Oleh
ISNAINI INDRAWURI
F24052713
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERANAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI TERHADAP MUTU
DAN PENERIMAAN KONSUMEN MI JAGUNG
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
ISNAINI INDRAWURI
F24052713
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan
Penerimaan Konsumen Mi Jagung
Nama : Isnaini Indrawuri
NIM : F24052713
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si.
NIP. 19680526 199303 1 004 NIP. 19610802 198703 2 002
Mengetahui,
Ketua Departemen ITP
RINGKASAN
Mi jagung merupakan salah satu jenis produk yang ditujukan untuk dapat
mendukung program diversifikasi pangan. Jenis mi jagung yang telah
dikembangkan diantaranya adalah mi basah dan mi kering jagung yang dibuat dari
100% tepung jagung dengan teknologi kalendering/sheeting. Namun, penggunaan
tepung jagung 100% menghasilkan mi basah jagung yang keras, mudah putus, dan
kurang kenyal setelah direhidrasi dan mi kering jagung yang rapuh dan mudah
patah sebelum direhidrasi dan keras, mudah putus, kurang kenyal serta lengket
setelah direhidrasi. Penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki karakteristik mi
jagung dan pendekatan yang dilakukan adalah memodifikasi tepung jagung.
Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh modifikasi HMT terhadap
karakteristik tepung jagung, menentukan pengaruh substitusi tepung jagung HMT
terhadap kondisi proses pengukusan adonan dan kualitas mi jagung (basah dan
kering), dan mengevaluasi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk mi
jagung yang disubstitusi tepung jagung HMT. Penelitian ini dilakukan melalui
tiga tahapan, yaitu tahap modifikasi dan karakterisasi tepung jagung native serta
tepung jagung HMT, penentuan pengaruh substitusi tepung jagung HMT terhadap
kondisi proses pengukusan adonan dan kualitas mi jagung, dan uji penerimaan
konsumen terhadap produk akhir mi jagung.
Modifikasi tepung jagung HMT dilakukan pada kadar air terkendali (24%)
pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009). Modifikasi HMT (Heat Moisture
Treatment) dapat mengubah sifat gelatinisasi tepung jagung dari tipe B (viskositas
puncak sedang dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam)
menjadi tipe C (tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami
penurunan atau tidak memiliki nilai breakdown). Perubahan tersebut antara lain
peningkatan suhu awal gelatinisasi dari 74,25 oC menjadi 79,50oC, penurunan
viskositas maksimum tepung jagung dari 659,00 BU menjadi tidak ada,
penurunan nilai breakdown dari 4,00 BU menjadi tidak ada, dan peningkatan nilai
setback dari 315,00 BU menjadi 525,00 BU.
Substitusi tepung jagung HMT memudahkan proses pembentukan adonan,
adonan menjadi tidak lengket dan mudah dibentuk lembaran serta dicetak. Selain
itu, waktu pengukusan adonan menjadi lebih panjang, yaitu 14-16 menit.
Substitusi tepung jagung HMT juga meningkatkan kualitas mi basah jagung dan
mi kering jagung. Secara objektif, substitusi tepung jagung HMT dapat
menurunkan nilai kekerasan, KPAP, dan kelengketan serta meningkatkan nilai
kekenyalan dan persentase elongasi mi jagung secara nyata (α=0,05). Secara
subjektif (organoleptik), substitusi tepung jagung HMT secara nyata (α=0,05)
menurunkan nilai kekerasan dan kelengketan, serta meningkatkan kekenyalan.
Berdasarkan hasil uji penerimaan konsumen pada 175 orang responden, sebanyak
69,12% responden menyukai produk olahan mi basah jagung native dan sebanyak
60% menyukai produk olahan mi basah jagung HMT. Responden yang menyukai
produk olahan mi kering jagung native sebesar 43%, sedangkan responden yang
menyukai produk olahan mi kering jagung HMT sebesar 55%.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Segala puji dan syukur, tak henti penulis panjatkan hanya ke hadirat Allah
SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan
Penerimaan Konsumen Mi Jagung”. Shalawat dan Salam semoga selalu
tercurahkan pula kepada junjungan Nabi Besar, Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis
baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis,
terutama kepada :
1. Bapak dan Ibu tercinta, yang selalu sabar dalam mendidik penulis menjadi
manusia yang berguna. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi dan doa
untuk penulis. Untuk saudara-saudara tersayang; Srini Larasati dan Dipo
Suwandono terima kasih atas kasih sayang, dukungan, dan kehangatan
keluarga yang indah.
2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc sebagai dosen pembimbing, atas kesabaran,
nasihat, motivasi serta segala pelajaran hidup yang telah diberikan kepada
penulis selama 3 tahun ini.
3. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si selaku dosen pembimbing II yang selalu
memberikan masukan-masukan hingga terselesaikannya skripsi ini serta
kelembutan dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.
4. Elvira Syamsir, STP, M.Si selaku dosen penguji, atas saran-saran yang
membangun serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
5. Seluruh Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis, serta
laboran-laboran ITP dan Seafast Center (Bu Sri, Bu Rub, Pak Rojak, Pak
Ilyas dan Pak Jun) yang banyak membantu penulis dalam melakukan
penelitian.
6. Andhika Prima Prasetyo, S.Pi atas kasih sayang, doa, dukungan, dorongan
dan semangat yang diberikan kepada penulis.
i
7. Teman-teman se-bimbingan, Indri, Juju dan Ka Gema, atas kebersamaan,
dukungan dan kerja sama yang indah.
8. Teman-teman terbaik, terutama Anggun, Cany, Esther, Dina, Tuti, Olo,
Siyam, Sina, Irene, Midun, Riska, Arya, Fahmi, Wiwiw, Kamlit dan seluruh
keluarga besar ITP 42. Semoga kebersamaan selama 3 tahun ini tidak lekang
dimakan waktu.
9. Teman-teman tercinta, Miva, Tara, Mega, dan Asih. Terima kasih atas
dorongan semangat dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.
10. Para Panelis terlatihku, Tsani, Safie, Victor, Sandra, Angga, Weje, Wahyu,
Dilla, Fitri, Stella, dan Bintang atas bantuan dan kerjasama yang baik.
11. Teman-teman tim produksi mi jagung, atas kebersamaan dan kerjasama yang
baik.
12. Teman-teman ITP 43 yang memberikan keceriaan dan kebersaman yang
indah.
13. Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan
terima kasih, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah
kalian berikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR TABEL ....................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... ix
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Tujuan Penelitian............................................................................... 3
C. Manfaat Penelitian ............................................................................ 3
iii
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 18
A. Bahan dan Alat ................................................................................. 18
B. Metode Penelitian ............................................................................. 18
1. Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT
serta Karakterisasi Tepung Jagung Native dan
Tepung Jagung Termodifikasi HMT ............................................ 18
a. Proses Penepungan Jagung .................................................... 19
b. Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT .................. 19
c. Analisis Profil Gelatinisasi ..................................................... 20
2. Penentuan Kondisi Proses Pengukusan Adonan
terhadap Kualitas Mi Jagung ....................................................... 21
a. Pengaplikasian Tepung Jagung HMT pada
Pembuatan Mi Jagung ........................................................... 21
b. Penentuan Jumlah Tepung Jagung HMT yang akan
Dikukus pada Pengukusan Adonan ....................................... 23
c. Penentuan RentangWaktu Pengukusan Adonan .................... 24
3. Uji Penerimaan Konsumen terhadap Produk
Olahan Mi Jagung ........................................................................ 29
iv
a. Mi Basah Jagung pada Produk Mi Ayam .............................. 57
b. Mi Kering Jagung pada Produk Mi Bakso ............................. 59
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung ............................................. 4
Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung ........................................ 5
Tabel 3. Hasil analisis proksimat dan kadar pati tepung jagung P-21 ........ 7
Tabel 4. Karakteristik granula pati ........................................................... 8
Tabel 5. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati .......................................... 11
Tabel 6. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-19 .......................... 14
Tabel 7. Syarat mutu mi kering menurut SNI 01-2974-1996 ..................... 15
Tabel 8. Penentuan waktu optimum pengukusan adonan pada suhu 90oC . 17
Tabel 9. Perbandingan tepung jagung native dan tepung jagung HMT
yang dikukus .............................................................................. 24
Tabel 10. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA
(Texture Profile Analysis) ........................................................... 25
Tabel 11. Sampel uji untuk identifikasi rasa dan aroma dasar .................... 28
Tabel 12. Sampel untuk uji ranking ............................................................ 28
Tabel 13. Sampel untuk uji segitiga ........................................................... 28
Tabel 14. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT .............. 33
Tabel 15. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT
pada penelitian Lestari (2009) menggunakan Rapid Visco
Analyzer (RVA) .......................................................................... 33
Tabel 16. Pengaruh rasio tepung jagung HMT yang dikukus
terhadap kualitas adonan ........................................................... 37
Tabel 17. Pengaruh waktu pengukusan terhadap sifat adonan .................... 38
Tabel 18. Hasil diskusi pertemuan ketiga pada pelatihan panelis ............... 49
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) ............................. 10
Gambar 2. Pembuatan tepung jagung teknik kering ................................... 20
Gambar 3. Proses pembuatan mi jagung metode sheeting ......................... 22
Gambar 4. Kurva profil tekstur mi ............................................................ 26
Gambar 5. Profil gelanitisasi tepung jagung native dan HMT .................... 33
Gambar 6. Visualisasi mi basah jagung dengan variasi bagian
adonan yang dikukus [a] Kontrol (Mi jagung native);
[b] Formula 1 (Mi jagung HMT tidak dikukus);
[c] Formula 2 (Mi jagung HMT sebagian kukus);
[d] Formula 3 (Mi jagung HMT dikukus) ................................ 37
Gambar 7. Nilai kekerasan mi basah jagung yang diukur dengan
Texture Analyzer ..................................................................... 40
Gambar 8. Nilai kekerasan mi kering jagung yang diukur dengan
Texture Analyzer ...................................................................... 40
Gambar 9. Nilai kekenyalan mi basah jagung yang diukur dengan
Texture Analyzer ..................................................................... 41
Gambar 10. Nilai kekenyalan mi kering jagung yang diukur dengan
Texture Analyzer ..................................................................... 42
Gambar 11. Nilai kelengketan mi basah jagung yang diukur dengan
Texture Analyzer ..................................................................... 43
Gambar 12. Nilai kelengketan mi kering jagung yang diukur dengan
Texture Analyzer ..................................................................... 43
Gambar 13. Persen elongasi mi basah jagung .............................................. 44
Gambar 14. Persen elongasi mi kering jagung ............................................. 44
Gambar 15. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
mi basah jagung ....................................................................... 45
Gambar 16. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
mi kering jagung ...................................................................... 46
Gambar 17. Hubungan antara kehilangan padatan akibat pemasakan
(KPAP) dan lama waktu pemasakan mi kering jagung ............. 46
Gambar 18. Nilai kekerasan mi basah jagung secara organoleptik ............... 50
Gambar 19. Nilai kekerasan mi kering jagung secara organoleptik .............. 50
Gambar 20. Nilai kekenyalan mi basah jagung secara organoleptik ............. 51
Gambar 21. Nilai kekenyalan mi kering jagung secara organoleptik ........... 51
vii
Gambar 22. Nilai kelengketan mi basah jagung secara organoleptik ........... 52
Gambar 23. Nilai kelengketan mi kering jagung secara organoleptik .......... 52
Gambar 24. Frekuensi konsumsi mi responden per minggu ......................... 54
Gambar 25. Faktor penentu konsumsi mi .................................................... 55
Gambar 26. Atribut mutu mi yang penting menurut responden ................... 55
Gambar 27. Pengetahuan responen terhadap mi jagung ............................... 56
Gambar 28. Tingkat kesukaan responden terhadap mi basah jagung
native pada produk olahan mi ayam ........................................ 57
Gambar 29. Tingkat kesukaan responden terhadap mi basah jagung
HMT pada produk olahan mi ayam ......................................... 57
Gambar 30. Tingkat kesesuaian mi basah jagung yang diolah
menjadi mi ayam .................................................................... 58
Gambar 31. Alternatif lain untuk produk olahan mi basah jagung menurut
responden ................................................................................ 58
Gambar 32. Tingkat kesesuaian mi basah jagung sebagai alternatif
mi terigu komersial .................................................................. 59
Gambar 33. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering jagung
native pada produk olahan mi bakso ........................................ 59
Gambar 34. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering jagung
HMT pada produk olahan mi bakso ......................................... 60
Gambar 35. Tingkat kesesuaian mi kering jagung yang diolah
menjadi mi bakso .................................................................... 60
Gambar 36. Alternatif lain untuk produk olahan mi kering jagung menurut
responden ................................................................................ 61
Gambar 37. Tingkat kesesuaian mi kering jagung sebagai alternatif
mi terigu komersial .................................................................. 61
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis ......................................... 68
Lampiran 2. Kuisioner Uji Penerimaan Konsumen pada Produk Olahan
Mi Jagung ............................................................................. 72
Lampiran 3. Data Hasil Analisis Fisik (Kekerasan, Kekenyalan dan
Kelengketan) Mi Jagung Diukur dengan Texture Analyzer ..... 75
Lampiran 4. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Nilai Kekerasan,
Kekenyalan dan Kelengketan yang Diukur dengan Texture
Analyzer ................................................................................. 76
Lampiran 5. Data Hasil Analisis Persentase Elongasi ................................. 79
Lampiran 6. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Persentase
Elongasi ................................................................................ 80
Lampiran 7. Data Hasil Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan
(KPAP) ................................................................................. 81
Lampiran 8. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Analisis Kehilangan
Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) ....................................... 82
Lampiran 9. Performa 11 Calon Panelis Terlatih ....................................... 83
Lampiran 10. Scoresheet Uji Organoleptik Mi Jagung ................................. 84
Lampiran 11. Data Hasil Uji Organoleptik dengan Panelis Terlatih ............. 86
Lampiran 12. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Atribut Tekstur
secara Organoleptik ............................................................... 88
Lampiran 13. Data Umum Responden Uji Penerimaan Konsumen terhadap
Produk Olahan Mi Jagung ..................................................... 91
ix
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki potensi besar dalam produksi komoditi jagung. Menurut
data Badan Pusat Statistik, produksi jagung secara nasional mengalami
peningkatan setiap tahunnya bahkan mencapai 17 juta ton pada tahun 2009 (BPS,
2009). Oleh karena itu, komoditi jagung perlu mendapat perhatian dalam
pemanfaatannya. Salah satu potensi pemanfaatan komoditas jagung adalah
sebagai bahan baku dalam pengolahan mi. Berdasarkan hasil kajian preferensi
konsumen, mi merupakan produk pangan yang paling banyak dikonsumsi oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia, baik sebagai makanan sarapan maupun
sebagai makanan selingan (Juniawati, 2003). Bahkan pada sebagian golongan
masyarakat, mi tidak lagi dijadikan sebagai sumber makanan pokok, tetapi juga
digunakan sebagai lauk pauk.
Pemanfaatan bahan baku tepung jagung dalam pengolahan mi perlu
dilakukan pengembangan. Tepung jagung rendah akan gluten, sehingga tidak
mampu membuat tekstur yang elastis dan kompak seperti mi gandum atau mi
terigu. Oleh karena itu, untuk memperbaiki karakteristik fisik dan organoleptik mi
berbahan dasar tepung jagung dapat dilakukan dengan mengubah karakteristik
fisik tepung jagung tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah
dengan memperbaiki sifat gelatinisasinya.
Pati serealia memiliki profil gelatinisasi tipe B yang ditandai dengan
viskositas puncak yang tinggi dan kestabilan viskositas terhadap panas yang
rendah (Collado et al, 2001). Menurut Lii dan Chang (1981) didalam Collado et al
(2001), pati yang ideal untuk dibuat menjadi produk mi adalah pati yang memiliki
pengembangan dan solubility yang terbatas dan memiliki profil gelatinisasi tipe C.
Selain itu, menurut Chen et al (2003), karakteristik pati yang baik untuk
diaplikasikan menjadi produk mi adalah pati dengan viskositas puncak yang
rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami
peningkatan selama pemanasan serta memiliki viskositas yang tinggi pada suhu
rendah (Tam et al, 2004). Mi yang dihasilkan dari pati dengan karakteristik
tersebut memiliki nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang
1
rendah, untaian mi yang kompak dan elastis serta kelengketan yang rendah
(Purwani et al, 2006).
Oleh karena itu, modifikasi tepung jagung merupakan alternatif dalam
memperbaiki kualitas mi jagung. Proses modifikasi diharapkan dapat
memperbaiki sifat gelatinisasi tepung jagung dengan meningkatan kestabilan
viskositas terhadap panas (breakdown) yang diharapkan dapat meningkatkan
kekenyalan, menurunkan kelengketan, dan menurunkan nilai KPAP (kehilangan
padatan akibat pemasakan), sedangkan peningkatan nilai setback diharapkan dapat
menurunkan tingkat kekerasan mi jagung. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Beta dan Corke (2001), menunjukkan bahwa peningkatan kestabilan viskositas
terhadap panas berkolerasi negatif dengan KPAP.
Teknik modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) dipilih karena
prosesnya relatif murah, aman dan sederhana. Modifikasi dalam bentuk tepung
dilakukan dengan pertimbangan bahwa tepung jagung lebih mudah untuk
diaplikasikan. Modifikasi tepung jagung HMT dapat dilakukan pada kadar air
terkendali (24%) pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009).
Penelitian mengenai mi jagung telah banyak dilakukan, baik mi basah
maupun mi kering. Namun, kebanyakan hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa mi jagung masih belum dapat menggunakan 100% tepung jagung. Hal
tersebut adalah karena karakteristik tepung jagung sendiri yang rendah protein
gliadin dan glutelin (gluten) sebagai pembentuk struktur mi (Fennema, 1996),
seperti telah dikemukakan di atas. Selain itu, belum pernah dilakukan uji
konsumen mengenai penerimaan produk mi jagung. Oleh karena itu, pada
penelitian ini dipelajari bagaimana penerimaan konsumen terhadap produk mi
jagung melalui uji penerimaan konsumen.
Pembuatan mi jagung 100% membutuhkan tambahan proses yaitu
pengukusan sebagian adonan sebelum dilakukan pencetakan. Penelitian ini
mempelajari bagaimana pengaruh penggunaan tepung jagung yang dimodifikasi
dengan metode HMT pada produk akhir mi jagung, baik mi basah maupun mi
kering. Selain itu, dilihat pula apakah penggunaan tepung jagung HMT
berpengaruh pada kondisi pengukusan adonan yang akan menggelatinisasi
sebagian pati. Waktu pengukusan adonan yang optimum adalah selama 15 menit
2
(Putra, 2008) dengan menggunakan tepung jagung native dan pada penelitian ini
diamati apakah substitusi tepung jagung HMT mempengaruhi waktu pengukusan.
Penelitian mengenai penggunaan tepung jagung HMT pada mi jagung juga
telah dilakukan oleh Lestari (2009). Lestari (2009) mencampur tepung jagung
HMT dengan tepung jagung native terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian
adonan yang akan dikukus dan yang tidak dikukus. Penelitian ini menggunakan
variasi jumlah tepung jagung HMT yang akan dikukus, yaitu seluruhnya dikukus,
sebagian atau dicampur terlebih dahulu baru dilakukan pembagian adonan dan
tidak dikukus atau dicampurkan pada bagian tepung yang tidak dikukus. Hal ini
ditujukan agar diketahui bagaimana pengaruh jumlah tepung jagung HMT yang
dikukus dapat mempengaruhi adonan mi serta pengaruhnya pada proses
selanjutnya (pembentukan lembaran/sheeting dan pencetakan/slitting) dan pada
produk akhir mi jagung.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menentukan pengaruh modifikasi HMT terhadap karakteristik tepung
jagung.
2. Menentukan pengaruh substitusi tepung jagung HMT terhadap kondisi
proses pengukusan adonan dan kualitas mi jagung (basah dan kering).
3. Mengevaluasi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk mi jagung.
C. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan dalam
pembuatan mi jagung menggunakan teknologi kalendering atau sheeting.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG
1. Tanaman Jagung
Jagung (Zea mays L.) termasuk ke dalam famili Gramineae (rumput-
rumputan) dan genus Zea. Tanaman ini merupakan tumbuhan semusim (annual)
dan termasuk tanaman berumah satu (monoecioes). Sistem perakarannya serabut,
menyebar ke samping dan ke bawah. Klasifikasi ilmiah atau nomenklatur tanaman
jagung, yaitu kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, ordo
Poales, family Poaceae, dan genus Zea.
Menurut Effendi dan Sulistiati (1991), tongkol jagung merupakan gudang
penyimpanan cadangan makanan. Tongkol ini bukan hanya tempat pembentukan
lembaga tetapi juga merupakan tempat menyimpan pati, protein, minyak/lemak,
dan zat-zat lain untuk persediaan makanan dan pertumbuhan biji. Panjang tongkol
bervariasi antara 8 sampai 42 cm dan biasanya dalam satu tongkol mengandung
sekitar 300 sampai 1000 biji jagung.
Bentuk biji jagung berbeda-beda tergantung varietasnya. Warna biji jagung
juga bervariasi dari putih sampai kuning. Daerah-daerah penghasil utama tanaman
jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Madura, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
Khusus daerah Jawa Timur dan Madura, tanaman ini dibudidayakan cukup
intensif, karena selain tanah dan iklimnya sangat mendukung, di daerah tersebut,
khususnya Madura, jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok
(Warisno, 1998). Secara anatomi, jagung terdiri dari empat bagian pokok, yaitu
kulit (perikarp), endosperma, lembaga, dan tudung pangkal biji (tipcap).
Presentase bagian-bagian anatomi biji jagung dapat dilihat pada Tabel 1.
4
2. Komposisi Kimia Jagung
Komposisi kimia jagung bervariasi bergantung pada varietas, cara
penanaman, iklim, dan tingkat kematangan. Kandungan gizi utama yang terdapat
pada biji jagung adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Komposisi kimia rata-rata
biji jagung dapat dilihat pada Tabel 2.
Menurut Johnson (1991), komponen kimia terbesar dalam biji jagung adalah
karbohidrat (72% dari berat biji) yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas
terdapat pada bagian endosperma. Endosperma matang terdiri dari 86% pati dan
sekitar 1% gula. Pati terdiri dari dua polimer glucan, yaitu amilosa dan
amilopektin. Secara umum, pati jagung mengandung amilosa sekitar 25-30% dan
amilopektin sekitar 70-75%.
Gula dalam biji jagung terdapat dalam bentuk monosakarida (D-glukosa dan
D-fruktosa), disakarida dan trisakarida, serta gula alkohol. Sukrosa merupakan
disakarida terbanyak dalam biji jagung (2-3 mg per endosperma). Sedangkan
maltosa, trisakarida, dan oligosakarida terdapat dalam jumlah sedikit. Adapun
phytate (hexaphosphoric ester dari myo-inositol) diketahui sebagai satu-satunya
gula alkohol yang terdapat dalam biji jagung. Sekitar 90% phytate ditemukan di
dalam skutelum dan 10%-nya terdapat di dalam aleuron (Johnson, 1991).
Jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya bergantung pada
umur dan varietas. Kandungan lemak dan protein pada jagung muda lebih rendah
dibandingkan dengan jagung tua. Selain lemak dan protein, jagung juga
mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati, serat kasar, dan pentosa (Muchtadi
dan Sugiyono, 1989).
Menurut Inglett (1970), jagung yang mengandung protein tinggi cenderung
memiliki butir kernel yang kecil dengan kandungan endosperm keras yang
5
banyak. Protein yang terkandung pada jagung mencapai 10% dari biji utuh.
Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin.
Zein merupakan protein dengan bobot molekul rendah yang larut pada
etilalkohol dan alkohol-alkohol tertentu seperti isopropanol. Zein memiliki dua
jenis komponen yaitu α–zein (larut pada 95% etanol) dan β–zein (larut dalam 60%
etanol). Zein memiliki komposisi asam amino yang tinggi kandungan asam
glutamat, prolin, leusin, dan alanin. Namun, rendah pada kandungan lisin,
triptofan, histidin dan metionin (Laztity, 1996).
Glutelin merupakan protein berberat molekul tinggi yang larut dalam alkali.
Fraksi glutelin merupakan protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi
protein larut garam dan alkohol (zein). Fraksi glutelin juga terdiri dari beberapa
protein struktural seperti protein membran atau protein kompleks dinding sel.
Glutelin memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang
lebih tinggi daripada zein tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah
(Laztity, 1986).
Protein gluten yang terdapat pada tepung terigu memiliki keistimewaan,
yaitu dapat membentuk adonan yang viskoelastis, sifat ini juga didukung oleh
struktur protein gandum yang unik, ikatan-ikatan seta interaksi yang terdapat
didalamnya (Fennema, 1996). Protein pada tepung terigu sebagian besar terdiri
dari gliadin dan glutelin, sedangkan pada tepung jagung seperti telah disebutkan
diatas terdiri dari zein dan glutelin. Walaupun zein dan gliadin keduanya
merupakan kelas prolamin yang larut alkohol 70-80% dan tidak larut air maupun
alkohol absolut (Winarno, 2004), namun memiliki sifat yang sangat berbeda. Hal
ini disebabkan perbedaan susunan asam aminonya. Protein terigu memiliki
kandungan glutamin dan asam amino hidroksil yang tinggi. Ikatan hidrogen yang
terjadi antara glutamin dan residu gugus hidroksil dari polipeptida gluten
berkontribusi terhadap gaya adhesi-kohesi (Fennema, 1996).
6
Kandungan lemak yang rendah disebabkan adanya proses degerminasi
(pemisahan lembaga) pada saat proses penepungan. Lembaga merupakan bagian
biji jagung yang kaya akan lemak sehingga akan menyebabkan tepung jagung
cepat menjadi tengik bila tidak dipisahkan. Sebagian besar tepung jagung P-21
mengandung karbohidrat (86,18%). Total pati jagung pada tepung jagung P-21
sebesar 66,56% dan sebagian besar merupakan amilopektin (43,52%).
Warna kuning pada tepung jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil
yang terdapat pada biji jagung. Xantofil termasuk dalam pigmen karotenoid yang
memiliki gugus hidroksil. Warna kuning tepung jagung tentunya akan
berpengaruh terhadap mi yang dihasilkan. Lebih lanjut warna kuning pada tepung
jagung juga memberikan karakteristik khas dari mi yang dihasilkan. Fadlillah
(2005) menyatakan bahwa mi jagung yang berwarna kuning merupakan
keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu karena tidak memerlukan lagi
bahan tambahan pewarna untuk menghasilkan mi yang berwarna kuning.
B. PATI JAGUNG
Pati banyak terdapat pada tanaman sebagai cadangan karbohidrat, dan
merupakan sumber karbohidrat utama bagi manusia. Secara alami, bentuk pati
merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Secara mikroskopik,
campuran molekul dalam granula pati berstruktur linier (amilosa) dan bercabang
(amilopektin) yang membentuk lapisan-lapisan tipis berbentuk cincin atau lamela,
dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut
7
hilus atau hilum. Letak hilum dalam granula pati ada yang di tengah dan ada yang
di tepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan
gandum) mempunyai hilum yang terletak di tengah, sedangkan granula pati pada
kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi.
Granula pati dalam keadaan murni berwarna putih, mengkilat, tidak berbau,
dan tidak berasa. Granula pati bervariasi bentuk dan ukurannya tergantung pada
sumbernya. Beberapa jenis pati dengan ukuran dan bentuknya dapat dilihat pada
Tabel 4. Pati jagung biasa dan pati jagung berlilin (waxy/glutinous corn) memiliki
diameter berkisar antara 2–30 μm. Jagung yang tinggi amilosa (high-amylose
corn) memiliki diameter berkisar antara 2-24 μm. Pati pada kentang, tapioka, dan
gandum masing-masing memiliki diameter berkisar antara 5-100 μm, 4-35 μm,
dan 2-55 μm (Fennema, 1996). Granula pati memiliki struktur kristalin yang
terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Daerah kristalin pada kebanyakan pati
tersusun atas fraksi amilopektin, sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada
daerah amorf.
Pati komersial didapat dari biji–bijian seperti jagung, jagung tipe waxy,
jagung dengan kandungan amilosa yang tinggi, gandum, dan berbagai jenis beras,
serta dari batang dan umbi–umbian (Fennema, 1996). Pati memiliki karakteristik
tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi, dan kekristalan
granulanya (Belitz, dan Grosch, 1999). Pati tidak larut pada air dingin dan akan
membentuk massa pasta yang padat dan keras apabila dicampur dengan air dingin.
Pati jagung terdiri dari 73% amilopektin dan 27% amilosa. Namun
demikian, terdapat varietas jagung yang tersusun seluruhnya (100%) dari
amilopektin yaitu jenis waxy/glutinous corn. Sebaliknya, terdapat pula varietas
8
jagung yang mengandung amilosa dalam jumlah yang tinggi (50-75%). Varietas
tersebut dinamakan high-amylose corn (Mauro et. al., 2003).
C. TEPUNG JAGUNG
Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh
dengan cara menggiling biji jagung (Zea mays L.) yang bersih dan baik.
Penggilingan biji jagung menjadi bentuk tepung merupakan suatu proses
pemisahan kulit, endosperm, lembaga dan tip cap. Endosperm merupakan bagian
biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang
tinggi. Kulit yang memiliki kandungan serat tinggi harus dipisahkan karena dapat
membuat tepung bertekstur kasar. Sementara itu, lembaga yang merupakan bagian
biji jagung dengan kandungan lemak tertinggi juga harus dipisahkan agar tidak
membuat tepung menjadi tengik. Selain itu, tip cap juga harus dipisahkan sebelum
penepungan agar tidak terdapat butir-butir hitam pada tepung olahan.
Pembuatan tepung jagung baik dilakukan dengan menggunakan metode
penggilingan kering (Juniawati, 2003). Proses pembuatan tepung jagung diawali
dengan penggilingan menggunakan hammer mill. Penggilingan ini menghasilkan
grits, lembaga, kulit, dan tip cap. Hasil penggilingan kemudian direndam dalam
air untuk memisahkan bagian endosperm dengan bagian lembaga, kulit, dan tip
cap. Bagian endosperm akan tenggelam dan bagian lain yang tidak dibutuhkan
dapat dengan mudah dibuang karena mengapung. Selanjutnya, bagian endosperm
ditiriskan dan digiling menggunakan disc mill untuk memperhalus ukuran grits
menjadi tepung. Hasil penggilingan yang berupa tepung jagung ini masih harus
melalui proses pengayakan 100 mesh, sehingga diperoleh hasil tepung jagung
yang optimal, yaitu halus dan homogen (Putra, 2008).
D. GELATINISASI
1. Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi
Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air
panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak–balik
(reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak–
balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Greenwood dan Munro,
9
1979). Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula–
mula suspensi yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung
jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya
diikuti dengan pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul–molekul air
menjadi lebih kuat daripada gaya tarik–menarik antar molekul pati di dalam
granula, air dapat masuk ke dalam butir–butir granula. Hal inilah yang
menyebabkan bengkaknya granula pati (Winarno, 1997).
Mekanisme gelatinisasi secara umum terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1)
penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara
lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam
granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul
granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat
sampai kehilangan sifat birefriengence-nya dan (3) granula pecah jika cukup air
dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels,
1985). Menurut Harper (1981), mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti
pada Gambar 1.
Granula pati tersusun dari
amilosa (berpilin) dan
amilopektin (bercabang)
Granula mengandung
amilopektin, rusak dan
terperangkap dalam matriks
amilosa membentuk gel
10
Indeks refraksi butir–butir pati yang membengkak mendekati indeks refraksi
air. Hal inilah yang menyebabkan sifat translusen. Jumlah gugus hidroksil dalam
molekul pati sangat besar sehingga kemampuan menyerap airnya sangat besar.
Peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan
bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada di dalam butir–
butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi (Winarno, 1997).
2. Suhu Gelatinisasi
Fennema (1996) menyatakan bahwa suhu atau titik gelatinisasi adalah titik
saat sifat birefrigence pati mulai menghilang. Suhu gelatinisasi diawali dengan
pembengkakan yang irreversible pada granula pati dalam air panas dan diakhiri
tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya. Suhu gelatinisasi tidak
sama pada berbagai jenis pati. Suhu gelatinisasi pada berbagai jenis pati
ditunjukkan oleh Tabel 5.
3. Sifat Birefringence
Pengamatan di bawah mikroskop (polarizing microscope) dapat
menunjukkan sifat birefringence pati, yaitu sifat merefleksikan cahaya
terpolarisasi sehingga terlihat kristal gelap terang. Intensitas birefringence pati
11
sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar
amilosa tinggi, intensitas sifat birefringencenya lemah jika dibandingkan dengan
pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998).
Pati mentah dan belum mendapat perlakuan jika diamati di bawah
mikroskop polarisasi akan memperlihatkan pola birefringence yang jelas daerah
gelap terangnya. Pati yang dipanaskan bersama air, sifat birefringence secara
bertahap akan hilang tergantung suhu dan waktu yang digunakan. Jika suhu yang
digunakan di atas suhu gelatinisasi, maka hilangnya sifat birefringence
disebabkan oleh pecahnya molekul pati sehingga granula pati kehilangan sifat
merefleksikan cahayanya. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat
ketidakteraturan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat
kristal (Hoseney, 1998).
12
1992). Hoover dan Vasanthan (1994) menjelaskan bahwa modifikasi pati dengan
HMT mengurangi proses leaching amilosa pada saat pemasakan.
Selain itu, metode HMT dapat mempengaruhi penyusunan kembali molekul
pati antar amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin, sehingga mampu
memperkuat ikatan dalam pati. Ketika diaplikasikan pada proses pengolahan
bihun, pati yang dimodifikasi dengan HMT juga menghasilkan bihun yang tidak
lengket setelah dimasak (Shin, 2004).
Penelitian terhadap kondisi proses modifikasi HMT telah dilaporkan oleh
beberapa peneliti. Collado (2001) melakukan modifikasi HMT pati ubi jalar pada
suhu diatas suhu gelatinisasi (80oC-100oC) selama 16 jam mampu
mempertahankan kadar air pati hingga 35% atau lebih rendah.
Pati HMT yang diujicobakan pada produk olahan mi ubi jalar (Collado,
2001) dan mi sagu (Purwani, 2006) menunjukkan hasil bahwa pati HMT dapat
menghasilkan karateristik mi yang lebih baik. Mi sagu yang dihasilkan dari pati
sagu HMT memiliki cooking loss yang lebih rendah dibandingkan dengan mi dari
pati sagu tanpa HMT (Purwani, 2006). Pati ubi jalar yang dimodifikasi dengan
HMT juga menghasilkan karakteristik mi yang lebih baik dibandingkan tanpa
modifikasi (Collado, 2001).
F. MI
1. Mi Basah
Menurut Astawan (2005), mi basah adalah jenis mi yang mengalami
pemasakan setelah tahap pemotongan. Sedangkan menurut Dewan Standarisasi
Nasional (1992), mi basah adalah produk pangan yang terbuat dari tepung terigu
dengan atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan tambahan pangan yang
diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah memiliki kadar air
maksimal 35% (b/b).
Berdasarkan bahan baku yang digunakan, ada dua macam mi yaitu mi yang
berbasis protein dan mi yang berbasis pati. Bahan baku mi berbasis protein berasal
dari gandum, sedangkan bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari
kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum.
13
Berdasarkan bentuk produk mi yang ada di pasaran, mi dapat
diklasifikasikan menjadi mi basah mentah yaitu mi yang diproses tanpa
pemasakan dan pengeringan, mi basah matang yaitu mi basah yang mengalami
pemasakan dan tanpa pengeringan, serta mi kering yaitu mi yang mengalami
pengeringan (Astawan, 2005). Kualitas mi basah menurut SNI 01-2987-1992
dapat dilihat pada Tabel 6. Produk mi umumnya digunakan sebagai sumber
energi karena kandungan karbohidratnya relatif tinggi.
2. Mi Kering
Menurut SNI 01-2974-1996, mi kering didefinisikan sebagai produk
makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan
14
makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi.
Mi dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya
kandungan airnya harus di bawah 13%.
Karakteristik yang disukai dari mi kering adalah memiliki penampakan
putih, hanya sedikit yang terpecah-pecah selama pemasakan, memiliki permukaan
yang lembut dan tidak ditumbuhi mikroba (Oh, 1985). Syarat mutu mi kering
dapat dilihat pada Tabel 7.
3. Mi Jagung
Mi jagung adalah jenis mi yang dibuat dengan bahan baku utama tepung
atau pati jagung dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Mi jagung dapat
diproses menjadi mi instan (mi kering) ataupun mi basah. Menurut Juniawati
(2003), proses pembuatan mi jagung kering dengan pembentukan lembaran terdiri
dari beberapa tahapan, yaitu pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian,
15
pembentukan lembaran (sheeting/pressing), pencetakan untaian mi (slitting),
pengukusan kedua dan pengeringan.
Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan mi terigu karena setelah
pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan. Proses pengukusan bertujuan
menggelatinisasi sebagian pati (sekitar 70%) sehingga dapat berperan sebagai
pengikat adonan. Apabila tidak dilakukan pengukusan, maka adonan tidak dapat
dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein endosperma jagung
banyak mengandung zein (60%) yang tidak dapat membentuk massa adonan yang
elastic-cohesive bila hanya ditambahkan air dan diuleni, seperti halnya gliadin dan
glutelin pada gandum. Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung
jumlah adonan yang dimasak. Namun, tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang
diharapkan hampir sama (Juniawati, 2003).
Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan
lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung kering mengandung nilai gizi yang
baik yaitu sekitar 360 kalori/kemasan atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori).
Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mi terigu
instan (471 kalori). Tingginya nilai gizi yang terdapat pada mi jagung kering
menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan
alternatif pilihan pengganti nasi.
Kandungan lemak mi jagung kering juga jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kandungan lemak pada mi terigu instan. Hal ini dikarenakan tidak adanya
proses penggorengan pada mi jagung kering, melainkan hanya proses pengeringan
saja. Selain itu, mi jagung instan juga tidak menggunakan pewarna tambahan
seperti halnya mi terigu instan. Warna kuning pada mi jagung merupakan warna
alami yang disebabkan oleh pigmen kuning pada jagung, yaitu β-karoten, lutein,
dan zeaxanthin.
Formulasi mi jagung telah dikembangkan dalam beberapa penelitian,
diantaranya mi jagung dari tepung jagung dan pati jagung. Juniawati (2003) telah
membuat mi jagung kering dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2004)
melakukan pembuatan mi jagung kering dengan memanfaatkan pati jagung dan
protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan verifikasi pada
16
desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode Budiyah dengan
menambahkan protein gluten terigu untuk memperbaiki elastisitas dan cooking
loss mi. Putra (2008) melakukan optimalisasi formula dan proses pembuatan mi
jagung dengan metode kalendering.
Menurut Putra (2008), pengukusan pertama dilakukan pada suhu 90oC
selama 15 menit. Hasil pengamatan adonan pada tahap penentuan waktu optimum
pengukusan pada suhu 90oC yang dilakukan oleh Putra (2008), dapat dilihat pada
Tabel 8. Penelitian yang dilakukan Putra (2008) menggunakan tepung jagung
native, sedangkan penelitian ini menggunakan substitusi tepung jagung HMT.
Penelitian ini mengamati bagaimana pengaruh penggunaan tepung jagung HMT
pada pengukusan adonan serta pada kualitas mi jagung.
17
III. METODOLOGI PENELITIAN
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap modifikasi dan
karakterisasi tepung jagung native serta tepung jagung termodifikasi HMT, tahap
penentuan pengaruh proses pengukusan adonan terhadap kualitas mi jagung dan
uji penerimaan konsumen terhadap produk akhir mi jagung.
18
pemanasan, memiliki viscosity breakdown yang minimal dan stabil terhadap
proses pengadukan.
Proses modifikasi tepung jagung dilakukan dengan kadar air terkendali
(24%), pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009). Setelah didapatkan tepung
jagung termodifikasi HMT, kemudian dilakukan analisis profil gelatinisasi.
Analisis profil gelatinisasi tepung jagung dilakukan pada saat sebelum dan setelah
proses modifikasi. Analisis ini menggunakan alat Brabender Amilograph.
19
Jagung
JagungPipil
Pipil
Pencucian
Pencuciandengan
denganair
air(pemisahan
(pemisahanlembaga
lembagadan
danperikarp)
perikarp)
Perendaman
Perendaman
dalam
dalam
air dingin,
air, 3 jam
3 jam
Pencucian
Pencuciandengan
denganair
air(pemisahan
(pemisahanlembaga
lembagadan
danperikarp)
perikarp)
Tepung Jagung
20
Tombol pengontrol diatur pada posisi heating (pemanasan) dengan suhu
awal 30°C, kemudian alat dinyalakan. Pengaduk pada alat berputar dengan
kecepatan konstan dan suhu berangsur-angsur naik dengan dengan kecepatan
1.5°C/menit. Suhu awal gelatinisasi ditandai dengan viskositas yang mulai terbaca
pada alat pencatat.
Setelah melewati suhu gelatinisasi, viskositas suspensi pati meningkat
secara cepat dengan meningkatnya suhu pemasakan. Viskositas mulai menurun
setelah mencapai titik puncaknya. Viskositas yang terbaca pada saat mencapai
nilai maksimum disebut viskositas maksimum. Setelah viskositas maksimum ini,
viskositas suspensi menurun secara cepat dengan meningkatnya suhu pemanasan.
Tahap proses pemanasan akan berakhir setelah suhu dari contoh telah mencapai
95°C.
Proses holding dilakukan pada suhu 95°C selama 20 menit dengan mengatur
posisi pengatur suhu pada posisi holding. Pada tahap ini alat pencatat secara
kontinyu mencatat nilai viskositas. Setelah tahap holding, alat diatur pada posisi
cooling. Pada tahap ini, suhu pasta pati menurun secara berangsur-angsur.
Pendinginan dilakukan hingga suhu mencapai 50°C. Setelah pendinginan
berakhir, alat amilograph dimatikan dan grafik profil gelatinisasi contoh dapat
diperoleh.
21
jagung dengan metode kalendering/sheeting dapat dilihat pada Gambar 3, dan
untuk mendapatkan mi basah jagung tidak dilakukan pengeringan setelah
pengukusan mi.
Tepung jagung
(70% bagian) Guar gum 1%
Garam 1%
Air 50%
Dicampur rata
Pengukusan adonan
(90oC, 15 menit)
Dicampur rata
Pembentukan lembaran mi
Pencetakan mi (slitting)
Pemotongan mi
Pengukusan mi
Mi Basah Jagung
(95oC, 20 menit)
Pengeringan
Mi Kering Jagung
(60 0C, 70 menit)
22
Metode produksi mi kering jagung ini merupakan hasil penelitian Putra
(2008). Berbeda dengan proses pembuatan mi terigu, pada pembuatan mi jagung
perlu dilakukan pengukusan adonan agar terjadi proses pregelatinisasi. Sebagian
pati yang tergelatinisasi ini akan membantu mengikat adonan dan mempermudah
pembentukan lembaran mi.
Penggunaan air sebanyak 50% (basis jumlah tepung) berfungsi sebagai
pengikat garam dan membantu proses gelatinisasi saat adonan dikukus. Jumlah air
sangat menentukan kelengketan mi. Jumlah air <50% menyebabkan proses
pregelatinisasi adonan kurang sempurna sehingga adonan menjadi rapuh,
sedangkan jika jumlah air >50% menyebabkan adonan menjadi lengket (Putra,
2008).
Penggilingan dengan grinder bertujuan membuat adonan menjadi lebih
kompak dan mudah dibentuk lembaran. Pengukusan mi bertujuan
menyempurnakan gelatinisasi pati sehingga mi tidak hancur ketika dimasak
(Putra,2008).
23
Tabel 9. Perbandingan tepung jagung native dan tepung jagung HMT
yang dikukus
Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3
Tepung jagung HMT 0g 70 g 100 g
Tepung jagung native 700 g 630 g 600 g
Basis : 1 kg tepung, 70% bagian yang akan dikukus
Bagian tepung yang dikukus terlebih dahulu dicampurkan dengan guar gum,
air dan garam. Penambahan guar gum berfungsi sebagai pengikat komponen-
komponen dalam adonan, sedangkan fungsi garam adalah memberi rasa dan
memperkuat tekstur mi. Adonan yang telah dikukus kemudian dicampurkan
dengan bagian tepung yang tidak dikukus, dilanjutkan dengan penggilingan
menggunakan grinder sebanyak 2 kali.
Penggilingan sebanyak 2 kali ini bertujuan membuat adonan menjadi lebih
homogen. Selain itu, menurut Putra (2008) penggilingan ini dapat meningkatkan
gelatinisasi adonan. Setelah itu dilakukan proses sheeting untuk membentuk
lembaran dan dilanjutkan dengan pencetakan mi. Pengamatan sifat adonan
dilakukan saat sheeting dan pencetakan mi.
24
analisis secara organoleptik meliputi uji rating atribut kekerasan, kekenyalan dan
kelengketan mi setelah dimasak dengan panelis terlatih. Panelis terlatih diperoleh
melalui proses seleksi panelis dan pelatihan sehingga mampu membedakan atribut
kekerasan, kekenyalan dan kelengketan dari mi jagung.
25
Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk
mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak
yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak.
Satuan kedua parameter ini adalah gram Force (gF). Sedangkan kekenyalan
ditunjukkan dengan perbandingan luas area peak kedua dengan peak pertama.
Contoh kurva profil tekstur mi dapat dilihat pada Gambar 4.
26
direndam air dingin dan kemudian ditiriskan. Mi kemudian ditimbang dan
dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali.
KPAP dihitung dengan rumus berikut:
⎧ berat sampel setelah di ker ingkan ⎫
KPAP = 1 − ⎨ ⎬ × 100%
⎩ berat awal (1 − kadar air contoh) ⎭
27
Tabel 11. Sampel uji untuk identifikasi rasa dan aroma dasar
Jenis Uji Sampel Konsentrasi (%)
Identifikasi rasa dasar Larutan sukrosa 2.00
Larutan asam sitrat 0.04
Larutan garam 0.20
Larutan kafein 0.05
Larutan MSG 0.03
Identifikasi aroma dasar Tutti fruity 1.00
Mint 1.00
Orange 1.00
Meat 1.00
Nut 1.00
Calon panelis yang lolos seleksi menjadi kandidat panelis terlatih adalah
panelis yang dapat menjawab dengan benar sekurang-kurangnya 60 % untuk uji
segitiga dan 80 % untuk uji deskriptif rasa dasar (Meilgaard et al., 1999).
Selanjutnya panelis yang terpilih dalam kepentingan penelitian ini adalah yang
memiliki waktu dan motivasi tinggi dalam mengikuti tahap pelatihan secara
konsisten. Contoh format kuesioner uji-uji dalam seleksi panelis ini dapat dilihat
pada Lampiran 1.
28
b) Pelatihan Panelis Terlatih
Menurut Meilgaard et al. (1999), proses pelatihan panelis terlatih
membutuhkan waktu selama 40 hingga 120 jam. Semakin kompleks atribut yang
diujikan, maka waktu pelatihan panelis yang dibutuhkan juga akan semakin lama.
Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kepekaan sensori
panelis terhadap atribut rasa dan aroma, terutama yang terkait dengan kepentingan
penelitian. Tahapan ini terdiri dari pengenalan bahasa flavor, pengenalan skala,
dan pelatihan penilaian suatu sampel tertentu.
Setiap panelis diberikan latihan selang waktu tertentu secara berulang
sampai diperoleh hasil evaluasi sensori yang konsisten serta kesepakatan
mengenai istilah sensori tertentu. Latihan sensori ini meliputi pelatihan terhadap
atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi.
c) Uji Organoleptik
Uji organoleptik akan dilakukan dengan uji rating atribut kekerasan,
kelengketan dan kekenyalan pada mi jagung produk akhir oleh panelis terlatih. Uji
rating atribut dilakukan untuk melihat dan membandingkan hasilnya dengan
pengukuran menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2.
d) Analisis Data
Data-data pada penelitian ini diolah menggunakan uji statistik
nonparametrik, yaitu uji Mann-Whitney U/Wilcoxon. Uji Mann-Whitney
U/Wilcoxon digunakan untuk membandingkan dua mean/rata-rata populasi yang
berasal dari populasi yang sama dan menguji apakah berbeda nyata atau tidak
(Walpole, 1995).
29
substitusi HMT serta mi bakso untuk mi kering jagung native dan substitusi
HMT. Uji penerimaan konsumen ini dilakukan bekerjasama dengan pedagang mi
ayam dan mi bakso. Contoh kuisioner yang diberikan kepada konsumen dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Kuisioner uji penerimaan konsumen berisi pertanyaan mengenai identitas
responden, perilaku responden dalam mengkonsumsi mi, tingkat kesukaan
responden terhadap produk olahan mi jagung dan tingkat kesesuaian produk
olahan tersebut menurut responden. Berdasarkan data yang diperoleh dari
kuisioner, dapat terlihat bagaimana penerimaan responden terhadap mi jagung dan
tingkat kesesuaiannya terhadap produk olahan yang dicobakan. Sebelum
dilakukan uji penerimaan konsumen, responden terlebih dahulu diberikan bebrapa
penjelasan mengenai mi jagung, mengingat produk ini merupakan produk yang
relatif baru. Beberapa penjelasan tersebut antara lain bahwa mi jagung memiliki
perbedaan dengan mi terigu komersil dalam hal tekstur dan mi jagung memiliki
beberapa kelebihan, antara lain tidak menggunakan pewarna dan pengawet.
Pengisian kuisioner didampingi oleh peneliti, hal ini ditujukan agar responden
lebih mudah menerima penjelasan mengenai pertanyaan-pertanyaan dalam
kuisioner tersebut.
Metode penentuan lokasi pengambilan responden menggunakan metode
Non Probability Sampling (NPS), yaitu seleksi unsur populasi berdasarkan
pertimbangan peneliti. Metode NPS terdiri dari tiga jenis contoh, yaitu contoh
kemudahan (accidental sampling), pertimbangan (purposive sampling) dan quota
(Singarimbun dan Effendi, 1989). Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah metode purposive sampling. Responden yang dipilih adalah warga lingkar
kampus IPB yang pernah membeli atau mengkonsumsi mi serta yang sesuai
dengan target usia, jenis kelamin dan tingkat ekonomi yang telah ditentukan.
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
31
meningkat selama pemanasan. Teknik Heat Moisture Treatment (HMT)
merupakan teknik modifikasi pati secara fisik, yaitu dengan pemanasan di atas
suhu gelatinisasi bahan selama periode waktu tertentu dan pada kadar air yang
terkendali. Kondisi modifikasi tepung jagung berdasarkan hasil penelitian Lestari
(2009), yaitu pada suhu 110oC selama 6 jam dan pada kadar air 24%.
Grafik hasil pengukuran profil gelatinisasi tepung jagung native (alami atau
sebelum dimodifikasi) dan setelah dimodifikasi dapat dilihat pada Gambar 5,
sedangkan data profil gelatinisasi tertera pada Tabel 14. Pengukuran profil
gelatinisasi dilakukan dengan menggunakan alat Brabender Amilograph. Profil
gelatinisasi yang diamati antara lain suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum,
kestabilan viskositas selama pemanasan atau breakdown, dan perubahan
viskositas selama pendinginan atau setback. Konsentrasi padatan suspensi tepung
jagung untuk pengukuran profil gelatinisasi ini adalah 8,87% (b/v) untuk tepung
jagung native dan 9,01% (b/v) untuk tepung jagung HMT. Tabel 15.
Menunjukkan data profil gelatinisasi tepung jagung HMT pada penelitian Lestari
(2009). Konsentrasi padatan suspensi tepung jagung untuk pengukuran profil
gelatinisasi pada penelitian tersebut adalah 9,91% (b/b) untuk tepung jagung
native dan 10,01% (b/b) untuk tepung jagung HMT.
Terdapat perbedaan antara data profil gelatinisasi pada penelitian ini dan
penelitian yang dilakukan Lestari (2009), antara lain pada suhu awal gelatinisasi,
dan nilai setback. Suhu awal gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada
penelitian ini lebih rendah dan nilai setback pada penelitian ini mengalami
peningkatan, sedangkan pada penelitian yang dilakukan Lestari (2009) mengalami
penurunan.
Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu saat granula pati mulai menyerap
air, pada grafik profil gelatinisasi terlihat jika viskositas mulai meningkat. Suhu
awal gelatinisasi tepung jagung HMT (79,50oC) lebih tinggi daripada tepung
jagung native (74,25 oC). Hal ini menunjukkan bahwa tepung jagung HMT lebih
tahan terhadap panas, sehingga butuh suhu yang lebih tinggi untuk dapat
menggelatinisasi pati jagung tersebut. Takahashi et al (2005) menyatakan bahwa
proses modifikasi HMT akan menyebabkan pergeseran (peningkatan) suhu awal
gelatinisasi dan suhu gelatinisasi.
32
1400 100
1200 90
80
1000
Viskositas (BU) 70
800 60
Suhu ( C)
600 50
400 40
30
200 Viskositas HMT
20
0 Viskositas NATIVE
10
Suhu
-200 0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
Waktu (Menit)
Tabel 14. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT
Tepung Jagung Tepung Jagung
Data Profil Gelatinisasi
Native HMT
o
Suhu awal gelatinisasi ( C) 74,25 79,50
Waktu awal gelatinisasi (menit) 29,50 33,00
Viskositas maksimum (BU) 659,00 -
Suhu saat mencapai viskositas 93,75 -
maksimum (oC)
Viskositas pada 95oC (BU) 655,00 385,00
Viskositas setelah holding 20 menit 608,00 479,00
o
di 95 C (BU)
Viskositas pada 50 oC (BU) 970,00 910,00
Viskositas setelah holding 20 menit 1.280,00 1.075,00
di 50 oC (BU)
Breakdown (BU) 4,00 -
Setback (BU) 315,00 525,00
Keterangan : Breakdown (BU) = Perubahan viskositas selama pemanasan atau
Viskositas maksimum – Viskositas pada 95oC
Setback (BU) = Perubahan viskositas selama pendinginan atau
Viskositas pada 50 oC – Viskositas pada 95oC
Tabel 15. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada penelitian
Lestari (2009) menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA)
Tepung Jagung Tepung Jagung
Data Profil Gelatinisasi
Native HMT
o b
Suhu awal gelatinisasi ( C) 76.37 + 0.89 83.97 + 0.06 a
b
Waktu awal gelatinisasi (menit) 5.00 + 0.00 5.80 + 0.23 a
Viskositas maksimum (cP) 1334.00 + 15.59 a 636.00 + 81.41 b
a
Viskositas akhir (cP) 1835.33 + 30.60 771.00 + 95.26 b
a
Breakdown (cP) 362.00 + 20.78 26.67 + 12.70 b
Setback (cP) 863.00 + 35.80 a 161.67 + 26.56 b
33
Peningkatan ini terjadi karena selama proses modifikasi terbentuk ikatan
baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian amorpous dengan
amilopektin pada bagian kristalin, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru
yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi et al 2005). Terbentuknya
ikatan baru yang lebih kompleks ini diharapkan dapat meningkatkan kekompakan
mi jagung sehingga tidak mudah putus dan lebih elastis setelah direhidrasi.
Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa perlakuan modifikasi HMT
dapat menyebabkan peningkatan suhu awal gelatinisasi pada pati ubi jalar
(Collado et al 2001), pati jagung (Pukkahuta et al 2008), dan tepung beras
(Takahashi et al 2005). Terbentuknya formasi kristalin dengan struktur yang lebih
kuat dan rapat menyebabkan pati membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk
menyerap air. Menurut Jacobs et al (1998), bagian amorpous pati lebih mudah
menyerap air karena memiliki struktur yang lebih renggang.
Viskositas maksimum atau viskositas puncak menunjukkan kondisi
pengembangan maksimum granula pati yang selanjutnya akan pecah dan
menurunkan viskositas. Viskositas maksimum terlihat pada grafik profil
gelatinisasi, yaitu viskositas tertinggi sesaat sebelum mengalami penurunan
viskositas. Viskositas maksimum tepung jagung native sebesar 659,00 BU,
sedangkan pada tepung jagung HMT tidak terdapat viskositas maksimum. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan HMT pada tepung jagung menyebabkan
penurunan kemampuan pati untuk mengembang. Selain itu, dapat juga
mengindikasikan penurunan polimer yang lepas selama pemanasan. Berdasarkan
Newport Scientific (1998) yang dikutip oleh Beta dan Corke (2001), bahwa
viskositas maksimum mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki
korelasi negatif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah
polimer yang lepas.
Tepung jagung HMT tidak memiliki viskositas maksimum, sehingga dapat
diindikasikan bahwa pada produk akhir akan terjadi penurunan jumlah polimer
yang lepas. Hal ini terkait dengan parameter KPAP (Kehilangan Padatan Akibat
Pemasakan) pada produk mi jagung dan diharapkan dengan adanya substitusi
tepung jagung HMT dapat menurunkan KPAP mi jagung. Selain itu, diharapkan
34
pula terjadinya penurunan jumlah polimer yang lepas sehingga dapat menurunkan
kelengketan mi jagung yang dihasilkan.
Breakdown atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan
kestabilan pasta selama pemanasan, dimana semakin rendah breakdown maka
pasta yang terbentuk akan semakin stabil serhadap panas (Widaningrum dan
Purwani, 2006). Nilai Breakdown diperoleh dari viskositas maksimum dikurangi
viskositas pada suhu 95oC. Breakdown tepung jagung native sebesar 4,00 BU,
sedangkan tepung jagung HMT tidak memiliki breakdown.
Menurut Beta dan Corke (2001), breakdown memiliki korelasi positif
dengan kualitas fisik mi sorgum yang dihasilkan yaitu kehilangan padatan selama
pemasakan (KPAP). Nilai breakdown merupakan tingkat kestabilan granula
pati selama pemanasan (Beta dan Corke, 2001) sehingga dengan tidak
adanya nilai breakdown pada tepung jagung HMT diharapkan dapat
meningkatkan kekompakan serta meningkatkan elastisitas mi jagung. Tekstur mi
jagung yang kompak atau tidak hancur selama pemasakan diharapkan dapat
menghasilkan mi dengan KPAP dan kelengketan yang rendah dan lebih elastis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Collado dan Corke (1997) pada
pembuatan mi pati ubi jalar native, pati yang memiliki rasio stabilitas (viskositas
pada 95oC/viskositas pada 50 oC) lebih tinggi secara signifikan dan berkorelasi
tinggi terhadap tingkat kekerasan mi yang dimasak. Selain itu, mi yang dibuat dari
pati ubi jalar HMT menghasilkan produk mi yang tidak keras. Menurut Mestres et
al (1988), mi yang terbuat dari pati adalah pati yang teretrogradasi, sehingga pati
yang mengalami retrogradasi lebih cepat (ditunjukkan dengan nilai setback yang
tinggi) merupakan yang lebih baik untuk produk mi.
Viskositas setback menunjukkan tingkat kecenderungan proses retrogadasi
pasta pati. Menurut Winarno (2004), retrogradasi merupakan proses terbentuknya
jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu
sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula setelah pasta
didinginkan. Nilai setback yang semakin tinggi menunjukkan semakin tinggi
kecenderungan terjadinya retrogradasi. Nilai setback tepung jagung native sebesar
315,00 BU, sedangkan tepung jagung HMT sebesar 525,00 BU. Peningkatan nilai
ini diharapkan dapat memperbaiki karakteristik mi jagung yang disubstitusi
35
dengan tepung jagung HMT, yaitu pada atribut kekerasan. Substitusi tepung
jagung HMT diharapkan dapat menurunkan tingkat kekerasan mi jagung.
36
Tabel 16. Pengaruh rasio tepung jagung HMT yang dikukus terhadap kualitas
adonan
Rasio Adonan yang Dikukus Kualitas Adonan
Kontrol Pembentukan adonan agak lengket
(Mi jagung native) Lembaran adonan agak mudah patah
Pemotongan mi agak lengket pada alat
Hasil mi basah agak belum matang
Mi basah mudah putus
Formula 1 Pembentukan adonan tidak lengket
(Mi jagung HMT tidak dikukus) Penanganan adonan lebih mudah
Pemotongan mi tidak lengket
Adonan lebih elastis dari kontrol
Mi basah matang
Formula 2 Pembentukan adonan tidak lengket
(Mi jagung HMT sebagian dikukus) Penanganan adonan lebih mudah
Pemotongan mi tidak lengket
Adonan lebih elastis dari kontrol
Mi basah matang
Formula 3 Pembentukan adonan tidak lengket
(Mi jagung HMT dikukus) Penanganan adonan lebih mudah
Pemotongan mi sedikit lengket
Adonan lebih elastis dari kontrol
Mi basah matang
a b
c d
Gambar 6. Visualisasi mi basah jagung dengan variasi bagian adonan
yang dikukus [a] Kontrol (Mi jagung native); [b] Formula 1 (Mi
jagung HMT tidak dikukus); [c] Formula 2 (Mi jagung HMT
sebagian kukus); [d] Formula 3 (Mi jagung HMT dikukus)
37
Adonan mi jagung setelah disubstitusi tepung jagung HMT juga menjadi
lebih elastis dan tidak mudah retak. Peningkatan elastisitas dan kekompakan
adonan ini dipengaruhi oleh tepung jagung HMT karena selama proses modifikasi
terbentuk ikatan baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian kristalin
dengan amilopektin pada bagian amorpous, sehingga menghasilkan formasi
kristalin baru yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi et al 2005).
Selain rasio adonan yang dikukus, titik kritis lain pada proses pengukusan
adonan adalah waktu pengukusan. Tabel 17 menunjukkan pengaruh waktu
pengukusan terhadap sifat adonan yang diamati secara visual. Seperti telah
dipaparkan sebelumnya, bahwa pada pembuatan mi jagung 100%, waktu
pengukusan adonan dilakukan selama 15 menit. Setelah dilakukan pengukusan,
adonan dicampur dengan bagian adonan yang tidak dikukus, kemudian dilakukan
penggilingan dan dibentuk menjadi lembaran mi.
Pengukusan adonan bertujuan menggelatinisasi sebagian pati dan akan
membantu mengikat adonan serta mempermudah pembentukan lembaran mi
(Putra, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2008) menunjukkan
bahwa pengukusan adonan dilakukan selama 15 menit, apabila waktu pengukusan
lebih pendek akan membuat adonan menjadi mudah patah dan sebaliknya jika
waktu pengukusan lebih panjang akan membuat adonan menjadi lengket dan tidak
dapat dibuat lembaran.
38
Akan tetapi, substitusi tepung jagung HMT seperti terlihat pada Tabel 17,
memberikan pengaruh pada waktu pengukusan, yaitu waktu pengukusan adonan
menjadi lebih panjang dan adonan masih dapat ditangani serta dapat dibentuk
menjadi lembaran mi. Substitusi tepung jagung HMT ini memudahkan proses
produksi mi jagung, yaitu pengukusan adonan dapat dilakukan selama 14-16
menit. Waktu pengukusan adonan dapat lebih panjang karena proses modifikasi
HMT dapat mencegah penyerapan air lebih banyak dan adonan menjadi tidak
lengket walaupun waktu pengukusan menjadi lebih lama. Hal ini ditunjukkan
dengan karateristik tepung jagung HMT, seperti telah dipaparkan sebelumnya
memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi, sehingga lebih tahan terhadap
panas dan membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk dapat menggelatinisasi pati
jagung.
39
dan kelengketan mi. Gambar 7 menunjukkan nilai kekerasan mi basah jagung,
sedangkan Gambar 8 menunjukkan nilai kekerasan mi kering jagung. Seperti
terlihat pada kedua grafik tersebut, nilai kekerasan mi basah jagung dan mi kering
jagung mengalami penurunan setelah disubstitusi dengan tepung jagung HMT.
Nilai kekerasan mi basah jagung native sebesar 1307,75 gf menurun menjadi
1110,88 gf setelah disubstitusi dengan tepung jagung HMT. Begitu pula dengan
mi kering, sebelum disubstitusi dengan tepung jagung HMT, nilai kekerasannya
mencapai 2042,78 gf dan menurun menjadi 1605,33 gf setelah proses substitusi
dilakukan. Nilai kekerasan ini menurun secara nyata setelah diuji dengan uji
nonparametrik Mann Whitney U/Wilcoxon pada taraf signifikansi 0,05.
1307,75a
1110,88b
Nilai Kekerasan (gf)
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung
2042,78a
Nilai Kekerasan (gf)
2400 1605,33b
2000
1600
1200
800
400
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung
40
Penurunan nilai kekerasan ini dipengaruhi oleh karakteristik tepung jagung
yang telah dimodifikasi HMT. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Beta dan Corke (2001), nilai setback berkorelasi positif dengan tingkat kekerasan
mi pati sorgum. Nilai setback tepung jagung HMT seperti telah dipaparkan
sebelumnya pada karaterisasi tepung jagung HMT, telah mengalami peningkatan
sehingga substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan tingkat kekerasan mi
jagung. Selain itu, seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa menurut Mestres
et al (1988), pati yang mengalami retrogradasi lebih cepat (ditunjukkan dengan
nilai setback yang tinggi) merupakan yang lebih baik untuk produk mi dan mi
yang dibuat dari pati ubi jalar HMT menghasilkan produk mi yang tidak keras
(Collado dan Corke, 1997).
Mi jagung memiliki kelemahan pada teksturnya, yaitu rapuh (sebelum
direhidrasi, pada mi kering) dan kurang kenyal (setelah direhidrasi/dimasak, pada
mi basah dan mi kering). Hal ini disebabkan tepung jagung tidak memiliki protein
gluten yang dapat membentuk tekstur yang kompak dan menghasilkan produk mi
yang kenyal. Substitusi tepung jagung HMT ternyata memberikan pengaruh yang
positif dan nyata (α = 0,05) pada produk akhir mi jagung, baik basah maupun
kering yaitu peningkatan nilai kekenyalan, seperti terlihat pada Gambar 9 dan
Gambar 10. Mi basah jagung setelah disubstitusi tepung jagung HMT meningkat
nilai kekenyalannya dari 482,65 gf menjadi 612,39 gf. Begitu pula dengan mi
kering jagung, meningkat dari 450,61 gf menjadi 631,90 gf.
612,39b
Nilai Kekenyalan (gf)
700 482,65a
600
500
400
300
200
100
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung
41
631,90b
Gambar 10. Nilai kekenyalan mi kering jagung yang diukur dengan Texture
Analyzer
42
dapat menurunkan nilai kelengketan karena karateristiknya yang tidak memilki
viskositas maksimum, seperti yang dilaporkan Newport Scientific (1998) dan
dikutip oleh Beta dan Corke (2001), bahwa viskositas maksimum
mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki korelasi negatif dengan
kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas selama
pemanasan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya penurunan kelengketan
pada produk akhir mi jagung, karena semakin meningkatnya jumlah polimer yang
lepas dapat menimbulkan kelengketan di permukaan mi. Selain itu, nilai setback
yang meningkat menunjukkan retrogradasi lebih cepat terjadi sehingga
membentuk struktur mi yang lebih kuat dan kompak. Hal ini dapat mengurangi
kelengketan karena mencegah polimer-polimer lepas selama pemasakan. Data-
data nilai kekerasan, kekenyalan dan kelengketan yang diukur dengan Texture
Analyzer dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan hasil uji statistiknya dapat
dilihat pada Lampiran 4.
859,51a
Nilai Kelengketan (gf)
1000
648,24b
800
600
400
200
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung
1117,68a
Nilai Kelengketan (gf)
1200 748,70b
1000
800
600
400
200
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung
43
c. Analisis Persentase Elongasi
Gambar 13 dan 14 menunjukkan pengaruh substitusi tepung jagung HMT
terhadap persentase elongasi pada mi basah dan kering jagung. Baik pada ulangan
1 maupun ulangan 2, substitusi tepung jagung HMT memberikan perbedaan yang
nyata pada persentase elongasi mi jagung. Mi basah jagung memiliki rata-rata
elongasi sebesar 46,55% menjadi 69,69% jika disubstitusi dengan tepung jagung
HMT, dan mi kering jagung memiliki rata-rata elongasi sebesar 35,24% menjadi
60,44%. Lampiran 5 menunjukkan data-data nilai persentase elongasi, sedangkan
hasil uji statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 6.
69,69b
70 46,55a
60
Elongasi (%)
50
40
30
20
10
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung
60,44b
70
60 35,24a
Elongasi (%)
50
40
30
20
10
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung
44
dapat meningkatkan kekompakan serta meningkatkan elastisitas mi jagung. Selain
itu, proses modifikasi HMT menyebabkan terbentuknya ikatan baru yang lebih
kompleks antara amilosa pada bagian amorpous dengan amilopektin pada bagian
kristalin, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru yang memiliki ikatan lebih
kuat dan rapat (Takahashi et al 2005). Hal inilah yang mempengaruhi peningkatan
persentase elongasi mi jagung yang disubstitusi tepung jagung HMT.
10,28a
12 8,68b
10
KPAP (%)
8
6
4
2
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung
45
6,12a
7 4,72b
6
KPAP (%)
5
4
3
2
1
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung
35,00
30,00
25,00
KPAP (%)
y = 5,308x - 0,793
20,00 R² = 0,982
15,00 Kering Natif
10,00 y = 4,094x - 0,092 Kering HMT
5,00 R² = 0,962
0,00
3 6 9 12 15 18
Lama Pemasakan (menit)
46
2. Analisis Organoleptik Mi Jagung
a. Seleksi Panelis
Pemilihan panelis merupakan hal yang kritis dalam uji organoleptik. Seleksi
panelis merupakan tahap awal untuk menjaring panelis yang memiliki kepekaan
sensori yang baik untuk menguji hasil akhir mi jagung. Bagian awal seleksi
adalah prescreening questionnaire yang dilakukan dengan pengisian kuesioner.
Tujuannya adalah mendapatkan data kandidat panelis mencakup motivasi, waktu
luang, kesehatan dan kebiasaan makan.
Selanjutnya, dilakukan acuity test (uji ketepatan) yang terdiri dari empat
metode seleksi, yaitu: (1) identifikasi rasa dasar untuk mengetahui kemampuan
kandidat panelis dalam mengindentifikasi rasa dasar (manis, asam, asin, pahit, dan
umami), (2) identifikasi aroma dasar untuk mengetahui kemampuan kandidat
panelis dalam mendeskripsikan beberapa aroma dasar (tutti fruity,mint, orange,
meat dan nut), (3) uji ranking rasa dasar untuk mengetahui kemampuan kandidat
panelis dalam membedakan dan mengurutkan intensitas rasa dasar, dan (4) uji
segitiga untuk mengetahui kemampuan kandidat panelis dalam menentukan satu
sampel beda diantara tiga sampel yang disajikan. Seleksi panelis dilakukan
terhadap 40 orang mahasiswa.
Panelis dinyatakan lolos seleksi apabila menjawab dengan benar minimal
80% untuk identifikasi rasa dan aroma dasar, 100% untuk uji ranking, dan
minimal 60% untuk uji segitiga. Berdasarkan penilaian hasil pengujian
identifikasi rasa dan aroma dasar serta uji ranking, maka yang dinyatakan lolos
seleksi sebanyak 28 orang. Selanjutnya, 28 orang ini akan diseleksi dengan uji
segitiga. Uji segitiga ini dilakukan dengan beberapa set mi yang memiliki
perbedaan kekerasan dan kekenyalan. Uji segitiga dengan atribut kekerasan
dilakukan sebanyak 6 kali ulangan dan atribut kekenyalan sebanyak 9 kali
ulangan. Hal ini dilakukan untuk melihat konsistensi calon panelis dalam
membedakan atribut kekerasan dan kekenyalan produk mi.
Berdasarkan hasil penilaian, maka yang dinyatakan lolos seleksi uji segitiga
sebanyak 11 orang. Uji ini merupakan tahap akhir dari rangkaian seleksi panelis,
sehingga 11 orang yang terpilih merupakan calon panelis terlatih yang selanjutnya
akan dilakukan pelatihan panelis. Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan
47
meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap atribut kekerasan, kekenyalan
dan kelengketan mi. Performa 11 orang calon panelis terlatih selama seleksi
panelis dapat dilihat pada Lampiran 9. Contoh scoresheet rangkaian seleksi
panelis dapat dilihat pada Lampiran 1.
48
terigu D. Berdasarkan hasil diskusi para panelis, maka ditetapkan bahwa mi
kering terigu B merupakan reference untuk pengujian sampel. Hasil diskusi pada
pertemuan ketiga tersebut dapat dilihat pada Tabel 18.
Pertemuan keempat meliputi latihan skala pada scoresheet uji yang akan
digunakan untuk pengujian sampel mi jagung dan penentuan skala penilaian
terhadap reference. Latihan skala ini dilakukan dengan simulasi pengujian pada
booth yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi untuk menyamakan persepsi.
Scoresheet uji yang digunakan untuk latihan skala dapat dilihat pada Lampiran
10. Pertemuan kelima sampai pertemuan kedelapan merupakan ulangan dari
pertemuan keempat. Beberapa ulangan ini bertujuan melatih konsistensi panelis
sehingga mampu meningkatkan kepekaan panelis dalam membedakan atribut
tekstur yang diperlukan untuk kepentingan penelitian.
49
Berdasarkan hasil pengujian, panelis menilai kekerasan mi basah jagung
native pada skor 7,36 atau ”keras”, sedangkan mi basah jagung HMT dinilai oleh
panelis pada skor 5,36 atau ”agak keras/agak lunak”. Penurunan nilai kekerasan
ini menunjukkan perbedaan yang nyata (α=0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
substitusi tepung jagung HMT berpengaruh dalam mengurangi kekerasan mi
basah jagung.
Kekerasan mi kering jagung native dinilai oleh panelis pada skor 8,09 atau
berada diantara ”keras” dan ”sangat keras”, sedangkan mi kering jagung HMT
dinilai pada skor 6,82 atau berada diantara ”agak keras/agak lunak” dan ”keras”.
Nilai kekerasan mi kering jagung native dan mi kering jagung HMT memiliki
perbedaan yang nyata, sehingga dapat terlihat bahwa secara organoleptik
kekerasan mi jagung kering dapat dikurangi dengan substitusi tepung jagung
HMT. Grafik nilai kekerasan mi jagung dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19.
10 7,36a
Nilai Kekerasan
8 5,36b
6
4
2
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung
8,09a
10 6,82b
Nilai Kekerasan
8
6
4
2
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung
50
Atribut tekstur lain yang diuji adalah kekenyalan. Berdasarkan hasil
pengujian, nilai kekenyalan mi basah jagung native dan mi basah jagung HMT
menunjukkan perbedaan yang nyata. Skor mi basah jagung native dinilai pada
4,82 atau berada diantara ”tidak kenyal” dan ”agak kenyal/agak tidak kenyal”,
sedangkan mi basah jagung HMT dinilai pada 6,18 atau berada diantara ”agak
kenyal/agak tidak kenyal” dan ”kenyal”. Grafik nilai kekenyalan mi jagung dapat
dilihat pada Gambar 20 dan 21.
Hasil yang sama juga ditunjukkan pada mi kering jagung native dan mi
kering jagung HMT. Nilai kekenyalan mi kering jagung native berbeda nyata
dengan mi kering HMT. Skor mi kering jagung native dinilai oleh panelis pada
5,00 atau ”agak kenyal/agak tidak kenyal” dan mi kering jagung HMT pada 6,00
atau ”agak kenyal/agak tidak kenyal”. Substitusi tepung jagung HMT secara
organoleptik dinilai dapat meningkatkan kekenyalan mi jagung, baik basah
maupun kering.
6,18b
7 4,82a
Nilai Kekenyalan
6
5
4
3
2
1
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung
6,00b
7 5,00a
Nilai Kekenyalan
6
5
4
3
2
1
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung
51
Atribut tekstur yang juga dilakukan evaluasi secara organoleptik adalah
kelengketan mi. Sesuai dengan hasil kesepakatan tim panelis terlatih, kelengketan
mi dinilai dengan memperhatikan kelengketan antar mi, kelengketan pada tangan,
dan ketika dikunyah. Grafik nilai kelengketan mi jagung dapat dilihat pada
Gambar 22 dan 23.
6,36a
7 4,82b
Nilai Kelengketan
6
5
4
3
2
1
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung
5,45a
7 4,55b
Nilai Kelengketan
6
5
4
3
2
1
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung
52
tidak lengket”. Hasil tersebut menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung HMT
secara nyata dapat menurunkan kelengketan mi jagung.
Substitusi tepung jagung HMT pada mi kering jagung juga secara nyata
dapat menurunkan kelengketan mi. Mi kering jagung native dinilai oleh panelis
pada skor 5,45 atau ”agak lengket/agak tidak lengket”, sedangkan mi kering
jagung HMT dinilai pada skor 4,55 atau berada diantara ”tidak lengket” dan ”
agak lengket/agak tidak lengket”.
Hasil analisis fisik mi jagung, berupa atribut tekstur kekerasan, kekenyalan,
dan kelengketan baik secara objektif (pengukuran profil tekstur) maupun subjektif
(uji organoleptik) menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung HMT dapat
menurunkan nilai kekerasan, meningkatkan kekenyalan, dan menurunkan
kelengketan secara nyata (α=0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa substitusi
tepung jagung HMT berpengaruh positif terhadap kualitas mi jagung baik basah
maupun kering. Selanjutnya, mi basah dan mi kering jagung dilakukan uji
penerimaan konsumen untuk melihat bagaimana penerimaan konsumen terhadap
produk ini.
53
Rp 500.000-1.000.000 (41,71%). Secara rinci, data umum keseluruhan responden
dapat dilihat pada Lampiran 13.
57,14%
60
Jumlah Responden (%)
50
37,14%
40
30
20
4,00% 1,72%
10
0
< 2 kali 3-4 kali 5-7 kali > 7 kali
54
Lainnya
Pengganti 5% Kualitas/
pangan pokok Mutu mi
17% 35%
Harga
terjangkau Kemudahan
30% membeli
13%
74,86%
80
Jumlah Responden (%)
70
60
50
40
30
20 12,00% 9,71%
3,43%
10
0
Rasa Aroma Warna Tekstur
55
responden pernah mendengar atau mengenal mi jagung. Seperti terlihat pada
Gambar 27, sebanyak 66,29% dari 175 responden menyatakan bahwa belum
pernah mendengar atau mengetahui mi jagung. Hal ini karena mi jagung
merupakan produk baru dan belum tersosialisasi secara menyeluruh di
masyarakat. Akan tetapi, sebanyak 33.71% dari seluruh responden menyatakan
telah mengetahui mi jagung. Pengetahuan responden didapatkan dari pameran,
hasil penelitian serta sosialisasi yang telah dilakukan di lingkungan sekitar
kampus IPB, karena sebagian besar responden merupakan mahasiswa atau
masyarakat sekitar lingkar kampus IPB.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai penerimaan responden terhadap
produk olahan mi jagung, yaitu mi basah jagung diolah menjadi mi ayam dan mi
kering jagung diolah menjadi mi bakso. Responden diminta menilai tingkat
kesukaan terhadap produk olahan mi jagung yang disajikan serta tingkat
kesesuaian mi jagung yang diolah menjadi produk tersebut, memberikan pendapat
mengenai alternatif produk olahan lain yang sesuai untuk mi jagung, dan
memberikan pendapat apakah mi jagung ini dapat menggantikan mi terigu
komersil. Responden menilai secara terpisah produk olahan yang dibuat dari mi
basah jagung native, mi basah jagung HMT, mi kering jagung native, dan mi
kering jagung HMT. Hal ini dilakukan untuk dapat membandingkan bagaimana
tingkat penerimaan responden terhadap keempat jenis mi jagung tersebut.
66,29%
Jumlah Responden (%)
70
60
50 33,71%
40
30
20
10
0
Ya Tidak
56
a. Mi Basah Jagung pada Produk Mi Ayam
Tingkat kesukaan responden terhadap produk olahan mi basah jagung dapat
dilihat pada Gambar 28 dan Gambar 29. Gambar 28 menunjukkan tingkat
kesukaan responden pada produk olahan mi basah jagung native. Apabila
dibandingkan dengan tingkat kesukaan responden terhadap produk olahan mi
basah jagung HMT (Gambar 29), ternyata responden yang menyatakan “suka”
pada kedua jenis mi jauh lebih tinggi daripada responden yang menyatakan pada
level lebih rendah (”agak suka”, ”biasa saja”, ”agak tidak suka”, dan ”tidak
suka”). Akan tetapi, responden yang menyukai produk olahan mi basah jagung
native (69,12%) lebih banyak dibandingkan dengan mi basah jagung HMT (60%).
Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung HMT tidak banyak
mempengaruhi tingkat kesukaan pada mi basah jagung.
Agak tidak
Tidak suka
suka
1%
Biasa saja 3%
18%
Agak suka
9%
Suka
69%
Biasa saja
20%
57
Seperti terlihat pada Gambar 30, menurut sebagian besar responden
(93,98%) mi basah jagung sesuai apabila diolah menjadi mi ayam. Hanya
sebagian kecil dari responden yang menyatakan mi basah jagung tidak sesuai jika
diolah menjadi mi ayam, yaitu sebesar 6,02%. Selain menilai tingkat kesukaan
dan kesesuaian, responden juga diminta untuk memberikan pendapat mengenai
alternatif lain dalam mengolah mi jagung.
Seperti terlihat pada Gambar 31, mi basah jagung dapat diolah menjadi mi
goreng (39%), soto mi (35%), toge goreng (16%), dan lainnya seperti ifu mi dan
spageti (10%). Selain itu, sebagian besar responden (87,34%) menyatakan bahwa
mi basah jagung dapat digunakan sebagai alternatif pengganti mi terigu komersial,
seperti diilustrasikan pada Gambar 32.
93,98%
Jumlah Responden (%)
100
80
60
40
6,02%
20
0
Ya Tidak
Gambar 30. Tingkat kesesuaian mi basah jagung yang diolah menjadi mi ayam
Lainnya
10%
Soto mi
35%
Mi goreng
39%
Toge goreng
16%
Gambar 31. Alternatif produk olahan mi basah jagung menurut responden
58
87,34%
Biasa saja
38% Suka
43%
Agak suka
19%
Gambar 33. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering
jagung native pada produk olahan mi bakso
59
menyatakan “suka” lebih banyak daripada yang menyatakan tingkat kesukaannya
pada level yang lebih rendah (”agak suka”, ”biasa saja”, ”agak tidak suka”, dan
”tidak suka”). Responden yang menyatakan ”agak suka” sebanyak 21%, ”biasa
saja” sebanyak 17%, ”agak tidak suka” sebanyak 4%, dan sisanya sebanyak 3%
menyatakan ”tidak suka” .
Agak tidak
Tidak suka
suka
3%
4%
Biasa saja
17%
Suka
55%
Agak suka
21%
92,31%
Jumlah Responden (%)
100
80
60
40
7,69%
20
0
Ya Tidak
Gambar 35. Tingkat kesesuaian mi kering jagung yang diolah menjadi mi bakso
60
Seperti terlihat pada Gambar 36, mi kering jagung dapat diolah menjadi
soto mi (38%), mi goreng (34%), toge goreng (22%), dan lainnya seperti ifu mi
dan spageti (6%). Selain itu, sebagian besar responden (84,81%) menyatakan
bahwa mi kering jagung dapat digunakan sebagai alternatif pengganti mi terigu
komersial, seperti diilustrasikan pada Gambar 37.
Lainnya
6%
Soto mi
Mi goreng 38%
34%
Toge goreng
22%
Gambar 36. Alternatif lain untuk produk olahan mi kering jagung menurut
responden
84,81%
Jumlah Responden (%)
100
80
60
40 15,19%
20
0
Ya Tidak
61
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Modifikasi HMT (Heat Moisture Treatment) dapat mengubah sifat
gelatinisasi tepung jagung. Perubahan tersebut antara lain mempengaruhi suhu
awal gelatinisasi, viskositas maksimum, nilai breakdown dan setback. Suhu awal
gelatinisasi tepung jagung meningkat dari 74,25 oC menjadi 79,50oC. Viskositas
maksimum tepung jagung native sebesar 659,00 BU, sedangkan tepung jagung
HMT tidak memiliki viskositas maksimum. Breakdown tepung jagung native
sebesar 4,00 BU, sedangkan tepung jagung HMT tidak memiliki breakdown. Nilai
setback tepung jagung meningkat dari 315,00 BU menjadi 525,00 BU.
Substitusi tepung jagung HMT memudahkan proses pembentukan adonan,
adonan menjadi tidak lengket dan mudah dibentuk lembaran serta dicetak. Selain
itu, waktu pengukusan adonan menjadi lebih panjang, yaitu 14-16 menit.
Substitusi tepung jagung HMT juga meningkatkan kualitas mi basah jagung dan
mi kering jagung, baik diukur secara objektif maupun subjektif (organoleptik).
Secara objektif, substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan nilai kekerasan,
KPAP, dan kelengketan serta meningkatkan nilai kekenyalan dan persentase
elongasi mi jagung secara nyata (α=0,05). Secara subjektif (organoleptik),
substitusi tepung jagung HMT secara nyata (α=0,05) menurunkan nilai kekerasan
dan kelengketan, serta meningkatkan kekenyalan.
Uji penerimaan konsumen terhadap produk olahan mi jagung dilakukan oleh
responden sebanyak 175 orang. Responden yang menyukai produk olahan mi
basah jagung native (69,12%) lebih banyak dibandingkan dengan mi basah jagung
HMT (60%). Sebagian besar responden (93,98%) menyatakan bahwa mi basah
jagung sesuai apabila diolah menjadi mi ayam. Responden yang menyukai produk
olahan mi kering jagung native sebesar 43%, sedangkan responden yang
menyukai produk olahan mi kering jagung HMT sebesar 55%. Sebagian besar
responden (92,31%) menyatakan bahwa mi kering jagung sesuai apabila diolah
menjadi mi bakso. Sebagian besar responden menyatakan bahwa mi basah jagung
(87,34%) dan mi kering jagung (84,81%) dapat digunakan sebagai alternatif
pengganti mi terigu komersial.
62
B. SARAN
Akan lebih efisien apabila terdapat alat untuk melakukan modifikasi dengan
teknik HMT, karena diperlukan pengadukan setiap jam. Pada uji penerimaan
konsumen diperlukan pula informasi mengenai penerimaan konsumen pada
produk olahan yang lain, seperti soto mi dan mi goreng. Penelitian ini tidak
membandingkan dengan mi terigu komersil, untuk mengetahui posisi mi jagung
pada konsumen dan masyarakat diperlukan uji penerimaan konsumen dengan
membandingkan mi terigu komersil.
63
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2009. Harvested Area, Yield Rate, and Production of Maize
by Province (2009). www.bps.go.id. [12 Januari 2010].
Beta T dan H Corke. 2001. Noodle quality as related to sorghum starch properties.
Cereal Chemistry. 78(4): 417-420.
Budiyah. 2004. Pemanfaatan pati dan protein jagung (CGM) dalam pembuatan mi
jagung instan. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Collado LS, LB Mabesa, CG Oates, dan H Corke. 2001. Bihon type noodles from
heat moisture treated sweet potato starch. Journal of Food Science. 66:604-
609.
Effendi S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta.
64
Greenwood CT dan DN Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam: TR Muchtadi, P
Hariyadi, dan AB Azra (eds.). Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar
Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Harper JM. 1981. Extrusion of Foods vol I. CRC Press, Boca Roton, Florida.
Jugenheimer RW. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John
Willey and Sons, New York.
Inglett GE. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing
Company Inc., Westport, Connecticut.
Laztity R. 1996. The Chemistry of Cereal Protein, 2nd edition. CRC Press Inc.,
Boca Raton, Florida.
Lestari OA. 2009 Karakterisasi Sifat Fisiko-kimia dan Evaluasi Nilai Gizi
Biologis Mi Jagung Kering Yang Disubstitusi Tepung Jagung
Termodifikasi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
65
Lii CY dan Chang SM. 1981. Characterization of red bean (Phaseolus radiates
var. aurea) starch and its noodle quality. Di dalam : Collado LS, LB
Mabesa, CG Oates, dan H Corke. 2001. Bihon type noodles from heat
moisture treated sweet potato starch. Journal of Food Science. 66:604-609.
Putra SN. 2008. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mie Jagung dengan
Metode Kalendering. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
IPB. Bogor.
Shin S, Byun J, Kwan H, Park, dan Moon TW. 2004. Effect of Partial Acid
Hydrolysis and Heat_moisture Treatment on Formation of Resistant Tuber
Starch. Cer Chem. 81, 2 : 194.
66
Standar Nasional Indonesia. 1992. SNI 01-2987-1992 tentang Mi Basah. Dewan
Standardisasi Nasional.
Swinkels JJM. 1985. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam:
Beynum V dan JA Roels (eds). Starch Conversion Tehnology. Marcel
Dekker Inc., New York, Basel.
Walpole RE. 1995. Pengantar Statisika, edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
67
LAMPIRAN
67
Lampiran 1. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis
Lampiran 1a. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis untuk Identifikasi Rasa Dasar
Nama : ……………...
Tanggal : …………..
Petunjuk :
Berikut ini telah disediakan lima sampel larutan. Lakukan pencicipan satu per satu
dari kiri ke kanan. Ambil satu sendok sampel larutan, lalu tempatkan pada sendok
pencicip. Rasakan selama 5 detik, kemudian identifikasi rasa tersebut. Netralkan
mulut dengan air sebelum mencicipi sampel berikutnya.
68
Lampiran 1b. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis untuk Identifikasi Aroma Dasar
Nama : ……………...
Tanggal : …………..
Petunjuk :
Anda akan menerima 5 sampel flavor dalam botol. Lakukan penciuman satu per
satu sampel aroma dari kiri ke kanan satu per satu. Buka tutup botol sampel, lalu
kibaskan tangan Anda di bagian atas botol menuju hidung. Identifikasi dan
deskripsikan aroma yang tercium. Istirahatkan hidung Anda selama 30 detik
sebelum melakukan pengujian sampel berikutnya.
69
Lampiran 1c. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis untuk Uji Rangking Rasa Dasar
Nama : ……………...
Tanggal : …………..
Petunjuk :
Berikut ini telah disediakan 2 set sampel larutan. Lakukan pencicipan satu per satu
dari kiri ke kanan. Urutkan sampel-sampel tersebut berdasarkan intensitas
rasanya, dari yang paling tinggi intensitasnya (tulis angka 1 di bawah kolom
rangking) hingga yang paling rendah intensitasnya (tulis angka 4 di bawah kolom
rangking). Netralkan mulut dengan air sebelum mencicipi sampel berikutnya.
70
Lampiran 1d. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis untuk Uji Segitiga
UJI SEGITIGA
Nama :
No HP :
Petunjuk:
Berikut telah disediakan 3 sampel uji, yang terdiri dari 2 sampel sama dan
1sampel berbeda. Lakukan pencicipan (untuk atribut kekerasan) dan
perabaan/peregangan (untuk atribut kekenyalan) sampel secara berurutan dari
kiri ke kanan satu per satu. Kemudian identifikasi mana sampel yang berbeda.
Berikan tanda cheklist (V) didepan kode sampel berbeda.
Set 1
~ atribut kekerasan (mi terigu)
Set 2
~ atribut kekenyalan (kwetiau jagung)
71
Lampiran 2. Kuisioner Uji Penerimaan Konsumen pada Produk Olahan Mi
Jagung
Kuesioner
ANALISIS PENERIMAAN KONSUMEN
PRODUK MI JAGUNG OLAHAN
Petunjuk pengisian :
Responden diharapkan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di bawah
ini dengan cara memberi tanda silang (X) pada jawaban yang Anda pilih.
(Mohon diisi dengan lengkap)
72
5. Rata-rata pengeluaran pribadi Anda per bulan saat ini :
a. <Rp. 300.000
b. Rp. 300.000-Rp. 500.000
c. Rp. 500.000-Rp. 1.000.000
d. Rp. 1.000.000-Rp. 5.000.000
e. >Rp. 5.000.000
73
c. Biasa saja
d. Agak tidak suka
e. Tidak suka
3. Apa alasan Anda terhadap jawaban pertanyaan no.2 diatas ?
............................................................................................................
4. Menurut Anda, apakah mi jagung sesuai atau cocok bila diolah
menjadi produk ini ?
a. Ya
b. Tidak
5. Jika jawaban pertanyaan no. 4 adalah “Ya”, apakah mi jagung ini
dapat menggantikan jenis mi yang sudah ada (mi terigu) ?
a. Ya
b. Tidak
6. Jika jawaban pertanyaan no. 4 adalah “Tidak”, apa alasan Anda ?
………………………………………………………………………
7. Menurut Anda, apakah produk mi jagung ini cocok pula untuk
produk olahan lainnya, seperti di bawah ini (jawaban boleh lebih
dari 1) :
a. Soto mi
b. Toge goreng
c. Mi goreng
d. Lainnya, sebutkan ……
74
Lampiran 3. Data Hasil Analisis Fisik (Kekerasan, Kekenyalan dan Kelengketan)
Mi Jagung Diukur dengan Texture Analyzer
75
Lampiran 4. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Nilai Kekerasan,
Kekenyalan dan Kelengketan yang Diukur dengan Texture
Analyzer
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianB
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianK
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)
76
Lampiran 4b. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Nilai Kekenyalan
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianB
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianB
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)
77
Lampiran 4c. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Nilai Kelengketan
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianB
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianK
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)
78
Lampiran 5. Data Hasil Analisis Persentase Elongasi
79
Lampiran 6. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Persentase Elongasi
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
ElongasiB
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
ElongasiK
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)
80
Lampiran 7. Data Hasil Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan
(KPAP)
81
Lampiran 8. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Analisis Kehilangan
Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianB
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianK
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,323
Asymp. Sig. (2-tailed) ,020
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)
82
Lampiran 9. Performa 11 Calon Panelis Terlatih
83
Lampiran 10. Scoresheet Uji Organoleptik Mi Jagung
Produk : Mi jagung
Nama :……………. Tanggal :…………………
Petunjuk:
Dihadapan Anda terdapat beberapa contoh mi. Anda diminta untuk menilai
kekerasan, kekenyalan dan kelengketan masing-masing contoh. Untuk menilai
kekerasan dan kekenyalan kunyahlah contoh paling kiri terlebih dahulu.
Sedangkan untuk menilai kelengketan, gunakan tangan Anda untuk merasakan
kelengketan contoh dan lakukan juga pengamatan pada penampakan kelengketan
antar mi, kemudian lakukan penilaian dengan memberi tanda (√) pada nilai yang
Anda pilih.
Kekerasan
Kode Contoh
Penilaian
A B C D E
10
Sangat keras
9
8
Keras
7
Agak keras/ 6
Agak lunak 5
4
Lunak
3
2
Sangat lunak
1
84
Kekenyalan
Kode Contoh
Penilaian
A B C D E
10
Sangat kenyal
9
8
Kenyal
7
Agak kenyal/ 6
Agak tidak
5
kenyal
4
Tidak kenyal
3
Sangat tidak 2
kenyal 1
Kelengketan
Kode Contoh
Penilaian
A B C D E
10
Sangat lengket
9
8
Lengket
7
Agak lengket/ 6
Agak tidak
5
lengket
4
Tidak lengket
3
Sangat tidak 2
lengket 1
85
Lampiran 11. Data Hasil Uji Organoleptik dengan Panelis Terlatih
1 Basah Native 7 7 6
2 8 7 4
3 8 5 5
4 7 6 5
5 7 6 5
6 7 6 6
7 7 6 5
8 7 7 5
9 8 7 4
10 8 5 4
11 7 8 4
1 Basah HMT 6 6 6
2 7 6 7
3 7 4 5
4 6 5 6
5 4 4 6
6 4 4 7
7 6 3 7
8 3 6 5
9 3 6 6
10 6 4 7
11 7 5 6
86
1 Kering Native 8 5 6
2 9 5 4
3 7 5 5
4 7 5 5
5 7 6 5
6 8 6 4
7 8 6 7
8 8 5 5
9 9 5 4
10 10 6 5
11 8 6 5
1 Kering HMT 8 5 5
2 6 5 5
3 6 4 6
4 6 4 5
5 7 4 5
6 8 4 6
7 6 5 8
8 6 6 6
9 8 5 6
10 7 4 7
11 7 4 7
87
Lampiran 12. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Atribut Tekstur secara
Organoleptik
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianB
Mann-Whitney U 10,500
Wilcoxon W 76,500
Z -3,472
Asymp. Sig. (2-tailed) ,001
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,000(a)
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianK
Mann-Whitney U 21,000
Wilcoxon W 87,000
Z -2,703
Asymp. Sig. (2-tailed) ,007
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,008(a)
88
Lampiran 12b. Hasil Uji Lanjutan Atribut Tekstur Kekenyalan
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianB
Mann-Whitney U 14,000
Wilcoxon W 80,000
Z -3,174
Asymp. Sig. (2-tailed) ,002
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,001(a)
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianK
Mann-Whitney U 27,000
Wilcoxon W 93,000
Z -2,330
Asymp. Sig. (2-tailed) ,020
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,028(a)
89
Lampiran 12c. Hasil Uji Lanjutan Atribut Tekstur Kelengketan
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianB
Mann-Whitney U 18,000
Wilcoxon W 84,000
Z -2,885
Asymp. Sig. (2-tailed) ,004
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,004(a)
Mann-Whitney Test
Ranks
Test Statistics(b)
PenilaianK
Mann-Whitney U 20,500
Wilcoxon W 86,500
Z -2,820
Asymp. Sig. (2-tailed) ,005
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,007(a)
90
Lampiran 13. Data Umum Responden Uji Penerimaan Konsumen terhadap
Produk Olahan Mi Jagung
91