Anda di halaman 1dari 12

II.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Logam Berat dan Pencemarannya
Logam berasal dari bumi yang bisa berupa bahan organik dan bahan anorganik Diantara sekian banyak logam, ada yang keberadaannya di dalam tubuh mahluk
hidup baik pada tanaman, hewan atau ternak dan manusia merugikan bahkan
beracun.

Logam yang dimaksud umumnya digolongkan pada logam berat.

Menurut Saeni (1989) bahwa yang dimaksud dengan logam berat adalah unsur yang
mempunyai bobot jenis lebih dari 5 g/cm3 yang biasanya terletak di bagian kanan
bawah sistem periodik diantaranya: ferum (Fe), timbal (Pb), krom (Cr), kadmium
(Cd), seng (Zn), tembaga (Cu), air raksa (Hg), mangan (Mn) dan arsen (As).
Pencemaran logam-logam berat diawali dari proses pertambangan yang
kemudian dicairkan dan dimurnikan menjadi logam-logam murni. Pertambangan
logam dilakukan, karena pada dasarnya logam sangat diperlukan dalam proses
produksi dari suatu pabrik, baik pabrik cat, aki atau baterai, pabrik percetakan
sampai pabrik alat-alat listrik. Limbah proses produksi dari beberapa pabrik tersebut
menyebabkan pencemaran logam berat baik pencemaran di air, udara, dan tanah.
Pencemaran di air, lebih banyak berdampak pada hewan-hewan air, sedang ternak
dan manusia tercemar logam berat dari air melalui air yang diminum. Udara yang
tercemar dengan logam berat akan terakumulasi dalam tanaman baik melalui udara
maupun dari tanah yang terlarut logam berat yang kemudian terserap oleh tanaman.
Ternak dan manusia tercemar logam berat disamping dari air yang diminum juga
dari tanaman tercemar yang dikonsumsi oleh ternak dan manusia serta dari udara
melalui pernafasannya. Dari sekian banyak logam berat, seperti yang diutarakan
oleh Saeni (1989) seperti: Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn dan As, empat logam
berat diantaranya bersifat merugikan dan beracun baik bagi ternak maupun bagi
manusia diantaranya: As, Cd, Pb dan Hg, sehingga Pacyna (1987) dalam Darmono
(1995) meneliti kandungan keempat logam berat tersebut dalam pembuangan limbah
sehubungan dengan penggunaan energi batubara dan minyak bumi di Eropa tahun
1979 seperti tercantum dalam Tabel 1.
Menurut Saeni (1997), Pb merupakan logam berat yang paling berbahaya
kedua setelah Hg, karena racun Hg bersifat akut, sedang Pb bersifat akumulatif, akan
tetapi limbah pembuangan Pb paling banyak jika dibandingkan Hg yang paling

sedikit diantara logam berat.

Hal ini terlihat dari Tabel 1. merkuri merupakan

limbah pembuangan penggunaan energi batubara dan minyak bumi yang paling
rendah, yaitu sebesar 221 ton/tahun dibandingkan dengan As = 678 ton/tahun, Cd =
256 ton/tahun dan Pb = 2.835 ton/tahun, sehingga Hg relatif kurang menjadi pusat
perhatian bagi manusia daripada Pb, mengingat kandungan Hg dari pencemaran
yang relatif rendah. Dengan demikian timbal menjadi pusat perhatian manusia tidak
hanya karena bahayanya, akan tetapi juga karena pencemarannya paling tinggi
(Tabel 1).
Tabel 1. Kandungan Logam dari Pembuangan Limbah dalam Penggunaan
Energi Batu Bara dan Minyak di Eropa Tahun 1979
Sumber
As
Cd
Pb
Hg
A. Pembakaran batu bara:
1. Energi listrik
2. Pabrik
3. Rumah tangga dan komersial

----------------------- (Ton/Tahun) ----------------205


64
733
86
240
77
870
16
5
73
135

B. Pembakaran minyak
1. Energi listrik
79
37
450
SR
2. Industri dan Rumah tangga serta
138
73
709
SR
komersial
____________________________________________________________________
Jumlah
678
256
2.835
221
_________________________________________________________________________________
Keterangan: SR = sangat rendah, tanda berarti tak terdeteksi
Sumber: Pacyna (1987) dalam Darmono (1995)

Timbal secara alami terdapat sebagai timbal sulfida, timbal karbonat, timbal
sulfat dan timbal klorofosfat (Faust and Aly, 1981). Kandungan Pb dari beberapa
batuan kerak bumi sangat beragam. Batuan eruptif seperti granit dan riolit memiliki
kandungan Pb kurang lebih 200 ppm. Timbal (Pb) mempunyai titik lebur yang
rendah, sehingga mudah digunakan dan membutuhkan biaya yang relatif sedikit bagi
industri. Dengan demikian akan memungkinkan mudahnya terjadi pencemaran di
udara dan tanah.
Sumber utama pencemaran udara adalah asap kendaraan bermotor.
Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa pembakaran bensin sebagai sumber
pencemar lebih dari separuh pencemaran udara di daerah perkotaan, yaitu sekitar 60
70 % dari jumlah zat pencemar.

Lebih jauh Saeni (1995) menyatakan bahwa

partikel Pb yang dikeluarkan oleh asap kendaraan bermotor berukuran antara 0,08
1,00 g dengan masa tinggal di udara selama 4 40 hari. Masa tinggal yang lama
menyebabkan partikel Pb dapat disebarkan angin hingga mencapai 100 1000 km
dari sumbernya.

Hal tersebut yang menyebabkan pencemaran timbal di udara

mudah tersebar.

Sebagai illustrasi, kandungan timbal di udara di daerah Jakarta,

Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) berkisar 0,5-1,5 g/m3 sebelum


pemerintah menghapuskan bensin bertimbal pada tanggal 1 Juli 2001.

Setelah

tanggal 1 Juli 2001 harusnya kandungan timbal ini menurun, akan tetapi di udara
daerah Serpong justru kandungan timbalnya tambah meningkat yaitu mencapai 1,73,5 g/m3 (Anonim, 2005).

Illustrasi lain tentang pencemaran Pb dinyatakan

Surtipanti dan Suwirna (1987) bahwa pencemaran Pb dalam buangan limbah


industri di Jabotabek ternyata telah melebihi batas maksimal yang diizinkan untuk
limbah.

Hal ini menunjukkan bahwa kandungan Pb tidak sangat tergantung pada

bahan bakar minyak, akan tetapi karena sifat dari Pb yang mempunyai titik lebur
yang rendah sehingga mudah menguap ke udara yang menimbulkan pencemaran
ditambah dengan mudahnya Pb digunakan dan murah dalam mengoperasikannya di
dalam industri. Sumber pencemaran Pb di dalam tanah dapat berasal dari asap
kendaraan bermotor, penambangan dan industri serta cat tembok yang larut bersama
air hujan (Burau, 1982).
2.2. Logam Berat bagi Tanaman
Smith (1981) menyebutkan bahwa sejumlah besar logam berat dapat
tersasosiasi dengan tumbuhan tinggi. Diantaranya ada yang dibutuhkan sebagai
unsur mikro (Fe, Mn dan Zn) dan logam berat lainnya yang belum diketahui
fungsinya dalam metabolisme tumbuhan (Pb, Cd dan Ti). Lebih lanjut Smith (1981)
menyatakan bahwa semua logam berat berpotensi mencemari tumbuhan dan gejala
akibat pencemaran logam berat, yakni: klorosis dan nekrosis pada ujung dan sisi
daun serta busuk daun yang lebih awal, akan tetapi menurut Kuperman dan Carreiro
(1997) kontaminasi logam berat dalam tanah akan merugikan dan mempengaruhi
aktivitas dan jumlah mikroorganisme, sehingga mempengaruhi proses penguraian
dan perputaran zat makanan bagi tumbuhan. Kozlowski et al. (1991) menyatakan
bahwa pencemaran udara terhadap tanaman dapat mempengaruhi: pertumbuhan,
yaitu dengan mengurangi pertumbuhan kambium, akar dan bagian reproduktif,

termasuk pertumbuhan akar dan pertumbuhan daun. begitu pula yang dinyatakan
oleh Akinola dan Adedeji (2007) bahwa baik tanah maupun rumput Benggala
(Panicum maximum Jacq.) sepanjang jalur ekpress Lagos-Ibadan, Nigeria tercemar
logam berat.

2.3. Logam Berat bagi Hewan dan Ternak


Contoh-contoh logam berat yang dinyatakan oleh Saeni (1989) diantaranya:
Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn dan As. Dari logam-logam berat tersebut, menurut
Anggorodi (1979) Fe, Cr, Zn, Cu dan Mn termasuk dalam kelompok logam berat
dan merupakan mineral yang esensial dan tergolong mineral mikro bagi ternak,
maka logam berat yang tergolong nonesensial dan bersifat racun bagi ternak adalah
kelompok logam: Pb, Cd, Hg, dan As.
dari keempat logam berat tersebut yang paling tinggi kandungannya dalam
buangan limbah penggunaan energi batubara dan minyak bumi adalah Pb (Tabel 1).
Timbal merupakan logam berat yang paling berbahaya kedua setelah Hg (Saeni,
1997), sehingga perlu mengamati tentang Pb. Timbal (Pb) yang sering disebut
dengan timah hitam merupakan salah satu mineral yang tergolong pada mineral
nonesensial bagi ternak, karena tak dibutuhkan bagi ternak dan keberadaannya
dalam ransum bila kebanyakan dapat menyebabkan keracunan.
Berdasarkan hasil penelitian pencemaran Pb dan logam berat lainnya pada
beberapa hewan diillustrasikan sebagai berikut:
a) Hasil penyebaran Cd, Fe, dan Pb pada jaringan ikan paus muda atau anak
ikan paus yang dipelihara di pantai South East Gulf California (Mexico)
diperoleh data bahwa deposit Pb terjadi di hati sebesar 0,9 g/g. Deposit
logam berat lain seperti kadmium (Cd) pada ikan paus muda terjadi di ginjal
sebesar 5,7 g/g, sedang untuk mineral besi (Fe) terdeposit di daging sebesar
1.009 g/g (Inzunza dan Osuna, 2002).
b) Disisi lain, penelitian yang dilakukan di Cina Selatan, tepatnya di Pearl River
Estuary, yang dilakukan terhadap ikan, kepiting, udang dan kerang-kerangan,
ternyata penimbunan Pb pada ikan sebesar 0,94 30,7 mg/kg bobot badan.
Konsentrasi Pb paling tinggi pada ikan dibandingkan pada kepiting, udang

dan kerang-kerangan (Ip, et al., 2005). Lebih lanjut Rahman (2006) meneliti
kandungan Pb dan Cd pada beberapa jenis krustasea di Pantai Batakan dan
Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, ternyata udang dan
rajungan yang ada di perairan Pantai Batakan dan Takisung telah terkontaminasi Pb dan Cd diatas batas ambang yang telah ditentukan oleh FAO. Batas
ambang yang ditentukan oleh FAO, yaitu sebesar kurang dari 2 ppm untuk
kandungan Pb dan kurang dari 1 ppm untuk kandungan Cd. Kandungan Pb
dan Cd pada udang berkisar 66,995 96,250 ppm dan 8,00 13,25 ppm,
sedang pada rajungan berkisar 75,630 90,515 ppm dan 8,520 11,375
ppm.
c) Burung-burung merpati yang berasal dari daerah pedesaan, perkotaan, dan
daerah industri di korea telah diteliti konsentrasi Pb dan Cd pada tulang dan
ginjalnya. Konsentrasi tulang dan ginjal burung merpati yang berasal dari
daerah pedesaan hampir seimbang dengan yang berasal dari daerah industri.
Konsentrasi Pb dan Cd yang paling tinggi pada tulang dan ginjal, berasal dari
burung merpati asal daerah perkotaan daripada daerah pedesaan dan industri.
Konsentrasi Pb dan Cd pada tulang dan ginjal burung merpati tidak
menunjukkan penurunan dengan menurunnya tingkat pencemaran Pb dan Cd
di atmosfir,

yang menunjukkan bahwa sistem pencernaan lebih penting

daripada sistem pernafasan pada pencemaran Pb dan Cd (Nam dan Lee,


2005).
d) Lebih lanjut penelitian pada keong yang diberi makan logam berat dan
mineral esensial, pada jaringan lunaknya terdeposit Zn dan Cu sedang Pb tak
terdeposit, walaupun pada pakannya sudah diberikan Pb sebanyak 0,4
12700 g/kg pakan. Dengan demikian keong tak mendeposit logam berat
dalam jumlah yang relatif banyak di kerangnya (Laskowski dan Hopkin,
1996).
e) Pada penelitian tikus yang diberi air minum tercemar Pb sebanyak 1.000
ppm tidak menyebabkan perubahan tingkah laku, akan tetapi terjadi
perubahan aktivitas lokomosi atau aktivitas gerak (Ma, et al., 1999). Proses
pematangan seksual tikus betina yang sedang bunting dan yang sedang

menyusui, ternyata lebih lambat waktu pubertasnya dengan pemberian Pbasetat 1 ml/hari atau dengan kandungan Pb 12 mg/ml air selama 30 hari.
Pengaruh pencemaran Pb lebih sensitif pada tikus yang bunting daripada
tikus yang sedang menyusui (Dearth, et al., 2002).
f) Penambahan Pb sebanyak 0,15 ppm dalam air yang terdapat juvenil ikan
bandeng (Chanos chanos Forskall) akan memperlihatkan degenerasi lemak
pada hatinya (Alivia dan Djawad, 2000). Lebih lanjut Ghalib et al. (2002)
meneliti penambahan Pb sebanyak 0,15 ppm dapat menyebabkan kerusakan
insang dan mengurangi konsumsi oksigen..
g) Maral et al. (2005) menyatakan bahwa tanah-tanah di Brazil tepatnya di
So Paulo State ditemukan campuran mineral logam berat yang dapat
menyebabkan keracunan pada ternak sapi. Lebih lanjut Lee et al. (1996)
meneliti tentang konsentrasi Cd dalam ginjal dan hati domba Romney yang
digembalakan pada padang penggembalaan yang rendah konsentrasi kadmiumnya (0,18 g/g bahan kering) dan yang tinggi konsentrasi kadmiumnya
(0,52 g/g bahan kering) dengan umur domba yang berbeda.

Hasilnya

menunjukkan bahwa padang penggembalaan yang konsentrasi Cd-nya tinggi


akan meningkatkan konsentrasi Cd ginjal dan hati dibandingkan di padang
penggembalaan yang konsenterasi Cd-nya rendah. Sapi yang umur 6 bulan
lebih tinggi kandungan Cd dalam ginjal dan hati dibandingkan dengan sapi
umur 28 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa domba Romney akan menyerap
Cd lebih banyak pada padang penggembalaan yang konsentrasi Cd tinggi
daripada pada padang penggembalaan yang konsentrasi Cd-nya rendah dan
domba Romney muda lebih tinggi penyerapan Cd-nya daripada yang lebih
tua.
h) Disisi lain penelitian Nicholson et al. (1999) yang meneliti kandungan
beberapa logam berat, seperti: Zn, Co, Ni, Pb, Cd, As, Cr dan Hg pada
beberapa pakan ternak dan feses/kotoran ternak di negara Inggris. Hasilnya
menunjukkan bahwa Pb pakan sapi pedaging berkisar 2,84 4,43 ppm
berdasarkan bahan kering, dan Pb kotoran paling tinggi sebesar 18,00 ppm.
Mengingat kandungan Pb di feses relatif lebih tinggi dari Pb pakan, maka
berarti bahwa Pb pakan tak diserap oleh saluran pencernaan dan dikeluarkan

melalui kotoran dalam jumlah yang relatif lebih besar daripada kandungan
Pb pakan.
Dalam dunia peternakan, logam diistilahkan dengan mineral yang juga
diperlukan, bahkan sangat menentukan terhadap produksi ternak. Pada umumnya
produksi ternak akan tinggi bila kecukupan zat organik seperti protein, karbohidrat
dan lemak juga tercukupi, akan tetapi tidak jarang terlihat bahwa secara visual
produksi ternak masih tidak normal walaupun bahan organik cukup banyak
dikonsumsi. Dalam hal seperti ini biasanya praduga diarahkan pada defisiensi atau
kelebihan atau ketidakseimbangan mineral dalam bahan makanan, sehingga logamlogam atau mineral-mineral tertentu menjadi esensial bagi ternak.

Dengan

demikian, maka logam-logam bagi ternak dikelompokkan menjadi logam esensial


dan logam nonesensial. Logam esensial adalah kelompok logam yang diperlukan
dalam proses fisiologis ternak dan merupakan unsur nutrisi yang bila kekurangan
dapat menyebabkan kelainan fisiologis ternak yang disebut dengan defisiensi
mineral.
Logam nonesensial merupakan kelompok logam yang tidak berguna atau
belum diketahui kegunaannya dalam tubuh ternak, sedang logam esensial
merupakan kelompok logam yang berguna bagi tubuh ternak. Kelompok mineral
nonesensial menurut Parakkasi (1999) merupakan kelompok mineral yang beracun
seperti: As, Cd, Pb dan Hg. Anggorodi (1979) mengelompokkan logam esensial
dalam mineral makro yang terdiri atas: kalsium (Ca), magnesium (Mg), natrium
(Na), kalium (K), fosfor (P), klor (Cl) dan sulfur (S) dan mineral mikro yang terdiri
atas kobalt (Co), tembaga (Cu), Iodium (I), besi (Fe), mangan (Mn), molibdenum
(Mo), selenium (Se) dan seng (Zn). Hendler et al. (1990) mengelompokkan mineral
makro merupakan kelompok mineral yang dibutuhkan dalam ransum dalam jumlah
lebih dari 100 mg/hari sedang kelompok mineral yang dibutuhkan dalam ransum
dalam jumlah kurang dari 100 mg/hari yang diistilahkan dengan trace element atau
unsur renik.

2.4. Timbal (Pb) bagi Ternak


Timbal merupakan unsur kimia yang dalam tabel periodik mempunyai
lambang Pb dengan nomor atom 82. Lambangnya diambil dari bahasa latin, yaitu

Plumbum. Ciri-ciri Pb diantaranya: memiliki tampilan bluish white, massa atom


207,2 g/mol, densitas pada suhu kamar 11,34 g/cm3, densitas cair pada titik lebur
10,66 g/cm3, titik lebur 327,46 oC, titik didih 1.749 oC, kalor peleburan 4,77 kJ/mol,
kalor penguapan 179,5 kJ/mol dan kapasitas kalor pada suhu 25 oC sebesar 26,65
J/mol.K (Wikipedia Indonesia, 2006).
Dalam pertambangan, Pb berbentuk sulfida logam (PbS), yang sering disebut
galena. Senyawa galena banyak ditemukan dalam pertambangan-pertambangan di
seluruh dunia. Bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan Pb yaitu dapat menyebabkan keracunan, yang kebanyakan disebabkan oleh pencemaran udara, terutama di
kota-kota besar (Darmono, 1995). Pb terdapat dalam dua bentuk, yaitu anorganik
dan organik. Dalam bentuk anorganik, Pb bisa digunakan untuk industri: baterai,
cat, percetakan, gelas, polivinil, plastik, pelapis kabel dan mainan anak-anak. Dalam
bentuk organik Pb digunakan dalam industri perminyakan, berupa Lead Alkyl
Compound, seperti Tetra Methyl Lead (TML) dan Tetra Ethyl Lead (TEL) (Komite
Penghapusan Bensin Bertimbal, 1999).
Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk
dan terakumulasi dalam tubuh manusia ataupun hewan, sehingga bahayanya
terhadap tubuh semakin meningkat (Lu, 1995 dan Kusnoputranto, 2006). Menurut
Underwood dan Suttle (1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat
akumulatif dan akumulasinya tergantung levelnya. Hal itu menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh pada ternak jika terdapat pada jumlah di atas batas ambang.
Lebih lanjut Underwood dan Suttle (1999) mencantumkan batas ambang untuk
ternak unggas dalam pakannya, yaitu: batas ambang normal sebesar 1 10 ppm,
batas ambang tinggi sebesar 20 200 ppm dan batas ambang toksik sebesar lebih
dari 200 ppm. Disisi lain Darmono (1995) mencantumkan dosis keracunan Pb pada
beberapa ternak, seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Dosis Keracunan Timbal pada Beberapa Ternak


Jenis Ternak

Toksik dalam Pakan


(mg)

Babi

1.000

Pedet

200 400

Domba `

200 400

Sumber: Darmono (1995)


Timbal (Pb) menurut Lu (1995) dapat diserap dari usus dengan sistem
transport aktif. Transport aktif melibatkan carrier untuk memindahkan molekul
melalui membran berdasarkan perbedaan kadar atau jika molekul tersebut
merupakan ion.

Pada saat terjadi perbedaan muatan transport, maka terjadi

pengikatan dan membutuhkan energi metabolisme.

Pengikatan tersebut dapat

dihambat oleh racun yang mengganggu metabolisme sel.


Laju ekskresi Pb oleh tubuh sangat rendah (Rahde, 1991). Timbal terutama
diekskresikan melalui urine, yaitu mencapai 75% dari ekskresi harian, 16%
diekskresikan lewat saluran gastrointestinal dan 8 % diekskresikan melalui rambut,
kuku, keringat (Rahde, 1991).
Toksisitas merupakan sifat bawaan suatu zat yang bentuk dan tingkat
manifestasi toksiknya pada suatu organisme bergantung pada berbagai jenis faktor.
Faktor yang nyata adalah dosis dan lamanya pemberian, sedang faktor yang kurang
nyata, yaitu: spesies dan strain, jenis kelamin, umur, status gizi dan hormonal (Lu,
1995).
Saeni (1989), menyatakan bahwa terdapat tiga mekanisme penting pada kerja
toksikan: 1). Pengaruhnya terhadap enzim yang terlibat dalam aktifitas organ. 2).
Penggabungan langsung zat kimia dengan zat-zat penyusun sel. 3). Kerja sekunder
sebagai konsekuensi keberadaannya dalam sistem tersebut.
Mekanisme proteksi sementara terhadap toksisitas logam mungkin
disebabkan karena tersedianya kapasitas pengikatan logam yang lebih banyak pada
organisme tertentu seperti: protein, polisakarida dan asam amino (Darmono, 1995).
Menurut Lu (1995) mekanisme toksikan dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat
kimia berbagai molekul sasaran yang berupa protein, koenzim, lipid dan asam-asam
nukleat, sedangkan karbohidrat sangat jarang terpengaruhi oleh toksikan
Studi mengenai pengurangan kadar Pb pada cangkang kepiting dengan
perlakuan kondisi asam dan basa telah diteliti oleh Kim (2004).

Kim (2004)

menyatakan bahwa pengurangan kadar Pb pada perlakuan penambahan asam

khlorida (HCl) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan alkali. Perlakuan alkali
yang dimaksud menggunakan kalium hidroksida (KOH) dan natrium hidroksida
(NaOH). Pengurangan kadar Pb yang rendah pada kondisi asam berkaitan dengan
ketersediaan Pb dalam cangkang kepiting yang berada dalam bentuk terlarut. Disisi
lain tingginya kadar Pb dalam cangkang kepiting dikarenakan pada kondisi alkali,
Pb terdapat dalam bentuk endapan, sehingga mudah diekresikan ke luar tubuh. Hal
tersebut seiring dengan pendapat Nur et al. (1989) yang menyatakan bahwa pada pH
7 atau lebih protein umumnya bermuatan negatif, sehingga penambahan ion logam
positif akan menetralkan muatan ini.

Pengendapan dengan logam berat sangat

efektif pada pH netral atau sedikit alkali. Larutan tidak boleh sangat alkalis oleh
karena akan terjadi resiko pengendapan hidroksi logam. Endapan sering kali larut
dalam larutan ion logam berat berlebihan oleh karena ion berlebihan akan
mengakibatkan/memberikan muatan positif yang stabil pada partikel-partikel.
Penelitian lain sehubungan dengan penggunaan asam anorganik terhadap
konsumsi pakan dan kecernaan zat makanan dari domba betina periode pertumbuhan
telah dilakukan oleh Wolf et al. (1994). Wolf et al. (1994) menambahkan asam
khlorida (HCl) sebanyak 2 10% pada ransum yang mengandung kertas koran.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa penambahan asam khlorida (HCl) sebesar 2% pada
ransum yang mengandung kertas koran akan meningkatkan konsumsi bahan kering
dan kecernaan zat makanan.

Penambahan HCl lebih besar dari itu akan

mengakibatkan penurunan kecernaan zat makanan.

Penggunaan HCl pada

konsentrasi yang sama akan meningkatkan konsumsi bahan kering lebih banyak
dibandingkan dengan penggunaan asam sulfat (H2SO4).

Penelitian lain yang

mempelajari interaksi antara logam, protein dan derajat keasaman dilakukan oleh
Tripathi et al. (2001). Perlakuan penambahan asam khlorida (HCl) dan suplementasi cuprum (Cu) dan iodium (I) dapat meningkatkan konsumsi protein kasar dan
energi metabolis dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan asam khlorida
dan suplementasi cuprum dan iodium.

2.5. Timbal (Pb) bagi Manusia


Timbal (Pb) tidak larut dalam air, akan tetapi larut dalam cairan saluran
pencernaan. Timah yang diserap dalam saluran pencernaan, terutama disimpan

dalam hati dan ginjal. Bila konsumsi Pb meningkat, maka akan terakumulasi dalam
hati, ginjal, tulang dan rambut (Dinius et al., 1973) dalam Parakkasi (1999). Pada
manusia, Pb dapat terakumulasi dalam rambut sesuai pernyataan Saeni (1997) yang
menyatakan bahwa jumlah logam dalam rambut berkorelasi dengan jumlah logam
yang diabsorpsi oleh tubuh, karena rambut banyak mengandung protein struktural
yang tersusun dari asam-asam amino sistein yang mengandung gugus sulfhidril
(-SH) dan sistein dengan ikatan disulfida (-S-S-). Gugus tersebut mampu mengikat
logam berat yang masuk kedalam tubuh dan terikat di dalam rambut. Mengingat
senyawa sulfida mudah terikat dengan logam berat, maka bila Pb masuk ke dalam
tubuh, maka akan terikat oleh senyawa sulfida dalam rambut (Huyser, 1984 dalam
Saeni, 1997). Akumulasi Pb tidak hanya di rambut akan tetapi lebih awal akan
terakumulasi di darah seperti hasil penelitian yang dinyatakan oleh Aminah (2006)
yang meneliti kadar Pb karyawan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKL & PPM) di Surabaya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa karyawan BBTKL & PPM yang mengambil sampling di
lapangan mempunyai kadar Pb dalam darah yang lebih tinggi daripada karyawan
yang tidak melakukan sampling di lapangan. Begitu pula Ardyanto (2005) yang
mendeteksi pencemaran Pb dalam darah masyarakat yang banyak menghirup Pb.
Timbal (Pb) pada senyawa anorganiknya dalam sistem hematopoetik menghambat
reaksi enzimatik terakhir dalam sintesis heme, sehigga terjadi anemia.
Hewan ruminansia mengabsorpsi mineral Pb dalam jumlah yang relatif
rendah dibandingkan dengan hewan nonruminansia. Absorpsi mineral melalui paruparu mencapai 30 40 % dari mineral yang dihirup (Pilliang, 2002). Mineral Pb
pada anak-anak sapi dan domba terdapat dalam jumlah relatif konstan yaitu sekitar
0,1 0,13 ppm. Jika kandungan Pb lebih besar dari 0,04 ppm dalam feses berarti
bahwa banyak Pb yang masuk dalam tubuh. Hampir sama dengan ternak, pada
manusia absorpsi Pb terutama melalui saluran cerna dan saluran nafas. Absorpsi
melalui usus pada orang dewasa kira-kira 10% sedangkan pada anak kira-kira 40%.
Menuurut Klaassen (1980), tidak banyak yang diketahui tentang absorpsi Pb melalui
saluran cerna. Ada dugaan bahwa Pb dan Ca berkompetisi dalam transport lewat
mukosa usus, karena ada hubungan timbal balik antara kadar Ca makanan dan
absorpsi Pb. Selain itu kekurangan Fe dilaporkan dapat meningkatkan absorpsi Pb
melalui saluran cerna.

Keracunan mineral timah hitam dapat menyebabkan perubahan susunan


syaraf pusat, gangguan saluran pencernaan dan gangguan sintesis sel-sel darah
merah. Tanda-tanda klinis utama keracunan mineral timah hitam menurut Pilliang
(2002), yaitu: terjadinya microcytic hypochromic anemia, muntah-muntah, diare,
gangguan abdomen, sekresi saliva meningkat, bobot badan menurun dan keguguran.
Baik pada manusia maupun pada ternak, Pb bersifat akumulatif dalam tubuh
dan dapat merusak seluruh sistem organ dalam tubuh. Pada anak-anak, keracunan
Pb dapat menyebabkan kemunduran mental yang bersifat permanen (Linder, 1992).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa Pb yang terkandung dalam makanan orang dewasa
rata-rata terserap 5 10% oleh tubuh, sedang pada bayi dan anak-anak hingga 40%
atau lebih dan dapat ditekan dengan adanya kalsium (Ca) dan fosfor (P), sehingga
konsumsi kalsium (Ca) yang tinggi akan menekan pengambilan Pb tubuh. Badan
dunia WHO (1984) telah menetapkan batas maksimum serapan Pb oleh manusia
dewasa sebesar 400 450 g /hari.

Anda mungkin juga menyukai