NUR MELASARI
A24120063
‘
1
Nur Melasari
A24120063
2
‘
1
ABSTRAK
ABSTRACT
Winged bean is a plant that has many benefits and potential to preserved.
The characteristics of winged bean seed that impermeable to water and gas are
factors thought to cause winged difficult to germinate. This research aims to
studied the effectiveness of dormancy breaking methods and their effects on the
structure of winged bean seed. This research was conducted at IPB Seed Storage
and Seed Quality Testing Laboratory and SEAMEO BIOTROP Silviculture
Laboratory for 6 months. Dormancy breaking methods by HNO35% for 10
minutes and temperature 50 0C for 10 minutes are an effective method to increase
the viability and vigor of winged bean. Treatment by HNO35% for 10 minutes
gives the highest score in viability and vigor benchmark, while treatment by
HNO35% for 10 minutes give the highest score in vigor benchmark.
Keyword :acid treatment, impermeable, temperature treatment, viability, vigor
1
NUR MELASARI
A24120063
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
‘
2
‘
1
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Kegiatan penelitian
berjudul Metode Pematahan Dormansi untuk Meningkatkan Viabilitas Benih
Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.) Aksesi Cilacap yang dilaksanakan
sejak Desember 2015 hingga Juni 2016.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. Dra. Tatiek Kartika Suharsi, MS dan Dr. Ir. Abdul Qadir, M.Si selaku
dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan
motivasi selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan karya ilmiah.
2. Dr. Ir. Faiza Chairani Suwarno, MS selaku dosen penguji yang telah
memberikan koreksi dan saran terhadap karya ilmiah ini.
3. Maryati, SP. M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan dan dukungan selama masa perkuliahan.
4. Kedua orang tua yang selalu memberikan nasehat, dukungan, doa, dan
kasih sayang bagi penulis.
5. Sahabat-sahabat Agronomi dan Hortikultura 49 yang telah membantu dan
memberikan dukungan dalam menyelesaikan rangkaian kegiatan
penelitian.
6. Seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan penelitian dan penulisan karya
ilmiah.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Nur Melasari
vi
‘
vii
DAFTAR ISI
‘
1
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
‘
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.) merupakan tanaman dari famili
Leguminosae (kacang-kacangan). Keistimewaan kecipir dibanding tanaman
sayuran lainnya adalah seluruh bagian tanaman kecuali batang dapat dikonsumsi
dan kaya akan protein sehingga mendapat julukan sebagai tanaman multifungsi.
Polong muda, umbi, daun muda, dan bunga dapat dimanfaatkan sebagai sayuran.
Biji yang kering dapat diekstrak minyaknya, diolah menjadi susu, tempe, tahu,
miso, ataupun pakan ternak. Tepung biji kecipir dapat digunakan sebagai sumber
protein dalam pembuatan roti (Krisnawati, 2010). Tanaman kecipir mempunyai
kemampuan mengikat nitrogen bebas di udara, sehingga dapat digunakan sebagai
tanaman penutup tanah pada lahan perkebunan (Handayani, 2013).
Kecipir mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan dan
dilestarikan, akan tetapi pengembangan tanaman kecipir mempunyai kendala
karena benihnya yang sulit untuk dikecambahkan. Karakteristik benih yang kedap
terhadap air dan gas merupakan faktor yang diduga menyebabkan benih sulit
untuk berkecambah. Kartasapoetra (2003) menyebutkan bahwa kulit benih yang
kedap terhadap air dan gas menyebabkan resistensi mekanis, menyebabkan
embrio tidak dapat menembus kulit yang berarti pula menghambat proses
imbibisi, mengakibatkan radikel tidak dapat keluar untuk tumbuh sebagaimana
mestinya, sehingga muncul sifat dormansi. Widhityarini et al. (2011)
mendefinisikan dormansi benih sebagai keadaan dimana benih tetap tidak akan
berkecambah meskipun syarat-syarat perkecambahan benih telah dipenuhi.
Adanya sifat dormansi pada benih kecipir juga menyebabkan masih rendahnya
viabilitas dan vigor benih kecipir akibat adanya benih yang tidak tumbuh.
Sifat dormansi benih dapat dipatahkan memalui perlakuan pematahan
dormansi. Perlakuan pematahan dormansi adalah istilah yang digunakan untuk
proses atau kondisi yang diberikan guna mempercepat perkecambahan benih
(Widhityarini et al., 2011). Perlakuan pematahan dormansi juga bertujuan untuk
meningkatkan viabilitas dan vigor suatu benih. Perlakuan pematahan dormansi
dapat dilakukan melalui skarifikasi secara mekanik dan kimia maupun stratifikasi
dengan suhu berpindah (Yuniarti dan Dharmawati, 2015). Skarifikasi mekanik
dilakukan dengan cara melukai benih sehingga terdapat celah tempat keluar
masuknya air dan gas. Skarifikasi mekanis merupakan metode yang sesuai
sebagai perlakuan pematahan dormansi pada benih yang kedap terhadap air dan
gas, namun masih dianggap kurang efektif karena membutuhkan tenaga kerja
yang banyak untuk skala besar dan pekerjaannya kurang sederhana dibandingkan
dengan perlakuan kimia (Astari et al., 2014). Bahan kimia yang sering digunakan
dalam perlakuan pematahan dormansi diantaranya adalah asam H2SO4, HCL,
HNO3, serta garam KNO3. Menurut Sadjad et al. (1975) perlakuan benih dengan
bahan kimia sebagai perlakuan pematahan dormansi pada prinsipnya adalah
membuang lapisan lignin pada kulit benih yang keras dan tebal sehingga benih
kehilangan lapisan yang permeabel terhadap air dan gas sehingga metabolisme
dapat berjalan dengan baik.
Hasil-hasil penelitian perlakuan pematahan dormansi yang telah dilakukan
untuk jenis-jenis benih yang sulit berkecambah antara lain perlakuan pematahan
dormansi dengan H2SO4 1% selama 10 menit dapat meningkatkan daya
2
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari efektivitas metode
pematahan dormansi untuk meningkatkan viabilitas benih kecipir dan
pengaruhnya terhadap struktur kulit serta kecambah benih kecipir.
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah
1. Terdapat salah satu metode pematahan dormansi yang paling efektif untuk
meningkatkan viabilitas benih kecipir.
2. Metode pematahan dormansi yang paling efektif mempengaruhi struktur kulit
dan kecambah benih kecipir.
TINJAUAN PUSTAKA
Kecipir
Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.)) merupakan tanaman dari
famili Leguminosae (kacang-kacangan), salah satu kekayaan hayati yang dimiliki
Indonesia. Krisnawati (2010) menyatakan bahwa keragaman kecipir di Indonesia
cukup banyak, diperkirakan tidak kurang dari 100 aksesi, namun belum dilakukan
koleksi. Daerah asal tanaman kecipir sendiri belum begitu jelas diketahui, namun
terdapat empat tempat yang diduga sebagai daerah asal kecipir, yaitu Papua New
Guinea, Mauritus, Madagaskar, dan India. Pusat keragaman tanaman kecipir
diketahui berada di daerah dataran tinggi Papua New Guinea dan Indonesia.
Handayani (2013) menyebutkan bahwa keberadaan kecipir di Indonesia tersebar
dibeberapa daerah yaitu Sumedang, Garut, Kuningan, Bandung, Sukabumi,
Cianjur, Majalengka, Cilacap, dan Lampung. Jenis-jenis yang dijumpai pada
daerah-daerah tersebut bervariasi, mulai dari pertumbuhan tanaman, bentuk dan
helai daun, warna bunga, warna sayap polong, bentuk polong, dan warna biji.
Semua bagian tanaman kecipir kecuali batangnya, dapat dikonsumsi
sehingga sering disebut sebagai tanaman supermarket on the stalk. Masyarakat
juga memanfaatkan bagian-bagian tanaman kecipir sebagai bahan obat tradisional,
selain itu tanaman kecipir mampu mengikat nitrogen bebas di udara sehingga
dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Keunggulan lain dari
kecipir adalah kandungan proteinnya yang tinggi, bahkan biji kecipir memiliki
kandungan protein, lemak, dan asam amino yang sangat mirip dengan kedelai
sehingga sering digunakan untuk pengganti kedelai dalam bahan baku pembuatan
tempe (Handayani, 2013).
Kecipir merupakan tanaman setahun yang berbentuk perdu dan bersifat
membelit ke kiri. Tanaman kecipir tumbuh merambat mencapai panjang 2–4 m,
berakar tunggang dengan akar lateral yang panjang dan menebal serta mampu
membentuk umbi. Karakter perakaran tersebut menyebabkan tanaman kecipir
‘
3
dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi lingkungan. Daun berupa
daun trifoliat dengan anak daun umumnya berbentuk deltoid dengan ujung lancip.
Bunga kecipir bertipe kupu-kupu, dengan warna korola bervariasi biru muda, biru,
ungu muda, atau ungu. Buah bertipe polong bersayap empat memanjang kurang
lebih 20 cm, umumnya warna hijau dan kadang mempunyai bercak ungu. Biji
bertipe bulat dan berkulit keras, biji tua berwarna krem, coklat, atau hitam dengan
rasa yang getir. Biji kecipir merupakan sumber dari protein dan banyak
mengandung vitamin A, vitamin B, dan vitamin C, oleh karenanya tanaman
kecipir dianjurkan untuk ditanam dipekarangan rumah atau disepanjang pagar
(Handayani, 2013).
Tanaman kecipir merupakan tanaman tropika yang beradaptasi baik pada
wilayah subtropika, kecipir cocok untuk kondisi lingkungan lembab dengan suhu
siang 30 0C dan suhu malam 22 0C yang paling sesuai untuk perbesaran umbi.
Tanaman ini memiliki banyak sekali bintil akar, dan cukup produktif jika ditanam
di tanah yang kurang subur, tetapi hasilnya akan meningkat jika dipasok pupuk
tambahan. Produksi utama tanaman kecipir adalah polongnya, polong segar muda
mengandung sekitar 1–3% protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman
kecipir mempunyai keunggulan dalam kandungan nutrisi gizi, sehingga amat baik
untuk program perbaikan gizi masyarakat (Hidayat et al., 2006).
Dormansi Benih
Dormansi benih merupakan suatu kondisi dimana benih hidup tidak
berkecambah sampai batas waktu akhir pengamatan perkecambahan walaupun
faktor lingkungan optimum untuk perkecambahnnya. Intensitas dormansi
dipengaruhi oleh lingkungan selama perkembangan benih. Lamanya dormansi dan
mekanisme dormansi berbeda antar spesies dan antar genotip (Ilyas, 2012). Secara
umum benih kacang-kacangan memiliki sifat dormansi fisik yang ditunjukkan
oleh benih-benih yang impermeabel terhadap air dan gas. Keuntungan dari adanya
dormansi benih ini yaitu mekanisme untuk mempertahan hidup benih, mencegah
terjadinya perkecambahan di lapangan, dan pada beberapa spesies menjadi lebih
tahan simpan, sedangkan kerugian yang ditimbulkan yaitu memperpanjang waktu
perkecambahan, mengacaukan saat tanam, serta menimbulkan masalah dalam
interpretasi terhadap pengujian benih (Widajati et al., 2013).
Widajati et al. (2013) menyampaikan bahwa berdasarkan faktor penyebab,
dormansi dapat digolongkan ke dalam dormansi primer dan dormansi sekunder.
Dormansi primer merupakan dormansi yang disebabkan oleh keadaan atau
kondisi di dalam organ-organ benih itu sendiri, sedangkan dormansi sekunder
merupakan dormansi yang terjadi akibat terhalangnya pertumbuhan aktif karena
keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan. Berdasarkan mekanisme di
dalam benih, dormansi terbagi lagi dalam dormansi fisiologis dan dormansi fisik.
Dormansi fisiologis merupakan dormansi yang disebabkan oleh terjadinya
hambatan dalam proses fisiologi seperti embrio rudimenter, keseimbangan
hormonal dalam benih, dan metabolik blok pada kotiledon benih. Dormansi fisik
merupakan dormansi yang disebabkan oleh adanya pembatas struktural terhadap
perkecambahan benih, seperti kulit benih yang keras dan kedap sehingga menjadi
penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas ke dalam benih.
4
‘
5
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kecipir aksesi
Cilacap yang telah ditanam di Bogor dan dipanen pada bulan September 2015.
6
Bahan lain yang digunakan adalah larutan H2SO4, larutan HCl, larutan HNO3, air
panas, akuades, pasir, natrium hipoklorit. Bahan yang digunakan untuk
pembuatan preparat awetan kulit benih kecipir adalah larutan FAA, alkohol,
larutan xylol, parafin, pewarna safranin dan metilen blue, serta gliserin.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autoklaf, bak tanam,
timbangan, palu, desikator, oven, termometer, cawan oven, gelas ukur, amplas,
sendok pengaduk, label, pinset, scapel, cawan petri, silet, mikrotom, gelas objek,
mikroskop, dan kamera.
Prosedur Penelitian
Persiapan Pendahuluan
Pelaksanaan penelitian diawali dengan sortasi benih kecipir secara manual,
benih yang digunakan adalah benih dengan warna testa hitam dan coklat tua
dengan ukuran yang seragam. Benih yang telah disortasi kemudian diukur kadar
airnya menggunakan metode oven suhu rendah setiap akan dilakukan perlakuan.
Perlakuan dilakukan sesuai dengan waktu pengulangan.
Benih yang akan dikecambahkan sebelumnya mendapat perlakuan
sterilisasi permukaan dengan cara merendam benih di dalam larutan natrium
hipoklorit 5,25% selama 5 menit sebelum perlakuan dan 10 detik setelah
perlakuan. Benih ditanam dalam bak kecambah dengan media pasir yang telah
disterilkan, dimana satu bak kecambah ditanam 20 benih kecipir. Bak kecambah
diletakkan di dalam rumah kaca dengan kondisi lingkungan yang sesuai untuk
perkecambahan benih pada umumnya.
‘
7
V1 x N1 = V2 x N2
Keterangan :
V1 = volume asam kuat pekat yang dubutuhkan
N1 = konsentrasi asam kuat pekat
V2 = volume larutan yang diinginkan
N2 = konsentasi larutan yang diinginkan
Pencucian benih menggunakan aquades setelah perlakuan dilakukan untuk
menetralisir benih dari asam.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap kadar air, viabilitas potensial dengan tolok
ukur daya berkecambah (DB), viabilitas total dengan tolok ukur potensi tumbuh
maksimum (PTM), dan vigor benih dengan tolok ukur indeks vigor (IV),
kecepatan tumbuh (KCT), serta keserempakan tumbuh (KST).
Kadar air
Pengukuran kadar air dilakukan untuk mengetahui keadaan awal benih.
Sampel yang digunakan sebanyak 4–5 gram benih yang sebelumnya telah
dihancurkan menjadi 4–5 bagian dengan menggunakan palu. Pengukuran kadar
air menggunakan metode oven suhu rendah yaitu 103±2 0C selama 17±1 jam.
KA (%) = x 100 %
Keterangan :
Bobot basah : bobot benih sebelum dioven
Bobot kering : bobot benih setelah dioven
∑
PTM (%) = x 100 %
∑
8
Vigor Benih
Pengujian pada peubah vigor benih dilakukan dengan tolok ukur indeks
vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), dan keserempakan tumbuh (KST). Indeks
vigor diamati dengan cara menghuting persentase jumlah kecambah normal yang
tumbuh pada hitungan pertama (∑ KNI) terhadap total benih yang ditanam,
dengan rumus :
∑
IV (%) = x 100 %
∑
KCT (% KN etmal-1) = ∑
∑
KST (%) = x 100 %
∑
Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan
Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) satu faktor yaitu perlakuan pematahan
dormansi dengan 38 taraf yang terdiri dari satu perlakuan kontrol (tanpa
perlakuan), satu perlakuan skarifikasi mekanik menggunakan amplas, 27
perlakuan skarifikasi menggunakan bahan kimia, dan 9 perlakuan skarifikasi
menggunakan suhu tinggi. Perlakuan skarifikasi bahan kimia dan suhu tinggi yang
digunakan dalam penelitian terdapat pada Tabel 1.
‘
9
Tabel 1. Perlakuan skarifikasi bahan kimia dan suhu tinggi yang digunakan dalam
penelitian
Skarifikasi bahan kimia Skarifikasi suhu tinggi
Bahan kimia Konsentrasi Waktu Suhu Waktu
0
H2SO4 5% 5 menit 40 C 5 menit
H2SO4 5% 10 menit 40 0C 10 menit
H2SO4 5% 15 menit 40 0C 15 menit
H2SO4 10% 5 menit 50 0C 5 menit
H2SO4 10% 10 menit 50 0C 10 menit
H2SO4 10% 15 menit 50 0C 15 menit
H2SO4 15% 5 menit 60 0C 5 menit
0
H2SO4 15% 10 menit 60 C 10 menit
H2SO4 15% 15 menit 60 0C 15 menit
HNO3 5% 5 menit
HNO3 5% 10 menit
HNO3 5% 15 menit
HNO3 10% 5 menit
HNO3 10% 10 menit
HNO3 10% 15 menit
HNO3 15% 5 menit
HNO3 15% 10 menit
HNO3 15% 15 menit
HCl 5% 5 menit
HCl 5% 10 menit
HCl 5% 15 menit
HCl 10% 5 menit
HCl 10% 10 menit
HCl 10% 15 menit
HCl 15% 5 menit
HCl 15% 10 menit
HCl 15% 15 menit
Hasil
Kondisi Umum
Kecipir merupakan tanaman dari famili Leguminosae (kacang-kacangan),
dimana sebagian besar benih tanaman dari famili ini mempunyai kulit benih keras
yang kedapterhadap air dan gas, sehingga menimbulkan sifat dormansi
(Krisnawati, 2010). Dormansi tersebut menyebabkan viabilitas dan vigor benih
kecipir terlihat rendah ketika benih dipanen, sehingga dibutuhkan perlakuan untuk
meningkatkan viabilitas dan vigor benih. Sifat dormansi benih dapat dipatahkan
dengan perlakuan pematahan dormansi. Perlakuan pematahan dormansi pada
benih kecipir bertujuan supaya benih kecipir dapat dengan mudah menyerap air
dan gas sehingga laju perkecambahan semakin cepat.
Benih kecipir yang digunakan dalam penelitian adalah benih yang dipanen
pada bulan September 2015. Benih yang digunakan merupakan benih dengan
warna testa hitam dan coklat tua. Keragaan benih kecipir yang digunakan dalam
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Pengamatan kadar air benih dilakukan segera setelah benih dopanen dan
dikeringkan untuk mengetahui kondisi awal benih kecipir. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa benih kecipir memiliki kadar air rata-rata sebesar 10,93%.
Kondisi ini tergolong dalam kadar air yang aman untuk dilakukan penyimpanan
mengingat benih kecipir yang tergolong dalam benih ortodoks. Benih ortodoks
memerlukan kadar air optimum selama periode penyimpanan yang berkisar antara
6–11%. Widajati et al. (2013) menyampaikan bahwa kadar air selama periode
penyimpanan merupakan faktor yang sangat penting untuk mempengaruhi masa
hidup benih. Benih disimpan dalam ruangan dengan suhu yang berkisar antara
17–22 0C dengan kelembaban berkisar antara 54–62%. Penyimpanan benih seperti
ini bertujuan untuk memperlambat kemunduran benih sampai benih ditanam.
Widajati et al. (2013) menyatakan bahwa kemunduran benih yang terjadi selama
periode penyimpanan dapat diperlambat dengan teknologi penyimpanan yang
baik. Wadah yang digunakan untuk menyimpan benih adalah toples plastik
dengan bahan polietilen. Plastik polietilen merupakan salah satu kemasan yang
‘
11
bersifat semi permeabel terhadap udara sehingga dapat mempertahankan kadar air
benih selama periode penyimpanan.
Hasil pengukuran kadar air yang dilakukan sebelum penelitian dimulai
yaitu13,38%. Nilai tersebut mengindikasi bahwa terjadi peningkatan kadar air
benih selama proses penyimpanan. Hal ini diduga karena adanya fluktuasi suhu
dan kelembaban ruang simpan selama periode penyimpanan benih. Meningkatnya
kadar air benih diduga menyebabkan patahnya dormansi benih sebelum benih
mendapat perlakuan pematahan dormansi. Justice dan Louis (2002) menyatakan
bahwa dormansi pada beberapa spesies tanaman akan menghilang bila disimpan
selama beberapa bulan pada kondisi suhu dan kelembaban nisbi lingkungan
terkendali di atas suhu titik beku.
Metode perkecambahan yang digunakan merupakan metode in sand.
Rahayu (2015) menyatakan bahwa substrat pasir dengan metode in sand
merupakan substrat terbaik untuk media perkecambahan benih kecipir. Benih
yang dikecambahkan dengan metode in sand dapat tumbuh lebih baik karena
mendapatkan kelembaban dari dua bagian, yaitu pasir lapisan bagian atas dan
pasir lapisan bagian bawah. Pasir juga merupakan media yang porous sehingga
mudah ditembus oleh akar kecambah. Purbojati dan Faiza (2006) mengungkapkan
bahwa media perkecambahan merupakan salah satu faktor eksternal yang
memperngaruhi perkecambahan. Media perkecambahan yang baik harus
mempunyai sifat fisik yang baik, mempunyai kemampuan menyerap air, oksigen,
dan bebas dari organisme penyebab penyakit.
Proses pengecambahan dilakukan di dalam rumah kaca dengan suhu,
kelembaban, dan intensitas cahaya yang cukup. Widajati et al. (2013) menyatakan
bahwa cahaya, suhu, kelembaban, gas, dan medium merupakan faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi perkecambahan. Lima (2012) menambahkan bahwa
suhu mempunyai peranan penting dalam proses perkecambahan karena suhu
mempengaruhi reaksi kimia yang terjadi selama proses perkecambahan benih.
Tabel 2 menyajikan hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan
dormansi terhadap viabilitas dan vigor benih kecipir.
Tabel 2. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi
terhadap parameter viabilitas dan vigor benih
Tolok Ukur F value
Daya berkecambah (%) 7,65**
Indeks Vigor (%) 7,40**
Kecepatan tumbuh (% etmal-1) 8,93**
Keserempakan tumbuh (%) 8,98**
Potensi tumbuh maksimal (%) 1,74**
Keterangan : **= berpengaruh sangat nyata; *= berpengaruh nyata pada taraf
nyata 5%
Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pematahan dormansi
pada benih kecipir berpengaruh sangat nyata terhadap tolok ukur daya
berkecambah (%), indeks vigor (%), kecepatan tumbuh (% KN etmal-1), dan
keserempakan tumbuh (%), serta berpengaruh nyata terhadap tolok ukur potensi
tumbuh maksimal (%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian perlakuan
pematahan dormansi pada benih kecipir mampu memperbaiki vigor dan viabilitas
benih. Azad et al (2012) menyatakan bahwa perlakuan sebelum tanam akan
12
‘
13
Hasil uji lanjut nilai tengah yang tersaji dalam Tabel 4 menunjukkan
bahwa perlakuanHNO3 10% 15 menit merupakan perlakuan dengan indeks vigor
tertinggi yaitu 56,67%, sedangkan perlakuan H2SO4 5% 15 menit merupakan
perlakuaan dengan indeks vigor terendah yaitu 21,67%. Perlakuan suhu 50 0C 10
menit merupakan perlakuan dengan kecepatan tumbuh tertinggi yaitu 14,79% KN
etmal-1, sedangkan perlakuan suhu 50 0C 15 menit memberikan nilai kecepatan
tumbuh terendah yaitu 10,22% KN etmal-1. Perlakuan HNO3 5% 10 menit
merupakan perlakuan dengan nilai keserempakan tumbuh 86,67% yang lebih
tinggi dibanding kontrol maupun perlakuan lain, sedangkan perlakuan suhu 50 0C
15 menit merupakan perlakuan dengan nilai keserempakan tumbuh terendah yaitu
46,67%.
Pembahasan
‘
15
asam dalam larutan (Delvin, 1975). Larutan asam kuat sering digunakan dengan
konsentrasi yang bervariasi sampai pekat, sehingga kulit benih menjadi lunak.
Selain itu, asam kuat yang digunakan dapat pula membunuh cendawan atau
bakteri yang dapat menyebabkan benih dorman (Rozi, 2003).
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa perlakuan HNO3 15% 15 menit
merupakan perlakuan dengan nilai daya berkecambah yang lebih rendah dari
kontrol dan standar mutu fisiologi benih. Hal ini terjadi karena adanya perlakuan
yang terlalu berlebihan dalam hal konsentrasi dan durasi perendaman dapat
menyebabkan kematian pada benih. Peristiwa over treatment akan menyebabkan
rusaknya embrio sehingga benih tidak dapat berkecambah atau mati. Peristiwa
over treatment menyebabkan zat asam masuk ke dalam benih dan merusak embrio
sehingga menyebabkan benih tidak berkecambah atau mati. Menurut Yuniarti dan
Dharmawati (2015) daya berkecambah akan menurun apabila waktu perendaman
semakin lama. Keadaan ini disebabkan karena konsentrasi asam yang pekat dan
keras dapat membakar kulit benih sehingga menimbulkan kerusakan pada benih.
Kerusakan pada kulit benih menyebabkan zat asam dapat masuk ke dalam benih
dan merusak jaringan embrio.
Potensi tumbuh maksimum adalah tolok ukur dari viabilitas total yang
memperlihatkan kemampuan benih untuk sekedar hidup, baik secara langsung
fenomena pertumbuhan maupun oleh gejala metabolisme (Sadjad, 1999). Hasil uji
lanjut nilai tengah pengaruh pematahan dormansi dengan asam kuat terhadap
viabilitas benih kecipir tersaji dalam Tabel 3. Metode pematahan dormansi
dengan perlakuan asam kuat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
terhadap viabilitas total benih kecipir pada tolok ukur potensi tumbuh maksimal
(PTM). Hal ini terlihat dari nilai PTM terbaik hanya pada perlakuan H2SO4 10%
selama 5 menit dan kontrol sedangkan perlakuan lain menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata ataupun lebih rendah. Hal ini karena potensi tumbuh
maksimum merupakan tolok ukur yang lemah dalam pengujian viabilitas benih.
Benih memenuhi kriteria ini walaupun tidak tumbuh kecambah normal dan hanya
menunjukkan sedikit gejala pertumbuhannya. Persentase PTM yang tinggi pada
benih kontrol mengindikasi bahwa lot benih yang digunakan merupakan lot benih
yang masih baik karena memiliki viabilitas yang cukup tinggi. Ilyas (2012)
menyatakan bahwa viabilitas merupakan sifat benih yang menunjukkan daya
hidup benih untuk berkecambah.
dormansinya dan mulai tumbuh. Hasil uji lanjut nilai tengah tolok ukur daya
berkecambah dan potensi tumbuh maksimal pada perlakuan suhu 40–60 0C
dengan waktu 5–15 menit menunjukkan hasil yang tidak signifikan bahkan
menurun dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga karena perbedaan suhu
yang ditimbukan perlakuan suhu 40 0C sampai 60 0C dengan waktu 5–15 menit
belum mampu menciptakan celah pada lapisan epidermis kulit benih, sehingga
proses penyerapan air melalui imbibisi masih terhalang menyebabkan mekanisme
perkecambahan terhambat. Suhu yang tidak sesuai juga dapat menyebabkan
aktivitas enzim dalam benih tidak optimal bahkan menyebabkan enzim-enzim
dalam benih rusak dan embrionya akan mati (Isnaeni dan Habibah, 2014).
Kemampuan benih untuk berkecambah tergantung dari tersedianya energi dan
enzim untuk sintesis sel-sel penyusun organ kecambah yang meliputi akar dan
pucuk. Semakin rendah ketersediaan senyawa tersebut, maka semakin rendah pula
kemampuan benih untuk berkecambah (Widajati et al., 2013). Sadjad et al. (1975)
menambahkan bahwa hilangnya kemampuan benih untuk berkecambah
berhubungan langsung dengan kegiatan enzim. Mundurnya daya berkecambah
benih terjadi karena kekurangan enzim amilase dalam benih. Enzim ini berfungsi
sebagai katalisator dalam hidrolisa amilum yang tersimpan, sehingga kekurangan
enzim ini mempengaruhi pengiriman glukosa ke embrio. Pernyataan tersebut
dibuktikan dengan perlakuan suhu 500C 15 menit dan suhu 400C 15 menit,
dimana nilai daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimalnya lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol.
‘
17
berkecambah lebih cepat akan menghasilkan bibit yang lebih baik dari pada yang
berkecambah lambat.
Keserempakan tumbuh berkaitan dengan kemampuan benih sebagai
kelompok individu dalam suatu lot benih memanfaatkan cadangan energi dalam
masing-masing benih untuk tumbuh serempak pada unsur waktu dan kinerja
fisiologi. Umumnya benih yang bervigor rendah kurang bisa memanfaatkan
energi yang tersedia dibandingkan dengan benih yang bervigor relatif tinggi.
Kecambah normal yang tumbuh dikelompokkan dalam kecambah normal kuat
dan normal kurang kuat (Sadjad et al., 1999). Tolok ukur keseremapakn tumbuh
pada Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan HNO3 5% 10 menit merupakan
perlakuan dengan nilai keserepakan tumbuh yang lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan HNO3 5%
10 menit mampu memperbaiki vigor benih baik melalui kecepatan tumbuh
maupun keserempakan tumbuh. Sadjad et al. (1999) menyatakan bahwa
disamping memiliki vigor yang tinggi, benih dituntut untuk dapat cepat tumbuh.
Homogenitas perkecambahan diawali oleh keserempakan perkecambahan benih
sehingga selain cepat tumbuh, benih dengan vigor tinggi juga harus tumbuh
serempak.
Mekanisme yang terjadi pada perlakuan perendaman benih dalam asam
kuat yaitu asam kuat memfasilitasi larutnya kandungan lignin pada benih sehingga
benih bercelah. Celah yang terbentuk menyebabkan air mudah masuk sehingga
benih mudah berkecambah. Pernyataan ini sesuai dengan hasil perlakuan HNO3
5% 10 menit untuk tolok ukur kecepatan tumbuh dan keserempakan tumbuh serta
perlakuan HNO3 10% 15 menit untuk tolok ukur indeks vigor, dimana ketiga
tolok ukur tersebut merupakan tolok ukur yang mewakili vigor benih. Hal tersebut
menunjukkan bahwa asam kuat khususnya HNO3 pada konsentrasi dan lama
perendaman yang optimal dapat meningkatkan vigor benih sebagai metode
pematahan dormansi benih kecipir.
Pematahan dormansi dengan larutan asam HNO3 dapat meningkatkan
vigor benih, namun apabila dilakukan dengan konsentrasi dan waktu perendaman
yang tidak sesuai akan menyebabkan rusaknya embrio dan menyebabkan benih
tersebut tidak dapat tumbuh. Hal ini seperti yang terjadi pada perlakuan H2SO4
5% 15 menit pada tolok ukur indeks vigor, perlakuan HNO3 15% 15 menit pada
tolok ukur kecepatan tumbuh, dan perlakuan HNO3 10% 10 menit pada tolok ukur
keserempakan tumbuh. Perlakuan–perlakuan tersebut menunjukkan hasil yang
lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Kerusakan pada kulit benih yang
disebabkan oleh asam kuat menyebabkan zat asam tersebut masuk ke dalam benih
dan merusak embrio. Muharni (2002) menyatakan bahwa pematahan dormansi
dengan asam kuat menghasilkan persentase kematian benih yang tinggi. Hal ini
terjadi karena banyaknya benih yang pecah. Asam kuat dapat merusak kulit benih
atau jaringan embrio sehingga terjadi kemunduran metabolisme, menyebabkan
kematian benih. Pengaruh lamanya perendaman benih dalam larutan asam kuat
juga dapat menyebabkan kerusakan kulit benih dan jaringan embrio.
‘
19
kutikula
endosperm
Gambar 3. (a) kecambah abnormal dan (b) kecambah mati yang disebabkan oleh
serangan cendawan
‘
21
kulit terluar benih, sehingga menjadi penentu berhasil tidaknya air masuk ke
dalam benih dan dilapisi oleh lignin dan kitin membentuk kutikula. Lapisan
epidermis tersusun atas jaringan palisade (jaringan tiang) yang di dalamnya
terdapat sebuah lapisan light line yang berfungsi sebagai pengatur proses imbibisi
ke dalam benih (Krisnawati dan Adie, 2008).
epidermis
palisade
lightline
hipodermis
parenki
m
endodermis
endosperma
a b
Gambar 4. Struktur mikroskopis kulit benih kecipir (a) benih tanpa perlakuan (b) benih
dengan perlakuan asam HNO3
Gambar 4b menjelaskan bahwa larutan asam kuat (HNO3) dapat
melarutkan komponen lignin pada bagian epidermis benih kecipir yang tersusun
atas jaringan palisade. Jaringan palisade merupakan jaringan yang berbentuk
tongkat/batang dengan sel-sel yang mengalami penebalan sekunder oleh lignin,
tersusun membentuk lapisan kontinyu pada testa benih. Larutnya lignin
menciptakan celah pada lapisan light line sehingga meningkatkan permeabiltas
benih. Gambar 4b juga menjelaskan bahwa asam kuat yang telah menembus
lapisan epidermis dapat menyusutkan lapisan hipodermis dan jaringan parenkim.
Lapisan hipodermis merupakan lapisan dibawah sel-sel epidermis yang berbeda
baik morfologi maupun fisiologinya dengan lapisan di atasnya. Mali’ah (2014)
menjelaskan bahwa asam kuat bekerja pada bagian kutikula yang melarutkan
lignin sehingga kulit menjadi lunak dan air maupun gas dapat masuk ke dalam
benih sehingga terjadi perkecambahan. Delvin (1975) memaparkan bahwa
larutnya lignin pada lapisan kulit benih disebabkan oleh adanya ion H+ pada
larutan asam yang digunakan sebagai perlakuan pematahan dormansi, sehingga
kekuatan asam sebagai pelarut lignin ditentukan oleh besarnya jumlah ion H+
yang dihasilkan asam dalam larutan tersebut.
Asam kuat seperti asam sulfat dan natrium hidroksida dengan konsentrasi
pekat juga terbukti dapat menyebabkan kulit benih menjadi lunak sehingga dapat
dilalui oleh air dengan mudah (Rozi, 2003).Penelitian Puspitarini (2003)
mengungkapkan bahwa sel-sel kulit benih Pangkal Buaya yang sebelumnya pada
dan kompak dengan dinding sel yang tebal kemudian menjadi longgar karena
adanya lubang antar sel akibat lamela tengah yang terlarut dalam asam kuat dan
dinding sel yang menipis. Kondisi ini memungkinkan bagi radikula untuk
menembus kulit benih karena kulit benih relatif menjadi lunak.
22
epidermis
palisade
lightlin
e
hipodermis
parenkim
endodermis
endosperm
a
a b
Gambar 5. Struktur mikroskopis kulit benih kecipir (a) benih tanpa perlakuan (b)
benih dengan perlakuan suhu 50 0C
‘
23
plumula
epikotil
kotiledon
radikula
Gambar 6. Struktur kecambah benih kecipir
Perlakuan asam kuat HNO3 5% selama 10 menit merupakan perlakuan
yang dapat meningkatkan viabilitas maupun vigor benih melalui tolok ukur daya
berkecambah dan keserempakan tumbuh, sedangkan perlakuan suhu 50 0C selama
10 menit merupakan perlakuan yang mampu memperbaiki vigor benih pada tolok
ukur kecepatan tumbuh. Viabilitas merupakan kemampuan benih untuk tumbuh
normal dan berproduksi normal pada kondisi optimum, semakin baik viabilitas
suatu benih maka akan semakin tinggi kemampuan benih untuk tumbuh normal,
sedangkan benih yang memiliki vigor baik akan menghasilkan semaian normal
jika ditumbuhkan pada kondisi yang sub optimum dan dikatakan memiliki
kekuatan tumbuh.
24
a b
c d
Gambar 8. Morfologi kecambah benih kecipir pada perlakuan pematahan dormansi (a)
kontrol (b) amplas (c) suhu 50 0C 10 menit dan (d) HNO3 10% 5 menit
‘
25
Kesimpulan
Metode pematahan dormansi dengan perlakuan HNO3 5% selama 10
menit dan suhu 50 0C selama 10 menit merupakan metode yang efektif untuk
meningkatkan viabilitas maupun vigor benih kecipir. Perlakuan HNO3 5% selama
10 menitmemberikan nilai daya berkecambah dan keserempakan tumbuh tertinggi
serta nilai potensi tumbuh maksimal, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh yang
tidak berbedanyata dengan perlakuan terbaik. Perlakuan suhu 50 0C selama 10
menit memberikan nilai kecepatan tumbuh tertinggi serta nilai daya berkecambah,
potensi tumbuh maksimal, indeks vigor dan keserempakan tumbuh yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan terbaik.
Saran
Metode pematahan dormansi benih dengan perendaman dalam larutan
HNO3 5% selama 10 menitdan air suhu 50 0C selama 10 menit efektif untuk
meningkatkan viabilitas dan vigor pada benih kecipir. Namun masih perlu
diadakannya penelitian mengenai sifat dormansi benih kecipir terhadap suhu,
cahaya, dan periode penyimpanan benih.
26
DAFTAR PUSTAKA
Astari R.P., Rosmayati, dan Bayu E.S. 2014. Pengaruh pematahan dormansi
secara fisik dan kimia terhadap kemampuan berkecambah mucuna
(Mucuna barcteata D.C). Jurnal Online Agroekoteknologi. 2(2): 803-
812.
Azad M.S., Biswas R.K.,dan Matin M.A. 2012. Seed germination of Albizia
procera (Roxb.) benth in Bangladesh: a basis for seed source variation
and pre-sowing treatment effect. For.Stud.China. 14(2): 124-130.
Copeland L.O. and Mc Donald. 1985. Principles of Seed Science and Technology
2. Minneapolis. Bugress Publishing Company.
Delvin R.M. 1975. Plant physiology. Edition III.D. Van Nostrad Company. New
York.
Fitri N. 2015. Pengaruh skarifikasi dengan perendaman dalam aquades, air panas,
dan asam sulfat terhadap perkecambahan biji dan pertumbuhan awal
lamtoro (Leucaena leucocephala). Skripsi. Fakultas Peternakan.
Universitas Hasanuddin. Makasar.
Fitriyani S.A., Enni S.R., dan Noor A.H. 2013. Pengaruh skarifikasi dan suhu
terhadap pemecahan dormansi benih aren (Arenga pinnata (Wurmb)
Merr.). Unnes Journal of Life Scirnce. 2(2): 85-91.
Handayani T. 2013. Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.) potensi lokal yang
terpinggirkan. Iptek Tanaman Sayuran. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran. Bandung.
Hidayat I.M., Kirana R., Guswanto R.,dan Kusmana. 2006. Petunjuk tektis
budidaya dan produksi benih beberapa sayuran indigenus. Balai
Penelitian Tanaman Sayuran, Puslitbanghorti, Badan Litbang Pertanian.
Ilyas S. 2012. Ilmu dan Teknologi Benih, Teori dan Hasil-hasil Penelitian.
Bogor(ID): PT Penerbit IPB Press.
Isnaeni E. dan Habibah N.A. 2014. Efektifitas skarifikasi dan suhu perendaman
terhadap perkecambahan biji kepel [Stelechocarpus burahol (Blume)
Hook.F & Thompson] secara in vitro dan ex vitro. Jurnal MIPA. 37(2):
105-114.
Justice O.L. dan Louis N.B. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih.
Jakarta(ID): Raja Grafindo Persada.
Kartasapoetra A.G. 2003. Teknologi benih pengolahan benih dan tuntunan
praktikum. Jakarta(ID): Rineka Cipta.
Krisnawati A. 2010. Keragaman genetik dan potensi pengembangan kecipir
(Psophocarpus tetragonolobus L.) di Indonesia. Jurnal Litbang
Pertanian. 29(3): 113-119.
Lensari D. 2009. Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap Kemampuan
Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus indicus Will). Skripsi.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Lima D. 2012. Pengaruh waktu perendaman dalam air panas terhadap daya
kecambah leguminosa centro (Cetrosema pubescens) dan siratro
(Macroptilium atropurpureum). Jurnal Ilmu Ternak dan Tanaman. 2(1):
26-29.
‘
27
Mali’ah S. 2014. Pengaruh konsentrasi dan lama perendaman dalam asam sulfat
(H2SO4) terhadap perkecambahan benih saga pohon. Skripsi. Jurusan
Biologi. Fakultas Saintek. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Muharni S. 2002. Pengaruh metode pengeringan dan perlakuan pematahan
dormansi terhadap viablitas benih kayu afrika (Maesopsis emenii Engl.).
Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Purba H.W.S., Sitepu F.E.,dan Haryati. 2013. Viabilitas benih rosella (Hibiscus
sabdarifa L.) pada berbagai kadar air awal dan kemasan benih. Jurnal
Online Agroteknologi. 1(2): 318-362.
Purbojati L. dan Faiza C.S. 2006. Studi alternatif substrat kertas untuk pengujian
viabilitas benih dengan metode uji diatas kertas. Bul. Agron. 34(1): 55-61
Puspitarini D.P., 2003. Struktur benih dan dormansi pada benih panggal buaya
(Zanthoxylum rhetsa (Roxb) D.C.). Tesis. Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Rahayu A.D. 2015. Pengamatan uji daya berkecambah, optimalisasi substrat
perkecambahan dan pematahan dormansi benih kecipir (Psophocarpus
tetragonolobus (L.) DC). Skripsi. Departemen Agronomi dan
Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rozi F. 2003. Pengaruh perlakuan pendahuluan dengan peretakan, perendaman air
(H2O2), asam sulfat (H2SO4), dan hormon giberelin (GA3) terhadap
viabilitas benih Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl). Skripsi. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sadjad S.,Endang M.,danSatriyas I. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih dari
Komperatif ke Simulatif. Jakarta(ID): PT Grasindo dan PT Sang Hyang
Seri.
Sadjad S., Hari S.,Sri S.H., Jusup S., Sugihharsono,dan Sudarsono. 1975. Dasar-
Dasar Teknologi Benih. Biro Penataran. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Schmit L. 2002. Pedoman penanganan benih kehutanan. Terjemahan Fransiskus
Harum. Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Widajati E., Endang M., Endah R.P., Tatiek K.,M.R. Suhartanto,dan Abdul Q.
2013. Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. IPB Press. Bogor.
Widhityarini D., Suyadi M.W.,dan Aziz P. 2011. Pematahn dormansi benih
tanjung (Mimusops elengi L.) dengan skarifikasi dan perendaman kalium
nitrat. Fakultas Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Widyawati N., Tohari, Prapto Y.,danIssirep S. 2008. Permeabilitas dan
perkecambahan biji aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.). J Agron
Indonesia. 32(2): 152-158.
Yuniarti N. dan Dharmawati F.D. 2015. Teknik pematahan dormansi untuk
mempercepat perkecambahan benih kourbaril (Hymenaea courbaril).
Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 6(1): 1422-1437.
28
‘
29
LAMPIRAN
30
‘
31
‘
33
RIWAYAT HIDUP