Anda di halaman 1dari 59

STUDI PEMBUATAN TAHU DARI KECIPIR

Laporan Penelitian
Disusun untuk memenuhi tugas akhir guna mencapai gelar
Sarjana di bidang Ilmu Teknik Kimia

oleh :
Doddy Adrianto (20006200092)

Pembimbing :
Dr. Ir. Tatang H. Soerawidjaja
Johan Utomo, ST.
Nurul Dewanti, ST., MT.

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
BANDUNG
2004
Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknologi Industri
Universitas Katolik Parahyangan Bandung

SURAT PERNYATAAN

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Doddy Adrianto


NRP : 6200092

Dengan ini menyatakan bahwa laporan penelitian (skripsi) dengan judul:

STUDI PEMBUATAN TAHU DARI KECIPIR

adalah hasil pekerjaan saya dan seluruh ide, pendapat atau materi dari sumber lain
telah dikutip dengan cara penulisan referensi yang sesuai.

Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan jika pernyataan ini tidak
sesuai dengan kenyataan, maka saya bersedia menanggung sanksi sesuai peraturan
yang berlaku.

Bandung, Juli 2004

Doddy Adrianto
6200092
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan
berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian tepat
pada waktunya.
Penulisan laporan penelitian dan seminar merupakan salah satu
persyaratan dalam kurikulum pendidikan sarjana Teknik Kimia Strata-I Jurusan
Teknik Kimia Universitas Katolik Parahyangan. Laporan penelitian dan seminar
ini disusun berdasarkan kegiatan akademik pada semester ganjil 2003/2004.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Tatang H. Soerawidjaja, selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan, pengarahan, dan penyediaan literature dalam
penyusunan proposal ini,
2. Ibu Nurul dan Pak Johan atas bimbingan yang telah diberikan,
3. Orangtua, untuk cinta kasih serta dukungan moril dan material yang telah
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan
baik,
4. Herlina yang telah memberikan bantuan dalam menyusun format laporan ini
dan juga memberikan dukungan moril,
5. Seluruh dosen Teknik Kimia Unpar, atas informasi yang bermanfaat dalam
penelitian,
6. Teman-teman jurusan Teknik Kimia, atas dukungan yang diberikan,
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis berharap proposal ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membaca dan membutuhkannya. Segala kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan proposal penelitian ini sangat diharapkan untuk kemajuan penulis.

Bandung, Juli 2004

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
SURAT PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR TABEL viii
INTISARI ix
ABSTRACT x

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tema Sentral Masalah 3
1.3 Identifikasi Masalah 3
1.4 Tujuan Penelitian 3
1.5 Manfaat Penelitian 3
1.6 Premis 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5


2.1 Mengenal Tumbuhan Kecipir 5
2.1.1 Sejarah Tumbuhan Kecipir 5
2.1.2 Taksonomi dan Morfologi 6
2.1.3 Lingkungan Tumbuh Kecipir 8
2.1.4 Multiguna Tumbuhan Kecipir 9
2.2 Sekilas Mengenai Pembuatan Tahu 11
2.3 Karya-karya Peneliti Pendahulu 13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 26
3.1 Bahan 27
3.2 Alat-alat yang Digunakan dalam Percobaan 27
3.3 Metodologi penelitian 27
3.4 Prosedur Kerja Penelitian 28
3.5 Lokasi dan Jadwal Kerja Penelitian 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 39


4.1 Proses Pembuatan Bubur Kecipir 39
4.2 Pembuatan Susu Kecipir 40
4.3 Proses Gelasi 41
4.4 Proses Pencetakan Tahu 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 45


5.1 Kesimpulan 45
5.2 Saran 45

DAFTAR PUSTAKA 46
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Tahu Secara Umum 12


Gambar 3.1 Diagram Alir Prosedur Kerja Percobaan dengan Metode
Modifikasi Rockland 29
Gambar 3.2 Diagram Alir Prosedur Kerja Percobaan dengan
Metode Adrianto 31
Gambar 3.3 Diagram Alir Prosedur Kerja Percobaan dengan
Metode Martin 33
Gambar 4.1 Tahapan Metode Adrianto 38
Gambar 4.2 Tahapan Metode Martin 38
Gambar 4.3 Perbandingan Warna Susu Kecipir yang Diperoleh dari
Metode Modifikasi Sri Kantha dan Metode SDS 40
Gambar 4.4 Gumpalan Protein yang Terbentuk 41
Gambar 4.5 Tahu Metode Martin 43
Gambar 4.6 Tahu Metode Adrianto 43
Gambar 4.7 Tahu Digoreng Tanpa Tepung 43
Gambar 4.8 Tahu Digoreng dengan Tepung 44
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Perbandingan Nilai Gizi Kecipir dan Kedelai (per 100 gram bahan) 2
Tabel 2.1 Multiguna Tumbuhan Kecipir Bagi Kehidupan Makhluk Hidup 11
Tabel 2.2 Hasil Penelusuran Penelitian Zat Penggumpal 17
Tabel 2.3 Hasil Penelusuran Bahan Kimia Penyebab Munculnya
Gumpalan Berlendir 18
Tabel 3.1 Jadwal Tentatif Kegiatan Penelitian 35
Tabel 4.1 Hasil Kalibrasi 37
Tabel 4.2 Hasil Penelitian Utama 42
INTISARI

Di Indonesia, tahu dan tempe merupakan makanan yang banyak digemari


oleh masyarakat. Kedua jenis makanan ini merupakan makanan berprotein nabati
tinggi yang terbuat dari kacang kedelai. Kedelai merupakan tanaman sub-tropik
sehingga kedelai kurang cocok untuk dibudidayakan di Indonesia yang memiliki
iklim tropik, akibatnya untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan kedelai,
Indonesia mengimpor kedelai. Oleh sebab itu, perlu diusahakan pencarian bahan
baku lain sebagai sumber protein (pensubsitusi atau pengganti kedelai) yang dapat
dibudidayakan secara produktif di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah menentukan perlakuan awal yang tepat bagi
biji kecipir dan mendapatkan cara pembuatan susu kecipir yang dapat diolah
menjadi tahu yang berwarna putih tanpa bau langu.

Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu percobaan pendahuluan dan


percobaan utama. Pada percobaan pendahuluan dilakukan variasi pada perlakuan
awal dan pembuatan susu kecipir. Susu kecipir yang dihasilkan kemudian
dikoagulasikan dengan CaCl2 0,25 M. Metode pembuatan susu kecipir terbaik
diambil dan digunakan pada percobaan utama. Percobaan pendahuluan dilakukan
dalam dua bagian. Bagian pertama adalah seleksi metode perlakuan awal kecipir,
sedangkan bagian kedua adalah metode pembuatan susu kecipir. Metode
perlakuan awal yang akan diseleksi adalah metode Adrianto, metode Martin
(www.foodpreparation.com), dan modifikasi metode Rockland. Bagian kedua dari
percobaan pendahuluan adalah seleksi metode pembuatan susu kecipir. Metode
pembuatan susu kecipir yang akan diseleksi adalah modifikasi metode Sri Kantha
dkk.(1983) dan modifikasi metode S. K. Sathe, Deshpande dan D. K. Salunkhe.
Hasil penelitian bagian pertama memperlihatkan bahwa metode Adrianto dan
metode Martin mempermudah pengupasan kulit kecipir dan menghasilkan tahu
yang dapat dicetak dan digoreng. Hasil penelitian bagian kedua memperlihatkan
bahwa susu kecipir yang dihasilkan dari modifikasi metode Sri Kantha berwarna
krem dan susu kecipir yang dihasilkan dari modifikasi metode S. K. Sathe,
Deshpande dan D. K. Salunkhe berwarna putih.
ABSTRACT

In Indonesia, tofu and tempe are food which liked the most by society.
Both types of this are food which have made from soybean with high vegetation
protein. Soy is crop of sub-tropic climate so that soy less suited for conducting in
Indonesia which owning tropic climate, as a result to fulfill most requirement of
soy, Indonesia import soy from other countries. On that account, require to be
laboured seeking of other raw material as source of protein (substitution of soy)
conducting which can productively in Indonesia.
Target of this research is to determine the correct early treatment to kecipir
seed and get the way of making of milk of kecipir able to be processed to become
tofu which is colour is white and without bed smell.
This research consist of two steps, those are early experiment and main
exoperiment. At early experiment variation which cn be done are variation of
early treatment and making of milk of kecipir. Milk of kecipir which be yielded
later; then coagulated with CaCl2 0.25 M. method making of milk of kecipir taken
best and used for main experiment. Early experiment divided in two section. First
section is the selection of early treatment method for kecipir, while second section
is method making of milk of kecipir. Method of early treatment to select is
method of Adrianto, method of Martin (www.foodpreparation.com), and
modification method of Rockland. Second section of early experiment is selection
method making of milk of kecipir. Method making of milk of kecipir to select is
modification method of Sri Kantha et al.(1983) and modification method S.K.
Sathe, Deshpande, and D. K. Salunkhe.
This research result of first section shows that method of Adrianto and
method of Martin makes the peel of kecipir seeds easy to be removed and yield
tofu which be able to be formed and fried. Result of second section shows that
milk of kecipir yielded from modification method of Sri Kantha has beige colour
of milk and milk of kecipir yielded of modification method S.K. Sathe,
Deshpande and D. K. Salunkhe has white colour.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia, tahu dan tempe merupakan makanan yang banyak digemari
oleh masyarakat. Kedua jenis makanan ini merupakan makanan berprotein nabati
tinggi yang terbuat dari kacang kedelai. Pada tahun 1971, FAO (Food and
Agriculture Organization) menyatakan bahwa 87 % konsumsi protein rata-rata
penduduk Indonesia berasal dari protein nabati terutama kacang-kacangan
[Anonim (1978)]. Konsumsi protein ini dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi
dan tingkat pengetahuan masyarakat tentang gizi. Masyarakat Indonesia
dianjurkan untuk mengkonsumsi protein sebanyak 55 gram tiap hari. Namun
kenyataan menunjukkan bahwa konsumsi protein penduduk pada daerah tandus
hanya berkisar di antara 20 30 gram per hari [Anomim (1978)].
Kedelai merupakan tanaman sub-tropik sehingga kedelai kurang cocok
untuk dibudidayakan di Indonesia yang memiliki iklim tropik, akibatnya untuk
memenuhi sebagian besar kebutuhan kedelai, Indonesia mengimpor kedelai dari
negara lain yang tentunya akan menyedot devisa negara. Oleh sebab itu, perlu
diusahakan pencarian bahan baku lain sebagai sumber protein (pensubsitusi atau
pengganti kedelai) yang dapat dibudidayakan secara produktif di Indonesia dan
dapat terjangkau oleh masyarakat Indonesia, sehingga impor kedelai dapat
dikurangi.
Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.) merupakan tanaman tropik
yang berpotensi menjadi sumber protein dan memiliki nilai gizi yang tinggi.
Selain itu, produktifitas tanaman kecipir cukup tinggi dan cocok untuk
dibudidayakan di Indonesia yang memiliki iklim tropik. Di Indonesia, hasil panen
tanaman kecipir (2-5 ton/ha/musim tanam) biji kering jauh lebih tinggi daripada
hasil panen kedelai (1,2 ton/ha/tahun) [NAS (1975)]. Sri Kantha dan Erdman
(1984) mencatat bahwa produktifitas biji kering kecipir di Costa rica dan Papua
Nugini masing-masing sebesar 3,78 ton/ha/musim tanam dan 5,42 ton/ha/musim
tanam, sedangkan potensi hasil panen biji kering kecipir di Indonesia merupakan
yang terbesar kedua di dunia setelah Papua Nugini [Kantha (1984)].
Berdasarkan fakta bahwa tanaman kecipir sudah dikenal di Indonesia dan
data nilai gizi yang disajikan dalam Tabel 1.1 menunjukkan bahwa kandungan
protein, lemak, dan karbohidrat biji kecipir mirip dengan biji kedelai maka dapat
disimpulkan bahwa kecipir memiliki potensi besar sebagai bahan pengganti
kedelai.
Tabel 1.1 Perbandingan Nilai Gizi Kecipir dan Kedelai (per 100 gram bahan)
Energi Protein Lemak Karbohidrat Ca P Fe Vit A Vit B1
Nama Bahan
kal g g g mg mg mg RE mg
Kacang Kedelai 286 30.2 15.6 30.1 196 506 6.9 12 0.9
Kecipir (biji) 405 32.8 17 36.5 80 200 2 0 0.03
Sumber : Fachruddin (2000)

Meskipun biji kecipir memiliki nilai gizi (kandungan protein, lemak, dan
karbohidrat) yang hampir sama dengan kedelai, tetapi usaha penggantian biji
kedelai oleh biji kecipir mengalami beberapa kendala. Sebagai contoh, pada
pembuatan tempe dengan bahan baku biji kecipir diperoleh tempe dengan tekstur
yang keras dan berbau langu [Anggraini dkk. (1981); Mulyati (1986)]. Pada
pembuatan tahu kecipir dengan prosedur konvensional pembuatan tahu kedelai,
menggunakan aneka zat perendam dan zat pengendap, diperoleh produk akhir
(tahu) yang berlendir, mudah pecah, berbau langu, dan berwarna gelap [Jenni dan
Jessi (2000)]. Candra berhasil membuat tahu yang tidak mudah pecah dan tidak
berlendir, tetapi masih berbau langu dan berwarna gelap (tidak putih seperti tahu
dari kacang kedelai) [Hermawan (2001)].

Latar belakang tersebut menunjukkan masih perlunya dilakukan penelitian


untuk mendapatkan tahu kecipir dengan kualitas tekstur dan aroma yang lebih
baik (tidak berbau langu). Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh peneliti
pendahulu dan juga studi literatur, penyebab tekstur yang berwarna gelap dan
berbau langu diduga disebabkan oleh zat perendam dan metode perendaman
(perlakuan awal), jumlah air yang digunakan pada pembuatan susu, zat pengendap
yang digunakan [Wang (1984); Kantha (1983); www.echonet .org], dan adanya
senyawa antigizi seperti sianida dan polifenol, serta senyawa lipoksigenase. Oleh
sebab itu, penelitian ini secara khusus dilakukan untuk mempelajari proses
koagulasi protein dari susu kecipir, penghilangan bau langu, dan membuat tahu
berwarna putih dengan penampakan dan tekstur yang baik.

1.2 Tema Sentral Masalah


Sehubungan dengan latar belakang masalah, maka tema sentral
masalah dalam penelitian adalah mengupayakan penggantian kedelai
dengan biji kecipir dalam proses pembuatan tahu dengan inti masalah
penelitian adalah mencari metode terbaik untuk mendapatkan perlakuan
awal dan susu kecipir yang dapat diolah menjadi tahu yang putih tanpa bau
langu.

1.3 Identifikasi Masalah


Masalah-masalah yang akan diatasi sehubungan dengan inti masalah
penelitian adalah sebagai berikut :
1. perlakuan awal terhadap biji kecipir diduga mempengaruhi tahu yang
terbentuk, sehingga perlu diuji-cobakan.
2. cara yang betul-betul baik mendapatkan susu kecipir atau supernatan untuk
pembuatan tahu yang berwarna putih dan tanpa bau langu belum ada.

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan spesifik dari studi pembuatan tahu dari biji kecipir adalah
menentukan perlakuan awal yang tepat bagi biji kecipir dan mendapatkan cara
pembuatan susu kecipir yang dapat diolah menjadi tahu yang berwarna putih
tanpa bau langu.

1.5 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian pembuatan tahu dari kecipir yang tidak berbau langu dan
berwarna putih dapat digunakan untuk pembuatan tahu dari kecipir dalam skala
komersial sehingga tahu dari kecipir dapat dikonsumsi oleh masyarakat luas.

1.6 Premis
Hasil penelitian Jennie dan Jessie Santosa (2000) menunjukkan bahwa:
1. Pembuatan tahu kecipir dengan metode pembuatan tahu secara konvensional
tidak dapat menghasilkan gumpalan protein kecipir yang bisa dibentuk
menjadi tahu.
2. Jenis koagulan yang terbaik adalah CaCl2.
Hasil penelitian Chandra Hermawan (2001) menunjukkan bahwa:
1. Variasi perlakuan awal yang paling baik adalah metode Martin, sedangkan
metode pembuatan susu kecipir yang paling baik adalah metode Sri Kantha
dkk. (1983).
2. Koagulan yang terbaik adalah CaCl2 dengan konsentrasi 0,05 M.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mengenal Tumbuhan Kecipir


2.1.1 Sejarah Tumbuhan Kecipir
Sentrum utama asal tanaman kecipir adalah Asia tropika. Menurut Nikolai
Ivanovich Vavilov, ahli botani Rusia, sentrum sumber genetik tanaman kecipir
berasal dari India.

Dalam perkembangan selanjutnya tanaman kecipir meluas di Asia


Tenggara. Sentrum utama penyebaran tanaman kecipir antara lain Papua Nugini,
Malaysia, Vietnam, Burma, Filipina, Thailand, Srilanka, dan Indonesia. Namun
pada akhir abad ke-16, Georg Everhard Rumphius, dijabarkan dari catatan sejarah,
menemukan suatu spesies tanaman yang sekarang kita kenal sebagai kecipir
(Psophocarus tetragonolobus L.). Rumphius menemukan tanaman ini di Pulau
Amboina yang sekarang merupakan bagian dari Indonesia. Penjabaran Rumphius
tentang spesies ini ialah sebagai tumbuhan yang merambat, akarnya berumbi
(seperti lobak), mempunyai empat buah kelopak yang panjangnya satu kaki dan
lebar satu jari serta dilengkapi dengan pinggiran yang berupa sayap yang
berlekuk-lekuk. Dia juga yakin bahwa kecipir yang dikenal di Amboina,
kemungkinan berasal dari Jawa atau Bali.
Pada akhir abad ke-19 kecipir sudah memiliki penyebaran yang luas secara
equatorial terbentang dari garis lintang Selatan 21o (gabungan pulau di sebelah
barat dari Samudra India) sampai garis lintang Utara 25o ( daerah Assam di Timur
Laut dari India). Pada gabungan pulau di sebelah barat Samudra India
penyebarannya pada garis bujur barat 55o sampai garis bujur timur 155o di sebelah
timur Papua New Guinea.
Pada saat ini terdapat dua jenis tanaman kecipir yaitu kecipir hutan
(Psophocarpus palustris) yang banyak digunakan sebagai penutup tanah di
perkebunan karet dan kelapa sawit [Kantha (1984)] dan kecipir yang biasa
dikonsumsi (Psophocarpus tetragonolobus L.).
Meskipun kecipir umumnya ditanam di daerah tropis, tetapi hasilnya telah
dikenal di dunia. Nama internasional kecipir adalah Wing Bean, Goa Bean,
Winged Pea, dan Winged Bean. Di Indonesia, kecipir mempunyai banyak nama
daerah antara lain jaat (Jawa Barat), cipir atau kecipir (Jawa Tengah dan Jawa
Timur), kalongkang (Bali), kacang embing (Palembang), dan kacang belimbing
(Sumatera Barat).

2.1.2 Taksonomi dan Morfologi


Para ahli botani mengklasifikasikan tanaman kecipir dengan sistematika
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Dicotylledonae (biji berkeping dua )

Ordo : Leguminales
Famili : Papilionaceae
Genus : Psophocarpus
Spesies : Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC.
Umur kecipir sekitar satu tahun (annual), kadang-kadang lebih. Tanaman
berbentuk perdu dan merambat dengan lilitan ke kiri. Susunan tubuh dan bentuk
morfologi tanaman kecipir adalah sebagai berikut:
1. Akar (Radix)
Akar tanaman kecipir tumbuh sedalam 30 cm dan menyebar ke semua arah.
Karakteristik akar, seperti akar tanaman kedelai atau kacang-kacangan
lainnya, mampu membentuk bintil-bintil atau nodula-nodula akar, hasil
simbiosis dengan bakteri Rhizobium sp. Bakteri Rhizobium mengikat
nitrogen bebas dari uadara, sehingga unsur nitrogen tersedia dalam bintil
akar. Makin banyak bintil-bintil akar, makin tinggi ketersediaan unsur
nitrogen untuk meningkatkan kesuburan tanah. Tanaman kecipir berumur 4 -
8 bulan biasanya berkemampuan membentuk umbi. Akar-akarnya berubah
bentuk, membesar dan berfungsi menyimpan cadangan makanan. Ukuran
umbi bervariasi: rentang panjang 8 -12 cm dan rentang garis tengah
(diameter) 2 4 cm. Umbi kecipir, disebut kadadangkel (Jawa Barat),
merupakan bahan makanan bergizi tinggi. Di samping itu, umbi tanaman
kecipir dapat dijadikan bahan baku industri gula cair dan perekat. Di
Myanmar, umbi kecipir dipanen pada umur 4 8 bulan dan menghasilkan 4,0
ton umbi basah/hektar.
2. Batang (Caulis)
Batang tanaman kecipir merambat dengan membelit ke kiri, beruas-ruas serta
berbulu. Batangnya berwarna hijau atau hijau kemerah-merahan sampai
kecokelat-cokelatan (lembayung). Apabila ujung batang dipangkas akan bertunas
dan membentuk percabangan. Tempat perambatan batang tanaman kecipir dapat
berupa turus dari bambu atau dari pohon-pohon lainnya. Dalam skala budi daya,
biasanya dibuat turus setinggi 2,5 meter yang saling dihubungkan dengan tali atau
gelagar.
3. Daun (Folium)
Daun kecipir berbentuk seperti ujung tombak, tersusun majemuk ganda tiga
dalam tangkai yang agak panjang. Warna daun muda (pucuk) umumnya hijau
muda, tetapi setelah tua berubah menjadi hijau tua. Tangkai daun melekat
pada buku-buku batang. Sosok tanaman secara keseluruhan tampak rimbun.
Daun kecipir dapat dimanfaatkan sebagai lalap, makanan untuk ternak atau
ikan. Dalam daun kecipir terdapat vitamin A dan protein yang cukup tinggi,
yaitu berkisar antara 5,7 15%.
4. Bunga (Flos)
Bunga kecipir berwarna putih, biru, atau lembayung, berbentuk seperti kupu-
kupu, dan bermekaran pada pagi hari. Kuntum bunga tersusun pada tangkai yang
agak panjang, sehingga tampak menjorok keluar dari habitus tanaman. Bunga
kecipir mempunyai alat kelamin jantan dan betina, sehingga disebut bunga
sempurna (hermafrodit). Bunga kecipir juga mengandung protein dengan kadar
5,6%.
5. Buah (Fructus)
Buah kecipir berbentuk polong persegi empat, panjangnya antara 15 cm- 40
cm, tiap segi bersayap, dan bagian pinggirnya bergerigi. Letak buah
menggantung pada tangkainya. Buah muda berwarna hijau, dan setelah
matang di pohon berubah menjadi cokelat sampai hitam. Ciri khas polong
kecipir adalah bersayap, dan bergerigi, sehingga dinamai Winged Bean
atau kacang bersayap. Tiap polong memiliki biji antara 8 20 butir,
tergantung jenisnya. Buah kecipir ini di Indonesia banyak digunakan dalam
keadaan muda sebagai sayur, karena mengandung protein (1,9 2,9%) dan
kaya akan mineral Ca, Mg, Fe, vitamin B dan vitamin C.
6. Biji (Semen)
Biji kecipir bentuknya bundar dan berukuran kecil. Biji muda berwarna
kuning, dan pada stadium biji tua berubah menjadi cokelat sampai kehitam-
hitaman. Pusat bijinya pendek dan tampak agak menonjol. Biji-biji tua dapat
digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara generatif. Biji kecipir
disebut botor. Biji-biji tua ini juga memiliki kandungan protein yang
terbesar sekitar 32,8%. Biji kecipir juga mengandung banyak protein, lemak,
karbohidrat, dan nutrien lain sehinggga merupakan cadangan makanan bagi
embrionya. Komposisi asam amino biji kecipir hampir sama dengan kedelai,
tapi ada beberapa asam amino dari biji kecipir yang kadarnya lebih banyak
daripada yang dimiliki oleh kedelai, yaitu lisin, fenilalanin, tirosin, dan
leusin. Biji kecipir juga mengandung suatu senyawa yang memberikan bau
yang sangat kuat yaitu bau langu khas kecipir; hal inilah yang membatasi
penggunaan kecipir sebagai bahan makanan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengolahan awal terhadap biji kecipir untuk menghilangkan bau langu
tersebut sehingga dapat digunakan sebagai bahan makanan.

2.1.3 Lingkungan Tumbuh Kecipir


Lingkungan tumbuh ideal bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kecipir
adalah sebagai berikut:
1. Keadaan tanah
Tanaman kecipir mempunyai toleransi yang tinggi terhadap berbagai jenis
tanah. Hampir semua jenis tanah pertanian cocok ditanami kecipir. Tanah
untuk kebun kecipir sebaiknya gembur, subur, banyak mengandung bahan
organik, aerasi dan drainasenya baik, dan mempunyai derajat keasaman (pH)
tanah antara 5,5 6,5.
Tanah yang menggenang atau becek sering menyebabkan berjangkitnya
serangan penyakit tular tanah (soil borne). Tanah yang becek harus
diperbaiki drainasenya dengan cara dibuatkan saluran pembuangan air, baik
di sekeliling petakan maupun antar-petakan.
2. Keadaan iklim
Tanaman kecipir dapat beradaptasi luas baik di dataran rendah maupun di
dataran yang berketinggian 2000 meter dari permukaan laut (dpl). Tanaman
kecipir membutuhkan iklim kering dengan suhu udara antara 15o 32oC,
kelembapan udara (rH) 50% - 90%. Tempat harus terbuka, atau mendapat
sinar matahari penuh, dan curah hujan tahunan 2.500 mm.
Unsur iklim yang amat berpengaruh pada produksi buah (polong) kecipir
adalah curah hujan atau musim. Penanaman kecipir pada musim hujan biasanya
menyebabkan keterlambatan masa berbunga atau berbuah, yaitu sekitar sembilan
bulan setelah tanam. Fase pertumbuhan vegetatif berlangsung cukup lama,
sehingga pembungaan atau pembuahan tertunda beberapa bulan. Penanaman
sebaiknya pada akhir musim hujan atau menjelang musim kemarau, karena
berpengaruh terhadap percepatan pertumbuhan vegetatif, sehingga tanaman yang
berumur empat bulan sudah mulai berbunga atau berbuah.

2.1.4 Multi guna Tumbuhan Kecipir


Tanaman kecipir memiliki banyak potensi kegunaan, meskipun di dalam
biji kecipir terdapat beberapa jenis senyawa pengganggu bila dikonsumsi. Zat
pengganggu tersebut biasa disebut dengan senyawa antigizi, yang terdiri dari
hemaglutinin, polifenol (tannin), tripsin inhibitor, asam fitat dan sianida.
Keberadaan senyawa antigizi seperti asam sianida dan polifenol dapat
menyebabkan rasa pahit. Selain itu biji kecipir juga berbau langu, yang
disebabkan oleh adanya senyawa lipoksigenase. Senyawa-senyawa antigizi ini
menimbulkan cita rasa yang kurang disukai dan mengurangi ketersediaan nutrisi
di dalam tubuh. Selain itu, biji kecipir memiliki warna coklat sampai hitam, yang
pada umumnya kurang disukai oleh konsumen. Bau langu, rasa pahit, dan warna
pada kecipir ini menjadikannya kurang diminati oleh konsumen dalam
penggunaan sebagai bahan makanan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka
perlu dilakukan perlakuan awal terlebih dahulu terhadap biji kecipir agar dapat
mengurangi atau bahkan menghilangkan senyawa-senyawa antigizi tersebut.
Multiguna tanaman kecipir bagi kehidupan makhluk hidup dan
lingkungannya disajikan dalam Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1 Multiguna Tumbuhan Kecipir bagi Kehidupan Makhluk Hidup
dan Lingkungan

No. Nilai Guna Potensi Daya dan Hasil Guna


a. daun-daun muda (pucuk) dapat dijadikan bahan lalap atau sayur
b. bunga bisa dijadikan bahan sayur atau urap
Bahan makanan c. polong muda dapat dibuat lalap, diurap dan disayur
1.
manusia d. polong tua (bijo) bisa dibuat aneka makanan, atau diproses menjadi kecap,
tempe, dan tauco.
e. umbi bisa dikukus dan dijadikan aneka makanan
a. daun kecipir basah atau kering, dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi
b. ampas biji sisa pembuatan minyak kecipir, dapat digunakan untuk makanan
ternak sapi perah dan ayam petelur.
c. umbi dapat dikeringkan menjadi gaplek, pelet, dan tepung untuk rriakanan
2. Makanan ternak
ternak

a. air rebusan daun kecipir, setelah dingin, dapat digunakan sebagai obat tetes mata
dan telinga. Jika air rebusan tadi ditambah adas pulosari dan sedikit air, lalu
dihaluskan menjadi pasta, dapat digunakan sebagai tapal atau penutup bisul.
b. biji-biji kecipir dapat digunakan sebagai pencampur ramuan jamu godog untuk
3. Obat tradisional
penambah nafsu makan, pencegah masuk angin, mual, pusing, dan anti flu.

a. akar tanaman kecipir mampu menambat nitrogen dari udara dengan cara
Tanaman bersimbiosis antara akar dan bakteri Rhizobium, kemudian membentuk bintil-
4. penyubur tanah bintil akar sebagai sumber nitrogen penyubur tanah.
dan penahan b. batang, akar dan daun dapat digunakan sebagai pupuk hijau
erosi dengan cara dibenamkan ke dalam tanah.
c. tanaman kecipir sebagai vegetasi tanah berfungsi sebagai pengendali erosi.
Tanaman a. tanaman kecipir termasuk suku Papilionaceae yang perturrbuhannya cepat
penutup tanah sebagai penutup tanah
5. dan pembasmi b. tanaman keipir dapat berfungsi sebagai pengendali gulma,
gulma terutama gulma alang-alang.

Sumber : Rukmana (2000)

2.2 Sekilas Mengenai Pembuatan Tahu


Tahu adalah suatu jenis makanan yang biasa dibuat dari kacang kedelai.
Tahap-tahap proses untuk membuat tahu dari kacang kedelai dibagi dalam dua
bagian, yang pertama yaitu tahap perlakuan awal (terhadap kacang kedelai yang
akan dibuat tahu) yang terdiri dari perendaman, penggilingan, dan perebusan,
sedangkan tahap yang kedua yaitu tahap pencetakan tahu yang terdiri dari
penyaringan, penggumpalan, dan pencetakan. Gambar 2.1 menampilkan diagram
alir proses pembuatan tahu secara umum.

Kedelai/kecipir kering

Perendaman dalam air


Pencucian
Pengggilingan bersama sedikit air
Penambahan air hingga
Rasio air : kacang tertentu

Bubur kedelai/kecipir kasar

Residu Susu

Pemanasan hingga Pendinginan


mendidih Penambahan koagulan

Buih permukaan
Endapan protein

Pencetakan
Pemerasan

Tahu (dadih) Air dadih

Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Tahu Secara Umum


Sumber : Wang (1984)

Dari Gambar 2.1 terlihat ada beberapa tahap sebelum tahu kedelai dapat
terbentuk, antara lain :
1. Pencucian kacang kedelai
Tujuan dari tahap ini adalah untuk menghilangkan kotoran dan debu
yang terdapat dalam kacang kedelai kering.
2. Perendaman Kacang Kedelai
Tahap ini bertujuan untuk melunakkan struktur sel kacang kedelai dan
untuk meningkatkan laju ekstraksi kacang kedelai.
3. Penggilingan
Pada tahap ini penggilingan dilakukan dengan menggunakan blender.
Proses penggilingan ini merupakan suatu proses ekstraksi. Air yang
digunakan dalam proses penggilingan ini harus air panas karena dapat
menonaktifkan enzim lipoxydase yang memproduksi bau langu. Jika air
yang digunakan terlalu banyak, dapat mengakibatkan perolehan tahu
menjadi kecil dan permukaan tahu menjadi kasar. Sebaliknya jika air
terlalu sedikit, dapat mengakibatkan pemanasan yang berlebihan dan
akan memerlukan energi lebih banyak dalam penggilingan.
4. Pemasakan bubur kedelai
Tahap ini bertujuan antara lain untuk meningkatkan kualitas protein,
meningkatkan rasa susu, dan meningkatkan umur penyimpanan dari tahu.
5. Proses Koagulasi
Proses koagulasi ini antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain : konsentrasi protein dalam susu kedelai, temperatur koagulasi, dan
temperatur pemasakan bubur kedelai.

2.3 Karya-karya Peneliti Pendahulu


Proses pembuatan tahu dari kecipir memiliki jalur yang sama dengan
proses pembuatan tahu dari kedelai, yang berbeda hanya bahan baku (biji kecipir)
yang digunakan dan proses perlakuan awal terhadap bahan baku tersebut. Di
Jurusan Teknik Kimia UNPAR, proses pembuatan tahu dari kecipir ini sudah
diselidiki dua kali, yang pertama oleh peneliti Jenni dan Jessie Santosa dan yang
kedua oleh peneliti Chandra Hermawan, tetapi para peneliti ini belum dapat
memperoleh tahu yang berwarna putih seperti tahu dari kedelai. Oleh karenanya,
masih harus dilakukan penelitian lanjutan mengenai proses pembuatan tahu dari
kecipir. Di bawah ini akan dijelaskan penelitian yang dilakukan oleh peneliti Jenni
dan Jessi Santosa serta peneliti Chandra Hermawan.
Penelitian yang dilakukan Jenni dan Jessie Santosa adalah pembuatan tahu
kecipir dengan metode pembuatan tahu secara konvensional. Penelitian ini dibagi
dalam dua bagian yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada
penelitian pendahuluan, mereka membuat tahu kedelai dan tahu kecipir dengan
metode konvensional pembuatan tahu. Hasil yang diperoleh dari kedelai adalah
gumpalan-gumpalan protein kedelai yang terbentuk berukuran cukup besar ( 0,5
cm), sehingga tahu yang dihasilkan cukup kokoh namun tidak keras dan memiliki
rasa dan aroma yang sama dengan tahu yang umumnya dipasarkan. Di lain pihak,
pada pembuatan tahu kecipir Jenni dan Jessie Santosa mengamati adanya
beberapa kendala yang menyulitkan, antara lain:
1. Proses penggilingan sangat sulit dan memakan waktu lama karena tekstur
yang dimiliki biji kecipir sangat keras.
2. Gumpalan-gumpalan protein yang dihasilkan berbau langu dan berwarna
coklat tua.
3. Gumpalan-gumpalan protein yang terbentuk berukuran sangat kecil,
sehingga tidak dapat dicetak menjadi tahu.
Berdasarkan kendala-kendala yang dihadapi, maka mereka kemudian
melakukan penelitian utama yang bertujuan untuk mengatasi kendala-kendala
tersebut. Penelitian utama ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu :
1. Studi eksperimental tekstur kacang kecipir dan warna serta aroma tahunya.
2. Studi eksperimental penelusuran zat penggumpal yang lebih baik.
3. Percobaan-percobaan penelusuran zat kimia penyebab munculnya gumpalan
berlendir.
Pada percobaan studi eksperimental tekstur kacang kecipir dan warna serta
aroma tahu, peneliti melakukan 7 tempuhan. Berikut ini adalah tahap-tahap
pelaksanaan tempuhan-tempuhan percobaan yang dilakukan oleh peneliti dan
uraian hasil-hasilnya:
1. Tempuhan 1
Tahap-tahap metode konvensional pembuatan tahu diterapkan pada biji
kecipir yang telah direndam selama 24 jam dalam larutan garam-garam
Na2CO3, NaHCO3, NaCl, Na5P3O10 (Rockland dkk. (1979)). Gumpalan tahu
yang terbentuk sangat kecil sehingga tidak dapat dicetak.
2. Tempuhan 2
Berdasarkan hasil dari tempuhan pertama, peneliti menduga santan yang
diperoleh kurang maksimal karena hasil penggilingan kecipir kurang halus,
akibat sangat kerasnya tekstur kecipir. Oleh karena itu, untuk mempermudah
proses penggilingan, pada tempuhan 2 kecipir direbus terlebih dahulu sebelum
digiling. Cara ini malah menyebabkan gumpalan tahu sama sekali tak
terbentuk.
3. Tempuhan 3
Prosedur yang dilakukan sama dengan tempuhan 2, namun air yang
digunakan untuk menggodok kecipir yang telah digiling adalah cairan bekas
perebusan biji sebelum digiling. Namun ternyata hasil yang didapatkan sama
seperti tempuhan 2.
4. Tempuhan 4
Perendaman kedelai pada metode konvensional maksimal memakan waktu
2 jam, sedangkan pada tempuhan 1 dan 2 perendaman kecipir dilakukan
selama 24 jam. Hal ini diduga oleh peneliti menyebabkan hilangnya sari-sari
pada santan kecipir, sehingga penggumpalan tidak maksimal. Oleh karena itu
pada tempuhan ini perendaman dengan larutan garam dilakukan selama 2 jam.
Namun, gumpalan yang dihasilkan tetap kecil.
5. Tempuhan 5
Pada proses penggilingan dengan blender, kecipir dicampur dengan air.
Kontak dengan air menjadi lama karena tekstur kecipir yang keras sukar
dihaluskan. Kontak yang terlalu lama dengan air diduga peneliti dapat
mempengaruhi hasil gumpalan yang akan terbentuk. Selain itu jenis asam
asetat dan cara penambahannya juga diduga peneliti mempengaruhi gumpalan
yang terbentuk. Maka pada tempuhan ini kecipir tidak diblender, melainkan
digiling menjadi tepung (tanpa kontak dengan air); asam yang digunakan
merupakan asam bekas penggumpal tahu kedelai, dan dilakukan variasi cara
penambahan asam. Variasi penambahan asam ini meliputi penambahan secara
perlahan-lahan, secara serentak dengan perbandingan santan dan asam 1:1,
dan 1:1,5. Namun dari semua variasi-variasi yang dicoba, hasil yang
didapatkan sama yaitu gumpalan yang masih kecil.
6. Tempuhan 6
Pada tempuhan ini kecipir yang telah direndam dikupas terlebih dahulu
kulitnya, karena kulit kecipir diduga peneliti mungkin menyebabkan sulitnya
penggumpalan. Namun hasil masih tetap sama, sekalipun penghilangan kulit
kecipir sebelum digiling dapat mengurangi bau langu dan warna coklat pada
santan.
7. Tempuhan 7
Pada tempuhan ini peneliti mencoba pencampuran kedelai (tidak direndam
dengan larutan garam) dan kecipir dengan perbandingan 1:1. Gumpalan yang
terbentuk ada yang besar dan kecil. Tahu yang dihasilkan berwarna coklat,
rasanya pahit, berbau langu, bertekstur lunak, dan jika dibiarkan beberapa jam
tahu ini akan hancur jika dipegang.
Setelah ketujuh tempuhan dilakukan dan gumpalan-gumpalan protein yang
dihasilkan ternyata masih tetap kecil sehingga tidak dapat dicetak menjadi tahu,
Jenni dan Jessie Santosa menduga kuat bahwa hal ini disebabkan oleh tidak
tepatnya jenis zat penggumpal yang digunakan. Karena itu, maka pada tempuhan-
tempuhan berikutnya peneliti melakukan variasi penggunaan jenis zat
penggumpal, yaitu CaSO4, CaCl2, Ca(CH3COO)2, MgCl2, MgSO4, Na2CO3 [Sri
Kantha (1983), Lu (1980)] untuk mendapatkan zat penggumpal yang terbaik.
Tempuhan ini dilakukan dari tempuhan 8 sampai tempuhan 11. Hasil penelitian
disajikan pada Tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2 Hasil Penelusuran Penelitian Zat Penggumpal
Temp Jenis Zat Peman Dapat
Gumpalan
uhan Kecipir Penggumpal asan Ulang Dicetak/Tidak
8 Giling CaSO4 Tidak Kecil Tidak
Giling CaCl2 Tidak Kecil Tidak
Ca(CH3
Giling Tidak Kecil Tidak
COO)2
Giling MgCl2 Tidak Kecil Tidak
Giling MgSO4 Tidak Kecil Tidak
Giling Na2CO3 Tidak Tida ada Tidak
Lendir,
9 Blender CaSO4 Tidak Tidak
kecil
Ca(CH3 Lendir,
Blender Tidak Tidak
COO)2 kecil
Lendir,
Blender MgCl2 Tidak Tidak
kecil
Lendir,
Blender MgSO4 Tidak Tidak
kecil
Lendir,
Blender CaSO4 Ya lebih besar, Tidak
mudah pecah
Lendir,
Ca(CH3
Blender Ya lebih besar, Tidak
COO)2
mudah pecah
Lendir,
Blender MgCl2 Ya lebih besar, Tidak
mudah pecah
Lendir,
Blender MgSO4 Ya lebih besar, Tidak
mudah pecah
10 Blender Na2CO3 Tidak Tidak ada Tidak
Blender Na2CO3 Ya Tidak ada Tidak
Lendir,
11 Blender CaCl2 Tidak Tidak
kecil
Lendir,
Blender CaCl2 Ya Dapat
besar
Gumpalan tahu yang didapatkan peneliti dari hasil percobaan pada
tempuhan 9 hingga 11 bercampur lendir. Peneliti menduga hal ini diakibatkan
oleh bahan kimia yang digunakan sebagai bahan perendam biji kecipir (larutan
garam-garam Rockland). Dugaan ini dikuatkan pula dengan kenyataan bahwa
penerapan prosedur masak-cepat Rockland pada kedelai (pengendap: CaCl2) juga
menghasilkan tahu berlendir, sekalipun tidak separah yang berasal dari kecipir.
Berdasarkan fakta tersebut maka pada tahap berikutnya, Jenni dan Jessie
Santosa melakukan uji-coba variasi jenis bahan kimia yang digunakan sebagai
larutan perendam dengan menggunakan zat penggumpal CaCl2. Zat ini dipilih
karena dapat menghasilkan gumpalan yang paling besar dibandingkan dengan zat
penggumpal lainnya. Berdasarkan jenis bahan kimia yang digunakan sebagai
perendam, tempuhan dibagi menjadi tempuhan 12 sampai tempuhan 16. hasil
penelitian disajikan pada Tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3 Hasil Penelusuran Penelitian Bahan Kimia
Penyebab Munculnya Gumpalan Berlendir

Dapat
Tempuhan Larutan Perendam Gumpalan
Dicetak/Tidak
2,6% NaCl, 1,05% Berupa lendir
12 Tidak
NaHCO3, 0,35% Na2CO3 & mudah pecah
Berupa lendir
2% Na5P3O10, 1,5%
13 & tidak mudah Dapat
NaHCO3, 0,5% Na2CO3
pecah
Berupa lendir
2,25% NaCl, 1,25%
14 & tidak mudah Dapat
Na5P3O10, 0,5% Na2CO3
pecah
Berupa lendir
2% NaCl, 1%
15 & tidak mudah Dapat
Na5P3O10, 1% NaHCO3
pecah
2,75% NaHCO3, Berupa lendir,
16 Tidak
1,25% Na2CO3 berukuran kecil &
mudah pecah

Dari semua tempuhan yang dilakukan oleh Jenni dan Jessie Santosa di atas
dapat diketahui bahwa penggunaan metode Rocland sebagai perlakuan awal
menghasilkan gumpalan protein yang kecil. Selain itu juga tahu yang dihasilkan
berlendir, berbau langu, dan berwarna gelap.
Tinjauan/ulasan di atas jelas menunjukkan peneliti Jenni dan Jessie
Santosa belum dapat menghasilkan tahu dari kecipir yang layak untuk dikonsumsi
oleh masyarakat luas. Penelitian yang dilakukan Chandra Hermawan adalah
proses koagulasi protein dari susu kecipir. Proses ini dilakukan dalam dua tahap,
yaitu percobaan pendahuluan dan percobaan utama. Pada percobaan pendahuluan
dilakukan variasi pada tahap perlakuan awal dan pembuatan susu kecipir. Susu
kecipir yang dihasilkan kemudian dikoagulasikan dengan larutan CaCl2 0,25 M.
Metode pembuatan susu kecipir terbaik diambil dan digunakan untuk percobaan
utama. Pada percobaan utama divariasikan jenis-jenis koagulan dan konsentrasi
koagulan yang digunakan.
Variasi terhadap perlakuan awal yang dilakukan oleh peneliti Chandra
Hermawan berdasarkan referensi dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti Anni
yang melakukan penelitian perlakuan awal biji kecipir untuk meningkatkan nilai
pangan biji kecipir. Pada penelitian perlakuan awal ini peneliti Anni melakukan
berbagai variasi perlakuan awal. Ada dua metode penelitian yang dilakukan oleh
peneliti Anni, yaitu perlakuan secara fisik dengan cara perendaman, perebusan,
pemanggangan, dan penggorengan, sedangkan perlakuan secara kimia dilakukan
dengan cara perendaman dan perebusan juga namun ditambah dengan bahan-
bahan kimia. Selain itu diujicobakan metode Quick Cooking yang diusulkan oleh
Rockland dkk. dengan hanya menggunakan satu bahan kimia perendam saja untuk
mengetahui pengaruh masing-masing bahan kimia tersebut terhadap kemudahan
pengelupasan kulit dan bau langu pada biji kecipir. Dari semua perlakuan tunggal
tersebut, dilakukan pula kombinasi-kombinasi perlakuan.
Perlakuan secara fisik, terdiri dari:

1. Perendaman
Variasi yang dilakukan pada perendaman adalah perendaman dengan air yang
diam dan dengan air yang mengalir. Perendaman biji kecipir dalam air yang
mengalir didekati dengan cara mengganti air rendaman sesering mungkin.
Selain itu dilakukan dua variasi lain yaitu perendaman dengan air panas
(pertama kali atau setiap kali air diganti) dan dalam air biasa. Dari variasi
yang dilakukan tersebut yang terbaik adalah perendaman dengan air yang
mengalir karena memberikan aroma dan warna biji kecipir yang lebih yang
lebih muda.

2. Perebusan
Pada perlakuan ini sama sekali tidak dilakukan variasi. Perebusan hanya
dilakukan dengan cara memasukkan biji kecipir ke dalam air yang mendidih
selama satu jam. Hasil yang diperoleh adalah biji kecipir yang diperoleh
mempunyai kemudahan pengelupasan yang lebih baik daripada perlakuan
perendaman.
3. Penggorengan
Perlakuan penggorengan terhadap biji kecipir dilakukan dengan tiga variasi
yaitu penggorengan tanpa dan dengan minyak goreng serta pembenaman
dalam abu panas. Dari variasi yang dilakukan tersebut hasil yang terbaik
adalah penggorengan tanpa minyak karena dapat mengurangi bau langu.
Namun secara garis besar perlakuan penggorengan ini memberikan hasil
kemudahan pengelupasan yang lebih buruk daripada perendaman dengan air
mengalir dan perebusan.
4. Pemanggangan
Perlakuan pemanggangan dilakukan dengan menggunakan oven pada
temperatur 180oC selama 30 menit. Kondisi operasi yang dipilih didasarkan
pada kondisi yang digunakan pada pemanggangan kue. Hasil yang diperoleh
adalah biji kecipir memberikan aroma yang sangat baik, yaitu aroma kacang
dan bau langunya dapt dikatakan hilang.
Di samping perlakuan tunggal tersebut di atas, dilakukan pula kombinasi
perlakuan fisik dengan cara melanjutkan perlakuan fisik yang satu dengan
perlakuan fisik yang lain, misalnya perebusan yang dilanjutkan dengan
pemanggangan, dan sebagainya. Variasi kombinasi perlakuan fisik yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
Perendaman dengan air mengalir biasa + perebusan
Perendaman dengan air mengalir biasa + penggorengan tanpa minyak
Perendaman dengan air mengalir biasa + pemanggangan
Perebusan + pemanggangan
Perebusan + penggorengan tanpa minyak
Perendaman air mengalir biasa + perebusan + penggorengan tanpa
minyak
Perendaman air mengalir biasa + perebusan + pemanggangan
Dari semua vaiasi kombinasi di atas yang memberikan hasil terbaik adalah
perendaman dengan air mengalir biasa + perebusan karena memberikan aroma
dan kemudahan pengelupasan yang paling baik.
Perlakuan kimia yang dilakukan Anni adalah:
1. Perendaman
Perlakuan perendaman ini dilakukan tanpa variasi waktu, berdasar anggapan
bahwa perendaman selama satu malam adalah hal yang wajar. Bahan-bahan
kimia yang diuji-cobakan adalah Na2SO3, NaOH, H2O2, dan H2SO4 dengan
konsentrasi larutan 1% berat. Perbandingan air dan biji kecipir pada
perendaman ini adalah 2,5 liter per satu kilogram biji kecipir. Hasil yang
diperoleh, dinilai dari segi kemudahan pengelupasan, menunjukkan bahwa
perlakuan perendaman dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang
berbeda-beda tersebut tidak memberikan perbedaan hasil yang signifikan.
Namun bila dinilai berdasar aroma yang dihasilkan, perendaman dengan
H2SO4 memberikan aroma yang paling baik; bau langu dapat dikatakan sudah
hilang, sekalipun tidak beraroma sedap seperti pada aroma yang dihasilkan
dari perlakuan pemanggangan.
2. Perebusan
Pada perlakuan ini, air yang digunakan dibubuhi bahan-bahan kimia yang
diuji-cobakan, yaitu natrium klorida (NaCl), natrium tripolifosfat (Na5P3O10),
natrium bikarbonat (NaHCO3), natrium karbonat (Na2CO3) dan cuka
(CH3COOH) sebanyak 10 20 gram per satu kilogram kecipir. Perebusan ini
dilakukan selama satu jam. Dari hasil yang diperoleh tersimpulkan bahwa
perebusan dengan baking soda (NaHCO3) memberikan kemudahan
pengelupasan dan aroma yang lebih baik daripada garam-garam lain.
Selain perlakuan kimia tunggal juga dilakukan kombinasi 2 perlakuan
kimia tunggal terbaik. Hasil terbaik dari perendaman adalah perendaman dengan
H2SO4 sedangkan perebusan yang terbaik adalah perebusan dengan menggunakan
baking soda NaHCO3. Dari hasil terbaik perlakuan kimia tunggal tersebut, maka
variasi kombinasi perlakuan kimia yang dapat dilakukan adalah perendaman
dengan H2SO4 + perebusan dengan NaHCO3.
Pada penelitian ini, peneliti Anni melakukan variasi-variasi perlakuan
kimia tidak terbatas pada dua variasi di atas. Perlakuan kimia yang menampakkan
hasil yang kurang baik juga dilanjutkan dengan kombinasi perlakuan kimia. Hal
ini dilakukan untuk mengamati apakah perlakuan kimia selanjutnya dapat
mereduksi hasil perlakuan kimia sebelumnya. Sebagai contoh perendaman dengan
NaOH + perebusan dengan NaHCO3, perendaman dengan H2SO4 + perebusan
dengan NaCl dan sebagainya. Hasil yang terbaik dari kombinsi perlakuan kimia
adalah perendaman dengan H2SO4 + perebusan dengan NaHCO3 karena
memberikan aroma dan kemudahan pengelupasan yang paling baik.
Selain perlakuan fisik dan kimia juga dilakukan gabungan perlakuan fisik
dan kimia. Perlakuan ini tidak terbatas hanya pada perlakuan fisik saja sebagai
perlakuan awal. Gabungan perlakuan fisik-kimia ini dapat berupa perlakuan fisik
yang kemudian dilanjutkan dengan perlakuan kimia maupun perlakuan kimia
kemudian dilanjutkan dengan perlakuan fisik. Variasi-variasi yang dilakukan pada
gabungan perlakuan fisik-kimia ini antara lain:
Perendaman air mengalir biasa + perebusan dengan NaCl
Perendaman air mengalir biasa + perebusan dengan Na2CO3
Perendaman air mengalir biasa + perebusan dengan Na5P3O10
Perendaman air mengalir biasa + perebusan dengan NaHCO3
Perebusan + perebusan dengan NaCl
Perebusan + perebusan dengan Na2CO3
Perebusan + perebusan dengan Na5P3O10
Perebusan + perebusan dengan NaHCO3
Perendaman dengan H2O2 + perebusan
Perendaman dengan H2SO4 + perebusan
Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Anni, perlakuan yang dipilih tidak
terbatas hanya pada sepuluh alternatif di atas. Perlakuan fisik ataupun kimia
tunggal yang tidak memberikan hasil pengelupasan kulit dan aroma yang baik
juga divariasikan dalam gabungan perlakuan fisik-kimia ini, misalnya perendaman
dengan air mengalir biasa yang dilanjutkan dengan perebusan dengan NaCl. Hasil
terbaik yang diperoleh dari gabungan perlakuan fisik-kimia ini adalah perebusan
dengan air berbubuhan NaCO3. Penggunaan baking soda ini menjadikan biji
kecipir lebih mudah dikelupas.
Anni juga melakukan uji-coba terhadap metode quick cooking. Prosedur
metode quick cooking ini dilakukan dengan 2 cara yaitu prosedur asli dan variasi
dengan hanya menggunakan satu garam perendam saja. Prosedur metode quick
cooking biasa, yaitu dengan merendam biji kecipir, yang telah direbus selama dua
menit, di dalam larutan yang mengandung 2% natrium klorida, 1% natrium
tripolifosfat, 0,75% natrium bikarbonat, dan 0,25% natrium karbonat dalam
temperatur kamar selama 24 jam. Pada penelitian ini juga dilakukan variasi
komposisi bahan-bahan kimia yang digunakan (NaCl, NaHCO3, Na2CO3,
Na5P3O10) guna mengetahui seberapa jauh pengaruh bahan-bahan kimia tersebut
terhadap upaya pengelupasan kulit biji kecipir. Jumlah komposisi bahan-bahan
kimia tersebut tidak diubah, yaitu sebesar 4%. Perendaman dilakukan dengan
hanya menggunakan satu jenis bahan kimia saja dengan konsentrasi 4%.
Dari hasil penelitian Anni dapay disimpulkan bahwa biji kecipir yang
diolah dengan metode quick cooking menggunakan prosedur asli memberikan
hasil yang paling baik daripada perlakuan-perlakuan lainnya (perlakuan fisik,
kimia, kombinasi perlakuan fisik-kimia, dan metode quick cooking variasi). Kulit
biji kecipir yang dihasilkan dengan metode ini dapat dengan mudah dilepas karena
menghasilkan lendir. Selain itu juga penggunaan larutan H2SO4 dapat
menghilangkan bau langu dari kacang kecipir.
Merujuk pada hasil penelitian Anni maka Chandra Hermawan melakukan
seleksi tahap perlakuan awal pengolahan biji kecipir hanya pada metode quick
cooking sesuai prosedur yang diusulkan oleh Rockland dan metode Martin
(www.foodpreparation.com). Selanjutnya, pada pembuatan susu kecipir dilakukan
seleksi terhadap metode yang biasa dipakai dalam pembuatan tahu kedelai pada
umumnya dan metode yang diusulkan oleh Sri Kantha dkk. (1983).
Berdasarkan hasil dari percobaan pendahuluan, diperoleh bahwa perlakuan
awal dengan metode Martin mempermudah pengelupasan kulit kecipir dan
menghasilkan tahu yang tidak berlendir, sedangkan metode quick cooking juga
dapat mempermudah pengelupasan kulit kecipir bahkan lebih mudah
dibandingkan metode Martin. Sekalipun demikian, metode quick cooking
memiliki beberapa kekurangan: warna dari kecipir dan bubuk kecipir yang
dihasilkan lebih gelap dibandingkan metode Martin. Hal ini terjadi karena pada
metode quick cooking, biji-biji kecipir dengan ukuran yang relatif kecil tidak
dapat dikupas, sementara pada metode Martin dapat dikupas. Kendala lain adalah
endapan yang dihasilkan dari metode quick cooking cenderung membentuk suatu
emulsi padat seperti agar dan ketika digoreng tidak dapat kering. Pada proses
pembuatan susu kecipir, metode Sri Kantha menghasilkan susu kecipir yang dapat
dikoagulasikan baik dan dapat dicetak sedangkan pada metode pembuatan tahu
kedelai pada umumnya menghasilkan susu kecipir yang memberikan hasil
koagulasi yang kurang baik di mana partikel yang terbentuk sangat kecil.
Berdasarkan hasil dari seluruh percobaan pendahuluan maka peneliti
Chandra Hermawan memilih metode Martin untuk perlakuan awal dan metode Sri
Kantha untuk pembuatan susu kecipir.
Percobaan utama dilakukan untuk mengetahui jenis koagulan dan
konsentrasi terbaik dalam pembuatan tahu dari susu kecipir dengan metode Sri
Kantha dan perlakuan awal dengan metode Martin. Tahap-tahap yang dilakukan
adalah :
1. Perlakuan awal biji kecipir
2. Pembuatan bubur kecipir
3. pembuatan susu kecipir
4. Koagulasi protein dan Aging
5. Pencetakan
6. Pendinginan dalam lemari es
7. Penggorengan
Pada percobaan utama divariasikan koagulan dan konsentrasi
pembubuhannya. Koagulan yang digunakan adalah CH3COOH, CaSO4, CaCl2,
Ca(CH3COO)2, MgSO4, dan MgCl2. variasi konsentrasi yang digunakan adalah
0,02M, 0,03M, dan 0,04 M. Dari hasil percobaan diperoleh bahwa koagulan yang
terbaik adalah CaCl2. Untuk mempelajari pengaruh konsentrasi maka Chandra
Hermawan menggunakan koagulan terbaik yaitu CaCl2 yang diperbesar
konsentrasinya.
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa perlakuan awal dngan
metode Martin lebih baik daripada metode Rockland karena tahu yang dihasilkan
metode Martin walaupun masih berbau langu tapi dapat dibentuk, sedangkan
dengan metode rocklan tidak dapat dibentuk menjadi tahu sama sekali. Koagulan
yang terbaik adalah koagulan CaCl2 dengan konsentrasi 0,25 M.
Meskipun tahu dari kecipir yang dihasilkan dari penelitian-penelitian
Chandra Hermawan dan Anni maupun Jenni dan Jessie Santosa belum sebaik tahu
dari kedelai, namun penelitian tersebut telah memberikan banyak informasi
mengenai proses koagulasi protein dari susu kecipir yang dapat digunakan oleh
peneliti selanjutnya sebagai bahan referensi untuk menghasilkan tahu dari kecipir
yang lebih baik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenni dan Jessie Santosa serta
Chandra Hermawan, maka penelitian yang akan dilakukan saat ini adalah
memvariasikan perlakuan awal dan metode pembuatan susu kecipir. Metode
perlakuan awal yang akan diseleksi adalah metode yang diusulkan oleh peneliti
Anni dengan menggunakan larutan 1% H2SO4 dan metode Martin. Peneliti Anni
mengusulkan penggunaan larutan 1% H2SO4 karena H2SO4 merupakan larutan
yang dapat menghilangkan warna gelap dan bau langu dari kecipir karena warna
gelap dari kecipir bersifat volatile dalam larutan H2SO4. Metode pembuatan susu
kecipir yang akan diseleksi adalah metode yang diusulkan oleh Sri Kantha
dkk.(1983) dan metode yang diusulkan oleh S. K. Sathe, Deshpande dan D. K.
Salunkhe.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Seperti telah dibahas dalam Bab II, biji kecipir memiliki kadar protein
tinggi seperti kedelai serta memiliki banyak kegunaan bagi kehidupan makhluk
hidup dan lingkungan, misalnya untuk obat tradisional, tanaman penyubur tanah
dan penahan erosi, dan sebagainya, sehingga berpotensi menjadi sumber protein
pengganti atau pensubsitusi kacang kedelai. Namun kecipir memiliki banyak
kekurangan dibandingkan dengan kacang kedelai seperti warna yang gelap dan
bau yang langu, sehingga menghambat pendayagunaan kecipir sebagai bahan
makanan.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan referensi atau masukan dari para peneliti
pendahulu yang telah melakukan penelitian pembuatan tahu dari kecipir, sehingga
pada penelitian ini diharapkan dapat diperoleh kualitas tahu yang lebih baik dan
dapat diproduksi dalam skala komersial agar tahu dari kecipir dapat dikonsumsi
oleh masyarakat luas.
Berdasarkan masukan dari para peneliti sebelumnya maka penelitian ini
difokuskan pada upaya untuk mendapatkan tahu kecipir dengan kualitas dan
tekstur aroma yang lebih baik. Pada tahap-tahap awal penelitian dilakukan upaya
kalibrasi kemampuan peneliti dalam membuat tahu kedelai.Variasi pada
percobaan yang dilakukan adalah pada perlakuan awal dan metode pembuatan
susu kecipir. Dari variasi percobaan perlakuan awal variabel yang akan diamati
adalah kemudahan pengelupasan kulit kecipir dan penghilangan bau langu dari
kecipir, sedangkan dari variasi metode pembuatan susu kecipir yang akan diamati
adalah perolehan susu kecipir yang dapat dibentuk menjadi tahu kecipir yang
berwarna putih dan tidak berbau langu.
3.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua macam bahan,
yaitu bahan utama dan bahan penunjang. Bahan utama yang digunakan adalah biji
kecipir yang sudah tua dan berwarna gelap. Biji kecipir yang digunakan diperoleh
dari Pasar Bringarjo, Yogyakarta.
Biji kecipir yang sudah tua ini kemudian diberikan perlakuan pendahuluan
hingga terbentuk susu kecipir, sedangkan bahan penunjang yang dipakai adalah
natrium klorida (NaCl), natrium bikarbonat (NaHCO3), natrium tripolifosfat
(Na5P3O10), natrium karbonat (Na2CO3), asam sulfat (H2SO4), cuka (CH3COOH),
kalsium klorida (CaCl2), natrium hidroksida (NaOH). Bahan-bahan penunjang
yang berupa bahan kimia dapat diperoleh dari toko bahan-bahan kimia.

3.2 Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Baskom untuk perendaman
2. alat penggiling / wearing blendor
3. wajan atau panci perebusan
4. kompor gas untuk melakukan perebusan
5. kain penyaring
6. gelas kimia 250 ml untuk koagulasi
7. batu dari semen

3.3 Metodologi Penelitian


Penelitian studi pembuatan tahu dari kecipir dilakukan dalam dua tahap,
yaitu percobaan pendahuluan dan percobaan utama. Pada percobaan pendahuluan
dilakukan variasi pada perlakuan awal dan pembuatan susu kecipir. Susu kecipir
yang dihasilkan kemudian dikoagulasikan dengan CaCl2 0.25 M. Metode
pembuatan susu kecipir terbaik diambil dan digunakan untuk percobaan utama.
Pada percobaan utama hanya dilakukan pencetakan tahu tanpa dilakukan variasi
apapun. Analisis yang digunakan pada penelitian ini hanya analisis secara visual,
yaitu tahu dari kecipir tidak berlendir, dapat dicetak dan digoreng, tidak berbau
langu, dan memiliki rasa seperti tahu dari kedelai pada umumnya.

3.4 Prosedur Kerja Penelitian


Percobaan pendahuluan dilakukan dalam dua bagian. Bagian pertama
adalah seleksi metode perlakuan awal kecipir, sedangkan bagian kedua adalah
metode pembuatan susu kecipir. Hasil yang diperoleh dari bagian pertama
digunakan pada bagian kedua percobaan awal.
Metode perlakuan awal yang akan diseleksi adalah metode Adrianto,
metode Martin (www.foodpreparation .com), dan modifikasi metode Rockland.
Bagian kedua dari percobaan pendahuluan adalah seleksi metode
pembuatan susu kecipir. Metode pembuatan susu kecipir yang akan diseleksi
adalah modifikasi metode Sri Kantha dkk.(1983) dan modifikasi metode S. K.
Sathe, Deshpande dan D. K. Salunkhe. Prosedur percobaan secara keseluruhan
disajikan dalam Gambar 3.1, 3.2, dan 3.3.

Penimbangan kacang
Pencucian

Perendaman dalam
1 % H2SO4
(selama 12 jam)

Perendaman
dua menit dalam air
mendidih

Pengupasan kulit kecipir


24 jam dalam larutan
2% natirum klorida
1% natrium tripolifosfat
0.75% natrium bikarbonat
0.25% natrium karbonat

Pembilasan dengan
Air bersih

Pemasakan
15-20 menit dalam
air mendidih

Pengupasan kulit

Modifikasi Metode S. K. Sathe, S. S.


Modifikasi Metode Sri Deshpande
Kantha dan D.K. Salunkhe

Penggilingan dengan Ditambah 0.2% air (biji kecipir : air = 1 : 5


penambahan air mendidih w/v) campur dalam sebuah wearing blendor
sedikit demi sedikit hingga sampai jadi suspensi yang halus (pH=10) dan
Air : kacang = 2,5 : 1 ekstrak selama 16 jam pada 21oC dengan
(3 menit) dikocok kadang-kadang lalu dipisahkan pada
4oC selama 30 menit pada 10000X g
Perebusan bubur kecipir
selama 7 menit
Residu

Penyaringan Ditambah 0.2% air (residu : air =


1 : 4 w/v) campur dalam sebuah
wearing blendor selama 1 menit (
pH = 10). Ekstrak selama 12 jam
pada 21oC dengan dikocok kadang-
kadang lalu dipisahkan pada 4oC
selama 30 menit pada 10000X g

Residu (dibuang)

Campuran supernatan

Penggumpalan dengan CaCl2


0.25 M

Pencetakan

Penggorengan

Bandingkan

Gambar 3.1 Diagram Alir Prosedur Kerja Percobaan dengan Modifikasi


Metode Rockland

Penimbangan kacang
Pencucian

Perendaman dalam
1% H2SO4 (selama 12 jam)

Perebusan dengan
1% NaHCO3 (selama 3 menit)

Pengupasan kulit kecipir 24 jam


dalam larutan 4% NaHCO3

Pembilasan dengan air bersih

Pemasakan 20-25 menit


dalam air mendidih

Pengupasan kulit

Modifikasi Metode Modifikasi Metode S. K. Sathe, S.


Sri Kantha S. Deshpande dan D.K. Salunkhe

Penggilingan dengan
penambahan air mendidih
sedikit demi sedikit hingga Ditambah 0.2% air (biji kecipir : air = 1 : 5 w/v)
air : kacang = 2,5: 1 (3 menit) campur dalam sebuah wearing blendor sampai
jadi suspensi yang halus (pH=10) dan ekstrak
selama 16 jam pada 21oC dengan dikocok
kadang-kadang lalu dipisahkan pada 4oC selama
30 menit pada 10000X g
Perebusan bubur kecipir
selama 7 menit

Residu

Ditambah 0.2% air (residu : air = 1 : 4 w/v)


campur dalam sebuah wearing blendor
selama 1 menit ( pH = 10). Ekstrak selama
12 jam pada 21oC dengan dikocok kadang-
kadang lalu dipisahkan pada 4oC selama 30
menit pada 10000X g
Penyaringan

Residu (dibuang)

Campuran supernatan

Penggumpalan dengan CaCl2 0.25 M

Pencetakan

Penggorengan

Bandingkan

Gambar 3.2 Diagram Alir Prosedur Kerja Percobaan dengan Metode


Adrianto

Metode Martin
Penambahan larutan 1% NaHCO3
rasio kacang : larutan = 1 : 5

Perebusan, mendidih
selama 3 menit

Penyaringan

Perendaman dalam larutan bekas


perebusan selama semalam

penyaringan

Pencucian dengan air bersih 2 kali

Perebusan, 20-25 menit


kacang : air = 1 : 5

Pengupasan kulit

Modifikasi Metode Modifikasi Metode S. K. Sathe, S. S.


Sri Kantha Deshpande dan D.K. Salunkhe

Penggilingan dengan penambahan Ditambah 0.2% air (biji kecipir : air = 1 : 5 w/v)
air mendidih sedikit demi sedikit campur dalam sebuah wearing blendor sampai
hingga air : kacang = 2,5 : 1 (3 jadi suspensi yang halus (pH=10) dan ekstrak
i) selama 16 jam pada 21oC dengan dikocok
kadang-kadang lalu dipisahkan pada 4oC selama
30 menit pada 10000X g
Perebusan bubur kecipir
selama 7 menit
Residu

Penyaringan

Ditambah 0.2% air (residu : air = 1 : 4 w/v)


campur dalam sebuah wearing blendor
selama 1 menit ( pH = 10). Ekstrak selama
12 jam pada 21oC dengan dikocok kadang-
kadang lalu dipisahkan pada 4oC selama 30
menit pada 10000X g

Residu (dibuang)

Campuran supernatan

Penggumpalan dengan CaCl2 0.25 M

Pencetakan

Penggorengan

Bandingkan

Gambar 3.3 Diagram Alir Prosedur Kerja Percobaan dengan Metode


Martin

3.5 Lokasi dan Jadwal Kerja Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Universitas Katolik
Parahyangan, Jalan Ciumbuleuit 94 Bandung dan di kediaman peneliti di Jalan
Mohammad Yunus 27 Bandung. Jadwal tentatif pelaksanaan penelitian yang
dilakukan disajikan dalam Tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Jadwal Tentatif Kegiatan Penelitian
No Kegiatan Bulan ke- Bulan ke- Bulan ke- Bulan ke-
1 2 3 4
1. Pengumpulan biji
kecipir
2. Pengenalan alat
3. Percobaan
pendahuluan
4. Percobaan utama
( 16 tempuhan)
5. Pembahasan evalu-
atif hasil percobaan
6. Penyelesaian/penu-
lisan laporan
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil yang didapat dari penelitian yang telah
dilakukan beserta pembahasannya. Sebelum pelaksanaan percobaan utama,
dilakukan upaya kalibrasi pembuatan tahu dari kedelai sebanyak 2 kali dengan
menggunakan koagulan CH3COOH 5% v/v. Tahu kedelai yang diperoleh
memiliki tekstur seperti tahu yang terdapat di pasaran, dapat dibentuk dan
digoreng, serta memiliki rasa yang enak.
Setelah pembuatan tahu kedelai diyakini dapat dikuasai/dipraktekkan,
dilakukan upaya kalibrasi pembuatan tahu dari kecipir sebanyak 6 kali. Koagulan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah CaCl2, Jenis koagulan terbaik yang
disarankan oleh peneliti terdahulu (Jeni dan Jessie Santosa serta Chandra
Hermawan). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa koagulan CaCl2
menghasilkan gumpalan protein yang paling besar bila dibandingkan dengan
koagulan lainnya. Tempuhan pertama hingga tempuhan kelima dari percobaan
pembuatan tahu kecipir ini tidak menghasilkan gumpalan protein yang dapat
dicetak menjadi tahu. Baru pada tempuhan keenam dihasilkan gumpalan protein
yang dapat dicetak. Rincian variasi tempuhan yang dilakukan pada upaya kalibrasi
pertama hingga keenam disajikan pada Tabel 4.1. Seluruh tempuhan
menggunakan metode perlakuan awal Martin, kecuali pada tempuhan 2
menggunakan metode Adrianto sedangkan untuk pembuatan susu kecipir
mengunakan metode Sri Kantha.
Tabel 4.1 Hasil Kalibrasi
Upaya Jenis Konsentrasi Pemanasan Pemanasan Kondisi Gelasi Hasil
o
Kalibrasi Koagulan Koagulan Koagulan Susu (T= 83 C)
1 CaCl2 0,25 M tidak tidak tidak tidak dapat dicetak menjadi tahu
2 CH3COOH 5 % v/v tidak tidak tidak tidak dapat dicetak menjadi tahu
3 CaCl2 0,25 M tidak ya tidak tidak dapat dicetak menjadi tahu
4 CaCl2 0,25 M ya tidak tidak tidak dapat dicetak menjadi tahu
5 CaCl2 0,25 M ya ya tidak tidak dapat dicetak menjadi tahu
6 CaCl2 0,25 M ya ya ya dapat dicetak menjadi tahu

Perlu dicatat bahwa sekalipun pada tempuhan keenam dapat diperoleh tahu,
pengamatan menunjukkan bahwa tahu tersebut masih memiliki tekstur yang amat
lunak dan hancur jika digoreng. Namun demikian, berdasar hasil ini maka
konsentrasi dan jenis koagulan yang dipakai pada pengendapan tahu dari susu
kecipir yang dibuat pada percobaan-percobaan utama penelitian ini adalah 0,25 M
CaCl2.
Pada percobaan utama dilakukan variasi-variasi sebagai berikut :
1. Metode Perlakuan Awal
Pada perlakuan awal ini digunakan larutan NaHCO3 dan H2SO4
untuk merendam biji kecipir kering. Setelah dilakukan perendaman dan
perebusan, kacang kecipir tersebut dikupas. Selanjutnya kacang kecipir
tersebut ditaruh dalam nampan dan dikeringkan menggunakan kipas angin.
Hal ini dilakukan karena ketika percobaan dilakukan dengan
menggunakan kacang kecipir yang masih basah (langsung setelah
perlakuan awal), gumpalan protein yang terbentuk kecil dan tidak dapat
dicetak menjadi tahu. Selain itu susu kecipir yang dihasilkan menghasilkan
bau yang relatif lebih menyengat. Bau ini diduga kuat karena kacang
dibiarkan dalam keadaan lembab, sehingga terjadi reaksi yang
menghasilkan bau.
Berdasarkan hasil percobaan dengan menggunakan modifikasi
metode Rockland tahu yang dihasilkan belum memiliki kualitas yang baik
(hal ini akan dijelaskan pada sub bab pencetakan tahu). Di lain pihak,
penerapan perlakuan awal metode Martin dan satu metode baru
(selanjutnya akan disebut metode Adrianto) mempermudah pengupasan
kulit kecipir, dapat menghilangkan bau langu dari biji kecipir, serta dapat
menghasilkan tahu dengan kualitas yang baik. Berikut ini disajikan tampak
visual kecipir bahan percobaan pada akhir berbagai tahap perlakuan
dengan metode Adrianto dan metode Martin.

a b c d e
Gambar 4.1 Tahapan Metode Adrianto
a. hasil perendaman dalam 1% H2SO4 c. perendaman dalam 4%NaHCO3
b. hasil perebusan dalam 1% NaHCO3 d. perebusan dalam air mendidih
e. kacang hasil pengupasan

a b c d
Gambar 4.2 Tahapan Metode Martin
a. penambahan 1% NaHCO3
b. perendaman dalam 1% NaHCO3 bekas perebusan
c. perebusan kacang dalam air bersih
d. kacang hasil pengupasan

2. Metode pembuatan susu kecipir.


Setelah dilakukan perlakuan awal maka percobaan yang dilakukan
berikutnya adalah pembuatan susu kecipir dengan metode Sri Kantha
(yang sudah dimodifikasi) yang selanjutnya akan disebut modifikasi
metode Sri Kantha dan modifikasi metode Sathe, Deshpande, dan
Salunkhe yang selanjutnya akan disebut metode SDS.
Berdasarkan hasil percobaan, didapatkan bahwa susu kecipir yang
diperoleh dengan metode SDS berwarna putih sedangkan yang diperoleh
dengan modifikasi metode Sri Kantha berwarna krem. Hal ini disebabkan
oleh nisbah kacang:air yang digunakan dalam modifikasi metode Sri
Kantha lebih sedikit (nisbah kacang:air = 1:2,5) bila dibandingkan dengan
metode SDS (nisbah kacang:air = 1:5), sehingga diduga lebih sedikit zat
warna krem yang dikandung kacang kecipir melarut di dalam air. Hal ini
terbukti jika pada modifikasi metode Sri Kantha digunakan nisbah
kacang:air = 1:3 warna susu kecipir yang dihasilkan lebih muda.
Meskipun demikian kualitas tahu yang dihasilkan dengan modifikasi
metode Sri Kantha mempunyai kualitas yang lebih baik bila dibandingkan
dengan kualitas tahu yang dihasilkan oleh metode SDS (hal ini akan
dijelaskan pada sub bab proses pembuatan susu kecipir).

4.1 Proses Pembuatan Bubur Kecipir


Setelah perlakuan awal kacang, dilakukan proses pembuatan bubur
kecipir. Pada tahap ini digunakan blender untuk menggiling kacang kecipir yang
digunakan. Nisbah kacang:air = 1:2,5. Sebelum menggunakan nisbah kacang:air =
1:2,5, pada percobaan ini digunakan nisbah kacang:air = 1:3.
Dengan nisbah kacang:air = 1:3, bubur kecipir yang dihasilkan terlalu
encer sehingga gumpalan protein yang terbentuk kecil dan tidak dapat dicetak
menjadi tahu, diduga kuat terjadi karena konsentrasi protein yang terkandung
dalam bubur kecipir tersebut masih terlalu rendah. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Chandra Hermawan. Untuk mengatasi kekurangan ini, salah satu cara
yang diusulkan oleh Aoyagi dkk (1979) adalah meningkatkan konsentrasi protein
dalam susu kecipir melalui pengaturan jumlah air yang digunakan pada proses
pembuatan bubur kecipir.
Ketika dicobakan nisbah kacang:air = 1:1, bubur kecipir yang dihasilkan
terlalu kental sehingga sulit untuk dikeluarkan dari blender dan juga sewaktu
bubur kecipir tersebut dipanaskan di dalam panci selama 7 menit, pada dasar
panci banyak terdapat bubur kecipir yang menjadi gosong. Setelah itu digunakan
nisbah kacang:air = 1:2,5, bubur kecipir yang dihasilkan tidak terlalu kental
maupun encer, sehingga ketika dipanaskan selama 7 menit pada dasar panci tidak
terdapat bubur kecipir yang gosong, selain itu juga gumpalan-gumpalan protein
yang dihasilkan besar sehingga dapat dicetak menjadi tahu.

4.2 Pembuatan Susu Kecipir


Metode pembuatan susu kecipir yang digunakan pada penelitian ini adalah
modifikasi metode Sri Kantha dalam hal perbandingan kacang:air 1:2,5 (asli
menurut Sri Kantha 1:3). Cara ini dipilih karena menghasilkan tahu yang tidak
berbau langu meskipun susu kecipir yang dihasilkan berwarna krem, sedangkan
modifikasi yang dilakukan pada metode SDS adalah dengan mengganti larutan
NaOH dengan air. Metode SDS ini menghasilkan tahu yang berbau langu, tapi
susu kecipir yang dihasilkan berwarna putih (ini disajikan pada gambar 4.3).
Selain itu, pembuatan tahu dengan metode SDS tidak mudah dilakukan oleh
pengusaha tahu kecil karena memerlukan ketersediaan alat sentrifugasi yang
mahal harganya.

a b

Gambar 4.3 Perbandingan Warna Susu Kecipir yang Diperoleh Dengan Metode Modifikasi Sri
Kantha(a) dan Metode SDS(b)

Berikut ini adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuatan susu


kecipir menggunakan metode Adrianto dan metode Martin, dilanjutkan dengan
pembuatan susu kecipir dengan modifikasi metode Sri Kantha.

Penyaringan dengan menggunakan kain kasa untuk memperoleh susu


kecipir. Berdasarkan hasil percobaaan, susu kecipir yang diperoleh berwarna
krem dan memiliki pH 6,5.
Pemanasan susu kecipir bersamaan dengan larutan koagulan CaCl2 0,25 M
sampai susu kecipir menghasilkan buih yang naik ke atas, setelah itu
pemanasan susu kecipir langsung dihentikan. Pemanasan CaCl2 0,25 M
dihentikan setelah larutan tersebut mendidih. Bila digunakan 500 gram
kacang kecipir kering, kacang kecipir basah yang diperoleh berkisar
500-510 gram (karena ada sebagian kacang yang rusak sehingga dibuang
dan pengembangan volume kacang kecipir tidak sebesar kacang kedelai),
sedangkan volume susu kecipir yang diperoleh berkisar 450-500 ml.

4.3 Proses Gelasi

Proses gelasi protein yang terdapat dalam susu kecipir dilakukan dengan
temperatur gelasi 83oC. Temperatur gelasi ini berbeda dengan temperatur yang
digunakan oleh peneliti Chandra Hermawan (temperatur gelasi 70oC). Strategi
meningkatkan temperatur gelasi diperoleh berdasarkan salah satu cara yang
diusulkan oleh Aoyagi dkk(1979). Mereka menyatakan bahwa dengan
meningkatkan temperatur antara 100-110oC, kekakuan (firmness) tahu dapat
meningkat. Volume koagulan CaCl2 0,25 M yang digunakan berkisar 150-200 ml
setiap 450-500 ml susu kecipir. Penetesan larutan koagulan CaCl2 0,25 M
dilakukan dengan cepat dan indikasi penghentian proses penetesan ini adalah jika
tidak terbentuk lagi gumpalan protein. Berdasarkan hasil percobaan, pH akhir
setelah proses gelasi adalah kurang dari 6 dan gumpalan protein yang diperoleh
besar serta dapat dicetak dengan baik (ini disajikan pada Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Gumpalan Protein yang Terbentuk


4.4 Proses Pencetakan Tahu

Proses pencetakan tahu yang dilakukan oleh Chandra Hermawan masih


menggunakan tangan, sedangkan proses pencetakan tahu pada penelitian ini sudah
menggunakan alat cetak. Pencetakan tahu yang terbentuk menggunakan alat pres
dan kain kasa (kain kasa digunakan agar air dadih dapat keluar dari dadih ketika
dadih dipres mengunakan alat pres).

Hasil percobaan menunjukkan bahwa tahu yang terbentuk memiliki tekstur


luar yang licin seperti tahu pada umumnya dan tidak basah. Setelah pencetakan
tahu selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah penggorengan tahu. Hasil
pencetakan tahu ditampilkan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Penelitian Utama

Tekstur
Warna Luar
Spesifikasi pH susu
susu Licin Seperti
Tempuhan kecipir Dalam
kecipir Basah Tahu Warna
Umumnya
sedikit
Metode 1-1 krem 6.5 ya tidak coklat agak padat
sedikit
Metode 1-2 krem 6.5 sedikit basah ya coklat padat
sedikit
Metode 1-3 krem 6.5 sedikit basah ya coklat padat
Metode 2-1 putih 6.5 sedikit basah ya putih padat
Metode 2-2 putih 6.5 sedikit basah ya putih padat
Metode 2-3 (tidak
dilakukan) - - - - - -

Tabel 4.2 Hasil Penelitian Utama (lanjutan)

Perolehan
Berat Biji Berat (%)
Spesifikasi Cara
Rasa Aroma Tahu Kecipir Tahu Terhadap
Tempuhan Penggorengan
Basah (g) (g) Biji Kecipir

bisa (dengan dan


Metode 1-1 tanpa tepung) sedikit pahit enak 503 111 22.1
Metode 1-2 bisa (tanpa tepung) Enak enak 402 87 21.6
Metode 1-3 bisa (tanpa tepung) Enak enak 405 85 21.0
Metode 2-1 bisa (tanpa tepung) Enak berbau langu 255 53 20.8
Metode 2-2 bisa (tanpa tepung) Enak berbau langu 253 54 21.3
Metode 2-3 (tidak
dilakukan) - - - - - -
Keterangan:
Modifikasi Metode Rockland + Modifikasi Metode
Metode 1-1 Sri Kantha
Metode1-2 Metode Adrianto + Modifikasi Metode Sri Kantha
Metode 1-3 Metode Martin + Modifikasi Metode Sri Kantha
Metode 2-1 Metode Adrianto + Metode SDS
Metode 2-2 Metode Martin + Metode SDS
Modifikasi Metode Rockland + Metode SDS
Metode 2-3 (tidak dilakukan)

Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa tahu yang dibuat melalui:

Metode perlakuan awal metode Martin dan metode Adrianto dapat digoreng
sampai kering tanpa menggunakan tepung, tekstur bagian dalam tahu
tersebut padat, memiliki rasa tahu yang enak dan tahu tersebut sudah tidak
berbau langu. Berikut ini disajikan gambar tahu yang sudah dicetak dan
digoreng :

Gambar 4.5 Tahu Metode Martin

Gambar 4.6 Tahu Metode Adrianto

Hasil percobaan dengan perlakuan awal menggunakan metode modifikasi


Rockland menghasilkan tahu yang memiliki tekstur luar yang kasar seperti
tahu Sumedang dan basah, memiliki rasa yang sedikit pahit tapi tahu
tersebut sudah tidak berbau langu. Berikut ini disajikan gambar tahu yang
sudah dicetak dan digoreng dengan tepung maupun tanpa menggunakan
tepung:
Gambar 4.7 Tahu Digoreng Tanpa Tepung

Gambar 4.8 Tahu Digoreng Dengan Tepung


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Meskipun tahu kecipir yang dihasilkan masih belum sebaik tahu kedelai,
penelitian ini telah menghasilkan banyak informasi mengenai pembuatan tahu dari
kecipir. Informasi-informasi tersebut dapat diikhtisarkan menjadi beberapa
kesimpulan berikut:

1. Kacang kecipir yang digunakan untuk dalam keseluruhan proses pembuatan


tahu kecipir harus dalam keadaan kering (tidak lembab).
2. Metode perakuan awal yang menghasilkan tahu yang dapat dicetak dan
digoreng adalah metode Adrianto dan metode Martin.
3. Tahu yang dihasilkan metode Adrianto dan metode Martin sudah tidak berbau
langu.
4. Pada pembuatan susu kecipir, digunakan nisbah kacang:air yang lebih sedikit
dibandingkan dengan susu kedelai (nisbah kacang kecipir:air = 1:2,5).
5. Temperatur gelasi untuk pembuatan tahu dari kecipir lebih tinggi
dibandingkan tahu dari kedelai yaitu pada temperatur 83oC.
6. Dengan menggunakan metode Adrianto dan metode Martin yang dilanjutkan
dengan metode modifikasi Sri Kantha, dadih yang terbentuk sudah dapat
dicetak menjadi tahu, layaknya seperti pencetakan tahu dari kedelai.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dihasilkan, beberapa saran yang dapat


digunakan sebagai masukan bagi penelitian lanjutan/penerus adalah:

1. Perlu dilakukan upaya pengupasan kulit kecipir yang lebih efektif dalam
jumlah yang banyak dan skala yang lebih besar.
2. Metode SDS dapat menghasilkan susu kecipir yang berwarna putih, tapi tahu
yang dihasilkan berbau langu. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelusuran
yang lebih lanjut mengenai cara menghilangkan bau langu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anggraini, S., Suhardi, Usaha Pemanfaatan Biji Kecipir Sebagai Bahan


Makanan, Laporan Penelitian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Gajah Mada (UGM), 1981.
2. Anonim, Psophocarpus tetragonolobus,
3. http://www.leafforlife.com/PAGES/PSOPHOCA.HTM.
4. Anonim, Leguminose, Four Angled Bean or Winged Bean,
http://www.sci-ctr.edu.sg/ssc/publication/veg/wingedbe.html.
5. Cerny, K., Kordylas, M., Pospisil, F., Svabensky, O. and Zajic, B., Nutritive
Value of Winged Bean, Brit. J. Nutr. 26, 29 98 (1971).
6. Dotson, C.R., Frank, H.A., Cavaletto, C.G., Indirect Methods as Criteria of
Spoilage in Tofu (Soybean Curd), J. Food Sci. 42, 273 - 4 (1977).
7. Fachruddin, L., Budi Daya Kacang-kacangan, Kanisius, Jakarta, 2000.
8. Galacher, D., Winged Bean,
9. http://www.ahs.equ.au/info/science/psg/Asianveg/wingbean.html.
10. Gebre-Egziabher, A., Sumner, A.K., Preparation of High Protein Curd from
Field Peas, J. Food Sci. 48, 375 - 388 (1983).
11. Johnson, L.D., Influence of Soybean Variety and the Method of Processing in
Tofu Manufacturing: Comparison of Methods for Measuring Soluble Solids in
Soymilk, J. Food Sci. 49, 202 - 204 (1984).
12. Kumpulan Kliping Kecipir, Pengenalan Kecipir, Budidaya, Panen, Pasca
Panen, dan Pemasaran, Pusat Informasi Pertanian, Trubus, 1994.
13. Lu, J.Y., Carter, E., Chung, R.A., Use of Calcium Salts For Soybean Curd
Preparation, J. Food Sci. 45, 32 - 34 (1980).
14. Lubis, S.H.A., Kecipir (Psophocarpus Tetragonolobus): Sumber Protein
Nabati yang Perlu Diganti, Lembaga Biologi Nasional LIPI.
15. Masefield, G.B, Psophocarpus tetragonolobus, a crop with future?, Field
Crop Abstr. 26(4) 157 160 (1973).
16. Miskovsky, A., Stone, M.B., Effects of Chemical Preservatives on Storage
and Nutrient Composition of Soybean Curd, J. Food Sci. 52, 1535 - 7 (1987).
17. Mulyati, Y., Indiyati Tanuwidjaja, Evaluasi Gizi Kedelai, Kecipir, Kara
Benguk, dan Kara Pedang, Makalah yang disajikan pada Seminar Keamanan
Pangan Dalam Pengolahan dan Penyajian, Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi UGM, 1986.
18. Mulyokusumo, S.E., Tahu, Cetakan Kesepuluh, Penerbit Tarate, Bandung,
1981.
19. NAS, The Winged Bean A High Protein Crop for The Tropic, National
Academy of Science, Washington, D.C, 1975.
20. Okezie, B.O., Franklin, W.M., Chemical Composition of Dry Seeds and Fresh
Leaves of Winged Bean Varieties Grown in The U.S and Puerto Rico, J. Food
Sci. 45, 1045 - 1051(1980).
21. Pontecorvo, A.J., Bourne, M.C., Simple Method for Extending the Shelf Life of
Soy Curd (Tofu) in Tropical Areas, J. Food Sci. 43, 969 - 972 (1978).
22. Rockland, L.B., Zaragosa, E.M. dan Richard Oracca-Tettch, Quick Cooking
Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus), J. Food Sci. 44, 1004 9
(1979).
23. Rukmana, R., Kecipir Budi Daya dan Pengolahan Pascapanen, Kanisius,
2000.
24. Salunkhe, D.K., Chavan, J.K., Adsule, R.N., dan Kadam, S.S., World
Oilseeds, Van Nostrand Reinhold, New York, 1992.
25. Sathe, S.K., Deshpande, S.S., and Salunkhe, D.K., Journal of Food Scienc,
Volume 47 (1982).
26. Schroder, D.J., Jackson, H., Preparation and Evaluation of Soybean Curd with
Reduced Beany Flavor, J. Food Sci. 37, 450 - 451 (1972).
27. Sri Kantha, S. dan Erdman Jr., J.W., The Winged Bean as an Oil and Protein
Source: A Review, J. Am. Oil Chem. Soc, (JAOCS) 61(3) 515 525 (1984).
28. Sri Kantha, S., Hettiarachchy, N.S., Erdman, J.W., Jr., Laboratory Scale
Production of Winged Bean Curd, J. Food Sci. 48, 441 - 447 (1983).
29. Stephens, J.M., Bean, Winged Psophocarpus tetragonolobus (L.) D.C.,
http://edis.ifas.ufl.edu/BODY_MV028.
30. Sumarno, Harnoto, Kedelai dan Cara Bercocok Tanamnya, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan, 1983.
31. Teknologi Makanan: Program Kerjasama Pusat Teknologi Pembangunan, ITB
dan Program Badan Urusan Tenaga Kerja Sukarela Indonesia (BUTSI),
Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi.
32. Tsai, S.J., Lan, C.Y., Kao, C.S., Chen, S.C., Studies on the Yield and Quality
Characteristics of Tofu, J. Food Sci. 46, 1734 1740 (1981).
33. Wang, H.L., Products from Soybeans, J. Food Tech. 21, 115 116 (1967).
34. Wang, H.L., Tofu and Tempeh as Potential Protein Sources in the Western
Diet, J. Am. Oil Chem. Soc, (JAOCS) 61(3) 528 534 (1984).
35. Zee, J.A., Boudreau, A., Bourgeois, M., Breton, R., Chemical Composition
and Nutritional Quality of Faba Bean (Vicia faba L. Minor) Based Tofu, J.
Food Sci. 53, 1772 - 4 (1988).

Anda mungkin juga menyukai