Anda di halaman 1dari 17

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BERKEMBANGNYA

HAMA

MAKALAH

OLEH :
I Gede Krisna Wardana
Nim.2182611002

PROGRAM STUDI MAGISTER AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTASPERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN AJARAN
2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Denpasar, September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN............................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 2
1.3 Tujuan..................................................................................................... 2
II. PEMBAHASAN.......................................................................................... 3
2.1 Jenis-Jenis Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Perkembangan Hama 3
2.1.1 Faktor Abiotik...................................................................................... 3
2.1.2 Faktor Biotik........................................................................................ 5
2.1.3 Faktor Makanan................................................................................... 6
2.2 Pengaruh Penanaman Satu Varietas Secara Terus Menerus Terhadap
Perkembangan Hama............................................................................ 6
2.3 Pengaruh Musim Tanam yang Tidak Sesuai Terhadap Perkembangan
Hama....................................................................................................... 7
2.4 Akibat Terlalu Menggandalkan Penggunaan Pestisida........................... 8
2.5 Pengaruh Masuknya Spesies Hama Baru Ke Suatu Wilayah................. 9
III. PENUTUP.................................................................................................. 11
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 11
3.2 Saran........................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 12

iii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hama dalam arti luas adalah semua bentuk gangguan baik pada manusia,
temak dan tanaman. Pengertian hama dalam arti sempit yang berkaitan dengan
kegiatan budidaya tanaman adalah semua hewan yang merusak tanaman atau
hasilnya yang mana aktivitas hidupnya ini dapat menimbulkan kerugian secara
ekonomis. Dantje, 2012 menjelaskan adanya pengertian bahwa suatu hewan
dalam satu pertanaman belum menimbulkan kerugian secara ekonomis belum
dapat disebut sebagai hama. Potensi mereka sebagai hama nantinya perlu
dimonitor dalam suatu kegiatan yang disebut pemantauan (monitoring). Secara
garis besar, hewan yang berpotensi menjadi hama adalah dari jenis : serangga,
tungau, tikus, burung, atau mamalia besar. Mungkin di suatu daerah hewan
tersebut menjadi hama, namun di daerah lain belum tentu menjadi hama, karena
tidak merugikan. Kondisi tersebut sangat berbeda status suatu hama, sebagai
contoh jika ada serangga menyerang habis suatu pertanaman dimana pertanaman
tersebut dinilai tidak ekonomis/bukan tanaman budidaya, maka serangga tersebut
tidak akan mendapatkan perlakuan pengendalian, bahkan jika serangga tersebut
memiliki nilai ekonomi maka serangga tersebut akan banyak dimanfaatkan oleh
manusia.
Kelembapan besar pengaruhnya terhadap kehidupan hama. Bila kelembapan
sesuai dengan kebutuhan hidup serangga, serangga tersebut cenderung tahan
terhadap suhu-suhu ekstrim. Pada suhu 18°C dengan kelembapan 70%,
perkembangan telur hama gudang (Sitophillus oryzae) sampai menjadi dewasa
membutuhkan waktu 110 hari. Sedangkan, pada suhu 18°C tetapi kelembapannya
mencapai 89%, perkembangannya hanya membutuhkan waktu 90 hari. Aktivitas
penyerangan pun dipengaruhi kelembapan. Hama gudang baru bisa menyerang
apabila kadar air beras atau jagung di atas 14%. Hama thrips akan berkembang
biak dengan normal pada kelembapan di atas 70% ( Semangun, 1989).
Air merupakan kebutuhan primer bagi setiap makhluk hidup. Begitu pula bagi
hama tanaman pertanian. Bila air berlebihan, akan berakibat tidak baik terhadap

1
perkembangbiakan dan pertumbuhan organisme hama. Banjir dan hujan deras bisa
menimbulkan kematian kupu-kupu yang sedang beterbangan, Derasnya aliran air
dapat menghanyutkan hama tanaman. Beberapa hama, seperti ulat daun kubis
(Plutella xylostella) dan tungau, tidak tahan terhadap curah hujan yang besar
sehingga pada keadaan demikian populasinya akan menurun (Fahrizal, 1998).
Cahaya merupakan salah satu faktor ekologi yang besar pengaruhnya terhadap
kehidupan hama tanaman. Menurut (Fahrizal, 1998) beberapa jenis hama
mempunyai reaksi positif terhadap cahaya. Misalnya Penggerek padi putih
(Tryporyza innotata), wereng cokelat (Nilaparvata lugens), anjing tanah
(Gryllotalpa africana), waiang sangit (Leptocorixa acuta), kumbang katimumul
hijau (Anomala viridis), dan kumbang beras (Sitophillus oryzae) tertarik cahaya
lampu pada malam hari. Ada beberapa hama yang aktif pada saat tidak ada cahaya
atau malam hari (nokturnal), misalnya ulat grayak (Spodoptera litura), tikus
(Rattus-rattus sp.), ulat tanah (Agrotis ipsilon), dan jenis kalong (Pteropus sp.).
Banyak pula hama yang aktif pada siang hari (diurnal), seperti waiang sangit,
wereng cokelat, dan belalang kayu (Valanga nigricornis).
Faktor eksternal adalah keadaan lingkungan yang dapat mempengaruhi
kehidupan hama tanaman. Populasi hama sifatnya dinamis. Jumlah tersebut bisa
naik, bisa turun, atau tetap seimbang, tergantung keadaan lingkungan. Bila kondisi
lingkungan cocok, populasi hama berkembang pesat. Faktor-faktor lingkungan
yang dapat mempengaruhi pembembangan hama yaitu suhu, kelembaban, cahaya,
curah hujan, struktur tanah, tanaman inang dan populasi mikroorganisme.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hama ?
2. Bagaimana faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan hama ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hama.
2. Untuk mengetahui Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan
hama.

2
II. PEMBAHASAN

2.1 Jenis-Jenis Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Perkembangan Hama


2.1.1 Faktor Abiotik
Setiap spesies serangga mempunyai jangkauan suhu masing-masing dimana ia
dapat hidup, dan pada umumnya jangkauan suhu yang efektif adalah suhu
minimum. Serangga memiliki kisaran suhu tertentu untuk kehidupannya. Diluar
kisaran suhu tersebut serangga dapat mengalami kematian. Efek ini terlihat pada
proses fisiologis serangga, dimana pada suhu tertentu aktivitas serangga tinggi
dan akan berkurang (menurun) pada suhu yang lain (Ross, et al., 1982; Krebs,
1985). Umumnya kisaran suhu yang efektif adalah 15ºC (suhu minimum), 25ºC
suhu optimum dan 45ºC (suhu maksimum). Pada suhu yang optimum kemampuan
serangga untuk melahirkan keturunan akan besar dan kematian (mortalitas)
sebelum batas umur akan sedikit (Natawigena, 1990).
Kelembaban udara mempengaruhi kehidupan serangga langsung atau tidak
langsung. Serangga yang hidup di lingkungan yang kering mempunyai cara
tersendiri untuk mengenfisienkan penggunaan air seperti menyerap kembali air
yang terdapat pada feces yang akan dibuang dan menggunakan kembali air
metabolik tersebut, contohnya serangga rayap. Oleh karena itu kelembaban harus
dilihat sebagai keadaan lingkungan dan kelembaban sebagai bahan yang
dibutuhkan organisme untuk melangsungkan proses fisiologis dalam tubuh.
Sebagai unsur lingkungan, kelembaban sangat menonjol sebagai faktor modifikasi
suhu lewat reduksi evapotranspirasi. Selanjutnya tidak ada organisme yang dapat
hidup tanpa air karena sebagian besar jaringan tubuh dan kesempurnaan seluruh
proses vital dalam tubuh akan membutuhkan air. Serangga akan selalu
mengkonsumsi air dari lingkungannya dan sebaliknya secara terus menerus akan
melepaskan air tubuhnya melalui proses penguapan dan ekskresi. Dalam hal ini
kebutuhan air bagi serangga sangat dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya
terutama kelembaban udara (Semangun, 1989).
Beberapa penelitian mengenai beberapa ketahanan serangga terhadap
kekeringan menunjukkan korelasi yang tinggi dengan keadaan lembab tempat

3
hidupnya. Secara umum kelembaban udara dapat mempengaruhi pembiakan,
pertumbuhan, perkembangan dan keaktifan serangga baik langsung maupun tidak
langsung. Kemampuan serangga bertahan terhadap keadaan kelembaban udara
sekitarnya sangat  berbeda menurut jenisnya. Dalam hal ini kisaran toleransi
terhadap kelembaban udara  berubah untuk setiap spesies maupun stadia
perkembangannya, tetapi kisaran toleransi  ini  tidak jelas seperti pada suhu.
Menurut (Semangun, 1989) serangga pada umumnya kisaran toleransi terhadap
kelembaban udara yang optimum terletak didalam titik maksimum 73-100 persen.
Cuaca yang lembab merangsang pertumbuhan populasi, sedang cuaca yang sangat
kering atau keadaan yang banyak hujan menghambat pertumbuhan tersebut.
Kebanyakan air, seperti banjir dan hujan lebat merupakan bahaya bagi kehidupan
beberapa jenis serangga, termasuk juga berbagai jenis kupu-kupu yang sedang
beterbangan, serta dapat menghanyutkan larva yang baru menetas.
Cahaya adalah faktor ekologi yang besar pengaruhnya bagi serangga,
diantaranya lamanya hidup, cara bertelur, dan berubahnya arah terbang. Banyak
jenis serangga yang memilki reaksi positif terhadap cahaya dan tertarik oleh
sesuatu warna, misalnya oleh warna kuning atau hijau. Beberapa jenis serangga
diantaranya mempunyai ketertarikan tersendiri terhadap suatu warna dan bau,
misalnya terhadap warna-warna bunga. Akan tetapi ada juga yang tidak menyukai
bau tertentu (Natawigena, 1990).
Sumber cahaya dan panas yang utama di alam adalah radiasi surya. Radiasi
dalam hal ini radiasi langsung yang bersumber dari surya dan radiasi baur yang
berasal dari atmosfir secara keseluruhan. Untuk menjelaskan sifat radiasi di
bedakan antara panjang gelombang cahaya dan intensitas cahaya atau radiasi.
Pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga berbeda antara serangga yang aktif
siang hari dengan yang aktif pada malam hari. Pada siang hari keaktifan serangga
dirangsang oleh keadaan intensitas maupun panjang gelombang cahaya di
sekitarnya. Sebaliknya ada serangga pada keadaan cahaya tertentu justru
menghambat keaktifannya. Pada umumnya radiasi yang berpengaruh terhadap
serangga adalah radiasi infra merah, dalam hal ini berpengaruh untuk
memanaskan tubuh serangga.

4
2.1.2 Faktor Biotik
Parasitoid berukuran kecil dan mempunyai waktu perkembangan lebih pendek
dari inangnya dengan cara menumpang hidup pada atau di dalam tubuh serangga
hama. Dalam tubuh host/inang tersebut, parasitoid mengisap cairan tubuh atau
memakan jaringan bagian dalam tubuh inang. Parasitoid yang hidup di dalam
tubuh inang disebut endoparasitoid dan yang menempel di luar tubuh inang
disebut ectoparasitoid. Parasitoid umumnya mempunyai inang yang lebih spesifik,
sehingga dalam keadaan tertentu parasitoid lebih efektif mengendalikan hama.
Kelemahan dari parasitoid itu karena adanya parasitoid tertentu yang dapat
terkena parasit lagi oleh parasitoid lain. Kejadian seperti diatas disebut
hiperparasitisme dan parasitoid lain tersebut disebut parasit sekunder.  Bila parasit
sekunder ini terkena parasit lagi disebut parasit tersier. Parasit sekunder dan
parasit tersier disebut sebagai hyperparasit (Syafitri, 2016).
Predator yaitu binatang atau serangga yang memangsa binatang atau serangga
lain. Predator biasanya berukuran lebih besar dari parasit dan perkembangannya
lebih lama inangnya. Menurut (Rahmi, 2012) Predator tidak spesifik terhadap
pemilihan mangsa. Oleh karena itu predator adalah serangga atau hewan lain yang
memakan serangga hama secara langsung. Untuk perkembangan larva menjadi
dewasa dibutuhkan banyak mangsa. Predator yang monophagous (mempunyai
satu inang) menggunakan serangga hama sebagai makanan utamanya. Predator
seperti ini biasanya efektif tetapi mempunyai kelemahan, yaitu apabila populasi
hama yang rnenjadi hama mangsanya berkurang, biasanya predator tidak dapat
bertahan hidup lama. Pada umumnya predator tidak bersifat monophagous,
contoh: kumbang famili Coccinellidae, belalang sembah dan lain sebagainya. 
Entomopatogen dapat menimbulkan penyakit, meliputi cendawan, bakteri,
virus, nematoda atau hewan mikro lainnya yang dapat mempengaruhi kehidupan
serangga hama. Menurut (Deciyanto, 2009) entomopatogen sudah mulai
dikembangkan sebagai pestisida alami untuk mengendalikan serangga hama.
Sebagai contoh Bacillus thuringiensis sudah diformulasikan dengan berbagai
merek dagang. Bakteri ini akan menginfeksi larva sehingga tidak mau makan dan
akhirnya larva mati. Demikian pula dengan cendawan sudah dikembangkan untuk

5
mengendalikan serangga hama, seperti Metarhizium anisopliae yang digunakan 
untuk  mengendalikan  larva  Oryctes  rhinoceros.  Entomopatogen lain seperti
virus Nuclear Po1yhidrosis Virus (NPV) yang mempunyai prospek cukup baik
untuk mengendalikan larva Lepidoptera, seperti ulat grayak.
2.1.3 Faktor Makanan
Faktor makanan sangat penting bagi kehidupan serangga hama. Keberadaan
faktor makanan akan dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, curah hujan dan
tindakan manusia. Pada musim hujan, orang banyak menanam lahannya dengan
berbagai tanaman. Apabila semua faktor lain sangat mendukung perkembangan
serangga maka pertambahan populasi serangga akan sejalan dengan makin
bertambahnya makanan. Keadaan sebaliknya akan menurunkan populasi serangga
hama. Hubungan faktor makanan dengan populasi serangga itu disebut hubungan
bertautan padat atau density independent ( wahyu et al, 1989).
Oleh karena itu faktor makanan dapat digunakan untuk menekan populasi
serangga hama, baik dalam bentuk tidak memahami lahan pertanian dengan
tanaman yang merupakan makanan serangga hama, bisa juga menanami lahan
pertanian dengan tanaman yang tidak disukai serangga hama tertentu atau dengan
tanaman resistens. Menurut (Hosang et al, 1998) makin luasnya tanaman kelapa
akan meningkatkan, populasi Artona sp. Walaupun demikian Artona lebih
menyukai daun tua dan bukan daun muda yang baru terbuka ataupun daun yang
belum terbuka kurang disukai. Walang sangit hanya menghisap butir padi dalam
keadaan matang susu. Jelaslah tersedianya kualitas makanan dalam jumlah yang
memadai akan meningkatkan populasi hama dengan cepat (Deplomar, 2016).

2.2 Pengaruh Penanaman Satu Varietas Secara Terus Menerus Terhadap


Perkembangan Hama
Pola tanam monokultur paling banyak ditemukan dilapangan. Hal ini terjadi
karena petani enggan meninggalkan kebiasaan lama untuk mencoba bercocok
tanam seperti yang dianjurkan oleh pemerintah. Menurut (muhadjir, 2005)
dampak negatif pola tanam ini seperti terjadinya peledakan hama dan degradasi
lahan. Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) akan terus berkembang karena

6
tersedianya makanan secara terus menerus. Mangsa bagi serangga predator dan
parasitoid tidak beragam sehingga populasi hama lebih besar dari populasi musuh
alami (Altieri, 1994).
Intensifikasi pertanian merupakan upaya untuk mencukupi kebutuhan makanan
penduduk. Penanaman secara intensif mencakup antara lain penanaman satu jenis
tanaman pada hamparan yang luas (monokultur), pengairan dan pemupukan yang
lebih tinggi, jarak tanam yang lebih rapat, dan sering digunakan jenis tanaman
dengan daya hasil tinggi meskipun rentan terhadap hama dan penyakit. Tindakan
tersebut sangat mempengaruhi kemampuan penyakit untuk berkembang. Menurut
(Anonim, 1996) intensifikasi perkebunan karet di Brasil menimbulkan munculnya
penyakit hawar daun Amerika Selatan (South American leaf blight/SALB) yang
disebabkan oleh Microcyclus ulei. Penyakit tersebut tidak pernah menimbulkan
masalah ketika tanaman karet masih berada di habitat asalnya, yaitu hutan-hutan
di Amazon.

2.3 Pengaruh Musim Tanaman yang Tidak Sesuai Terhadap Perkembangan Hama
Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi
tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan.
Menurut (Anggara et al, 2008) organisme pengganggu tanaman secara garis besar
dibagi menjadi tiga yaitu hama, penyakit dan gulma. Perkembangan hama dan
penyakit sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Sehingga tidak heran
kalau pada musim hujan dunia pertanian banyak disibukkan oleh masalah
penyakit tanaman sperti penyakit kresek dan blas pada padi, antraknosa cabai dan
sebagainya. Sementara pada musim kemarau banyak masalah hama penggerek
batang padi, hama belalang kembara, serta thrips pada cabai.
Hama seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor
faktor iklim baik langsung maupun tidak langsung. Temperatur, kelembaban
udara relatif dan foroperiodisitas berpengaruh langsung terhadap siklus hidup,
keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga. Sebagai contoh
hama kutu kebul (Bemisia tabaci) mempunyai suhu optimum 32,5º C untuk
pertumbuhan populasinya (Bonaro et al. 2007). Contoh yang lain adalah

7
pertumbuhan populasi penggerek batang padi putih berbeda antara musim
kemarau dan musim hujan, sementara itu panjang hari berpengaruh terhadap
diapause serangga penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata) di Jawa
(Triwidodo, 1993). Umumnya serangga-serangga hama yang kecil seperti kutu-
kutuan menjadi masalah pada musim kemarau atau rumah kaca karena tidak ada
terpaan air hujan. Pada percobaan dalam ruang terkontrol peningkatan kadar CO2
pada selang 389- 749µl/L meningkatkan reproduksi tungau Tetranychus urticae
(Heagle et al., 2002)
Pengaruh langsung adalah pengaruh faktor iklim terhadap vigor dan fisiologi
tanaman inang, yang akhirnya mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hama.
Temperatur berpengaruh terhadap sintesis senyawa metabolit sekunder seperti
alkaloid, falvonoid yang berpengaruh terhadap ketahannannya terhadap hama.
Pengaruh tidak langsungnya adalah kaitannya dengan musuh alami hama baik
predator, parasitoid dan patogen. Sebagai contoh adalah perkembangan populasi
ulat bawang Spodoptera exigua pada bawang merah lebih tinggi pada musim
kemarau, selain karena laju pertumbuhan intrinsik juga disebabkan oleh tingkat
parasitasi dan tingkat infeksi patogen yang rendah (Hikmah, 1997).

2.4 Akibat Terlalu Mengandalkan Penggunaan Pestisida


Hal yang dapat terjadi apabila pengaplikasian pestisida pada tanaman
dilakukan secara tidak tepat dan bijaksana. Departemen Proteksi Tanaman Institut
Pertanian Bogor menyataan bahwa penggunaan pestisida yang diluar batas
anjuran berlebihan justru akan memicu kekebalan pada hama tanaman.
Diketahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan peningkatan populasi hama
yaitu ketahanan hama terhadap pestisida dan resurgensi hama. Resusgensi
merupakan suatu kondisi dimana, pestisida sebagai racun yang berspektrum luas,
selain dapat membunuh hama dapat membunuh musuh alami hama, seperti
polinator, burung, ikan, dan musuh alaminya. Karena hama yang dikendalikan
tidak kunjung mati atau berkurang, maka petani dengan instingnya terdorong
untuk semakin sering melakukan penyemprotan pestisida, bahkan menambah
dosisnya (Rivai, 2006). Penggunaan pestisida secara berlebihan sejatinya dapat

8
kembali meningkatkan populasi hama. Perlu diketahui banyaknya populasi hama
yang ada, biasanya terdapat individu-individu hama yang memiliki sifat genetik
tahan terhadap jenis pestisida tertentu.
Penggunaan pestisida secara berlebihan menyebabkan populasi hama yang
lama terkendali namun muncul hama baru yang sebelumnya tidak menjadi
masalah ( Sutrisno, 2014). Hama tersebut sebelumnya sudah ada tetapi
populasinya dapat dikendalikan oleh musuh alami. Contoh timbulnya hama
sekunder ini adalah wereng coklat. Sebelum adanya aplikasi pestisida yang kurang
bijaksana wereng yang sebelumnya sudah ada di lapangan tidak menjadi masalah.
Dengan adanya pemakaian insektisida berjadwal pada era tahun 1970-an,
penanaman tanaman yang terus menerus, tanaman sukulen karena tingginya dosis
pupuk N, dan matinya musuh alami menyebabkan populasi wereng meledak
bahkan sampai menimbulkan puso puluhan hektar.
Penelitian Sutrisno (2014) tentang Resistensi Wereng Batang Cokelat Padi,
Nilaparvata lugens Stål terhadap Insektisida di Indonesia. Penggunaan insektisida
sering gagal untuk mengendalikan WBC dan populasinya masih tinggi sehingga
menyebabkan tanaman padi hopperburn dan petani gagal panen. Perkembangan
resistensi populasi WBC terhadap insektisida merupakan salah satu faktor yang
berkontribusi terhadap kegagalan penggunaan insektisida dan ledakan hama WBC
yang bermutasi. Populasi WBC di lapang telah diketahui menjadi resisten
terhadap BPMC, karbofuran, MIPC, dan imidakloprid.

2.5 Pengaruh Masuknya Spesies Hama Baru ke Suatu Wilayah


Hama migran merupakan hama yang bukan dari agro-ekosistim setempat,
melainkan datang dari luar yang sifatnya berpindah-pindah. Semakin maju dan
luasnya aktivitas perdagangan dan pengangkutan bahan-bahan tanaman
memungkinkan pemasukan penyakit dari daerah lain melalui bahan-bahan
tanaman tersebut. Jika suatu tanaman memasuki suatu daerah baru, cepat atau
lambat penyakit-penyakitnya akan berkembang juga. Pada awal tahun 1950 di
Indonesia berkembang penyakit baru pada daun teh yaitu cacar daun teh
(Exobasidium vexans). Penyakit tersebut telah dikenal lama di perkebunan teh di

9
Srilanka dan India Selatan, yang kemungkinan sumber infeksinya berasal dari
daerah Assam di India Timur Laut ( Hadisutrisno et al, 2011).
Hewan atau serangga terbawa ke tempat baru melintasi rintangan geografis
tertentu tetapi musuh alami (predator dan parasitoid) tertinggal di tempat asal.
Menurut (Saputro, 2013) terjadi pada serangga Icherya purchasi (Hemiptera:
Pseudococcidae) atau kutu putih asal Australia yang hidup pada tanaman Casia.
Pada tahun 1968 Casia di ekspor ke California USA dan kutu putih ini ikut
terbawa. Di California kutu putih tersebut menyerang tanaman jeruk. Untuk
mengendalikan hama tersebut dilakukan pemasukan musuh alaminya dari
Australia yaitu parasitoid Cryptochaetum coryas (Diptera) dan predator Roddia
cardinalis (Coleoptera). Larva Diptera tersebut hidup di dalam tubuh I. Purchasi
sedangkan larva dan imago predator Coleoptera memakan I. purchasi.
Sebagai contoh kasus pengubahan lingkungan asli serangga terjadi pada Tahun
1950-an di Colorado USA yaitu dilakukan pembukaan ladang kentang. Tanaman
kentang tersebut bukan berasal dari Colorado. Kumbang kentang Colorado
(Colorado potato bettle), Leptinotarsa decemilinata (Coleoptera: Chrysomelidae),
yang sebelumnya hidup pada jenis-jenis solanaceae liar berubah menjadi hama
karena ketersediaan makanan berlimpah berupa tanaman kentang (termasuk famili
solanaceae) yang dibudidayakan secara intensif. Karena keterbatasan musuh alami
di alam, kumbang ini menjadi tidak mempunyai kompetitor yang menjadi
pembatas kehidupannya.
Masuknya hama Liriomyza diawali pada tahun 1997, Negara Kenya merupakan
negara pembudidayaan perkebunan krisan yang bibitnya didatangkan dari Florida.
Tanaman krisan tersebut di impor ke negara-negara seperti ingris, belanda, dan
jepang. Hal, tersebut menyebabkan kerugian besar bagi pembudidaya tanaman
krisan. “kendaraan” yang sama pembawa Liriomyza ke Indonesia tampaknya
sama seperti negara-negara tersebut. Pengiriman bunga krisan potong memlki
jalur sama dan membawa Liriomyza sampai ke Indonesia.

10
III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengaruh musim tanam yang tidak sesuai pada musim hujan menyebabkan
dunia pertanian banyak disibukkan oleh masalah penyakit tanaman sperti penyakit
kresek dan blas pada padi, antraknosa cabai dan sebagainya. Sementara pada
musim kemarau banyak masalah hama penggerek batang padi, hama belalang
kembara, serta thrips pada cabai. Hama seperti mahluk hidup lainnya
perkembangannya dipengaruhi oleh faktor faktor iklim baik langsung maupun
tidak langsung. Temperatur, kelembaban udara relatif dan foroperiodisitas
berpengaruh langsung terhadap siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta
kemampuan diapause serangga.
Semakin maju dan luasnya aktivitas perdagangan dan pengangkutan bahan-
bahan tanaman memungkinkan pemasukan penyakit dari daerah lain melalui
bahan-bahan tanaman tersebut. Jika suatu tanaman memasuki suatu daerah baru,
cepat atau lambat penyakit-penyakitnya akan berkembang juga.
Resusgensi merupakan suatu kondisi dimana, pestisida sebagai racun yang
berspektrum luas, selain dapat membunuh hama dapat membunuh musuh alami
hama, seperti polinator, burung, ikan, dan musuh alaminya. Karena hama yang
dikendalikan tidak kunjung mati atau berkurang, maka petani dengan instingnya
terdorong untuk semakin sering melakukan penyemprotan pestisida, bahkan
menambah dosisnya.
Dampak negatif pola tanam monokultur yaitu terjadinya peledakan hama dan
degradasi lahan. Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) akan terus berkembang
karena tersedianya makanan secara terus menerus. Mangsa bagi serangga predator
dan parasitoid tidak beragam sehingga populasi hama lebih besar dari populasi
musuh alami.

3.2 Saran
Untuk menekan terjadinya resurjensi dan resistensi hama sebaiknya
pengaplikasian pestida dilapangan dilakukan secara optimal.

11
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1996. Pengenalan dan Pengendalian Penyakit Hawar Daun Amerika


Selatan (SALB) pada Tanaman Karet. Direktorat Bina Perlindungan
Tanaman. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Anggara, A.W dan Sudarmaji. 2008. Modul G-2: Pengendalian Hama Tikus
Terpadu (PHTT), Pelatihan TOT SL-PTT Padi Nasional. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Dasa Prima. Cipto Nugroho, Idris, dan R.D. Teguh Widjanarko.
http://sultra.litbang.deptan.go.id.

Altieri, M.A. 1994. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystem. Food


Products Pres, New York. Hal. 12.

Bonaro, O., A. Lurette, C. Vidal, & J. Fargues. 2007. Modelling temperature-


dependent bionomics of Bemisia tabaci (Q-biotype). Physiological
Entomology 32 : 50-55

Deciyanto, S dan Indrayani, I. G. A. A. 2009. Jamur entomopatogen Beauveria


bassiana : potensi dan prospeknya dalam pengendalian hama tungau. Balai
Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat Indonesian Tobacco and Fibre
Crops Research Institute. Perspektif, 8(2): 65-73.

Deplomar, P. 2016. Kepadatan Populasi dan Tingkat Serangan Walang Sangit


(Leptocorisa acuta Thumb.) pada Tanaman Padi Sawah di Kecamatan
Gunung Talang Kabupaten Solok. [Skripsi]. Padang. Fakultas Pertanian.
Universitas Andalas.

Fahrizal, A. 1998. Pengaruh ekstrak biji srikaya (Annona squmosa L.) terhadap
kualitas larva Plutella xylostella sebagai inang Diadegma semiclausum
Hellen (Hymenoptera : Ichneumonidae) [skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

Hadisutrisno, B., Suryanti., Norma., & Dahliani. 2011. Pembuatan Sistem


Peringatan Dini Penyakit Cacar Teh: Pemencaran Basidiospora Harian dan
Komponen Utama Epidemi Penyakit Cacar Daun Teh. Laporan Hibah
penelitian unggulan. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.

Heagle, A.S. J. C. Burns, D. S. Fisher, And J. E. Miller. 2002. Effects of carbon


dioxide enrichment on leaf chemistry and reproduction by twospotted
spider mites (Acari: Tetranychidae) on white clover. Environ. Entomol.
31: 594-601

12
Hikmah, Y. 1997. Tingkat parasitasi larva Spodoptera exigua pada musim hujan
dan musim kemarau. Skripsi. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanaian IPB.

Hosang. M L A dan J.S Warokka. 1996. Serangan penyakit bercak daging buah
pada kelapa hibrida PB 121 di lahan gambut

Natawigena, H. 1990. Entomologi Pertanian. Bandung: Orba Sakti

Rivai, F. 2006. Kehilangan hasil akibat penyakit tanaman. Andalas University


Press.

Ross, et al. (1982). Entomology Fourth Edition, Singapura

Saputro A. R. 2013. Biologi dan Potensi Peningkatan Populasi Kutu Putih


Singkong Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera :
Pseudococcocidae), Hama Pendatang Baru di Indonesia.

Semangun, H. 1989. Penyakit Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah


Mada University Press. Yogyakarta

Sembel, Dantje, T., (2012), Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman, Yogyakarta,


Penerbit ANDI.

Sutrisno. 2014. Resistensi wereng batang coklat terhadap insektisida di Indonesia.


Agro Biogen. 10(3): 115-124.

Syafitri, Y. 2016. Keanekaragaman Parasitoid Telur Hama Tanaman Padi (Oryza


Sativa L.) Pada Sawah Organik dan Konvensional di Kabupaten Padang
Pariaman. [Skripsi]. Padang: Universitas Andalas

Rahmi. N. 2012. Keanekaragaman Kumbang Kubah Predator (Coleoptera:


Coccinelidae) pada Ekosistem Pertanian Dataran Rendah dan Dataran
Tinggi di Sumatera Barat. [Skripsi].UniversitasAndalas, Padang.

Triwidodo, H.. 1993. The Bioecology of White Stem Bores in West Java,
Indoenesia. PhD Thesis. Univ. of Winconsin-Madison, Madison.

Wahyu, Widayat. 1989. Hama-hama Penting tanaman dan cara pengendaliannya.


Gambung. 23 hal.

13
14

Anda mungkin juga menyukai