PERTANIAN KOTA
Witono Adiyoga
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung-40391
1
tahun 2000, dan diproyeksikan mendekati 65% pada tahun 2005 (United Nations,
1994).
2
di urban Bandung cenderung lebih beragam karena kondisi agro-ekologi yang
lebih memungkinkan. Luas lahan yang digarap oleh sebagian besar petani
(80%) di Jakarta, berkisar antara 50–1000 m2. Sebagian besar responden
mengusahakan sayuran pada lahan-lahan milik pemerintah daerah dan lahan
tidur milik pengembang/pengusaha yang sebenarnya bukan untuk kegiatan
pertanian. Dengan kata lain, sempitnya lahan garapan juga diikuti dengan
ketidak-pastian yang tinggi menyangkut status penguasaannya. Namun
demikian, ketidak-pastian tinggi tersebut ternyata masih dianggap sebagai
peluang kerja dan menarik petani pendatang dari luar Jakarta. Lebih dari
separuh responden (> 60%) berasal dari Bogor, Indramayu dan Cirebon yang
secara temporer tinggal di Jakarta untuk melakukan kegiatan usahatani.
Selama lima tahun terakhir, pemanfaatan lahan kering untuk kegiatan pertanian
di Jakarta, khususnya pengusahaan sayuran, menunjukkan fluktuasi yang cukup
signifikan. Peningkatan tajam pada tahun 1998 pada dasarnya merupakan
konsekuensi dari diterbitkannya Surat Gubernur No. 184 yang secara resmi
memberikan ijin pemanfaatan lahan tidur milik pemerintah daerah dan swasta
(melalui perjanjian formal) untuk kegiatan pertanian, sebagai salah satu
3
alternatif untuk mengatasi dampak krisis ekonomi. Walaupun tidak spesifik
diarahkan untuk pertanian urban, sebenarnya ada beberapa undang-undang atau
program yang secara potensial dapat berpengaruh terhadap perkembangan
pertanian urban. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang No. 7/1996 yang
menyatakan bahwa kecukupan pangan, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas,
harus tersedia untuk semua rumah tangga sepanjang waktu. Undang-Undang ini
memberikan penekanan terhadap peran pemerintah daerah dan komunitas kota
untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Dalam hal ini, pemerintah
daerah/kota berperan sangat penting dalam mendukung program ketahanan
pangan, melalui pemantapan dan perbaikan sistem pangan perkotaan (urban food
system). Contoh lain yang sebenarnya dapat berdampak positif terhadap
perkembangan pertanian urban adalah program penghijauan yang diinisiasi pada
awal tahun 1990an. Jakarta ditargetkan dapat memperbaiki ruang hijau terbuka
perkotaan (urban green open spaces) sebesar 25-30% agar dapat mencapai
keseimbangan lingkungan yang ideal. Namun program ini pada kenyataannya
memiliki skala prioritas yang rendah dan cenderung semakin diabaikan. Sampai
saat ini, perbaikan jalur hijau di Jakarta baru mencapai tidak lebih dari 10%
(Purnomohadi, 2000). Berbagai program lainnya juga memberikan gambaran
bahwa pemerintah daerah cenderung masih memandang pertanian urban sebagai
alternatif program jangka pendek untuk mengatasi dampak krisis ekonomi, bukan
sebagai salah satu komponen yang secara struktural memiliki potensi kontribusi
positif terhadap pembangunan perkotaan.
4
• Sistem penguasaan lahan
Kendala ketersediaan lahan di daerah urban lebih akut dibandingkan
dengan di pedesaan. Terlebih lagi, sistem penguasaan lahan lebih
kompleks, harga lahan lebih tinggi dan keamanan/kepastian lahan
juga lebih rendah.
• Ekosistem
Karakteristik tanah di daerah urban cenderung sangat dipengaruhi
oleh aktivitas manusia dan berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Kualitas tanah dan air di daerah urban memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk tercemar residu yang berasal dari lalu lintas, industri,
rumah sakit dan rumah tangga. Beban parasitik, sensitivitas tanaman
dan degradasi lahan di daerah urban cenderung lebih akut
dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Dengan demikian,
pengelolaan kesuburan tanah memerlukan upaya lebih kuat untuk
menjamin keragaan optimal tanaman, terutama pada sistem produksi
hortikultura intensif yang dilakukan sepanjang tahun. Penggunaan
input kimiawi berlebih merupakan sumber polusi aktivitas pertanian
dan cenderung berisiko lebih tinggi terhadap kesehatan manusia di
daerah urban.
• Produsen
Petani merupakan bagian besar dari masyarakat pedesaan dan
pertukaran informasi serta teknologi dalam komunitas tersebut
berlangsung secara terus menerus. Sementara itu, petani di daerah
urban seringkali tinggal diantara masyarakat yang terlibat dalam
aktivitas ekonomi lain. Seandainya ada petani lain yang dikenal,
mungkin saja berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbeda,
sehingga menghalangi komunikasi dan kerjasama antar petani urban.
Karakteristik petani urban cenderung lebih beragam dan jarang sekali
menggarap lahan yang berstatus milik dibandingkan dengan petani
pedesaan.
5
lebih berkeinginan untuk mencoba teknologi dan jenis komoditas
baru yang lebih sesuai dengan permintaan pasar.
• Pemasaran
Keunggulan dari pertanian urban adalah kedekatan ke pasar serta
pertum-buhan penduduk atau konsumen yang relatif tinggi dan cepat.
Pengolahan, pemasaran dan konsumsi juga cenderung berhubungan
lebih dekat di pertanian urban. Produsen pertanian memiliki
kesempatan lebih besar untuk menjual hasil panennya langsung
kepada konsumen. Kondisi urban juga memungkinkan potensi yang
lebih baik untuk perbaikan penanganan pasca panen (pengawetan,
pengolahan, pengepakan dan pemasaran).
• Lingkungan kelembagaan
Pertanian urban seringkali tidak cukup mendapatkan perhatian dari
pelayanan penelitian dan penyuluhan, yang secara tradisional
biasanya lebih difokuskan ke pertanian pedesaan. Di sisi lain,
berbagai institusi yang berkaitan dengan pembangunan pertanian
biasanya berlokasi di daerah urban. Lembaga swadaya masyarakat
kebanyakan juga berlokasi di kota, namun sangat sedikit yang
memfokuskan kegiatannya untuk menjawab kebutuhan petani urban.
6
Sementara itu, penelusuran terhadap program kerja berbagai institusi terkait di
Jakarta maupun Bandung memberikan konfirmasi bahwa program penanganan
pertanian urban direncanakan dan dilaksanakan sebagai penjabaran langsung
dari mandat masing-masing institusi. Dalam hal ini, program kegiatan yang
berkaitan dengan pertanian urban sangat didominasi oleh dinas-dinas
pertanian. Dalam konteks penataan pertanian urban yang memerlukan
pendekatan multi-sektoral, multi-tematik, multi-level dan multi-aktor,
sinkronisasi program kerja antar institusi ternyata masih belum tampak
(Adiyoga dkk., 2002).
Sampai saat ini, kegiatan pertanian urban di Jakarta dan Bandung masih dapat
dikatego-rikan sebagai unregulated urban agriculture. Di kedua kota tersebut,
secara spesifik belum terdokumentasi peraturan yang ditujukan untuk melarang
atau sebaliknya memberikan fasilitasi kongkrit kegiatan pertanian urban. Hal ini
secara tidak langsung mencerminkan persepsi umum mengenai pertanian urban
yang masih dipandang sebagai kegiatan kurang prospektif yang lambat laun akan
hilang sebagai akibat dari urban development pressures. Sementara itu, kondisi
unregulated ini mengandung berbagai risiko yang sudah mulai dirasakan, misalnya
polusi lingkungan, serta konflik dan kompetisi penggunaan sumberdaya yang
justru cenderung menyisihkan pihak-pihak yang seharusnya mendapat manfaat
dari legalisasi pertanian urban, yaitu penduduk miskin perkotaan. Dalam konteks
pengembangan perkotaan berkelanjutan, intervensi kebijakan fasilitasi dan
kerangka kerja perencanaan pertanian urban (termasuk legislasi, aspek normatif
dan finansial serta institusionalisasi proses) sudah saatnya mendapatkan perhatian
lebih serius.
7
mana kriteria tersebut dapat diope-rasionalisasikan. Operasionalisasi kriteria
hanya dapat dilakukan jika berbagai model sistem produksi yang dirancang
memenuhi persyaratan layak secara finansial, diterima secara sosial dan aman
terhadap lingkungan. Sementara itu, observasi lapangan masih mengidentifikasi
adanya dua masalah penting pertanian urban, yaitu produksi dan produktivitas
yang relatif masih rendah serta degradasi lingkungan. Kondisi aktual di
lapangan mengindikasikan adanya senjang teknologi yang cukup lebar berkaitan
dengan kriteria yang telah disepakati, terutama menyangkut kriteria produk
bersih. Dengan demikian, ketersediaan komponen teknologi merupakan
prasyarat penting yang harus dipenuhi. Dukungan litbang pertanian berkenaan
dengan upaya peningkatan atau perbaikan sistem pengelolaan input, sistem
produksi, penyelamatan biodiversitas, keamanan pangan, pelestarian
lingkungan, kapabilitas sumberdaya manusia dan advokasi kebijakan menjadi
sangat kritikal. Secara kongkrit, dukungan litbang terhadap upaya
pengembangan pertanian urban dapat dirancang sebagai berikut:
Tujuan Strategi
8
• Melakukan analisis residu pestisida dan logam berbahaya
di lahan-lahan pertanian urban
• Mengembangkan test kit untuk mendeteksi residu
material kimiawi pada sayuran
Dengan kata lain, dukungan litbang secara simultan harus disertai dengan
intervensi kebijakan yang diarahkan untuk memperoleh komitmen pengambil
keputusan berkaitan dengan pengembangan pertanian urban. Berdasarkan
komitmen tersebut, rekayasa pranata sosial baru dapat dilakukan untuk
mendukung berlangsungnya pengalihan, penciptaan, pengembangan dan
penerapan teknologi pertanian urban, serta perwujudan perilaku pengelolaan
sumberdaya urban yang tangguh, berkelanjutan dan adil.
9
PUSTAKA
CGIAR. 2000. Summary of Hanoi and Nairobi Stakeholder Meeting and Planning
Workshop. Available at http://www.cgiar.org/.
FAO. 1996. Urban agriculture: An oximoron? In: The state of food and
agriculture (Rome: FAO), pp. 43-57.
Pernia, E.M. 1983. Implication of Urbanization for Food Policy Analysis in Asian
Countries. Unpublished Paper. Resource Systems Institute. East-West
Center, Honolulu, Hawaii, USA.
10
Smit, J., A. Ratta and J. Nasr. 1996b. Urban agriculture: Food, jobs and
sustainable cities. Publication Series for Habitat II, Vol. I. New York:
United Nations Development Programme (UNDP).
UNDP. 1995. Urban Agriculture, Food, Jobs, and Sustainable Cities. United
Nations Development Programme. Publication Series for Habitat II, vo. 1,
New York.
United Nations. 1994. World Urbanization Prospects. United Nations, New York.
World Bank. 1995. World Development Report. World Bank, Washington, D,C
11