Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SEMINAR HASIL TESIS

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN DISPARITAS HARGA BUNGA KOL DI


JAWA TENGAH

Oleh:
ASNAN ADIB
S642108001

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2024

1
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris karena memiliki lahan pertanian yang cukup luas, yaitu
mencapai 7.463.948 Ha (BPS 2020) dan sebagian besar penduduknya bekerja di sektor
pertanian. Seiring berkembangnya kebutuhan konsumsi hasil pertanian, banyak petani yang
membudidayakan berbagai jenis tanaman pertanian diantaranya hortikultura guna
memperoleh hasil ekonomi yang tinggi. Komoditas hortikultura yang banyak
dibudidayakan petani Indonesia adalah sayuran. Tingginya kebutuhan pasar serta jangka
waktu panen yang cukup singkat menjadikan para petani di Indonesia tertarik
membudidayakan sayuran sebagai komoditas utama. Selain itu sayuran juga memiliki nilai
ekonomi yang cukup tinggi, seperti pada komoditas bunga kol yang harganya mencapai Rp.
30.000 per kilogram.
Kabupaten / Kota di Jawa Tengah yang menyumbang produksi bunga kol terbesar dari tahun
Provinsi 2018 sampai dengan tahun 2020, yaitu Kabupaten Boyolali dengan rata-rata
produksi selama tiga tahun sebanyak 16.872 ton, selanjutnya Kabupaten Magelang
sebanyak 13.858,5 ton, Kabupaten Semarang sebanyak 3.547,1 ton, dan diikuti Kabupaten
/ Kota lainnya. Meskipun banyak petani di Jawa Tengah yang memproduksi bunga kol,
khususnya di wilayah Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Semarang
namun keuntungan yang diperoleh petani dari hasil produksi bunga kol di wilayah tersebut
terbilang cukup rendah, berdasarkan data di lapangan yaitu di pasar Cepogo Kabupaten
Boyolali, keuntungan yang diperoleh petani dari hasil produksi bunga kol mereka hanya
sekitar Rp. 1.000 per kilogram. Hal ini disebabkan panjangnya rantai saluran pemasaran
bunga kol serta tingginya disparitas harga bunga kol di Jawa Tengah sehingga menyulitkan
petani memperoleh keuntungan maksimal dari hasil panen mereka.
B. Kebaruan Penelitian
Pada kebaruan penelitian ini, selain menjadi penelitian pertama yang mengkaji analisis
efisiensi pemasaran bunga kol di Jawa Tengah, penelitian ini juga menjadi penelitian
pertama terkait disparitas harga bunga kol di Jawa Tengah yaitu provinsi yang menjadi salah
satu wilayah produsen bunga kol tertinggi di Indonesia.
Penelitian terkait sebelumnya, yaitu penelitian Ida Ayu (2022), dengan judul penelitian,
Distribusi pemasaran sayur bunga kol (Brassica Oleracea) Di Desa Baturiti Kecamatan
Baturiti Kabupaten Tabanan. Hasil dari penelitian tersebut yaitu pemasaran tetap
memperhatikan 4 P, yaitu product, price, place, dan promotion serta beberapa kendala yang

2
dihadapi oleh petani di Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan adalah fluktuasi harga di
pasar (tingkat konsumen), pembayaran tidak tunai, bertambahnya pesaing, terbatasnya
kepastian untuk meningkatan promosi dan terbatasnya produk.
Penelitian lain yaitu oleh Isman Sidik, dkk (2023) dengan judul penelitian Faktor - faktor
yang mempengaruhi harga jual komoditas kembang kol (Brassica oleacera Var. Botrytis).
Denga hasil penelitian yaitu jumlah produksi, kualitas, penanganan pascapanen, dan saluran
ditribusi pemasaran mempengaruhi harga jual bunga kol sebesar 40,8%, sedangkan sisanya
59,2% dipengaruhi oleh faktor lain. Jumlah produksi, Kualitas, Penanganan pascapanen, dan
biaya distribusi pemasaran berpengaruh nyata terhadap harga jual bunga kol tingkat petani,
serta faktor kualitas dan biaya distribusi berpengaruh nyata terhadap harga jual bunga kol
tingkat petani.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan data hasil survey di lapangan, khususnya di Pasar Sayur Ngablak Kabupaten
Magelang dan Pasar Sayur Cepogo Kabupaten Boyolali, terlihat disparitas harga bunga kol
yang cukup tinggi, dengan selisih harga anatara dua kabupaten hingga mencapai Rp. 3.000
per kilogram dari harga jual bunga kol di tingkat konsumen Rp. 15.000 per kilogram, atau
dapat dikatakan disparitas harga sebesar hingga 20% dari harga jual di tingkat konsumen.
Hal ini disebabkan panjangnya rantai saluran pemasaran bunga kol di Jawa Tengah serta
faktor-faktor lain yang mempengaruhi disparitas harga bunga kol di Jawa Tengah, seperti
harga bunga kol di tingkat petani, jumlah produk bunga kol tersedia di pasar, serta kualitas
produk bunga kol di Jawa Tengah.
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana rantai pemasaran / tataniaga bunga kol di Jawa Tengah?
2. Bagaimana tingkat efisiensi pemasaran / tataniaga bunga kol di Jawa Tengah?
3. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi disparitas harga bunga kol di Jawa Tengah?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian yang dilakukan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui rantai pemasaran / tataniaga bunga kol di Jawa Tengah.
2. Untuk mengetahui tingkat efisiensi pemasaran tataniaga bunga kol di Jawa Tengah.
3. Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi disparitas harga bunga kol di
Jawa Tengah.

3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Penelitian Terdahulu
Belum banyak penelitian yang mengkaji tentang analisis efisiensi pemasaran bunga kol
serta faktor yang mempengaruhi disparitas harga bunga kol terutama pada cakupan data
penelitian yang mewakili satu provinsi, seperti pada penelitian ini yaitu di Provinsi Jawa
Tengah.
Seperti halnya penelitian Amalia (2012), dengan judul penelitian Analisis Tataniaga
Wortel (Daucus carota L.) di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran tataniaga, fungsi-fungsi yang
dilakukan lembaga-lembaga tataniaga, untuk mengetahui struktur dan perilaku pasar
pada masing-masing lembaga, dan untuk mengetahui tingkat efisiensi berdasarkan
marjin, farmer share, dan rasio keuntungan dan biaya tataniaga. Saluran tataniaga wortel
di Kecamatan Pacet melibatkan beberapa lembaga tataniaga yaitu petani, pedagang
pengumpul kebun (PPK), Sub Terminal Agribisnis (STA), pedagang besar sampai
pedagang pengecer. Analisis terhadap sistem tataniaga wortel di Kecamatan Pacet
menunjukkan bahwa sebaran marjin keuntungan dan marjin biaya yang ditanggung oleh
masing-masing lembaga tataniaga berbeda-beda sesuai dengan fungsi tataniaga yang
telah dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga.
Selain itu oleh Januar, Arifin dkk (2016), mengkaji tentang transmisi harga asimetri
dalam rantai pasok bawang merah dan hubungannya dengan impor di indonesia: studi
kasus di Brebes dan Jakarta. Penelitian ini mencakup Disparitas harga bawang merah di
tingkat petani dan konsumen sangat besar.. Penelitian ini menggunakan model Houck
dan Error Correction Mechanism (ECM) serta uji kointegrasi dan kausalitas jangka
panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hubungan petani-grosir terjadi
asimetris harga dalam jangka pendek karena terkait dengan biaya penyesuaian,
sedangkan grosir-pengecer terjadi asimetris dalam jangka panjang karena terkait dengan
penyalahgunaan kekuatan pasar.
Berdasarakan penelitian terdahulu, perhitungan farmer’s share, margin tataniaga, dapat
digunakan untuk menganalisis efisiensi pemasaran suatu komoditas. Selain itu, metode
analisis ECM juga dapat digunakan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi adanya
disparitas harga, dalam hal ini pada komoditas bunga kol di Jawa Tengah.

4
2. Tinjauan Pustaka
a. Tataniaga
Tataniaga merupakan salah satu cabang aspek pemasaran yang menekankan
bagaimana suatu produksi dapat sampai ke tangan konsumen (distribusi). Tataniaga
dapat dikatakan efisien apabila mampu menyampaikan hasil produksi kepada
konsumen dengan biaya semurah-murahnya dan mampu mengadakan pembagian
keuntungan yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen kepada semua
pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan tataniaga (Rahardi, 2000). Dalam
serangkaian proses tataniaga, khususnya pada penjualan suatu produk atau barang,
melibatkan saluran tataniaga atau saluran pemasaran seperti produsen, pengepul,
pedagang besar, pedagang pengecer, hingga sampai ke tingkat konsumen akhir.

b. Efisiensi Tataniaga
Efisiensi tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem
pemasaran. Efesiensi secara ekonomis digunakan untuk mengetahui saluran tataniaga
yang efisien secara ekonomis. Apabila semakin rendah persentase margin
tataniaga, maka farmer’s share akan semakin tinggi. Apabila farmer’s share< 50%,
maka tataniaga belum efisien dan apabila farmer’s share> 50%, maka tataniaga
dapat dikatakan efisien (Harttitianingtias, 2015).
c. Farmer’s Share
Farmer’s share adalah besarnya persentase harga yang diterima oleh pelaku petani
dengan harga yang dibayarkan konsumen. Beberapa hal yang mempengaruhi nilai
farmer’s share, di antaranya yaitu tingkat pemrosesan, biaya transportasi, jumlah
produk, dan keawetan produk. Nilai farmer’s share berhubungan negatif dengan
marjin pemasaran, bila marjin pemasaran semakin tinggi, maka bagian yang diterima
oleh petani semakin rendah.

d. Margin Tataniaga
Margin tataniaga adalah selisih harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dengan
harga yang diterima oleh petani (Daniel, 2002). Besar kecilnya suatu biaya tataniaga
tergantung dari besar kecilnya kegiatan-kegiatan lembaga tataniaga dan jumlah
fasilitas yang diperlukan, selain itu tergantung dari panjang pendeknya rantai
tataniaga. Besar kecilnya margin tataniaga dipengaruhi oleh perubahan biaya
tataniaga, keuntungan, perantara, harga yang harus dibayar konsumen akhir dan harga
yang diterima produsen.

5
B. Kerangka Berpikir
Harga sayur bunga kol di pasar memiliki nilai disparitas harga yang cukup tinggi, hingga
mencapai Rp. 3.000 per kilogram dari harga jual bunga kol Rp. 15.000 per kilogram atau
setara 20% harga jual, berdasarkan data di lapangan yakni di pasar sayur Cepogo Kabupaten
Boyolali dan pasar sayur Ngablak Kabupaten Magelang. Faktor yang dapat menjadi
penyebab disparitas harga pada sayur bunga kol di Jawa Tengah ini yaitu karena beberapa
faktor seperti efisiensi pemasaran bunga kol di Jawa Tengah, harga di tingkat petani bunga
kol di Jawa Tengah, jumlah produk bunga kol yang tersedia di pasar, serta kualitas produk
bunga kol (grading & sortasi) di Jawa Tengah.

Petani Pasar Induk Pengecer Konsumen

Harga Pasar / Daerah

Faktor yang mempengaruhi


Disparitas Harga

Analisis Faktor yang mempengaruhi


Disparitas Harga

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian


C. Pembatasan Masalah
1. Penelitian ini dilakukan pada saluran pemasaran bunga kol secara runtut dari petani –
pengepul – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen sehingga dapat diketahui
harga dari masing-masing saluran pemasaran pada tiga kabupaten penghasil bunga kol
tertinggi di Jawa Tengah; Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, Kabupaten dan
Semarang.
2. Data yang dianalisis merupakan data primer yang diperoleh pada bulan Agustus, bulan
September sampai dengan bulan Oktober tahun 2023.
3. Responden dalam penelitian ini yaitu para petani bunga kol, pengepul, pedagang besar,
pedagang besar, dan pedagang pengecer bunga kol Jawa Tengah, khususnya di
Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Semarang.

6
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan analitis. Metode
deskriptif penelitian ini yaitu melalui kuisioner dengan survey ke lapangan secara langsung
yang berlokasi di Kabupaten Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten
Semarang. Metode analitis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu perhitungan margin
tataniaga, farmer share, dan rasio keuntungan serta analisis disparitas harga menggunakan
perhitungaan koefisien variasi dan (Error Correction Model) ECM dengan aplikasi
Eviews12 untuk mengetahui pengaruh jangka pendek dan jangka panjang terhadap
disparitas harga. Penelitian ini terdiri dari tiga variabel bebas (independent) yaitu harga jual
di tingkat petani (x1), jumlah produk yang tersedia di pasar (x2), kualitas produk bunga kol
(x3), sedangkan variabel terikatnya (dependent) adalah disparitas harga (y).
B. Metode Penentuan Sampel
1. Metode Penentuan Lokasi
Penentuan lokasi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
atau sengaja. Teknik purposive yaitu penentuan lokasi penelitian berdasarakan
pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian (Sugiyono, 2014). Lokasi
penelitian yang dipilih yaitu tiga kabupaten penghasil bunga kol tertinggi di Jawa
Tengah, antara lain Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten
Semarang. Jawa Tengah merupakan Provinsi penghasil bunga kol tertinggi di pulau
Jawa, dan pulau jawa merupakan penghasil bunga kol tertinggi di seluruh Indonesia.
2. Metode Penentuan Sampel
Penentuan sampel pada penelitian ini ditujukan kepada petani dan pedagang sayur bunga
kol terdapat di tiga kabupaten penghasil bunga kol tertinggi di Jawa Tengah yaitu
Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Semarang. Penentuan sampel
merupakan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian untuk mengambil sampel yang
dapat mewakili populasi sebenarnya dalam penentuan kesimpulan penelitian. Penentuan
sampel dilakukan dengan metode teknik non probability sampling.

C. Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder, dengan
rincian sebagai berikut :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui metode pengumpulan
data tertentu untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data primer yang dikumpulkan

7
adalah data karakteristik responden, harga bunga kol, serta nilai faktor-faktor yang
mempengaruhi disparitas harga bunga kol. Data-data tersebut diperoleh melalui
pengamatan langsung dan wawancara mengacu pada kuisioner dengan maksud agar
dapat memperoleh informasi yang mendukung penelitian. Pengematan langsung
dilakukan untuk menganalisis nilai disparitas harga kol di Jawa Tengah. Kuisioner yang
digunakan berisikan pertanyaan-pertanyaan relevan dengan tujuan penelitian. Kuisioner
tidak diberikan kepada responden secara langsung, tetapi peneliti menggunakan
kuisioner pada saat mewawancarai responden agar tidak terjadi salah arti dalam
pemahaman pertanyaan. Seluruh data primer diperoleh dari produsen (petani),
pedagang, serta pengecer bunga kol di Jawa Tengah.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari instansi atau lembaga yang terkait dengan penelitian ini.
Sumber dari data sekunder ini diperoleh dari Dinas Pertanian Provinsi Jawa Tengah dan
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah.
D. Metode Analisis Data
Menurut Thamizhselvan dan Paul (2012), untuk mengetahui efisiensi saluran pemasaran
dapat dihitung menggunakan Metode Indeks Efisiensi Tambah 1 dengan perbandingan
antara margin pemasaran dan biaya pemasaran, dengan rumus sebagai berikut:
𝛾 − 𝛾𝑝
𝜀 =1+
𝛽 + 𝛽𝑝
ε = Efisiensi perdagangan β = Biaya lembaga pemasaran (Rp)
γ = Keuntungan lembaga pemasaran (Rp) βp = Biaya petani (Rp)
γp = Keuntungan petani (Rp)
Jika nilai efisiensinya ≥ 1 maka saluran pemasaran dikatakan efisien, sedangkan jika nilai
efisiensi < 1 maka saluran pemasaran dikatakan tidak efisien.
Menurut Aji & Nur (2017) margin sistem pemasaran adalah penjumlahan seluruh biaya
pemasaran dan keuntungan yang diperoleh dari sistem pemasaran selama proses
pendistribusian suatu komoditas dari suatu lembaga sistem pemasaran ke lembaga sistem
pemasaran lainnya. Rumus menghitung Share Margin yaitu:
𝑃𝑓
𝑆𝑚 = × 100%
𝑃𝑟
Keterangan: Sm (persentase Margin dihitung dalam persen (%))
Pf (Harga yang diterima petani atau pedagang (Rp/kg))
Pr (Harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Rp/kg));

8
Selanjutnya dilakukan perhitungan disparitas harga menggunakan metode analisis koefisien
variasi (kV) untuk mengukur disparitas harga, besarnya koefisien dapat dihitung dengan
rumus :
𝑆𝑆
𝐾𝑉 = × 100%
𝑥̅
Keterangan: KV (Koefisien Variasi)
SS (Standar Deviasi)
x ̅ (harga rata-rata komoditas).
Perhitungan koefisien disparitas ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
Tidak Kritis = kV = 0 Tinggi = 20% ≤ kV < 30%
Rendah = kV < 10% Sangat tinggi = kV ≥ 30%
Sedang =10% ≤ kV < 20%
Persamaan model regresi ECM akan digunakan untuk mengetahui nilai faktor-faktor yang
mempengaruhi disparitas harga bunga kol di tingkat konsumen akhir di Provinsi Jawa
Tengah baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, yang persamaannya:
Jangka pendek:
𝑌 = 𝛽0 + 𝛽1 ∆𝑋1 𝑡 + 𝛽2 ∆𝑋2 𝑡 + 𝛽3 ∆𝑋3 𝑡 + 𝛽4 𝑅𝐸𝑆𝐼𝐷 + 𝑢𝑡
Jangka panjang:
𝑌 = 𝑎0 + 𝑎1 𝑋1 𝑡 + 𝑎2 𝑋2 𝑡 + 𝑎3 𝑋3 𝑡 + 𝑢𝑡
Dimana:
αi = Koefisien jangka panjang X1= Harga bunga kol tingkat petani di Jawa Tengah
βi = Koefisien jangka pendek X2= Jumlah produk tersedia di pasar
Y = Disparitas harga X3= Kualitas produk bunga kol di Jawa Tengah
Ui = Nilai sisa
Selanjutnya dilakukan Uji Koefisien Determinasi (R2), R squared merupakan angka yang
berkisar antara 0 sampai 1 yang mengindikasikan besar atau kecilnya kombinasi variabel
independen atau variabel eksogen secara bersama – sama mempengaruhi nilai pada variabel
dependen atau variabel endogen.
Selanjutnya dilakukan Uji Kelayakan Model (Uji F), untuk melihat apakah terjadi pengaruh
secara simultan antara variabel independen dengan variabel dependen yang digunakan
dalam suatu penelitian. (Ghozali, 2018).
Selanjutnya dilakukan Uji t yang digunakan untuk melihat seberapa jauh pengaruh satu
variabel independen secara individual dalam terhadap variabel dependen (Ghozali, 2018).

9
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Kondisi Umum Daerah Penelitian


Adapun Kabupaten yang menjadi daerah penelitian yaitu Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Semarang yang menjadi tiga Kabupaten penghasil
bunga kol tertinggi di Jawa Tengah.

Tabel 2. Luas Wilayah Luas dan Luas Panen Komoditas Bunga Kol di Tiga
Kabupaten Penghasil Bunga Kol Tertinggi di Jawa Tengah Tahun 2020

Kabupaten Luas wilayah (Ha) Luas Panen (Ha)


Kabupaten Boyolali 1 008,45 1489
Kabupaten Magelang 1 102,93 1195
Kabupaten Semarang 950,21 442
Sumber : BPS Jawa Tengah 2020
Terkait dengan produktivitas bunga kol, tiga kabupaten bunga kol tertinggi di Jawa
Tengah yaitu Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Semarang
memiliki demografi sebagai berikut:
a) Kabupaten Boyolali
Kabupaten Boyolali terletak di 110o22’–110o50’ Bujur
Timur dan 7o36’–7o71’ Lintang Selatan. Kabupaten Boyolali memiliki luas wilayah
101.510,20 Ha yang terdiri tanah sawah 22.830,83 Ha dan tanah kering 78.679,37 Ha.
Secara topograffi wilayah Kabupaten Boyolali merupakan wilayah dataran rendah
dengan perbukitan dan pegunungan, berada pada ketinggian rata-rata 700 meter di
atas permukaan laut. Titik tertinggi berada pada 1.500 meter yaitu di Kecamatan Selo
dan terendah pada 75 meter di Kecamatan Banyudono.
b) Kabupaten Magelang
Secara geografis Kabupaten Magelang terletak pada posisi 110001’51” dan
110026’58” Bujur Timur dan antara 7019’13” dan 7042’16” Lintang Selatan.
Alokasi penggunaan lahan di Kabupaten Magelang mencakup 78.897 Ha Lahan
Pertanian, yang terdiri dari Lahan Sawah seluas 36.974Ha dan Lahan kering seluas
41.923Ha. Adapun peruntukan Lahan Sawah diantaranya adalah Berpengairan Teknis
(technical irrigation) seluas 6.177 Ha, Berpengairan Setengah Teknis (semitechnical
irrigation) seluas 6.092 Ha, Berpengairan Sederhana (simple technical irrigation)
seluas 16.985 Ha dan Tadah Hujan (reservation) seluas 7.720 Ha. Sedangkan

10
peruntukan Lahan Kering diantaranya adalah Tegal Kebun seluas 35.493 Ha,
Perkebunan seluas 296 ha, Ditanami Pohon/Hutan Rakyat seluas 3.665 Ha, Kolam
seluas 149 Ha, Padang Penggembalaan seluas 2 Ha, dan Lainnya (Pekarangan yang
Ditanami Tanaman Pertanian, dan lain-lain) seluas 2.318 Ha. Sementara itu, Lahan
Bukan Pertanian mencakup area seluas 29.676 Ha, yang terdiri dari Rumah dan
Halaman Sekitarnya seluas 17.175 Ha, Hutan Negara seluas 7.874 Ha, danperuntukan
Lahan lainnya (Jalan, Sungai, Danau, Lahan Tandus, dan lain-lain) seluas 4.627 Ha.
c) Kabupaten Semarang
Kabupaten Semarang merupakan salah satu Kabupaten dari 29 kabupaten dan 6 kota
yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Terletak pada posisi 1100 14′ 54,74″ – 1100 39′ 3″
Bujur Timur dan 70 3′ 57” 70 30’0′ Lintang Selatan. Luas keseluruhan wilayah
Kabupaten Semarang adalah 95.020,674Ha atau sekitar 2,92% dari luas Provinsi Jawa
Tengah. Penggunaan lahan di Kabupaten Semarang terbagi menjadi 3 jenis, yaitu
lahan pertanian sawah, lahan pertanian bukan sawah dan lahan bukan pertanian. Lahan
pertanian sawah meliputi sawah irigasi, tadah hujan, pasang surut, lebak dan lainnya.
Lahan bukan pertanian meliputi tegal, ladang/huma, kolam/empang, padang,
sementara tidak diusahakan. Lahan bukan pertanian meliputi rumah, bangunan, hutan
negara, rawa, jalan, sungai, kuburan dan lain-lain. Sebagian besar penggunaan lahan
di Kabupaten Semarang merupakan lahan pertanian yang terdiri dari lahan sawah dan
bukan sawah, sedangkan sisanya merupakan lahan bukan pertanian.
2. Karakteristik Responden
a. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Banyaknya jumlah responden dari pihak petani dan lembaga tataniaga yang ada di
Provinsi Jawa Tengah, dapat dikateggorikan pada karakteristik jenis kelamin, dengan
rincian pada Tabel 3 dibawah ini:
Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Responden Responden


No Jumlah Persentase
Kelamin Petani Pedagang
1 laki-laki 52 79 131 65%
2 Perempuan 35 36 71 35%
Total 87 115 202 100%
Sumber: Data primer yang diolah, 2023
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan lebih banyak laki-
laki. Presentase menunjukkan laki-laki sebanyak 65 persen atau sebanyak 131 orang

11
dari keseluruhan jumlah responden 202 orang. Sedangkan presentase perempuan
sebanyak 35 persen atau sebanyak 71 orang dari keseluruhan populasi.

b. Karakteristik Berdasarkan Usia


Jumlah responden yang didapatkan pada penelitian ini berdasarkan usia, didapatkan
berbagai macam usia antara 20 hingga 70 tahun, dengan rincian pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

No Usia Responden Jumlah Persentase


1 21-30 34 17%
2 31-40 63 31%
3 41-50 41 20%
4 51-60 46 23%
5 61-70 18 9%
Total 202 100%
Sumber: Data primer yang diolah, 2023
Karakteristik usia responden penelitian terdapat 5 kategori rentang usia. Jumlah
tertinggi responden berada pada kategori usia 31-40 dengan presentase 31 persen.
Terbanyak kedua pada kategori usia 51-60 dengan presentase 23 persen selanjutnya
terbanyak ketiga pada kategori usia 41-50 dengan presentase 20 persen . Selanjutnya
untuk usia terendah ada pada kategori 61-70 dengan presentasi 9 persen.

c. Karakteristik responden berdasarkan kelembagaan


Dalam pengambilan sampel terdapat berbagai macam kelembagaan yang terlibat
dalam tataniaga komoditas bunga kol yang ada di Provinsi Jawa Tengah, dengan
rincian pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Jumlah Responden Berdasarkan Kelembagaan Tataniaga Bunga Kol

No Jenis Kelembagaan Jumlah Presentase


1 Petani Bunga Kol 87 43%
2 Pedagang Pengepul 11 5%
3 Pedagang Besar 48 24%
4 Pedagang Pengecer 56 28%
Total 202 100%
Sumber: Data primer yang diolah, 2023

Lembaga tataniaga dalam penelitian ini terdapat 4 jenis yaitu petani bunga kol,
pedagang pengepul, pedagang besar, dan pedagang pengecer yang ada di Provinsi
Jawa Tengah. Terdapat kategori responden dengan jumlah terbesar yaitu berupa petani
bunga kol sebanyak 87 responden dengan presentase 43 persen. Selanjutnya untuk
pedagang pengepul sebanyak 11 orang dengan presentase 5 persen, pedagang besar

12
sebanyak 48 orang dengan persentase 24 persen, dan pedagang pengecer sebanyak 56
orang dengan persentase 28 persen. Sehingga total respondan yang didapatkan oleh
peneliti yaitu berjumlah 202 orang.

3. Pola Saluran Tataniaga Bunga Kol di Jawa Tengah


Hasil yang didapatkan pada lembaga tataniaga bunga kol yaitu 87 responden petani
bunga kol, 11 responden pedagang pengepul bunga kol, 48 responden pedagang besar
bunga kol, dan 56 responden pedagang pengecer bunga kol yang ada di Provinsi Jawa
Tengah, sehingga secara keseluruhan peneliti mendapatkan 202 reponden pada
penelitian ini.
Tabel 6. Jumlah Responden Lembaga Tataniaga Pemasaran Bunga Kol
di Jawa Tengah
Kabupaten
Lembaga Pemasaran
Boyolali Magelang Semarang Total
Petani 34 30 23 87
Pedagang Pengepul 0 11 0 11
Pedagang Besar 19 16 13 48
Pedagang Pengecer 23 19 14 56

Hasil penelitian mengenai saluran tataniaga bunga kol yang dilakukan di tiga kabupaten
penghasil bunga kol tertinggi di Jawa Tengah yaitu Kabupaten Boyolali, Kabupaten
Magelang dan Kabupaten Semarang, menunjukkan 4 pola saluran tataniaga atau saluran
pemasaran bunga kol yaitu sebagai berikut:
Pola saluran 1: Petani – Pedagang Pengepul – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer –
Konsumen; Pola saluran 2: Petani – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer – Konsumen;
Pola saluran 3: Petani – Pedagang Pengepul – Pedagang Pengecer – Konsumen; Pola
saluran 4: Petani – Pedagang Pengecer – Konsumen.
B. Pembahasan

1. Pola Saluran Tataniaga Bunga Kol di Jawa Tengah

Pada pola saluran tataniaga 1, yaitu: Petani – Pedagang Pengepul – Pedagang Besar –
Pedagang Pengecer – Konsumen. Petani bunga kol menjual hasil panen kepada pengepul
yang datang langsung ke lahan atau ke rumah petani kemudian melakukan negosiasi
harga dengan petani. Setelah itu para pedagang pengepul menjual bunga kolnya ke
pedagang besar selanjutnya bunga kol tersebut dibeli oleh pedagang pengecer kemudian
dijual di kios-kios sayur kecil hingga bunga kol tersebut dibeli oleh konsumen akhir.

13
Pada pola saluran tataniaga 2, yaitu: Petani – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer –
Konsumen. Petani menjual bunga kol langsung kepada pedagang besar di pasar besar.
Setelah bunga kol dibeli oleh pedagang besar, selanjutnya bunga kol tersebut dibeli oleh
pedagang pengecer yang akan dijual di kios sayur kecil hingga bunga kol tersebut dibeli
oleh konsumen akhir.
Pada pola saluran tataniaga 3, Petani – Pedagang Pengepul – Pedagang Pengecer –
Konsumen. Petani menjual bunga kolnya ke pedagang pengepul, selanjutnya pedagang
pengepul membawa bunga kol ke pasar lalu dijual ke pedagang pengecer, selanjutnya
dijual di kios sayur kecil hingga bunga kol tersebut dibeli oleh konsumen akhir.
Pada pola saluran tataniaga 4, Petani – Pedagang Pengecer – Konsumen. Petani menjual
bunga kolnya langsung ke pedagang pengecer di pasar, selanjutnya bunga kol dijual di
kios sayur kecil hingga bunga kol tersebut dibeli oleh konsumen akhir.
2. Farmer Share, Margin, dan Efisiensi Tataniaga
Setelah menganalisis pola saluran tataniaga bunga kol yang ada di Jawa Tengah,
dilakukan analisis mengenai bagaimana efisiensi pada setiap saluran pemasaran, serta
bertujuan untuk melihat apakah pola saluran tataniaga yang ada sudah efisien atau belum.
Pada saluran 1 harga jual yang diterima petani adalah Rp 11.000/Kg. Biaya produksi
yang dikeluarkan petani sebesar Rp 9.000/Kg, sehingga keuntungan yang diperoleh pada
para petani yaitu Rp 2.000/Kg. Harga beli yang diterima pedagang pengepul sebesar Rp
11.000/kg. Biaya yang dikeluarkan pedagang pengepul sebesar Rp. 1.000/kg. Bunga kol
yang sudah terkumpul selanjutnya dijual kepada pedagang besar dengan harga Rp
14.000/Kg. Sehingga keuntungan yang diperoleh pedagang pengepul sebesar Rp.
2.000/kg. Dalam hal ini petani yang menjual bunga kol ke pedagang pengepul memiliki
efisiensi sebesar 1,011, yang berarti kegiatan tataniaga tersebut sudah efisien.
Selanjutnya harga yang diterima pedagang besar yaitu Rp 14.000. Pedagang besar
tersebut menjual dagangan bunga kolnya di pasar – pasar besar dengan harga jual yang
diterima pedagang pengecer sebesar Rp 18.000/kg. Biaya yang dikeluarkan pedagang
besar tersebut sebesar Rp 1.000/kg. Keuntungan yang diperoleh pedagang besar sebesar
Rp. 3.000/kg. Dalam hal ini para pelaku pedagang pengepul menjual bunga kolnya ke
pedagang besar memiliki efisiensi 1,4925, yang menunjukkan bahwa kegiatan tataniaga
tersebut sudah efisien.

14
Para pedagang pengecer memperoleh bunga kol dari para pedagang besar yang berada
di pasar – pasar besar, seperti Pasar Cepogo Kabupaten Boyolali, Pasar Soko Kabupaten
Magelang, Pasar Ngablak Kabupaten Magelang, dan Pasar Getasan Kabupaten
Magelang. Mereka memperoleh bunga kol dengan harga Rp. 18.000/Kg dari pedagang
besar yang ada di pasar, dengan biaya operasional sebesar Rp. 500/Kg. Kemudian
pedagang pengecer tersebut menjual bunga kolnya ke tingkat konsumen akhir dengan
harga Rp. 22.000/Kg sehingga memiliki keuntungan sebesar Rp. 3.500/Kg. Dalam hal
ini pelaku pedagang besar menjual bunga kolnya ke pedagang pengecer memiliki
efisiensi sebesar 1,32833, yang menunjukkan bahwa kegiatan tataniaga yang mereka
lakukan sudah efisien.
Selanjutnya pada pola Saluran 2, harga jual yang diterima petani pada saluran 2 adalah
Rp 10.500/Kg. Biaya produksi yang dikeluarkan petani sebesar Rp 9.000/Kg, sehingga
keuntungan yang diperoleh pada para petani yaitu Rp 1.500/Kg. Dalam hal ini petani
yang menjual bunga kol ke pedagang pengepul memiliki efisiensi sebesar 1,10675, yang
berarti kegiatan tataniaga tersebut sudah efisien.
Selanjutnya harga yang diterima pedagang besar yaitu Rp 10.500, pedagang besar
tersebut menjual bunga kol di pasar – pasar besar dengan harga jual yang diterima
pedagang pengecer sebesar Rp 14.000/kg. Biaya yang dikeluarkan pedagang besar
tersebut sebesar Rp 1.000/kg. Keuntungan yang diperoleh pedagang besar sebesar Rp.
2.500/kg. Dalam hal ini para pelaku pedagang besar yang menjual bunga kol ke
pedagang pengecer memiliki efisiensi 1,23, yang menunjukkan bahwa kegiatan
tataniaga tersebut sudah efisien.
Pada pola saluran 3, petani menjual bunga bunga kol kepada pengepul dengan harga Rp.
11.500/Kg, dengan biaya produksi yang dikeluarkan petani sebesar Rp. 9.000/Kg,
sehingga petani memperolah keuntungan sebesar Rp. 2.500/kg. Dalam hal ini petani
yang menjual bunga kol ke pedagang pengepul memiliki efisiensi sebesar 1,2085, yang
berarti kegiatan tataniaga tersebut sudah efisien.
Pedagang pengepul memperoleh bunga kol dari para petani dengan harga Rp.
11.500/Kg, dengan biaya operasional sebesar Rp. 1.000/Kg. kemudian menjual ke
pedagang pengecer dengan harga Rp. 16.000/Kg, sehingga memperoleh keuntungan
sebesar Rp. 4.500/Kg. Dalam hal ini pengepul yang menjual bunga kol ke pedagang
pengecer memiliki efisiensi sebesar 1,2085, yang berarti kegiatan tataniaga tersebut
sudah efisien.

15
Selanjutnya pedagang pengecer menjual bunga kol tingkat konsumen akhir dengan
harga sebesar Rp. 21.000/Kg dengan biaya operasional sebesar Rp. 500/Kg sehingga
memiliki keuntungan sebesar Rp. 4.500/Kg. Dalam hal ini pengepul menjual bunga
kolnya ke pedagang pengecer memiliki efisiensi sebesar 1 yang menunjukkan bahwa
kegiatan tataniaga yang mereka lakukan sudah efisien.
Selanjutnya pada pola Saluran 4, petani menjual bunga kol langsung kepada pengecer
dengan harga Rp.12.000/Kg, dengan biaya produksi Rp.9.000/Kg, maka petani
memperoleh keuntungan sebesar Rp.3.000/Kg. Selanjutnya pedagang pengecer menjual
bunga kol kepada konsumen akhir dengan harga Rp.17.000/Kg. biaya operasional yang
dikeluarkan pengecer sebesar Rp. 1.000/Kg, sehingga memperoleh keuntungan sebesar
Rp. 4.000/Kg. Dalam hal ini petani yang menjual bunga kolnya ke pedagang pengecer
memiliki efisiensi 1,115, yang menunjukkan bahwa kegiatan tataniaga tersebut sudah
efisien.
Nilai farmer’ share yang terjadi pada tataniaga bunga kol di Jawa Tengah dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 11. Farmer’s Share dan Efisiensi Pemasaran Rata-rata pada Setiap
Pola Pemasaran Bunga Kol di Jawa Tengah

Harga Tingkat Efisiensi


Pola Harga Tingkat Farmer’s
Konsumen Pemasaran
Pemasaran Petani (Rp/Kg) Share (%)
(Rp/Kg) Rata-rata

I 11.000 22.000 61,00 1,227


II 10.500 17.000 62,00 1,053
III 11.500 21.000 55,00 1,104
IV 12.000 17.000 71,00 1,115
Rata-rata 11.250 19.250 62,25 1,12475

Pola pemasaran 1 memiliki persentase Farmer’s Share sebesar 61%, dengan nilai
efisiensi sebesar 1,227. Hal ini menunjukkan pola pemasaran 1 dan sudah efisien.

Pola pemasaran 2 memiliki presentase Farmer’s Share sebesar 62% dengan nilai
efisiensi sebesar 1,053. Hal ini menunjukkan pola pemasaran 2 dan sudah efisien.

Pola pemasaran 3 memiliki presentase Farmer’s Share sebesar 55% dengan nilai
efisiensi sebesar 1,104. Hal ini menunjukkan bahwa pola pemasaran 3 sudah efisien

16
Pola pemasaran 4 memiliki presentase Farmer’s Share sebesar 71% dengan nilai
efisiensi sebesar 1,115. Hal ini menunjukkan bahwa pola pemasaran 4 sudah efisien

Sedangkan tingkat efisiensi rata – rata pemasaran pada tataniaga komoditas bawang
merah di Provinsi Jawa Tengah memiliki angka sebesar 1,40. Hal ini menunjukkan
bahwa persentase tersebut masuk kedalam golongan saluran pemasaran yang sudah
efisien.

3. Analisis Disparitas Harga Bunga Kol


Analisis disparitas harga menggunakan analisis margin pemasaran untuk mengetahui
komponen biaya pemasaran yang menyebabkan harga bunga kol naik dan berbeda antara
satu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya.
Tabel 12. Analisis Disparitas Harga Bunga Kol di Provinsi Jawa Tengah

Variasi Koefisien (%)


Kabupaten
Petani Pengepul Pedagang Besar Pedagang Pengecer

Boyolali 5,8 0 56,7 14,7


Magelang 5,4 47,1 42,5 12,1
Semarang 5,1 0 0 17,1
Rata-rata 5,43 15,7 33,06 14,63

Hasil analisis pada Tabel 12 menunjukkan bahwa pada tingkat petani bunga kol di
Kabupaten Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Semarang
mempunyai Koefisien Variasi (KV) sebesar 5,8%, 5,4%, dan 5,1% yang berarti ketiga
kabupaten tersebut mempunyai disparitas harga yang rendah yaitu dengan rata-rata
5,43% (KV<10%). Pada tingkat pengepul di ketiga Kabupaten tersebut hanya ada pada
Kabupaten Magelang sehingga menunjukkan koefisien variasi yang tinggi yaitu 47,1%
namun jika dirata-rata menunjukkan bahwa angka disparitas harga sedang dengan rata-
rata 15,7% (10%<kV >20%). Pada Tingkat pedagang besar menunjukkan koevisien
variasi yang sangat tinggi yaitu 56,7%, dan 42,5% karena di Kabupaten Semarang tidak
ada pedagang besar, sedangkan rata-ratanya menunjukkan disparitas harga sangat tinggi
yaitu 33,06% (kV>30%). pada tingkat pedagang pengecer menunjukkan koefisien variasi
sebesar 14,7%, 12,1%, dan 17,1% yang berarti disparitas harga ketiga kabupaten tersebut
sedang dengan rata-rata 14,63% (10>KV<20%).

17
Selanjutnya analisis disparitas harga (Y) dilakukan untuk melihat apakah disparitas harga
antar lembaga yang terlibat dalam rantai pemasaran (produsen, pedagang pengepul,
pedagang besar, pedagang pengecer, dan konsumen) bunga kol dipengaruhi secara
signifikan oleh variabel independen yang digunakan, antara lain Harga bunga kol tingkat
petani di Jawa Tengah (X1), Jumlah produk tersedia di pasar (X2), dan kualitas produk
bunga kol di Jawa Tengah (X3). Metode dan alat analisis yang digunakan dalam
pengolahan data pada penelitian ini, yaitu menggunakan metode ECM (Error Correction
Model) dan dibantu dengan aplikasi alat analisis yaitu Eviews12. Pada metode tersebut
terdapat dua tahapan pengujian data untuk menganalisis hubungan antar variabel dalam
jangka pendek dan jangka panjang.

Tabel 13. Analisa Jangka Pendek


Variabel Koefisien Std. Kesalahan t-Statistik Probabilitas
C -0,21 0,02 -1,06 0,32
D (Harga) 0,00001 0,000005 2,06 0,06
D (Jumlah Produk) 0,0000004 0,0000002 2,34 0,07
D(Kualitas Produk) - 0,00001 0,000002 -4,60 0,002
D(RESID(-1)) -2,32 0,67 -3,24 0,02
R-kuadrat 0,87 Dependen variable -0,005
Prob (F-statistik) 0,003

Hasil analisis pada Tabel 13 menunjukkan bahwa kualitas produk bunga kol di Jawa
Tengah berpengaruh negatif terhadap disparitas harga bunga kol. Variabel kualitas
produk bunga kol di Jawa Tengah signifikan pada α = 5% yaitu dengan probabilitas
sebesar 0,002 sedangkan dua variabel lainnya yaitu harga bunga kol di tingkat petani dan
jumlah produk bunga kol tersedia di pasar di Jawa Tengah mempunyai signifikansi
sebesar 0,06 dan 0,07, hal ini menunjukkan bahwa angka tersebut tidak signifikan pada
taraf signifikansi 5%. Nilai koefisien RESID menunjukkan biaya keseimbangan
disparitas harga bunga kol di tingkat petani periode sebelumnya disesuaikan dengan
perubahan saat ini adalah -2,32 dimana probabilitas RESID sebesar 0,02 signifikan
terhadap α = 5% sedangkan koefisien RESID yang bernilai negatif menunjukkan bahwa
model regresi mempunyai hubungan jangka pendek. Berdasarkan hasil estimasi
diperoleh nilai R2 sebesar 0,87 yang berarti variabel independen yaitu harga bunga kol di
tingkat petani di Jawa Tengah, jumlah produk bunga kol tersedia di pasar di Provinsi
Jawa Tengah, dan kualitas bunga kol di Provinsi Jawa Tengah mempengaruhi variabel
disparitas harga bunga kol di Jawa Tengah sebesar 87,00% sedangkan sisanya sebesar
13,00% dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Dari hasil pengolahan data yang telah
dilakukan diperoleh nilai probabilitas (Fstatistic) sebesar 0,003 dimana nilai probabilitas
18
0,003 < 0,01 (α = 1%), maka dapat dikatakan bahwa seluruh variabel independen yaitu
harga bunga kol di tingkat petani di Provinsi Jawa Tengah, jumlah produk bunga kol
tersedia di pasar di Provinsi Jawa Tengah, dan kualitas bunga kol di Provinsi Jawa
Tengah secara keseluruhan memberikan pengaruh yang signifikan dengan tingkat
signifikansi α = 1% terhadap variabel dependen disparitas harga bunga kol di Provinsi
Jawa Tengah.

Tabel 14. Analisa Jangka Panjang


Variabel Koefisien Std. Kesalahan t-Statistik Probabilitas
C 1,23 0,27 5,39 0,001
X1 (Harga) 0,000003 0,000001 1,32 0,32
X2(Jumlah Produk) 0,0000006 0,0000002 2,24 0,05
X3 (Kualitas Produk) - 0,00001 0,000001 -5,70 0,0005
RESID(-1) -1,18 0,35 -2,83 0,01
R-kuadrat 0,82 Dependen var 0,232
Prob (Fstatistik) 0,003

Hanya variabel kualitas produk bunga kol di Jawa Tengah yang signifikan pada α = 5%
yaitu dengan probabilitas sebesar 0,0005 sedangkan dua variabel lainnya yaitu harga
bunga kol di tingkat petani dan jumlah produk bunga kol tersedia di pasar di Jawa Tengah
yakni dengan signifikansi 0,32 dan 0,05, hal ini menunjukkan bahwa angka tersebut tidak
signifikan pada taraf signifikansi 5%. Pada persamaan jangka panjang dengan
menggunakan metode ECM menghasilkan nilai koefisien RESID yang menunjukkan
biaya keseimbangan disparitas harga bunga kol periode sebelumnya disesuaikan dengan
perubahan saat ini sebesar -1,18 dimana probabilitas RESID sebesar 0,01 signifikan
terhadap α = 5% sedangkan koefisien RESID bertanda negatif menunjukkan bahwa
model regresi mempunyai hubungan jangka panjang. Berdasarkan hasil estimasi
diperoleh nilai R2 sebesar 0,82 yang berarti variabel bebas harga tingkat petani bunga kol
di Jawa Tengah, jumlah produk bunga kol tersedia di pasar di Jawa Tengah, dan kualitas
produk bunga kol di Jawa Tengah mempengaruhi variabel disparitas harga Jawa Tengah
sebesar 82,00% sedangkan sisanya sebesar 18,00% dipengaruhi oleh faktor lain di luar
model. Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai probabilitas (Fstatistic) sebesar 0.003
dimana nilai probabilitas 0,003 < 0.01 (α = 1%), maka dapat dikatakan bahwa seluruh
variabel independen yaitu harga tingkat petani bunga kol di Jawa Tengah, jumlah produk
bunga kol tersedia di pasar di Jawa Tengah, dan kualitas produk bunga kol di Jawa
Tengah secara keseluruhan berpengaruh signifikan dengan taraf signifikansi α = 1%
terhadap variabel dependen disparitas harga bunga kol di Jawa Tengah.

19
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, adapun kesimpulan
dan saran yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu:

A. Kesimpulan
1) Sistem saluran pemasaran bunga kol di Jawa Tengah mempunyai 4 saluran pemasaran
yang berbeda, yaitu; Pola saluran 1: Petani – Pedagang Pengepul – Pedagang Besar –
Pedagang Pengecer – Konsumen; Pola saluran 2: Petani – Pedagang Besar – Pedagang
Pengecer – Konsumen; Pola saluran 3: Petani – Pedagang Pengepul – Pedagang
Pengecer – Konsumen; Pola saluran 4: Petani – Pedagang Pengecer – Konsumen
2) Perhitungan rata-rata nilai farmer's share petani bunga kol di Provinsi Jawa Tengah
sebesar 62,25 persen yang berarti sudah efisien. Sedangkan rata-rata efisiensi saluran
pemasaran bunga kol di Jawa Tengah sebesar 1,158 yang berarti saluran pemasaran
sudah efisien.
3) Hasil analisis ECM menunjukkan bahwa pada analisis jangka pendek, Variabel kualitas
produk bunga kol di Jawa Tengah berpengaruh signifikan pada α = 5% sedangkan
variabel harga bunga kol di tingkat petani dan variabel jumlah produk bunga kol
tersedia di pasar tidak berpengaruh signifikan pada taraf signifikansi 5%. Namun secara
keseluruhan berpengaruh signifikan dengan tingkat signifikansi α = 1%. Nilai R2
sebesar 0,87 yang berarti variabel independen yaitu harga bunga kol di tingkat petani,
jumlah produk bunga kol tersedia di pasar, dan kualitas bunga kol mempengaruhi
variabel disparitas harga bunga kol di Jawa Tengah sebesar 87,00% sedangkan sisanya
sebesar 13,00% dipengaruhi oleh faktor lain di luar model.
4) Hasil analisis ECM menunjukkan bahwa pada analisis jangka panjang, variabel kualitas
produk bunga kol di Jawa Tengah berpengaruh signifikan pada α = 5%, sedangkan
variabel harga bunga kol di tingkat petani dan variabel jumlah produk bunga kol
tersedia di pasar tidak berpengaruh signifikan pada taraf signifikansi 5%. Namun secara
keseluruhan berpengaruh signifikan pada tingkat signifikansi α = 1%. Nilai R2 sebesar
0,82 yang berarti variabel independen yaitu harga tingkat petani bunga kol, jumlah
produk bunga kol tersedia di pasar, dan kualitas produk bunga kol mempengaruhi
variabel dependen disparitas harga bunga kol di Jawa Tengah sebesar 82,00%
sedangkan sisanya sebesar 18,00% dipengaruhi oleh faktor lain di luar model.

20
B. Saran
1) Petani perlu melakukan inovasi penjualan agar dapat memperpendek rantai pemasaran
bunga kol sehingga harga jual petani dapat lebih tinggi namun dengan harga beli di
tingkat konsumen akhir yang tidak terlampau tinggi.
2) Petani harus menjaga serta meningkatkan kualitas produksi bunga kolnya, hingga
penanganan pasca panen seperti grading dan sortasi, agar dapat meningkatkan harga
jual bunga kol di Provinsi Jawa Tengah.

Disparitas harga memang sulit dihindarkan, maka dari itu perlu adanya kebijakan dari
pemerintah untuk menstabilkan harga bunga kol, seperti halnya dengan cara membangun
pasar induk untuk menampung hasil panen bunga kol dari petani di Provinsi Jawa Tengah
dengan kriteria grading dan harga yang stabil, serta memberikan penyuluhan bagi petani
terkait peningkatan kualitas produk bunga kol di Jawa Tengah.

21

Anda mungkin juga menyukai