Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia terdiri atas 17.508 pulau dengan luas seluruh wilayah dengan jalur
laut 12 mil adalah 5 juta km2. Terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut territorial
0,3 juta km2 sedangkan perairan pedalaman atau perairan kepulauan seluas
2,8 juta km2. Ini berarti seluruh laut di Indonesia berjumlah 3,1 juta km2 atau sekitar
62% dari seluruh wilayah Indonesia (Nontji, 1993).
Wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai daerah pertemuan antara daratan
dan laut, daratan merupakan wilayah yang masih dipengaruhi oleh fenomena lautan,
seperti gelombang, pasang surut, angin laut, dan lain-lain; sedangkan ke arah laut
merupakan wilayah laut yang masih dipengaruhi oleh aktivitas daratan seperti erosi,
sedimentasi, dan lain-lain. Pada umumnya wilayah pesisir merupakan daerah yang
rentan terhadap pencemaran akibat kesalahan dalam pengelolaannya karena
menjadikan kawasan ini sebagai tempat pembuangan segala macam limbah yang
berasal dari daratan. Pencemaran di wilayah pesisir disebabkan limbah berasal dari
limbah domestik maupun limbah industri yang mengalir menuju sungai-sungai yang
bermuara ke wilayah perairan pesisir (Wiryawan dkk., 2002).
Selain itu, masalah pencemaran laut akibat limbah industri perlu mendapat
perhatian khusus. Hal ini terkait dengan jenis limbah yang dihasilkan oleh industri
tersebut. Beberapa limbah yang dihasilkan oleh industri adakalanya berupa limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3), seperti jenis-jenis logam berat yang apabila masuk ke
ekosistem pesisir dapat menimbulkan dampak yang fatal, baik bagi biota perairan
maupun manusia yang ada di wilayah tersebut. Salah satu limbah B3 adalah logam berat.
Logam berat merupakan bahan buangan yang sudah sering menimbulkan pencemaran
laut atau pantai di negara-negara yang sedang berkembang. Masuknya limbah ini ke
perairan laut telah menimbulkan pencemaran terhadap perairan. Penyebab utama logam
berat menjadi bahan pencemar berbahaya yaitu logam berat tidak dapat dihancurkan
(nondegradable) oleh organisme hidup di lingkungan dan terakumulasi ke lingkungan,
terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa komplek bersama bahan
organik dan anorganik secara adsorbsi dan kombinasi (Djuangsih, 1982). Sebenarnya
secara alamiah logam berat sudah terdapat di alam yang bersumber dari pelapukan

1
secara kimiawi bebatuan, debu yang mengandung logam dari aktivitas gunung berapi,
erosi dan pelapukan tebing dan tanah serta aerosol dan partikulat dari permukaan lautan
(Connell dan Miller, 1995).
Logam berat yang ada di perairan suatu saat akan turun dan mengendap pada
dasar perairan, membentuk sedimentasi bersama lumpur, hal ini akan menyebabkan
organisme yang mencari makanan di dasar perairan (kerang, udang, dan rajungan)
akan memiliki peluang yang besar terpapar logam berat yang telah terikat di dasar
perairan dan membentuk sedimen (Rahman, 2006). Menurut Palar (1994), polutan
logam berat dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu menjadi sumber racun
bagi kehidupan perairan. Efek toksik yang ditimbulkan oleh satu jenis logam berat
terhadap semua biota tidak sama, namun kehancuran dari satu kelompok dapat
menyebabkan terputusnya mata rantai kehidupan. Pada tingkat selanjutnya, keadaan
tersebut dapat menghancurkan tatanan ekosistem perairan. Akumulasi logam berat
tersebut dalam tubuh organisme termasuk manusia dapat menimbulkan keracunan,
gangguan kesehatan sampai kematian(Yennie dan Jovita, 2005). Berdasarkan uraian
di atas, maka dibuatlah makalah mengenai analisis kandungan logam berat
merkuri (Hg), arsen (As), dan selenium (Se) di perairan laut dengan menggunakan
metode ICP.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini, antara lain:
1. Mengetahui definisi logam berat.
2. Mengetahui metode inducetively coupled mass (ICP).
3. Mengetahui definisi logam merkuri, arsen dan selenium.
4. Mengetahui ada tidaknya pengaruh merkuri, arsen dan selenium pada suatu
perairan.
5. Mengetahui cara menentukan kadar merkuri, arsen dan selenium menggunakan
metode inducetively coupled mass (ICP).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Logam Berat


Logam berat adalah istilah yang digunakan secara umum untuk kelompok
logam berat dan metaloid yang densitasnya lebih besar dari 5 g/cm3, terutama pada
unsur seperti Cd, Cr, Cu, Hg, Ni, Pb dan Zn. Logam berat merupakan komponen
alami tanah. Elemen ini tidak dapat didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat
dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan, air minum, atau udara.
Logam berat seperti tembaga, selenium, atau seng dibutuhkan tubuh manusia untuk
membantu kinerja metabolisme tubuh. Akan tetapi, dapat berpotensi menjadi racun
jika konsentrasi yang terakumulasi dalam tubuh melebihi ambang batas. Logam berat
menjadi berbahaya disebabkan sistem bioakumulasi, yaitu peningkatan konsentrasi
unsur kimia di dalam tubuh makhluk hidup. Disebut logam berat berbahaya karena
umumnya memiliki rapat massa tinggi (5 g/cm3) dan sejumlah konsentrasi kecil
dapat bersifat racun dan berbahaya. Di antara semua unsur logam berat, Hg
menduduki urutan pertama dalam hal sifat racunnya, kemudian diikuti oleh logam
berat antara lain Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, Zn dan Cu (Darmomo, 2001).
Logam berat yang masuk ke sistem perairan, baik di sungai maupun lautan
akan dipindahkan dari badan airnya melalui tiga proses yaitu pengendapan, adsorbsi,
dan adsorbsi oleh organisme-organisme perairan (Ernawati, 2010). Logam yang ada
pada perairan suatu saat akan turun dan mengendap pada dasar perairan, hal ini akan
menyebabkan organisme yang mencari makan di dasar perairan (udang dan kerang)
akan memiliki peluang yang besar untuk terpapar logam berat yang telah terikat di
dasar perairan. Logam-logam di alam umumnya ditemukan dalam persenyawaan
dengan unsur lain, dan sangat jarang ditemukan dalam bentuk elemen tunggal
(Sutamihardja, 2006). Secara alami, dalam konsentrasi tertentu, logam berat
dibutuhkan oleh mahluk hidup sebagai ko-faktor proses metabolisme di dalam tubuh
(Darmono, 2001).
Menurut Darmono (2001) logam berat dibagi atas 2 jenis, yaitu:
1. Logam Berat Esensial, yaitu logam berat yang dalam konsentrasi tertentu
dibutuhkan oleh organisme untuk membantu kerja enzim, misalnya Zn, Cu, Fe,
Co dan Mn.

3
2. Logam Berat Non Esensial, yaitu logam berat yang bersifat toksik bagi
organisme, misalnya Hg, Cd, Pb, Cr dan As.
Peningkatan konsentrasi logam berat di tanah dan perairan umumnya
disebabkan masuknya limbah kegiatan industri, pertambangan, pertanian dan
domestik yang mengandung logam berat, ke lingkungan. Peningkatan konsentrasi
logam berat akan mengakibatkan logam berat yang semula diperlukan untuk proses
metabolisme akan berubah menjadi racun yang membahayakan kehidupan organisme
(Yudo, 2006).
Menurut Sutamihardja (2006), sifat-sifat logam berat yang dapat
membahayakan lingkungan dan manusia adalah:
1. Logam berat sulit didegradasi, sehingga cenderung akan terakumulasi di
lingkungan;
2. Logam berat dapat terakumulasi di dalam tubuh organisme dan konsentrasinya
dapat semakin tinggi, atau disebut juga dapat mengalami bioakumulasi dan
biomagnifikasi; Logam berat mudah terakumulasi di sedimen, sehingga
konsentrasinya selalu lebih tinggi daripada konsentrasi logam di dalam air.

2.2 Metode Inductively Coupled Plasma (ICP)


Inductively Coupled Plasma (ICP) adalah sebuah teknik analisis yang
digunakan untuk deteksi dari trace metals dalam sampel lingkungan pada umumnya.
Prinsip utama ICP dalam penentuan elemen adalah pengatomisasian elemen sehingga
memancarkan cahaya panjang gelombang tertentu yang kemudian dapat diukur.
Teknologi dengan metode ICP yang digunakan pertama kali pada awal tahun 1960
dengan tujuan meningkatkan pekembangan teknik analisis. Sejak itu, ICP telah
disempurnakan dan digunakan bersama-sama dengan prosedur preparasi sampel
untuk beragam matriks untuk analisis kuantitatif (Hou dan Jones, 2000).

Gambar 1. Perangkat Inductively Coupled Plasma (ICP)

4
Prinsip kerja ICP yaitu gas argon diarahkan melalui obor yang terdiri dari tiga
tabung konsentris yang dari kuarsa atau bahan lain yang cocok, seperti yang
ditunjukan oleh gambar berikut (Montaser, 1992):

Gambar 2. Penampang obor ICP


Penampang sebuah obor ICP dan kumparan beban yang menggambarkan
urutan pengapian. (A) merupakan gas argon yang berputar-putar melalui obor. (B)
merupakan daya frekuensi radio (RF) yang diterapkan pada kumparan beban. (C)
merupakan percikan ion yang memproduksi beberapa elektron bebas dalam argon.
(D) merupakan elektron bebas yang dipercepat medan radio frekuensi (RF) yang
menyebabkan ionisasi lebih lanjut dan membentuk plasma. (E) merupakan sampel
aerosol yang membawa aliran ke nebulizer melalui lubang dalam plasma.
Sebuah kumparan tembaga, disebut kumparan beban, mengengelilingi ujung
atas obor dan dihubungkan ke generator dan frekuensi radio (RF). Dalam instrumen
ICP frekuensi paling baik adalah pada 27 atau 40 megahertz (MHz). Osilasi radio
frekuensi (RF) dari arus dalam kumparan menyebabkan medan listrik RF dan
magnetik yang akan dibentuk didaerah bagian atas obor. Dengan ini, gas argon yang
berputar-putar melalui obor akan terpercikkan, percikannya digunakan ke gas yang
menyebabkan beberapa elekron akan diambil dari atom argon. Elektron ini
kemudian akan terperengkap dalam medan magnet dan dipercepat oleh medan
magnetnya. Dilakukan penambahan energi ke elektron dengan menggunakan
kumparan, cara ini dikenal sebagai kopling induktif. Elektron berenergi tinggi ini
pada gilirannya akan bertumbukkan dengan atom argon lain, elektron, dan ion argon,

5
membentuk yang dikenal sebagai zat buangan dari ICP. Zat buangan dari ICP
kemudian ditransfer melalui proses kopling induktif.
Kebanyakan sampel dianalisa awalnya sebagai cairan yang dinebulasi
menjadi aersosl, tetesan sampel menjadi kabut untuk dianalisa oleh alat ICP. Sampel
aerosol kemudian dibawa kepusat plasma oleh inner (nebulizer) aliran argon. Fungsi
pertama dari plasma temperatur tinggi adalah untuk memindahkan larutan, pelarut,
aerosolnya, biasanya meninggalkan sampel sebagai partikel garam mikrokopis.
Langkah selanjutnya melibatkan dekomposisi partikel garamnya menjadi sebuah gas
dari molekul tunggal yang kemudian memisahkan diri menjadi atom (atomisasi).
Proses–proses ini, dimana terjadi paling utama di zona pemanasan (PHZ). Proses
yang sama yang terjadi dalam nyala api dan tungku yang digunakan untuk atom
spektrofotometri serapan atom (Montaser, 1992).

Gambar 3. Proses yang terjadi ketika tetesan sampel diperkenalkan ke dalam debit
ICP

6
Terdapat dua jenis metode ICP, antara lain:
2.2.1 Inductively Coupled Plasma-Optical Emission Spectrometry (ICP-OES)
ICP-OES merupakan perangkat canggih untuk penentuan logam dalam
berbagai matriks sampel yang berbeda. ICP dikembangkan untuk spektrometri emisi
optik oleh Fassel et al. Di Iowa State University, Amerika Serikat dan oleh
Greenfield et al. Di Albright & Wilson, Ltd, Inggris pada pertengahan 1960-an.
Instrumen ICP-OES yang tersedia secara komersial pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1974 (Hou dan Jones, 2000).
Teknik kerja didasarkan pada emisi spontan foton dari atom dan ion yang
telah tereksitasi dalam radio frequency (RF) discharge. Sampel cair dan gas dapat
diinjeksi langsung ke instrumen, sedangkan sampel padat memerlukan ekstraksi atau
digesti asam sehingga analit akan didapatkan dalam bentuk larutan. Larutan sampel
diubah menjadi aerosol dan diarahkan ke saluran pusat plasma. Pada bagian inti
Inductively Coupled Plasma (ICP) suhunya sekitar 10.000 K, sehingga aerosol cepat
diuapkan. Unsur analit dibebaskan sebagai atom-atom bebas dalam bentuk gas.
Eksitasi tumbukan lebih lanjut dalam plasma menghasilkan energi tambahan untuk
atom sehingga mempromosikannya ke keadaan tereksitasi. Energi yang cukup
mengubah atom menjadi ion dan selanjutnya mempromosikan ion ke keadaan
tereksitasi. Kedua jenis keadaan tereksitasi dari atom dan ion kemudian dapat
kembali ke keadaan dasar melalui emisi foton. Foton ini memiliki energi khas yang
ditentukan oleh struktur tingkat energi terkuantisasi untuk atom atau ion. Dengan
demikian panjang gelombang dari foton dapat digunakan untuk mengidentifikasi
unsur-unsur asalnya. Total jumlah foton berbanding lurus dengan konsentrasi unsur
dalam sampel (Hou dan Jones, 2000).
Pada ICP-OES, gas argon diarahkan melalui torch yang terdiri atas tiga
tabung konsentrasi yang terbuat dari kuarsa atau beberapa bahan lain yang sesuai.
Sebuah kumparan tembaga, yang disebut load coil, mengelilingi ujung atas torch dan
terhubung ke generator frekuensi radio (radio frequency, RF). Bila daya RF
diterapkan pada load coil, arus bolak–balik bergerak di dalam kumparan, atau
berosilasi, pada tingkat yang sesuai dengan frekuensi generator. Osilasi Rf dari arus
dalam kumparan ini menyebabkan terbentukknya medan listrik dan medan magnet
RF dibagian atas torch. Dengan gas argon yang berputar melalui torch, bunga api

7
yang diterapkan pada gas menyebabkan beberapa elektron akan terlepas dari atom
argonnya. Elektron ini kemudian tertangkap dan diakselerasi dalam medan magnet.
Menambahkan energi pada elektron dengan menggunakan kumparan dengan cara ini
dikenal sebagai inductive coupling. Elektron berenergi tinggi ini selanjutnya
bertumbukan dengan atom argon lainnya, menyebabkan lepasnya lebih banyak
elektron. Ionisasi tumbukan gas argon ini berlanjut dalam reaksi berantai, mengubah
gas menjadi plasma yang terdiri atas atom argon, elektron, dan ion argon,
membentuk apa yang dikenal sebagai inductively coupled plasma (ICP) discharge.
ICP discharge tersebut kemudian dipertahankan dalam torch dan load coil selama
energi RF masih terus ditransfer melalui proses inductive coupling
(Boss dan Fredeen, 1997).
Menurut Boss dan Fredeen (1997), adapun komponen utama dan susunan
instrumentasi ICP-OES yaitu:

Gambar 4. Komponen utama dan susunan instrumentasi Inductively Coupled


Plasma-Optical Emission Spectrometry (ICP-OES) (Boss dan Freeden, 1997)

a. Nebulizer
Nebulizer adalah alat yang emngubah cairan menjadi aerosol yang dapat
dibawa ke plasma. Banyak gaya yang daoat digunakan untuk memecah cairan
menjadi aerosol namun, hanya dua yang berhasil digunakan dengan ICP, gaya
pneumatik dan gaya mekanik ultrasonik. Kebanyakan nebulizer ICP komersial
adalah dari jenis pneumatik. Nebulizer ini menggunakan aliran gas berkecepatan
tinggi untuk membuat aerosol (Boss dan Fredeen, 1997).

8
Gambar 5. Contoh Nebulizer yang digunakan untuk ICP-OES
(Boss dan Fredeen, 1997).

b. Pompa
Pompa memanfaatkan serangkaian rol yang mendorong larutan sampel
melalui selang dengan menggunakan proses yang dikenal sebagai gerakan peristaltik.
Pompa tersebut tidak kontak dengan larutan, hanya dengan selang yang membawa
larutan bejana sampel ke nebulizer (Boss dan Fredeen, 2000).

Gambar 6. Pompa Peristaltik yang digunakan untuk ICP-OES


(Boss dan Fredeen, 2000).

c. Spray Chamber
Spray Chamber ditempatkan diantara nebulizer dan torch. Fungsi utamanya
adalah menghilangkan tetesan besar dari aerosol. Fungsi kedua dari spray chamber
adalah untuk melancarkan pulse yang terjadi selama nebulisasi yang sering
disebabkan oleh pemompaan larutan. Secara umum, spray chamber ICP dirancang
untuk memungkinkan tetesan diameter sekitar 10 mm atau lebih kecil lolos ke
plasma (Boss dan Fredeen, 1997).

9
Gambar 7. Spray Chamber yang digunakan untuk ICP-OES
Beberapa alternatif untuk nebulizer dan spray chambers telah digunakan
sebagai sistem penghantar sampel untuk ICP-OES. Teknik alternatif yang paling
banyak digunakan adalah hydride generation (generasi hidrida). Dengan teknik ini,
sampel, dalam asam encer, dicampur dengan zat preduksi, biasanya larutan natrium
borohidra dalam natrium hidroksida encer. Reaksi natrium borohidrida dengan asam
menghasilkan atom hidrogen. Atom hidrogen kemudian bereaksi dengan Hg, Sb, As,
Bi, Ge, Pb, Se, Te, dan Sn dalam larutan untuk membentuk hidrida stabil dari
unsur-unsur tersebut. Senyawa gas ini kemudian dipisahkan dari sisa campuran
reaksi dan dibawa ke plasma (Boss dan Fredeen, 1997).

Gambar 8. Skema Generator Hidrida


Perbaikan dalam batas deteksi dengan faktor hingga 1000 untuk unsur-unsur
yang tercantum di atas telah dicapai dengan menggunakan generasi hidrida. Alasan
kemajuan besar dalam sensitivitas untuk unsur ini adalah tingkat penghantar sampel
untuk generator hidrida seringkali sebanyak sepuluh kali tingkat dibandingkan

10
nebulizer pneumatik, dan efisien dengan hibrida yang mudah menguap yang
dihantantarkan ke plasma mendekati 100% dibandingkan dengan efisien 1 – 5% bila
menggunakan nebulizer pneumatik dan spray chamber (Boss dan Fredeen, 1997).

d. Torch
Torch terdiri atas tiga tabung konsentri untuk aliran argon dan injeksi aerosol.
Jarak antara dua tabung luar dipertahankan sempit sehingga gas yang dihantarkan
diantaranya mengalir dengan kecepatan tinggi. Salah satu fungsi dari gas ini adalah
untuk menjaga dinding kuarsa torch dingin. Untuk ICP argon, aliran gas luar
biasanya sekitar 7-15 L/menit. Ruang antar aliran luar dan aliran dalam
menghantarkan gas langsung di bawah toroid plasma. Dalam operasi normal torch,
aliran ini, sebelumnya disebut aliran tambahan tapi sekarang disebut aliran gas
menengah, sekitar 1,0 L/menit. Aliran menengah biasanya digunakan untuk
mengurangi pembentukan karbon pada ujung tabung injektor ketika sampel organik
sedang di analisis. Namun, hal tersebut juga dapat meningkatnya kinerja dengan
sampel air. Aliran gas yang membawa aerosol sampel diinjeksikan ke plasma melalui
tabung atau injektor pusat. Karena diameter diujung injektor kecil, kecepatan gas
argon 1 L/menit yang digunakan untuk nebulisasi dapat membentuk lubang melalui
plasma (Boss dan Fredeen, 1997).

Gambar 9. Torch yang digunakan untuk ICP-OES


Untuk mendapatkan informasi kualitatif, yaitu unsur apa yang terdapat dalam
sample, melibatkan identifikasi adanya emisi pada panjang gelombang khas dari
unsur yang dituju. Secara umum, setidaknya tiga garis spektrum dari unsur yang
diperiksa untuk memastikan bahwa emisi yang diamati memang benar merupakan

11
milik unsur yang dituju. Terkadang gangguan garis spektral dari unsur lain mungkin
membuat suatu ketidakpastian tentang adanya unsur dalam plasma. Untungnya, dari
sejumlah besar garis emisi yang tersedia untuk sebagian besar unsur
memperbolehkan salah satu garis emisi yang dapat mengatasi gangguan tersebut
dengan cara memilih diantara beberapa garis emisi yang berbeda untuk unsuryang
dituju (Boss dan Fredeen, 1997).
Untuk mendapatkan informasi kuantitatif, yaitu, seberapa banyak suatu
unsutrterdapat dalam sampel, dapat dicapai dengan menggunakan plot intensitas
emisi terhadap konsentrasi yang disebut kurva kalibrasi. Larutan dengan konsentrasi
analit yang diketahui, disebut larutan standar, dimasukkan kedalam ICP dan
intensitas emisi khas untuk semua unsur, atau analit, diukur. Intensitas ini kemudian
dapat di plot terhadap konsentrasi standar untuk membentuk kurva kalibrasi bagi
semua unsur. Ketika intensitas emisi dari analit diukur, intensitas diperiksa terhadap
kurva kalibrasi unsur tersebut untuk menentukan konsentrasi sesuai dengan
intensitasnya (Boss dan Fredeen, 1997).
Menurut Hou dan Bradley (2000), dibandingkan dengan tektik lain, ICP-OES
memiliki suhu atomisasi yang lebih tinggi, lingkungan yang lebih inert, dan
kemampuan alami untuk penentuan hingga 70 element secara bersamaan. Hal ini
membuat ICP lebih tahan terhadap gangguan matriks, dan lebih mampu
mengoreksinya ketika terjadi gangguan matriks. ICP-OES menyediakan batas deteksi
serendah, atau lebih rendah dari pesaing terbaiknya, GFAAS. Selain itu, ICP tidak
menggunkan elektroda, sehingga tidak kontaminasi dari pengotor yang berasal dari
bahan elektroda. ICP juga relatif lebih mudah dalam perakitannya dan murah, di
bandingkan dengan beberapa sumber lain, seperti LIP (Laser-Inducted Plasma).
Berikut ini adalah beberapa sifat yang paling menguntungkan dari ICP:
i. Suhu tinggi (7000-80000C).
ii. Kerapatan elektron tinggi (1014-1016 cm3).
iii. Derajat ionisasi yang cukup besar untuk banyak unsur
iv. Kemampuan analisa multiunsur secara bersamaan (lebih dari 70 unsur
termasuk P dan S).
v. Emisi background (latar belakang) rendah, dan gangguan kimia yang relatif
rendah

12
vi. Stabilitas tinggi menyebabkan akurasi dan presisi yang sangat baik.
vii. Batas deteksi yang sangat baik untuk sebagian unsur (0,1-100 ng/m L).
viii. Linear dynamic range (LDR) yang lebar (4-6 kali lipat).
ix. Dapat diterapkan untuk unsur-unsur refraktori.
x. Analisis dengan biaya efektif.

2.2.2 Inductively Coupled Plasma-Mass Spectrometry (ICP-MS)


Menurut Hoffman (1996), efisiensi dari ICP dalam memproduksi singly-
charged positive ions bagi sebagian besar elemen menjadikannya sumber yang
efektif untuk ionisasi spectrometry massa. ICP-MS memiliki kemampuan untuk
membedakan antara massa dari berbagai isotopes elemen yang mana lebih dari satu
isotop stabil terjadi. Proses yang terjadi pada alat ICP-MS, yaitu atom dapat
dibelokkan dalam sebuah medan magnet (dengan anggapan atom tersebut diubah
menjadi ion terlebih dahulu). Karena partikel-partikel bermuatan listrik dibelokkan
dalam medan magnet dan partikel-partikel yang tidak bermuatan (netral) tidak
dibelokkan. Urutannya adalah sebagai berikut:
i. Ionisasi
Atom di-ionisasi dengan mengambil satu atau lebih elektron dari atom
tersebut supaya terbentuk ion positif. Ini juga berlaku untuk unsur-unsur yang
biasanya membentuk ion-ion negatif (sebagai contoh, klor) atau unsur-unsur yang
tidak pernah membentuk ion (sebagai contoh, argon). Spektrometer massa ini selalu
bekerja hanya dengan ion positif.
Sampel yang berbentuk gas (vaporised sampel) masuk ke dalam ruang
ionisasi. Kumparan metal yang dipanaskan dengan menggunakan listrik melepaskan
elektron-elektron yang ada pada sampel dan elektron-elektron lepas itu menempel
pada perangkap elektron (electron trap) yang mempunyai muatan positif.
Partikel-partikel dalam sampel tersebut (atom atau molekul) dihantam oleh banyak
sekali elektron-elektron, dan beberapa dari tumbukan tersebut mempunyai energi
cukup untuk melepaskan satu atau lebih elektron dari sampel tersebut sehingga
sampel tersebut menjadi ion positif. Kebanyakan ion-ion positif yang terbentuk itu
mempunyai muatan +1 karena akan jauh lebih sulit untuk memindahkan elektron lagi
dari sampel yang sudah menjadi ion positif. Ion-ion positif yang terbentuk ini ediajak

13
keluarf dan masuk ke bagian mesin yang merupakan sebuah lempengan metal yang
bermuatan positif (Ion repellel).
ii. Percepatan
Ion-ion tersebut dipercepat supaya semuanya mempunyai energi kinetik yang
sama. Ion-ion positif yang ditolak dari ruang ionisasi yang sangat positif itu akan
melewati 3 celah, dimana celah terakhir itu bermuatan 0 V. Celah yang berada
di tengah mempunyai voltase menengah. Semua ion-ion tersebut dipercepat sampai
menjadi sinar yang sangat terfokus.
iii. Pembelokan
Ion-ion tersebut dibelokkan dengan menggunakan medan magnet mengalami
pembelokan yang terjadi tergantung pada massa ion tersebut. Semakin ringan
massanya, akan semakin dibelokan. Besarnya pembelokannya juga tergantung pada
besar muatan positif ion tersebut. Dengan kata lain, semakin banyak elektron yang
ediambilf pada tahap 1, semakin besar muatan ion tersebut, pembelokan yang terjadi
akan semakin besar.
iv. Pendeteksian
Sinar-sinar ion yang melintas dalam mesin tersebut dideteksi dengan secara
elektrik.
Menurut Hoffman (1996), secara skematik maka alat ICP-MS dapat
digambarkan serangkaian berikut ini

Gambar 10. Skema alat ICP

14
Menurut Hoffman (1996), bagian ICP-MS sendiri terdiri atas:
1. Pengkabutan (nebulisasi) dan bagian penyemprot (chamber)
Secara normal analisa sampel didalam larutan adalah dengan secara langsung
dalam bentuk larutan, menggunakan sebuah system pengkabutan serta konfigurasi
penyemprotan adalah metode yang secara umum terdapat didalam ICP-MS. Larutan
sampel dapat dibawa dengan aspirasi sendiri (larutan dibawa keatas dengan
menggunakan tekanan ketika larutan sampel akan melewati sistem pengkabutan) atau
sebuah pompa peristaltik dapat digunakan untuk membawa larutan menuju sistem
pengkabutan. Tugas yang utama dari sistem pengkabutan adalah untuk menghasilkan
aerosol dengan besar diameter adalah < 10 μm.
Tipe-tipe nebulizer yang umum digunakan didalam alat ICP-MS adalah
Meinhard Nebulizer serta Babington Nebulizer, sedangkan untuk tipe nebulizer yang
lainnya adalah ultrasonic, concentric serta hydraulic temperatur tinggi nebulizer.
Dengan model Meinhard concentric nebulizer (seperti yang ditunjukkan pada
gambar 9 larutan sampel mengalir melalui celah pipa kapiler. Gas pada sistem
pengkabutan akan memproduksi aerosol dari sampel pada kapiler pengeluaran yang
akan mengalir sepanjang kapiler. Sedangkan model microconsentric nebulizer akan
bekerja hampir sama seperti model Meinhard.

Gambar 11. Nebulizer Meinhard


Sedangkan model Babington nebulizer (pada gambar 10) sampel akan
mengalir membentuk ulir v. Aerosol dibentuk dari film sampel didalam ulir dengan
menggunakan gas pembawa melalui lubang yang kecil didasar ulir.

15
Gambar 12. Babington nebulizer
Pada model hydraulic temperatur tinggi nebulizer (HHPN) aerosol dibentuk
dengan memompakan memalui nozzle yang berukuran 10 μm keatas sebuah bola
gelas. Gas pengkabutan membawa aerosol kebagian desolvasi, yang diperlukan
karena muatan pelarut yang besar. Aerosol yang kering secara langsung akan dibawa
ke plasma.
Pneummatic nebulizer menghasilkan aerosol dengan papan pendistribusian
dengan diameter sebesar 100 μm. Tugas yang utama dari bagian penyemprot yang
ditempatkan setelah bagian pengkabutan adalah menghilangkan tetesan dari gas serta
membawanya kepembuangan, yang akan memperbaiki stabilitas signal. Ketika gas
pembawa membawa aerosol memasuki bagian penyemprot maka akan mengalami
perubahan arah sendirinya. Tetesan yang besar tidak akan mengalir langsung pada
dinding bagian penyemprot dan akan menuju bagian pembuangan. Maka bagian
penyemprot akan memastikan hanya tetesan-tetesan yang cukup kecil yang akan
tetap dibagian gas pembawa yang akan dibawa menuju bagian plasma.

Gambar 13. Spray camber.


2. Obor Inductively Couple Plasma
Plasma adalah gas netral yang bebas dari kandungan ion positif ataupun
negative. Obor Inductively couple plasma adalah sebuah aliran tanpa muatan didalam
sebuah gas pada tekanan atmosfir. Gas yang digunakan secara umum adalah Argon

16
karena relatif gampang mengionisasi serta mempunyai massa yang besar dan oleh sebab
itu memiliki daya pembawa yang baik. Plasma dibentuk pada obor kuarsa, yang terdiri
atas 3 tabung kuarsa. Sampel aerosol akan dibawa keplasma melalui tabung pusar.
Tabung kuarsa yang paling luar akan membawa plasma ketabung utama. Plasma
biasanya diperkuat dengan sinyal radio dengan frekuensi 27.12 serta 40.68 MHz yang
dihasilkan dari koil tembaga yang ditempatkan mengelilingi obor. Temperatur yang akan
dihasilkan pada pembentukan plasma adalah 6000 sampai 8000 K.

Gambar 14. Obor ICP


3. Ekstraksi Ion
Setelah ion analit dibentuk dibawah tekanan atmosfir, maka akan dianalisa di
spektrometri massa yang beroperasi dibawah keadaan vakum kira-kira 10-6 mbar.
Ekstraksi ion dari plasma kedalam system vakum adalah sangat penting. Diagram dari
sebuah system ekstraksi ion adalah ditunjukkan pada gambar berikut ini (gambar 13).
Ion memasuki bagian pemisahan memalui pompa mekanik memalui lubang dengan
diameter 1mm (dari sebuah bagian pengkerucut sampel). Kemudian sampel akan
memasuki bagian lubang yang kedua yang disebut dengan lubang skimmer. Pada bagian
belakang dari lubang kerucut sebuah system vakum dibuat kira-kira 10-6 mbar dengan
2 pompa turbo molecular. Lensa akan memfokuskan ion segera memasuki spektroskopi
massa.

Gambar 15. Bagian antara plasma serta spektroskopi massa


Spektroskopi masssa dengan 4 muatan Di dalam peralatan ICP-MS yang
digunakan, pemisahaan ion dilakukan dengan menggunakan sebuah analisa massa

17
bermuatan 4 (seperti ditunjukkan gambar 14). Sistem ini dibuat dengan 4 buat logam
yang disusun secara pararel (quadropole). Masing-masing batangan terdiri atas sinyal
radio (RF) serta sumber arus DC disertakan pada bagian ini. Untuk salah satu pasang
voltasi sinyal radio mempunyai besar amplitude yang sama besar akan tetapi masing-
masing mereka memiliki muatan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Kemampuan dari ion untuk memasuki bagian ini tergantung atas energi mereka serta
muatannya (massa). Dengan memvariasikan sinyal radio serta tegangan DC maka bagian
ini akan bertindak sebagai penyaring massa. Hanya ion yang sesuai dengan rasio
(perbandingan yang sesuai dengan bagian ocilator akan sampai pada bagian terakhir,
sedangkan yang lainnya akan tidak stabil serta akan menempel pada bagian dipol.

Gambar 16. Skema diagram dari quadropole

4. Deteksi ion
Signal ion akan diukur dengan menggunakan electron multifier setelah mereka
melewati bagian quadropole. Channel elektron multifier (gambar 7) adalah jenis elektron
multifier yang umum. Bagian dalam dari multifier ini dilapisi dengan logam oksida.
Muatan negatif dialokasikan kebagian multifier ini yang nantinya akan menarik ion yang
bermuatan positif. Ketika ion berhubungan dengan dinding logam oksida maka mereka
akan segera menolak elekron yang akan datang selanjutnya. Elektron yang kedua ini
akan diakurasikan kebagian tabung dengan tegangan listrik yang menurun.Yang
nantinya akan memukul bagian atau lapisan sehingga elektron-elektron yang berikutnya
akan terpancar. Proses ini dilakukan berkali-kali sehingga pada akhirnya ion akan saling
tertimbun dan akhirnya akan berkumpul kira-kira 108 elektron. Multifier dapat
dioperasikan dalam perhitungan injeksi atau dalam mode analog tergantung dari
konsentrasi analit yang akan diukur. Didalam mode injeksi tegangan negatif dialokasikan
lebih tinggi dan elektron-elektron yang terbentuk akan lebih banyak. Elektron akan
terbaca/terdeteksi sebagai sinyal elektron tunggal. Metode ini biasanya dilakukan pada

18
range konsentrasi analit sampai 1 mg/L, sedangkan metode analog (1 ion yang akan
menghasilkan 104 elektron) adalah cocok untuk konsentrasi analit dari 1 sampai
100 mg/L. Pada metode ini multifier tidak akan penuh. Intensitas ion akan dikonversikan
dalam suatu pulse yang akan dihitung sebagai sebuah sinyal.

2.3 Merkuri
Merkuri atau juga disebut air raksa merupakan salah satu logam berat yang
menjadi bahan pencemaran. Masuknnya merkuri dalam jumlah yang tinggi ke dalam
lingkungan perairan dapat menyebabkan efek yang buruk bagi organisme yang hidup
pada perairan tersebut, bahkan dapat membahayakan kesehatan manusia yang
menggunakan air dan mengkonsumsi organisme tersebut. Jika merkuri ini telah
masuk dalam rantai makanan maka suatu saat akan masuk pada tubuh manusia
(Selayar dkk., 2015).
Meningkatnya kegiatan pertambangan, industri dan pertanian sepanjang
daerah aliran sungai (DAS) mempercepat peningkatan konsentrasi merkuri (Hg)
terlarut dalam badan perairan. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jambi tahun 2014
menetapkan bahwa peningkatan konsentrasi Hg di perairan Sungai Batanghari sudah
mengalami pencemaran dengan kategori golongan kelas D dengan effluen sebesar
0,3265 ppm (Kompas, 2014). Konsentrasi Hg tersebut merupakan konsentrasi yang
tinggi, kemungkinan sudah toksik buat ikan dan tidak aman untuk pangan. Menurut
Carvalho dan Fernandes (2006) bahwa merkuri dapat terbioakumulasi dan menjadi
racun bagi organisme budidaya. Kelebihan Hg tersebut menyebabkan gangguan pada
sejumlah proses fisiologis yang meliputi terganggunya regulasi pertukaran ion di
insang sehingga menurunkan penyerapan oksigen yang residunya terikat pada protein
dan enzim (Syahrizal, 2017).
Merkuri sebagai unsur ataupun ionnya dalam larutan merupakan bahan
beracun berbahaya. Oleh karena itu limbah yang mengandung merkuri dengan segala
bentuk juga merupakan limbah yang beracun. Batas konsentrasi ion merkuri yang
diperbolehkan sangat kecil, dalam satuan ng/mL. Upaya untuk mengetahui
konsentrasi merkuri dalam suatu limbah bersifat membahayakan ataukah tidak, juga
memerlukan metode analisis yang dapat menjangkau analit dalam jumlah yang relatif
kecil. Merkuri di alam dibagi dalam tiga bentuk yaitu logam merkuri, merkuri
organik, dan merkuri anorganik. Merkuri organik, khususnya metil merkuri lebih

19
toksik dibandingkan dengan senyawa merkuri yang lain. Hasil penelitian Suheryanto
(1996) menyatakan bahwa konsentrasi total merkuri di perairan Sungai Musi
Palembang sebesar 1,42 ng/mL. Pengukuran konsentrasi total merkuri yang ada di
lingkungan perairan tidak dapat membedakan merkuri yang toksik dengan merkuri
yang tidak toksik, akan tetapi dengan analisis spesiasi dapat dikualifikasikan
keberadaan merkuri dengan tingkat toksisitasnya di lingkungan
(Kristianingrum, 2007).
Beberapa penggunaan umum merkuri yaitu melakukan listrik, mengukur suhu
dan tekanan, bertindak sebagai biocide, pengawet, dan desinfektan, serta menjadi
katalisator reaksi. Tidak seperti kebanyakan polutan lainnya, merkuri sangat mobile,
tidak biodegradable, dan bio-akumulatif. Akibatnya, harus dipantau secara ketat
untuk memastikan efek berbahaya pada populasi lokal diminimalkan. Dengan
demikian, pengukuran merkuri dalam sampel lingkungan, dan khususnya air limbah,
sangat penting sebagai alat utama untuk melindungi lingkungan dari merkuri yang
dilepaskan. melalui emisi dari kegiatan manufaktur, penggunaan, atau pembuangan.
Saat ini, metode menonjol yang biasanya digunakan oleh masyarakat sekitar untuk
penentuan merkuri pada umumnya memerlukan batas deteksi serendah 0,5 ng/L
(ppt, partper-triliun)
Merkuri dapat dianalisis dengan menggunakan Spektroskopi Serapan Atom
Dingin (CVAAS) atau Spektroskopi Fluoresensi Atom Dingin (CVAFS). Kedua
teknik ini relatif mudah digunakan dan dapat memenuhi persyaratan analitis batas
deteksi pada kisaran ppt rendah. Namun, umumnya hanya spesifik untuk analisis
merkuri.

2.3.1 Analisis Kadar Merkuri Di Perairan Menggunakan Metode Inducetively


Coupled Mass (ICP)
Menurut Selayar dkk. (2015), dalam beberapa tahun terakhir, Spektrometri
Massa Plasma Induktif Ditambah (ICP-MS) telah menjadi salah satu teknik analitik
yang paling kuat untuk analisis elemen jejak karena sensitivitasnya yang tinggi,
rentang dinamik linier yang lebar, dan kemampuan deteksi multi-elemen simultan.
Sebagai hasilnya, ICP-MS semakin banyak digunakan di laboratorium untuk
mengukur merkuri secara simultan dengan logam beracun lainnya karena teknik ini
dapat menawarkan kinerja analitis yang sama seperti CVAAS atau CVAFS. Catatan

20
aplikasi ini menjelaskan penerapan ELAN® ICP-MS untuk menentukan merkuri
dalam air limbah.
Prosedur
a. Pembuatan Larutan Standar
Larutan standar dibuat dengan melarutkan 0.1354 g HgCl dengan sedikit
air. Kemudian ditambahkan 5 mL HNO3 pekat dan diencerkan hingga
100 mL.
b. Persiapan sampel
Sebanyak 20 mL Air Laut dimasukkan kedalam botol polypropylene
50 mL, kemudian ditambahkan 0,4 mL HNO3 pekat. Selanjutnya
dianalisa logam Hg dengan menggunakan ICP-MS.

Instrumentasi
Untuk penelitian ini, PerkinElmer® ELAN DRC ™ II ICP-MS digunakan
untuk analisis sampel air limbah dengan mode standar. Kondisi instrumen ELAN
ICP-MS dan parameter metode umum ditunjukkan pada Tabel 1.

2.4 Arsen
2.3.1 Pengertian
Arsen (As) memiliki nomor atom 33; bobot atom 74,92; bobot jenis
5,72 g/cm3; titik leleh 817 °C (subl); titik didih 613 °C (subl); tekanan uap 0 Pa.
Arsen merupakan logam anorganik berwarna abu-abu, dengan kelarutan dalam air
sangat rendah. Arsen pada konsentrasi rendah terdapat pada tanah, air, makanan dan

21
udara. Unsur ini bereaksi dengan halogen, asam pengoksidasi pekat dan alkali panas.
Persenyawaan arsen dengan oksigen, klorin dan sulfur disebut arsen anorganik,
sedangkan persenyawaan arsen dengan C & H disebut arsen organik. Senyawa arsen
digunakan dalam insektisida dan sebagai bahan pendadahan (doping) dalam
semikonduktor. Unsur ini digunakan untuk mengeraskan beberapa aloi timbal oleh
(Panitia Teknis 67-02 Bahan Tambahan Pangan dan Kontaminan, 2009).
Arsen (As) merupakan bahan kimia yang bersifat metaloid beracun yang ada
dalam berbagai bentuk organik dan anorganik di alam. Metaloid adalah kelompok
unsur kimia yang memiliki sifat antara logam dan nonlogam, sulit dibedakan dengan
logam. Di alam, bahan kimia ini terdapat di air, sedimen, dan biota (Istari dan Ellina,
2014).

2.3.2 Bentuk Persenyawaan Arsen


Menurut Panitia Teknis 67-02 Bahan Tambahan Pangan dan Kontaminan,
(2009), arsen dalam bentuk persenyawaan antara lain :
1. Arsen trioksida : berbentuk serbuk (halus) putih, As2O3; bobot molekul 197,82 g;
bobot jenis 3,7 g/cm3-3,87 g/cm3; titik leleh 200 °C. Senyawa ini sangat beracun
dan digunakan untuk meracuni hama dan untuk membuat kaca opal dan email.
2. Arsina (Arsen hidrida) : gas tanwarna, AsH3 ; bobot molekul 77,95 g; bobot jenis
3,48 g/L; titik didih -55 °C; titik leleh -117 °C. Kelarutan dalam air 18 g/L; larut
dalam kloroform dan benzena. Gas ini sangat beracun, mudah terurai pada suhu
tinggi (sekitar 260 °C - 300 °C). Gas arsin banyak dipakai dalam perdagangan
untuk pembuatan komponen mikroelektronik modern. Digunakan sebagai
campuran dalam jumlah sedikit dengan gas lembam, dan sifat mudah terurainya
dimanfaatkan untuk mendadahkan (doping) sedikit arsen dalam kristal lain yang
sedang tumbuh, menghasilkan semikonduktor jenis n.
3. Arsen triklorida berbentuk cair, AsCl3
Arsen dalam air tanah terbagi dalam dua bentuk, yaitu bentuk tereduksi
terbentuk dalam kondisi anaerobik, sering disebut arsenit. Bentuk lainnya adalah
bentuk teroksidasi, terjadi pada kondisi aerobik, umum disebut sebagai arsenat.
Arsen merupakan unsur dari komponen obat sejak dahulu kala. Senyawa arsen
trioksida misalnya pernah digunakan sebagai tonikum, yaitu dengan dosis
3 x 1-2 mg. Dalam jangka panjang, penggunaan tonikum ini ternyata telah

22
menyebabkan timbulnya gejala intoksikasi arsen kronis. Arsen juga pernah
digunakan sebagai obat untuk infeksi parasit, seperti protozoa, cacing, amoeba,
sprirocheta, dan tripanisoma, tetapi kemudian tidak lagi digunakan sebagai obat
pada resep homeopathi (Istari dan Ellina, 2014).
Arsen ditemukan dalam 200 bentuk mineral, diantaranya arsenat (60%),
sulfida dan sulfosalts (20%), dan kelompok kecil berupa arsenida, arsenat, oksida
silikat, dan arsen murni (Onishi, 1969). Mayoritas arsen ditemukan dalam kandungan
utama asenopyrite (FeAsS), realgar (As4S3), dan orpiment (As2S3). Realgar
(As4S3), dan orpiment (As2S3) biasanya menurunkan bentuk dari arsen itu sendiri.
Kondisi natural lainnya yakni loellingite (FeAs2), safforlite (CoAs), nicolite (NiAs),
rammelsbergit (NiAs2), arsenopyrite (FeAsS), kobaltite (CoAsS), enargite
(Cu3AsS4), gerdsorfite (NiAsS), glaucodot ((Co,Fe)AsS), dan elemen arsen
(Istari dan Ellina, 2014).
Dalam lingkungan perairan, kondisi dalam tekanan oksidasi arsen
membentuk pentavalent arsenat (As(V)), dimana dalam kondisi sebaliknya saat
tereduksi membentuk trivalent arsenit (As(III)), dan mobilitas serta penyerapan oleh
sedimen, tanah lempung, dan mineral tanah bergantung pada bentuk arsennya. Dalam
kondisi anoksik, aktivitas mikrobial dapat membentuk arsen dalam metilat, yang
mana berbentuk padat dan mampu masuk ke lapisan atmosfer
(Istari dan Ellina, 2014).

2.3.3 Toksisitas Arsen


Pada tikus, nilai LD50 pada pemberian oral 763 mg/kg bb, intraperitoneal 13
mg/kg bb, sedangkan pada mencit, nilai LD50 pada pemberian oral 145 mg/kg bb,
intraperitoneal 46 mg/kg bb. Nilai PTWI arsen anorganik 0,015 mg/kg bb. Arsen
merupakan salah satu elemen yang paling toksik dan merupakan racun akumulatif.
Arsen anorganik bersifat lebih toksik dibandingkan arsen organik. Manusia terpapar
arsen melalui makanan, air dan udara. Paparan arsen lebih tinggi pada pekerja yang
menggunakan arsen, peminum wine, orang yang tinggal dalam rumah yang
menggunakan kayu dan orang yang tinggal di lahan pertanian yang menggunakan
pestisida mengandung arsen (Panitia Teknis 67-02 Bahan Tambahan Pangan dan
Kontaminan, 2009).

23
Tanaman lebih mudah menyerap arsen, sehingga memungkinkan arsen
berada dalam pangan pada konsentrasi tinggi dalam bentuk organik dan anorganik.
Arsen anorganik biasanya ditemukan dalam rumput laut dan pangan lain yang
berasal dari laut. Ikan dan seafood mampu mengakumulasi sejumlah arsen organik
yang berasal dari lingkungannya. Kandungan arsen dalam tanaman biasanya
ditentukan melalui kandungan arsen dalam tanah, air, udara dan fertiliser.
Konsentrasi arsen triorganik lebih dari 60.000 μg/kg dalam makanan atau minuman
dapat menyebabkan kematian. Konsentrasi arsen anorganik 300 μg/kg - 30.000 μg/kg
dalam makanan atau minuman menyebabkan iritasi perut dan usus disertai dengan
gejala mual, muntah dan diare. Tertelan arsen menyebabkan penurunan produksi sel
darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit). Konsentrasi 0,010 mg/l dalam
air minum dapat menyebabkan kerusakan kulit dan sistem sirkulasi serta dapat
meningkatkan risiko kanker. Efek akut terhadap arsen berlangsung lambat namun
disertai dengan anemia hemolitik yang cepat. Efek kronis dapat menyebabkan
kerusakan pada tulang, darah, hati, saluran pernafasan dan sistem syaraf pusat.
Gejala yang nampak pada keracunan kronis arsen antara lain berat badan turun,
mual, diare disertai sembelit, pigmentasi dan kulit mengelupas, rambut rontok,
radang syaraf perifer. Disamping itu dapat terjadi hepatitis kronis dan sirosis hati,
radang syaraf pada berbagai jaringan (polyneuritis), kulit yang melepuh disertai
melanotik dan keratotik hingga terjadi kanker kulit, pada permukaan kuku dapat
muncul garis-garis putih (Panitia Teknis 67-02 Bahan Tambahan Pangan dan
Kontaminan, 2009).

2.3.4 Analisis Kadar Arsen di Perairan Menggunakan Metode Inducetively


Coupled Plasma (ICP)
Menurut Lasut, dkk. (2016) dalam penelitiannya yaitu menganalisis
kandungan arsen di perairan Teluk Manado. Adapun langkah-langkah yang
dilakukan dalam penelitiannya, yaitu:
1. Lokasi dan Teknik Pengambilan Sampel
Air dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini, karena fokus penelitian
adalah kolom air perairan. Pengambilan sampel air laut di Perairan Teluk Manado
dilakukan di bagian pinggiran pantai yang mudah dijangkau. Kolom air yang diambil
adalah pada bagian permukaan (kira-kira pada kedalaman 50 cm dari permukaan).

24
Di masing-masing lokasi, ditentukan 3 TS, yaitu di bagian tengah, sisi kiri, dan sisi
kanan. Jarak antara TS di bagian tengah dan TS di sisi kiri atau sisi kanan adalah
sejauh 50 m. Sampel air, di masing-masing lokasi, diambil secara komposit, yaitu
mencampur sampel air dari 3 TS (bagian tengah, sisi kiri, dan sisi kanan). Pencatatan
posisi koordinat geografi dilakukan pada TS bagian tengah. Pengambilan sampel air
di ketiga TS dilakukan menggunakan wadah kecil (volume 1800 mL); kemudian
ketiga sampel air dalam wadah kecil dicampur (komposit) secara merata (dengan
melakukan pengadukan secukupnya) di dalam wadah besar (volume 5400 mL).
Sampel air sebanyak 100 mL diambil dari wadah besar tersebut dengan
menggunakan botol kaca berpenutup (volume 100 mL), yang telah disterilkan.
Selama kegiatan sampling, botol yang telah berisi sampel dan ditutup rapat
diletakkan dalam kotak penyimpanan sementara yang berisi gel pendingin (cool box)
sebelum dianalisis di laboratorium.
2. Pengukuran Arsen
Penentuan kandungan As (bentuk suspensi dan terlarut) menggunakan alat
Inductively Coupled Plasma-Emmission Spectrofotometer (ICP-OES), yang memiliki
batas deteksi sebesar 0,0005 ppm. Secara ringkas, analisis laboratorium untuk
pengukuran As dalam sampel air adalah sebagai berikut:
a. Persiapan Sampel
Oleh karena 2 (dua) bentuk sampel air yang diukur (suspensi dan terlarut),
maka sampel disiapkan dengan cara sebagai berikut:
i. Sampel air untuk analisis As berbentuk suspensi (As-S). Dalam analisis sampel
dilakukan proses digestion dengan cara sebagai berikut:
1. Menuang 50 mL sampel (yang telah diawet dengn HNO3 pekat hingga pH <2)
ke dalam piala gelas 100 mL kemudian tambahkan 2.5 mL HNO3 pekat.
Tutup piala gelas tersebut dengan kaca arloji dan panaskan pada suhu
85 ± 5ºC selama 2 jam.
2. Menurunkan piala gelas dalam pemanas. Bila kaca arloji penutup dan dinding
piala gelas dengan air ultra pure. Tambahkan 1.5 ml HNO3 pekat kemudian
panaskan kembali dengan suhu 85 ± 5 ºC selama 15 menit.
3. Mendinginkan sampel tersebut dan saring dengan kertas saring 0.45 μ ke
dalam labu ukur 100 mL dan himpitkan hingga tanda batas. Sampel siap untuk
dianalisis.

25
4. Membuat blank digestion pada awal, setiap kelipatan 15 sampel dan air digest.
ii. Persiapan sampel air untuk analisis As terlarut (As-T). Analisis sampel dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1. Menyaring sampel menggunakan kertas saring 0.45 μ, kemudian ditambahkan
pengawet HNO3 pekat hingga pH <2 dan dihomogenkan. Sampel siap untuk
dianalisis.
2. Membuat blank penyaringan pada awal, setiap kelipatan 15 sampel dan air
penyaringan.
b. Pengukuran Sampel
Pengukuran sampel dengan menggunakan alat ICP-OES, konsentrasi As
dihasilkan secara digital dan dibaca langsung pada alat tersebut.
3. Analisis Data
Data hasil pengukuran kandungan As dianalisis menggunakan Statistika
sederhana untuk menghitung rerata. Kemudian data disajikan secara deskriptif dalam
bentuk tabel. Adapun hasil yang diperoleh:
Tabel 2. Konsentrasi Arsen berbentuk suspensi (As-S) dan terlarut (As-T) di Perairan
Teluk Manado

Kandungan As dalam kolom air Perairan Teluk Manado, baik berbentuk


suspensi maupun terlarut sebesar < 0,0005 ppm. Konsentrasi As (bentuk suspensi
dan terlarut) dalam kolom air yang masuk ke Perairan Teluk Manado pada saat
pengamatan yaitu sebesar < 0,0005 ppm. Status pencemaran As Perairan Teluk
Manado masih berada dalam kondisi “aman”.
Menurut Hayati (2009), adapun prosedur kerja penggunaan ICP adalah:
1. Hidupkan komputer
2. Alirkan gas argon, tunggu 5 menit
3. Hidupkan instrumen ICP, tunggu 10 menit
4. Hidupkan water chiller, tunggu 5 menit sampai temperatur stabil (190C-200C)
5. Buka ICP software, klik instrumen icon

26
6. Klik W/L Calib, tunggu ICP selesai wavelength calibration
7. Masukkan blank (=aquadest)
8. Hidupkan plasma, tunggu 5 menit sampai stabil
9. Setting parameter yang diperlukan. Setiap ada perubahan angka setting, klik
read spectrum
10. Klik standard dan masukkan jumlah standar, nilai standar (0,01 mg/L; 0,03
mg/L; 0,05 mg/L; 0,1 mg/L; 0,25 mg/L; 0,5 mg/L)
11. Masukkan sample number dan calibration solution
12. Setelah klik OK, Klik manual sample source
13. Klik analysis page
14. Pilih standar dan sampel yang akan dianalisa, aktifkan dengan cara diblok,
klik kanan, dan pilihlah select for analysis, kemudian klik start icon arsen,
maka kadar arsen yang terkandung pada larutan destruksi kerang akan terbaca
pada layar komputer
15. Setelah selesai mengukur standar dan sampel, celupkan blanko selama 3
menit
16. Matikan plasma, tutup worksheet, tutup ICP software
17. Matikan water chiller
18. Matikan ICP instrument
19. Matikan komputer
20. Matikan exhaust sistem, tutup gas

2.5 Selenium
Selenium (Se) dalam bentuk unsur tidak larut dalam air, melainkan terserap ke
dalam partikulat. Bentuk selenium yang terlarut adalah selenit (SeO32-) dan selenat
(SeO42-). Keberadaan selenium diperairan diperkirakan dapat menurunkan toksisitas
arsen dan merkuri. Kadar selenium pada kerak bumi sekiar 0,1 mg/kg. Sumber alami
selenium di perairan adalah ferroslite (FeSe2), chalcopyrite, pentladite, dan
pyrrhotite. Selenium banyak digunakan dalam besi, baja, cat, fotografi, pengolahan
karet, elektronik, dan sebagai insektisida. Selenium merupakan hasil sampingan dari
proses batuan, pemurnian kobalt dari lumpur anoda, dan produksi asam sulfit dari
lumpur timbal (Pb) (Tobing, 2013).

27
Pencemaran selenium dalam badan air bisa mencemari tanah pertanian
melalui kandungan selenium yang mudah larut, contohnya selenat. Setelah terlarut,
selenium menuju perairan dan akhirnya mengendap dalam tanah, lalu mengalami
evaporasi sehingga selenium mencemari udara. Kadar air selenium bervariasi,
tergantung pada faktor lingkungan dan proses geologi. Rata-rata kadar selenium
diperairan adalah sebesar 0,02 ppm. Dalam jumlah renik, selenium merupakan unsur
yang essensial bagi hewan. Namun, pada kadar tinggi selenium juga bersifat toksik
bagi tumbuhan, meskipun dengan intensitas yang rendah. Bagi hewan dan manusia,
selenium bersifat toksik kumulatif. Kombinasi toksisitas selenium dan kadmium
terhadap alga hijau bersifat antagonistik. Air yang terkontaminasi selenium dapat
mengakibatkan kematian dan kecacatan. Pelepasan selenium diakibatkan oleh
perubahan cuaca, aktivitas manusia seperti pemurnian, produksi, dan peleburan
mineral yang bisa mencemari perairan (Tobing, 2013).

2.5.1 Analisis Kadar Selenium di Perairan Menggunakan Metode Inducetively


Coupled Plasma (ICP)
a) Preparasi Sampel Untuk Analisa Selenium
Sampel yang akan dianalisa adalah air sungai Denai Jl. Tuba 3 yang diambil
secara langsung dengan menggunakan botol plastik yang diisi sampai penuh tanpa
ada gelembung udara. Sebelum dianalisa dilaboratorium dengan menggunakan alat
Inductively Coupled Plasma (ICP) terlebih dahulu dilakukan preparasi sampel, yaitu
pertama dilakukan penyaringan. Kemudian filtratnya dipipet ke dalam erlenmeyer
sebanyak 25 ml. Lalu ditambahkan HNO3 pekat sedikit demi sedikit melalui dinding
erlenmeyer untuk melarutkan logam-logam pada sampel sambil diukur pH-nya
dengan menggunakan pH meter sampai mencapai pH ± 2 (Tobing, 2013).

b) Pembuatan Larutan Baku Selenium (Se(HNO3)2) 10 mg/L


Larutan baku selenium (Se(HNO3)2) 1000 mg/L dipipet sebanyak 5 ml ke
dalam labu ukur 500 mL. Kemudian, air suling ditambahkan ke dalam labu ukur
sampai tepat pada garis tanda (Tobing, 2013).

c) Pembuatan Larutan Standar Selenium Dari larutan Baku Selenium 5 mg/L


Larutan baku selenium (Se(HNO3)2) 5 mg/L dipipet masing sebanyak 0; 2,5;
5; 12,5; 25 mL ke dalam setiap labu ukur 100 mL. Kemudian, air suling dimasukan
kedalam setiap labu ukur sampai tepat garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi

28
larutan standar selenium 0; 0,25; 0,5;1,25; 2,5 mg/L. Larutan standar tersebut
masing-masing dimasukkan ke dalam glass beaker 250 ml (Tobing, 2013).

d) Prosedur Analisa
Dihidupkan komputer yang telah terprogram dan disesuaikan untuk
penggunaan alat ICP. Dialirkan gas argon ke ICP melalui suatu pipa, ditunggu
selama 5 menit. Dihidupkan instrumen ICP, ditunggu selama 10 menit. Dihidupkan
water chiller, tunggu 5 menit sampai termperatur stabil (sekitar 23oC -24oC). Dipilih
elemen logam yang akan dianalisa yang tertera pada layar komputer. Dipilih
pengaturan panjang gelombang untuk setiap elemen logam yang akan dianalisa pada
layar komputer. Dimana panjang gelombang untuk selenium 196,026 nm. Dipilih
jumlah larutan standart untuk masing-masing logam yang akan dianalisa pada layar
komputer, dimana sebelumnya alat ICP telah dikalibrasi terlebih dahulu dengan
larutan standar setiap logam yang akan dianalisa agar konsentrasi setiap logam pada
sampel dapat diketahui. Diisapkan larutan sampel kedalam alat ICP melalaui pipa
injeksi alat. Ditunggu sebentar untuk proses analisa didalam alat ICP, akan muncul
hasilnya pada layar komputer. Dicatat konsentrasi sampel yang terbaca pada layar
computer (Tobing, 2013).

(1) Data Percobaan


Tabel 3. Data Analisa Sampel dengan Inductively Coupled Plasma (ICP)
Parameter Hasil Analisa (mg/L) Rata-rata (mg/L)
Selenium (Se) 0,00066 0,00033
0,00027
0,00016
0,00024
(2) Perhitungan Kadar Selenium (Se)
V1 + V2 + V3 + V4
Vrata-rata Se =
4
0,00066 + 0,00027 + 0,00016 + 0,00024
Vrata-rata Se =
4
0,0013
Vrata-rata Se =
4
Vrata-rata Se = 0,00333

29
(3) Pembahasan
Dari hasil pemeriksaan sampel air sungai Denai Jln. Tuba 3 yang sudah
tersedia di laboratorium yang dilaksanakan di laboratorium BTKLPP (Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit) pada bulan Januari 2013,
diperoleh hasil analisa dengan metode Inductively Coupled Plasma (ICP) untuk
selenium (Se) 0,00033 mg/L. Hasil tersebut belum melewati batas normal
berdasarkan baku mutu air sungai menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001,
dimana untuk selenium adalah 0,01 mg/L.
Hal ini dikarenakan dalam perjalanan aliran sungai tersebut belum mengalami
kontaminasi, baik karena adanya erosi dari pinggiran air sungai, pencemaran dari
limbah domestik penduduk yang tinggal disekitar aliran sungai dan juga karena
limbah industri, karena tidak terdapatnya industri-industri kimia di dekat sungai yang
kemungkinan membuang limbahnya ke sungai tersebut. Sehingga air sungai tersebut
masih dapat dikonsumsi untuk keperluan sehari-hari masyarakat, namun sebaiknya
dilakukan pengolahan telebih dahulu.
Pencemaran air pada dasarnya berasal dari limbah industri, limbah rumah
tangga dan pertanian. Pencemaran air berdampak luas, misalnya dapat meracuni
sumber air minum, meracuni makanan hewan, ketidakseimbangan ekosistem sungai
dan danau, pengrusakan hutan akibat hujan asam, dan sebagainya. Bahan anorganik
biasanya berasal dari kegiatan industri yang melibatkan penggunaan berbagai jenis
logam didalamnya seperti zink, kromium dan selenium. Bahan anorganik ini sulit
didegradasi oleh mikroorganisme. Akibatnya jika kadarnya berlebih akan
membahayakan (Tobing, 2013).
Pencemaran selenium pada air dapat meracuni tanah yang sangat berbahaya
bagi pertanian. Konsentrasi selenium yang tinggi dapat menyebabkan keracunan.
Rata-rata kadar selenium diperairan adalah sebesar 0,02 ppm. Sumber lain selain dari
alam, juga berasal dari aktivitas manusia, antara lain dari pembakaran batubara,
penambangan, peleburan buji sufida, pemberian warna pada produk enamel, kaca,
dan keramik dan industri karet (Widowati, 2008).

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari makalah ini, antara lain:
1. Logam berat adalah istilah yang digunakan secara umum untuk kelompok logam
berat dan metaloid yang densitasnya lebih besar dari 5 g/cm3.
2. Inductively Coupled Plasma (ICP) adalah sebuah teknik analisis yang digunakan
untuk deteksi dari trace metals dalam sampel lingkungan pada umumnya.
3. Merkuri, arsen dan selenium termasuk logam berat yang keberadaannya dapat
mencemari lingkungan.
4. Adanya logam berat merkuri, arsen dan selenium di suatu perairan maka dapat
menyebabkan tercemarnya perairan tersebut jika melebihi ambang batas yang
telah ditentukan.
5. Analisis kadar logam merkuri, arsen dan selenium menggunakan metode ICP
dengan mengikuti prinsip kerja dari ICP dimana ICP terbagi menjadi dua yaitu
ICP-OES dan ICP-MS.

3.2 Saran
Saran kepada pembaca agar tak hanya membaca makalah ini namun juga
membaca referensi lainnya agar berkesinambungan antara materi satu dengan materi
lainnya.

31
DAFTAR PUSTAKA

Darmono, 1995, Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup, Universitas


Indonesia Press. Jakarta

Djuangsih, N., A.K. Benito, H. Salim, 1982, Aspek Toksikologi Lingkungan.


Laporan Analisis Dampak Lingkungan, Lembaga Ekologi Universitas
Padjadjaran, Bandung

Hayati, N., 2009, Analisis Kadar Arsen (As) pada Kerang (Bivalvia) yang Berasal
dari Laut Belawan, Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Hoffman, E., Ludke, C., and Stephanowitz, H., 1996, Application of laser ICP-MS in
environmental analysis. Fresenius Journal of Analytical Chemistry 355:
900-903 (1996).

Hou, X., dan Jones, B.T., 2000, Inductively Coupled Plasma/Optica Emission
Spectrometry, John Wiley & Sons Ltd, Chichester.

Istarani, F., dan Pandebesie, E.S., 2014, Studi Dampak Arsen (As) dan Kadmium
(Cd) terhadap Penurunan Kualitas Lingkungan, Jurnal Teknik Pomits, 3(1):
1-9.

Kristianingrum, S., 2007, Modifikasi Metode Analisis Spesiasi Merkuri Dalam


Lingkungan Perairan, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan
dan Penerapan Mipa, 1(1): 72-75.

Lasut, H.E., Kawung, N.J., dan Lasut, M.T., 2016, Kandungan Arsen (As) Berbentuk
Suspensi dan Terlarut di Perairan Teluk Manado, Jurnal Pesisir dan Laut
Trops, 1(1): 1-10.

Montaser, A., 1992, Inductively Coupled Plasma In Atomic Spectrometry. 2nd


Edition, VCH Publisher, New York.

Panitia Teknis 67-02 Bahan Tambahan Pangan dan Kontaminan, 2009, Batas
Cemaran Logam Berat dalam Pangan, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Rahman, A., 2006, Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) Pada
Beberapa Jenis Krustasea Di Pantai Batakan dan Takisung Kabupaten Tanah
Laut Kalimantan Selatan, Bioscientiae, 3(2): 1-5.

Selayar, N. A., Tumembouw, S., dan Mondoringin, L. L. J. J., 2015, Telaah


Kandungan Logam Berat Merkuri (Hg) Di Sekitar Teluk Manado, Jurnal
Budidaya Perairan, 3(1): 124-130.

32
Syahrizal, Dan Arifin, M. Y., 2017, Analisis Kandungan Merkuri (Hg) Pada Air dan
Daging Ikan Patin Siam (Pangasius Hypopthalmus) Di Kja Danau Sipin
Jambi, Jurnal Akuakultur Sungai dan Danau, 2(1): 9-17.

Tobing, F.A.L., 2013, Penentuan Kadar Logam Kromium (Cr), Zink (Zn), dan
Selenium (Se) Pada Air Sungai Denai Dengan Metode Inductively Couple
Plasma (ICP), Tugas Akhir, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Widowati, W., 2008, Efek Toksik Logam. Edisi 1, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Wiryawan, B., B. Marsden, H.A., Susanto, A.K. Mahi., M. Ahmad., H. Poespitasari.


2002. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung. PKSPL
IPB. Bandar Lampung.

Wiryawan, B., Marsden, B., Susanto, H.A., Mahi, A.K., Ahmad, M., Poespitasari,
H., 1999, Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung, Kerjasama Pemda.

33

Anda mungkin juga menyukai