Anda di halaman 1dari 39

HAMA UTAMA PADA TANAMAN BAWANG MERAH

(Allium Cepa L.) DAN KACANG PANJANG (Vigna


Unguiculata sp.)
MAKALAH

OLEH :
I Gede Krisna Wardana
Nim.2182611002

PROGRAM STUDI MAGISTER AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTASPERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN AJARAN
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Denpasar, September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN............................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 2
1.3 Tujuan......................................................................................................... 2
II. PEMBAHASAN.......................................................................................... 4
2.1 Daur Hidup dan Geajala Serangan Ulat Bawang (exigua Hubner.) Pada
Tanaman Bawang Merah(Allium............................................................... 6
2.2 Daur Hidup dan Geajala Serangan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Pada
Tanaman Bawang Merah............................................................................ 7
2.3 Daur Hidup dan Geajala Serangan Trips (Thrips tabaci Lind.) Pada Tanaman
Bawang Merah............................................................................................ 9
2.4 Daur Hidup dan Geajala Serangan Lalat Pengorok Daun (Liriomyza
huidobrensis) Pada Tanaman Bawang Merah........................................... 12
2.5 Daur Hidup dan Gejala Serangan Orong-orong atau Anjing Tanah
(Gryllotalpa africana Pal.) Pada Tanaman Bawang Merah....................... 13
2.6 Prinsip-prinsip Pengendalian OPT pada Bawang Merah........................... 13
2.7 Persyaratan Tindakan Pengendalian OPT................................................... 13
2.8 Budidaya Tanaman Sehat........................................................................... 14
2.9 Pemanfaatan Musuh Alami......................................................................... 15
2.10 Daur Hidup dan Gejala Seangan Hama Lalat Kacang (Agromyza Phaseoli)
Pada Kacang Panjang.............................................................................. 16
2.11 Daur Hidup dan Gejala Serangan Hama Kutu Daun ( Aphis Craccivora) Pada
Kacang Panjang....................................................................................... 18
2.12 Daur Hidup dan Gejala Serangan Hama Penggerek Polong (Maruca
Testulalis) Pada Kacang Panjang............................................................ 20

i
2.13 Daur Hidup dan Gejala Serangan Hama Tungau Merah (Tetranycuhus spp.)
Pada Kacang Panjang................................................................................ 22
2.14 Pengendalian Hama Tugau Merah ( Tetranychus spp)
Pada Kacang Panjang................................................................................ 23
2.14.1 Pengendalian Secara Biologi................................................................. 23
2.14.2 Pengendalian Dengan Cara Kultur Teknis............................................ 23
2.14.3 Pengendalian Secara Kimia................................................................... 26
2.15 Pengendalian Hama Penggerek Polong ( Maruca Testulalis) Pada Kacang
Panjang (Vigna Unguiculata sp)................................................................ 28
III. PENUTUP.................................................................................................. 30
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 30
3.2 Saran........................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 31

ii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kacang panjang adalah tanaman hortikultura yang banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat Indonesia, baik sebagai sayuran maupun sebagai
lalapan. Kacang panjang merupakan anggota famili Fabaceae yang termasuk
ke dalam golongan sayuran. Selain rasanya enak, sayuran ini juga
mengandung zat gizi cukup banyak. Kacang panjang adalah sumber protein
yang baik, vitamin A, thiamin, riboflavin, besi, fosfor, kalium, vitamin C, folat,
magnesium dan mangan (Haryanto et al, 1999).
Tanaman kacang panjang dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah
sampai menengah hingga ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl).
Pada ketinggian di atas 700 m dpl pertumbuhan kacang panjang biasanya
terhambat. Temperatur yang sesuai untuk pertumbuhan kacang panjang adalah
25-350 C pada sianghari dan pada malam hari sekitar 150 C (Prosea, 1996).
Secara umum diketahui bahwa serangga hama yang biasa menyerang
tanaman kacang panjang adalah lalat kacang (Agromyza phaseoli), ulat tanah
(Agrotis ipsilon), ulat bunga/penggerek polong (Maruca testulalis), kutu daun
(Aphis craccivora), kepik polong (Riptortus linearis) dan wereng hijau
(Empoasca sp. ) (Syahrawati & Busniah 2009). Kemudian hama yang menyerang
tanaman bawang merah yaitu ulat bawang (Spodoptera exigua Hubner), ulat
Grayak (Spodoptera litura F.), trips (Thrips tabaci Lind.), lalat pengorok daun
(Liriomyza huidobrensis), orong-orong atau anjing tanah (Gryllotalpa africana
Pal.) dan ngengat gudang (Haryanto et al, 1999).
Kebutuhan bawang merah nasional pada tahun 2008 - 2012 yaitu 990.767 ton (
(Ditjen Hortikultura, 2014 ). Tahun 2014 – 2015 produksi bawang merah nasional
rata-rata sebanyak 1.231.584 ton dengan produktivitas ratarata nasional 10,14
ton/Ha dan luas panen rata-rata 121.415 hektar (Badan Pusat Statistik dan
Direktorat Jenderal Hortikultura 2016). Tahun 2016 produksi bawang merah
nasional rata – rata sebanyak 1.446.860 ton. Tahun 2017 produksi bawang merah
nasional mencapai 1 470 154 ton (Badan Pusat Statistik , 2018).

1
Para petani sering mengalami gagal panen yang disebabkan adanya organisme
pengganggu tanaman. Sehingga dibutuhkan pengendalian baik secara fisik,
mekanik maupun kimia. Pengendalian hama yang sering dilakukan oleh para
petani yakni dengan penyemprotan tanaman budidaya menggunakan pestisida
sintetik. Para petani menggunakan pestisida sintetik karena dianggap lebih efektif
dalam pengendalian hama, namun tidak mempertimbangkan dampah negatif
terhadap lingkungan. Dampak negatif yang ditimbulkan dengan penggunakan
pestisida sintetik yaitu hama akan menjadi resisten, kematian musuh alami hama,
timbulnya 2 hama baru, dapat merusak ekosistem atau lingkungan (Sudarmo,
1991). Petani harus mengurangi penggunaan pestisida sintetik guna menghindari
dampak negatif yang ditimbulkan dalam penggunaan pestisida sintetik terhadap
lingkungan. Sehingga untuk mengurangi penggunaan insektisida, pengendalian
yang dapat dilakukan yaitu dengan rekayasa ekosistem dan menggunakan
pestisida hayati. Salah satu rekayasa ekosistem yang dapat dilakukan yaitu dengan
penanaman refugia. Selain itu, pestisida hayati yang dapat digunakan adalah
Beauveria bassiana.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Hama Utama Pada Tanaman Kacang Panjang (Vigna Unguiculata sp.) dan
Bawang Merah ( Allium Cepa L.) Berpengaruh Terhadap Pertumbuhan
Tanaman ?
1.2.2 Daur Hidup dan Gejala Serangan Hama Utama Tanaman Kacang Panjang
(Vigna Unguiculata sp.) dan Bawang Merah ( Allium Cepa L.)
Berpengaruh langsung atau Tidak Langsung Terhadap Pertumbuhan
Tanaman ?

1.3 Tujuan’
1.3.1 Pengaruh Hama Utama pada tanaman kacang panjang (Vigna Unguiculata
sp.) dan bawang merah ( Allium Cepa L.) dapat diketahui melalui respon
fisiologis atau fisik yang terjadi pada tanaman.

2
1.3.2 Pengaruh langsung maupun tidak langsung dapat diketahui melalui respon
hama terhadap pertumbuhan tanaman kacang panjang (Vigna Unguiculata
sp.) dan bawang merah ( Allium Cepa L..)

3
II. PEMBAHASAN

2.1 Daur Hidup dan Geajala Seangan Ulat bawang (Spodoptera exigua
Hubner.) Pada Tanaman Bawang Merah
Menurut Sudarmo (1987) Spodoptera exigua Hubner dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Genus : Spodoptera
Species : Spodoptera exigua Hubner.
Serangga dewasa merupakan ngengat dengan sayap depan berwarna kelabu
gelap dan sayap belakang berwarna agak putih. Imago betina meletakkan telur
secara berkelompok pada ujung daun. Satu kelompok biasanya berjumlah 50 –
150 butir telur. Seekor betina mampu menghasilkan telur rata-rata 1.000 butir.
Telur dilapisi oleh bulu-bulu putih yang berasal dari sisik tubuh induknya. Telur
berwarna putih, berbentuk bulat atau bulat telur (lonjong) dengan ukuran sekitar
0,5 mm. Telur menetas dalam waktu 3 hari. Larva S. exigua berukuran panjang
2,5 cm dengan warna yang bervariasi. Ketika masih muda, larva berwarna hijau
muda dan jika sudah tua berwarna hijau kecoklatan gelap dengan garis
kekuningan-kuningan (Gambar 1).

Gambar 1. Telur, larva dan imago S. Exigua


(Sumber: Kawana, 1993)

Lama hidup larva 10 hari. Pupa dibentuk pada permukaan tanah, berwarna
coklat terang dengan ukuran 15 – 20 mm. Lama hidup pupa berkisar antara 6 – 7

4
hari. Siklus hidup dari telur sampai imago adalah 3 – 4 minggu. Larva S. exigua
mempunyai sifat polifag (pemakan segala). Gejala serangan yang ditimbulkan
oleh ulat bawang ditandai oleh adanya lubang-lubang pada daun mulai dari tepi
daun permukaan atas atau bawah (Gambar 2). Tanaman inang antaranya lain
asparagus, kacang-kacangan, bit, brokoli, bawang putih, bawang merah, cabai,
kentang, lobak, bayam dan tomat.

Gambar 2. Gejala serangan S. exigua pada tanaman bawang merah


(Sumber : Setiawati, 2000)

Warna ulatnya coklat tua sampai kehitaman, agak mengkilap, dan sering kali
ada garis coklat pada kedua sisinya. Biasanya pada sisi punggungnya ada kutil
yang dikelilingi bintik-bintik kecil berwarna cokelat muda. Sayap muka ngengat
berwarna coklat kelabu dengan bercak bebentuk ginjal di tengah. Selain itu, ada 3
bercak hitam berbentuk baji dan garis melintang yang samar-samar. Sayap
belakangnya pucat, jika dibentangkan panjang sayap mencapai 40-50 mm.
Telurnya bulat putih diletakkan di atas tanah yang lembab, sekali bertelur rata-
rata mencapai 1.500 butir. Warna ulat yang baru saja menetas mula-mula abu-abu
kehijauan, kemudian berubah menjadi kelabu kecoklatan dan akhirnya menjadi
coklat tua kehitaman. Pada waktu siang ulat membuat lubang di dalam tanah dan
malam harinya keluar untuk mencari makanan. Mula-mula hidup menggerombol
tetapi sesudah tua menyendiri dan kadang-kadang memakan temannya sendiri.
Pupanya berada dalam tanah yang lembab dan berwarna coklat tua. Masa hidup
satu generasi lebih kurang 5-6 minggu.
Ulat bawang (Spodoptera exigua (Hübner)) merupakan jenis ulat grayak yang
paling sering menyerang pertanaman bawang merah dan bawang putih. Gejala

5
serangan hama ulat bawang pada tanaman bawang merah ditandai dengan adanya
bercak putih transparan pada daun (Sudewo, 2010).
Ulat Spodoptera exigua (Hübner) menyerang daun dengan menggerek ujung
pinggiran daun, terutama daun yang masih muda. Akibatnya, pinggiran dan ujung
daun terlihat bekas gigitan. Mula-mula ulat bawang merah melubangi bagian
ujung daun lalu masuk ke dalam daun bawang. Akibatnya, ujung-ujung daun
nampak terpotong-potong. Tidak hanya itu saja, jaringan bagian dalam daunpun
dimakannya pula. Akibat serangan ulat ini, daun bawang terlihat menerawang
tembus cahaya atau terlihat bercak-bercak putih, akibatnya daun jatuh terkulai
(Wibowo, 2004).

2.2 Daur Hidup dan Gejala Serangan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)
Pada Tanaman Bawang Merah
Menurut Direktorat Perlindungan Hortikulutura (2007), ulat grayak
(Spodoptera litura) diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Genus : Spodoptera
Spesies : Spodoptera litura F.
Hama ini termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorfosis
sempurna yang terdiri dari empat stadia hidup yaitu telur, larva, pupa, dan imago .
Pada siang hari ulat grayak tidak tampak, karena umumnya bersembunyi di
tempat-tempatyang teduh, di bawah batang dekat leher akar. Pada malam hari ulat
grayak akan keluar dan melakukan searangan. Serangga ini merusak pada stadia
larva, yaitu memakan daun, sehingga menjadi berlubang-lubang. Biasanya dalam
jumlah besar ulat garayak bersama-sama pindah dari tanaman yang telah habis
dimakan daunnya ke tanaman lainnya (Pracaya, 1995)

6
Ngengat berwarna agak gelap dengan garis putih pada sayap depannya,
sedangkan sayap belakang berwarna putih dengan bercak hitam. Seekor ngengat
betina mampu menghasilkan telur sebanyak 2.000 – 3.000 butir. Telur berwarna
putih diletakkan berkelompok dan berbulu halus seperti diselimuti kain laken.
Dalam satu kelompok telur biasanya terdapat sekitar 350 butir telur. Larva
mempunyai warna yang bervariasi, tetapi mempunyai kalung hitam pada segmen
7 abdomen yang keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis
kuning. (Gambar 3). Pupa berwarna coklat gelap terbentuk dalam tanah.

Gambar 3. Larva S. Litura


(Sumber : Courier, 1980)

Siklus hidup sekitar 23 hari. Ngengat betina menghasilkan telur lebih kurang
1000 butir. Telur diletakkan biasanya dalam kelompok-kelompok yang berbentuk
lonjong dan bulat. Warna telurnya putih dan ditutup dengan lapisan bulu-bulu
tipis. Sesudah menetas, ulat segera masuk ke dalam rongga daun bawang merah
sebelah atas. Mula-mula ulat berkumpul, setelah itu daun habis dimakan, ulat
segera menyebar. Jika populasi besar, ulat juga memakan umbi. Perkembangan
ulat di dalam daun lebih kurang 9-14 hari. Ulat kemudian berkepompong di dalam
tanah.

.2.3 Daur Hidup dan Gejala Serangan Trips (Thrips tabaci Lind.) Pada
Tanaman Bawang Merah
Menurut Prabaningrum dan Suhardjono (2007), ulat grayak (Spodoptera litura)
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda

7
Kelas : Insecta
Ordo : Thysanoptera
Famili : Thripidae
Genus : Thrips
Spesies : Thrips tabaci Lind.
Tubuhnya tipis sepanjang ± 1 mm dan dengan sayap berumbai-umbai. Warna
tubuh kuning dan berubah menjadi coklat sampai hitam jika sudah dewasa. Telur
berwarna kekuningan, lama hidup 4 – 5 hari. Nimpa berwarna putih kekuningan
lama hidupnya sekitar 9 hari (Gambar 4). Pupa terbentuk dalam tanah, lama hidup
sekitar 9 hari. Satu ekor betina mampu menghasilkan telur sebanyak 80 telur.

Gambar 4. Nimfa T. Tabaci


(Sumber : Chaput, 1989)

Gejala serangan daun berwarna putih keperak-perakan (Gambar 5). Pada


serangan hebat, seluruh areal pertanaman berwarna putih dan akhirnya tanaman
mati. Serangan hebat terjadi pada suhu udara rata-rata di atas normal dan
kelembaban lebih dari 70%. T. tabaci menyerang paling sedikit 25 famili tanaman
seperti kacang-kacangan, brokoli, wortel, kubis bunga, kapas, mentimun, bawang
putih, melon, bawang merah, pepaya, nenas, tomat, dan tembakau (Saung, 2011).

Gambar 5. Gejala serangan trips pada tanaman bawang merah


(Sumber : Chaput, 1989)

8
Terlihat pada daun berupa bercak mengkilap dan luka bekas gigitan yang
berbentuk bintik-bintik berwarna putih, lalu berubah menjadi abu-abu perak dan 9
mengering. Serangan dimulai dari ujung-ujung daun yang masih muda.
Perkembangan dan penyebaran hama ini cepat sekali (Saung, 2011).

2.4 Daur Hidup dan Gejala Serangan Lalat Pengorok Daun (Liriomyza
huidobrensis) Pada Tanaman Bawang Merah
Klasifikasi lalat penggorok daun Liriomyza huidobrensis menurut Sudarmo
(1987) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Family : Agromyzidae
Genus : Liriomyza
Species : Liriomyza huidobrensis
Liriomyza sp. pertama kali ditemukan menyerang tanaman bawang merah di
desa Klampok, Kabupaten Brebes pada awal bulan Agustus 2000. Liriomyza sp.
menyerang tanaman bawang merah dari umur 15 hari setelah tanam sampai
menjelang panen. Kehilangan hasil akibat hama tersebut dapat mencapai 30 –
100%. Hasil pantauan yang dilakukan di lapangan ternyata kerusakan yang
diakibatkan oleh hama tersebut sangat berat dengan kerugian ekonomi yang
tinggi. Di daerah pantauan tersebut, tanaman bawang merah yang terserang hama
ini daunnya mengering akibat korokan larva. Para petani terpaksa memanen
tanamannya lebih awal, sehingga umbi bawang yang dihasillkan berukuran sangat
kecil (Setiawati, 2000). Pada keadaan serangan berat, hampir seluruh helaian daun
penuh dengan korokan, sehingga menjadi kering dan berwarna coklat seperti
terbakar. Larva pengorok daun bawang merah ini dapat masuk sampai ke umbi
bawang, dan hal ini yang membedakan dengan jenis pengorok daun yang lain.
L.huidobrensis berukuran panjang 1,7 – 2,3 mm. Seluruh bagian punggungnya
berwarna hitam, telur berwarna putih, bening, berukuran 0,28 mm x 0,15 mm.

9
Larva berwarna putih susu atau kekuningan, dan yang sudah berusia lanjut
berukuran 3,5 mm (Gambar 6). Pupa berwarna kuning keemasan hingga cokelat
kekuningan, dan berukuran 2,5 mm (Gambar 6). Seekor betina mampu
menghasilkan telur sebanyak 50 – 300 butir. Siklus hidup pada tanaman bawang
merah sekitar 3 minggu (Anonim 2005). Tanaman inang L. chinensis hanya 10
bawang merah, sedangkan pada tanaman lainnya belum diketahui. Gejala daun
bawang merah yang terserang, berupa bintik-bintik putih akibat tusukan
ovipositor, dan berupa liang korokan larva yang berkelok-kelok. Pada keadaan
serangan berat, hampir seluruh helaian daun penuh dengan korokan, sehingga
menjadi kering dan berwarna coklat seperti terbakar (Gambar 7)

Gambar 6. Larva, pupa dan imago L. Chinensis


(Sumber : Setiawati, 2000)

Hama pengorok daun termasuk hama baru di Indonesia. Hama ini merupakan
hama pendatang dari benua Amerika Latin yang masuk ke Indonesia sekitar tahun
90 an. Hama pengorok daun sebenarnya sejenis lalat termasuk dalam ordo
Diptera, famili Agromyzidae. Hewan ini memiliki satu pasang sayap sehingga
disebut Diptera. Beberapa spesies hama pengorok daun yang merusak tanaman
sayuran diantaranya Liriomyza huidobrensis yang menyerang sayuran kentang,
Liriomyza trifolii yang menyerang bunga krisan dan Liriomyza chinensis yang
menyerang tanaman bawang. Hama pengorok daun sangat ditakuti oleh petani
sayuran, karena kerusakan yang ditimbulkannya mencapai 60-100%.
Hama pengorok daun yang menyerang tanaman bawang merah termasuk
dalam spesies L. chinensis. Telur dari serangga ini berwarna putih bening
berukuran 0,28 mm x 0,15 mm, dan lama stadium telur berlangsung antara 2-4
hari. Jumlah telur yang diletakkan serangga betina selama hidupnya berkisar 50-

10
300 butir, dengan rata-rata 160 butir. Telur diletakkan dalam jaringan daun
melalui ovipositor. Larva yang baru keluar berwarna putih susu atau putih
kekuningan, dan segera mengorok jaringan mesofil daun serta tinggal dalam liang
korokan selama hidupnya. Stadium larva antara 6-12 hari, dan larva yang sudah
berusia lanjut (instar 3) berukuran 3,5 mm. Larva instar 3 dapat mengorok
jaringan 600 x lipat dari larva instar 1, dan larva ini kemudian keluar dari liang 11
korokan untuk berkepompong. Pupa lalat pengorok daun ini umumnya ditemukan
di tanah, tetapi pada tanaman bawang merah sering ditemukan menempel pada
permukaan bagian dalam dari rongga daun bawang. Stadium pupa antara 11-12
hari, lalu keluar menjadi serangga dewasa / imago. Imago betina mampu hidup
selama 6-14 hari dan imago jantan antara 3-9 hari. Lalat L. chinensis pada bagian
punggungnya berwarna hitam, sedangkan pada lalat L. huidobrensis dan L. sativa
di bagian ujung punggungnya terdapat warna kuning (Samsudin et al, 2008).

Gambar 7. Gejala serangan L. chinensis pada tanaman bawang merah


(Sumber : Setiawati, 2000)

11
Gejala daun bawang yang terserang berupa bintik – bintik putih akibat tusukan
ovipositor, dan berupa liang korokan larva yang berkelok – kelok. Serangan pada
tanaman dapat terjadi sejak fase awal pertumbuhan (1-10 hari setelah tanam) dan
berlanjut hingga fase pematangan umbi (51-65 hari setelah tanam). Pada keadaan
serangan berat, hampir seluruh helaian daun penuh dengan korokan sehingga
menjadi kering dan berwarna cokelat seperti terbakar. Larva pengorok daun
bawang ini dapat masuk sampai ke umbi bawang, dan hal ini yang membedakan
dengan jenis pengorok daun yang lain. Kerusakan berat biasanya terjadi pada
akhir musim kemarau.

2.5 Daur Hidup dan Gejala Serangan Orong-orong atau Anjing Tanah
(Gryllotalpa africana Pal.) Pada Tanaman Bawang Merah
Menurut Direktorat Perlindungan Hortikulutura (2007), Orong-orong atau
Anjing Tanah (Gryllotalpa africana Pal.) diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Orthoptera
Famili : Gryllotalpidae
Genus : Gryllotalpa africana
Spesies : Gryllotalpa africana Pal.
Imago menyerupai cengkerik, mempunyai sepasang kaki depan yang kuat, dan
terbang pada malam hari (Gambar 8). Nimfa seperti serangga dewasa, tetapi
ukurannya lebih kecil. Sifatnya sangat polifag, memakan akar, umbi, tanaman
muda dan serangga kecil seperti kutu daun. Lamanya daur hidup 3 – 4 bulan.
Umumnya orong-orong banyak dijumpai menyerang tanaman bawang merah pada
penanaman kedua. Hama ini menyerang tanaman yang berumur 1 -2 minggu
setelah tanam. Gejala serangan ditandai dengan layunya tanaman, karena akar
tanaman rusak.

12
Gambar 8. Anjing tanah atau orong-orong (Gryllotalpa africana Pal)
(Sumber : Anonim, 2005)

Hama ini umumnya banyak dijumpai menyerang tanaman bawang pada fase
penanaman ke dua atau sekitar umur tanaman kira – kira 1 – 2 minggu setelah
tanam. Serangan ditandai dengan layunya tanaman, karena akar tanaman rusak,
bahkan pada umbi kadang terdapat lubang dengan bentuk yang tidak beraturan.
2.6 Prinsip-Prinsip Pengendalian OPT pada Bawang Merah
Pengendalian OPT dilakukan dengan sistem PHT, melalui kegiatan
pemantauan dan pengamatan, pengambilan keputusan, dan tindakan pengendalian
dengan memperhatikan keamanan bagi manusia serta lingkungan hidup secara
berkesinambungan.
Pemantauan dan pengamatan dilakukan terhadap perkembangan OPT dan
faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Pengambikan keputusan dilakukan
berdasarkan hasil analisis data pemantauan dan pengamatan. Keputusan dapat
berupa : diteruskannya pemantauan dan pengamatan, atau tindakan pengendalian.
Pemantauan dan pengamatan dilanjutkan jika populasi dan atau tingkat serangan
OPT tidak menimbulkan kerugian secara ekonomis. Pengendalian dilakukan jika
populasi dan atau tingkat serangan OPT dapat menimbulkan kerugian secara
ekonomis (Sudarmo, S., 1987).

2.7 Persyaratan Tindakan Pengendaliaan OPT


Aspek teknis meliputi perpaduan cara-cara pengendalian yang serasi, selaras
dan seimbang sehingga dapat menekan populasi OPT dan atau tingkat serangan
OPT sampai batas tidak merugikan. Cara pengendalian terdiri atas cara
pengendalian kultur teknis, fisik, mekanik, biologis, dan genetik. Dalam

13
penerapan PHT pengendalian hayati merupakan faktor utama. Pestisida digunakan
hanya jika diperlukan, yaitu jika populasi hama atau kerusakan tanaman telah
mencapai ambang yang merugikan (Sudarmo, S., 1987).
Dalam penerapan PHT, biaya pengendalian diusahakan seekonomis mungkin
tetapi memberi manfaat yang optimal. Teknologi PHT dirancang untuk tidak
mengganggu kesehatan manusia dan tidak mengganggu kehidupan musuh alami
dan organisme bukan sasaran. Selain itu juga tidak menimbulkan gangguan dan
kerusakan sumberdaya hayati dan tidak meninggalkan residu pestisida pada
lingkungan dan hasil panen. Teknologi PHT harus sesuai dengan kondisi sosial,
budaya, agama dan tingkat pendidikan masyarakat (Sudarmo, S., 1987).

2.8 Budidaya Tanaman Sehat


Penanaman pada musim kemarau dapat menekan serangan A. Porii (Hikmat,
2002). Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan bawang – bawangan dapat
menekan serangan A. Porii (Hikmat, 2002).
Varietas Kuning, Bima dan Sumenep terhadap hama S. exigua, varietas Bauji
tahan terhadap Alternaria porii (Baswarsiati dan Nurbanah, 2001), varietas
Bangkok toleran terhadap penyakit bercak ungu. Penggunaan bibit umbi yang
berasal dari tanaman sehat, kompak (tidak keropos) tidak luka/kulit tidak
terkelupas, warnanya mengkilat.

Gambar 9. Varietas Bauji tahan terhadap A. porii


(Sumber : Soeriaatmadja, 1992)

Penggunaan pupuk N yang berlebih dapat mengakibatkan tanaman menjadi


sukulen karena bertambahnya ukuran sel dengan dinding sel yang tipis, sehingga
mudah terserang OPT (Suryaningsih dan Asandhi, 1992). Pupuk kandang sapi

14
(15-20 t/ha) atau kotoran ayam (5-6 t/ha) atau kompos (2,5-5 t/ha). Pupuk buatan :
TSP (120-200 kg/ha, Urea (150-200 kg/ha), ZA (300-500 kg/ha) dan KCl (150-
200 kg/ha).
Pengambilan dan pemusnahan bagian dan sisa-sisa tanaman yang terinfeksi.
Penyiraman yang baik, 1-2 kali tiap hari. Penyiraman dengan air (bersih) setelah
turun hujan pada siang hari dilakukan untuk membersihkan konidia yang
menempel pada tanaman bawang merah (Putrasamedja dan Suwandi, 1996).
Perangkap feromonoid seks dipasang sebanyak 50 buah/ha untuk menangkap
ngengat S. exigua (Gambar 14). Perangkap likat warna kuning dapat digunakan
untuk menekan serangan lalat pengorok daun L. chinensis, dipasang segera setelah
tanaman bawang merah tumbuh. Jumlah perangkap yang dibutuhkan adalah
sebanyak 40 buah/ ha (Gambar 15). Perangkap likat warna putih atau biru untuk
T. tabaci sebanyak 50 buah/ha (Putrasamedja dan Suwandi, 1996).

Gambar 10. Perangkap feromonoid seks


(Sumber : Setiawati, 1997)

Perangkap lampu neon (TL 10 watt) dengan waktu nyala mulai pukul 18.00
sampai dengan 24.00 paling efisien dan efektif untuk menangkap imago dan
menekan serangan S. exigua pada bawang merah. Daya penekanan terhadap
tingkat kerusakan mencapai 74 – 81% (Putrasamedja dan Suwandi, 1996).

Gambar 11. Beberapa jenis lampu perangkap


(Sumber : Setiawati, 1997)

15
Jika imago betina mempunyai kemampuan bertelur sebanyak 600 butir dengan
daya tetas 30-40%, dan diasumsikan perbandingan jantan-betina 50% dari imago
yang tertangkap, maka dapat dikatakan bahwa perangkap lampu neon (TL 10
watt) dapat menekan populasi larva S. exigua sebanyak 124,53/2 x 600 x 35% =
1.075,65 larva/minggu. Penerapan penggunaan lampu perangkap di Kabupaten
Nganjuk, Jawa Timur pada luasan 1 ha digunakan 30 titik lampu dengan jarak
pemasangan 20 m x 15 m. Waktu pemasangan dan penyalaan lampu 1 minggu
sebelum tanam sampai dengan menjelang panen (60 hari). Lampu dinyalakan
mulai pukul 17.00 – 06.00 WIB. Tinggi pemasangan lampu antara 10 – 15 cm di
atas bak perangkap, sedangkan mulut bak perangkap tidak boleh lebih dari 40 cm
di atas pucuk tanaman bawang merah.

Gambar 12. Penggunaan lampu perangkap pada tanaman bawang merah


(Sumber : Setiawati, 1997)

Penggunaan sungkup kain kasa dapat menekan populasi telur dan larva serta
intensitas kerusakan tanaman serta secara tidak langsung juga mampu
meningkatkan jumlah anakan, tinggi.
Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan cara mengumpulkan
kelompok telur dan larva S. exigua (nguler) lalu memusnahkannya. Pengendalian
secara mekanik dilakukan pada umur tanaman bawang merah 7 - 35 hari setelah
tanam (Setiawati, 1997).

16
Gambar 14. Nguler pada tanaman bawang merah
(Sumber : Setiawati, 1997)

2.9 Pemanfaatan musuh alami


Eriborus sinicus : 10%, Diadegma sp., Chaprops sp., Euplectrus sp.,
Stenomesius japonicus., Microsplitis similes dan Peribaea sp. (Shepard et al.
1997). Persistensi Se-NPV berkisar antara 0 – 72 jam pada konsentrasi 8,0 x 10 13
PIBs/ml (Sutarya, 1996). Mortalitas sebesar 100% terjadi pada hari ke 18
sembilan setelah perlakuan. Penggunaan ekstrak kasar 15 larva S. exigua
terinfeksi SeNPV/l air yang mengandung virus sebanyak 4,45 x 10 10 ) PiBs/ml,
efektif terhadap S. exigua (Moekasan, 1999). Konsentrasi SeNPV 1 g/l (4,82 x 10
10 PIBs/g) dapat membunuh S. exigua pada 110,9 jam setelah penyemprotan
(Moekasan, 2002). Pencampuran SeNPV dengan insektisida kimia
(Klorfluazuron, Betasiflutrin, Fipronil, Profenofos, Deltametrin, lamda
Sihalotrin, dan Tebufenozida) memberikan efek sinergistik dan daya bunuh
menjadi 84,4 jam (Moekasan, 2004).

Gambar 15. Gejala awal (A) dan gejala lanjut (B) larva S. exigua terinfeksi Se
NPV (Sumber : Moekasan, 2004)

Pada musim kemarau, AP S. exigua adalah paket telur 0,1 per tanaman contoh
atau kerusakan daun sebesar 5% per tanaman contoh. Pada musim hujan AP S.

17
exigua adalah paket telur 0,3 per tanaman contoh atau kerusakan daun sebesar
10% per tanaman contoh. Jika jumlah telur S. exigua atau kerusakan tanaman
mencapai ambang pengendalian, dilakukan penyemprotan insektisida.
Penggunaan bahan nabati untuk mengendalikan OPT sudah dilakukan sejak
lama, namun demikian penelitian mengenai pengaruh ekstrak tanaman nabati
untuk mengendalikan OPT di Indonesia masih sangat sedikit. Beberapa 19
insektisida nabati (pestitani) yang dapat digunakan untuk mengendalikan OPT
bawang merah seperti yang dilaporkan oleh Suryaningsih dan Hadisoeganda
(2004) disajikan berikut ini.
AGONAL 866 adalah akronim dari nama latin tanaman Azadirachta indica
sebanyak 8 bagian, Cymbopogon nardus sebanyak 6 bagian dan Alpinia galanga
sebanyak 6 bagian. Menggunakan bahasa/nama lokal, akronim tersebut adalah
NISELA 866 yaitu nimba sebanyak 8 bagian, serai wangi sebanyak 6 bagian dan
laso sebanyak 6 bagian. Untuk 1 ha pertanaman dibutuhkan daun A. indica
(nimba) sebanyak 8 kg, daun C. nardus (serai wangi) 6 kg dan rimpang Alpinia
galanga (laos) 6 kg.
TIGONAL 866 adalah akronim dari nama latin tanaman Tithonia diversifolia
sebanyak 8 bagian, C. nardus 6 bagian, A. galanga 6 bagian. Akronim nama lokal
adalah KISELA 866 yaitu : kipahit sebanyak 8 bagian, serai wangi 6 bagian dan
laos 6 bagian. Untuk 1 ha pertanaman dibutuhkan daun T. diversifolia (kipahit)
sebanyak 8 kg, daun C. nardus (serai wangi) 6 kg dan rimpang A. galanga (laos) 6
kg.
PHROGONAL 866 adalah akronim dari nama latin tanaman Tephrosia candida
sebanyak 8 bagian, C. nardus 6 bagian, A. galanga 6 bagian. Akronim nama lokal
adalah BISELA 866 yaitu : kacang babi sebanyak 8 bagian, serai wangi 6 bagian
dan laos 6 bagian. Semua bahan dicacah, dicampur dan digiling sampai halus,
kemudian ditambah dengan 20 l air bersih dan diaduk selama 5 menit, lalu
diendapkan selama 24 jam. Suspensi disaring, larutan atau ekstrak diencerkan
sebanyak 30 kali dengan cara menambah air bersih sebanyak 580 l sehingga
volume ekstrak kasar menjadi 600 l. Sebagai bahan perata dapat ditambah 0,1 g
sabun atau deterjen per 1 l ekstrak (60 g per 600 l ekstrak).

18
2.10 Daur Hidup dan Gejala Serangan Hama Lalat Kacang (Agromyza
phaseoli) Pada Kacang Panjang (Vigna Unguiculata sp)
Lalat kacang O. phaseoli dapat hidup pada berbagai jenis tanaman kacang-
kacangan antara lain kacang hiris (Cajanus indicus), koro bedog (Canavalia
ensiformis Dc.), kacang pedang (Dolichos lablab L.), kedelai (Glycine max L.
Merill), kacang uci (Phaseolus calcaratus Rocb.), kacang kratok (P. lunatus L.),
kacang hijau (P. radiatus L.), kacang jogo (P. vulgaris), P. munggo L., P.
artopurpureus, P. panduratus, kacang tunggak (V. sinensis), V. unguiculata,
Crotalaria juncea L., C. mucronata, dan Dolichos sesquepedalis (Goot, 1930;
Kleinschmidt, 1970; Spencer, 1973). Fransen dalam Sunjaya (1970), mengatakan
bahwa salah satu syarat bagi pertumbuhan populasi serangga adalah suplai
makanan dalam jumlah berlimpah. Oleh karena itu, populasi hama dapat diatur
dengan cara memanipulasi faktor makanan, yaitu tanaman inang.
Larva yang baru keluar dari telur berwarna putih bening, sedangkan larva
dewasa berwarna kekuningan (Goot, 1930). Bentuk larva memanjang, berwarna
putih dengan ukuran maksimum 3,75 mm (Kalshoven, 1981). Larva memiliki
anterior spiraculum kecil dan terdiri dari tonjolan sebanyak enam buah, sedangkan
posterior spiraculum kecil dan terpisah dengan tonjolan kecil berjumlah 10 buah
(Goot, 1930). Pupa yang baru terbentuk berukuran 3 mm, berwarna kuning pucat
kemudian berubah warna menjadi kekuning-kuningan dan selanjutnya menjadi
kecoklat-coklatan, dan pada akhir perkembangannya berubah menjadi hitam agak
coklat.
Untuk meletakkan telur, imago membuat lubang tusukan di bawah epidermis
kotiledon bagian atas atau bawah atau daun pertama atau daun kedua (Goot,
1930). Menurut Hassan (1947) dan Greathead (1968), telur O. phaseoli disisipkan
ke dalam jaringan mesofil (bunga karang). Imago membuat tusukan dan
meletakkan telur di sekitar dasar keping biji (kotiledon) atau di sekitar dasar helai
daun. Telur diletakkan satu persatu secara terpisah.
Larva yang baru menetas menggerek dan makan pada keping biji atau daun
pertama selama 2 hari. Liang gereknya berliku-liku dan dapat mulai terlihat pada

19
7 HST. Selanjutnya larva menggerek menuju ke batang terus ke pangkal batang
dan pangkal akar melalui kulit. Setelah larva sampai ke ujung akar akan berbalik
menuju ke pangkal akar atau pangkal batang untuk memasuki stadia prapupa dan
stadia pupa. Stadia larva berkisar antara 7–11 hari (Goot, 1930) dengan kematian
44% (Kalshoven, 1981). Larva mulai ditemukan di batang pada 9 HST, puncak
populasi larva terjadi pada 14 HST, dan selanjutnya menurun drastis (Djuwarso,
1991; 1992).
Puparium dibentuk di bawah kulit pangkal akar atau pangkal batang, stadium
pupa berkisar antara 7–13 hari dengan rata-rata sembilan hari (Goot, 1930). Siklus
hidup lalat kacang berkisar antara 17–26 hari dengan rata-rata 21 hari (Goot,
1930).
Serangan segera terjadi setelah tanaman muncul di atas permukaan tanah. Pada
umumnya larva mulai makan dan merusak jaringan tanaman, yaitu keping biji,
saat tanaman berumur 6 HST. Larva ini berasal dari telur yang diletakkan pada
keping biji tanaman umur 4 HST. Tanda serangan pada keping biji atau pada daun
pertama atau daun kedua di sekitar pangkal daun, mula-mula berupa bintik-bintik
yang kurang jelas, kemudian akan tampak bintik-bintik putih. Bintik-bintik
tersebut adalah bekas tusukan alat peletak telur. Cairan yang keluar dari lubang
tusukan merupakan bahan pakan imago.
Tanda serangan larva pada keping biji atau daun berupa alur atau garis
lengkung berwarna coklat, yaitu liang gerekan larva. Tanda gerekan atau serangan
larva telah tampak pada 7 HST, selanjutnya larva menggerek menuju ke batang,
terus ke pangkal batang, pangkal akar sampai ke ujung akar melalui kulit batang,
dan kulit akar. Akibat putusnya jaringan kulit karena digerek oleh larva, dan
pembusukan pada kulit batang, menyebabkan akar tidak mendapatkan suplai
makanan dari keping biji atau daun. Keadaan ini menyebabkan akar tidak dapat
berfungsi normal sehingga tanaman akan layu, kering, dan akhirnya mati. Proses
kematian tanaman mulai terjadi sejak 14 HST dan saat itu larva sudah memasuki
stadia prapupa atau pupa. Kematian tanaman berlangsung selama 16 hari yaitu
sejak 14 HST sampai 30 HST.

20
Kematian tanaman oleh serangan lalat kacang ditentukan oleh banyaknya larva
dalam satu batang (Hastuti, 1984) dan umur tanaman waktu terjadi serangan.
Periode kritis tanaman kedelai terhadap serangan lalat kacang adalah 4–10 HST
(Tengkano dan Sutarno, 1978b; Tengkano dan Supadmo, 1983) .

2.11 Daur Hidup dan Gejala Serangan Hama kutu daun (Aphis craccivora)
Pada Kacang Panjang (Vigna Unguiculata sp)
A. craccivora berbentuk seperti buah peer, panjang sekitar 4 mm dan lunak.
Bagian mulutnya terdiri atas jarum yang tajam untuk menusuk tanaman dan
mengisap cairan. Aphis hidup secara bergerombol pada daun dan tunas muda.
Aphis dewasa Aphis dewasa dapat menghasilkan 2- 20 anak setiap hari dan bila
keadaan baik daur hidup aphis mencapai 2 minggu, (Pracaya, 1998). A.
craccivora yang baru lahir secara berangsur-angsur berubah menjadi coklat dan
akhirnya menjadi hitam. Nimfa yang baru lahir panjangnya lebih kurang 0,35 mm
dengan lebar lebih kurang 0,18mm. setelah menjadi imago ukurannya menjadi
1,5-2 mm (Sutarjo, 1978 dalam Irwanto, 2006).
A. craccivora merupakan hama yang bersifat polifag, mempunyai tanaman
inang secara taksonomik sangat beragam antara lain kapas, kacang-kacangan,
tomat, ketimun, jeruk, apokat , labu air, labu siam, kubis, cabai, lobak, tembakau,
kentang, bayam, lada, ubi jalar dan seledri (Subiyakto dan Kartono, 1998).
Serangan A. craccivora mengakibatkan tanaman kerdil, daun gugur, dan
pertumbuhan terhambat. Pada serangan berat tanaman layu kemudian mati.
Serangga ini, mempunyai empat instar nimfa dengan pergantian kulit empat
kali dan bentuknya nyaris sama. Lama perkembangan masing-masing instar nimfa
berkisar 1-3 hari. Total perkembangan seluruh nimfa berkisar 4-12 hari. Nimfa
menyerupai imago, hanya saja tidak mempunyai sayap (Kessing dan Mau, 2004).
Nimfa akan berubah menjadi serangga dewasa yang bersayap maupun tanpa
sayap. A. craccivora dewasa berkembang biak kembali dalam waktu kurang lebih
2-3 hari kemudian. Dewasa tanpa sayap (apterae) berukuran panjang 1,6-2,6 mm,
berwarna keabuan atau hijau muda dengan kepala berwarna hitam dan garis hitam
di belakang abdomen. Tubuh diselimuti lilin seperti tepung 6 putih keabu-abuan

21
yang juga terdapat pada tanaman inangnya, sedangkan dewasa bersayap (alatae)
berukuran panjang 1,6-2,8 mm, rongga dada dan kepala berwarna gelap dengan
garis hitam pada abdomen. Sayap berwarna coklat. Semua yang mempunyai sayap
adalah betina yang berfungsi untuk memencar dan menghasilkan keturunan
(Dixon, 2000).

Gambar 1. Aphis craccivora.


Sumber : (Kessing dan Mau, 2004).

Pada tanaman kacang-kacangan A. craccivora menularkan virus Mosaik yang


dapat mempengaruhi kualitas dan hasil tanaman, serta menyebabkan kerusakan
yang berat, Serangan hama ini menyebabkan pertumbuhan tanaman kacang
panjang terhambat karena terisapnya cairan sel tanaman. Gejala daun yang umum
terlihat adalah menggulung dan mengering. Perkembangan populasi A. craccivora
dipicu oleh suhu dan kelembaban yang tinggi. Pengendalian hama ini tergolong
agak sulit, terutama yang sudah resisten terhadap pestisida (Setokuci, 1981)

2.12 Daur Hidup dan Gejala Serangan Hama Penggerek Polong (Maruca
testulalis) Pada Kacang Panjang (Vigna Unguiculata sp)
Maruca testulalis tergolong ke dalam ordo Lepidoptera dan famili Pyralidae.
Serangga ini juga dikenal dengan sebutan mung moth atau pod borer. Maruca
testulalis adalah salah satu hama pada tanaman kacang panjang yang menyerang
bagian bunga dan polong. Maruca testulalis meletakkan telurnya pada bagian
bunga, daun dan polong secara berkelompok. Satu kelompok telur terdiri dari 2-4
butir telur dengan bentuk lonjong agak pipih serta berwarna putih kekuningan
agak bening, stadium telur berlangsung 2-3 hari. Larva berwarna putih

22
kekuningan dengan panjang mencapai 18 mm. Kepalanya berwarna coklat hingga
hitam dan setiap segmen terdiri dari bintik-bintik gelap di sepanjang tubuhnya
yang terletak pada bagian punggungnya. Stadium larva berlangsung selama 10-15
hari. Pupa terbentuk di dalam tanah atau di dalam polong. Tubuh pupa berwarna
coklat dengan panjang kira kira 13,5 mm dan stadium pupa berlangsung 7-10 hari
(Supriyatin, 1990).
Gejala serangan hama ini tampak pada bunga dan bakal polong yang rusak dan
kemudian gugur. Satu individu larva selama hidupnya dapat merusak 4-6 bunga
per tanaman. Gerekan pada polong menyebabkan biji pada polong menjadi rusak,
kulit polong berlubang dan dari lubang tersebut keluar serbuk gerek yang basah
bercampur kotoran larva yang berwarna coklat. Hasil penelitian Nurdin dan
Atman (1996), menyatakan bahwa tingkat serangan penggerek polong M.
testulalis cukup tinggi yaitu sekitar 41,7% pada polong dan 18,7% pada biji.

2.13 Daur Hidup dan Gejala Serangan Hama Tungau Merah (Tetranychus
spp.) Pada Kacang Panjang (Vigna Unguiculata sp)
Tungau merah Tetranychus spp. (red spider mite) termasuk hama yang
tergolong dalam ordo Acari, famili Tetranychidae. Tungau dapat menyerang pada
beberapa tanaman antara lain: kapas, strowberi, tomat, kedelai, kacang panjang
dan tanaman hias seperti bunga ros (Silva et.al, 2009). Larva Tetranychus spp.
berwarna kuning kehijau-hijauan sedangkan yang dewasa berwarna hijau, kuning,
orange dan merah cerah dan biasanya ditemukan diantara jala-jala sutera halus
yang dijalin oleh tungau ini dari kelenjar uniselular besar yang terletak di palpi.
Tungau dewasa berukuran ± 1 mm (Kalshoven, 1981).
Perkembangan Tetranychus spp. relatif cepat dan siklus hidupnya relatif
singkat. Seekor betina Tetranychus spp akan menghasilkan sekitar 15-20 telur per
hari, karena jumlah generasinya yang tinggi dalam satu musim menyebabkan
kerusakan yang ditimbulkannya juga besar. Serangan tungau merah dapat
merusak karena baik nimfa maupun imago mengisap cairan dari daun, cabang
muda dan buah dari inangnya. Tungau merah juga mengeluarkan toksin pada

23
waktu makan sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman yang berakibat
pada pengurangan serat, biji dan buah serta menyebabkan daun menjadi kuning,
kering dan akhirnya daun gugur. Pada serangan yang berat dapat menyebabkan
kematian tanaman. Cuaca dengan kombinasi suhu tinggi dan kelembaban yang
rendah berkorelasi dengan meledaknya populasi tetranychid (Marwoto, 2015).
Tungau ini banyak ditemukan pada bagian permukaan daun, hidup berkoloni di
bawah jaring yang dibuatnya (Silva et.al., 2009). Hama ini mengisap pada daun
menyebabkan gejala klorotik pada daun dan gugur daun sehingga menurunkan
buah yang dihasilkan.

2.14 Pengendalian Hama Tungau Merah (Tetranychus spp.) Pada Kacang


Panjang (Vigna Unguiculata sp)
2.14.1 Pengendalian Secara Biologi
Pengendalian secara biologi dapat dilakukan dengan memanfaatkan musuh
alami (predator) yang ada di alam. Keberadaan predator sangat penting dalam
mengatur populasi tungau, sehingga keberadaannya harus dilindungi. Menurut
Pickel et al. (2014), populasi predator di lapangan dikategorikan menjadi tiga,
yaitu: rendah (predator sulit dijumpai, pada setiap enam daun dijumpai kurang
dari satu predator), sedang (predator mudah dijumpai, setiap tiga daun dijumpai
satu predator), dan tinggi (pada setiap daun dijumpai satu atau lebih predator).
Terdapat beberapa tungau predator yang dinilai efektif untuk mengendalikan
T. urticae (Rhodes dan Liburd, 2006; Fraulo dan Liburd, 2007; Cakmak et al.
2009). Tungau predator dapat dibedakan dengan tungau laba-laba dari kakinya,
yaitu sepasang kaki depan lebih maju, lebih aktif dan bergerak dengan cepat,
warnanya lebih merah atau oranye (Osborne 1999). Terdapat 32 jenis predator
yang telah dilaporkan menyerang tungau. Predator tungau yang paling penting
adalah (1) Oligota minuta untuk Mononychellus tanajoa, (2) Stethorus tridens
untuk T. urticae dan T. cinnabarinus, dan (3) Phytoseiidae. Musuh alami yang
sering membatasi populasi T. urticae di antaranya genus Amblyseius, Metaseiulus,
dan Phytoseiulus; Stethorus; Orius (Gambar 7); Thrips, Lepto Thrips; dan larva
Lacewing, Chrysopa.

24
Gambar 7. Larva Orius insidiosus (Say), merupakan predator bagi tungau merah
(Price dalam Fasulo dan Denmark 2010).

Yanagita et al. (2014) melaporkan bahwa Scolothrips takahashii merupakan


thrip predator yang dapat digunakan sebagai agen hayati yang efektif terhadap T.
urticae pada tanaman strawberry. Predator lainnya seperti Orius minutus (Fathi
2013), Coccinellla septempunctata (Sirvi dan Singh 2014), Stethorus gilvifrons
(Ahmad et al. 2010), dan Stethorus punctillum (Gorski dan Eajfer 2003) dinilai
sebagai agen hayati yang potensial.

Gambar 8. Phytoseiulus persimilis dewasa, merupakan predator tungau merah


(Price dalam Fasulo dan Denmark 2010).

Di Amerika Serikat terdapat lima jenis tungau predator yang tersedia secara
komersial, yaitu: Phytoseiulus persimilis (Gambar 8), Mesoseiulus longipes,
Neoseiulus californicus, Galendromus occidentalis (Gambar 9) dan Amblyseius
fallicus. Hasil penelitian Fiaboe et al. (2006); Furtado et al. (2006), dan Furtado et
al. (2007) menyatakan bahwa pengendalian T. urticae dengan menggunakan
predator Phytoseiidae dinilai tidak efektif. Hal itu disebabkan perkembangan dari
Phytoseiidae lebih lamban daripada perkembangan tungau merah, sehingga
predator tidak mampu memangsa tungau merah.

25
Gambar 9. Galendromus occidentalis merupakan predator tungau merah (Price
dalam Fasulo dan Denmark 2010).

Feltiella acarisuga (Gambar 10) merupakan salah satu predator yang


mempunyai daya mangsa tinggi. Kemampuan F. acarisuga memangsa tungau
merah. Larva F. acarisuga mempunyai kemampuan memakan telur tungau merah
sebanyak 50 telur/hari, diikuti N. californicus sebanyak 25,6 telur/hari, dan A.
swirskii sebanyak 15,1 telur/ hari. N. californicus betina mampu memproduksi
telur lebih banyak dibandingkan dengan A. swirskii betina (Xiao et al. 2013).

Gambar 10. Feltiella acarisuga predator tungau merah (Sumber: David R.


Gillespie, Agassiz dalam Osborne et al. 2012).

Pengendalian T. urticae secara hayati dapat terganggu dengan adanya


pemanasan global berupa penurunan interaksi antara predator dengan mangsanya
dan menurunnya laju predasi yang berakibat pada menurunnya laju reproduksi
tungau predator (VucicPestic et al. 2010).
2.14.2 Pengendalian Dengan Cara Kultur Teknis
Tungau mempunyai inang yang cukup banyak, sehingga dalam budidaya
ubikayu harus bebas dari gulma yang dapat berfungsi sebagai inang tungau.

26
Bahan tanam/stek yang digunakan harus bebas dari tungau, baik telur, larva,
nimfa, maupun tungau dewasa, atau kultivar tahan. Hasil penelitian Widiarti
(2012), menunjukkan bahwa kultivar tanaman singkong berpengaruh terhadap
populasi tungau merah stadium dewasa. Kelimpahan populasi T. urticae stadium
dewasa paling melimpah pada kultivar Gatotkaca dibandingkan dengan kultivar
Martapura, Antawi maupun Palengka. Panjang dan kerapatan trikoma juga sangat
berpengaruh terhadap kelimpahan T. urticae stadium dewasa.
Selain memilih bahan tanam, pengairan juga merupakan salah satu cara untuk
mengendalikan populasi tungau merah. Tanaman ubikayu yang terserang tungau
merah diairi (digenangi) selama 30 menit, disemprot dengan air menggunakan
tekanan yang kuat dapat mengendalikan populasi tungau merah. Menurut Godfrey
(2011), irigasi yang memadai merupakan cara yang penting untuk mengendalikan
populasi tungau, karena tanaman yang tercekam kekeringan mudah terserang
tungau. Tanaman terserang dicabut dan dibakar untuk menghindari penyebaran
tungau yang lebih luas.
Tanaman yang segar jauh lebih toleran terhadap serangan tungau daripada
tanaman yang tercekam. Serangan tungau merah dapat diantisipasi melalui
Gambar 7. Larva Orius insidiosus (Say), merupakan predator bagi tungau merah
(Price dalam Fasulo dan Denmark 2010). Gambar 9. Galendromus occidentalis
merupakan predator tungau merah (Price dalam Fasulo dan Denmark 2010).
Gambar 10. Feltiella acarisuga predator tungau merah (Sumber: David R.
Gillespie, Agassiz dalam Osborne et al. 2012). Gambar 8. Phytoseiulus persimilis
dewasa, merupakan predator tungau merah (Price dalam Fasulo dan Denmark
2010). pemeliharaan tanaman dengan irigasi yang optimal dan pemupukan,
mengurangi kondisi berdebu di kebun melalui penyiraman dan mempertahankan
penutup tanah, terutama pada musim panas untuk mencegah tungau naik ke
pertanaman (Pickel et al. 2014).
2.14.3 Pengendalian Secara Kimia
Pengendalian secara kimia, dilakukan melalui pemantauan terhadap populasi
tungau merah dan pemilihan insektisida yang digunakan harus tepat, karena
kesalahan pemilihan dan penggunaan insektisida dapat menyebabkan kematian

27
pada musuh alami. Berdasarkan pemantauan jumlah tungau di daun, dapat
ditentukan kriterianya (Pickel et al. 2014), sebagai berikut.
(1) rendah (1–20%); apabila jumlah tungau di daun sangat sedikit, sehingga
sulit untuk ditemukan, (2) agak rendah (21–39%); apabila tungau lebih mudah
dijumpai di daun, tetapi tidak ada koloni atau anyaman, dijumpai beberapa butir
telur, (3) sedang (40–60%); apabila beberapa daun tanpa tungau, daun lain dengan
koloni kecil; telur mudah dijumpai tetapi web sangat sedikit, (4) agak tinggi (61–
79%); apabila tungau, koloni dengan telur, dan web dijumpai di beberapa daun,
dan (5) tinggi (80–100%); apabila dijumpai banyak tungau, telur dan web
berlimpah pada kebanyakan daun.
Penggunaan insektisida dalam spektrum luas sering menyebabkan predator
tungau mati, dan berakibat pada munculnya wabah tungau, sehingga penggunaan
pestisida perlu dihindari. Semprotan air, minyak, insektisida, atau sabun dapat
digunakan untuk pengendalian tungau merah. Sebelum melakukan penyemprotan,
pemantauan tingkat populasi tungau harus dilakukan (Godfrey, 2011).
Aplikasi insektisida dalam pengendalian tungau merah harus memperhatikan
cara penyemprotan. Cakupan yang luas dari penyemprotan sangat penting ketika
melakukan aplikasi miticides, bagian bawah daun harus menjadi target
penyemprotan supaya terjadi kontak antara insektisida yang diaplikasikan dengan
tungau sebanyak mungkin, karena sisi bawah daun merupakan tempat
berkumpulnya tungau merah. Aplikasi insektisida dilakukan pada interval 5–10
hari. Telur tungau yang belum menetas tidak terpengaruh oleh sebagian miticides;
hal yang sama kemungkinan juga terjadi pada larva dan nimfa yang mengalami
pergantian kulit (molting). Selama molting, tungau tetap tidak aktif di bawah
bekas kulit yang berfungsi sebagai penghalang terhadap insektisida. Pada fase ini
tungau juga tidak makan, yang menyebabkan insektisida yang bersifat sistemik
tidak berpengaruh. Apabila aplikasi hanya dilakukan sekali, maka tungau dapat
bertahan hidup (Potter, 2013).
Pengendalian hama tungau merah dapat dilakukan dengan aplikasi akarisida
seperti Challenger, Ortus, Vertimec dan Delmite, karena efek samping terhadap
predator lebih rendah atau bahkan dapat diabaikan (El-Ela, 2014). Pada penelitian

28
lain, menyatakan bahwa penerapan beberapa akarisida dapat mengurangi populasi
T. urticae di lapangan secara drastis (Hossain et al. 2006).
Pengendalian tungau merah saat intensitas serangan ringan hingga sedang
dengan menggunakan dikofol 2 ml/l mampu menekan serangan sebesar 90,83–
98,62%, sedang pengendalian pada intensitas serangan sedang hingga tinggi
hanya mampu menekan tingkat serangan sebesar 18,40–62,48%.

2.15 Pengendalian Hama Penggerek Polong (Maruca testulalis) Pada Kacang


Panjang (Vigna Unguiculata sp)
Tabel 1 menunjukkan bahwa serangan tertinggi terdapat pada perlakuan T1
dan terendah pada perlakuan T2 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan T3,
T4, dan T5 . Sehingga dapat dikatakan bahwa Bt dan ekstrak daun babadotan
dapat digunakan untuk mengendalikan hama polong pada tanaman kacang hijau
dan lebih ramah terhadap lingkungan.
Tabel 1. Efektivitas pengendalian kimiawi dan biologi hama penggerek polong
(Maruca testulalis) pada tanaman kacang Panjang terhadap persentase polong
terserang

Keterangan: angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom
yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menutut Duncan
Multiple Range Test. T0 : Kontrol T1 : Tanpa pengendalian sejak 28 HST sampai
panen T2 : Insektisida λ-sihalotrin 2 ml/l air seminggu sekali pada 35-56 HST
T3 : Insektisida λ-sihalotrin 2 ml/l air minimal 2 kali aplikasi pada 35 HST dan 49
HST T4 : Ekstrak daun babadotan 50 gr/l air T5 : Bt komersil (Thuricide HP) 5
gr/l ai

29
Indiati (2010) menyatakan serangan penggerek polong pada bunga lebih parah
dibandingkan dengan polong. Bunga yang terserang akan gagal membentuk
polong dan mengurangi jumlah polong dan hasil. Rendahnya persentase
kerusakan polong pada perlakuan T2 disebabkan karena jenis bahan aktif dan
frekuensi aplikasi yang diberikan. Insektisida λ-sihalotrin mempunyai cara kerja
racun kontak dan lambung, sehingga jika insektisida tersebut tidak dapat kontak
langsung dengan ulat polong tersebut maka diharapkan insektisida λ-sihalotrin ini
masih menempel pada kulit polong dan bunga kacang panjang. Dari hasil
pengamatan di lahan penelitian diketahui bahwa pertumbuhan tanaman kacang
hijau pada fase vegetatif cukup baik. Pada saat tanaman menjelang berbunga
muncul serangan M. testulalis yang ditandai dengan adanya bunga kacang panjang
yang saling menempel dan berwarna hitam. Aldywaridha (2010) menyatakan
gejala serangan penggerek polong pada bunga menyebabkan bunga akan
mengalami kerusakan dan berwarna pucat. Bunga tidak berproduksi dengan baik.
M. testulalis pada stadia muda lebih menyukai bagian bunga dan jumlah larva
yang masih hidup lebih banyak menempati bagian bunga dibanding pada bagian
daun dan polong.

30
III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara umum diketahui bahwa serangga hama yang biasa menyerang
tanaman kacang panjang adalah lalat kacang (Agromyza phaseoli), ulat tanah
(Agrotis ipsilon), ulat bunga/penggerek polong (Maruca testulalis), kutu daun
(Aphis craccivora), kepik polong (Riptortus linearis) dan wereng hijau
(Empoasca sp. ) (Syahrawati & Busniah 2009). Kemudian hama yang menyerang
tanaman bawang merah yaitu ulat bawang (Spodoptera exigua Hubner), ulat
Grayak (Spodoptera litura F.), trips (Thrips tabaci Lind.), lalat pengorok daun
(Liriomyza huidobrensis), orong-orong atau anjing tanah (Gryllotalpa africana
Pal.) dan ngengat gudang (Haryanto et al, 1999).
Pengendalian hama pada kacang panjang dan bawang merah dapat dilakukan
dengan pengendalian secara fisik, mekanik, bologi dan secara kimia.Pengendalian
secara biologi lebih baik digunakan dibandingan secara kimia agar menimbulkan
sistem pengendalian hama secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.

31
Pengendalian secara kimi juga dianjurkan tetapi tidak melewati ambang batas
penggunaan pestisida, Penggunaan pestisidan harus dilakukan secara optimal
sesuai dengan kepadatan populasi hama yang menyerang.

3.2 Saran
Pengendalian hama pada tanaman bawang merah dan kacang panjang dapat
dilakukan secara langusng dilapangan dengan menerapkan prinsip ekositem
berkelanjutan tanpa merusak ekosistem yang sudah ada.

DAFTAR PUSTAKA

Allard, R. W., 2005. Principles of Plant Breeding. John Wiley and Sons. New
York.

Aldywaridha. 2010. Uji Efektivitas Insektisida Botani Terhadap Hama Maruca


testulalis (Geyer) (Lepidoptera : Pyralidae) Pada Tanaman Kacang
Panjang (Vigna sinensis). Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, 3(2): 123-127.

Ambarwati, E. dan P. Yudono. 2003. Keragaan Stabilitas Hasil Bawang Merah. J.


Ilmu Pertanian. 10(2):1-10.Agromedia. 2005. Petunjuk Pemupukan. PT.
Agromedia Pustaka. Jakarta.

Anonim. 2004. Kinerja Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Hortikultura


2000 – 2003. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Hortikultura Jakarta 133 hal.

Baswarsiati dan S. Nurbanah. 2001. Siasati Permintaan Bawang Merah dengan


menanam di Luar Musim. Abdi Tani. 2 (5) : 15 – 17.

32
[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia 2018. Produksi Tanaman Bawang Merah
2016 – 2018. https://www.bps.go.id/subject/55/hortikultura

Chaput, J. And K. Schooley. 1989. Thrips on Onion and Cabbage.


http://www.gov.on.ca/OMAFRA/english/crops/facts/99-027.htm

Courier. 1980. Control of cotton pests in Mexico with Bolstar 720 CE. Bayer
1(8) : 4 – 5

Departemen Perlindungan Hortikultura. 2007. Statistik Produksi hortikultura


2003-2008. ww.hortikultura.deptan.go.id

Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2005. Kebijakan Pengembangan


Produksi Bawang Merah di Indonesia. Makalah disampaikan dalam
Apresiasi Penerapan Penanggulangan OPT Bawang Merah, Surabaya, 5
– 7 Juli 2005.

Godfrey, L.D. 2011. Spider mite. Integrated Pest Management for Home
Gardeners and Landscape Professionals. Uni. of California. 4p.
http://www. ipm.ucdavis.edu/PDF/Pestnotes/pnspidermites.pdf

Hikmat, A. 2002. Bawang Merah di Bantul Aman dari Serangan Alternaria.


Hortikultura 1(11) : 28 – 29

Haryanto, E. suhartini T. Rahayu E. 2008. Budi Daya Kacang Panjang. Penebar


Swadaya. Jakarta.

Hossain S., M.M. Haque, and N. Naher. 2006. Control of two-spotted spider mite
Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae) by some selected
chemicals. Univ. J. Zool. Rajshahi Univ. 25: 15–18.

Kawana, T. 1993. Biology and Control of Beet Army Worm Spodoptera exigua
(Hubner). Agrochemicals Japan (62) : 5 – 7.

Moekasan, R. 1999. Sekilas Berburu Bawang Merah di Pulau Samosir. Diakses


dari http://hortikultura.litbang.pertanian.go.id Jilid I.

Moekasan, R. 2002. Sekilas Berburu Bawang Merah di Pulau Samosir. Diakses


dari http://hortikultura.litbang.pertanian.go.id Jilid III.

33
Moekasan, R. 2004. Sekilas Berburu Bawang Merah di Pulau Samosir. Diakses
dari http://hortikultura.litbang.pertanian.go.id Jilid.

Pracaya. 1995. Hama dan Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta 23

Potter M.F. 2013. Spider mites on lanscape plants. ENTFACT-438. University of


Kentucky College of PRAMUDIANTO DAN SARI: TUNGAU
MERAH PADA UBIKAYU DAN PENGENDALIANNYA 47
Agriculture. http://www2.ca.uky. edu/entomology/ entfacts/ef438.asp

Pickel, C., F.J.A.Niederholzer, W.H. Olson, F.G. Zalom, R.P. Buchner, W.H.
Krueger, and W.O. Reil. 2014. UC IPM Pest Management Guidelines:
Prune: Webspinning spider mites. Agriculture and Natural Resources,
Univ. of California. http://www.ipm. ucdavis.edu/PMG/r606400411.html

Putrasamedja, S. dan Suwandi. 1996. Monograf no. 5; Varietas Bawang Merah


Indonesia. A. H. Permadi, dan Y. Hilman (Eds.). Balitsa.
LembangBandung. Samsudin, M.Y., Lubis A., Nugroho S. G., Saul M.
R., Diha M. A., Honh G. B., Bailey H. H. 2008. Kesuburan Tanah.
Universitas Lampung. Lampung.

Saung. 2011. Biologi dan Siklus Hidup Hama Thrips. (online)


(http://saungsumberjambe/2011/08/thrips-thrips-sp.html.

Setiawati, W. 2000. Invasi Liriomyza sp. Pada komunitas bawang merah. Laporan
Bahan Rapim. Balitsa, Agustus 2000.

Setiawati.W. 1997. Penerapan Pengendalian Hama Terpadu pada Sistem Tanam


Tumpanggilir Bawang dan Cabai. Lap.

Penel. 1997. Shepard, L. Rosmahani, B. Nusantoro, R.D. Wijadi. 1997.


Pengkajian paket teknik budidaya bawangmerah di luar musim. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso.
www.baswarsiati’sblog.com

Soeriaatmadja, R.E. dan T.R. Omoy. 1992. Penggunaan insektisida untuk


mengendalikan hama bawang Spodoptera exigua Hbn. Berdasarkan
populasi-populasi ngengat yang tertangkap feromonoid seks ddi musim
hujan. Bul. Penel. Hort. Vol. XXII. (3) : 10 – 13.

Sudarmo, S., 1987. Insektisida Nabati Sebagai Sumber Alternatif Pengendalian


Sudewo, T.K. 2010. Pencampuran Spodoptera exigua Nuclear
Polyhedrosis Virus dengan Insektisida kimia untuk mortalitas larva
Spodoptera exigua Hbn. Di laboratorium. J. Hort. 14 (3) : 178 - 187.

34
Sumarni dan Hidayat. 2005. Panduan Teknis PTT Bawang Merah No.3. Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. Dikutip dari http://agroindonesia.co.id.

Lembang. Suryaningsih, E dan A.A. Asandhi. 1992. Pengaruh pemupukan sistem


petani dan sistem berimbang terhadap intensitas serangan penyakit
cendawan pada bawang merah (Allium ascalonicum L.) varietas Bima.
Bul. Penel. Hort. Vol. XXIV (2) : 19 – 26.

Sutarya, H. H., 1996. Bertanam 30 jenis Sayur. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tarmizi. 2010. Kandungan Bawang Merah dan Khasiatnya. UI. Jakarta

Tjionger, M. 2010. Memperbesar dan Merperbanyak Umbi Bawang Merah.


Indonesia Agriculture. http: obtrando. wordpress.com (22 April 2010). 24

Wibowo, B., 2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada,


Jakarta.

35

Anda mungkin juga menyukai