Anda di halaman 1dari 29

TEORI LOKASI DAN ANALISA

EKONOMI SPASIAL

Dosen:
Dr. Sri Endang Kornita, SE., M.Si
Faktor Penentu Pemilihan Lokasi Kegiatan Ekonomi

• Ongkos Angkut
Merupakan faktor atau variabel utama dalam pemilihan lokasi kegiatan ekonomi. Ongkos
merupakan bagian yang cukup penting dalam kalkulasi biaya produksi. Pada sektor pertanian,
industri, maupun pertambangan, bahan baku dan hasil produksinya merupakan barang yang
cukup berat sehingga pengangkutannya memerlukan biaya cukup besar. Untuk kemudahan
perumusan teori lokasi kebanyakan ongkos angkut diasumsikan konstan untuk setiap
ton/kilometernya. Walaupun realitanya tidak selalu benar, seringkali dalam jarak yang lebih
jauh ongkos angkut ton per kilometernya semakin rendah yang disebabkan penghematan
angkut rata-rata bila jarak yang ditempuh lebih jauh (economies of long haul). Disamping itu
ongkos angkut juga berbeda menurut jenis angkutan.
• Perbedaan Upah Antar Wilayah
Upah buruh antar wilayah tidaklah sama. Perbedaan tersebut dapat terjadi
karena variasi dalam biaya hidup, tingkat inflasi daerah dan komposisi
kegiatan ekonomi wilayah. Bagi negara berkembang dimana fasilitas angkutan
dan mobilitas barang belum begitu lancar, maka perbedaan upah antar
wilayah menjadi lebih besar (bukan upah nominal tapi upah riil). Hal ini akan
menjadi pertimbangan bagi investor/pengusaha untuk memilih wilayah
dengan upah yang lebih rendah dalam upaya memaksimalkan keuntungan.
• Keuntungan Aglomerasi
Keuntungan aglomerasi muncul bila kegiatan ekonomi yang saling terkait satu sama lainnya
terkonsentrasi pada suatu tempat tertentu dalam bentuk keterkaitan bahan baku (backward linckages),
keterkaitan pasar (Forward linckages).
Pemilihan lokasi akan cenderung tersebar bila keuntungan aglomerasi nilainya relatif kecil.
Keuntungan aglomerasi dapat muncul dalam bentuk
(1) keuntungan skala besar (scale economies) bahan baku maupun pasar sebagian besar telah tersedia
pada perusahaan terkait yang ada pada lokasi tersebut. Biasanya keuntungan diukur dalam bentuk
penurunan biaya produksi rata-rata bila lokasi berada pada suatu konsentrasi industri.
(2) Keuntungan lokalisasi (localisation economies)  keuntungan diperoleh dalam bentuk penurunan
ongkos angkut bahan baku maupun hasil produksi.
(3) Keuntungan penggunaan fasilitas secara bersama (Urbanization Economies) misalnya seperti
listrik, gudang, armada angkutan, air dan lainya. Keuntungannya diukur dalam bentuk penurunan
biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan fasilitas tersebut secara bersama.
• Konsentrasi Permintaan
Pemilihan lokasi cenderung menuju tempat dimana konsentrasi permintaan cukup
besar yang diharapkan jumlah penjualan meningkat dan biaya pemasaran menjadi
lebih rendah sehingga memperbesar keuntungan perusahaan.
Untuk barang konsumsi keadaan ini terjadi terutama karena konsentrasi penduduk
pada wilayah tertentu misalnya perkotaan, pertambangan, pertanian dan lain-lain.
Sedangkan untuk barang setengah jadi (intermediate inputs) terjadi karena adanya
konsentrasi industri yang menggunakan barang setengah jadi tersebut. Didaerah
berkembang dimana fasilitas angkutan belum menyebar secara luas, maka konsentrasi
permintaan antar wilayah cenderung lebih tinggi.
• Kompetisi Antar Wilayah

Persaingan antar wilayah adalah persaingan sesama perusahaan dalam wilayah tertentu atau antar
wilayah.
Bila persaingan ini sangat tajam (perfect competition) maka pemilihan lokasi akan cenderung
terkonsentrasi dengan perusahaan lain yang menjual produk sama. Hal ini dilakukan agar masing-
masing perusahaan akan mendapatkan posisi yang sama dalam menghadapi persaingan sehingga tidak
ada yang dirugikan karena pemilihan lokasi yang kurang tepat. Sebaliknya bila cenderung monopoli
pemilihan lokasi perusahaan akan cenderung bebas.
Pengertian persaingan antar wilayah berbeda dengan persaingan yang biasa dalam ilmu ekonomi.
Suatu perusahaan dapat dikatakan mempunyai daya saing tinggi bila harga lebih rendah dari harga
produk saingan dan sebaliknya. Tapi tidak dijelaskan lebih lanjut harga dimana, apakah harga pabrik
atau harga ditempat pembeli. Dalam pengertian persaingan antar wilayah, harga dimaksud adalah
harga ditempat pembeli yang merupakan harga pubrik + ongkos angkut ke tempat pembeli. Dengan
demikian, telah termasuk unsur lokasi yang lebih dekat dengan konsumen.
• Harga dan Sewa Tanah

Dalam memaksimalkan keuntungan perusahaan akan cenderung memilih lokasi


dimana harga atau sewa tanah lebih rendah.
Hal ini terutama pada kegiatan pertanian yang memerlukan lahan lebih luas. Harga
tanah akan tinggi bila terdapat fasilitas angkutan barang/orang yang memadai. Di
perkotaan harga tanah bervariasi menurut jarak ke pusat kota.
Karena itu, faktor harga tanah merupakan faktor penting dalam penentuan lokasi dan
penggunaan tanah untuk kegiatan ekonomi dan perumahan di daerah perkotaan
Pengelompokan Teori Lokasi
• Bird-Rent Theories  yaitu kelompok teori lokasi yang mendasarkan analisa pilihan lokasi kegiatan ekonomi pada
kemampuan membayar harga tanah (bid-rent) yang berbeda dengan harga pasar tanah (land-rent). Berdasarkan hal
ini lokasi kegiatan ekonomi ditentukan oleh nilai bid-rent yang tertinggi. Dipelopori oleh Von Thunen (1854).

• Least cost theories  yaitu kelompok teori lokasi yang mendasarkan analisa pemilihan lokasi kegiatan ekonomi
pada prinsip biaya minimum (Least cost). Dimana lokasi yang terbaik yaitu pada biaya produksi dan ongkos angkut
yang paling kecil. Bila hal ini tercapai maka tingkat keuntungan perusahaan menjadi maksimum. Dipelopori Alferd
Weber (1929).

• Market Area Theories  yaitu kelompok teori yang mendasarkan analisa pemilihan lokasi kegiatan ekonomi pada
prinsip luas pasar (market area) terbesar yang dikuasai perusahaan. Luas pasar tersebut adalah mulai dari lokasi
pabrik sampai ke lokasi konsumen yang membeli produk bersangkutan. Dipelopori August Losch (1954)
Teori Lokasi Von Thunen
• Pada waktu itu kondisi perekonomian pada umumnya berbentuk pertanian
yang dikelola dengan sistem tuan tanah. Raja dan bangsawan merupakan tuan
tanah yang menyewakan tanahnya untuk dikelola rakyat yang bekerja sebagai
petani. Sewa dibayar dengan hasil pertanian yang besar kecilnya ditentukan
tuan tanah. Struktur pertanian pada umumnya “monometric” setiap wilayah
merupakan daerah pertanian dalam arti luas. Petani bertempat tinggal
menyebar diwilayah ini dan melakukan kegiatan pertanian untuk dikonsumsi
sendiri atau di jual ke pusat perdagangan (kota) dimana tuan tanah bertempat
tinggal.
Kasus 1 Jenis Tanaman
• Fungsi Keuntungan :

• Π = keuntungan, TR = total pendapatan , TC = total biaya, p = harga jual produk, Q = jumlah produksi, a = biaya
produksi rata-rata perunit, T = ongkos angkut, R = sewa tanah , keduanya dipengaruhi oleh jarak (k) ke pasar.
• Diasumsikan pasar bersifat kompetitif dalam jangka pendek dan keuntungan cenderung positif karena pesaing belum
banyak. Kondisi ini merangsang pengusaha lain untuk menanam modalnya karena keuntungan cukup besar. Akibatnya
keuntungan cenderung menurun menjadi 0. dengan demikian :
• R*(k) adalah bid-rent yang menunjukkan kemampuan untuk membayar sewa
tanah dari hasil pemanfaatan tanah yang besangkutan.
• Pemilihan lokasi yang paling optimal untuk usaha akan ditentukan oleh
perbandingan bid-rent sewa tanah yang berlaku di pasaran. R*(k) > R (k)
yaitu kemampuan membayar sewa tanah (bid-rent) lebih besar dari sewa tanah
di pasaran (land-rent), maka lahan tersebut layak digunakan karena akan
memberikan keuntungan. Sebaliknya, jika R*(k) < R(k), maka layak tersebut
tidak layak digunakan.
Simple Example
• Seorang petani akan menanam padi dan ia menyewa lahan di Rimbo Panjang
seluas 1 ha seharga Rp. 250.000 yang dapat menghasilkan 500 Kg, biaya rata-
rata produksi padi sebesar Rp. 7.500 dan harga jual padi per kilogramnya
sebesar Rp. 10.000. Seluruh hasil panen di jual ke Kota Pekanbaru yang
jaraknya lebih kurang 20 Km dengan biaya angkut Rp. 25 per kilometer.
Apakah layak usaha tersebut ?
Jawab
• Diketahui R (k) = Rp. 250.000, Q = 500 Kg, a=Rp. 7.500, P = Rp. 10.000, k
= 20 Km, T = Rp. 25
• R*(k) = Q (p-a) – Q T(k)
• R*(k) = 500 (10.000 – 7.500) – 500 (25 x 20)
• R*(k) = 500 (2500) – 500 (500)
• R*(k) = 1.250.000 – 250.000
• R*(k) = 1.000.000 > R (k) = 250.000  Layak
Teori Lokasi Weber
• Kasus ruang satu dimensi
Ruang hanya merupakan garis lurus yang menghubungkan dua tempat yaitu
sumber bahan baku (M) dengan pasar (C). Jika perusahaan memilih lokasi di
titik F, maka untuk membawa bahan baku ke pabrik perlu ditempuh jarak (k),
sedangkan untuk membawa hasil produksi ke pasar akan menempuh jarak (k*
- k), dimana k* jarak antara M dan C yang sudah tetap panjangnya
M F C
k (k*-k)
• Berdasarkan Teori Weber, pemilihan lokasi didasarkan pada prinsip ongkos angkut
minimum (Angkuttation Orientation). Ini berarti bahwa lokasi optimal suatu perusahaan
industri akan ditentukan berdasarkan ongkos angkut yang paling rendah yang harus dikeluarkan
perusahaan bila memillh lokasi bersangkutan. Dalam hal ini diasumsikan bahwa tidak
terdapat perbedaan upah buruh antar tempat dan tidak ada keuntungan aglomerasi
bila lokasi berdekatan.
persamaan ongkos angkut
bila berlokasi pada titik F dapat ditulis:

Dimana T (k) adalah ongkos angkut yang besarnya ditentukan oleh unsur jarak,
k. Bahan baku (input) diwakili oleh X dan output (hasil produksi) oleh q.
Sedangkan n dan m masing-masingnya adalah ongkos angkut bahan baku dan
produksi. Dengan demikian terlihat bahwa unsur pertama
pada ruas
Penentuan lokasi optimal
Dengan menggunakan kurva
• Grafik 2.5 menunjukkan kondisi dimana angkos angkut bahan baku rata-rata
per unit output adalah lebih besar dari ongkos angkut rata-rata output.
Kondisi ini diperlihatkan oleh kurva ongkos angkut input yang mempunyai
sudut (slope) yang lebih besar dari ongkos angkut output. Kurva ongkus angkut total
akan dapat diperoleh dengan menghubungkan kedua kurva ongkos angkut bahan baku
dan hasil produksi yang menghasilkan kurva yang miring ke arah sumber bahan baku.
Dengan demikian terlihat bahwa lokasi optimal haruslah di sumber bahan baku, yaitu
sesuai dengan analisa terdahulu yang menggunakan Weberian Locational Weight (W).
• Grafik 2.6 menunjukkan kondisi sebaliknya dimana ongkos angkut bahan
baku per unit output adalah lebih kecil dari ongkos angkut hasil poduksi yang
ditunjukkan oleh kurva ongkos angkut bahan baku yang mempunyai sudul
lebih kecil dari ongkos angkut hasil produksi. Sebagaimana dijelaskan
terdahulu, kurva ongkos angkut total dapat diperoleh dengan
menghubungkan kurva ongkos angkut bahan baku dan hasil produksi serta
menghasilkan kurva yang miring kearah pasar. Dengan demikian terlihat
bahwa lokasi optimal adalah di pasar karena lokasi ini akan dapat
memberikan jumlah ongkos angkut yang minimum
Kasus Ruang Dua Dimensi

• Kasus pemilihan lokasi yang dibahas oleh Weber adalah menyangkut dengan pendirian
sebuah pabrik pencoran biji besi di Jerman pada masa kebangkitan industri (revolusi
industri). Dalam hal ini lokasi sumber bahan baku ada di dua tempat, sedangkan pasar tetap
pada satu lokasi. Bahan baku pertama adalah biji besi yang lokasi tambangnya berada pada
M1, sedangkan bahan baku kedua adalah batubara yang lokasinya pada M2. Kedua bahan
baku ini diasumsikan bersifat "localized materials" artinya hanya terdapat pada tempat tertentu,
sehingga untuk membawanya ke tempat lain akan memerlukan sejumlah ongkos angkut. Sedangkan lokasi
pasar di C, yaitu pada lokasi pabrik pembuatan kereta api yang merupakan konsumen utama hasil
produksi besi. Berdasarkan kondisi ini, ruang (space) sekarang menjadi bersifat dua dimensi dengan 3
sudut yang berbentuk segitiga (Weberian Locational Triangle)
Teori Lokasi Market Area

• August Losch (1944) mempelopori Teori Lokasi Market Area yang mendasarkan
analisa pemilihan lokasi optimal pada luas pasar yang dapat dikuasai dan kompetisi
antar tempat. Berdasarkan pada pandangan ini, sebuah perusahaan akan memilih suatu
temp at sebagai' lokasi yang optimal berdasarkan kekuatan persaingan antar
tempat dan luas pasar yang dapat dikuasainya. Dengan demikian terlihat
bahwa permintaan dan penawaran antar temp at merupakan unsur penting
dalam menentukan lokasi optimal dari suatu kegiatan perusahaan
• Teori Lokasi Market Area ini juga mempunyai asumsi dasar tertentu yang melandasi
analisanya. Pertama, konsumen tersebar secara relatif merata antar tempat, artinya teori
ini cocok diberlakukan di daerah perkotaan dimana konsentrasi penduduk dan industri
relatif merata dibandingkan dengan daerah pedesaan atau pedalaman. Kedua, produk
homogen sehingga persaingan akan sangat ditentukan oleh harga dan ongkos angkut.
Ketiga, ongkos angkut per kesatuan jarak (ton/km) adalah sama (No Economies of
Long Haul).
Kasus
• Permintaan Semen Padang yang pabriknya terletak di Indarung, Kota Padang.
Produk Semen Padang dipasarkan pad a 2 konsentrasi pasar utama yaitu
Medan dan Pekanbaru. Harga jual pada masing-masing konsentrasi pasar
adalah harga pabrik (Po) ditambah dengan ongkos angkut ke pasar yang
bersangkutan. Dalam hal ini, jarak ke Pekanbaru dilambangkan dengan dp
dan ke Medan dM. Sedangkan jumlah barang diminta di Pekanbaru
dilambangkan dengan Qp dan untuk medan QM.
• Disini terlihat bahwa kurva permintaan spasial mempunyai bentuk yang sama
dengan kurva perrnintaan biasa, kecuali sumbu vertikal melambangkan harga jual
di pasar dan sumbu horizontal melambangkan unsur prediksi Q, yang besar
kecilnya ditentukan oleh ongkos angkut dari pabrik ke pasar.
Pengaruh Perubahan Teknologi Terhadap
Pemilihan Lokasi Industri
• Kelemahan dari semua teori lokasi yang telah diuraikan terdahulu adalah
bahwa teknologi diasumsikan tidak berubah yang dicerminkan dari koefisien
input yang dianggap tetap sebagaimana dinyatakan dalam Teori Lokasi
Weber. Hal ini tentunya kurang logis karena dalam kenyataannya teknologi
produksi selalu mengalami peru bah an dalam rangka meningkatkan mutu
produk dan efisiensi produksi. Karena itu, terdapat pula beberapa upaya dari
kalangan ahli untuk mencoba menganalisa seberapa jauh perubahan
teknologi tersebut dapat mempengaruhi pemilihan lokasi industri.
• Upaya untuk mewujudkan hal ini tidaklah mudah karena perubahan
teknologi itu sendiri sangat bervariasi dan sukar diramalkan. Perubahan
teknologi produksi tersebut kebanyakan dipicu oleh perubahan relatif dari
harga faktor produksi yang mendorong terjadinya substitusi input dalam
proses produksi. Subtitusi input ini selanjutnya akan mendorong pula
terjadinya perubahan teknologi produksi dalam rangka tetap
mempertahankan efisiensi produksi yang mendorong terjadinya perubahan
atau perpindahan lokasi perusahaan.
• Usaha pertama yang berkaitan dengan hal ini dilakukan oleh Leon Moses (l965)
yang dianalisa dalam bentuk pengembangan terhadap Teori Weber dengan
memasukkan dua unsur penting yaitu Substitusi Input (Input Substitution) dan Skala
Produksi (Return to Scale). Substitusi Input akan menyebabkan terjadi Capital Embodied
Technical Change bila perubahan teknologi tersebut terjadi karena semakin banyaknya
menggunakan benda modal, atau Labor Embodied Technical Change bilamana perubahan
teknologi tersebut terjadi sebagai akibat semakin banyaknya penggunaan tenaga kerja.
Sedangkan Return to Scale akan menyebabkan terjadinya perubahan skala produksi tanpa
terjadinya perubahan input (Neutral Technical Change).

Anda mungkin juga menyukai