Anda di halaman 1dari 51

PEMANFAATAN TUMBUHAN BERACUN OLEH

MASYARAKAT DI KECAMATAN BULU, KABUPATEN


REMBANG, JAWA TENGAH

TYAS PRABAWATI

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan skripsi berjudul Pemanfaatan Tumbuhan
Beracun oleh Masyarakat di Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya limpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2018

Tyas Prabawati
NIM E34140019
ABSTRAK
TYAS PRABAWATI. Pemanfaatan Tumbuhan Beracun oleh Masyarakat di
Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Dibimbing oleh SISWOYO
dan NOOR FARIKHAH HANEDA.

Sampai saat ini masyarakat yang memanfaatkan tumbuhan beracun sangat


sedikit dan potensi tumbuhan beracun banyak yang belum diketahui. Penelitian ini
bertujuan untuk mendata spesies tumbuhan beracun dan mengetahui pemanfaatan
tumbuhan beracun di Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Metode yang digunakan yaitu FGD (Focus Group Discussion), wawancara,
eksplorasi dan studi literatur. Diperoleh 28 jenis tumbuhan beracun dari 18 famili.
Famili yang banyak dimanfaatkan yaitu Fabaceae. Habitus dan bagian tumbuhan
beracun yang dimanfaatkan paling banyak yaitu herba dan seluruh bagian.
Pemanfaaatan tumbuhan beracun untuk pestisida, obat, makanan, tumbuhan hias,
penghalang hama, pakan ternak, ekonomi, kepercayaan, prakarya dan mebel.
Pengolahan tumbuhan beracun sesuai pemanfaatannya yaitu memanfaatkan
racunnya, menghilangkan racunnnya atau memanfaatkan bagian yang tidak atau
belum beracun.

Kata Kunci: beracun, manfaat, masyarakat, tumbuhan.

ABSTRACT
TYAS PRABAWATI. Utilization of Toxic Plant by the Community in Bulu Sub-
district, Rembang Regency, Central Java. Supervised by SISWOYO and NOOR
FARIKHAH HANEDA.

Until now people who take advantage of very few toxic plants and the
potential for many toxic plants are unknow. This study aims to record the toxic
plant species and research the use of poisonous plants in the District of Bulu,
Rembang, Central Java. The method used is FGD (Focus Group Discussion),
interview, exploration and literature study. This study obtained 28 species of
poisonous plants from 18 families. The number of species that widely used are
Fabaceae. Habitus and parts of poisonous plants are used the most are herbs and
all parts. Utilization of toxic plants for pesticides, medicines, food, ornamental
plants, pest barriers, animal feed, economy, trust, craft and furniture. Treatment of
toxic plants according to their utilization are utilizing the poison, eliminating the
toxic or utilize parts that are nor or not yet toxic.

Keywords: toxic, benefits, society, plant.


PEMANFAATAN TUMBUHAN BERACUN OLEH
MASYARAKAT DI KECAMATAN BULU, KABUPATEN
REMBANG, JAWA TENGAH

TYAS PRABAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Tumbuhan Beracun oleh Masyarakat di
Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah” dengan baik. Penelitian
yang dilaksanakan pada 28 Januari 2018 sampai 11 Maret 2018 dengan lokasi di
Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir Siswoyo, MSi selaku
pembimbing I dan Ibu Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MSi selaku pembimbing II
yang telah banyak memberi bimbingan selama proses penulisan hingga selesai.
Terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Kehutanan IPB yang telah
memberikan ilmu selama kuliah dan kepada seluruh staff Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah memberikan dukungan selama
proses penyelesaian skripsi. Terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi
dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa Bidikmisi.
Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua
tercinta, Bapak Sunar dan Ibu Surip serta mas dan adik tersayang, Anang Harianto
dan Dina Aditama. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman yang
membantu selama pengambilan data dan mendukumg dalam penyelesaian
penulisan yaitu Sunaryo dan Yunaeni. Tidak lupa terimakasih juga penulis
sampaikan kepada keluarga besar Ornithoptera croesus 51 (KSHE 51) dan HKRB
(Himpunan Keluarga Rembang di Bogor) yang telah memberikan semangat dan
dukungannya. Tidak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
masyarakat yang memanfaatkan tumbuhan beracun di Kecamatan Bulu dan atas
ketersediaannya memberikan informasi kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2018

Tyas Prabawati
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar beakang 1
Tujuan 1
Manfaat penelitian 1
METODE 2
Lokasi dan waktu 2
Alat dan bahan 2
Pengambilan data 2
Analisis data 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Kondisi Umum 5
Karakteristik Responden 6
Karakteristik Tumbuhan Beracun 10
Cara Pengolahan dalam Memanfaatan Tumbuhan Beracun 15
SIMPULAN DAN SARAN 33
Simpulan 33
Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 34
LAMPIRAN 39
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 41
DAFTAR GAMBAR

1 Peta Lokasi Penelitian 2


2 Persentase Jenis Kelamin Responden di Kecamatan Bulu 6
3 Persentase Komposisi Umur Responden di Kecamatan Bulu 7
4 Persentase Pendidikan Terakhir Responden di Kecamatan Bulu 8
5 Persentase Pekerjaan Responden di Kecamatan Bulu 9
6 Persentase Sumber Pengetahuan Responden di Kecamatan Bulu 10
7 Persentase Habitus Tumbuhan Beracun di Kecamatan Bulu 12
8 Persentase Tempat Tumbuh Tumbuhan Beracun di Kecamatan Bulu 12
9 Persentase Bagian Tumbuhan Beracun yang Dimanfaatkan di Kecamatan
Bulu 13
10 Persentase Pemanfaatan Tumbuh Tumbuhan Beracun di Kecamatan Bulu 14
11 Jenis tumbuhan beracun sebagai pestisida 16
12 Jenis tumbuhan beracun sebagai obat 20
13 Jenis tumbuhan beracun sebagai makanan 23
14 Gadung yang sudah kering dan siap digoreng 24
15 Jenis tumbuhan beracun sebagai tumbuhan hias 26
16 Jenis tumbuhan beracun sebagai penghalang hama 28
17 Jenis tumbuhan beracun sebagai pakan ternak 29
18 Jenis tumbuhan beracun sebagai ekonomi 31
19 Jenis tumbuhan beracun sebagai kepercayaan 32
20 Jenis tumbuhan beracun sebagai prakarya 32
21 Jenis tumbuhan beracun sebagai mebel 33
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki hutan tropis yang sangat luas. Keanekaragaman hayati


Indonesia yang terdokumentasi terdiri dari 1 500 spesies ganggang, 80 000 spesies
jamur, 595 spesies lumut (lichens), 2 197 spesies pakis, dan 30 000 – 40 000 spesies
spermatophyta yang terhitung 15.5% termasuk flora dunia (MOEAFOI 2014).
Jumlah yang sangat besar sebagai sumberdaya alam hayati yang mempunyai
potensi untuk dimanfaatkan sebagai penyedia senyawa kimia yang berkhasiat
sebagai obat atau racun, tanaman industri, tanaman pangan, dan tanaman buah-
buahan.
Sampai saat ini tumbuhan yang menjadi perhatian masyarakat adalah
tumbuhan yang memiliki manfaat dan menguntungkan, sedangkan tumbuhan yang
masih belum diketahui nilai gunanya masih diabaikan seperti tumbuhan liar atau
tumbuhan beracun. Seringkali tumbuhan liar dan tumbuhan beracun dianggap
sebagai gulma atau pengganggu tumbuhan lainnya. Adapun masyarakat yang
memanfaatkan tumbuhan beracun masih sangat sedikit.
Adanya pemanfaatan akan melestarikan tumbuhan, karena ada upaya untuk
membuat tumbuhan beracun selalu tersedia. Menurut Grumbine (1994), pendekatan
pelestarian yang lebih bersifat holistik, yaitu pendekatan menyeluruh yang
diharapkan dapat melindungi spesies dengan tidak meninggalkan aspek manfaat.
Sunarmi (2014) menyatakan upaya pelestarian harus disertai dengan pemeliharaan
sistem pengetahuan tradisional dan pengembangan sistem pemanfaatan
keanekaragaman hayati. Potensi tumbuhan beracun yang dapat dimanfaatkan belum
diketahui secara luas, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang manfaat
tumbuhan beracun oleh masyarakat. Salah satunya di Kecamatan Bulu, Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi spesies tumbuhan beracun dan


mengetahui pemanfaatan tumbuhan beracun di Kecamatan Bulu, Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang manfaat


tumbuhan beracun yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kecamatan Bulu,
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
2

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang pada


tanggal 28 Januari 2018 sampai 11 Maret 2018.

Lokasi penelitian

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat tulis,
kamera, meteran jahit, tally sheet serta alat dan bahan untuk membuat herbarium
(koran, kertas semen, trasbag, kertas roti, toples kecil, alkohol 70%, seng untuk
mengepres daun, tumbuhan yang diambil sebagai bahan herbarium).

Pengambilan data

Pengambilan data dilakukan dengan cara Focus Group Discussion (FGD),


wawancara, eksplorasi dan studi literatur. Pengambilan data pertama dilakukan
dengan cara FGD. FGD merupakan diskusi yang dilakukan secara sistematis dan
terarah mengenai suatu isu atau masalah pemanfaatan tumbuhan beracun.
Pengambilan data melalui FGD dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
masyarakat yang memanfaatkan dan mengetahui tumbuhan beracun. FGD
3

dilakukan dengan kelompok tani dan kelompok arisan setiap Rukun Warga (RW)
atau Rukun Tetangga (RT) yang ada di Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang.
Pengambilan data dengan wawancara menggunakan metode purpose
sampling. Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua pihak yaitu
pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan narasumber yang memberi
jawaban atas pertanyaan itu (Maleong 2009). Masyarakat yang diwawancarai
dengan purpose sampling merupakan masyarakat yang dipilih dari hasil FGD.
Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan kriteria atau
pertimbangan tertentu (Sugiyono 2009). Masyarakat yang dipilih menjadi
narasumber yaitu masyarakat yang mengetahui atau memanfaatkan tumbuhan
beracun. Jumlah responden yang tepat untuk penelitian adalah dari 30 responden
untuk hasil yang baik (Sekaran 2006).
Pengambilan data wawancara dilakukan untuk membahas lebih dalam terkait
tumbuhan beracun, kemudian dilakukan eksplorasi untuk memperoleh spesies yang
dimanfaatkan masyarakat. Eksplorasi yaitu kegiatan mencari tumbuhan beracun
pada suatu lokasi tanpa adanya batasan waktu dan luasan area pengamatan. Selain
itu, selama eksplorasi juga dilakukan pengambilan sampel untuk mengidentifikasi
tumbuhan dan membuat herbarium. Pembuatan herbarium digunakan untuk
mengidentifikasi dan mengawetkan tumbuhan beracun yang dimanfaatkan. Dalam
pengambilan bahan (jenis tumbuhan beracun) dilakukan ketika bertemu dengan
narasumber yang diwawancarai atau masyarakat yang mengetahui tempat tumbuh
jenis tersebut. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium
sebagai berikut:
1. Mengambil bahan herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan daunnya
(apabila terdapat bunga atau biji diikutsertakan).
2. Spesimen yang diperoleh dicuci bersih menggunakan air kemudian diberikan
label.
3. Spesimen yang sudah diberikan label dimasukan kedalam kertas koran
kemudian di masukan kedalam plastik bening (trashbag) lalu disiram dengan
alkohol 70% dan disimpan 24 jam supaya alkoholnya merata.
4. Spesimen kemudian dipres menggunakan seng yang diapit bambu dan
dikeringkan dibawah sinar matahari selama 5-7 hari.
Pengambilan data dengan studi literatur dilakukan untuk mencari informasi
tentang data penduduk, kondisi umum lokasi penelitian, hasil penelitian tumbuhan
beracun sebelumnya atau sumber yang membatu memecahkan masalah atau
kesulitan selama penelitian.

Analisis data

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan eksplorasi dijelaskan secara
deskriptif berdasarkan analisis karakteristik responden, karakteristik tumbuhan
4

beracun dan cara pemanfaatan tumbuhan beracun. Pengolahan data dilakukan


dengan menghitung persen sebagai berikut:

Karakteristik responden
Pengolahan data terhadap karakteristik responden dilakukan dengan
berdasarkan komposisi jenis kelamin, struktur umur, tingkat pendidikan, sumber
pengetahuan dan mata pencaharian responden.
Komposisi jenis kelamin
Persentase jenis kelamin = ∑ Responden dengan jenis kelamin tertentu X 100%
∑ Seluruh responden
Komposisi umur
Persentase komposisi umur = ∑ Responden kelas umur tertentu X 100%
∑ Seluruh responden
Komposisi mata pencaharian
Persentase mata pencaharian= ∑ Responden mata pencaharian tertentu X 100%
∑ Seluruh responden
Pendidikan terakhir
Persentase endidikan terakhir =∑ Responden pendidikan terakhir tertentu X 100%
∑ Seluruh responden
Komposisi sumber pengetahuan
Persentase sumber pengetahuan = ∑ Responden sumber tertentu X 100%
∑ Seluruh responden

Karakteristik tumbuhan beracun


Pengolahan data terhadap karakteristik tumbuhan beracun dilakukan dengan
menghitung persen famili, bagian yang dimanfaatkan, status budidaya atau liar dan
cara pengolahan.
Persentase famili
Persentase famili ini digunakan untuk mengetahui persentase dari masing-
masing famili jenis tumbuhan beracun yang ditemukan. Rumus perhitungan persen
spesies (Atok 2009) yaitu:
Persentase famili = ∑ Spesies dari suatu famili X 100%
∑ Seluruh spesies
Persentase habitus
Persentase habitus = ∑ Habitus tertentu X 100%
∑ Seluruh habitus
Persentase bagian yang dimanfaatkan
Persentase bagian yang digunakan =∑ Bagian tertentu yang digunakan X 100%
∑ Seluruh bagian yang digunakan
Persentase asal tumbuhan
Asal tumbuhan dibagi menjadi dua kelompok yaitu tumbuhan berasal dari
budidaya dan alam/liar. Rumus perhitungan persen asal tumbuhan yaitu:
5

Persentase asal = ∑ Asal tertentu tumbuhan X 100%


∑ Seluruh asal tumbuhan

Persentase manfaat tumbuhan beracun


Persentase manfaat tumbuhan beracun =∑ Manfaat tertentu tumbuhan X 100%
∑ Seluruh manfaat tumbuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Letak geografis
Kecamatan Bulu merupakan salah satu kecamatan dari 14 kecamatan di
Kabupaten Rembang. Tutupan lahan Kecamatan Bulu terdiri dari hutan, sawah,
rawa-rawa, ladang, perkebunan, kolam air tawar dan padang rumput. Kecamatan
Bulu merupakan kecamatan terluas kedua di Kabupaten Rembang setelah
Kecamatan Sale. Kecamatan Bulu seluas 10 239.54 Ha dengan tutupan lahan yang
paling luas yaitu hutan sebesar 5 675.89 Ha. Topografi Kecamatan Bulu
berdasarkan kelas lereng berada pada kelas lereng datar (0-2%) 3 754 Ha,
bergelombang (2-15%) seluas 2 206 Ha, curam (15-40%) seluas 3 398 Ha dan
sangat curam (>40%) seluas 288 Ha. Ketinggian tanah mencapai 158 meter di atas
permukaan laut (BAPPEDA 2016). Batas wilayah Kecamatan Bulu:
Sebelah utara : Kecamatan Sulang
Sebelah timur : Kecamatan Gunem
Sebelah selatan : Kecamatan Blora
Sebelah barat : Kecamatan Sumber

Kondisi demografi
Data penduduk di Kecamatan Bulu sebagaimana data kependudukan yang
ada sampai dengan akhir bulan Desember 2016 berjumlah 21 578 jiwa. Kecamatan
Bulu terdiri atas 16 desa yag terbagi ke dalam 38 Dusun dan 178 Rukun Tetangga
(RT). Adapun desa-desa tersebut adalah Mlatirejo, Sendangmulyo, Pondokrejo,
Warugunung, Pinggan, Cabean, Lambangan Kulon, Lambangan Wetan,
Sumbermulyo, Karangasem, Pasedan, Ngulaan, Jukung, Bulu, Mantingan,
Kadiwono (DPPKB 2014).
6

Karakteristik Responden

Karakteristik responden di Kecamatan Bulu disajikan dalam bentuk gambar


yang meliputi jenis kelamin, komposisi umur, tingkat pendidikan, sumber
pengetahuan dan mata pencaharian.

Jenis kelamin
Berdasarkan hasil wawancara telah diperoleh 30 responden dengan berjenis
kelamin laki-laki dengan persentase 53% dan 47% responden berjenis kelamin
perempuan (Gambar 2). Masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak
memanfaatkan tumbuhan beracun. Menurut responden, seorang laki-laki memiliki
keberanian yang lebih besar dibandingkan perempuan dalam pemanfaatan
tumbuhan beracun yang memungkinkan dapat terjadi bahaya pada diri mereka.
Menurut Asni (2000), secara tradisional orang percaya bahwa apabila seorang lahir
sebagai laki-laki, maka orang itu mempunyai kecenderungan lahiriah untuk
bertingkah laku menjadi kuat, pemberani, rasional dan mampu memimpin. Selisih
persentase jenis kelamin hanya 3% yaitu selisih satu orang. Jenis kelamin
perempuan juga mampu memanfaatkan tumbuhan beracun dengan pengolahan
tradisional. Cara pengolahan untuk mengurangi kadar racun pada tumbuhan
beracun, sehingga tumbuhan beracun dapat dimanfaatkan.

Perempuan Laki-laki
47% 53%

Gambar 2 Persentase jenis kelamin responden di Kecamatan Bulu

Masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki cenderung memanfaatkan racun


dari tumbuhan beracun untuk pestisida atau penghalang hama. Tumbuhan yang
dimanfaatkan sebagai pestisida antara lain Gadel (Derris trifoliata Lour.) dan Maja
(Crescentia cujete Lour.). Masyarakat yang berjenis kelamin perempuan
memanfaatkan tumbuhan beracun untuk makanan, obat, tumbuhan hias dan
prakarya. Pemanfaatan tumbuhan beracun oleh perempuan cenderung pada
pengolahan untuk mengurangi atau menghilangkan kadar racun dari tumbuhan
beracun berdasarkan pengetahuan yang diperoleh secara turun temurun. Tumbuhan
beracun juga dimanfaatkan untuk tumbuhan hias.
Jenis-jenis yang dimanfaatkan untuk makanan antara lain Koro benguk
(Mucuna pruriens Lour.), Lompong (Colocasia esculenta var. antiquorum (L.)
Schott.), Senthe (Alocasia macrorrhizos Lour.). Pemanfaatan tumbuhan beracun
7

untuk obat antara lain Encok (Plumbago zeylanica Lour.), Kecubung (Datura metel
Lour.). Pemanfaatan tumbuhan beracun untuk tumbuhan hias antara lain Lombok-
lombokan (Mirabilis jalapa Lour.). Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan
untuk membuat prakarya salah satunya Sogok tunteng (Abrus precatorius Lour.).

Komposisi umur
Kelas umur responden berdasarkan rumus komposisi penduduk (Winandi et
al. 2015): belum produktif: 0-14 tahun, produktif: 15-64 tahun, tidak produktif:
>64 tahun. Persentase komposisi umur yang paling besar yaitu pada umur produktif
sebesar 93.33% sedangkan pada umur belum produktif dan sudah tidak produktif
memilik persentase sama yaitu 3.33% (Gambar 3).
100 93.33
Persentase (%)

80

60

40

20
3.33 3.33
0
0-14 15-64 64>
Tahun

Gambar 3 Persentase komposisi umur responden di Kecamatan Bulu

Masyarakat yang berumur produktif dapat melakukan kegiatan dengan


sendiri dan dapat memperoleh atau menerima pengetahuan dengan baik.
Masyarakat yang berumur produktif dapat melakukan pemanfaatan yang lebih
banyak, karena sudah mempelajari dan mengetahui cara memanfaatkan tumbuhan
beracun. Umur yang belum produktif merupakan umur pada anak-anak yang belum
dewasa yang pengetahuannya tentang pemanfaatan tumbuhan beracun masih sangat
sedikit. Umur tidak produktif yaitu usia lanjut yang cenderung lupa tentang
pemanfaatan tumbuhan beracun. Menurut Wawan dan Dewi (2010), semakin cukup
umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam bekerja
dan berpikir. Pengetahuan seseorang akan naik pada batas tertentu, dan apabila
masuk dalam usia lanjut daya ingat akan menurun, sehingga informasi akan sulit
diolah dan informasi yang telah didapatkan akan berkurang.

Pendidikan terakhir
Pendidikan adalah segala usaha untuk membuat masyarakat dapat
mengembangkan potensi manusia supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, berkepribadian, kecerdasan, berakhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara (Koentjaraningrat
1996). Persentase pendidikan terakhir yang paling banyak yaitu pendidikan terakhir
pada Sekolah Dasar (SD) sebesar 63.33%, kemudian yang lebih kecil pendidikan
8

Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 30.00%. Pendidikan Taman Kanak-kanak


dan Sekolah Menengah Pertama memiliki jumlah persentase sama yaitu 3.33%
(Gambar 4).

70 63.33
Persentase (%) 60
50
40
30.00
30
20
10 3.33 3.33
0
TK SD SMP SMA
Pendidikan terakhir

Gambar 4 Persentase pendidikan terakhir responden di Kecamatan Bulu

Jumlah pendidikan terakhir pada Sekolah Dasar (SD) disebabkan oleh asal
daerah responden yang letak geografis desanya jauh dari sekolah, kesadaran
masyarakat akan pendidikan masih rendah dan kemampuan ekonomi masyarakat
yang kurang memprioritaskan pendidikan sehingga mempengaruhi tingkat
pendidikan yang ditempuh. Pendapat dari Hasbullah (2005), bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat pendidikan antara lain ideologi, sosial ekonomi, sosial
budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan psikologi. Persentase
pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang besar disebabkan adanya
responden yang telah diwawancarai merupakan lulusan tahun ini atau 2 tahun yang
lalu. Saat ini, sudah ada transportasi umum yang jumlahnya lebih banyak dan
adanya Sekolah Menengah Atas di Kecamatan Sulang yang letaknya bersebelahan
dengan Kecamatan Bulu.
Tingkat pendidikan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pemanfaatan
tumbuhan beracun. Responden mengetahui atau mempelajari cara memanfaatan
tumbuhan beracun secara langsung dari pengalaman, pembelajaran atau ikut
mengolah tumbuhan beracun bersama keluarga. Pengetahuan tentang cara
memanfaatkan tumbuhan beracun diperoleh dengan melihat dan ikut melakukan
selama proses pengolahan dalam memanfaatkan tumbuhan beracun.

Mata pencaharian
Hasil wawancara terdapat 46.67% responden bekerja sebagai petani, 20.00%
sebagai ibu rumah tangga, 20.00% sebagai pelajar dan 13.33% sebagai wiraswasta
(Gambar 5). Persentase pekerjaan responden yang paling banyak adalah tani. Mata
pencaharian penduduk terbesar di Kecamatan Bulu adalah tani. Petani sering
berinteraksi dengan tanaman dan menginginkan tanamannya tidak diserang hama.
Para petani memanfaatkan tumbuhan beracun sebagai pestisida alami atau
penghalang hama yang dapat merusak tanaman.
9

50 46.67
45
40

Persentase (%)
35
30
25 20.00
20.00
20
15 13.33
10
5
0
Tani Ibu Rumah Pelajar Wiraswasta
Tangga
Pekerjaan

Gambar 5 Persentase pekerjaan responden di Kecamatan Bulu

Ibu rumah tangga memanfaatkan tumbuhan beracun sebagai bahan makanan


yang diolah menjadi kripik atau sayur. Pengolahan tumbuhan beracun untuk sayur
dan kripik sudah diketahui secara turun temurun. Menurut Notoadmodjo (2005),
pengetahuan baik yang dimiliki oleh ibu rumah tangga disebabkan karena mereka
mengembangkan dirinya dengan mendapat informasi dari luar misalnya melalui
interaksi sosial seperti arisan dan pertemuan-pertemuan antar warga, misalnya ibu
rumah tangga yang pernah mendapat informasi atau pernah mengikuti penyuluhan
sehingga mendapat berbagai pengalaman dan informasi.
Responden yang masih menempuh pendidikan memanfaatkan tumbuhan
beracun sebagai bahan membuat prakarya. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai
bahan untuk membuat prakarya salah satunya Sogok tunteng (Abrus precatorius
Lour.). Persentase pekerjaan sebagai wiraswasta paling kecil karena masyarakat
yang berkerja sebagai wiraswasta cenderung melakukan aktivitas di kantor dan
kurang berinteraksi dengan tumbuhan. Wiraswasta melakukan kegiatan menanam
atau budidaya sebagai pekerjaan sampingan atau untuk mengisi waktu luang.

Sumber pengetahuan
Sumber pengetahuan responden yang memiliki persentase paling banyak
yaitu turun-temurun sebesar 73.33%, otodidak 20% dan tetangga sebesar 6.66%
(Gambar 6). Sumber pengatahuan masyarakat dalam memanfaatkan tumbuhan
beracun paling banyak diperoleh dari keluarga yang diajarkan secara turun-
temurun. Selain itu, keluarga merupakan orang yang paling dekat dan sering
berinteraksi. Menurut Agustin et al. (2015) keluarga memiliki peranan utama dalam
mengasuh anak, disegala norma dan etika yang berlaku didalam lingkungan
masyarakat, dan budayanya dapat diteruskan dari orang tua kepada anaknya dari
generasi-generasi yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Sumber pengetahuan secara otodidak yaitu masyarakat memperoleh
pengetahuan berdasarkan pengalaman dan melakukan percobaan memanfaatkan
tumbuhan beracun, dengan hasil yang memuaskan maka pemanfaatan tumbuhan
10

beracun terus dilakukan. Tetangga merupakan masyarakat yang tinggal disekitar


rumah. Tetangga merupakan orang terdekat kedua setelah keluarga, yang sering
berinteraksi dan berbagi pengetahuan. Masyarakat desa sering berkumpul dan
berbagi informasi, sehingga pengetahuan tentang pemanfaaatan tradisional dapat
diperoleh.

80 73.33
70
Persentase (%)

60
50
40
30
20.00
20
10 6.66
0
Turun-temurun Otodidak Tetangga

Sumber Pengetahuan

Gambar 6 Persentase sumber pengetahuan responden di Kecamatan Bulu

Karakteristik Tumbuhan Beracun

Tumbuhan beracun merupakan tumbuhan yang mengandung racun yang


dapat menyebabkan rasa sakit atau kematian (Manalu et al. 2015). Secara biologi,
racun adalah zat yang menyebabkan luka, sakit, dan kematian organisme, biasanya
dengan reaksi kimia atau aktivitas lainnya dalam skala molekul (Maramis 2016).
Racun adalah zat atau senyawa yang dapat masuk ke dalam tubuh dengan berbagai
cara yang menghambat respons pada sistem biologis sehingga dapat menyebabkan
gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Ciri-ciri tanaman beracun
misalnya memiliki duri tajam pada semua bagian, memiliki bulu di bagian daun
atau batang berwarna mencolok, berwarna mengkilat, memiliki bau yang
menyengat, memiliki getah yang pahit, dan tumbuhan beracun dapat hidup terpisah
dari tmbuhan lainnya (Afifuddin et al. 2015). Berdasarkan hasil wawancara
didapatkan sebanyak 28 jenis tumbuhan beracun yang dimanfaatkan oleh
masyarakat di Kecamatan Bulu (Lampiran 1).

Famili tumbuhan beracun


Tumbuhan beracun yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kecamatan Bulu
berjumlah 28 jenis dari 18 famili. Famili yang paling banyak dimanfaatkan adalah
Fabaceae, sebesar 14.28%. Persentase famili tumbuhan beracun disajikan pada
Tabel 1. Jenis yang dimanfaatkan dari famili Fabaceae yaitu Gadel (Derris trifoliata
Lour.), Koro benguk (Mucuna pruriens Lour.) dan Sogok tunteng (A. precatorius).
Jenis-jenis dari famili Fabaceae dikenal masyarakat jenis koro-koroan yang
memiliki biji banyak dan membuka buahnya ketika sudah tua dan kering, sehingga
11

bijinya jatuh. Biji yang jatuh akan tumbuh menjadi individu baru. Jumlah individu
yang banyak akan menghasilkan tumbuhan yang banyak, sehingga tumbuhan
beracun ini selalu ada pada tempat tumbuhnya. Masyarakat yang menyebar biji
tumbuhan koro-koroan dapat menambah persebaran tempat tumbuh, sehingga
ketersedian tumbuhan ini terdapat diberbagai tempat. Ketersediaan yang banyak
menyebabkan masyarakat banyak yang memanfaatkan, karena mudah menemukan
tempat tumbuh tumbuhan beracun.

Tabel 1 Persentase famili tumbuhan beracun di Kecamatan Bulu


No. Famili Jumlah Jenis Persentase (%)
1 Fabaceae 4 14.28
2 Apocynaceae 3 10.71
3 Euphorbiaceae 3 10.71
4 Araceae 2 7.14
5 Poaceae 2 7.14
6 Solanaceae 2 7.14
7 Acanthaceae 1 3.57
8 Asclepiadaceae 1 3.57
9 Plumbaginaceae 1 3.57
10 Lain-lain (9 famili) 9 32.14
Jumlah 28 100

Jenis yang dimanfaatkan dari famili Apocynaceae yaitu Bintaro


(Cerbera odollam Gaertn.), Kamboja (Adenium obesum (Forssk.) Roem. & Schult),
Terompet (Allamanda blanchetii A. DC.). Jenis yang dimanfaatkan dari famili
Euphorbiaceae yaitu Telo genderuwo (Manihot glaziovii Mull. Arg.), Patah tulang
(Euphorbia tirucalli Lour.), Jarak (Jatropha curcas Lour.).

Habitus tumbuhan beracun


Habitus yang paling banyak ditemukan pada saat pengamatan di lapang
adalah herba 28.57% dan yang paling sedikit adalah liana dan bambu sebesar
3.57%. Persentase habitus disajikan pada Gambar 7. Herba merupakan spesies
tumbuhan yang batangnya mengandung air. Menurut Arizona (2011) habitus herba
sangat mudah didapatkan daripada habitus lain, karena herba mudah dalam
penanaman dan perawatan, sesuai dengan penelitian Yudas et al. (2017) bahwa
jenis habitus yang paling banyak digunakan adalah herba karena lokasi jumlahnya
paling banyak dan mudah didapatkan dilokasi tersebut. Tumbuhan beracun yang
termasuk herba antara lain Senthe (Alocasia macrorrhizos Lour.), Lombok-
lombokan (Mirabilis jalapa Lour.) dan Tembakau (Nicotiana tabacum Lour.).
12

35
28.57
30 25.00

Persentase (%)
25 21.43
20 17.86
15
10
5 3.57 3.57

0
Herba Pohon Semak Perdu Liana Bambu
Habitus

Gambar 7 Persentase habitus tumbuhan beracun di Kecamatan Bulu

Asal tempat tumbuhan beracun


Tumbuhan beracun yang diperoleh sebanyak 61% dari 28 jenis merupakan
tumbuhan budidaya, sedangkan 39% tumbuhan liar (Gambar 8). Hal ini karena
hampir seluruh responden menanam tumbuhan beracun yang dimanfaatkan di
pekarangan atau di sawah agar mempermudah dalam mencari dan mengambil.
Tumbuhan beracun yang ditanam di pekarangan yaitu jenis yang sudah diketahui
cara pengolahan untuk mengurangi kadar racunnya. Kusnaka dan Gama (2010)
menjelaskan pekarangan sebagai tempat berlindung dan berteduh sehingga harus
kokoh. Pekarangan ditanami jenis-jenis tanaman yang diperlukan untuk kebutuhan
dan tanaman yang disukai. Tumbuhan beracun yang dibudidaya oleh masyarakat
antara lain Jarak (Jatropha curcas L.), Gadung (Dioscorea hispida Dennst.), Koro
benguk (M. pruriens), dan Serai (Cymbopogon nardus L.).

Liar
39%

Budidaya
61%

Gambar 8 Persentase tempat tumbuh tumbuhan beracun di Kecamatan Bulu

Pemanfaatan tumbuhan beracun yang tumbuh liar di pinggir jalan, hutan dan
lahan terbuka. Tumbuhan beracun yang tempat tumbuhnya liar yaitu tumbuhan
yang membahayakan bagi manusia dan jumlahnya di alam masih banyak.
Masyarakat yang tinggal di pinggir hutan memanfaatkan tumbuhan beracun dari
hutan, terutama tumbuhan yang jumlahnya banyak dan tumbuhan beracun yang
memiliki racun yang sangat berbahaya dan mematikan. Tumbuhan beracun yang
13

tumbuh liar antara lain Rawe (Mucuna pruriens var. utilis (L.) DC.), Mimba
(Azadirachta indica A. Juss), dan Kepoh (Sterculia foetida L.).

Bagian tumbuhan beracun yang dimanfaatkan oleh masyarakat


Bagian tumbuhan beracun yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kecamatan
Bulu yaitu seluruh bagian, daun, buah, umbi, batang, biji, dan tunas. Pemanfaatan
tumbuhan beracun tergantung pada bagian yang dapat dimanfaatkan baik bagian
beracun atau bagian yang tidak beracun sesuai dengan tujuan pemakaian. Bagian
tumbuhan beracun yang paling banyak dimanfaatkan yaitu seluruh bagian dan daun
dengn persentase masing-masing sebesar 23.53%, sedangkan buah 17.64%, umbi
11.76%, batang biji 11.76% dan tunas 2.94%. Berikut merupakan bagian tumbuhan
yang dimanfaatkan dapat dilihat pada Gambar 9.

23.53 23.53
25

20
Persentase (%)

17.64
15 11.76 11.76
10 8.82

5 2.94
0
Seluruh Daun Buah Umbi Batang Biji Tunas
bagian
Bagian Tumbuhan yang Dimanfaatkan

Gambar 9 Persentase bagian tumbuhan beracun yang dimanfaatkan di Kecamatan


Bulu

Pemanfaatan pada seluruh bagian tumbuhan beracun yaitu untuk sayuran


yang sebagian besar berhabitus herba, sesuai dengan Gambar 7 bahwa herba
merupakan habitus paling banyak dimanfaatkan. Pemanfaatan pada bagian daun
dilakukan pada tumbuhan yang daunnya tidak mengandung racun untuk pakan
ternak dan obat pegal yang pemakaiannya diluar tubuh, sedangkan daun yang
mengandung racun dimanfaatkan untuk pestisida. Hal ini dikarenakan bagian daun
mudah diambil dan bagian tumbuhan yang paling banyak, selain itu daun lebih
mudah untuk diramu dibandingkan bagian lainnya seperti akar dan kulit. Hara et al.
(2009) mengatakan bahwa bagian daun paling banyak digunakan karena memiliki
serat yang lunak sehingga mudah untuk mengekstrak eksudat (zat-zat) yang akan
digunakan. Daun sangat mudah didapatkan dan tidak tergantung musim seperti
halnya buah, umbi dan batang. Tumbuhan beracun yang dimanfaatkan masyarakat
ada yang tumbuhanya tahunan yaitu yang habitusnya pohon. Pemanfaatan bagian
umbi juga harus menunggu 2-3 tahun seperti umbi gadung. Pemanfaatan tumbuhan
beracun juga bergantung pada musim yang mempengaruhi banyak dan sedikitnya
kadar racun yang terdapat pada bagian tumbuhan beracun.
14

Pemanfaatan tumbuhan beracun


Tumbuhan beracun dimanfaatkan oleh masyarakat di Kecamatan Bulu
sebagai pestisida, obat, makanan, tumbuhan hias, penghalang hama, pakanan
ternak, ekonomi (dijual), kepercayan, prakarya dan mebel. Persentase pemanfaatan
tumbuhan beracun paling banyak yaitu untuk pestisida sebesar 26.47% (Gambar
10). Pemanfaatan sebagai pestisida alami merupakan pemanfaatan racun yang
terdapat pada tumbuhan beracun untuk memberantas hama. Masyarakat yang masih
memanfaatkan tumbuhan beracun untuk memberantas hama umumnya masyarakat
yang mengetahui cara pengolahan dan tempat tumbuh tumbuhan beracun.
Pemanfaatan tumbuhan beracun paling banyak adalah pestisida, karena
pemanfaatannya tanpa melakukan pengolahan untuk menghilangkan kandungan
racun yang prosesnya relatif lama. Mata pencaharian paling banyak adalah petani
yang memanfaatkan tumbuhan beracun untuk pestisida.
30
26.47
25
Persentase (%)

20
14.71 14.71
15
11.76
10 8.82 8.82
5.88
5 2.94 2.94 2.94

Pemanfaatan Tumbuhan Beracun

Gambar 10 Persentase pemanfaatan tumbuhan beracun di Kecamatan Bulu

Pemanfaatan yang paling sedikit yaitu sebagai kepercayaan, untuk prakarya


dan mebel sebesar 2.94%. Memanfaatkan tumbuhan beracun untuk kepercayaan
terlepas dari tumbuhan tersebut beracun tetapi makna dari tumbuhan itu sendiri.
Pemanfaatan tumbuhan beracun untuk prakarya sedikit, karena tumbuhan beracun
yang dapat dimanfaatkan untuk prakarya dan memiliki nilai seni sangat sedikit.
Masyarakat memanfaatkan tumbuhan beracun untuk prakarya karena warna dan
bentuk dari bagian tumbuhan beracun yang unik dan menarik serta kandungan
racun yang tidak meracuni ketika kontak langsung dengan bagian tumbuhan
beracun tersebut. Pemanfaatan tumbuhan beracun untuk mebel atau sebagai bahan
kayu jumlahnya sedikit. Pemanfaatan kayu dari tumbuhan beracun membahayakan,
karena batang mengandung getah yang lebih banyak dibanding bagian yang lain.
Proses menghilangkan getah membutuhkan kehati-hatian dan keuletan yang tinggi.
15

Cara Pengolahan dalam Memanfaatkan Tumbuhan Beracun

Pemanfaatan tumbuhan beracun oleh masyarakat tidak terlepas dari kearifan


lokal. Kearifan lokal terdiri dari kata “kearifan” dan “lokal”. “Kearifan” diartikan
sebagai perangkat pengetahuan dan praktek-praktek untuk menyelesaikam
persoalan dan atau kesulitan yang dihadapi dengan cara yang baik dan benar. Kata
lokal yang berarti “setempat”. Dengan demikian “kearifan lokal” dapat diartikan
sebagai “kearifan setempat” (Mudjijono et al. 2014). Kearifan lokal merupakan
perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan
sekitarnya, yang bersumber dari nilai agama adat istiadat, petuah nenek moyang
atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas
masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya (Widaryanto 2009).
Adanya kearifan lokal didukung oleh adanya pengetahuan lokal yang terus
diimplementasikan masyarakat dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Masyarakat sebelumnya belajar dari pengalaman yang berkembang menjadi
pengetahuan. Pemanfaatan tumbuhan beracun mempertimbangkan beberapa faktor
antara lain kandungan racun dari tumbuhan, bagian yang beracun, pertumbuhan
tumbuhan beracun ketika muda atau tua, dan cara pengolahan. Berikut ini
merupakan pemanfaatan tumbuhan beracun beserta cara pemanfaatannya yang
dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Bulu.

Tumbuhan beracun dimanfaatkan untuk pestisida


Tumbuhan bercun yang dimanfaatkan untuk pestisida yaitu untuk
memberantas hama yang memakan dan merusak tumbuhan. Masyarakat secara
langsung memberikan bahan beracun dari tumbuhan beracun untuk meracuni hama.
Pemanfaatan ini sesuai dengan pendapat Sihombing et al. (2013), tumbuhan
beracun dapat digunakan sebagai bahan alami yang bersifat racun dan ramah
lingkungan merupakan salah satu solusi yang diharapkan dapat dijadikan sebagai
bahan alternatif untuk perlindungan terhadap serangan serangga. Tumbuhan
beracun yang dimanfaatkan untuk pestisida alami dapat dilihat pada Gambar 11.
16

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)


Gambar 11 Jenis tumbuhan beracun sebagai pestisida: (a) Buah Bintaro
(Cerbera odollam Gaertn.), (b) Encok (Plumbago zeylanica L.), (c)
Gadel (Derris trifoliata L.), (d) Buah Maja (Crestencia cujete
Lour.), (e) Pepaya (Carica papaya L.), (f) Kepoh (Sterculia foetida
L.) (Sumber: indonesian.alibaba.com), (g) Serai (Cymbopogon
nardus L.), (h) Tembakau (Nicotiana tabacum L.), (i) Sambiloto
(Andrographis paniculata Wall. Ex nees).

1. Bintaro (C. odollam)


Bintaro (C. odollam) dikenal sebagai salah satu tanaman tahunan yang
banyak digunakan untuk penghijauan, penghias kota. Biji bintaro merupakan
bagian paling beracun, berbahaya bagi manusia dan hewan. Suku Maluku
beranggapan bahwa biji dari buah bintaro yang masih muda dapat menyebabkan
sesak nafas. Biji bintaro mengandung lukosida/alkaloid (cerberin, cerberoside,
neriifolin dan thevetin), steroid, triterpenoid, dan saponin. Senyawa golongan
alkaloid bersifat toksik, yang bersifat repellent (penolak serangga) dan antifeedant
(penghambat perilaku makan). Bijinya mengandung cerberin yang dapat
17

menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung (Rohimatun dan Suriati
2011). Pemanfaatan buah bintaro untuk pestisida dengan buahnya yang sudah
matang disaring airnya, kemudian airnya digunakan untuk membasmi hama. Buah
bintaro juga dimanfaatkan untuk mengusir tikus dengan buah bintaro yang matang
dan berwarna hitam diletakkan di tempat yang sering dilewati tikus. Hasil penelitian
Widakdo dan Setiadevi (2017) menunjukkan bahwa pestisida nabati dari larutan
ekstrak buah bintaro mampu mengendalikan populasi hama ulat buah melon.
Semakin tingginya konsentrasi pestisida nabati ekstrak buah bintaro menyebabkan
semakin menurunnya populasi hama ulat buah melon.

2. Encok (P. zeylanica)


Encok (P. zeylanica) merupakan tumbuhan herba yang tingginya 1-2.5 m.
Batang berkayu, bulat, licin, berwarna hijau. Daunnya berukuran panjang 10 cm
dan lebar 6 cm. Bentuknya bundar telur, tunggal, berselang-seling, ujung daun
meruncing. Bunganya warnanya putih. Kelopak bunganya berwarna hijau, panjang
tabung mahkota 1.7-2.6 cm. Cara pengolahan daun encok untuk pestisida alami
yaitu mencacah atau merajang daun encok menjadi kecil-kecil berukuran 1-2 cm.
Daun yang sudah dirajang direndam dengan air selama 15-30 menit, kemudian
disaring. Air daun encok disemprotkan atau disiramkan pada tanaman yang
diserang hama. Berdasarkan hasil penelitian Rohimatun dan Wiratno (2015),
kandungan daun encok merupakan salah satu tanaman yang berpotensi sebagai
bahan baku pestisida nabati. Ekstrak tanaman ini mengandung berbagai jenis
senyawa kimia, salah satunya adalah plumbagin yang mampu berperan sebagai
insektisida, akarisida, leismanisida, nematisida, fungisida, dan bakterisida.

3. Gadel (D. trifoliata)


Cara mengolah akar gadel (D. trifoliata) untuk pestisida yaitu akar gadel
dicacah atau dirajang kecil-kecil dan direndam 30 menit. Setelah direndam,
dilakukan penyaringan. Airnya disemprotkan ke tanaman yang diserang hama.
Menurut hasil penelitian Kuncoro (2006), zaman dahulu akar gadel digunakan
untuk meracuni ikan. Sekarang justru banyak digunakan untuk memberantas hama
tanaman karena mengandung rotenon (racun bagi hewan berdarah dingin). Kadar
rotenon mencapai 5%, racun ini tersebar di seluruh bagian tumbuhan tuba seperti
pada akar, batang dan daun. Rotenon adalah racun kuat bagi serangga dan ikan.
Namun rotenon tidak ada efeknya terhadap manusia atau hewan berdarah panas
(Adharini 2008).

4. Maja (C. cujete)


Tanaman Maja (C. cujete) termasuk tanaman pohon dengan ukuran sekitar 5-
10 m. Batang tanaman berenuk/maja berkayu kokoh, bercabang, berkulit kasar
dengan warna coklat. Daun tanaman berenuk tersusun secara majemuk berbentuk
lonjong dengan ujung daun yang meruncing, pertulangan daun menyirip banyak,
berwarna hijau panjang 10-15 cm, lebar 5-7 cm. Bunga tanaman berenuk berbentuk
18

seperti lonceng berwarna putih dengan serat merah keunguan, mahkota bunga
tanaman berenuk berwarna kekuningan, bunganya muncul pada batang tanaman
dengan ukuran sekitar 5 cm. Buah tanaman maja berbentuk bulat seperti bola ketika
masih muda berwarna hijau ketika sudah matang akan berwarna coklat. Biji
tanaman berenuk berbentuk pipih berwarna coklat.
Cara pengolahan buah maja menjadi pestisida yaitu buah maja yang sudah
tua berwarna coklat kehitaman dikasih air sedikit. Air yang dituangkan ke dalam
buah akan bercampur dengan daging buah yang sudah lunak, kemudian disaring.
Air hasil saringan 100 ml ditambah air 16 liter, kemudian disemprotkan ke tanaman
yang terserang hama. Menurut Rismayani (2013), buah maja mengandung minyak
atsiri, saponin, dan tanin. Molekul yang dimiliki oleh senyawa saponin inilah
menyebabkan buah maja berbusa, mempunyai sifat antieksudatif, dan dapat
merusak sel darah merah.

5. Pepaya (C. papaya)


Pepaya (C. papaya) dimanfaatkan untuk pestisida dengan cara
mengumpulkan getah pepaya. Pepaya yang digunakan yang banyak mengandung
getah. Getah tersebut disemprotkan ke tanaman yang diserang hama. Adanya
kandungan senyawa-senyawa kimia di dalam tanaman pepaya yang terkandung
dapat mematikan organisme pengganggu. Getah pepaya mengandung papain,
kimopapain, dan lisozim (Winarno 1986). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Yenie et al. (2013) yaitu pembuatan pestisida organik menggunakan metode
ekstraksi dari sampah daun pepaya dan umbi bawang putih menunjukkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun pepaya dan umbi bawang putih semakin
tinggi tingkat kematian hama.

6. Sambiloto (A. paniculata)


Sambiloto (A. paniculata) Sambiloto merupakan herba yang tingginya
mencapai 50-75 cm. Daun sambiloto adalah daun tunggal dan letaknya saling
berhadapan. Bentuk daunnya lanset, tepi daun merata dan permukaannya halus.
Bunga tanaman sambiloto adalah bunga majemuk yang tumbuh diketiak daun
mempunyai benang sari dan putik pendek. Kelopak bunga terdiri dari 5 helai daun
dengan panjang sekitar 3-4 mm. Cara pemanfaatannya yaitu daun dicacah kecil-
kecil, kemudian direndam 15-30 menit. Air yang direndam dengan daun sambiloto
disaring dan disemprotkan ke tanaman. Senyawa aktif utama dari sambiloto (A.
paniculata) adalah andrografolid. Senyawa ini dapat larut dalam pelarut organik,
paling banyak terdapat di daun dan paling sedikit pada biji sebesar 2.39% (Sheeja
et al. 2012). Ekstrak sambiloto bersifat moluscosida terhadap hama keong mas
(Wiratno et al. 2011). Penelitian Sawitti et al. (2013) menunjukan bahwa air
perasan daun sambiloto secara signifikan mampu menghambat pertumbuhan
bakteri atau bersifat bakterisida terhadap Escherichia coli.
19

7. Serai (C. nardus)


Serai (C. nardus) dimanfaatkan untuk pestisida dengan cara serai direndam
beberapa menit, kemudian disaring. Air hasil rendaman disemprotkan ke tanaman.
Serai mempunyai kemampuan bioaktivitas terhadap serangga yang dapat mengusir,
dan membunuh serangga, sehingga dapat berfungsi sebagai pestisida nabati.
Kemampuan itu dimiliki karena tumbuhan tersebut mengandung minyak atsiri
(Guather 1990). Minyak atsiri mengandung senyawa yang bersifat racun terhadap
serangga yaitu senyawa geraniol, limonen, sitral, dan sitronelal.
Menurut Setiawati et al. (2008), senyawa sitronela mempunyai sifat racun
dehidrasi (desiccant). Racun tersebut merupakan salah satu racun kontak yang
dapat mengakibatkan kematian karena kehilangan cairan terus menerus. Serangga
yang terkena racun sitronela akan mati karena kekurangan cairan. Selain itu,
pemanfaatan daun dan akar serai dapat dilakukan dengan cara membakar. Abu serai
ditebarkan pada tanaman yang terserang hama. Penelitian Herminanto et al. (2010)
menyatakan semakin banyak jumlah daun serai menyebabkan kematian imago
Callosobruchus analis semakin tinggi, sedangkan ketika menggunakan kombinasi
abu daun serai dan daun serai dapat meningkatkan mortalitas serangga. Menurut
Kardinan (2000), abu daun serai mengandung silika (SiO2) yang bersifat sebagai
penyebab dehidrasi pada tubuh serangga.

8. Tembakau (N. tabacum)


Tembakau (N. tabacum) dimanfaatkan untuk pestisida dengan cara daun
dicacah kecil-kecil, kemudian direndam dengan air selama 15-30 menit. Setelah itu,
disaring dan airnya disemprotkan ke tanaman. Hasil penelitian Susilowati (2006),
menunjukan bahwa ekstrak daun tembakau memiliki aktivitas sebagai insektisida
penggerek batang padi. Zat yang efektif sebagai pembasmi serangga adalah alkaloid
yang terkandung pada tembakau yaitu nikotin. Menurut Kardinan (2000), nikotin
merupakan bahan yang dapat digunakan sebagai fungisida alami atau insektisida
alami. Nikotin berperan sebagai racun kontak untuk mengendalikan beberapa jenis
ulat perusak daun, serangga, dan jamur.

9. Kepoh (S. Foetida)


Biji Buah Kepoh (S. foetida) digunakan untuk pestisida dengan mengambil
air dibuahnya. Air buah kepoh diletakan di bawah tanaman. Getah biji kepoh
berwarna hitam menyebabkan serangga menjauhi tumbuhan. Zaman dahulu air dari
biji kepoh dimanfaatkan untuk pelumas sepeda. Biji kepuh mengandung minyak
yang agak beracun, warnanya kuning dan mudah menjadi padat (Roni 2012).

Tumbuhan beracun dimanfaatkan untuk obat


Tumbuhan beracun juga dapat dimanfaatkan untuk pengobatan. Masyarakat
Kecamatan Bulu memanfaatkan tumbuhan beracun untuk obat gatal pada kulit dan
tidak mengonsumsinya, kecuali buah mahkota dewa yang dimanfaatkan buahnya
sedangkan bijinya dibuang. Pemanfaatan tumbuhan beracun sebagai obat
20

tradisional dilakukan dengan hati-hati dan menggunakan sesuai cara


penggunaannya. Tumbuahn beracun yang dimanfaatkan untuk obat dapat dilihat
pada Gambar 12.

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 12 Jenis tumbuhan beracun sebagai obat: (a) Widuri


(Calotropis gigantea (L.) W.t. Aiton), (b) Mimba (Azadirachta
indica A. Juss), (c) Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff)
Boerl.), (d) Kecubung (Datura metel L.), (e) Encok
(Plumbago zeylanica L.).

1. Widuri (C. gigantea)


Getah Widuri (C. gigantea) digunakan untuk obat sakit gigi. Cara
menggunakannya yaitu meneteskan getah widuri pada gigi yang sakit setetes dan
sesedikit mungkin, jika terlalu banyak menimbulkan pusing, mual dan keracunan.
Hal ini karena enzim dalam getah widuri juga berfungsi untuk melindungi tanaman
dari serangan predator. Getah widuri mengandung empat macam enzim protease
yaitu calotropin FI, FII, DI dan DII. Dengan adanya aktivitas proteolitik yang kuat,
tanaman tahan terhadap fitopatogen (penyakit tanaman) dan serangga terutama
pada daun dengan getah melimpah. Uji Larvasida Crude Protease Getah Widuri
(C. gigantea) terhadap larva nyamuk Aedes aegypti menghasilkan jumlah rata-rata
mortalitas larva Ae. Aegypti pada setiap konsentrasi uji crude protease
menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi maka jumlah rata-rata mortalitas
semakin tinggi (Koraag et al. 2017).
21

2. Mimba (A. indica)


Mimba (A. indica) dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat gatal pada
kulit. Cara memanfaatkannya yaitu daun mimba dirajang kecil-kecil kemudian
direbus, dan disiramkan dibagian tubuh yang gatal. Air rebusan mimba tidak dapat
diminum karena dapat keracunan. Menurut hasil penelitian Soegihardjo (2007),
tanaman liar yang berpotensi sebagai pestisida organik adalah mimba (A. indica).
Kandungan senyawa yang berperan besar sebagai pestisida pembasmi hama adalah
senyawa Azadirachtin. Daun mimba (A. indica) mengandung senyawa antara lain
azadirachtin, salanin, nimbin, dan meliantriol. Azadirachtin tidak langsung
mematikan serangga, tetapi melalui mekanisme menolak makanan, mengganggu
pertumbuhan dan reproduksi serangga. Salanin bekerja sebagai penghambat
makan. Nimbin bekerja sebagai anti virus, sedangkan meliantriol sebagai penolak
serangga (Subiyakto 2009).

3. Mahkota dewa (P. macrocarpa)


Mahkota dewa (P. macrocarpa) dimanfaatkan untuk obat oleh masyarakat.
Menurut Harmanto (2001) buah mahkota dewa mengandung alkaloid, saponin,
flavonoid, dan polifenol yang bersifat antioksidan, yaitu bahan yang membantu
melindungi sel-sel tubuh dari efek buruk radikal bebas dan ekstrak daunnya dapat
memberikan efek antihistamin (meredakan gejala alergi). Daging buah mahkota
dewa mempunyai efek hipoglikemik (dapat menurunkan kadar gula dalam darah).
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditunjukkan bahwa daging buah mahkota dewa
menghasilkan efek antihipoglikemik dengan dosis 241.35 mg/kg berat badan
(Primsa 2002).
Biji pada buah mahkota dewa beracun sehingga pemanfaatannya harus hati-
hati. Cara pengolahannya yaitu mencuci buah mahkota dewa, kemudian daging
buah dipotong tipis-tipis dan membuang bijinya. Daging buah yang sudah dirajang
dikeringkan. Setelah daging buah kering dapat diseduh dan diminum. Biji mahkota
dewa mengandung racun yang membahayakan tubuh.
Menurut Ilmi et al. (2015) biji mahkota dewa mengandung toksisitas atau
senyawa racun yang tinggi. Biji yang tergigit atau terkonsumsi manusia dapat
menyebabkan pembengkakan di mulut. Selain itu, dapat menyebabkan lidah kaku,
mati rasa, mabuk, pusing bahkan pingsan. Kandungan kimia mahkota dewa adalah
senyawa alkaloid, saponin dan flavonoid.

4. Kecubung (D. metel)


Kecubung (D. metel) dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat pegal linu.
Cara pemanfaatannya yaitu daun diremas-remas dan dicampur gamping/enjet
menjadi parem. Parem dioleskan pada bagian tubuh yang encok. Daun dibiarkan
menempel pada bagian tubuh yang pegal, setelah rasa pegal hilang maka daun yang
dioleskan dilepas dan dibilas dengan air. Pemanfaatan tumbuhan beracun ini hanya
pada daunnya dan tidak boleh dikonsumsi. Tumbuhan ini mengandung racun.
Alkaloid dalam tumbuhan kecubung terdiri dari antropin dan skopolamin
22

(Sastrapradja 1978). Antropin bekerja pada sistem saraf perifer, senyawa ini
mempunyai kerja merangsang dan menghambat sistem saraf pusat. Gejala
keracunan yang ditimbulkan pada pemakaian antropin adalah mulut kering,
kesulitan buang air, kulit kemerahan, sakit mata (mata kunang-kunang) dan sensitif
pada cahaya (Damayanti dan Zuhud 2011).
Menurut Wijayakusuma (1992), alkaloid antropin merupakan zat yang dapat
menimbulkan efek bius bila masuk ke dalam darah melalui saluran pernafasan.
Dalam ekstrak, antropin tetap dalam bentuk padat. Secara farmakologi kegunaan
skopolamin bekerja menekan sistem saraf pusat. Efek perifer skopolamin dan
antropin secara kualitatif memang sama tetapi dilihat dari segi kuantitatif terdapat
perbedaan yang cukup besar, yaitu efek menghambat sekresi dari skopolamin lebih
kuat sedangkan efek menaikkan frekuensi jantung lebih lemah dari pada antropin
(Mustchler 1991).

5. Encok (P. zeylanica)


Daun encok digunakan untuk obat encok atau rematik, masuk angin, susah
buang air kecil dan sakit kepala (Syahid dan Kristina 2008). Masyarakat Indonesia
lebih mengenal dengan nama Ki Encok. Nama ini berasal dari khasiatnya yang
secara turun temurun digunakan sebagai obat encok (Julaeha et al. 2014). Cara
pemanfaatannya yaitu daun diremas-remas. Kemudian dioleskan ke tempat yang
encok. Daun dibiarkan menempel pada bagian tubuh yang pegal, setelah rasa pegal
hilang makan daun yang dioleskan dilepas dan dibilas dengan air. Selain itu,
masyarakat memanfaatkan daun encok dengan mencuci dan langsung
menempelkan daun encok ke bagian yang pegal tanpa di remas-remas, seperti
menggunakan koyo. Daun encok terasa panas ketika ditempelkan ke bagian tubuh,
bahkan bekas tempelan berwarna coklat sampai hitam.

Tumbuhan beracun dimanfaatkan untuk makanan


Banyak spesies tumbuhan di dunia tidak dapat dimakan karena kandungan
racun yang dihasilkannya, tetapi tidak semua bagian dapat dimakan. Proses
domestikasi atau pembudidayaan secara berangsur-angsur dapat menurunkan kadar
zat racun yang dikandung oleh suatu tanaman sehingga tanaman pangan yang kita
konsumsi mengandung racun dengan kadar yang jauh lebih rendah daripada
kerabatnya yang bertipe liar. Penurunan kadar senyawa racun pada tanaman
beracun juga dapat dilakukan dengan perlakukan atau pengolahan yang tepat.
Tumbuhan beracun yang dimanfaatkan oleh masyarakat dengan menghilangkan
atau mengurangi kadar racunnya terlebih dahulu (Gambar 13).
23

(a) (b)

(c) (d) (e)

Gambar 13 Jenis tumbuhan beracun sebagai makanan: (a) Gadung (Dioscorea


hispida Dennst.), (b) Pepaya (Carica papaya Lour.), (c) Senthe
(Alocasia macrorrhizos Lour.), (d) Tales/lompong
(Colocasia esculenta var. Antiquorum L.), (e) Koro benguk (Mucuna
pruriens L.).

1. Gadung (D. hispida)


Umbi Gadung (D. hispida) umbi gadung terdapat kandungan asam sianida
(HCN) yang mengakibatkan keracunan apabila dikonsumsi secara langsung. Rata-
rata kandungan sianida pada umbi gadung segar yaitu 425.55 ppm (Sasongko
2009). Masyarakat Desa Mantingan memanfaatkan umbi gadung untuk dibuat
kripik. Cara pengolahannya yaitu umbi gadung dikupas, kemudian dirajang tipis
0.2-0.5 cm. Umbi yang sudah tipis diolesi abu hasil pembakaran kayu bakar yang
sudah tidak panas, jika menggunakan abu yang masih panas hasil kripiknya akan
berwarna hitam. Setelah itu, umbi dijemur 1-3 hari sampai kering, kemudian
direndam 2 malam. Setelah direndam umbi dicuci dengan cara menginjak-injak dan
dibilas sebanyak 7 kali. Umbi yang sudah bersih diberi garam dan bawang putih,
kemudian dikukus sampai matang. Pengeringan dilakukan dengan sinar matahari.
Umbi yang sudah kering dapat digoreng. Umbi yang sudah kering dapat dilihat pada
Gambar 14.
24

Gambar 14 Gadung yang sudah kering dan siap digoreng

Sesuai dengan penelitian Hasan (2014) menghilangkan racun sianida yang


terdapat dalam umbi gadung adalah dengan cara melapisi umbi gadung dengan abu
dan menjemurnya selama tiga hari serta dilanjutkan dengan perendaman selama
tiga hari. Penelitian Aman (2007) menunjukkan bahwa tindakan mengeringan
dibawah sinar matahari efektif menurunkan kandungan sianida ubi hutan sebesar
48.28% dan kombinasi perlakuan pengeringan dan perendaman dalam air tawar
mampu menurunkan sianida sebesar 68.24%.

2. Koro benguk (M. pruriens)


Masyarakat Desa Pasedan memanfaatkan koro benguk dengan cara
mebuatnya menjadi tempe. Cara pengolahannya yaitu biji koro direndam 3 malam.
Menurut Kasmidjo (1990), proses perendaman yang lebih lama dengan beberapa
kali pergantian air rendaman selama pembuatan tempe dapat mengekstrak keluar
senyawa glukosianidanya. Menurut Ariani dan Handajani (2008), kandungan
glukosianida bersifat toksik dan asam fitat yang merupakan senyawa anti gizi.
Setelah mencuci koro, kemudian merebusnya sampai matang. Koro yang sudah
matang ditiris tipis supaya cepat dingin, kemudian diberi ragi untuk membuat
tempe. Setelah ragi dicampur merata, kemudian tempe dibungkus dengan daun
pisang atau daun jati. Hal ini sesuai dengan Ariani dan Handajani (2008), salah satu
cara untuk menurunkan kadar senyawa racun (glukosianida) yaitu dengan cara
memfermentasi koro menjadi tempe. Menurut Winarno (2002) proses pengolahan
dapat mengurangi kandungan asam sianida seperti penghancuran, pengirisan,
pengupasan, pengeringan, perendaman, perebusan, dan fermentasi.

3. Senthe (Alocasia macrorryhizos L.)


Senthe (A. macrorrhizos) dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kripik.
Cara pengolahannya yaitu umbi dikupas dan dirajang tipis dengan ketebalan 0.2-
0.5 cm, kemudian dicampuri garam dan direndam 1 malam. Setelah direndam umbi
dicuci dan ditiriskan. Setelah itu, umbi digoreng. Pengolahan umbi senthe juga
dapat dilakukan dengan mengukusnya dengan cara umbi dikupas dan dicuci sampai
25

getahnya hilang. Cara memasak umbi harus dengan api yang panasnya stabil (api
tidak boleh mati atau kekecilan).
Kendala memasak umbi senthe adalah adanya kristal kalsium oksalat yang
dapat menyebabkan rasa gatal di mulut. Banyak upaya untuk mereduksi kadar
kalsium oksalat pada umbi, supaya tidak menimbulkan gatal pada saat dikonsumsi.
Kristal kalsium oksalat dapat dikurangi atau dihilangkan dengan perendaman dalam
larutan garam, pengukusan, perebusan, penggorengan, pemanggangan, dan
kombinasi perlakuan (Afoakwa et al. 2004). Rasa gatal pada senthe dapat
dihilangkan dengan perendaman menggunakan larutan garam dapur (Chotimah et
al. 2013).

4. Tales/lompong (C. esculenta var. antiquorum)


Tales/lompong (C. esculenta var. antiquorum) dimanfaatkan untuk sayuran.
Cara pengolahannya yaitu kulit batang dikupas seperti mengupas kulit buah pisang
arahnya memutar, cara memotongnya juga memutar searah. Hasil penelitian
Azubike et al. (2016) melalui uji fotokimia telah diketahui kandungan talas yaitu
alkaloid, saponin, flavonoid, dan terpenoid. Flavonoid merupakan senyawa
polifenol yang memiliki fungsi sebagai senyawa antibakteri dengan cara
membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu
integritas membran sel bakteri. Flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat
bersifat koagulator protein (Dwidjoseputro 2005). Saponin mempunyai tingkat
toksisitas yang tinggi dalam melawan fungi (Faure 2002).

5. Pepaya (C. papaya)


Buah pepaya sudah tidak asing di masyarakat. Buah pepaya selain dimakan
ketika sudah matang juga dapat digunakan untuk sayur. Cara pengolahan buah
pepaya untuk sayur yaitu buah pepaya yang masih muda dikupas yang dirajang
sesuai ukuran untuk sayur, setelah itu diremas-remas menggunakan garam supaya
getah yang ada pada buah terlepas dan mengurangi rasa pahit.

Tumbuhan beracun dimanfaatkan untuk tumbuhan hias


Tumbuhan hias merupakan tumbuhan yang dimanfaatkan untuk menghiasi
halaman atau taman karena bentuk morfologinya yang unik dan menarik, sehingga
membuat halaman menjadi indah. Tumbuhan beracun dimanfaatkan untuk
tumbuhan hias karena bentuknya yang menarik atau bunganya yang indah dan tidak
terlalu berbahaya. Tumbuhan beracun yang dimanfaatkan untuk tumbuhan hias
dapat dilihat pada Gambar 15.
26

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 15 Jenis tumbuhan beracun sebagai tumbuhan hias: (a) Terompet
(Allamanda blanchetii A. DC), (b) Patah tulang (Euphorbia tirucalli
L.), (c) Lombok-lombokan (Mirabilis jalapa L.), (d) Kamboja
(Adenium obesum (Forssk.) Roem. & Schult).

1. Terompet (A. blanchetii)


Bunga Terompet (A. blanchetii) merupakan tumbuhan perdu tinggi bisa
mencapai 3–8 m, mengandung getah. Daun tunggal, berkarang, berbilangan 3–4,
bentuk jorong/bulat telur, panjang 5-15 cm, lebar 2-5 cm, helaian daun tebal, tepi
rata, ujung dan pangkal meruncing, permukaan atas dan bawah halus. Bunga
majemuk, berbentuk tandan lepas di ujung, muncul di ketiak daun dan ujung batang.
Mahkota berbentuk corong (infundibuliformis) berwarna kuning, panjang mahkota
7 cm. Damayanti dan Zuhud (2011) menyatakan bahwa tumbuhan ini apabila
terkena getahnya bisa berakibat iritasi kulit dan gatal atau alergi. Ramuan daunnya
bisa dimanfaatkan untuk obat, namun dalam jumlah yang banyak malah
menyebabkan diare berat dan mual-mual sampai muntah. Kandungan kimianya
triterpenoid resin dan allamandin. Getahnya beracun yang dapat digunakan untuk
mematikan ulat dan jentik nyamuk (Dalimartha 1999). Pemanfaatan bunga
terompet untuk tumbuhan hias hanya dilakukan beberapa orang saja, karena
daunnya yang berbulu dan gatal.
27

2. Patah tulang (E. tirucalli)


Tanaman patah tulang dimanfaatkan untuk tumbuhan hias karena tumbuhnya
yang bergerombol. Menurut responden tumbuhan patah tulang memiliki bentuk
daun kecil-kecil yang unik. Patah tulang (E. tirucalli) memiliki
ciri pangkal berkayu, batang berbentuk silindris bercabang banyak, berwarna hijau
dan batangnya bergetah putih yang beraroma menyengat. Daun patah tulang
berukuran sangat kecil, tunggal, berbentuk lanset dan berwarna hijau. Daunnya
jarang, terdapat pada ujung ranting yang masih muda dan cepat rontok.
Ekstrak metanol dan kloroform dari tanaman Patah Tulang (E. tirucalli)
bersifat toksik dan berpotensi sebagai pestisida. Senyawa yang terkandung didalam
ekstrak tanaman ini yang diduga bersifat toksik yaitu flavonoid, alkaloid dan tanin
(Oratmangun et al. 2014). Damayanti dan Zuhud (2011) menyatakan bahwa getah
tumbuhan patah tulang dapat mengakibatkan ruam kulit atau dermatitis. Tumbuhan
patah tulang jika dikonsumsi dapat mengakibatkan keracunan bahkan kematian.
Gejalanya iritasi mulut dan kejang perut.

3. Lombok-lombokan (M. jalapa)


Lombok-lombokan (M. jalapa) memiliki batang tebal, tidak berbulu dan
bercabang-cabang berwarna hijau. Daunnya berbentuk hati. Panjang daunnya 3–15
cm dan lebarnya 2–9 cm. Bijinya bulat berkerut, jika sudah masak berukuran 8 mm.
Ketika masih muda bijinya berwarna hijau, kemudian berubah menjadi hijau
kehitaman. Biji yang sudah matang bewarna hitam sepenuhnya dan keras. Tanaman
ini ditanam dihalaman. Bunga dari lombok-lombokan hampir selalu berbunga dan
bijinya yang berwarna hitam ketika sudah tua membuat tumbuhna ini menarik.
Menurut Damayanti dan Zuhud (2011) gejala keracunan Lombok-lombokan
(M. jalapa) adalah muntah-muntah, sakit perut dan diare.

4. Kamboja (A. obesum)


Tumbuhan kamboja dimanfaatkan oleh masyarakat karena bunganya
berwarna merah yang menarik. Tumbuhan hias yang ditanam di pot membuat
pertumbuhannya lambat, sehingga sesuai untuk menghias halaman yang sempit.
Habitus kamboja (A. obesum) perdu dengan batang tegak, bergetah, hijau
keputihan. Daun tunggal, menebal pada pangkalnya, panjang daun 3-8 cm, licin.
Helaian daun bulat telur terbalik, 0.3-0.6 cm x 1-3.5 cm, pangkal runcing, tepi rata,
ujung meruncing, pertulangan menyirip, permukaan atas licin dan berwarna hijau
tua, permukaan bawah licin dan berwarna hijau muda, tebal seperti
kertas. Perbungaan berwarna merah muda, kelopak 5 sepal, berlekatan, berkarang,
merah muda, mahkota 5 petal, berlekatan. Menurut Syamsulhidayat dan Hutapea
(1991) akar dan daun kamboja mengandung senyawa saponin, flavonoid, dan
polifenol, selain itu daunnya juga mengandung alkaloid.
28

Tumbuhan beracun dimanfaatkan untuk penghalang hama


Pemanfaatan tumbuhan beracun untuk penghalang hama yaitu masyarakat
memanfaatkan tumbuhan beracun dengan menanam tumbuhan beracun di tepi atau
di pinggir lahan sawah atau ladang. Tumbuhan beracun berfungsi sebagi pagar yang
melindungi tanaman. Hama yang akan menyerang atau memakan tanaman di
ladang akan melewati pagar yang dibuat dari tumbuhan beracun, ketika hama
memakan tumbuhan beracun maka hama akan mati. Hama atau hewan yang sudah
mengenal tumbuhan beracun akan menjauh dari ladang tersebut. Tanaman yang
dipagari tumbuhan beracun biasanya padi, jagung, kacang, cabai dan lainya.
Tumbuhan beracun yang dimanfaatkan untuk menghalang hama dapat dilihat pada
Gambar 16.

(a) (b) (c)


Gambar 16 Jenis tumbuhan beracun sebagai penghalang hama: (a) Telo genderuwo
(Manihot glaziovii Mull. Arg.), (b) Senthe (Alocasia macrorrhizos L.)
dan (c) Jarak (Jatropha curcas L.).

1. Telo genderuwo (M. glaziovii)


Telo genderuwo (M. glaziovii) memiliki toksisitas HCN, yaitu toksis (racun)
dari suatu zat pada dasarnya merupakan kemampuan zat yang dapat menyebabkan
kerusakan atau kerugian pada organisme hidup. Toksitan nabati pada tanaman
berfungsi untuk membantu dan mengatur metabolisme serta melindungi tanaman
terhadap serangan hama (Amalia 2011). Telo genderuwo biasanya ditanam
dipinggir ladang yang berbatasan dengan jalan, karena batangnya yang kokoh dapat
menahan tanah tepi jalan jika terjadi longsor sekaligus menghalangi hama (sapi dan
kambing) yang akan memakan tanaman.

2. Senthe (Alocasia macrorrhizos L.)


Senthe merupakan tanaman sejenis herba yang dikenal masyarakat dengan
bentuknya yang besar dan gatal. Masyarakat memanfaatkan tumbuhan ini dengan
cara menanamnya di pekarangan untuk mengahalang hama yang akan merusak
tanaman di pekarangan. Masyarakat juga ada yang menanam Senthe (A.
macrorrhizos) di sawah. Hama yang takut dengan senthe yaitu tikus sawah. Selain
itu senthe juga dimanfaatkan untuk menghalangi yuyu dengan cara umbi senthe
29

dicacah kecil-kecil dan diletakan di sarang atau di tempat kepiting sawah memakan
padi.

3. Jarak (J. curcas)


Jarak pagar merupakan tumbuan beracun yang dimanfaatkan sebagai
penghalang hama yang akan memakan tumbuhan. Tanaman jarak biasanya ditanam
di pinggir sawah dan pekarangan. Tanaman jarak sudah dikenal sebagai tubuhan
beracun dan telah diuji tabung dan kromatografi lapis tipis pada penelitian
Nurwidayati et al. (2014), senyawa kimia yang terkandung dalam biji jarak pagar
hampir sama dengan senyawa dalam biji jarak kastor yaitu golongan senyawa
alkaloid, saponin, flavonoid, cardenoline dan bufadienol. Damayanti dan Zuhud
(2011) menerangkan juga bahwa biji jarak apabilia dikonsumsi 3-4 biji oleh anak-
anak bisa berakibat kematian, sedangkan pada orang dewasa berakibat keracunan
berat.

Tumbuhan beracun dimanfaatkan untuk pakan ternak


Tumbuhan beracun dimanfaatkan untuk pakan ternak karena dapat membuat
ternak cepat tumbuh atau gemuk. Disamping itu pemanfaatan tumbuhan beracun
juga memilih bagian dari tumbuhan yang meiliki kandungan racun rendah atau
kandungan racun belum banyak. Tumbuhan beracun yang dimanfaatkan untuk
pakan ternak pada Gambar 17.

(a) (b) (c)


Gambar 17 Jenis tumbuhan beracun sebagai pakan ternak: (a) Pepaya (Carica
papaya L.) , (b ) Rawe (Mucuna pruriens var. utilis (L.) DC.). dan (c)
Pring ori (Bambusa arundinacea (Retz.) Wild)

1. Pepaya (C. papaya)


Daun pepaya dimanfaatkan untuk mempercepat pertumbuhan unggas
khususnya anakan entok. Pemanfaatan daun pepaya dipilih daun yang muda karena
daun muda memiliki sedikit getah. Getah pepaya yang banyak dapat meracuni
unggas. Hasil penelitian Konno et al. (2004), getah pepaya mengandung kelompok
enzim sistein protease seperti papain dan kimopapain. Getah pepaya juga
30

menghasilkan senyawa-senyawa golongan alkaloid, terpenoid, flavonoid dan asam


amino nonprotein yang sangat beracun bagi serangga pemakan tumbuhan.

2. Pring ori (B. arundinacea)


Pring ori yang dikenal dengam bambu duri ori dimanfaatkan bagian
rebungnya untuk makan unggas khususnya ayam untuk menggemukan tubuhnya.
Pemanfaatan bagian rebungnya karena mudah dalam proses pemotongan. Cara
pemanfaatan rebung pring ori yaitu mengupas rebung dan membuang ujung rebung.
Selanjutnya rebung diparut atau dicacah kecil-kecil. Rebung yang sudah berukuran
kecil dijemur sampai kering supaya getah atau air yang dikandung dalam rebung
hilang. Rebung yang sudah kering diberikan pada ayam.
Pemanfaatan rebung bambu ori harus berhati-hati karena rebungnya memiliki
kandungan racun. Menurut Achmad et al. (2012) HCN atau asam sianida
merupakan asam lemah yang bersifat korosif dan apabila dikonsumsi langsung akan
membahayakan tubuh. HCN dalam konsentrasi rendah menyebabkan mual dan
pusing, sedangkan dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian.
Senyawa HCN yang mudah larut dalam air dan mudah menguap pada suhu diatas
260C. Andoko (2003) menyatakan apabila rebung bambu mengandung HCN yang
tinggi maka akan memiliki ciri rasa yang pahit dan berbahaya untuk dikonsumsi.

3. Rawe (M. pruriens var. utilis (L.) DC.)


Rawe merupakan tumbuhan beracun yang dimanfaatkan daun mudanya untuk
pakan ternak sapi. Daun yang masih muda belum memiliki racun yang dapat
menimbulkan gatal. Daun muda rawe biasanya dimanfaatkan ketika musim hujan
karena rawe memiliki daun muda yang banyak. Selain itu bagian dari tumbuhan
rawe yang dapat menyebabkan gatal yaitu bunga dan buahnya.

Tumbuhan beracun dimanfaatkan untuk Ekonomi


Pemanfaatkan tumbuhan beracun untuk ekonomi yaitu memanfaatkan bagian
tumbuhan beracun yang memiliki nilai jual. Tumbuhan beracun yang memiliki nilai
ekonomi dibudidayakan masyarakat agar menghasilkan tanaman yang berkualitas
dan memiliki nilai jual yang tinggi. Tumbuhan beracun yang dimanfaatkan untuk
kebutuhan ekonomi dapat dilihat pada Gambar 18.
31

(a) (b)

Gambar 18 Jenis tumbuhan beracun sebagai ekonomi: (a) Jenis tumbuhan beracun
untuk ekonomi: Tembakau (Nicotiana tabacum L.) dan (b) Randu
(Ceiba pentandra (L.) Gaertn.).

1. Tembakau (N. tabacum)


Tembakau sebagai tumbuhan beracun dimanfaatkan masyarakat sengan cara
menanam, yang daunnya akan dimanfaatkan untuk bahan pembuat rokok atau
cerutu. Tembakau memiliki nilai jual yang tinggi dan banyak diminati perusahaan.
Masyarakat di Kecamatan Bulu tidak melakukan pengolahan tembakau untuk
dibuat produk rokok atau cerutu, hanya sebatas menanam yang hasil panennya
dijual pada pabrik rokok di Kecamantan Sulang yang letaknya sebelah Kecamatan
Bulu.

2. Randu (C. pentandra)


Bagian randu yang dimanfaatkan untuk dijual yaitu kayu dan buahnya. Kayu
randu dimanfaatkan sebagai bahan untuk mebuat almari, meja dan kursi. Meskipun
tidak memiliki keawetan yang lama, tetapi cukup banyak diminati masyarakat.
Harga kayu randu relatif lebih murah dibanding kayu jati ataupun jenis kayu
lainnya. Selain itu, buah dari kapuk yang dimanfaatkan yaitu kapuknya. Kapuk dari
buah kapuk dimanfaatkan untuk mengisi bantal, kasur, dan guling. Kapuk randu
juga dapat dijual pada toko yang memproduksi kasur, bantal dan guling. Namun,
masyarakat juga ada yang membuat kasur, bantal dan guling sendiri.
Bagian dari tanaman randu yang beracun yaitu daunnya. Penelitian Maulina
(2016) menyatakan ekstrak air daun kapuk randu memiliki daya toksisitas yang
mampu mematikan hama ulat api (Setora nitens) pada kelapa sawit. Daun muda
kapuk randu mengandung fenol, alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, phytate,
oxalate, trypsin inhibitor, dan (Friday et al. 2011). Menurut Selfia (2009) getah
pada batang kapuk beracun yang dapat digunakan untuk mengusir tikus. Sedangkan
Widodo (2005) menyatakan bahwa kapuk mengandung siklopropinoid yang
terletak pada bijinya. Siklopropinoid adalah salah satu senyawa racun yang sifatnya
berefek penenang atau obat bius.
32

Tumbuhan beracun dimanfaatkan untuk kepercayaan


Kepercayaan merupakan hal yang dipercayai dan diyakini oleh masyarakat
setempat tentang sesuatu hal yang sudah ada dari sebelumnya atau sering dilakukan.
Tumbuhan beracun yang dipercayai oleh masyarakat yaitu Jarak (J.
curcas)`(Gambar 19). Jarak merupakan tanaman beracun yang dipercayai oleh
masyarakat di Kecamatan Bulu sebagai tanda di pusar makam. Jarak memiliki arti
manusia yang hidup dan mati memiliki jarak yang memisahkan keduanya. Selain
itu, jarak ditanam di pusaran makam untuk menandai makam yang sudah lama dan
patok yang bertuliskan nama sudah rusak.

Gambar 19 Jenis tumbuhan beracun sebagai kepercayaan: Jarak (J. curcas).

Tumbuhan beracun dimanfaatkan untuk prakarya


Tumbuhan beracun yang dimanfaatkan untuk prakarya yaitu bagian dari
tumbuhan beracun yang memiliki warna dan bentuk yang unik dan menarik. Selain
itu memanfaatkan tumbuhan beracun juga mempertimbangkan kadar atau tingkat
kandungan racun pada tumbuhan tersebut jika kontak langsung dengan racunnya.
Tumbuhan beracun yang dimanfaatkan untuk bahan prakarya yaitu Sogok tunteng
(A. precatorius). Bagian yang dimanfaatkan yaitu bijinya (Gambar 20).
Pemanfaatan biji saga harus hati-hati karena bijinya juga beracun. Menurut Juniarti
et al. (2009), biji saga (sogok tunteng) mengandung flavonol glukosida, proksimat
dan protein yang kaya akan asam amino esensial. Biji saga juga kaya akan senyawa
abrin yang dapat menyebabkan apoptosis terhadap kultur sel leukemia.

Gambar 20 Jenis tumbuhan beracun dimanfaatkan sebagai prakarya: Biji Sogok


tunteng (A. precatorius.).
33

Tumbuhan beracun dimanfaatkan untuk Mebel


Pemanfaatan tumbuhan beracun untuk mebel yaitu Ingas (Semecarpus
heterophylla Bl.). Ingas dikenal masyarakat sangat berbahaya. Masyarakat yang
menyentuh pohon ingas dapat menyebabkan kulit menjadi melepuh dan berwarna
hitam, bahkan masyarakat yang kurang sehat maka tubuhanya dapat kepanasan dan
melepuh ketika melewati pohon ingas. Pemanfaatan tumbuhan ingas hanya
dilakukan oleh orang-orang tertentu yang berani dan tidan rentan dari racunnya.
Kayu dari pohon ingas dimanfaatkan untuk bahan membuat mebel (meja, kursi dan
almari).

Gambar 21 Jenis tumbuhan beracun sebagai mebel: Ingas (S. heterophylla)


(Sumber: http://www.biodiversitywarriors.org)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Tumbuhan beracun yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kecamatan Bulu


28 jenis tumbuhan beracun dari 18 famili. Jumlah jenis yang paling banyak
dimanfaatkan yaitu Fabaceae. Habitus tumbuhan beracun yang dimanfaatkan paling
banyak yaitu habitus herba. Bagian tumbuhan beracun yang dimanfaatkan paling
banyak yaitu seluruh bagian dan daun. Tumbuhan beracun yang dimanfaatkan
sudah banyak yang dibudidaya. Pemanfaaatan tumbuhan beracun yaitu sebagai
pestisida, obat, makanan, tumbuhan hias, penghalang hama, pakan ternak, ekonomi
(dijual), kepercayaan, prakarya dan mebel. Pengolahan tumbuhan beracun
tergantung pemanfaatannya yaitu dengan memanfaatkan racunnya, menghilangkan
racunnnya atau memanfaatkan bagian yang tidak atau belum beracun.
34

Saran

Perlu dilakukan penelitian tumbuhan beracun pada kecamatan lain di


Kabupaten Rembang untuk menambah informasi tentang potensi tumbuhan
beracun. Masyarakat dapat melakukan budidaya tumbuhan beracun yang sudah
diketahui cara pengolahannya untuk melestarikan tumbuhan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Anggraeni I, Herliyana EN, Asrori A, Rijal S. 2012. Efektivitas


penghambatan ekstrak daging biji Picung (Pangium edule) terhadap
pertumbuhan Rhizoctonia sp. secara in vitro. Jurnal Hortikultura. 22(3):268-
275.
Adharini G. 2008. Uji keampuhan ekstrak Akar tuba (Derris elliptica Benth) untuk
pengendalian Rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren.) [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Afifuddin Y, Marpaung L, Silitonga Y. 2015. Eksplorasi tumbuhan beracun di
Cagar Alam Martelu Purba. Peronema Forestry Science Journal. 4(2):92-
102.
Afoakwa EO, Sefa-Dedeh S, Agyr-Sackey EK. 2004. Chemical composition and
the effect of processing an oxalate content of cocoyam Xanthosoma
sagittifolium and Colocasia esculenta L. Journal of Food Chemsitry.
8(5):479-487.
Agustin DAY, Suarmini NW, Prabowo S. 2015. Peran keluarga sangat penting
dalam pendidikan mental, karakter anak serta budi pekerti anak. Jurnal Sosial
Humaniora. 8(1):46-54.
Amalia ER. 2011. Penurunan kadar HCN Ubi kayu jenis karet (Manihot glaziovii
Muell) karena pengaruh waktu perebusan dan pengukusan [skripsi].
Semarang (ID): Universitas Muhammadiyah Semarang.
Aman LO. 2007. Efektivitas penjemuran dan perendaman dalam air tawar untuk
menurunkan kandungan toksik HCN Ubi Hutan (Dioscorea hispida Dennst.).
Jurnal Entropi. 6(2):213-218.
Andoko. 2003. Budidaya Bambu Rebung. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Ariani SRD, Handajani S. 2008. Pengembangan Produk Tempe Generasi Ketiga
Berkhasiat Antioksidan Berbahan Baku Koro Benguk (Mucuna pruriens
L.D.C. var. utilis). Usul Penelitian Hibah Bersaing. Surakarta (ID):
Universitas Sebelas Maret.
Arizona D. 2011. Etnobotani dan potensi tumbuhan berguna di Taman Nasional
Gunung Ciremai Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Asni I. 2000. Hubungan antara harapan peran gender dengan pencapaian status
identitas melalui aktivitas eksploitasi dan komitmen identitas bidang peran
gender remaja [skripsi]. Bandung (ID): Universitas Padjajaran.
35

Atok AR. 2009. Etnobotani masyarakat Suku Bunaq (Studi kasus di Desa Dirun,
Kecamatan Lamaknen Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur)
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Azubike NC, Achukwu PU, Okwuosa CN, Nwachukwu Dc, Onwukwe OS,
Onyemelukwe AO. 2016. Subacute toxicity profile of the leaves of Colocasia
esculenta [L.Schoot] in Albino Rats. Journal of Medicinal Plant. 10(5):340-
348.
[BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. 2016. Delapan
Kelompok Data, Sistem Informasi Pembangunan Daerah Tahun 2016-
Kecamatan Bulu. Rembang (ID): BAPPEDA Kabupaten Rembang.
Chotimah S, Fajarini DT, Budiyati CS. 2013. Reduksi kalsium oksalat dengan
perebusan menggunakan laturan NaCl dan penepungan untuk meningkatkan
kualitas Sente (Alocasia macrorrhiza) sebagai bahan pangan. Jurnal
teknologi Kimia dan Industri. 2(2):76-83.
Dalimartha S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Jakarta (ID): Niaga
Swadaya.
Damayanti EK, Zuhud EAM. 2011. Tumbuhan Obat Berbahaya. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
[DPPKB] Data Pokok Pembangunan Kecamatan Bulu. 2014. Data Pokok
Pembangunan Kecamatan Bulu (Kecamatan dalam Angka). Rembang (ID):
BPS Kabupaten Rembang.
Dwidjoseputro D. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta (ID): Djambatan.
Faure D. 2002. The family-3 glycosidehydrolises: from housekeeping function to
host-microbe interction. Journal of Applied and Environmental
Microbiology. 64(4):1485-1490.
Friday ET, James O, Gabriel A. 2011. Investigation on the nutrional and medical
potentials of Ceiba pentandra leaf a commonvegetable in Nigeria. Journal of
Plant Physiology and Biochemistry. 3(6):95-101.
Grumbine RE. 1994. Environmental Policy and Biodiversity. Washington (DC):
Island Press.
Guenther E. 1990. Minyak Atsiri. Jilid IVA . Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Hara FLK, Nunaki JH, Sadsoeitoeboen MJ. 2009. Pemanfaatan tumbuhan sebagi
obat tradisional oleh masyarakat Suku Maybrat di Kampung Renis Distrik
Mare Kabupateng Sorong Selatan. Jurnal Natural. 8(1): 29-36.
Harmanto N. 2001. Mahkota Dewa: Obat Pusaka Para Dewa. Jakarta (ID):
Agromedia Pustaka.
Hasan PN. 2014. Pengaruh blansing dan perendaman Koro Pedang (Canavalia
ensiformis) putih terhadap penurunan HCN, serta karakteristik tepung dan
aplikasinya pada pembuatan donat [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas
Gadjah Mada.
Hasbullah. 2005. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta (ID): Raja Grafindo
Persada.
Herminanto, Nurtiati, Kristiani DM. 2010. Potensi daun serai untuk mengendalikan
hama Callosobruchus analis F. Pada kedelai dalam simpanan. Jurnal
Agrovigor. 3(1):19-27.
Ilmi J, Dharmono, Hayani NI. 2015. Inventarisasi dan pemanfaatan tumbuhan
beracun oleh masyarakat Dayak Bakumpai di Desa Simpang Arja Kecamatan
Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala. Jurnal Wahana-Bio. 13(-):93-114.
36

Julaeha E, Herlina T, Mayanti T, Wibisono AS, Yulisar R, Diantini A. 2014.


Aktivitas antibakteri penyakit mulut dan gigi senyawa hasil isolasi dari
tumbuhan Ki Encok (Plumbago Zeylanica). Journal of Chimica et Natura
Acta. 2(2):142-144.
Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas
(Brine Shrimp Lethality Test) dan antioksidan (1,1-diphenyl-2-pikrilhydrazyl)
dari ekstrak Daun saga (Abrus precatorius L.). Jurnal Makara Sains.
13(1):50-54.
Kardinan A. 2000. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Kasmidjo RB. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antopologi I. Jakarta (ID): Rineka Putra.
Konno KC, Hirayama M, Nakamura K, Tateishi Y, Tamura, M. Hattori, Kohno K.
2004. Papain protects papaya trees from herbivorous insects: role of cysteine
proteases in latex. Journal of The Plant. 37(3):370–378.
Koraag ME, Isnawati R, Kurniawan A, Risti, Hidayah N. 2017. Uji Larvasida
Crude Protease getah Widuri (Calotropis gigantea) terhadap larva nyamuk
Aedes aegypti. J Vektor Penyakit. 11(2):71–76.
Kuncoro. 2006. Tanaman Yang Mengandung Zat Pengganggu. Jakarta (ID): CV
Amalia.
Kusnaka, Gama YK. 2010. Aspek Spiritual Pekarangan dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung (ID): Universitas Padjajaran.
Maleong LJ. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): PT. Remaja
Rosdakarya.
Manalu VC, Afifuddin Y, Marpaung A. 2015. Eksplorasi tumbuhan beracun di
Cagar Alam Dolok Tinggi Raja Kabupaten Simalungun Sumatera Utara.
Peronema Forestry Science Journal. 4(3):75-85.
Maramis MR. 2016. Analisis yuridis terhadap racun penyebab kematian yang
berkaitan dengan tindak kekerasan. Jurnal Hukum Unsrat. 22(7):33-43.
Maulina I. 2016. Uji toksisitas ekstrak air daun kapuk randu (Ceiba pentandra
Gartn.) terhadap hama Ulat api pada kelapa sawit (Setora nitens Eeck.)
(Lepidoptera: Limacodidae) [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.
[MOEAFOI] Ministry of Environment and Forestry of Indonesia. 2014. The Fifth
National Report of Indonesia to The Convention on Biological Diversity.
Jakarta (ID): Deputy Minister of Environmental Degradation Control and
Climate Change Ministry of Environment and Forestry.
Mudjijono, Herawati I, Munawaroh S, Sukari. 2014. Kearifan Lokal Orang Madura
tentang Jamu untuk Kesehatan Ibu & Anak. Yogyakarta (ID): Balai
Pelestarian Nilai Budaya.
Mustchler E. 1991. Dinamika Obat. Bandung (ID): Penerbit ITB.
Notoadmodjo S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka
Cipta.
Nurwidayati A, Srikandi Y, Risti. 2014. Skrining fitokimia ekstra Jarak Pagar
(jatropha curcas) dan ekstrak Jarak Kastor (Riccinus communis) Famili
Euphorbiaceae. Jurnal Vektor PenyakitI. 8(1):15-20.
Oratmangun SA, Fatimawali, Bodhi W. 2014. Uji toksisitas ekstrak tanaman Patah
tulang (Euphorbia tirucalli L.) Terhadap Artemia salina dengan metode
37

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) sebagai studi pendahuluan potensi anti
kanker. Jurnal Ilmiah Farmasi. 3(3):316-324.
Primsa E. 2002. Efek hipoglikemik influsia simpliasia daging Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa Scheff Boerl) pada tikus jantan putih [skripsi].
Jogjakarta (ID): Universitas Gajah Mada.
Rismayani. 2013. Manfaat buah maja sebagai pestisida nabati untuk hama
penggerek buah Kakao (Conopomorpha cramerella). Warta Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri. 19(3):24-26.
Rohimatun, Suriati S. 2011. Bintaro (Cerbera manghas) sebagai pestisida nabati.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. 17(1):1-4.
Rohimatun, Wiratno. 2015. Potensi dan prospek daun Encok (Plumbago zeylanica
L.) sebagai bahan aktif pestisida nabati. Jurnal Litbang Pertanian. 34(3):117-
124.
Roni KA. 2012. Pembuatan biodiesel Biji Kepuh (Sterculia Foetida L.) dengan
proses alkoholisis dengan katalisator buangan proses perengkahan minyak
bumi Pertamina Unit II Palembang. Jurnal Dinamika Penelitian Industri.
23(1):21-29.
Sasongko P. 2009. Detoksifikasi umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst.) melalui
proses fermentasi menggunakan Kapang Mucor sp. Jurnal Teknologi
Pertanian. 10(3):205–215.
Sastrapraja S. 1978. Tumbuhan Obat. Lbg Biologi Nasional LIPI. Jakarta (ID):
Balai PustakaSawitti MY, Mahatmi H & Besung NK. 2013. Daya hambat
perasan daun sambiloto terhadap pertumbuhan Bakteri Escherichia coli.
Jurnal Indonesia Medicus Veterinus. 2(2):142–150.
Sawitti MY, Mahatmi H, Besung NK. 2013. Daya hambat perasan daun sambiloto
terhadap pertumbuhan Bakteri Escherichia coli. J Indonesia Medicus
Veterinus. 2(2):142–150.
Sekaran U. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Jakarta (ID): Salemba Empat.
Selfia A. 2009. Inventarisasi dan kerapatan tumbuhan yang mengandung racun di
kawasan wisata air terjun hutan gunung lindung Desa Gedambaan Kecamatan
Pulau Laut Utara Kabupaten Kotabaru [skripsi]. Banjarmasin (ID):
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
Setiawati W, Murtiningsih R, Gunaeni N, Rubiati T. 2008. Tumbuhan Bahan
Pestisida Nabati dan Cara Pembuatannya untuk Pengendalian Organisme
Pengganggu Tumbuhan (OPT). Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman
Sayuran.
Sheeja B, Sindhu D, Ebanasar J & Jeeva S. 2012. Larvicidal activity of
Andrographis paniculata (Burm.f) nees against Culex quinquefasciatus Say
(Insecta: Diptera-Culicidae), A Filarial Vector. Journal of Tropical Disease.
2(2):574-578.
Sihombing M, Afifuddin Y, Hakim L. 2013. Bahan anti nyamuk (Mosquito
repellent) dari akar tuba (Derris elliptica Benth). Peronema Forestry Science
Journal. 2(2):39-43.
Soegihardjo CJ. 2007. Mimba (Azadirachta indica A. Juss, suku Meliaceae),
tanaman multi manfaat yang dapat menanggulangi persoalan rakyat
indonesia. Jurnal Sigma. 10(1):83-102.
Subiyakto. 2009. Ekstrak biji mimba sebagai pestisida nabati: potensi, kendala, dan
strategi pengembangannya. Jurnal Perspektif. 8(2):108-116.
38

Sugiyono. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R & D. Bandung (ID): Alfabeta.
Sunarmi. 2014. Melestarikan keanekaragaman hayati melalui pembelajaran di luar
kelas dan tugas yang menantang. Jurnal Pendidikan Biologi. 6(1):38-49.
Susilowati EY. 2006. Identifikasi nikotin dari daun Tembakau (Nicotiana
Tabacum) kering dan uji efektivitas ekstrak daun tembakau sebagai
insektisida penggerek batang Padi (Scirpophaga Innonata) [skripsi].
Semarang (ID): Universitas Negeri Semarang.
Syahid SF, Kristina NN. 2008. Multiplikasit tunas, aklitimasi dan analisis mutu
simplisia daun encok (Plumbago zeylanica L.) asal kultur in vitro periode
panjang. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 19(2):117-128.
Syamsulhidayat SS, Hutapea JR. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia.
Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI.
Wawan A, Dewi M. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta (ID): Muha Medika.
Widakdo DSWPJ, Setiadevi S. 2017. Respon hama ulat buah melon terhadap
aplikasi pestisida nabati buah Bintaro (Cerbera manghas L.) pada berbagai
konsentrasi. Agrotechnology Research Journal. 1(2):48-51.
Widaryanto E. 2009. Identifikasi Jarak pagar (Jatropha curcas L.) jenis wangi.
Jurnal Ilmu Pertanian. 31(1):1-12.
Widodo W. 2005. Tumbuhan Beracun dalam Kehidupan Ternak. Malang (ID):
Universitas Muhammadiyah Malang.
Wijayakusuma H. 1992. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia Jilid I. Jakarta
(ID): Pustaka Kartini.
Winandi R, Netti T, Amzul RM. 2015. Sistem pemasaran kedelai di Kabupaten
Lamongan Provinsi Jawa Timur. Di dalam: Waluyati LR, Agus DN, Widhi
NP, Zayafika M, Nafi’ NS, Sri ND, Anindyaningrum ZP, Triandy M, editor.
Agribisnis Kedelai: Antara Swasembada dan Kesejahteraan Petani; 2015
Mei 7; Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta (ID): Magister Manajemen
Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.
Winarno FG. 1986. Enzim Pangan. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Wiratno, Rizal M, Laba IW. 2011. Potensi ekstrak tanaman obat dan aromatik
sebagai pengendali keong mas. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat. 22(1):54–64.
Yenie E, Elystia S, Kalvin A, Irfhan M. 2013. Pembuatan pestisida organik
menggunakan metode ekstraksi dari sampah daun pepaya dan umbi bawang
putih. Jurnal Teknik Lingkungan. 10(1):46-59.
Yudas, Diba F, Tavita GE. 2017. Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat di
Desa Entogong Kecamatan Kayan Hulu Kabupaten Sintang. Jurnal Hutan
Lestari. 5(2):241-252.
39

Lampiran 1 Daftar Tumbuhan Beracun di Kecamatan Bulu


Tempat
No. Nama lokal Nama jenis Famili Habitus Bagian manfaat Manfaat
tumbuh
1 Bintaro Cerbera odollam Gaertn. Apocynaceae Pohon Liar Buah Pestisida
2 Encok Plumbago zeylanica L. Plumbaginaceae Semak Liar Daun Pestisida, obat pegal
3 Gadel Derris trifoliata Lour. Fabaceae Liana Liar Akar (umbi) Pestisida
4 Gadung Dioscorea hispida Dennst. Dioscoreaceae Semak Budidaya Umbi Makanan
5 Ingas Semecarpus heterophylla Bl. Anacardiaceae Pohon Liar Batang Perabotan
6 Jarak Jatropha curcas L. Euphorbiaceae Perdu Budidaya Seluruh bagian Penghalang hama, kepercayaan
7 Kamboja Adenium obesum (Forssk.) Roem. & Schult Apocynaceae Perdu Budidaya Seluruh bagian Tumbuhan hias
8 Kecubung Datura metel L. Solanaceae Perdu Liar Daun Obat pegal
9 Kepoh Sterculia foetida L. Sterculiaceae Pohon Liar Buah Pestisida
10 Koro benguk Mucuna pruriens L. Fabaceae Semak Budidaya Biji Makanan
11 Lombok-lombokan Mirabilis jalapa L. Nyctaginaceae Herba Budidaya Seluruh bagian Tumbuhan hias
12 Mahkota dewa Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl. Thymelaeaceae Pohon Budidaya Buah (daging buah) Obat
13 Maja Crescentia cujete L. Bignoniaceae Pohon Liar Buah Pestisida
14 Mimba Azadirachta indica A.Juss Meliaceae Pohon Liar Daun Obat gatal
15 Patah tulang Euphorbia tirucalli L. Euphorbiaceae Herba Budidaya Seluruh bagian Tumbuhan hias
16 Pepaya Carica papaya L. Caricaceae Herba Budidaya Getah buah muda Pestisida
Daun Pakan ternak
Buah Makanan
17 Pring ori Bambusa arundinacea (Retz.) Wild Poaceae Bambu Budidaya Tunas Pakan ternak
18 Randu Ceiba pentandra (L.) Gaertn. Bombacaceae Pohon Budidaya Batang, buah Ekonomi
19 Rawe Mucuna pruriens var. utilis (L.) DC.) Fabaceae Semak Liar Daun Pakan ternak
20 Sambiloto Andrographis paniculata (Burm. F.) Wall. Ex nees Acanthaceae Semak Liar Daun Pestisida

39
40

40
Lampiran 1 Daftar Tumbuhan Beracun di Kecamatan Bulu (Lanjutan)
Tempat
No. Nama lokal Nama jenis Famili Habitus Bagian manfaat Manfaat
tumbuh
21 Senthe Alocasia macrorrhizos L. Aracaceae Herba Budidaya Umbi Makanan
Seluruh bagian Penghalang hama
22 Serai Cymbopogan nardus L. Poaceae Herba Budidaya Seluruh bagian Pestisida
Seluruh bagian Penghalang hama
23 Sogok tunteng Abrus precatorius L. Fabaceae Semak Budidaya Biji Prakarya
24 Tales/lompong Colocasia esculenta var. antiquorum (L.) Schott. Araceae Herba Budidaya Umbi, batang Makanan
25 Telo genderuwo Manihot glaziovii Mull. Arg. Euphorbiaceae Perdu Budidaya Seluruh bagian Penghalang hama
26 Tembakau Nicotiana tabacum L. Solanaceae Herba Budidaya Daun Pestisida, ekonomi
27 Terompet Allamanda blanchetii A. DC. Apocynaceae Perdu Budidaya Seluruh bagian Tumbuhan hias
28 Widuri Calotropis gigantea (L.) W.t. Aiton Asclepiadaceae Herba Liar Getah batang Obat
41

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 28 Januari 1996 sebagai putri


kedua dari tiga bersaudara. Anak dari pasangan Sunar dan Surip. Pendidikan
formal penulis dari SD Negeri Mantingan pada tahun 2002-2008, SMP Negeri I
Bulu pada tahun 2008-2011, dan SMA Negeri 1 Sulang pada tahun 2011-2014.
Pada tahun 2014, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
jalur Undangan Seleksi Nasional Masuk Pergurun Tinggi Negeri (SNMPTN) dan
diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor penulis
merupakan penerima Beasiswa Pendidikan Mahasiswa Berprestasi (Bidik Misi)
Dikti.
Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif organisasi yaitu
Himpunan Keluarga di Bogor (HKRB), UKM Gentra Kaheman sebagai anggota
Divisi Tari, Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
(HIMAKOVA) sebagai Ketua Kelompok Pemerhati Flora tahun 2016-2017. Pada
tahun 2017 penulis ikut dalam ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan yang
dilakukan “SURILI” oleh HIMAKOVA di Taman Nasional Kutai, Kalimantan
Timur. Kepanitian yang aktif diikuti oleh penulis antara lain anggota Divisi Medis
di Masa Perkenalan Departemen tahun 2016, anggota Divisi medis di Masa
Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru tahun 2017, anggota Divisi Sponsorship di
Semarak Kehutanan 2017, dan anggota Divisi Dana Usaha di Seminar Nasional
Jelajah Negeri 2017 (HIMAKOVA).
Penulis telah melaksanakan Praktik Umum Kehutanan (PUK) di Cagar Alam
Sancang, Suaka Margasatwa Kamojang, dan Hutan Pendidikan Gunung Walat
(HPGW) tahun 2016, Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional
Gunung Halimun Salak tahun 2017. Penulis melaksanakan Magang Mandiri di
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Mantingan Kabupaten Rembang tahun 2016
dan Magang Mandiri di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa
Tengah tahun 2017. Penulis menjadi Asisten Praktikum Dendrologi, Departenen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Penulis menjadi Pemenang I menulis Cerita
“Inspiring and Empwering Women” Dies Natalis Asrama Putri Dramaga tahun
2017. Penulis menjadi partisipan mewakili IPB di Youth Leadership Camp for
Climate Change 2017 di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan-Lampung.

Anda mungkin juga menyukai