Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Hortikultura, Tahun 1997, Volume 7, Nomor (3): 840-851

MARJIN TATANIAGA DAN BAGIAN PETANI UNTUK KENTANG,


KUBIS DAN TOMAT DI JAWA BARAT DAN SUMATERA UTARA
Witono Adiyoga
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Bandung 40391

ABSTRAK. Adiyoga, W. 1996. Marjin tataniaga dan bagian petani untuk kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat dan
Sumatera Utara. Studi ini bertujuan untuk mengkaji keragaan pasar kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat serta Sumatera
Utara berdasarkan pola marjin dan bagian petani selama periode 1985-1995. Marjin tataniaga dan bagian petani diestimasi dari
data serial waktu harga rata-rata bulanan sayuran di tingkat produsen dan konsumen (n= 132). Hasil analisis memberikan
indikasi bahwa marjin tataniaga riil dan nominal kentang, kubis dan tomat baik di Jawa Barat maupun Sumatera Utara terus
menunjukkan peningkatan. Semakin mudah rusak suatu komoditas, semakin tinggi pula marjin tataniaga komoditas
bersangkutan. Kecuali untuk kentang, marjin tataniaga riil dan nominal kubis serta tomat di Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan
dengan Sumatera Utara. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, bagian petani relatif lebih stabil dibandingkan dengan marjin
tataniaga, namun terdapat penurunan bagian petani untuk kentang dan tomat di Jawa Barat. Hasil analisis juga menunjukkan
bahwa semakin tinggi nilai ekonomis suatu komoditas, semakin tinggi pula bagian yang diterima petani. Kecuali untuk tomat,
bagian petani dari kentang dan kubis di Jawa Barat ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan bagian petani komoditas
bersangkutan di Sumatera Utara. Secara konsisten terdapat korelasi negatif antara marjin tataniaga dengan bagian petani untuk
semua jenis sayuran yang diteliti. Semakin tinggi marjin tataniaga, maka semakin rendah bagian petani dari harga yang
dibayarkan konsumen. Perbandingan koefisien variasi marjin tataniaga, harga produsen dan harga konsumen mengindikasikan
bahwa dalam jangka pendek, mekanisme pasar cenderung mendorong stabilitas harga di tingkat konsumen. Sementara itu, jika
ditinjau dari sisi produksi, khusus untuk kubis (Jawa Barat dan Sumatera Utara) serta tomat (Sumatera Utara), mekanisme pasar
cenderung lebih mendorong stabilitas marjin tataniaga dibandingkan dengan harga di tingkat produsen. Berbagai implikasi
mekanisme pasar yang tercermin dari indikator koefisien variasi menunjukkan bahwa usaha perbaikan sistem pemasaran perlu
lebih ditekankan untuk memecahkan masalah ketidak-stabilan atau tingginya variasi harga di tingkat produsen.

Kata kunci: Marjin tataniaga riil; Marjin tataniaga nominal; Bagian petani; Data bulanan serial waktu; Harga tingkat
produsen; Harga tingkat konsumen.

ABSTRACT. Adiyoga, W. 1996. Marketing margin and farmer's share for potatoes, cabbage, and tomatoes in West Java
and North Sumatera. The objective of this study was to evaluate market performance for potatoes, cabbages, and tomatoes in
West Java and North Sumatera, based on the pattern of marketing margin and farmer's share of those three commodities during
the period of 1985-1995. Monthly farm gate and urban market price data were used to estimate marketing margin and farmer's
share (n=132). The results show that the real and nominal marketing margins for potatoes, cabbages and tomatoes increase
significantly over the years. The higher the level of perishability, the higher the marketing margin of a particular commodity.
Except for potatoes, the real and nominal marketing margins for cabbages and tomatoes in West Java are higher than those in
North Sumatera. During the last ten years, even though the variability of farmer's shares is substantially lower than that of
marketing margin, there is a decreasing trend of farmer's share for potatoes and tomatoes in West Java. There is an indication
that a higher share is received by farmers from a commodity that has higher economic value. Except for tomatoes, farmer's
shares from potatoes and cabbages in West Java are higher than those in North Sumatera. A consistent inverse relationship
appears to exist between marketing margin and farmer's share. A higher marketing margin is followed by a lower farmer's share.
Comparison among coefficients of variation of marketing margin, producer price and consumer price indicates that market
mechanism tends to increase consumer price stability in the short-run. Meanwhile, from the production-side perspectives,
especially for cabbages (West Java and North Sumatera) and tomatoes (North Sumatera), market mechanism tends to increase
marketing margin stability. These indicators show that the effort to improve marketing system should be emphasized on solving
producer price instability.

Key words: Real marketing margin; Nominal marketing margin; Farmer's share; Monthly time-series data; Farm-gate
price; Urban market price.

1
Fluktuasi harga merupakan salah satu fenomena pasar yang seringkali harus dihadapi oleh petani
sayuran. Variabilitas harga temporal komoditas sayuran ini pada dasarnya timbul karena (a) sifat biologis
proses produksi yang menyebabkan luaran bergantung pada kejadian-kejadian tidak pasti, misalnya
perubahan cuaca dan serangan hama penyakit, (b) adanya kesenjangan antara keputusan untuk
memproduksi dan luaran yang terealisasi sebagai fungsi dari proses produksi biologis, dan (c) adanya
inelastisitas harga di sisi penawaran dan permintaan, sehingga terjadinya sedikit perubahan permintaan
atau penawaran dapat menyebabkan perubahan harga yang cukup besar (Tomek dan Robinson, 1985).
Dalam kondisi pasar persaingan sempurna, variasi/fluktuasi harga dapat disebabkan oleh terjadinya
pergeseran penawaran dan permintaan sebagai akibat dari perubahan evaluasi informasi oleh partisipan
pasar (Sosnick, 1968). Fluktuasi harga juga seringkali dianggap sebagai fenomena yang terjadi akibat
perilaku pedagang yang memanfaatkan situasi untuk memperoleh keuntungan berlebih. Persepsi
mengenai perilaku pedagang ini bahkan seringkali lebih dominan dibandingkan dengan pemahaman atas
penyebab fluktuasi harga yang sebenarnya. Persepsi tersebut timbul sebagai konsekuensi dari
kecenderungan semakin meningkatnya marjin tataniaga, terutama pada saat harga tinggi atau pada saat
terjadi fluktuasi harga yang tajam (Timmer, 1974).
Dua besaran yang sering digunakan sebagai indikator keragaan pasar adalah marjin tataniaga
(farm-retail price spread) dan bagian petani (farmers' share). Ketidak-tepatan interpretasi menyangkut
kedua besaran ini seringkali terjadi. Sebagai contoh, marjin tataniaga yang rendah tidak selalu disebabkan
oleh biaya jasa pemasaran yang murah, tetapi mungkin juga sebagai akibat dari sedikitnya jasa
pemasaran yang dibu-tuhkan. Sementara itu, pertanyaan yang sering timbul berkaitan dengan kedua
besaran tersebut adalah kontradiksi urutan kepentingan antara sistem yang memungkinkan
produsen/petani memperoleh bagian yang lebih besar atau sistem yang memungkinkan konsumen mampu
membeli jasa pemasaran yang lebih baik (dengan konsekuensi marjin yang meningkat) atau sistem yang
dapat memuaskan kedua belah pihak (Brorsen, dkk., 1984).
Marjin tataniaga adalah harga atau nilai dari sekumpulan jasa pemasaran suatu produk yang
harus dikeluarkan mulai dari tingkat produksi ke konsumsi (Barker, 1981). Pembentukan marjin tataniaga
melalui pengaruhnya terhadap tingkat harga merupakan salah satu penentu utama alokasi penggunaan
sumberdaya dalam aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi. Tataniaga biaya rendah serta jasa
pemasaran yang efisien memungkinkan pasar untuk mengkoordinasikan produksi dan konsumsi. Hal
tersebut dapat mendorong alokasi sumberdaya yang dapat memaksimalkan luaran dan kepuasan, serta
memberikan sinyal bagi produsen dan konsumen berkenaan dengan biaya oportunitas dari keputusan
yang diambil (Mosley, 1982). Dengan demikian, berbagai hal mengenai marjin tataniaga sering menjadi
pertanyaan. Apakah marjin yang terjadi terlalu besar? Mengapa terdapat perbedaan marjin antara
berbagai komoditas yang berbeda? Bagaimanakah perubahan marjin sesuai dengan perjalanan waktu?
Jika biaya pemasaran meningkat, apakah akan mengakibatkan meningkatnya harga di tingkat konsumen
atau menurunnya harga di tingkat produsen, atau keduanya? Jika ditelusuri, berbagai pertanyaan ini pada
dasarnya berawal dari kekhawatiran akan keuntungan pedagang yang melebihi biaya oportunitas dari
masukan yang dikeluarkan (Bowbrick, dkk ., 1981). Lebih jauh lagi, kekhawatiran tersebut berkaitan erat
dengan kemungkinan menurunnya bagian yang diterima oleh petani /produsen, sehingga mengurangi
insentif untuk melakukan kegiatan produksi. Rangkaian terakhir yang akan terkena akibat tingginya marjin
tataniaga adalah konsumen. Tingginya marjin akan meningkatkan pengeluaran konsumen untuk suatu
produk tertentu, sehingga mengurangi tingkat kepuasan total karena menutup kemungkinan untuk
membeli produk lain yang seharusnya dapat diperoleh (Kriesberg dan Steele, 1972). Mengacu pada uraian
di atas, informasi yang menyangkut marjin tataniaga serta bagian petani merupakan hal penting yang perlu
dikaji untuk mempelajari karakteristik pasar maupun posisi tawar menawar petani komoditas tertentu.

2
Kentang, kubis dan tomat merupakan tiga komoditas sayuran yang produksi dan luas tanamnya
meningkat dari tahun ke tahun. Data statistik menunjukkan bahwa Jawa Barat, dibandingkan dengan
sentra produksi lain di Jawa, adalah kontributor terbesar terhadap produksi total. Sedangkan untuk daerah
di luar Jawa, Sumatera Utara menempati posisi teratas sebagai produsen sayuran, disamping potensinya
untuk mengisi pasar ekspor (Pusat Informasi Pemasaran Tanaman Pangan dan Hortikultura, 1995).
Analisis harga kentang di Jawa Barat menunjukkan bahwa dalam proses pembentukan harga, kausalitas
informasi tidak terjadi dari pasar induk (Pasar Induk Kramat Jati sebagai pasar acuan) ke pasar eceran
maupun pasar tingkat produsen (Adiyoga, 1994). Hasil analisis bahkan menunjukkan bahwa dalam proses
penyesuaian harga, pasar induk merujuk informasi baru yang berkembang di pasar eceran. Hal ini secara
tidak langsung mengindikasikan berkurangnya kontrol pasar induk dalam proses pembentukan harga,
karena sebagian pasokan kentang langsung masuk ke pasar eceran, tidak melalui PIKJ. Sementara itu,
salah satu kesimpulan dari analisis pasar sayuran di Sumatera Utara yang dilakukan oleh Hutabarat (1993)
menunjukkan bahwa jika harga jual sayuran meningkat, persentase kenaikan harga beli pedagang
ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penurunan harga beli pedagang, jika harga jual
sayuran menurun. Pada saat harga jual sayuran meningkat atau menurun, pedagang selalu berada pada
pihak yang diuntungkan.
Secara sederhana, indikator produksi di atas mencerminkan respon terhadap permintaan ketiga
jenis sayuran tersebut yang juga menunjukkan kecenderungan semakin meningkat. Sampai sejauh mana
dampak peningkatan penawaran dan permintaan kentang, kubis dan tomat terhadap marjin tataniaga dan
bagian petani merupakan sesuatu hal yang perlu dikaji. Studi ini diarahkan untuk mengevaluasi keragaan
pasar kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat serta Sumatera Utara berdasarkan pola marjin dan bagian
petani selama periode sepuluh tahun terakhir.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan data serial waktu bulanan mulai dari tahun 1985 sampai dengan tahun
1995. Jenis data utama yang digunakan adalah data harga rata-rata bulanan sayuran di tingkat produsen
dan konsumen (n= 132). Harga di tingkat produsen di Jawa Barat adalah harga yang terjadi di
Pangalengan (kentang dan kubis) dan Lembang (tomat), sedangkan harga di tingkat konsumen adalah
harga kentang, kubis dan tomat yang terjadi di Jakarta. Harga di tingkat produsen di Sumatera Utara
adalah harga yang terjadi di Tanah Karo (kentang, kubis dan tomat), sedangkan harga di tingkat
konsumen adalah harga ketiga komoditas tersebut di Medan. Data harga ini diperoleh dari buku
Vademekum Pemasaran 1985-1995 yang diterbitkan oleh Pusat Informasi Pemasaran Tanaman Pangan
dan Hortikultura, Jakarta. Pemilihan lokasi Jawa Barat dan Sumatera Utara dilakukan berdasarkan
pertimbangan bahwa kedua lokasi ini masing-masing dapat mewakili Jawa dan luar Jawa ditinjau dari
volume kegiatan produksi maupun tataniaga sayuran. Sementara itu, pemilihan kentang, kubis dan tomat,
didasarkan pada urutan kepentingan yang menyangkut produksi dan luas panen komoditas bersangkutan.
Secara teknis, marjin tataniaga dapat didefinisikan sebagai perbedaan atau selisih antara harga
eceran dengan harga produsen untuk suatu unit produk tertentu. Sementara itu, secara teoritis marjin
tataniaga mencerminkan perbedaan antara permintaan primer (primary demand) dan permintaan yang
diturunkan (derived demand) untuk suatu komoditas tertentu. Marjin nominal diestimasi sebagai selisih
antara harga per kilogram sayuran di tingkat konsumen dan produsen pada bulan yang sama (dalam
rupiah). Sedangkan marjin riil dihitung sebagai besaran rasio antara marjin nominal dengan indeks harga
bulanan sembilan bahan pokok di Jakarta dan Medan. Kerangka analisis yang digunakan merupakan
adaptasi teori marjin tataniaga yang dikemukakan oleh Tomek dan Robinson (1985).

MNit = Hikt - Hipt (1)

3
MNit
MRit = ────────── (2)
IHt

dimana: MNit = marjin nominal komoditas i pada saat t


MRit = marjin riil komoditas i pada saat t
Hikt = harga di tingkat konsumen komoditas i pada saat t
Hipt = harga di tingkat produsen komoditas i pada saat t
IHt = indeks harga bulanan sembilan bahan pokok di Jakarta dan Medan

Informasi mengenai indeks harga bulanan sembilan bahan pokok diperoleh dari buku Statistik
Indonesia (BPS) berbagai tahun terbitan. Bagian petani untuk setiap komoditas diestimasi melalui
pembagian antara harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen pada saat t (dalam
persen).

Hipt
BPit = ────────── x 100 % (3)
Hikt

dimana: BPit = bagian petani untuk komoditas i pada saat t


Hikt = harga di tingkat konsumen komoditas i pada saat t
Hipt = harga di tingkat produsen komoditas i pada saat t

Untuk menguji perbedaan marjin atau bagian petani antar daerah maupun antar komoditas
digunakan uji t-Student. Formulasi hipotesis untuk kedua jenis pengujian tersebut adalah:
(1) Uji beda marjin atau bagian petani antar komoditas
H0 : µ1 = µ2 = µ3
H1 : µ1 ≠ µ2 ≠ µ3
i = 1,2,3 = kentang, kubis, tomat
µi = nilai rata-rata marjin atau bagian petani

(2) Uji beda marjin atau bagian petani antar wilayah

H0 : µ11 = µ21 H1 : µ11 ≠ µ21


H0 : µ12 = µ22 H1 : µ12 ≠ µ22
H0 : µ13 = µ23 H1 : µ13 ≠ µ23
i = 1,2 = Jawa Barat, Sumatera Utara
k = 1,2,3 = kentang, kubis, tomat
µik = nilai rata-rata marjin atau bagian petani

Sementara itu, pendekatan korelasi digunakan untuk mempelajari hubungan antara marjin
tataniaga dan bagian petani. Sedangkan regresi sederhana (time trend regression) digunakan untuk
mempelajari perkembangan marjin tataniaga yang terjadi selama kurun waktu 1985-1995.

MRit = b0 + b1T + ut (4)

4
dimana: MRit = marjin riil komoditas i pada saat t
T = waktu/bulan (1, 2, 3,........, n)
ut = pengaruh acak (error term)

Formulasi hipotesis untuk regresi dan korelasi secara berturut-turut adalah sebagai berikut:
(1) H0 : βi = 0
H1 : βi ≠ 0
(2) H0 : ρ1 = ρ2
H1 : ρ1 ≠ ρ2

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Marjin Tataniaga

Berdasarkan data harga bulanan, rata-rata marjin tataniaga nominal selama kurun waktu 1985-
1995 disajikan pada Tabel 1. Sementara itu, Tabel 2 menunjukkan rata-rata marjin tataniaga riil, yaitu rasio
antara marjin tataniaga nominal dengan indeks harga bulanan sembilan bahan pokok di kota Bandung dan
Medan. Tabel 1 dan 2 mengindikasikan bahwa marjin tataniaga tomat lebih tinggi dibandingkan dengan
marjin tataniaga kentang dan kubis. Hal ini memberikan gambaran bahwa semakin tinggi sifat mudah
rusak dari suatu komoditas, semakin tinggi pula marjin tataniaga untuk komoditas tersebut. Sifat mudah
rusak yang lebih tinggi membutuhkan biaya penanganan lebih besar agar komoditas bersangkutan dapat
diterima konsumen dalam kondisi baik. Disamping itu, tingkat resiko yang lebih tinggi tampaknya
dikompensasi oleh pedagang

Tabel 1. Marjin tataniaga nominal untuk kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat dan Sumatera Utara, 1985-1995 (Nominal
marketing margin for potatoes, cabbages, and tomatoes in West Java and North Sumatera, 1985-1995).
Jawa Barat Sumatera Utara
Tahun Kentang Kubis Tomat Kentang Kubis Tomat
Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg
1985 28,83 64,67 80,25 43,17 48,42 102,92
1986 28,75 63,58 90,67 43,33 49,83 81,92
1987 32,58 102,58 75,75 53,83 40,33 146,17
1988 60,42 104,92 189,67 67,75 46,67 92,92
1989 44,42 85,67 178,92 103,92 70,17 141,17
1990 56,25 71,58 273,58 90,42 69,00 170,33
1991 51,83 75,17 260,83 92,50 68,25 160,58
1992 95,67 58,67 313,25 92,33 57,50 146,75
1993 80,75 80,83 327,33 84,25 75,33 187,58
1994 116,08 82,00 363,08 97,92 90,08 195,92
1995 185,25 120,50 471,17 149,75 106,42 324,25

5
Tabel 2. Marjin tataniaga riil untuk kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat dan Sumatera Utara, 1985-1995. (Real marketing
margin for potatoes, cabbages, and tomatoes in West Java and North Sumatera, 1985-1995).
Jawa Barat Sumatera Utara
Tahun Kentang Kubis Tomat Kentang Kubis Tomat
Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg
1985 0,13 0,28 0,35 0,18 0,20 0,43
1986 0,12 0,26 0,37 0,17 0,19 0,32
1987 0,12 0,39 0,29 0,19 0,14 0,51
1988 0,21 0,37 0,67 0,22 0,15 0,30
1989 0,15 0,28 0,59 0,31 0,21 0,42
1990 0,50 0,64 2,44 0,80 0,61 1,52
1991 0,42 0,61 2,11 0,77 0,57 1,33
1992 0,71 0,44 2,33 0,71 0,44 1,13
1993 0,54 0,54 2,21 0,59 0,53 1,31
1994 0,71 0,50 2,22 0,63 0,58 1,26
1995 1,04 0,68 2,65 0,90 0,64 1,95

dengan menarik keuntungan yang lebih besar pula. Karakteristik penentu marjin tataniaga pada komoditas
sayuran tampaknya berbeda dengan komoditas palawija. Kajian marjin tataniaga untuk palawija (jagung,
kedelai, kacang hijau) yang dilakukan oleh Tabor dan Squires (1982) menunjukkan bahwa nilai ekonomis
suatu komoditas merupakan faktor utama penentu tinggi rendahnya besaran marjin.
Marjin tataniaga untuk kentang, kubis dan tomat menunjukkan variasi yang cukup tinggi dari tahun
ke tahun.Tabel 3 memperlihatkan bahwa kubis memiliki koefisien variasi marjin terendah dibandingkan
dengan dua komoditas lainnya, baik di Jawa Barat maupun di Sumatera Utara. Hal ini mengindikasikan
bahwa selama periode 1985-1995, marjin kubis lebih stabil dibandingkan dengan marjin tataniaga dua
komoditas lainnya. Sementara itu, marjin tataniaga kentang menunjukkan besaran rata-rata terendah di
Jawa Barat, tetapi di Sumatera Utara masih lebih tinggi dari kubis. Di Sumatera Utara, walaupun kubis
memiliki tingkat sifat mudah rusak yang lebih tinggi dibandingkan kentang, marjin tataniaganya ternyata
lebih rendah. Tampaknya terdapat faktor lain yang tidak terungkap dari data tersedia, yang
mengimbangi/menghilangkan pengaruh sifat mudah rusak kubis terhadap marjin tataniaga.

Tabel 3. Indikator statistik marjin tataniaga nominal dan riil (dalam kurung) tahunan untuk kentang, kubis dan tomat di Jawa
Barat dan Sumatera Utara, 1985-1995. (Statistical indicators for nominal and real (in parentheses) marketing margin
for potatoes, cabbages, and tomatoes in West Java and North Sumatera).
Jawa Barat Sumatera Utara
Komoditas Rata- Deviasi Koefi- Rata- Deviasi Koefi-
rata standar sien rata standar sien
variasi variasi
Rp/kg Rp/kg % Rp/kg Rp/kg %

Kentang 70,98 47,15 66,43 83,56 30,97 37,06


(0,42) (0,31) (73,81) (0,50) (0,29) (58,00)

Kubis 82,74 19,44 23,50 65,64 20,02 30,50


(0,45) (0,15) (33,33) (0,39) (0,21) (53,85)

Tomat 238,59 128,13 53,70 159,14 66,11 41,54


(1,48) (0,99) (66,89) (0,59) (0,57) (60,00)

Hasil uji t pada Tabel 4 memberikan konfirmasi adanya perbedaan marjin tataniaga riil antar
komoditas (H0 ditolak). Untuk daerah Jawa Barat, marjin tataniaga tertinggi ditempati oleh tomat dan

6
berturut-turut diikuti oleh kubis dan kentang. Sementara itu, tomat di Sumatera Utara juga menempati
urutan marjin tataniaga teratas dan berturut-turut diikuti oleh kentang dan kubis. Tabel 4 juga menunjukkan
bahwa kecuali untuk kentang, marjin tataniaga nominal maupun riil tomat dan kubis di Jawa Barat lebih
tinggi dibandingkan dengan Sumatera Utara. Dengan asumsi kondisi infrastruktur pemasaran di kedua
daerah tersebut tidak jauh berbeda atau sama, lebih tingginya marjin tataniaga di Jawa Barat kemungkinan
disebabkan oleh kombinasi antara (a) kuantitas dan kualitas jasa pemasaran yang lebih tinggi -- erat
kaitannya dengan penawaran dan permintaan terhadap jasa pemasaran, dan (b) biaya pengeluaran untuk
jasa pemasaran yang lebih mahal – erat kaitannya dengan tingkat kebersaingan antar pemberi jasa
pemasaran disetiap level dalam rantai pemasaran yang ada.
Selama sepuluh tahun terakhir, walaupun berbagai perbaikan infrastruktur transportasi telah
dilakukan, diperkirakan biaya pemasaran terus meningkat karena adanya kenaikan harga bahan bakar
maupun upah

Tabel 4. Hasil uji beda (t-Student) marjin tataniaga riil antar komoditas dan antar daerah (Results of t tests for real marketing
margin among commodities and between regions)
Komoditas Kentang Kubis Tomat Kentang Kubis Tomat
(Wilayah) (Jabar) (Jabar) (Jabar) (Sumut) (Sumut) (Sumut)
Kentang (Jabar) 2,90* -12,65*
Kubis (Jabar) -11,00*
Tomat (Jabar) - 9,93*
Kentang (Sumut) -2,47* -4,82* -12,49*
Kubis (Sumut) 2,74*
Tomat (Sumut) 7,46*
* berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.

tenaga kerja. Dengan demikian dapat diduga bahwa marjin tataniaga akan menunjukkan kecenderungan
meningkat. Dugaan ini diuji melalui persamaan regresi antara marjin tataniaga riil sebagai peubah tak
bebas dengan waktu sebagai peubah bebas. Tabel 5 menunjukkan bahwa untuk ketiga komoditas di
kedua lokasi, koefisien peubah waktu bernilai positif dan berbeda nyata (H0 ditolak). Hal ini
mengindikasikan bahwa secara umum, marjin tataniaga riil untuk kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat
dan Sumatera Utara terus meningkat selama periode 1985-1995.

Tabel 5. Regresi antara marjin tataniaga riil dengan peubah waktu untuk komoditas kentang, kubis dan tomat, n= 132 (Time
trend regression of real marketing marjin for potatoes, cabbages and tomatoes, n=132).

Komoditas & Wilayah Konstanta Peubah Koefisien


Waktu Determinasi
Jabar: Kentang - 0,054365 0,007184 0,55805
(-1,265) (12,812)
Kubis 0,262214 0,002881 0,14598
( 5,597) ( 4,714)
Tomat 0,016557 0,021935 0,55503
( 0,125) (12,734)
Sumut: Kentang 0,085755 0,006173 0,46839
( 1,940) (10,702)
Kubis 0,093545 0,004416 0,51210
( 3,229) (11,681)
Tomat 0,121150 0,012479 0,52520
( 1,519) (11,992)
* besaran dalam kurung adalah nilai t statistik

7
Perkembangan Bagian Petani

Seperti halnya marjin tataniaga, bagian petani dari harga yang dibayarkan konsumen juga
memperlihatkan variasi, baik antar komoditas maupun antar lokasi (Tabel 6). Kisaran bagian petani untuk
ketiga komoditas tersebut secara berturut-turut adalah kentang (70-91%), kubis (46-80%) dan tomat (44-
80%). Sementara itu, indikator statistik pada Tabel 7 memberikan indikasi bahwa bagian petani selama
kurun waktu 1985-1995 menunjukkan variasi yang lebih rendah dibandingkan marjin tataniaga pada
periode yang

Tabel 6. Bagian petani dari harga yang dibayarkan konsumen untuk komoditas kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat dan
Sumatera Utara, 1985-1995 (Farmer's share of the consumer market price for potatoes, cabbages and tomatoes in
West Java and North Sumatera, 1985-1995).
Jawa Barat Sumatera Utara
Tahun Kentang Kubis Tomat Kentang Kubis Tomat
% % % % % %
1985 87 53 75 75 53 70
1986 89 55 68 84 49 74
1987 89 56 73 80 75 67
1988 84 52 50 82 63 80
1989 86 52 49 70 46 72
1990 86 65 45 78 63 71
1991 91 72 54 80 57 70
1992 78 71 46 76 60 70
1993 86 70 44 81 57 75
1994 86 80 56 87 61 74
1995 76 66 51 77 60 68

Tabel 7. Indikator statistik bagian petani dari harga yang dibayarkan konsumen untuk komoditas kentang, kubis dan tomat di
Jawa Barat dan Sumatera Utara, 1985-1995 (Statistical indicators for farmer's share of consumer market price for
potatoes, cabbages and tomatoes in West Java and North Sumatera, 1985-1995).
Jawa Barat Sumatera Utara
Rata-rata Deviasi Koefi- Rata-rata Deviasi Koefi-
Komoditas standar sien standar sien
% % variasi (%) % % variasi (%)

Kentang 85 5 5,88 79 5 6,33


Kubis 63 10 15,87 59 8 13,56
Tomat 56 11 19,64 72 4 5,56

sama (Tabel 3). Dengan demikian, bagian yang diterima petani dari harga komoditas kentang, kubis dan
tomat yang dibayarkan oleh konsumen, relatif lebih stabil dibandingkan dengan marjin tataniaganya.
Kecuali untuk kentang, variabilitas bagian petani untuk kubis dan tomat di Sumatera Utara lebih rendah
dibandingkan dengan di Jawa Barat.
Tabel 8 menunjukkan adanya perbedaan bagian petani antara kedua wilayah untuk setiap
komoditas (H0 ditolak). Bagian petani tertinggi di Jawa Barat diperoleh dari pengusahaan kentang dan
berturut-turut diikuti oleh kubis dan tomat. Usahatani kentang juga memberikan bagian petani tertinggi di
Sumatera Utara dan diikuti oleh tomat dan kubis. Besaran rata-rata bagian petani pada Tabel 7
menimbulkan dugaan bahwa nilai ekonomis suatu komoditas merupakan salah satu faktor penentu tinggi
rendahnya bagian harga yang diterima petani, walaupun tampaknya berlaku spesifik lokasi. Sebagai

8
contoh, di Jabar kubis dianggap lebih ekonomis dibanding tomat, tetapi di Sumut berlaku sebaliknya.
Kecuali untuk tomat, bagian petani dari kentang dan kubis di Jawa Barat ternyata lebih besar dibandingkan
dengan di Sumatera Utara. Khusus untuk tomat, bagian petani di Jawa Barat lebih kecil dibandingkan
dengan di Sumatera Utara, namun koefisien variasinya ternyata lebih besar.

Tabel 8. Hasil uji beda (t-Student) bagian petani antar komoditas dan antar daerah (Results of t tests for farmer's share among
commodities and between regions).

Komoditas Kentang Kubis Tomat Kentang Kubis Tomat


(Wilayah) (Jabar) (Jabar) (Jabar) (Sumut) (Sumut) (Sumut)
Kentang (Jabar) -11,30* 20,85*
Kubis (Jabar) 3,15*
Tomat (Jabar) 7,35*
Kentang (Sumut) -16,64* - 10,25*
Kubis (Sumut) 2,33*
Tomat (Sumut) 6,96* -10,15*
* berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.

Selama sepuluh tahun terakhir, kecuali untuk kubis, bagian petani kentang dan tomat di Jawa Barat
cenderung menurun (Tabel 9), tercermin dari besaran koefisien peubah waktu yang bernilai negatif dan
berbeda nyata (H0 ditolak). Sementara itu, pola perkembangan bagian petani di Sumatera Utara tidak
tertangkap oleh model regresi yang digunakan (H0 diterima, tidak ada satupun koefisien peubah waktu
yang berbeda nyata). Besaran koefisien peubah waktu untuk komoditas tomat di Sumatera Utara juga
bernilai negatif, tetapi tidak menunjukkan perbedaan nyata. Kecenderungan penurunan bagian petani
kentang dan tomat di Jawa Barat secara implisit mencerminkan adanya penurunan posisi tawar-menawar
petani untuk kedua komoditas sayuran tersebut.

Tabel 9. Regresi antara bagian petani dengan peubah waktu untuk komoditas kentang, kubis dan tomat, n= 132 (Time trend
regression of farmer's share for potatoes, cabbages and tomatoes, n=132).

Wilayah & Komoditas Konstanta Peubah Waktu Koefisien


Determinasi
Jabar: Kentang 0, 895465 -0,000637 0,09089
( 66,105) (-3,605)
Kubis 0,495744 0,002004 0,12920
( 14,177) ( 4,392)
Tomat 0,685890 -0,001950 0,21588
( 27,461) (-5,983)

Sumut: Kentang 0,783154 0,000099 0,02253


( 55,689) ( 0,542)

Kubis 0,560186 0,000378 0,01358


( 25,803) ( 1,338)

Tomat 0,723693 0,000072 0,08302


( 42,071) ( 0,329)

* besaran dalam kurung adalah nilai t statistik

9
Marjin Tataniaga, Bagian Petani dan Harga di Tingkat Produsen dan Konsumen

Secara konsisten, terdapat hubungan yang berkebalikan antara marjin tataniaga dan bagian petani. Hal ini
ditunjukkan oleh besaran koefisien korelasi untuk semua komoditas di Jawa Barat dan di Sumatera Utara
(kecuali kubis) yang bertanda negatif dan berbeda nyata (H0 ditolak). Besaran korelasi pada Tabel 10
mengindikasikan bahwa semakin tinggi marjin tataniaga untuk suatu komoditas, maka semakin rendah
bagian petani dari harga konsumen komoditas tersebut, atau sebaliknya. Sebagai contoh, marjin tataniaga
komoditas kentang di Jawa Barat yang menempati urutan terendah ternyata diimbangi oleh bagian petani
yang menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan kubis dan tomat.

Tabel 10. Korelasi antara marjin tataniaga dan bagian petani dari harga yang dibayarkan konsumen, 1985-1995 (Simple
correlation between marketing margin and farmer's share by commodity and region, 1985-1995).

MTKE MTKU MTTO MTKE MTKU MTTO


(Jabar) (Jabar) (Jabar) (Sumut) (Sumut) (Sumut)
BPKE Jabar -0,783*
BPKU Jabar -0,714*
BPTO Jabar -0,539*
BPKE Sumut -0,578
BPKU Sumut -0,081
BPTO Sumut -0,344*
* nyata (signifikan) pada tingkat kepercayaan 99%.
MTKE = marjin tataniaga kentang
MTKU = marjin tataniaga kubis
MTTO = marjin tataniaga tomat
BPKE = bagian petani dari kentang
BPKU = bagian petani dari kubis
BPTO = bagian petani dari tomat

Perbandingan antara besaran-besaran koefisien variasi untuk marjin tataniaga, harga produsen dan harga
konsumen dapat memberikan indikasi sampai sejauh mana mekanisme pasar menciptakan stabilitas
jangka pendek marjin atau harga (Tabel 11). Secara umum, harga di tingkat konsumen menunjukkan
variasi yang lebih rendah dibandingkan dengan marjin tataniaga maupun harga di tingkat produsen. Hal ini
mengin-dikasikan bahwa dalam jangka pendek, mekanisme pasar cenderung mendorong stabilitas harga
di tingkat konsumen. Sementara itu, jika ditinjau dari sisi produksi, secara konsisten harga kentang
memperlihatkan koefisien variasi terendah, sedangkan kubis menunjukkan variasi tertinggi. Khusus untuk
kubis (di Jawa Barat dan Sumatera Utara) serta tomat (di Sumatera Utara), koefisien variasi harga di
tingkat produsen bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan koefisien variasi marjin tataniaga. Mekanisme
pasar tampaknya cenderung lebih mendorong stabilitas marjin tataniaga dibandingkan dengan harga di
tingkat produsen. Secara tidak langsung, hal ini mengindikasikan tingginya resiko pemasaran yang harus
dihadapi produsen dalam mengusahakan komoditas tersebut. Dikaitkan dengan mekanisme pasar
yang berlaku serta berbagai implikasi yang tercermin dari indikator-indikator di atas, tidak dapat dipungkiri
bahwa usaha perbaikan sistem pemasaran tampaknya perlu lebih ditekankan untuk memecahkan masalah
ketidak-stabilan atau tingginya variasi harga di tingkat produsen.
Variasi marjin tataniaga riil/nominal yang cukup tinggi selama periode 1985-1995 pada dasarnya
merupakan cerminan dari perilaku pedagang, terutama pada saat terjadi kekurangan penawaran (supply
shortage di luar musim). Terdapat tiga kemungkinan proposisi mengenai perilaku pedagang pada saat
seperti

10
Tabel 11. Koefisien variasi marjin tataniaga, harga di tingkat produsen dan harga di tingkat konsumen, 1985-1995, n=132
(Coefficients of variation for marketing margin, producer prices, and consumer prices, 1985-1995, n=132).

Komoditas & Wilayah Koefisien Variasi (%)


Marjin Harga Harga
Tataniaga Produsen Konsumen
Jabar: Kentang 81,08 45,48 45,44
Kubis 58,73 71,18 45,50
Tomat 65,76 55,62 54,77

Sumut: Kentang 50,57 45,24 41,26


Kubis 41,01 64,28 49,92
Tomat 57,48 59,93 54,96

ini, yaitu (a) pedagang menarik keuntungan spekulatif sebagai kompensasi volume penjualan yang
menurun, (b) pedagang mempertahankan stabilitas marjin pada tingkat tertentu melalui peningkatan
kompetisi, dan (c) pedagang bersedia menanggung kerugian untuk mempertahankan konsumen tetapnya.
Perilaku pedagang ini cenderung bersifat spesifik komoditas dan spesifik lokasi, tergantung dari bobot
keparahan penurunan produksi/penawaran, tingkat kompetisi di sektor pemasaran, kekuatan permintaan
dari daerah perkotaan pada saat penawaran rendah, dan kondisi dasar sosial ekonomi di lokasi
bersangkutan.
Keragaman marjin tataniaga, bagian petani dan struktur pasar kentang, kubis dan tomat yang
terungkap dari analisis di atas memberikan indikasi bahwa (a) masalah tataniaga merupakan masalah
yang bersifat spesifik lokasi, komoditas dan waktu, seperti tercermin terutama dari adanya variasi marjin
(b) terdapat kompetisi yang cukup tinggi dalam pemasaran sayuran seperti tercermin dari relatif tingginya
bagian yang diterima petani, dan (c) hubungan berkebalikan antara marjin tataniaga dan bagian petani
menunjukkan saling ketergantungan yang sangat tinggi antara sektor produksi (usahatani) dan sektor
pemasaran.
Walaupun besaran dan perkembangan marjin tataniaga kentang, kubis dan tomat dapat diestimasi
dengan baik, kajian ini belum dapat mengungkapkan efisiensi pemasaran untuk ketiga jenis sayuran
tersebut, baik secara teknis maupun ekonomis. Untuk menentukan apakah sektor pemasaran telah
menggunakan sumberdaya yang tersedia secara optimum, diperlukan penelitian lebih lanjut terutama
menyangkut biaya dan pengembalian dari jasa pemasaran (pemisahan marjin menjadi komponen biaya
tataniaga dan keuntungan pedagang).

KESIMPULAN

1. Marjin tataniaga kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat maupun Sumatera Utara selama periode
1985-1995 menunjukkan kecenderungan terus meningkat. Semakin tinggi sifat mudah rusak suatu
komoditas, semakin tinggi pula marjin tataniaga komoditas bersangkutan. Kecuali untuk komoditas
kentang, marjin tataniaga riil atau nominal kubis dan tomat di Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan
dengan Sumatera Utara.
2. Kisaran bagian petani dari harga yang dibayarkan konsumen untuk tiga jenis sayuran yang diteliti,
secara berturut-turut adalah: kentang (70-91%), kubis (46-80%) dan tomat (44-80%). Dalam kurun
waktu sepuluh tahun terakhir, secara umum bagian yang diterima petani relatif lebih stabil
dibandingkan dengan marjin tataniaga. Perbandingan bagian petani antar komoditas
menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai ekonomis suatu komoditas, semakin tinggi pula bagian

11
petani yang diterima. Kecuali untuk tomat, bagian petani dari kentang dan kubis di Jawa Barat
ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan bagian petani untuk komoditas yang sama di Sumatera
Utara. Namun demikian, analisis regresi mengindikasikan adanya kecenderungan penurunan
bagian petani untuk kentang dan tomat di Jawa Barat.
3. Secara konsisten terdapat korelasi negatif antara marjin tataniaga dengan bagian petani untuk
semua jenis sayuran yang diteliti. Semakin tinggi marjin tataniaga suatu komoditas, maka semakin
rendah bagian petani dari komoditas tersebut.
4. Perbandingan koefisien variasi marjin tataniaga, harga produsen dan harga konsumen
mengindikasikan bahwa dalam jangka pendek, mekanisme pasar cenderung mendorong stabilitas
harga di tingkat konsumen. Sementara itu, jika ditinjau dari sisi produksi, khusus untuk kubis
(Jawa Barat dan Sumatera Utara) serta tomat (Sumatera Utara), mekanisme pasar tampaknya
cenderung lebih mendorong stabilitas marjin tataniaga dibandingkan dengan harga di tingkat
produsen. Secara tidak langsung, hal ini mengindikasikan tingginya resiko pemasaran yang harus
dihadapi produsen dalam mengusahakan komoditas tersebut.
5. Variabilitas marjin tataniaga merupakan refleksi adanya masalah pemasaran yang bersifat spesifik
lokasi, komoditas dan waktu. Sementara itu, relatif tingginya bagian yang diterima petani
merupakan cerminan cukup ketatnya kompetisi antar partisipan dalam pemasaran kentang, kubis
dan tomat.
6. Berbagai implikasi mekanisme pasar yang tercermin dari indikator koefisien variasi menunjukkan
bahwa usaha perbaikan sistem pemasaran perlu lebih ditekankan untuk memecahkan masalah
ketidak-stabilan atau tingginya variasi harga di tingkat produsen. Usaha-usaha perbaikan dapat
ditempuh melalui: (a) perbaikan komponen teknologi -- teknik pasca panen untuk memperpanjang
masa simpan, gudang pendingin; (b) perbaikan kelembagaan -- pemberdayaan koperasi dalam
fungsi pemasaran, pembentukan marketing boards; dan (c) intervensi pemerintah --
penyempurnaan pelayanan informasi pasar, peraturan yang menyangkut standarisasi atau
"grading". Namun demikian, keterkaitan antara struktur pasar, variasi harga, resiko usahatani dan
alokasi sumberdaya yang kemungkinan bersifat spesifik lokasi tetap harus mendapat perhatian
yang lebih seksama, agar usaha perbaikan yang ditempuh tidak justru mempertajam konflik
kepentingan antara produsen, pedagang, konsumen dan partisipan pasar lainnya.

PUSTAKA

Adiyoga, W. 1994. Lead-lag Relationships Among Potato Prices at Retail, Wholesale, and Farm-gate
Markets in West Java. Buletin Penelitian Hortikultura XXVI(4):51-56.
Barker, J. W. 1981. Marketing Management and the Farmer. Journal of Agricultural Economics, XXXII
(2): 355-363.
Bowbrick, P., Taluntais, A. F. and Feeney, P. J. 1981. Traditional Margins and the Impact of a Cost-
saving Innovation. Journal of Agricultural Economics, XXXII (2):197-201.
Brorsen, B. W., Grant, W. R., Richarson, J. W., and Schnake, L. D. 1984. Impacts of Price Variability on
Marketing Margins and Producer Viability in the Texas Wheat Industry. Western Journal of
Agricultural Economics 9:342-352.
Hutabarat, B. 1993. Analisis Pasar Komoditas Hortikultura Sayuran Tanah Karo: Kasus Kentang dan
Bawang Daun. Forum Penelitian Agro Ekonomi 11(2):37-46.
Kriesberg, K. and Steele, H. 1972. Improving Marketing System in Developing Countries: An Approach to
Identifying Problems and Strengthening Technical Assistance. Foreign Agricultural Economic
Report no. 93, USDA.

12
Mosley, P. 1982. Marketing Systems and Income Distribution: The Case of Milk Producers in Highland
Peru. Food Research Institute Studies XVIII(3):275-291.
Pusat Informasi Pemasaran Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1995. Vademekum Pemasaran 1985-
1995. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Departemen Pertanian.
Sosnick, S. 1968. Toward a Concrete Concept of Effective Competition. American Journal of Agricultural
Economics 50:827-853.
Tabor, S. and Squires, D. 1982. Marketing Margins of Secondary Crops in Indonesia. Economics and
Finance in Indonesia XXX(3):279-303.
Timmer, C. P. 1974. A Model of Rice Marketing Margins in Indonesia. Food Research Institute Studies
13(2):145-167.
Tomek, W. G. and Robinson, K. L. 1985. Agricultural Product Prices. Cornell University Press, Ithaca,
New York.

13

Anda mungkin juga menyukai