Anda di halaman 1dari 40

OPTIMASI PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG INSTAN

(FRIED INSTANT NOODLE)

MUHAMMAD SYAHRUL FAUZI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Optimasi Proses


Pembuatan Mi Jagung Instan (Fried Instant Noodle) adalah benar karya saya
dengan arahan dari pembimbing Dr. Tjahja Muhandri, S.TP, MT dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2019

Muhammad Syahrul Fauzi


NIM F24150004
ABSTRAK
MUHAMMAD SYAHRUL FAUZI. Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Instan
(Fried Instant Noodle) Dibimbing oleh TJAHJA MUHANDRI.

Konsumsi mi instan Indonesia yang mencapai 12.5 miliar sajian pada tahun
2018 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia gemar mengonsumsi produk mi
instan. Konsumsi mi instan yang tinggi berkorelasi positif dengan tingkat impor
gandum atau terigu yang merupakan bahan baku pembuatan mi instan selama ini.
Pengembangan mi jagung sebagai upaya mengurangi impor terigu sudah dilakukan
oleh beberapa peneliti, tetapi masih sampai tahap mi basah dan mi kering. Penelitian
ini bertujuan untuk menentukan parameter proses dan penambahan bahan tambahan
pangan berupa emulsifier yang optimum sehingga dapat menghasilkan mi jagung
instan (fried instant noodle) dengan karakteristik mutu yang baik. Mi jagung instan
yang dibuat dengan teknik ekstrusi menggunakan ekstruder ulir tunggal pemasak-
pencetak. Penelitian tahap pertama adalah penentuan konsentrasi emulsifier yang
menghasilkan mi jagung dengan waktu masak paling cepat. Tahap kedua adalah
tahapan optimasi proses menggunakan Response Surface Methodology (RSM)
dengan rancangan D-Optimal pada program Design Expert 7.0. Tahap ketiga adalah
tahapan verifikasi mutu mi jagung instan hasil optimasi berupa kadar air, cooking
loss, elongasi, dan waktu masak optimum. Mi jagung dikeringkan menggunakan
hembusan udara dari blower pada suhu ruang dan proses penggorengan dilakukan
dengan metode deep fat frying. Konsentrasi emulsifier yang menghasilkan mi
jagung kering dengan waktu masak tercepat yaitu penambahan 1% emulsifier dari
berat tepung. Mi jagung tersebut memiliki waktu masak 6.1 menit untuk mencapai
tingkat kematangan optimum. Kombinasi parameter optimum yang dihasilkan
adalah waktu pengeringan 0 menit, suhu penggorengan 115°C dengan waktu
penggorengan selama 10 menit. Hasil verifikasi nilai respon mi jagung optimum
menunjukkan bahwa kadar air mi jagung instan adalah 13.32% dengan nilai
cooking loss 10.50% dan memiliki elongasi sebesar 127.48%. Mi jagung instan
hasil optimasi memiliki waktu masak 6.8 menit.

Kata Kunci: Emulsifier, instan, mi jagung, optimasi, waktu masak


ABSTRACT

MUHAMMAD SYAHRUL FAUZI. Instant Corn Noodle Process Optimization


(Fried Instant Noodle). Supervised by TJAHJA MUHANDRI.

The consumption of instant noodles in Indonesia which reaches 12.5 billion


offerings in 2018 shows that the Indonesian people love to consume instant noodle
products. High consumption of instant noodles is positively correlated with the
level of imports of wheat or flour which is the raw material for making instant
noodles so far. The development of corn noodles as an effort to reduce wheat
imports has been carried out by several researchers, but it is still in the wet noodle
and dry noodle stages. This study aims to determine the optimum process
parameters and the addition of emulsifier that it can produce instant corn noodles
(fried instant noodle) with good quality characteristics. Instant corn noodles made
by extrusion technique use a cooking-forming single screw extruder. The first step
of the research was determining the concentration of emulsifier which produces
corn noodles with the fastest cooking time. The second stage is the process
optimization stage using Response Surface Methodology (RSM) with the D-
Optimal design in the Design Expert 7.0 program. The third stage is the verification
stage of the optimization results of instant corn noodles in the form of water content,
cooking loss, elongation, and optimum cooking time. Corn noodles are dried using
an air blower from a blower at room temperature and the frying process is done by
the deep fat frying method. The emulsifier concentration that produces dry corn
noodles with the fastest cooking time is the addition of 1% emulsifier from the
weight of the flour. The corn noodles have a 6.1 minute cooking time to reach the
optimum level of ripeness. The optimum combination of parameters produced is 0
minutes drying time, frying temperature 115°C with frying time for 10 minutes.
The results of verification of the optimum response value of corn noodles showed
that the water content of instant corn noodles was 13.32% with a cooking loss value
of 10.50% and had an elongation of 127.48%. Optimized instant corn noodles have
a cooking time of 6.8 minutes.

Keywords: Cooking time, corn noodle, emulsifier, instant, optimization.


OPTIMASI PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG INSTAN
(FRIED INSTANT NOODLE)

MUHAMMAD SYAHRUL FAUZI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Judul Skripsi : Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Instan (Fried Instant
Noodle)
Nama : Muhammad Syahrul Fauzi
NIM : F24150004

Disetujui oleh

Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT


Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini yang berjudul Optimasi Proses Pembuatan
Mi Jagung Instan (Fried Instant Noodle) dapat diselesaikan sebaik mungkin.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan kelulusan dalam
program sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini disusun atas bimbingan, dukungan, dan kerjasama dari berbagai
pihak selama proses penelitian dan penyusunan. Penulis menyampaikan apresiasi
dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan sepenuhnya kepada
penulis,
2. Bapak Dr.Tjahja Muhandri, S.TP, MT selaku dosen pembimbing tugas akhir atas
bimbingan, arahan, masukan, nasihat, dan kesabaran kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi,
3. Bapak Dr.Ir.Budi Nurtama, M.Agr dan Ibu Harum Fadhilatunnur, S.TP, M.Sc
selaku dosen penguji sidang skripsi atas segala bimbingan, masukan, arahan, dan
dukungannya kepada penulis sebelum dan sesudah sidang skripsi,
4. Ibu Sri, Pak Nurwanto, Pak Taufik, dan Bu Antin selaku teknisi laboratorium
atas bimbingan, arahan, dan nasihatnya selama penelitian dan penyusunan
skripsi,
5. Panelis yang bersedia menjadi panelis terlatih dalam penelitian ini yang sudah
banyak meluangkan waktunya dan membantu penulis dalam melaksanakan
penelitian khususnya pada pengujian organoleptik,
6. Teman-teman yang ble’e yaitu Muthia, Desi, Alifa, Dery yang telah
membagikan ‘cerita-cerita’ menginspirasi kepada penulis sehingga penulis
bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini,
7. M.Hanif Arifin sebagai partner penelitian yang telah banyak membantu penulis
dalam dunia per-mi-jagung-an ini,
8. Teman-teman Colostrum ITP 52 yang telah berjuang bersama dan memberikan
dukungan kepada penulis untuk tetap semangat dalam penyusunan skripsi ini,
9. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan ataupun kesalahan yang terdapat
dalam skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi ilmu dan bermanfaat
bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2019

Muhammad Syahrul Fauzi


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 3
Lokasi dan Waktu Penelitian 3
Bahan 3
Alat 3
Tahapan Penelitian 3
Analisis Sampel 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Konsentrasi Emulsifier Optimum untuk Mendapatkan Mi Jagung Kering
dengan Waktu Masak Tercepat 7
Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Instan 9
Verifikasi dan Karakterisasi Mutu Mi Jagung Instan Hasil Optimasi 16
SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 24
RIWAYAT HIDUP 28
DAFTAR TABEL

1 Hasil pelatihan panelis terhadap kriteria kematangan mi jagung 7


2 Hasil pengujian tingkat kematangan mi 8
3 Rancangan percobaan optimasi proses mi jagung instan 10
4 Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk setiap faktor respon 11
5 Kriteria fakto dan respon serta tingkat kepentingan pada tahapan
optimasi 15
6 Nilai desirability untuk berbagai kombinasi proses 16
7 Hasil verifikasi dan nilai prediksi respon optimum 17

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir tahapan penelitian 4
2 Waktu masak optimum mi jagung 8
3 Grafik tiga dimensi respon kadar air setelah pengggorengan 12
4 Grafik tiga dimensi respon cooking loss 13
5 Grafik tiga dimensi respon elongasi 14
6 Grafik tiga dimensi kombinasi proses optimum 16
7 Mi jagung instan hasil optimasi (a) sebelum rehidrasi (b) setelah rehidrasi 18
8 Tingkat kematangan mi jagung instan pada berbagai waktu pemasakan 19
9 Pengamatan visual mi jagung setelah rehidrasi 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lembar pengujian tingkat kematangan mi jagung 24


2 Running kombinasi proses berdasarkan Design Expert 7.0 25
3 Hasil analisis respon desain formula DX7 26
4 Hasil pengujian tingkat kematangan mi oleh panelis terlatih 27
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Industri pangan kian hari semakin berkembang dengan pesat. Salah satu
industri pangan yang pertumbuhannya selalu berkembang adalah industri mi instan.
Mi instan merupakan salah satu bentuk pangan olahan yang paling banyak diminati
oleh berbagai kalangan umur mulai dari anak-anak hingga dewasa. World Instant
Noodle Assosiation/WINA (2019) menyebutkan jumlah konsumsi mi instan di
Indonesia berada diperingkat kedua setelah China dengan jumlah konsumsi sebesar
12.5 miliar sajian pada tahun 2018. Berdasarkan data tersebut pengembangan
industri mi instan masih sangat berpotensi untuk terus dikembangkan.
Tingkat konsumsi mi instan di Indonesia yang tinggi berdampak pula pada
pemenuhan konsumsi tersebut. Mi instan yang telah beredar umumnya berbahan
dasar tepung terigu yang berasal dari gandum. Angka konsumsi mi instan yang
semakin tinggi tentu berkorelasi dengan kebutuhan gandum nasional untuk diolah
menjadi tepung terigu dan kemudian diolah menjadi mi instan. Yanuarti dan Afsari
(2016) menunjukkan bahwa pada tahun 2012 Indonesia telah mengimpor sebanyak
6.46 juta ton gandum, angka ini naik 25% sepanjang 4 tahun terakhir sehingga pada
tahun 2016 impor gandum Indonesia mencapai 8.1 juta ton. Laporan Badan Pusat
Statistik (2019) menyebutkan angka impor gandum Indonesia telah mencapai 11.43
juta ton pada tahun 2017. Kebutuhan gandum yang semakin tinggi mendorong
diperlukannya pengembangan mi instan dengan bahan baku non terigu.
Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan yang
terpenting di dunia setelah gandum dan padi. Beberapa daerah di Indonesia seperti
Madura dan Nusa Tenggara menggunakan jagung sebagai bahan pangan pokok.
Perkembangan produktivitas jagung di Indonesia masih terbilang cukup tinggi.
Chafid (2016) menunjukkan bahwa dalam periode tahun 2012 – 2016 produksi
jagung mengalami pertumbuhan positif dengan rata-rata pertumbuhan sebesar
5.89% per tahun. Produksi jagung Indonesia tahun 2016 mencapai sekitar 23.58
juta ton atau meningkat sebesar 20.22% dari produksi tahun 2015 sebesar 19.61 juta
ton (Ditjen Tanaman Pangan 2017). Jagung sangat berpotensi untuk dikembangkan
lebih lanjut untuk menjadi pangan olahan. Pengembangan mi berbahan dasar non
terigu telah banyak dilakukan seperti menggunakan beras (Charutigon et al. 2008),
sagu (Engelen et al. 2015), sorgum (Suhendro et al. 2000) serta jagung (Muhandri
et al. 2011). Muhandri et al (2011) menjelaskan bahwa pembuatan mi dari tepung
jagung berbeda dengan pembuatan mi dari terigu. Mi berbahan baku pati
mengandalkan proses gelatinisasi, rupture granula tepung dan mekanisme
retrogradasi dalam pembentukan struktur mi yang kokoh. Pengolahan mi jagung
dapat dilakukan dengan beberapa teknik seperti teknik kalendering (Fitriani 2004;
Subarna dan Muhandri 2013; Rianto 2006), teknik ekstrusi (Waniska et al. 1999;
Muhandri et al. 2011; Hattunisa 2011; Subarna et al. 2012), serta teknik gabungan
antara kalendering dan ekstrusi (Subarna dan Muhandri 2013; Kusnandar et al.
2009). Penelitian ini akan menggunakan teknik ekstrusi dalam pembuatan mi
jagung instan.
Mi instan merupakan produk yang terbuat dari tepung terigu atau tepung lain
yang diproses menjadi bentuk untaian panjang dan matang setelah dimasak dalam
2

air mendidih dalam waktu yang singkat. Berdasarkan proses pengeringan atau
dehidrasinya, mi instan dibedakan menjadi dua macam yaitu pengeringan
menggunakan aliran udara kering yang menghasilkan dried instant noodle dan
pengeringan yang dilakukan dengan cara menggoreng yang menghasilkan fried
instant noodle. Penelitian mi jagung sebelumnya yang menghasilkan mi jagung
dengan mutu baik (elongasi tinggi dan cooking loss rendah) dihasilkan dari waktu
masak 8 – 10 menit. Penelitian pembuatan mi jagung hingga saat ini baru sampai
pada tahapan pembuatan mi jagung basah dan kering. Penelitian terkait proses
pembuatan mi jagung instan goreng (fried instant noodle) belum banyak dilakukan
sehingga diperlukannya penelitian dalam rangka mengetahui parameter proses
optimum yang dapat menghasilkan mi jagung instan dengan mutu yang baik.
Emulsifier merupakan bahan tambahan pangan berupa zat-zat surfaktan yang
erat kaitannya dengan tekstur produk pangan. Interaksi antara emulsifier dengan
protein dan karbohidrat pada produk pangan berbasis pati mampu memodifikasi
sifat reologi, tekstur, dan umur simpan produk. Mi jagung merupakan salah satu
produk pangan yang lazim ditambahkan bahan tambahan pangan berupa emulsifier.
Beberapa penelitian yang menambahkan emulsifier pada mi jagung diantaranya
dilakukan oleh Subarna et al. (2012) yang menggunakan emulsifier jenis Gliseril
Mono Stearat (GMS). Penambahan GMS pada mi jagung dapat memperbaiki
karakteristik pencetakan dan mi kering yang telah direhidrasi. Hattunisa (2011)
meneliti penggunaan emulsifier jenis Carboxyl Methyl Cellulose (CMC).
Penambahan CMC pada mi jagung dapat menurunkan cooking loss, meningkatkan
berat rehidrasi, meningkatkan persen elongasi, serta memberikan warna kuning
yang lebih cerah. Jenis Emulsifier yang digunakan pada penelitian ini adalah
DIMODAN®.

Perumusan Masalah

Mi jagung yang dihasilkan hingga saat ini belum dapat dikategorikan sebagai
mi instan sehingga perlu dilakukan penelitian terkait optimasi proses pembuatan mi
jagung instan dengan karakteristik mutu yang baik.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui parameter proses dan konsentrasi
bahan tambahan pangan berupa emulsifier yang optimum untuk menghasilkan mi
jagung instan yang memiliki waktu pemasakan yang singkat.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah menyediakan informasi tentang parameter


proses dan konsentrasi emulsifier optimum yang dapat menghasilkan mi jagung
instan yang baik sehingga kedepannya diharapkan mi jagung instan dapat
dikomersialisasi lebih luas.
3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini bertempat di Pilot Plant SEAFAST, Laboratorium Rekayasa


Proses Pangan, Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Evaluasi Sensori PAU
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor. Penelitian
berlangsung selama 4 bulan, mulai bulan Mei 2019 hingga bulan Agustus 2019.

Bahan

Bahan yang digunakan untuk pembuatan mi jagung adalah tepung jagung


berukuran 80 Mesh dari PT FITS Bogor Life Science and Technology (BLST).
Bahan lain yang digunakan adalah air, garam, dan emulsifier jenis DIMODAN®.

Alat

Alat yang digunakan untuk penelitian antara lain baskom, pengaduk, hand
mixer, sendok, timbangan, plastik, cawan alumunium, oven, desikator, timer,
beaker glass, cooking-forming extruder tipe Scientific Laboratory Single Screw
Extruder type LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand dengan die
berbentuk elips, berdiameter 1.2 mm dan diameter pendek 1 mm, gunting, kamera,
loyang aluminium, tray dryer, panci, penangas air, termometer, texture analyzer
Stable Micro-System TA-XT2i, deep-fat fryer.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu 1) penentuan konsentrasi


emulsifier optimum untuk mendapatkan mi jagung kering dengan waktu masak
tercepat, 2) tahap optimasi pembuatan mi jagung instan 3) Tahap verifikasi dan
karakterisasi mutu mi jagung instan hasil optimasi. Karakterisasi mutu objektif
yang dilakukan antara lain elongasi, cooking loss, kadar air mi kering dan kadar
lemak. Secara keseluruhan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.

Tahap 1 Penentuan Konsentrasi Emulsifier Optimum untuk Mendapatkan Mi


Jagung Kering dengan Waktu Masak Tercepat
Formulasi adonan mi jagung mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh
Muhandri et al. (2011). Komposisi bahan terdiri atas tepung jagung, air, garam
NaCl, dan emulsifier DIMODAN®. Tepung jagung yang digunakan berasal dari PT
FITS BLST dengan ukuran tepung sebesar 80 mesh. Guo et al. (2003)
mengemukakan bahwa mi di Asia yang memiliki kualitas terbaik diberikan oleh
tepung dengan kandungan amilosa 21 – 24%. Air yang digunakan adalah air minum
sebanyak 70% dari bobot tepung jagung. Garam yang digunakan merupakan garam
NaCl sebanyak 2% dari bobot tepung jagung. Penambahan emulsifier diberikan
sesuai taraf perlakuan yaitu (0%, 0.5%, 1%, dan 1.5% dari bobot tepung jagung).
Garam NaCl dicampurkan dengan air hingga larut seluruhnya. Larutan garam
kemudian dicampur dengan tepung jagung menggunakan hand mixer selama 5
menit agar tercampur merata.
4

Tepung jagung, air, garam,


emulsifier DIMODAN®

Pembuatan adonan mi jagung

Pembuatan mi jagung dengan penambahan emulsifier (0%;0.5%;1%;1.5%)

Penentuan mi jagung dengan waktu masak tercepat

Optimasi proses pembuatan mi jagung instan (3 faktor yaitu waktu pengeringan


(0-120 menit), suhu (105-125°C) dan waktu penggorengan (2-10 menit))

Karakterisasi mutu objektif mi jagung (kadar air, cooking loss, elongasi)

Penentuan kombinasi parameter optimum

Verifikasi hasil mi jagung optimum

Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian


Pembuatan mi jagung menggunakan metode ekstrusi dengan ekstruder ulir
tunggal pemasak-pencetak mengacu pada penelitian Muhandri et al (2011). Kondisi
optimum dalam pembuatan mi jagung menggunakan ekstruder pemasak-pencetak
adalah dengan setting alat pada suhu ekstruder 90°C dan kecepatan ulir 130 rpm.
Tipe ekstruder yang digunakan adalah ekstruder cooking-forming ulir tunggal tipe
LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd. Mi jagung yang keluar dari ekstruder
kemudian dipotong menggunakan gunting dan dibentuk melingkar yang kemudian
dikeringkan dengan menggunakan tray dryer selama semalam pada suhu ruang. Mi
jagung yang telah kering kemudian diuji waktu pemasakan optimumnya.
Konsentrasi emulsifier yang dipilih untuk tahap selanjutnya ditentukan berdasarkan
waktu masak mi jagung tercepat yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat
kematangan yang optimumnya.
Penentuan waktu masak mi jagung kering dilakukan menggunakan metode
organoleptik. Panelis yang digunakan adalah panelis terlatih sebanyak 6 – 10 orang
hasil seleksi dari 30 panelis acak. Penentuan jumlah panelis mengacu pada SNI 01-
2346-2006 yang menyatakan bahwa jumlah panelis standar/terlatih dalam satu kali
pengujian adalah 6 orang, sedangkan untuk panelis tidak terlatih minimal 30 orang.
Panelis terlatih hasil seleksi panelis diminta untuk mencicipi mi pada berbagai
waktu pemasakan kemudian panelis memberikan skor dengan menandai garis yang
telah disediakan. Hasil uji kemudian dirata-rata dan diolah menjadi persamaan garis
5

linier dengan fungsi x menyatakan waktu masak dan fungsi y menyatakan tingkat
kematangan mi.
Seleksi panelis terlatih dilakukan dengan menguji tingkat kematangan pasta
komersial yang memiliki waktu masak tertentu pada kemasannya. Panelis acak
(tidak terlatih) akan diberikan pasta komersial yang dimasak sesuai waktu masak
yang tertera pada kemasan kemudian panelis diminta memberikan nilai kematangan
pada lembar uji (Lampiran 1.) terhadap sampel mi yang disajikan. Jawaban yang
diinginkan adalah nilai 5 yang berarti mi telah mencapai tingkat kematangan
optimum sesuai waktu masaknya. Panelis yang memberikan jawaban mendekati
nilai 5 dapat dikatakan lolos seleksi yang kemudian akan dilanjutkan dengan
pelatihan panelis.

Tahap 2 Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Instan


Optimasi proses pembuatan mi jagung instan menggunakan Response
Surface Methodhology (RSM) dengan aplikasi Design Expert 7.0 (DX7). Desain
rancangan yang dipilih adalah D-Optimal. Optimasi proses pembuatan mi jagung
instan bertujuan untuk mengetahui parameter optimum dari 3 faktor yang diamati
yaitu waktu pengeringan, suhu penggorengan, dan waktu penggorengan. Waktu
pengeringan ditetapkan pada rentang 0 – 120 menit, suhu penggorengan ditetapkan
pada rentang suhu 105 - 125°C, sementara waktu penggorengan ditentukan pada
rentang 2 – 10 menit. Suhu penggorengan mengacu pada Hattunisa (2011) yang
menyatakan bahwa mi jagung yang digoreng pada suhu 130°C akan mengalami
penggembungan pada permukaannya sehingga suhu penggorengan diatur pada
suhu kurang dari 130°C. Kim (1996) menyatakan bahwa penggorengan di industri
umumnya berlangsung selama 90 – 120 detik, namun dikarenakan suhu yang
rendah maka diperkirakan waktu penggorengan akan semakin lama sehingga waktu
penggorengan diatur pada rentang 2 – 10 menit. Waktu penggorengan lebih dari 10
menit dianggap tidak efisien dalam proses pembuatan mi jagung. Parameter mutu
yang menjadi respon optimasi adalah kadar air setelah penggorengan, cooking loss,
dan elongasi mi setelah mi instan direhidrasi.

Tahap 3 Verifikasi dan Karakterisasi Mutu Mi Jagung Kering Optimum


Karakterisasi mutu mi jagung kering merupakan kegiatan verifikasi yang
dilakukan pada mi jagung hasil optimasi berdasarkan prediksi yang diberikan
program Design Expert 7.0 dengan metode objektif berdasarkan sifat fisik mi
kering yang dihasilkan. Mutu mi yang diuji diantaranya yaitu elongasi, cooking loss,
kadar air mi, serta waktu masak optimum.

Analisis Sampel

Waktu Optimum Pemasakan


Waktu optimum pemasakan adalah waktu yang dibutuhkan bahan untuk
menyerap air kembali saat pemasakan untuk mendapatkan tekstur yang homogen.
Pengujian waktu masak optimum menggunakan uji hedonik dengan uji skalar
sepanjang 10 cm pada atribut kematangan mi yaitu mentah, precooked, matang,
overcooked, dan bubur. Nilai atau jarak setiap atribut kematangan adalah 2.5 untuk
setiap kenaikan tingkat atribut kematangan mi. Panelis yang digunakan adalah
panelis terlatih sebanyak 6 – 10 orang hasil seleksi dari 30 panelis acak. Penentuan
6

jumlah panelis mengacu pada SNI 01-2346-2006 yang menyatakan bahwa jumlah
panelis standar/terlatih dalam satu kali pengujian adalah 6 orang, sedangkan untuk
panelis tidak terlatih minimal 30 orang. Panelis terlatih hasil seleksi panelis diminta
untuk mencicipi mi pada berbagai waktu pemasakan. Panelis memberikan skor
dengan menandai garis yang telah disediakan. Nilai skor panelis diolah menjadi
hubungan garis antara tingkat kematangan (sumbu y) dan waktu pemasakan (sumbu
x). Persamaan garis yang didapatkan digunakan untuk mencari waktu masak
optimum dengan memasukan nilai kematangan (nilai y) bernilai 5. Waktu masak
yang didapatkan diverifikasi menggunakan metode AACC (2000) yaitu
pengamatan visual pada untaian mi setelah dimasak. Waktu masak optimum
didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk memasak mi hingga spot putih
di bagian tengah mi menghilang.

Analisis Persen Elongasi menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i (Subarna


et al 2012)
Sampel mi jagung dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm dan
kecepatan probe 0,3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan rumus:

Waktu Putus Sample s   0.3 cm s


Persen Elongasi(%)   100 %
2 cm

Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC 2005)


Nilai kadar air pada mi jagung digunakan dalam perhitungan cooking loss.
Sebanyak 3 - 5 g sampel ditimbang pada cawan kering kemudian dikeringkan
dengan oven suhu 105°C selama 4 – 6 jam sampai tercapai bobot konstan. Sampel
dan cawan kering didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar air dapat
dihitung dengan rumus berikut:

Kadar air basis basah (bb)


W-(W1-W2)
Kadar air (g/100 g bahan basah) = x 100
W
Kadar air basis kering (bk)
W-(W1-W2)
Kadar air (g/100 g bahan kering) = W1-W2 x 100
Keterangan:
W = bobot sampel sebelum dikeringkan (g)
W1 = bobot sampel + cawan kering kosong (g)
W2 = bobot cawan kosong (g)

Pengukuran Cooking Loss (Oh et al 1985)


Penentuan nilai cooking loss mi jagung dilakukan dengan cara merebus 3 - 5
gram mi dalam 100 mL air selama waktu optimum lalu mi ditiriskan. Mi kemudian
dikeringkan pada suhu 105ºC sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali.
Cooking loss dinyatakan sebagai:

Berat kering sebelum direbus – berat kering sesudah direbus


Cooking loss (%) = 100%
Berat kering sampel sebelum direbus
7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsentrasi Emulsifier Optimum untuk Mendapatkan Mi Jagung Kering


dengan Waktu Masak Tercepat

Penelitian tahap pertama bertujuan untuk mengetahui konsentrasi emulsifier


yang efisien dan menghasilkan waktu masak mi jagung kering yang paling singkat.
Penentuan waktu masak mi jagung kering dilakukan menggunakan metode
organoleptik. Panelis yang digunakan adalah panelis terlatih yang didapatkan dari
hasil seleksi 30 panelis acak. Berdasarkan hasil pengujian, panelis yang dapat
dinyatakan lolos seleksi terdapat 9 orang. Panelis yang lolos seleksi kemudian
dilakukan pelatihan sebanyak 5 kali dengan tujuan panelis yang lolos memiliki
persepsi yang sama terhadap kriteria kematangan mi yang dimaksud pada proses
pengujian selanjutnya. Proses pelatihan panelis dilakukan dengan metode diskusi
antar panelis dan melihat ada atau tidaknya spot putih pada bagian tengah mi
(AACC 2000). Panelis dilatih dengan diberikan mi jagung tanpa penambahan
emulsifier pada berbagai waktu pemasakan sehingga panelis mengenal dan
mengetahui kriteria tingkat kematangan mi. Kriteria kematangan mi yang
ditentukan adalah mentah, pre-cooked, matang, over-cooked, dan bubur. Hasil
pelatihan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pelatihan panelis terhadap kriteria kematangan mi jagung

Waktu
Nilai
masak Kriteria mi Keterangan panelis
Kematangan
(menit)
Penampakan mi yang sama sekali
0 0 Matang belum direbus, berwarna kuning
gelap dan keras saat digigit
Mi belum cukup lunak untuk
dinyatakan matang dan masih
4 2.5 Pre-cooked
terdapat spot putih dibagian tengah
mi
Mi lunak, kenyal, dan mirip seperti
6.5 5 Matang pasta komersial. Spot putih ditengah
mi telah menghilang
Mi terlalu lunak dan mudah patah
12 7.5 Over-cooked namun masih dapat diangkat
menggunakan garpu
Mi terlihat hancur, sangat mudah
15 10 Bubur patah, dan tidak dapat diangkat
menggunakan garpu

Tingkat kematangan optimum yang diinginkan memiliki nilai 5 sebagai nilai


tengah dari garis yang diberikan (Lampiran 1). Hasil pengujian disajikan pada
Tabel 2. Mi jagung kering tanpa penambahan emulsifier memiliki waktu masak 7
menit dengan tingkat kematangan 5.1 demikian juga dengan mi jagung kering
8

dengan penambahan emulsifier 0.5% yang mencapai tingkat kematangan 5.3


dengan waktu masak 7 menit. Berdasarkan tabel 2, penambahan emulsifier
sebanyak 1% dan 1.5% dapat diketahui mempercepat waktu pemasakan mi jagung
kering karena mi jagung kering dengan emulsifier 1% mencapai tingkat
kematangan 5.4 dengan waktu masak 6 menit sedangkan mi jagung dengan
emulsifier 1.5% mencapai tingkat kematangan 5.1 pada waktu masak yang sama
yaitu 6 menit.

Tabel 2. Hasil pengujian tingkat kematangan mi

Waktu Tingkat
Perlakuan Persamaan linier R2
masak kematangan
Emulsifier 0% 7 5.1 y=0.6627x 0.9408
Emulsifier 0.5% 7 5.3 y=0.7156x 0.9415
Emulsifier 1% 6 5.4 y=0.8196x 0.9005
Emulsifier 1.5% 6 5.1 y=0.7341x 0.8076
Persamaan regresi pada Tabel 2 dapat digunakan untuk mengetahui waktu
masak optimum yang dibutuhkan setiap perlakuan mi untuk mencapai tingkat
kematangan yang optimum. Nilai y pada persaman garis merupakan nilai tingkat
kematangan mi yang berkisar antara 0 hingga 10. Nilai 5 menunjukkan nilai untuk
kematangan mi optimum, sedangkan nilai x menunjukkan waktu masak mi jagung.
Waktu masak optimum dapat ditentukan dengan memasukkan nilai y=5 pada
masing-masing persamaan regresi. Waktu masak optimum yang didapatkan melalui
uji organoleptik untuk setiap sampel mi jagung dengan emulsifier disajikan pada
Gambar 2.

8
7
6
5
4 7.5 7.0 6.8
3 6.1
2
1
0
0 0,5 1 1,5

Konsentrasi Emulsifier (%)

Gambar 2. Waktu masak optimum mi jagung

Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa penambahan emulsifier dapat


mempercepat waktu masak mi jagung, namun penurunan waktu masak hanya
efektif hingga penambahan emulsifier 1% dan naik kembali pada penambahan
emulsifier 1.5%. Hasil serupa dikemukakan oleh Subarna et al (2012) yang
menyatakan bahwa penambahan GMS lebih dari 1% pada mi jagung tidak lagi
memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan mutu mi jagung.
9

Penambahan emulsifier dapat memperbaiki mutu mi jagung, namun penambahan


yang terlalu banyak justru memberikan dampak negatif seperti meningkatnya
cooking loss dan karakteristik mi yang terlalu kering (Muhandri et al 2018). Hasil
pengujian menunjukkan konsentrasi emulsifier yang efektif dan dapat mempercepat
waktu masak mi jagung adalah penambahan emulsifier 1%. Mi jagung dengan
penambahan emulsifier 1% mencapai tingkat kematangan optimum dengan waktu
masak 6.1 menit (6 menit 6 detik). Monogliserida terdisitilasi mampu berinteraksi
dengan air dan membentuk lapisan mesomorphic antara air dengan emulsifier (Chen
2015), sehingga saat proses pemasakan air akan mudah terikat oleh mi yang
berakibat pada waktu masak yang lebih cepat.

Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Instan

Penelitian tahap kedua merupakan tahapan optimasi proses pembuatan mi


jagung instan dengan menggunakan Response Surface Methodhology (RSM)
dengan aplikasi Design Expert 7.0 (DX7). Rancangan optimasi yang dipilih adalah
D-optimal untuk optimasi proses. Parameter proses yang menjadi faktor adalah
waktu pengeringan, suhu penggorengan, dan waktu penggorengan. Penentuan batas
atas dan bawah dari ketiga faktor tersebut dilakukan dengan studi literatur dan
mempertimbangkan keefisienan proses produksi. Waktu pengeringan diatur dalam
rentang 0 – 120 menit. Proses pengeringan ini bertujuan untuk menurunkan
kandungan air mi jagung basah sebelum dilakukan proses penggorengan sehingga
dapat diketahui sampai sejauh mana kadar air awal bahan memengaruhi proses
penggorengan mi jagung. Kandungan air pada bahan pangan akan berpengaruh
pada banyaknya jumlah minyak yang terserap saat proses penggorengan.
Kandungan air pada bahan pangan yang tinggi akan mengakibatkan semakin
banyaknya minyak yang akan menggantikan air tersebut saat proses penggorengan
(Zahra et al. 2013). Mi jagung kering yang diharapkan adalah memiliki jumlah
minyak yang sedikit. Jumlah minyak yang terserap setelah proses penggorengan
akan mempengaruhi mutu mi jagung kering terkait pada umur simpannya.
Penggorengan merupakan salah satu metode dalam menurunkan kadar air
pangan karena pada dasarnya proses ini akan menguapkan massa air dan
menggantikannya dengan minyak (McDonough 2001). Terjadinya pindah massa
uap air terlihat sebagai proses mendidih dimana terjadi gelembung-gelembung uap
air keluar dari minyak. Hariyadi (2008) menjelaskan bahwa proses ini terjadi pada
titik didih air (100°C pada tekanan atmosfer). Saat mi basah dimasukan ke dalam
minyak goreng panas, air akan menguap dengan cepat dan meninggalkan rongga
pada struktur mikroskopik mi. Keberadaan rongga-rongga pada untaian mi tersebut
dapat memudahkan penetrasi air kedalam untaian mi saat proses rehidrasi (Sunoko
2008). Proses penggorengan juga dapat membantu terjadinya gelatinisasi tambahan
pada mi sehingga dapat berkorelasi positif dengan waktu rehidrasi mi (Kim 1996).
Suhu penggorengan diatur dalam rentang 105 – 125°C. Penggorengan pada suhu
105°C dapat mengubah fasa air menjadi uap, sedangkan batas suhu sebesar 130°C
mengacu pada penelitian Hattunisa (2011). Penggorengan mi jagung pada suhu
lebih dari 130°C dapat menyebabkan penggembungan di permukaan mi jagung
yang menyebabkan mi patah saat direhidrasi sehingga suhu tertinggi yang diatur
haruslah kurang dari 130°C. Amilopektin yang tinggi dan kurangnya air dapat
menyebabkan terjadinya penggembungan produk pati yang diolah pada suhu tinggi.
10

Waktu penggorengan diatur dalam rentang 2 – 10 menit. Kim (1996)


menjelaskan bahwa penggorengan mi komersial berkisar antara 90 – 120 detik
dengan suhu penggorengan berkisar 150 – 180°C. Penggunaan suhu yang lebih
rendah akan menyebabkan waktu penggorengan yang lebih lama. Hattunisa (2011)
menjelaskan bahwa penggorengan dengan suhu rendah membutuhkan waktu
penggorengan lebih dari 2 menit, namun penggorengan dengan waktu lebih dari 15
menit akan menjadikan proses tidak efektif. Berdasarkan faktor tersebut program
DX7 menghasilkan 20 buah running dalam pembuatan mi jagung instan seperti
yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rancangan percobaan optimasi proses mi jagung instan

Waktu pengeringan Suhu penggorengan Waktu penggorengan


No.
(menit) (°C) (menit)
1 48 105 5
2 120 125 10
3 120 105 10
4 75 112 2
5 120 117 5
6 0 125 7
7 120 105 2
8 0 113 7
9 0 112 2
10 78 125 2
11 49 117 10
12 48 105 5
13 0 105 10
14 46 118 5
15 120 105 10
16 120 115 10
17 0 105 10
18 0 125 2
19 120 105 2
20 120 125 10

Karakteristik mutu mi jagung yang diamati menjadi respon adalah kadar air
setelah penggorengan, cooking loss, dan elongasi. Data respon yang diperoleh
dimasukan ke dalam program untuk dianalis sehingga program dapat memberikan
prediksi kombinasi proses optimum yang menghasilkan mi jagung terbaik
berdasarkan respon yang diuji. Beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam
optimasi adalah model matematika, lack of fit, nilai R2, dan Adequate precision
(Chen dan Chen 2009). Model matematika yang dipilih adalah model yang
signifikan dengan nilai “prob>f” lebih kecil atau sama dengan 0.05. Lack of fit
diharapkan tidak signifikan atau nilainya lebih besar dari 0.05. Nilai R 2 berupa
Adjusted R2 dan Predicted R2 harus memiliki selisih yang lebih kecil dari 0.2. Nilai
Adequate precision diharuskan lebih besar dari 4. Uji ANOVA dilakukan setelah
memerhatikan keempat kriteria tersebut. Uji ANOVA dilakukan untuk melihat
perbedaan yang nyata terhadap masing-masing variabel respon pada selang
kepercayaan 95%.
11

Tahapan selanjutnya setelah dilakukan uji ANOVA adalah penetepan kriteria


optimum untuk faktor dan respon. Kriteria tersebut digunakan untuk menentukan
nilai yang diharapkan pada setiap faktor dan respon dalam menentukan kombinasi
proses yang menghasilkan mi jagung instan terbaik. Beberapa kriteria yang dapat
dipilih adalah in range, minimize, maximize, maupun target. Kriteria tersebut
bergantung terhadap hasil yang diinginkan. Kombinasi proses yang optimal adalah
kombinasi dengan nilai desirability paling tinggi dengan nilai yang mendekati nilai
1.0. Kombinasi proses yang optimal hasil prediksi program kemudian diverifikasi
dengan cara membandingkannya dengan nilai aktual hasil pengujian sehingga
didapatkan data respon yang sebenarnya (Zhafira 2017). Hasil analisis respon yang
diperoleh disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk setiap faktor respon

Respon Model Lack of Adeq


Prob>f R2 Adj R2 Pred R2
orde fit precisior
Kadar Air Linear <0.0001 <0.0001 0.7804 0.7393 0.6652 13.1060
Cooking loss Mean 0.0001 -0.1080
Elongasi Linear <0.0001 <0.0001 0.7306 0.6801 0.6227 9.7550

Respon Kadar Air Setelah Penggorengan


Kadar air produk pangan olahan merupakan salah satu parameter penentu
umur simpan produk. Kadar air juga menjadi parameter kecukupan proses dehidrasi
untuk mengklasifikasikan produk pasta masuk kedalam standar atau tidak. Mi
jagung instan yang dibuat akan mengacu pada SNI mi instan yaitu SNI 3551-2012.
Berdasarkan SNI tersebut dijelaskan bahwa mi instan dengan proses pengeringan
harus memiliki kadar air maksimal sebesar 14.5% (bb), sedangkan mi instan dengan
proses penggorengan diharuskan memiliki kadar air maksimal sebesar 8%. Proses
penggorengan pada mi instan dapat menurunkan kadar air mi hingga 2 – 5%
sedangkan proses pengeringan hanya menurunkan kadar air sekitar 8 – 12% (Gulia
et al. 2014).
Hasil analisis ragam (ANOVA) pada respon kadar air setelah penggorengan
menyatakan bahwa model yang disarankan adalah linear manual. Model memiliki
nilai prob>f yang lebih kecil dari 0.05 sehingga model tersebut memiliki
signifikansi yang kuat sebagai model respon kadar air setelah penggorengan. Nilai
R2 dari model respon kadar air setelah penggorengan adalah 0.7804 yang berarti
78.04% dari data yang ada dapat dijelaskan oleh model terpilih, yaitu model linear.
Model ini pun memiliki nilai Adj R2 dan Pred R2 yang cukup tinggi yaitu 0.7393
dan 0.6652 yang berarti model terpilih dapat menggambarkan 73.93% dari nilai
aktual dan 66.52% dari nilai prediksi. Kedua nilai ini memiliki reasonable
agreement atau pernyataan yang beralasan yang menjadikan model linear yang
dipilih sudah cukup baik dalam menggambarkan respon kadar air mi jagung setelah
proses penggorengan. Respon kadar air setelah penggorengan memiliki persamaan
model sebagai berikut:

Kadar air = 69.559 + 0.000A – 0.442B – 0.748C


12

A sebagai waktu pengeringan (menit), B merupakan suhu penggorengan (°C), dan


C merupakan waktu penggorengan (menit). Hubungan kadar air setelah
penggorengan dengan ketiga faktor tersebut dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Grafik tiga dimensi respon kadar air setelah pengggorengan

Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa waktu pengeringan tidak


terlalu memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air mi jagung instan.
Proses pengeringan yang diatur dalam rentang 0 – 120 menit dimungkinkan tidak
cukup untuk membantu penurunan kadar air mi jagung setelah penggorengan.
Proses pengeringan yang dilakukan menggunakan tray dryer pada suhu ruang.
Subarna dan Muhandri (2013) mengemukakan bahwa mi jagung kering yang
menghasilkan mutu fisik yang baik dihasilkan melalui pengeringan suhu rendah
yaitu 60°C selama 40 menit. Proses pengeringan pada mi jagung berbeda dengan
pengeringan pada spaghetti. Baiano et al. (2006) menjelaskan bahwa spaghetti
bermutu baik dari segi pemasakan dan sensori diperoleh dengan pengeringan pada
suhu tinggi (90°C selama 5 jam). Penggunaan suhu yang tinggi pada proses
pengeringan mi jagung dapat mengakibatkan permukaan mi yang retak dan
berakibat pada mutu fisik seperti elongasi dan ketegaran mi jagung.
Faktor yang lebih memengaruhi kadar air mi jagung instan berdasarkan
Gambar 3 adalah suhu penggorengan dan waktu penggorengan. Grafik tiga dimensi
tersebut menunjukkan bahwa kadar air mi jagung instan berbanding terbalik dengan
suhu penggorengan pada model linear. Waktu penggorengan berpengaruh pada
kadar air mi jagung yang dapat dicapai. Suhu penggorengan yang semakin tinggi
akan menghasilkan kadar air mi jagung instan lebih rendah hingga pada titik
tertentu. Berdasarkan hasil percobaan didapatkan bahwa kadar air terendah yang
dapat dicapai adalah 6.8% dan yang tertinggi adalah 23.48%. Proses penggorengan
merupakan proses penguapan massa air bahan dan menggantikannya dengan
minyak (Dana dan Saguy 2006). Suhu penggorengan yang semakin tinggi berarti
semakin jauh dari titik didih air sehingga massa air akan lebih cepat berubah fasa
menjadi massa uap air dan keluar dari bahan. Proses penguapan massa air ini akan
meninggalkan lubang-lubang poros pada untaian mi instan yang digoreng. Lubang-
13

lubang yang terbentuk tersebut memudahkan penetrasi air pada untaian mi saat
dilakukan proses rehidrasi sehingga waktu masak mi jagung dapat lebih cepat
(Gulia dan Khatkar 2013).

Respon Cooking Loss


Cooking loss merupakan salah satu parameter cooking quality dari produk mi
instan. Cooking loss dapat diartikan sebagai jumlah padatan mi yang terlarut ke
dalam air rebusan selama proses pemasakan. Nilai cooking loss mengindikasikan
kemampuan produk mi untuk mempertahankan integritas strukturalnya selama
proses pemasakan dalam air mendidih (Liu 2009). Hasil respon cooking loss yang
memiliki model mean karena tidak menghasilkan model dengan nilai prob>f yang
signifikan. Respon yang tidak signifikan dapat mengindikasikan bahwa nilai
cooking loss mi jagung instan tidak dipengaruhi oleh kombinasi proses pengeringan
dan penggorengan. Grafik tiga dimensi dari respon cooking loss disajikan pada
Gambar 4.

Gambar 4. Grafik tiga dimensi respon cooking loss

Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan tidak ada model yang dapat
menjelaskan secara signifikan respon cooking loss yang didapat. Gambar 4
memberikan informasi lebih lanjut bahwa nilai cooking loss mi jagung instan tidak
dipengaruhi secara nyata oleh ketiga faktor variabel bebas yang digunakan yaitu
waktu pengeringan, suhu penggorengan, dan waktu penggorengan. Hasil yang
serupa dikemukakan oleh Subarna dan Muhandri (2013) dan sejalan dengan
penelitian Lee et al (2005) yang menyatakan bahwa proses pengeringan tidak
berpengaruh nyata terhadap nilai cooking loss mi jagung kering. Hattunisa (2011)
pada penelitiannya menyatakan bahwa proses penggorengan pada mi jagung dapat
meningkatkan nilai cooking loss. Peningkatan nilai cooking loss dapat terjadi
karena penggorengan dapat menimbulkan lubang/pori pada untaian mi yang
berakibat pada mudahnya partikel pati pada untaian mi terlepas selama pemasakan.
Partikel pati yang semakin mudah terlepas selama pemasakan dapat mengakibatkan
semakin tingginya nilai cooking loss mi setelah rehidrasi.
14

Respon Elongasi
Elongasi mi menunjukkan pertambahan panjang mi saat mi ditarik dengan
gaya tertentu hingga putus. Persen elongasi yang tinggi menunjukkan karakteristik
mi yang tidak mudah putus. Sifat ini merupakan salah satu parameter mutu
pemasakan (cooking quality) produk mi karena mi yang diinginkan adalah mi yang
tidak mudah putus saat dimakan. Kecukupan proses gelatinisasi sangat menentukan
persen elongasi mi (Hattunisa 2011).
Hasil analisis ragam (ANOVA) pada respon elongasi menunjukkan bahwa
model yang disarankan adalah linear manual. Model memiliki nilai prob>f yang
lebih kecil dari 0.05 sehingga model tersebut memiliki signifikansi yang kuat
sebagai model respon elongasi. Nilai R2 dari model respon elongasi adalah 0.7306
yang berarti 73.06% dari data yang ada dapat dijelaskan oleh model terpilih, yaitu
model Linear. Model ini pun memiliki nilai Adj R2 dan Pred R2 yang cukup tinggi
yaitu 0.6801 dan 0.6227 yang berarti model terpilih dapat menggambarkan 68.01%
dari nilai aktual dan 62.27% dari nilai prediksi. Kedua nilai ini memiliki reasonable
agreement atau pernyataan yang beralasan yang menjadikan model linear yang
dipilih sudah cukup baik dalam menggambarkan respon elongasi mi jagung instan.
Respon elongasi memiliki persamaan model sebagai berikut:

Elongasi = 820.456 – 0.219A – 6.092B – 1.871C

A merupakan waktu pengeringan (menit), B menunjukkan suhu penggorengan (°C),


dan C menunjukkan waktu penggorengan (menit). Pengaruh faktor-faktor tersebut
dapat diketahui dengan grafik tiga dimensi pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik tiga dimensi respon elongasi

Berdasarkan grafik tiga dimensi pada Gambar 5 diketahui bahwa ketiga faktor
yaitu waktu pengeringan, suhu penggorengan, dan waktu penggorengan memiliki
pengaruh yang cukup signifikan pada persen elongasi mi jagung instan. Waktu
pengeringan yang semakin lama terlihat dapat menurunkan nilai elongasi. Subarna
dan Muhandri (2013) menjelaskan bahwa proses pengeringan dengan suhu dan
waktu yang berbeda menghasilkan mi dengan elongasi yang berbeda nyata.
Pengeringan pada suhu rendah dapat menghasilkan produk dengan perubahan
15

struktur yang lebih kecil. Struktur yang lebih kecil dapat memperkokoh struktur mi
dan menyebabkan mi akan memiliki elongasi yang lebih tinggi setelah direhidrasi.
Elongasi mi jagung instan dipengaruhi pula oleh suhu dan waktu penggorengan.
Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu penggorengan dan semakin
lama penggorengan akan menurunkan persen elongasi mi jagung instan. Proses
penggorengan yang berlangsung pada suhu tinggi menyebabkan air akan
meninggalkan untaian mi dalam bentuk uap dan seketika membuat lubang/pori
berbentuk bunga karang yang kecil dan seragam (McDonough et al. 2001). Pati
yang telah tergelatinisasi memiliki jaringan yang kuat sehingga udara tidak mudah
keluar dari untaian karena terhalang oleh lapisan crust yang terbentuk pada
permukaan mi. Permukaan crust yang terdorong oleh uap air tersebut dapat
diidentifikasi sebagai penggembungan pada permukaan untaian mi. Adanya
penggembungan pada permukaan mi mengindikasikan mi akan mudah patah saat
direhidrasi (Hattunisa 2011).
Optimasi Produk
Tahapan optimasi merupakan tahap dalam mencari kombinasi faktor-faktor
variabel bebas yang dapat menghasilkan produk dengan karakteristik respon yang
diinginkan serta taraf kepentingannya. Tahap optimasi diawali dengan menentukan
kriteria faktor dan respon yang diinginkan. Kriteria faktor dan respon serta tingkat
kepentingannya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5.Kriteria faktor dan respon serta tingkat kepentingan pada tahapan optimasi

Komponen Kriteria Kepentingan


Waktu
In Range 3 (+++)
pengeringan
Suhu
Faktor In Range 3 (+++)
penggorengan
Waktu
In Range 3 (+++)
penggorengan
Kadar air setelah
Target = 8 5 (+++++)
penggorengan
Respon
Cooking loss Minimize 3 (+++)
Elongasi Maximize 3 (+++)

Kriteria untuk respon kadar air setelah penggorengan adalah target dengan
nilai kadar air 8%. Kadar air merupakan salah satu parameter mutu yang erat
kaitannya dengan umur simpan dan keamanan produk. Mi jagung instan mengacu
pada SNI mi instan yaitu SNI 3551-2012. Persayaratan mutu yang diatur dalam SNI
tersebut salah satunya menyebutkan bahwa kadar air mi instan dengan proses
penggorengan maksimal 8%. Nilai kepentingan untuk respon kadar air diberikan
nilai 5(+++++) sehingga diharapkan mi jagung yang dihasilkan memiliki kadar air
yang sesuai dengan SNI yang berlaku. Kriteria untuk respon cooking loss
ditetapkan minimize atau diharapkan memiliki nilai yang paling rendah. Produk
pasta yang diinginkan adalah produk yang tidak lengket saat dimasak, memiliki
tekstur padat, dan memiliki nilai cooking loss yang rendah (Manthey dan Twombly
2006). Nilai cooking loss yang rendah menandakan bahwa produk mi memiliki
tekstur yang baik, homogen, dan tahan akan pemasakan. Karakteristik untuk respon
elongasi ditetapkan maximize atau diharapkan memiliki ekstensibilitas tertinggi.
16

Persen elongasi erat kaitannya dengan keutuhan mi setelah dilakukan porses


rehidrasi. Mi dengan nilai persen elongasi yang tinggi menghasilkan mi yang tidak
mudah patah saat dimakan dan memiliki kekenyalan yang diinginkan. Nilai cooking
loss dan persen elongasi termasuk kedalam kualitas pemasakan (cooking quality)
produk mi sehingga diberikan tingkat kepentingan 3(+++). Setelah menentukan
kriteria faktor dan respon serta tingkat kepentingannya masing-masing, diperoleh
kombinasi proses yang optimum yang diprediksi oleh program Design Expert 7.0.
Kombinasi proses optimum ditunjukkan pada Tabel 6 dan Gambar 6.

Tabel 6. Nilai desirability untuk berbagai kombinasi proses


Waktu Suhu Waktu Kadar Cooking
No Pengeringan Goreng Goreng Air loss
Elongasi Desirability
1 0 115 10 11.28 10.52 100.87 0.649*
2 0 116 10 11.07 10.52 98.06 0.648
3 0 115 10 11.20 10.52 99.25 0.648
4 3 115 10 11.15 10.52 98.56 0.647
5 3 115 10 11.33 10.52 100.86 0.647
6 5 115 10 11.42 10.52 101.69 0.646
7 0 112 10 12.44 10.52 116.91 0.645
8 0 117 10 10.66 10.52 88.42 0.640
9 43 112 10 12.80 10.52 111.81 0.628
10 51 115 10 11.49 10.52 91.91 0.627
*Kombinasi proses yang dipilih

Gambar 6.Grafik tiga dimensi kombinasi proses optimum

Verifikasi dan Karakterisasi Mutu Mi Jagung Instan Hasil Optimasi

Penelitian tahap ketiga merupakan tahapan verifikasi mutu mi jagung hasil


optimasi dan penentuan waktu masak optimum yang aktual. Verifikasi dilakukan
dengan membandingkan nilai respon pada kondisi aktual dengan prediksi. Program
Design Expert 7.0 akan memberikan nilai CI (Confidnet Interval) dan PI
17

(Prediction Interval) pada taraf signifikansi 5%. Nilai CI menunjukkan keyakinan


bahwa 95% dari populasi akan berada diantara mean dan standar deviasi dan hanya
5% yang akan berada diluar itu (Navidi 2006).
Verifikasi Mutu Mi Jagung Instan Hasil Optimasi
Tahapan optimasi memberikan beberapa pilihan kombinasi proses yang
dianggap mampu menghasilkan mi jagung instan terbaik sesuai dengan kriteria
yang telah ditetapkan. Kombinasi proses yang dipilih adalah kombinasi proses yang
memiliki nilai desirability maksimum/tertinggi yaitu mendekati nilai 1.0.
Kombinasi proses yang dipilih kemudian diverifikasi dengan membandingkan hasil
aktual dengan prediksi program. Hasil verifikasi beserta niali prediksi respon
disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Hasil verifikasi dan nilai prediksi respon optimum

95% CI 95% CI 95% PI 95% PI


Respon Prediksi Verifikasi
Low High Low High
Kadar Air 11.28 13.32 8.81 13.74 5.38 17.17
Cooking loss 10.52 10.50 8.72 12.32 2.27 18.76
Elongasi 100.87 127.48 67.78 133.97 21.65 180.09

Berdasarkan hasil verifikasi pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa nilai aktual
dari masing-masing respon berada pada rentang nilai CI 95%. Hasil yang didapat
masih berada pada kisaran prediksi dari program Design Expert 7.0 dan model
dapat digunakan untuk memprediksi nilai dari respon tersebut. Kadar air aktual dari
mi jagung instan optimum adalah 13.32%. Nilai kadar air ini masih berada dalam
kisaran prediksi program yaitu 8.81 – 13.74%. Nilai kadar air yang didapat tidak
sesuai dengan kriteria target yang diinginkan yaitu 8%. Kadar air ini belum cukup
dalam memenuhi persayaratan mutu mi instan yang diatur dalam SNI 3551-2012
yaitu maksimal 8%. Kadar air yang masih cukup tinggi dapat terjadi karena
penggunaan suhu penggorengan yang relatif rendah dibandingkan dengan suhu
penggorengan yang dilakukan pada industri mi instan komersial. Proses
penggorengan mi instan komersial biasanya dilakukan dengan suhu 150 – 180°C
selama 90 – 120 detik (Kim 1996). Suhu yang lebih rendah berakibat pada laju
penguapan massa air yang lebih rendah sehingga dapat menyebabkan kadar air
masih cukup tinggi. Suhu yang rendah dengan waktu penggorengan yang lama
menyebabkan penampakan pada mi jagung instan terlihat berminyak. Kandungan
minyak pada produk pangan olahan dapat berpengaruh terhadap umur simpan
produk. Penelitian ini tidak sampai mempelajari terkait umur simpan produk.
Nilai cooking loss mi jagung instan adalah 10.50%. Charutigon et al. (2008)
menyatakan bahwa mi dengan nilai cooking loss dibawah12.5% dapat diterima oleh
konsumen. Nilai cooking loss yang didapatkan jauh lebih besar dari mi jagung
kering yang diproses dengan pengeringan udara kering menggunakan tray dryer
yang dilakukan oleh Muhandri (2011) yaitu sebesar 4.56%. Nilai cooking loss mi
jagung instan yang tinggi dapat dipengaruhi oleh proses penggorengan yang
dilakukan. Penggorengan umumnya dilakukan pada suhu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pengeringan dengan udara panas. Penggunaan suhu yang
tinggi akan menyebabkan massa air berubah dengan cepat menjadi uap air dan
mendorong komponen pati dalam mi. Pati yang terdorong oleh uap air ini dapat
18

membentuk struktur di dalam untaian mi menjadi berpori dan berbentuk seperti


bunga karang. Pori-pori yang terbentuk selama penggorengan memudahkan
partikel pati terlepas selama pemasakan.
Persen elongasi mi jagung instan adalah 127.48%. Persen elongasi tersebut
sudah cukup baik untuk produk pasta. Mi jagung instan memiliki struktur yang
baik, kompak, dan tidak mudah putus saat diangkat. Elongasi yang cukup tinggi
menunjukkan tingginya ekstensibilitas mi saat ditarik dengan gaya tertentu.
Penampakan produk mi jagung instan hasil optimasi ditunjukan pada Gambar 7

(a) (b)

Gambar 7. Mi jagung instan hasil optimasi (a) sebelum rehidrasi (b) setelah
rehidrasi

Verifikasi Waktu Masak Mi Jagung Instan Optimum


Uji verifikasi terhadap waktu masak aktual untuk mi jagung instan optimum
perlu dilakukan. Pengujian waktu masak mi jagung instan menggunakan metode
organoleptik dan pengamatan visual terhadap keberadaan spot putih ditengah
untaian mi. Penentuan waktu masak secara organoleptik dilakukan dengan menguji
tingkat kematangan mi pada berbagai waktu pemasakan oleh panelis terlatih. Hasil
pengujian tersebut kemudian diolah menjadi persamaan regresi dan ditentukan
waktu optimum pemasakan pada saat mi mencapai tingkat kematangan optimum
(nilai 5). Grafik tingkat kematangan mi jagung instan pada berbagai waktu
pemasakan disajikan pada Gambar 8. Hasil yang didapatkan didukung oleh
pengamatan secara visual terhadap keberadaan spot putih ditengah mi setelah
dilakukan proses rehidrasi atau pemasakan. Waktu masak optimum didefinisikan
sebagai waktu yang dibutuhkan untuk memasak mi hingga menghilangnya spot
putih ditengah untaian mi saat ditekan antara dua plat kaca (Marti et al. 2010).
Berdasarkan Gambar 8 diketahui grafik hubungan antara tingkat kematangan
mi jagung instan dengan waktu masak menghasilkan persamaan y=0.7381x dengan
nilai R2 sebesar 0.9607. Nilai y merupakan nilai kematangan mi sedangkan nilai x
merepresentasikan waktu masak mi. Tingkat kematangan optimum yang diinginkan
bernilai 5 sehingga dengan memasukan nilai y=5 pada persamaan tersebut dapat
diketahui waktu pemasakan aktual mi jagung instan yaitu 6.8 menit atau setara
dengan 6 menit 48 detik. Waktu tersebut dikatakan sebagai waktu optimum
pemasakan mi jagung instan untuk menghasilkan mi jagung instan dengan tingkat
19

kematangan optimum. Nilai R2 yang mendekati nilai 1.0 menunjukkan hubungan


antara tingkat kematangan dengan waktu masak mi sangat kuat pada garis linear.
Pemasakan mi jagung selama 6.8 menit telah mematangkan mi yang ditandai
dengan telah menghilangnya spot putih di bagian tengah mi. Pengamatan visual
pada mi setelah rehidrasi ditunjukkan pada Gambar 9.

10,0
9,0
Tingkat Kematangan

8,0
7,0 5.9
6,0 5.2
4.7
5,0 3.8
4,0 2.9
3,0
1.6 y = 0.7381x
2,0
1,0
R² = 0.9607
0,0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu Masak (menit)

Gambar 8.Tingkat kematangan mi jagung instan pada berbagai waktu pemasakan

Gambar 9. Pengamatan visual mi jagung setelah rehidrasi


Waktu pemasakan ini lebih lama apabila dibandingkan dengan waktu masak
untuk mi jagung kering pada tahapan sebelumnya yaitu 6.1 menit. Peningkatan
waktu masak mi dapat disebabkan karena banyaknya kandungan minyak yang
diserap mi. Minyak dan air merupakan dua zat yang tidak dapat saling bercampur
karena memiliki berat jenis yang berbeda (Murtiningrum et al 2009). Terikatnya
minyak pada struktur mi jagung instan memungkinkan terhambatnya penetrasi air
saat proses pemasakan untuk merehidrasi mi. Minyak pada produk mi instan dapat
mencapai 20% dari berat total produk yang dihasilkan. Pemanasan pati pada suhu
lebih dari 107°C mengakibatkan terbentuknya struktur kompleks amilosa-lipid.
Struktur komplek amilosa-lipid ini dapat menghambat pembengkakan granula pati
dan kelarutan pati saat pemasakan (Sittipod dan Shi 2016). Berdasarkan waktu
masak yang didapatkan yaitu 6.8 menit maka mi jagung yang dihasilkan belum
dapat dikategorikan sebagai produk mi instan sesuai persyaratan SNI mi instan yang
berlaku.
20

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penambahan emulsifier jenis DIMODAN® pada taraf 1% (dari berat tepung)


dapat mempercepat waktu pemasakan mi jagung kering menjadi 6.1 menit dari mi
jagung tanpa penambahan emulsifier (7.5 menit). Optimasi proses pembuatan mi
jagung instan dengan cara penggorengan menggunakan RSM D-Optimal
menunjukkan proses optimum tercapai dengan kombinasi proses pengeringan
dengan waktu 0 menit, suhu penggorengan 115 °C selama 10 menit. Kombinasi
proses tersebut menghasilkan mi jagung instan dengan kadar air 13.32% (bb),
cooking loss sebesar 10.50%, dan persen elongasi sebesar 127.48%. Nilai kadar air
tersebut belum dapat memenuhi persyaratan mutu mi instan sesuai SNI 3551-2012
yaitu maksimal 8%. Waktu optimum pemasakan untuk mi jagung instan adalah 6.8
menit. Mi jagung hasil penilitian ini belum dapat dikategorikan sebagai mi instan
karena waktu pemasakan yang dibutuhkan untuk mencapai kematangan optimum
masih terbilang cukup lama.

Saran

Penelitian lebih lanjut untuk dapat menurunkan kadar air akhir mi jagung
instan serta menurunkan jumlah minyak yang terserap selama proses
penggorengan. Perancangan sistem blowing yang tepat guna dapat diterapkan pada
proses lanjutan dalam pembuatan mi jagung instan
21

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Method of


Analysis. Association of Official Analytical Chemistry 19th Edition.
Gaithersburg (US): AOAC.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Impor gandum dan beras. http://www.bps.go.id
(Update 4 Februari 2019).
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Petunjuk Pengujian Organoleptik dan
atau Sensori. Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2012. Mi Instan. Jakarta (ID): BSN.
[WINA] World Instant Noodles Association. 2019. Global Demand for Instant
Noodles. Shinjuku (JP): WINA.
AACC. 2000. Approved methods of the AACC. Method 66-50. Pasta and noodle
cooking quality - firmness (10th ed). St Paul: American Association of Cereal
Chemist.
Baiano A, Conte A, Del Nobile MA. 2006. Influence of drying temperature on the
spaghetti cooking quality. J Food Eng. 76: 341-347.
Chafid M. 2016. Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan: Jagung. Jakarta
(ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian.
Charutigon C, Jitpupakdree J, Nansree P, Rungsardthong V. 2008. Effects of
processing conditions and the use of modified starch and monoglyceride on some
properties of extruded rice vermicelli. LWT-Food Sci Tech 41: 642 – 651.
Chen KN, Chen MJ. 2009. Statistical optimization: response surface methodology.
Dalam: Erdogdu F (ed). Optimization if Food Engineering. Boca Raton: CRC
Press.
Chen L. 2015. Emulsifiers as Food Texture Modifiers. Guangzhou (CN):
Guangdong University of Technology.
Dana D, Saguy IS. 2006. Review: mechanism of oil uptake during deep fat frying
and the surfactant effect-theory and myth. Adv.Colloid Interface Sci.
128(130):267-272.
Ditjen Tanaman Pangan. 2017. Komoditas Jagung Indonesia Siap Swasembada di
Tahun 2017. Newsletter Pusdatin. 14(151).
Engelen A, Sugiyono, Budijanto S. 2015. Karakteristik kimia pada pembuatan mi
sagu (Metroxylon sagu). Jurnal Agroindustri Halal. 3(1):1-9.
Fitriani D. 2004. Kajian pengembangan produk, mikrostruktur dan analisis daya
simpan mie jagung instan [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Gulia N, Khatkar BS. 2013. Effect of processing variables on the oil uptake, textural
properties and cooking quality of instant fried noodles. Journal of Food Quality.
36:181-189.
Gulia N, Dhaka V, Khatkar BS. 2014. Instant noodles: processing, quality, and
nutritional aspects. Critical Reviews in Food Science and Nutrition.
54(10):1386-1399.
Guo G, Jackson DS, Graybosch RA, Parkhurst AM. 2003. Asian salted noodle
quality: impact of amylose content adjustment using waxy wheat flour. Cereal
Chem. 80:437-445.
Hariyadi P. 2008. Teknologi penggorengan. Food Review Indonesia. III(4): 22-28.
22

Hattunisa RS. 2011. Optimasi proses dehidrasi dan formulasi bahan tambahan
pangan pada mi jagung instant dengan metode ekstrusi. [Skripsi]. Bogor(ID):
Institut Pertanian Bogor.
Kim YS. 1996. Instant noodle. In: Kruger JE, Matsuo RB (ed). Pasta and Noodle
Technology. Minnesota: American Assosiation of Cereal Chemist, Inc.
Kusnandar F, Palupi NS, Lestari OA, Widowati S. 2009. Karakterisasi tepung
jagung termodifikasi heat moisture treatment (HMT) dan pengaruhnya terhadap
mutu pemasakan dan sensori mi jagung kering. Jurnal Pascapanen. 6(2):76-84.
Lee Sy, Woo KS, Lim JK, Kim HI, Lim ST. 2005. Effect of processing variables
on texture of sweet potato starch noodles prepared in a nonfreezing process.
Cereal Chem. 82:475-478.
Liu L. 2009. Evaluation of four sorghum hybrids in a gluten-free noodle system.
[Tesis]. Manhattan, Kansas (USA): Kansas State University.
Manthey FA, Twombly W. 2006. Extruding and drying of pasta. Dalam: Hui YH
(ed). Handbook of Food Science, Technology, and Engineering Vol 4. Boca
Raton: Taylor and Francis Group, CRC Press.
Marti A, Seetharaman K, Pagani A. 2010. Rice-based pasta: A comparison between
conventional pasta-making and extrusion-cooking. Journal of Cereal Science.
52:404-409.
McDonough CM, Gomez MH, Rooney LW, Saldivar SOS. 2001. Alkaline-Cooked
Corn Product. Dalam: Lusas, Rooney LW (ed). Snack Foods Processing. New
York (US): CRC Press.
Muhandri T, Ahza AB, Syarief R, Sutrisno. 2011. Optimasi proses ekstrusi mi
jagung dengan metode permukaan respon. J Teknol Indust Pangan.(2): 97-104.
Muhandri T, Subarna, Taqi FM, Nurtama B, Jayadi MAR. 2018. Karakteristik mutu
mi jagung dengan penambahan telur dan emulsifier. Di dalam: Peran Perguruan
Tinggi Meningkatkan Kompetensi Lokal Menghadapi Revolusi Industri 4.0;
2018 Juli 31; Riau, Indonesia. Riau (ID): UPP Press. Hlm 462-172.
Murtiningrum, Sarungallo ZL, Lisangan MM, Pongsibidang A. 2009. Pengaruh
jenis dan konsentrasi pengemulsi terhadap stabilitas emulsi minyak buah merah
(Pandanus conoideus L.). Jurnal Agrotek. 1(6): 65-71
Navidi W. 2006. Statistics for Engineering and Scientist. New York (US): The
McGraw-Hill Companies Inc.
Oh NH, Seib PA, Finney KF, Pomeranz Y. 1985. Oriental noodles. J Cereal
Chem.1(63): 93-96.
Rianto BF. 2006. Desain proses pembuatan dan formulasi mie basah berbahan baku
tepung jagung [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sittipod S, Shi Y-C. 2016. Changes of starch during parboiling of rice kernels.
Journal of Cereal Science. 69.238-244.
Subarna, Muhandri T. 2013. Pembuatan mi jagung kering dengan metode
kalendering. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 24(1): 75-80.
Subarna, Muhandri T, Nurtama B, Firlieyanti AS. 2012. Peningkatan mutu mi
kering jagung dengan penerapan kondisi optimum proses dan penambahan
monogliserida. J Teknol Industri Pangan. 23(2): 146-152..
Suhendro EL, Kunetz CF, McDonough Cm, Rooney LW, Waniska RD. 2000.
Cooking characteristic and quality of noodles from food sorghum. Cereal Chem.
77(2): 96 – 100.
23

Sunoko. 2008. Optimalisasi Penggunaan minyak goreng pada mi instan. Food


Review Indonesia. III(3): 22-28.
Waniska RD, Yi T, Lu J, Xue Ping L, Xu W, Lin H. 1999. Effects of preheating
temperature, moisture, and sodium metabisulfite content on quality of noodles
prepared from maize flour or meal. J Food Sci Tech. 5: 339-346.
Yanuarti AR, Afsari MD. 2016. Profil Komoditas Barang Kebutuhan Pokok dan
Barang Penting: Komoditas Terigu. Jakarta (ID): Direktorat Jendral
Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan.
Zahra SL, Dwiloka B, Mulyani S. 2013. Pengaruh penggunaan minyak goring
berulang terhadap perubahan nilai gizi dan mutu hedonik pada ayam goring.
Animal Agriculture Journal. 2(1): 253 – 260.
Zhafira NR. 2017. Optimasi formula dan proses rehidrasi tahu lembut dalam
pengembangan produk wedang tahu instan. [Skripsi]. Bogor (ID): Intitut
Pertanian Bogor.
24

LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar pengujian tingkat kematangan mi jagung


25

Lampiran 2 Running kombinasi proses berdasarkan Design Expert 7.0

Waktu Waktu
Suhu
Run Pengeringan Penggorengan
Penggorengan (C)
(menit) (menit)
1 48 105 5
2 120 125 10
3 120 105 10
4 75 112 2
5 120 117 5
6 0 125 7
7 120 105 2
8 0 113 7
9 0 112 2
10 78 125 2
11 49 117 10
12 48 105 5
13 0 105 10
14 46 118 5
15 120 105 10
16 120 115 10
17 0 105 10
18 0 125 2
19 120 105 2
20 120 125 10
26

Lampiran 3 Hasil analisis respon desain formula DX7

Kadar Air Setelah


Cooking loss (%) Elongasi (%)
Penggorengan (%)

19.97 8.89 138.03


7.53 10.08 0.00
17.27 17.3 130.08
23.48 4.31 81.28
12.66 7.40 122.85
9.18 14.5 9.60
19.81 8.93 132.50
13.04 6.71 115.63
14.78 18.11 182.68
13.74 10.20 42.60
7.28 14.65 48.98
20.10 9.33 143.33
16.89 7.13 174.45
10.02 11.73 161.43
17.73 17.,30 134.55
11.44 9.10 114.03
16.79 8.43 171.05
17.14 8.06 32.36
20.64 8.67 132.50
6.80 9.54 0.00
27

Lampiran 4 Hasil pengujian tingkat kematangan mi oleh panelis terlatih

Pemasakan Rerata Waktu Masak Rerata


Perlakuan
(menit) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Total
5 2.9 3.0 3.0 3.0
6 4.2 4.1 3.8 4.1
7 4.9 5.2 5.2 5.1
Emulsifier 0%
8 5.3 5.9 5.4 5.5
9 6.2 6.0 5.3 5.9
10 6.6 6.8 5.6 6.4
5 3.3 3.8 2.9 3.3
6 4.9 4.3 4.9 4.7
Emulsifier 7 5.2 5.7 4.9 5.3
0.5% 8 5.9 5.9 5.9 5.9
9 6.0 6.6 6.5 6.4
10 6.8 7.3 6.2 6.8
5 3.9 4.7 4.7 4.4
6 5.0 4.6 6.6 5.4
7 5.8 5.6 6.6 6.0
Emulsifier 1%
8 6.9 5.6 7.7 6.7
9 7.1 6.2 7.9 7.1
10 7.4 6.9 8.8 7.7
5 4.0 3.8 4.3 4.0
6 4.8 5.3 5.2 5.1
Emulsifier 7 5.1 5.6 5.3 5.3
1.5% 8 6.3 6.1 5.4 5.9
9 6.7 6.3 5.5 6.2
10 7.4 6.8 6.6 7.0
28

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat


pada tanggal 22 Februari 1997. Penulis merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara dari ayah Aep Saepuloh dan Ibu
Tuti Heryati. Penulis lulus dari SMA Negeri 2 Tasikmalaya
pada tahun 2015 yang kemudian masih pada tahun yang sama
penulis lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN) dan masuk ke Institut Pertanian Bogor
dalam program studi Teknologi Pangan.
Selama menjadi mahasiswa di Departmen Ilmu dan
Teknologi Pangan, penulis aktif mengikuti organisasi dan kepanitiaan. Penulis
pernah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan
(HIMITEPA) divisi Himitepa Corporation periode 2016/2017 dan dilanjutkan
menjadi Kepala Divisi Himitepa Corporation pada periode selanjutnya yaitu
2017/2018. Penulis juga aktif falam kegiatan organisasi mahasiswa daerah
Tasikmalaya yang tergabung dalam OMDA HIMALAYA. Tidak hanya organisasi,
penulis juga aktif dalam mengikuti berbagai kepanitiaan seperti SUKSESI 2016,
Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XXIV (2016) dan XXV (2017), Masa Perkenalan
Mahasiswa Baru IPB 53 (MPKMB 53) (2016), BAUR (2017), IPB Bussines
Festival 2017. Tahun 2018 penulis mengikuti Lomba Cepat Tepat Pangan Food
Quiz Bowl 2018 dan meraih juara 2 pada tingkat nasional. Penulis juga pernah
menjadi Asisten Praktikum pada mata kuliah Teknologi Pengolahan Pangan.

Anda mungkin juga menyukai