Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Hortikultura, Tahun 1998, Volume 8, Nomor (2): 1131-1136

MODEL AUTOREGRESSIVE-INTEGRATED-MOVING AVERAGE (ARIMA)


HARGA BULANAN KENTANG

Witono Adiyoga
Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang-Bandung 40391

ABSTRAK. Adiyoga, W. 1997. Model auto regressive-integrated-moving average (Arima)


harga bulanan kentang. Penelitian ini diarahkan untuk menganalisis data serial waktu harga
kentang dan mengidentifikasi alternatif model ARIMA yang dapat digunakan untuk keperluan
peramalan. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data serial waktu harga bulanan
kentang periode 1985 sampai 1995 (n=132). Proses estimasi ARIMA ditempuh melalui tiga
tahapan, yaitu: (1) identifikasi model ARIMA, (2) estimasi parameter dari model yang telah
diidentifikasi, dan (3) evaluasi kesesuaian model yang telah diestimasi serta kemampuan
peramalannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model ARIMA terbaik yang dapat
menggambarkan perilaku harga kentang selama periode 1985-1995, serta memiliki
kemampuan peramalan yang lebih baik dibandingkan dengan spesifikasi model lainnya,
adalah ARIMA (2,1,1) atau dapat dituliskan sebagai (1 - φ1B - φ2B2)(1-B)yt = (1 - θ1B)εt. Hasil
peramalan memberikan indikasi bahwa kemampuan model ini akan lebih baik jika digunakan
untuk peramalan jangka pendek. Penelitian ini juga mengimplikasikan bahwa walaupun
pencatatan harga komoditas sayuran terkesan bersifat rutin, metodologi pengumpulannya
harus terus diperbaiki agar dapat merefleksikan kondisi pasar secara lebih akurat.

Kata kunci: Data serial waktu; Harga bulanan; Peramalan harga; ARIMA.

ABSTRACT. Adiyoga, W. 1997. Autoregressive-integrated-moving average (Arima)


model for potato monthly prices. The objectives of this study were to analyze potato price
time series data and to identify alternative of ARIMA models that could be used for price
forcasting. A total of 132 observations that covered monthly prices for potatoes from 1985 to
1995 were used in this study. Building ARIMA forecasting models involved an iterative three
stage cycle of (1) identification of model specification, (2) estimation of identified model’s
parameters, and (3) evaluation of models’ goodness-of-fit and their performance in forecasting.
Results show that the ARIMA model that can best represent the potato price behavior during
the period of 1985-1995, and outperforms other model specifications in price forcasting, is
ARIMA (2,1,1) which can be written as (1 - φ1B - φ2B2)(1-B)yt = (1 - θ1B)εt. It is also indicated
that this model may perform better for short term forcasting. The most important implication
comes out from this study is that even though price data collection is a routine activity, there
should be a continous attempt to improve its methodology, so that the data collected can
reflect market situation more accurately.

Key words: Time series data; Monthly prices; Price forcasting; ARIMA.

1
Pada dasarnya, setiap pengelola usahatani selalu dihadapkan pada faktor resiko
dalam menjalankan kegiatan atau aktivitas yang berkaitan dengan usahataninya. Berbagai
perubahan yang menyertai pertumbuhan ekonomi, misalnya harga lahan yang semakin mahal
serta harga produk yang meningkat secara nominal, tetapi menjadi semakin fluktuatif, bahkan
menghadapkan petani pada tingkat resiko yang lebih tinggi (Jolly, 1983). Secara implisit,
strategi petani dalam menghadapi ketidak-pastian lingkungan produksi sebenarnya
merupakan bagian dari sistem pengelolaan usahatani yang dilakukannya. Dalam strategi
pengelolaan resiko tersebut, terkandung aspek-aspek: (1) inovasi, (2) pengambilan keputusan
dan (3) teknik manajerial, yang dirancang untuk menghadapi ketidak-pastian. Implementasi
berbagai aspek di atas mensyaratkan tersedianya informasi teknis dan ekonomis sebelumnya
(past technical and economic information), terutama sebagai referensi dalam proses
perencanaan produksi maupun pemasaran (Bardsley & Harris, 1987).
Salah satu informasi yang seringkali dirasakan sangat dibutuhkan oleh petani adalah
informasi harga produk. Sampai saat ini, pelayanan informasi harga masih terbatas pada
penyiaran rata-rata harga harian borongan komoditas sayuran di pasar produsen dan eceran.
Sementara itu, akumulasi data dalam bentuk data harga serial waktu yang tersedia di institusi
pelayanan informasi pasar, tampaknya belum dimanfaatkan secara optimal. Data serial waktu
tersebut sebenarnya secara periodik dapat digunakan untuk membuat peramalan harga
jangka pendek. Informasi peramalan harga jangka pendek ini merupakan salah satu aspek
penting dalam perencanaan usahatani, berkenaan dengan adanya ketidak-pastian produksi
serta rendahnya elastisitas harga permintaan produk yang dihadapi produsen (Brandt &
Bessler, 1981).
Secara umum, analisis peramalan (forecasting analysis) dapat dilakukan melalui
pendekatan: (a) model ekonometrik -- peramalan berdasarkan estimasi parameter peubah
bebas dan peubah tak bebas dari suatu model ekonomi, dan (b) model serial waktu --
peramalan berdasarkan suatu anggapan bahwa aspek historis data dapat memberikan
gambaran mengenai ekspektasi di masa datang (Johnson & Rausser, 1982). Dari berbagai
referensi aplikasi empiris kedua model tersebut, tidak dapat diperoleh kesimpulan pasti bahwa
model yang satu lebih baik dibandingkan dengan lainnya. Sebagai contoh, Brandt and Bessler
(1981) menyimpulkan bahwa model serial waktu (ARIMA = autoregressive integrated moving
average) memberikan hasil peramalan harga ternak yang lebih akurat dibandingkan dengan
model ekonometrik. Dilain pihak, Kulshreshtha & Rosaasen (1980) lebih cenderung memilih
model ekonometrik dibandingkan dengan model serial waktu dalam meramalkan harga
bulanan ternak. Akurasi relatif model serial waktu versus model ekonometrik sebenarnya
masih merupakan isu yang bersifat kontroversial. Sebagian orang berpendapat bahwa model
serial waktu menghasilkan peramalan yang lebih baik, karena dalam model ekonometrik selalu
terkandung kesalahan (error) spesifikasi dan kondisional. Sementara itu, sebagian yang lain
mengemukakan bahwa pernyataan di atas hanya benar untuk peramalan jangka pendek,
sedangkan untuk peramalan jangka panjang, model ekonometrik dianggap lebih unggul
(Harris & Leuthold, 1985). Terlepas dari kontroversi di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa
pemilihan model sangat tergantung pada konteks permasalahan yang dikaji. Untuk keperluan
peramalan harga jangka pendek, tampaknya model serial waktu lebih memungkinkan untuk
digunakan, terutama dikaitkan dengan kebutuhan data yang relatif minimal. Penggunaan
model ekonometrik yang membutuhkan data lebih ekstensif, seringkali terbentur pada
ketersediaan data (serial waktu) sesuai dengan yang dikehendaki oleh spesifikasi model.
Model serial waktu menekankan pentingnya peranan data dalam menentukan struktur
model yang tepat. Informasi mengenai pola perilaku yang lalu (past behavior) dari suatu
peubah digunakan untuk meramalkan perubahan peubah tersebut di masa datang.
Perancangan model serial waktu bukan merupakan suatu usaha untuk menyesuaikan data

2
dengan model tertentu, tetapi lebih diarahkan ke penyusunan model yang sesuai dengan data
tersedia (Spreen, Mayer, Simpson & McClave, 1979). Pendekatan ini beroperasi melalui suatu
representasi peubah-peubah endogen yang disebut sebagai ARIMA (autoregressive
integrated moving average). Proses estimasi ARIMA ditempuh melalui tiga tahapan, yaitu: (1)
identifikasi model ARIMA, (2) estimasi parameter dari model yang telah diidentifikasi, dan (3)
evaluasi kesesuaian model yang telah diestimasi. Karakteristik model ARIMA yang baik,
diantaranya adalah: (1) relatif sederhana/parsimonious, (2) stasioner/stationary, (3) koefisien
regresi/parameter yang signifikan, dan (4) memiliki kemampuan peramalan yang baik
(Newbold, 1983).
Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran yang memerlukan investasi tinggi
dalam pengusahaannya. Selama sepuluh tahun terakhir, harga kentang menunjukkan variasi
yang lebih rendah dibandingkan dengan tomat maupun kubis (Adiyoga, 1997). Namun
demikian, tingkat variasi yang lebih rendah ini tidak berarti bahwa usahatani kentang terhindar
dari fluktuasi harga. Fluktuasi harga tetap merupakan salah satu fenomena pasar yang perlu
dipertimbangkan petani dalam menjalankan strategi pengendalian resiko untuk menyelamat-
kan investasinya. Dalam kaitan ini, peramalan harga jangka pendek dapat membantu petani
dalam merencanakan strategi pengendalian resiko yang dimaksud di atas. Penelitian ini
diarahkan untuk menganalisis data serial waktu harga kentang dan mengidentifikasi alternatif
model ARIMA yang dapat digunakan untuk peramalan jangka pendek.

METODOLOGI PENELITIAN

Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data serial waktu harga bulanan
kentang periode 1985 sampai 1995 (n=132). Data sekunder harga bulanan kentang
dipublikasikan oleh Pusat Informasi Pemasaran Tanaman Pangan dan Hortikultura dalam
buku Vademekum Pemasaran 1985-1995.
Mengacu pada prosedur yang dikemukakan oleh Vandaele (1983), analisis serial
waktu dilakukan melalui beberapa tahapan:

a) Data serial waktu harus memenuhi asumsi stationarity (memiliki karakteristik proses
stokastik yang tetap sepanjang waktu), agar dapat digunakan untuk merancang suatu
proses melalui persamaan tertentu dengan koefisien tetap (terhindar dari masalah
spurious regression). Jika suatu proses disebut stationary, maka distribusi probabilitas
gabungan dan distribusi probabilitas kondisionalnya tidak berubah berkaitan dengan
adanya peralihan waktu. Dengan kata lain, jika suatu data serial waktu dikatakan
stationary, maka p ( yt,.........., yt+k ) = p ( yt+m,.........., yt+k+m ) dan p ( yt ) = p ( yt+m ) untuk
setiap t, k dan m. Hal ini mengandung implikasi bahwa nilai tengah, varians dan kovarians
dari data serial tersebut juga stationary. Jika data asli ternyata non-stationary, maka
dilakukan pengujian untuk data first-difference,......., nth - difference, sampai diperoleh data
yang stationary. Data stationary yang telah mengalami differencing (d = banyaknya/jumlah
proses differencing sampai mencapai stationary) ini akan dipergunakan untuk analisis
lebih lanjut.

b) Penentuan kelas untuk model ARIMA (p untuk proses autoregressive dan q untuk proses
moving average) dilakukan dengan menggunakan pendekatan Box-Jenkins. Pemilihan
alternatif model ditempuh melalui pemeriksaan fungsi autokorelasi dan fungsi parsial
autokorelasi data stationary. Pada penelitian ini, displacement k yang digunakan adalah k
= 12. Spesifikasi p dan q dapat diduga berdasarkan observasi pada k berapa autokorelasi

3
dan parsial autokorelasi mulai menurun. Seleksi model ini merupakan tahapan yang lebih
didasarkan pada pertimbangan personal dibandingkan dengan sekumpulan kriteria formal
yang terdefinisi baik (Newbold, 1983). Prosedur ini bukan merupakan sesuatu yang
bersifat deterministik, sehingga disarankan agar beberapa alternatif model dapat
dipertimbangkan dan dievaluasi lebih lanjut. Fungsi autokorelasi juga dapat digunakan
untuk menguji stationarity dari suatu data serial waktu. Jika fungsi autokorelasi menurun
secara cepat sejalan dengan meningkatnya jumlah lag k, maka data serial waktu di atas
memenuhi persyaratan stationarity. Sementara itu, jika data asli yang bersifat non-
stationary menjadi stationary setelah dilakukan differencing, ternyata first-differenced
series tersebut juga memiliki karakteristik white noise (fungsi autokorelasi contoh
mendekati nol untuk semua k > 0). Karakteristik white noise ini dapat diuji dengan
menggunakan uji “Portmanteau” (Q-statistik) Q = T Σ ρk2. Jika Q > nilai kritis Chi-square
dengan k derajat bebas, maka data serial waktu tersebut tidak white noise dan sekaligus
non-stationary.

c) Beberapa alternatif spesifikasi model tentatif yang telah ditentukan nilai p, d dan q nya,
selanjutnya diestimasi sebagai regresi non-linier dengan menggunakan maximum
likelihood estimation untuk memperoleh p parameter autoregressive, yaitu φ1, ........, φp
dan q parameter moving average, yaitu θ1,.........., θq. Sebagaimana halnya pada model
regresi, nilai parameter terpilih adalah nilai-nilai yang dapat meminimalkan jumlah
perbedaan/selisih kuadrat antara nilai observasi aktual, wt = ∆dyt dengan nilai observasi
yang dikonstruksi oleh model, wt. Setelah parameter diestimasi, pemeriksaan diagnostik
dilakukan untuk menguji kebenaran spesifikasi yang diajukan. Diharapkan residual yang
diperoleh berdasarkan estimasi model, mendekati penyimpangan/error yang sebenarnya
(diasumsikan bahwa residual tersebut tidak berkorelasi). Autokorelasi residual ini dapat
diuji dengan menggunakan uji “Portmanteau statistic”, Q = T (T + 2) Σ (T - k)-1 ρk2. Jika Q
> nilai kritis Chi-square dengan (k-p-q) derajat bebas, maka residualnya tidak white noise,
sehingga model tentatif yang diajukan perlu dispesifikasi kembali.

d) Setelah spesifikasi dan estimasi ARIMA selesai melewati pengujian validitas, proses
selanjutnya adalah menggunakan model tersebut untuk peramalan. Proses ini diawali
dengan mengkomputasi suatu peramalan satu periode ke depan, kemudian menggunakan
hasil peramalan ini untuk mengkomputasi peramalan dua periode ke depan, dan
seterusnya, sampai periode peramalan yang ditentukan tercapai. Pada dasarnya, proses
peramalan diarahkan untuk membuat prediksi ke depan yang memiliki tingkat kesalahan
sekecil mungkin. Dengan demikian, peramalan optimal adalah peramalan yang memiliki
mean square forecast error minimal. Dalam kaitan ini, model peramalan dapat dievaluasi
dengan menggunakan besaran RMSE (root mean square error) = √ 1/T Σ (yt - yt)2.
Semakin kecil besaran RMSE dari model tertentu, semakin baik model bersangkutan
digunakan untuk peramalan harga.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data orijinal/asli serial waktu harga bulanan kentang ternyata masih bersifat non-
stationary, karena secara visual, autokorelasi ρk tidak menurun dengan cepat sejalan dengan
meningkatnya lag k. Hal ini juga diindikasikan oleh nilai Q-statistik pada k=12 yaitu sebesar
203,69 yang jauh lebih besar dibandingkan dengan χ2(12;0,90) = 18,55. Pengaruh trend yang

4
menyebabkan stationarity ini selanjutnya dicoba dihilangkan melalui proses differencing. Uji
“Portmanteau statistic” terhadap autokorelasi dari data first differencing menunjukkan bahwa
nilai Q-statistik pada k=12, yaitu sebesar 16,10 ternyata lebih kecil dibandingkan dengan
χ2(12;0,90) = 18,55. Hasil uji ini memberikan indikasi bahwa data serial waktu harga bulanan
kentang adalah stationary setelah melalui first differencing (d = 1).
Setelah d ditentukan, proses identifikasi selanjutnya ditempuh dengan memeriksa
fungsi autokorelasi dan fungsi parsial autokorelasi dari data stationary wt = ∆ d yt, untuk
menentukan spesifikasi autoregressive (p) dan moving average (q). Beberapa spesifikasi
model tentatif yang tercantum pada Tabel 1 diajukan untuk diuji validitasnya.

Tabel 1 Alternatif spesifikasi model ARIMA harga bulanan kentang 1985-1995. (Alternative of ARIMA model
specifications for potato prices 1985-1995)
AR I MA Parameter Estimasi T-Stat R-Square Q Q
p d q k=12 k=24
1 1 0 AR (1) 0,29481 2,173 0,0753 11,59 15,41
(19,68) (35,17)

0 1 1 MA 1 -0,58360 -4,923 0,1519 9,90 14,50


(19,68) (35,17)

2 1 0 AR 1 0,38652 2,849 0,1518 11,64 16,08


AR 2 -0,30278 -2,233 (18,31) (35,92)

0 1 2 MA 1 -0,40938 -2,932 0,1976 7,79 13,46


MA 2 0,30343 2,177 (18,31) (35,92)

1 1 1 AR 1 -0,35687 -1,789 0,1907 7,26 12,24


MA 1 -0,82462 -6,725 (18,31) (35,92)

2 1 1 AR 1 0,99321 4,680 0,1933 9,89 16,13


AR 2 -0,47483 -3,708 (16,92) (32,66)
MA 1 0,38652 3,121
1 1 2 AR 1 0,49158 1,736 0,2278 6,16 13,02
MA 1 0,08011 0,325 (16,92) (32,66)
MA 2 0,57226 4,006
2 1 2 AR 1 0,44874 1,551 0,2294 5,73 12,46
AR 2 0,08717 0,343 (15,51) (31,41)
MA 1 0,05238 0,215
MA 2 0,63129 2,725
aa di dalam kurung adalah nilai tabel χ2 pada tingkat kepercayaan 95% untuk k=12 dan k=24 dari setiap model.
Angka

Salah satu kriteria dari model yang baik adalah dimilikinya sifat parsimonious
(sederhana atau hemat parameter). Kriteria ini pada dasarnya merupakan salah satu usaha
untuk menghindarkan komplikasi pada saat estimasi. Memenuhi kriteria tersebut, berbagai
model yang diajukan dibatasi untuk low-order ARIMA process, yaitu yang memiliki p ≤ 2 dan
q ≤ 2. Setelah kedelapan model pada Tabel 1 dispesifikasi dan parameternya diestimasi,
langkah berikutnya adalah menguji alternatif model tersebut berkenaan dengan ketepatan
spesifikasinya. Jika suatu model dispesifikasi dengan benar, maka untuk k yang cukup besar
(sebagai contoh > 5 untuk model-model low-order) residual dari autokorelasinya tidak saling
berkorelasi. Uji Q yang disebut pula sebagai uji Ljung-Box Q sering digunakan untuk keperluan
pengujian di atas karena alasan praktis menyangkut kemudahan operasionalisasinya. Perlu
diperhatikan bahwa uji Q ini sensitif terhadap nilai k , jumlah autokorelasi yang digunakan
untuk menghitung Q. Menurut Vandaele (1983), untuk data ekonomi disarankan menggunakan

5
k=12 dan k=24. Tabel 1 menunjukkan bahwa semua model yang diajukan memiliki nilai Q <
χ2 (db=k-p-q), baik untuk k=12 maupun k=24. Hal ini mengindikasikan bahwa spesifikasi dari
semua model di atas dapat diterima.
Oleh karena hasil uji Q belum dapat memberikan acuan untuk seleksi model,
pemeriksaan lebih lanjut dilakukan melalui overfitting (menambah jumlah parameter).
Signifikansi statistik dari setiap parameter kemudian dievaluasi dengan menggunakan uji-t.
Jika nilai mutlak dari parameter paling sedikit dua kali nilai simpangan baku, maka nilai dari
parameter tersebut berbeda nyata dengan nol. Adanya parameter yang tidak signifikan
merupakan indikasi bahwa model bersangkutan overspecified. Pada tabel 1 terdapat tiga
model yang mengandung insignifikan parameter, yaitu ARIMA (1,1,1), ARIMA (1,1,2) dan
ARIMA (2,1,2). Dengan alasan spesifikasi yang kurang tepat, ketiga model ini tidak disertakan
lagi dalam analisis selanjutnya. Dengan demikian, kelima model lainnya, yaitu ARIMA (1,1,0),
ARIMA (2,1,0), ARIMA (0,1,1), ARIMA (0,1,2) dan ARIMA (2,1,1) tetap dipertahankan untuk
dievaluasi lebih lanjut kemampuan peramalannya.
Komputasi harga ramalan dapat dilakukan secara rekursif dengan menggunakan
koefisien estimasi model ARIMA. Ramalan harga satu periode ke depan digunakan untuk
mengkomputasi ramalan harga dua periode ke depan, dan diulang untuk periode ke depan
berikutnya. Dalam studi ini, peramalan harga dilakukan 12 bulan ke depan (12-months ahead)
untuk harga bulanan kentang pada tahun 1995. Peramalan sengaja dilakukan dalam cakupan
data yang digunakan (1985-1995) agar perbandingan antara harga ramalan dengan harga
aktual dapat diperoleh untuk materi evaluasi. Tabel 2 menunjukkan bahwa spesifikasi suatu
model yang telah teruji kelayakannya (melalui Q-test dan overfitting) tidak selalu memiliki

Tabel 2 Harga aktual dan harga ramalan kentang dari beberapa model ARIMA (Actual prices and forecasted
prices of potatoes from several ARIMA models)
1995 Harga ARIMA ARIMA ARIMA ARIMA ARIMA
Bulan Aktual (1,1,0) (2,1,0) (0,1,1) (0,1,2) (2,1,1)
1 827 1022,42 1028,52 1038,45 1018,50 1025,07
2 686 1030,50 1013,32 1038,45 996,769 1010,77
3 654 1032,88 997,297 1038,45 996,769 982,296
4 720 1033,59 995,705 1038,45 996,769 960,801
5 868 1033,79 999,942 1038,45 996,769 952,974
6 947 1033,85 1002,06 1038,45 996,769 955,406
7 940 1033,87 1001,60 1038,45 996,769 961,538
8 955 1033,88 1000,78 1038,45 996,769 966,474
9 835 1033,88 1000,60 1038,45 996,769 968,464
10 675 1033,88 1000,78 1038,45 996,769 968,098
11 693 1033,88 1000,90 1038,45 996,769 966,788
12 732 1033,88 1000,90 1038,45 996,769 965,662
RMSE 131,061 118,023 133,772 115,781 107.202

kemampuan peramalan yang baik. Dari kelima spesifikasi model yang diajukan, ternyata
ARIMA (2,1,1) memiliki RMSE terendah. Berdasarkan kriteria evaluasi di atas, ARIMA (2,1,1)
yang dapat dituliskan sebagai: (1 - φ1B - φ2B2)(1-B)yt = (1 - θ1B)εt merupakan model terbaik
yang dapat menggambarkan perilaku harga kentang selama periode 1985-1995, serta
memiliki kemampuan peramalan yang lebih baik dibandingkan dengan spesifikasi model
lainnya.

6
Walaupun model terbaik telah diperoleh, pengamatan terhadap ramalan harga yang
dihasilkan ternyata masih menunjukkan penyimpangan yang cukup besar. Model ARIMA
(2,1,1) tampaknya cukup akurat dalam meramalkan harga kentang pada bulan ke 6, 7 dan 8,
sedangkan pada bulan-bulan lainnya cenderung bersifat over-predict. Hal ini memberikan
indikasi perlunya kehati-hatian dalam menggunakan model tersebut dalam peramalan jangka
panjang. Tampaknya model di atas lebih baik jika digunakan untuk peramalan harga jangka
pendek.

IMPLIKASI HASIL PENELITIAN

Sampai saat ini, data serial waktu harga komoditas sayuran yang dikumpulkan dengan
biaya cukup tinggi, masih belum dimanfaatkan secara optimal (underutilized). Sementara itu,
informasi menyangkut peramalan harga merupakan hal yang sangat diperlukan produsen
dalam mengalokasikan sumberdaya usahatani yang dimilikinya. Model ARIMA merupakan
salah satu pendekatan peramalan yang memberikan penekanan terhadap pentingnya peranan
data serial waktu itu sendiri dalam menentukan struktur model. Pendekatan ini bukan
merupakan usaha untuk mencocokkan data dengan model tertentu, tetapi sebaliknya
merupakan usaha untuk menyusun model yang sesuai dengan data tersedia. Implikasinya
adalah bahwa kualitas data harga serial waktu yang tersedia memiliki peranan sangat penting
dalam menentukan ketepatan spesifikasi model (terutama model single time series) dan
akurasinya dalam peramalan. Model dan harga ramalan yang dihasilkan secara langsung
merupakan cerminan dari berbagai informasi yang secara implisit terkandung dalam data
harga. Oleh karena itu, walaupun pencatatan harga komoditas sayuran terkesan bersifat rutin,
metodologi pengumpulannya harus terus diperbaiki agar dapat merefleksikan kondisi pasar
secara lebih akurat.

KESIMPULAN

Berdasarkan data serial waktu yang tersedia, model ARIMA terbaik yang dapat
menggambarkan perilaku harga kentang selama periode 1985-1995, serta memiliki
kemampuan peramalan yang lebih baik dibandingkan dengan spesifikasi model lainnya,
adalah ARIMA (2,1,1) atau dapat dituliskan sebagai (1 - φ1B - φ2B2)(1-B)yt = (1 - θ1B)εt. Hasil
peramalan memberikan indikasi bahwa kemampuan model ini akan lebih baik jika digunakan
untuk peramalan jangka pendek.

PUSTAKA

Adiyoga, W. 1997. Marjin tataniaga dan bagian petani untuk beberapa komoditas sayuran
(kentang, kubis, tomat) di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Lap. Hasil Penelitian. Balai
Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang.
Ameriana, M., Suherman, R. & Koster, W. 1989. Price collection and analysis of lowland
vegetable crops with special reference to shallots and chillies. Internal Communication
LEHRI/ATA-395, No. 3.
Bardsley, P. & Harris, M. 1987. An approach to the econometric estimation of attitudes to risk
in agriculture. Australian Journal of Agricultural Economics, vol. 31, no. 2: 112-126.

7
Brandt, J. A. & Bessler, D. A. 1981. Composite forecasting: An application with United States
hog prices. American Journal of Agricultural Economics, vol. 63, no. 1:135-140.
Harris, K. S. & Leuthold, R. M. 1985. A comparison of alternative forecasting techniques for
livestock prices: A case study. North Central Journal of Agricultural Economics, vol. 7,
no. 1: 40-50.
Johnson, S. R. & Rausser, G. C. 1982. Composite forecasting in commodity systems. In
Rausser, G. C. (Ed.). New directions in econometric modeling and forecasting in U. S.
Agriculture. Elsevier Science Publishing, New York.
Jolly, R. W. 1983. Risk management in agricultural production. American Journal of
Agricultural Economics, 65: 1107-1113.
Kulshrestha, S. N. & Rosaasen, K. A. (1980). A monthly price forecasting model for cattle and
calves. Canadian Jour. of Agric. Econ., 28(2): 41-62.
Newbold, P. 1983. ARIMA model building and the time series analysis approach to forecasting.
Journal of Forecasting, vol. 2: 23-35.
Pindyck, R. S. & Rubinfeld, D. L. 1982. Econometric models and economic forecasts.
McGraw-Hill, Inc.
Spreen, T. H., Mayer, R. E., Simpson, J. R. & McClave, J. T. 1979. Forecasting monthly
slaughter cow prices with a subset autoregressive model. Southern Journal of
Agricultural Economics, vol. 11, no. 1: 127-131.
Vandaele, W. 1983. Applied time series and Box-Jenkins models. Academic Press, Inc., New
York.

Anda mungkin juga menyukai