Anda di halaman 1dari 11

1

KENTANG DAN KETAHANAN PANGAN: IMPLIKASI TERHADAP


KEBIJAKAN PROGRAM PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Witono Adiyoga
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jalan Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung - 40391

Bagi Indonesia dengan beras sebagai makanan pokok, fenomena semakin meningkatnya harga dan impor beras merupakan indikasi
merapuhnya ketahanan pangan. Berbagai studi telah memprediksi bahwa ketahanan pangan berkelanjutan tidak mungkin dapat terwujud jika
tidak disertai dengan penguatan program diversifikasi. Komparasi dengan bahan pangan utama lain menunjukkan bahwa kentang memiliki
potensi dan prospek yang baik untuk mendukung program diversifikasi dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan. Sampai
saat ini, penelitian kentang di Indonesia masih merupakan penelitian komoditas yang memposisikan kentang sebagai salah satu jenis tanaman
sayuran. Oleh karena itu, jika kentang hendak direkomendasikan sebagai tanaman ketahanan pangan, prioritasinya perlu dipertimbangkan
tidak lagi sebagai komoditas sayuran, tetapi sebagai salah satu komoditas prioritas non-beras (pangan). Perbaikan kebijakan yang mendorong
penajaman program penelitian pemuliaan untuk menempatkan pencapaian output (pelepasan varietas) dan pencapaian outcome (adopsi
varietas) secara proporsional juga harus segera dilakukan. Re-evaluasi varietas yang telah dilepas harus dilaksanakan sampai tuntas untuk
memperoleh umpan balik bagi program perakitan varietas baru agar tidak berhenti di tahap pelepasan saja, tetapi terus berlanjut sampai tahap
adopsi (measurable impact). Kebijakan pengembangan varietas perlu dirancang secara komprehensif dan melembaga untuk mendorong: (a)
peningkatan partisipasi petani, konsumen, prosesor dan stakeholders lainnya dalam proses seleksi varietas; (b) peningkatan pengetahuan
peneliti/pemulia tentang karakteristik-karakteristik varietas utama yang dikehendaki oleh petani, konsumen, prosesor dan stakeholders lainnya;
(c) peningkatan kemampuan peneliti/pemulia untuk merancang, mendokumentasi dan menganalisis persepsi stakeholders dalam seleksi
varietas; (d) perhatian lebih serius terhadap tahapan on-farm evaluation under farmer managed conditions; dan (e) perbaikan strategi bisnis
program nasional untuk memproduksi benih berkualitas dengan jumlah yang cukup pada saat menginisiasi kegiatan diseminasi dan difusi
varietas, segera setelah varietas tersebut dilepas. Berbagai masalah kelembagaan ini hanya dapat diatasi jika didukung oleh kebijakan
pengembangan varietas kentang yang juga mengakomodasi promosi varietas dan strategi diseminasi/difusi yang inovatif. Kebijakan
ketahanan benih harus memberlakukan berbagai aturan dan regulasi seperti prosedur pelepasan varietas, intellectual property rights, program
sertifikasi, dan standarisasi secara setara dan proporsional terhadap sistem formal dan informal. Sehubungan dengan itu, kebijakan penelitian
dan pengembangan sistem perbenihan kentang perlu memberikan penekanan terhadap (a) harmonisasi distribusi benih dan varietas untuk
menghindarkan marginalisasi kontribusi sistem informal terhadap sistem perbenihan kentang nasional, serta (b) identifikasi titik-titik keterkaitan
antara sistem formal dan informal agar dapat bersinergi, sehingga setiap sistem dapat menawarkan kekuatannya masing-masing untuk
mencapai manfaat bersama. Tuntutan peningkatan produksi kentang untuk mendukung ketahanan pangan tentu akan menimbulkan tekanan
yang lebih tinggi terhadap ekosistem dataran tinggi. Jika pendekatan penelitian mainstream tetap dipertahankan, maka akan sulit untuk
menghindarkan kerusakan lingkungan yang lebih hebat sebagai akibat dari timbulnya erosi, longsor, deforestasi, serta punahnya habitat,
keragaman genetik dan kearifan lokal. Oleh karena itu, diperlukan adanya perubahan paradigma penelitian dan pengembangan yang dapat
membawa keluar produksi kentang, ekosistem dan kesehatan manusia dari sindrom ketidak-berlanjutan (unsustainable syndrome).

Kata kunci: ketahanan pangan; diversifikasi pangan; kentang; komoditas prioritas; penelitian dan pengembangan.

ABSTRACT. Adiyoga, W. Potato and food security: Implications to research and development program policies. Indonesia has rice as a
staple food, so that the increase of price and import of rice may indicate the vulnerability of national food security. Some studies have predicted
that sustainable food security will not be successfully achieved without strong support from food diversification program. Comparable to other
main food crops, potato has potentials and good prospects to support the efforts of realizing sustainable food security. Potato in Indonesia is
still considered as one of vegetable crops. If potato is recommended as one of food security crops, its priority should be reconsidered not as a
vegetable crop, but as one of prioritized non-rice crops (food crops). Policy improvement should also be carried out to sharpen potato breeding
research that puts proportional emphasis on outputs (variety released) and outcomes (variety adopted). Meanwhile, varieties previously
released should be re-evaluated thoroughly to obtain feedbacks for the new variety breeding program to have measurable impacts. Potato
varietal development program policies should be designed to tackle some institutional problems by (a) increasing the participation of farmers,
consumers, processors and other stakeholders (clients) in variety selection process, (b) improving researchers’ knowledge of key variety
characteristics preferred by farmers, processors, consumers and other stake holders, (c) strengthening the ability of national program scientists
to design, record and analyze stakeholders perceptions in variety selection, (d) strengthening on-farm evaluation - testing varieties under
farmer managed conditions, and (e) establishing a clear business strategy by national programs to produce enough quantity of quality seed for
launching variety diffusion immediately or shortly after naming of a new variety. An innovative variety promotion and diffusion strategy should
also be designed to empower this varietal development program. Policies for seed security should encourage the implementation of rules and
regulations, such as variety release procedures, intellectual property rights, certification programs, and seed standards to both formal and
informal seed system consistently. Furthermore, potato seed system research and development policies should be designed to (a) harmonize
the seed and variety distribution legal framework that currently only benefits formal seed system, while marginalizing the contribution of farmer
or informal seed systems to national seed demand, and (b) provide linkage points for formal and informal systems for developing synergies
where each system will offer its strengths for mutual benefit. Demand for potato yield increase to support national food security will cause more
pressures to the highland ecosystem. A constant use of mainstream research approach that traditionally treats food production as a separate
domain of enquiry from the management of natural resources and the environment will face a difficulty to avoid devastating environmental
degradation caused by soil erosion, landslides and deforestation, or loss of habitat, genetic diversity and indigenous knowledge. A shift in
research paradigm is needed to lever food production and ecosystem and human health out of the current unsustainable syndrome.

Key words: food security; food diversification; potato; priority commodity; research and development.
2

Debat periodik menyangkut pertanyaan apakah dunia akan menghadapi kekurangan


atau kelebihan pasokan pangan tampaknya mulai terjawab dari beberapa indikasi krisis
pangan di berbagai belahan dunia. Krisis pangan kali ini telah menjadi isu global terbesar abad
ke-21, yang menimpa 36 negara di dunia, termasuk Indonesia. Inti dari masalah krisis pangan
global saat ini pada dasarnya adalah terjadinya kelebihan permintaan, sementara itu pada
waktu yang bersamaan, penawaran atau pasokan di pasar dunia terbatas dan cenderung terus
menurun. Kajian dari lembaga-lembaga internasional, misalnya FAO menunjukkan bahwa
penurunan pasokan dan ketersediaan pangan serta dampak dari perubahan iklim global telah
mengakibatkan tidak saja peningkatan harga komoditas, tetapi juga perubahan struktur
perdagangan komoditas pertanian secara global (IFPRI, 2002).
Beberapa tahun terakhir ini, ketahanan pangan di Indonesia juga menunjukkan kondisi
yang mulai mengkhawatirkan. Sebagai negara agraris yang kaya sumber daya alam, Indonesia
masih menjadi negara pengimpor produk pertanian terbesar di dunia (Sucipto, 2008). Hasil per
satuan luas yang relatif masih rendah dan cenderung semakin menurun dari beberapa
komoditas penting seperti beras, kedelai, jagung dan tebu, ternyata juga disertai oleh konversi
lahan pertanian produktif yang sangat cepat. Berbagai kasus bencana kelaparan dan kurang
gizi, seperti di Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Papua, bahkan di Jawa Barat juga
menunjukkan intensitas tinggi dan cakupan yang semakin luas. Merapuhnya ketahanan
pangan juga ditandai oleh harga dan pemenuhan kebutuhan pokok berbasis pertanian yang
cenderung mulai lebih banyak dikendalikan oleh negara lain. Pengaruh multidimensi dari
ketersediaan pasokan, distribusi, dan pendapatan pangan telah memperparah kompleksitas
masalah ketahanan pangan di Indonesia (Tambunan, 2008).
Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia)
menyatakan bahwa pemenuhan pangan rakyat merupakan salah satu bagian dari hak asasi
manusia (HAM). Dalam konteks ini, agar terhindar dari pelanggaran HAM, negara harus
memposisikan diri sebagai penanggung jawab utama untuk memenuhi kebutuhan pangan
rakyatnya (Simatupang, 1999). Krisis pangan juga sering dianggap sebagai suatu masalah
yang bermuara pada situasi hilangnya kedaulatan atas pangan. Sementara itu, kedaulatan
pangan merupakan hak setiap bangsa/masyarakat untuk menetapkan pangan bagi diri sendiri
dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, serta menghindarkan penggunaannya sebagai
alat atau kekuatan di pasar internasional. Pengembangan pangan di Indonesia diarahkan
untuk mengembangkan sistem ketahanan pangan berbasis keberagaman sumberdaya bahan
pangan, kelembagaan dan budaya lokal, dalam rangka menjamin ketersediaan pangan dan
nutrisi yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan pening-
katan pendapatan petani yang berbasis sumberdaya nasional secara efisien dan berkelanjut-
an, menuju masyarakat yang sejahtera. Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan
pangan tersebut mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli),
dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi), dimensi nilai-nilai budaya dan religi
(pola pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif dan produktif serta halal), dimensi
keamanan pangan (kesehatan), serta dimensi waktu (tersedia secara berkesinambungan)
(Suryana, 2001).
Kata kunci berbasis keberagaman sumberdaya bahan pangan menjadi sangat penting
untuk dikaji karena semakin tingginya ketidak-pastian dalam sistem perberasan nasional yang
selama ini merupakan tumpuan utama ketahanan pangan di Indonesia. Padi atau beras adalah
komoditas strategis, karena merupakan bahan pangan pokok bagi hampir seluruh rakyat
Indonesia. Selain memiliki nilai ekonomis, beras juga mengandung nilai psikologis, sosial dan
politik. Namun demikian, sejak tahun 1994 situasi perberasan Indonesia mulai tidak menentu,
karena setelah swasembada beras tahun 1984 produksi beras cenderung terus menurun dan
tidak stabil. Produksi beras dalam negeri tidak lagi dapat diandalkan, sehingga saat ini
Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia. Dalam situasi
3

perekonomian yang tidak menentu, impor beras bukanlah persoalan yang sederhana karena
pemerintah harus memiliki cadangan devisa yang besar. Cadangan devisa menjadi faktor
krusial karena impor beras tidak dapat menggunakan rupiah. Merosotnya nilai rupiah secara
langsung akan memperburuk posisi daya beli Indonesia tehadap komoditas impor. Penipisan
cadangan devisa, stagnasi produksi beras serta masalah akses terhadap pasar merupakan
sebagian dari kompleksitas permasalahan yang berpotensi besar terhadap merapuhnya
ketahanan pangan nasional. Pembangunan pertanian di masa lalu tidak dapat dipungkiri terlalu
bias pada padi dan beras. Sebagian besar upaya inovasi dan pengembangan teknologi
pertanian masa lalu lebih difokuskan pada padi dan beras, sehingga program pengembangan
untuk bahan pangan lainnya berjalan sangat lamban, bahkan jauh tertinggal dibanding negara-
negara Asia lainnya. Dengan demikian, pada saat kebijakan diversifikasi konsumsi pangan
digalakkan untuk mengurangi ketergantungan pada beras, kemampuan untuk menyediakan
produk pangan non-beras Indonesia menjadi tidak memadai dan kesempatan ini dimanfaatkan
oleh masuknya bermacam produk pangan impor.
Kondisi aktual ketahanan pangan saat ini tidak pelak lagi menuntut komitmen yang
lebih tinggi untuk mengimplementasikan program diversifikasi konsumsi pangan. Dua aspek
utama yang perlu diperhatikan dalam menggalakkan kembali program diversifikasi adalah
aspek konsumsi pangan dan aspek pemberdayaan pangan masyarakat dan penganeka-
ragaman konsumsi. Aspek konsumsi pangan mencakup: (a) pengembangan dan pemanfaatan
potensi sumber-sumber pangan karbohidrat lain dan pengembangan usaha penyediaan bahan
pangan sumber protein, (b) penerapan teknologi untuk pengembangan pangan, dan (c)
pengembangan pola konsumsi dengan memperhatikan kondisi budaya masyarakat.
Sementara itu, aspek pemberdayaan pangan masyarakat dan penganeka-ragaman konsumsi
mencakup: (a) peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pemahaman
akan pentingnya pangan bergizi, (b) diversifikasi konsumsi pangan untuk memperoleh
keragaman konsumsi zat gizi, dan (c) pengembangan pola konsumsi pangan dengan cara
penganekaragaman pangan baik dari bahan pangan pokok dan semua bahan pangan lainnya,
termasuk sayuran dan buah.
Studi ini diarahkan untuk mengkaji potensi kentang sebagai salah satu alternatif
komoditas pendukung ketahanan pangan serta implikasinya terhadap kebijakan program
penelitian dan pengembangan.

BAHAN DAN METODE

Studi ini merupakan pengkajian yang memanfaatkan pendekatan/metode studi meja


dan studi pustaka, serta dilaksanakan pada kurun waktu Maret-Juli 2008. Pustaka menyangkut
perkembangan keamanan pangan, komoditas kentang dan prioritas program penelitian/
pengembangan sayuran nasional dan global dikaji secara kontekstual untuk menjajagi
kemungkinan memposisikan kentang sebagai komoditas keamanan pangan serta menelusuri
implikasinya terhadap kebijakan penelitian/pengembangan. Penelusuran ini juga didukung oleh
data produksi, konsumsi dan nutrisi komoditas kentang dari berbagai publikasi yang diterbitkan
oleh Direktorat Jenderal Hortikultura serta FAOSTAT. Sistematika studi dirancang mengikuti
tahapan: (a) identifikasi isu aktual berdasarkan urgensi dan cakupan nasional maupun
regional, (b) pengumpulan data/informasi melalui kaji ulang referensi/pustaka dan data
sekunder, dan (c) sintesis data/informasi menjadi pokok-pokok bahasan studi.
4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Kentang – Perspektif Kandungan Gizi dan Agronomis

Kentang merupakan salah satu jenis tanaman umbi yang dapat memproduksi
makanan bergizi lebih banyak dan lebih cepat, namun membutuhkan hamparan lahan lebih
sedikit dibandingkan dengan tanaman pangan utama lainnya. Lebih dari 85% bagian tanaman
dapat dimakan, dibandingkan dengan hanya sekitar 50% dari tanaman serealia. Kentang kaya
akan karbohidrat sehingga merupakan bahan pangan yang baik untuk sumber enerji. Pada
basis bobot segar, kentang memiliki kandungan protein tertinggi dibanding tanaman ubi-ubian
dan umbi-umbian lainnya. Kandungan protein tersebut berkualitas tinggi karena dicirikan oleh
pola asam amino yang cocok dengan kebutuhan manusia. Sebutir kentang ukuran medium
mengandung sekitar setengah vitamin C dan seperlima potasium dari rekomendasi serapan
asupan harian. Jika dibandingkan dengan pangan utama padi, kentang ukuran sedang (173 gr)
mengandung 160 kalori, vitamin C (30% RDA), kalsium (2% RDA) and zat besi (10% RDA),
sedangkan padi (ekivalen 173 gr) hanya mengandung 169 kalori dan zat besi (1% RDA).
Penanaman kentang perlu waktu 90-100 hari sampai panen, sementara itu padi baru
selesai panen setelah 120-140 hari. Penanaman kentang juga memerlukan air dan lahan yang
lebih sedikit dibanding padi. Per satuan luas dan per unit waktu, kentang menghasilkan bahan
makanan/pangan yang lebih banyak dibanding padi. Komparasi dengan bahan pangan utama
ini menunjukkan bahwa kentang memiliki potensi dan prospek yang baik untuk mendukung
program diversifikasi dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan (The
International Potato Center, 2008).

Potensi Kentang – Perspektif Pasokan Global dan Nasional

Dari sisi pasokan, sektor kentang dunia sebenarnya sedang mengalami perubahan-
perubahan besar. Sampai awal 1990an, sebagian besar pasokan kentang diproduksi dan
dikonsumsi di Eropa, Amerika Utara dan negara-negara bekas Rusia. Namun setelah periode
tersebut, terjadi peningkatan produksi dan permintaan kentang yang dramatis di Asia, Afrika
dan Amerika Latin. Produksi kentang di wilayah ini pada awal 1960an hanya sekitar 30 juta ton,
kemudian meningkat menjadi lebih dari 165 juta ton pada tahun 2007. Data FAO bahkan
menunjukkan bahwa sejak tahun 2005, produksi kentang di negara-negara berkembang
(developing world) telah melampaui produksi kentang di negara-negara maju (developed
world). China pada saat ini merupakan negara penghasil kentang terbesar serta sepertiga dari
produksi kentang dunia berasal dari China dan India. Perubahan ini juga mengindikasikan
kecenderungan bergesernya produksi kentang ke wilayah-wilayah yang penduduknya banyak
mengonsumsi padi/beras.
Rata-rata hasil per satuan luas kentang dunia pada tahun 2007 adalah sebesar 16.64
ton/ha. Hasil per satuan luas kentang tertinggi dan terendah pada tahun 2007 dicapai secara
berturut-turut oleh negara-negara di wilayah Amerika Utara (36.79 ton/ha) dan negara-negara
di Afrika (10.86 ton/ha). Sementara itu, untuk wilayah Eropa, Amerika Latin dan Asia/Oceania
masing-masing mencapai 17.27 ton/ha; 16.58 ton/ha; dan 15.69 ton/ha. Hampir setengah dari
pasokan kentang dunia untuk bahan makanan (218 129 000 ton) dikonsumsi oleh penduduk
Asia (101 756 000). Namun demikian, jumlah penduduk Asia yang sangat besar menyebabkan
konsumsi per kapita kentang 2005 di wilayah ini tergolong sedang (25.83 kg/kapita). Rata-rata
konsumsi kentang per kapita dunia mencapai 33.68 kg/kapita, sedangkan konsumsi per kapita
tertinggi dicapai oleh Eropa (96.15 kg/kapita), kemudian secara berturut-turut diikuti oleh
5

Amerika Utara ( 57.94 kg/kapita); Asia/Oceania (25.83 kg/kapita); Amerika Latin (23.65
kg/kapita); dan Afrika (14.18 kg/kapita) (FAO, 2008).
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran penting di
Indonesia. Produksi kentang telah berkembang dengan pesat selama dekade terakhir dan
Indonesia telah menjadi negara penghasil kentang terbesar di Asia Tenggara. Antara periode
1970-2006, produksi kentang di Indonesia meningkat rata-rata sebesar 5 persen per tahun.
Produksi total tahunan meningkat dari sekitar 120 ribu ton pada tahun 1970 menjadi lebih dari ke 1
juta ton pada tahun 2006. Luas area kentang pada tahun 2006 mencapai lebih dari 60 ribu hektar.
Hasil kentang per hektar juga meningkat dari sekitar 6 ton per ha pada awal tahun 1970 an,
menjadi ke 16.9 ton per ha pada tahun 2006. Peningkatan produksi kentang tidak saja dihela oleh
nilai ekonomis komoditas tersebut, tetapi juga oleh trend konsumsi yang menunjukkan kenaikan
dari tahun ke tahun. Data Susenas (2003, 2005 dan 2005) menunjukkan peningkatan konsumsi
per kapita yang cukup konsisten, yaitu berturut-turut sebesar 1.61; 1.82; dan 1.92 kg/kapita.
Sementara itu, ketersediaan kentang per kapita untuk tahun-tahun 2003, 2004 dan 2005 ternyata
cukup leluasa, yaitu masing-masing sebesar 4.38; 4.61 dan 4.30 kg/kapita .
Berkaitan erat dengan tingkat adaptabilitasnya, pertanaman kentang di Indonesia
tersebar terutama di daerah dataran tinggi. Berdasarkan data produksi dan areal tanam,
pertanaman kentang tercatat di 18 propinsi, kecuali Riau, DKI Jaya, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi
Tenggara. Tiga sentra produksi kentang utama di Indonesia berturut-turut adalah Jawa Barat,
Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Ketiga sentra produksi tersebut rata-rata menyumbang
75% dari total areal panen dan 80% dari produksi total setiap tahun. Kelompok sentra
berikutnya adalah Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Jawa Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi
Selatan yang memberikan kontribusi 21% dari total areal panen dan 19% dari total produksi
(Adiyoga et al., 2004). Walaupun dikembangkan pada agroekosistem yang relatif sama,
produktivitas yang dicapai oleh setiap propinsi ternyata cukup beragam. Hal ini mengindi-
kasikan adanya perbedaan intensitas pengelolaan antar sentra produksi yang tercermin dari
perbedaan kualitas dan/atau kuantitas masukan yang digunakan.

Potensi Kentang Mendukung Ketahanan Pangan – Pengalaman di Negara Lain

Kentang sebaiknya tidak diposisikan sebagai alternatif makanan pokok, tetapi sebagai
bahan pangan pelengkap. Secara bertahap, kebiasaan makan harus diubah dengan mening-
katkan konsumsi kentang dalam menu makanan sehari-hari. Peningkatan konsumsi kentang
tidak saja dapat menurunkan permintaan beras dan memelihara stabilitas harganya, tetapi juga
dapat memenuhi kebutuhan gizi konsumen. Pengalaman di Bangladesh menunjukkan bahwa
penduduk/konsumen perlu diberi motivasi agar mengonsumsi lebih banyak kentang dan
diyakinkan bahwa peningkatan konsumsi tersebut dapat menjamin ketahanan pangan
domestik berkelanjutan serta memungkinkan petani untuk memperoleh harga jual yang pantas
(fair). Pada saat ini, kentang merupakan komoditas kedua terpenting setelah padi. Konsumsi
kentang meningkat dari 7 kg/kapita pada tahun 1991, menjadi 24 kg/kapita pada tahun 2007.
(Thaindian News, 2008).
Strategi jangka panjang yang dirancang FAO untuk meringankan tekanan inflasi harga
pangan adalah melalui diversifikasi pangan berbasis kebutuhan nutrisi serta kebersaingan
komoditas. Kentang dianggap sebagai salah satu tanaman yang memiliki tingkat kerawanan
rendah terhadap perilaku atau temperamen pasar internasional. Oleh karena itu, pengembangan
budidaya kentang juga direkomendasikan terhadap Kenya untuk memperbaiki ketahanan pangan
nasionalnya pada saat harga sereal (biji-bijian) meningkat tajam. Di Peru, konsumen didorong
6

untuk mengonsumsi roti berbahan dasar tepung kentang untuk mereduksi inflasi harga pangan
yang dihela oleh mahalnya harga tepung terigu (The Economic Times, 2008).
Peningkatan ekspor kentang dari Amerika ke Mexico bukan saja disebabkan oleh
tumbuhnya sektor industri turisme, tetapi juga karena penduduk Mexico mencari alternatif bahan
pangan selain jagung (maize) yang harganya semakin meningkat (Jagger, 2007). Konsumen di
negara Baltik, Latvia banyak yang beralih ke kentang sebagai bahan pangan pelengkap. Harga
tepung gandum yang melonjak tajam menyebabkan turunnya penjualan roti sebesar 10-15 persen
pada bulan Januari dan Pebruari, sementara itu terjadi peningkatan konsumsi kentang sebesar
20% (Reuters, 2008a).
Negara-negara di Asia mulai mempertimbangkan kentang sebagai komoditas penyelamat
masa depan untuk memberi makan penduduknya pada tingkat harga yang pantas. Penduduk di
wilayah ini diperkirakan akan meningkat sebesar 35%, menjadi 4.9 milyar pada tahun 2025.
Banyak pemerintahan mengkhawatirkan akan adanya potensi kekacauan sosial yang diakibatkan
oleh terus meningkatnya harga pangan, sehingga ketahanan pangan menjadi sesuatu yang
sangat vital bagi wilayah ini. Sehubungan dengan itu, India memasang target produksi kentang
dua kali lebih tinggi untuk sepuluh tahun ke depan. China yang merupakan negara konsumen
beras, pada saat ini telah menjadi negara penghasil kentang terbesar di dunia (Reuters, 2008b).
Kentang juga telah terbukti memiliki prospek yang terus membaik di Bhutan. Kebutuhan
domestik diperkirakan akan meningkat 7-10% per tahun sebagai akibat dari pertumbuhan
penduduk secara umum; pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat, serta peningkatan tingkat
konsumsi secara keseluruhan. Kentang dari Bhutan juga mendapat pasar yang baik di India.
Berdasarkan keberhasilan pengembangan serta persepsi oportunitas, petani, perencana dan
pengambil keputusan di Bhutan mentargetkan kentang sebagai salah satu penyumbang utama
pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan di pedesaan, serta
pengurangan tingkat migrasi (Swiss Agency for Development and Cooperation, 2008a).
Kentang merupakan tanaman tipikal untuk petani skala kecil, karena secara optimal dapat
memanfaatkan lahan sempit untuk memproduksi bahan makanan dan menghasilkan pendapatan.
Peningkatan produktivitas kentang di Nepal, Mongolia dan DPR Korea telah memposisikan
kentang tidak saja sebagai bahan pangan pokok terpenting, tetapi juga sebagai cash crop bagi
petani kecil. Sebagian besar produksi kentang dijual segar di pasar domestik dan sebagian
lainnya digunakan sebagai bahan baku produk olahan, misalnya chips di Bhutan atau tepung
kentang di DPR Korea untuk pembuatan mie.

Kentang dan Ketahanan Pangan - Implikasi Terhadap Kebijakan Program Penelitian dan
Pengembangan

Diversifikasi pangan merupakan salah satu upaya dukungan mewujudkan ketahanan


pangan yang telah diprogramkan Departemen Pertanian. Langkah ini merupakan realisasi dari
pelaksanaan Peraturan Pemerintah RI No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan. Penganeka-
ragaman pangan pada dasarnya diarahkan untuk mendukung terjaminnya ketersediaan
pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam, serta tersebar merata di seluruh
wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Upaya ini juga sangat penting
untuk mengatasi masalah ketergantungan pada satu bahan pangan pokok (beras/padi) saja.
Diversifikasi pangan sebenarnya bukan gagasan baru karena sejak 20 tahun terakhir selalu
disosialisasikan sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan pangan. Sebagai contoh, pemerintah
telah berupaya mempromosikan gaplek dan jagung sebagai alternatif beras atau bahan
campuran beras. Namun demikian, upaya ini tidak didukung oleh kebijakan pertanian tanaman
pangan yang memberikan penekanan komitmen untuk mendorong produksi pangan non-beras.
Hal ini mengakibatkan perkembangan serta ketersediaan bahan pangan non-beras tersebut
7

masih tetap terkendala. Kecenderungan serupa juga terjadi pada kentang yang selama 10
tahun terakhir merupakan salah satu komoditas prioritas dalam program penelitian dan
pengembangan sayuran di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Dalam konteks
potensi dukungannya terhadap ketahanan pangan, prioritasi tersebut perlu dipertimbangkan
kembali, karena kentang diposisikan tidak berbeda dengan dua komoditas prioritas sayuran
lainnya, yaitu cabai merah dan bawang merah. Dengan kata lain, kentang masih diposisikan
sebagai salah satu komoditas sayuran, bukan salah satu komoditas non-beras (pangan).
Jika kentang hendak diposisikan sebagai komoditas umbi pendukung ketahanan
pangan, maka perlu dirancang target-target tertentu yang pada akhirnya akan memandu
kebijakan penelitian pengembangan untuk merealisasikannya. Menimbang konsumsi per
kapita kentang di Indonesia yang relatif rendah (2 kg/kapita), tampaknya program pengem-
bangan pemacuan produksi harus disertai dengan upaya-upaya yang bersifat demand driving.
Dalam kaitan ini, target utama yang harus ditetapkan adalah peningkatan konsumsi per kapita.
Penetapan target ini juga harus dilakukan secara hati-hati dan seksama, disesuaikan dengan
dukungan sumberdaya yang tersedia. Berbeda dengan peningkatan konsumsi terigu yang
cenderung menguras devisa, pemacuan konsumsi kentang tidak akan berdampak signifikan
terhadap stabilitas perekonomian nasional karena komponen impor dalam kentang relatif
rendah. Namun demikian, sesuai dengan karakteristik kentang yang hanya beradaptasi baik di
dataran tinggi, hal penting yang perlu diantisipasi adalah dampak negatif terhadap sumberdaya
alam ekosistem tersebut akibat dari upaya-upaya peningkatan produksi. Oleh karena itu,
program penelitian dan pengembangan kentang harus diarahkan tidak saja untuk memperoleh
terobosan peningkatan produksi per satuan luas, tetapi juga komitmen penuh untuk upaya-
upaya mitigasi kerusakan lingkungan.
Survai yang dilakukan Fuglie (2007) menunjukkan bahwa berdasarkan urutan
kepentingannya (ranking), prioritas penelitian kentang di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia, secara berturut-turut adalah sebagai berikut: (1) pengendalian late blight fungal
disease, melalui penciptaan varietas resisten dan perbaikan teknik budidaya/pengelolaan; (2)
perbaikan material genetik berpotensi daya hasil tinggi, stabil dan sesuai preferensi konsumen,
melalui penciptaan varietas baru dan kegiatan-kegiatan pra-pemuliaan; (3) perbaikan pasokan
benih kentang bermutu, melalui pengelolaan sistem perbenihan dan produksi benih; (4)
pengendalian virus dan vektor-vektornya, melalui penciptaan varietas resisten, perbaikan
produksi benih dan teknik budidaya/pengelolaan; dan (5) pengendalian bacterial wilt, melalui
penciptaan varietas resisten dan perbaikan teknik budidaya/pengelolaan. Dalam lima tahun
terakhir, penyebaran nematoda sista kuning (NSK) juga menunjukkan perkembangan yang
semakin mengkhawatirkan dan memerlukan perhatian lebih serius. Secara umum, prioritas
penelitian ini masih sangat relevan untuk Indonesia, namun jika kentang diposisikan sebagai
salah satu komoditas utama pendukung ketahanan pangan, beberapa perubahan dan
penajaman perlu dilakukan untuk mengakomodasi kondisi spesifik Indonesia. Perubahan dan
penajaman tersebut harus disesuaikan dengan status sosial-ekonomi kentang serta status
penelitian kentang di Indonesia.
Core dari kegiatan penelitian pemuliaan adalah pelepasan varietas baru yang di-
arahkan untuk mengatasi kerentanan terhadap hama penyakit dan cekaman klimatis;
perbaikan kualitas rasa, tekstur dan kandungan gizi; perbaikan potensi daya hasil; perbaikan
kemudahan pengelolaan; serta kesesuaian pasar. Sementara itu, sistem akuntabilitas pene-
litian dalam 15-20 tahun terakhir cenderung menggiring dan menggunakan jumlah varietas
baru yang dilepas sebagai salah satu indikator keberhasilan. Dengan demikian, kegiatan
pemuliaan cenderung terhenti setelah pencapaian output (varietas baru), sedangkan
pencapaian outcome (adopsi varietas baru) yang pada dasarnya merupakan return of
investment dari kegiatan penelitian pemuliaan cenderung terkesampingkan. Hal ini secara
langsung terefleksi dari belasan varietas baru kentang yang dilepas Balitsa dalam 20 tahun
8

terakhir, hanya varietas Granola Lembang yang secara aktual mendapat respon dari petani
(walaupun data penyebarannya belum terdokumentasi dengan baik). Dalam konteks dukungan
nyata terhadap ketahanan pangan, perbaikan kebijakan yang mendorong penajaman program
penelitian pemuliaan untuk menempatkan pencapaian output dan pencapaian outcome secara
proporsional harus segera dilakukan. Salah satu upaya yang patut dipertimbangkan adalah
bersamaan dengan merancang program perakitan varietas baru, kegiatan re-evaluasi varietas
yang telah dilepas juga harus dilaksanakan sampai tuntas. Hasil re-evaluasi dapat digunakan
sebagai umpan balik bagi program perakitan varietas baru agar tidak berhenti di tahap
pelepasan saja, tetapi terus berlanjut sampai tahap adopsi (measurable impacts).
Penyediaan alternatif varietas untuk mendukung ketahanan pangan merupakan
necessary condition agar keberagaman eko-regional dan sosial-ekonomi konsumen (prefe-
rensi, kemampuan daya beli, dsb.) dapat difasilitasi oleh ketersediaan varietas lokal spesifik.
Kebijakan pengembangan varietas perlu dirancang secara komprehensif dan melembaga
untuk mendorong: (a) peningkatan partisipasi petani, konsumen, prosesor dan stakeholders
lainnya dalam proses selekasi varietas; (b) peningkatan pengetahuan peneliti/pemulia tentang
karakteristik-karakteristik varietas utama yang dikehendaki oleh petani, konsumen, prosesor
dan stakeholders lainnya; (c) peningkatan kemampuan peneliti/pemulia untuk merancang,
mendokumentasi dan menganalisis persepsi stakeholders dalam seleksi varietas; (d) perhatian
lebih serius terhadap tahapan on-farm evaluation under farmer managed conditions; dan (e)
perbaikan strategi bisnis program nasional untuk memproduksi benih berkualitas dengan
jumlah yang cukup pada saat menginisiasi kegiatan diseminasi dan difusi varietas, segera
setelah varietas tersebut dilepas. Berbagai masalah kelembagaan ini hanya dapat diatasi jika
didukung oleh kebijakan pengembangan varietas kentang yang juga mengakomodasi promosi
varietas dan strategi diseminasi/difusi yang inovatif.
Pada saat kentang diposisikan sebagai salah satu komoditas umbi pendukung
ketahanan pangan, maka dapat dipastikan bahwa petani akan membutuhkan akses yang lebih
luas terhadap benih kentang bermutu dengan harga terjangkau. Dengan demikian, ada
semacam inter-linked antara ketahanan pangan (food security) dengan ketahanan benih (seed
security). Ketahanan benih memiliki tiga parameter penting, yaitu ketersediaan (availability),
kemudahan (access) dan penggunaan (utilization – secara kualitas dapat diterima). Ketahanan
benih ini didukung tidak saja oleh sistem perbenihan formal, tetapi juga oleh sistem perbenihan
informal Sehubungan dengan itu, kebijakan pengembangan sistem perbenihan kentang di
Indonesia harus diarahkan untuk mendorong terbentuknya struktur kelembagaan perbenihan
yang tidak dogmatis. Kondisi budaya, sosial, dan individual serta sistem politik, ekonomi dan
norma/hukum sangat berpengaruh terhadap apa yang memungkinkan dan apa yang paling
praktis dapat dikerjakan di masing-masing sentra produksi. Efektivitas sistem perbenihan
kentang sangat bergantung kepada fungsionalitas sistem formal dan sistem informal. Berbagai
aturan dan regulasi seperti prosedur pelepasan varietas, intellectual property rights, program
sertifikasi, dan standarisasi benih harus diberlakukan secara setara dan proporsional terhadap
kedua sistem tersebut, karena akan mempengaruhi struktur, koordinasi dan keragaan dari
sistem perbenihan kentang secara keseluruhan. Berkenaan dengan ini, kebijakan penelitian
dan pengembangan sistem perbenihan kentang perlu memberikan penekanan terhadap (a)
harmonisasi distribusi benih dan varietas untuk menghindarkan marginalisasi kontribusi sistem
informal terhadap sistem perbenihan kentang nasional, serta (b) identifikasi titik-titik keterkaitan
antara sistem formal dan informal agar dapat bersinergi, sehingga setiap sistem dapat
menawarkan kekuatannya masing-masing untuk mencapai manfaat bersama.
Ilmu pertanian mainstream secara tradisional memperlakukan produksi pangan
sebagai domain penelusuran yang terpisah dengan pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan. Perilaku ini memfasilitasi peningkatan produktivitas yang mengabaikan efek negatif
pembangunan pertanian terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Penelitian pertanian
9

yang memperlakukan sumberdaya lingkungan, seperti tanah, air dan keragaman hayati,
sebagai faktor-faktor produksi discrete, diidentifikasi sebagai proses yang kurang/tidak
mempertimbangkan kapasitas ekosistem untuk bertahan atau pulih setelah mengalami kejutan
dan cekaman (shock and stress). Peningkatan produksi yang didasarkan pada pengurangan
variabilitas (keragaman hayati) secara perlahan akan mengubah fungsi dan kekenyalan
ekosistem untuk mempertahankan keberlanjutan produksi pangan serta ketersediaan
sumberdaya. Jika variabilitas (variability) dan gangguan (disturbances) tidak dilibatkan ke
dalam sistem, keduanya akan berakumulasi dan muncul kemudian dengan skala yang lebih
luas. Penurunan variabilitas cenderung meningkatkan potensi gangguan dengan skala yang
lebih luas, kurang dapat diramalkan dan lebih sukar ditangani, sehingga dapat menimbulkan
kerusakan ekosistem yang luar biasa. Hal ini juga berakibat menurunnya kapasitas ekosistem
untuk memberikan pelayanan lingkungan yang sangat esensial untuk menjaga stok material
dan enerji serta alirannya. Walaupun memungkinkan untuk mencapai keuntungan ekonomis
jangka pendek (short-term economic gains), pendekatan single-sector dapat mengakibatkan
timbulnya degradasi lingkungan jangka panjang karena tidak mempertimbangkan kompleksitas
keterkaitan berbagai elemen dalam ekosistem. Kentang di Indonesia pada umumnya diusaha-
kan di daerah dataran tinggi atau pegunungan yang juga merupakan salah satu sumber
penting sumberdaya air, enerji dan keragaman hayati. Tuntutan peningkatan produksi kentang
untuk mendukung ketahanan pangan tentu akan menimbulkan tekanan yang lebih tinggi
terhadap ekosistem dataran tinggi. Jika pendekatan penelitian mainstream tetap dipertahan-
kan, maka akan sulit untuk menghindarkan kerusakan lingkungan yang lebih hebat sebagai
akibat dari timbulnya erosi, longsor, deforestasi, serta punahnya habitat, keragaman genetik
dan kearifan lokal. Oleh karena itu, diperlukan adanya perubahan paradigma penelitian dan
pengembangan yang dapat membawa keluar produksi kentang, ekosistem dan kesehatan
manusia dari sindrom ketidak-berlanjutan (unsustainable syndrome). Pergeseran paradigma
tersebut harus difasilitasi oleh kebijakan penelitian-pengembangan yang dapat mendorong
terealisasinya beberapa perubahan penting. Penelitian kentang harus dipahami sebagai salah
satu upaya pengelolaan sumberdaya alam untuk mendukung kehidupan manusia/masyarakat.
Dengan demikian, suatu agenda penelitian strategis perlu dirancang dengan mempertimbang-
kan variabilitas dan memandang gangguan ekosistem fungsional sebagai komponen-
komponen yang dibutuhkan untuk mengelola sumberdaya alam dan produksi kentang secara
baik. Penelitian kentang perlu dikaitkan dengan proses-proses aktif pengelolaan ekosistem
yang merupakan prioritas tinggi bagi berbagai stakeholders yang bergerak di bidang penelitian
maupun manajemen penelitian. Institusi penelitian yang diberi mandat untuk melaksanakan
agenda penelitian strategis tersebut harus memiliki jejaring kerja erat dengan interest groups
dan learning communities (misalnya, Global Mountain Program – CGIAR dan Future Harvest
Center) yang secara eksternal dapat terus memandu dan mendorong terjadinya perubahan
paradigma penelitian.

KESIMPULAN DAN SARAN

• Kentang memiliki potensi dan prospek yang baik untuk mendukung program diversifikasi
dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan. Namun demikian, kentang
sebaiknya tidak diposisikan sebagai alternatif makanan pokok (substitusi), tetapi sebagai
bahan pangan pelengkap. Dalam konteks potensi dukungannya terhadap ketahanan pangan,
program penelitian menyangkut prioritas komoditas perlu dipertimbangkan kembali dengan
memposisikan kentang tidak lagi hanya sebagai salah satu komoditas sayuran, tetapi sebagai
salah satu komoditas non-beras (pangan). Menimbang konsumsi per kapita kentang di
10

Indonesia yang relatif rendah (2 kg/kapita), program pengembangan pemacuan produksi


harus disertai dengan upaya-upaya yang bersifat demand driving. Dalam kaitan ini, target
utama yang harus ditetapkan adalah peningkatan konsumsi per kapita.

• Kebijakan pengembangan varietas perlu dirancang secara komprehensif dan melembaga


untuk mendorong: (a) peningkatan partisipasi petani, konsumen, prosesor dan stakeholders
lainnya dalam proses selekasi varietas; (b) peningkatan pengetahuan peneliti/pemulia
tentang karakteristik-karakteristik varietas utama yang dikehendaki oleh petani, konsumen,
prosesor dan stakeholders lainnya; (c) peningkatan kemampuan peneliti/pemulia untuk
merancang, mendokumentasi dan menganalisis persepsi stakeholders dalam seleksi
varietas; (d) perhatian lebih serius terhadap tahapan on-farm evaluation under farmer
managed conditions; dan (e) perbaikan strategi bisnis program nasional untuk memproduksi
benih berkualitas dengan jumlah yang cukup pada saat menginisiasi kegiatan diseminasi
dan difusi varietas, segera setelah varietas tersebut dilepas.

• Kebijakan penelitian dan pengembangan sistem perbenihan kentang perlu diarahkan untuk
memantapkan inter-linked antara ketahanan pangan (food security) dengan ketahanan
benih (seed security) serta memberikan penekanan terhadap (a) harmonisasi distribusi
benih dan varietas untuk menghindarkan marginalisasi kontribusi sistem informal terhadap
sistem perbenihan kentang nasional, serta (b) identifikasi titik-titik keterkaitan antara sistem
formal dan informal agar dapat bersinergi, sehingga setiap sistem dapat menawarkan
kekuatannya masing-masing untuk mencapai manfaat bersama.

• Tuntutan peningkatan produksi kentang untuk mendukung ketahanan pangan tentu akan
menimbulkan tekanan yang lebih tinggi terhadap ekosistem dataran tinggi. Risiko ini
menuntut adanya perubahan paradigma penelitian dan pengembangan yang dapat
membawa keluar produksi kentang, ekosistem dan kesehatan manusia dari sindrom
ketidak-berlanjutan (unsustainable syndrome). Suatu agenda penelitian strategis perlu
dirancang dengan mempertimbangkan variabilitas dan memandang gangguan ekosistem
fungsional sebagai komponen-komponen yang dibutuhkan untuk mengelola sumberdaya
alam dan produksi kentang secara berkelanjutan.

Pustaka

Adiyoga, W., R. Suherman, T. A. Soetiarso, B. Jaya, B.K. Udiarto, R. Rosliani dan D.


Mussadad. 2004. Profil Komoditas Kentang. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran.
FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations). 2008. FAOSTAT Statistics
Database. http://apps. fao.org . (accessed July).
Fuglie, Keith O. 2007. Priorities for potato research in developing countries: Results of a
survey. American Journal of Potato Research, vol. 84, issue 5: 353-365.
International Food Policy Research Institute. 2002. Sustainable Food Security for All by 2020:
Proceedings of an International Conference, September 4–6, 2001, Bonn, Germany
(Washington, DC: IFPRI, 2002).
Jagger, S. 2007. Are chips the answer to world hunger? The Times, November 19, 2007, New
York.
Reuters. 2008a. As other staples soar, potatoes break new ground. Reuters, 15 April 2008.
11

Reuters. 2008b. Bangladeshis told eat potatoes as rice prices soar. Reuters, 13 May 2008.
Simatupang, P. 1999. Kebijaksanaan Produksi dan Penyediaan Pangan dalam Rangka
Pemantapan Sistem Ketahanan Pangan.
Sucipto. 2008. Menimbang Ketahanan Pangan Bangsa Indonesia. Di www.halalsehat.com
Suryana, A. 2001. Kebijakan Nasional Pemantapan Ketahanan Pangan. Makalah pada
Seminar Nasional Teknologi Pangan, Semarang, 9-10 Oktober 2001
Swiss Agency for Development and Cooperation. 2008b. Potato boom in the rice region:
Partnership results. Swiss Agency for Development and Cooperation, East Asia
Division. Freiburgstrasse 130, CH-3003 Berne
Swiss Agency for Development and Cooperation. 2008a. Potato Revolution’ in Bhutan:
Partnership Results. Swiss Agency for Development and Cooperation, East Asia
Division. Freiburgstrasse 130, CH-3003 Berne
Tambunan, T. 2008. Ketahanan pangan di Indonesia inti permasalahan dan alternatif
solusinya. Makalah dipersiapkan untuk Kongres ISEI, Mataram, 2008
Thaindian News. 2008. Government promotes potato in rice-short Bangladesh. Thaindian
News, April 17th, 2008
The Economic Times. 2008. Absence of speculative play keeps potato prices steady. The
Economic Times, 17 June, 2008
The International Potato Center . 2008. Facts and Figures: 2008 – The International Year of the
Potato. CIP

Anda mungkin juga menyukai