Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Hortikultura, Tahun 1999, Volume 9, Nomor (2): 153-163.

SEGMENTASI DAN INTEGRASI PASAR: STUDI KASUS DALAM SISTEM


PEMASARAN BAWANG MERAH
Witono Adiyoga, Mieke Ameriana dan Achmad Hidayat
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung - 40391

ABSTRAK. Adiyoga, W., M. Ameriana. dan A. Hidayat. 1998. Segmentasi dan integrasi pasar: Studi kasus dalam
sistem pemasaran bawang merah. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah segmentasi dan integrasi pasar bawang merah
berkaitan dengan pemanfaatan informasi pasar dalam proses determinasi harga. Keragaan pemasaran bawang merah
ditelusuri melalui survai ke pasar di sentra produksi Brebes dan pasar utama di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Surakarta, serta survai penelusuran tataniaga dari Brebes ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta pada bulan September-
Desember 1997. Hasil penelitian menunjukkan bahwa marjin tataniaga bawang merah tergolong fleksibel dan dalam jangka
pendek dapat mendorong stabilitas baik harga di tingkat petani maupun bagian petani. Namun, struktur marjin ini ternyata juga
memberikan peluang bagi pedagang (terutama pengecer) untuk memperoleh keuntungan berlebih yang dibebankan kepada
konsumen. Pengujian hipotesis memberikan indikasi bahwa keragaan pasar bawang merah cenderung berada di antara dua
titik ekstrim (segmentasi dan integrasi). Secara implisit, kondisi tersebut menggambarkan bahwa pemasaran bawang merah
masih belum efisien, karena informasi harga di pasar acuan tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh pelaku pasar di tingkat
lokal. Sementara itu, besaran relatif pengaruh segmentasi dan integrasi pasar yang digambarkan oleh indeks hubungan
pasar menunjukkan bahwa Bandung memiliki derajat keterpaduan (dengan pasar acuan Jakarta) yang paling tinggi
dibandingkan dengan pasar lokal lainnya. Hasil penelitian ini mengimplikasikan perlunya: (a) perbaikan teknologi pada
proses sortasi, grading, pengeringan dan pengepakan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja agar biaya tataniaga
dapat dikurangi, dan (b) perbaikan akurasi informasi harga melalui perbaikan metode pengumpulan data dan perhitungan
yang lebih teliti (atribut kualitas produk yang berbeda-beda perlu diperhatikan ).

Kata kunci: Efisiensi pemasaran; Segmentasi pasar; Integrasi pasar, Informasi harga; Indeks hubungan pasar.

ABSTRACT. Adiyoga, W., M. Ameriana. dan A. Hidayat. 1998. Market segmentation and integration: A case study in
shallot marketing system. The objective of this study was to examine market segmentation and integration, in relation to
the utilization of market information that may affect shallot price determination. The performance of shallot marketing was
studied through a survey to some markets in Brebes production center, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta and
Surakarta, and a road check survey Brebes-Jakarta, from September to December 1997. Results show that the marketing
margin is referred to as flexible marketing margin, which in the short term may result in a more stable farm-gate prices and
farmer’s share. However, this margin structure also opens the possibility, especially for retailers, to gain excess profit that finally
will be passed along to consumers. Hypothesis testing on market segmentation and integration indicates that the shallot
marketing system is existed somewhere between the two extremes (segmentation and integration). This implies that shallot
marketing system is still inefficient, since price information in reference market has not been fully passed on in proportional
terms to local markets. Consequently, market participants are not able to fully utilize reference market price changes in the
process of price determination. Further analysis to capture the relative magnitude of the two effects (market segmentation
and market integration) shows that Bandung has a smaller index of market connection, implying a greater degree of market
integration as compared to other local markets. This study also implies that there is an immediate need to: (a) improve
technology in shallot sortation, grading, drying, and packing that can increase labor productivity, so that marketing costs can
be reduced, and (b) increase the acuracy of price information through the improvements of data collecting and accounting
method (different quality attribute should be considered)

Key word: Marketing efficiency; Market segmentation; Market integration, Price information; Index of market connection.

1
Kontribusi pasar produk dalam proses pembangunan pertanian tercermin dari potensinya yang
dapat (a) memberikan panduan/acuan alokasi sumberdaya untuk memaksimalkan nilai produksi dan
kepuasan konsumen, serta (b) mendorong pertumbuhan melalui promosi inovasi teknologi dan
peningkatan penawaran/permintaan. Potensi ini tidak terlepas dari tingkat harga yang tercipta di pasar
produk sebagai titik temu respon partisipan pasar terhadap permintaan dan penawaran. Pada dasarnya,
harga produk merupakan rangkuman dari sejumlah informasi yang menyangkut ketersediaan sumber-
daya, kemungkinan produksi dan preferensi konsumen (Buccola, 1989). Untuk sampai pada tingkat harga
produk tertentu, pasar memberikan fasilitas dalam pengumpulan dan penyebaran informasi di atas, agar
dapat digunakan untuk pengambilan keputusan ekonomis di masa datang. Walaupun demikian, perlu
diperhatikan bahwa alur kausalitas tersebut hanya dapat terjadi jika pasar mempunyai sifat persaingan
sempurna (tingkat harga yang terjadi merefleksikan biaya produksi sebenarnya). Selanjutnya, jika
konsumsi tidak menimbulkan pengaruh eksternal (positif/negatif) terhadap masyarakat secara umum,
maka melalui pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan ekonomis, pasar akan mendorong
pencapaian alokasi sumberdaya yang optimal (Cochrane, 1967). Dengan demikian, peranan harga
berkaitan erat dengan keragaan pasar sebagai pusat informasi. Khusus untuk sayuran yang memiliki sifat
mudah rusak, pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, sifat dan perilaku pasar sangat diperlukan,
terutama oleh petani produsen.
Sistem pemasaran dikategorikan efisien apabila pasar-pasar yang terlibat dalam sistem tersebut
mendaya-gunakan semua informasi yang tersedia. Dengan kata lain, jika suatu pasar memanfaatkan
informasi harga yang telah terjadi (past prices) secara optimal, maka pasar tersebut dapat dikategorikan
efisien (Leuthold & Hartmann, 1979). Dalam sistem pemasaran, perilaku penjual dan pembeli pada suatu
pasar tertentu selalu dipengaruhi oleh petunjuk harga dan kemungkinan substitusi dari pasar-pasar lain.
Penyebaran dan pemanfaatan informasi antar pasar mengenai komoditas tertentu memungkinkan harga
komoditas bersangkutan bergerak secara bersamaan. Kondisi ini menunjukkan adanya integrasi antar
pasar yang merupakan salah satu indikator sistem pemasaran yang efisien (Heytens, 1986).
Dalam pemasaran bawang merah, khususnya di sentra produksi Brebes, penetapan harga
dilakukan secara tawar menawar dengan mempertimbangkan harga pada tingkat penjual. Unsur
monopoli atau monopsoni tidak teridentifikasi dalam struktur pasar komoditas bawang merah (Institut
Pertanian Bogor & Badan Urusan Logistik, 1996). Sementara itu, penelitian deskriptif yang dilakukan oleh
Koster dan Basuki (1991) menunjukkan adanya kecenderungan (a) kesulitan petani untuk menjual
produknya secara langsung ke pasar pengumpul, (b) pedagang besar yang ada di pasar grosir tidak
memberikan keleluasaan kepada pedagang besar lainnya untuk melaksanakan aktivitas pemasaran di
pasar yang sama, dan (c) bias terhadap petani atau pedagang besar. Secara implisit, penelitian ini
menunjukkan tidak dipenuhinya kriteria free entry (siapa saja dapat terlibat/berpartisipasi) untuk pasar
persaingan sempurna. Terlepas dari kesimpulan struktur pasar yang agak bertentangan antara dua
penelitian di atas (pasar persaingan sempurna vs. pasar yang kurang memenuhi kriteria free entry),
keduanya ternyata belum banyak mengungkap aspek keragaan dari pemasaran bawang merah.
Kontribusi fluktuasi harga bawang merah terhadap tingkat inflasi ternyata cukup signifikan.
Sebagai contoh, pada tahun 1995, kontribusi bawang merah terhadap inflasi mencapai 0,39% (Institut
Pertanian Bogor & Badan Urusan Logistik, 1996). Besaran ini lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi
daging sapi, sayuran maupun minyak goreng. Kontribusi terhadap inflasi yang tercermin dari fluktuasi
harga bawang merah tidak saja disebabkan oleh adanya perubahan/pergeseran penawaran dan
permintaan, tetapi juga dimungkinkan oleh adanya faktor-faktor antara (transient factors). Salah satu
faktor diantaranya adalah perubahan evaluasi informasi pasar yang ditentukan oleh partisipan pasar
setiap saat. Berdasarkan pengamatan perkembangan harga di pasar-pasar kota besar di Jawa Barat dan
Jawa Tengah serta pasar di Jakarta, diduga pasar bawang merah memiliki derajat keterpaduan yang
2
cukup tinggi, walaupun perkembangan harga di pasar lokal juga cukup berpengaruh terhadap
determinasi harga di pasar bersangkutan. Searah dengan konteks permasalahan yang dihadapi,
penelitian ini bertujuan untuk menelaah segmentasi dan integrasi pasar bawang merah berkaitan dengan
pemanfaatan informasi pasar dalam proses determinasi harga.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah adaptasi dari analisis struktur, perilaku
dan keragaan. Sesuai dengan konteks kajian yang dilakukan, penekanannya adalah pada analisis
keragaan (pendekatan yang digunakan untuk menjembatani struktur formal teori ekonomi dengan
pengamatan empiris) pasar bawang merah. Keragaan pemasaran bawang merah ditelusuri melalui survai
ke pasar di sentra produksi Brebes dan pasar utama di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Surakarta, serta survai telusuran tataniaga (road check survey) dari Brebes ke Pasar Induk Kramat Jati,
Jakarta pada bulan September-Desember 1997. Kajian ini juga memanfaatkan data harga harian untuk
periode Juni-Oktober 1997 dan harga bulanan bawang merah yang mencakup periode 1985-1996.
Dalam analisis ini, harga di pasar Jakarta dianggap sebagai harga pasar acuan karena Jakarta
merupakan daerah konsumsi terbesar.
Penggunaan analisis korelasi bivariat dalam pengukuran integrasi pasar banyak mendapat kritik
karena beberapa penelitian terdahulu (Lele, 1967; Jones, 1968) membuktikan bahwa pendekatan
tersebut dianggap kurang akurat dan mengundang kesalahan interpretasi. Koefisien korelasi yang tinggi
antara dua pasar dapat mengindikasikan tidak adanya hubungan fisik, sedangkan koefisien korelasi yang
rendah dapat saja terjadi antara dua pasar yang memiliki pola hubungan perdagangan kompleks (Harriss,
1979; Heytens, 1986). Menanggapi kritik tersebut, Ravallion (1985) mengembangkan suatu model
dinamis untuk menghindari bahaya inferensial penggunaan model bivariat. Model persamaan regresi
(autoregressive distributed lag model) yang digunakan adalah sebagai berikut:

αi(L)Pit = ßi(L)Pt + θi(L)Xit + µit (1)

Pit = harga di pasar lokal i (Bandung, Semarang, Surakarta dan


Pt = harga di pasar acuan (Jakarta) pada saat t.
Xit = peubah musiman atau lainnya di pasar i pada saat t.
i = 1, 2, ........k. t = 1, 2, ........n.
i
αi(L), ßi(L) dan θi(L)adalah polinomial dari operator lag (L Pt = Pt-1 ) dan
didefinisikan sebagai berikut:
αi (L) = 1 - αi 1L - ... - αi nLn.
ßi(L) = ßi0 + ßi1L + ... + ßimLm.
θi (L) = θi0 + θi1L + ... + θinLn.

Persamaan (1) harus dispesifikasi ulang agar memenuhi persyaratan estimasi ekonometrik, sehingga
dapat digunakan secara empiris. Melalui beberapa langkah penyederhanaan, persamaan (1) dapat
dituliskan sebagai berikut:

(Pit - Pit-1) = (αi -1)(Pit - Pt-1) + ßi0(Pt - Pt-1) + (αi + ßi0 + ßi1 - 1)Pt-1 + θi X + µit (2)

3
Persamaan (2) menunjukkan bahwa perubahan harga di pasar lokal merupakan fungsi dari marjin harga
spasial, perubahan harga di pasar acuan, harga di pasar acuan pada saat t-1 dan karakteristik pasar
lokal. Dari persamaan (2), hipotesis-hipotesis berikut ini dapat diuji:

Segmentasi pasar

Hipotesis segmentasi pasar pada dasarnya merupakan dugaan bahwa perubahan-perubahan


harga di pasar acuan sama sekali tidak berpengaruh terhadap perubahan-perubahan harga di pasar
lokal. Hipotesis tersebut dapat diterima (pasar lokal tertentu dapat dikategorikan tersegmentasi)
seandainya pada persamaan (2):

ßi0 = ßi1 = 0 (3)

Melalui proses substitusi, pengujian proposisi (3) identik dengan menguji inferensi statistik dari
persamaan (4) di bawah ini:

(Pit - Pit-1) = (αi-1)Pit-1 + θiX + µit (4)

Penerimaan terhadap persamaan (4) memberikan indikasi bahwa harga di pasar lokal i hanya tergantung
pada harga di pasar tersebut pada saat t-1 serta karakteristik lainnya.

Integrasi pasar

Pada sistem perekonomian terbuka, kecil sekali kemungkinan adanya suatu pasar yang
sepenuhnya berdiri sendiri dari pasar-pasar lainnya. Secara teoritis, hal ini mengindikasikan bahwa
derajat keterpaduan antar pasar selalu ada, walaupun sangat kecil. Oleh karena itu, hipotesis segmentasi
pasar masih perlu dikonfirmasi oleh hipotesis integrasi pasar. Hipotesis integrasi pasar mensyaratkan
bahwa perubahan-perubahan harga di pasar acuan secara cepat dan utuh direfleksikan pada tingkat
harga di pasar lokal, sehingga:

ßi0 = 1 , ßi(L) = 1 (ßi1 = 0) (5)


αi = 0 (6)

Melalui proses substitusi, pengujian proposisi (5) dan (6) identik dengan menguji inferensi :

Pit = α0 (Pt - Pt-1) + β1 (Pit-1 - Pt-1) + θiX + µit (7)

Jika syarat (5) dan (6) dipenuhi, maka integrasi pasar jangka pendek antara pasar lokal i dan pasar
acuan (untuk satu periode waktu) dapat diterima. Penerimaan hipotesis yang mengakibatkan ßi0 = 1 dan
αi-1 = -1, dapat memberikan indikasi bahwa perubahan harga di pasar acuan pada saat t dan perbedaan
harga antara pasar lokal dan pasar acuan sepenuhnya tergambarkan dalam pembentukan harga di pasar
lokal pada saat t.
Persamaan (2) dapat dimanipulasi lebih lanjut untuk memperoleh indikator integrasi pasar tidak
langsung. Untuk maksud tersebut, notasi koefisien regresi pada persamaan (2) dipersingkat menjadi αi-1
= b1, ßi0 = b2, αi + ßi0 + ßi1 -1 = b3, θi= b4, sehingga:

4
(Pit - Pit-1) = b1(Pit-1 - Pt-1) + b2(Pt - Pt-1) + b3Pt-1 + b4X + µit (8)

Peubah-peubah pada persamaan (8) kemudian disusun kembali menjadi:

Pit = (1 + b1)Pit-1 + b2(Pt - Pt-1) + (b3 - b1)Pt-1 + b4X + µit (9)

Berdasarkan persamaan (9), Timmer (1985) mengembangkan suatu indeks yang disebut sebagai indeks
hubungan pasar (IHP).

IHP = (1 + b1) / (b3 - b1) (10)

Mengacu pada batasan yang dikemukakan oleh Ravallion (1986), integrasi pasar jangka pendek terjadi
jika b1 = -1 dan IHP = 0. Sementara itu, segmentasi pasar terjadi jika b1 = b3 dan IHP = . Secara umum,
semakin kecil besaran IHP (semakin mendekati nol), maka semakin tinggi tingkat integrasi pasar yang
terjadi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Harga Bawang Merah

Gambar 1 menunjukkan bahwa secara konsisten (dari tahun ke tahun) harga tertinggi bawang
merah terjadi pada bulan Maret, sedangkan harga terendah terjadi pada bulan Agustus-September.

Gambar 1 Perkembangan harga bulanan bawang merah di sentra produksi Brebes dan lima kota besar di Jawa
(Monthly shallot prices development at Brebes production center and five big cities in Java)

Perkembangan Harga Bulanan Bawang Merah, 1996


(Shallot Monthly Prices Development, 1996 )
3500 (Rp/kg)

3000

2500 JKT

BDG

2000 SEM
Harga
(Price ) YOG
1500 SUR

BRE
1000

500

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan (Month )

5
Harga rata-rata bulanan yang terjadi sebenarnya tidak saja mewakili titik temu antara permintaan dengan
penawaran bawang merah dari Brebes, tetapi juga dengan penawaran dari sentra produksi bawang
merah lainnya. Namun demikian, pengaruh penawaran bawang merah dari Brebes tampaknya cukup
dominan dalam determinasi harga di pasar-pasar kelima kota besar yang diteliti. Hal ini terlihat dari
konsistensi perkembangan harga bawang merah terendah/tertinggi antara Brebes dengan kelima kota
besar tersebut. Musim tanam utama bawang merah di Brebes terjadi pada bulan Juni-Juli, sehingga
penawaran pada bulan Agustus-September relatif tinggi, sedangkan pada bulan Februari-Juni relatif
rendah. Berdasarkan asumsi bahwa permintaan bawang merah relatif konstan dalam jangka pendek,
fluktuasi pasokan tersebut mengakibatkan timbulnya fluktuasi harga seperti tergambarkan dalam grafik di
atas. Sementara itu, grafik perkembangan harga bawang merah di Brebes, Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta dan Surakarta tampak relatif paralel. Keadaan ini dapat dijadikan sebagai salah satu indikator
untuk menduga bahwa arus informasi, terutama mengenai harga bawang merah, antar pasar di keenam
lokasi tersebut berjalan cukup lancar.

Marjin Tataniaga Bawang Merah

Marjin tataniaga adalah harga atau nilai dari sekumpulan jasa pemasaran yang harus dikeluarkan
untuk biaya transfer komoditas tertentu dari sisi produksi ke sisi konsumsi (Barker, 1981). Pengeluaran ini
tidak saja berupa pembayaran untuk masukan yang dikeluarkan oleh pelaku pasar dalam melakukan
fungsi pemasaran (biaya tataniaga), tetapi juga porsi keuntungan bagi pemberi jasa tataniaga tersebut.
Secara sederhana, marjin tataniaga merupakan selisih antara harga yang dibayarkan konsumen dengan
harga yang diterima produsen. Jika salah satu parameter berubah, maka kedua parameter lainnya juga
turut berubah. Dengan kata lain, marjin tataniaga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh penting
terhadap efisiensi penetapan harga, stabilitas harga di tingkat konsumen, stabilitas harga di tingkat petani
dan bagian petani (farmer’s share).
Besaran marjin rata-rata pada Tabel 1 diperoleh dari pengurangan antara harga di sisi konsumsi
dengan harga di sisi produksi berdasarkan data harian selama lima bulan. Berbeda dengan marjin untuk
keempat tujuan konsumsi lain (Jakarta, Bandung, Semarang dan Yogyakarta) yang besarannya
konsisten dengan jarak ke Brebes, tampaknya terdapat inkonsistensi untuk marjin rata-rata Surakarta
(terendah). Diduga hal ini disebabkan oleh pengaruh pasokan bawang merah dari Jawa Timur yang
berpengaruh terhadap harga yang terjadi di Surakarta selama kurun waktu penelitian (relatif lebih rendah
dibandingkan dengan Semarang dan Yogyakarta).
Beberapa studi empiris terdahulu menunjukkan bahwa besar marjin tataniaga dari hari ke hari atau
dari bulan ke bulan (jangka pendek) cenderung bersifat konstan (Gardner, 1975; Brorsen, 1984),
sehingga disebut sebagai marjin tataniaga yang tidak fleksibel. Marjin yang tidak fleksibel memungkinkan
perubahan harga di sisi konsumsi segera ditransmisikan ke sisi produksi dan perubahan harga di sisi
produksi segera direfleksikan ke sisi konsumsi. Hal ini dalam jangka pendek dapat mengakibatkan
ketidak-stabilan harga di tingkat petani serta bagian yang diterima petani. Sementara itu, data pada Tabel
1 menunjukkan bahwa marjin tataniaga bawang merah dari Brebes ke lima daerah konsumsi selama
bulan Juni-Oktober 1997, ternyata memiliki tingkat keragaman yang tinggi (koefisien variasi > 40%).
Dengan kata lain, besaran marjin yang terjadi tidak bersifat konstan. Marjin ini dapat dikategorikan se-
bagai marjin tataniaga yang fleksibel yang besaran atau nilainya secara simultan akan menyesuaikan
dengan adanya perubahan harga di sisi produksi atau sisi konsumsi. - Dalam jangka pendek, mekanisme
marjin tersebut dapat mendorong harga di tingkat petani maupun bagian petani menjadi lebih stabil. Na-
mun, marjin tataniaga fleksibel ini secara implisit menunjukkan bahwa biaya tataniaga yang seharusnya
berhubungan langsung dengan volume fisik komoditas ternyata juga dipengaruhi oleh harga produk.
6
Tabel 1 Marjin tataniaga rata-rata bawang merah dari Brebes ke Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan
Surakarta berdasarkan data harga harian Juni-Oktober 1997 (Average marketing margin of shallot from
Brebes to Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta and Surakarta respectively based on daily price data
from June to October 1997). n=130.

Kota Marjin Rata-rata Standar Deviasi Koefisien Variasi


(City) (Average Margin) Rp./kg (Standard Deviation) (Coefficient of Variation) %
Jakarta 483, 92 207, 18 42, 81
Bandung 218, 55 191, 12 87,45
Semarang 171, 81 225, 12 131, 03
Yogyakarta 211, 62 197, 55 93, 35
Surakarta 137, 58 197, 16 143,31

Sebenarnya tidak beralasan jika marjin berubah sejalan dengan perubahan harga. Salah satu komponen
marjin adalah biaya tataniaga yang pada dasarnya didominasi oleh pengeluaran untuk tenaga kerja.
Dalam jangka pendek, upah tenaga kerja ini tidak berubah dengan adanya perubahan harga produk. Hal
ini memberikan indikasi bahwa komponen lain dari marjin tataniaga yang kemungkinan berubah adalah
keuntungan pedagang. Dengan demikian, marjin yang bersifat fleksibel memungkinkan terjadinya
penurunan (pada saat harga di tingkat petani rendah) atau peningkatan (pada saat harga di tingkat petani
tinggi) keuntungan pedagang. Kondisi seperti ini membuka peluang bagi pedagang melakukan tindakan-
tindakan spekulatif yang diarahkan untuk meningkatkan keuntungan. Kenaikan harga produk yang
diakibatkan oleh tindakan spekulatif tersebut akan dibebankan kepada konsumen dan pada akhirnya
dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi pasar.
Survai penelusuran tataniaga memberikan konfirmasi bahwa komponen biaya tataniaga total lebih
besar dibandingkan dengan komponen keuntungan total. Biaya tataniaga terbesar yang dikeluarkan

Tabel 2 Harga, biaya dan keuntungan tataniaga bawang merah berdasarkan survai telusuran tataniaga Brebes-
Jakarta, Desember 1997 (Shallot price, marketing costs and marketing profit based on road check survey
Brebes-Jakarta, Dec. 1997)

Uraian Harga Biaya Keuntungan


(Descriptions) (Price) (Cost) (Profit)
(Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg)
• Harga di tingkat petani (Farm gate price) 1 400
• Biaya tataniaga (Marketing costs) 125
• Harga di pasar Klampok (Price at Klampok market) 1 600
• Keuntungan (Profit) 75
• Biaya tataniaga (Marketing costs) 134
• Harga di Pasar Induk Kramat Jati (Price at Kramat Jati Central Market) 1 767
• Keuntungan (Profit) 33
• Biaya tataniaga (Marketing costs) 2 033
80
• Harga di pasar eceran Jakarta (Price at retail market in Jakarta)
• Keuntungan (Profit) 186
• Total biaya dan keuntungan (Total cost and profit) 339 294
• Total marjin (Total margin) 633
7
untuk membawa produk dari Brebes ke Jakarta tampaknya cukup beralasan karena transportasi yang
relatif jauh. Namun demikian, biaya ini masih mungkin ditekan (untuk meningkatkan efisiensi) seandainya
selama perjalanan berbagai retribusi informal dapat dihilangkan. Sementara itu, biaya yang cukup tinggi
dari tingkat petani ke pasar Klampok ternyata didominasi oleh pengeluaran untuk tenaga kerja (labor
intensive) penanganan, angkut dan bongkar muat. Keuntungan tataniaga yang paling tinggi terjadi pada
tingkat pedagang pengecer. Menimbang relatif rendahnya biaya tataniaga pada tingkat ini, tampaknya
terdapat indikasi bahwa keuntungan yang diperoleh pedagang cenderung berlebih. Pada tingkat
pengecer, terdapat hubungan antara tingginya keuntungan yang diambil dengan volume transaksi yang
relatif kecil, sebagai upaya pedagang untuk mempertahankan skala ekonomis dari usahanya.
Keuntungan tinggi di tingkat pedagang pengecer yang dibebankan kepada konsumen juga diakibatkan
oleh adanya peluang terbuka dari marjin tataniaga yang bersifat fleksibel. Namun demikian, berbagai
indikasi yang diperoleh dari survai telusuran tataniaga ini belum dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang
bersifat konklusif sebab kegiatan tersebut hanya dilakukan secara cross-section. Indikator-indikator
tersebut dapat digunakan sebagai bahan acuan dan dikonfirmasikan dalam kegiatan survai telusuran
tataniaga yang bersifat serial waktu.
Struktur marjin di atas secara implisit menunjukkan adanya konflik kepentingan antara produsen,
pedagang dan konsumen. Hubungan kausalitas yang tercermin dari formula marjin memberikan
gambaran bahwa usaha untuk meningkatkan kepuasan (melalui peningkatan efisiensi) ketiga pihak di
atas secara sekaligus merupakan hal yang sukar dicapai. Pada kasus di atas terdapat indikasi bahwa
struktur marjin memberikan kepuasan kepada produsen (stabilitas harga) dan pedagang (keuntungan
relatif tinggi), tetapi kurang memberikan kepuasan kepada konsumen (harga relatif tinggi).

Segmentasi dan Integrasi Pasar

Perkembangan harga rata-rata bulanan bawang merah untuk lima kota besar yang diperoleh dari
data serial waktu 1985-1996 pada dasarnya menunjukkan pola musiman yang sama. Oleh karena itu,
peubah boneka karakteristik pasar lokal (yang mencerminkan pola musiman spesifik lokasi) tidak
dimasukkan ke dalam model yang digunakan dalam analisis keterpaduan pasar. Sementara itu,
konstanta (intersep) tetap dimasukkan ke dalam model regresi untuk menangkap perbedaan tingkat
harga diantara kelima kota besar yang diakibatkan oleh variasi jarak ke daerah sumber pasokan. Analisis
segmentasi dan integrasi pasar dalam penelitian ini pada dasarnya memberikan penekanan pada arus
informasi harga bawang merah dari pasar acuan serta pemanfaatannya di pasar lokal.
Tabel 3 memperlihatkan hasil analisis model regresi perubahan harga di pasar lokal berdasarkan
data serial waktu harga harian. Perubahan harga di sentra produksi dan keempat pasar lokal secara
signifikan dipengaruhi oleh marjin harga spasial (perbedaan harga di pasar lokal hari ini dengan harga di
pasar acuan kemarin) dan perubahan harga di pasar acuan (perbedaan harga hari ini dengan harga
kemarin). Harga di pasar acuan yang berlaku hari sebelumnya/kemarin (t-1) ternyata tidak mempengaruhi
perubahan harga bawang merah di sentra produksi maupun di keempat pasar lokal. Hal ini diduga
sebagai akibat dari rendahnya variasi harga harian di pasar acuan. Pemeriksaan kembali data mentah
menunjukkan bahwa harga bawang merah di pasar acuan baru berubah (naik atau turun) setelah > 5
hari. Kontribusi peubah harga ini secara individual tidak tertangkap oleh model, tetapi jika dikombinasikan
dengan peubah harga lainnya, yaitu Pit dan Pt (sebagai Pit - Pt-1 dan Pt - Pt-1 ) maka pengaruhnya
terhadap perubahan harga di pasar lokal menjadi signifikan.

8
Tabel 3 Hasil analisis regresi harga harian bawang merah dengan perubahan harga di pasar lokal sebagai peubah tak
bebas, n=130 (Regression results of shallot daily price with price change in local market as dependent
variable, n=130)

Peubah tak bebas (Dependent variable): Brebes Bandung Semarang Yogyakarta Surakarta
Perubahan harga di pasar lokal (Change in local price) (Pit - Pit-1)
Konstanta (Intercept) 36, 519 101, 97 100, 17 121, 61 63, 201
Marjin harga spasial periode terakhir 0, 15651 0, 12287 0, 07668 0, 15199 0, 07968
(Last period’s spatial price margin) (Pit - Pt-1) (3, 194) (3, 049) (2, 567) (3, 425) (2, 466)
Perubahan harga di Jakarta 0, 26635 0, 46197 0, 55552 0, 50929 0, 51525
(Change in the reference price for the same period) (Pt - Pt-1) (3, 823) (5, 985) (9, 339) (5, 932) (9, 232)
Harga di Jakarta periode terakhir 0, 03021 - 0, 04837 - 0, 05452 - 0, 05678 - 0, 02526
(Last period’s reference price) (Pt-1 ) (0, 666) (- 1, 157) (- 1, 729) (- 1, 273) (- 0, 854)
F 16, 785 39, 159 79, 183 45, 709 72, 117
R2 0, 2855 0, 4825 0, 6534 0, 5211 0, 6320
• Angka di dalam kurung adalah nilai t yang menentukan signifikasi peubah pada tingkat kepercayaan 0,05. (Figures in parantheses are t
values which determine the significance of independent variables at 0.05)

Segmentasi antara pasar lokal dengan pasar acuan diuji melalui inferensi statistik persamaan
regresi yang diperlihatkan pada Tabel 4. Persamaan ini secara implisit telah mempertimbangkan
persyaratan segmentasi pasar, yaitu βi0 = βi1 = 0. Tabel 4 menunjukkan bahwa berdasarkan nilai F
(untuk kelayakan model) dan nilai t (untuk signifikansi peubah) semua persamaan regresi (untuk pasar
sentra produksi dan pasar lokal) dapat diterima secara statistik. Hal ini memberikan indikasi bahwa
perubahan harga di pasar i hanya dipengaruhi oleh harga periode terakhir di pasar bersangkutan.
Dengan kata lain, perubahan harga di pasar acuan (yang dapat diperoleh dari informasi harga) tidak
berpengaruh secara immediate maupun lagged terhadap harga di pasar i , sehingga pasar i dapat dika-

Tabel 4 Hasil analisis regresi untuk menguji hipotesis segmentasi pasar dengan menggunakan data harga harian
(Regression results for testing the hypothesis of market segmentation by using daily price data, n=130)
Peubah tak bebas (Dependent variable): Brebes Bandung Semarang Yogyakarta Surakarta
Perubahan harga di pasar lokal (Change in local price) (Pit - Pit-1)

Konstanta (Intercept) 172, 13 165, 39 132, 79 179, 64 133, 43


Harga di pasar lokal periode terakhir - 0, 18137 - 0, 13961 - 0, 11612 - 0, 15295 - 0, 12086
(Last period’s local price) (Pit-1 ) (- 4, 412) (- 3, 838) (- 3, 508) (- 3, 896) (- 3, 670)
F 19, 464 14, 731 12, 309 15, 178 13, 468
R2 0, 1320 0, 1032 0, 0877 0, 1060 0, 0952
• Angka di dalam kurung adalah nilai t yang menentukan signifikasi peubah pada tingkat kepercayaan 0,05. (Figures in parantheses are t
values which determine the significance of independent variables at 0.05)

tegorikan tersegmentasi. Temuan ini perlu diinterpretasikan hati-hati karena walaupun secara statistik
dapat dipertanggung-jawabkan, namun operasionalisasinya di lapangan masih perlu dipertanyakan.
Perkembangan sistem pemasaran, terutama dikaitkan dengan berbagai perbaikan infrastruktur penun-
jang cenderung mengarah pada sistem pasar yang semakin terbuka. Dengan demikian, tampaknya
kurang realistis jika harga yang terjadi pada pasar tertentu tidak dipengaruhi (berdiri sendiri) oleh
perkembangan harga (melalui informasi harga) di pasar lainnya. Konfirmasi mengenai keadaan ini dapat
diperoleh melalui pengujian hipotesis integrasi pasar.

9
Tabel 5 Hasil analisis regresi untuk menguji hipotesis integrasi pasar dengan menggunakan data harga harian, n=130
(Regression results for testing the hypothesis of short-run market integration by using daily price data, n=130)
Peubah tak bebas (Dependent variable):
Harga di pasar lokal pd saat t (Price in local market at t) (Pit ) Brebes Bandung Semarang Yogyakarta Surakarta

Konstanta (Intercept) 1123,3 1381, 8 1404, 3 1396, 0 1376, 4


Perubahan harga di Jakarta - 0, 21806 - 0, 17956 - 0, 14280 - 0, 10549 - 0, 18699
(Change in the reference price for the same period) (Pt - Pt-1) (- 1, 763) (- 1, 314) (- 1, 096) (- 0, 758) (- 1, 412)
Marjin harga spasial pada saat t-1 0, 42637 0, 93227 1, 0200 0, 98944 0, 93642
(Spatial price margin at t-1) (Pit-1 - Pt-1) (4, 687) (10,11) (11, 75) (10, 18) (9, 292)
F 11, 057 51, 327 70, 314 52, 543 43, 354
R2 0, 1483 0, 4470 0, 5255 0, 4528 0, 4057
• Angka di dalam kurung adalah nilai t yang menentukan signifikasi peubah pada tingkat kepercayaan 0,05. (Figures in parantheses are t
values which determine the significance of independent variables at 0.05)

Integrasi antara pasar lokal dengan pasar acuan diuji melalui inferensi statistik model regresi yang
diperlihatkan pada Tabel 5. Persamaan ini secara implisit telah mempertimbangkan persyaratan integrasi
pasar, yaitu βi0 = 1 dan αI - 1 = - 1. Berdasarkan uji/nilai F, model regresi untuk semua pasar pada Tabel
5 dapat dikategorikan layak secara statistik. Namun, dari dua peubah bebas yang dimasukkan ke dalam
model ternyata hanya satu yang berbeda nyata, yaitu marjin harga spasial pada saat t-1. Ditinjau dari sisi
kelayakan model, hipotesis integrasi pasar ini dapat diterima. Namun dari sisi signifikansi peubah ternyata
tidak semua informasi (misalnya perubahan harga bawang merah di pasar acuan) yang mewakili kondisi
pasar acuan diteruskan ke pasar lokal. Temuan ini mengindikasikan bahwa integrasi pasar belum terjadi
secara optimal, karena perkembangan harga di pasar acuan tidak sepenuhnya direfleksikan terhadap
harga bawang merah di pasar lokal.
Kedua temuan di atas memberikan gambaran bahwa: (a) disatu sisi, kekuatan pasar/ekonomi
secara umum telah menyebabkan perkembangan harga di pasar acuan tetap tercermin (meskipun belum
optimal) pada tingkat harga bawang merah di pasar lokal, dan (b) disisi lain, tingkat harga bawang merah
di pasar lokal secara dominan masih dipengaruhi oleh perkembangan harga di pasar bersangkutan.
Dengan kata lain, status pemasaran bawang merah sebenarnya cenderung berada di antara dua titik
ekstrim (segmentasi vs. integrasi). Kondisi ini menunjukkan bahwa pemasaran bawang merah masih
belum efisien, karena informasi harga di pasar acuan tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh pelaku
pasar di tingkat pasar lokal dalam proses determinasi harga.
Sampai sejauh mana derajat keterpaduan antara pasar lokal dengan pasar acuan dapat diukur
melalui penggunaan indeks hubungan pasar (IHP) yang dikembangkan oleh Timmer (1985). Agar
dinamika perkembangan pasar dapat ditelusuri secara lebih komprehensif, maka estimasi indeks
hubungan pasar dilakukan dengan menggunakan data yang memiliki cakupan waktu lebih luas, yaitu
data harga bulanan bawang merah 1985-1996. Tabel 6 menunjukkan bahwa harga di setiap pasar lokal
pada saat t secara signifikan dipengaruhi oleh harga di pasar bersangkutan pada saat t-1, perubahan
harga di Jakarta periode terakhir dan harga di Jakarta pada saat t-1. Dalam konteks analisis keterpaduan
pasar ternyata data harga bulanan menghasilkan indikator-indikator statistik (misalnya koefisien
determinasi dan jumlah peubah signifikan) yang lebih baik dibandingkan dengan data harga harian.
Sesuai dengan batasan Timmer (1985), jika besaran indeks semakin mendekati nol, maka derajat
keterpaduan/integrasi pasar lokal i dengan pasar acuan semakin tinggi. Tabel 6 memperlihatkan bahwa
pasar Bandung memiliki derajat keterpaduan yang paling tinggi dibandingkan dengan pasar-pasar lokal
lainnya. Besaran-besaran indeks juga mengindikasikan bahwa jarak pasar lokal ke pasar acuan
10
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap derajat keterpaduan. Semakin jauh jarak pasar lokal
terhadap pasar acuan, semakin tinggi besaran IHP yang dihasilkan, dan semakin rendah derajat
keterpaduannya.

Tabel 6 Hasil analisis regresi harga bulanan bawang merah dengan harga di pasar lokal pada saat t sebagai peubah
tak bebas dan indeks hubungan pasar, n=144 (Regression results of shallot monthly price with the current
local price as dependent variable and the index of market connection, n=144).
Peubah tak bebas (Dependent variable): Bandung Semarang Yogyakarta Surakarta
Harga di pasar lokal pada saat t (Price in local market at t) (Pit )

Konstanta (Intercept) 91, 309 0, 25665 3, 5183 1, 6534


Harga di pasar lokal pada saat t-1 0, 12248 0, 11659 0, 14514 0, 20562
(Price in local market at t-1) (Pit-1 ) (3, 203) (3, 373) (4, 748) (2, 473)
Perubahan harga di Jakarta 0, 96401 0, 89356 0, 86191 0, 86650
(Change in the reference price for the same period) (Pt - Pt-1) (23, 27) (25, 51) (26, 63) (24, 04)
Harga di Jakarta pada saat t-1 0, 81331 0, 70064 0, 66745 0, 64007
(Price in reference market at t-1) (Pt-1) (8, 888) (9, 806) (9, 800) (9, 056)
F 684, 084 973, 250 1032, 376 887, 261
R2 0, 9361 0, 9542 0, 9588 0, 9500
Indeks Hubungan Pasar (IHP) (Index of Market Connection) 0, 15 0, 17 0, 22 0, 32
• Angka di dalam kurung adalah nilai t yang menentukan signifikasi peubah pada tingkat kepercayaan 0,05. (Figures in parantheses are t
values which determine the significance of independent variables at 0.05)

KESIMPULAN

• Marjin tataniaga bawang merah tergolong ke dalam kategori fleksibel yang besarannya secara
simultan akan menyesuaikan dengan perubahan harga di sisi produksi atau konsumsi. Dalam jangka
pendek, mekanisme marjin tersebut dapat mendorong harga di tingkat petani maupun bagian petani
menjadi lebih stabil. Namun, struktur marjin ini ternyata juga memberikan peluang bagi pedagang
(terutama pedagang pengecer) untuk memperoleh keuntungan berlebih yang dibebankan kepada
konsumen (melalui harga jual lebih tinggi).
• Meskipun tidak optimal, kekuatan pasar/ekonomi secara umum telah menyebabkan perkembangan
harga di pasar acuan tetap tercermin pada tingkat harga bawang merah di pasar lokal. Sementara
itu, tingkat harga bawang merah di pasar lokal secara dominan ternyata masih dipengaruhi oleh
perkembangan harga di pasar bersangkutan. Hal ini memberikan indikasi bahwa keragaan pasar
bawang merah sebenarnya cenderung berada di antara dua titik ekstrim (segmentasi dan integrasi).
Secara implisit, kondisi tersebut menggambarkan bahwa pemasaran bawang merah masih belum
efisien, karena informasi harga di pasar acuan tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh pelaku
pasar di tingkat lokal dalam proses determinasi harga.
• Besaran relatif pengaruh segmentasi dan integrasi pasar yang digambarkan oleh indeks hubungan
pasar (IHP) menunjukkan bahwa pasar lokal Bandung memiliki derajat keterpaduan (dengan pasar
acuan) yang paling tinggi dibandingkan dengan pasar lokal lainnya.

11
• Peluang untuk mengurangi marjin tataniaga dapat ditempuh melalui peningkatan efisiensi biaya
tataniaga, terutama biaya penanganan lepas panen yang masih bersifat manual dan padat tenaga
kerja. Perbaikan komponen teknologi perlu diarahkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga
kerja dalam proses sortasi, pengeringan, pengepakan dan grading. Informasi harga yang diharap-
kan berfungsi sebagai sinyal alokasi sumberdaya bagi pelaku pasar, masih perlu ditingkatkan
akurasinya melalui perbaikan metode pengumpulan data dan perhitungan yang lebih teliti (atribut
kualitas produk yang berbeda-beda perlu diperhatikan ).

DAFTAR PUSTAKA

Ameriana, M., W.G. Koster, dan A. Asgar. 1991. Pemasaran bawang merah: Analisa praktek grading
sebagai dasar untuk standardisasi kualitas. Bul. Penel. Hort., Edisi Khusus, 20(1): 39-48.
Barker, J. W. 1981. Marketing management and the farmer. J. Agr. Econ., 32(2): 355-363.
Brorsen, B. W., W.R. Grant, J.W. Richardson, and L.D. Schnake. 1984. Impacts of price variability on
marketing margin and producer viability in the Texas wheat industry. Western J. Agr. Econ.,
9(2): 342-352.
Buccola, S.T. 1989. Pricing efficiency in agricultural markets: Issues, methods, and results. Western J.
Agr. Econ., 14(1):111-121.
Cochrane, W.W. 1967. The market as a unit of inquiry in agricultural economics research. J. Farm Econ.,
39:21-39
Gardner, B. 1975. The farm retail price-spread in a competitive food industry. Amer. J. Agr. Econ., 57(3):
399-409.
Harris, B. 1979. There is method in my madness or it is vice versa: Measuring agricultural market
performance. Food Res. Inst. Studies. 17(2): 197-218.
Heytens, P.J. 1986. Testing market integration. Food Res. Inst. Studies, 20(1): 34-49.
Institut Pertanian Bogor & Badan Urusan Logistik. 1996. Identifikasi pola ketersediaan dalam hubungan
dengan distribusi, konsumsi dan produksi bawang merah sebagai upaya mengendalikan
kontribusinya terhadap inflasi. Laporan Penelitian Kerjasama Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Urusan Logistik.
Jones, W.O. 1968. The structure of staple food marketing in Nigeria as revealed by price analysis. Food
Res. Inst. Studies. 7(2): 95-123.
Koster, W.G. and R.S. Basuki. 1991. The structure, performance and efficiency of the shallot marketing
system in Java. Internal Comm. LEHRI/ATA-395 No. 35.
Lele, U.J. 1967. Market integration: A study of sorghum prices in West India. J. Farm Econ., 49: 147-159.
Leuthold, R.M. and P.A. Hartmann. 1979. A semi strong form evaluation of the efficiency of the hog
futures market. Amer. J. Agr. Econ., 67(4): 482-489.
Ravallion, M. 1985. The performance of rice markets in Bangladesh during the 1974 famine. The
Economic Journal, 53(4): 474-486.
Ravallion, M. 1986. Testing market integration. Amer. J. Agr. Econ.. 88(1): 102-109.
Timmer, C. 1985. Corn marketing and the balance between domestic production and con-sumption.
Working Paper no. 14, Bulog-Stanford Corn Project.

12

Anda mungkin juga menyukai