) DI KEBUN
PTPN VIII PARAKANSALAK SUKABUMI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hama dan Penyakit
Pisang (Musa spp.) di Kebun PTPN VIII Parakansalak, Sukabumi adalah benar
karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
DWI ANDINI SHIAMI. Hama dan Penyakit Pisang (Musa spp.) di Kebun PTPN
VIII Parakansalak, Sukabumi. Dibimbing oleh HERMANU TRIWIDODO dan EFI
TODING TONDOK.
DWI ANDINI SHIAMI. Pests and Diseases of Banana (Musa sp.) at PTPN VIII
Plantation, Parakansalak, Sukabumi. Supervised by HERMANU TRI WIDODO
and EFI TODING TONDOK.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB
HAMA DAN PENYAKIT PISANG (Musa spp.) DI KEBUN
PTPN VIII PARAKANSALAK, SUKABUMI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
pada
Departemen Proteksi Tanaman
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala
karena hanya atas limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya yang diberikan
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tugas akhir yang
berjudul “Hama dan Penyakit pada Pisang (Musa spp.) di Kebun PTPN VIII
Parakansalak, Sukabumi”.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc dan
Dr. Efi Toding Tondok, SP MScAgr selaku pembimbing skripsi atas bantuan,
bimbingan, masukan serta dukungannya dalam pelaksanaan tugas akhir, kepada
Fitrianingrum Kurniawati, SP MSi selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan arahan dan saran yang bermanfaat, direktur serta para pegawai PTPN
VIII Parakansalak, Sukabumi.
Terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan tenaga
kependidikan Departemen Proteksi Tanaman, rekan-rekan Proteksi Tanaman 50,
Agus Umardani selaku paman penulis yang telah membantu penulis dalam
penelitian di PTPN VIII Parakansalak, Sukabumi, sahabat penulis Maya Eka Sari,
Juliana Sani, Erci Eli Hayati, Eni Yuniasih, Ratna Nengsih, Desy Nur Avifah,
Winda Asih Mitrasari, Rafika Ridwan Wulandari, Fatimah Siddikah, Annisa Dwini,
Ivan arif, Yulianto, Gusti, Kholil, Prayogo, Ulfa Rafidatillah, Cindy Aprilla, Ade
Nendi Mulyana, Rizki Purnamasari dan rekan lain yang telah membantu dan
memberikan dukungan serta semangat selama perkuliahan hingga menyelesaikan
tugas akhir.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Supriatna dan
Ibunda Surtiyanah, serta saudara penulis Eka Ferdian Juniarsah, Anida Rahmi
Damanik, dan Farihah Adhwa Ferdian yang tak henti-hentinya memberi perhatian
dan bantuan moril maupun spiritual, yang mana setiap langkah, gerak, dan ucapnya
merupakan do’a bagi penulis. Semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2017
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 1
Manfaat 2
BAHAN DAN METODE 3
Waktu dan Tempat 3
Metode Penelitian 3
Penentuan Petak Pengamatan 3
Perhitungan Kejadian dan Keparahan Penyakit 3
Perhitungan Intensitas Serangan 4
Ekstraksi Nematoda dari Sampel Tanah 4
Wawancara 5
Identifikasi 5
Analisis Data dan Rancangan Percobaam 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 6
Sistem Budidaya Pisang 7
Hama pada Tanaman Pisang 8
Pengaruh Varietas, Umur, dan Blok terhadap Populasi dan Serangan 10
E. thrax
Pengaruh Varietas, Umur, dan Blok terhadap Populasi dan Serangan 12
N. octasema
Penyakit pada Tanaman Pisang 13
Kejadian dan Keparahan Penyakit Utama 14
Bercak sigatoka 14
Layu Fusarium 16
Keberadaan Fitonematoda 17
SIMPULAN DAN SARAN 19
Simpulan 19
Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
LAMPIRAN 23
RIWAYAT HIDUP 43
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Latar Belakang
Tujuan
Metode Penelitian
PTPN VIII Parakansalak memiliki curah hujan rata-rata 507.667 mm3 dengan
hari hujan rata-rata 20 hari. Suhu rata-rata selama pengamatan adalah 22 oC.
Menurut Simmonds (1959), suhu ideal untuk tanaman pisang adalah 21 oC sampai
29 oC dengan curah hujan 101 mm per bulan atau sekitar 1270 mm3 per tahun.
Lahan tanaman pisang dibagi menjadi tiga blok. Blok pertama berada pada
areal Pakuwon (Lampiran 12) dengan luas lahan sekitar 15 ha, blok kedua berada
pada areal Cikareo (Lampiran 10) dengan luas lahan sekitar 41.04 ha, dan blok
ketiga berada pada areal Kalorama (Lampiran 11) dengan luas lahan sekitar 29.33
ha. Masing masing daerah ditanami dengan tiga jenis varietas pisang yaitu varietas
Barangan, Mas Kirana, dan Cavendis. Jumlah populasi pisang di Pakuwon
sebanyak 31 049 tanaman, Cikareo sebanyak 51 617 tanaman, dan Kalorama
sebanyak 34 517 tanaman. Lahan tersebut dahulunya merupakan lahan bekas
tanaman teh, pepaya dan kelapa sawit yang dialih fungsikan menjadi lahan tanaman
pisang (Gambar 3).
Pakuwon
Tanaman pisang ditanam menggunakan dua pola tanam yaitu monocrop dan
intercrop. Tanaman yang ditanam secara intercrop adalah tanaman pisang dengan
tanaman teh. Varietas pisang yang digunakan adalah Barangan, Mas Kirana,
Cavendis, dan raja bulu. Bibit berasal dari pembibitan sendiri oleh PTPN VIII
(Gambar 4). Varietas Mas Kirana dan Cavendis dilakukan pembibitan dari tanaman
induk, sedangkan bibit varietas Barangan dan Raja Bulu merupakan bibit dari kultur
jaringan. Jarak tanam yang digunakan adalah 2 m x 2.5 m. Suhartanto et al. (2012)
menyatakan bahwa jarak tanam varietas ukuran kecil sekitar 2 x 2.5 m dan varietas
ukuran besar 3 m x 3 m. Varietas barangan Cavendis dan Raja Bulu seharusnya
memakai jarak tanam 3 x 3 m agar mengurangi serangan penyakit bercak Sigatoka
yang penularannya dapat melalui gesekan antar daun.
Pemupukan dilakukan pada awal pertanaman. Pupuk yang digunakan
merupakan pupuk kandang yang berasal dari kotoran kambing dan pupuk kimia
yaitu NPK 16-16-16, NPK 12-6-6-16, dan NPK 12-6-18. Dosis pupuk kandang
yang digunakan adalah 10 sampai 20 kg/ pohon diaplikasikan saat awal penanaman.
Simmonds (1959) menyatakan bahwa pupuk kandang yang digunakan sebanyak 8
sampai 10 kg bagi lubang tanam ukuran kecil dan 13 sampai 15 kg dengan ukuran
lubang tanam besar. Dosis untuk pupuk NPK 16-16-16 adalah 100 gr/pohon
diaplikasikan pada minggu pertama dan kedua setelah tanam. Dosis pupuk NPK
12-6-6-16 pada umur 4 bulan sekitar 150 gr/pohon dan umur 6 bulan sekitar 150
sampai 200 gr/pohon. Dosis pupuk NPK 12-6-18 diaplikasikan pada umur tanaman
8 bulan sekitar 250 gr/pohon dan pada umur tanaman 10 bulan sekitar 300 gr/pohon.
Tanaman yang diberi pupuk NPK 12-6-18 hanya jenis Cavendis, Raja Bulu, dan
Barangan saja.
Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dilakukan secara
mekanik dan kimia. Secara mekanik dilakukan dengan cara eradikasi yaitu
penebangan tanaman pisang yang terkena penyakit. Tanaman pisang yang ditebang
tidak langsung dimusnahkan, tandan pisang dibiarkan membusuk. Padahal kondisi
ini membiarkan sumber inokulum tetap ada dan memudahkan penyebaran suatu
patogen terhadap tanaman lainnya. Kondisi ini didukung dengan kondisi iklim
setempat dengan curah hujan tinggi. Sanitasi yang kurang tepat dan kondisi iklim
dapat menyebabkan kejadian dan keparahan penyakit semakin meningkat.
a b
Gambar 4 Bibit tanaman pisang (a) dan pembibitan pisang di PTPN VIII
Parakansalak dengan cara disungkup (b)
8
Pengendalian secara kimia menggunakan pestisida Agrimex 1.44 cc (Abamektin),
Dithane M-45 80 WP (Mankozeb), Suncord 50 EC (Sipermetin). Anvil 50 EC
(Heksakonazol), Folicur 25 WP (Tebuconazole), Bravo 500 SC (Sipermetrin),
Rudor 5 WP (Imidakloprid), Nativo 75 WG (Tebukonazole dan Trifloksistrobin),
dan Furadan 3 GR (Karbofuran). Aplikasi pestisida ini dilakukan satu minggu
sekali untuk patogen, sedangkan untuk hama aplikasi pestisida dilakukan satu kali
pada saat hama muncul. Dosis yang digunakan adalah 1sampai 2 gr/pohon dengan
aplikasi pada pagi hari. Pengendalian gulma dilakukan dengan menggunakan
herbisida dengan frekuensi penyemprotan 4 kali dalam setahun.
a b c
Gambar 5 Hama yang ditemukan pada tanaman pisang di kebun PTPN VIII. Ulat
penggulung daun pisang Erionota thrax (a), Ulat kudis pisang Nacoleia
octasema (b), Kumbang pisang Cosmopolites sordidus (c)
E. thrax
E. thrax merupakan hama yang paling sering ditemukan keberadaannya dan
menjadi hama utama dengan tingkat serangan tertinggi dibandingkan hama lainnya.
Stadia yang merusak dari hama ini adalah stadia larva. Larva ini memiliki tubuh
berwarna putih yang sangat lembut dengan pembagian ruas yang samar dan bentuk
kepala seperti kapsul berwarna hitam, serta tubuh larva ditutupi oleh lilin halus (Hill
2009). Larva muda yang baru menetas memotong daun pisang secara miring mulai
dari bagian tepi daun lalu menggulung potongan tersebut (Kalshoven 1981). Satu
larva hidup dalam satu gulungan daun (Feakin 1971). Larva makan dari bagian
dalam gulungan tersebut, kemudian membentuk gulungan yang lebih besar sesuai
dengan perkembangan larva sampai instar akhir (Kalshoven 1981). Stadia larva
berlangsung selama 28 hari. Pupa berada di dalam gulungan daun, berwarna
kehijauan dan dilapisi lilin. Stadium prapupa lamanya adalah tiga hari, sedangkan
stadium pupa selama tujuh hari. Serangga berkepompong dalam gulungan daun
(Samoedi dan Indarto 1969 dalam Nurzaizi 1986). Panjang pupa lebih kurang 6 cm
9
dan mempunyai belalai (probosis). Serangga dewasa terbang pada malam hari dan
pagi hari. Serangga betina meletakkan telur pada malam hari pada bagian daun yang
tidak terserang. Telur diletakkan secara berkelompok dengan 25 butir per kelompok
(Gambar 6).
Gejala serangan hama ini berupa gulungan pada daun pisang menyerupai
batang dan apabila gulungan dibuka akan ditemukan larva di dalamnya (Gambar
7). Lama kelamaan gulungan daun akan menjadi layu (Feakin 1971). Serangan
berat E. thrax terjadi pada jenis pisang barangan blok kedua Parakansalak, karena
hampir seluruh daun pisang terdapat gulungan daun. Apabila serangan berat, daun
akan habis dan tinggal pelepah daun yang penuh dengan gulungan daun sehingga
dapat menurunkan produksi pisang.
a b c
Gambar 6 Telur Erionota thrax (a); Pupa Erionota thrax (b); Imago Erionota thrax
(Sumber:http://www.butterfliesofamerica.com/L/erionota_t_thrax.htm)
(c)
N. octasema
N. octasema merupakan ulat kudis pisang yang menyerang perkembangan
bunga dan kulit buah pisang. Stadia yang membahayakan adalah stadia larva. Larva
dari N. octasema ini menyerang perbungaan tanaman pisang saat berkembang.
Imago betina dapat bertelur sebanyak 80-120 telur. Telur hama ini diletakkan di
dalam tandan atau di dekat daun bendera sebelum adanya kerusakan pada tandan
buah. Telur menetas sekitar 4-6 hari, larva yang sudah keluar akan melangkah ke
bawah jantung pisang untuk makan. Lebih dari 70 ekor larva dapat ditemukan pada
satu jantung pisang. Larva ini memiliki 5 tahap instar dengan 12-21 hari untuk
menjadi imago (Hill 2009). Pupa diletakkan di bawah daun yang lebih tua di dekat
batang. Lama larva berpupa sekitar 10-12 hari untuk menjadi imago (Kalshoven
1981).
Serangan N. octasema menyebabkan perkembangan buah menjadi terlambat
dan menimbulkan terjadinya kudis pada kulit buah pisang (Gambar 8). Serangan
berat akan menurunkan kualitas buah dan buah menjadi abnormal. Serangga ini
10
juga dapat menjadi vektor penyakit layu bakteri (penyakit darah). Serangan
biasanya tidak meluas tetapi batang utama tandan akan mengalami rusak berat.
Tandan akan menjadi mudah patah, serta bagian dalam tandan akan berlubang.
C. sordidus
C. sordidus merupakan penggerek bonggol pisang yang menyerang bagian
batang pisang. Stadia yang membahayakan adalah stadia larva. Larva kumbang
moncong menggerek dan membuat lorong-lorong pada bonggol pisang. Lorong-
lorong tersebut digunakan sebagai tempat menyelesaikan siklus hidup hama ini dari
mulai larva hingga menjadi pupa (Kalshoven 1981). Serangga dewasa aktif pada
malam hari dan bersembunyi di dalam dan di sekitar bonggol pisang atau di antara
pelepah batang semu pisang. Serangga dewasa dapat hidup 1-3 tahun, akan tetapi
produksi telur relatif sedikit yaitu 1-3 butir per minggu. Kebanyakan telur
diletakkan pada tanaman pisang terutama dekat pelepah dan dasar batang semu
kira-kira 5 cm di bawah permukaan tanah. Stadia telur berlangsung kira-kira satu
minggu, larva masuk ke dalam bonggol pisang dengan cara membuat terowongan
menuju bonggol pisang. Stadia larva berlangsung 14-21 hari. Masa pupa
berlangsung di dalam lubang gerekan berkisar 5-7 hari. Siklus hidup hama ini
selama 1-2 bulan dari telur hingga imago (Gold et al. 2002).
Gejala yang ditimbulkan oleh hama ini adalah terdapatnya terowongan pada
bonggol pisang. Larva hama ini memakan ujung akar dan jaringan pengangkut.
Sebagian jaringan akan rusak mengakibatkan turunnya kemampuan pengambilan
air dan unsur hara sehingga daun pisang akan layu dan pelepah mudah patah.
Gerekan yang dibuat oleh larva merupakan tempat untuk masuknya patogen lain
seperti Fusarium, sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan busuknya jaringan
bonggol pisang. Pada serangan berat, bonggol pisang dipenuhi lubang gerekan yang
kemudian menghitam dan membusuk. Kerusakan oleh hama ini mengakibatkan
tanaman mudah mati, lemahnya sistem perakaran, dan ukuran tandan berkurang
sehingga produksi menurun (Gold et al. 2002).
Tabel 3 Serangan E. thrax pada tanaman pisang di Kebun PTPN VIII Parakansalak
Varietas
Umur Mas Rata-rata
Barangan Cavendis
kirana
Muda 0.00 ± 0.00 6.67 ± 11.55 0±0 2.22 ± 3.85b
Sedang 53.33 ± 30.55 13.33 ± 11.55 0±0 22.22 ± 14.03a
Tua 46.67 ± 41.63 0.00 ± 0.00 0±0 15.56 ± 13.87ab
Rata-rata 33.33 ± 34.06A 6.67 ± 7.69B 0 ± 0B
a
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dan angka pada baris yang
sama yang diikuti huruf besar yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata berdasarkan uji
selang berganda Duncan α= 5%
12
Pengaruh Varietas, Umur, dan Blok terhadap Populasi dan Serangan N.
octasema
Populasi N. octasema hanya ditemukan pada varietas Mas Kirana, dan tidak
ditemukan pada varietas Barangan dan Cavendis. Menurut Praharidini et al.
(2010), varietas Mas Kirana mudah terserang N. octasema walaupun
keberadaannya sangat sedikit dibanding yang lain. Berdasarkan data tersebut dapat
dilihat bahwa varietas dapat mempengaruhi keberadaan populasi N. octasema
(P=0.0592). Tidak terjadi interaksi secara signifikan antara varietas dan umur
tanaman yaitu P=0.1857. Hal ini terlihat dari jumlah populasi pada setiap umur
tanaman tidak berbeda nyata.
Umur tanaman sama sekali tidak mempengaruhi keberadaan N. octasema. Hal
ini ditunjukkan oleh data bahwa umur tanaman tidak berbeda nyata terhadap jumlah
populasi N. octasema (Tabel 4). Keberadaan hama ini pada setiap umur tanaman
pun hampir sama, dikarenakan hanya ditemukan pada umur sedang dan tua pada
varietas Mas Kirana. Pada umur sedang tanaman ini sudah termasuk kedalam fase
generatif yang memiliki bunga, sehingga hama ini sudah mulai menyerang tanaman
pada umur sedang. Serangga ini aktif pada malam hari untuk meletakkan telurnya
pada bagian jantung pisang yang sudah tumbuh, sehingga keberadaan hama ini pada
umur sedang dan tua tidak berbeda nyata.
Tabel 5 Serangan Nacoleia octasema pada tanaman pisang di Kebun PTPN VIII
Parakansalak
Varietas
Umur Rata-rata
Barangan Cavendis Mas kirana
Muda 0.00 ± 0.00 0.00 ± 0.00 0.00 ± 0.00 0.00 ± 0.00 a
Sedang 0.00 ± 0.00 0.00 ± 0.00 6.67 ± 11.55 2.22 ± 3.85 a
Tua 0.00 ± 0.00 0.00 ± 0.00 20.00 ± 20.00 6.67 ± 6.67 a
Rata-rata 0.00 ± 0.00B 0.00 ± 0.00 B 8.89 ± 10.52 A
a
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dan angka pada baris yang
sama yang diikuti huruf besar yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata berdasarkan uji
selang berganda Duncan α= 5%
Bercak Sigatoka
Bercak Sigatoka merupakan penyakit paling penting pada pisang. Bercak
yang ditemukan di lapangan adalah bercak Sigatoka kuning. Penyakit ini
disebabkan oleh cendawan Mycosphaerella fijiensis (Sigatoka hitam) dan
Mycosphaerella musicola (Sigatoka kuning). Mycosphaerella musicola biasanya
ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia. Sumber inokulum adalah konidia
(Gambar 9b) dan askospora. Di Indonesia sumber inokulum penyakit ini biasanya
berbentuk konidia. Konidia dapat disebarkan melalui angin dan percikan air dari
tanaman sakit. Sedangkan askospora terlibat dengan gerakan patogen yaitu dapat
menyebarkan penyakit dari jarak jauh melalui aliran udara (Stover 1971).
Askospora ini mengakibatkan pola khas infeksi pada ekstremitas daun. Ketika
konida adalah sumber inokulum dan lepas oleh air hujan sebagian air menetes ke
bawah helai daun (Jones 2000). Suhu optimal untuk perkecambahan konidia adalah
antara 25-29 oC dan untuk askospora 25-26 oC selama sekitar lima hari sebelum
menembus daun melalui stomata. Setelah masuk daun hifa akan berinvasi
membentuk vesikel dan hifa tumbuh melalui lapisan mesofil (Strover 1971).
Penyakit ini menyebabkan permukaan daun menjadi rusak dan mati sehingga
menggangu proses fotosintesa (pemasakan makanan di daun), akibatnya produksi
(kualitas dan kuantitas) menjadi menurun, buah masak sebelum waktunya, bahkan
pada serangan berat mengakibatkan kematian tanaman.
Gejala bercak Sigatoka kuning berupa bercak kecil berwarna kuning terang
sejajar dengan tulang daun. Bercak berwarna coklat tua dengan abu-abu terang di
tengahnya. Bercak yang berdekatan menyatu, kemudian bercak membesar
menyebabkan jaringan daun menjadi kering (Arseni dan Nugrahini 2016). Gejala
bercak Sigatoka hitam berupa bintik kecil berwarna coklat kemerah-merahan pada
bagian permukaan bawah daun. Bercak sejajar dengan tulang daun. Warna dari
garis di permukaan daun mejadi coklat tua sampai hitam. Pada serangan yang berat,
seluruh daun dapat menghitam dan menyebabkan tanaman meranggas (Stover dan
Buddenhagen 1986). Gejala awal yang terlihat di lapangan adalah lesio kecil pada
daun yang berwarna kuning kecoklatan atau kelabu muda yang muncul di kedua
sisi daun dengan tepi berwarna coklat tua dan dikelilingi oleh halo berwarna kuning
cerah (Gambar 9a). Bercak pada daun semakin meningkat dengan ditandai bercak
berwarna coklat gelap. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Reddy 2010
bahwa daun berwarna kuning kecoklatan atau kuning kehijauan yang muncul di
kedua sisi daun sejajar dengan vena daun.
14
a b
Layu Fusarium
Penyakit layu Fusarium disebabkan oleh Fusarium oxysporum f. sp. cubense
(Gambar 10d). F. oxysporum f. sp. cubense merupakan cendawan patogenik
tumbuhan dari spesies F. oxysporum Schl., genus Fusarium (Link ex Fr.) (Booth
1985) yang merupakan fase anamorf dan Gibberella sebagai fase telomorf. F.
oxysporum termasuk ke dalam subdivisi Deuteromycotina, kelas Hyphomycetes,
ordo Hyphales (Moniliales), genus Fusarium (Agrios 1996).
Gejala layu Fusarium yaitu pada daun-daun bagian bawah berwarna kuning
orange lalu menjadi cokelat dan mengering, tangkai daun patah di sekeliling batang
palsu (Gambar 10a).BGejala lain pada organ daun yaitu perubahan bentuk dan
ukuran ruas daun yang baru muncul lebih pendek (Gambar 10c). Kadang-kadang
lapisan luar batang terbelah dari permukaan tanah. Gejala yang paling khas adalah
gejala pada bagian dalam. Jika pengkal batang dibelah membujur, terlihat garis-
garis cokelat kehitaman menuju ke semua arah, dari batang (bonggol) ke atas
melalui jaringan pembuluh ke pangkal daun dan tangkai (Gambar 10b). Berkas
pembuluh akar biasanya nekrotik, sehingga seringkali akar tanaman sakit berwarna
hitam dan membusuk. Tergantung dari keadaan tanaman dan lingkungannya.
Gejala penyakit layu Fusarium dapat sangat bervariasi dan dapat mulai tampak pada
tanaman pisang yang berumur 5-10 bulan (Semangun 2007).
a b c d
Gambar 10 Gejala layu fusarium (a) pada batang palsu(b); daun (c); dan
Mikroskopis Fusarium oxysporum perbesaran (40 X 10) (d)
Bercak Sigatoka
Penyakit bercak Sigatoka pada tanaman pisang di kebun PTPN VIII
Parakansalak terlihat sejak awal pengamatan. Kejadian penyakit pada setiap umur
15
tanaman sangat berbeda nyata. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
umur tanaman memberikan pengaruh terhadap kejadian penyakit yang disebabkan
oleh patogen Mycosphaerella musicola (P=<0.0001). Varietas dan umur
memberikan pengaruh terhadap tingkat keparahan penyakit ini (P=<0.0001;
P=0.0010). Terjadi interaksi antar varietas dan umur dalam peningkatan keparahan
penyakit bercak (P=0.0254).
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui rata-rata kejadian penyakit antar umur
tanaman semakin meningkat. Kecenderungan peningkatan kejadian penyakit yang
disebabkan oleh M. musicola diduga karena semakin tua umur tanaman maka
jumlah daun pun semakin meningkat. Hal ini dapat menyebabkan semakin
meningkatnya tanaman yang terserang oleh patogen ini. Menurut Ploetz et al.
(2003), konidia dari patogen ini dapat berkecambah pada musim hujan yang
menyebabkan konidia dapat menyebar dari percikan air hujan ke daun lainnya yang
tidak terinfeksi. Kondisi cuaca pada daerah tersebut sering terjadi hujan sehingga
konidia dari patogen ini dapat dengan mudah menyebar ke lahan-lahan sekitarnya.
Selain itu, tingkat kejadian penyakit Sigatoka pada berbagai varietas tidak
berbeda nyata. Suhu dan kelembapan juga memengaruhi keberadaan penyakit ini.
Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan patogen ini. Hasil
pengamatan ini pun menyatakan bahwa ketiga varietas ini tidak memengaruhi
kejadian penyakit bercak Sigatoka serta ketiga varietas ini pun termasuk ke dalam
varietas yang rentan terhadap penyakit ini.
Tingkat keparahan penyakit bercak Sigatoka pada varietas Barangan sangat
tinggi dan berbeda nyata dengan kedua varietas lainnya (Tabel 7). Hal ini
disebabkan oleh sanitasi pada varietas barangan yang kurang baik dan ukuran daun
lebih lebar sehingga daun antar tanaman saling menutupi dan menyebabkan kondisi
lingkungan menjadi lebih lembap. Patogen dapat dengan mudah menyebar ke
tanaman yang belum terserang.
Tabel 6 Kejadian penyakit bercak Sigatoka pada tanaman pisang di Kebun PTPN
VIII Parakansalak
Varietas
Umur Rata-rata
Barangan Cavendis Mas kirana
Muda 13.33 ± 11.55 40.00 ± 40.00 13.33 ± 11.55 22.22 ± 21.03c
Sedang 86.67 ± 11.55 60.00 ± 20.00 60.00 ± 34.64 68.89 ± 22.06a
Tua 100.00± 0.00 93.33 ± 11.55 100.00 ± 0.00 97.78 ± 3.85b
Rata-rata 66.67±7.66A 64.44 ±23.85A 57.78 ± 15.4A
a
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dan angka pada baris yang
sama yang diikuti huruf besar yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata berdasarkan uji
selang berganda Duncan α= 5%
Menurut Ploetz et al. (2003), ada beberapa varietas yang rentan terhadap
serangan Sigatoka, salah satunya adalah varietas Cavendis. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa umur sedang dan tua tidak memberikan pengaruh terhadap
tingkat keparahan penyakit bercak pada daun pisang, sedangkan umur tanaman
muda memberikan pengaruh terhadap tingkat keparahan penyakit ini Hal ini
mengindikasikan bahwa akumulasi dari awal sejak tanaman berumur muda, akan
mempengaruhi keparahan penyakit pada tanaman tua.
16
Tabel 7 Keparahan penyakit bercak Sigatoka pada tanaman pisang di Kebun PTPN
VIII Parakansalak
Varietas Rata-rata
Umur
Barangan Cavendis Mas kirana
Muda 12.00 ± 10.58 5.67 ± 6.03 2.33 ± 2.08 6.67 ± 6.23b
Sedang 65.33 ± 6.11 10.00 ± 2.65 11.33 ± 9.29 28.89 ± 6.02a
Tua 55.00 ± 29.71 19.33 ± 6.43 19.00 ± 3.60 31.11 ± 13.25a
Rata-rata 44.11 ± 15.47A 11.67 ± 5.03B 10.89 ± 4.93B
a
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dan angka pada baris yang
sama yang diikuti huruf besar yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata berdasarkan uji
selang berganda Duncan α= 5%
Layu Fusarium
Penyakit layu Fusarium pada tanaman pisang di kebun PTPN VII
Parakansalak terlihat sejak awal pengamatan. Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa varietas tanaman tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
kejadian penyakit yang disebabkan oleh patogen Fusarium oxysporum f.sp. cubense
(P= 0.0591). Varietas tidak memberikan pengaruh secara signifikan terhadap
tingkat keparahan penyakit ini (P=<0.0666). Hal ini menyebabkan tidak adanya
interaksi antara varietas dan umur pada tingkat keparahan dan kejadian penyakit
(P=0.01844; P=0.01998).
Rata-rata kejadian penyakit antar umur tanaman semakin meningkat, tetapi
perbandingan ini tidak nyata (Tabel 8). Kejadian penyakit Fusarium dipengaruhi
oleh varietas tanaman. Varietas Barangan tidak terserang penyakit layu Fusarium
sehingga berbeda nyata dengan varietas Cavendis. Hal ini dipengaruhi oleh bibit
yang digunakan oleh PTPN VIII Parakansalak.Varietas Barangan menggunakan
bibit dari kultur jaringan yang bebas patogen ini, sedangkan varietas Cavendis dan
Mas Kirana menggunakan bibit yang didapatkan dari anakan pisang oleh PTPN
VIII Parakansalak yang berpeluang telah terinfeksi patogen ini. Menurut Reddy
(2010), penularan patogen ini melalui akar yang terserang oleh nematoda sehingga
patogen dapat masuk ke dalam jaringan tumbuhan. Patogen ini dapat menghambat
sistem vaskular dan menyebabkan layu.
Tabel 8 Kejadian penyakit layu Fusarium pada tanaman pisang di kebun PTPN
VIII Parakansalak
Varietas
Umur Rata-rata
Barangan Cavendis Mas kirana
Muda 0±0 0.00 ± 0.00 0.00 ± 0.00 0.00 ± 0.00a
Sedang 0±0 20.00 ± 34.64 13.33 ± 11.55 11.11 ± 15.39a
Tua 0±0 46.67 ± 50.33 0.00 ± 0.00 15.56 ± 16.77a
Rata-rata 0 ± 0B 22.22 ± 28.32A 4.44 ± 3.85AB
a
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dan angka pada baris yang
sama yang diikuti huruf besar yang sama menunjukan hasil berbeda nyata berdasarkan uji selang
berganda Duncan α= 5%
17
Keberadaan Fitonematoda
Hasil ekstraksi tanah dari berbagai varietas dan blok ditemukan fitonematoda
(Tabel 9). Hasil yang didapat dalam sampel tanah yang diekstrak adalah
Radopholus sp. dan Helicotylenchus sp. Hal ini sesuai dengan pendapat Luc et al.
(1995) menyatakan bahwa di daerah tropis tidak terdapat daerah perkebunan pisang
yang bebas dari Helicotylenchus sp., Pratylenchus sp., Meloidogyne sp., dan
Radopholus sp.
Radopholus sp. termasuk ke dalam Ordo Tylenchida, Subordo Tylenchina,
Superfamili Tylenchoidea, Famili Pratylenchidae, Subfamili Radopholinae
(Dropkin 1991). Menurut O’banon (1977), daerah infeksi R. similis pada tanaman
pisang sudah menyebar ke seluruh dunia, dan dilaporkan menyebabkan kehilangan
produktivitas pisang sebesar 12.5 ton per ha. R. similis merupakan spesies nematoda
endoparasit berpindah dan mampu menyelesaikan daur hidupnya di dalam jaringan
korteks akar (Luc et al. 1995). Nematoda ini disebut “nematoda penggugus”
sehubungan dengan aktivitas gerak dan kemampuannya merusak sel jaringan akar.
Baik larva maupun nematoda betina dewasanya menyerang akar. Nematoda betina
tinggal di dalam akar sampai sel-sel jaringan akar rusak berat (Dropkin 1991).
Nematoda jantan secara morfologi mengalami degenerasi (tidak mempunyai stilet)
dan mungkin tidak bersifat parasitik (Luc et al. 1995). Morfologi nematoda jantan
dan betina berbentuk memanjang (vermiform). Pada nematoda betina, bagian bibir
membulat (rounded), dicirikan dengan adanya striasi sebanyak tiga buah, dan
adanya lekukan (set off). Anulasi pada kutikula jelas, pada daerah lateral terdapat
empat incisures. Ekor konoid sampai tumpul dengan bagian ujung membulat. Stilet
kuat dengan basal knob yang berkembang baik. Median bulbus esofagus
subsperical, isthmus kurang lebih panjangnya sama dengan lebar tubuh (Gambar
11A).
a b
Gambar 11 Nematoda Helicotylenchus sp. (a); dan Radopholus sp. (b) yang
ditemukan pada ekstrasi tanah tanaman pisang di PTPN VIII
Parakansalak
SIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
24
25
Lampiran 1 Kuisioner wawancara pengelolaan tanaman dan organisme pengganggu
tanaman (OPT) pisang
BUDIDAYA
1. Varietas pisang yang digunakan: Barangan, Cavendis, Mas Kirana, Raja
Bulu
2. Asal bibit:
[v] membibitkan sendiri (varietas Mas Kirana dan Cavendis)
[v] membeli dari perusahaan pembibitan (Kultur jaringan: Varietas
Barangan dan Rajabulu)
[ ] diberikan oleh dinas atau instansi pemerintah
[ ] membeli dari petani
[ ] membeli dari kios petani
[ ] lainnya .......................
3. Jarak tanam pisang: 2 x 2.5 untuk monocrop; 2.5 x 5 intercrop
4. Pupuk kandang yang digunakan
a. Kotoran kambing 10-20 kg/pohon
b. Kotoran ayam............................kg
c. Pupuk kompos...........................kg
d. Lainnya......................................kg
5. Apakah menggunakan pupuk kimia?
[ ] tidak
[v] ya, jenis pupuk kimia yang digunakan NPK 16-16-16,
NPK 12-6-6-16, dan NPK 12-6-18
Berapa dosis:
NPK 16-16-16: 100 gr/pohon
NPK 12-6-6-16: 150-200 gr/pohon
NPK 12-6-18: 250-300 gr/pohon
26
6. Pemberian pupuk sintetik
Jenis pupuk Frekuensi/tanam Waktu pemupukan Dosis/ha
NPK 16-16-16 Minggu ke 1 dan Pagi hari 100 gr/pohon
2 setelah tanam
Umur tanaman 4 150 gr/pohon
bulan
NPK 12-6-6-16 Pagi hari
Umur tanaman 6 200 gr/pohon
bulan
Umur tanaman 8 250 gr/pohon
bulan
NPK 12-6-18 Pagi hari
Umur tanaman 1o 300 gr/pohon
bulan
PENGENDALIAN OPT
10. Bagaimana cara pengendalian hama dan penyakit:
[v] secara mekanik, dengan .........................
[ ] secara fisik, dengan ............................
[ ] secara hayati, dengan.......................
[v] secara kimia
a. Jenis pestisida: Agrimex 1.44 cc, Dithane M-45 80 WP, Suncord
50 EC, Anvil 50 EC, Folicur 25 WP, Bravo 500 SC, Rudor 5
WP, Nativo 75 WG, dan Furadan 3 GR
b. Dosis 1-2 gr/pohon
c. Waktu aplikasi: pagi hari
d. Frekuensi aplikasi: hama, 1 kali saja kalau sudah ada serangan
Penyakit: bercak Sigatoka 1 minggu sekali
11. Mengapa menggunakan pestisida untuk pengendalian
[ ] Efektif terhadap serangan hama dan penyakit
[ ] Mudah didapatkan
[v] Praktis dalam aplikasi
[v] Harga murah
27
[ ] Saran dari orang lain
[ ] Lainnya.......................
12. Apakah bapa menggendalikan gulma?
[v] ya [ ] tidak
13. Bagaimana cara mengendalikan gulma
[v] mencabut dengan tangan
[v] menggunakan herbisida ( satu kali setahun)
[v] menggunakan alat pemotong
[ ] lainnya...............................
SIKAP PETANI
14. Jika menggunakan pestisida kapan diputuskan untuk melakukan
penyemprotan
[ ] saat menyemprot telah tiba
[ ] serangan hama/penyakit tingkat membahayakan
[v] adanya gejala pada tanaman
[ ] saat cuaca kurang baik
[ ] lainnya..................................
15. Apakah yang dilakukan jika hama dan penyakit tidak dapat dikendalikan
[ ] dibiarkan saja
[ ] penyemprotan lagi dengan konsentrasi sama
[ ] meningkatkan konsentrasi
[ ] mengganti dengan pestisida baru
[v] Lainnya: dimusnahkan