Anda di halaman 1dari 11

PERAN BADAN LITBANG MENDUKUNG PENGEMBANGAN

PERTANIAN KOTA

Witono Adiyoga

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung-40391

• Batasan Pertanian Urban

Terminologi pertanian urban yang pada awalnya hanya digunakan oleh


akademisi dan media, telah diadopsi oleh berbagai lembaga di bawah PBB,
misalnya UNDP (Smit et al., 1996a) dan FAO (FAO, 1996; COAG/FAO, 1999).
Pertanian urban didefinisikan sebagai aktivitas/kegiatan yang dilakukan di
dalam kota (intraurban) dan pinggiran kota (periurban) untuk memproduksi/
memelihara, mengolah dan mendistribusikan beragam produk pangan dan non-
pangan, dengan menggunakan atau menggunakan kembali sumberdaya manusia
dan material, produk serta jasa yang diperoleh dari dalam dan sekitar daerah
urban, dan pada gilirannya memasok sebagian besar sumberdaya manusia dan
material, produk serta jasa ke daerah urban tersebut (Smit et al., 1996b).
Beberapa dimensi umum yang mendukung definisi di atas adalah: jenis aktivitas
ekonomi, kategori produk pangan atau non-pangan, karakteristik lokasi
intraurban dan periurban, jenis area aktivitas tersebut dilakukan, jenis sistem
(skala) produksi dan produk destinasi. Definisi ini secara implisit juga
memberikan gambaran menyangkut keterkaitan pertanian urban dengan
berbagai konsep pengembangan lainnya, misalnya pengembangan pertanian
pedesaan, sistem pasokan pangan urban, pengembangan urban berkelanjutan,
ketahanan pangan urban dan pengelolaan lahan urban. Keterkaitan tersebut
memberikan indikasi bahwa integrasi ke dalam ekosistem (sistem ekonomi dan
ekologi) urban merupakan faktor krusial penentu eksistensi pertanian urban.

• Signifikansi Kepentingan Pertanian Urban

Setelah lebih dari 25 tahun perhatian pemerintah cenderung lebih diarahkan


untuk me-ngejar pertumbuhan ekonomi, berbagai perubahan lingkungan strategis
yang terjadi dalam dekade terakhir telah mengubah fokus perhatian tersebut ke
arah hal-hal yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan dan perbaikan
kualitas hidup. Pengalaman menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum
berhasil secara nyata memenuhi kebutuhan penduduk miskin, terutama di
negara-negara berkembang (World Bank, 1995). Sampai saat ini, kemiskinan
seringkali dianalogikan dengan kondisi kehidupan di pedesaan. Sementara itu,
tingginya tingkat urbanisasi ternyata juga telah menciptakan kelompok
masyarakat miskin di daerah perkotaan. Pada tahun 1994, 45% dari penduduk
dunia tinggal di perkotaan. Proporsi tersebut akan meningkat menjadi 50% pada

1
tahun 2000, dan diproyeksikan mendekati 65% pada tahun 2005 (United Nations,
1994).

Kecenderungan serupa juga terjadi di Indonesia dimana proporsi penduduk di


perkotaan sebesar 36,5% pada tahun 2000, diproyeksikan akan meningkat menjadi
44,5% dan 52,2%, masing-masing pada tahun 2010 dan 2020 (Ananta dan Arifin,
1994). Hal ini mengindikasi-kan bahwa kemiskinan tidak lagi merupakan masalah
yang menjadi dominasi di daerah pedesaan, tetapi juga akan semakin meningkat
di daerah perkotaan (urban) dan pinggiran kota (peri-urban). Dengan demikian,
masalah ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan juga akan dihadapi oleh
sebagian penduduk yang tinggal di perkotaan, sebagai akibat dari (a) distribusi
pendapatan yang tidak merata, (b) tingkat kemiskinan yang cenderung
meningkat, (c) semakin menurunnya ketersediaan lahan produktif, dan (d) sistem
distribusi yang tidak efisien (Pernia, 1983). Studi yang dilakukan oleh Newland
(1990) bahkan mengindikasikan bahwa 360 juta penduduk perkotaan, terutama di
negara-negara berkembang, menderita kekurangan kalori yang kronis. Sebagian
kelompok penduduk berpendapatan rendah di perkotaan Asia diduga sudah mulai
mengalami kekurangan nutrisi yang lebih buruk dibandingkan dengan penduduk di
pedesaan.

Sejalan dengan perkembangan di atas, berbagai lembaga internasional, misalnya


FAO, mulai memposisikan pertanian urban sebagai (a) salah satu sumber pasokan
sistem pangan urban serta salah satu opsi ketahanan pangan untuk rumah tangga,
(b) salah satu cara produktif untuk memanfaatkan ruang terbuka urban serta
limbah perkotaan, dan (c) salah satu sumber pendapatan serta kesempatan kerja
penduduk urban. CGIAR - Consultative Group on International Agricultural
Research, melalui SIUPA - Strategic Initiative on Urban and Periurban Agriculture
juga telah menyepakati kerangka kerja penelitian pertanian urban yang
mencakup empat tema penelitian, yaitu: (a) produksi atau pasokan produk
perishable dan produk olahan yang berasal dari pertanian urban, (b) pertanian
urban dan livelihoods nya, (c) isu lingkungan dan kesehatan pertanian urban, dan
(d) pemanfaatan pertanian dan non-pertanian sumberdaya urban (CGIAR, 2000).
Pada tingkat nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui
unit-unit kerjanya (misalnya, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta dan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa Barat) juga mulai memberikan perhatian lebih besar terhadap
perkembangan pertanian urban dengan menyelenggarakan berbagai lokakarya
partisipatif identifikasi masalah dan perencanaan.

• Karakteristik Fisik dan Kelembagaan Pertanian Urban di Jakarta dan


Bandung

Jenis komoditas yang dominan diusahakan di urban Jakarta adalah kelompok


sayuran, terutama sayuran daun. Sementara itu, jenis sayuran yang diusahakan

2
di urban Bandung cenderung lebih beragam karena kondisi agro-ekologi yang
lebih memungkinkan. Luas lahan yang digarap oleh sebagian besar petani
(80%) di Jakarta, berkisar antara 50–1000 m2. Sebagian besar responden
mengusahakan sayuran pada lahan-lahan milik pemerintah daerah dan lahan
tidur milik pengembang/pengusaha yang sebenarnya bukan untuk kegiatan
pertanian. Dengan kata lain, sempitnya lahan garapan juga diikuti dengan
ketidak-pastian yang tinggi menyangkut status penguasaannya. Namun
demikian, ketidak-pastian tinggi tersebut ternyata masih dianggap sebagai
peluang kerja dan menarik petani pendatang dari luar Jakarta. Lebih dari
separuh responden (> 60%) berasal dari Bogor, Indramayu dan Cirebon yang
secara temporer tinggal di Jakarta untuk melakukan kegiatan usahatani.

Sementara itu, menarik untuk diperhatikan bahwa persentase produsen di


Bandung yang menggarap lahan > 0.1 ha ternyata cukup tinggi. Seperti halnya
di Jakarta, sebagian besar responden mengusahakan sayuran pada lahan-lahan
tidur milik pengembang/pengusaha yang sebenarnya bukan dialokasikan untuk
kegiatan pertanian. Perlu diperhatikan bahwa kesempatan petani untuk dapat
memanfaatkan lahan tersebut sifatnya temporer. Dengan kata lain, lahan
garapan yang relatif cukup luas ternyata juga mengandung ketidak-pastian yang
tinggi menyangkut status penguasaannya. Dampak dari kemungkinan
penghentian pemanfaatan lahan tidur ini perlu diwaspadai, karena secara
langsung akan menghilangkan pekerjaan petani yang seluruhnya berstatus
sebagai penduduk tetap di sekitar wilayah lahan bersangkutan.

Secara keseluruhan, biaya produksi sayuran di daerah urban ternyata masih


jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya produksi sayuran di sentra
produksi pedesaan. Hal ini menggambarkan perbedaan intensitas penggunaan
input yang juga tercermin dari perbedaan produktivitas yang dicapai. Secara
teknis, senjang produktivitas tersebut masih mungkin dipersempit melalui
upaya mendorong peningkatan penggunaan input. Namun demikian, perlu pula
dipertimbangkan apakah manfaat dari peningkatan produktivitas tersebut
seimbang dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi masalah
pencemaran dan kerusakan lingkungan di daerah urban yang secara spesifik
diakibatkan oleh adanya aktivitas pertanian. Khusus untuk sayuran daun,
beberapa penelitian bahkan telah menunjukkan adanya pencemaran/residu
bahan kimia yang perlu diwaspadai, terutama untuk produk sayuran yang
diusahakan di tepi jalan raya (risiko cemaran emisi) atau di lokasi-lokasi yang
berdekatan dengan kawasan industri (risiko cemaran logam berat/limbah
industrio).

Selama lima tahun terakhir, pemanfaatan lahan kering untuk kegiatan pertanian
di Jakarta, khususnya pengusahaan sayuran, menunjukkan fluktuasi yang cukup
signifikan. Peningkatan tajam pada tahun 1998 pada dasarnya merupakan
konsekuensi dari diterbitkannya Surat Gubernur No. 184 yang secara resmi
memberikan ijin pemanfaatan lahan tidur milik pemerintah daerah dan swasta
(melalui perjanjian formal) untuk kegiatan pertanian, sebagai salah satu

3
alternatif untuk mengatasi dampak krisis ekonomi. Walaupun tidak spesifik
diarahkan untuk pertanian urban, sebenarnya ada beberapa undang-undang atau
program yang secara potensial dapat berpengaruh terhadap perkembangan
pertanian urban. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang No. 7/1996 yang
menyatakan bahwa kecukupan pangan, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas,
harus tersedia untuk semua rumah tangga sepanjang waktu. Undang-Undang ini
memberikan penekanan terhadap peran pemerintah daerah dan komunitas kota
untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Dalam hal ini, pemerintah
daerah/kota berperan sangat penting dalam mendukung program ketahanan
pangan, melalui pemantapan dan perbaikan sistem pangan perkotaan (urban food
system). Contoh lain yang sebenarnya dapat berdampak positif terhadap
perkembangan pertanian urban adalah program penghijauan yang diinisiasi pada
awal tahun 1990an. Jakarta ditargetkan dapat memperbaiki ruang hijau terbuka
perkotaan (urban green open spaces) sebesar 25-30% agar dapat mencapai
keseimbangan lingkungan yang ideal. Namun program ini pada kenyataannya
memiliki skala prioritas yang rendah dan cenderung semakin diabaikan. Sampai
saat ini, perbaikan jalur hijau di Jakarta baru mencapai tidak lebih dari 10%
(Purnomohadi, 2000). Berbagai program lainnya juga memberikan gambaran
bahwa pemerintah daerah cenderung masih memandang pertanian urban sebagai
alternatif program jangka pendek untuk mengatasi dampak krisis ekonomi, bukan
sebagai salah satu komponen yang secara struktural memiliki potensi kontribusi
positif terhadap pembangunan perkotaan.

Kecenderungan yang sama juga terjadi di Bandung walaupun dengan skala


lonjakan peningkatan pemanfaatan lahan kering (terutama karena adanya
peningkatan pemanfaatan lahan tidur milik pengembang) yang lebih rendah.
Peningkatan produksi sayuran juga dimungkinkan dengan semakin banyaknya
petani urban yang mengusahakan sayuran di lahan sawah. Namun demikian,
pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian urban diperkirakan akan terus
semakin menyempit. Selama enam tahun terakhir, lahan sawah telah berkurang
sekitar 2 000 hektar atau berkurang rata-rata 340 hektar per tahun.
Berdasarkan rencana dan proyeksi tata ruang kota yang dikembangkan oleh
Bappeda, luas lahan sawah bahkan diperkirakan akan tersisa sekitar 200 hektar
pada tahun 2006. Pengalihan fungsi lahan akan diarahkan untuk pemanfaatan
perumahan sebagai prioritas utama, kemudian disusul oleh industri, lahan
konservasi, perkantoran serta fasilitas umum lainnya (Adiyoga dkk., 2001).

Sistem produksi pertanian urban dicirikan oleh beragamnya usahatani mikro


yang kera-gaannya tidak saja dibatasi oleh kondisi bio-klimatik, keterbatasan
lahan dan sosial ekonomis, namun juga oleh berbagai kendala teknis. Hasil
karakterisasi menunjukkan bahwa petani serta kondisi usahatani urban Jakarta
dan Bandung sangat berbeda dengan keadaan pertanian di daerah pedesaan
dalam beberapa hal di bawah ini:

4
• Sistem penguasaan lahan
Kendala ketersediaan lahan di daerah urban lebih akut dibandingkan
dengan di pedesaan. Terlebih lagi, sistem penguasaan lahan lebih
kompleks, harga lahan lebih tinggi dan keamanan/kepastian lahan
juga lebih rendah.

• Ekosistem
Karakteristik tanah di daerah urban cenderung sangat dipengaruhi
oleh aktivitas manusia dan berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Kualitas tanah dan air di daerah urban memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk tercemar residu yang berasal dari lalu lintas, industri,
rumah sakit dan rumah tangga. Beban parasitik, sensitivitas tanaman
dan degradasi lahan di daerah urban cenderung lebih akut
dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Dengan demikian,
pengelolaan kesuburan tanah memerlukan upaya lebih kuat untuk
menjamin keragaan optimal tanaman, terutama pada sistem produksi
hortikultura intensif yang dilakukan sepanjang tahun. Penggunaan
input kimiawi berlebih merupakan sumber polusi aktivitas pertanian
dan cenderung berisiko lebih tinggi terhadap kesehatan manusia di
daerah urban.

• Produsen
Petani merupakan bagian besar dari masyarakat pedesaan dan
pertukaran informasi serta teknologi dalam komunitas tersebut
berlangsung secara terus menerus. Sementara itu, petani di daerah
urban seringkali tinggal diantara masyarakat yang terlibat dalam
aktivitas ekonomi lain. Seandainya ada petani lain yang dikenal,
mungkin saja berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbeda,
sehingga menghalangi komunikasi dan kerjasama antar petani urban.
Karakteristik petani urban cenderung lebih beragam dan jarang sekali
menggarap lahan yang berstatus milik dibandingkan dengan petani
pedesaan.

• Metode produksi dan penggunaan pengetahuan lokal


Berdasarkan pengalamannya, petani/produsen di pedesaan biasanya
telah mengembangkan suatu sistem pengetahuan teknis tradisional
(lokal) yang lengkap. Petani pedesaan yang bermigrasi ke kota
seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa pengetahuan lokal yang
dimilikinya tidak lagi relevan, karena menjumpai kondisi tanah dan
air, jenis tanaman, kendala serta oportunitas yang sangat berbeda.
Pelayanan penelitian dan penyuluhan cenderung lebih difokuskan ke
pertanian pedesaan, sehingga teknologi yang diaplikasikan di daerah
urban seringkali bersifat basic dan kurang dapat beradaptasi dengan
kondisi urban. Namun demikian, sebagai akibat dari kondisi sistem
produksi pertanian urban, kedekatan ke pasar dan pola konsumsi
penduduk urban, petani di daerah urban cenderung lebih dinamis dan

5
lebih berkeinginan untuk mencoba teknologi dan jenis komoditas
baru yang lebih sesuai dengan permintaan pasar.

• Produk atau komoditas


Jenis produk atau komoditas yang dihasilkan dari daerah urban
cenderung lebih beragam, termasuk produk yang jarang terdapat di
pedesaan. Sayuran, susu, ayam, telur, tanaman hias, tanaman obat
dan rempah, jamur dan buah-buahan biasanya banyak ditemui di
pertanian urban.

• Pemasaran
Keunggulan dari pertanian urban adalah kedekatan ke pasar serta
pertum-buhan penduduk atau konsumen yang relatif tinggi dan cepat.
Pengolahan, pemasaran dan konsumsi juga cenderung berhubungan
lebih dekat di pertanian urban. Produsen pertanian memiliki
kesempatan lebih besar untuk menjual hasil panennya langsung
kepada konsumen. Kondisi urban juga memungkinkan potensi yang
lebih baik untuk perbaikan penanganan pasca panen (pengawetan,
pengolahan, pengepakan dan pemasaran).

• Lingkungan kelembagaan
Pertanian urban seringkali tidak cukup mendapatkan perhatian dari
pelayanan penelitian dan penyuluhan, yang secara tradisional
biasanya lebih difokuskan ke pertanian pedesaan. Di sisi lain,
berbagai institusi yang berkaitan dengan pembangunan pertanian
biasanya berlokasi di daerah urban. Lembaga swadaya masyarakat
kebanyakan juga berlokasi di kota, namun sangat sedikit yang
memfokuskan kegiatannya untuk menjawab kebutuhan petani urban.

Berdasarkan potensi, peluang dan risiko spesifik pertanian urban, lokakarya


partisipatif yang melibatkan institusi terkait serta pelaku pertanian urban
menghasilkan konsensus bahwa pengembangan atau perancangan model sistem
produksi pertanian urban paling tidak harus memperhatikan dua kriteria, yaitu
hemat lahan dan produk relatif bersih (Adiyoga dkk., 2001). Sistem produksi
pertanian hemat lahan mengimplikasikan suatu keharusan untuk mengiden-
tifikasi ruang atau lahan yang masih bersifat underutilized dan memaksimalkan
potensinya untuk mengakomodasi aktivitas pertanian. Sementara itu, kriteria
produk bersih diarahkan agar produk pertanian yang dihasilkan dari daerah
urban memiliki perbedaan kualitas dibandingkan dengan produk serupa yang
berasal dari sentra produksi pedesaan. Diferensiasi produk ini tidak saja dapat
meminimalkan risiko terha-dap kesehatan konsumen (berkenaan dengan residu
material kimiawi), tetapi juga meningkatkan market competitiveness produk
pertanian urban. Khusus untuk kriteria produk bersih, beberapa kompromi
tentu harus dilakukan sehingga kriteria ini juga memiliki fleksibilitas untuk
dapat memfasilitasi program ketahanan pangan urban.

6
Sementara itu, penelusuran terhadap program kerja berbagai institusi terkait di
Jakarta maupun Bandung memberikan konfirmasi bahwa program penanganan
pertanian urban direncanakan dan dilaksanakan sebagai penjabaran langsung
dari mandat masing-masing institusi. Dalam hal ini, program kegiatan yang
berkaitan dengan pertanian urban sangat didominasi oleh dinas-dinas
pertanian. Dalam konteks penataan pertanian urban yang memerlukan
pendekatan multi-sektoral, multi-tematik, multi-level dan multi-aktor,
sinkronisasi program kerja antar institusi ternyata masih belum tampak
(Adiyoga dkk., 2002).

Status keterpaduan program dalam penanganan pertanian urban yang belum


tampak di Jakarta dan Bandung merupakan konsekuensi dari belum terintegrasi-
nya perencanaan pertanian urban dalam perencanaan kota secara keseluruhan.
Hal ini merupakan tantangan terberat, karena observasi menyangkut kebijakan
dan implementasi tata kota secara implisit masih mengindikasikan adanya
perencana dan administrator yang tidak menghendaki keberadaan kegiatan
pertanian di perkotaan. Beberapa ekonom bahkan memandang manfaat pertanian
urban sebagai eksternalitas. Oleh karena itu, investasi yang ditanamkan di
pertanian urban cenderung masih rendah dan tidak pernah terdokumentasi dalam
perencanaan kota. Pertanian urban terkadang masih dianggap sebagai kegiatan
yang terbelakang (backward) dan cenderung diperlakukan sebagai salah satu
aspek kehidupan perkotaan yang harus diminimalkan.

• Peran Litbang Mendukung Pengembangan Pertanian Urban

Sampai saat ini, kegiatan pertanian urban di Jakarta dan Bandung masih dapat
dikatego-rikan sebagai unregulated urban agriculture. Di kedua kota tersebut,
secara spesifik belum terdokumentasi peraturan yang ditujukan untuk melarang
atau sebaliknya memberikan fasilitasi kongkrit kegiatan pertanian urban. Hal ini
secara tidak langsung mencerminkan persepsi umum mengenai pertanian urban
yang masih dipandang sebagai kegiatan kurang prospektif yang lambat laun akan
hilang sebagai akibat dari urban development pressures. Sementara itu, kondisi
unregulated ini mengandung berbagai risiko yang sudah mulai dirasakan, misalnya
polusi lingkungan, serta konflik dan kompetisi penggunaan sumberdaya yang
justru cenderung menyisihkan pihak-pihak yang seharusnya mendapat manfaat
dari legalisasi pertanian urban, yaitu penduduk miskin perkotaan. Dalam konteks
pengembangan perkotaan berkelanjutan, intervensi kebijakan fasilitasi dan
kerangka kerja perencanaan pertanian urban (termasuk legislasi, aspek normatif
dan finansial serta institusionalisasi proses) sudah saatnya mendapatkan perhatian
lebih serius.

Justifikasi yang melatar-belakangi rekomendasi model sistem produksi


pertanian urban, yaitu hemat lahan dan produk relatif bersih, sudah cukup
solid. Hal penting yang perlu dipertimbangkan berikutnya adalah sampai sejauh

7
mana kriteria tersebut dapat diope-rasionalisasikan. Operasionalisasi kriteria
hanya dapat dilakukan jika berbagai model sistem produksi yang dirancang
memenuhi persyaratan layak secara finansial, diterima secara sosial dan aman
terhadap lingkungan. Sementara itu, observasi lapangan masih mengidentifikasi
adanya dua masalah penting pertanian urban, yaitu produksi dan produktivitas
yang relatif masih rendah serta degradasi lingkungan. Kondisi aktual di
lapangan mengindikasikan adanya senjang teknologi yang cukup lebar berkaitan
dengan kriteria yang telah disepakati, terutama menyangkut kriteria produk
bersih. Dengan demikian, ketersediaan komponen teknologi merupakan
prasyarat penting yang harus dipenuhi. Dukungan litbang pertanian berkenaan
dengan upaya peningkatan atau perbaikan sistem pengelolaan input, sistem
produksi, penyelamatan biodiversitas, keamanan pangan, pelestarian
lingkungan, kapabilitas sumberdaya manusia dan advokasi kebijakan menjadi
sangat kritikal. Secara kongkrit, dukungan litbang terhadap upaya
pengembangan pertanian urban dapat dirancang sebagai berikut:

Tujuan Strategi

1. Memantapkan status • Menghimpun data/informasi melalui survai dan


kepentingan pertanian mendokumentasikan keberadaan pertanian urban
urban • Menyelenggarakan seminar dan lokakarya nasional

2. Mengembangkan komponen • Mengidentifikasi, mengkoleksi, melakukan verifikasi,


teknologi pengusahaan merakit dan melakukan pengujian komponen teknologi
tanaman, ternak dan ikan pertanian urban
yang sesuai dengan • Melakukan seleksi dan mengembangkan jenis tanaman,
lingkungan urban ternak dan ikan yang beradaptasi baik dengan
lingkungan urban
• Mengembangkan teknologi produksi hemat lahan dan
toleran terhadap adverse conditions

3. Meningkatkan kapabilitas • Melakukan diseminasi informasi melalui publikasi teknis


unit-unit pemerintahan dan populer
lokal dan pelaku pertanian • Menyelenggarakan multi-level training diantara
urban dalam mengelola stakeholders
kegiatan produksi maupun • Menyelenggarakan kegiatan demonstrasi komponen
pengolahan teknologi pertanian urban
• Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan orientasi dan
konsultatif pertanian urban
• Menyelenggarakan ekspose dan lomba pertanian urban

4. Memperbaiki status • Menginisiasi atau melakukan survai defisiensi nutrisi/gizi


nutrisi/gizi rumahtangga • Mengintroduksikan dan mempromosikan produk-produk
urban sayuran bergizi tinggi

5. Mempromosikan lingkungan • Mengkonversi limbah urban menjadi kompos


berkelanjutan melalui • Mendaur ulang limbah air rumahtangga dan kota
penataan pertanian urban • Menggunakan kontainer daur ulang sebagai sarana
produksi
• Menggunakan pestisida botani dan predator biologis
dalam pengendalian hama penyakit

8
• Melakukan analisis residu pestisida dan logam berbahaya
di lahan-lahan pertanian urban
• Mengembangkan test kit untuk mendeteksi residu
material kimiawi pada sayuran

6. Mengembangkan skim-skim • Mengembangkan skim produksi/pemasaran serta


produksi dan pemasaran menganalisis kelayakannya
pertanian urban • Menginisiasi pusat-pusat informasi pasar

7. Memberikan advokasi • Menyiapkan dan menulis paper kebijakan untuk


kebijakan untuk pertanian pengambil keputusan
urban berkelanjutan

Sehubungan dengan upaya penataan/pengembangan pertanian urban, paling


sedikit ada tiga hal yang saling berinteraksi dan perlu diperhatikan pada saat
merencanakan suatu intervensi. Ketiga hal tersebut adalah penelitian,
kebijakan dan tindakan (research, policy and action). Penelitian dapat
mengkatalisasi berbagai kegiatan, namun pada dasarnya berfungsi untuk
mendukung kebijakan dan program aksi. Penelitian berfungsi untuk
menyumbangkan informasi yang cukup bagi pengambil keputusan dan pelaksana
sebagai data dasar untuk diskusi (awareness creation), pengambilan keputusan
serta memper-siapkan metode intervensi bersama aktor/pelaku lainnya. Dalam
hal ini, penelitian merupakan titik masuk (entry point) untuk diskusi mengenai
pertanian urban dan kemungkinan intervensinya, sedangkan kebijakan
berfungsi penting sebagai pemandu kegiatan, mendukung kegiatan tersebut
agar dapat diterima, sehingga kegiatan pertanian urban dapat
diinstitusionalisasikan dan diberi mandat untuk promosi dan pengaturannya.
Kondisi ini mengimplikasikan bahwa dukungan litbang melalui intervensi
teknologi (misalnya, pemanfaatan pupuk organik dan pengelolaan limbah,
penanganan kualitas air dan produk bersih, integrated nutrient management &
integrated pest management dan capacity building bagi petani dalam
pemasaran dan penyelenggaraan agribisnis) hanya akan memberikan dampak
yang berarti jika kegiatan pertanian urban telah terinstitusionalisasi dengan
baik dalam perencanaan pengembangan perkotaan (city development
planning).

Dengan kata lain, dukungan litbang secara simultan harus disertai dengan
intervensi kebijakan yang diarahkan untuk memperoleh komitmen pengambil
keputusan berkaitan dengan pengembangan pertanian urban. Berdasarkan
komitmen tersebut, rekayasa pranata sosial baru dapat dilakukan untuk
mendukung berlangsungnya pengalihan, penciptaan, pengembangan dan
penerapan teknologi pertanian urban, serta perwujudan perilaku pengelolaan
sumberdaya urban yang tangguh, berkelanjutan dan adil.

9
PUSTAKA

Adiyoga, W., A. Dimyati, R. Suherman, T. Agoes Soetiarso dan M. Ameriana.


2001. Perbaikan sistem usahatani daerah urban dan periurban menuju
sistem produksi pertanian berkelanjutan. Laporan Hasil Penelitian TA
2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.

Adiyoga, W., A. Dimyati, R. Suherman, T. Agoes Soetiarso, D. Setiabudi dan M.


Ameriana. 2002. Perbaikan sistem usahatani daerah urban dan periurban
menuju sistem produksi pertanian berkelanjutan. Laporan Hasil
Penelitian TA 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.

Ananta, A and E.N. Arifin. 1994. Projection of Indonesian Population Labor


Force, 195-2025. Demographic Institute, Department of Economics,
University of Indonesia, Jakarta.

CGIAR. 2000. Summary of Hanoi and Nairobi Stakeholder Meeting and Planning
Workshop. Available at http://www.cgiar.org/.

COAG/FAO (Committee on Agriculture, Food and Agriculture Organization of


the United Nations). 1999. Urban and peri-urban agriculture.
COAG/99/10. Presented at 15th Session of the COAG, FAO, Rome, 25-29
January 1999.

FAO. 1996. Urban agriculture: An oximoron? In: The state of food and
agriculture (Rome: FAO), pp. 43-57.

Newland, K. 1990. City Limits: Emerging Constraint on Urban Growth.


Worlwatch Paper, no. 38, Worldwatch Institute, Washington. D.C.

Pernia, E.M. 1983. Implication of Urbanization for Food Policy Analysis in Asian
Countries. Unpublished Paper. Resource Systems Institute. East-West
Center, Honolulu, Hawaii, USA.

Purnomohadi, N. 2000. Jakarta: Urban agriculture as an alternative strategy to


face the economic crisis. Paper presented at the International Workshop
on Growing Cities Growing Food: Urban Agriculture on the Policy
Agenda. October 11-15, 1999. Havana, Cuba.

Smit, J., A. Ratta and and J. Bernstein. 1996a. Urban agriculture: An


opportunity for environmentally sustainable development in Sub Saharan
Africa. Building Blocks for Africa 2005 Paper 11, Post-UNCED Series.
Washington DC: World Bank.

10
Smit, J., A. Ratta and J. Nasr. 1996b. Urban agriculture: Food, jobs and
sustainable cities. Publication Series for Habitat II, Vol. I. New York:
United Nations Development Programme (UNDP).

UNDP. 1995. Urban Agriculture, Food, Jobs, and Sustainable Cities. United
Nations Development Programme. Publication Series for Habitat II, vo. 1,
New York.

United Nations. 1994. World Urbanization Prospects. United Nations, New York.

World Bank. 1995. World Development Report. World Bank, Washington, D,C

11

Anda mungkin juga menyukai