Anda di halaman 1dari 9

Nama : Rhino Chandra Mukti Hari/Tanggal : Kamis, 12 November 2020

NIM : J3L118121 Dosen Praktikum : Dr. Aulia Ilmiawati M.Si


Kelas Praktikum : BP2 Asisten : Arini Septianti, S.si
Mata Kuliah : Kimia Bahan Alam dan Uji Aktivitas Yohana Amalia, A md.

LAPORAN PRAKTIKUM UJI TOKSISITAS TERHADAP LARVA UDANG EKSTRAK


METANOL JAHE MERAH

Tujuan Praktikum:
Melatih keterampilan melakukan uji terhadap larva udang termasuk persiapan larva udang
dari telurnya dan Mengetahui aktivitas berbagai ekstrak yang diperoleh dari percobaan ekstraksi.

Prosedur Kerja:

Penetesan telur
Telur udang ditempatkan pada gelas piala berisi air laut, Gelas piala diberi aerasi dan
penerangan kemudian dibiarkan selama 48 jam,Telur akan menetas dalam 48 jam dan larva siap
untuk diuji.

Penyiapan Sampel
Ekstrak dilarutkan dengan air laut dan dibuat konsentrasi 2000 ppm dalam labu takar 10
mL. Kemudian dibuat larutan 1000 ppm, 500 ppm, 250 ppm, 100 ppm, dan 20 ppm dengan cara
pengenceran bertahap agar volume yang diambil untuk diencerkan tidak terlalu kecil.

Uji bioaktivitas
Kedalam tiap multiwell dimasukkan 25 ekor larva udang dan 1 mL air laut. Ke dalam
multiwell ditambahkan 1 mL ekstrak sehingga konsentrasi ekstrak menjadi dalam multiwell
menjadi 1000, 500, 250, 125, 50, dan 10 ppm. Sebagai kontrol negatif digunakan larva udang
dengan 2 mL air laut (tanpa ekstrak). Multiwell dibiarkan terbuka selama 24 jam. Dihitung jumlah
larva udang yang mati (tidak menunjukkan gerakan) atau yang hidup (terus bergerak). Dengan
program SAS 612 dilakukan analisis probit untuk menentukan LC50 pada selang kepercayaan 95%.
Bila tidak ada perangkat SAS 612, LC50 ditentukan dengan membuat kurva hubungan antara
mortalitas dengan konsentrasi ekstrak.

Data Hasil Praktikum (setelah inkubasi 24 jam):

Larva udang awal 25 ekor tiap multiwel


Konsentrasi Sampel (ppm) Ulangan Larva Hidup Larva Mati % Mortalitas
(ekor) (ekor)

1 24 1 4
10 2 25 0 0

3 25 0 0

Rerata 1,33

1 20 5 20

50 2 21 4 16

3 21 4 16

Rerata 17,33

1 14 11 44

125 2 15 10 40

3 14 11 44

Rerata 42,67

1 4 21 84

250 2 4 21 84

3 5 20 80

Rerata 82,67

1 2 23 92

500 2 1 24 96

3 1 24 96

Rerata 94,67

1 0 25 100

1000 2 0 25 100

3 0 25 100

Rerata 100
Kurva:

Kurva hubungan antara Log C dengan rerata % Mortalitas


120

y = 55,952x - 63,785
100 R² = 0,9296

80
Mortalitas

60

40

20

0
0,0000 0,5000 1,0000 1,5000 2,0000 2,5000 3,0000 3,5000

-20
Log C

y = 55,952x - 63,785
R² = 0,9296

Perhitungan LC 50:

y = a+bx
y = 55,952x - 63,785
diketahui, y = 50
jadi, 50 = 55,952x – 63,785
X = 2,034
Maka, LC50 = anti log (log konsentrasi)
= antii log 2,034
= 102,034
= 108,14 ppm
Pembahasan:

Artemia salina Leach merupakan hewan uji brine shrimp (udang laut), sejenis udang-
udangan primitif dan hidup sebagai zooplankton. Artemia pada tahun 1778 diberi nama cancer
salinus yang kemudian diubah namanya oleh Leach pada tahun 1819 menjadi Artemia salina.
Hewan ini diperdagangkan dalam bentuk telur istirahat yang disebut kista, berbentuk bulat kecil
berwarna kelabu kecoklatan dengan diameter 200-300 µm. Artemia salina Leach biasanya hidup
di lingkungan danau berair asin. Kadar garam perairan sangat berpengaruh pada proses penetasan
udang, kadar garam < 6% menyebabkan telur udang tenggelam dan tidak bisa menetas. Jika kadar
garam > 25%, telur akan berada pada kondisi tersuspensi, sehingga telur udang dapat menetas
dengan normal (Aulia A 2013). Larva udang (Artemia salina Leach) merupakan salah satu
organisme uji yang digunakan untuk penelitian bahan alam. Uji terhadap larva udang biasa yang
pengamatannya dilakukan terhadap mortalitasnya tersebut telah digunakan cukup lama untuk
berbagai pengamatan, antara lain keberadaan residu pestisida, mikotoksin, dan karsinogenitas
suatu senyawa. Uji larva udang tidak spesifik untuk uji antitumor tetapi mampu mendeteksi 14
dari 24 ekstrak Euphorbiaceae yang aktif terhadap uji leukemia pada mencit sehingga uji tersebut
digunakan untuk penapisan senyawa bioaktif. Uji bioaktivitas yang murah dan cepat ini
menggunakan LC50 sebagai parameter aktivitas. LC50 adalah nilai konsentrasi yang menyebabkan
kematian 50% dari populasi organisme uji yang digunakan. Senyawa yang memiliki LC 50
dianggap berpotensi bioaktif.

Metode untuk mengetahui sifatatoksikasuatuasenyawa salah satunya yaitu dapat


menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Metode ini juga merupakan metode
yang digunakan untuk skrining awal mengetahui adanya senyawa antikanker pada ekstrak
tanaman. Indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat toksik senyawa yaitu tingkat
kematian larva udang Artemia salina L. (Lisdawati dkk 2006). Metode BSLT merupakan metode
penapisan farmakologi awal yang murah, mudah, cepat dan tidak menggunakan spesialisasi
tertentu. Menurut Baud dkk (2014) metode BSLT telah teruji hasilnya dengan tingkat kepercayaan
95% untuk mengamati toksisitas suatu senyawa. Pengujian BSLT bertujuan untuk mengetahui
sifat toksik ekstrak tanaman yang nantinya dapat dikembangkan sebagai obat antikanker.

Metode BSLT memanfaatkan larva udang Artemia salina L. sebagai indikator. Hasil
metode BSLT adalah akumulasi nilai LC50 setelah pengamatan aktivitas senyawa ekstrak tanaman
setelah 24 jam. Nilai LC50 menunjukkan pada tingkat konsentrasi mana bahan akan menyebabkan
kematian 50% hewan uji (Naidu et.al 2014). Menurut Vitalia dkk (2016) pada metode BSLT
terdapat hubungan spesifik antara senyawa yang bersifat toksik dengan sitotoksisitas. Senyawa
yang bersifat toksik dapat diperkirakan dapat menjadi agen antikanker.

Pengamatan metode BSLT dilakukan dengan melihat tingkat mortalitas larva udang, jika
tingkat mortalitas tinggi maka senyawa tersebut aktif menjadi antikanker, namun jika tingkat
morlatitas rendah maka perlu dilakukan uji lanjutan melalui hewan uji yang lebih besar dan
memiliki organ yang lebih kompleks (Carballo et.al 2002).

Penggunaan Artemia salina L. sebagai hewan uji dalam metode BSLT dilakukan karena
sensitifitas yang dimiliki oleh Artemia salina L. terhadap perubahan kondisi lingkungan dan
kontaminasi bahan kimia yang ada di lingkungan (Ningdyah dkk. 2015). Artemia salina L.
Memiliki kesamaana dengan mamalia yaitu berupa tipe DNA adependenta RNA polymerase dan
oubainesensitivea Na+ dan K+ adependent TPAase (Solis et.al 1993). Pada makhluk hidup sel akan
aktif apabila seluruh komponennya berfungsi dengan baik, namun sel memiliki inti yaitu
RNA/DNA dan komponen-komponen lain yang memiliki tugas masing-masing untuk menunjang
keberlangsungan hidup sel. Apabila terganggu komponen-komponen sel akan terjadi ketidak
seimbangan. Menurut Mutiyani (2013) urutan kematian sel bisa terjadi apabila terganggu proses
dalam sistesis proteinnya, contohnya dalam proses transkripsi RNA oleh RNA polymerase yang
diarahkan oleh DNA yang disebut dengan DNA dependent RNA polymerase. Apabila terjadi
hambatan pada RNA polymerase maka sintesis RNA tidak akan terbentuk sehingga akan
mengakibatkan gangguan pada sistem metabolisme dan hal iniayang
menyebabkanakematianapadaasel. Artemiaasalina L. juga memiliki oubaine-sensitive Na+ dan K+
dependent TPAase, untuk memasukkan 2K+ ke dalam sel dan mengeluarkan 3NA+ dari sel. Enzim
ini berfungsi untuk mengkatalis hidrolisis ATP menjadi ADP. Menurut Mutiyani (2013) oubaine
berfungsi untuk menghambat aktivitas enzim dan menyebabkan keseimbangan ion Na+ dan K+
dalam tubuh tetap terjaga, sehingga apabila salah satu dari enzim ini terganggu maka dapat
menyebabkan kematian sel.

Penggunaan Artemia salina sebagai hewan uji pada uji toksisitas juga dikarenakan
memiliki beberapa keuntungan diantaranya pelaksanaan yang sederhana, hanya memerlukan
waktu yang relative singkat, serta menunjukkan efek aktivitas biologis walaupun dalam
konsentrasi yang rendah (Sugianti 2007). Artemia salina L. memiliki sistem fisiologi yang mirip
dengan manusia, meliputi sistem syaraf pusat, sistem vascular dan sistem digestivus (Hanifah
2015). Senyawa aktif mudah masuk kedalam tubuh artemia salina dikarenakan struktur kulit
Artemia salina sangat tipis dan berpori besar. Sehingga, kematian Arthemia salina dianalogikan
sebagai kematian sel pada organisme (Hanifah 2015).

Telur Artemia salina dapat hidup dalam kondisi kering selama beberapa tahun dan mudah
menetas dalam 48 jam sehingga dihasilkan larva Artemia salina dalam jumlah banyak untuk diuji.
Sedangkan Larva Artemia salina memiliki toleransi yang tinggi terhadap selang salinitas air tawar
hingga air yang memiliki garam jenuh, mampu mengatasi perubahan tekanan osmotik dan regulasi
ionik yang tinggi, serta memiliki membran kulit yang tipis sehingga kematian larva akibat efek
sitotoksik dari senyawa bioaktif dianalogikan dengan kematian sel dalam organisme (Feby W
2014).

Jahe (Zingiber officinale rosc) merupakan salah satu rempahrempah dalam suku temu-
temuan (Zingiberaceae), sejenis dengan temu-temuan lainnya seperti temulawak (Curcuma
xanthorrizha), temu hitam (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma domestica), kencur
(Kaempferia galanga), lengkuas (Languas galanga), dan lainlain yang telah digunakan secara luas
di dunia baik sebagai bumbu dapur maupun sebagai obat. jahe merah yang lebih banyak digunakan
sebagai obat, karena kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya paling tinggi dibandingkan dengan
jenis jahe yang lain sehingga lebih ampuh menyembuhkan berbagai macam penyakit,
dibandingkan dengan jahe gajah atau jahe empirit. Uji toksisitas ekstrak jahe merah (Zingiber
officinale var amarum.) terhadap larva Artemia salina Leach karena Senyawa aktif utama dari jahe
segar adalah gingerol yang merupakan senyawa turunan fenolik yang memberikan rasa pedas pada
jahe. Gingerol bersifat tidak stabil karena panas, maka jika jahe dikeringkan gingerol akan
mengalami dehidrasi menjadi shogaol. Gingerol pada jahe telah terbukti mempunyai aktivitas anti
inflamasi dan analgesik (Alpina dkk 2016).

Pada tahapan praktikum kali ini, dilakukan perlakuan pertama yakni Telur udang
ditempatkan pada gelas piala berisi air laut, Gelas piala diberi aerasi dan penerangan kemudian
dibiarkan selama 48 jam,Telur akan menetas dalam 48 jam dan larva siap untuk diuji.

Tahapan penetasan Artemia yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung
atau pengeluaran. Tahap hidrasi terjadi penyerapan air sehingga kista dalam bentuk kering akan
menjadi bulat dan aktif bermetabolisme. Tahap pecah cangkang dan kemudian tahap pengeluaran
yang terjadi beberapa saat sebelum nauplii keluar dari cangkang. Artemia yang baru menetas
disebut nauplii, berwarna orange dan berbentuk bulat lonjong (Aulia A 3013).

Gambar 1 Tahap Penetasan Telur Artemia

Di dalam air laut yang bersuhu 25oC, telur-telur yang kering direndam dan akan menetas
dalam waktu 36-48 jam. Setelah telur menetas, maka menjadi larva yang juga disebut dengan
istilah nauplius. Larva akan mengalami 15 kali perubahan bentuk (metamorfosis). Larva tingkat I
dinamakan instar, tingkat II instar II, tingkat III Instar III, demikian seterusnya sampai Instar XV.
Setelah itu, baru berubah menjadi artemia dewasa. Larva yang baru saja menetas atau tingkat instar
I, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron (0,4 mm) dan beratnya 15
mikrogram. Nauplius instar II panjangnya sekitar 0,6 mm, sedangkan nauplius instar III sudah
sepanjang 0,7 mm. Warna tubuhnya kemerah-merahan karena masih banyak mengandung
makanan cadangan sehingga belum perlu makanan (Aulia A 3013).

Tahapan praktikum berikutnya yakni penyiapan sampel yang dilakukan dengan Ekstrak
dilarutkan dengan air laut dan dibuat konsentrasi 2000 ppm dalam labu takar 10 mL. Kemudian
dibuat larutan 1000 ppm, 500 ppm, 250 ppm, 100 ppm, dan 20 ppm dengan cara pengenceran
bertahap agar volume yang diambil untuk diencerkan tidak terlalu kecil.

Ekstraksi adalah proses pemisahan kandungan kimia yang dapat larut dengan pelarut cair
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut, sedangkan ekstrak adalah sediaan kental hasil
ekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani. Faktor yang mempengaruhi pembuatan
ekstrak yaitu jumlah simplisia, derajat kehalusan simplisia, pelarut yang digunakan, suhu dan lama
waktu penyari serta proses ekstraksi. Maserasi merupakan Proses ekstraksi simplisia dengan
merendam serbuk simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada suhu
kamar dan terlindung dari cahaya, lalu ekstrak dikeluarkan dan ampas hasil ekstraksi dicuci dengan
pelarut yang segar sampai didapat berat yang sesuai. Cara ini merupakan cara penyarian sederhana
dengan menggunakan peralatan yang sederhana tetapi waktu untuk mengekstraksi sampel cukup
lama dan cairan penyari yang digunakan lebih banyak (Dinda 2008) serta tidak begitu sempurna
dalam menarik zat berkhasiat dari tanaman. Remaserasi merupakan pengulangan penambahan
pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dst.

Pelarut yang dibolehkan yaitu air dan alkohol (eter) serta campurannya. Pelarut memiliki
peran yang penting pada uji toksisitas dengan metode BSLT. Pelarut yang digunakan dapat
memberikan hasil positif palsu pada uji yang dilakukan karena toksisitas pelarut itu sendiri. Pelarut
seperti DMSO (dimetil sulfoksida), metanol, etanol dan Tween 20 sering digunakan pada uji
antimikrobial, aktivitas sitotoksisitas dan BSLT. Faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan
cairan penyari yaitu selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut, ekonomis,
ramah lingkungan dan aman. Praktikum yang dilakukan menggunakan metanol dalam ekstraksi
maserasi karena adanya persamaan sifat atau prinsip like dissolve like antara pelarut metanol
dengan Rimpang jahe merah, terkhusus senyawa khusus yang akan diuji toksisitasnya.

Tahapan selanjutnya yakni Uji bioaktivitas yang dilakukan dengan Kedalam tiap multiwell
dimasukkan 25 ekor larva udang dan 1 mL air laut. Ke dalam multiwell ditambahkan 1 mL ekstrak
sehingga konsentrasi ekstrak menjadi dalam multiwell menjadi 1000, 500, 250, 125, 50, dan 10
ppm. Sebagai kontrol negatif digunakan larva udang dengan 2 mL air laut (tanpa ekstrak).
Multiwell dibiarkan terbuka selama 24 jam. Dihitung jumlah larva udang yang mati (tidak
menunjukkan gerakan) atau yang hidup (terus bergerak). Dengan program SAS 612 dilakukan
analisis probit untuk menentukan LC50 pada selang kepercayaan 95%. Bila tidak ada perangkat
SAS 612, LC50 ditentukan dengan membuat kurva hubungan antara mortalitas dengan konsentrasi
ekstrak.

Penentuan tingkat kematian pada uji sitotoksisitas yaitu dengan menghitung nilai LC50.
Nilai LC50 adalah besarnya konsentrasi suatu senyawa yang terkandung dalam ekstrak yang dapat
mengakibatkan penghambatan atau hingga kematian pada kehidupan hewan uji. Menurut Leanny
(2006) dalam Koneri dan Hanny (2016), jika nilai LC50 lebih rendah dari 1000 ppm maka senyawa
yang terkandung dapat dinyatakan sebagai senyawa bioaktif, dan sebaliknya apabila nilai LC 50
yang didapatkan lebih dari 1000 ppm maka senyawa yang terkandung dalam ekstrak merupakan
senyawa bukan bioaktif. Ekstrak atau fraksi senyawa yang memiliki harga LC50 > 0-30 ppm
berpotensi sebagai antikanker, LC50 > 30-200 ppm berpotensi sebagai antibakteri, sedangkan LC50
> 200-1000 ppm berpotensi sebagai pestisida. Berdasarkan data yang diproleh nilai LC50 sebesar
108,14 ppm. Dari hasil tersebut nilai LC50 dinyatakan berada dibawah 1000 ppm, menunjukkan
bahwa ekstrak mengandung senyawa bioaktif yang dapat dimanfaatkan sebagai antikanker.
Uji bioaktivitas yang murah dan cepat ini menggunakan LC50 sebagai parameter aktivitas.
LC50 adalah nilai konsentrasi yang menyebabkan kematian 50% dari populasi organisme uji yang
digunakan. Senyawa yang memiliki LC50 dianggap berpotensi bioaktif. Hal ini yang menjadi
alasan dalam perhitungan nilai y = 50 karena Nilai LC50 menunjukkan pada tingkat konsentrasi
mana bahan akan menyebabkan kematian 50% hewan uji.

Dalam tahapan uji bioaktivitas dilakukan beberapa pengenceran agar diperoleh konsentrasi
ekstrak yang berbeda, hal ini karena dalam pengujiannya konsentrasi ekstrak akan mempengaruhi
bioaktivitas larva udang. Berdasarkan data yang diperoleh pemberian ekstrak dengan konsentrasi
yang semakin tinggi membuat jumlah kematian larva udang meningkat. Hal ini sesuai dengan
literatur yang ada , Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan pada larva maka semakin tinggi
pula tingkat kematiannya Kematian larva diakibatkan oleh adanya difusi dari ekstrak kedalam
tubuh larva udang Artemia salina. Ekstrak yang mengandung senyawa fenolik akan berdifusi
kemudian mengganggu fisiologis tubuh larva udang sehingga larva akan mengalami kematian
(Muaja dkk 2013). Menurut Cahyadi (2009) proses kematian larva diawali dengan adanya
penghambatan daya makan larva udang Artemia salina oleh senyawa fenolik (antifedant),
kemudian senyawa fenolik akan mengganggu sistem digestivus, dalam hal ini senyawa fenolik
berperan sebagai stomach poisoning (racun perut). Larva yang telah dipapar oleh ekstrak akan
mengalami gangguan secara saraf dan pencernaannya. Menurut Nyffeler dkk (1987) efek
keracunan saraf yang telah terjadi pada larva dapat dilihat melalui tingkah laku dan fisiknya. Empat
tahap simpton diantaraya adalah tahap eksitasi (kegelisahan), tahap konvulsi (kekejangan), tahap
paralysis (kelumpuhan) dan tahap kematian. Kematian yang terjadi pada larva udang Artemia
salina dapat pula dilihat dimana tubuh larva tenggelam didasar botol dan tidak bergerak lagi.

Daftar Pustaka (Sebutkan minimal 3):

Ajrina, Aulia. 2013. Uji toksisitas akut ekstrak metanol daun Garcinia benthami pierre terhadap
larva Artemia salina leach dengan metode brine shrimp lethality test (BSLT). [Skripsi].
Fakultas Keokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Jakarta.

Baud, G. S., Sangi, M.S., dan H.S.J Koleangan. 2014. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder dan
Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Batang Tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.)
dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Jurnal Ilmiah Sains. Vol. 14 (2) Hal:
1-8.

Carballo, J. L., Indra, Z. L. H, Perez, P, dan Gravalos, M.D.G. 2002. A Comparison Between Two
Brine Shrimp Assaysto Detect In Vitro Cytotoxicityin Marine Natural Products. BMC
Biotecnology. Vol.2 (17) Hal : 1-5.

Hanifah, N.Z. 2015. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Metanol Daun Sirsak (Annona muricata) terhadap
Larva Artemia salina dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). [Skripsi].
Program Studi Pendidikan Dokter. Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kaban, Alpina N. Daniel. Saleh C. 2016. Uji fitokimia, toksisitas dan aktivitas antioksidan fraksi
n-heksan dan etil asetat terhadap ekstrak jahe merah (Zingiber officinale var. amarum.).
Jurnal Kimia Mulawarman. Vol. 14, No. 1, Hal: 24 – 28.

Lisdawati, V., Wiryowidagdo, S., dan L.B.S. Kardono. 2006. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
dari berbagai Fraksi Ekstrak Daging Buah dan Kulit Biji Mahkota Dewa (Phaleria
macrocarpa). Buletin Penelitian Kesehatan. Vol 34 (3) : 111-118.
Mutiyani, N. 2013. Uji Toksisitas Akut Ekstrak etil Asetat Daun Grasinia benthami Pieree dengan
Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). [Skripsi]. Program Studi Pendidikan Dokter,
Fakultas Kedokteran, dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta.

Naidu, J.R., Ismail, R., and S. Sasidharan. 2014. Acute Oral Toxicity and Brine Shrimp Lethality
of Methanol Extract of Mentha spicata L (Lamiaceae). Tropical Journal of Pharmaceutical
Research. Vol.13 (1) Hal : 101-107.

Ningdyah, A.W; Alimuddin, A.H; Jayuska, A. 2015. Uji Toksisitas Dengan Metode BSLT
(BrineShrimpLethalityTest) Terhadap Hasil Fraksinasi Ekstrak Kulit Buah Tampoi
(Baccaureamacrocarpa), JKK. Vol.4(1) Hal: 75-83.

Solis, P.N., Wright, C.W., Anderson, M.M., Gupta, M.F., Philipson, J.D. 1993. A Microwell
Cytotoxicity Assay using Artemia salina (Brine Shrimp). Planta Medica. Vol 59 (3) : 250-
252.

Sugianti, N. 2007. Brine Shtimp Lethality Test Ekstrak Etanol Daun Tumbuhan Tembelekan
(Lantana camara L.) beserta Profil Kromatografi Lapis Tipisnya. [Skripsi]. Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai