Anda di halaman 1dari 15

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/285590986

KAJIAN ANALISIS MARGIN PEMASARAN DAN


INTEGRASI PASAR GABAH/BERAS DI PROVINSI
BANTEN

Article January 2013

CITATIONS READS

0 1,039

2 authors, including:

Tian Mulyaqin
Indonesian Agency for Agricultural Research and Development
8 PUBLICATIONS 1 CITATION

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Analysis of Marketing Margin and Market Integrity of Rice in Banten Province, Indonesia View project

Socio-Economic Impact of Paddys Threshing Machine Utilization In Rice Production Area: Case Study in
Serang District, Banten Province View project

All content following this page was uploaded by Tian Mulyaqin on 04 December 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file. All in-text references underlined in blue are added to the original document
and are linked to publications on ResearchGate, letting you access and read them immediately.
KAJIAN ANALISIS MARGIN PEMASARAN DAN
INTEGRASI PASAR GABAH/BERAS DI PROVINSI BANTEN

Dewi Haryani dan Tian Mulyaqin

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten


Jl. Ciptayasa KM.01 Ciruas Serang-Banten
Telp.0254-281055, email : bptpbanten@yahoo.com

Abstrak
Penelitian bertujuan untuk menganalisis margin pemasaran dan integrasi pasar
gabah/beras di Provinsi Banten. Unit analisis adalah kabupaten/kota yaitu Kabupaten Lebak,
Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang representatif Kota Serang, serta Kota Tangerang
refresentatif Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang serta Kota Cilegon. Kajian lebih
rinci didasarkan pada studi mendalam di tingkat kecamatan sentra produksi yang ditemukan
adanya pola-pola pemasaran beras dengan berbagai tujuan dan segmen pasar. Selanjutnya
dalam satu kabupaten/kota dipilih satu atau dua kecamatan yang dianggap representatif. Hasil
penelitian menunjukkan Margin pemasaran (marketing margin) paling tinggi terjadi berturut-
turut terjadi pada pedagang/penggilingan padi (7,6%), pedagang pengumpul/kongsi (6,75,
pedagang pengecer (1,8%) dan pedagang besar/grosir (1,2%). Meskipun margin keuntungan
(net benefit margin) di penggilingan hanya mencapai Rp.89,-/kg tetapi jumlah volume
penjualannya paling besar yaitu sekitar 1.500 2000 ton beras permusim.Sedangkan integrasi
pasar secara vertikal pada berbagai saluran pemasaran terintegrasi (pasar berjalan efisien),
kecuali antara petani dengan pedagang pengumpul propinsi, dan antara pedagang pengumpul
kabupaten dengan pedagang pengecer lokal, tidak terintegrasi.

Kata Kunci: Gabah/Beras, Integrasi Pasar, Kebijakan, Margin Pemasaran.

PENDAHULUAN

Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan.


Beberapa peran strategis sektor pertanian adalah: (1) penyediaan pangan dalam kerangka
ketahanan pangan masyarakat, (2) pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), (3)
sumber lapangan kerja, (4) penciptaan dan penghematan devisa; (5) pengendalian inflasi, dan
(6) penciptaan iklim yang kondusif bagi bergeraknya sektor lain. Peranan baru sektor pertanian
i dapat diletakkan dalam kerangka 3 F contribution in the economy, yaitu food /pangan, feed
/pakan dan fuel /bahan bakar (Daryanto, 2009). Namun apabila kita tidak mampu mengelola
pertanian dengan baik, maka akan dapat menciptakan Jebakan Sindrom 3 F (Putri, 2009).
Provinsi Banten dikenal sebagai lumbung beras nasional, dengan total luas areal
sawah 197.914 hektar, terdiri dari lahan sawah irigasi 108.200 hektar dan sawah tadah hujan

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 56


88.688 hektar serta sawah pasang surut 1.026 hektar (BPS, 2010). Produksi padi Provinsi
Banten tahun 2009 sebesar 1,849 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau meningkat sebesar
30,84 ribu ton (1,70 persen) dibandingkan produksi tahun 2008. Tahun 2010 diperkirakan
produksi padi marsih terus meningkat sebesar 46,64 ribu ton (2,52 persen) dibandingkan tahun
2009, yaitu mencapai 1,895 juta ton GKG (BPS, 2010).
Pada tingkat nasional seperti diketahui berkurangnya jumlah hasil panen
menyebabkan menurunnya pasokan yang memacu meningkatnya harga. Hal tersebut secara
langsung maupun tidak langsung berimplikasi kepada daya tahan dan ketahanan pangan lokal.
Adanya pasokan beras yang mencukupi, stabil dan berkelanjutan akan mendorong harga pada
kondisi stabil, sehingga kebutuhan konsumsi masyarakat di Propinsi Banten dapat terpenuhi.
Pada kondisi demikian, ketahanan pangan akan lebih ditentukan pada aspek accesibility (daya
beli masyarakat) dan kontinyuitas ketersediaan antar musim. Untuk menjaga kedua aspek
tersebuti dalam kondisi yang aman, maka intervensi pemerintah melalui kebijakan harga, baik
di tingkat produsen (HPP gabah) maupun konsumen secara konseptual masih tetap penting.
Kemampuan pemerintah untuk menentukan kebijakan harga yang tepat akan sangat ditentukan
oleh pemahaman para pengambil kebijakan tersebut terhadap struktur , tingkah laku , dan
keragaan pasar.
Pemahaman terhadap deskripsi struktur, tingkah laku dan keragaan pasar yang
berpengaruh terhadap efisiensi sistem pemasaran beras ini dinilai bermanfaat dalam
mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani. Kinerja pemasaran yang kondusif
akanmemberikan insentif petani dalam berproduksi dan mendorong adopsi teknologi oleh
petani, serta meningkatkan bagian harga yang diterima oleh petani. Kebijakan yang kondusif
dapat meningkatkan produksi, distribusi, pengembangan produk dan insentif yang proporsional
bagi pelaku tataniaga dan kesejahteraan petani.
Permasalahan utama yang menjadi bottle neck dalam pengembangan agribisnis beras
yang berdaya saing adalah aspek pemasarannya. Permasalahan pokok pemasaran beras
adalah saluran pemasaran yang panjang, margin tataniaga yang tidak terdistribusi secara
proporsional, munculnya masalah margin ganda, serta struktur pasar yang tidak sempurna.
Sistem distribusi dan pemasaran beras di Provinsi Banten masih lebih banyak menerapkan
strategi distribusi dan pemasaran klasik dengan memandang pasar (konsumen) sebagai sesuatu
yang homogen (serba sama) dan hampir melupakan keadaan pasar yang heterogen (preferensi

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 57


konsumen berbeda). Beberapa faktor yang diidentifikasi sebagai faktor yang menghambat
dalam sistem distribusi gabah atau beras pada aspek pemasaran antara lain : (1) kualitas gabah
atau beras yang dihasilkan rendah; (2) harga gabah atau beras berfluktuasi ;dan (3) rendahnya
proporsi beras yang terserap BULOG, karena tidak memenuhi standar kualitas yang ditentukan.
Dilain pihak, disparitas harga beras yang terjadi antar wilayah disebabkan oleh (1) Lemahnya
posisi tawar petani dalam perdagangan gabah karena kemampuan menyimpan gabah yang
rendah dan tingginya desakan kebutuhan, (2) nilai tambah pengolahan dan perdagangan beras
tidak dinikmati petani, (3) struktur pasar beras belum sepenuhnya kompetitif, dominasi
pedagang besar masih menonjol dan (4) sistem penanganan pasca panen belum sepenuhnya
efisien. Untuk menjawab permasalahan tersebut diperlukan suatu kajian dengan tujuan untuk
mengetahui margin pemasaran dan integrasi pasar beras di Provinsi Banten.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai Nopember 2011.Lokasi Penelitian


meliputi Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten. Responden yang dijadikan
sampel terdiri dari Dinas dan UPT terkait, Kelompok Tani, dan pelaku Usaha serta pedagang
pengumpul, pedagang pengecer dan pedagang besar. Data dan informasi diperoleh dengan
cara wawancara secara group interview dengan menggunakan kata-kata kunci (key word)
kepada responden yang telah disebutkan terdahulu. Data dan informasi yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Keragaan Pasar dan Analisis margin Pemasaran


Keragaan pasar (market performance) mencakup tingkat efisiensi teknis (processes)
dan efisiensi alokatif (inputs, resource use), margin pemasaran, kapasitas penggunaan atau
pemanfaatan, proses inovasi dan insentif (dalam mengurangi biaya, peningkatan produk, dan
kepuasan konsumen). Dahl dan Hamond (1977) menyatakan bahwa marjin pemasaran
menggambarkan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan harga-harga yang diterima
produsen. Termasuk dalam marjin pemasaran adalah seluruh biaya pemasaran yang
dikeluarkan oleh pelaku tataniaga (marketing cost) dan keuntungan yang diterima pelaku
tataniaga (marketing profit) mulai dari pintu gerbang produsen ke konsumen akhir. Secara
matematis digunakan rumus sebagai berikut:

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 58


m n
M= Ci j
i 1 j 1

Dimana : M = marjin pemasaran


Ci = biaya pemasaran I (I = 1,2,3, , m)
m = jumlah jenis pembiayaan
j = keuntungan yang diperoleh lembaga niaga j (j = 1,2,3, ,;n
n = jumlah lembaga niaga yang ikut ambil bagian dalam proses pemasaran
tersebut.

Dengan menggunakan persamaan di atas, rata-rata Ci dan j dikumpulkan melalui

survei, maka marjin pemasaran dapat dihitung. Dengan demikian bagian yang diterima petani
produsen dari harga pedagang besar atau pengecer dapat ditentukan. Dari hasil analisis diatas
serta hasil pendalaman studi dan studi pustaka maka akan dicoba menyempurnakan model
kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas beras secara efisien dan berdaya saing secara
partisipatif.

Integrasi Pasar
Model yang digunakan adalah sebagai berikut:
Pf i (t) = b0 + b1 i Pr j (t) + et

Keterangan:
Pf i (t) =harga rata-rata di tingkat produsen ke i, pada bulan ke t (Rp / kg);
Pr j (t)= harga rata2di tingkat pengecer(konsumen)ke j, pada bulan ke t(Rp / kg)
b1i = parameter;
b0 = intersep;
I = tingkatan produsen;
j = tingkatan pembeli;
e = error term.

Kaidah penerimaan atau penolakan hipotesis:


Jika t hitung t tabel, berarti harga pada petani dan konsumen berintegrasi.
Jika t hitung t tabel, berarti harga pada petani dan konsumen tidak berintegrasi.

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 59


HASIL DAN PEMBAHASAN

Margin Pemasaran / Margin Tata Niaga


Margin pemasaran atau margin tataniaga menunjukkan selisih harga dari dua tingkat
rantai pemasaran. Margin tataniaga adalah perubahan antara harga petani dan harga eceran .
Margin tataniaga hanya merepresentasikan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen
dengan harga yang diterima petani, tetapi tidak menunjukkan jumlah kuantitas produk yang
dipasarkan. Margin tataniaga merupakan penjumlahan antara biaya tataniaga dan margin
keuntungan. Nilai margin pemasaran adalah perbedaan harga di kedua tingkat sistim
pemasaran dikalikan dengan kuantitas produk yang dipasarkan. Cara perhitungan ini sama
dengan konsep nilai tambah (value added). Pengertian ekonomi nilai margin pemasaran adalah
harga dari sekumpulan jasa pemasaran /tataniaga yang merupakan hasil dari interaksi antara
permintaan dan penawaran produkproduk tersebut. Oleh karena itu nilai margin pemasaran
dibedakan menjadi dua yaitu marketing costs dan marketing charges (Dahl, 1977). Biaya
pemasaran terkait dengan tingkat pengembalian dari faktor produksi, sementara marketing
charges berkaitan dengan berapa yang diterima oleh pengolah, pengumpul dan lembaga
tataniaga. Margin tataniaga terdiri dari tiga jenis yaitu absolut, persentase dan
kombinasi.Margin pemasaran absolut dan persentase dapat menurun, konstan dan meningkat
dengan bertambahnya kuantitas yang dipasarkan.Hubungan antara elastisitas permintaan di
tingkat rantai tataniaga yang berbeda memberikan beberapa kegunaan analisis.Hubungan
bergantung pada perilaku dari margin pemasaran.
Margin pemasaran sering digunakan sebagai indikator efisiensi pemasaran. Besarnya
marjin pemasaran pada berbagai saluran pemasaran dapat berbeda, karena tergantung
panjang pendeknya saluran pemasaran dan aktivitas-aktivitas yang telah dilaksanakan serta
keuntungan yang diharapkan oleh lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran.
Tabel 1. menunjukkan bahwa pada rantai pemasaran pertama, jenis pembiayaan
utama dari pedagang pengumpul/kongsi, grosir dan pedagang pengecer hampir sama seperti
biaya transportasi dan bongkar muat. Besarnya pembiayaan masing-masing adalah pedagang
pengumpul/kongsi (Rp.42,-), grosir (Rp.17,-) dan pedagang pengecer (Rp.22,-) per kilo gram
beras. Biaya pemasaran paling tinggi terjadi pada penggilingan padi, yaitu Rp. 127,- per kilo
gram beras. Besarnya pembiayaan tersebut dikarenakan proses pengeringan, penggilingan,
pengemasan serta transportasi dan bongkar muat. Margin pemasaran paling tinggi terjadi pada

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 60


pedagang/penggilingan padi (7,6%), selanjutnya pedagang pengumpul/kongsi (6,75%),
pedagang pengecer (1,8%) dan pedagang besar/grosir (1,2%). Meskipun margin keuntungan
(net benefit margin) di penggilingan hanya mencapai Rp.89,-/kg tetapi volume penjualannya
paling besar yaitu sekitar 1.500 2.000 ton beras permusim.
Tabel 1. Analisis Margin Pemasaran Gabah/Beras pada rantai Pemasaran Pertama
Uraian Satuan (Rp/Kg) Persentase (%)
1. Petani/Produsen
a. Harga Jual GKP 2.360 82,8(4)
2. Pedagang pengumpul/Kongsi
a. Harga Beli 2.360 82,8
b. Margin pemasaran 190 6,7
- Biaya pemasaran (2) 42
- Margin keuntungan 148
c. Harga Jual 2.550 89,5
3. Pedagang/Penggilingan Padi
a. Harga Beli 2.550 89,5
b. Margin pemasaran 216
- Biaya pemasaran (3) 127 7,6
- Margin keuntungan 89
c. Harga Jual 2.766 97,1
4. Pedagang Besar/Grosir
a. Harga Beli 2.766 97,1
b. Margin pemasaran 34 1,2
- Biaya pemasaran (2) 17
- Margin keuntungan 17
c. Harga Jual 2.800 98,3
5. Pedagang Besar/Grosir
a. Harga Beli 2.800 98,3
b. Margin pemasaran 50 1,8
- Biaya pemasaran (2) 22
- Margin keuntungan 28
c. Harga Jual 2.850 100,0
Keterangan :
1)
Dikonversi keharga beras (53%)
2)
Transportasi, Bongkar muat dll
3)
Pengeringan, penggilingan, pengemasan, transportasi, bongkar muat dll
4)
Harga jual ditingkat pelaku/harga jual ditingkat pengecer x 100%

Pada rantai pemasaran kedua, harga jual gabah petani lebih tinggi 5,9% dibandingkan
dengan rantai pemasaran pertama karena gabah dibeli dari para petani disekitar pabrik
penggilingan sehingga biaya transportasi rendah dan kualitas gabah umumnya lebih baik.
Seperti pada rantai pemasaran pertama, jenis pembiayaan yang dikeluarkan setiap pelaku pasar
hampir sama. Pada rantai pemasaran ini, margin pemasaran terbesar diperoleh pada

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 61


penggilingan desa yaitu 7,4%, sementara pengumpul dan pengecer masing-masing 2,5% dan
1,8% (Tabel 2).
Ditingkat pengecer, harga beras penggilingan hanya Rp. 2.830,-/kg atau 0,7
persen lebih rendah dibandingkan harga beras penggilingan. Perbedaan dikarenakan mutu
beras penggilingan kecil umumnya lebih rendah dibandingkan produk penggilingan besar
terutama dari aspek warna kurang putih serta tingginya persentase kandungan bekatul dan
beras pecah. Kualitas penggilingan besar (pabrikan) lebih baik dikarenakan memiliki fasilitas
pengolahan gabah/beras lebih baik dibandingkan penggilingan kecil (Desa). Pada tingkat
kabupaten, produk mereka kalah bersaing dengan beras penggilingan sehingga penggilingan
kecil/Desa hanya menyalurkan beras ke pengecer lokal dan pihak-pihak yang telah mengadakan
kontrak (karyawan). Tabel 2 menginformasikan bahwa penggilingan desa memperoleh margin
keuntungan paling tinggi yaitu sebanyak Rp.85,-/kg sedangkan pedagang pengumpul dan
pengecer masing-masing Rp. 48,- dan Rp.28,-/kg.
Tabel 2. Analisis margin Pemasaran gabah/Beras pada Rantai pemasaran Kedua
Uraian Satuan (Rp/Kg) Persentase (%)
1. Petani/Produsen
a. Harga Jual GKP 1) 2.500 88,3(4)
2. Pedagang pengumpul/Kongsi
a. Harga Beli 2.500 88,3
b. Margin pemasaran 70 2,5
- Biaya pemasaran 2) 22
- Margin keuntungan 48
c. Harga Jual 2.570 90,8
3. Pedagang/Penggilingan Padi
a. Harga Beli 2.570 90,8
b. Margin pemasaran 210 7,4
- Biaya pemasaran 3) 125
- Margin keuntungan 85
c. Harga Jual 2.780 98,2
4. Pedagang pengecer
a. Harga Beli 2.780 97,1
b. Margin pemasaran 50 1,2
- Biaya pemasaran 2) 22
- Margin keuntungan 28
c. Harga Jual 2.830 98,3
5. Pedagang Besar/Grosir
a. Harga Beli 2.800 98,3
b. Margin pemasaran 50 1,8
- Biaya pemasaran (2) 22
- Margin keuntungan 28
c. Harga Jual 2.850 100,0

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 62


1)
Keterangan : Dikonversi keharga beras (53%)
2)
Transportasi, Bongkar muat dll
3)
Pengeringan, penggilingan, pengemasan, transportasi, bongkar muat dll
4)
Harga jual ditingkat pelaku/harga jual ditingkat pengecer x 100%

Struktur Pasar Beras

Analisis struktur pasar dalam penelitian dianalisis secara kualitatif. Analisa kualitatif
dapat dilihat dari jumlah penjual dan pembeli, diferensiasi produk dan hambatan keluar masuk
pasar. Pasar yang bersaing sempurna ditandai oleh banyaknya jumlah penjual dan pembeli,
sehingga masing-masing pihak tidak dapat menentukan harga Harga ditentukan oleh
permintaan dan penawaran (mekanisme pasar). Melihat jumlah penjual dan pembeli yang tidak
sebanding, maka pemasaran gabah/beras di Provinsi Banten tidak efisien, karena beberapa
tingkat pasar mengarah pada pasar oligopsoni, sedangkan pasar luar daerah mengarah pada
pasar monopsoni. Pasar gabah/beras di Provinsi Banten dapat dilakukan perubahan bentuk
dengan menciptakan nilai tambah oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam
pemasaran, namun sebagian besar petani lebih cenderung menjual secara langsung.
Hambatan keluar masuk pasar yang dihadapi oleh sebagian besar petani adalah
kurangnya modal dalam berusahatani, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan dan
produktivitas. Selain itu, informasi harga yang diterima oleh petani juga kurang. Petani hanya
menerima informasi harga dari sesama petani dan pedagang pengumpul yang langsung datang
membeli gabah. Kondisi kekurangan modal juga dihadapi oleh lembaga-lembaga pemasaran
yang terlibat dalam pemasaran gabah/beras.
Petani padi memiliki daya tawar-menawar yang lemah dalam perdagangan gabah
karena surplus jualnya rendah, kemampuan menyimpan gabahnya rendah, dan desakan
kebutuhan akan likuiditas tinggi. Petani umumnya menjual seluruh gabah setelah panen dalam
bentuk GKP. Di sisi lain, kualitas gabah petani sangat dipengaruhi oleh cuaca,dimana kualitas
GKP sangat buruk pada saat mendung/hujan. Dengan karakteristik demikian, pasar gabah
bersifat monopsonistik dan tersegmentasi secara lokal. Sedangkan penawaran gabah petani
sangat tidak elastis. Pasar gabah lokal di tingkat petani tidak sempurna, sehingga menciptakan
inefisiensi dan sangat tidak adil (merugikan petani, tapi menguntungkan pedagang).
Perpaduan antara produksi padi yang fluktuatif, penawaran gabah yang inelastik dan
pasar gabah yang monopsonistik menyebabkan fluktuasi harga gabah di tingkat petani amat
tinggi dan tidak menentu. Ini berarti, di samping resiko produksi (production risk), petani padi

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 63


juga menghadapi risiko harga (price risk) yang tinggi. Secara keseluruhan, risiko usaha tani
padi sangat tinggi.
Fluktuasi produksi dan harga gabah juga menjadi risiko usaha bagi pedagang gabah.
Namun, daya tawarnya yang tinggi, risiko itu diinternalisasikan pedagang ke ongkos
pemasaran yang lebih tinggi. Porsi terbesar nilai tambah peningkatan produktivitas usaha tani
dinikmati mereka yang bergerak di luar usaha tani. Akibatnya, pendapatan riil petani kian
tertinggal jauh dari pendapatan mereka yang ada pada sektor non usaha tani.
Karakteristik yang sama juga terjadi pada pasar beras. Sejumlah penelitian
membuktikan bahwa keterkaitan harga produksi pertanian di tingkat konsumen dan di tingkat
produsen (petani) bersifat asimetri (Simatupang, 2001). Ini berarti peningkatan harga beras di
tingkat konsumen ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke harga gabah di tingkat petani.
Sedangkan penurunan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan sempurna dan cepat ke
harga gabah di tingkat petani. Sebaliknya, peningkatan harga gabah di tingkat petani
ditransmisikan dengan sempurna dan cepat ke harga beras di tingkat konsumen, sedangkan
penurunan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan dengan tidak sempurna dan lambat ke
harga beras di tingkat konsumen. Artinya, fluktuasi harga beras atau gabah cenderung
merugikan petani dan konsumen. Kalau pun ada manfaatnya, itu menikmati pedagang dan
penggilingan padi. Mereka inilah yang menikmati disparitas harga gabah dan beras sebesar Rp
1.500 per kg.
Pendek kata, pasar gabah dan beras semakin jauh dari sempurna. Struktur pasar
seperti itu bersifat tidak adil dan sangat merugikan petani. Di sisi lain, pedagang dan
pengusaha penggilingan padi, termasuk Perum Bulog yang mendapat tugas PSO, berpotensi
meraup untung besar. Itu berarti, risiko usaha tani padi semakin besar, dan tidak adil sehingga
harus dicegah. Ketidakadilan inilah yang menjadi alasan kuat masih perlunya intervensi pasar
oleh pemerintah. Intervensi pasar gabah dan beras melalui Inpres No 13/2005 dan lembaga
Perum Bulog justru merugikan petani, sehingga kedua instrument itu harus didesain ulang.

Dinamika Harga dan Integrasi Pasar Beras


Integrasi pasar vertikal dilakukan untuk menganalisis keterkaitan harga suatu pasar
dengan harga pasar di bawahnya. Untuk menganalisis integrasi pasar digunakan regresi linear

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 64


sederhana. Keterkaitan harga pada berbagai tingkat pasar dalam penelitian ini dapat
ditunjukkan melalui estimasi koefisien regresi linear sederhana seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3.Hasil regresi integrasi pasar pada berbagai saluran pemasaran.
Tingkat pasar Koefisien T R2 R
Petani - Pdg.Kec - 0,178 - 1,298 0,061 -0,247
Petani - Pdg.kab 0,183 1,897 0,153 0,391
Petani - Pdg.prop 1,091 7,065 0,793 0,891
Pdg.kec Pdg.local 0,545 3,000 0,818 0,905
Pdg.kec - Pdg.kab 0,500 1,732 0,750 0,866
Pdg kab - Pdg local 0,678 5,861 0,851 0,923
Pdg.kab -Pdg.prop 0,663 2,502 0,862 0,929
Pdg.prop -Pdg LD 0,286 0,871 0,087 0,294
Ket : Pdg.kec = Pedagang Kecamatan ; Pdg.kab = pedagang kabupaten ; Pdg. Prop =
Pedagang Provinsi ; Pdg.lokal = Pedagang local; Pdg LD = Pedagang Luar daerah

Integrasi harga antara petani dengan pedagang pengumpul kecamatan dapat


ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = - 0,178 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga
pada pedagang pengumpul kecamatan sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada petani sebesar
Rp 0,178. Berdasarkan perhitungan, nilai t hitung = - 1,298 > t tabel = -2,056. Maka terima
H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara petani dengan pedagang pengumpul kecamatan
terintegrasi.
Integrasi harga antara petani dengan pedagang pengumpul kabupaten dapat
ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 0,183 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga pada
pedagang pengumpul kabupaten sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada petani sebesar Rp
0,183. Berdasarkan perhitungan pada lampiran 9, nilai t hitung = 1,897 < t tabel = 2,086.
Maka terima H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara petani dengan pedagang pengumpul
kabupaten terintegrasi. Integrasi harga antara petani dengan pedagang pengumpul propinsi
ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 1,091 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga pada
pedagang pengumpul propinsi sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada petani sebesar Rp 1,091.
Berdasarkan perhitungan pada lampiran 10, nilai t hitung = 7,065 > t tabel = 2,160. Maka tolak
H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara petani dengan pedagang pengumpul propinsi tidak
terintegrasi.
Integrasi harga antara pedagang pengumpul kecamatan dengan pedagang pengecer
lokal ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 0,545 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga
pada pedagang pengecer lokal sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada pedagang pengumpul

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 65


kecamatan sebesar Rp 0,545. Berdasarkan perhitungan pada lampiran 11, nilai t hitung = 3,000
< t tabel = 4,303. Maka terima H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara pedagang pengumpul
kecamatan dengan pedagang pengecer lokal terintegrasi.
Integrasi harga antara pedagang pengumpul kecamatan dengan pedagang pengumpul
kabupaten ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 0,500 1. Berarti apabila terjadi perubahan
harga pada pedagang pengumpul kabupaten sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada pedagang
pengumpul kecamatan sebesar Rp 0,500. Berdasarkan perhitungan pada tabel 12, nilai t hitung
= 1,732 < t tabel = 12,706. Maka terima H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara pedagang
pengumpul kecamatan dengan pedagang pengumpul kabupaten terintegrasi.
Integrasi harga antara pedagang pengumpul kabupaten dengan pedagang pengecer
lokal ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 0,678 1. Berarti apabila terjadi perubahan harga
pada pedagang pengecer lokal sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada pedagang pengumpul
kabupaten sebesar Rp 0,678. Berdasarkan perhitungan pada lampiran 13, nilai t hitung = 5,861
> t tabel = 2,447. Maka tolak H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara pedagang pengumpul
kabupaten dengan pedagang pengecer lokal tidak terintegrasi.
Integrasi harga antara pedagang pengumpul kabupaten dengan pedagang pengumpul
propinsi ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 0,663 1. Berarti apabila terjadi perubahan
harga pada pedagang pengumpul propinsi sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada pedagang
pengumpul kabupaten sebesar Rp 0,663. Berdasarkan perhitungan pada lampiran 14, nilai t
hitung = 2,502 < t tabel = 12,706. Maka terima H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara
pedagang pengumpul kabupaten dengan pedagang pengumpul propinsi terintegrasi.
Integrasi harga antara pedagang pengumpul propinsi dengan pedagang pengecer luar
daerah ditunjukkan oleh koefisien regresi b1 = 0,286 1. Berarti apabila terjadi perubahan
harga pada pedagang pengecer luar daerah sebanyak Rp 1,- ditransmisikan kepada pedagang
pengumpul propinsi sebesar Rp 0,286. Berdasarkan perhitungan pada tabel 12, nilai t hitung =
0,871 < t tabel = 2,306 Maka terima H0 : b1 i = 1 berarti harga gabah antara pedagang
pengumpul propinsi dengan pedagang pengecer luar daerah terintegrasi.

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 66


KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

1. Struktur aliran tataniaga gabah/beras pada garis besarnya ada dua yaitu : 1) saluran
pemasaran pertama, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul, gabah disalurkan oleh
pedagang kongsi ke penggilingan padi di penggilingan gabah mulai mengalami perakuan
meliputi proses pengeringan, penggilingan dan grading. Beras yang telah dikemas
disalurkan kepedagang grosir dan dari grosir di salurkan ke pengecer-pengecer untuk dijual
ke konsumen; dan 2) petani menjual gabah langsung kepenggilingan gabah mengalami
proses pengeringan, penggilingan dan grading, selanjutnya beras di kemas dan disalurkan
ke pengecer untuk dijual ke konsumen. Mayoritas petani (85%) menempuh saluran
pemasaran ke dua dan sisanya (15%) menempuh saluran pemasaran pertama.
2. Margin pemasaran tertinggi diperoleh pada pedagang/penggilingan padi (7,6%) dan
pedagang pengumpul/kongsi (6,75%), selanjutnya pedagang pengecer (1,8%) dan
pedagang besar/grosir (1,2%). Margin keuntungan di penggilingan hanya Rp.89,-/kg, tetapi
volume penjualannya paling besar yaitu 1.500 2000 ton beras permusim.
3. Hambatan keluar masuk pasar yang dihadapi oleh sebagian besar petani adalah kurangnya
modal dalam berusahatani sehingga berpengaruh terhadap pendapatan petani dan
produktivitas. Selain itu, informasi harga yang diterima petani juga kurang, dan hanya
diperoleh dari sesame petani dan pedagang pengumpul. Kondisi kekurangan modal juga
dihadapi oleh lembaga-lembaga pemasaran.
4. Integrasi pasar secara vertikal pada berbagai saluran pemasaran terintegrasi (pasar berjalan
efisien), kecuali antara petani dengan pedagang pengumpul propinsi, dan antara pedagang
pengumpul kabupaten dengan pedagang pengecer lokal, tidak terintegrasi (pasar berjalan
tidak efisien). Hal ini mengindikasikan bahwa pasarnya mengarah pada pasar persaingan
tidak sempurna.

Implikasi Kebijakan
Dengan adanya keterpisahan petani dari pasar, segala insentif pasar dan usaha-usaha
mensejahterakan petani yang dilakukan melalui kebijakan harga tidak akan secara efektif
dirasakan oleh petani, karena lebih banyak dinikmati para pelaku tata niaga, khususnya para

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 67


pedagang. Untuk meningkat kesejahteraan petani sebaiknya dilakukan melalui mekanisme
kebijakan yang dapat langsung dinikmati kepada petani dan keluarganya tanpa mengintervensi
mekanisme pasar seperti kebijakan pemberian kredit usahatani, mengaktifkan lumbung desa,
introduksi fasilitas pengolahan hasil yang lebih baik, dan meningkatkan peran pelaku pasar
dalam kegiatan pengadaan pangan oleh instansi/BUMN yang ditunjuk pemerintah.
Dalam era otonomi daerah yang harus dihindari adalah kebijakan-kebijakan yang
membebankan petani seperti berbagai pungutan dan restribusi pada arus lalu lintas produk
pertanian yang bisa menyebabkan terjadinya hambatan dan inefisiensi.

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, M. 2009. Kemandirian Pangan : Cadangan Publik, Stabilisasi Harga dan


Diversifikasi. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 7, No 2 : 107-129.

BPS, 2010. Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Banten. No.26/07/136/Th.IV, 1 Juli 2010. BPS
Provinsi Banten.

Dahl, Date C. and J.W. Hamound. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural
Industries.Mc.Graw Hill. Book Company. USA.

Kustari, R. Dan N. Suyanti. 2009. Perubahan Tingkat Harga Komoditas Pangan di Pasar Dunia
dan Dampaknya Terhadap Harga di Pasar Domestik dan Konsumsi. Seminar nasional
Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan : Tantangan dan Peluang bagi
Peningkatan Kesejahteraan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian. Bogor.

Malian, A. Husni, Sudi Mardiato, Mewa Ariani. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Produksi, Konsumsi, dan Harga Beras serta Inflasi Bahan Makanan. Jurnal Agro Ekonomi
Vol. 22 No. 22 2004. Diunduh 10 Juli 2010 dari www.pse.litbang.go.id

Maliati, N. 2002. Kelembagaan Pemasaran Pertanian : Permasalahan, Tantangan, dan Alternatif


Solusinya. Usese. Jakarta.

Nuryanti, Sri. 2005. Analisa Kelembagaan Sistem Penawaran dan Permintaan Beras di
Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 23 No. 01 2005. Diunduh tanggal 10 Juli 2010 dari
www.pse.litbang.deptan.go.id

Putri, E. I. K., 2009. Ancaman dan Solusi Krisis Pangan, Energi dan Air serta Peran Keilmuan
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan dalam Mengatasi Krisis Tersebut. Orange Book.
Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dalam Mengahadapi Krisis Globa. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 68


Saptana, Susmono, Suwarto dan M. Nur, 2004. Kinerja Kelembagaan Agribisnis Beras di Jawa
Barat.Monograph No. 25. Diunduh tanggal 10 Juli 2010 dari
www.pse.libang.deptan.go.id

Rusastra, I W,. B.Rachman, Sumedi dan T. Sudaryanto, 2000. Struktur Pasar dan Pemasaran
Gabah-Beras dan Komoditas Kompetitor Utama. Diunduh 10 Juli 2010 dari
www.pse.litbang.deptan.go.id

Buletin IKATAN VoL. 3 No. 1 Tahun 2013 69

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai