Anda di halaman 1dari 9

Nama : Rhino Chandra Mukti Hari/Tanggal : Kamis, 24 September 2020

NIM : J3LL118121 Dosen Praktikum : Dr. Aulia Ilmiawati M.Si


Kelas Praktikum : BP2 Asisten : Arini Septianti, S.si
Mata Kuliah : Kimia Bahan Alam dan Uji Aktivitas Yohana Amalia, A md.

LAPORAN PRAKTIKUM IDENTIFIKASI KURKUMIN MENGGUNAKAN


METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

Tujuan Praktikum:
Praktikum yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan mengekstraksi
senyawa dari tumbuhan dan melatih mengisolasinya Mengenal sifat kimia kurkumin.

Prosedur Kerja:
Ekstraksi kurkumin dari rimpang jahe
Sebanyak 2,5 gram rimpang jahe merah ditimbang, contoh diekstraksi dengan 25 ml aseton
dalam gelas pala dan diaduk selama 30 menit ekstrak disaring dengan kertas saring kemudian filtrat
diuapkan sehingga diperoleh ekstrak kering.

Identifikasi kurkuminoid dalam ekstrak rimpang jahe merah.


Disiapkan 3 bejana kromatografi yang kemudian diisi dengan 10 ml pelarut (a) kloroform-
metanol 1:1 (b) etil asetat-heksana 1:1 (c) klorofom. Bersihkan pelat kaca, penggaris dan pinset
dengan aseton, disiapkan KLT 3 cm x 12 cm, buat jarak garis start 2 cm dan garis finish 1 cm dari
tepi KLT.

Persiapan penotolan
Pada garis start, ditotolkan ekstrak rimpang jahe merah dan standar kurkumin pada jarak 2
cm, KLT kemudian dimasukkan ke bejana kromatografi dan dielusi sampai eluen mencapai garis
front, perhatikan pemisahan yang terjadi. Dihitung Rf standar dan Rf spot yang muncak dari
ekstrak.

Uji Kimia
Disiapkan 2 ml HCl 0,1 M ke dalam tabung reaksi 1 dan 2 ml NaoH 0,1 M ke dalam tabung
reaksi 2, Tambahan sedikit ekstrak sampel ke dalam tabung reaksi 1 dan 2, diaduk, dan diamati
warna yang timbul, ke dalam tabung 1 yang elah berisis ekstrak dan HCl 0,1 M ditambahkan NaOH
0,1 M tetes demi tetes. Perhatikan seelah tetes NaOH berapa sampai terjadi perubahan warna secara
bertahap.
Data Hasil Praktikum:
Diketahui ukuran pelat KLT 10 x 3 cm, dengan jarak start dari bawah 2 cm dan jarak finish dari
pelat atas 1 cm.

Eluen Spot Jarak (cm) Nilai rf


1. Kloroform- Sampel 6,3 0,90
metanol (1:1) Standar 6,6 0,94
2. Etil asetat-heksana Sampel 1 4,7 0,67
(1:1) Sampel 2 6,5 0,92
Standar 6,6 0,94
3. Klorofom Sampel 6,2 0,89
Standar 6,3 0,90

Data Perhitungan nilai rf:

➢ Pelarut/eluen Kloroform-metanol (1:1)


𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑜𝑡 (𝑐𝑚)
• Rf Sampel =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛 (𝑐𝑚)
6,3 𝑐𝑚
= = 0,90
7 𝑐𝑚
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑜𝑡 (𝑐𝑚)
• Rf Standar =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛 (𝑐𝑚)
6,6 𝑐𝑚
= = 0,94
7 𝑐𝑚

➢ Pelarut/eluen Etil asetat-heksana (1:1)


𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑜𝑡 (𝑐𝑚)
• Rf Sampel 1 =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛 (𝑐𝑚)
4,7 𝑐𝑚
= = 0,67
7 𝑐𝑚
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑜𝑡 (𝑐𝑚)
• Rf Sampel 2 =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛 (𝑐𝑚)
6,5 𝑐𝑚
= = 0,92
7 𝑐𝑚
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑜𝑡 (𝑐𝑚)
• Rf Standar =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛 (𝑐𝑚)
6,6 𝑐𝑚
= 7 𝑐𝑚 = 0,94
➢ Pelarut/eluen Kloroform
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑜𝑡 (𝑐𝑚)
• Rf Sampel =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛 (𝑐𝑚)
6,2 𝑐𝑚
= = 0,89
7 𝑐𝑚
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑜𝑡 (𝑐𝑚)
• Rf Standar =𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛 (𝑐𝑚)
63 𝑐𝑚
= = 0,90
7 𝑐𝑚

Data Uji Kimia (Tulis warna yang terjadi ketika awal dan setelah ada tambahan pelarut per
tetes). Serta tambahkan ciri-ciri di suasana asam dan basa selain warna (minimal 3):

Diketahui jumlah tetesan:

• Dengan HCl + 88 tetes NaOH


• Dengan NaOH + 42 tetes HCl

Dalam percobaan uji kimia terhadap sampel dengan penambahan HCl, diperoleh hasil warna
kuning keputihan keruh setelah penambahan 88 tetes NaOH. Warna awal ialah kuning, lalu warna
tersebut memudar menjadi warna kuning putih agak keruh.
Dalam percobaan uji kimia terhadap sampel dengan penambahan NaOH diperoleh hasil
warna kuning dominan putih keruh setelah penambahan 42 tetes HCl, warna awal ialah kuning
kejinggaan, lalu warna tersebut memudar menjadi warna putih keruh.
Dalam mengidentifikasi suatu senyawa memiliki sifat asam atau basa dapat diidentifikasi
dengan pH meter. pH meter merupakan sebuah alat elektronik atau bisa dikatakan alat yang lebih
modern untuk mengukur pH (derajat keasaman atau kebasaan) suatu cairan (ada elektroda khusus
yang berfungsi untuk mengukur pH bahan-bahan semi-padat). Sebuah pH meter terdiri dari sebuah
elektroda (probe pengukur) yang terhubung ke sebuah alat elektronik yang mengukur dan
menampilkan nilai pH. Prinsip kerja utama pH meter adalah terletak pada sensor probe berupa
elektrode kaca (glass electrode) dengan jalan mengukur jumlah ion H3O+ di dalam larutan.Ujung
elektrode kaca adalah lapisan kaca setebal 0.1 mm yang berbentuk bulat (bulb). Bulb ini
dipasangkan dengan silinder kaca non konduktor atau plastik memanjang, yang selanjutnya diisi
dengan larutan HCl (0,1 mol/dm3). Di dalam larutan HCl, terendam sebuah kawat elektrode
panjang berbahan perak yang pada permukaannya terbentuk senyawa setimbang AgCl. Konstannya
jumlah larutan HCl pada sistem ini membuat elektrode Ag/AgCl memiliki nilai potensial stabil. Inti
sensor pH terdapat pada permukaan bulb kaca yang memiliki kemampuan untuk bertukar ion positif
(H+) dengan larutan terukur (Zulfian, dkk 2016).

Dalam mengidentifikasi suatu senyawa memiliki sifat asam atau basa dapat diidentifikasi
dengan kertas lakmus. Kertas lakmus adalah salah satu alat ukur ph konvensional. Kertas lakmus
biru digunakan untuk mengukur pH asam, sedangkan kertas lakmus merah digunakan untuk
mengukur pH basa. Prinsip kerjanya sederhana, hanya dengan melihat perubahan warna pada kertas
lakmus saat dicelupkan pada larutan yang ingin diketahui nilai pHnya. Selanjutnya perubahan
warna kertas lakmus dicocokkan dengan bagan warna penunjuk yang ada sehingga diketahui nilai
pHnya. Alat ukur ini kurang efektif karena sensitivitasnya kecil dan nilai pH yang terbaca adalah
nilai pendekatan (yaitu dengan menentukan kemiripan warna yang paling dekat antara kertas
lakmus dan bagan warna) (Nafi’ul, dkk 2012).

Dalam mengidentifikasi suatu senyawa memiliki sifat asam atau basa dapat diidentifikasi
dengan indikator alami. Indikator alami adalah larutan indikator yang diperoleh dari ekstrak bahan
pewarna alam, seperti kunyit, bunga kembang sepatu, bunga bougenvil, kulit manggis, kubis ungu,
bunga pacar air, dan sebagainya. Warna dari bahan alam itu dapat menjadi indikator karena
memberikan warna yang berbeda pada suasana asam, basa, dan netral. Indikator alami dapat dibuat
dengan memanfaatkan zat warna antosianin yang ada pada tumbuhan. Zat warna antosianin pada
tumbuhan merupakan senyawa organik yang berwarna seperti yang dimiliki oleh indikator sintesis.
“Indikator adalah zat yang mempunyai warna khusus pada pH tertentu. Biasanya indikator
digunakan untuk mengetahui sifat larutan apakah termasuk larutan asam, basa dan netral dengan
menggunakan metode titrasi asam-basa sebagai penunjuk titik akhir titrasi yang ditandai dengan
perubahan warna pada larutan titrat (Dela, dkk 2018).

Pembahasan:

Curcumin (1,7-bis(4′ hidroksi-3 metoksifenil)-1,6 heptadien, 3,5-dion merupakan komponen


penting dari Curcuma longa Linn. yang memberikan warna kuning yang khas. Curcumin termasuk
golongan senyawa polifenol dengan struktur kimia mirip asam ferulat yang banyak digunakan
sebagai penguat rasa pada industri makanan. Serbuk kering rhizome (turmerik) mengandung 3-5%
Curcumin dan dua senyawa derivatnya dalam jumlah yang kecil yaitu desmetoksi kurkumin dan
bisdesmetoksikurkumin, yang ketiganya sering disebut sebagai kurkuminoid. Curcumin tidak larut
dalam air tetapi larut dalam etanol atau dimetilsulfoksida (DMSO). Degradasi Curcumin tergantung
pada pH dan berlangsung lebih cepat pada kondisi netral-basa (Aggarwal et al., 2003). Curcumin
dapat mengganggu siklus sel kanker paru A549 dan menekan pertumbuhan sel. Efek penekanan
tergantung pada konsentrasi. Efek tidak hanya bergantung dari sitotoksik nonspesifik, tetapi juga
dari induksi apoptosis (Zhang, et al., 2004).
Gambar 1 Struktur Senyawa Kurkumin

Sifat kimia kurkumin yang menarik adalah sifat perubahan warna akibat perubahan pH
lingkungan. Kurkumin berwarna kuning atau kuning jingga pada suasana asam, sedangkan dalam
suasana basa berwarna merah (Rahayu 2010). Kurkumin dalam suasana basa atau pada lingkungan
pH 8,5-10,0 dalam waktu yang relatif lama dapat mengalami proses disosiasi, kurkumin mengalami
degradasi membentuk asam ferulat dan feruloilmetan. Warna kuning coklat feruloilmetan akan
mempengaruhi warna merah dari kurkumin yang seharusnya terjadi. Sifat kurkumin lain yang
penting adalah kestabilannya terhadap cahaya. Adanya cahaya dapat menyebabkan terjadinya
degradasi fotokimia senyawa tersebut. Hal ini karena adanya gugus metilen aktif (-CH2-) diantara
dua gugus keton pada senyawa tersebut. Kurkumin mempunyai aroma yang khas dan tidak bersifat
toksik bila dikonsumsi oleh manusia. Jumlah kurkumin yang aman dikonsumsi oleh manusia adalah
100 mg/hari sedangkan untuk tikus 5 g/hari (Rosmawani dkk 2007). Menurut Rosmawani, dkk
(2007) Kurkumin dapat ditemukan pada dua bentuk tautomer, yaitu bentuk keto dan bentuk enol.
Struktur keto lebih stabil atau lebih banyak ditemukan pada fasa padat, sedangkan struktur enol
lebih dominan pada fasa cair atau larutan.
Senyawa turunan kurkumin disebut kurkuminoid, yang hanya terdapat dua macam, yaitu
desmetoksikurkumin dan bis-desmetoksikurkumin,sedangkan in vivo, kurkumin akan berubah
menjadi senyawa metabolit berupa dihidrokurkumin atau tetrahidrokurkumin sebelum kemudian
dikonversi menjadi senyawa konjugasi monoglusuronida. Berikut struktur Kimia turunan kurkumin.

Gambar 2 Struktur senyawa turunan Kurkumin


Ekstraksi merupakan proses penarikan zat aktif yang diinginkan dari bahan mentah obat
dengan menggunakan pelarut yang telah dipilih sehingga zat yang diinginkan akan larut. Pembuatan
sediaan ekstrak dimaksudkan agar zat berkhasiat yang ada dalam simplisia terdapat dalam bentuk
yang mempunyai kadar tinggi. Ragam ekstraksi yang tepat sudah tentu bergantung pada tekstur dan
kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne
1996). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan beberapa faktor antara lain yaitu cairan
penyari yang baik harus memenuhi kriteria netral, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar,
selektif, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, dan diperbolehkan oleh peraturan. Farmakope
Indonesia menetapkan 7 untuk proses penyarian, sebagai larutan penyari pada penyarian pembuatan
obat tradisional digunakan air dan alkohol.
Ada beberapa metode dasar ekstraksi yang dipakai untuk penyarian diantaranya yaitu
maserasi, perkolasi, dan sokhletasi. Penggunaan metode tersebut disesuaikan dengan kepentingan
dalam memperoleh sari yang baik. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana dan
banyak digunakan untuk menyari bahan obat yang berupa serbuk simplisia yang halus. Simplisia ini
direndam dalam penyari sampai meresap dan melemahkan susunan sel sehingga zat-zat akan larut.
Serbuk simplisia yang akan disari, dimasukkan pada wadah bejana yang bermulut besar, ditutup
rapat kemudian dikocok berulang-ulang, sehingga memungkinkan pelarut masuk ke seluruh
permukaan serbuk simplisia. Menurut Harborne (1996) aseton yang bisa mengekstraksi senyawa
polar maupun nonpolar karena sifatnya yang semi polar, maka dari itu aseton bisa digunakan
sebagai cairan penyari dengan metode maserasi. Menurut Dhita, dkk (2014). Dalam pelarut yang
ada seperti n-heksan, aseton, kloroform, etil asetat, dan metanol, diketahui aseton adalah pelarut
yang pling baik dalam mengekstrak dengan persen ekstrak mencapai 22,80%.
Dalam praktikum kali ini sampel yang dianalisis haruslah dipisahkan karena sampel berupa
larutan campuran kurkumin dengan senyawa lainnya. Untuk menganalisis kandungan kurkumin
dalam sampel, metode pemisahan sangatlah penting. Berbagai teknik pemisahan dapat diterapkan
untuk memisahkan campuran diantaranya ekstraksi, destilasi, kristalisasi dan kromatografi. Metode
pemisahan pada kromatografi sangat tergantung dari jenis fase diam yang digunakan. Metode
pemisahan pada kromatografi sangat tergantung dari jenis fase diam yang digunakan. Jenis fase
diam yang digunakan menentukan interaksi yang terjadi antara analit dengan fase dia dan fase
gerak. Metode pemisahan pada kromatografi terbagi Pemisahan berdasarkan polaritas (like dissolve
like).
Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang
memisahkan yang terdiri dari bahan berbutir-butir (fase diam), dditempatkan pada penyangga
berupa gelas, logam, atau lapisan yang sesuai. Campuran yang dipisahkan berupa larutan yang telah
ditotolkan seperti bercak atau pita. Setelah pelat atau lapisan ditaruh didalam bejana tertutup rapat
yang berisi larutan pengembang atau eluen (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan fase
diamnya. Selanjutnya warna yang nampak dari pemisahan yang terjadi mengindikasikan kandungan
senyawa tersebut telah terdeteksi (Stahl 1985).
Pada fase diam, lapisan dibuat dari salah satu penjerap khusus yang digunakan untuk KLT
yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Penjerap yang umumnya digunakan ialah silica gel,
alumunium oksida, kieselgur, selulosa dan turunannya, poliamida dan sebagainya (Stahl 1985).
Fase gerak merupakan medium angkut yang terdiri dari satu atau beberapa pelarut (eluen).
Fase gerak bergerak didalam fase diam yakni suatu lapisan yang berpori karena ada gaya kapiler.
Fase gerak ditentukan dengan kesesuaian sampel yang akan digunakan (Stahl 1985). Dalam
praktikum yang dilaksanakan fase gerak dibuat menjadi 3 jenis, yakni kloroform-metanol (1:1), etil
asetat-heksana (1:1), dan klorofom. Eluen yang digunakan haruslah pelarut yang sesuai
kepolarannya dengan kurkumin agar senyaw kurkumin dapat terpisahkan.
Bilangan Rf merupakan jarak yang ditempuh senyawa pada kromatografi. Bilangan Rf
diperoleh dengan caraa menukur jarak antara titik awal dan pusat bercak yang dihasilkan senyawa,
dan jarak ini kemudian dibagi dengan jarak antara titik awal dan garis depan (Harbone 1987).
Padatan yang dihasilkan kemudian ditotolkan dari bawah dan minimum 1,5 cm dari sisi pelat,
sedemikian rupa sehingga larutan zat uji yang digunakan juga sesuai dengan apa yang diinginkan.
Pada percobaan ini penotol yang digunakan adalah pipa kapiler. Dilakukan penotolan pada plat
KLT yang diberi tanda inisial untuk stanadr dan sampel yang ditotol juga diberi tanda inisial
sebagai pembanding. Setelah noda pada plat KLT kering, lalu dimasukkan plat dalam chamber atau
bejana yang berisi pelarut yang sesuai dan ditutup. Dapat diamati bahwa plat KLT menyerap uap
dari pelarut yang membawa noda keatas sehingga dihasilkan bercak yang berbeda an ada yang
saling berdekatan, banyaknya bercak yang terpisah menandakan senyawa yang terdapat pada
sampel. Setelah daerah noda yang terpisah telah dideteksi, maka perlu mengidentifikasi tiap
individu dari senyawa. Metoda identifikasi yang paling mudah adalah berdasarkan pada kedudukan
dari noda relatif terhadap permukaan pelarut, menggunakan harga Rf atau disebut juga waktu
retensi. Harga Rf merupakan parameter karakteristik kromatografi lapis tipis. Harga ini merupakan
ukuran kecepatan migrasi suatu senyawa pada kromatogram dan pada kondisi konstan merupakan
besaran karakteristik dan reprodusibel. Hasil dari pengukuran jarak yang ditempuh noda adalah
dapat dilihat berdasarkan standar curcumin yang dikromatografikan yakni 0,94 untuk pelarut
Kloroform-metanol (1:1), 0,94 untuk pelarut Etil asetat-heksana (1:1) dan 0,90 untuk pelarut
kloroform. Dari data yang diperoleh, nilai Rf uji ke 1 dengan pelarut Kloroform-metanol (1:1)
menunjukkan nilai Rf sebesar 0,94. Nilai Rf uji ke 2 dengan pelarut Etil asetat-heksana (1:1),
sampel satu sebesar 0,67 dan sampel 2 sebesar 0,92. Nilai Rf uji ke 3 dengan pelarut kloroform
menghasilkan nilai Rf 8,9. Dari data yang ada dapat diketahui bahwa panjang nilai Rf sangatlah
penting dalam mencari eluen terbaik dan identifikasi suatu senyawa, dalam praktikum diketahui
eluen terbaik yakni eluen nomor 2 yakni Etil asetat-heksana (1:1). Hal ini dikarenakan nilai Rf
sampel yang lebih tinggi dibandingkan nilai Rf sampel yang sama dalam eluen 1 (Kloroform-
metanol (1:1) ) dan 3 (Kloroform), menunjukkan pemisahan lebih baik dibandingkan eluen 1 dan 3.
Serta nilai Rf yang hampir serupa menandakan indikasi suatu sampel dapat dibandingkan dengan
standarnya yakni sampel 2 dengan nilai Rf 0,92 dan standarnya 0,94.
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumusCH3CH2OC(O)CH3. Senyawa ini
merupakan ester darietanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna, memiliki
aroma khas. Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil dan OAc mewakili
asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut. Etil asetat adalah pelarut polar
menengah yang volatil (mudah menguap), tidak beracun, dantidakhigroskopis. Etil asetat
merupakan penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hydrogen karena
tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif
seperti flor, oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air
hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi.
Namun demikian, senyawa ini tidak stabil dalam air yang mengandung basa atau asam. Dalam
percobaan ini digunakan beberapa macam perbandingan kombinasi eluen antara heksana-etil asetat,
kloroform-metnaol dan kloroform Hal ini dikarenakan agar dapat diketahui kepolaran yang tepat
untuk pemisahan senyawa fitokimia yang diinginkan. Salah satu faktor yang harus dperhatikan
dalam mencampur fase gerak adalah hanya pelarut yang mempunyai kepolaran yang sama dapat
dicampur (Gritter,1991).
Nilai Rf didefinisikan sebagi perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa pada
permukaan fase diam dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut sebagai fase gerak. Semakin
besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak bergeraknya senyawa tersebut pada plat
kromatografi lapis tipis. Saat membandingkan dua sampel yang berbeda di bawah kondisi
kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang polar dan berinteraksi
dengan adsorbent polar dari plat kromatografi lapis tipis ( Handayani, 2008). Nilai Rf sangat
karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih
besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan
fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga
menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu
tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya.
Menurut Underwood (1999) terdapat beberapa faktor yang menentukan nilai Rf, yakni
Pertama Pelarut, disebabkan pentingnya koefisien partisi, maka perubahanperubahan yang sangat
kecil dalam komposisi pelarut dapat menyebabkan perubahan-perubahan harga Rf. Kedua yakni
Suhu, perubahan dalam suhu merubah koefisien partisi dan juga kecepatan aliran. Ketiga yakni
Ukuran dari bejana, volume dari bejana mempengaruhi homogenitas dari atmosfer jadi
mempengaruhi kecepatan penguapan dari komponenkomponen pelarut dari kertas. Jika bejana besar
digunakan, ada tendensi perambatan lebih lama, seperti perubahan komposisi pelarut sepanjang
kertas, maka koefisien partisi akan berubah juga. Dua faktor yaitu penguapan dan kompisisi
mempengaruhi harga Rf. Keempat yakni Kertas, pengaruh utama kertas pada harga Rf timbul dari
perubahan ion dan serapan, yang berbeda untuk macam-macam kertas. Kertas mempengaruhi
kecepatan aliran juga mempengaruhi kesetimbangan partisi. Dan yang kelima yakni Sifat dari
campuran, berbagai senyawa mengalami partisi diantara volumevolume yang sama dari fasa tetap
dan bergerak. Mereka hampir selalu mempengaruhi karakteristik dari kelarutan satu terhadap
lainnya hingga terhadap harga Rf mereka.
Kemampuan suatu analit terikat pada permukaan silika gel dengan adanya pelarut tertentu
dapat dilihat sebagai pengabungan 2 interaksi yang saling berkompetisi. Pertama, gugus polar
dalam pelarut dapat berkompetisi dengan analit untuk terikat pada permukaan silika gel. Dengan
demikian, jika pelarut yang sangat polar digunakan, pelarut akan berinteraksi kuat dengan
permukaan silika gel dan hanya menyisakan sedikit tempat bagi analit untuk terikat pada silika gel.
Akibatnya, analit akan bergerak cepat melewati fasa diam dan keluar dari kolom tanpa pemisahan.
Dengan cara yang sama, gugus polar pada pelarut dapat berinteraksi kuat dengan gugus polar dalam
analit dan mencegah interaksi analit pada permukaan silika gel. Pengaruh ini juga menyebabkan
analit dengan cepat meninggalkan fasa diam. Kepolaran suatu pelarut yang dapat digunakan untuk
kromatografi dapat dievaluasi dengan memperhatikan tetapan dielektrik (ε) dan momen dipol (δ)
pelarut. Semakin besar kedua tetapan tersebut, semakin polar pelarut tesebut. Sebagai tambahan,
kemampuan berikatan hidrogen pelarut dengan fasa diam harus dipertimbangkan.
Daftar Pustaka (Sebutkan minimal 3):

Azmi, Zulfan., Saniman., Ishak. 2016. Sistem penghitung ph air pada tambak ikan berbasis
mikrokontroller. Jurnal SAINTIKOM. Vol. 15, No. 2, Hal:101-108.
Ansel, H.C, 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi IV, Diterjemahkan oleh Farida
Ibrahim, UI Press, Jakarta, 607-608.
Harborne, J.B, 1996, Metode Fitokimia, Cetakan II, diterjemahkan oleh Kosasih Padma Winata dan
Iwang Soediro, ITB Press, Bandung, 70-72.
Matiin, Nafi’ul., Hatta, Agus M., Sekartdjo. Pengaruh variasi bending sensor ph berbasis serat optik
plastik menggunakan lapisan silica sol gel terhadap sensitivitas. Jurnal Teknik Pomits. Vol.
1, No. 1, Hal: 1-6.
Rohman, Abdul. 2009. Kromatografi untuk Analisa Obat. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Stahl, E., 1985, Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi, Edisi terjemahan
(diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Iwang Soediro), ITB press, Bandung, 3-18.
Underwood, AL dan JR. Day R.A. 1988. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keempat. Jakarta:
Erlangga.
Virliantari, Dela A., Maharani A. Lestari U., Ismiyati. 2018. PEMBUATAN indikator alami asam-
basa dari ekstrak kulit bawang merah (Allium ascalonicum L.)
.

Anda mungkin juga menyukai