Anda di halaman 1dari 54

PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN

PENGERING SEMPROT

SKRIPSI
AGUS LAHMUDIN

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN
PENGERING SEMPROT

AGUS LAHMUDIN
D14201019

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN
PENGERING SEMPROT

Oleh
AGUS LAHMUDIN
D14201019

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan


Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 Oktober 2006

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu HS, M.S.
NIP. 132 206 246 NIP. 131 415 133

Dekan Fakultas Peternakan


Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc.


NIP. 131 624 188
RINGKASAN

AGUS LAHMUDIN. D14201019. 2006. Proses Pembuatan Tepung Putih Telur


dengan Pengering Semprot. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Zakiah Wulandari, S.TP., M. Si.


Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., M.S.

Putih telur merupakan suatu sistem protein yang terdiri dari serat-serat
ovomucin dalam sejumlah larutan protein globular. Putih telur mempunyai kadar
protein yang tinggi dan merupakan bahan makanan yang mudah rusak. Pengawetan
dengan cara pengeringan semprot merupakan salah satu cara yang dapat
diaplikasikan untuk mempertahankan kualitas. Hasil pengeringan dengan spray
drying berupa tepung. Keunt ungan bentuk tepung tersebut diantaranya adalah lebih
awet dan volume lebih kecil sehingga menghemat ruang penyimpanan dan
transportasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perlakuan terbaik pada proses
pembutan tepung putih telur dan mengetahui sifat fisik serta sifat fungsional tepung
putih telur pada perlakuan. Perlakuan penelitian meliputi putih telur murni, putih
telur + 0,3% ragi roti dan putih telur + 0,3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari berat
putih telur. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu (1) persiapan bahan baku,
(2) penentuan suhu pengering semprot dan (3) proses pembuatan tepung putih telur.
Pengeringan putih telur pada penelitian ini dengan menggunakan alat spray
dryer merk Buchi Tipe-190 dan suhu pengeringan yang digunakan adalah inlet 160
0
C, 170 0 C dan 180 0 C. Secara deskriptif diperoleh hasil bahwa suhu pengeringan
yang baik adalah suhu inlet 180 0 C dan suhu outlet 86-96 0 C, karena menghasilkan
produk tepung yang kering dan tekstur yang halus.
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan
pengaruh yang nyata (P<0,05) pada peubah yang diamati seperti rendemen total,
rendemen halus, rendemen kasar dan pH sebelum pengeringan, sedangkan pH
setelah pengeringan, kadar air, kelarutan tepung, nilai kecerahan (nilai L), daya busa
dan stabilitas busa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05).
Berdasarkan hasil penelitian, pembuatan tepung putih telur terbaik diperoleh dari
perlakuan: (putih telur dengan penambahan 0,3% ragi roti) dan (putih telur dengan
penambahan 0,3% ragi roti dan 4% maltodekstrin dari berat putih telur).

Kata-kata kunci: Pengering semprot, fermentasi, maltodekstrin, tepung putih telur


ABSTRACT

The Making of Albumen Powder with Spray Dryer

Lahmudin, A., Z. Wulandari, I. Rahayu

Albumen is a protein system which consist of ovomucin fibre in a number of


globular protein solution. Albumen have a high protein rate and as a perishable food.
The preservative with spray drying is a method could be applicated to maintain the
quality. Drying result by spray drying is a powder. The advantage of powder form
are more preservative and less volume so that economically save the storage room
and transfortation. Research objective is to determine the best treatment of making
albumen powder and to know physical and functional of albumen at the treatment.
Research treatment include pure albumen, albumen + 0.3% yeast and albumen +
0.3% yeast + 0.4% maltodextrin from albumen weight. Research was divided to tree
stage: (1) material preparation, (2) spray drying temperature determination and (3)
the making of albumen powder. Albumen drying at this research using spray dryer
Buchi Tipe-190 and drying temperature are inlet 160 0 C, 170 0 C and 180 0C.
Descriptively, from this research a good drying temperature were inlet 180 0 C and
outlet temperature 86-96 0 C, because producing dry powder and soft texture.
According to variance analysis, the treatment value show a significant difference
(P<0.05) to the examine indicator such as total rendemen, soft rendemen, rough
rendemen and pH before drying, while, pH after drying, water rate, powder solution,
lighness (L value), foam capacity and foam stability treatment didn’t gave a
significant value (P>0.05). According to research result, the best making of albumen
powder got from treatment: (albumen with 0.3% yeast) and (albumen with 0.3%
yeast and 4% maltodextrin from albumen weight).

Keywords : spray dryer, fermentation, maltodextrin, albumen powder


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 1982 di Sukabumi, Jawa Barat.


Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Asep Saepudin,
S.Pd. dan Ibu Nanih.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1995 di SDN
Gunung Geulis. Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan
penulis di SLTPN 1 Cisolok pada tahun 1998 dan pendidikan SMU diselesaikan
penulis pada tahun 2001 di SMUN 1 Pelabuhan Ratu. Tahun 2001, penulis mendapat
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program studi Teknologi Hasil Ternak
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan.
Selama mengikuti pendidikan Penulis, aktif sebagai pengurus di berbagai
organisasi intern kampus seperti : UKM Koperasi Mahasiswa IPB tahun 2003-2006
dan LISES Gentra Kaheman IPB tahun 2003-2006. Penulis juga pernah bekerja
sebagai manajer di KOPMA IPB tahun 2005-2006 dan menjadi asisten mata kuliah
Dasar-dasar Teknologi Hasil Ternak.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas


segala nikmat yang telah dikcurahkan sehingga Penulis memperoleh kemudahan
dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Proses
Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Metode Spray Drying” dibimbing oleh
Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si dan Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., MS.
Skripsi ini membahas mengenai penentuan perlakuan terbaik pada proses
pembuatan tepung putih telur dan proses pembuatan tepung putih telur pada putih
telur murni, putih telur ditambah ragi roti dan putih telur dengan penambahan ragi
roti dan maltodekstrin dengan metode spray drying. Penggunaan ragi roti pada
proses pembuatan tepung putih telur bertujuan untuk mencegah terjadinya reaksi
Maillard (pencoklatan) pada saat proses pengeringan dan penggunaan maltodekstrin
juga bertujuan sebagai bahan pengisi dan membantu mengurangi proses pencoklatan.
Penulis berharap, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan nilai tambah khususnya
bagi Penulis dan para pembaca pada umumnya.

Bogor, November 2006

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN i
ABSTRACT ii
RIWAYAT HIDUP iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2

TINJAUAN PUSTAKA 3
Telur Ayam 3
Putih Telur 5
Sifat Fisiko Kimia Putih Telur 6
Dispersi Protein 7
Daya Busa 7
Koagulasi 9
Fermentasi Putih Telur 10
Pengeringan 11
Spray Drying 12
Pengeringan Telur Ayam 13
Maltodekstrin 14

METODE 16
Lokasi dan Waktu 16
Materi 16
Rancangan 16
Perlakuan 16
Model 17
Peubah 17
Analisis Data 19
Prosedur 19
Persiapan Bahan Baku 19
Penelitian Pendahuluan 20
Penelitian Utama 22
HASIL DAN PEMBAHASAN 24
Penelitian Pendahuluan 24
Penentuan Suhu Pengering Semprot 24
Penelitian Utama 24
Proses Pembutan Tepung Putih Telur 24
Rendemen 25
pH 26
Kadar Air 27
Kelarutan Tepung 28
Nilai Kecerahan 29
Daya Busa 29
Stabilitas Busa 30
Penentuan Perlakuan Terbaik 31
KESIMPULAN DAN SARAN 32
Kesimpulan 32
Saran 32
UCAPAN TERIMA KASIH 33
DAFTAR PUSTAKA 33
LAMPIRAN 38
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan) 3
2. Jenis dan Sifat serta Karakteristik Protein Putih Telur 6
3. Komposisi Produk Tepung Telur, Tepung Putih Telur dan Tepung
Kuning Telur (nilai dalam %) 14
4. Karakteristik Maltodekstrin 15
5. Jenis Karbohidrat dalam Oligosakarida 15
6. Macam Suhu Inlet dan Outlet pada Pengering Semprot 21
7. Formulasi Perlakuan Pembutan Tepung Putih Telur (dalam 100 g
berat putih telur) 21
8. Penentuan Nilai Skoring Berdasarkan Standar Produk Tepung
Putih Telur 23
9. Keadaan Bubuk Tepung Putih Telur pada Ketiga
Suhu Inlet dan Outlet 24
10. Rendemen Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet dan Outlet 24
11. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fisik Tepung Putih Telur 25
12. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fungsional Tepung Putih Telur 29
13. Rekapitulasi Hasil Analisis dan Nilai Skoring 32
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1. Susunan Telur Ayam dilihat dari Samping Memanjang 4
2. Poses Pembentukan Busa 8
3. Alat Pengering Semprot 21
4. Bagan Proses Pembuatan Tepung Putih Telur 22
5. Histogram Hubungan antara Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur dengan pH sebelum Pengeringan 27
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Rendemen Total 39
2. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Rendemen Halus 39

3. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap Rendemen Kasar 39

4. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap pH sebelum Pengeringan 40
5. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap pH setelah Pengeringan 40
6. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Kadar Air 40

7. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap Kelarutan Bubuk 41

8. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap Nilai Kecerahan (L) 41
9. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Daya Busa 41

10. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap Stabilitas Busa 41

11. Pengering Semprot (Spray Dryer) Tipe Buchi 190 41

12. Tepung Putih Telur Perlakuan A 42

13. Tepung Putih Telur Perlakuan B 42

14. Tepung Putih Telur Perlakuan C 42


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Telur ayam adalah salah satu bahan makanan asal ternak yang bernilai gizi
tinggi karena mengandung zat- zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
manusia seperti lemak, protein, mineral serta memiliki daya cerna yang tinggi. Telur
dibagi menjadi tiga bagian yaitu : putih telur, kuning telur dan kerabang telur. Putih
telur merupakan bagian yang bersifat cair kental dan tidak berwarna pada telur segar,
yang juga merupakan sistem protein yang terdiri dari serat-serat ovomucin didalam
sejumlah larutan protein globular. kuning telur merupakan bagian telur yang
berfungsi untuk perkembangan embrio karena mengandung zat gizi tinggi.
Telur dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat sebagai bahan pangan
karena kandungan gizinya yang tinggi, selain itu juga telur dikonsumsi sebagai bahan
non pangan. Sebagai bahan non pangan penggunaan telur dalam berbagai bidang
kehidupan, diantaranya bidang biologi (kultur media dan inseminasi buatan); bidang
industri (industri penyamakan kulit dan kosmetik); bidang pertanian (fertilizer) dan
bidang peternakan (pakan). Pada industri makanan, telur merupakan ingredient alami
yang penting pada proses pengolahan suatu produk karena telur mempunyai
beberapa sifat fungsional seperti daya busa, daya koagulasi, daya emulsi, kontrol
kristalisasi serta memberikan efek terhadap warna. Pada proses pengolahan pangan,
putih telur umumnya digunakan untuk membuat produk-produk yang mementingkan
sifat koagulasi protein dan sifat pembentukan buih.
Mengingat kebutuhan akan putih telur dan kuning telur yang jumlahnya
sangat banyak, maka dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut terhadap telur tersebut
misalnya dengan cara pengeringan sehingga dihasilkan produk kering berupa tepung
putih telur, tepung kuning telur maupun tepung campuran antara putih telur dengan
kuning telur. Pembuatan tepung putih telur termasuk cara pengawetan telur. Tepung
putih telur tidak memungkinkan mikroba untuk tumbuh karena kadar airnya sangat
rendah.
Tepung putih telur dibuat berdasarkan proses pengeringan yang bertujuan
mengubah bentuk fisik putih telur dari bentuk cair menjadi bentuk padat. Tepung
putih telur sebagai salah satu bentuk olahan telur kering dapat memberikan beberapa
keuntungan, yaitu dapat memenuhi kebutuhan bahan pengganti putih telur segar
untuk keperluan industri pangan, militer maupun keperluan rumah tangga.
Disamping itu putih telur mempunyai daya awet yang lebih lama, mengurangi ruang
dan biaya penyimpanan, mengurangi biaya transportasi, mempermudah komposisi
bahan dan persediaan bahan baku bagi industri pangan. Upaya untuk
mempertahankan sifat fisik dan sifat fungsional putih telur pada saat dikeringkan,
maka perlu ditambahkan fermipan untuk fermentasi yang dapat mencegah reaksi
pencoklatan pada produk akhir dan penambahan maltodekstrin sebagai bahan pengisi
dan melindungi produk akhir dari kerusakan.
Pemanfaatan tepung putih telur salah satunya dalam pembuatan produk
makanan yang membutuhkan daya buih tinggi contohnya adalah angel food cake.
Angel food cake merupakan cake yang dibuat tanpa menggunakan lemak dan hanya
menggunakan putih telur serta memiliki tekstur yang lebih kental dibandingkan
dengan roti. Pemanfaatan tepung putih telur dalam pembuatan angel food cake
merupakan salah satu alternatif mengganti penggunaan putih telur segar. Tepung
putih telur diharapkan mempunyai sifat daya dan stabilitas buih yang tidak jauh
berbeda dengan putih telur segar.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk:


1) Menentukan perlakuan terbaik pada proses pembuatan tepung putih telur;
2) Mengetahui perubahan sifat fisik dan sifat fungsional tepung putih telur akibat
adanya penambahan ragi roti untuk fermentasi dan maltodekstrin sebagai bahan
pengisi.

2
TINJAUAN PUSTAKA

Telur Ayam
Telur ayam adalah salah satu bahan makanan asal ternak yang bernilai gizi
tinggi karena mengandung zat- zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
manusia seperti lemak, protein, mineral serta memiliki daya cerna yang tinggi.
Komposisi kimia telur ayam menurut Romanoff dan Romanoff (1963), terdiri dari air
(73,6%), protein (12,8%), lemak (11,8%), karbohidrat (1,0%) dan komponen lain
(0,8%). Komposisi kimia telur ayam ras dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan)
Komposisi Kimia Telur Ayam Segar
Telur Utuh Putih Telur Kuning Telur
Kalori (Kal) 159,0 52,0 332,0
Air (g) 72,9 86,7 52,0
Protein (g) 13,2 10,9 14,8
Lemak (g) 11,1 0,4 29,5
Karbohidrat (g) 1,5 1,3 1,9
Kalsium (mg) 56,0 10,0 133,0
Fosfor (mg) 200,0 14,0 482,0
Vitamin A (SI) 327,0 0,0 630,0
Sumber : ASEANFOOD (2000)

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa komponen kimia telur terbesar


adalah air diikuti protein, lemak, abu dan karbohidrat. Komposisi antara putih telur
dan kuning telur terlihat jauh berbeda, terutama pada kandungan lemaknya. Selain
lemak, kuning telur mengandung banyak vitamin- vitamin yang larut lemak dan
phospolipid, termasuk lesitin yaitu zat pengemulsi. Pada putih telur air membentuk
dispersi koloidal bersama protein telur, sedangkan pada kuning telur air membentuk
emulsi bersama lemak (Panda 1996).
Telur ayam terdiri dari tiga bagian utama yaitu kerabang telur ± 11%, putih
telur (albumen) ± 57% dan kuning telur ± 32% (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Bagian-bagian tersebut masih dibagi lagi dalam beberapa lapisan telur (Gambar 1 ).
Blastoderm
Lapisan luar albumen Membrana vitelina
Lapisan kental albumen Inti “pander”
Lapisan dalam albumen Penghubung latebra
Lapisan khalaziferous latebra

Selaput membrana
Ligamentum albumen
Membrana kulit telur

Rongga udara

Ligamentum albumen
Khalaza

khalaza
Lapisan kuning dari
Kuning telur Kulit telur
Lapisan putih dari Kutikula
Kuning telur

Gambar 1. Susunan Telur Ayam dilihat dari Samping Memanjang


(Romanoff dan Romanoff, 1963)
4
Menurut Stadelman dan Cotterill (1977), kerabang telur terdiri dari empat
lapisan yaitu kutikula, spongiosa (bunga karang), mamilaris dan membran kerabang
telur. Kerabang telur terdiri dari dua bahan yang berbeda yaitu matriks organik dan
garam-garam anorganik dengan perbandingan 1:5. Matriks organik adalah serabut-
serabut protein yang terjalin membentuk jala, sedangkan bahan-bahan anorganik
yang berbentuk kristal diikat didalam jala-jala tersebut. Lapisan membran juga terdiri
dari serabut-serabut protein yang terjalin membentuk jala (Romanoff dan Romanoff,
1963).
Menurut Powrie (1973), putih telur merupakan bagian yang bersifat cair
kental dan tidak berwarna pada telur segar, putih telur terdiri empat lapisan yaitu
lapisan encer bagian luar (23,3%), lapisan kental (57,3%), lapisan encer dalam
(16,8%) dan kalaza (2,7%). Bagian putih telur diikat dengan bagian kuning telur oleh
kalaza, yaitu serabut-serabut protein berbentuk spiral yang disebut mucin.
Kuning telur merupakan bagian telur yang mengandung zat gizi tinggi
karena berfungsi sebagai makanan untuk perkembangan embrio (Stevenson dan
Miler, 1986). Kuning telur terletak dibagian tengah telur dan dibungkus oleh suatu
lapisan tipis yaitu membran vitelin yang terdiri dari keratin (Romanoff dan
Romanoff, 1963).

Putih Telur
Putih telur merupakan suatu sistem protein yang terdiri dari serat-serat
ovomucin didalam sejumlah larutan protein globular. Komposisi protein pada setiap
lapisan putih telur berbeda pada kandunga n ovomucinnya (Forsythe dan Foster,
1949). Di dalam putih telur, protein merupakan salah satu komponen yang terdapat
dalam jumlah besar. Beberapa jenis protein yang dikenal antara lain adalah
ovalbumin, conalbumin, globulin (G1 , G2 dan G3 ), ovomucoid, falvoprotein,
ovoglikoprotein, ovomakroglobulin, ovoinhibitor dan avidin. Jenis-jenis protein
putih telur, sifat dan karakteristiknya dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Powrie dan
Nakai (1985), karbohidrat terdapat dalam bentuk kompleks dengan protein maupun
dalam keadaan bebas, sekitar 98% karbohidrat bebas pada putih telur adalah glukosa,
sedangkan pada kuning telur terkandung karbohidrat sebanyak 1,0%. Romanoff dan
Romanoff (1963) juga menyatakan bahwa karbohidrat yang terdapat dalam putih

5
telur dapat dalam bentuk bebas maupun berikatan dengan protein membentuk
glikoprotein.

Tabel 2. Jenis dan Sifat serta Karakteristik Protein Putih Telur*


Titik Karakteristik
Jenis Jumlah (%) Berat Molekul
Isoelektrik
Ovalbumin 54,0 4,6 45.000 Phospoglikoprotein
mengikat Fe
Conalbumin 13,0 6,6 80.000
(logam lain)
menghambat
Ovomucoid 11,0 3,9-4,3 28.000
Tripsin
Lysozym menguraikan
3,5 10,7 14.600
(G1 -globulin) bakteri
G2 -globulin 4,0 5,5 30.000-45.000 -
G3 -globulin 4,0 5,8 - -
Ovomucin 1,5 - - Sialoprotein
mengikat
Flavoprotein 0,8 4,1 35.000
Riboflavin
Ovoglikoprotein 0,5 3,9 24.000 Sialoprotein
760.000- menghambat
Ovomakroglobulin 0,5 4,5-4,7
900.000 beberapa protease
Avidin 0,05 9,5 53.000 mengikat Biotin
Sumber :*Powrie (1973)

Sejumlah karbohidrat umumnya terdapat sebagai glukosa sebanyak 0,4% dari


total putih telur dan 0,5% dari putih telur terdapat dalam bentuk glikoprotein yang
mengandung unit-unit galaktosa dan manosa. Sedangkan kuning telur mengandung
karbohidrat bebas sebanyak 70% dan yang berkombinasi dengan protein sebanyak
0,3%. Jenis karbohidrat yang berikatan dengan protein pada kuning telur adalah
manosa glukosamin polysakarida (Powrie dan Nakai, 1985).

Sifat Fisikokimia Putih Telur


Putih telur mempunyai sifat fisikokimia ya ng berguna dalam pengolahan
pangan. Sifat-sifat tersebut meliputi dispersi protein, daya busa dan koagulasi.

6
Dispersi Protein
Putih telur mengandung protein ovalbumin, ovoconalbumin, ovoglobulin,
ovomucin dan ovomucoid (Romanoff dan Romanoff, 1963). Molekul- molekul
protein tersebut ada yang termasuk protein globular yang larut dalam air atau media
cair, beberapa dalam air murni dan sebagian lagi dalam larutan elektrolit. Dispersi
yang terbentuk adalah dispersi koloid. Protein globular mempunyai konfigurasi
berupa alfha heliks. Cara untuk mengurangi kontak antara gugus protein dengan air,
maka heliks dari rantai-rantai polipeptida tersebut berlipat dan berkelok-kelok lebih
lanjut dalam bebagai cara sehingga rantai samping hidrokarbonnya terlipat ke dalam
menjauhi molekul air. Rantai samping yang bersifat lebih polar mengarah keluar
(Nur et. al.,1983)

Daya Busa
Pembentukan busa putih telur dilakukan dengan pengocokan. Pengocokan
tersebut akan menyebabkan ikatan- ikatan dalam molekul protein putih telur terbuka
sehingga rantai protein menjadi lebih panjang. Selanjutnya udara masuk diantara
molekul- molekul protein yang terbuka rantainya dan ditahan serta membentuk
gelembung busa sehingga volume bertambah dan sifat elastisitasnya berkurang.
Warna gelembung mula- mula hijau kemudian berubah menjadi kekuning-kuningan,
jernih dan akhirnya putih kabur (Cherry, 1981). Proses pembentukan busa, disajikan
pada Gambar 2.
Busa putih telur berbentuk polihidron dengan diameter 0,02 cm dan berat
jenis 0,137. Bila pengocokan diperpanjang maka berat jenis dan diameternya akan
berkurang, setelah 6 menit pengocokan berat jenis akan menjadi 0,088 dan diameter
0,01 cm (Romanoff dan Romanoff, 1963). Setiap protein putih telur memiliki
kemampuan membentuk busa yang berbeda-beda. Protein-protein putih telur yang
berperan dalam pembentukan busa adalah ovalbumin, ovomucin dan ovoglobulin.
Ovalbumin dapat membentuk buih yang kuat, ovomucin berfungsi menstabilkan
busa sedangkan ovoglobulin dapat meningkatkan viskositas, memperkuat pengikatan
gelembung udara dan melembutkan tekstur busa yang dihasilkan (Baldwin, 1973).
Volume dan stabilitas busa putih telur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
lamanya telur disimpan, suhu putih telur, pH putih telur, lama pengocokan, perlakuan
pendahuluan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator.

7
Protein

Protein
Terdenaturasi

Pembentukan
Lapisan Tipis

Pembentukan
udara udara
udara Busa

Perbaikan
udara Pembentukan Busa

KOAGULASI
udara

udara DISTRUPSI

Gambar 2. Mekanisme Pembentukan Busa


Sumber : Cherry dan McWaters ,1981

8
Daya busa tepung putih telur juga dipengaruhi oleh keadaan pengeringannya
(Romanoff dan Romanoff, 1963; Baldwin, 1973). Pasteurisasi cairan putih telur pada
suhu 51,1-570 C selama 5 menit dan penyimpanan tepung telur pada suhu 43,3-600 C
selama 1-7 hari tidak mempengaruhi waktu pengocokan dan volume pada pembuatan
angel food cake (Brown dan Zabik, 1967). Pengocokan putih telur pada suhu 10-250
C tidak mempengaruhi pembentukan busa. Volume dan stabilitas busa yang terbaik
dihasilkan dari pengocokan pada suhu 46,110 C (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Menurut Lowe (1963), pengocokan putih telur segar yang encer
menghasilkan busa dengan volume yang lebih besar daripada putih telur kental.
Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa putih telur yang baru keluar dari
tubuh induknya mempunyai volume busa 350% dari volume awal putih telur,
sedangkan yang sudah disimpan dua minggu pada suhu kamar mempunyai volume
busa 425% dari volume awal putih telur. Perubahan volume busa ini terjadi
bersamaan dengan kenaikan pH putih telur. Bila telur disimpan telah lama maka
kestabilan busa berkurang.
Putih telur yang telah disimpan pada suhu beku (-30 C) dan kemudian
dicairkan kembali tidak mempengaruhi sifat busa. Pemanasan putih telur pada suhu
500 C selama 30 menit juga tidak mempengaruhi volume dan stabilitas busa yang
dihasilkan (Baldwin, 1973; Romanoff dan Ro manoff, 1963).
Ovalbumin dapat membentuk buih paling baik pada pH sekitar 3,7-4,0,
sedangkan protein yang lain dapat membentuk busa paling baik pada pH sekitar 6,5-
9,5. Kenaikan pH putih telur dari 5,5 menjadi 11 akan meningkatkan volume busa
dari 688% menjadi 982% (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Bertambahnya waktu pengocokan menjadikan gelembung-gelembung busa
semakin kecil. Busa yang stabil dicapai setelah 2 menit pengocokan, berarti bahwa
kestabilan diperoleh sebelum busa mencapai volume maksimum (Romanoff dan
Romanoff, 1963).

Koagulasi
Koagulasi merupakan proses perubahan struktur molekul protein telur yang
mengakibatkan pengentalan dan hilangnya kelarutan atau berubah bentuk dari cair
(sol) menjadi bentuk padat atau semi padat (gel). Perubahan ini dapat disebabkan
oleh panas, pengocokan, penambahan asam, basa atau pereaksi lain (Baldwin, 1973).

9
Koagulasi oleh panas terjadi akibat reaksi antara protein dan air yang diikuti
penggumpalan protein. Putih telur akan terkoagulasi pada suhu 60-62 0 C, sedangkan
kuning telur terkoagulasi pada suhu 65-70 0 C (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Menurut Lehningher (1982), mekanisme terjadinya koagulasi diawali dengan
terjadinya proses denaturasi yaitu perubahan struktur molekul protein tanpa
memutuskan ikatan kovalen. Menurut Belitz dan Grosch (1999), denaturasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu panas, pH, tekanan, pelarut orgaik, garam dan
urea. Tahapan selanjutnya adalah agregasi yaitu terjadinya interaksi antara protein
dengan protein dengan berat molekul yang tinggi. Tahapan selanjutnya adalah
koagulasi yaitu agregasi yang tidak beraturan yang terjadi karena adanya interaksi
antara protein beserta interaksi antara protein dengan pelarutnya. Menurut Gosset et
al,. (1984), tahapan terbentuknya gel dapat dijelaskan sebagai berikut :
Native protein Denatured protein aggregated
(associated network) (long chain)
Menurut Bergquist (1964), secara umum pengeringan telur tidak akan
menyebabkan sifat koagulasi produk terhadap panas. Pegeringan telur dengan suhu
tinggi atau penyimpanan pada kondisi yang tidak cocok menyebabkan produk
kehilangan daya larutnya.

Fermentasi Putih Telur


Putih telur yang akan dikeringkan perlu difermentasi terlebih dahulu agar
tidak terjadi reaksi pencoklatan non enzimatik yang dikenal dengan reaksi Maillard.
Putih telur kering tanpa fermentasi memberikan warna coklat kemerah- merahan dan
sukar dilakukan rekonstitusi. Fermentasi juga sangat membantu mempertahankan
daya buih putih telur serta menurunkan viskositasnya sehingga mempermudah
penanganan (Hill dan Sebring, 1973).
Reaksi Maillard tersebut terjadi antara gugus karbonil (aldosa dan ketosa)
dari gula pereduksi dengan gugus alpha-amino dari asam amino atau protein yang
dikenal dengan reaksi karbonilamino dan menghasilkan basa Schriff yang berada
dalam keseimbangan dengan senyawa glikosail amin substitusi-N. Selanjutnya
terjadi Amadori rearrangement membentuk 1-amino-1-deoksi-2-ketosa menjadi
aldimin dan ketimin yang kemudian berpolimerisasi membentuk melanoidin yang
berwarna coklat (Meyer, 1976).

10
Untuk fermentasi putih telur dapat digunakan khamir maupun bakteri yaitu
Saccharomyces cereviceace, Enterobacter aerogenes, Escherichia frundii dan
Streptococcus lactis. Di samping itu juga dapat dilakukan fermentasi dengan enzim
glukosa oksidase (Hill dan Sebring, 1973; Romanoff dan Romanoff, 1963).
Fermentasi putih telur biasanya dilakukan pada suhu 200 C selama 36-60 jam
atau pada suhu 23,9-29,40 C selama 12 jam. Tergantung dari suhunya, lama
fermentasi dapat bervariasi tetapi tidak lebih dari 72 jam. Selama fermentasi akan
terjadi pemisahan dalam putih telur sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan yang
tipis di bagian bawah merupakan endapan, sedangkan lapisan tebal dibagian atas
mengandung senyawa ovomucin dan glikoprotein. Lapisan atas bersifat gelatinous
dan akan berubah menjadi berair bila fermentasi lebih dari 72 jam (Hill dan Sebring,
1973).
Menurut Hill dan Sebring (1973), untuk menghilangkan glukosa dari putih
telur dapat dilakukan melalui fermentasi dengan khamir dengan konsentrasi 0,05-
0,50% dan diinkubasi selama 3 jam pada suhu 370 C. penggunaan khamir dengan
konsentrasi lebih tinggi yaitu 1% dapat menyebabkan timbulnya yeast flavor pada
produk akhir. Penggunaan Saccharomyces cereviceae pada konsentrasi yang relatif
rendah (0,1%) tidak dapat mengkonversi gula menjadi asam glukonat secara
sempurna. Fermentasi putih telur menggunakan S. cereviceae pada konsentrasi 0,2-
0,4% dari berat putih telur segar dan diinkubasi pada suhu 22-230 C selama 2-4 jam
dapat mengkonversi gula pereduksi secara sempurna serta dihasilkan produk akhir
yang bebas dari yeast flavor. Fermentasi putih telur dengan khamir dan bakteri dapat
mencegah perubahan warna, flavor dan penampakan yang kurang disukai akibat
reaksi Maillard. Penyimpanan tepung putih telur pada suhu 220 C dan 400 C tidak
mempengaruhi volume kue yang yang dibuat dari putih telur yang mengalami
fermentasi, tetapi kue yang dibuat dari putih telur tanpa fermentasi mengalami
penurunan volume sebesar 7-26% (Hill dan Sebring, 1973).

Pengeringan
Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan
sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air dengan energi panas.
Pengeringan selain untuk mengawetkan juga mempunyai beberapa keuntungan
antara lain akan mengurangi kesulitan dalam pengemasan, pengangkutan dan

11
penyimpanan. Pengeringan membuat bahan menjadi padat dan kering sehingga lebih
memudahkan dalam pengangkutan, pengemasan maupun penyimpanan
(Wirakartakusuma et al., 1992). Disamping keuntungan tersebut, pengeringan juga
mempunyai beberapa kerugian yaitu sifat asal dari bahan yang dikeringkan dapat
berubah seperti bentuk, sifat fisik dan kimia, penurunan mutu dan lain- lain (Winarno
et al., 1982).
Proses pengeringan suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu suhu, kelembapan udara (RH), sirkulasi udara dan waktu pengeringan. Kontrol
yang teliti terhadap keempat faktor tersebut perlu dilakukan agar diperoleh suatu
hasil yang baik.
Menurut Buckle et al. (1985), kerugian yang ditimbulkan akibat proses
pengeringan adalah berubahnya sifat fisik seperti pemucatan pigmen, perubahan
struktur (pengerutan) dan hilangnya aroma. Kondisi pengeringan yang tidak
terkendali dapat menimbulkan bau gosong. Menurut Wirakartakusuma et al. (1992),
beberapa parameter yang mempengaruhi kecepatan pengeringan meliputi sifat bahan,
ukuran bahan, volume bahan, suhu udara dan kecepatan aliran udara.
Pengeringan bahan pangan dapat dilakukan dengan berbagai metode.
Pemilihan metode pengeringan ditentukan oleh jenis komoditi yang akan
dikeringkan, bentuk akhir yang diinginkan, faktor ekonomi dan kondisi operasinya
(Desrosier, 1988). Menurut Wirakartakusuma et al. (1992), terdapat dua metode
pengeringan berdasarkan bentuk atau jenis komoditi yang akan dikeringkan, yaitu
metode untuk bahan padat dan bahan cair. Metode yang sering digunakan untuk
pembuatan produk berbentuk bubuk atau tepung adalah metode pengering semprot
atau spray drying.

Spray Drying
Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan
sebagian air suatu bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Spray drying
merupakan proses perubahan bahan dari bentuk cair menjadi partikel-partikel kering
oleh suatu proses penyemprotan bahan kedalam medium kering yang panas
(Dziezak, 1980). Master (1979) menyatakan, bahwa spray drying merupakan suatu
proses berkesinambungan yang merubah bentuk suatu produk dari cairan, pure atau
pasta ke bentuk kering berupa tepung atau butiran. Menurut Heldman et al., (1981),

12
ciri khas dari spray drying adalah siklus pengeringan yang cepat, retensi produk
dalam ruang pengering singkat dan produk akhir yang dihasilkan siap dikemas ketika
proses pengeringan selesai.
Menurut Sutejo (1998), keuntungan spray drying antara lain adalah kelarutan
bahan kering yang dihasilkan sangat baik karena partikelnya yang halus, mudah
terdispersi dalam air, kontak dengan panas sangat singkat dan mudah untuk
mengoperasikannya. Menurut Spicer (1974), spray drying mempunyai beberapa
kelebihan dibandingkan dengan beberapa jenis alat pengering yang lain, diantaranya
: (1) produk akan menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas;
(2) suhu produk rendah meskipun suhu udara pengering yang digunakan cukup
tinggi; (3) penguapan air terjadi pada permukaan yang sangat luas sehingga waktu
yang dibutuhkan untuk pengeringan hanya beberapa detik saja dan (4) produk akhir
berbentuk bubuk yang memudahkan penanganan dan transportasi.
Spray drying terdiri atas empat proses yaitu (1) atomisasi bahan sehingga
dapat membentuk semprotan yang halus, (2) kontak antara partikel hasil atomisasi
dengan udara pengering, (3) penguapan air dan bahan, (4) pemisahan bubuk kering
dengan aliran udara yang membawanya (Master, 1979). Master (1979) juga
menyebutkan bahwa tingkat atomisasi bahan tergantung pada beberapa faktor yaitu
bentuk atomizer, kecepatan putaran, kecepatan aliran bahan dan sifat bahan.
Penurunan ukuran droplet terjadi jika kecepatan putarannya ditingkatkan, sedangkan
peningkatan viskositas dan tegangan permukaan justru akan meningkatkan ukuran
droplet. Perubahan ukuran droplet sangat dipengarhi oleh jenis atomizernya. Fungsi
atomizer yaitu memecah bahan menjadi partikel yang lebih kecil sehingga
menghasilkan luas permukaan yang lebih besar dan proses penguapan yang lebih
cepat (Heldman dan Singh, 1981).

Pengeringan Telur Ayam


Pengeringan telur pada prinsipnya adalah mengurangi kandungan air dalam
bahan sampai pada batas agar mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Pengeringan telur
mempunyai beberapa keuntungan yaitu : (1) mempermudah dan mengurangi rua ng
penyimpanan, (2) menghemat biaya transportasi, (3) memperpanjang masa simpan
dan (4) mempermudah penggunaannya (Romanoff dan Romanoff, 1963).

13
Menurut Matz dan Matz (1978), metode pengeringan yang dapat digunakan
untuk membuat tepung telur ada empat macam yaitu : foaming drying, pengeringan
secara lapis (pan drying), pengeringan semprot dan pengeringan beku. Putih telur
dapat dibuat menjadi suatu produk yang berumur panjang dan cocok setelah
pengeringan. Tepung putih telur dapat digunakan untuk membuat berbagai produk
candy (nougat creams, french nougats, chewy nougats, almond nougats, summer
nougats dan sebagainya), angel food cake, sponge cake dan produk makanan lain
yang membutuhkan daya busa tinggi (Sukarno, 1984). Komposisi tepung telur,
tepung putih telur dan tepung kuning telur dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Produk Tepung Telur, Tepung Putih Telur dan Tepung
Kuning Telur (nilai dalam %)
Tepung Tepung Kuning
Tepung Telur Putih Telur Telur
Komposisi
-------------------- (%) --------------------
Kadar Air 5,0 8,0 5,0
Lemak 40,0 - 57,0
Protein 45,0 80,0 30,0
Abu 3,7 5,7 3,4
Sumber : Food and Drugs Administration (1966), Gorman (1973)

Maltodekstrin
Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati (polimer sakarida
tidak manis) dengan panjang rantai rata-rata 5-10 unit/molekul glukosa.
Maltodekstrin secara teori diproduksi dengan menggunakan hidrolisis terkontrol
melalui enzim (a-amilase) atau asam (Kennedy et al., 1995). Maltodekstrin memiliki
DE (Dext rose Equivalent) kurang dari 20. DE menunjukkan persentase dari dextrose
murni dalam basis berat kering pada produk hidrolisis. Maltodekstrin memiliki
derajat polimerisasi 3-20. Derajat polimerasi (DP) dinyatakan dengan kesetaraan
dextrosa (DE). Derajat polimerisasi didefinisikan sebagai jumlah gula pereduksi total
yang dinyatakan sebagai dextrosa dan dihitung sebagai persentase dari berat kering
total (Biliaderis dan Eskin, 1992). Maltodekstrin memiliki komposisi sakarida paling
banyak pada DP 3-9, yang termasuk dalam golongan oligosakarida dengan rantai
linier pendek (Winarno, 1997).

14
Maltodekstrin merupakan bahan tambahan pangan yang aman dikonsumsi
karena termasuk dalam GRAS (Generally Recognized As Safe). Larutan
maltodekstrin memiliki karakteristik flavor lembut, rasa dimulut yang halus (smooth
mouthfeel), dapat mengurangi lemak sebagian atau keseluruhan dalam berbagai
formula dan dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam makanan (Burdock,
1997). Karakteristik maltodekstrin dapat dilihat pada Tabel 4 dan jenis karbohidrat
dalam oligosakarida dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 4. Karakteristik Maltodekstrin Komersial


Karakteristik Nilai (%)
Komposisi Sakarida
DP 1-2 16,07
DP 3-9 78,66
DP > 9 5,27
Derajat Putih 92,51
Tingkat Kemanisan (dibandingkan dengan
Tingkat kemanisan sukrosa 100 %) 6,25-7,25
Sumber : Hidayat dan Ahza (2003)
Menurut Pratiwi (2005), total nilai skoring sifat fisik dan kimia pada proses
pembuatan susu kambing bubuk dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak 4%
memiliki nilai tertinggi. Tujuan penggunaan maltodekstrin menurut Kennedy et al.
(1995) adalah :
1) untuk menurunkan biaya produksi dari material dengan harga tinggi;
2) untuk mengurangi kehilangan volume selama penyimpanan atau pemindahan;
3) untuk menyerap minyak atau lemak dan membantu penyebaran;
4) memberikan rasa lembut dan meningkatkan kelarutan.

Tabel 5. Jenis Karbohidrat dalam Oligosakarida


Derajat Polimerisasi Jenis Karbohidrat Rumus Kimia
2 maltosa (C 6 H10O5 )2 H2 O
3 maltotriosa (C 6 H10 O5 )3 H2 O
4 maltotetrosa (C 6 H10O5 )4 H2 O
5 maltopentosa (C 6 H10 O5 )5 H2 O
6-10 maltoheksosa (C 6 H10O5 )6 H2 O
Sumber : Winarno (1997)

15
METODE

Lokasi dan Waktu


Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas
Peternakan untuk pengujian sifat fungsional tepung putih telur dan Laboratorium
Pilot Plant SEAFAST Center Institut Pertanian Bogor untuk pembuatan tepung putih
dan analisis fisik dari bulan Juli sampai Agustus 2006.

Materi
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur ayam ras berumur 1-
2 hari yang diperoleh dari peternakan ayam di daerah Cibeureum Kecamatan
Darmaga Bogor. Bahan pembantu yang digunakan untuk fermentasi adalah fermipan
atau ragi roti.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah spray dryer tipe
Buchii-190, homogenizer, waterbath, egg tray, pengaduk, hand mixer, timbangan
merk O-hous (ketelitian 0,1 gram), candler, gelas ukur, oven, corong bugner, labu
isap, vacum pump, kertas whatman no. 41, karton, desikator, magnetick stirrer,
penyaring dan baskom. Alat untuk analisis fisik adalah kadar air, pH meter, pengukur
nilai kecerahan (Cromameter Minolta CR-310) dan oven vakum.

Rancangan

Perlakuan
Penelitian ini menggunakan putih telur ayam ras yang berumur 1-2 hari yang
diberi perlakuan sebagai berikut : (1) putih telur murni, (2) putih telur + 0,3% ragi
roti dari berat putih telur dan (3) putih telur + 0,3% ragi roti dari berat putih telur +
4% maltodekstrin dari berat putih telur.
Putih telur pada perlakuan tersebut akan dijadikan sebagai salah satu bahan
utama dalam pembuatan tepung putih telur. Perlakuan 2 dan 3 pada putih telur
tersebut sebelum dilakukan pengeringan terlebih dahulu dihomogenkan ± 30 detik
menggunakan alat homogenizer. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan
fermipan atau ragi roti dengan komposisi 0,3 % dari berat putih telur selama tiga jam
pada suhu kamar (30 0 C).
Model
Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap pola searah dengan tiga ulangan. Model matematisnya (Steel and Torrie,
1995) adalah sebagai berikut :
Yij = p + a i + eij
Keterangan:
Yij = nilai dari pengamatan perlakuan ke-I dengan ulangan ke-j
p = rataan umum
ai = pengaruh perlakuan (putih telur murni, putih telur + fermipan 0,3 %
dari berat putih telur, putih telur + fermipan 0,3 % dari berat putih
telur + 4% maltodekstrin dari berat putih telur)
eij = pengaruh galat percobaan
Jika hasil analisis menunjukkan pengaruh yang nyata (a = 0.05) maka akan diuji
dengan uji lanjut Duncan (Steel and Torrie, 1995).

Peubah

Peubah yang diukur dalam penelitian ini meliputi uji sifat fisik dan sifat
fungsional dari tepung putih telur. Sifat fisik yang diamati meliputi; rendemen, pH,
warna, kadar air, kelarutan bubuk, sedangkan untuk sifat fungsional yang diamati
adalah daya busa dan stabilitas busa.

Rendemen (Association of Official Analitical Chemist, 1995). Perhitungan


rendemen tepung putih telur ditentukan dengan menghitung berat tepung putih telur
yang dihasilkan dari setiap perlakuan.

Berat tepung putih telur (gram)


Rendemen (%) = X 100 %
Berat putih telur awal (gram)

Analisis pH (Association of Official Analitical Chemist, 1995). Pengukuran pH


dilakukan sebelum dan sesudah pengeringan dan dilakukan dengan menggunakan pH
meter. Tepung putih telur yang akan diukur pH-nya, terlebih dahulu dilarutkan dalam
air destilat (rekonstitusi) dengan satu bagian tepung putih telur dan satu bagian air.

17
Kadar Air (Association of Official Analytical Chemist, 1995). Pengukuran kadar
air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Cawan kosong dikeringkan
didalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.
Sebanyak 3 gram sampel dimasukkan dalam cawan aluminium yang telah diketahui
beratnya, kemudian dikeringkan dalam oven 105 0 C selama 24 jam hingga beratnya
konstan. Cawan dan sampel yang telah dioven dipindahkan ke desikator, didinginkan
dan kemudian ditimbang. Kadar air dihitung denga n rumus sebagai berikut :
Bobot sampel awal – bobot sampel akhir
Kadar air (%) = X 100 %
Bobot sampel awal

Kelarutan Tepung (Fardiaz et al., 1992). Sampel ditimbang kurang lebih 0,75
gram, dilarutkan dalam 100 ml aqua destilata kemudian disaring dengan kertas saring
Whatman no. 42 dengan menggunakan pompa vakum. Sebelum digunakan, kertas
saring dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 1050 C, kemudian
ditimbang (a). Setelah proses penyaringan, kertas saring beserta residu dikeringkan
dalam oven pada suhu 1050 C selama 3 jam kemudian didinginkan dalam desikator
selama 15 menit lalu timbang (b).
(b-a)
Kelarutan = 1- x 100%
(100% - c) x 0,75
100

Keterangan :
a = berat kertas saring yang digunakan (a)
b = berat kertas saring dan residu (b)
c = kadar air contoh yang digunakan (c)

Nilai Kecerahan (Pomeranz, 1978). Nilai kecerahan (nilai L) diukur dengan


menggunakan Cromameter Minolta CR-310. Nilai L menunjukan parameter
kecerahan yang bernilai 0-100 untuk warna hitam sampai putih.

Daya dan Stabilitas Busa (Stadelmen dan Cotteril, 1995). Sebanyak 3 g sampel
dilarutkan dengan air destilat atau aquades dengan perbandingan 1:10. kemudian
dilakukan rehidrasi dengan cara dikocok dengan hand mixer dengan kecepatan 1
sampai larut kurang lebih 45-47 detik. Setelah direhidrasi, kemudian dikocok dengan

18
kecepatan 2 selama 1,5 menit dan dilanjutkan dikocok dengan kecepatan 3 selama
1,5 menit. Setelah itu dihitung daya busanya dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
Volume Busa
Daya Busa (%) = x 100 %
Volume Awal
Pengukuran stabilitas busa dilakukan dengan menghitung terlebih dahulu
persentase tirisan. Setelah dihitung daya busa kemudian volume busa didiamkan
selam 1 jam kemudian dicatat besar volume tirisan.

Volume Tirisan
Tirisan Busa (%) = x 100 %
Volume Busa
Stabilitas busa dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Stabilitas Busa (%) : 100 - L, dengan L : Persentase tirisan busa (%)

Analisis Data
Peubah yang diamati pada penelitian ini dianalisis dengan tiga cara yaitu
analisis secara deskripsi dan analisis ragam serta uji lanjut Duncan. Analisis
deskripsi dilakukan terhadap peubah suhu dan analisis ragam (ANOVA) dilakukan
pada peubah yang diamati seperti rendemen, pH, warna, kadar air, kelarutan bubuk,
daya busa dan stabilitas busa dan jika berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan
uji lanjut Duncan (Steel and Torrie, 1995).

Prosedur
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan
acak lengkap (RAL) pola searah dengan tiga perlakuan dan tiga kali ulangan.
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu (1) persiapan bahan baku, (2)
penelitian pendahuluan dan (3) penelitian utama.

Persiapan Bahan Baku


Telur yang digunakan dalam penelitian ini berupa telur ayam ras yang segar
yang berumur 1-2 hari, dengan tujuan agar mudah dipisahkan antara putih telur
dengan kuningnya. Putih telur yang digunakan dalam pene litian berdasarkan standar
USDA termasuk dalam kelompok AA sampai A yang mempunyai ciri-ciri yaitu

19
warnanya putih bening, kental dan bersih dan bebas dari noda (bercak darah dan
bercak daging). Tahap ini dimulai dengan menyeleksi telur segar dengan
menggunakan candler, telur yang retak, bercak darah tidak digunakan untuk tahap
selanjutnya.
Tahap berikutnya adalah pencucian kulit telur. Pencucian kulit telur
dilakukan dengan air hangat yang mengalir, tujuannya adalah untuk menghindari
terjadinya kontaminasi mikroba pada isi telur. Tahap selanjutnya adalah memecah
telur dan memisahkan bagian putih telur dengan kuningnya dengan menggunakan
penyaring atau egg separator.

Penelitian Pendahuluan
Penentuan Suhu Pengering Semprot. Penentuan suhu pengering spray drying
bertujuan untuk menentukan kondisi optimal pembuatan tepung putih telur. Kondisi
yang dipelajari adalah suhu pengeringan yang dapat menghasilkan tepung putih telur
sesuai kriteria mutu.
Penentuan suhu dan lama pengeringan dilakukan pada kisaran suhu dan lama
pengeringan yang tercantum pada Tabel 6, yang merupakan modifikasi dari Sofiana
(2004). Modifikasi dilakukan pada suhu inlet 1800 C dan 170 0 C serta suhu inlet 1600
C dan outlet 74-76 0 C. Penilaian dilakukan dengan melihat penampakan dan tekstur
secara visual bagian yang halus dan bagian yang kasar tepung putih telur yang
dihasilkan dari masing- masing suhu. Penentuan suhu pengering spray drying
optimum berdasakan karakteristik produk yang dihasilkan, yaitu teksturnya halus,
kering dan tidak menggumpal.
Cara pengoperasian Spray Dryer adalah sebagai berikut: Kompresor
dihidupkan dan dipertahankan tekanannya pada 6 Kgf/cm2 serta pemeriksaan secara
cermat terhadap pompa perilstaltik untuk pengumpan. Langkah selanjutnya adalah
selang pada pompa pengumpan dihubungkan dengan air destilasi dan satu lagi pada
atomizer. Suspensi bahan yang akan dikeringkan disiapkan. Langkah berikutnya
yaitu memeriksa sambungan pipa produk dan udara. Gelas penampung yang bersih
untuk menampung produk dipasang dibawah siklon dan motor aspirator dinyalakan,
serta diatur laju aliran udara dan suhu udara pemanas. Langkah berikutnya adalah
mengumpankan air ke atomizer disertai pengaturan kecepatan mengumpan. Tepung
kering yang dihasilkan ditampung dalam gelas, kemudian kecepatan dari pengumpan

20
dikurangi. Langkah berikutnya adalah penghentian pengumpanan air disertai
pematian pemanas. Atomizer lalu diangkat dan dibersihkan. Sambungan pipa
penghubung ruang pengering dengan pengumpul produk dibuka lalu dibersihkan
secara hati-hati.

Keterangan Gambar:
1.Nozzle
2.Drying Chamber
3.Flow Controller
4.Switch and Controller for Feed Pump
5.Selang Pemasukan Bahan
6.Bahan
7.Switch, Display and Controller for
Heating System
8.Switch and Controller for Aspirator
9.Digital Display of Inlet Temperature
10.Digital Display of Outlet Temperature
11.Connection Socket Laboratory
Recorder
12.Cyclone
13.Receiving Vessel for the Final Product

Gambar 3. Spray Dryer Tipe Buchii- 190


Tabel 6. Macam Suhu Inlet dan Outlet pada spray drying
No Suhu Pengering Semprot (0 C)
Suhu Inlet Suhu Outlet

1. 180 86-89
2. 170 78-80
3. 160 74-76
Sumber : Sofiana (2004)

Tabel 7. Formulasi Perlakuan Pembutan Tepung Putih Telur (dalam 100 g


Berat Putih Telur)
Putih Telur Fermipan/ Kristal Khamir Maltodekstrin
Perlakuan
(g) (g) (g)
A 100 - -
B 100 0.3 -
C 100 0.3 4
Keterangan :
A. putih telur murni,
B. putih telur + 0,3% fermipan dari berat putih telur
C. putih telur + 0,3% fermipan dari berat putih telur + 4% maltodekstrin dari berat putih telur.

21
Penelitian Utama
Proses Pembuatan Tepung Putih Telur. Proses pembuatan tepung putih telur yang
digunakan pada penelitian ini merupakan modifikasi dari Sukarno (1984). Modifikasi
dilakukan pada suhu pasteurisasi dan lama pengocokan serta proses homogenisasi.
Proses pembuatan tepung putih telur diantaranya sebagai berikut : putih telur yang
sudah dipisahkan dengan kuningnya, kemudian dipasteurisasi menggunakan
waterbath pada suhu 57 0 C selama ± 5 menit. Setelah itu didinginkan pada suhu
ruang, perlakua n A langsung dihomogenkan dengan menggunakan homogenizer
selama ± 30 detik dan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Pada
perlakuan B, putih telur yang sudah didinginkan setelah dipasteurisasi lalu
ditambahkan fermipan atau kristal khamir sebanyak 0,3% berat putih telur awal
dihomogenkan kemudian difermentasi selama 3 jam dan dikeringkan dengan
menggunakan spray dryer. Pada perlakuan C, putih telur yang sudah didinginkan
setelah dipasteurisasi lalu ditambahkan fermipan atau kristal khamir sebanyak 0,3%
berat putih telur awal dihomogenkan kemudian difermentasi selama 3 jam dan
ditambahkan maltodekstrin sebanyak 4% berat putih telur awal dihomogenkan dan
dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Proses pembuatan tepung putih telur
juga dapat dilihat pada Gambar 4.

Putih Telur

Pasteurisasi
(menggunakan waterbath 57 0 C ± 5 menit)

Perlakuan
Pendinginan pada suhu kamar

Homogenkan
(menggunakan homogenizer ± 30 detik)

Pengeringan

Tepung Putih Telur

Gambar 4. Bagan Proses Pembuatan Tepung Putih Telur (Sukarno, 1984 )

22
Penentuan Perlakuan pada Pembuatan Tepung Putih Telur Terbaik. Penentuan
perlakuan tepung putih telur terbaik dilakukan dengan pemberian nilai (skoring)
terhadap peubah yang diamati. Pemberian nilai ditentukan berdasarkan standar
produk yang ada (Puspitasari, 2003). Penentuan nilai skoring berdasarkan standar
produk tepung putih telur diberikan pada Tabel 8. Nilai yang diberikan pada
rendemen, daya busa dan stabilitas busa berdasarkan hasil terbaik yang diperoleh,
karena standar untuk tepung putih telur belum ada. Hasil tertinggi diberikan nilai 3
dan hasil terendah diberikan nilai 1.
Pemberian nilai kadar air berdasarkan pada standar kadar air tepung putih
telur yang ada. Jika diperoleh hasil yang berada dalam kisaran standar, maka diberi
nilai 3. Apabila hasil yang diperoleh tidak berada pada kisaran standar, maka
pemberian nilai berdasarkan peringkat hasil terbaik, nilai 2 untuk kadar air yang
sedang dan nilai 1 untuk kadar air yang paling tinggi.

Tabel 8. Penentuan Nilai Skoring Berdasarkan Standar Produk Tepung Putih


Telur
Kriteria Produk Standar Produk Penentuan Nilai
Rendemen (%w/w) Belum ada 3 = Hasil Tertinggi
Stabilitas Busa (%) Belum ada 1 = Hasil Terendah
Kadar Air (%b/b)a Maksimal 8% 1. Berada dalam
kisaran standar
diberi nilai 3
2. Jika tidak berada
dalam kisaran
standar diberi
peringkat
berdasarkan hasil
terbaik, nilai 2
untuk kadar air
yang sedang dan
nilai 1 untuk kadar
air paling tinggi

Sumber : a) Food and Drugs Administration (1966)

23
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pendahuluan

Penentuan Suhu Pengering Semprot


Hasil Pengeringan pada suhu inlet dan outlet dapat dilihat pada Tabel 9 dan
Tabel 10. Berdasarkan penilaian terhadap hasil pengeringan dapat disimpulkan
bahwa suhu pengeringan terbaik adalah suhu inlet 180 0 C dan suhu outlet 86-96 0C,
karena menghasilkan tepung putih telur yang halus dan kering pada dry chamber dan
cyclon pada pengering semprot serta menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Suhu
inlet dan outlet pengering semprot tersebut selanjutnya akan digunakan untuk
penelitian utama pada proses pembuatan tepung putih telur.

Tabel 9. Keadaan Bubuk Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet
dan Outlet Pengering Semprot
Suhu Pengering Keadaan Bubuk pada
0
Semprot ( C) Pengering Semprot
Inlet Outlet Dry Chamber Cyclon
180 86-96 Halus dan Kering Halus dan Kering
170 78-80 Lengket, basah dan tekstur menggumpal Halus dan Kering
160 74-76 Lengket, basah dan tekstur menggumpal Halus dan Kering

Tabel 10. Rendemen Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet dan Outlet
Pengering Semprot
Suhu Pengering Rendemen (%)
Semprot (0 C)
Inlet Outlet Rendemen Total Rendemen Halus Rendemen Kasar
180 86-96 6,1 3,2 2,9
170 78-80 4.2 2,9 1,3
160 74-76 2,5 2,5 -

Penelitian Utama

Proses Pembuatan Tepung Putih Telur


Tujuan dari penelitian utama adalah untuk menge tahui perubahan fisik dan
sifat fungsional tepung putih telur akibat adanya penambahan fermipan atau ragi roti
dan penambahan maltodekstrin. Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan
memberikan penga ruh nyata (P<0,05) terhadap rendemen total, rendemen ha lus,
rendemen kasar dan pH sebelum pengeringan. Hasil analisis ragam juga
menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) pada
peubah yang diamati seperti pH setelah pengeringan, kadar air, kelarutan tepung,
nilai kecerahan (nilai L), daya busa dan stabilitas busa.

Tabel 11. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fisik Tepung Putih Telur
Perlakuan
Peubah Sifat Fisik
A B C
Rendemen Total (%) 4,62±0,70b 5,97±0,23b 13,57±2,69a
Rendemen Halus (%) 2,88±0,55b 3,31±0,27b 4,90±1,06a
Rendemen Kasar (%) 1,74±0,25b 2,66±0,13b 8,67±2,39a
pH Sebelum Pengeringan 8,13±0,10b 7,13±0,37b 6,69±0,48a
pH Setelah Pengeringan 9,89±0,16 9,91±0,21 9,76±0,06
Kadar Air (%) 5,71±1,98 4,50±0,70 3,54±1,05
Kelarutan Tepung (%) 95,45±1,78 92,14±2,28 92,57±1,51
Nilai Kecerahan(nilai L) 67,82±0,41 67,83±0,07 67,89±0,19
Keterangan :
Perlakuan A yaitu Pengeringan putih telur murni
Perlakuan B yaitu Pengeringan putih telur + 0.3% ragi roti dari putih telur
Perlakuan C yaitu Pengeringan Putih Telur + 0.3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari putih
telur
Superskrip huruf kecil pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Rendemen
Salah satu parameter penting yang diamati dalam proses produksi tepung
putih telur adalah rendemen. Nilai rendemen merupakan peubah yang menentukan
efektif dan efisien tidaknya proses pengeringan. Semakin besar nilai rendemen tiap
perlakuan menunjukkan makin efektif dan efisien proses yang dilakukan terhadap
bahan baku. Rendemen tepung putih telur dihitung berdasarkan perbandingan bobot
tepung putih telur dengan bobot telur utuh segar dan dinyatakan dalam persen. Hasil
analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa perlakuan pembuatan tepung putih
telur memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap rendemen total.
Berdasarkan hasil uji Duncan perlakuan C mempunyai rendemen yang paling
tinggi dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan B, hal ini karena adanya
penambahan maltodekstrin 4% akan membantu peningkatan rendemen. Hal ini
disebabkan maltodekstrin merupakan bahan pengisi yang mempunyai kadar air lebih
kecil (9,6%) dibandingkan dengan kadar air putih telur murni (86,7%). Walaupun
berat molekul maltodekstrin kecil jika ditambahkan dalam konsentrasi tinggi

25
sebelum proses pengeringan, maka akan menghasilkan rendemen yang tinggi pada
produk akhir. Pengeringan putih telur menghasilkan dua macam rendemen yaitu
rendemen halus dan rendemen kasar. Rendemen halus merupakan rendemen yang
dihasilkan pada cyclon, sedangkan rendemen kasar dihasilkan pada drying chamber.
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 2 dan 3) menunjukkan bahwa perlakuan
memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap rendemen halus dan rendemen
kasar.

Nilai pH
Nilai pH merupakan sifat fisik yang menentukan kadar keasaman dari suatu
produk. Semakin rendah pH menunjukkan tingginya keasaman dari suatu produk.
Nilai pH dari suatu produk tergantung dari zat-zat yang terkand ung didalamnya,
selain itu juga konsentrasi zat dapat mempengaruhi nilai pH. Nilai pH akan turun
apabila zat-zat yang terkandung dari suatu produk bersifat asam.

Nilai pH Sebelum Pengeringan. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 4)


menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai pH sebelum
pengeringan. Gambar 5 menunjukkan rataan nilai pH pada ketiga perlakuan. Nilai
pH semakin turun dari perlakuan A sampai perlakuan C. Penurunan pH tersebut
disebabkan oleh adanya penambahan 0,3% fermipan yang akan memfermentasikan
gula pereduksi menjadi asam glukonat dan penambahan 4% maltodekstrin akan
meningkatkan keasaman produk karena maltodekstrin akan dirubah menjadi glukosa
oleh enzim maltase yang dihasilkan oleh sel-sel khamir yang kemudian akan
difermentasi menjadi etanol dan karbondioksida sehingga produk yang dihasilkan
menjadi asam (Buckle, et. al., 1987). Grafik hubungan antara perlakuan pembuatan
tepung putih telur dengan pH sebelum pengeringan dijelaskan pada Gambar 5.

Nilai pH Setelah Pengeringan. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 5)


menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai pH setelah
pengeringan. Rata-rata nilai pH putih telur setelah pengeringan yaitu antara 9,76
sampai 9,91. Kenaikan pH tersebut disebabkan oleh proses pengeringan, karena
pengeringan akan mengakibatkan rusaknya ikatan peptida asam amino alkalin pada
putih telur (Wong, et. al., 1996) dan hilangnya CO2 dan H2 O yang terdapat pada
putih telur serta hilangnya CO2 yang dihasilkan dari hasil fermentasi maltodekstrin

26
yang ditambahkan. Hilangnya CO2 dan H2 O akan menyebabkan peningkatan pH,
karena apabila CO2 dan H2 O terdapat dalam suatu larutan maka akan larut
membentuk asam karbonat yang akan menguraikan ion H+ dalam larutan sehingga
menyebabkan keasaman pada larutan (Kusnadhi, 2003). Oleh karena itu hilangnya
CO2 dan H2 O pada asam karbonat dalam larutan tidak akan menguraikan ion H+,
sehingga terjadi peningkatan pH.

8,13
9,00
7,13
8,00 6,69
7,00 Putih Telur Murni
Nilai pH Sebelum

6,00
Pengeringan

5,00
4,00 Putih Telur + 0.3% Fermipan dari
3,00 Putih Telur
2,00
1,00 Putih Telur + 0.3% Fermipan + 4%
0,00 Maltodekstrin dari Putih Telur
A B C
Perlakuan

Gambar 5. Histogram Hubungan antara Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur


dengan pH sebelum Pengeringan
Kadar Air
Kadar air menunjukkan banyaknya air yang terkandung persatuan bahan dan
merupakan kriteria mutu yang penting untuk produk pangan kering seperti tepung
putih telur. Kadar air tepung putih telur dipengaruhi oleh suhu penyimpanan,
perpindahan udara, kelembaban nisbi (RH), lingkungan sekitar dan permeabilitas
wadah (pengemas) (Stadelman dan Cotterill, 1973).
Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan tidak
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar air. Kadar air tepung putih telur dalam
penelitian ini mempunyai rataan berkisar antara 3,54% sampai 5,71%, nilai kadar air
tersebut masih dalam kriteria mutu karena nilai standar tepung putih telur maksimum
8% (Gorman, 1973). Kadar air yang rendah pada perlakuan disebabkan oleh
pengeringan yang dilakukan menggunakan spray dryer dengan suhu yang relatif
tinggi yaitu suhu inlet 180 0 C dan suhu outlet 86-96 0 C, sehingga proses evaporasi
berlangsung lebih cepat. Kecepatan evaporasi dipengaruhi oleh komposisi bahan,
terutama kandungan total padatan. Semakin tinggi total padatan bahan, maka proses
evaporasi akan berlangsung cepat.

27
Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan C mempunyai kadar air lebih
kecil dibandingkan perlakuan A dan perlakuan B, karena dengan penambahan 4%
maltodekstrin akan meningkatkan total padatan bahan yang akan dikeringkan
sehingga proses evaporasi dapat berlangsung lebih cepat. Beberapa faktor yang
mempengaruhi proses pengeringan bahan pangan menggunakan spray drying antara
lain suhu pengeringan (suhu inlet/outlet), laju aliran bahan, laju aliran udara dan
tekanan udara pengering (Master, 1991).

Kelarutan Tepung
Pengukuran kelarutan tepung bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan
fermipan dan maltodekstrin terhadap kelarutan tepung putih telur yang dihasilkan.
Daya kelarutan tepung putih telur menentukan daya terima tepung putih telur. Hasil
analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan
pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap kelarutan tepung. Hal ini disebabkan putih
telur atau albumin telur merupakan jenis protein globular yang mudah larut dalam air
dan Penambahan maltodekstrin akan membantu meningkatkan kelarutan, karena
maltodekstrin merupakan turunan pati yang memiliki kandungan oligosakarida yang
tinggi. Oligosakarida adalah polimer dengan derajat polimerisasi 2 sampai 10 dan
biasanya larut dalam air. Oligosakarida juga merupakan sakarida berantai pendek,
semakin tingginya kandungan oligosakarida berarti semakin banyak atom O bebas
pada gugus –OH glikosidik yang dapat terikat oleh molekul air. Molekul air
membentuk hidrat dengan molekul- molekul lain yang mengandung atom O.
Kandungan oligosakarida ini menyebabkan maltodekstrin memiliki karakteristik
mudah larut dalam air (Winarno, 1997).
Penambahan maltodekstrin juga mungkin dapat menurunkan kelarutan
tepung, apabila maltodekstrin yang ditambahkan tidak larut secara sempurna. Oleh
karena pada proses pengeringan bahan, maltodekstrin yang tidak larut akan langsung
dikeringkan dan bercampur dengan produk akhir pengeringan dan akan
meningkatkan total padatan waktu penyaringan pada pengukuran kelarutan tepung.
Rataan kelarutan tepung pada perlakuan mempunyai kisaran nilai antara 92,14%
sampai 95,45%, yang menunjukkan bahwa masing- masing perlakuan mempunyai
kelarutan tepung yang tinggi.

28
Nilai Kecerahan (L)
Pada penelitian ini, untuk menentukan kecerahan tepung putih telur dapat
menggunakan alat cromameter minolta (tipe CR-310). Kecerahan warna merupakan
salah satu faktor untuk menarik keinginan konsumen untuk mengkonsumsi produk
yang dihasilkan. Nilai L ini mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Hasil
analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan pembuatan tepung putih
telur tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap nilai kecerahan (L)
tepung putih telur. Nilai kecerahan tepung putih telur pada semua perlakuan
mempunyai rataan berkisar antara 67,82 sampai 67,89. Kisaran 0-100 untuk nilai L
maka tepung putih telur yang dihasilkan mempunyai tingkat kecerahan yang tinggi.
Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap nilai L karena
perlakuan yang diberikan seperti penambahan ragi roti akan membantu
meningkatkan kecerahan tepung putih telur dengan mencegah terjadinya proses
Maillard pada saat pengeringan putih telur dan penambahan maltodekstrin yang
mempunyai tingkat kecerahan yang tinggi juga dapat meningkatkan kecerahan dari
sutu produk. Menurut Mcdonald (1984), maltodekstrin bersifat kurang higroskopis,
kurang manis, memiliki kelarutan tinggi dan cenderung tidak membentuk zat warna
pada reaksi browning. Tingkat kecerahan suatu produk pangan akan mempengaruhi
perilaku konsumen untuk mengkonsumsinya, biasanya produk yang cerah lebih
disukai konsumen.

Tabel 12. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fungsional Tepung Putih Telur
Perlakuan
Peubah Sifat Fungsional
A B C
Daya Busa (%) 333,33±0,00 361,11±48,11 366,67±44,09
Stabilitas Busa (%) 76,67±1,44 79,10±1,39 78,06±0,96
Keterangan :
Perlakuan A yaitu Pengeringan putih telur murni
Perlakuan B yaitu Pengeringan putih telur + 0.3% ragi roti dari putih telur
Perlakuan C yaitu Pengeringan Putih Telur + 0.3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari putih
telur

Daya Busa
Daya busa merupakan peubah yang menunjukkan banyak busa atau buih
yang dihasilkan setelah dilakukan pengocokan. Berdasarkan hasil analisis ragam
(Lampiran 9) pada perlakuan pembuatan tepung putih telur tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap daya busa. Rataan nilai daya busa dari perlakuan

29
berkisar antara 333,33% sampai 366,67%. Nilai daya busa tersebut tidak jauh
berbeda dengan nilai daya busa pada putih telur segar sekitar 350% (Romanoff dan
Romanoff , 1963). Hal ini menunjukkan perlakuan dengan atau tanpa penambahan
fermipan dan maltodekstrin tidak memberikan pengaruh terhadap nilai daya busa,
karena fermipan yang ditambahkan untuk fermentasi akan membantu
mempertahankan daya busa (Hill dan Sebring, 1973) dan begitu juga dengan
penambahan maltodekstrin selain untuk meningkatkan rendemen dan kelarutan juga
mampu membantu mempertahankan daya busa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya busa antara lain umur, suhu, mutu
putih telur, pH, lama pengocokan, perlakuan pendahuluan dan adanya bahan-bahan
lain didalam putih telur (bahan kimia, putih telur dan sebagainya) serta stabilizer
(Romanoff dan Romanoff, 1963). Kenaikan volume busa putih telur dipengaruhi
oleh kenaikan pH putih telur. Peningkatan daya busa terjadi karena adanya
penambahan 0,3% ragi roti yang menyebabkan putih telur menjadi lebih encer
sehingga meningkatkan volume busa pada saat pengocokan dan penambahan 4%
maltodekstrin mampu mempertahankan ovomucin dan ovalbumin dari kerusakan
akibat pengeringan. Penurunan daya busa terjadi karena ovomucin yang
menstabilkan struktur buih dan ovalbumin yang membentuk buih telah mengalami
kerusakan akibat proses pengeringan dan penyimpanan.

Stabilitas Busa
Stabilitas busa merupakan kemampuan mempertahankan agar busa stabil
(busa tidak mencair). Stabilitas busa mempunyai peranan dan pengaruh yang besar
terhadap mutu produk yang membutuhkan kestabilan busa yang tinggi. Pengukur
stabilitas busa terlebih dahulu harus mengetahui banyaknya tirisan yang dihasilkan
setelah dilakukan pengocokan dan disimpan. Stabilitas busa mempunyai
kecenderungan nilai yang terbalik dengan nilai tirisan. Hasil analisis ragam
(Lampiran 10) menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata
(P>0,05) terhadap stabilitas busa. Rataan nilai stabilitas busa pada perlakuan berkisar
antara 76,67% sampai 79,10%. Nilai stabilitas busa 0 sampai 100% maka nilai
stabilitas busa tiap-tiap perlakuan mempunyai stabilitas busa yang cukup tinggi.
Stabilitas busa putih telur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lamanya
telur disimpan, suhu putih telur, pH putih telur, lama pengocokan, perlakuan

30
pendahuluan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator (Romanoff dan
Romanoff, 1963; Baldwin, 1973). Kestabilan lebih besar pada putih telur dengan pH
rendah daripada dengan pH tinggi. Berdasarkan hasil analisis ragam pada perlakuan
B mempunyai stabilitas busa yang lebih besar daripada perlakuan A dan perlakuan C,
yang mempunyai pH yang lebih rendah setelah pengeringan. Perlakuan panas pada
putih telur dapat menyebabkan denaturasi terhadap kompleks ovomucin- lysozym
sehingga dengan adanya kerusakan ovomucin ini kestabilan busa putih telur menurun
(Berquist, 1973).

Penentuan Perlakuan Terbaik


Tepung putih telur dapat dimanfaatkan untuk produk yang membutuhkan
daya dan kestabilan busa yang tinggi seperti anggel food cake, pemberian nilai
(skoring) dapat dilakukan pada peubah yang diamati meliputi sifat fisik dan sifat
fungsionalnya. Nilai yang diberikan terhadap hasil analisis rendemen total, rendemen
halus, kadar air, kelarutan bub uk dan nilai kecerahan yaitu berdasarkan pada rataan
hasil analisis statistik tiap perlakuan. Rataan paling tinggi diberi nilai 3, sedangkan
rataan paling rendah diberi nilai 1. Pada penelitian nilai kecerahan semua perlakuan
hampir sama maka diberi nilai 3, karena menunjukkan nilai yang cukup tinggi pada
kisaran nilai warna 0 sampai 100 yaitu nilai kecerahan yang tinggi.
Standar nilai kadar air tepung putih telur berdasarkan Food and Drugs
Administration (1966) maksimal 8%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air
yang diperoleh masih dalam kisaran standar tepung putih telur yang ada, maka
pemberian nilai berdasarkan peringkat hasil terbaik (nilainya 3). Nilai yang diberikan
terhadap daya busa dan stabilitas busa berdasarkan hasil urutan yang terendah
(diberikan nilai 1) sampai tertinggi (diberikan nilai 3). Penentuan perlakuan tepung
putih telur terbaik merupakan hasil analisis statistik terhadap nilai skoring dan hasil
penjumlahan semua nilai skoring yang ada. Rekapitulasi hasil analisis dan pemberia n
nilai pada tepung putih telur dapat dilihat pada Tabel 13.
Berdasarkan Tabel 13 dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan tepung putih
telur untuk produk dari perlakuan tersebut yang terbaik adalah B dan C. Pemilihan
perlakuan B (putih telur + 0,3% ragi roti) dan C (putih telur + 0,3% ragi roti + 4%
maltodekstrin dari berat putih telur) dikarenakan menghasilkan total nilai skoring

31
yang hampir sama dan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (Putih telur
murni).

Tabel 13. Rekapitulasi Hasil Analisis dan Nilai Skoring


Perlakuan
Peubah yang Diamati
A B C
Rendemen Total %w/w) 6,42 (1) 5,97 (2) 13,57 (3)
Rendemen Halus (%w/w) 2,87 (1) 3,31 (2) 4,90 (3)
Kadar Air (%b/b) 5,70 (3) 4,50 (3) 3,54 (3)
Kelarutan Tepung (%) 95,45 (3) 92,14 (2) 92,57 (2)
Nilai kecerahan (L) 67,82 (3) 67,83 (3) 67,89 (3)
Daya Busa (%) 333,33 (2) 361,11 (3) 366,67 (3)
Stabilitas Busa (%) 76,67 (1) 79,10 (3) 78,06 (2)
Total Nilai Skoring 14 18* 19*
Keterangan : (....) = Angka dalam tanda kurung menunjukkan nilai urutan skoring (nilai 1 = nilai
terendah dan nilai 3 = nilai tertinggi)
* = Perlakuan tepung putih telur terbaik
Perlakuan A yaitu Pengeringan putih telur murni
Perlakuan B yaitu Pengeringan putih telur + 0,3% ragi roti dari putih telur
Perlakuan C yaitu Pengeringan Putih Telur + 0,3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari putih
telur

32
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Hasil rendemen yang tinggi, diperoleh dari pengeringan putih telur pada suhu
inlet 180 0 C dan suhu outlet 86-96 0C. Perlakuan pembuatan tepung putih telur pada
putih telur + 0,3% ragi roti + 4% maltodekstrin memberikan pengaruh berbeda nyata
(P<0,05) terhadap peubah yang diamati seperti rendemen total, rendemen halus,
rendemen kasar dan pH sebelum pengeringan, sedangkan terhadap pH setelah
pengeringan, warna, kadar air, kelarutan bubuk, daya busa dan stabilitas busa analisis
ragam menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, untuk menghasilkan sifat fisik
dan sifat fungsional dari tepung putih telur yang baik, sebelum pengeringan
hendaknya dilakukan fermentasi dengan menggunakan fermipan sebanyak 0,3% dari
putih telur dan penambahan maltodekstrin sebanyak 4% dari putih telur.
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan limpahan
rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga serta hanya dengan ridho dan
pertolongan-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada Ayahanda dan Ibunda terutama Ayahanda H. Abdul Fatah, Kakak,
Adik, Kakek dan Nenek serta Saudara-saudaraku yang tercinta yang banyak
membantu baik materi, doa, motivasi serta kasih sayang yang selalu diberikan
dengan tanpa henti.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Zakiah Wulandari,
S.TP., M.Si dan Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., MS yang telah membimbing,
mengarahkan, meluangkan waktu, materi dan membantu mulai dari penyusunan
proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi. Terima kasih kepada Tuti Suryati,
S.Pt, M.Si dan Ir. Dwi Joko Setyono, M.Si sebagai penguji dan Ir. Afton Atabani,
M.Si sebagai panitia sidang. Selain itu ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr.
Muladno sebagai pembimbing akademik atas nasehat dan motivasinya selama
perkuliahan serta Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur., Sc, Ir. Purwanro dan
keluarga atas motivasi dan bantuannya. Kepada CHK Karyadinata, S.Pt, Fahrial
Amri, S.Pt, Tria Triana, S.Pt, Wisnu Hadi Saputra, S.Pt, Hendria Firdaus, S.Pt, Enca
Hatta, S.Pt, Nurcahyo,Nanda, Nana, Heidy, Cahyana Supriadi, S.TP, Dandan Diana,
S.Pi, Edi Iskandar, SP, Aswab, Dadang, Teguh, yang sudah membantu dalam
penelitian ini, serta rekan-rekan THT 38, THT 39, UKM KOPMA IPB,LISES Gentra
Kaheman IPB dan Pondok Yasmin Crew.
Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada Yayasan Super Semar dan
DIKTI yang telah memberikan bantuan pendidikan. Kepada seluruh staf teknisi
Laboratorium Teknologi Hasil Ternak (Iom dan Nap) dan Pilot Plant SEAFAST
Center IPB (Nurwanto dan Rubiah) yang banyak memberikan bantuan dalam
penelitian ini. Terakhir Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada civitas
akademika Institut Pertanian Bogor khususnya Fakultas Peternakan IPB. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, November 2006

Penulis
DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. 16th Edit. Assosiation of Official


Analitical Chemist Int., Washington D. C.
ASEANFOOD. 2000. ASEAN Food Composition Tables. Institut of Nutrition,
Mahidol University, Thailand.
Baldwin, R. E. 1973. Functional properties in foods. Dalam : W. J. Stadelman dan O.
J. Cotterill (eds). Egg Science and Technology, p.241. The AVI Publishing
Co., Inc., Westport, Connecticut.
Belitz, H. D. and W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Spinger Verlag Berlin
Heidelberg, New York.
Biliaderis, C. G. dan N. A. M. Eskin. 1992. Carbohydrates. Dalam: Y. H. Hui.
(Editor). Encyclopedia of Science and Technologi. Volume 1. John Wiley
and Sons, Inc., New York.
Brown, S. L. dan M. E. Zabik. 1967. Effect of heat treatments on the physical and
fungtion properties of liquid and spray dried egg albumen. Food Technol.
21(1) : 87.
Buckle, H., M. B. E. Heath and K. South. 1985. Flavor Technology. The AVI
Publishing Co., Westport, Connecticut.
Burdock, G. A. 1997. Encyclopedia of Food and Color Adhesive. Volume 3. CRC
Press, Inc., New York.
Cherry, J. P. and McWaters. 1981. Protein Functionality in Foods. American
Chemical Soviety, Washington.

Desroiser, N. W. 1963. The Technology of Food Preservation. The AVI Publishing


Co., Inc., Westport, Connecticut.
Dziezak. 1980. Microencapsulation and capsulation ingredients. Food Technology.
18 (4) : 138.
Forsythe, R. H. dan J. F. Foster. 1949. Note on the electrophoretic composition of
egg white. Poultry Sci. 28(1) : 302.
Gorman, J. M. 1973. Quality control and product spesification. In: W. J Stadelman
and Cotterill, O. J. 1977. Egg Science and Technology. The AVI Publishing
Co Inc., Westport, Connecticut.
Heldman, R. Dennis and R. P Singh. 1981. Food Process Technology. The AVI
Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut.
Hill, W. M. dan M. Sebring. 1973. Desugarization. Di dalam W. J. Stadelman dan O.
J. Cotterill (eds). Egg Science and Technology, p.179. The AVI Publishing
Co., Inc., Westport, Connecticut.
Kennedy, J. F., C. J. Knill dan D. W. Taylor. 1995. Maltodextrins. Dalam : M. W.
Keasley dan S. Z. Dziedzic. (Editor). Hand Book of Hydrolysis Product and
Their Derivates. Blakie Academic and Profesional, London.
Kjaergard, O. G. 1974. Effect of the lates depelopments on design and practice of
spray drying. In : Advance In Preconcentration and Dehydration of Foods.
Spicer. Applied Science Publ. Ltd. Essex, New England.
Kusnadhi, F.F. 2003. Formulasi produk minuman instant lingzhi-jahe effervescent.
Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lehningher, . L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Terjemahan : Maggy T. W. Erlangga,
Jakarta.
Lowe, B. 1963. Experimental Cookery. John Wiley and Sons, Inc., New York.
Maltz, S. A. and T. D. Maltz. 1978. Cookie and Cracker Technology, 2nd ed. The
AVI Publishing Co. Inc., Westport, Connecticut.
Master, K. 1979. Spray Dring Handbook. John Willey and Sons, New York.
. 1991. Spray Dring Handbook. Ed ke-5. London : Longman Group Ltd.
Hal 74-107.
Mcdonald, M. 1984. Uses of Glucose Syrups In The Food Industry. Dalam :
Dziedzic, S. Z dan M. W. J. Kearsley (eds). Glucose Syrup : Science and
Technology. Elsevier Applied Science Publisher, London, New York.
Meyer, L. H. 1976. Food Chemistry. Reinhold Publishing Corporation, New York.
Nur, M. A. , M. Syachri dan K. Iskandarsyah. 1983. Kimia Dasar II. Bagian Kimia,
IPB, Bogor.
Pomeranz and Meloan. 1978. Food Analysis. The AVI Publ. Co. Inc., West Port,
Connecticut.
Panda, P. C. 1996. Text Book on Egg and Poultry Technology. Vikas Publishing
House. Publ., Ltd., Hisar.
Potter, N. N. 1980. Food Science. The AVI Publishing Co., Inc, Westport,
Connecticut.
Powrie, W. D. 1973. Chemistry of egg and egg products. Di dalam W. J. Stadelman
dan O. J. Cotterill (eds). Egg Science and Technology, p.61. The AVI
Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut.
Powrie, W. D. and S. Nakai. 1985. Characteristics of edible fluids of animal origin ;
eggs. In : O. R. Fenema. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York
Basel.
Pratiwi, K. 2005. Optimasi proses pembuatan susu kambing bubuk dengan
penambahan maltodekstrin sebagai bahan pengisi. Skripsi. Departemen
Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Romanoff, A. L dan A. J. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Wiley and Sons,
Inc., New York.
Spicer, A. 1974. Advances in Preconcentration and Dehydration of Food. Applied
Science Publ., Ltd, London.

36
Stadelman, W. J and Cotterill, O. J. 1977. Egg Science and Technology. The AVI
Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut.
.1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. Food
Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York
Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan B.
Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Stevenson, G. T and Miller. 1986. Introduction to Foods and Nutrition. John Wiley
and Sons, Inc., London.
Sukarno, 1984. Mempelajari sifat-sifat fisiko kimia tepung albumen telur ayam
leghorn putih selama penyimpanan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sutejo. 1999. Pembuatan kecap manis bubuk dengan pengering semprot. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winarno, F. G., S. Fardiaz. 1982. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta.
.1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Utama, Jakarta.
Wirakartakusumah, A., A. Subarna, M. Arpah, D. Syah dan S. I. Budiwati. 1992.
Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Wong, Y. C., T. J. Herald and K. A. Hachmeister. 1996. Comparation between
irradiated and thermal pasteurized liquid egg white on fungtional, physical,
and microbiological properties. Poultry Sci. 75 : 803-808.

37
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Rendemen Total

a. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Rendemen Total


Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 2 139,77385 69,88692 26,89 0,0010*
Error 6 15,59447 2,59908
Corrected Total 8 155,36381
Keteranagan : * berbeda nyata
b. Hasil Uji Duncan terhadap Rendemen Total

Model Mean Duncan Grouping


C 13,57 A
B 5,97 B
A 4,62 B

Lampiran 2. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap Rendemen Halus

a. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Rendemen Halus

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 2 6,83112 3,41556 6,84 0,0283*
Error 6 2,99576 0,49929
Corrected Total 8 9,82688
Keteranagan : * berbeda nyata

b. Hasil Uji Duncan terhadap Rendemen Halus


Model Mean Duncan Grouping
C 4,90 A
B 3,31 B
A 2,87 B

Lampiran 3. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap Rendemen Kasar

a. Analisa Ra gam Pengaruh Perlakuan terhadap Rendemen Kasar

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 2 4564,87042 2282,43521 18,02 0,0052*
Error 6 633,33833 126,66767
Corrected Total 7 5198,20875
Keteranagan : * berbeda nyata

39
b. Hasil Uji Duncan terhadap Rendemen Kasar
Model Mean Duncan Grouping
C 66,63 A
B 19,63 B
A 14,25 B

Lampiran 4. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap pH sebelum Pengeringan

a. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap pH sebelum Pengeringan

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 2 3,24222 1,62111 12,87 0,0068*
Error 6 0,75667 0,12594
Corrected Total 8 3,99789
Keteranagan : * berbeda nyata
b. Hasil Uji Duncan terhadap pH sebelum Pengeringan
Model Mean Duncan Grouping
A 8,13 A
B 7,13 B
C 6,69 B

Lampiran 5. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap pH setelah Pengeringan

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 2 0,03909 0,01954 0,80 0,4918
Error 6 0,14647 0,02441
Corrected Total 8 0,18556

Lampiran 6. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap Kadar Air

Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 2 7,06789 3,53395 1,92 0,2268
Error 6 11,04664 1,84111
Corrected Total 8 18,11454

40
Lampiran 7. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih
Telur terhadap Kelarutan Bubuk

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 2 19,50396 9,75198 2,75 0,1419
Error 6 21,26714 3,54453
Corrected Total 8 40,77113

Lampiran 8. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap Nilai Kecerahan (L)

Source DF Sum of Squares Mean Squa re F Value Pr > F


Model 2 0,00860 0,00430 0,06 0,9424
Error 6 0,43040 0,07173
Corrected Total 8 0,43900

Lampiran 9. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap Daya Busa

Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 2 1.913,58383 956,79191 0,67 0,5445
Error 6 8.518,53148 1419,75525
Corrected Total 8 10.432,11531

Lampiran 10. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih


Telur terhadap Stabilitas Busa

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 2 8,95887 4,47943 2,72 0,1444
Error 6 9,88941 1,64824
Corrected Total 8 18,84827

Lampiran 11. Pengering Semprot (Spray Drayer) Tipe Buchi 190

41
Lampiran 12. Tepung Putih Telur Perlakuan A

Lampiran 13. Tepung Putih Telur Perlakuan B

Lampiran 14. Tepung Putih Telur Perlakuan C

42

Anda mungkin juga menyukai