Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 127

Saptana dan Handewi P Saliem Rahman

TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN DAN


IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

Macro-Micro Marketing Conceptual Review and Its Implication


for Agricultural Development
Saptana dan Handewi P. Saliem Rahman

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jln. A. Yani No. 70, Bogor 16161
E-mail: saptono@yahoo.com

Naskah diterima: 30 Juni 2015; direvisi: 5 Agustus 2015; disetujui terbit: 15 September 2015

ABSTRACT

Economists are interested in the marketing concept try to apply it in agricultural development.
Marketing concept has several aspects, i.e. economy, business, and policy. Some people interpret
marketing concept in terms of macro aspect (national level) and micro aspect ( firm level). This paper
proposes to examine marketing concept in term of macro and micro levels. Examining the marketing
aspect at macro level will be useful to increase the marketing efficiency of agricultural commodity at
regional or national level. It will also improve marketing efficiency in supply chain of agricultural
commodity. Reviews on empirical studies indicate that some agricultural commodities have low marketing
efficiency causing low competitiveness in the domestic and global markets. Enhancing marketing
efficiency requires government intervention intended to reduce market distortion and high transaction cost
in the supply chain of agricultural commodity. To achieve marketing efficiency of agricultural commodity, it
is necessary to integrate macro-economic policy and micro-economic activities in the supply chain of
agricultural commodity.

Keywords: competitiveness, macro-economic, micro-economic, strategy, development, agriculture

ABSTRAK

Pakar ekonomi dan pemasaran telah memberikan perhatian besar terhadap konsep pemasaran
dan mencoba menerapkannya dalam pembangunan pertanian. Konsep pemasaran dimaknai dari berbagai
perspektif, antara lain perspektif ekonomi, bisnis, dan kebijakan. Di samping itu, ada yang memaknai
pemasaran dari perspektif makro dan perspektif mikro. Tulisan ini berusaha mengkaji konsep pemasaran
dalam perspektif ekonomi baik makro maupun mikro. Kajian dari perspektif makro diharapkan berguna
meningkatkan efisiensi pemasaran suatu komoditas pertanian dalam suatu wilayah atau nasional.
Sementara itu, dari kajian dalam perspektif m ikro diharapkan berguna dalam upaya meningkatkan
efisiensi dalam rantai pasok dan pengelolaan rantai nilai suatu komoditas. Secara mikro beberapa pelaku
usaha rantai pasok komoditas pertanian Indonesia mempunyai efisiensi yang rendah, sehingga kalah bersaing di
pasar domestik dan global. Untuk mewujudkan sistem pemasaran yang efisien diperlukan adanya kebijakan
pemerintah yang ditujukan untuk menghilangkan adanya distorsi pasar dan menekan tingginya biaya transaksi
pada sistem pemasaran komoditas pertanian. Sementara itu, untuk mewujudkan efisiensi pemasaran di tingkat
mikro (pelaku usaha) menjadi efisiensi di tingkat makro (nasional) diperlukan adanya keterpaduan antara
kebijakan makro terkait sistem distribusi dan pemasaran komoditas pertanian dan kegiatan usaha ekonomi mikro
dalam rantai pasok komoditas pertanian.

Kata kunci: pemasaran, makro-mikro, strategi, pembangunan, pertanian

PENDAHULUAN Konsep pemasaran juga menjadi kata kunci


dalam upaya pembangunan pertanian dalam
perspektif pembangunan agribisnis.
Banyak pakar ekonomi dan pemasaran Pemasaran dimaknai dari berbagai
telah memberikan perhatian besar terhadap perspektif, antara lain perspektif ekonomi,
konsep pemasaran dan mencoba menerapkan bisnis, dan kebijakan. Di samping itu, ada
dalam kebijakan pembangunan pertanian. yang memaknai pemasaran dari perspektif
128 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–148

makro (wilayah atau nasional) dan mikro membangun sistem pemasaran komoditas
(perusahaan). pertanian dalam mendukung pembangunan
Permasalahan pemasaran komoditas pertanian wilayah maupun nasional. Semen-
pertanian pada dasarnya meliputi bagaimana tara itu, dari kajian dalam perspektif mikro
menerjemahkan permintaan dari konsumen diharapkan berguna dalam pembangunan
kepada produsen dan menginformasikan pertanian terutama melalui sistem rantai
produk yang diproduksi oleh produsen kepada pasok dan pengelolaan rantai nilai yang
konsumen, penyaluran produk pertanian dan efisien sehingga produk pertanian mampu
jasa-jasa pemasaran dari produsen kepada bersaing di pasar domestik dan global.
konsumen serta menyelaraskan proses
pemasaran akibat adanya dinamika permintaan KONSEPSI PEMASARAN PERSPEKTIF
pasar dan preferensi konsumen (Sudiyono, MAKRO
2001). Pemasaran hasil-hasil pertanian sangat
dipengaruhi oleh kondisi kinerja produksi atau
pasokan, sistem distribusi, dan jumlah Secara teori ekonomi permintaan di
konsumsinya. Ketidakseimbangan produksi dan tingkat konsumen dapat langsung berhadapan
konsumsi serta terhambatnya sistem distribusi dengan penawaran di sisi produsen dengan
dapat mengganggu sistem pemasaran hasil beberapa asumsi pokok sebagai berikut
pertanian ke tujuan-tujuan pasar di pusat-pusat (Williamson, 1985; Dixit, 1996; dan Hutagaol,
konsumsi. 2007): pertama, perilaku individu bersifat
Kondisi pertanian di Indonesia belum rasional sempurna (perfectly rational), hal ini
mencapai tahapan efisiensi pemasaran yang mengandung dua makna, yaitu (a) individu
tinggi, baik dari perspektif makro maupun berperilaku memaksimumkan kepuasan
mikro. Dari perspektif makro sebagian besar (maximize utility), dan (b) individu berperilaku
petani menghadapi struktur pasar yang belum mementingkan diri sendiri (individualistic).
seimbang baik di pasar input maupun output. Kedua, informasi bersifat sempurna dan produk
Sementara itu, dari perspektif mikro menunjuk- identik total. Informasi sempurna berimplikasi
kan masih rendahnya kinerja keterpaduan pada pasar bersaing secara sempurna, tidak
rantai pasok produk pertanian. Meskipun ada biaya transaksi tercakup biaya pemasaran
secara keseluruhan neraca perdagangan sektor (costless), dan barang atau jasa disampaikan
pertanian berada pada posisi surplus, namun tanpa memerlukan waktu (timeless). Produk
lebih disebabkan tingginya surplus produk sub- identik secara total mengandung arti bahwa
sektor perkebunan, sedangkan subsektor produk sama sekali tidak dapat dibedakan satu
tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan sama lain (homogen).
mengalami defisit dalam neraca perdagangan Dalam realitasnya, informasi tidak
(Kementan, 2013). sempurna dan perlu biaya mahal untuk
Pemenuhan kebutuhan dan stabilitas memperolehnya. Transaksi ekonomi dihadap-
harga hasil-hasil pertanian merupakan isu atau kan pada masalah informasi asimetris, terjadi
masalah yang tetap relevan saat ini dan ke perilaku moral hazards, dan ongkos transaksi
depan. Terlebih dengan jumlah penduduk yang positif. Di antara produsen dan konsumen
lebih dari 250 juta dan tersebar di berbagai di dihubungkan oleh sistem tata niaga yang
ribuan pulau, menjadikan dimensi permasalah- diperankan oleh pelaku tata niaga (Rahman,
an bukan hanya pada jumlah ketersediaan dan 1997). Dalam memainkan perannya pelaku tata
harga saja, namun lebih kompleks lagi niaga tersebut memperoleh imbalan sebesar
menyangkut masalah distribusi dan pemasaran. perbedaan harga yang diterima produsen
Permasalahan pokok yang menjadi dengan harga yang dibayar konsumen.
penghambat (bottleneck) dalam pembangunan Perbedaan harga tersebut dikenal dengan
pertanian hingga kini adalah masih rendahnya istilah margin tata niaga (marketing margin)
efisiensi pemasaran dan belum terpadunya yang terdiri atas biaya pemasaran (marketing
rantai pasok produk pertanian dari hulu hingga cost) yang dikeluarkan pelaku tata niaga dan
hilir (Kementan, 2011). keuntungan pemasaran (profit margin) yang
diterima pelaku tata niaga (Tomeck dan
Tulisan ini berusaha mengkaji Robinson, 1990).
konsep pemasaran dari perspektif ekonomi
baik makro maupun mikro. Kajian dari Dalam konsep pemasaran dikenal
perspektif makro diharapkan berguna pemasaran dalam perspektif makro dan mikro
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 129
Saptana dan Handewi P Saliem Rahman

(Scaffner et al., 1998), seperti halnya dalam Pendekatan (ESH) yang dikembangkan
konsep pembangunan dikenal makro-mikro oleh Demsetz (1983) menganggap adanya
pembangunan (Siregar, 2009) dan mikro-makro hubungan yang positif antara struktur pasar
daya saing (Saptana, 2010). Pemasaran dalam dengan keuntungan yang diperoleh perusaha-
perspektif makro menganalisis efisiensi sistem an. Hal ini menunjukkan adanya senjang
pemasaran secara keseluruhan (agregat) efisiensi (efficiency gap) antarperusahaan
dalam penyampaian produk dari produsen dalam industri atau pasar. Pendekatan ini
hingga ke konsumen akhir. mengasumsikan bahwa perusahaan yang
efisien dapat meningkatkan keuntungan (profit)
dengan mengembangkan keunggulan biaya
Pendekatan Analisis Struktural (cost advantage) untuk memperoleh pangsa
Terdapat dua pendekatan dalam pasar (market share) yang lebih besar, dengan
analisis struktural, yaitu (1) pendekatan konsekuensi meningkatkan konsentrasi pasar.
structure-conduct-performance (S-C-P) dan (2) Adanya efisiensi dari salah satu perusahaan
pendekatan efficient structure hypothesis selanjutnya dapat mendorong perusahaan lain
(ESH). Pendekatan S-C-P merupakan metode untuk meningkatkan efisiensi juga agar dapat
yang pertama kali dikembangkan oleh Mason bersaing di industri atau pasar yang sama.
(1949) dan Bain (1954). Metode ini bertujuan Sebagian besar pakar ekonomi
untuk mengetahui derajat persaingan dalam pertanian di Indonesia lebih banyak meng-
industri berdasarkan karakteristik struktural gunakan pendekatan S-C-P yang didasarkan
dengan membangun hubungan langsung atas kajian-kajian empiris pemasaran di daerah
antara struktur (structure) industri dengan sentra produksi pertanian. Beberapa ukuran
perilaku (conduct) perusahaan, dan dari untuk melihat struktur pasar (Asmarantaka,
perilaku ke kinerja (performance) perusahaan. 2009) adalah (a) konsentrasi pasar (market
Mason dan Bain menyatakan bahwa terdapat concentration) diukur berdasarkan persentase
hubungan langsung dan kuat antara struktur dari penjual atau aset atau pangsa pasar; (b)
pasar sebuah industri (market structure), praktik kebebasan keluar-masuk (exit-entry) pasar bagi
bisnis dan perilaku pihak-pihak pembentuk calon penjual; dan (c) diferensiasi produk
pasar (market conduct) dan kinerja industri itu (product differentiation) dengan mengubah
sendiri (market performance). Terdapat pola kurva permintaan yang elastis menjadi kurva
hubungan linier antara struktur, perilaku, dan permintaan yang inelastis (Asmarantaka, 2009).
kinerja yang diasumsikan bersifat stabil dan Derajat konsentrasi pasar dapat dilihat dari
bersifat kausalitas, sehingga hubungan derajat pemusatan pedagang dapat dihitung
langsung dapat terjadi antara sekumpulan menggunakan perhitungan nilai indeks
variabel-variabel yang merepresentasikan Herfindahl (Ferguson, 1988).
struktur dan variabel-variabel kinerja (Church
dan Ware, 2000). Pendekatan S-C-P lebih Analisis perilaku pasar sangat terkait
menekankan pada aspek deskriptif, melihat dengan (a) penentuan harga dan pengaturan
kasus-kasus empiris di suatu wilayah, pem- tingkat output yang akan dihasilkan secara
bahasan aspek kelembagaan pasar lebih bersama-sama; (b) kebijakan promosi produk,
dominan, dan lebih menekankan penemuan melalui pameran atau iklan atas nama
harga (price discovery) serta menjelaskan perusahaan; (c) perilaku dalam kerja sama
tindakan perusahaan atau pelaku tata niaga antarpelaku usaha dapat ditunjukkan oleh pola
yang melakukan penguasaan pasar (market koordinasi antarpelaku yang dapat diukur juga
power). Secara ringkas kerangka pikir pen- dengan menggunakan tingkat integrasi pasar,
dekatan S-C-P dapat dilihat pada Gambar 1. secara kuantitatif dapat menggunakan integrasi
pasar dan indek hubungan pasar (index market
connection/IMC) (Ravalion, 1986); dan (d)
predatory and exclusivenary, strategi ini bersifat
ilegal karena bertujuan untuk mendorong
perusahaan pesaing mengalami kebangkrutan
Structure Conduct Performance
dan keluar dari pasar.
Asmarantaka (2009) mengungkapkan
analisis keragaan pasar mencakup (a) analisis
pasar serta pengaruhnya terhadap kuantitas
Gambar 1. Kerangka pikir hubungan structure- dan harga yang terjadi di pasar dan (b)
conduct-performance
130 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–148

keragaan pasar mencakup tingkat efisiensi potensial memiliki fungsi biaya yang sama
teknis dan efisiensi alokatif, margin pemasaran, dengan perusahaan lama. Jika perusahaan
kapasitas penggunaan, serta proses inovasi lama tidak memiliki keunggulan absolut dalam
dan insentif. Keragaan pasar yang baik hal biaya dibandingkan perusahaan
ditunjukkan oleh tingkat harga yang kompetitif. potensialnya, pada keseimbangan yang
contestable menjadikan perusahaan lama
hanya menikmati keuntungan normal.
Pendekatan Analisis Chicago School
Karakteristik pasar yang contestable
Pendekatan Chicago School dipelopori berimplikasi bahwa industri atau pasar yang
oleh Stigler (1964) sebagai reaksi atas ketidak- terkonsentrasi dapat bersaing secara kompetitif
puasan terhadap pandangan kaum strukturalis. meskipun pasar didominasi oleh beberapa
Pendekatan ini menempatkan kinerja (per- perusahaan besar. Oleh karena itu, pemerintah
formance) sebagai variabel yang memengaruhi seharusnya tidak melakukan intervensi dalam
struktur pasar (structure), selanjutnya struktur kondisi pasar contestable. Berdasarkan
pasar yang akan memengaruhi perilaku argumen ini, deregulasi dan liberalisasi akan
(conduct) perusahaan (Martin, 1994). membuat industri atau pasar menjadi lebih
Pendekatan ini menolak adanya campur tangan contestable atau bersifat terbuka untuk
pemerintah dan menyerahkan kepada persaingan.
mekanisme pasar. Secara ringkas kerangka
pikir pendekatan Chicago School dapat dilihat Untuk mengetahui perilaku persaingan
pada Gambar 2. bersifat contestable atau noncontestable ini
berkembang metode-metode nonstruktural yang
dikembangkan oleh Bresnahan-Lau (1981) dan
Panzar-Rose (1987). Metode-metode non-
Technology Structure struktural tersebut masing-masing mengukur
perilaku persaingan industri atau pasar tanpa
menggunakan struktur pasar secara eksplisit.
Pengukuran perilaku persaingan dilakukan
Conduct dengan mengestimasi perbedaan struktur biaya
dari harga persaingan. Metode Bresnahan-Lau
Freedom to entry (1981) dan Panzar-Rose (1987) banyak
Performance digunakan untuk mengukur perilaku persaingan
pada industri perbankan.

Gambar 2. Kerangka pikir Chicago School


KONSEP PEMASARAN PERSPEKTIF MIKRO

Salah satu pendekatan utama yang


banyak digunakan para pakar pemasaran Pemasaran dalam perspektif mikro
adalah contestable market theory (CMT). merupakan tinjauan pemasaran dari aspek
Pendekatan CMT yang dikembangkan oleh manajemen perusahaan secara individu pada
Boumol (1982) memberikan argumentasi yang setiap tahapan pemasaran dalam mencari
lebih kuat mengenai perilaku persaingan pasar. keuntungan, melalui pengelolaan bahan baku,
Pendekatan ini menegaskan bahwa tingkat produksi, penetapan harga, distribusi, dan
promosi terhadap produk yang akan dipasarkan
konsentrasi pasar bukan merupakan faktor
yang utama dalam menentukan kinerja pasar. (Schaffner, 1998; Asmarantaka, 2009). Bebe-
Jika pasar berbentuk contestable sempurna, rapa alat analisis pemasaran perspektif mikro
harga yang terjadi selalu mencerminkan biaya yang berkembang dewasa ini adalah (1)
produksi meskipun hanya terdapat satu konsep manajemen rantai pasok (supply chain
perusahaan dalam industri tersebut. Industri management/SCM) dan (2) analisis rantai nilai
yang terkonsentrasi dapat berperilaku (value chain analysis/VCA). Manajemen rantai
kompetitif jika hambatan masuk bagi pesaing pasok merujuk pada manajemen keseluruhan
baru cukup rendah. Pendekatan CMT proses produksi, distribusi, dan pemasaran, di
mengasumsikan bahwa perusahaan dapat mana konsumen dihadapkan pada produk-
bebas masuk atau keluar industri dengan cepat produk yang sesuai dengan keinginannya,
sementara produsen akan memproduksi produk
tanpa kehilangan modal atau tidak ada sunk
cost. Dalam industri yang contestable, pesaing dengan jumlah, kualitas, waktu, dan lokasi yang
tepat (Saptana dan Daryanto, 2013).
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 131
Saptana dan Handewi P Saliem Rahman

Dalam arti sempit, suatu rantai nilai nilai yang tercipta tersebut didistribusikan
mencakup serangkaian kegiatan yang secara adil di antara pelaku rantai pasok yang
dilakukan di dalam suatu perusahaan untuk tercakup berdasarkan kontribusinya.
menghasilkan produk tertentu. Kegiatan rantai
nilai mencakup tahap pembuatan konsep dan
perancangan, proses pengadaan input, proses Konsep Manajemen Rantai Pasok dan
produksi, distribusi, pemasaran, serta kinerja Perannya dalam Meningkatkan Nilai Tambah
layanan purna jual. Seluruh kegiatan tersebut dan Daya Saing
membentuk keseluruhan „rantai‟ yang
menghubungkan produsen dan konsumen, dan Konsep Manajemen Rantai Pasok
tiap kegiatan menambahkan „nilai‟ pada produk
akhir (ACIAR, 2012). Adanya perbaikan Indrajid dan Djokopranoto (2002)
standardisasi mutu dan layanan purna jual mendefinisikan rantai pasok (supply chain)
penting dilakukan pada rantai nilai produk sebagai suatu sistem tempat organisasi
pertanian. Kegiatan-kegiatan tersebut mening- menyalurkan barang dan jasa kepada
katkan nilai produk secara keseluruhan karena pelanggannya. Manajemen rantai pasok
konsumen bersedia membayar lebih mahal merupakan alat bantu pendekatan untuk meng-
untuk mendapatkan produk berkualitas. Bebe- integrasikan efisiensi pemasok, perusahaan,
rapa contoh produk pertanian adalah produk distributor, pengecer, sehingga dapat meng-
beras berkualitas PT Pertani Sidrap, produk hasilkan dan menyalurkan produk dengan
mangga gedong gincu Majalengka, produk jumlah, lokasi dan waktu yang tepat, agar dapat
manggis kualitas ekspor, kubis Berastagi yang mengurangi biaya dan memberikan tingkat
menembus ekspor, produk ayam asuh kepuasan dalam pelayanan kepada pelanggan.
menembus super market, semangka black Definisi dari APICS Dictionary adalah
beauty menembus super market (Saptana dan sebagai berikut: manajemen rantai pasok
Daryanto, 2013). adalah “desain, perencanaan, pengambilan
Saptana dan Daryanto (2013) menge- keputusan, pengendalian, dan pemantauan
mukakan rantai nilai adalah bagaimana meng- pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan rantai
organisasikan keterkaitan antara kelompok- pasok dengan tujuan untuk menciptakan nilai
kelompok produsen, para pedagang pada bersih atau keuntungan, melalui pengembang-
berbagai tingkatan, industri pengolah, dan an infrastruktur yang kompetitif, desain,
penyedia jasa-jasa penunjang di mana mereka perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan
bergabung bersama dalam upaya meningkat- pemantauan kegiatan rantai pasok dengan
kan produktivitas dan nilai tambah pada tujuan menciptakan nilai bersih, membangun
aktivitas usaha yang mereka jalankan. Terdapat infrastruktur yang kompetitif, meningkatkan
dua tipe aktivitas rantai nilai, yaitu (1) aktivitas logistik di seluruh dunia, sinkronisasi pasokan
utama meliputi logistik masuk, operasional, dengan permintaan dan mengukur kinerja
logistik keluar, pemasaran, serta penjualan dan secara global” (Cox et al., 1995). Pada intinya,
pelayanan; dan (2) aktivitas pendukung meliputi rantai pasok adalah suatu set atau paket
dukungan infrastruktur, manajemen SDM, pengelolaan terpadu yang terintegrasi dan
pengembangan teknologi, dan persediaan saling terkait, mulai dari industri hulu sampai ke
(ACIAR, 2012). Aktivitas pendukung merupa- hilir (Lokollo, 2012). Keterkaitan yang terjadi
kan fungsi-fungsi yang terintegrasi yang meliputi aliran barang, pelayanan, uang,
berlangsung pada setiap aktivitas utama. maupun aliran informasi dari produsen awal
sampai konsumen akhir. Manajemen rantai
Konsep dasar manajemen rantai pasok pasok mengintegrasikan permintaan dan
berakar dari konsep logistik, sedangkan konsep penawaran, baik dalam suatu kegiatan usaha
rantai nilai (value chain) berakar dari konsep maupun antarkegiatan usaha. Gambar 3 di
pemasaran perspektif mikro khususnya analisis bawah ini menjelaskan tentang apa saja
margin tata niaga. Keduanya kurang relevan cakupan dan kegiatan yang terjadi dalam
untuk diperbandingkan, namun bersifat saling manajemen rantai pasok.
melengkapi satu dengan yang lain. Manajemen
rantai pasok menekankan pada tata kelola Konsep manajemen rantai pasok
(governance) yang baik pada sepanjang rantai merujuk pada manajemen keseluruhan proses
pasok komoditas atau produk, sedangkan produksi, distribusi, dan pemasaran di mana
analisis rantai nilai menekankan analisis rantai konsumen dihadapkan pada produk-produk
nilai sepanjang rantai pasok dan bagaimana yang sesuai dengan keinginannya dan
132 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–148

produsen dapat memproduksi produk-produk- (b) meningkatkan kualitas kemitraan dalam


nya dengan jumlah, kualitas, waktu, dan lokasi rantai pasok produk pertanian, memiliki partner
yang tepat (Daryanto, 2008; Marimin dan kerja yang dapat diandalkan; (c) keterpaduan
Maghfiroh, 2013). Pada intinya paradigma yang rantai pasok produk pertanian, keseluruhan
melandasi konsep SCM adalah bekerja ber- aktivitas baik keorganisasian, pemasok,
sama lebih menguntungkan daripada bekerja produksi, dan konsumen harus baik; dan (d)
sendiri-sendiri atau dari pola kerja dari tipe kecepatan produsen produk pertanian dalam
transaksional yang bersifat individualis, mandiri, merespon permintaan konsumen dan pasar.
dan oportunistik ke arah pola kerja tipe partner-
ship yang bersifat kolaborasi, transparansi, Manajemen rantai pasok produk
komitmen, saling percaya, serta berbagi pertanian berbeda dengan manajemen rantai
informasi dan nilai tambah (Poerwanto, 2013). pasok produk manufaktur, hal ini disebabkan
(a) produk pertanian bersifat mudah rusak; (b)
Menurut HPSP (2011) rantai pasok
proses penanaman, pertumbuhan dan pema-
adalah sistem organisasi, teknologi, aktivitas,
nenan tergantung pada kondisi iklim dan
informasi, dan sumber daya yang terlibat di
musim; (c) hasil panen memiliki bentuk dan
dalam proses penyampaian barang dan jasa
ukuran yang bervariasi (tidak homogen); dan
dari pemasok ke konsumen. Aktivitas-aktivitas
(d) produk pertanian bersifat kamba sehingga
dalam rantai pasok mengubah sumber daya
sulit untuk ditangani secara konvensional
alam, bahan baku, dan komponen-komponen
(Brown, 1994 dalam Marimin dan Maghfiroh,
dasar menjadi produk jadi yang akan disalurkan
2013).
ke konsumen akhir. Sistem pengukuran kinerja
rantai pasok diperlukan untuk melakukan
monitoring dan pengendalian, melakukan Peran Manajemen Rantai Pasok dalam
komunikasi tujuan organisasi ke fungsi-fungsi Meningkatkan Nilai Tambah dan Daya Saing
yang dilakukan pelaku pada rantai pasok.
Mengapa rantai pasok itu menjadi
Pengukuran kinerja memungkinkan perbaikan
penting? Dalam waktu lampau, hanya produsen
kinerja rantai pasok dari waktu ke waktu
atau perusahaan pengolah sajalah yang
sehingga rantai pasok berjalan secara efisien.
menjadi motor penggerak rantai pasok barang
Menurut Gunasekaran (2001) diperlu- dan jasa. Berapa banyak barang dan jasa
kan beberapa syarat dalam membangun kinerja harus diproduksi? Mutu atau kualitas seperti
manajemen rantai pasok pada produk pertanian barang dan jasa tersebut akan diproduksi? Di
yang baik, yaitu (a) fleksibilitas rantai pasok, mana lokasi barang dan jasa tersebut dipro-
perusahaan atau produsen harus mampu duksi? Ke mana dan kepada siapa barang dan
merespon perubahan-perubahan yang terjadi; jasa yang diproduksi tersebut akan dipasarkan.

Sumber: Lokollo (2012)

Gambar 3. Cakupan dan kegiatan supply chain management


TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 133
Saptana dan Handewi P Saliem Rahman

Terdapat beberapa argumen penting- Konsep Rantai Nilai dan Rantai Nilai Global
nya penerapan manajemen rantai pasok pada serta Perannya dalam Meningkatkan Nilai
komoditas pertanian. Pertama, konsumen yang Tambah dan Daya Saing
menentukan terhadap atribut produk yang
diinginkan secara lebih lengkap dan rinci
Konsep Rantai Nilai dan Rantai Nilai Global
mencakup atribut keamanan produk, atribut
nutrisi, atribut nilai, atribut pengepakan, atribut Menurut Kaplinsky dan Morris (2000)
lingkungan, atribut ketelusuran produk dan yang juga diacu oleh Saptana dan Daryanto
atribut kemanusiaan (Simatupang et al., 1998). (2013), analisis rantai nilai adalah kegiatan
Para produsen berupaya untuk memenuhi lengkap yang diawali dari penyusunan konsep,
keinginan atau permintaan konsumen, baik kegiatan proses produksi, mengirimkan ke
pelanggan melalui pelaku tata niaga, pengolah,
dalam jenis, bentuk, styles, features, bagai-
dan distributor hingga ke konsumen akhir,
mana penyampaiannya apakah quick order
sehingga perusahaan memiliki keunggulan
fulfillment atau fast delivery dan bagaimana
kompetitif. Terdapat tiga tahapan dalam
kemasannya. Kedua, penerapan manajemen menganalisis rantai nilai, yaitu (a) perusahaan
rantai pasok pada produk pertanian diyakini atau pelaku usaha mengidentifikasi aktivitas
dapat meningkatkan efisiensi pada keseluruhan rantai nilai, mungkin hanya terlibat dalam
rantai pasok melalui keterpaduan proses aktivitas tunggal atau sebagian dari aktivitas
produk dan keterpaduan antarpelaku dalam keseluruhan; (b) mengidentifikasi faktor kunci
keseluruhan rantai pasok (Saptana dan sukses pada setiap aktivitas rantai nilai yang
Daryanto, 2013). Ketiga, hingga kini biaya akan menjadi penentu keberhasilan; dan (c)
logistik Indonesia mencapai (27% dari GDP) mengembangkan keunggulan kompetitif
jauh lebih besar dibandingkan Amerika Serikat dengan memperbaharui dalam bentuk proses,
(9,9% dari GDP), Jepang (10,6% dari GDP), fungsi, dan rantai.
dan Korea Selatan (16,3% dari GDP) Investasi dan perdagangan merupakan
(Wargadalam, 2015). Keempat, penerapan dua kata kunci dalam pembangunan ekonomi
manajemen rantai pasok pada produk pertanian suatu negara (Lindert dan Kindleberger, 1993).
diyakini dapat meningkatkan daya saing melalui Investasi baik domestik maupun asing dapat
peningkatan efisiensi dan ketepatan pelayanan meningkatkan output atau PDB suatu negara
pada pelanggan. Kelima, penerapan yang selanjutnya dapat meningkatkan lapangan
manajemen rantai pasok pada produk pertanian kerja baru. Sementara itu, perdagangan akan
dapat meningkatkan akses petani untuk meningkatkan efisiensi melalui spesialisasi
memasuki pasar modern dan pasar global kerja dan menciptakan kesejahteraan (Lindert
secara lebih luas. dan Kindleberger, 1993; Krugman dan Obstfeld,
1994). Ke depan persaingan dalam memasar-
Penerapan manajemen rantai pasok
kan suatu produk diperkirakan akan terjadi
dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing
bukan saja antarnegara dan antarproduk tetapi
karena industri dituntut untuk (a) memenuhi
akan lebih intens antarrantai pasok produk.
kepuasan konsumen; (b) mengembangkan Pengelolaan rantai nilai global (global value
produk tepat waktu; (c) mengeluarkan biaya chain governance/GVCG) merupakan salah
yang rendah dalam bidang persediaan dan satu strategi kemitraan usaha agribisnis yang
penyerahan produk; dan (d) mengelola industri memungkinkan petani dapat akses ke pasar
secara cermat dan fleksibel (Saptana dan global.
Daryanto, 2013). Untuk industri pertanian yang
Hubungan di antara aktivitas industri
menggunakan bahan baku dari hasil pertanian
dapat digambarkan sebagai suatu rantai yang
konsep manajemen rantai pasok ini dapat
bersifat kontinyu yang merupakan perluasan
diterapkan, terutama untuk produk bernilai dari pasar. Hubungan ini diilustrasikan sebagai
ekonomi tinggi (beras berkualitas, beras hubungan yang relatif pendek, yang merupakan
organik, jagung untuk pakan ternak, produk hierarki keterkaitan nilai yang diilustrasikan
buah-buahan, produk sayur-sayuran organik, melalui pemilikan langsung pada proses
dan produk peternakan rendah lemak) untuk produksi. Pada tahun 1990-an Gereffi
tujuan segmen dan tujuan pasar tertentu (pasar mengembangkan suatu kerangka berpikir yang
modern, konsumen institusi, industri disebut rantai komoditas global (global
pengolahan, dan pasar ekspor). commodity chain), yang menunjukkan adanya
keterkaitan secara langsung antara konsep
134 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–148

rantai nilai tambah (value-added chain) dengan tepat guna, untuk kepentingan pelanggan. Bila
organisasi industri global (Gereffi dan para pelaku memiliki kecenderungan
Korzeniewicz, 1994; Gereffi, 1999; Gereffi et bertransaksi dengan pihak yang sama secara
al., 2005; Saptana dan Daryanto, 2013). berulang, maka disebutnya sebagai rantai nilai
Dengan menggunakan terminologi “buyer- yang berulang. Hubungan ini terjalin seiring
driven global commodity chain” yang meliputi dengan adanya rasa saling percaya dan saling
bagaimana pembeli-pembeli global mengguna- ketergantungan. Secara empiris pola ini banyak
kan koordinasi secara eksplisit untuk mem- ditemukan pada hubungan antara penebas padi
bantu menciptakan pasokan berkompetensi dengan petani padi sawah (Saptana et al.,
tinggi, didasarkan pada produksi skala global 2003), antara petani perkebunan rakyat dengan
dan dapat membangun sistem distribusi tanpa pedagang pengumpul desa atau industri
kepemilikan secara langsung. pengolahan sawit nonkemitraan (Fajar dan
Dengan menyoroti secara eksplisit Herman, 2001), dan antara peternak sapi
koordinasi di dalam rantai yang tersekat-sekat rakyat dengan pedagang pengumpul atau
dan secara kontras membandingkannya blantik (Ilham et al., 2015). Hubungan tersebut
dengan hubungan yang terdapat pada integrasi biasanya merupakan hubungan langganan
vertikal, atau pada “producer-driven” chain, dengan ikatan maupun tanpa ikatan tertentu.
rantai komoditas global memberikan kerangka Rantai nilai relasional. Jaringan kerja ini
kerja dengan memberikan perhatian pada merupakan interaksi yang kompleks di antara
peran jaringan kerja yang bersifat lintas-batas pembeli dan penjual, di mana sering
organisasi industri. Kerangka pikir ini sejalan menciptakan ketergantungan yang saling
dengan kerangka pikir kemitraan usaha menguntungkan dan memiliki aset spesifik
agribisnis. Paling tidak dapat diidentifikasi lima bertingkat tinggi. Hal ini dapat dikelola melalui
tipe dasar dari value chain governance (Gereffi reputasi atau melalui hubungan kekeluargaan
et al., 2005; Daryanto dan Saptana, 2009; dan etnik. Dalam perkembangan terkini reputasi
Saptana dan Daryanto, 2013), yaitu keterkaitan dapat dijadikan jaminan dalam mengambil
pasar (market), rantai nilai bermodul (modular kredit komersial perbankan, seperti pada kasus
value chains), rantai nilai relasional (relational keberhasilan M. Yunus dalam membangun
value chains), dan rantai nilai tertutup (captive kelembagaan Garment Bank sehingga
value chains). masyarakat miskin di Bangladesh dapat akses
Keterkaitan pasar. Keterkaitan ini tidak terhadap pembiayaan (Yunus, 1999). Pola ini
memiliki sistem transit yang lengkap atau juga dijumpai pada kasus hubungan kemitraan
bersifat sementara, seperti tipikal pada pasar usaha antara pabrik gula (PG) dengan petani
valuta asing, mereka dapat tetap eksis kapan tebu rakyat yang melibatkan perbankan di
saja, dengan transaksi yang terus berulang. Hal mana PG sebagai avalisnya (Saptana dan
terpenting keterkaitan pasar adalah biaya-biaya Ilham, 2015). Demikian halnya kemitraan usaha
pergantian untuk partner baru adalah rendah antara BI Jatim, PT Holcim dengan Koperasi
untuk kedua pihak. Relasi yang berbasis norma Mitra Usaha, di mana Koperasi Mitra Usaha
ekonomi pasar merupakan relasi yang paling sebagai avalis dan Bank Indonesia Jatim
banyak dipilih petani di perdesaan (Syahyuti, membantu konsultan keuangan, fasilitasi dalam
2012). Pola ini umum terjadi pada transaksi SDM, serta bantuan alat dan mesin peternakan
yang terjadi di pasar tradisional dan pasar dalam menghasilkan produk peternakan baik
modern. Pembeli dan penjual bertemu, mem- sapi, daging segar, daging beku, bakso, dan
buat kesepakatan, dan kemudian mengakhiri sosis (Ilham et al., 2015). Dalam konteks
hubungan mereka. Pilihan relasi berbasis produk pertanian, tipe ini sesuai untuk ke-
norma ekonomi pasar lebih berdasarkan alasan mitraan usaha agribisnis terpadu yang ditujukan
kemudahan dan kemurahan, namun relasi yang untuk memenuhi segmen pasar tertentu, seperti
berlangsung cenderung berpola. pasar modern, konsumen institusional, dan
industri pengolahan hasil pertanian.
Rantai nilai bermodul. Secara tipikal
pemasok dalam rantai nilai yang terus berulang Rantai nilai tertutup. Jaringan kerja ini
membuat produk untuk pelanggan yang para pemasok kecil mengalami keter-
spesifik. Pemasok mengambil tanggung jawab gantungan dalam transaksi dengan pembeli-
secara penuh untuk kompetensi yang meliputi pembeli besar yang banyak jumlahnya. Tatap
seluruh proses produksi, investasi spesifik, muka para pemasok memerlukan biaya
pengadaan bahan baku berkualitas, teknologi transaksi sehingga bersifat tertutup. Jaringan
kerja ini diilustrasikan adanya monitoring dan
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 135
Saptana dan Handewi P Saliem Rahman

kontrol tingkat tinggi oleh perusahaan Dalam mengonstruksi teori “value chain
pemimpin. Model ini dapat dijumpai pada governance” paling tidak ada tiga faktor utama
industri broiler antara perusahaan peternakan yang perlu dipertimbangkan, yaitu (a) komplek-
sebagai inti dengan peternak mitra sebagai sitas informasi dan transfer pengetahuan
plasma. Perusahaan peternakan menyediakan diperlukan untuk menjaga kesinambungan
sapronak dan menampung hasil, sedangkan transaksi yang bersifat khusus, dengan mem-
peternak plasma menyediakan kandang, perhatikan spesifikasi produk dan prosesnya;
menyediakan bahan, dan memelihara broiler (b) perluasan di mana informasi dan
sesuai bimbingan teknis dan manajemen dari pengetahuan dapat disusun dan dapat
perusahaan (Saptana dan Daryanto, 2013). ditransmisikan secara efisien dan tanpa
Dalam batas-batas tertentu dijumpai pada transaksi investasi yang spesifik di antara pihak
produk hortikultura asal Indonesia untuk tujuan yang melakukan transaksi; dan (c) kapabilitas
ekspor (manggis, mangga gedong, melon), di para pemasok baik secara aktual maupun
mana pembeli yang berasal dari Singapura, potensial dalam hubungannya dengan
Malaysia, Taiwan, dan Hongkong sering persyaratan-persyaratan dalam melakukan
melakukan supervisi kepada pemasok di transaksi. Secara ringkas determinan pokok
daerah sentra produksi di Indonesia (Saptana dari “global value chains governance” dapat
et al., 2005). dilihat pada Tabel 1.
Rantai nilai berjenjang. Bentuk tata Melakukan identifikasi terhadap
kelola ini diilustrasikan sebagai integrasi secara beberapa tipologi tata kelola rantai nilai global
vertikal. Bentuk tata kelola yang dominan (GVC), dan penjelasan tentang tinjauan
adalah kontrol manajerial, adanya aliran dari teoritisnya merupakan tahapan penting dan
manajer ke bawahannya. Model ini banyak dapat membantu memahami perkembangan
ditemukan pada produk-produk industri yang ekonomi dunia dewasa ini, untuk membuat hal
memerlukan standar kualitas tinggi dan untuk ini menjadi alat analisis yang berdaya guna
produksi massal, seperti produk automobile, untuk kebijakan. Beberapa lintasan untuk
komputer, dan produk-produk elektronik. Untuk perubahan dapat dilihat pada Tabel 2. Kerang-
produk industri pertanian ditemukan pada ka kerja GVC memfokuskan pada sifat alamiah
industri peternakan ayam broiler yang dan kandungan keterkaitan antar-perusahaan
melakukan integrasi vertikal dari hulu hingga atau industri, dan kekuatan mengatur
hilir (Saptana dan Daryanto, 2013). Pola ini koordinasi rantai nilai, terutama antara pembeli
dalam kasus terbatas juga dijumpai pada dan beberapa pemasok pertama. Gambar 4
industri peternakan sapi potong di Jawa adalah klasifikasi rantai nilai global.
Tengah (Ilham et al., 2015). Pola ini dapat Selanjutnya, pada Gambar 5 adalah
diterapkan pada produk input produksi seperti klasifikasi rantai nilai yang diterapkan pada
pupuk dan pakan ternak, sedangkan untuk pasar berpihak pada kelompok miskin
produk industri pengolahan dapat diterapkan khususnya pertanian rakyat. Berbagai jenis
pada produk susu bubuk, susu kaleng, minyak rantai nilai yang ada diklasifikasikan berdasar-
goreng, sosis, chicken nugget dan industri kan tingkat integrasi dan koordinasi di pasar
kuliner berbasis high value commodity (broiler, masing-masing (ACIAR, 2012). Syarat-syarat
daging sapi). partisipasi para petani dalam suatu rantai nilai
dapat dipetakan sebagai berikut (ACIAR, 2012):

Tabel 1. Determinan pokok dari tata kelola rantai nilai global (global value chains governance)

Tingkat koordinasi
Kemampuan
Tipe tata Kompleksitas dalam Kapabilitas dalam secara eksplisit
kodifikasi untuk
kelola transaksi basis pasokan dan kekuasaan
bertransaksi
asimetri
Pasar Rendah Tinggi Tinggi Rendah
Modular Tinggi Tinggi Tinggi
Relasional Tinggi Rendah Tinggi
Tertutup Tinggi Tinggi Rendah
Bertingkat Tinggi Rendah Rendah Tinggi
Sumber: Gereffi et al. (2005)
136 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–148

Tabel 2. Beberapa dinamika dari global value chains governance

Kompleksitas dalam Kemampuan kodifikasi untuk Kapabilitas dalam basis


Tipe tata kelola
transaksi bertransaksi pasokan
Pasar Rendah Tinggi Tinggi
Modular Tinggi Tinggi Tinggi
1 2 3 4 5 6
Relasional Tinggi Rndah Tinggi
Tertutup Tinggi Tinggi Rendah
Bertingkat Tinggi Rendah Rendah

Sumber: Gereffi et al. (2005)


Keterangan: Dinamika dari perubahan dalam tata kelola
1 = Peningkatan kompleksitas dalam transaksi juga menurunkan kompetensi pemasok dalam hubungannya
dengan permintaan baru
2 = Penurunan dalam kompleksitas transaksi dan kemudahan yang lebih besar untuk kodifikasi
3 = Kodifikasi yang lebih baik untuk bertransaksi
4 = Dekodifikasi dalam bertransaksi
5 = Peningkatan kompetensi pemasok
6 = Penurunan kompetensi pemasok

Sumber: Gereffi et al. (2005) dan ACIAR (2012)

Gambar 4. Klasifikasi tata kelola rantai nilai global

(1) fungsi-fungsi apa saja yang dijalankan outgrowing, atau penjualan produk akhir pada
dalam rantai nilai, sehingga diperlukan pembeli. Pemahaman atas fungsi-fungsi dan
informasi kegiatan apa saja yang dijalankan tingkat koordinasi formal dapat berguna untuk
kelompok petani dalam suatu rantai nilai mengurangi biaya, meningkatkan pendapatan,
tertentu; dan (2) koordinasi formal, hal ini mengurangi risiko, serta memahami peluang-
mencakup kontrak formal yang menjadi dasar peluang peningkatan kinerja tata kelola rantai
bekerjanya para kelompok tani sasaran dalam nilai global.
sistem koordinasi, termasuk kontrak penyedia- Perusahaan atau industri inti paling
an input, pemasaran, sertifikasi produk, bertanggung jawab dalam konfigurasi sistem
contract farming atau penanaman oleh produksi serta penegakan dalam pemberlakuan
peraturan dalam rantai nilai sebagai syarat
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 137
Saptana dan Handewi P Saliem Rahman

Sumber: ACIAR (2012)

Gambar 5. Klasifikasi rantai nilai yang diterapkan pada pasar berpihak pada kelompok miskin

untuk menjual produk mereka di pasar antara mengambil bagian di pasar ini, sehingga perlu
atau pasar-akhir disebut sebagai “perusahaan adanya mediasi kelembagaan kemitraan usaha
penerobos”. Secara umum, peraturan yang agribisnis terpadu. Kinerja pasar produk-produk
sifatnya lebih membatasi atau lebih kompleks pertanian sering kali terganggu mekanisme
yang menentukan akses pada konsumen akan pasar yang tidak berjalan secara sempurna,
menghasilkan sistem koordinasi vertikal yang kondisi infrastruktur yang buruk, jasa
lebih rumit pada perusahaan penerobos. pendukung yang tidak tersedia, serta
Peraturan dan persyaratan yang lebih ketat konsolidasi kelembagaan petani yang lemah
dapat mendorong perusahaan penerobos untuk sehingga meningkatkan biaya transaksi dan
menjalankan kendali yang lebih langsung atas fluktuasi harga produk pertanian. Oleh karena
produksi dan pengangkutan barang. Pilihan- itu, peran serta para pertanian rakyat dalam
pilihan perusahaan dan agen-agen sehubung- rantai nilai pasar modern sangat tergantung
an dengan produsen mana yang dapat dari berfungsi tidaknya kemitraan usaha
berpartisipasi dalam suatu sistem rantai nilai agribisnis.
memiliki dampak langsung yang begitu besar Kemitraan usaha agribisnis terpadu
terhadap partisipasi anggota kelompok tani dalam rantai nilai dan rantai nilai global menjadi
dalam rantai nilai. Dapat terjadi lebih dari satu sesuatu yang penting dilakukan untuk ke-
sistem koordinasi dalam suatu sistem rantai sinambungan usaha, meningkatkan kapasitas
nilai. SDM kelompok mitra, dan peningkatan skala
usaha melalui akses pasar secara lebih luas.
Peran Rantai Nilai dan Rantai Nilai Global Dengan adanya kemitraan usaha agribisnis
dalam Meningkatkan Nilai Tambah dan Daya terpadu berarti menunjukkan adanya
Saing kesepakatan antara pihak yang bermitra untuk
melakukan tindakan yang memiliki nilai
Pengembangan sistem dan usaha ekonomi. Jika kemitraan usaha terpadu dapat
agribisnis dari hulu hingga hilir dalam dijalankan dengan baik maka dapat melakukan
kenyataannya lebih banyak digerakkan oleh manajemen secara efisien dan mampu
sektor swasta dan adanya tarikan pasar. meningkatkan koordinasi antar-pelaku usaha.
Sebagai implikasinya, di bagian hilir peranan Adanya kemitraan usaha agribisnis terpadu
pasar modern (supermarket dan hypermarket) juga dapat mendorong adanya pembagian kerja
yang mengandalkan manajemen rantai pasok sama secara organik melalui spesialisasi kerja
serta pengelolaan rantai nilai dan rantai nilai sehingga dapat meningkatkan efisiensi,
global yang baik merupakan suatu mengurangi biaya transaksi, adanya
keniscayaan. Standar mutu yang ditetapkan pembagian risiko, dan adanya jaminan
oleh pasar modern baik di pasar domestik pemasaran hasil.
maupun pasar global sering kali mempersulit
para petani yang bertindak sendiri-sendiri untuk Dalam konteks ini rantai nilai global,
perusahaan atau industri inti paling
138 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–148

bertanggung jawab dalam konfigurasi sistem Alternatif strategi untuk meningkatkan


produksi serta penegakan dalam pember- nilai tambah dan daya saing produk pertanian
lakuan peraturan dalam rantai nilai sebagai dalam keseluruhan rantai nilai dapat dilakukan
syarat untuk dapat menjual produk mereka di dengan (a) peningkatan produk, dengan
pasar antara atau pasar-akhir disebut sebagai menerapkan manajemen mutu dalam proses
“perusahaan penerobos”. Peraturan yang produksi, meningkatkan kualitas produk dan
sifatnya lebih membatasi atau lebih kompleks perencanaan produksi yang disesuaikan per-
yang menentukan akses pada konsumen akan mintaan pasar; (b) peningkatan proses, dengan
menghasilkan sistem koordinasi vertikal yang merubah cara berproduksi dengan penerapan
lebih rumit pada perusahaan penerobos. teknologi maju dan pengembangan produk; (c)
Peraturan dan persyaratan yang lebih ketat peningkatan fungsional, dengan mengelom-
dapat mendorong perusahaan penerobos untuk pokkan petani/peternak dalam lokasi yang
menjalankan kendali yang lebih langsung atas sama dan bergabung dalam kelompok
produksi dan pengangkutan barang. Pilihan- tani/gapoktan, atau koperasi/asosiasi; dan (d)
pilihan perusahaan dan agen-agen sehubung- peningkatan rantai, melalui program kemitraan
an dengan produsen mana yang dapat berpar- usaha agribisnis terpadu, program promosi, dan
tisipasi dalam suatu sistem rantai nilai memiliki fasilitasi pemerintah (Saptana dan Daryanto,
dampak langsung yang begitu besar terhadap 2013).
partisipasi anggota kelompok tani dalam rantai
nilai. Dapat terjadi lebih dari satu sistem
koordinasi dalam suatu sistem rantai nilai. TINJAUAN EMPIRIS MAKRO DAN MIKRO
PEMASARAN KOMODITAS PERTANIAN
Terdapat beberapa manfaat dengan
adanya sistem kemitraan usaha agribisnis
terpadu melalui pengelolaan rantai nilai dan Tinjauan Empiris Pemasaran Perspektif
rantai nilai global. Manfaat yang paling penting Makro
bagi perusahaan mitra adalah (1) mudah
mendapatkan tenaga kerja (buruh) dengan Kelompok Komoditas Pangan
tingkat upah yang murah; (2) mengurangi biaya Hasil kajian Anggraenie (2005) dengan
untuk investasi; (3) mudah memasarkan menganalisis struktur, perilaku, dan kinerja
saprodi dan alsintan ke petani; (4) adanya (SCP) pasar komoditas pertanian (beras, gula
jaminan pasokan hasil pertanian; (5) perusaha- dan kakao) dengan model ARCH diperoleh
an memiliki kendali terhadap kuantitas, kualitas, beberapa temuan sebagai berikut: (a) struktur
waktu penyaluran, dan kontinuitas pasokan; pasar beberapa komoditas pertanian yang
dan (6) kemitraan usaha mampu memberikan dihadapi petani di Sulawesi Tengah adalah
manfaat dalam pembagian risiko yang lebih struktur pasar oligopsonis, di mana pasar
rendah dan harapan yang lebih baik dari sisi didominasi oleh beberapa pedagang besar; (b)
pendapatan (Saptana dan Daryanto, 2013). setiap pedagang hasil pertanian menentukan
Secara umum kemitraan usaha terpadu harga pembelian secara independen; (c) posisi
melalui pengelolaan rantai nilai dan rantai nilai tawar petani dalam penentuan harga sangat
global memberikan manfaat kepada petani rendah; (d) tingkat hambatan untuk masuk
anggota (Patrick et al., 2004; Saptana dan pasar tergolong cukup rendah; (e) harga di
Daryanto, 2013), yaitu keuntungan yang lebih pasar sentral Palu adalah referensi utama
tinggi, akses terhadap pasar baik domestik untuk pengaturan harga; dan (f) metode
maupun global, akses terhadap kredit pembayaran kepada petani dapat dilakukan
perbankan, akses terhadap teknologi maju, dengan tunai, kredit, dan dalam bentuk barter.
meningkatkan kemampuan mengelola risiko, Akibatnya para petani menghadapi harga hasil
memberikan kesempatan kerja yang lebih baik pertanian yang tidak stabil dan nilai tambah
bagi anggota keluarga, dan secara tidak banyak dinikmati para pedagang.
langsung, wadah pemberdayaan bagi kaum Hasil kajian Asriani et al. (2015) untuk
perempuan serta pengembangan budaya ber- melihat arah pemasaran beras lokal di Provinsi
niaga yang sukses. Dalam konteks penang- Bengkulu dengan analisis integrasi pasar
gulangan risiko, kemitraan usaha terpadu diperoleh hasil sebagai berikut: (a) pasar
melalui pengelolaan rantai nilai berfungsi dalam produsen beras lokal Bengkulu Selatan dan
dua hal, yaitu pembagian risiko (risk sharing) Rejang Lebong terintegrasi dengan kuat
dan strategi manajemen risiko (risk terhadap pasar konsumen Kota Bengkulu; (b)
management-strategy) bersama. pasar produsen beras lokal Bengkulu Selatan
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 139
Saptana dan Handewi P Saliem Rahman

terintegrasi dengan kuat terhadap pasar di tingkat produsen dan di tingkat konsumen
produsen beras lokal Rejang Lebong; (c) arah relatif terkoneksi, meskipun secara kurang
pemasaran “produsen-konsumen” beras lokal di sempurna.
Provinsi Bengkulu adalah hubungan satu arah
dari pasar produsen beras lokal Bengkulu
Selatan ke pasar konsumen beras lokal Kota Kelompok Komoditas Perkebunan
Bengkulu; dan hubungan dua arah dari pasar Hasil kajian yang dilakukan Anggraenie
produsen beras lokal Rejang Lebong ke pasar (2005) dengan analisis S-C-P pada komoditas
konsumen beras lokal Kota Bengkulu; (d) arah kakao dengan menggunakan model ARCH di
pemasaran ”produsen-produsen” beras lokal di Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan
Provinsi Bengkulu adalah hubungan satu arah struktur pasar bersifat oligopsonistik. Terdapat
dari pasar produsen beras lokal Bengkulu semacam integrasi vertikal, namun tidak utuh
Selatan ke Rejang Lebong; dan (e) pasar (tidak sampai final product). Pedagang sangat
pemimpin pada pemasaran beras lokal di dominan dalam menentukan harga pembelian
Provinsi Bengkulu adalah pasar produsen ke petani. Harga di pasar sentral Palu adalah
beras lokal Bengkulu Selatan. referensi utama untuk penentuan harga.
Pengembangan pasar beras lokal di Metode pembayaran kepada petani dapat
Provinsi Bengkulu hendaknya mengacu pada dilakukan dengan tunai, kredit, dan dalam
pasar pemimpin agar pemasaran lebih efisien bentuk barter. Model ARCH diterapkan untuk
dan berdaya saing. Kekuatan pasar produsen komoditas kakao menunjukkan bahwa harga
beras lokal Bengkulu Selatan dapat dijadikan kakao berkorelasi dengan harga kakao
pusat distribusi beras lokal di Provinsi sebelumnya.
Bengkulu. Brand image beras lokal Bengkulu Hasil penelitian tentang analisis S-C-P
Selatan yang telah terbentuk dapat yang memfokuskan pada analisis struktur dan
meningkatkan efisiensi dan daya saing produk integrasi pasar teh hijau di Jawa Barat yang
lokal. Adanya kepercayaan dan kesetiaan dilakukan oleh Rochdiani (2015) memberikan
konsumen terhadap produk lokal dapat terjaga beberapa hasil sebagai berikut: (a) struktur
baik dengan adanya brand tersebut. pasar yang terjadi pada komoditas teh hijau di
lokasi penelitian adalah monopsoni, hampir
semua petani (90%) menjual pucuk tehnya
Kelompok Komoditas Hortikultura hanya kepada satu perusahaan industri
Hasil analisis S-C-P pada kelompok pengolahan; (b) tidak terjadi integrasi pasar
komoditas hortikultura banyak dijumpai struktur dalam jangka pendek, namun terjadi integrasi
pasar oligopsonistik, yaitu petani yang banyak dalam jangka panjang antara harga di tingkat
berhadapan dengan beberapa pembeli perusahaan teh dengan harga di tingkat petani;
(pedagang, industri pengolahan, perusahaan (c) petani teh hanya menerima pangsa harga
eksportir) yang banyak ditemukan pada sebesar 7,20–9,01% dari harga jual
komoditas hortikultura, baik pada komoditas perusahaan teh dandang.
sayur (Hutabarat et al., 1993; Sudaryanto et al., Hasil kajian empiris yang dilakukan
1993; Saptana et al., 2004) maupun pada (Alamsyah et al., 2014) dengan analisis S-C-P
komoditas buah-buahan (Hadi, 1993; Saptana dan memfokuskan pada analisis integrasi pasar
et al., 1993; Purwoto et al., 2003; Saptana et dan transmisi harga memberikan hasil temuan
al., 2006; Saptana et al., 2012). Akibatnya yang menarik: (a) hasil kajian menunjukkan
posisi tawar petani hortikultura rendah dan bahwa harga ekspor mempunyai pengaruh
dihadapkan pada fluktuasi harga yang tinggi. negatif dan memiliki keseimbanngan jangka
Hasil analisis yang dilakukan Rahayu pendek dengan harga di tingkat petani; (b)
(2014) pada komoditas cabai memberikan untuk harga indikasi dan harga pasar lelang
beberapa temuan pokok sebagai berikut: (a) karet mempunyai pengaruh positif dan memiliki
terdapat empat macam saluran pemasaran keseimbangan jangka pendek dengan harga di
cabai dengan market share bervariasi antara tingkat petani; (c) kecepatan penyesuaian
66,67–69,57%, pangsa pasar tersebut perubahan harga di tingkat ekspor, indikasi,
tergolong cukup tinggi untuk komoditas cabai dan pasar lelang karet terhadap harga di tingkat
merah yang cepat rusak; (b) struktur pasar petani dalam jangka panjang memerlukan
cenderung kepada pasar persaingan oligop- waktu satu bulan kemudian; dan (d) integrasi
soni; (c) nilai elastisitas transmisi harga (Et) pasar karet alam di tingkat petani dengan harga
berkisar antara 0,953 yang menunjukkan pasar ekspor, harga indikasi, dan harga pasar lelang
140 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–148

karet dalam jangka pendek dan jangka panjang ternak dan perusahaan farmasi hingga
terintegrasi dengan baik. mencapai 10–15% (Saptana et al., 2002).
Hasil kajian Alamsyah et al. (2014) Struktur pasar output oligopsoni juga
menunjukkan hasil sebagai berikut: (1) terjadi di pasar output (Saptana, 2002): (1)
elastisitas transmisi harga karet di tingkat sebagian besar peternak di Priangan Timur
ekspor terhadap harga karet di tingkat petani menjual ke PS yang bertindak sebagai intinya;
dalam jangka pendek dan jangka panjang (2) bagi peternak yang terkait dalam kerja sama
bersifat inelastis (<1); dan (2) dari hasil analisis dengan PS memperoleh harga penjualan hasil
diketahui bahwa elastisitas transmisi harga yang sedikit lebih rendah, (3) dalam kondisi
karet pasar lelang terhadap harga karet petani menguntungkan PS memperoleh margin
bersifat inelastis dalam jangka pendek, akan keuntungan yang lebih besar dengan korbanan
tetapi dalam jangka panjang elastisitas biaya yang lebih kecil; dan (4) dalam kondisi
transmisi harga berubah menjadi elastis. merugi biasanya peternak harus menanggung
Perbedaan elastisitas transmisi harga karet risiko kerugian yang lebih besar.
dalam jangka pendek dan jangka panjang Hasil kajian Saptana et al. (2002)
disebabkan karena dalam jangka panjang menunjukkan bahwa dalam pasar oligopoli di
perubahan harga di tingkat pasar lelang dapat mana perusahaan-perusahaan tidak melaku-
diantisipasi petani karet dengan melakukan kan kesepakatan di antara mereka, tingkat
tindakan penyesuaian seperti menghasilkan harga bersifat rigid (sukar berubah). Dalam
bahan olah karet yang lebih bersih dan pasar oligopolistik, akan sangat menguntung-
mempunyai kadar karet kering yang cukup kan bagi semua perusahaan jika mereka
tinggi. bekerja sama melakukan kesepakatan-
kesepakatan bersama yang disebut kartel.
Dalam industri pakan ternak adanya indikasi
Kelompok Komoditas Peternakan
kartel ditunjukkan oleh bergabungnya
Hasil kajian Yusdja dan Saptana (1995) kedelapan pabrik berskala besar tersebut
mengungkapkan bahwa ada kecenderungan dalam Asosiasi Gabungan Pengusaha
struktur pertumbuhan pabrik pakan ke arah Peternakan Indonesia (GAPPI) dan Gabungan
struktur pasar oligopoli. Hal ini antara lain Pengusaha Makanan Ternak (GPMT).
ditunjukkan oleh (a) proporsi produksi pakan
Struktur pasar pada unggas komersial
dari pabrik pakan berskala besar yang
hingga kini tidak banyak mengalami perubahan,
berjumlah 8 buah (12%) memiliki pangsa pasar
yaitu struktur pasar oligopoli pada pasar input
sebesar (65–83%); (b) hasil estimasi
produksi (sapronak) dan struktur pasar yang
keuntungan pabrik pakan (1993) Rp265/kg
oligopsonistik pada pasar output (daging dan
pakan petelur dan Rp287/kg pakan broiler atau
telur), yaitu peternak yang banyak berhadapan
sekitar (42–44%) dari harga jual pakan; (c)
dengan beberapa perusahaan pakan ternak
beberapa perusahaan peternakan skala besar
dan peternak yang banyak berhadapan dengan
melakukan integrasi vertikal; dan (d) pada
beberapa pembeli (pedagang pengumpul,
kenyataannya kedelapan pabrik pakan skala pedagang besar, industri pengolahan, industri
besar ini berada dalam satu organisasi GPMT kuliner) (Rusastra et al., 2006; dan Saptana
yang mempertegas adanya kartel di antara dan Daryanto, 2013).
mereka.
Hasil kajian Septiani dan Alexandi
Struktur pasar input oligopoli juga (2014) tentang analisis struktur perilaku dan
terjadi pada pelaku tata niaga yang kinerja (Structure Conduct-Performance/S-C-P)
menunjukkan bahwa (a) jumlah poultry shop dalam persaingan industri pakan ternak di
(PS) relatif terbatas dan di antara PS Indonesia pada periode tahun 1986–2010
melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnis; memperlihatkan beberapa temuan pokok
(b) besarnya margin keuntungan yang sebagai berikut: (a) struktur industri pakan
diperoleh PS sebagai agen dalam menjual ternak di Indonesia berada pada struktur
pakan berkisar antara Rp37,50–47,50/kg pakan oligopoli longgar dengan nilai rata-rata rasio
dengan hanya mengeluarkan biaya pemasaran konsentrasi empat perusahaan (CR4) sebesar
Rp12,5/kg pakan, sedangkan PS sebagai 37,45%, artinya bahwa persaingan
pengecer memperoleh margin keuntungan antarperusahaan masih tergolong cukup tinggi;
Rp35/kg pakan dengan mengeluarkan biaya (b) hambatan masuk pasar bagi perusahaan
Rp15/kg pakan; dan (c) PS menikmati fee baru pada industri pakan ternak tergolong tinggi
tergolong besar yang diberikan pabrik pakan
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 141
Saptana dan Handewi P Saliem Rahman

dengan nilai rata-rata minimum efficiency scale yang paling berperan adalah perusahaan pakan
(MES) sebesar 13,86%, yang artinya cukup ternak dengan nilai prioritas tertinggi 0,282 dan
sulit bagi perusahaan pesaing baru untuk diikuti oleh petani dengan nilai prioritas 0,270;
memasuki pasar pakan ternak; (c) perilaku dan (c) peningkatan nilai produk dengan nilai
industri pakan ternak dari strategi harga prioritas sebesar 0,344. Hasil analisis tersebut
ditentukan berdasarkan harga pakan merefleksikan bahwa penerapan manajemen
pesaingnya dan harga bahan baku pakan rantai pasok yang efisien dapat meningkatkan
ternak, perusahaan baru sulit untuk bisa nilai tambah produk.
bersaing baik dalam harga maupun akses
Alternatif skenario untuk mencapai
mendapatkan bahan baku pakan; (d) perilaku
rantai pasok yang efisien secara berturut-turut
industri pakan ternak dari strategi produk,
adalah (a) fasilitasi sarana dan prasarana
perusahaan baru sulit untuk bisa bersaing baik
petani dengan nilai prioritas 0,387; (b)
dalam inovasi teknologi baru, kualitas pakan,
membangun kemitraan usaha terpadu antar-
dan memenuhi standar nasional Indonesia
pihak menempati prioritas kedua dengan nilai
(SNI); (e) perilaku industri pakan ternak dari
prioritas sebesar 0,195; (c) pengembangan
strategi promosi, perusahaan baru sulit untuk
SDM petani menjadi prioritas ketiga dengan
bisa bersaing dalam melakukan promosi produk
nilai prioritas 0,193; (d) pengembangan akses
pakan baik melalui technical service dan
informasi menjadi prioritas strategi keempat
melalui iklan di media cetak, elektronik maupun
dengan nilai prioritas 0,157; dan (d) kebijakan
internet; dan (6) tingkat keuntungan yang
pendukung pemerintah yang diperlukan adalah
merefleksikan kinerja industri pakan ternak
penyediaan sarana produksi (benih, pupuk, dan
dipengaruhi secara nyata oleh efisiensi internal,
pertumbuhan nilai output, dan hambatan masuk subsidi pupuk), inovasi teknologi budi daya
(barrier to entry), sedangkan rasio konsentrasi jagung, infrastruktur jalan, kebijakan
empat perusahaan terbesar (CR4) tidak perdagangan, dan aturan karantina menempati
berpengaruh nyata terhadap tingkat prioritas terakhir dengan nilai prioritas 0,068.
keuntungan.
Kelompok Komoditas Hortikultura
Kajian Empiris Pemasaran Perspektif Mikro Kajian yang dilakukan oleh Sinaga et
al. (2015) tentang analisis rantai nilai
Kelompok Komoditas Pangan
pemasaran kentang granola di Kecamatan
Hasil kajian yang dilakukan Mulyani et Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
al. (2015) tentang analisis manajemen rantai memperoleh temuan sebagai berikut: (a) posisi
pasok komoditas jagung di Kabupaten petani kentang adalah sebagai penerima harga;
Grobogan menunjukkan beberapa temuan (b) kurangnya peranan kelembagaan kelompok
sebagai berikut: (a) saluran rantai pasok jagung tani dalam pemasaran kentang granola; (c)
terdiri dari berbagai tingkatan pelaku usaha terbatasnya industri pengolahan kentang segar;
mulai dari petani, pedagang pengumpul desa, (d) tingkat keuntungan yang diperoleh pelaku
pedagang pengumpul kecamatan, pedagang tata niaga masih tergolong rendah; dan (e)
pengepul (besar) kabupaten, dan perusahaan struktur pasar yang terbentuk adalah
pakan ternak; (b) petani dalam rantai pasok oligopsoni, yaitu petani yang jumlahnya sangat
menghadapi struktur pasar jagung cenderung banyak berhadapan dengan beberapa bandar
mengarah ke struktur pasar oligopsoni pada dan industri pengolahan kentang. Pemasaran
saat musim panen raya dan cenderung pasar kentang segar tidak diimbangi dengan
bersaing sempurna pada saat musim panen pengembangan produk dan perluasan pasar
biasa; dan (3) rantai pasok komoditas jagung produk olahan kentang.
belum terpadu dari hulu hingga hilir. Akibatnya,
Analisis rantai nilai dari sisi usaha
petani menghadapi ketidakpastian jaminan
pengolahan kentang menunjukkan bahwa
pasar dan harga.
keripik kentang dan kerupuk kentang dapat
Hasil analisis manajemen rantai pasok memberikan peningkatan nilai tambah masing-
dengan menggunakan metode analytical masing 48,21% dan 55,54%. Kerupuk kentang
hierarchy process (AHP) menunjukkan bahwa adalah produk olahan yang mampu
faktor yang paling menentukan dalam memberikan keuntungan serta nilai tambah
membentuk manajemen rantai pasok secara lebih tinggi daripada keripik kentang. Hanya
efisien adalah (a) harga merupakan faktor saja aktivitas yang dilakukan masih sederhana.
utama dengan nilai prioritas 0,396; (b) faktor Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa
142 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–148

pengelolaan rantai nilai kentang melalui praktik terbaik dengan menciptakan hubungan
pengembangan produk dapat meningkatkan kemitraan (partnership) di setiap level pelaku
nilai tambah produk. Ke depan perlu digarap rantai pasok dapat dilihat pada rancangan
secara serius pengembangan produk dan aliran material SCOR di masa yang akan
promosi produk sehingga dapat meningkatkan datang.
volume pemasaran dan nilai tambah.
Kelompok Komoditas Ternak
Kelompok Komoditas Perkebunan Penerapan manajemen rantai pasok
Hasil kajian analisis kinerja manajemen pada industri broiler adalah untuk memastikan
rantai pasok komoditas kopi gayo dilakukan agar konsumen mendapat produk daging ayam
oleh Pramulya dan Agustia (2015) dengan dengan jumlah, kualitas, serta waktu yang tepat
menggunakan metode SCOR dan diagram dengan biaya rendah. Manajemen rantai pasok
fishbone memberikan hasil sebagai berikut: (a) produk broiler berbeda dengan produk
kegiatan pembelian kopi gayo pada Koperasi manufaktur karena beberapa argumen berikut
XYZ dilaksanakan menurut mekanisme kontrak (Saptana dan Daryanto, 2012; Saptana dan
tertulis yang telah disepakati; (b) rekapitulasi Daryanto, 2013): (a) industri broiler merupakan
penilaian kondisi kinerja rantai pasok dalam industri biologi bernilai ekonomi tinggi, sehingga
memenuhi pesanan sangat rendah (50%), perlu penanganan secara tepat; (b) produk
dikarenakan terjadi fenomena cidera janji, broiler bersifat mudah rusak sehingga perlu
petani menjual ke pihak lain dengan harga kopi penanganan secara cepat; (c) proses pe-
lebih tinggi; (c) petani merasa tidak ada trans- masukan DOC, pemeliharaan, dan pemanenan
paransi informasi harga; (d) dalam implemen- tergantung pada kondisi iklim sehingga
tasi kontrak dalam pembagian keuntungan teknologi budi daya dan manajemen usaha
belum dilakukan secara adil dan proporsional; ternak harus dikuasai dengan baik; (d) hasil
dan (e) kemampuan Koperasi XYZ memenuhi panen memiliki bentuk dan ukuran yang
permintaan importir sangat rendah (5%) bervariasi; dan (e) produk broiler bersifat
dengan durasi waktu selama 22 hari. kamba sehingga sulit ditangani, pengembangan
Berdasarkan diagram fishbone berhasil distribusi dalam bentuk karkas melalui sistem
diidentifikasi faktor-faktor penyebab inefisiensi rantai dingin sangat diperlukan.
rantai pasok kopi gayo pada koperasi XYZ, Hasil kajian Saptana dan Daryanto
yaitu (a) manajemen pesanan yang lemah, (b) (2012) menyimpulkan bahwa pola rantai pasok
tidak adanya kesatuan dan transparansi broiler antara pola mandiri dan kemitraan usaha
informasi, (c) produksi yang dihasilkan jauh dari relatif sama, yaitu melalui pedagang pengumpul
yang ditargetkan, (d) distribusi produk tidak dan agen atau pemasok (supplier), selanjutnya
optimal, (e) manajemen pasokan lemah, dan (f) pedagang pengumpul menjual ke RPA atau
rebut tawar (bargaining position) koperasi pedagang besar (middle man), selanjutnya
lemah. sebagian besar ditujukan untuk pedagang
Penyelesaian inefisiensi rantai pasok pasar dan pengecer di pasar-pasar tradisional
dapat diselesaikan dengan usulan praktik dan sebagian dijual ke agen atau pemasok
terbaik (PT) meliputi (a) kolaborasi dalam (supplier), selanjutnya ke RPA (jasa
perencanaan, (b) membangun kemitraan pemotongan), kemudian sebagian besar dijual
melalui ikatan kontrak yang terukur indikator untuk tujuan pasar becek (wet market) dan
pencapaiannya, (c) menerapkan manajemen sebagian lainnya untuk tujuan pasar modern
informasi yang transparan dan terintegrasi pada dan konsumen institusi (industri pengolahan,
setiap tingkatan rantai pasok, dan (d) hotel, restoran/rumah makan, rumah sakit).
menerapkan customer relationship Implikasi kebijakan penting dalam membangun
management melalui divisi kemitraan. Praktik manajemen rantai pasok pada komoditas atau
terbaik menekankan kepada kolaborasi produk broiler secara terintegrasi adalah
perencanaan antartim operasi strategi di setiap mengembangkan bentuk-bentuk kemitraan
tingkatan pelaku rantai pasok. Penekanan pada yang saling membutuhkan, memperkuat dan
prinsip membangun hubungan jangka panjang saling menguntungkan sehingga terbangun
yang dilandasi prinsip saling percaya (mutual keterpaduan produk dan antarpelaku. Begitu
trust) dapat meningkatkan kinerja rantai pasok pula dengan alur informasi, dengan adanya
serta meminimalisir konflik antarpelaku rantai manajemen rantai pasok melalui strategi
pasok. Ketelusuran (traceability) pelaksanaan kemitraan usaha alur informasi dapat bergerak
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 143
Saptana dan Handewi P Saliem Rahman

secara efektif, pergerakan produk akan efisien, sistem koordinasi antarpelaku sehingga terjadi
sehingga menghasilkan produk yang berdaya integrasi pasar.
saing. Melalui sistem integrasi maka dapat
dicapai keragaan pasar sebagai berikut: (a)
STRATEGI PEMASARAN PRODUK terjaminnya produk pertanian yang memenuhi
PERTANIAN SECARA TERPADU aspek kuantitas, kualitas, dan kontinyuitas
pasokan dengan harga yang kompetitif; (b)
dicapainya tingkat efisiensi pemasaran yang
Membangun S-C-P Terpadu tinggi, margin pemasaran kompetitif, kapasitas
Pendekatan S-C-P lebih menekankan penggunaan optimal, serta proses inovasi maju
aspek deskriptif, melihat kasus-kasus empiris di dan adanya sistem insentif bagi pelaku usaha.
suatu wilayah sentra produksi, pembahasan Sistem pemasaran dengan S-C-P terpadu akan
aspek kelembagaan pasar lebih dominan, dan menghasilkan kinerja pasar yang kompetitif,
lebih menekankan penemuan harga (price yang mampu memberikan insentif bagi pelaku
discovery) serta menjelaskan tindakan usaha dan memberikan kepuasan kepada
perusahaan atau pedagang yang melakukan konsumen.
penguasaan pasar (market power). Oleh
karena itu, penting membangun sistem Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok
pemasaran produk pertanian dengan S-C-P Produk Pertanian Terpadu
terpadu. Paling tidak terdapat tiga model
pengembangan S-C-P terpadu: (1) pola Beberapa keunggulan dengan
integrasi dari hulu-hilir melalui penguasaan menerapkan kelembagaan kemitraan rantai
tunggal perusahaan dalam satu kesatuan pasok produk pertanian secara terpadu oleh
sistem manajemen pengambilan keputusan, Saptana et al. (2004) dan disempurnakan lagi
sehingga dapat dicapai efisiensi tinggi, namun oleh Saptana dan Daryanto (2013): (1) adanya
memiliki implikasi terhadap konsentrasi pasar; integrasi antara subsistem agribisnis hulu, sub-
(2) pola integrasi vertikal melalui pengem- sistem budi daya, serta subsistem agribisnis
bangan koperasi agribisnis komoditas unggulan hilir dapat menghapus pasar produk antara
di daerah sentra produksi yang melibatkan sehingga dapat menghilangkan munculnya
seluruh pelaku agribisnis dari hulu hingga hilir; margin ganda mulai dari subsistem hulu hingga
dan (3) pola koordinasi vertikal melalui subsistem hilir, sehingga harga pokok produk
kemitraan usaha agribisnis terpadu. mampu bersaing secara kompetitif di pasar; (2)
pengembangan kelembagaan kemitraan rantai
Melalui integrasi vertikal diharapkan pasok produk pertanian secara terpadu akan
dicapai efisiensi tertinggi dan terhindarkan dari dapat menghilangkan atau mengurangi masa-
fenomena margin ganda melalui keterpaduan lah transmisi harga yang bersifat asimetris; dan
struktur-perilaku-kinerja. Struktur pasar komo- (3) mampu meningkatkan produktivitas,
ditas pertanian didorong ke arah struktur pasar efisiensi usaha, menciptakan nilai tambah, dan
bersaing sempurna, baik antarpelaku maupun daya saing produk pertanian.
antarrantai pasok produk pertanian. Jika terjadi
distorsi pasar pada pasar komoditas atau Strategi pengembangan kelembagaan
produk pertanian maka kebijakan pemerintah rantai pasok dapat dilakukan dengan (1)
ditujukan untuk menghapuskan distorsi pasar pemberdayaan kelompok tani atau petani ke
yang terjadi. arah kelompok tani atau petani mandiri dan
profesional, dengan jumlah anggota kelompok
Melalui integrasi pasar diharapkan
diseleksi 20–25 orang anggota supaya
perilaku pasar ke arah (a) penentuan harga dan
pengaturan tingkat output yang dihasilkan konsolidasi internal lebih solid; (2) kelompok
ditentukan dinamika permintaan pasar dan tani yang sudah mandiri didorong untuk
preferensi konsumen; (b) kebijakan promosi mengonsolidasikan diri dalam kelembagaan
produk pertanian melalui promosi bersama oleh formal berbadan hukum, sehingga memudah-
seluruh pelaku usaha yang tercakup, melalui kan melakukan transaksi dan kemitraan usaha
program iuran bersama yang disebut the agribisnis; (3) kelompok-kelompok tani disatu-
commodity check of program atau the levy kan dapat berupa gabungan kelompok tani
system untuk meningkatkan volume (gapoktan), asosiasi petani, asosiasi agribisnis,
pemasaran; dan (c) perilaku dalam kerja sama koperasi tani, atau koperasi agribisnis; (4)
antarpelaku usaha dapat dilakukan melalui melakukan perencanaan pola tata tanam dalam
144 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–148

kerangka pengaturan produksi sesuai dengan PENUTUP


dinamika permintaan pasar dan preferensi
konsumen; (5) adanya proses inovasi dan
Paling tidak terdapat tiga model
diseminasi teknologi tepat guna dan spesifik
pengembangan S-C-P terpadu: (1) pola
lokasi; (6) pengembangan kelembagaan
integrasi dari hulu-hilir melalui penguasaan
pembiayaan pertanian dengan bunga lunak; (7)
tunggal perusahaan dalam satu kesatuan
pengelolaan pengadaan sarana produksi sistem manajemen pengambilan keputusan,
melalui pembuatan kios saprodi kelompok; (8) sehingga dapat dicapai efisiensi tinggi, namun
pemasaran hasil kolektif melalui jalinan memiliki implikasi terhadap konsentrasi pasar;
kelembagaan kemitraan rantai pasok; (9) (2) pola integrasi vertikal melalui pengembangan
adanya penyuluh pertanian sebagai koperasi agribisnis komoditas unggulan di
pendamping petani yang bertugas di tingkat daerah sentra produksi yang melibatkan
desa, berkantor di Pusat Pelayanan dan seluruh pelaku agribisnis dari hulu hingga hilir;
Konsultasi Agribisnis di Kecamatan; (10) semua dan (3) pola koordinasi vertikal melalui
bantuan teknis harus disediakan dan kemitraan usaha agribisnis terpadu. Sistem
dianggarkan baik melalui Pusat Pelayanan dan pemasaran dengan S-C-P terpadu akan
Konsultasi Agribisnis (PPA) di kecamatan atau menghasilkan kinerja pasar yang kompetitif,
Balai Penyuluhan Pertanian, melibatkan yang mampu memberikan insentif bagi pelaku
peneliti/penyuluh BPTP, Lembaga Penelitian usaha dan memberikan kepuasan kepada
Pusat dan Lembaga Penelitian Perguruan konsumen.
Tinggi; (11) peran PPA harus juga mencakup Paling tidak terdapat lima manfaat atau
pemberdayaan, peningkatan kapasitas SDM keuntungan bila manajemen rantai pasok dan
petani, dan mediasi bagi terbangunnya pengelolaan rantai nilai produk pertanian
kelembagaan kemitraan rantai pasok produk berjalan dengan baik: (a) adanya penciptaan
pertanian secara terpadu; (12) perusahaan nilai tambah, meliputi kesesuaian dengan
mitra dapat berupa perusahaan industri pe- pesanan, ketetapan distribusi, dan kesesuaian
ngolahan, pedagang besar/pemasok/vendor, pembebanan biaya; (b) pengurangan biaya
perusahaan ekspor-impor yang berperan transaksi ekonomi sehingga meningkatkan
menyediakan kebutuhan sarana produksi daya saing; (c) pengurangan risiko bisnis
petani berupa bibit berkualitas, pupuk, dan melalui pembagian risiko; (d) sebagai sarana
sarana produksi lainnya sesuai kesepakatan alih teknologi dari perusahaan besar kepada
secara enam tepat, yaitu tepat jumlah, tepat petani; dan (e) meningkatkan efisiensi dan daya
kualitas, tepat tempat, tepat waktu, tepat dosis, saing produk pertanian melalui keterpaduan
dan tepat harga yang ditetapkan dengan produk dan pelaku usaha dalam rantai pasok.
kesepakatan; (13) pemerintah perlu meng- Implementasi kelembagaan kemitraan
alokasikan tenaga berdasarkan kebutuhan, terpadu melalui manajemen rantai pasok dan
meningkatkan kualitas sumber daya petani, pengelolaan rantai nilai dapat dipandang
memfasilitasi lembaga kemitraan rantai pasok sebagai model alternatif dapat dilakukan
dan kemudahan melalui regulasi dan fasilitasi, melalui tahapan sebagai berikut: (1) petani
serta mengawasi jalannya kelembagaan melakukan konsolidasi dalam wadah kelompok
kemitraan rantai pasok terpadu; dan (14) tani; (2) kelompok tani-kelompok tani mandiri
pemerintah harus mengalokasikan anggaran dapat ditransformasikan dalam kelembagaan
formal berbadan hukum (koperasi pertanian,
atau dana untuk pembinaan dan peningkatan
koperasi agribisnis, atau kelembagaan lainnya
kapasitas SDM petani dan pendamping, serta
sesuai kebutuhan); (3) kelompok tani mandiri
untuk pengadaan sarana yang dibutuhkan
atau yang sudah dalam kelembagaan berbadan
sebagai penunjang jalannya kelembagaan hukum mengkonsolidasikan diri dalam bentuk
kemitraan rantai pasok terpadu; seperti tempat gapoktan atau asosiasi petani/asosiasi
penampungan hasil, subterminal agribisnis, agribisnis; (4) kelembagaan-kelembagaan yang
pasar petani, pergudangan atau cold storage. telah tergabung tersebut melakukan konsolidasi
Infrastruktur pendukung seperti jalan, air bersih, manajemen usaha pada hamparan lahan yang
energi, dan pasar, pembangunannya harus memenuhi skala usaha, tergantung jenis
diselaraskan dengan program pengembangan komoditas (10–25 ha); (5) pilihan komoditas
kawasan produksi pertanian. atau kelompok komoditas disesuaikan dengan
potensi wilayah dan dinamika permintaan
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 145
Saptana dan Handewi P Saliem Rahman

pasarnya; (6) kemitraan usaha terpadu Nasional XVII dan Kongres XVI Tahun 2014
dilakukan dengan penerapan manajemen rantai Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia.
pasok dan pengelolaan rantai nilai untuk me- Kebijakan untuk Petani: Pemberdayaan
untuk Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang
ningkatkan keterpaduan proses dan keterpadu-
Memberdayakan. Bogor, 28–29 Agustus
an antarpelaku; (7) pemilihan perusahaan mitra 2014.
yang didasarkan atas rekomendasi dari Dinas
dan atau Direktorat Teknis yang didasarkan Bain, J. 1954. Economies of scale, concentration,
and the condition of entry in twenty
atas komitmennya membangun kemitraan
manufacturing industries. American
usaha agribisnis terpadu; dan (8) adanya Economic Review 44(1):15–30.
kelembagaan Pusat Pelayanan dan Konsultasi
Agribisnis (PPA) sebagai mediator dan Baumol. W.J. 1982. Contestable markets: an
uprising in the theory of industry structure.
fasilitator terbangunnya kelembagaan kemitra- The American Economic Review 72(1):1–
an agribisnis terpadu berbasis komoditas 15.
pertanian unggulan.
Church, J, and R. Ware. 2000. Industrial
Organization: A Strategic Approach. New
DAFTAR PUSTAKA York: Irwin Mc Graw-Hill.
Cox, J.F., J.H. Blackstone, and M.S. Spencer (eds).
1995. APICS Dictionary. Falls Church, VA:
Anggraenie, T. 2005. Market structure and price American Production and Inventory Control
variability of agricultural commodities in Society.
Central Sulawesi Province, Indonesia.
Daryanto, A. 2008. Peningkatan nilai tambah
http://webdoc.sub.gwdg.de/ebook/y/2005/an
perunggasan melalui supply chain manage-
ggraenie/anggraenie.pdf (15 Januari 2015).
ment. https://ariefdaryanto.wordpress.com
Asmarantaka, R.W. 2009. Pemasaran produk-produk (15 Januari 2015).
pertanian. hlm. 19–43. Dalam: N. Kusnadi,
Daryanto, A. dan Saptana. 2009. Global value chain
A. Farriyanti, D. Rachmina, dan S. Jahroh
governance (GVCG) pada broiler di
(eds.). Bunga Rampai Agribisnis: Seri
Indonesia: memadukan pertumbuhan,
Pemasaran. Bogor: Departemen Agribisnis,
pemerataan dan keberlanjutan. hlm. 291–
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
332. Dalam: M. Firdaus dan Y.K. Wagiono
Pertanian Bogor.
(eds.). Orange Book: Pembangunan
[ACIAR] Australian Centre for International Ekonomi Berkelanjutan dalam Menghadapi
Agricultural Research. 2012. Membuat Krisis Ekonomi Global. Bogor: IPB Press.
Rantai Nilai Lebih Berpihak Pada Kaum
Demsetz, H. 1983. The structure of ownership and
Miskin. Australian Centre for International
the theory of the firm. Journal of Law and
Agricultural Research. Diterjemahkan oleh
Economic 26:375–393.
Mia Hapsari Kusumawardani. Monograph
No. 148. Canberra: Australian Centre for Dixit, A.K. 1996. The Making Economic Policy:
International Agricultural Research. Transaction-Cost Politics Perspective.
Cambridge: CES and the MITI Press.
Alamsyah, Z., Z. Fathoni, dan M. Suryanti. 2015.
Analisis perilaku pasar karet alam di Ferguson, P.R. 1988. Industrial Economic: Issue and
Provinsi Jambi. hlm. 289–302. Dalam: Perpectives. London: Macmillan Education
Erwidodo, K. Muhri, R.S. Natawidjaja, Ltd.
Saptana, N. Hanani, Darsono, A. Daryanto, Gereffi, G. and M. Korzeniewicz. 1994. Commodity
H. Ismono, R. Oktaviani, A. Rijin, Feryanto, Chains and Global Capitalism. Westport,
dan T.A. Putri (eds.). Prosiding Konferensi CT: Praeger.
Nasional XVII dan Kongres XVI Tahun 2014
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. Gereffi, G. 1999. International trade and industrial
Kebijakan untuk Petani: Pemberdayaan upgrading in the apparel commodity chain.
untuk Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang Journal of International Economics 48:37–
Memberdayakan. Bogor, 28–29 Agustus 70.
2014. Gereffi, G., J. Humphrey, and T. Sturgeon. 2005.
Asriani, P.S., Bonodikun, dan R. Badrudin. 2015. The governance of global value chains.
Arah pemasaran beras lokal sebagai Review of Political Economy 13:78–104.
komoditi pangan pokok sumber karbohidrat Gunasekaran. 2001. Model evaluasi kinerja rantai
di Provinsi Bengkulu. hlm. 179–190. Dalam: pasok. http://digilip.itb.ac.id/files/disk1/68
Erwidodo, K. Muhri, R.S. Natawidjaja, (20 Januari 2015).
Saptana, N. Hanani, Darsono, A. Daryanto, Hutabarat, B., I. Sadikin, dan B. Winarso. 1993.
H. Ismono, R. Oktaviani, A. Rijin, Feryanto, Karakteristik dan perspektif agribisnis
dan T.A. Putri (eds.). Prosiding Konferensi
146 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–148

kentang di Tanah Karo, Sumatera Utara. Dalam: Erwidodo, K. Muhri, R.S.


hlm. 202-240. Dalam: T. Sudaryanto, E. Natawidjaja, Saptana, N. Hanani, Darsono,
Pasandaran, dan A. Djauhari (eds.). A. Daryanto, H. Ismono, R. Oktaviani, A.
Prosiding Perspektif Pengembangan Rijin, Feryanto, dan T.A. Putri (eds.).
Agribisnis di Indonesia. Bogor: Pusat Prosiding Konferensi Nasional XVII dan
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Konggres XVI Tahun 2014 Perhimpunan
Hutagaol, P. 2007. Tinjauan Singkat Atas Asumsi- Ekonomi Pertanian Indonesia. Kebijakan
Asumsi Dasar Teori Ekonomi Neoklasik. untuk Petani: Pemberdayaan untuk
Bahan Kuliah Ekonomi Kelembagaan. Pro- Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang
gram Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Bogor: Memberdayakan. Bogor, 28–29 Agustus
Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian 2014.
Bogor. Pramulya, R. dan D. Agustia. 2014. Analisis rantai
HPSP. 2011. Rantai pasok vs rantai nilai. pasok komoditas kopi Gayo. hlm. 391–398.
https://hortipart.wordpress. com (20 Januari Dalam: Erwidodo, K. Muhri, R.S.
2015). Natawidjaja, Saptana, N. Hanani, Darsono,
A. Daryanto, H. Ismono, R. Oktaviani, A.
Indrajit, R.E. dan R. Djokopranoto. 2002. Konsep Rijin, Feryanto, dan T.A. Putri (eds.).
Manajemen Supply Chain. Jakarta: PT Prosiding Konferensi Nasional XVII dan
Gramedia Widiasarana Indonesia. Konggres XVI Tahun 2014 Perhimpunan
Ilham, N., Saptana, A. Purwoto, T. Nurasa, dan Y. Ekonomi Pertanian Indonesia. Kebijakan
Supriyatna. 2015. Kajian Pengembangan untuk Petani: Pemberdayaan untuk
Industri Peternakan Mendukung Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang
Peningkatan Produksi Daging. Laporan Memberdayakan. Bogor, 28–29 Agustus
Penelitian. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi 2014.
dan Kebijakan Pertanian. Purwoto, A., R. Sayuti, dan T. Sudaryanto. 1993.
Kaplinsky, R. and M. Morris. 2001. A Handbook for Prospek pengembangan agribisnis pisang
Value Chain Research. Brighton: Institute of di Indonesia. hlm. 77–101. Dalam: T.
Development Studies, University of Sussex. Sudaryanto, E. Pasandaran, dan A.
Djauhari (eds.). Prosiding Perspektif
Krugman, P.R. dan M. Obstfeld. 1994. Ekonomi
Pengembangan Agribisnis di Indonesia.
Internasional Teori dan Kebijakan. Edisi ke-
Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
2. Jakarta: Universitas Indonesia dan
Pertanian.
Hasper Collins Publishers.
Poerwanto, R. 2013. Membangun sistem baru
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2011.
agribisnis hortikultura Indonesia pada era
Rancangan Strategis Kementerian
pasar global. Makalah disampaikan pada
Pertanian Tahun 2010–2014. Jakarta:
Seminar Nasional Hortikultura, Bogor, 10
Kementerian Pertanian.
Oktober 2013.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Laporan
Ravallion, M. 1986. Testing market integration.
Data Kinerja Kementerian Pertanian Tahun
Journal of American Agricultural Economics
2004–2012. Jakarta: Kementerian Pertanian.
68(1):102–109.
Lindert, P.H. dan C.P. Kindleberger. 1993. Ekonomi
Rahman, H.P.S. 1997. Aspek permintaan,
Internasional. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga.
penawaran dan tataniaga hortikultura di
Lokollo, E.M. 2012. Supply chain management Indonesia. Forum Agro Ekonomi 15(1 & 2):
(SCM) atau manajemen rantai pasok. hlm. 44–56.
1–7. Dalam: E.M. Lokollo (ed.). Bunga
Rusastra, IW., W.K. Sejati, S. Wahyuni, dan Y.
Rampai Rantai Pasok Komoditas Pertanian
Supriyatna. 2006. Analisis Kelembagaan
Indonesia. Bogor: IPB Press.
Rantai Pasok Komoditas Peternakan.
Mason, E.S. 1949. The current state of the monopoly Laporan Penelitian. Bogor: Pusat Analisis
problem in the United States. Havard Law Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Review 62(8):1265–1285.
Rochdiani, D. 2015. Analisis struktur dan integrasi
Martin, S. 1994. Industrial Economic Analysis and pasar teh hijau di Jawa Barat (suatu kasus
Public Policy. 2nd ed. New York: Macmillan. pada petani teh rakyat dan industri teh hijau
Marimin dan Magfiroh. 2013. Teknik dan analisis di Kabupaten Bandung dan Kabupaten
pengambilan keputusan fuzzy. Dalam: Tasikmalaya). hlm. 319–328. Dalam:
Manajemen Rantai Pasok. Bogor: IPB Erwidodo, K. Muhri, R.S. Natawidjaja,
Press. Saptana, N. Hanani, Darsono, A. Daryanto,
H. Ismono, R. Oktaviani, A. Rijin, Feryanto,
Mulyani, S., E.S. Rahayu, dan Kusnandar. 2015. dan T.A. Putri (eds.). Prosiding Konferensi
Analisis manajemen rantai pasok jagung di Nasional XVII dan Konggres XVI Tahun
Kabupaten Grobogan. hlm. 223–234. 2014 Perhimpunan Ekonomi Pertanian
TINJAUAN KONSEPTUAL MAKRO-MIKRO PEMASARAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 147
Saptana dan Handewi P Saliem Rahman

Indonesia. Kebijakan untuk Petani: Tradisional untuk Memperkuat Jaringan


Pemberdayaan untuk Pertumbuhan dan Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan. Bogor:
Pertumbuhan yang Memberdayakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Bogor, 28–29 Agustus 2014. Ekonomi Pertanian.
Rahayu, E. S. 2015. Analisis S-C-P pada pemasaran Saptana, H.P.S. Rachman, dan T.B. Purwantini.
cabai di Kabupaten Grobogan. hlm. 211– 2004. Struktur penguasaan lahan dan
221. Dalam: Erwidodo, K. Muhri, R.S. kelembagaan pasar lahan di perdesaan.
Natawidjaja, Saptana, N. Hanani, Darsono, hlm. 120–153. Dalam: H.P.S. Rachman, E.
A. Daryanto, H. Ismono, R. Oktaviani, A. Basuno, B. Sayaka, dan W.K. Sejati (eds.).
Rijin, Feryanto, dan T.A. Putri (eds.). Prosiding Efisiensi dan Dayasaing Sistem
Prosiding Konferensi Nasional XVII dan Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian
Konggres XVI Tahun 2014 Perhimpunan di Lahan Sawah. Bogor: Pusat Penelitian
Ekonomi Pertanian Indonesia. Kebijakan dan Pengembangan Sosial Ekonomi
untuk Petani: Pemberdayaan untuk Pertanian.
Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang Saptana, M. Siregar, S. Wahyuni, S.K. Dermoredjo,
Memberdayakan. Bogor, 28–29 Agustus E. Ariningsih, dan V. Darwis. 2004. Pe-
2014. mantapan Model Pengembangan Kawasan
Stigler, G.S. 1964. A theory of oligopoly. Journal of Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS).
Political Economy 72:44–61. Bogor: Puslitbang Sosial Ekonomi
Sudaryanto, T., Y. Yusdja, A. Purwoto, K.M. Pertanian.
Noekman, A. Iswaryadi, dan W.H. Limbong. Saptana, E.L. Hastuti, Ashari, K.S. Indraningsih, S.
1993. Agribisnis Hortikultura. Monograph Friyatno, Sunarsih, dan V. Darwis. 2005.
Series No. 7. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi Analisis Kelembagaan Kemitraan pada
Pertanian. Komoditas Hortikultura. Bogor: Pusat
Scaffner, D.J., W.R. Schroder, and M.D. Earle. 1998. Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Food Marketing An International Perspec- Pertanian.
tive. New York: McGraw-Hill Companies. Saptana, Sunarsih, dan K.S. Indraningsih. 2006.
Simatupang, P., Muharminto, A. Purwoto, A. Syam, Mewujudkan keunggulan komparatif
G.S. Hardono, K.S. Indraningsih, E. Jamal, menjadi keunggulan kompetitif melalui
dan R. Elizabeth. 1998. Koordinasi Vertikal kemitraan usaha hortikultura. Forum Agro
sebagai Strategi untuk Meningkatkan Ekonomi 24(1):61–76.
Dayasaing dan Pendapatan dalam Era Saptana, A. Agustian, H. Mayrowani, dan Sunarsih.
Globalisasi Ekonomi (Kasus Agribisnis 2006. Analisis Kelembagaan Partnership
Kopi). Bogor: Pusat Penelitian Sosial Rantai Pasok Komoditas Hortikultura.
Ekonomi Pertanian. Laporan Teknis. Bogor: Pusat Analisis
Siregar, H. 2009. Makro-Mikro Pembangunan: Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Kumpulan Makalah dan Esai. Bogor: IPB Saptana. 2010. Tinjauan konseptual mikro-makro
Press. dayasaing dan strategi pembangunan
Saptana, IW. Rusastra, K.M. Noekman, dan T. pertanian. Forum Agro Ekonomi 28(1): 1–18.
Sudaryanto. 1993. Situasi komoditas jeruk Saptana. 2012. Manajemen rantai pasok (supply
di Indonesia: kinerja, kendala dan prospek. chain management) pada komoditas cabai
hlm. 141–165. Dalam: T. Sudaryanto, E. merah di Jawa Tengah. hlm. 97–137.
Pasandaran, dan A. Djauhari (eds.). Dalam: E.M. Lokollo (ed.). Bunga Rampai
Prosiding Perspektif Pengembangan Rantai Pasok Komoditas Pertanian
Agribisnis di Indonesia. Bogor: Pusat Indonesia. Bogor: IPB Press.
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Saptana dan A. Daryanto. 2012. Manajemen rantai
Saptana. 1999. Dampak Krisis Moneter dan pasok (supply chains management) melalui
Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Pro- strategi kemitraan pada industri broiler. hlm.
fitabilitas dan Dayasaing Sistem Komoditi 229–263. Dalam: E.M. Lokollo (ed.). Bunga
Ayam Ras di Jawa Barat. Tesis. Bogor: Rampai Rantai Pasok Komoditas Pertanian
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Indonesia. Bogor: IPB Press.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Saptana dan A. Daryanto. 2013. Dinamika Kemitraan
Bogor. Usaha Agribisnis Berdayasaing dan
Saptana, R. Sayuti, dan K.M. Noekman. 2002. Berkelanjutan. Bogor: Pusat Sosial
Industri perunggasan: memadukan Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
pertumbuhan dan pemerataan. Forum Sudiyono, A. 2001. Pemasaran Pertanian. Edisi ke-
Penelitian Agro Ekonomi 20(1):50–64. 1. Malang: UMM Press.
Saptana, T. Pranadji, Syahyuti, dan R. Elizabeth. Syahyuti, 2012. Pengorganisasian Diri Petani dalam
2003. Transformasi Kelembagaan Menjalankan Agribisnis di Pedesaan: Studi
148 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 2, Desember 2015: 127–148

Lembaga dan Organisasi Petani. Disertasi. untuk Petani: Pemberdayaan untuk


Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pertumbuhan dan Pertumbuhan yang
Politik, Program Pascasarjana Sosiologi, Memberdayakan. Bogor, 28–29 Agustus
Universitas Indonesia. 2014.
Syahyuti. 2014. International year of family farming: Tomeck, W.G. and K.L. Robinson. 1990. Agricultural
mewujudkan keluarga petani Indonesia Product Prices. 3rd ed. Ithaca: Cornell
yang bermartabat. Disampaikan pada University Press.
Seminar Pembangunan Pertanian dan Williamson, O.E. 1985. The Economic Institutions of
Perdesaan, Bogor, 19 Agustus 2014. Capitalism: Firms, Market and Relational
Septiani, M. dan M.F. Alexandi. 2014. Struktur- Contracting. New York: Free Press.
perilaku-kinerja dalam persaingan industri Wargadalam, T.A. 2015. Peta logistik dan harapan
pakan ternak di Indonesia periode tahun mendukung ekspor. Tinjauan Perdagangan
1986–2010. Jurnal Manajemen dan Indonesia 33:41–52.
Agribisnis 11( 2):77–88.
Yusdja, Y. dan Saptana. 1995. Disintegrasi pola
Sinaga, V.R., A. Fariyanti, dan N. Tinaprilla. 2015. kemitraan dan inefisiensi dalam industri
Analisis rantai nilai pemasaran kentang ayam ras. Prosiding Simposium Nasional
Granola di Kecamatan Pengalengan Kemitraan Usaha Ternak. Bogor: Ikatan
Kabupaten Bandung Jawa Barat. hlm. 191– Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan Indonesia
210. Dalam: Erwidodo, K. Muhri, R.S. (ISPI) bekerja sama dengan Balai
Natawidjaja, Saptana, N. Hanani, Darsono, Penelitian Ternak.
A. Daryanto, H. Ismono, R. Oktaviani, A.
Rijin, Feryanto, dan T.A. Putri (eds.). Yunus, M. 1999. Banker to the Poor: Micro-Lending
Prosiding Konferensi Nasional XVII dan and the Battle against World Poverty. New
Konggres XVI Tahun 2014 Perhimpunan York: Public Affair.
Ekonomi Pertanian Indonesia. Kebijakan

Anda mungkin juga menyukai