Anda di halaman 1dari 22

12

TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO


DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 12
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN


DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

Macro-Micro Marketing Conceptual Review and Its


Implication for Agricultural Development
Saptana dan Handewi P. Saliem Rahman

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jln. A. Yani No. 70, Bogor 16161
E-mail: saptono@yahoo.com

Naskah diterima: 30 Juni 2015; direvisi: 5 Agustus 2015; disetujui terbit: 15 September 2015

ABSTRACT

Economists are interested in the marketing concept try to apply it in agricultural development.
Marketing concept has several aspects, i.e. economy, business, and policy. Some people interpret
marketing concept in terms of macro aspect (national level) and micro aspect ( firm level). This paper
proposes to examine marketing concept in term of macro and micro levels. Examining the marketing
aspect at macro level will be useful to increase the marketing efficiency of agricultural commodity at
regional or national level. It will also improve marketing efficiency in supply chain of agricultural
commodity. Reviews on empirical studies indicate that some agricultural commodities have low marketing
efficiency causing low competitiveness in the domestic and global markets. Enhancing marketing
efficiency requires government intervention intended to reduce market distortion and high transaction cost
in the supply chain of agricultural commodity. To achieve marketing efficiency of agricultural commodity, it
is necessary to integrate macro-economic policy and micro-economic activities in the supply chain of
agricultural commodity.

Keywords: competitiveness, macro-economic, micro-economic, strategy, development, agriculture

ABSTRAK

Pakar ekonomi dan pemasaran telah memberikan perhatian besar terhadap konsep pemasaran
dan mencoba menerapkannya dalam pembangunan pertanian. Konsep pemasaran dimaknai dari berbagai
perspektif, antara lain perspektif ekonomi, bisnis, dan kebijakan. Di samping itu, ada yang memaknai
pemasaran dari perspektif makro dan perspektif mikro. Tulisan ini berusaha mengkaji konsep pemasaran
dalam perspektif ekonomi baik makro maupun mikro. Kajian dari perspektif makro diharapkan berguna
meningkatkan efisiensi pemasaran suatu komoditas pertanian dalam suatu wilayah atau nasional.
Sementara itu, dari kajian dalam perspektif m ikro diharapkan berguna dalam upaya meningkatkan
efisiensi dalam rantai pasok dan pengelolaan rantai nilai suatu komoditas. Secara mikro beberapa pelaku
usaha rantai pasok komoditas pertanian Indonesia mempunyai efisiensi yang rendah, sehingga kalah bersaing di
pasar domestik dan global. Untuk mewujudkan sistem pemasaran yang efisien diperlukan adanya kebijakan
pemerintah yang ditujukan untuk menghilangkan adanya distorsi pasar dan menekan tingginya biaya transaksi
pada sistem pemasaran komoditas pertanian. Sementara itu, untuk mewujudkan efisiensi pemasaran di tingkat
mikro (pelaku usaha) menjadi efisiensi di tingkat makro (nasional) diperlukan adanya keterpaduan antara
kebijakan makro terkait sistem distribusi dan pemasaran komoditas pertanian dan kegiatan usaha ekonomi mikro
dalam rantai pasok komoditas pertanian.

Kata kunci: pemasaran, makro-mikro, strategi, pembangunan, pertanian

PENDAHULUAN Konsep pemasaran juga menjadi kata kunci


dalam upaya pembangunan pertanian dalam
perspektif pembangunan agribisnis.
Banyak pakar ekonomi dan pemasaran
Pemasaran dimaknai dari berbagai
telah memberikan perhatian besar terhadap
perspektif, antara lain perspektif ekonomi,
konsep pemasaran dan mencoba menerapkan
bisnis, dan kebijakan. Di samping itu, ada
dalam kebijakan pembangunan pertanian.
yang memaknai pemasaran dari perspektif
12
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 12
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

makro (wilayah atau nasional) dan mikro membangun sistem pemasaran komoditas
(perusahaan). pertanian dalam mendukung pembangunan
Permasalahan pemasaran komoditas pertanian wilayah maupun nasional. Semen-
pertanian pada dasarnya meliputi bagaimana tara itu, dari kajian dalam perspektif mikro
menerjemahkan permintaan dari konsumen diharapkan berguna dalam pembangunan
kepada produsen dan menginformasikan pertanian terutama melalui sistem rantai
produk yang diproduksi oleh produsen kepada pasok dan pengelolaan rantai nilai yang
konsumen, penyaluran produk pertanian dan efisien sehingga produk pertanian mampu
jasa-jasa pemasaran dari produsen kepada bersaing di pasar domestik dan global.
konsumen serta menyelaraskan proses
pemasaran akibat adanya dinamika permintaan
KONSEPSI PEMASARAN PERSPEKTIF
pasar dan preferensi konsumen (Sudiyono,
MAKRO
2001). Pemasaran hasil-hasil pertanian
sangat
dipengaruhi oleh kondisi kinerja produksi atau Secara teori ekonomi permintaan di
pasokan, sistem distribusi, dan jumlah tingkat konsumen dapat langsung berhadapan
konsumsinya. Ketidakseimbangan produksi dan dengan penawaran di sisi produsen dengan
konsumsi serta terhambatnya sistem distribusi beberapa asumsi pokok sebagai berikut
dapat mengganggu sistem pemasaran hasil (Williamson, 1985; Dixit, 1996; dan Hutagaol,
pertanian ke tujuan-tujuan pasar di pusat-pusat 2007): pertama, perilaku individu bersifat
konsumsi. rasional sempurna (perfectly rational), hal ini
Kondisi pertanian di Indonesia belum mengandung dua makna, yaitu (a) individu
mencapai tahapan efisiensi pemasaran yang berperilaku memaksimumkan kepuasan
tinggi, baik dari perspektif makro maupun (maximize utility), dan (b) individu berperilaku
mikro. Dari perspektif makro sebagian besar mementingkan diri sendiri (individualistic).
petani menghadapi struktur pasar yang belum Kedua, informasi bersifat sempurna dan produk
seimbang baik di pasar input maupun output. identik total. Informasi sempurna berimplikasi
Sementara itu, dari perspektif mikro menunjuk- pada pasar bersaing secara sempurna, tidak
kan masih rendahnya kinerja keterpaduan ada biaya transaksi tercakup biaya pemasaran
rantai pasok produk pertanian. Meskipun (costless), dan barang atau jasa disampaikan
secara keseluruhan neraca perdagangan sektor tanpa memerlukan waktu (timeless). Produk
pertanian berada pada posisi surplus, namun identik secara total mengandung arti bahwa
lebih disebabkan tingginya surplus produk sub- produk sama sekali tidak dapat dibedakan satu
sektor perkebunan, sedangkan subsektor sama lain (homogen).
tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan Dalam realitasnya, informasi tidak
mengalami defisit dalam neraca perdagangan sempurna dan perlu biaya mahal untuk
(Kementan, 2013). memperolehnya. Transaksi ekonomi dihadap-
Pemenuhan kebutuhan dan stabilitas kan pada masalah informasi asimetris, terjadi
harga hasil-hasil pertanian merupakan isu atau perilaku moral hazards, dan ongkos transaksi
masalah yang tetap relevan saat ini dan ke positif. Di antara produsen dan konsumen
depan. Terlebih dengan jumlah penduduk yang dihubungkan oleh sistem tata niaga yang
lebih dari 250 juta dan tersebar di berbagai di diperankan oleh pelaku tata niaga (Rahman,
ribuan pulau, menjadikan dimensi permasalah- 1997). Dalam memainkan perannya pelaku tata
an bukan hanya pada jumlah ketersediaan dan niaga tersebut memperoleh imbalan sebesar
harga saja, namun lebih kompleks lagi perbedaan harga yang diterima produsen
menyangkut masalah distribusi dan dengan harga yang dibayar konsumen.
pemasaran. Permasalahan pokok yang Perbedaan harga tersebut dikenal dengan
menjadi penghambat (bottleneck) dalam istilah margin tata niaga (marketing margin)
pembangunan pertanian hingga kini adalah yang terdiri atas biaya pemasaran (marketing
masih rendahnya efisiensi pemasaran dan cost) yang dikeluarkan pelaku tata niaga dan
belum terpadunya rantai pasok produk keuntungan pemasaran (profit margin) yang
pertanian dari hulu hingga hilir (Kementan, diterima pelaku tata niaga (Tomeck dan
2011). Robinson, 1990).
Tulisan ini berusaha mengkaji Dalam konsep pemasaran dikenal
konsep pemasaran dari perspektif ekonomi pemasaran dalam perspektif makro dan mikro
baik makro maupun mikro. Kajian dari
perspektif makro diharapkan berguna
12
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 12
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

(Scaffner et al., 1998), seperti halnya dalam Pendekatan (ESH) yang dikembangkan
konsep pembangunan dikenal makro-mikro oleh Demsetz (1983) menganggap adanya
pembangunan (Siregar, 2009) dan mikro-makro hubungan yang positif antara struktur pasar
daya saing (Saptana, 2010). Pemasaran dalam dengan keuntungan yang diperoleh perusaha-
perspektif makro menganalisis efisiensi sistem an. Hal ini menunjukkan adanya senjang
pemasaran secara keseluruhan (agregat) efisiensi (efficiency gap) antarperusahaan
dalam penyampaian produk dari produsen dalam industri atau pasar. Pendekatan ini
hingga ke konsumen akhir. mengasumsikan bahwa perusahaan yang
efisien dapat meningkatkan keuntungan (profit)
dengan mengembangkan keunggulan biaya
Pendekatan Analisis Struktural
(cost advantage) untuk memperoleh pangsa
Terdapat dua pendekatan dalam pasar (market share) yang lebih besar, dengan
analisis struktural, yaitu (1) pendekatan konsekuensi meningkatkan konsentrasi pasar.
structure-conduct-performance (S-C-P) dan (2) Adanya efisiensi dari salah satu perusahaan
pendekatan efficient structure hypothesis selanjutnya dapat mendorong perusahaan lain
(ESH). Pendekatan S-C-P merupakan metode untuk meningkatkan efisiensi juga agar dapat
yang pertama kali dikembangkan oleh Mason bersaing di industri atau pasar yang sama.
(1949) dan Bain (1954). Metode ini bertujuan
Sebagian besar pakar ekonomi
untuk mengetahui derajat persaingan dalam
pertanian di Indonesia lebih banyak meng-
industri berdasarkan karakteristik struktural
gunakan pendekatan S-C-P yang didasarkan
dengan membangun hubungan langsung
atas kajian-kajian empiris pemasaran di daerah
antara struktur (structure) industri dengan
sentra produksi pertanian. Beberapa ukuran
perilaku (conduct) perusahaan, dan dari
untuk melihat struktur pasar (Asmarantaka,
perilaku ke kinerja (performance) perusahaan.
2009) adalah (a) konsentrasi pasar (market
Mason dan Bain menyatakan bahwa terdapat
concentration) diukur berdasarkan persentase
hubungan langsung dan kuat antara struktur
dari penjual atau aset atau pangsa pasar; (b)
pasar sebuah industri (market structure), praktik
kebebasan keluar-masuk (exit-entry) pasar bagi
bisnis dan perilaku pihak-pihak pembentuk
calon penjual; dan (c) diferensiasi produk
pasar (market conduct) dan kinerja industri itu
(product differentiation) dengan mengubah
sendiri (market performance). Terdapat pola
kurva permintaan yang elastis menjadi kurva
hubungan linier antara struktur, perilaku, dan
permintaan yang inelastis (Asmarantaka, 2009).
kinerja yang diasumsikan bersifat stabil dan
Derajat konsentrasi pasar dapat dilihat dari
bersifat kausalitas, sehingga hubungan
derajat pemusatan pedagang dapat dihitung
langsung dapat terjadi antara sekumpulan
menggunakan perhitungan nilai indeks
variabel-variabel yang merepresentasikan
Herfindahl (Ferguson, 1988).
struktur dan variabel-variabel kinerja (Church
dan Ware, 2000). Pendekatan S-C-P lebih Analisis perilaku pasar sangat terkait
menekankan pada aspek deskriptif, melihat dengan (a) penentuan harga dan pengaturan
kasus-kasus empiris di suatu wilayah, pem- tingkat output yang akan dihasilkan secara
bahasan aspek kelembagaan pasar lebih bersama-sama; (b) kebijakan promosi produk,
dominan, dan lebih menekankan penemuan melalui pameran atau iklan atas nama
harga (price discovery) serta menjelaskan perusahaan; (c) perilaku dalam kerja sama
tindakan perusahaan atau pelaku tata niaga antarpelaku usaha dapat ditunjukkan oleh pola
yang melakukan penguasaan pasar (market koordinasi antarpelaku yang dapat diukur juga
power). Secara ringkas kerangka pikir pen- dengan menggunakan tingkat integrasi pasar,
dekatan S-C-P dapat dilihat pada Gambar 1. secara kuantitatif dapat menggunakan integrasi
pasar dan indek hubungan pasar (index market
connection/IMC) (Ravalion, 1986); dan (d)
predatory and exclusivenary, strategi ini bersifat
ilegal karena bertujuan untuk mendorong
Structure Conduct Performance perusahaan pesaing mengalami kebangkrutan
dan keluar dari pasar.
Asmarantaka (2009) mengungkapkan
analisis keragaan pasar mencakup (a) analisis
pasar serta pengaruhnya terhadap kuantitas
Gambar 1. Kerangka pikir hubungan dan harga yang terjadi di pasar dan (b)
structure- conduct-performance
13
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 13
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

keragaan pasar mencakup tingkat efisiensi potensial memiliki fungsi biaya yang sama
teknis dan efisiensi alokatif, margin pemasaran, dengan perusahaan lama. Jika perusahaan
kapasitas penggunaan, serta proses inovasi lama tidak memiliki keunggulan absolut dalam
dan insentif. Keragaan pasar yang baik hal biaya dibandingkan perusahaan
ditunjukkan oleh tingkat harga yang kompetitif. potensialnya, pada keseimbangan yang
contestable menjadikan perusahaan lama
hanya menikmati keuntungan normal.
Pendekatan Analisis Chicago
School Karakteristik pasar yang contestable
berimplikasi bahwa industri atau pasar yang
Pendekatan Chicago School dipelopori terkonsentrasi dapat bersaing secara kompetitif
oleh Stigler (1964) sebagai reaksi atas ketidak- meskipun pasar didominasi oleh beberapa
puasan terhadap pandangan kaum strukturalis. perusahaan besar. Oleh karena itu, pemerintah
Pendekatan ini menempatkan kinerja (per- seharusnya tidak melakukan intervensi dalam
formance) sebagai variabel yang memengaruhi kondisi pasar contestable. Berdasarkan
struktur pasar (structure), selanjutnya struktur argumen ini, deregulasi dan liberalisasi akan
pasar yang akan memengaruhi perilaku membuat industri atau pasar menjadi lebih
(conduct) perusahaan (Martin, 1994). contestable atau bersifat terbuka untuk
Pendekatan ini menolak adanya campur tangan persaingan.
pemerintah dan menyerahkan kepada
mekanisme pasar. Secara ringkas kerangka Untuk mengetahui perilaku persaingan
pikir pendekatan Chicago School dapat dilihat bersifat contestable atau noncontestable ini
pada Gambar 2. berkembang metode-metode nonstruktural yang
dikembangkan oleh Bresnahan-Lau (1981) dan
Panzar-Rose (1987). Metode-metode non-

Technology Structure struktural tersebut masing-masing mengukur


perilaku persaingan industri atau pasar tanpa
menggunakan struktur pasar secara eksplisit.
Pengukuran perilaku persaingan dilakukan
Conduct dengan mengestimasi perbedaan struktur biaya
dari harga persaingan. Metode Bresnahan-Lau
Freedom to entry (1981) dan Panzar-Rose (1987) banyak
Performance digunakan untuk mengukur perilaku persaingan
pada industri perbankan.

Gambar 2. Kerangka pikir Chicago School


KONSEP PEMASARAN PERSPEKTIF MIKRO

Salah satu pendekatan utama yang


banyak digunakan para pakar pemasaran Pemasaran dalam perspektif mikro
adalah contestable market theory (CMT). merupakan tinjauan pemasaran dari aspek
Pendekatan CMT yang dikembangkan oleh manajemen perusahaan secara individu pada
Boumol (1982) memberikan argumentasi yang setiap tahapan pemasaran dalam mencari
lebih kuat mengenai perilaku persaingan pasar. keuntungan, melalui pengelolaan bahan baku,
Pendekatan ini menegaskan bahwa tingkat produksi, penetapan harga, distribusi, dan
konsentrasi pasar bukan merupakan faktor promosi terhadap produk yang akan dipasarkan
yang utama dalam menentukan kinerja pasar. (Schaffner, 1998; Asmarantaka, 2009). Bebe-
Jika pasar berbentuk contestable sempurna, rapa alat analisis pemasaran perspektif mikro
harga yang terjadi selalu mencerminkan biaya yang berkembang dewasa ini adalah (1)
produksi meskipun hanya terdapat satu konsep manajemen rantai pasok (supply chain
perusahaan dalam industri tersebut. Industri management/SCM) dan (2) analisis rantai nilai
yang terkonsentrasi dapat berperilaku (value chain analysis/VCA). Manajemen rantai
kompetitif jika hambatan masuk bagi pesaing pasok merujuk pada manajemen keseluruhan
baru cukup rendah. Pendekatan CMT proses produksi, distribusi, dan pemasaran, di
mengasumsikan bahwa perusahaan dapat mana konsumen dihadapkan pada produk-
bebas masuk atau keluar industri dengan cepat produk yang sesuai dengan keinginannya,
tanpa kehilangan modal atau tidak ada sunk sementara produsen akan memproduksi produk
cost. Dalam industri yang contestable, pesaing dengan jumlah, kualitas, waktu, dan lokasi yang
tepat (Saptana dan Daryanto, 2013).
13
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 13
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

Dalam arti sempit, suatu rantai nilai nilai yang tercipta tersebut didistribusikan
mencakup serangkaian kegiatan yang secara adil di antara pelaku rantai pasok yang
dilakukan di dalam suatu perusahaan untuk tercakup berdasarkan kontribusinya.
menghasilkan produk tertentu. Kegiatan rantai
nilai mencakup tahap pembuatan konsep dan
perancangan, proses pengadaan input, proses Konsep Manajemen Rantai Pasok dan
produksi, distribusi, pemasaran, serta kinerja Perannya dalam Meningkatkan Nilai Tambah
layanan purna jual. Seluruh kegiatan tersebut dan Daya Saing
membentuk keseluruhan „rantai‟ yang
menghubungkan produsen dan konsumen, dan
Konsep Manajemen Rantai Pasok
tiap kegiatan menambahkan „nilai‟ pada produk
akhir (ACIAR, 2012). Adanya perbaikan Indrajid dan Djokopranoto (2002)
standardisasi mutu dan layanan purna jual mendefinisikan rantai pasok (supply chain)
penting dilakukan pada rantai nilai produk sebagai suatu sistem tempat organisasi
pertanian. Kegiatan-kegiatan tersebut mening- menyalurkan barang dan jasa kepada
katkan nilai produk secara keseluruhan karena pelanggannya. Manajemen rantai pasok
konsumen bersedia membayar lebih mahal merupakan alat bantu pendekatan untuk meng-
untuk mendapatkan produk berkualitas. Bebe- integrasikan efisiensi pemasok, perusahaan,
rapa contoh produk pertanian adalah produk distributor, pengecer, sehingga dapat meng-
beras berkualitas PT Pertani Sidrap, produk hasilkan dan menyalurkan produk dengan
mangga gedong gincu Majalengka, produk jumlah, lokasi dan waktu yang tepat, agar dapat
manggis kualitas ekspor, kubis Berastagi yang mengurangi biaya dan memberikan tingkat
menembus ekspor, produk ayam asuh kepuasan dalam pelayanan kepada pelanggan.
menembus super market, semangka black Definisi dari APICS Dictionary adalah
beauty menembus super market (Saptana dan sebagai berikut: manajemen rantai pasok
Daryanto, 2013). adalah “desain, perencanaan, pengambilan
Saptana dan Daryanto (2013) menge- keputusan, pengendalian, dan pemantauan
mukakan rantai nilai adalah bagaimana meng- pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan rantai
organisasikan keterkaitan antara kelompok- pasok dengan tujuan untuk menciptakan nilai
kelompok produsen, para pedagang pada bersih atau keuntungan, melalui pengembang-
berbagai tingkatan, industri pengolah, dan an infrastruktur yang kompetitif, desain,
penyedia jasa-jasa penunjang di mana mereka perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan
bergabung bersama dalam upaya meningkat- pemantauan kegiatan rantai pasok dengan
kan produktivitas dan nilai tambah pada tujuan menciptakan nilai bersih, membangun
aktivitas usaha yang mereka jalankan. Terdapat infrastruktur yang kompetitif, meningkatkan
dua tipe aktivitas rantai nilai, yaitu (1) aktivitas logistik di seluruh dunia, sinkronisasi pasokan
utama meliputi logistik masuk, operasional, dengan permintaan dan mengukur kinerja
logistik keluar, pemasaran, serta penjualan dan secara global” (Cox et al., 1995). Pada intinya,
pelayanan; dan (2) aktivitas pendukung meliputi rantai pasok adalah suatu set atau paket
dukungan infrastruktur, manajemen SDM, pengelolaan terpadu yang terintegrasi dan
pengembangan teknologi, dan persediaan saling terkait, mulai dari industri hulu sampai ke
(ACIAR, 2012). Aktivitas pendukung merupa- hilir (Lokollo, 2012). Keterkaitan yang terjadi
kan fungsi-fungsi yang terintegrasi yang meliputi aliran barang, pelayanan, uang,
berlangsung pada setiap aktivitas utama. maupun aliran informasi dari produsen awal
sampai konsumen akhir. Manajemen rantai
Konsep dasar manajemen rantai pasok
pasok mengintegrasikan permintaan dan
berakar dari konsep logistik, sedangkan konsep
penawaran, baik dalam suatu kegiatan usaha
rantai nilai (value chain) berakar dari konsep
maupun antarkegiatan usaha. Gambar 3 di
pemasaran perspektif mikro khususnya analisis
bawah ini menjelaskan tentang apa saja
margin tata niaga. Keduanya kurang relevan
cakupan dan kegiatan yang terjadi dalam
untuk diperbandingkan, namun bersifat saling
manajemen rantai pasok.
melengkapi satu dengan yang lain. Manajemen
rantai pasok menekankan pada tata kelola Konsep manajemen rantai pasok
(governance) yang baik pada sepanjang rantai merujuk pada manajemen keseluruhan proses
pasok komoditas atau produk, sedangkan produksi, distribusi, dan pemasaran di mana
analisis rantai nilai menekankan analisis rantai konsumen dihadapkan pada produk-produk
nilai sepanjang rantai pasok dan bagaimana yang sesuai dengan keinginannya dan
13
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 13
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

produsen dapat memproduksi produk-produk- (b) meningkatkan kualitas kemitraan dalam


nya dengan jumlah, kualitas, waktu, dan lokasi rantai pasok produk pertanian, memiliki partner
yang tepat (Daryanto, 2008; Marimin dan kerja yang dapat diandalkan; (c) keterpaduan
Maghfiroh, 2013). Pada intinya paradigma yang rantai pasok produk pertanian, keseluruhan
melandasi konsep SCM adalah bekerja ber- aktivitas baik keorganisasian, pemasok,
sama lebih menguntungkan daripada bekerja produksi, dan konsumen harus baik; dan (d)
sendiri-sendiri atau dari pola kerja dari tipe kecepatan produsen produk pertanian dalam
transaksional yang bersifat individualis, mandiri,
merespon permintaan konsumen dan pasar.
dan oportunistik ke arah pola kerja tipe partner-
ship yang bersifat kolaborasi, transparansi, Manajemen rantai pasok produk
komitmen, saling percaya, serta berbagi pertanian berbeda dengan manajemen rantai
informasi dan nilai tambah (Poerwanto, 2013). pasok produk manufaktur, hal ini disebabkan
Menurut HPSP (2011) rantai pasok (a) produk pertanian bersifat mudah rusak; (b)
adalah sistem organisasi, teknologi, aktivitas, proses penanaman, pertumbuhan dan pema-
informasi, dan sumber daya yang terlibat di nenan tergantung pada kondisi iklim dan
dalam proses penyampaian barang dan jasa musim; (c) hasil panen memiliki bentuk dan
dari pemasok ke konsumen. Aktivitas-aktivitas ukuran yang bervariasi (tidak homogen); dan
dalam rantai pasok mengubah sumber daya (d) produk pertanian bersifat kamba sehingga
alam, bahan baku, dan komponen-komponen sulit untuk ditangani secara konvensional
dasar menjadi produk jadi yang akan disalurkan (Brown, 1994 dalam Marimin dan
ke konsumen akhir. Sistem pengukuran kinerja Maghfiroh,
rantai pasok diperlukan untuk melakukan 2013).
monitoring dan pengendalian, melakukan
komunikasi tujuan organisasi ke fungsi-fungsi Peran Manajemen Rantai Pasok dalam
yang dilakukan pelaku pada rantai pasok. Meningkatkan Nilai Tambah dan Daya
Pengukuran kinerja memungkinkan perbaikan Saing
kinerja rantai pasok dari waktu ke waktu
sehingga rantai pasok berjalan secara efisien. Mengapa rantai pasok itu menjadi
penting? Dalam waktu lampau, hanya produsen
Menurut Gunasekaran (2001) diperlu- atau perusahaan pengolah sajalah yang
kan beberapa syarat dalam membangun kinerja menjadi motor penggerak rantai pasok barang
manajemen rantai pasok pada produk pertanian dan jasa. Berapa banyak barang dan jasa
yang baik, yaitu (a) fleksibilitas rantai pasok, harus diproduksi? Mutu atau kualitas seperti
perusahaan atau produsen harus mampu barang dan jasa tersebut akan diproduksi? Di
merespon perubahan-perubahan yang mana lokasi barang dan jasa tersebut dipro-
terjadi; duksi? Ke mana dan kepada siapa barang dan
jasa yang diproduksi tersebut akan dipasarkan.

Sumber: Lokollo (2012)

Gambar 3. Cakupan dan kegiatan supply chain management


13
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 13
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

Terdapat beberapa argumen penting- Konsep Rantai Nilai dan Rantai Nilai Global
nya penerapan manajemen rantai pasok pada serta Perannya dalam Meningkatkan Nilai
komoditas pertanian. Pertama, konsumen yang Tambah dan Daya Saing
menentukan terhadap atribut produk yang
diinginkan secara lebih lengkap dan rinci
mencakup atribut keamanan produk, atribut Konsep Rantai Nilai dan Rantai Nilai Global
nutrisi, atribut nilai, atribut pengepakan, atribut Menurut Kaplinsky dan Morris (2000)
lingkungan, atribut ketelusuran produk dan yang juga diacu oleh Saptana dan Daryanto
atribut kemanusiaan (Simatupang et al., 1998). (2013), analisis rantai nilai adalah kegiatan
Para produsen berupaya untuk memenuhi lengkap yang diawali dari penyusunan konsep,
keinginan atau permintaan konsumen, baik kegiatan proses produksi, mengirimkan ke
dalam jenis, bentuk, styles, features, bagai- pelanggan melalui pelaku tata niaga, pengolah,
mana penyampaiannya apakah quick order dan distributor hingga ke konsumen akhir,
fulfillment atau fast delivery dan bagaimana sehingga perusahaan memiliki keunggulan
kemasannya. Kedua, penerapan manajemen kompetitif. Terdapat tiga tahapan dalam
rantai pasok pada produk pertanian diyakini menganalisis rantai nilai, yaitu (a) perusahaan
atau pelaku usaha mengidentifikasi aktivitas
dapat meningkatkan efisiensi pada keseluruhan
rantai nilai, mungkin hanya terlibat dalam
rantai pasok melalui keterpaduan proses
aktivitas tunggal atau sebagian dari aktivitas
produk dan keterpaduan antarpelaku dalam
keseluruhan; (b) mengidentifikasi faktor kunci
keseluruhan rantai pasok (Saptana dan sukses pada setiap aktivitas rantai nilai yang
Daryanto, 2013). Ketiga, hingga kini biaya akan menjadi penentu keberhasilan; dan (c)
logistik Indonesia mencapai (27% dari GDP) mengembangkan keunggulan kompetitif
jauh lebih besar dibandingkan Amerika Serikat dengan memperbaharui dalam bentuk proses,
(9,9% dari GDP), Jepang (10,6% dari GDP), fungsi, dan rantai.
dan Korea Selatan (16,3% dari GDP)
Investasi dan perdagangan merupakan
(Wargadalam, 2015). Keempat, penerapan
dua kata kunci dalam pembangunan ekonomi
manajemen rantai pasok pada produk pertanian
suatu negara (Lindert dan Kindleberger, 1993).
diyakini dapat meningkatkan daya saing melalui
Investasi baik domestik maupun asing dapat
peningkatan efisiensi dan ketepatan pelayanan meningkatkan output atau PDB suatu negara
pada pelanggan. Kelima, penerapan yang selanjutnya dapat meningkatkan lapangan
manajemen rantai pasok pada produk pertanian kerja baru. Sementara itu, perdagangan akan
dapat meningkatkan akses petani untuk meningkatkan efisiensi melalui spesialisasi
memasuki pasar modern dan pasar global kerja dan menciptakan kesejahteraan (Lindert
secara lebih luas. dan Kindleberger, 1993; Krugman dan Obstfeld,
Penerapan manajemen rantai pasok 1994). Ke depan persaingan dalam memasar-
dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing kan suatu produk diperkirakan akan terjadi
karena industri dituntut untuk (a) memenuhi bukan saja antarnegara dan antarproduk tetapi
kepuasan konsumen; (b) mengembangkan akan lebih intens antarrantai pasok produk.
produk tepat waktu; (c) mengeluarkan biaya Pengelolaan rantai nilai global (global value
yang rendah dalam bidang persediaan dan chain governance/GVCG) merupakan salah
satu strategi kemitraan usaha agribisnis yang
penyerahan produk; dan (d) mengelola industri
memungkinkan petani dapat akses ke pasar
secara cermat dan fleksibel (Saptana dan
global.
Daryanto, 2013). Untuk industri pertanian yang
menggunakan bahan baku dari hasil pertanian Hubungan di antara aktivitas industri
konsep manajemen rantai pasok ini dapat dapat digambarkan sebagai suatu rantai yang
diterapkan, terutama untuk produk bernilai bersifat kontinyu yang merupakan perluasan
ekonomi tinggi (beras berkualitas, beras dari pasar. Hubungan ini diilustrasikan sebagai
organik, jagung untuk pakan ternak, produk hubungan yang relatif pendek, yang merupakan
buah-buahan, produk sayur-sayuran organik, hierarki keterkaitan nilai yang diilustrasikan
melalui pemilikan langsung pada proses
dan produk peternakan rendah lemak) untuk
produksi. Pada tahun 1990-an Gereffi
tujuan segmen dan tujuan pasar tertentu (pasar
mengembangkan suatu kerangka berpikir yang
modern, konsumen institusi, industri
disebut rantai komoditas global (global
pengolahan, dan pasar ekspor).
commodity chain), yang menunjukkan adanya
keterkaitan secara langsung antara konsep
13
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 13
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

rantai nilai tambah (value-added chain) dengan tepat guna, untuk kepentingan pelanggan. Bila
organisasi industri global (Gereffi dan para pelaku memiliki kecenderungan
Korzeniewicz, 1994; Gereffi, 1999; Gereffi et bertransaksi dengan pihak yang sama secara
al., 2005; Saptana dan Daryanto, 2013). berulang, maka disebutnya sebagai rantai nilai
Dengan menggunakan terminologi “buyer- yang berulang. Hubungan ini terjalin seiring
driven global commodity chain” yang meliputi dengan adanya rasa saling percaya dan saling
bagaimana pembeli-pembeli global mengguna- ketergantungan. Secara empiris pola ini banyak
kan koordinasi secara eksplisit untuk mem- ditemukan pada hubungan antara penebas padi
bantu menciptakan pasokan berkompetensi dengan petani padi sawah (Saptana et al.,
tinggi, didasarkan pada produksi skala global 2003), antara petani perkebunan rakyat dengan
dan dapat membangun sistem distribusi tanpa pedagang pengumpul desa atau industri
kepemilikan secara langsung. pengolahan sawit nonkemitraan (Fajar dan
Dengan menyoroti secara eksplisit Herman, 2001), dan antara peternak sapi
koordinasi di dalam rantai yang tersekat-sekat rakyat dengan pedagang pengumpul atau
dan secara kontras membandingkannya blantik (Ilham et al., 2015). Hubungan tersebut
dengan hubungan yang terdapat pada integrasi biasanya merupakan hubungan langganan
vertikal, atau pada “producer-driven” chain, dengan ikatan maupun tanpa ikatan tertentu.
rantai komoditas global memberikan kerangka Rantai nilai relasional. Jaringan kerja ini
kerja dengan memberikan perhatian pada merupakan interaksi yang kompleks di antara
peran jaringan kerja yang bersifat lintas-batas pembeli dan penjual, di mana sering
organisasi industri. Kerangka pikir ini sejalan menciptakan ketergantungan yang saling
dengan kerangka pikir kemitraan usaha menguntungkan dan memiliki aset spesifik
agribisnis. Paling tidak dapat diidentifikasi lima bertingkat tinggi. Hal ini dapat dikelola melalui
tipe dasar dari value chain governance (Gereffi reputasi atau melalui hubungan kekeluargaan
et al., 2005; Daryanto dan Saptana, 2009; dan etnik. Dalam perkembangan terkini reputasi
Saptana dan Daryanto, 2013), yaitu keterkaitan dapat dijadikan jaminan dalam mengambil
pasar (market), rantai nilai bermodul (modular kredit komersial perbankan, seperti pada kasus
value chains), rantai nilai relasional (relational keberhasilan M. Yunus dalam membangun
value chains), dan rantai nilai tertutup (captive kelembagaan Garment Bank sehingga
value chains). masyarakat miskin di Bangladesh dapat akses
Keterkaitan pasar. Keterkaitan ini tidak terhadap pembiayaan (Yunus, 1999). Pola ini
memiliki sistem transit yang lengkap atau juga dijumpai pada kasus hubungan kemitraan
bersifat sementara, seperti tipikal pada pasar usaha antara pabrik gula (PG) dengan petani
valuta asing, mereka dapat tetap eksis kapan tebu rakyat yang melibatkan perbankan di
saja, dengan transaksi yang terus berulang. Hal mana PG sebagai avalisnya (Saptana dan
terpenting keterkaitan pasar adalah biaya-biaya Ilham, 2015). Demikian halnya kemitraan usaha
pergantian untuk partner baru adalah rendah antara BI Jatim, PT Holcim dengan Koperasi
untuk kedua pihak. Relasi yang berbasis norma Mitra Usaha, di mana Koperasi Mitra Usaha
ekonomi pasar merupakan relasi yang paling sebagai avalis dan Bank Indonesia Jatim
banyak dipilih petani di perdesaan membantu konsultan keuangan, fasilitasi dalam
(Syahyuti, SDM, serta bantuan alat dan mesin peternakan
2012). Pola ini umum terjadi pada dalam menghasilkan produk peternakan baik
transaksi sapi, daging segar, daging beku, bakso, dan
yang terjadi di pasar tradisional dan pasar sosis (Ilham et al., 2015). Dalam konteks
modern. Pembeli dan penjual bertemu, mem- produk pertanian, tipe ini sesuai untuk ke-
buat kesepakatan, dan kemudian mengakhiri mitraan usaha agribisnis terpadu yang ditujukan
hubungan mereka. Pilihan relasi berbasis untuk memenuhi segmen pasar tertentu, seperti
norma ekonomi pasar lebih berdasarkan alasan pasar modern, konsumen institusional, dan
kemudahan dan kemurahan, namun relasi yang industri pengolahan hasil pertanian.
berlangsung cenderung berpola. Rantai nilai tertutup. Jaringan kerja ini
Rantai nilai bermodul. Secara tipikal para pemasok kecil mengalami keter-
pemasok dalam rantai nilai yang terus berulang gantungan dalam transaksi dengan pembeli-
membuat produk untuk pelanggan yang pembeli besar yang banyak jumlahnya. Tatap
spesifik. Pemasok mengambil tanggung jawab muka para pemasok memerlukan biaya
secara penuh untuk kompetensi yang meliputi transaksi sehingga bersifat tertutup. Jaringan
seluruh proses produksi, investasi spesifik, kerja ini diilustrasikan adanya monitoring dan
pengadaan bahan baku berkualitas, teknologi
13
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 13
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

kontrol tingkat tinggi oleh perusahaan Dalam mengonstruksi teori “value chain
pemimpin. Model ini dapat dijumpai pada governance” paling tidak ada tiga faktor utama
industri broiler antara perusahaan peternakan yang perlu dipertimbangkan, yaitu (a) komplek-
sebagai inti dengan peternak mitra sebagai sitas informasi dan transfer pengetahuan
plasma. Perusahaan peternakan menyediakan diperlukan untuk menjaga kesinambungan
sapronak dan menampung hasil, sedangkan transaksi yang bersifat khusus, dengan mem-
peternak plasma menyediakan kandang, perhatikan spesifikasi produk dan prosesnya;
menyediakan bahan, dan memelihara broiler (b) perluasan di mana informasi dan
sesuai bimbingan teknis dan manajemen dari pengetahuan dapat disusun dan dapat
perusahaan (Saptana dan Daryanto, 2013). ditransmisikan secara efisien dan tanpa
Dalam batas-batas tertentu dijumpai pada transaksi investasi yang spesifik di antara pihak
produk hortikultura asal Indonesia untuk tujuan yang melakukan transaksi; dan (c) kapabilitas
ekspor (manggis, mangga gedong, melon), di para pemasok baik secara aktual maupun
mana pembeli yang berasal dari Singapura, potensial dalam hubungannya dengan
Malaysia, Taiwan, dan Hongkong sering persyaratan-persyaratan dalam melakukan
melakukan supervisi kepada pemasok di transaksi. Secara ringkas determinan pokok
daerah sentra produksi di Indonesia (Saptana dari “global value chains governance” dapat
et al., 2005). dilihat pada Tabel 1.
Rantai nilai berjenjang. Bentuk tata Melakukan identifikasi terhadap
kelola ini diilustrasikan sebagai integrasi secara beberapa tipologi tata kelola rantai nilai global
vertikal. Bentuk tata kelola yang dominan (GVC), dan penjelasan tentang tinjauan
adalah kontrol manajerial, adanya aliran dari teoritisnya merupakan tahapan penting dan
manajer ke bawahannya. Model ini banyak dapat membantu memahami perkembangan
ditemukan pada produk-produk industri yang ekonomi dunia dewasa ini, untuk membuat hal
memerlukan standar kualitas tinggi dan untuk ini menjadi alat analisis yang berdaya guna
produksi massal, seperti produk automobile, untuk kebijakan. Beberapa lintasan untuk
komputer, dan produk-produk elektronik. Untuk perubahan dapat dilihat pada Tabel 2. Kerang-
produk industri pertanian ditemukan pada ka kerja GVC memfokuskan pada sifat alamiah
industri peternakan ayam broiler yang dan kandungan keterkaitan antar-perusahaan
melakukan integrasi vertikal dari hulu hingga atau industri, dan kekuatan mengatur
hilir (Saptana dan Daryanto, 2013). Pola ini koordinasi rantai nilai, terutama antara pembeli
dalam kasus terbatas juga dijumpai pada dan beberapa pemasok pertama. Gambar 4
industri peternakan sapi potong di Jawa adalah klasifikasi rantai nilai global.
Tengah (Ilham et al., 2015). Pola ini dapat
Selanjutnya, pada Gambar 5 adalah
diterapkan pada produk input produksi seperti
klasifikasi rantai nilai yang diterapkan pada
pupuk dan pakan ternak, sedangkan untuk
pasar berpihak pada kelompok miskin
produk industri pengolahan dapat diterapkan
khususnya pertanian rakyat. Berbagai jenis
pada produk susu bubuk, susu kaleng, minyak
rantai nilai yang ada diklasifikasikan berdasar-
goreng, sosis, chicken nugget dan industri
kan tingkat integrasi dan koordinasi di pasar
kuliner berbasis high value commodity (broiler,
masing-masing (ACIAR, 2012). Syarat-syarat
daging sapi).
partisipasi para petani dalam suatu rantai nilai
dapat dipetakan sebagai berikut (ACIAR, 2012):

Tabel 1. Determinan pokok dari tata kelola rantai nilai global (global value chains governance)

Tingkat koordinasi
Kemampuan
Tipe tata Kompleksitas dalam Kapabilitas dalam secara eksplisit
kodifikasi untuk
kelola transaksi basis pasokan dan kekuasaan
bertransaksi
asimetri
Pasar Rendah Tinggi Tinggi Rendah
Modular Tinggi Tinggi Tinggi
Relasional Tinggi Rendah Tinggi
Tertutup Tinggi Tinggi Rendah
Bertingkat Tinggi Rendah Rendah Tinggi
Sumber: Gereffi et al. (2005)
13
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 13
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

Tabel 2. Beberapa dinamika dari global value chains governance

Kompleksitas dalam Kemampuan kodifikasi untuk Kapabilitas dalam basis


Tipe tata kelola
transaksi bertransaksi pasokan
Pasar Rendah Tinggi Tinggi
Modular Tinggi Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5 6
Relasional Tinggi Rndah Tinggi
Tertutup Tinggi Tinggi Rendah
Bertingkat Tinggi Rendah Rendah

Sumber: Gereffi et al. (2005)


Keterangan: Dinamika dari perubahan dalam tata kelola
1 = Peningkatan kompleksitas dalam transaksi juga menurunkan kompetensi pemasok dalam hubungannya
dengan permintaan baru
2 = Penurunan dalam kompleksitas transaksi dan kemudahan yang lebih besar untuk kodifikasi
3 = Kodifikasi yang lebih baik untuk bertransaksi
4 = Dekodifikasi dalam bertransaksi
5 = Peningkatan kompetensi pemasok
6 = Penurunan kompetensi pemasok

Sumber: Gereffi et al. (2005) dan ACIAR (2012)

Gambar 4. Klasifikasi tata kelola rantai nilai global

(1) fungsi-fungsi apa saja yang dijalankan outgrowing, atau penjualan produk akhir pada
dalam rantai nilai, sehingga diperlukan pembeli. Pemahaman atas fungsi-fungsi dan
informasi kegiatan apa saja yang dijalankan tingkat koordinasi formal dapat berguna untuk
kelompok petani dalam suatu rantai nilai mengurangi biaya, meningkatkan pendapatan,
tertentu; dan (2) koordinasi formal, hal ini mengurangi risiko, serta memahami peluang-
mencakup kontrak formal yang menjadi dasar peluang peningkatan kinerja tata kelola rantai
bekerjanya para kelompok tani sasaran dalam nilai global.
sistem koordinasi, termasuk kontrak penyedia- Perusahaan atau industri inti paling
an input, pemasaran, sertifikasi produk, bertanggung jawab dalam konfigurasi sistem
contract farming atau penanaman oleh produksi serta penegakan dalam pemberlakuan
peraturan dalam rantai nilai sebagai syarat
13
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 13
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

Sumber: ACIAR (2012)

Gambar 5. Klasifikasi rantai nilai yang diterapkan pada pasar berpihak pada kelompok miskin

untuk menjual produk mereka di pasar antara mengambil bagian di pasar ini, sehingga perlu
atau pasar-akhir disebut sebagai “perusahaan adanya mediasi kelembagaan kemitraan usaha
penerobos”. Secara umum, peraturan yang agribisnis terpadu. Kinerja pasar produk-produk
sifatnya lebih membatasi atau lebih kompleks pertanian sering kali terganggu mekanisme
yang menentukan akses pada konsumen akan pasar yang tidak berjalan secara sempurna,
menghasilkan sistem koordinasi vertikal yang kondisi infrastruktur yang buruk, jasa
lebih rumit pada perusahaan penerobos. pendukung yang tidak tersedia, serta
Peraturan dan persyaratan yang lebih ketat konsolidasi kelembagaan petani yang lemah
dapat mendorong perusahaan penerobos untuk sehingga meningkatkan biaya transaksi dan
menjalankan kendali yang lebih langsung atas fluktuasi harga produk pertanian. Oleh karena
produksi dan pengangkutan barang. Pilihan- itu, peran serta para pertanian rakyat dalam
pilihan perusahaan dan agen-agen sehubung- rantai nilai pasar modern sangat tergantung
an dengan produsen mana yang dapat dari berfungsi tidaknya kemitraan usaha
berpartisipasi dalam suatu sistem rantai nilai agribisnis.
memiliki dampak langsung yang begitu besar
Kemitraan usaha agribisnis terpadu
terhadap partisipasi anggota kelompok tani
dalam rantai nilai dan rantai nilai global menjadi
dalam rantai nilai. Dapat terjadi lebih dari satu
sesuatu yang penting dilakukan untuk ke-
sistem koordinasi dalam suatu sistem rantai
sinambungan usaha, meningkatkan kapasitas
nilai.
SDM kelompok mitra, dan peningkatan skala
usaha melalui akses pasar secara lebih luas.
Peran Rantai Nilai dan Rantai Nilai Global Dengan adanya kemitraan usaha agribisnis
dalam Meningkatkan Nilai Tambah dan terpadu berarti menunjukkan adanya
Daya Saing kesepakatan antara pihak yang bermitra untuk
melakukan tindakan yang memiliki nilai
Pengembangan sistem dan usaha
ekonomi. Jika kemitraan usaha terpadu dapat
agribisnis dari hulu hingga hilir dalam
dijalankan dengan baik maka dapat melakukan
kenyataannya lebih banyak digerakkan oleh
manajemen secara efisien dan mampu
sektor swasta dan adanya tarikan pasar.
meningkatkan koordinasi antar-pelaku usaha.
Sebagai implikasinya, di bagian hilir peranan
Adanya kemitraan usaha agribisnis terpadu
pasar modern (supermarket dan hypermarket)
juga dapat mendorong adanya pembagian kerja
yang mengandalkan manajemen rantai pasok
sama secara organik melalui spesialisasi kerja
serta pengelolaan rantai nilai dan rantai nilai
sehingga dapat meningkatkan efisiensi,
global yang baik merupakan suatu
mengurangi biaya transaksi, adanya
keniscayaan. Standar mutu yang ditetapkan
pembagian risiko, dan adanya jaminan
oleh pasar modern baik di pasar domestik
pemasaran hasil.
maupun pasar global sering kali mempersulit
para petani yang bertindak sendiri-sendiri Dalam konteks ini rantai nilai global,
untuk perusahaan atau industri inti paling
13
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 13
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

bertanggung jawab dalam konfigurasi sistem Alternatif strategi untuk meningkatkan


produksi serta penegakan dalam pember- nilai tambah dan daya saing produk pertanian
lakuan peraturan dalam rantai nilai sebagai dalam keseluruhan rantai nilai dapat dilakukan
syarat untuk dapat menjual produk mereka di dengan (a) peningkatan produk, dengan
pasar antara atau pasar-akhir disebut sebagai menerapkan manajemen mutu dalam proses
“perusahaan penerobos”. Peraturan yang produksi, meningkatkan kualitas produk dan
sifatnya lebih membatasi atau lebih kompleks perencanaan produksi yang disesuaikan per-
yang menentukan akses pada konsumen akan mintaan pasar; (b) peningkatan proses, dengan
menghasilkan sistem koordinasi vertikal yang merubah cara berproduksi dengan penerapan
lebih rumit pada perusahaan penerobos. teknologi maju dan pengembangan produk; (c)
Peraturan dan persyaratan yang lebih ketat peningkatan fungsional, dengan mengelom-
dapat mendorong perusahaan penerobos untuk pokkan petani/peternak dalam lokasi yang
menjalankan kendali yang lebih langsung atas sama dan bergabung dalam kelompok
produksi dan pengangkutan barang. Pilihan- tani/gapoktan, atau koperasi/asosiasi; dan (d)
pilihan perusahaan dan agen-agen sehubung- peningkatan rantai, melalui program kemitraan
an dengan produsen mana yang dapat berpar- usaha agribisnis terpadu, program promosi, dan
tisipasi dalam suatu sistem rantai nilai memiliki fasilitasi pemerintah (Saptana dan Daryanto,
dampak langsung yang begitu besar terhadap 2013).
partisipasi anggota kelompok tani dalam rantai
nilai. Dapat terjadi lebih dari satu sistem
koordinasi dalam suatu sistem rantai nilai. TINJAUAN EMPIRIS MAKRO DAN MIKRO
PEMASARAN KOMODITAS PERTANIAN
Terdapat beberapa manfaat dengan
adanya sistem kemitraan usaha agribisnis
terpadu melalui pengelolaan rantai nilai dan Tinjauan Empiris Pemasaran Perspektif
rantai nilai global. Manfaat yang paling penting Makro
bagi perusahaan mitra adalah (1) mudah
mendapatkan tenaga kerja (buruh) dengan Kelompok Komoditas Pangan
tingkat upah yang murah; (2) mengurangi biaya Hasil kajian Anggraenie (2005) dengan
untuk investasi; (3) mudah memasarkan menganalisis struktur, perilaku, dan kinerja
saprodi dan alsintan ke petani; (4) adanya (SCP) pasar komoditas pertanian (beras, gula
jaminan pasokan hasil pertanian; (5) perusaha- dan kakao) dengan model ARCH diperoleh
an memiliki kendali terhadap kuantitas, kualitas, beberapa temuan sebagai berikut: (a) struktur
waktu penyaluran, dan kontinuitas pasokan; pasar beberapa komoditas pertanian yang
dan (6) kemitraan usaha mampu memberikan dihadapi petani di Sulawesi Tengah adalah
manfaat dalam pembagian risiko yang lebih struktur pasar oligopsonis, di mana pasar
rendah dan harapan yang lebih baik dari sisi didominasi oleh beberapa pedagang besar; (b)
pendapatan (Saptana dan Daryanto, 2013). setiap pedagang hasil pertanian menentukan
Secara umum kemitraan usaha terpadu harga pembelian secara independen; (c) posisi
melalui pengelolaan rantai nilai dan rantai nilai tawar petani dalam penentuan harga sangat
global memberikan manfaat kepada petani rendah; (d) tingkat hambatan untuk masuk
anggota (Patrick et al., 2004; Saptana dan pasar tergolong cukup rendah; (e) harga di
Daryanto, 2013), yaitu keuntungan yang lebih pasar sentral Palu adalah referensi utama
tinggi, akses terhadap pasar baik domestik untuk pengaturan harga; dan (f) metode
maupun global, akses terhadap kredit pembayaran kepada petani dapat dilakukan
perbankan, akses terhadap teknologi maju, dengan tunai, kredit, dan dalam bentuk barter.
meningkatkan kemampuan mengelola risiko, Akibatnya para petani menghadapi harga hasil
memberikan kesempatan kerja yang lebih baik pertanian yang tidak stabil dan nilai tambah
bagi anggota keluarga, dan secara tidak banyak dinikmati para pedagang.
langsung, wadah pemberdayaan bagi kaum Hasil kajian Asriani et al. (2015) untuk
perempuan serta pengembangan budaya ber- melihat arah pemasaran beras lokal di Provinsi
niaga yang sukses. Dalam konteks penang- Bengkulu dengan analisis integrasi pasar
gulangan risiko, kemitraan usaha terpadu diperoleh hasil sebagai berikut: (a) pasar
melalui pengelolaan rantai nilai berfungsi dalam produsen beras lokal Bengkulu Selatan dan
dua hal, yaitu pembagian risiko (risk sharing) Rejang Lebong terintegrasi dengan kuat
dan strategi manajemen risiko (risk terhadap pasar konsumen Kota Bengkulu; (b)
management-strategy) bersama. pasar produsen beras lokal Bengkulu Selatan
13
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 13
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

terintegrasi dengan kuat terhadap pasar di tingkat produsen dan di tingkat konsumen
produsen beras lokal Rejang Lebong; (c) arah relatif terkoneksi, meskipun secara kurang
pemasaran “produsen-konsumen” beras lokal di sempurna.
Provinsi Bengkulu adalah hubungan satu arah
dari pasar produsen beras lokal Bengkulu
Selatan ke pasar konsumen beras lokal Kota Kelompok Komoditas
Bengkulu; dan hubungan dua arah dari pasar Perkebunan
produsen beras lokal Rejang Lebong ke pasar Hasil kajian yang dilakukan Anggraenie
konsumen beras lokal Kota Bengkulu; (d) arah (2005) dengan analisis S-C-P pada komoditas
pemasaran ”produsen-produsen” beras lokal di kakao dengan menggunakan model ARCH di
Provinsi Bengkulu adalah hubungan satu arah Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan
dari pasar produsen beras lokal Bengkulu struktur pasar bersifat oligopsonistik. Terdapat
Selatan ke Rejang Lebong; dan (e) pasar semacam integrasi vertikal, namun tidak utuh
pemimpin pada pemasaran beras lokal di (tidak sampai final product). Pedagang sangat
Provinsi Bengkulu adalah pasar produsen dominan dalam menentukan harga pembelian
beras lokal Bengkulu Selatan. ke petani. Harga di pasar sentral Palu adalah
Pengembangan pasar beras lokal di referensi utama untuk penentuan harga.
Provinsi Bengkulu hendaknya mengacu pada Metode pembayaran kepada petani dapat
pasar pemimpin agar pemasaran lebih efisien dilakukan dengan tunai, kredit, dan dalam
dan berdaya saing. Kekuatan pasar produsen bentuk barter. Model ARCH diterapkan untuk
beras lokal Bengkulu Selatan dapat dijadikan komoditas kakao menunjukkan bahwa harga
pusat distribusi beras lokal di Provinsi kakao berkorelasi dengan harga kakao
Bengkulu. Brand image beras lokal Bengkulu sebelumnya.
Selatan yang telah terbentuk dapat Hasil penelitian tentang analisis S-C-P
meningkatkan efisiensi dan daya saing produk yang memfokuskan pada analisis struktur dan
lokal. Adanya kepercayaan dan kesetiaan integrasi pasar teh hijau di Jawa Barat yang
konsumen terhadap produk lokal dapat terjaga dilakukan oleh Rochdiani (2015) memberikan
baik dengan adanya brand tersebut. beberapa hasil sebagai berikut: (a) struktur
pasar yang terjadi pada komoditas teh hijau di
lokasi penelitian adalah monopsoni, hampir
Kelompok Komoditas
semua petani (90%) menjual pucuk tehnya
Hortikultura
hanya kepada satu perusahaan industri
Hasil analisis S-C-P pada kelompok pengolahan; (b) tidak terjadi integrasi pasar
komoditas hortikultura banyak dijumpai struktur dalam jangka pendek, namun terjadi integrasi
pasar oligopsonistik, yaitu petani yang banyak dalam jangka panjang antara harga di tingkat
berhadapan dengan beberapa pembeli perusahaan teh dengan harga di tingkat petani;
(pedagang, industri pengolahan, perusahaan (c) petani teh hanya menerima pangsa harga
eksportir) yang banyak ditemukan pada sebesar 7,20–9,01% dari harga jual
komoditas hortikultura, baik pada komoditas perusahaan teh dandang.
sayur (Hutabarat et al., 1993; Sudaryanto et al.,
Hasil kajian empiris yang dilakukan
1993; Saptana et al., 2004) maupun pada
(Alamsyah et al., 2014) dengan analisis S-C-P
komoditas buah-buahan (Hadi, 1993; Saptana
dan memfokuskan pada analisis integrasi pasar
et al., 1993; Purwoto et al., 2003; Saptana
dan transmisi harga memberikan hasil temuan
et al., 2006; Saptana et al., 2012).
yang menarik: (a) hasil kajian menunjukkan
Akibatnya posisi tawar petani hortikultura
bahwa harga ekspor mempunyai pengaruh
rendah dan dihadapkan pada fluktuasi harga
negatif dan memiliki keseimbanngan jangka
yang tinggi.
pendek dengan harga di tingkat petani; (b)
Hasil analisis yang dilakukan Rahayu untuk harga indikasi dan harga pasar lelang
(2014) pada komoditas cabai memberikan karet mempunyai pengaruh positif dan memiliki
beberapa temuan pokok sebagai berikut: (a) keseimbangan jangka pendek dengan harga di
terdapat empat macam saluran pemasaran tingkat petani; (c) kecepatan penyesuaian
cabai dengan market share bervariasi perubahan harga di tingkat ekspor, indikasi,
antara dan pasar lelang karet terhadap harga di tingkat
66,67–69,57%, pangsa pasar tersebut petani dalam jangka panjang memerlukan
tergolong cukup tinggi untuk komoditas cabai waktu satu bulan kemudian; dan (d) integrasi
merah yang cepat rusak; (b) struktur pasar pasar karet alam di tingkat petani dengan harga
cenderung kepada pasar persaingan oligop- ekspor, harga indikasi, dan harga pasar lelang
soni; (c) nilai elastisitas transmisi harga (Et)
berkisar antara 0,953 yang menunjukkan pasar
14
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 14
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

karet dalam jangka pendek dan jangka panjang ternak dan perusahaan farmasi hingga
terintegrasi dengan baik. mencapai 10–15% (Saptana et al., 2002).
Hasil kajian Alamsyah et al. (2014) Struktur pasar output oligopsoni juga
menunjukkan hasil sebagai berikut: (1) terjadi di pasar output (Saptana, 2002): (1)
elastisitas transmisi harga karet di tingkat sebagian besar peternak di Priangan Timur
ekspor terhadap harga karet di tingkat petani menjual ke PS yang bertindak sebagai intinya;
dalam jangka pendek dan jangka panjang (2) bagi peternak yang terkait dalam kerja sama
bersifat inelastis (<1); dan (2) dari hasil analisis dengan PS memperoleh harga penjualan hasil
diketahui bahwa elastisitas transmisi harga yang sedikit lebih rendah, (3) dalam kondisi
karet pasar lelang terhadap harga karet petani menguntungkan PS memperoleh margin
bersifat inelastis dalam jangka pendek, akan keuntungan yang lebih besar dengan korbanan
tetapi dalam jangka panjang elastisitas biaya yang lebih kecil; dan (4) dalam kondisi
transmisi harga berubah menjadi elastis. merugi biasanya peternak harus menanggung
Perbedaan elastisitas transmisi harga karet risiko kerugian yang lebih besar.
dalam jangka pendek dan jangka panjang
Hasil kajian Saptana et al. (2002)
disebabkan karena dalam jangka panjang
menunjukkan bahwa dalam pasar oligopoli di
perubahan harga di tingkat pasar lelang dapat
mana perusahaan-perusahaan tidak melaku-
diantisipasi petani karet dengan melakukan
kan kesepakatan di antara mereka, tingkat
tindakan penyesuaian seperti menghasilkan
harga bersifat rigid (sukar berubah). Dalam
bahan olah karet yang lebih bersih dan
pasar oligopolistik, akan sangat menguntung-
mempunyai kadar karet kering yang cukup
kan bagi semua perusahaan jika mereka
tinggi.
bekerja sama melakukan kesepakatan-
kesepakatan bersama yang disebut kartel.
Kelompok Komoditas Peternakan Dalam industri pakan ternak adanya indikasi
kartel ditunjukkan oleh bergabungnya
Hasil kajian Yusdja dan Saptana (1995)
kedelapan pabrik berskala besar tersebut
mengungkapkan bahwa ada kecenderungan
dalam Asosiasi Gabungan Pengusaha
struktur pertumbuhan pabrik pakan ke arah
Peternakan Indonesia (GAPPI) dan Gabungan
struktur pasar oligopoli. Hal ini antara lain
Pengusaha Makanan Ternak (GPMT).
ditunjukkan oleh (a) proporsi produksi pakan
dari pabrik pakan berskala besar yang Struktur pasar pada unggas komersial
berjumlah 8 buah (12%) memiliki pangsa pasar hingga kini tidak banyak mengalami perubahan,
sebesar (65–83%); (b) hasil estimasi yaitu struktur pasar oligopoli pada pasar input
keuntungan pabrik pakan (1993) Rp265/kg produksi (sapronak) dan struktur pasar yang
pakan petelur dan Rp287/kg pakan broiler atau oligopsonistik pada pasar output (daging dan
sekitar (42–44%) dari harga jual pakan; (c) telur), yaitu peternak yang banyak berhadapan
beberapa perusahaan peternakan skala besar dengan beberapa perusahaan pakan ternak
melakukan integrasi vertikal; dan (d) pada dan peternak yang banyak berhadapan dengan
kenyataannya kedelapan pabrik pakan skala beberapa pembeli (pedagang pengumpul,
besar ini berada dalam satu organisasi GPMT pedagang besar, industri pengolahan, industri
yang mempertegas adanya kartel di antara kuliner) (Rusastra et al., 2006; dan Saptana
mereka. dan Daryanto, 2013).
Struktur pasar input oligopoli juga Hasil kajian Septiani dan Alexandi
terjadi pada pelaku tata niaga yang (2014) tentang analisis struktur perilaku dan
menunjukkan bahwa (a) jumlah poultry shop kinerja (Structure Conduct-Performance/S-C-P)
(PS) relatif terbatas dan di antara PS dalam persaingan industri pakan ternak di
melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnis; Indonesia pada periode tahun 1986–2010
(b) besarnya margin keuntungan yang memperlihatkan beberapa temuan pokok
diperoleh PS sebagai agen dalam menjual sebagai berikut: (a) struktur industri pakan
pakan berkisar antara Rp37,50–47,50/kg pakan ternak di Indonesia berada pada struktur
dengan hanya mengeluarkan biaya pemasaran oligopoli longgar dengan nilai rata-rata rasio
Rp12,5/kg pakan, sedangkan PS sebagai konsentrasi empat perusahaan (CR4) sebesar
pengecer memperoleh margin keuntungan 37,45%, artinya bahwa persaingan
Rp35/kg pakan dengan mengeluarkan biaya antarperusahaan masih tergolong cukup tinggi;
Rp15/kg pakan; dan (c) PS menikmati fee (b) hambatan masuk pasar bagi perusahaan
tergolong besar yang diberikan pabrik pakan baru pada industri pakan ternak tergolong tinggi
14
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 14
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

dengan nilai rata-rata minimum efficiency scale yang paling berperan adalah perusahaan pakan
(MES) sebesar 13,86%, yang artinya cukup ternak dengan nilai prioritas tertinggi 0,282 dan
sulit bagi perusahaan pesaing baru untuk diikuti oleh petani dengan nilai prioritas 0,270;
memasuki pasar pakan ternak; (c) perilaku dan (c) peningkatan nilai produk dengan nilai
industri pakan ternak dari strategi harga prioritas sebesar 0,344. Hasil analisis tersebut
ditentukan berdasarkan harga pakan merefleksikan bahwa penerapan manajemen
pesaingnya dan harga bahan baku pakan rantai pasok yang efisien dapat meningkatkan
ternak, perusahaan baru sulit untuk bisa nilai tambah produk.
bersaing baik dalam harga maupun akses
Alternatif skenario untuk mencapai
mendapatkan bahan baku pakan; (d) perilaku
rantai pasok yang efisien secara berturut-turut
industri pakan ternak dari strategi produk,
adalah (a) fasilitasi sarana dan prasarana
perusahaan baru sulit untuk bisa bersaing baik
petani dengan nilai prioritas 0,387; (b)
dalam inovasi teknologi baru, kualitas pakan,
membangun kemitraan usaha terpadu antar-
dan memenuhi standar nasional Indonesia
pihak menempati prioritas kedua dengan nilai
(SNI); (e) perilaku industri pakan ternak dari
prioritas sebesar 0,195; (c) pengembangan
strategi promosi, perusahaan baru sulit untuk
SDM petani menjadi prioritas ketiga dengan
bisa bersaing dalam melakukan promosi produk
nilai prioritas 0,193; (d) pengembangan akses
pakan baik melalui technical service dan
informasi menjadi prioritas strategi keempat
melalui iklan di media cetak, elektronik maupun
dengan nilai prioritas 0,157; dan (d) kebijakan
internet; dan (6) tingkat keuntungan yang
pendukung pemerintah yang diperlukan adalah
merefleksikan kinerja industri pakan ternak
penyediaan sarana produksi (benih, pupuk, dan
dipengaruhi secara nyata oleh efisiensi internal,
subsidi pupuk), inovasi teknologi budi daya
pertumbuhan nilai output, dan hambatan masuk
jagung, infrastruktur jalan, kebijakan
(barrier to entry), sedangkan rasio konsentrasi
perdagangan, dan aturan karantina menempati
empat perusahaan terbesar (CR4) tidak
prioritas terakhir dengan nilai prioritas 0,068.
berpengaruh nyata terhadap tingkat
keuntungan.
Kelompok Komoditas
Hortikultura
Kajian Empiris Pemasaran Perspektif Mikro
Kajian yang dilakukan oleh Sinaga et
Kelompok Komoditas al. (2015) tentang analisis rantai nilai
Pangan pemasaran kentang granola di Kecamatan
Hasil kajian yang dilakukan Mulyani et Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
al. (2015) tentang analisis manajemen rantai memperoleh temuan sebagai berikut: (a) posisi
pasok komoditas jagung di Kabupaten petani kentang adalah sebagai penerima harga;
Grobogan menunjukkan beberapa temuan (b) kurangnya peranan kelembagaan kelompok
sebagai berikut: (a) saluran rantai pasok jagung tani dalam pemasaran kentang granola; (c)
terdiri dari berbagai tingkatan pelaku usaha terbatasnya industri pengolahan kentang segar;
mulai dari petani, pedagang pengumpul desa, (d) tingkat keuntungan yang diperoleh pelaku
pedagang pengumpul kecamatan, pedagang tata niaga masih tergolong rendah; dan (e)
pengepul (besar) kabupaten, dan perusahaan struktur pasar yang terbentuk adalah
pakan ternak; (b) petani dalam rantai pasok oligopsoni, yaitu petani yang jumlahnya sangat
menghadapi struktur pasar jagung cenderung banyak berhadapan dengan beberapa bandar
mengarah ke struktur pasar oligopsoni pada dan industri pengolahan kentang. Pemasaran
saat musim panen raya dan cenderung pasar kentang segar tidak diimbangi dengan
bersaing sempurna pada saat musim panen pengembangan produk dan perluasan pasar
biasa; dan (3) rantai pasok komoditas jagung produk olahan kentang.
belum terpadu dari hulu hingga hilir. Akibatnya, Analisis rantai nilai dari sisi usaha
petani menghadapi ketidakpastian jaminan pengolahan kentang menunjukkan bahwa
pasar dan harga. keripik kentang dan kerupuk kentang dapat
Hasil analisis manajemen rantai pasok memberikan peningkatan nilai tambah masing-
dengan menggunakan metode analytical masing 48,21% dan 55,54%. Kerupuk kentang
hierarchy process (AHP) menunjukkan bahwa adalah produk olahan yang mampu
faktor yang paling menentukan dalam memberikan keuntungan serta nilai tambah
membentuk manajemen rantai pasok secara lebih tinggi daripada keripik kentang. Hanya
efisien adalah (a) harga merupakan saja aktivitas yang dilakukan masih sederhana.
faktor utama dengan nilai prioritas 0,396; (b) Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa
faktor
14
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 14
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

pengelolaan rantai nilai kentang melalui praktik terbaik dengan menciptakan hubungan
pengembangan produk dapat meningkatkan kemitraan (partnership) di setiap level pelaku
nilai tambah produk. Ke depan perlu digarap rantai pasok dapat dilihat pada rancangan
secara serius pengembangan produk dan aliran material SCOR di masa yang akan
promosi produk sehingga dapat meningkatkan datang.
volume pemasaran dan nilai tambah.

Kelompok Komoditas Ternak


Kelompok Komoditas
Penerapan manajemen rantai pasok
Perkebunan
pada industri broiler adalah untuk memastikan
Hasil kajian analisis kinerja manajemen agar konsumen mendapat produk daging ayam
rantai pasok komoditas kopi gayo dilakukan dengan jumlah, kualitas, serta waktu yang tepat
oleh Pramulya dan Agustia (2015) dengan dengan biaya rendah. Manajemen rantai pasok
menggunakan metode SCOR dan diagram produk broiler berbeda dengan produk
fishbone memberikan hasil sebagai berikut: (a) manufaktur karena beberapa argumen berikut
kegiatan pembelian kopi gayo pada Koperasi (Saptana dan Daryanto, 2012; Saptana dan
XYZ dilaksanakan menurut mekanisme kontrak Daryanto, 2013): (a) industri broiler merupakan
tertulis yang telah disepakati; (b) rekapitulasi industri biologi bernilai ekonomi tinggi,
penilaian kondisi kinerja rantai pasok dalam sehingga perlu penanganan secara tepat; (b)
memenuhi pesanan sangat rendah (50%), produk broiler bersifat mudah rusak sehingga
dikarenakan terjadi fenomena cidera janji, perlu penanganan secara cepat; (c) proses pe-
petani menjual ke pihak lain dengan harga kopi masukan DOC, pemeliharaan, dan pemanenan
lebih tinggi; (c) petani merasa tidak ada trans- tergantung pada kondisi iklim sehingga
paransi informasi harga; (d) dalam implemen- teknologi budi daya dan manajemen usaha
tasi kontrak dalam pembagian keuntungan ternak harus dikuasai dengan baik; (d) hasil
belum dilakukan secara adil dan proporsional; panen memiliki bentuk dan ukuran yang
dan (e) kemampuan Koperasi XYZ memenuhi bervariasi; dan (e) produk broiler bersifat
permintaan importir sangat rendah (5%) kamba sehingga sulit ditangani, pengembangan
dengan durasi waktu selama 22 hari. distribusi dalam bentuk karkas melalui sistem
Berdasarkan diagram fishbone berhasil rantai dingin sangat diperlukan.
diidentifikasi faktor-faktor penyebab inefisiensi Hasil kajian Saptana dan Daryanto
rantai pasok kopi gayo pada koperasi XYZ, (2012) menyimpulkan bahwa pola rantai pasok
yaitu (a) manajemen pesanan yang lemah, (b) broiler antara pola mandiri dan kemitraan usaha
tidak adanya kesatuan dan transparansi relatif sama, yaitu melalui pedagang pengumpul
informasi, (c) produksi yang dihasilkan jauh dari dan agen atau pemasok (supplier), selanjutnya
yang ditargetkan, (d) distribusi produk tidak pedagang pengumpul menjual ke RPA atau
optimal, (e) manajemen pasokan lemah, dan (f) pedagang besar (middle man), selanjutnya
rebut tawar (bargaining position) koperasi sebagian besar ditujukan untuk pedagang
lemah. pasar dan pengecer di pasar-pasar tradisional
Penyelesaian inefisiensi rantai pasok dan sebagian dijual ke agen atau pemasok
dapat diselesaikan dengan usulan praktik (supplier), selanjutnya ke RPA (jasa
terbaik (PT) meliputi (a) kolaborasi dalam pemotongan), kemudian sebagian besar dijual
perencanaan, (b) membangun kemitraan untuk tujuan pasar becek (wet market) dan
melalui ikatan kontrak yang terukur indikator sebagian lainnya untuk tujuan pasar modern
pencapaiannya, (c) menerapkan manajemen dan konsumen institusi (industri pengolahan,
informasi yang transparan dan terintegrasi pada hotel, restoran/rumah makan, rumah sakit).
setiap tingkatan rantai pasok, dan (d) Implikasi kebijakan penting dalam membangun
menerapkan customer relationship manajemen rantai pasok pada komoditas atau
management melalui divisi kemitraan. Praktik produk broiler secara terintegrasi adalah
terbaik menekankan kepada kolaborasi mengembangkan bentuk-bentuk kemitraan
perencanaan antartim operasi strategi di setiap yang saling membutuhkan, memperkuat dan
tingkatan pelaku rantai pasok. Penekanan pada saling menguntungkan sehingga terbangun
prinsip membangun hubungan jangka panjang keterpaduan produk dan antarpelaku. Begitu
yang dilandasi prinsip saling percaya (mutual pula dengan alur informasi, dengan adanya
trust) dapat meningkatkan kinerja rantai pasok manajemen rantai pasok melalui strategi
serta meminimalisir konflik antarpelaku rantai kemitraan usaha alur informasi dapat bergerak
pasok. Ketelusuran (traceability) pelaksanaan
14
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 14
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

secara efektif, pergerakan produk akan efisien, sistem koordinasi antarpelaku sehingga terjadi
sehingga menghasilkan produk yang berdaya integrasi pasar.
saing.
Melalui sistem integrasi maka dapat
dicapai keragaan pasar sebagai berikut: (a)
STRATEGI PEMASARAN PRODUK terjaminnya produk pertanian yang memenuhi
PERTANIAN SECARA TERPADU aspek kuantitas, kualitas, dan kontinyuitas
pasokan dengan harga yang kompetitif; (b)
dicapainya tingkat efisiensi pemasaran yang
Membangun S-C-P Terpadu tinggi, margin pemasaran kompetitif, kapasitas
Pendekatan S-C-P lebih menekankan penggunaan optimal, serta proses inovasi maju
aspek deskriptif, melihat kasus-kasus empiris di dan adanya sistem insentif bagi pelaku usaha.
suatu wilayah sentra produksi, pembahasan Sistem pemasaran dengan S-C-P terpadu akan
aspek kelembagaan pasar lebih dominan, dan menghasilkan kinerja pasar yang kompetitif,
lebih menekankan penemuan harga (price yang mampu memberikan insentif bagi pelaku
discovery) serta menjelaskan tindakan usaha dan memberikan kepuasan kepada
perusahaan atau pedagang yang melakukan konsumen.
penguasaan pasar (market power). Oleh
karena itu, penting membangun sistem Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok
pemasaran produk pertanian dengan S-C-P Produk Pertanian Terpadu
terpadu. Paling tidak terdapat tiga model
pengembangan S-C-P terpadu: (1) pola Beberapa keunggulan dengan
integrasi dari hulu-hilir melalui penguasaan menerapkan kelembagaan kemitraan rantai
tunggal perusahaan dalam satu kesatuan pasok produk pertanian secara terpadu oleh
sistem manajemen pengambilan keputusan, Saptana et al. (2004) dan disempurnakan lagi
sehingga dapat dicapai efisiensi tinggi, namun oleh Saptana dan Daryanto (2013): (1) adanya
memiliki implikasi terhadap konsentrasi pasar; integrasi antara subsistem agribisnis hulu, sub-
(2) pola integrasi vertikal melalui pengem- sistem budi daya, serta subsistem agribisnis
bangan koperasi agribisnis komoditas unggulan hilir dapat menghapus pasar produk antara
di daerah sentra produksi yang melibatkan sehingga dapat menghilangkan munculnya
seluruh pelaku agribisnis dari hulu hingga hilir; margin ganda mulai dari subsistem hulu hingga
dan (3) pola koordinasi vertikal melalui subsistem hilir, sehingga harga pokok produk
kemitraan usaha agribisnis terpadu. mampu bersaing secara kompetitif di pasar; (2)
pengembangan kelembagaan kemitraan rantai
Melalui integrasi vertikal diharapkan pasok produk pertanian secara terpadu akan
dicapai efisiensi tertinggi dan terhindarkan dari dapat menghilangkan atau mengurangi masa-
fenomena margin ganda melalui keterpaduan lah transmisi harga yang bersifat asimetris; dan
struktur-perilaku-kinerja. Struktur pasar komo- (3) mampu meningkatkan produktivitas,
ditas pertanian didorong ke arah struktur pasar efisiensi usaha, menciptakan nilai tambah, dan
bersaing sempurna, baik antarpelaku maupun daya saing produk pertanian.
antarrantai pasok produk pertanian. Jika terjadi
distorsi pasar pada pasar komoditas atau Strategi pengembangan kelembagaan
produk pertanian maka kebijakan pemerintah rantai pasok dapat dilakukan dengan (1)
ditujukan untuk menghapuskan distorsi pasar pemberdayaan kelompok tani atau petani ke
yang terjadi. arah kelompok tani atau petani mandiri dan
Melalui integrasi pasar diharapkan profesional, dengan jumlah anggota kelompok
perilaku pasar ke arah (a) penentuan harga dan diseleksi 20–25 orang anggota supaya
pengaturan tingkat output yang dihasilkan konsolidasi internal lebih solid; (2) kelompok
ditentukan dinamika permintaan pasar dan tani yang sudah mandiri didorong untuk
preferensi konsumen; (b) kebijakan promosi mengonsolidasikan diri dalam kelembagaan
produk pertanian melalui promosi bersama oleh formal berbadan hukum, sehingga memudah-
seluruh pelaku usaha yang tercakup, melalui kan melakukan transaksi dan kemitraan usaha
program iuran bersama yang disebut the agribisnis; (3) kelompok-kelompok tani disatu-
commodity check of program atau the levy kan dapat berupa gabungan kelompok tani
system untuk meningkatkan volume (gapoktan), asosiasi petani, asosiasi agribisnis,
pemasaran; dan (c) perilaku dalam kerja sama koperasi tani, atau koperasi agribisnis; (4)
antarpelaku usaha dapat dilakukan melalui melakukan perencanaan pola tata tanam dalam
14
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 14
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

kerangka pengaturan produksi sesuai dengan PENUTUP


dinamika permintaan pasar dan preferensi
konsumen; (5) adanya proses inovasi dan
diseminasi teknologi tepat guna dan spesifik Paling tidak terdapat tiga model
lokasi; (6) pengembangan kelembagaan pengembangan S-C-P terpadu: (1) pola
pembiayaan pertanian dengan bunga lunak; (7) integrasi dari hulu-hilir melalui penguasaan
pengelolaan pengadaan sarana produksi tunggal perusahaan dalam satu kesatuan
sistem manajemen pengambilan keputusan,
melalui pembuatan kios saprodi kelompok; (8)
sehingga dapat dicapai efisiensi tinggi, namun
pemasaran hasil kolektif melalui jalinan
memiliki implikasi terhadap konsentrasi pasar;
kelembagaan kemitraan rantai pasok; (9)
(2) pola integrasi vertikal melalui
adanya penyuluh pertanian sebagai pengembangan koperasi agribisnis komoditas
pendamping petani yang bertugas di tingkat unggulan di daerah sentra produksi yang
desa, berkantor di Pusat Pelayanan dan melibatkan seluruh pelaku agribisnis dari hulu
Konsultasi Agribisnis di Kecamatan; (10) hingga hilir; dan (3) pola koordinasi vertikal
semua bantuan teknis harus disediakan dan melalui kemitraan usaha agribisnis terpadu.
dianggarkan baik melalui Pusat Pelayanan dan Sistem pemasaran dengan S-C-P terpadu akan
Konsultasi Agribisnis (PPA) di kecamatan atau menghasilkan kinerja pasar yang kompetitif,
Balai Penyuluhan Pertanian, melibatkan yang mampu memberikan insentif bagi pelaku
peneliti/penyuluh BPTP, Lembaga Penelitian usaha dan memberikan kepuasan kepada
Pusat dan Lembaga Penelitian Perguruan konsumen.
Tinggi; (11) peran PPA harus juga mencakup Paling tidak terdapat lima manfaat atau
pemberdayaan, peningkatan kapasitas SDM keuntungan bila manajemen rantai pasok dan
petani, dan mediasi bagi terbangunnya pengelolaan rantai nilai produk pertanian
kelembagaan kemitraan rantai pasok produk berjalan dengan baik: (a) adanya penciptaan
pertanian secara terpadu; (12) perusahaan nilai tambah, meliputi kesesuaian dengan
mitra dapat berupa perusahaan industri pe- pesanan, ketetapan distribusi, dan kesesuaian
ngolahan, pedagang besar/pemasok/vendor, pembebanan biaya; (b) pengurangan biaya
perusahaan ekspor-impor yang berperan transaksi ekonomi sehingga meningkatkan
menyediakan kebutuhan sarana produksi daya saing; (c) pengurangan risiko bisnis
petani berupa bibit berkualitas, pupuk, dan melalui pembagian risiko; (d) sebagai sarana
sarana produksi lainnya sesuai kesepakatan alih teknologi dari perusahaan besar kepada
secara enam tepat, yaitu tepat jumlah, tepat petani; dan (e) meningkatkan efisiensi dan daya
kualitas, tepat tempat, tepat waktu, tepat dosis, saing produk pertanian melalui keterpaduan
dan tepat harga yang ditetapkan dengan produk dan pelaku usaha dalam rantai pasok.
kesepakatan; (13) pemerintah perlu meng- Implementasi kelembagaan kemitraan
alokasikan tenaga berdasarkan kebutuhan, terpadu melalui manajemen rantai pasok dan
meningkatkan kualitas sumber daya petani, pengelolaan rantai nilai dapat dipandang
memfasilitasi lembaga kemitraan rantai pasok sebagai model alternatif dapat dilakukan
dan kemudahan melalui regulasi dan fasilitasi, melalui tahapan sebagai berikut: (1) petani
serta mengawasi jalannya kelembagaan melakukan konsolidasi dalam wadah kelompok
kemitraan rantai pasok terpadu; dan (14) tani; (2) kelompok tani-kelompok tani mandiri
pemerintah harus mengalokasikan anggaran dapat ditransformasikan dalam kelembagaan
atau dana untuk pembinaan dan peningkatan formal berbadan hukum (koperasi pertanian,
kapasitas SDM petani dan pendamping, serta koperasi agribisnis, atau kelembagaan lainnya
untuk pengadaan sarana yang dibutuhkan sesuai kebutuhan); (3) kelompok tani mandiri
sebagai penunjang jalannya kelembagaan atau yang sudah dalam kelembagaan berbadan
kemitraan rantai pasok terpadu; seperti tempat hukum mengkonsolidasikan diri dalam bentuk
penampungan hasil, subterminal agribisnis, gapoktan atau asosiasi petani/asosiasi
pasar petani, pergudangan atau cold storage. agribisnis; (4) kelembagaan-kelembagaan yang
Infrastruktur pendukung seperti jalan, air bersih, telah tergabung tersebut melakukan konsolidasi
manajemen usaha pada hamparan lahan yang
energi, dan pasar, pembangunannya harus
memenuhi skala usaha, tergantung jenis
diselaraskan dengan program pengembangan
komoditas (10–25 ha); (5) pilihan komoditas
kawasan produksi pertanian.
atau kelompok komoditas disesuaikan dengan
potensi wilayah dan dinamika permintaan
14
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 14
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

pasarnya; (6) kemitraan usaha terpadu Nasional XVII dan Kongres XVI Tahun 2014
dilakukan dengan penerapan manajemen rantai Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia.
pasok dan pengelolaan rantai nilai untuk me- Kebijakan untuk Petani: Pemberdayaan
ningkatkan keterpaduan proses dan keterpadu- untuk Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang
an antarpelaku; (7) pemilihan perusahaan mitra Memberdayakan. Bogor, 28–29 Agustus
2014.
yang didasarkan atas rekomendasi dari Dinas
dan atau Direktorat Teknis yang didasarkan Bain, J. 1954. Economies of scale, concentration,
atas komitmennya membangun kemitraan and the condition of entry in twenty
usaha agribisnis terpadu; dan (8) adanya manufacturing industries. American
Economic Review 44(1):15–30.
kelembagaan Pusat Pelayanan dan Konsultasi
Agribisnis (PPA) sebagai mediator dan Baumol. W.J. 1982. Contestable markets: an
fasilitator terbangunnya kelembagaan kemitra- uprising in the theory of industry structure.
The American Economic Review 72(1):1–
an agribisnis terpadu berbasis komoditas
15.
pertanian unggulan.
Church, J, and R. Ware. 2000. Industrial
Organization: A Strategic Approach. New
DAFTAR PUSTAKA York: Irwin Mc Graw-Hill.
Cox, J.F., J.H. Blackstone, and M.S. Spencer (eds).
1995. APICS Dictionary. Falls Church, VA:
Anggraenie, T. 2005. Market structure and price American Production and Inventory Control
variability of agricultural commodities in Society.
Central Sulawesi Province, Indonesia.
http://webdoc.sub.gwdg.de/ebook/y/2005/an Daryanto, A. 2008. Peningkatan nilai tambah
ggraenie/anggraenie.pdf (15 Januari 2015). perunggasan melalui supply chain manage-
ment. https://ariefdaryanto.wordpress.com
Asmarantaka, R.W. 2009. Pemasaran produk-produk (15 Januari 2015).
pertanian. hlm. 19–43. Dalam: N. Kusnadi,
A. Farriyanti, D. Rachmina, dan S. Jahroh Daryanto, A. dan Saptana. 2009. Global value chain
(eds.). Bunga Rampai Agribisnis: Seri governance (GVCG) pada broiler di
Pemasaran. Bogor: Departemen Agribisnis, Indonesia: memadukan pertumbuhan,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut pemerataan dan keberlanjutan. hlm. 291–
Pertanian Bogor. 332. Dalam: M. Firdaus dan Y.K. Wagiono
(eds.). Orange Book: Pembangunan
[ACIAR] Australian Centre for International Ekonomi Berkelanjutan dalam Menghadapi
Agricultural Research. 2012. Membuat Krisis Ekonomi Global. Bogor: IPB Press.
Rantai Nilai Lebih Berpihak Pada Kaum
Miskin. Australian Centre for International Demsetz, H. 1983. The structure of ownership and
Agricultural Research. Diterjemahkan oleh the theory of the firm. Journal of Law and
Mia Hapsari Kusumawardani. Monograph Economic 26:375–393.
No. 148. Canberra: Australian Centre for Dixit, A.K. 1996. The Making Economic Policy:
International Agricultural Research. Transaction-Cost Politics Perspective.
Alamsyah, Z., Z. Fathoni, dan M. Suryanti. Cambridge: CES and the MITI Press.
2015. Ferguson, P.R. 1988. Industrial Economic: Issue and
Analisis perilaku pasar karet alam di Perpectives. London: Macmillan Education
Provinsi Jambi. hlm. 289–302. Dalam: Ltd.
Erwidodo, K. Muhri, R.S. Natawidjaja,
Saptana, N. Hanani, Darsono, A. Daryanto, Gereffi, G. and M. Korzeniewicz. 1994. Commodity
H. Ismono, R. Oktaviani, A. Rijin, Feryanto, Chains and Global Capitalism. Westport,
dan T.A. Putri (eds.). Prosiding Konferensi CT: Praeger.
Nasional XVII dan Kongres XVI Tahun 2014 Gereffi, G. 1999. International trade and industrial
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. upgrading in the apparel commodity chain.
Kebijakan untuk Petani: Pemberdayaan Journal of International Economics 48:37–
untuk Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang 70.
Memberdayakan. Bogor, 28–29 Agustus Gereffi, G., J. Humphrey, and T. Sturgeon. 2005.
2014. The governance of global value chains.
Asriani, P.S., Bonodikun, dan R. Badrudin. 2015. Review of Political Economy 13:78–104.
Arah pemasaran beras lokal sebagai Gunasekaran. 2001. Model evaluasi kinerja rantai
komoditi pangan pokok sumber karbohidrat pasok. http://digilip.itb.ac.id/files/disk1/68
di Provinsi Bengkulu. hlm. 179–190. Dalam: (20 Januari 2015).
Erwidodo, K. Muhri, R.S. Natawidjaja,
Saptana, N. Hanani, Darsono, A. Daryanto, Hutabarat, B., I. Sadikin, dan B. Winarso. 1993.
H. Ismono, R. Oktaviani, A. Rijin, Feryanto, Karakteristik dan perspektif agribisnis
dan T.A. Putri (eds.). Prosiding Konferensi
14
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 14
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

kentang di Tanah Karo, Sumatera Utara. Dalam: Erwidodo, K. Muhri, R.S.


hlm. 202-240. Dalam: T. Sudaryanto, E. Natawidjaja, Saptana, N. Hanani, Darsono,
Pasandaran, dan A. Djauhari (eds.). A. Daryanto, H. Ismono, R. Oktaviani, A.
Prosiding Perspektif Pengembangan Rijin, Feryanto, dan T.A. Putri (eds.).
Agribisnis di Indonesia. Bogor: Pusat Prosiding Konferensi Nasional XVII dan
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Konggres XVI Tahun 2014 Perhimpunan
Hutagaol, P. 2007. Tinjauan Singkat Atas Asumsi- Ekonomi Pertanian Indonesia. Kebijakan
Asumsi Dasar Teori Ekonomi Neoklasik. untuk Petani: Pemberdayaan untuk
Bahan Kuliah Ekonomi Kelembagaan. Pro- Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang
gram Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Bogor: Memberdayakan. Bogor, 28–29 Agustus
Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian 2014.
Bogor. Pramulya, R. dan D. Agustia. 2014. Analisis rantai
HPSP. 2011. Rantai pasok vs rantai nilai. pasok komoditas kopi Gayo. hlm. 391–398.
https://hortipart.wordpress. com (20 Januari Dalam: Erwidodo, K. Muhri, R.S.
2015). Natawidjaja, Saptana, N. Hanani, Darsono,
A. Daryanto, H. Ismono, R. Oktaviani, A.
Indrajit, R.E. dan R. Djokopranoto. 2002. Konsep Rijin, Feryanto, dan T.A. Putri (eds.).
Manajemen Supply Chain. Jakarta: PT Prosiding Konferensi Nasional XVII dan
Gramedia Widiasarana Indonesia. Konggres XVI Tahun 2014 Perhimpunan
Ilham, N., Saptana, A. Purwoto, T. Nurasa, dan Y. Ekonomi Pertanian Indonesia. Kebijakan
Supriyatna. 2015. Kajian Pengembangan untuk Petani: Pemberdayaan untuk
Industri Peternakan Mendukung Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang
Peningkatan Produksi Daging. Laporan Memberdayakan. Bogor, 28–29 Agustus
Penelitian. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi 2014.
dan Kebijakan Pertanian. Purwoto, A., R. Sayuti, dan T. Sudaryanto. 1993.
Kaplinsky, R. and M. Morris. 2001. A Handbook for Prospek pengembangan agribisnis pisang
Value Chain Research. Brighton: Institute of di Indonesia. hlm. 77–101. Dalam: T.
Development Studies, University of Sussex. Sudaryanto, E. Pasandaran, dan A.
Krugman, P.R. dan M. Obstfeld. 1994. Ekonomi Djauhari (eds.). Prosiding Perspektif
Internasional Teori dan Kebijakan. Edisi ke- Pengembangan Agribisnis di Indonesia.
2. Jakarta: Universitas Indonesia dan Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Hasper Collins Publishers. Pertanian.

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2011. Poerwanto, R. 2013. Membangun sistem baru


Rancangan Strategis Kementerian agribisnis hortikultura Indonesia pada era
Pertanian Tahun 2010–2014. Jakarta: pasar global. Makalah disampaikan pada
Kementerian Pertanian. Seminar Nasional Hortikultura, Bogor, 10
Oktober 2013.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Laporan
Data Kinerja Kementerian Pertanian Tahun Ravallion, M. 1986. Testing market integration.
2004–2012. Jakarta: Kementerian Journal of American Agricultural Economics
Pertanian. 68(1):102–109.

Lindert, P.H. dan C.P. Kindleberger. 1993. Ekonomi Rahman, H.P.S. 1997. Aspek permintaan,
Internasional. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga. penawaran dan tataniaga hortikultura di
Indonesia. Forum Agro Ekonomi 15(1 & 2):
Lokollo, E.M. 2012. Supply chain management 44–56.
(SCM) atau manajemen rantai pasok. hlm.
1–7. Dalam: E.M. Lokollo (ed.). Bunga Rusastra, IW., W.K. Sejati, S. Wahyuni, dan Y.
Rampai Rantai Pasok Komoditas Pertanian Supriyatna. 2006. Analisis Kelembagaan
Indonesia. Bogor: IPB Press. Rantai Pasok Komoditas Peternakan.
Laporan Penelitian. Bogor: Pusat Analisis
Mason, E.S. 1949. The current state of the monopoly Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
problem in the United States. Havard Law
Review 62(8):1265–1285. Rochdiani, D. 2015. Analisis struktur dan integrasi
pasar teh hijau di Jawa Barat (suatu kasus
Martin, S. 1994. Industrial Economic Analysis and pada petani teh rakyat dan industri teh hijau
Public Policy. 2nd ed. New York: Macmillan. di Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Marimin dan Magfiroh. 2013. Teknik dan analisis Tasikmalaya). hlm. 319–328. Dalam:
pengambilan keputusan fuzzy. Dalam: Erwidodo, K. Muhri, R.S. Natawidjaja,
Manajemen Rantai Pasok. Bogor: IPB Saptana, N. Hanani, Darsono, A. Daryanto,
Press. H. Ismono, R. Oktaviani, A. Rijin, Feryanto,
dan T.A. Putri (eds.). Prosiding Konferensi
Mulyani, S., E.S. Rahayu, dan Kusnandar. 2015.
Nasional XVII dan Konggres XVI Tahun
Analisis manajemen rantai pasok jagung di
2014 Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Kabupaten Grobogan. hlm. 223–234.
14
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 14
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

Indonesia. Kebijakan untuk Petani: Tradisional untuk Memperkuat Jaringan


Pemberdayaan untuk Pertumbuhan dan Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan. Bogor:
Pertumbuhan yang Memberdayakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Bogor, 28–29 Agustus 2014. Ekonomi Pertanian.
Rahayu, E. S. 2015. Analisis S-C-P pada pemasaran Saptana, H.P.S. Rachman, dan T.B. Purwantini.
cabai di Kabupaten Grobogan. hlm. 211– 2004. Struktur penguasaan lahan dan
221. Dalam: Erwidodo, K. Muhri, R.S. kelembagaan pasar lahan di perdesaan.
Natawidjaja, Saptana, N. Hanani, Darsono, hlm. 120–153. Dalam: H.P.S. Rachman, E.
A. Daryanto, H. Ismono, R. Oktaviani, A. Basuno, B. Sayaka, dan W.K. Sejati (eds.).
Rijin, Feryanto, dan T.A. Putri (eds.). Prosiding Efisiensi dan Dayasaing Sistem
Prosiding Konferensi Nasional XVII dan Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian
Konggres XVI Tahun 2014 Perhimpunan di Lahan Sawah. Bogor: Pusat Penelitian
Ekonomi Pertanian Indonesia. Kebijakan dan Pengembangan Sosial Ekonomi
untuk Petani: Pemberdayaan untuk Pertanian.
Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang
Memberdayakan. Bogor, 28–29 Agustus Saptana, M. Siregar, S. Wahyuni, S.K. Dermoredjo,
2014. E. Ariningsih, dan V. Darwis. 2004. Pe-
mantapan Model Pengembangan Kawasan
Stigler, G.S. 1964. A theory of oligopoly. Journal of Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS).
Political Economy 72:44–61. Bogor: Puslitbang Sosial Ekonomi
Sudaryanto, T., Y. Yusdja, A. Purwoto, K.M. Pertanian.
Noekman, A. Iswaryadi, dan W.H. Limbong. Saptana, E.L. Hastuti, Ashari, K.S. Indraningsih, S.
1993. Agribisnis Hortikultura. Monograph Friyatno, Sunarsih, dan V. Darwis. 2005.
Series No. 7. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi Analisis Kelembagaan Kemitraan pada
Pertanian. Komoditas Hortikultura. Bogor: Pusat
Scaffner, D.J., W.R. Schroder, and M.D. Earle. 1998. Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Food Marketing An International Perspec- Pertanian.
tive. New York: McGraw-Hill Companies. Saptana, Sunarsih, dan K.S. Indraningsih. 2006.
Simatupang, P., Muharminto, A. Purwoto, A. Syam, Mewujudkan keunggulan komparatif
G.S. Hardono, K.S. Indraningsih, E. Jamal, menjadi keunggulan kompetitif melalui
dan R. Elizabeth. 1998. Koordinasi Vertikal kemitraan usaha hortikultura. Forum Agro
sebagai Strategi untuk Meningkatkan Ekonomi 24(1):61–76.
Dayasaing dan Pendapatan dalam Era Saptana, A. Agustian, H. Mayrowani, dan Sunarsih.
Globalisasi Ekonomi (Kasus Agribisnis 2006. Analisis Kelembagaan Partnership
Kopi). Bogor: Pusat Penelitian Sosial Rantai Pasok Komoditas Hortikultura.
Ekonomi Pertanian. Laporan Teknis. Bogor: Pusat Analisis
Siregar, H. 2009. Makro-Mikro Pembangunan: Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Kumpulan Makalah dan Esai. Bogor: IPB Saptana. 2010. Tinjauan konseptual mikro-makro
Press. dayasaing dan strategi pembangunan
Saptana, IW. Rusastra, K.M. Noekman, dan T. pertanian. Forum Agro Ekonomi 28(1): 1–18.
Sudaryanto. 1993. Situasi komoditas jeruk Saptana. 2012. Manajemen rantai pasok (supply
di Indonesia: kinerja, kendala dan prospek. chain management) pada komoditas cabai
hlm. 141–165. Dalam: T. Sudaryanto, E. merah di Jawa Tengah. hlm. 97–137.
Pasandaran, dan A. Djauhari (eds.). Dalam: E.M. Lokollo (ed.). Bunga Rampai
Prosiding Perspektif Pengembangan Rantai Pasok Komoditas Pertanian
Agribisnis di Indonesia. Bogor: Pusat Indonesia. Bogor: IPB Press.
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Saptana dan A. Daryanto. 2012. Manajemen rantai
Saptana. 1999. Dampak Krisis Moneter dan pasok (supply chains management) melalui
Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Pro- strategi kemitraan pada industri broiler. hlm.
fitabilitas dan Dayasaing Sistem Komoditi 229–263. Dalam: E.M. Lokollo (ed.). Bunga
Ayam Ras di Jawa Barat. Tesis. Bogor: Rampai Rantai Pasok Komoditas Pertanian
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Indonesia. Bogor: IPB Press.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Saptana dan A. Daryanto. 2013. Dinamika Kemitraan
Bogor.
Usaha Agribisnis Berdayasaing dan
Saptana, R. Sayuti, dan K.M. Noekman. 2002. Berkelanjutan. Bogor: Pusat Sosial
Industri perunggasan: memadukan Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
pertumbuhan dan pemerataan. Forum
Sudiyono, A. 2001. Pemasaran Pertanian. Edisi ke-
Penelitian Agro Ekonomi 20(1):50–64.
1. Malang: UMM Press.
Saptana, T. Pranadji, Syahyuti, dan R. Elizabeth.
2003. Transformasi Kelembagaan Syahyuti, 2012. Pengorganisasian Diri Petani dalam
Menjalankan Agribisnis di Pedesaan: Studi
14
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARANFORUM PENELITIAN AGRO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN 14
EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–
PERTANIAN

Lembaga dan Organisasi Petani. Disertasi. untuk Petani: Pemberdayaan untuk


Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang
Politik, Program Pascasarjana Sosiologi, Memberdayakan. Bogor, 28–29 Agustus
Universitas Indonesia. 2014.
Syahyuti. 2014. International year of family farming: Tomeck, W.G. and K.L. Robinson. 1990. Agricultural
mewujudkan keluarga petani Indonesia Product Prices. 3rd ed. Ithaca: Cornell
yang bermartabat. Disampaikan pada University Press.
Seminar Pembangunan Pertanian dan
Williamson, O.E. 1985. The Economic Institutions of
Perdesaan, Bogor, 19 Agustus 2014.
Capitalism: Firms, Market and Relational
Septiani, M. dan M.F. Alexandi. 2014. Struktur- Contracting. New York: Free Press.
perilaku-kinerja dalam persaingan industri
Wargadalam, T.A. 2015. Peta logistik dan harapan
pakan ternak di Indonesia periode tahun
mendukung ekspor. Tinjauan Perdagangan
1986–2010. Jurnal Manajemen dan
Indonesia 33:41–52.
Agribisnis 11( 2):77–88.
Yusdja, Y. dan Saptana. 1995. Disintegrasi pola
Sinaga, V.R., A. Fariyanti, dan N. Tinaprilla. 2015.
kemitraan dan inefisiensi dalam industri
Analisis rantai nilai pemasaran kentang
ayam ras. Prosiding Simposium Nasional
Granola di Kecamatan Pengalengan
Kemitraan Usaha Ternak. Bogor: Ikatan
Kabupaten Bandung Jawa Barat. hlm. 191–
Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan Indonesia
210. Dalam: Erwidodo, K. Muhri, R.S.
(ISPI) bekerja sama dengan Balai
Natawidjaja, Saptana, N. Hanani, Darsono,
Penelitian Ternak.
A. Daryanto, H. Ismono, R. Oktaviani, A.
Rijin, Feryanto, dan T.A. Putri (eds.). Yunus, M. 1999. Banker to the Poor: Micro-Lending
Prosiding Konferensi Nasional XVII dan and the Battle against World Poverty. New
Konggres XVI Tahun 2014 Perhimpunan York: Public Affair.
Ekonomi Pertanian Indonesia. Kebijakan

Anda mungkin juga menyukai