.

Helicotylenchus
Helicotylenchus disebut juga sebagai nematoda spiral karena memiliki
bentuk spiral setelah diberi perlakuan panas (kondisi mati), namun terkadang juga
berbentuk seperti huruf C (Luc et al. 2001). Helicotylenchus yang ditemukan
berasosiasi dengan akar gulma menunjukkan ciri morfologi berbentuk spiral pada
fase istirahat, bagian kepala berbentuk kerucut tumpul, stilet panjang dan kuat
dengan knob berbentuk bulat atau seperti mangkuk, ekor pendek dengan bagian
dorsal seperti kerucut, ujung ekor terdapat tonjolan, dan vulva terletak pada 70%
terhadap total panjang tubuh (Gambar 8).

b c

Gambar 8 Morfologi Helicotylenchus dewasa. a) Bentuk tubuh keseluruhan, b)


bagian tubuh anterior, c) bagian tubuh posterior.
Menurut Luc et al. (2001) Helicotylenchus merupakan nematoda yang
bersifat sebagai ektoparasit, semi-endoparasit, dan endoparasit. Seluruh stadium
nematoda ini dapat ditemukan di dalam jaringan korteks akar. Gejala yang
ditimbulkan berupa luka-luka kecil yang kemudian berkembang menjadi nekrosis
setelah invasi sekunder. Asosiasi Helicotylenchus dengan gulma di kebun
percobaan Pasir Sarongge tidak menunjukkan gejala pada permukaan akar gulma.
Hal ini disebabkan karena Helicotylenchus umumnya menimbulkan gejala di
dalam jaringan akar. Tzortzakakis (2008) melaporkan gejala nekrosis hitam yang
luas pada jaringan epidermis dan korteks tanaman pisang. Selain itu kelimpahan
populasi Helicotylenchus di akar gulma yang rendah berpengaruh terhadap
kerusakan yang ditimbulkan pada akar gulma. Menurut Dropkin (1991)
16

Helicotylenchus merupakan patogen yang lemah secara individu namun dapat


menyebabkan kerusakan yang cukup parah pada tingkat populasi lebih tinggi.

Rotylenchulus
Rotylenchulus disebut juga nematoda reniform karena bentuk betina yang
menyerupai ginjal dan bersifat semiendoparasit menetap (Dropkin 1991).
Rotylenchulus yang ditemukan berasosiasi dengan akar gulma merupakan larva
stadia dua. Larva stadia dua Rotylenchulus yang ditemukan memiliki bentuk
melengkung ke arah ventral seperti huruf C pada saat istirahat. Bentuk kepala
berbentuk kerucut dengan ujung yang membulat dan tidak ada batasan lekukan
antara kepala dengan tubuh posterior (not set off). Rotylenchulus memiliki stilet
tipe stomato stylet yang berukuran pendek dengan basal knob membulat. Bagian
posterior menunjukkan ekor yang meruncing agak membulat (Gambar 9).

b c
Gambar 9 Morfologi Rotylenchulus juvenil. a) Bentuk tubuh keseluruhan, b)
bagian tubuh anterior, c) bagian tubuh posterior.
Menurut Dropkin (1991) Rotylenchulus memiliki kisaran inang yang luas
dan menyebar di negara-negara beriklim tropis. Gejala yang ditimbulkan secara
mikroskopis tampak adanya perkembangan sinsitas di jaringan akar tempat
nematoda makan (feeding site) dan akar terinfeksi mengalami nekrosis (Mulyadi
2009). Hasil pengamatan pada akar gulma tidak menunjukkan adanya gejala
makroskopis berupa nekrosis akar. Hal ini dipengaruhi oleh kelimpahan populasi
Rotylenchulus yang rendah pada akar gulma. Kelimpahan populasi Rotylenchulus
dipengaruhi oleh tipe tanah (berlempung), kedalaman tanah tempat perakaran
gulma berkembang, dan temperatur udara di kebun percobaan yang tidak
mendukung perkembangan dan penyebaran nematoda. Tanah di kebun percobaan
memiliki tipe andosol (berlempung) dan akar gulma berada pada kedalaman 20
cm. Robinson et al. (2005) melaporkan kelimpahan populasi Rotylenchulus yang
rendah pada tanah berlempung dan kelimpahan populasi Rotylenchulus yang
tinggi pada kedalaman tanah kurang dari 30 cm.
17

Hoplolaimus
Nematoda ini sering disebut sebagai nematoda lembing karena memiliki
stilet dan kerangka kepala yang kuat (Dropkin 1991). Hoplolaimus yang
ditemukan berasosiasi dengan akar gulma berbentuk silindris, agak gemuk, dan
panjang. Bagian anterior memiliki ciri khas kerangka kepala yang tebal dengan
bibir yang berlekuk, stilet kuat dan panjang dengan knob yang besar serta kelenjar
esofagus tumpang tindih dengan usus pada bagian dorsal dan lateral. Anulasi
kutikula tampak jelas dengan empat atau beberapa garis lateral. Bagian posterior
menunjukkan ciri ekor yang membulat dengan anulasi yang meluas sampai ke
ujung (Gambar 10).
Menurut Dropkin (1991) sebagian besar anggota genus Hoplolaimus
merupakan nematoda yang bersifat ektoparasit. Hoplolaimus memiliki kisaran
inang yang luas termasuk gulma. Hasil ekstraksi nematoda menunjukkan populasi
yang rendah sesuai dengan yang dilaporkan oleh Gazaway dan McClean (2003).
Kelimpahan populasi yang rendah memengaruhi tingkat kerusakan serangan pada
akar gulma. Akar gulma tidak menunjukkan adanya gejala serangan yang
diakibatkan oleh Hoplolaimus. Settle et al. (2006) melaporkan adanya pengaruh
temparatur terhadap kelimpahan populasi Hoplolaimus. Kelimpahan populasi
Hoplolaimus mengalami penurunan yang tajam pada temparatur rendah.

b c

Gambar 10 Morfologi Hoplolaimus dewasa. a) Bentuk tubuh keseluruhan, b)


bagian tubuh anterior, c) bagian tubuh posterior.

Scutellonema
Scutellonema yang ditemukan berasosiasi dengan akar gulma yaitu dewasa
betina. Nematoda ini umumnya berbentuk seperti huruf C atau spiral terbuka pada
kondisi mati atau fase istirahat. Bagian anterior menunjukkan ciri kepala berlekuk
berbentuk setengah bola. Stilet kuat dan panjang dengan knob yang jelas
berbentuk bulat. Anulasi kutikula terlihat jelas dengan garis lateral. Kelenjar
esofagus sedikit tumpang tindih dengan usus bagian dorsal. Bagian posterior
menunjukkan ciri ekor yang lebar membulat dengan anulasi yang melingkari
18

seluruh bagian ekor. Vulva terletak di belakang pertengahan panjang tubuhnya


(Gambar 11).
Scutellonema merupakan hama penting tanaman pertanian di daerah tropis
dan umumnya bersifat ektoparasit (Dropkin 1991). Nematoda ini umumnya
menyerang tanaman yang berumbi. Asosiasi Scutellonema dengan akar gulma
tidak menunjukkan gejala di permukaan. Hal ini dipengaruhi oleh kelimpahan
populasi Scutellonema yang rendah pada akar gulma. Menurut Baimey (2005)
kelimpahan populasi yang rendah tidak menimbulkan gejala serangan eksternal
pada umbi ubi rambat. Coyne et al. (2011) juga melaporkan jumlah nematoda
yang lebih tinggi menyebabkan kesehatan umbi kentang menurun. Kelimpahan
populasi Scutellonema yang rendah dipengaruhi oleh sejarah budidaya tanaman
inang di kebun percobaan dengan sistem rotasi tanaman sayuran dengan singkong
dalam rentang waktu yang cukup lama.

b c

Gambar 11 Morfologi Scutellonema dewasa. a) Bentuk tubuh keseluruhan, b)


bagian tubuh anterior, c) bagian tubuh posterior.

Tylenchulus
Tylenchulus yang ditemukan berasosiasi dengan akar gulma memiliki
ukuran tubuh yang kecil berbentuk silindris seperti cacing. Bagian anterior
menunjukkan ciri kepala lurus membulat. Stilet berukuran sedang dengan basal
knob yang membulat. Bagian posterior menunjukkan ciri ekor berbentuk kerucut
dan meruncing. Spikula sedikit melengkung tanpa bursa (Gambar 12).
Tylenchulus dikenal sebagai parasit utama pada tanaman jeruk (Mulyadi
2009). Berdasarkan hasil pengamatan tidak ditemukan gejala yang ditimbulkan
oleh asosiasi Tylenchulus dengan akar gulma. Hal ini dipengaruhi oleh
kelimpahan populasi Tylenchulus yang paling sedikit di antara seluruh genus yang
ditemukan pada akar gulma. Tingkat populasi yang rendah dipengaruhi oleh
keberadaan inang utama dan temperatur di kebun percobaan. Keberadaan satu
pohon jeruk di tepi lahan wortel diduga menjadi tempat makan (feeding site) asal
Tylenchulus. Perkembangbiakan Tylenchulus tidak didukung oleh keadaan
19

temperatur yang rendah di kebun percobaan. Rahman et al. (2008) melaporkan


kelimpahan populasi Tylenchulus lebih tinggi pada saat musim panas.

b c
Gambar 12 Morfologi Tylenchulus dewasa. a) Bentuk tubuh keseluruhan, b)
bagian tubuh anterior, c) bagian tubuh posterior.

Nematoda Non-Parasit
Hasil ekstraksi pada sampel tanah dan akar gulma dengan menggunakan
teknik flotasi-sentrifugasi, pengabutan (mist chamber), dan modifikasi corong
Baermann ditemukan nematoda yang bersifat parasit dan non-parasit. Menurut
Mulyadi (2009) nematoda yang bersifat sebagai non-parasit berjumlah sekitar
25% dari jumlah total nematoda yang ada. Nematoda non-parasit berperan sebagai
predator bakteri dan cendawan serta entomopatogen. Steinernema dan
Heterorhabditis merupakan 2 genus nematoda predator yang telah banyak
dimanfaatkan dalam pengendalian hayati hama tanaman. Nematoda non-parasit
memiliki ciri khas yaitu pergerakan yang lebih aktif dan cepat dibandingkan
dengan nematoda parasit yang bergerak lebih lambat. Bentuk tubuh dan alat mulut
merupakan ciri morfologi yang membedakan nematoda non-parasit dan nematoda
parasit. Nematoda non-parasit memiliki bentuk tubuh yang lebih besar dan alat
mulut berbentuk seperti corong yang tidak memiliki stilet (Gambar 13).

Gambar 13 Nematoda non-parasit hasil ekstraksi sampel tanah dan akar gulma.
20

Siklus Hidup Nematoda Puru Akar Meloidogyne Hasil Pewarnaan Akar

Menurut Mulyadi (2009) nematoda puru akar Meloidogyne melakukan


reproduksi secara partenogenesis. Pertumbuhan dan perkembangan nematoda
puru akar dimulai dari pertumbuhan embrio dalam telur (embriogenesis). Embrio
berkembang menjadi larva stadia satu di dalam telur dan mengalami pergantian
kulit pertama menjadi larva stadia dua. Larva stadia dua bersifat infekstif dan aktif
bergerak di dalam tanah maupun di jaringan tanaman. Larva melakukan infeksi
pada tanaman inang dengan menggunakan stilet dan menimbulkan sel-sel raksasa
(giant cell) di daerah korteks sebagai sumber makanan. Selama proses
pembentukan sel-sel raksasa dan puru akar, larva stadia dua mengalami perubahan
bentuk membesar seperti botol (flask-shaped). Larva stadia dua mengalami
pergantian kulit kedua, ketiga dan keempat berkembang menjadi nematoda betina
yang memiliki bentuk seperti buah alpukat. Perkembangan nematoda jantan
terjadi setelah pergantian kulit ketiga. Pada tubuh larva stadia tiga terbentuk tubuh
nematoda silindris memanjang (vermiform) yang dilengkapi dengan bagian tubuh
nematoda jantan. Singh (2009) melaporkan nematoda puru akar membutuhkan
waktu berkisar 6 sampai 8 minggu untuk menyelesaikan siklus hidup satu
generasi.

Gambar 14 Siklus hidup nematoda puru akar Meloidogyne spp. (Eisenback 2003).
Meloidogyne meletakkan telur di dalam kantung telur yang mengandung
gelatin untuk melindungi massa telur dari kekeringan dan jasad renik (Dropkin
1991). Kantung telur yang baru terbentuk biasanya tidak berwarna dan berubah
menjadi cokelat. Menurut Mulyadi (2009) tiap massa telur dapat berisi sampai
1000 butir telur. Hasil pewarnaan menunjukkan telur Meloidogyne yang memiliki
zigot sel tunggal (Gambar 15a). Telur yang mengandung sel tunggal akan
mengalami pembelahan mitosis dalam beberapa jam menjadi larva stadia satu di
dalam telur (Taylor dan Sasser 1978). Perkembangan telur menjadi larva stadia
satu dipengaruhi oleh temperatur. Menurut Levin (2005) temperatur optimal untuk
perkembangan telur M. javanica, M. incognita, dan M. arenaria berada di kisaran
10 sampai 15 oC sedangkan pada M. hapla sebesar 9 oC.
Larva stadia satu mengalami pergantian kulit (moulting) pertama di dalam
telur dan berkembang menjadi larva stadia dua (Mulyadi 2009). Larva stadia dua
21

berbentuk memanjang seperti cacing silindris, stilet pendek dengan knob yang
membulat jelas dan ekor meruncing dengan ujung yang jelas. Hasil pewarnaan
akar tidak ditemukan larva stadia dua. Hal ini dipengaruhi oleh bioekologi larva
yang bersifat infektif dan aktif bergerak di dalam tanah dan jaringan tanaman.
Larva stadia dua mengalami pergantian kulit kedua menjadi larva stadia
tiga. Selama proses perkembangan menjadi stadia larva tiga, larva kehilangan
stilet dan katup median bulb serta ujung ekor membulat (Levin 2005). Hasil
pewarnaan akar ditemukan larva stadia tiga dengan ciri morfologi silindris
memanjang dengan ekor yang membulat (Gambar 15c). Larva stadia tiga dalam
beberapa jam kemudian berkembang menjadi larva stadia empat. Larva stadia
empat merupakan fase perkembangan yang paling lama sebelum menjadi
nematoda betina (Levin 2005). Pada fase ini stilet dan katup median bulb
terbentuk kembali serta pola perineal nematoda betina sudah terlihat. Hasil
pewarnaan akar ditemukan larva stadia empat dengan ciri morfologi tubuh
membulat lebih gemuk dibandingkan dengan larva stadia tiga (Gambar 15d).
Larva stadia empat setelah mengalami ganti kulit berkembang menjadi
nematoda betina. Nematoda betina dewasa bersifat menetap di daerah tempat
makan (feeding site) di dalam stele (Dropkin 1991). Menurut Mulyadi (2009)
nematoda betina dewasa mempunyai dua buah indung telur (ovarium). Hasil
pewarnaan akar ditemukan nematoda betina dengan ciri morfologi tubuh
berbentuk membulat seperti buah alpukat berwarna putih kekuningan (Gambar
15e).

a b c d e

Gambar 15 Siklus hidup Meloidogyne hasil pewarnaan akar. a) Telur perbesaran


40x, b) larva stadia satu perbesaran 40x, c) larva stadia tiga
perbesaran 40x, d) larva stadia empat perbesaran 10x, e) nematoda
betina dewasa perbesaran 10x.

Spesies Meloidogyne Berdasarkan Pola Perineal Nematoda Betina Dewasa

Identifikasi spesies Meloidogyne dapat dilakukan secara molekuler atau


melalui pola perineal pada nematoda betina dewasa. Pola perineal atau sidik
pantat merupakan karakter yang paling sering digunakan untuk identifikasi
morfologi spesies Meloidogyne betina. Pola perineal terletak pada kutikula di
bagian tubuh posterior nematoda betina (Mulyadi 2009). Hasil identifikasi pola
perineal menunjukkan adanya 4 spesies Meloidogyne yang berasosiasi dengan
akar gulma di kebun percobaan. Keempat spesies tersebut yaitu M. javanica, M.
incognita, M. arenaria, dan M. hapla. Menurut Mulyadi (2009) M. javanica, M.
incognita, M. arenaria, dan M. hapla merupakan 4 spesies yang banyak
ditemukan di daerah tropis. Gambar 16 menunjukkan perbedaan keempat spesies
22

Meloidogyne berdasarkan ciri khas dari pola perineal yang dimiliki oleh nematoda
betina dewasa.
M. incognita memiliki ciri khas yaitu lengkung dorsal yang tinggi seperti
persegi empat dan menyempit, sedangkan bagian dorsal paling luar sedikit
melebar dan agak mendatar. Pola striasi kasar, bergelombang atau zigzag dan
terlihat jelas yang ditandai dengan adanya bagian yang patah. Bagian ujung ekor
terlihat mempunyai alur-alur melingkar jelas (distinct whorl) (Gambar 16e). M.
javanica mempunyai lengkung dorsal yang rendah membulat. Ciri khas yang
ditunjukkan berupa garis lateral yang terputus seperti memisahkan bagian
lengkung dorsal dan ventral. Pola striasi terlihat kasar, halus sampai sedikit
bergelombang. Bagian ujung ekor terlihat dengan alur melingkar jelas (Gambar
16f). M. arenaria mempunyai lengkung dorsal yang rendah membulat dan tidak
terdapat garis pada bidang lateral. Ciri khas yang ditunjukkan berupa adanya
lengkung stria bercabang di dekat garis lateral dengan bagian stria yang lebih
mendatar. Pola striasi terlihat sama dengan M. javanica yaitu kasar, halus atau
terkadang sedikit bergelombang. Bagian ujung ekor umumnya tidak mempunyai
alur melingkar yang jelas (Gambar 16g). M. hapla mempunyai lengkung dorsal
yang rendah membulat dan tidak terdapat garis pada bidang lateral. Pola striasi
halus atau sedikit bergelombang. Bagian ujung ekor tidak mempunyai alur
melingkar yang jelas ditandai dengan ciri khas berupa adanya bintik-bintik
(punctations) (Gambar 16h).

a b c d

e f g h

Gambar 16 Pola perineal Meloidogyne betina dewasa a) M. incognita, b) M.


javanica, c) M. arenaria, d) M, hapla (Eisenback et al. 1981) dan
hasil identifikasi berdasarkan morfologi pola perineal: e) M.
incognita perbesaran 40x, f) M. javanica perbesaran 40x, g) M.
arenaria perbesaran 40x, h) M. hapla perbesaran 40x.
23

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Nematoda parasit tanaman ditemakan berasosiasi dengan tujuh spesies


gulma di kebun percobaan Pasir Sarongge, yaitu Ageratum conyzoides, Ageratum
haustonianum, Portulaca orelacea, Eleusine indica, Amaranthus spinosus,
Borreria alata, dan Borreria laevis. Ketujuh spesies gulma yang ditemukan dapat
dimanfaatkan oleh nematoda parasit sebagai inang alternatif dan berpotensi
meningkatkan kehilangan hasil tanaman budidaya. Nematoda parasit tanaman
yang ditemukan berasosiasi dengan ketujuh spesies gulma yaitu Meloidogyne,
Pratylenchus, Helicotylenchus, Hoplolaimus, Rotylenchulus, Scutellonema, dan
Tylenchulus yang diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi. Empat spesies
Meloidogyne yang berhasil diidentifikasi berdasarkan karakter pola perineal
betina dewasa yaitu M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla.
Informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan status gulma di
lahan budidaya pertanian sehingga dapat menjadi landasan dalam menentukan
tindakan pengendalian yang dilakukan.

Saran

Perlu dilakukan pengujian secara in vivo pada tanaman inang sebagai


indikator dalam mengetahui tingkat efektivitas pemanfaatan gulma sebagai inang
alternatif di lahan dan identifikasi secara molekuler untuk mendukung hasil
identifikasi berdasarkan pola perineal betina dewasa Meloidogyne.
24

DAFTAR PUSTAKA

Anwar SA, Zia A, Javed N, Shakeel Q. 2009. Weeds as reservoir of nematodes.


Pak J Nematol. 27(2):145-153.
Baimey HK. 2006. Scutellonema bradys as a pathogen of yam in Benin
[disertasi]. Pretoria (ZA): University of Pretoria.
[BBSDLP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. 2014. Tanah Andosol di Indonesia: Karakteristik, Potensi,
Kendala dan Pengelolaannya untuk Pertanian. Bogor (ID): Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2015. Kabupaten Cianjur dalam angka 2015.
[Internet]. [diunduh 2016 Nopember 05]. Tersedia pada:
http://cianjurkab.bps.go.id/new/website/pdf_publikasi/ Kabupaten-Cianjur-
Dalam-Angka-2015.pdf.
Burelle NK, Rosskopf EN. 2012. Susceptibility of several common subtropical
weeds to Meloidogyne arenaria, M. incognita and M. javanica. J Nematol.
44(2):142-147.
Coyne DL, Akhpeokhai LI, Adeniran AF. 2011. The yam nematode
(Scutellonema bradys), a potential threat to potato (Solanum tuberosum)
production in West Africa. Plant Pathol. 60(2011):992-997. doi: 10.1111/j.
136-3059.2011.02459x.
Dropkin VH. 1991. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Edisi ke-2. Supratoyo,
penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan
dari: Introduction to Plant Nematology.
Eisenback JD. 2003. Nematology. Blacksburg (US) : Mactode Publication.
Eisenback JD, Hirschmann H, Sasser JN, Triantaphyllou AC. 1981. A Guide to
the Four Most Common Species of Root-Knot Nematodes (Meloidogyne
spp.) With a Pictorial Key. Raleigh (US): Cooperative Publication
Departement of Plant Pathology and Genetic North Carolina University and
The United States Agency for International Development.
Fadhly AF, Tabri F. 2008. Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung.
Maros (ID): Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Gast RE, Wilson RG, Kerr ED. 1984. Lession nematode (Pratylenchus spp.)
infection of weed species and fieldbeans (Phaseolus vulgaris). Weed Sci.
32(5):616-620.
Gazaway WS, McLean KS. 2003. A survey of plant-parasitic nematodes
associated with cotton in Alabama. Cotton Sci. 7(2003):1-7.
Gharabadiyan F, Jamali S, Yazdi AA, Hadizadeh MH, Eskandari A. 2012. Weed
hosts of root-knot nematodes in tomato fields. Plant Prot Res. 52(2):230-
234.
Khan MR, Jain RK, Singh RV, Pramanik A. 2010. Economically Important Plant
Parasitic Nematodes Distribution. New Delhi (IN): Directorate of
Information and Publications of Agriculture.
Levin R. 2005. Reproduction and identification of root-knot nematodes on
perennial ornamental plants in Florida [tesis]. Gainesville (US): University
25

of Florida.
Luc M, Sikora RA, Bridge J. 2001. Nematoda Parasit Tumbuhan di Pertanian
Subtropik dan Tropik. Supratoyo, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press. Terjemahan dari: Plant Parasitic Nematodes in
Subtropical and Tropical Agriculture.
May WF, Lyon HH. 1996. Pictorial Key to Genera of Plant Parasitic
Nematodes. Edisi ke-5. New York (US): Cornel University.
Melakeberhan H, Webster JW, Brooke RC, D’Auria JM, Cackette M. 1987.
Effect of Meloidogyne incognita on plant nutrient concentration and its
influence on the physiology of beans. J Nematol. 19: 324-330.
Milberg P, Hallgren E. 2004. Yield loss due to weeds in cereals and its large-
scale variability in Sweden. Field Crop Res. 86(2004):199-209. doi:
10.1016 /j.fcr.2003.08.006.
Moenandir J. 2010. Ilmu Gulma. Malang (ID): Universitas Brawijaya Press.
Morris KS, Horgan FG, Downes MJ, Griffin CT. 2011. The effect of temperature
on hatch and activity of second-stage juveniles of the root-knot nematode,
Meloidogyne minor, an amerging pest in north-west Europe. Nematology.
13(8):985-993. doi: 10.1163/138855411X571902985.
Mulyadi. 2009. Nematologi Pertanian. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Nico AI, Rapoport HF, Diaz RMJ, Castillo P. 2002. Incidence and population
density of plant-parasitic nematodes associated with Olive planting stocks
at nurseries in Southern Spain. Plant Dis. 96(10).1075-1079.
Queneherve P, Chabrier C, Auwerkerken A, Topart P, Martiny B, Luce SM.
2006. Status of weeds as reservoirs of plant parasitic nematodes in banana
fields in Martinique. Crop Prot. 25(2006):860-867. doi: 10.1016/ j.
cropro.2005.11.009.
Rahman L, Creecy H, Orchard B. 2008. Impact of citrus nematode (Tylenchulus
semipenetrans) densities in soil on yield of grapevines (Vitis vinifera
Shiraz) in south-eastern New South Wales. Vitis. 47(3):175-180.
Robinson AF, Akridge R, Bradford JM, Cook CG, Gazaway WS, Kirkpatrick
TL, Lawrence GW, Lee G, McGawley EC, Overstreet C et al. 2005.
Vertical ditribution of Rotylenchulus reniformis in cotton fields. J
Nematol. 37(3):265-271.
Sembodo DRJ. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
Settle DM, Fry JD, Todd TC, Tisserat NA. 2006. Population dynamics of lance
nematode (Hoplolaimus galeatus) in creeping bentgrass. Plant Dis.
90(1):44-50. doi: 10.1094/PD-90-0044.
Siahaan MP, Purba E, Irmansyah T. 2014. Komposisi dan kepadatan seed bank
gulma pada berbagai kedalaman tanah pertanaman palawija balai benih
induk Tanjung Selamat. J Agrotek. 2(3):1181-1189.
Singh SK. 2009. Morphological and molecular characterization of root knot
nematode (Meloidogyne spp.) diversity in Fiji [tesis]. Suva (FJ): The
University of The South Pacific.
Singh SK, Khurma UR, Lockhart PJ. 2010. Weed hosts of root-knot nematodes
and their distribution in Fiji. Weed Tech. 24(4):607-612. doi: 10.1614/WT-
D-09-00071.1.
26

Taylor AL, Sasser JN. 1978. Biology, Identification and Control of Root-Knot
Nematodes (Meloidogyne species). Raleigh (US): Cooperative Publication
Departement of Plant Pathology and Genetic North Carolina University and
The United States Agency for International Development.
Tedford EC, Fortnum BA. 1998. Weed hosts of Meloidogyne arenaria and
Meloidogyne incognita common in tobacco fields in South Carolina.
Annals Applied Nematol. 2(1998):102-105.
Trianada F. 2015. Identifikasi nematoda parasit utama pada wortel (Daucus
carota L.) di Kabupaten Cianjur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Tzortzakakis EA. 2008. Plant parasitic nematodes associated with banana crop in
Crete, Grece. Acta Agric Slov. 91(1):97-101.
[UF IPB]. University Farm Institut Pertanian Bogor. 2016. Peta unit lapangan
Pasir Sarongge. [Internet]. [diunduh 2016 Nopember 10]. Tersedia pada:
http://uf.ipb.ac.id/index.php/pasir-sarongge.html.
27

LAMPIRAN
28
29

Lampiran 1 Hasil uji beda nyata kelimpahan populasi total tujuh spesies
nematoda hasil ekstraksi tanah di lahan wortel dengan metode
flotasi-sentrifugasi dan modifikasi corong Baermann
Modifikasi corong
Flotasi-sentrifugasi
Spesies nematoda Baermann P-value
Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran
Meloidogyne 43.40 ± 1.30 39-46 31.60 ± 5.12 26-39 0.00
Helicotylenchus 12.80 ± 1.64 11-15 6.20 ± 1.78 4-8 0.00
Pratylenchus 1.80 ± 1.30 0-3 0.60 ± 0.89 0-2 0.00
Rotylenchulus 16.40 ± 2.30 13-19 10.20 ± 1.92 8-13 0.00
Hoplolaimus 8.20 ± 1.30 7-10 5.20 ± 1.30 4-7 0.00
Criconemoides 4.80 ± 1.30 4-7 1.00 ± 0.70 0-2 0.13*
Scutellonema 0.20 ± 0.44 0-1 0.00 ± 0.00 0-0 0.34*
* = Nilai p-value lebih besar dari 0.05, hasil ekstraksi metode flotasi-sentrifugasi berbeda nyata
dengan modifikasi corong Baermann pada taraf nyata 5%

Lampiran 2 Hasil uji beda nyata kelimpahan populasi total tujuh spesies
nematoda hasil ekstraksi tanah di lahan pembibitan wortel dengan
metode flotasi-sentrifugasi dan modifikasi corong Baermann
Modifikasi corong
Flotasi-sentrifugasi
Spesies nematoda Baermann P-value
Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran
Meloidogyne 22.00 ± 1.87 20-25 25.60 ± 4.72 18-30 0.00
Helicotylenchus 6.00 ± 1.22 4-7 7.40 ± 1.14 6-9 0.09*
Pratylenchus 1.60 ± 1.34 0-3 0.40 ± 0.54 0-1 0.02
Rotylenchulus 11.40 ± 2.30 8-14 5.20 ± 2.38 2-8 0.17*
Hoplolaimus 12.80 ± 1.48 11-15 9.20 ± 2.38 6-12 0.00
Criconemoides 2.80 ± 0.83 2-4 0.20 ± 0.44 0-1 0.12*
Scutellonema 0.60 ± 0.54 0-1 0.00 ± 0.00 0-0 0.07*
* = Nilai p-value lebih besar dari 0.05, hasil ekstraksi metode flotasi-sentrifugasi berbeda nyata
dengan modifikasi corong Baermann pada taraf nyata 5%
30

Lampiran 3 Hasil uji beda nyata kelimpahan populasi total tujuh spesies
nematoda hasil ekstraksi tanah di lahan tomat dengan metode
flotasi-sentrifugasi dan modifikasi corong Baermann
Modifikasi corong
Flotasi-sentrifugasi
Spesies nematoda Baermann P-value
Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran
Meloidogyne 52.20 ± 4.32 46-57 45.40 ± 3.64 42-51 0.00
Helicotylenchus 16.20 ± 1.48 14-18 5.40 ± 1.94 3-8 0.00
Pratylenchus 4.20 ± 1.30 3-6 0.60 ± 0.89 0-2 0.00
Rotylenchulus 10.60 ± 1.14 9-12 13.80 ± 3.42 9-18 0.02
Hoplolaimus 4.40 ± 1.14 3-6 7.80 ± 1.30 6-9 0.08*
Criconemoides 7.20 ± 1.64 5-9 1.20 ± 1.30 0-3 0.00
Scutellonema 2.20 ± 1.30 0-3 0.00 ± 0.00 0-0 0.02
* = Nilai p-value lebih besar dari 0.05, hasil ekstraksi metode flotasi-sentrifugasi berbeda nyata
dengan modifikasi corong Baermann pada taraf nyata 5%

Lampiran 4 Hasil uji beda nyata kelimpahan populasi total tujuh spesies
nematoda hasil ekstraksi tanah di lahan seledri dengan metode
flotasi-sentrifugasi dan modifikasi corong Baermann
Modifikasi corong
Flotasi-sentrifugasi
Spesies nematoda Baermann P-value
Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran
Meloidogyne 65.00 ± 4.74 59-71 48.00 ± 5.65 42-57 0.07*
Helicotylenchus 8.20 ± 1.48 6-10 6.00 ± 2.00 3-8 0.08*
Pratylenchus 2.60 ± 1.14 1-4 2.00 ± 1.41 0-3 0.00
Rotylenchulus 13.00 ± 2.54 10-16 3.80 ± 2.86 0-7 0.00
Hoplolaimus 14.60 ± 1.67 12-16 8.60 ± 1.94 6-11 0.00
Criconemoides 0.60 ± 0.54 0-1 0.00 ± 0.00 0-0 0.00
Scutellonema 0.00 ± 0.00 0-0 0.00 ± 0.00 0-0 0.48*
* = Nilai p-value lebih besar dari 0.05, hasil ekstraksi metode flotasi-sentrifugasi berbeda nyata
dengan modifikasi corong Baermann pada taraf nyata 5%
31

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 21 Maret 1995 di Kisaran, Sumatera Utara.


Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Elbin Butarbutar dan Ibu
Ratna Samosir. Pendidikan penulis dimulai sejak tahun 1999 di TK Nusa Indah,
masuk SD tahun 2000 di SDN 015897 Buntu Pane. Pada tahun 2006, penulis
melanjutkan pendidikan di SMP Swasta Panti Budaya Kisaran dan masuk SMA
pada tahun 2009 di SMA Negeri 1 Buntu Pane. Penulis melanjutkan pendidikan
ke jenjang perguruan tinggi setelah mengikuti SNMPTN jalur undangan dan
diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Selama jenjang perkuliahan, penulis aktif mengikuti program kegiatan di
UKM PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) IPB komisi diaspora dalam bidang
pelayanan dan pengembangan Desa Karacak, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor. Penulis pernah mengikuti kepanitiaan di UKM PMK IPB sebagai ketua
pelaksana Natal Civitas Akademika IPB yang berkolaborasi dengan UKM
Kemaki (Keluarga Mahasiswa Katolik) IPB dan terdaftar sebagai anggota
organisasi GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) cabang Bogor. Pada
tahun 2016, penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengantar
Nematologi Tumbuhan.

Anda mungkin juga menyukai