Anda di halaman 1dari 106

SKRIPSI

PERANAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI TERHADAP MUTU


DAN PENERIMAAN KONSUMEN MI JAGUNG

Oleh

ISNAINI INDRAWURI
F24052713

2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERANAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI TERHADAP MUTU
DAN PENERIMAAN KONSUMEN MI JAGUNG

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh

ISNAINI INDRAWURI
F24052713

2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan
Penerimaan Konsumen Mi Jagung
Nama : Isnaini Indrawuri
NIM : F24052713

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si.
NIP. 19680526 199303 1 004 NIP. 19610802 198703 2 002

Mengetahui,
Ketua Departemen ITP

Dr. Ir. Dahrul Syah


NIP. 19650814 199002 1 001

Tanggal Ujian : 5 Maret 2010


Isnaini Indrawuri. F24052713. Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap
Mutu dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung. Dibawah bimbingan: Feri
Kusnandar dan Nurheni Sri Palupi.

RINGKASAN

Mi jagung merupakan salah satu jenis produk yang ditujukan untuk dapat
mendukung program diversifikasi pangan. Jenis mi jagung yang telah
dikembangkan diantaranya adalah mi basah dan mi kering jagung yang dibuat dari
100% tepung jagung dengan teknologi kalendering/sheeting. Namun, penggunaan
tepung jagung 100% menghasilkan mi basah jagung yang keras, mudah putus, dan
kurang kenyal setelah direhidrasi dan mi kering jagung yang rapuh dan mudah
patah sebelum direhidrasi dan keras, mudah putus, kurang kenyal serta lengket
setelah direhidrasi. Penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki karakteristik mi
jagung dan pendekatan yang dilakukan adalah memodifikasi tepung jagung.
Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh modifikasi HMT terhadap
karakteristik tepung jagung, menentukan pengaruh substitusi tepung jagung HMT
terhadap kondisi proses pengukusan adonan dan kualitas mi jagung (basah dan
kering), dan mengevaluasi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk mi
jagung yang disubstitusi tepung jagung HMT. Penelitian ini dilakukan melalui
tiga tahapan, yaitu tahap modifikasi dan karakterisasi tepung jagung native serta
tepung jagung HMT, penentuan pengaruh substitusi tepung jagung HMT terhadap
kondisi proses pengukusan adonan dan kualitas mi jagung, dan uji penerimaan
konsumen terhadap produk akhir mi jagung.
Modifikasi tepung jagung HMT dilakukan pada kadar air terkendali (24%)
pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009). Modifikasi HMT (Heat Moisture
Treatment) dapat mengubah sifat gelatinisasi tepung jagung dari tipe B (viskositas
puncak sedang dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam)
menjadi tipe C (tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami
penurunan atau tidak memiliki nilai breakdown). Perubahan tersebut antara lain
peningkatan suhu awal gelatinisasi dari 74,25 oC menjadi 79,50oC, penurunan
viskositas maksimum tepung jagung dari 659,00 BU menjadi tidak ada,
penurunan nilai breakdown dari 4,00 BU menjadi tidak ada, dan peningkatan nilai
setback dari 315,00 BU menjadi 525,00 BU.
Substitusi tepung jagung HMT memudahkan proses pembentukan adonan,
adonan menjadi tidak lengket dan mudah dibentuk lembaran serta dicetak. Selain
itu, waktu pengukusan adonan menjadi lebih panjang, yaitu 14-16 menit.
Substitusi tepung jagung HMT juga meningkatkan kualitas mi basah jagung dan
mi kering jagung. Secara objektif, substitusi tepung jagung HMT dapat
menurunkan nilai kekerasan, KPAP, dan kelengketan serta meningkatkan nilai
kekenyalan dan persentase elongasi mi jagung secara nyata (α=0,05). Secara
subjektif (organoleptik), substitusi tepung jagung HMT secara nyata (α=0,05)
menurunkan nilai kekerasan dan kelengketan, serta meningkatkan kekenyalan.
Berdasarkan hasil uji penerimaan konsumen pada 175 orang responden, sebanyak
69,12% responden menyukai produk olahan mi basah jagung native dan sebanyak
60% menyukai produk olahan mi basah jagung HMT. Responden yang menyukai
produk olahan mi kering jagung native sebesar 43%, sedangkan responden yang
menyukai produk olahan mi kering jagung HMT sebesar 55%.
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama Isnaini Indrawuri, dilahirkan pada tanggal 30


April 1987 di Tegal dan merupakan putri pertama dari pasangan
Seto Sukaton dan Latifah. Penulis menempuh pendidikan di TK
Tunas Patria (1992-1993), pendidikan dasar di SDN 03 pagi
Balekambang, Jakarta Timur (1993-1999), pendidikan
menengah pertama di SLTPN 3 Cibinong (1999-2002), dan pendidikan menengah
atas di SMUN 3 Bogor (2002-2005).
Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Insitut
Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur USMI. Selama menempuh
pendidikan di IPB penulis aktif sebagai pengurus Koperasi Mahasiswa (2006-
2008) dan pengurus HIMITEPA (2006-2008). Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan
2007, Ice Cream Day 2005, 2006 dan 2007 merupakan diantara kegiatan yang
pernah diikuti penulis dalam kegiatan kepanitiaan. Seminar dan training yang
penah penulis ikuti antara lain Seminar “Menuju Ketahanan Pangan yang Kokoh”
oleh SEAFAST CENTER-IPB tahun 2008, Training Sistem Manajemen Halal
tahun 2008, Seminar Nasional “Food Safety, Quality, and Nutrition for The Best
Future” tahun 2007, dan “Peluang Karir dan Prospek Bisnis di Lembaga
Penddidikan” tahun 2006.
Selama masa kuliah, penulis mendapatkan beasiswa dari BPOM pada tahun
2006 dan 2007 serta beasiswa Tanoto Foundation tahun 2007-2009. Penulis juga
pernah menjadi asisten pelatih proses pembuatan mi jagung dan untuk UKM yang
diselenggarakan oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST
Center untuk program Rusnas Diversifikasi Pangan serta pernah menjadi
koordinator proses produksi rutin mi jagung pada tahun 2009.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian
dengan Judul “Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan
Penerimaan Konsumen Mi Jagung” di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar,
M.Sc dan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur, tak henti penulis panjatkan hanya ke hadirat Allah
SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan
Penerimaan Konsumen Mi Jagung”. Shalawat dan Salam semoga selalu
tercurahkan pula kepada junjungan Nabi Besar, Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis
baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis,
terutama kepada :
1. Bapak dan Ibu tercinta, yang selalu sabar dalam mendidik penulis menjadi
manusia yang berguna. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi dan doa
untuk penulis. Untuk saudara-saudara tersayang; Srini Larasati dan Dipo
Suwandono terima kasih atas kasih sayang, dukungan, dan kehangatan
keluarga yang indah.
2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc sebagai dosen pembimbing, atas kesabaran,
nasihat, motivasi serta segala pelajaran hidup yang telah diberikan kepada
penulis selama 3 tahun ini.
3. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si selaku dosen pembimbing II yang selalu
memberikan masukan-masukan hingga terselesaikannya skripsi ini serta
kelembutan dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.
4. Elvira Syamsir, STP, M.Si selaku dosen penguji, atas saran-saran yang
membangun serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
5. Seluruh Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis, serta
laboran-laboran ITP dan Seafast Center (Bu Sri, Bu Rub, Pak Rojak, Pak
Ilyas dan Pak Jun) yang banyak membantu penulis dalam melakukan
penelitian.
6. Andhika Prima Prasetyo, S.Pi atas kasih sayang, doa, dukungan, dorongan
dan semangat yang diberikan kepada penulis.

i
7. Teman-teman se-bimbingan, Indri, Juju dan Ka Gema, atas kebersamaan,
dukungan dan kerja sama yang indah.
8. Teman-teman terbaik, terutama Anggun, Cany, Esther, Dina, Tuti, Olo,
Siyam, Sina, Irene, Midun, Riska, Arya, Fahmi, Wiwiw, Kamlit dan seluruh
keluarga besar ITP 42. Semoga kebersamaan selama 3 tahun ini tidak lekang
dimakan waktu.
9. Teman-teman tercinta, Miva, Tara, Mega, dan Asih. Terima kasih atas
dorongan semangat dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.
10. Para Panelis terlatihku, Tsani, Safie, Victor, Sandra, Angga, Weje, Wahyu,
Dilla, Fitri, Stella, dan Bintang atas bantuan dan kerjasama yang baik.
11. Teman-teman tim produksi mi jagung, atas kebersamaan dan kerjasama yang
baik.
12. Teman-teman ITP 43 yang memberikan keceriaan dan kebersaman yang
indah.
13. Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan
terima kasih, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah
kalian berikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2010

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR TABEL ....................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... ix
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Tujuan Penelitian............................................................................... 3
C. Manfaat Penelitian ............................................................................ 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 4


A. Jagung ............................................................................................... 4
1. Tanaman Jagung .......................................................................... 4
2. Komposisi Kimia Jagung ............................................................. 5
3. Jagung P-21 (Pioneer-21) ............................................................ 6
B. Pati Jagung ........................................................................................ 7
C. Tepung Jagung .................................................................................. 9
D. Gelatinisasi ........................................................................................ 9
1. Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi ............................................ 9
2. Suhu Gelatinisasi ........................................................................ 11
3. Sifat Birefringence....................................................................... 11
E. Modifikasi Pati Metode Heat Moisture Treatment ............................. 12
F. Mi .................................................................................................... 13
1. Mi Basah .................................................................................... 13
2. Mi Kering ................................................................................... 14
3. Mi Jagung ................................................................................... 15

iii
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 18
A. Bahan dan Alat ................................................................................. 18
B. Metode Penelitian ............................................................................. 18
1. Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT
serta Karakterisasi Tepung Jagung Native dan
Tepung Jagung Termodifikasi HMT ............................................ 18
a. Proses Penepungan Jagung .................................................... 19
b. Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT .................. 19
c. Analisis Profil Gelatinisasi ..................................................... 20
2. Penentuan Kondisi Proses Pengukusan Adonan
terhadap Kualitas Mi Jagung ....................................................... 21
a. Pengaplikasian Tepung Jagung HMT pada
Pembuatan Mi Jagung ........................................................... 21
b. Penentuan Jumlah Tepung Jagung HMT yang akan
Dikukus pada Pengukusan Adonan ....................................... 23
c. Penentuan RentangWaktu Pengukusan Adonan .................... 24
3. Uji Penerimaan Konsumen terhadap Produk
Olahan Mi Jagung ........................................................................ 29

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 31


A. Karakteristik Tepung Jagung HMT ................................................... 31
B. Pengaruh Pengukusan Adonan terhadap Kualitas Mi Jagung ............. 36
1. Analisis Sifat Fisik Mi Jagung .................................................... 39
a. Waktu Pemasakan Optimum ................................................. 39
b. Analisis Profil Tekstur ........................................................... 39
c. Analisis Presentase Elongasi .................................................. 44
d. Analisis KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) ....... 45
2. Analisis Organoleptik Mi Jagung ................................................. 47
a. Seleksi Panelis ....................................................................... 47
b. Pelatihan Panelis Terlatih ...................................................... 48
c. Uji Organoleptik Mi Jagung .................................................. 49
C. Penerimaan Konsumen terhadap Produk Olahan Mi Jagung .............. 53
1. Data Umum Responden .............................................................. 53
2. Perilaku Konsumsi Mi Responden ............................................... 54
3. Penerimaan Responden terhadap Produk Olahan Mi Jagung ........ 55

iv
a. Mi Basah Jagung pada Produk Mi Ayam .............................. 57
b. Mi Kering Jagung pada Produk Mi Bakso ............................. 59

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 62


A. Kesimpulan ...................................................................................... 62
B. Saran ................................................................................................. 63

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 64


LAMPIRAN ................................................................................................ 68

v
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung ............................................. 4
Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung ........................................ 5
Tabel 3. Hasil analisis proksimat dan kadar pati tepung jagung P-21 ........ 7
Tabel 4. Karakteristik granula pati ........................................................... 8
Tabel 5. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati .......................................... 11
Tabel 6. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-19 .......................... 14
Tabel 7. Syarat mutu mi kering menurut SNI 01-2974-1996 ..................... 15
Tabel 8. Penentuan waktu optimum pengukusan adonan pada suhu 90oC . 17
Tabel 9. Perbandingan tepung jagung native dan tepung jagung HMT
yang dikukus .............................................................................. 24
Tabel 10. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA
(Texture Profile Analysis) ........................................................... 25
Tabel 11. Sampel uji untuk identifikasi rasa dan aroma dasar .................... 28
Tabel 12. Sampel untuk uji ranking ............................................................ 28
Tabel 13. Sampel untuk uji segitiga ........................................................... 28
Tabel 14. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT .............. 33
Tabel 15. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT
pada penelitian Lestari (2009) menggunakan Rapid Visco
Analyzer (RVA) .......................................................................... 33
Tabel 16. Pengaruh rasio tepung jagung HMT yang dikukus
terhadap kualitas adonan ........................................................... 37
Tabel 17. Pengaruh waktu pengukusan terhadap sifat adonan .................... 38
Tabel 18. Hasil diskusi pertemuan ketiga pada pelatihan panelis ............... 49

vi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) ............................. 10
Gambar 2. Pembuatan tepung jagung teknik kering ................................... 20
Gambar 3. Proses pembuatan mi jagung metode sheeting ......................... 22
Gambar 4. Kurva profil tekstur mi ............................................................ 26
Gambar 5. Profil gelanitisasi tepung jagung native dan HMT .................... 33
Gambar 6. Visualisasi mi basah jagung dengan variasi bagian
adonan yang dikukus [a] Kontrol (Mi jagung native);
[b] Formula 1 (Mi jagung HMT tidak dikukus);
[c] Formula 2 (Mi jagung HMT sebagian kukus);
[d] Formula 3 (Mi jagung HMT dikukus) ................................ 37
Gambar 7. Nilai kekerasan mi basah jagung yang diukur dengan
Texture Analyzer ..................................................................... 40
Gambar 8. Nilai kekerasan mi kering jagung yang diukur dengan
Texture Analyzer ...................................................................... 40
Gambar 9. Nilai kekenyalan mi basah jagung yang diukur dengan
Texture Analyzer ..................................................................... 41
Gambar 10. Nilai kekenyalan mi kering jagung yang diukur dengan
Texture Analyzer ..................................................................... 42
Gambar 11. Nilai kelengketan mi basah jagung yang diukur dengan
Texture Analyzer ..................................................................... 43
Gambar 12. Nilai kelengketan mi kering jagung yang diukur dengan
Texture Analyzer ..................................................................... 43
Gambar 13. Persen elongasi mi basah jagung .............................................. 44
Gambar 14. Persen elongasi mi kering jagung ............................................. 44
Gambar 15. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
mi basah jagung ....................................................................... 45
Gambar 16. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
mi kering jagung ...................................................................... 46
Gambar 17. Hubungan antara kehilangan padatan akibat pemasakan
(KPAP) dan lama waktu pemasakan mi kering jagung ............. 46
Gambar 18. Nilai kekerasan mi basah jagung secara organoleptik ............... 50
Gambar 19. Nilai kekerasan mi kering jagung secara organoleptik .............. 50
Gambar 20. Nilai kekenyalan mi basah jagung secara organoleptik ............. 51
Gambar 21. Nilai kekenyalan mi kering jagung secara organoleptik ........... 51

vii
Gambar 22. Nilai kelengketan mi basah jagung secara organoleptik ........... 52
Gambar 23. Nilai kelengketan mi kering jagung secara organoleptik .......... 52
Gambar 24. Frekuensi konsumsi mi responden per minggu ......................... 54
Gambar 25. Faktor penentu konsumsi mi .................................................... 55
Gambar 26. Atribut mutu mi yang penting menurut responden ................... 55
Gambar 27. Pengetahuan responen terhadap mi jagung ............................... 56
Gambar 28. Tingkat kesukaan responden terhadap mi basah jagung
native pada produk olahan mi ayam ........................................ 57
Gambar 29. Tingkat kesukaan responden terhadap mi basah jagung
HMT pada produk olahan mi ayam ......................................... 57
Gambar 30. Tingkat kesesuaian mi basah jagung yang diolah
menjadi mi ayam .................................................................... 58
Gambar 31. Alternatif lain untuk produk olahan mi basah jagung menurut
responden ................................................................................ 58
Gambar 32. Tingkat kesesuaian mi basah jagung sebagai alternatif
mi terigu komersial .................................................................. 59
Gambar 33. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering jagung
native pada produk olahan mi bakso ........................................ 59
Gambar 34. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering jagung
HMT pada produk olahan mi bakso ......................................... 60
Gambar 35. Tingkat kesesuaian mi kering jagung yang diolah
menjadi mi bakso .................................................................... 60
Gambar 36. Alternatif lain untuk produk olahan mi kering jagung menurut
responden ................................................................................ 61
Gambar 37. Tingkat kesesuaian mi kering jagung sebagai alternatif
mi terigu komersial .................................................................. 61

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis ......................................... 68
Lampiran 2. Kuisioner Uji Penerimaan Konsumen pada Produk Olahan
Mi Jagung ............................................................................. 72
Lampiran 3. Data Hasil Analisis Fisik (Kekerasan, Kekenyalan dan
Kelengketan) Mi Jagung Diukur dengan Texture Analyzer ..... 75
Lampiran 4. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Nilai Kekerasan,
Kekenyalan dan Kelengketan yang Diukur dengan Texture
Analyzer ................................................................................. 76
Lampiran 5. Data Hasil Analisis Persentase Elongasi ................................. 79
Lampiran 6. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Persentase
Elongasi ................................................................................ 80
Lampiran 7. Data Hasil Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan
(KPAP) ................................................................................. 81
Lampiran 8. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Analisis Kehilangan
Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) ....................................... 82
Lampiran 9. Performa 11 Calon Panelis Terlatih ....................................... 83
Lampiran 10. Scoresheet Uji Organoleptik Mi Jagung ................................. 84
Lampiran 11. Data Hasil Uji Organoleptik dengan Panelis Terlatih ............. 86
Lampiran 12. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Atribut Tekstur
secara Organoleptik ............................................................... 88
Lampiran 13. Data Umum Responden Uji Penerimaan Konsumen terhadap
Produk Olahan Mi Jagung ..................................................... 91

ix
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki potensi besar dalam produksi komoditi jagung. Menurut
data Badan Pusat Statistik, produksi jagung secara nasional mengalami
peningkatan setiap tahunnya bahkan mencapai 17 juta ton pada tahun 2009 (BPS,
2009). Oleh karena itu, komoditi jagung perlu mendapat perhatian dalam
pemanfaatannya. Salah satu potensi pemanfaatan komoditas jagung adalah
sebagai bahan baku dalam pengolahan mi. Berdasarkan hasil kajian preferensi
konsumen, mi merupakan produk pangan yang paling banyak dikonsumsi oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia, baik sebagai makanan sarapan maupun
sebagai makanan selingan (Juniawati, 2003). Bahkan pada sebagian golongan
masyarakat, mi tidak lagi dijadikan sebagai sumber makanan pokok, tetapi juga
digunakan sebagai lauk pauk.
Pemanfaatan bahan baku tepung jagung dalam pengolahan mi perlu
dilakukan pengembangan. Tepung jagung rendah akan gluten, sehingga tidak
mampu membuat tekstur yang elastis dan kompak seperti mi gandum atau mi
terigu. Oleh karena itu, untuk memperbaiki karakteristik fisik dan organoleptik mi
berbahan dasar tepung jagung dapat dilakukan dengan mengubah karakteristik
fisik tepung jagung tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah
dengan memperbaiki sifat gelatinisasinya.
Pati serealia memiliki profil gelatinisasi tipe B yang ditandai dengan
viskositas puncak yang tinggi dan kestabilan viskositas terhadap panas yang
rendah (Collado et al, 2001). Menurut Lii dan Chang (1981) didalam Collado et al
(2001), pati yang ideal untuk dibuat menjadi produk mi adalah pati yang memiliki
pengembangan dan solubility yang terbatas dan memiliki profil gelatinisasi tipe C.
Selain itu, menurut Chen et al (2003), karakteristik pati yang baik untuk
diaplikasikan menjadi produk mi adalah pati dengan viskositas puncak yang
rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami
peningkatan selama pemanasan serta memiliki viskositas yang tinggi pada suhu
rendah (Tam et al, 2004). Mi yang dihasilkan dari pati dengan karakteristik
tersebut memiliki nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang

1
rendah, untaian mi yang kompak dan elastis serta kelengketan yang rendah
(Purwani et al, 2006).
Oleh karena itu, modifikasi tepung jagung merupakan alternatif dalam
memperbaiki kualitas mi jagung. Proses modifikasi diharapkan dapat
memperbaiki sifat gelatinisasi tepung jagung dengan meningkatan kestabilan
viskositas terhadap panas (breakdown) yang diharapkan dapat meningkatkan
kekenyalan, menurunkan kelengketan, dan menurunkan nilai KPAP (kehilangan
padatan akibat pemasakan), sedangkan peningkatan nilai setback diharapkan dapat
menurunkan tingkat kekerasan mi jagung. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Beta dan Corke (2001), menunjukkan bahwa peningkatan kestabilan viskositas
terhadap panas berkolerasi negatif dengan KPAP.
Teknik modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) dipilih karena
prosesnya relatif murah, aman dan sederhana. Modifikasi dalam bentuk tepung
dilakukan dengan pertimbangan bahwa tepung jagung lebih mudah untuk
diaplikasikan. Modifikasi tepung jagung HMT dapat dilakukan pada kadar air
terkendali (24%) pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009).
Penelitian mengenai mi jagung telah banyak dilakukan, baik mi basah
maupun mi kering. Namun, kebanyakan hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa mi jagung masih belum dapat menggunakan 100% tepung jagung. Hal
tersebut adalah karena karakteristik tepung jagung sendiri yang rendah protein
gliadin dan glutelin (gluten) sebagai pembentuk struktur mi (Fennema, 1996),
seperti telah dikemukakan di atas. Selain itu, belum pernah dilakukan uji
konsumen mengenai penerimaan produk mi jagung. Oleh karena itu, pada
penelitian ini dipelajari bagaimana penerimaan konsumen terhadap produk mi
jagung melalui uji penerimaan konsumen.
Pembuatan mi jagung 100% membutuhkan tambahan proses yaitu
pengukusan sebagian adonan sebelum dilakukan pencetakan. Penelitian ini
mempelajari bagaimana pengaruh penggunaan tepung jagung yang dimodifikasi
dengan metode HMT pada produk akhir mi jagung, baik mi basah maupun mi
kering. Selain itu, dilihat pula apakah penggunaan tepung jagung HMT
berpengaruh pada kondisi pengukusan adonan yang akan menggelatinisasi
sebagian pati. Waktu pengukusan adonan yang optimum adalah selama 15 menit

2
(Putra, 2008) dengan menggunakan tepung jagung native dan pada penelitian ini
diamati apakah substitusi tepung jagung HMT mempengaruhi waktu pengukusan.
Penelitian mengenai penggunaan tepung jagung HMT pada mi jagung juga
telah dilakukan oleh Lestari (2009). Lestari (2009) mencampur tepung jagung
HMT dengan tepung jagung native terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian
adonan yang akan dikukus dan yang tidak dikukus. Penelitian ini menggunakan
variasi jumlah tepung jagung HMT yang akan dikukus, yaitu seluruhnya dikukus,
sebagian atau dicampur terlebih dahulu baru dilakukan pembagian adonan dan
tidak dikukus atau dicampurkan pada bagian tepung yang tidak dikukus. Hal ini
ditujukan agar diketahui bagaimana pengaruh jumlah tepung jagung HMT yang
dikukus dapat mempengaruhi adonan mi serta pengaruhnya pada proses
selanjutnya (pembentukan lembaran/sheeting dan pencetakan/slitting) dan pada
produk akhir mi jagung.

B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menentukan pengaruh modifikasi HMT terhadap karakteristik tepung
jagung.
2. Menentukan pengaruh substitusi tepung jagung HMT terhadap kondisi
proses pengukusan adonan dan kualitas mi jagung (basah dan kering).
3. Mengevaluasi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk mi jagung.

C. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan dalam
pembuatan mi jagung menggunakan teknologi kalendering atau sheeting.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAGUNG
1. Tanaman Jagung
Jagung (Zea mays L.) termasuk ke dalam famili Gramineae (rumput-
rumputan) dan genus Zea. Tanaman ini merupakan tumbuhan semusim (annual)
dan termasuk tanaman berumah satu (monoecioes). Sistem perakarannya serabut,
menyebar ke samping dan ke bawah. Klasifikasi ilmiah atau nomenklatur tanaman
jagung, yaitu kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, ordo
Poales, family Poaceae, dan genus Zea.
Menurut Effendi dan Sulistiati (1991), tongkol jagung merupakan gudang
penyimpanan cadangan makanan. Tongkol ini bukan hanya tempat pembentukan
lembaga tetapi juga merupakan tempat menyimpan pati, protein, minyak/lemak,
dan zat-zat lain untuk persediaan makanan dan pertumbuhan biji. Panjang tongkol
bervariasi antara 8 sampai 42 cm dan biasanya dalam satu tongkol mengandung
sekitar 300 sampai 1000 biji jagung.
Bentuk biji jagung berbeda-beda tergantung varietasnya. Warna biji jagung
juga bervariasi dari putih sampai kuning. Daerah-daerah penghasil utama tanaman
jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Madura, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
Khusus daerah Jawa Timur dan Madura, tanaman ini dibudidayakan cukup
intensif, karena selain tanah dan iklimnya sangat mendukung, di daerah tersebut,
khususnya Madura, jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok
(Warisno, 1998). Secara anatomi, jagung terdiri dari empat bagian pokok, yaitu
kulit (perikarp), endosperma, lembaga, dan tudung pangkal biji (tipcap).
Presentase bagian-bagian anatomi biji jagung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung


Bagian Anatomi Jumlah (%)
Pericarp 5
Endosperma 82
Lembaga 12
Tipcap 1
Sumber: Inglett, 1970

4
2. Komposisi Kimia Jagung
Komposisi kimia jagung bervariasi bergantung pada varietas, cara
penanaman, iklim, dan tingkat kematangan. Kandungan gizi utama yang terdapat
pada biji jagung adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Komposisi kimia rata-rata
biji jagung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung


Jumlah (%)
Komponen
Pati Protein Lemak Serat Lain-lain
Endosperm 86,4 8,0 0,8 3,2 0,4
Lembaga 8,0 18,4 33,2 14,0 26,4
Kulit 7,3 3,7 1,0 83,6 4,4
Tip cap 5,3 9,1 3,8 77,7 4,1
Sumber : Johnson (1991)

Menurut Johnson (1991), komponen kimia terbesar dalam biji jagung adalah
karbohidrat (72% dari berat biji) yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas
terdapat pada bagian endosperma. Endosperma matang terdiri dari 86% pati dan
sekitar 1% gula. Pati terdiri dari dua polimer glucan, yaitu amilosa dan
amilopektin. Secara umum, pati jagung mengandung amilosa sekitar 25-30% dan
amilopektin sekitar 70-75%.
Gula dalam biji jagung terdapat dalam bentuk monosakarida (D-glukosa dan
D-fruktosa), disakarida dan trisakarida, serta gula alkohol. Sukrosa merupakan
disakarida terbanyak dalam biji jagung (2-3 mg per endosperma). Sedangkan
maltosa, trisakarida, dan oligosakarida terdapat dalam jumlah sedikit. Adapun
phytate (hexaphosphoric ester dari myo-inositol) diketahui sebagai satu-satunya
gula alkohol yang terdapat dalam biji jagung. Sekitar 90% phytate ditemukan di
dalam skutelum dan 10%-nya terdapat di dalam aleuron (Johnson, 1991).
Jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya bergantung pada
umur dan varietas. Kandungan lemak dan protein pada jagung muda lebih rendah
dibandingkan dengan jagung tua. Selain lemak dan protein, jagung juga
mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati, serat kasar, dan pentosa (Muchtadi
dan Sugiyono, 1989).
Menurut Inglett (1970), jagung yang mengandung protein tinggi cenderung
memiliki butir kernel yang kecil dengan kandungan endosperm keras yang

5
banyak. Protein yang terkandung pada jagung mencapai 10% dari biji utuh.
Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin.
Zein merupakan protein dengan bobot molekul rendah yang larut pada
etilalkohol dan alkohol-alkohol tertentu seperti isopropanol. Zein memiliki dua
jenis komponen yaitu α–zein (larut pada 95% etanol) dan β–zein (larut dalam 60%
etanol). Zein memiliki komposisi asam amino yang tinggi kandungan asam
glutamat, prolin, leusin, dan alanin. Namun, rendah pada kandungan lisin,
triptofan, histidin dan metionin (Laztity, 1996).
Glutelin merupakan protein berberat molekul tinggi yang larut dalam alkali.
Fraksi glutelin merupakan protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi
protein larut garam dan alkohol (zein). Fraksi glutelin juga terdiri dari beberapa
protein struktural seperti protein membran atau protein kompleks dinding sel.
Glutelin memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang
lebih tinggi daripada zein tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah
(Laztity, 1986).
Protein gluten yang terdapat pada tepung terigu memiliki keistimewaan,
yaitu dapat membentuk adonan yang viskoelastis, sifat ini juga didukung oleh
struktur protein gandum yang unik, ikatan-ikatan seta interaksi yang terdapat
didalamnya (Fennema, 1996). Protein pada tepung terigu sebagian besar terdiri
dari gliadin dan glutelin, sedangkan pada tepung jagung seperti telah disebutkan
diatas terdiri dari zein dan glutelin. Walaupun zein dan gliadin keduanya
merupakan kelas prolamin yang larut alkohol 70-80% dan tidak larut air maupun
alkohol absolut (Winarno, 2004), namun memiliki sifat yang sangat berbeda. Hal
ini disebabkan perbedaan susunan asam aminonya. Protein terigu memiliki
kandungan glutamin dan asam amino hidroksil yang tinggi. Ikatan hidrogen yang
terjadi antara glutamin dan residu gugus hidroksil dari polipeptida gluten
berkontribusi terhadap gaya adhesi-kohesi (Fennema, 1996).

3. Jagung P-21 (Pioneer-21)


Jagung varietas P-21 (Pioneer-21) merupakan salah satu jenis jagung
hibrida. Karakteristik kimia tepung jagung P-21 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tepung jagung P-21 memiliki kandungan lemak yang rendah (1,73%).

6
Kandungan lemak yang rendah disebabkan adanya proses degerminasi
(pemisahan lembaga) pada saat proses penepungan. Lembaga merupakan bagian
biji jagung yang kaya akan lemak sehingga akan menyebabkan tepung jagung
cepat menjadi tengik bila tidak dipisahkan. Sebagian besar tepung jagung P-21
mengandung karbohidrat (86,18%). Total pati jagung pada tepung jagung P-21
sebesar 66,56% dan sebagian besar merupakan amilopektin (43,52%).

Tabel 3. Hasil analisis proksimat dan


kadar pati tepung jagung P-21
Komponen Kadar (%)
Air 5,46
Protein 6,32
Lemak 1,73
Abu 0,31
Karbohidrat 86,18
Amilosa 23,04
Amilopektin 43,52
Total pati 66,56
Sumber : Etikawati (2007)

Warna kuning pada tepung jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil
yang terdapat pada biji jagung. Xantofil termasuk dalam pigmen karotenoid yang
memiliki gugus hidroksil. Warna kuning tepung jagung tentunya akan
berpengaruh terhadap mi yang dihasilkan. Lebih lanjut warna kuning pada tepung
jagung juga memberikan karakteristik khas dari mi yang dihasilkan. Fadlillah
(2005) menyatakan bahwa mi jagung yang berwarna kuning merupakan
keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu karena tidak memerlukan lagi
bahan tambahan pewarna untuk menghasilkan mi yang berwarna kuning.

B. PATI JAGUNG
Pati banyak terdapat pada tanaman sebagai cadangan karbohidrat, dan
merupakan sumber karbohidrat utama bagi manusia. Secara alami, bentuk pati
merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Secara mikroskopik,
campuran molekul dalam granula pati berstruktur linier (amilosa) dan bercabang
(amilopektin) yang membentuk lapisan-lapisan tipis berbentuk cincin atau lamela,
dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut

7
hilus atau hilum. Letak hilum dalam granula pati ada yang di tengah dan ada yang
di tepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan
gandum) mempunyai hilum yang terletak di tengah, sedangkan granula pati pada
kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi.
Granula pati dalam keadaan murni berwarna putih, mengkilat, tidak berbau,
dan tidak berasa. Granula pati bervariasi bentuk dan ukurannya tergantung pada
sumbernya. Beberapa jenis pati dengan ukuran dan bentuknya dapat dilihat pada
Tabel 4. Pati jagung biasa dan pati jagung berlilin (waxy/glutinous corn) memiliki
diameter berkisar antara 2–30 μm. Jagung yang tinggi amilosa (high-amylose
corn) memiliki diameter berkisar antara 2-24 μm. Pati pada kentang, tapioka, dan
gandum masing-masing memiliki diameter berkisar antara 5-100 μm, 4-35 μm,
dan 2-55 μm (Fennema, 1996). Granula pati memiliki struktur kristalin yang
terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Daerah kristalin pada kebanyakan pati
tersusun atas fraksi amilopektin, sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada
daerah amorf.

Tabel 4. Karakteristik granula pati


Jenis pati Ukuran granula (µm) Bentuk granula
Padi 3-8 Poligonal
Gandum 20-35 Lentikular atau bulat
Jagung 15 Polihedral atau bulat
Sorgum 25 Bulat
Rye 28 Lentikular atau bulat
Barley 20-25 Bulat atau elips
Sumber: Hoseney (1998)

Pati komersial didapat dari biji–bijian seperti jagung, jagung tipe waxy,
jagung dengan kandungan amilosa yang tinggi, gandum, dan berbagai jenis beras,
serta dari batang dan umbi–umbian (Fennema, 1996). Pati memiliki karakteristik
tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi, dan kekristalan
granulanya (Belitz, dan Grosch, 1999). Pati tidak larut pada air dingin dan akan
membentuk massa pasta yang padat dan keras apabila dicampur dengan air dingin.
Pati jagung terdiri dari 73% amilopektin dan 27% amilosa. Namun
demikian, terdapat varietas jagung yang tersusun seluruhnya (100%) dari
amilopektin yaitu jenis waxy/glutinous corn. Sebaliknya, terdapat pula varietas

8
jagung yang mengandung amilosa dalam jumlah yang tinggi (50-75%). Varietas
tersebut dinamakan high-amylose corn (Mauro et. al., 2003).

C. TEPUNG JAGUNG
Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh
dengan cara menggiling biji jagung (Zea mays L.) yang bersih dan baik.
Penggilingan biji jagung menjadi bentuk tepung merupakan suatu proses
pemisahan kulit, endosperm, lembaga dan tip cap. Endosperm merupakan bagian
biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang
tinggi. Kulit yang memiliki kandungan serat tinggi harus dipisahkan karena dapat
membuat tepung bertekstur kasar. Sementara itu, lembaga yang merupakan bagian
biji jagung dengan kandungan lemak tertinggi juga harus dipisahkan agar tidak
membuat tepung menjadi tengik. Selain itu, tip cap juga harus dipisahkan sebelum
penepungan agar tidak terdapat butir-butir hitam pada tepung olahan.
Pembuatan tepung jagung baik dilakukan dengan menggunakan metode
penggilingan kering (Juniawati, 2003). Proses pembuatan tepung jagung diawali
dengan penggilingan menggunakan hammer mill. Penggilingan ini menghasilkan
grits, lembaga, kulit, dan tip cap. Hasil penggilingan kemudian direndam dalam
air untuk memisahkan bagian endosperm dengan bagian lembaga, kulit, dan tip
cap. Bagian endosperm akan tenggelam dan bagian lain yang tidak dibutuhkan
dapat dengan mudah dibuang karena mengapung. Selanjutnya, bagian endosperm
ditiriskan dan digiling menggunakan disc mill untuk memperhalus ukuran grits
menjadi tepung. Hasil penggilingan yang berupa tepung jagung ini masih harus
melalui proses pengayakan 100 mesh, sehingga diperoleh hasil tepung jagung
yang optimal, yaitu halus dan homogen (Putra, 2008).

D. GELATINISASI
1. Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi
Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air
panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak–balik
(reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak–
balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Greenwood dan Munro,

9
1979). Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula–
mula suspensi yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung
jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya
diikuti dengan pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul–molekul air
menjadi lebih kuat daripada gaya tarik–menarik antar molekul pati di dalam
granula, air dapat masuk ke dalam butir–butir granula. Hal inilah yang
menyebabkan bengkaknya granula pati (Winarno, 1997).
Mekanisme gelatinisasi secara umum terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1)
penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara
lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam
granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul
granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat
sampai kehilangan sifat birefriengence-nya dan (3) granula pecah jika cukup air
dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels,
1985). Menurut Harper (1981), mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti
pada Gambar 1.
Granula pati tersusun dari
amilosa (berpilin) dan
amilopektin (bercabang)

Masuknya air merusak


kristalinitas amilosa dan
merusak helix. Granula
membengkak

Adanya panas dan air


menyebabkan pembengkakan
tinggi. Amilosa berdifusi
keluar dari granula

Granula mengandung
amilopektin, rusak dan
terperangkap dalam matriks
amilosa membentuk gel

Gambar 1. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)

10
Indeks refraksi butir–butir pati yang membengkak mendekati indeks refraksi
air. Hal inilah yang menyebabkan sifat translusen. Jumlah gugus hidroksil dalam
molekul pati sangat besar sehingga kemampuan menyerap airnya sangat besar.
Peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan
bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada di dalam butir–
butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi (Winarno, 1997).

2. Suhu Gelatinisasi
Fennema (1996) menyatakan bahwa suhu atau titik gelatinisasi adalah titik
saat sifat birefrigence pati mulai menghilang. Suhu gelatinisasi diawali dengan
pembengkakan yang irreversible pada granula pati dalam air panas dan diakhiri
tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya. Suhu gelatinisasi tidak
sama pada berbagai jenis pati. Suhu gelatinisasi pada berbagai jenis pati
ditunjukkan oleh Tabel 5.

Tabel 5. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati


Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC)
Beras 65-73
Ubi jalar 82-83
Tapioka 59-70
Jagung 61-72
Gandum 53-64
Sumber: Fennema (1996)

Winarno (2004) menyatakan bahwa suhu dimana sifat birefringence granula


pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Dalam suatu
suspensi pati, suhu gelatinisasi berupa kisaran. Hal ini disebabkan populasi pati
yang bervariasi dalam ukuran, bentuk dan energi yang diperlukan untuk
mengembang. Selain itu, suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran amilosa
amilopektin serta keadaan media pemanasan.

3. Sifat Birefringence
Pengamatan di bawah mikroskop (polarizing microscope) dapat
menunjukkan sifat birefringence pati, yaitu sifat merefleksikan cahaya
terpolarisasi sehingga terlihat kristal gelap terang. Intensitas birefringence pati

11
sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar
amilosa tinggi, intensitas sifat birefringencenya lemah jika dibandingkan dengan
pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998).
Pati mentah dan belum mendapat perlakuan jika diamati di bawah
mikroskop polarisasi akan memperlihatkan pola birefringence yang jelas daerah
gelap terangnya. Pati yang dipanaskan bersama air, sifat birefringence secara
bertahap akan hilang tergantung suhu dan waktu yang digunakan. Jika suhu yang
digunakan di atas suhu gelatinisasi, maka hilangnya sifat birefringence
disebabkan oleh pecahnya molekul pati sehingga granula pati kehilangan sifat
merefleksikan cahayanya. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat
ketidakteraturan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat
kristal (Hoseney, 1998).

E. MODIFIKASI PATI METODE HEAT MOISTURE TREATMENT


Pati termodifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu dengan tujuan
menghasilkan sifat lebih baik serta memperbaiki sifat sebelumnya atau merubah
beberapa sifat sebelumnya dan beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat
mencakup penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia
lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk,
ukuran serta struktur molekul pati (Glicksman, 1969).
Menurut Oh (1985), pati yang dihasilkan dari proses modifikasi harus
memenuhi kriteria mutu masak mi, diantaranya adalah tingkat kekerasan
(firmness), kekenyalan dan karakteristik permukaannya. Salah satu metode
modifikasi pati yang relatif murah, aman dan sederhana adalah modifikasi dengan
teknik Heat Moisture Treatment (HMT). Modifikasi dengan HMT tidak
melibatkan reaksi kimia dengan reagen tertentu, sehingga tidak ada kekhawatiran
mengenai adanya residu kimia dalam pati hasil modifikasi. Modifikasi pati dengan
teknik HMT menggunakan kombinasi kelembaban tertentu (kadar air yang
terbatas) dan pemanasan pada suhu tinggi diatas suhu gelatinisasi.
Pati yang dimodifikasi dengan metode HMT disebabkan oleh adanya
gelatinisasi parsial (Eerlingen et al, 1996). Proses HMT menyebabkan perubahan
struktur kristal pati sehingga lebih resisten terhadap proses gelatinisasi (Stute,

12
1992). Hoover dan Vasanthan (1994) menjelaskan bahwa modifikasi pati dengan
HMT mengurangi proses leaching amilosa pada saat pemasakan.
Selain itu, metode HMT dapat mempengaruhi penyusunan kembali molekul
pati antar amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin, sehingga mampu
memperkuat ikatan dalam pati. Ketika diaplikasikan pada proses pengolahan
bihun, pati yang dimodifikasi dengan HMT juga menghasilkan bihun yang tidak
lengket setelah dimasak (Shin, 2004).
Penelitian terhadap kondisi proses modifikasi HMT telah dilaporkan oleh
beberapa peneliti. Collado (2001) melakukan modifikasi HMT pati ubi jalar pada
suhu diatas suhu gelatinisasi (80oC-100oC) selama 16 jam mampu
mempertahankan kadar air pati hingga 35% atau lebih rendah.
Pati HMT yang diujicobakan pada produk olahan mi ubi jalar (Collado,
2001) dan mi sagu (Purwani, 2006) menunjukkan hasil bahwa pati HMT dapat
menghasilkan karateristik mi yang lebih baik. Mi sagu yang dihasilkan dari pati
sagu HMT memiliki cooking loss yang lebih rendah dibandingkan dengan mi dari
pati sagu tanpa HMT (Purwani, 2006). Pati ubi jalar yang dimodifikasi dengan
HMT juga menghasilkan karakteristik mi yang lebih baik dibandingkan tanpa
modifikasi (Collado, 2001).

F. MI
1. Mi Basah
Menurut Astawan (2005), mi basah adalah jenis mi yang mengalami
pemasakan setelah tahap pemotongan. Sedangkan menurut Dewan Standarisasi
Nasional (1992), mi basah adalah produk pangan yang terbuat dari tepung terigu
dengan atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan tambahan pangan yang
diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah memiliki kadar air
maksimal 35% (b/b).
Berdasarkan bahan baku yang digunakan, ada dua macam mi yaitu mi yang
berbasis protein dan mi yang berbasis pati. Bahan baku mi berbasis protein berasal
dari gandum, sedangkan bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari
kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum.

13
Berdasarkan bentuk produk mi yang ada di pasaran, mi dapat
diklasifikasikan menjadi mi basah mentah yaitu mi yang diproses tanpa
pemasakan dan pengeringan, mi basah matang yaitu mi basah yang mengalami
pemasakan dan tanpa pengeringan, serta mi kering yaitu mi yang mengalami
pengeringan (Astawan, 2005). Kualitas mi basah menurut SNI 01-2987-1992
dapat dilihat pada Tabel 6. Produk mi umumnya digunakan sebagai sumber
energi karena kandungan karbohidratnya relatif tinggi.

Tabel 6. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992


No. Kriteria uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan :
1.1. bau Normal
1.2. rasa Normal
1.3. warna Normal
2. Kadar air % b/b 20 – 35
3. Kadar abu (dihitung atas dasar
% b/b Maks. 3
bahan kering)
4. Kadar protein (N x 6,25)
dihitung atas dasar bahan % b/b Min. 3
kering)
5. Bahan tambahan pangan
5.1 Boraks dan asam borat Tidak boleh ada
5.2 Pewarna Sesuai SNI-022-M
dan peraturan
MenKes No.
722/MenKes/Per/IX
/88
5.3 Formalin Tidak boleh ada
6 Cemaran logam
6.1 Timbal (Pb) Maks. 1,0
6.2 Tembaga (Cu) Maks. 10,0
6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0
6.4 Raksa (Hg) Maks 0,05
7. Arsen (As) mg/kg Maks 0,05
8. Cemaran mikroba :
8.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks 1,0 x 106
8.2 E. coli APM/g Maks. 10
8.3 Kapang Koloni/g Maks 1,0 x 104

2. Mi Kering
Menurut SNI 01-2974-1996, mi kering didefinisikan sebagai produk
makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan

14
makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi.
Mi dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya
kandungan airnya harus di bawah 13%.
Karakteristik yang disukai dari mi kering adalah memiliki penampakan
putih, hanya sedikit yang terpecah-pecah selama pemasakan, memiliki permukaan
yang lembut dan tidak ditumbuhi mikroba (Oh, 1985). Syarat mutu mi kering
dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Syarat mutu mi kering menurut SNI 01-2974-1996


Persyaratan Persyaratan
No Jenis Uji Satuan
Mutu I Mutu II
1 Keadaan:
1.1 Bau Normal Normal
-
1.2 Warna Normal Normal
1.3 Rasa Normal Normal
2 Air % b/b Maks 8 Maks 10
3 Protein (N x 6.25) % b/b Min 11 Min 8
4 Bahan Tambahan
Makanan:
4.1 Boraks
Tidak boleh ada sesuai dengan
4.2Pewarna
SNI 01-0222-1995
Tambahan
5 Cemaran Logam:
5.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 1.0 Maks 1.0
5.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 10.0 Maks 10.0
5.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40.0 Maks 40.0
5.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0.05 Maks 0.05
6 Arsen (As) mg/kg Maks 0.5 Maks 0.5
7 Cemaran Mikroba:
7.1 Angka Lempeng koloni/g Maks 1.0 x 106 Maks 1.0 x 106
Total
7.2 E. coli APM/g Maks 10 Maks 10
7.3 Kapang koloni/g Maks 1.0 x 10 Maks 1.0 x 104
4

3. Mi Jagung
Mi jagung adalah jenis mi yang dibuat dengan bahan baku utama tepung
atau pati jagung dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Mi jagung dapat
diproses menjadi mi instan (mi kering) ataupun mi basah. Menurut Juniawati
(2003), proses pembuatan mi jagung kering dengan pembentukan lembaran terdiri
dari beberapa tahapan, yaitu pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian,

15
pembentukan lembaran (sheeting/pressing), pencetakan untaian mi (slitting),
pengukusan kedua dan pengeringan.
Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan mi terigu karena setelah
pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan. Proses pengukusan bertujuan
menggelatinisasi sebagian pati (sekitar 70%) sehingga dapat berperan sebagai
pengikat adonan. Apabila tidak dilakukan pengukusan, maka adonan tidak dapat
dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein endosperma jagung
banyak mengandung zein (60%) yang tidak dapat membentuk massa adonan yang
elastic-cohesive bila hanya ditambahkan air dan diuleni, seperti halnya gliadin dan
glutelin pada gandum. Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung
jumlah adonan yang dimasak. Namun, tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang
diharapkan hampir sama (Juniawati, 2003).
Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan
lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung kering mengandung nilai gizi yang
baik yaitu sekitar 360 kalori/kemasan atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori).
Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mi terigu
instan (471 kalori). Tingginya nilai gizi yang terdapat pada mi jagung kering
menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan
alternatif pilihan pengganti nasi.
Kandungan lemak mi jagung kering juga jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kandungan lemak pada mi terigu instan. Hal ini dikarenakan tidak adanya
proses penggorengan pada mi jagung kering, melainkan hanya proses pengeringan
saja. Selain itu, mi jagung instan juga tidak menggunakan pewarna tambahan
seperti halnya mi terigu instan. Warna kuning pada mi jagung merupakan warna
alami yang disebabkan oleh pigmen kuning pada jagung, yaitu β-karoten, lutein,
dan zeaxanthin.
Formulasi mi jagung telah dikembangkan dalam beberapa penelitian,
diantaranya mi jagung dari tepung jagung dan pati jagung. Juniawati (2003) telah
membuat mi jagung kering dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2004)
melakukan pembuatan mi jagung kering dengan memanfaatkan pati jagung dan
protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan verifikasi pada

16
desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode Budiyah dengan
menambahkan protein gluten terigu untuk memperbaiki elastisitas dan cooking
loss mi. Putra (2008) melakukan optimalisasi formula dan proses pembuatan mi
jagung dengan metode kalendering.
Menurut Putra (2008), pengukusan pertama dilakukan pada suhu 90oC
selama 15 menit. Hasil pengamatan adonan pada tahap penentuan waktu optimum
pengukusan pada suhu 90oC yang dilakukan oleh Putra (2008), dapat dilihat pada
Tabel 8. Penelitian yang dilakukan Putra (2008) menggunakan tepung jagung
native, sedangkan penelitian ini menggunakan substitusi tepung jagung HMT.
Penelitian ini mengamati bagaimana pengaruh penggunaan tepung jagung HMT
pada pengukusan adonan serta pada kualitas mi jagung.

Tabel 8. Penentuan waktu optimum pengukusan adonan pada suhu 90oC


Waktu
Sifat Adonan (secara Visual)
(menit)
10 Pada saat sheeting lembaran yang sudah terbentuk terlipat
kembali sehingga terbentuk permukaan yang baru dan
menyebabkan permukaan lembaran tidak rata dan mudah
sobek
15 Lembaran plastis sehingga dapat direduksi ukurannya
20 Adonan lengket pada roller mesin sheeting, lembaran elastis
sehingga tidak bisa ditipiskan, permukaan lembaran kasar
dengan warna pucat (terlalu matang)
30 Adonan sangat lengket dan lolos dari pisau trap sehingga
melapisi roller saat sheeting, lembaran terlalu elastis
sehingga tidak bisa ditipiskan, permukaan lembaran kasar
dengan warna pucat (terlalu matang)
Sumber : Putra, 2008.

17
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT


Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan yang
digunakan untuk pembuatan mi jagung dan bahan untuk analisis. Bahan yang
digunakan dalam pembuatan mi jagung adalah jagung Pioneer 21 yang diperoleh
dari Ponorogo-Jawa Timur, air, garam, dan guar gum. Bahan yang digunakan
untuk analisis fisik yaitu aquades. Bahan yang digunakan untuk analisis
organoleptik meliputi sampel uji, garam, kafein, sukrosa, asam sitrat, flavor, dan
air minum.
Alat-alat yang digunakan dalam produksi tepung jagung serta tepung jagung
termodifikasi dan aplikasinya dalam mi jagung adalah multi mill, disc mill,
hammer mill, ayakan bertingkat, timbangan, kain saring, oven, oven pengering,
mesin dough mixer, noodle sheeter, pengering, dan steam box. Peralatan proses
ini tersedia di Pilot Plant Seafast Center-IPB. Alat-alat lain yang digunakan dalam
analisis adalah oven, cawan porselin, cawan alumunium, neraca analitik, Texture
Analyzer (TAXT-2), dan Brabender Amilograph.

B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap modifikasi dan
karakterisasi tepung jagung native serta tepung jagung termodifikasi HMT, tahap
penentuan pengaruh proses pengukusan adonan terhadap kualitas mi jagung dan
uji penerimaan konsumen terhadap produk akhir mi jagung.

1. Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT serta Karakterisasi


Tepung Jagung Native dan Tepung Jagung Termodifikasi HMT
Tahap penelitian ini meliputi proses penepungan, modifikasi tepung jagung
dengan metode HMT dan analisis profil gelatinisasi tepung jagung sebelum dan
setelah proses modifikasi HMT. Proses modifikasi tepung jagung dengan metode
HMT menggunakan kondisi berdasarkan hasil penelitian Lestari (2009) yang telah
melakukan penelitian mengenai kondisi proses modifikasi tepung jagung sehingga
menghasilkan profil gelatinisasi terbaik. Profil gelatinisasi yang diharapkan
berdasarkan Collado (2001) adalah memiliki viskositas yang stabil selama proses

18
pemanasan, memiliki viscosity breakdown yang minimal dan stabil terhadap
proses pengadukan.
Proses modifikasi tepung jagung dilakukan dengan kadar air terkendali
(24%), pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009). Setelah didapatkan tepung
jagung termodifikasi HMT, kemudian dilakukan analisis profil gelatinisasi.
Analisis profil gelatinisasi tepung jagung dilakukan pada saat sebelum dan setelah
proses modifikasi. Analisis ini menggunakan alat Brabender Amilograph.

a. Proses Penepungan Jagung


Penepungan jagung pipil varietas Pioneer 21 dilakukan dengan teknik
penepungan kering. Metode ini melalui dua tahapan proses penggilingan.
Penggilingan pertama (penggilingan kasar) dilakukan dengan menggunakan
hammer mill. Grits jagung yang dihasilkan dicuci dan direndam dalam air selama
3 jam. Tujuan perendaman adalah membuat grits jagung tidak terlalu keras,
sehingga memudahkan proses penggilingan kedua (penggilingan halus) yang
menggunakan disc mill. Hasil penggilingan yang berupa tepung jagung ini masih
harus melalui proses pengayakan 100 mesh, sehingga diperoleh hasil tepung
jagung yang optimal. Proses penepungan jagung dapat dilihat pada Gambar 2.

b. Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT


Proses modifikasi tepung jagung dilakukan dengan kadar air 24%, pada
suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009). Untuk mengkondisikan tepung jagung
pada kadar air terkendali tersebut, dilakukan penambahan air. Jumlah air yang
harus ditambahkan diperoleh dari perhitungan kesetimbangan massa, dengan
mengetahui kadar air tepung jagung mula-mula. Setelah diperoleh kondisi tepung
jagung pada kadar air terkendali (24%), dilakukan pemanasan pada suhu 110oC
selama 6 jam, setiap jam dilakukan pengadukan. Pengadukan ini dilakukan agar
panas merata ke seluruh bagian tepung. Setelah didapatkan tepung jagung HMT,
kemudian dilakukan analisis profil gelatinisasi.

19
Jagung
JagungPipil
Pipil

Pembentukan grits jagung dengan multimill


miltimill

Pencucian
Pencuciandengan
denganair
air(pemisahan
(pemisahanlembaga
lembagadan
danperikarp)
perikarp)

Perendaman
Perendaman
dalam
dalam
air dingin,
air, 3 jam
3 jam

Pencucian
Pencuciandengan
denganair
air(pemisahan
(pemisahanlembaga
lembagadan
danperikarp)
perikarp)

Pengeringan dalam oven 60°C, 1 jam

Penggilingan dengan discmill

Pengayakan, 100 mesh

Tepung Jagung

Gambar 2. Pembuatan tepung jagung teknik kering

c. Analisis Profil Gelatinisasi


Analisis profil gelatinisasi tepung jagung dilakukan pada saat sebelum dan
setelah proses modifikasi. Analisis ini menggunakan alat Brabender Amilograph.
Tahap persiapan dilakukan dengan membuat 10% (w/v) suspensi contoh dalam
450 ml air. Suspensi tersebut diaduk menggunakan gelas pengaduk sehingga
homogen. Kemudian suspensi dimasukkan ke dalam wadah mangkuk pada alat
Brabender Amilograph.

20
Tombol pengontrol diatur pada posisi heating (pemanasan) dengan suhu
awal 30°C, kemudian alat dinyalakan. Pengaduk pada alat berputar dengan
kecepatan konstan dan suhu berangsur-angsur naik dengan dengan kecepatan
1.5°C/menit. Suhu awal gelatinisasi ditandai dengan viskositas yang mulai terbaca
pada alat pencatat.
Setelah melewati suhu gelatinisasi, viskositas suspensi pati meningkat
secara cepat dengan meningkatnya suhu pemasakan. Viskositas mulai menurun
setelah mencapai titik puncaknya. Viskositas yang terbaca pada saat mencapai
nilai maksimum disebut viskositas maksimum. Setelah viskositas maksimum ini,
viskositas suspensi menurun secara cepat dengan meningkatnya suhu pemanasan.
Tahap proses pemanasan akan berakhir setelah suhu dari contoh telah mencapai
95°C.
Proses holding dilakukan pada suhu 95°C selama 20 menit dengan mengatur
posisi pengatur suhu pada posisi holding. Pada tahap ini alat pencatat secara
kontinyu mencatat nilai viskositas. Setelah tahap holding, alat diatur pada posisi
cooling. Pada tahap ini, suhu pasta pati menurun secara berangsur-angsur.
Pendinginan dilakukan hingga suhu mencapai 50°C. Setelah pendinginan
berakhir, alat amilograph dimatikan dan grafik profil gelatinisasi contoh dapat
diperoleh.

2. Penentuan Kondisi Proses Pengukusan Adonan terhadap Kualitas Mi


Jagung
Tahap penelitian ini meliputi pengaplikasian tepung jagung HMT pada
pembuatan mi jagung, penentuan jumlah tepung jagung HMT yang akan dikukus
pada pengukusan adonan dan penentuan rentang waktu pengukusan adonan.
Tahap ini bertujuan mempelajari bagaimana pengaruh pengaplikasian tepung
jagung HMT terhadap kualitas fisik mi jagung serta mempelajari apakah terdapat
pengaruh yang nyata pada proses pengukusan adonan.

a. Pengaplikasian Tepung Jagung HMT pada Pembuatan Mi Jagung


Pengaplikasian tepung jagung HMT pada pembuatan mi jagung
menggunakan formulasi berdasarkan hasil penelitian Lestari (2009), yaitu 90%
tepung jagung native dan 10% tepung jagung HMT. Proses produksi mi kering

21
jagung dengan metode kalendering/sheeting dapat dilihat pada Gambar 3, dan
untuk mendapatkan mi basah jagung tidak dilakukan pengeringan setelah
pengukusan mi.

Tepung jagung
(70% bagian) Guar gum 1%
Garam 1%
Air 50%
Dicampur rata

Pengukusan adonan
(90oC, 15 menit)

Adonan 1 Tepung jagung


(30% bagian)

Dicampur rata

Penggilingan dalam grinder

Pembentukan lembaran mi

Pencetakan mi (slitting)

Pemotongan mi

Pengukusan mi
Mi Basah Jagung
(95oC, 20 menit)

Pengeringan
Mi Kering Jagung
(60 0C, 70 menit)

Gambar 3. Proses pembuatan mi jagung metode kalendering/sheeting

22
Metode produksi mi kering jagung ini merupakan hasil penelitian Putra
(2008). Berbeda dengan proses pembuatan mi terigu, pada pembuatan mi jagung
perlu dilakukan pengukusan adonan agar terjadi proses pregelatinisasi. Sebagian
pati yang tergelatinisasi ini akan membantu mengikat adonan dan mempermudah
pembentukan lembaran mi.
Penggunaan air sebanyak 50% (basis jumlah tepung) berfungsi sebagai
pengikat garam dan membantu proses gelatinisasi saat adonan dikukus. Jumlah air
sangat menentukan kelengketan mi. Jumlah air <50% menyebabkan proses
pregelatinisasi adonan kurang sempurna sehingga adonan menjadi rapuh,
sedangkan jika jumlah air >50% menyebabkan adonan menjadi lengket (Putra,
2008).
Penggilingan dengan grinder bertujuan membuat adonan menjadi lebih
kompak dan mudah dibentuk lembaran. Pengukusan mi bertujuan
menyempurnakan gelatinisasi pati sehingga mi tidak hancur ketika dimasak
(Putra,2008).

b. Penentuan Jumlah Tepung Jagung HMT yang akan Dikukus pada


Pengukusan Adonan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Putra (2008), jumlah adonan yang
dikukus pada pengukusan adonan sebanyak 70%, sedangkan sisa bagian tepung
(30%) tidak dikukus. Seperti telah dikemukakan di atas, pengukusan adonan
bertujuan menggelatinisasi sebagian pati. Sebagian pati yang tergelatinisasi ini
akan membantu mengikat adonan dan mempermudah pembentukan lembaran mi.
Suhu pengukusan dilakukan pada 90oC selama 15 menit (Putra, 2008).
Tahap penelitian ini mengamati bagaimana pengaruh tepung jagung HMT
jika seluruhnya dimasukkan, sebagian (dicampur terlebih dahulu baru dilakukan
pembagian adonan) atau tidak dimasukkan pada proses pengukusan adonan.
Adonan mi dibuat dari 1 kg tepung jagung, terdiri dari 900 g tepung jagung native
dan 100 g tepung jagung HMT. Bagian yang dikukus sebanyak 70% atau 700 g,
sedangkan bagian tepung yang tidak dikukus sebanyak 30% atau 300 g.
Perbandingan tepung jagung native dan tepung jagung HMT yang dikukus yaitu
700 g : 0 g, 600 g : 100 g dan 630 g : 70 g, dapat dilihat pada Tabel 9.

23
Tabel 9. Perbandingan tepung jagung native dan tepung jagung HMT
yang dikukus
Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3
Tepung jagung HMT 0g 70 g 100 g
Tepung jagung native 700 g 630 g 600 g
Basis : 1 kg tepung, 70% bagian yang akan dikukus

Bagian tepung yang dikukus terlebih dahulu dicampurkan dengan guar gum,
air dan garam. Penambahan guar gum berfungsi sebagai pengikat komponen-
komponen dalam adonan, sedangkan fungsi garam adalah memberi rasa dan
memperkuat tekstur mi. Adonan yang telah dikukus kemudian dicampurkan
dengan bagian tepung yang tidak dikukus, dilanjutkan dengan penggilingan
menggunakan grinder sebanyak 2 kali.
Penggilingan sebanyak 2 kali ini bertujuan membuat adonan menjadi lebih
homogen. Selain itu, menurut Putra (2008) penggilingan ini dapat meningkatkan
gelatinisasi adonan. Setelah itu dilakukan proses sheeting untuk membentuk
lembaran dan dilanjutkan dengan pencetakan mi. Pengamatan sifat adonan
dilakukan saat sheeting dan pencetakan mi.

c. Penentuan RentangWaktu Pengukusan Adonan


Waktu pengukusan yang akan dilakukan adalah selama 13, 14, 15, 16 dan
17 menit. Penggunaan tepung jagung HMT pada adonan apakah akan menjadikan
adonan lebih stabil atau bahkan lebih sensitif terhadap waktu pengukusan.
Pengamatan sifat adonan dilakukan pada saat sheeting dan pencetakan. Selain itu,
dilakukan juga pengukuran derajat gelatinisasi.
Setelah dilakukan pencetakan mi, dilakukan pengukusan kedua dengan suhu
95oC selama 20 menit. Pengukusan untaian mi ini bertujuan menyempurnakan
gelatinisasi pati sehingga mi tidak hancur ketika dimasak. Setelah dilakukan
pengukusan kedua, dilakukan pengovenan untuk mendapatkan mi kering jagung.
Analisis sifat fisik dilakukan pada mi basah jagung maupun mi kering
jagung sesudah dimasak. Analisis ini mencakup pengukuran tekstur kekerasan,
kekenyalan dan kelengketan mi menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2,
pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan), pengukuran persen
elongasi, dan pengukuran waktu pemasakan optimum. Selain itu, dilakukan pula

24
analisis secara organoleptik meliputi uji rating atribut kekerasan, kekenyalan dan
kelengketan mi setelah dimasak dengan panelis terlatih. Panelis terlatih diperoleh
melalui proses seleksi panelis dan pelatihan sehingga mampu membedakan atribut
kekerasan, kekenyalan dan kelengketan dari mi jagung.

1). Analisis Fisik


a) Waktu Pemasakan Optimum (Lestari, 2008)
Mi kering ditimbang sebanyak 5 g. Air sebanyak 150 ml dididihkan, setelah
air mendidih mi dimasukkan dan stop watch dinyalakan. Pemasakan dihentikan
bila sudah tidak terbentuk garis putih saat mi ditekan dengan dua potong kaca.
Waktu optimum pemasakan adalah waktu saat pemasakan dihentikan.

b) Texture Profile Analysis (TPA) menggunakan alat Texture Analyzer


TAXT-2
Pengukuran TPA dilakukan untuk melihat profil tekstur dari sampel.
Pengukuran ini menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Sampel yang
digunakan adalah mi jagung yang direhidrasi dengan metode perendaman dalam
air yang telah mendidih, kemudian ditiriskan dan didiamkan pada udara terbuka
selama beberapa saat. Metode ini sesuai dengan pengaplikasian mi jagung pada
skala industri kecil, seperti mi baso. Seuntai sampel yang telah direhidrasi dengan
panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan
oleh probe. Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm.
Pengaturan TAXT–2 yang digunakan tertera pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengaturan Texture Analyzer dalam


mode TPA (Texture Profile Analysis)
Parameter Setting
Pre test speed 2,.0 mm/s
Test speed 0,1 mm/s
Post test speed 2,0 mm/s
Rupture test distance 75%
Distance 1%
Force 100 g
Time 5 sec
Count 2

25
Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk
mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak
yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak.
Satuan kedua parameter ini adalah gram Force (gF). Sedangkan kekenyalan
ditunjukkan dengan perbandingan luas area peak kedua dengan peak pertama.
Contoh kurva profil tekstur mi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Profil tekstur mi

c) Analisis Persen Elongasi Menggunakan Texture Analyzer


Elongasi menunjukkan persen pertambahan panjang maksimum mi yang
mengalami tarikan sebelum putus. Probe yang digunakan adalah probe yang dapat
menjepit kedua ujung mi. Sampel yang telah direhidrasi dijepit sedemikian rupa
pada kedua ujung probe dengan jarak antar probe sebesar 2 cm dan kecepatan
probe 0.3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan rumus :
waktu putus sampel ( s ) × 0,3 cm / s
Persen elongasi = × 100%
2 cm

d) Pengukuran cooking loss atau kehilangan padatan akibat pemasakan


(KPAP)
Pengukuran KPAP ini dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 150
ml air dengan berbagai waktu pemasakan, yaitu 3, 6, 9, 12, 15 dan 18 menit.
Pengukuran dengan berbagai waktu pemasakan ini bertujuan melihat bagaimana
pengaruh lama pemasakan terhadap mi jagung produk akhir. Setelah dimasak, mi

26
direndam air dingin dan kemudian ditiriskan. Mi kemudian ditimbang dan
dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali.
KPAP dihitung dengan rumus berikut:
⎧ berat sampel setelah di ker ingkan ⎫
KPAP = 1 − ⎨ ⎬ × 100%
⎩ berat awal (1 − kadar air contoh) ⎭

2). Analisis Organoleptik


a) Seleksi Panelis
Seleksi panelis merupakan suatu cara untuk mendapatkan panelis yang
memiliki kemampuan dasar yang cukup, kemampuan membedakan serta
mengurutkan intensitas. Seleksi ini dilakukan terhadap 40 orang calon panelis
yang kemudian diberikan serangkaian tes organoleptik sehingga diperoleh
sebanyak 8-11 orang.
Tahapan ini bertujuan mengetahui kepekaan sensori calon panelis.
Pengujian yang dilakukan meliputi identifikasi rasa dan aroma dasar sebagai
metode umum untuk menguji kemampuan dasar indra pencicipan serta
penciuman, uji ranking untuk menguji kemampuan panelis dalam mengurutkan
intensitas rangsangan, dan uji segitiga (pembedaan) untuk menguji kepekaan
panelis untuk membedakan intensitas rangsangan karena diberikan dengan
intensitas berbeda.
Uji rasa dasar dilakukan dengan tujuan melihat kemampuan panelis dalam
mengenali dan mendeskripsikan rasa dasar. Sampel uji pada identifikasi rasa dan
aroma dasar dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan sampel uji untuk uji ranking
dapat dilihat pada Tabel 12.
Uji segitiga dilakukan dengan atribut kekerasan dan kekenyalan mi karena
mempertimbangkan bahwa sampel uji dan jenis pengujian yang nantinya akan
dievaluasi oleh panelis adalah karakteristik fisik mi jagung berupa kekerasan,
kekenyalan dan kelengketan. Calon panelis yang terpilih diharapkan dapat
membedakan atribut tersebut. Sampel untuk uji segitiga dapat dilihat pada Tabel
13.

27
Tabel 11. Sampel uji untuk identifikasi rasa dan aroma dasar
Jenis Uji Sampel Konsentrasi (%)
Identifikasi rasa dasar Larutan sukrosa 2.00
Larutan asam sitrat 0.04
Larutan garam 0.20
Larutan kafein 0.05
Larutan MSG 0.03
Identifikasi aroma dasar Tutti fruity 1.00
Mint 1.00
Orange 1.00
Meat 1.00
Nut 1.00

Tabel 12. Sampel untuk uji ranking


Jenis Uji Sampel Konsentrasi (%)
Rangking Rasa Dasar Asin Larutan Garam 0.10
(NaCl) 0.20
0.50
1.00
Rangking Rasa Dasar Pahit Larutan Kafein 0.03
0.06
0.13
0.26

Tabel 13. Sampel untuk uji segitiga


Lama Perebusan
Jenis Uji Sampel
(menit)
Segitiga Atribut Mi Kering Terigu Komersil 2
Kekerasan 5
Segitiga Atribut Kwetiau Jagung Komersil 4
Kekenyalan 10

Calon panelis yang lolos seleksi menjadi kandidat panelis terlatih adalah
panelis yang dapat menjawab dengan benar sekurang-kurangnya 60 % untuk uji
segitiga dan 80 % untuk uji deskriptif rasa dasar (Meilgaard et al., 1999).
Selanjutnya panelis yang terpilih dalam kepentingan penelitian ini adalah yang
memiliki waktu dan motivasi tinggi dalam mengikuti tahap pelatihan secara
konsisten. Contoh format kuesioner uji-uji dalam seleksi panelis ini dapat dilihat
pada Lampiran 1.

28
b) Pelatihan Panelis Terlatih
Menurut Meilgaard et al. (1999), proses pelatihan panelis terlatih
membutuhkan waktu selama 40 hingga 120 jam. Semakin kompleks atribut yang
diujikan, maka waktu pelatihan panelis yang dibutuhkan juga akan semakin lama.
Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kepekaan sensori
panelis terhadap atribut rasa dan aroma, terutama yang terkait dengan kepentingan
penelitian. Tahapan ini terdiri dari pengenalan bahasa flavor, pengenalan skala,
dan pelatihan penilaian suatu sampel tertentu.
Setiap panelis diberikan latihan selang waktu tertentu secara berulang
sampai diperoleh hasil evaluasi sensori yang konsisten serta kesepakatan
mengenai istilah sensori tertentu. Latihan sensori ini meliputi pelatihan terhadap
atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi.

c) Uji Organoleptik
Uji organoleptik akan dilakukan dengan uji rating atribut kekerasan,
kelengketan dan kekenyalan pada mi jagung produk akhir oleh panelis terlatih. Uji
rating atribut dilakukan untuk melihat dan membandingkan hasilnya dengan
pengukuran menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2.

d) Analisis Data
Data-data pada penelitian ini diolah menggunakan uji statistik
nonparametrik, yaitu uji Mann-Whitney U/Wilcoxon. Uji Mann-Whitney
U/Wilcoxon digunakan untuk membandingkan dua mean/rata-rata populasi yang
berasal dari populasi yang sama dan menguji apakah berbeda nyata atau tidak
(Walpole, 1995).

3. Uji Penerimaan Konsumen terhadap Produk Olahan Mi Jagung


Tahap akhir penelitian ini meliputi uji penerimaan konsumen terhadap
produk olahan mi jagung. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang
diperoleh melalui penyebaran kuisioner kepada konsumen. Konsumen diminta
untuk menilai bagaimana penerimaannya terhadap produk olahan mi jagung.
Produk olahan yang dicobakan adalah mi ayam untuk mi basah jagung native dan

29
substitusi HMT serta mi bakso untuk mi kering jagung native dan substitusi
HMT. Uji penerimaan konsumen ini dilakukan bekerjasama dengan pedagang mi
ayam dan mi bakso. Contoh kuisioner yang diberikan kepada konsumen dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Kuisioner uji penerimaan konsumen berisi pertanyaan mengenai identitas
responden, perilaku responden dalam mengkonsumsi mi, tingkat kesukaan
responden terhadap produk olahan mi jagung dan tingkat kesesuaian produk
olahan tersebut menurut responden. Berdasarkan data yang diperoleh dari
kuisioner, dapat terlihat bagaimana penerimaan responden terhadap mi jagung dan
tingkat kesesuaiannya terhadap produk olahan yang dicobakan. Sebelum
dilakukan uji penerimaan konsumen, responden terlebih dahulu diberikan bebrapa
penjelasan mengenai mi jagung, mengingat produk ini merupakan produk yang
relatif baru. Beberapa penjelasan tersebut antara lain bahwa mi jagung memiliki
perbedaan dengan mi terigu komersil dalam hal tekstur dan mi jagung memiliki
beberapa kelebihan, antara lain tidak menggunakan pewarna dan pengawet.
Pengisian kuisioner didampingi oleh peneliti, hal ini ditujukan agar responden
lebih mudah menerima penjelasan mengenai pertanyaan-pertanyaan dalam
kuisioner tersebut.
Metode penentuan lokasi pengambilan responden menggunakan metode
Non Probability Sampling (NPS), yaitu seleksi unsur populasi berdasarkan
pertimbangan peneliti. Metode NPS terdiri dari tiga jenis contoh, yaitu contoh
kemudahan (accidental sampling), pertimbangan (purposive sampling) dan quota
(Singarimbun dan Effendi, 1989). Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah metode purposive sampling. Responden yang dipilih adalah warga lingkar
kampus IPB yang pernah membeli atau mengkonsumsi mi serta yang sesuai
dengan target usia, jenis kelamin dan tingkat ekonomi yang telah ditentukan.

30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK TEPUNG JAGUNG HMT


Jagung merupakan tanaman serealia yang memiliki profil gelatinisasi pati
tipe B. Profil gelatinisasi tipe B ditandai dengan kemampuan pengembangan yang
sedang dengan viskositas puncak yang tinggi serta memiliki breakdown
(penurunan viskositas selama pemanasan) yang tidak terlalu tajam (Collado et al,
2001). Sifat fungsional pati sangat menentukan kualitas mi yang dihasilkan. Hal
ini disebabkan sifat fungsional pati berkaitan erat dengan pembentukan adonan
(reologi) dan kualitas tekstur mi. Menurut Lii dan Chang (1981) didalam Collado
et al (2001), pati yang ideal untuk dibuat menjadi produk mi adalah pati yang
memiliki pengembangan dan solubility yang terbatas dan memiliki profil
gelatinisasi tipe C.
Selain itu, menurut Chen et al (2003), karakteristik pati yang baik untuk
diaplikasikan menjadi produk mi adalah pati dengan viskositas puncak yang
rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami
peningkatan selama pemanasan serta memiliki viskositas yang tinggi pada suhu
rendah (Tam et al, 2004). Mi yang dihasilkan dari pati dengan karakteristik
tersebut memiliki nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang
rendah, untaian mi yang kompak dan elastis serta kelengketan yang rendah
(Purwani et al, 2006).
Mi yang dibuat dari tepung jagung native (alami atau sebelum dimodifikasi)
memiliki beberapa kelemahan, yaitu mi basah jagung yang mudah putus dan
kurang kenyal, dan mi kering jagung yang keras dan mudah patah/rapuh sebelum
direhidrasi dan mudah putus, keras, kurang kenyal, lengket serta memiliki
kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang tinggi setelah direhidrasi.
Oleh karena itu, aplikasi tepung jagung HMT diharapkan dapat memperbaiki
kelemahan yang dimiliki mi jagung.
Modifikasi dengan teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dapat mengubah
profil gelatinisasi tepung jagung menjadi tipe C. Profil gelatinisasi tipe C ditandai
dengan kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak
adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan bahkan

31
meningkat selama pemanasan. Teknik Heat Moisture Treatment (HMT)
merupakan teknik modifikasi pati secara fisik, yaitu dengan pemanasan di atas
suhu gelatinisasi bahan selama periode waktu tertentu dan pada kadar air yang
terkendali. Kondisi modifikasi tepung jagung berdasarkan hasil penelitian Lestari
(2009), yaitu pada suhu 110oC selama 6 jam dan pada kadar air 24%.
Grafik hasil pengukuran profil gelatinisasi tepung jagung native (alami atau
sebelum dimodifikasi) dan setelah dimodifikasi dapat dilihat pada Gambar 5,
sedangkan data profil gelatinisasi tertera pada Tabel 14. Pengukuran profil
gelatinisasi dilakukan dengan menggunakan alat Brabender Amilograph. Profil
gelatinisasi yang diamati antara lain suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum,
kestabilan viskositas selama pemanasan atau breakdown, dan perubahan
viskositas selama pendinginan atau setback. Konsentrasi padatan suspensi tepung
jagung untuk pengukuran profil gelatinisasi ini adalah 8,87% (b/v) untuk tepung
jagung native dan 9,01% (b/v) untuk tepung jagung HMT. Tabel 15.
Menunjukkan data profil gelatinisasi tepung jagung HMT pada penelitian Lestari
(2009). Konsentrasi padatan suspensi tepung jagung untuk pengukuran profil
gelatinisasi pada penelitian tersebut adalah 9,91% (b/b) untuk tepung jagung
native dan 10,01% (b/b) untuk tepung jagung HMT.
Terdapat perbedaan antara data profil gelatinisasi pada penelitian ini dan
penelitian yang dilakukan Lestari (2009), antara lain pada suhu awal gelatinisasi,
dan nilai setback. Suhu awal gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada
penelitian ini lebih rendah dan nilai setback pada penelitian ini mengalami
peningkatan, sedangkan pada penelitian yang dilakukan Lestari (2009) mengalami
penurunan.
Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu saat granula pati mulai menyerap
air, pada grafik profil gelatinisasi terlihat jika viskositas mulai meningkat. Suhu
awal gelatinisasi tepung jagung HMT (79,50oC) lebih tinggi daripada tepung
jagung native (74,25 oC). Hal ini menunjukkan bahwa tepung jagung HMT lebih
tahan terhadap panas, sehingga butuh suhu yang lebih tinggi untuk dapat
menggelatinisasi pati jagung tersebut. Takahashi et al (2005) menyatakan bahwa
proses modifikasi HMT akan menyebabkan pergeseran (peningkatan) suhu awal
gelatinisasi dan suhu gelatinisasi.

32
1400 100

1200 90
80
1000
Viskositas (BU) 70
800 60

Suhu ( C)
600 50

400 40
30
200 Viskositas HMT
20
0 Viskositas NATIVE
10
Suhu
-200 0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
Waktu (Menit)

Gambar 5. Profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT

Tabel 14. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT
Tepung Jagung Tepung Jagung
Data Profil Gelatinisasi
Native HMT
o
Suhu awal gelatinisasi ( C) 74,25 79,50
Waktu awal gelatinisasi (menit) 29,50 33,00
Viskositas maksimum (BU) 659,00 -
Suhu saat mencapai viskositas 93,75 -
maksimum (oC)
Viskositas pada 95oC (BU) 655,00 385,00
Viskositas setelah holding 20 menit 608,00 479,00
o
di 95 C (BU)
Viskositas pada 50 oC (BU) 970,00 910,00
Viskositas setelah holding 20 menit 1.280,00 1.075,00
di 50 oC (BU)
Breakdown (BU) 4,00 -
Setback (BU) 315,00 525,00
Keterangan : Breakdown (BU) = Perubahan viskositas selama pemanasan atau
Viskositas maksimum – Viskositas pada 95oC
Setback (BU) = Perubahan viskositas selama pendinginan atau
Viskositas pada 50 oC – Viskositas pada 95oC

Tabel 15. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada penelitian
Lestari (2009) menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA)
Tepung Jagung Tepung Jagung
Data Profil Gelatinisasi
Native HMT
o b
Suhu awal gelatinisasi ( C) 76.37 + 0.89 83.97 + 0.06 a
b
Waktu awal gelatinisasi (menit) 5.00 + 0.00 5.80 + 0.23 a
Viskositas maksimum (cP) 1334.00 + 15.59 a 636.00 + 81.41 b
a
Viskositas akhir (cP) 1835.33 + 30.60 771.00 + 95.26 b
a
Breakdown (cP) 362.00 + 20.78 26.67 + 12.70 b
Setback (cP) 863.00 + 35.80 a 161.67 + 26.56 b

33
Peningkatan ini terjadi karena selama proses modifikasi terbentuk ikatan
baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian amorpous dengan
amilopektin pada bagian kristalin, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru
yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi et al 2005). Terbentuknya
ikatan baru yang lebih kompleks ini diharapkan dapat meningkatkan kekompakan
mi jagung sehingga tidak mudah putus dan lebih elastis setelah direhidrasi.
Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa perlakuan modifikasi HMT
dapat menyebabkan peningkatan suhu awal gelatinisasi pada pati ubi jalar
(Collado et al 2001), pati jagung (Pukkahuta et al 2008), dan tepung beras
(Takahashi et al 2005). Terbentuknya formasi kristalin dengan struktur yang lebih
kuat dan rapat menyebabkan pati membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk
menyerap air. Menurut Jacobs et al (1998), bagian amorpous pati lebih mudah
menyerap air karena memiliki struktur yang lebih renggang.
Viskositas maksimum atau viskositas puncak menunjukkan kondisi
pengembangan maksimum granula pati yang selanjutnya akan pecah dan
menurunkan viskositas. Viskositas maksimum terlihat pada grafik profil
gelatinisasi, yaitu viskositas tertinggi sesaat sebelum mengalami penurunan
viskositas. Viskositas maksimum tepung jagung native sebesar 659,00 BU,
sedangkan pada tepung jagung HMT tidak terdapat viskositas maksimum. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan HMT pada tepung jagung menyebabkan
penurunan kemampuan pati untuk mengembang. Selain itu, dapat juga
mengindikasikan penurunan polimer yang lepas selama pemanasan. Berdasarkan
Newport Scientific (1998) yang dikutip oleh Beta dan Corke (2001), bahwa
viskositas maksimum mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki
korelasi negatif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah
polimer yang lepas.
Tepung jagung HMT tidak memiliki viskositas maksimum, sehingga dapat
diindikasikan bahwa pada produk akhir akan terjadi penurunan jumlah polimer
yang lepas. Hal ini terkait dengan parameter KPAP (Kehilangan Padatan Akibat
Pemasakan) pada produk mi jagung dan diharapkan dengan adanya substitusi
tepung jagung HMT dapat menurunkan KPAP mi jagung. Selain itu, diharapkan

34
pula terjadinya penurunan jumlah polimer yang lepas sehingga dapat menurunkan
kelengketan mi jagung yang dihasilkan.
Breakdown atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan
kestabilan pasta selama pemanasan, dimana semakin rendah breakdown maka
pasta yang terbentuk akan semakin stabil serhadap panas (Widaningrum dan
Purwani, 2006). Nilai Breakdown diperoleh dari viskositas maksimum dikurangi
viskositas pada suhu 95oC. Breakdown tepung jagung native sebesar 4,00 BU,
sedangkan tepung jagung HMT tidak memiliki breakdown.
Menurut Beta dan Corke (2001), breakdown memiliki korelasi positif
dengan kualitas fisik mi sorgum yang dihasilkan yaitu kehilangan padatan selama
pemasakan (KPAP). Nilai breakdown merupakan tingkat kestabilan granula
pati selama pemanasan (Beta dan Corke, 2001) sehingga dengan tidak
adanya nilai breakdown pada tepung jagung HMT diharapkan dapat
meningkatkan kekompakan serta meningkatkan elastisitas mi jagung. Tekstur mi
jagung yang kompak atau tidak hancur selama pemasakan diharapkan dapat
menghasilkan mi dengan KPAP dan kelengketan yang rendah dan lebih elastis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Collado dan Corke (1997) pada
pembuatan mi pati ubi jalar native, pati yang memiliki rasio stabilitas (viskositas
pada 95oC/viskositas pada 50 oC) lebih tinggi secara signifikan dan berkorelasi
tinggi terhadap tingkat kekerasan mi yang dimasak. Selain itu, mi yang dibuat dari
pati ubi jalar HMT menghasilkan produk mi yang tidak keras. Menurut Mestres et
al (1988), mi yang terbuat dari pati adalah pati yang teretrogradasi, sehingga pati
yang mengalami retrogradasi lebih cepat (ditunjukkan dengan nilai setback yang
tinggi) merupakan yang lebih baik untuk produk mi.
Viskositas setback menunjukkan tingkat kecenderungan proses retrogadasi
pasta pati. Menurut Winarno (2004), retrogradasi merupakan proses terbentuknya
jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu
sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula setelah pasta
didinginkan. Nilai setback yang semakin tinggi menunjukkan semakin tinggi
kecenderungan terjadinya retrogradasi. Nilai setback tepung jagung native sebesar
315,00 BU, sedangkan tepung jagung HMT sebesar 525,00 BU. Peningkatan nilai
ini diharapkan dapat memperbaiki karakteristik mi jagung yang disubstitusi

35
dengan tepung jagung HMT, yaitu pada atribut kekerasan. Substitusi tepung
jagung HMT diharapkan dapat menurunkan tingkat kekerasan mi jagung.

B. PENGARUH PENGUKUSAN ADONAN TERHADAP KUALITAS MI


JAGUNG
Pembuatan mi jagung 100% membutuhkan tambahan proses yaitu
pengukusan sebagian adonan (70% bagian) sebelum dilakukan pembentukan
lembaran mi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2009),
pengukusan sebagian adonan dilakukan pada suhu 90 oC selama 15 menit dan
substitusi tepung jagung HMT sebesar 10% dari jumlah tepung jagung yang
digunakan. Kondisi pengukusan adonan merupakan proses yang kritis.
Berdasarkan Putra (2008), apabila rasio adonan dan waktu pengukusan tidak
sesuai maka tidak akan terbentuk adonan mi yang kompak dan tidak dapat dibuat
menjadi mi.
Substitusi tepung jagung HMT seperti terlihat pada Tabel 16, memberikan
pengaruh positif terhadap kualitas adonan, antara lain adonan menjadi tidak
lengket dan penanganan adonan menjadi lebih mudah. Berdasarkan tabel tersebut
terlihat bahwa kualitas adonan formula 1, 2 dan 3 tidak memiliki perbedaan yang
nyata. Oleh karena itu, formula yang dipilih adalah formula 1 atau adonan yang
dikukus tidak disubstitusi dengan tepung jagung HMT, pengaplikasian tepung
jagung HMT dilakukan pada pencampuran kering dengan bagian tepung jagung
yang tidak dikukus. Pertimbangan dari pemilihan formula ini adalah kemudahan
proses produksi. Formula ini digunakan untuk penentuan kondisi proses
selanjutnya, yaitu pada penentuan rentang waktu pengukusan. Visualisasi mi
jagung kontrol, formula 1, 2, dan 3 dapat dilihat pada Gambar 6.
Pembentukan adonan mi menjadi tidak lengket, lebih elastis dan tidak
mudah retak setelah disubstitusi dengan tepung jagung HMT. Adonan menjadi
tidak lengket karena proses modifikasi HMT menyebabkan tepung jagung tidak
memiliki viskositas maksimum. Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa
viskositas maksimum berkorelasi positif dengan kualitas produk akhir yaitu
pengembangan dan jumlah polimer yang lepas (Newport Scientific, 1998). Hal
inilah yang menyebabkan penurunan jumlah polimer yang lepas dan berakibat
pada penurunan kelengketan adonan.

36
Tabel 16. Pengaruh rasio tepung jagung HMT yang dikukus terhadap kualitas
adonan
Rasio Adonan yang Dikukus Kualitas Adonan
Kontrol Pembentukan adonan agak lengket
(Mi jagung native) Lembaran adonan agak mudah patah
Pemotongan mi agak lengket pada alat
Hasil mi basah agak belum matang
Mi basah mudah putus
Formula 1 Pembentukan adonan tidak lengket
(Mi jagung HMT tidak dikukus) Penanganan adonan lebih mudah
Pemotongan mi tidak lengket
Adonan lebih elastis dari kontrol
Mi basah matang
Formula 2 Pembentukan adonan tidak lengket
(Mi jagung HMT sebagian dikukus) Penanganan adonan lebih mudah
Pemotongan mi tidak lengket
Adonan lebih elastis dari kontrol
Mi basah matang
Formula 3 Pembentukan adonan tidak lengket
(Mi jagung HMT dikukus) Penanganan adonan lebih mudah
Pemotongan mi sedikit lengket
Adonan lebih elastis dari kontrol
Mi basah matang

a b

c d
Gambar 6. Visualisasi mi basah jagung dengan variasi bagian adonan
yang dikukus [a] Kontrol (Mi jagung native); [b] Formula 1 (Mi
jagung HMT tidak dikukus); [c] Formula 2 (Mi jagung HMT
sebagian kukus); [d] Formula 3 (Mi jagung HMT dikukus)

37
Adonan mi jagung setelah disubstitusi tepung jagung HMT juga menjadi
lebih elastis dan tidak mudah retak. Peningkatan elastisitas dan kekompakan
adonan ini dipengaruhi oleh tepung jagung HMT karena selama proses modifikasi
terbentuk ikatan baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian kristalin
dengan amilopektin pada bagian amorpous, sehingga menghasilkan formasi
kristalin baru yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi et al 2005).
Selain rasio adonan yang dikukus, titik kritis lain pada proses pengukusan
adonan adalah waktu pengukusan. Tabel 17 menunjukkan pengaruh waktu
pengukusan terhadap sifat adonan yang diamati secara visual. Seperti telah
dipaparkan sebelumnya, bahwa pada pembuatan mi jagung 100%, waktu
pengukusan adonan dilakukan selama 15 menit. Setelah dilakukan pengukusan,
adonan dicampur dengan bagian adonan yang tidak dikukus, kemudian dilakukan
penggilingan dan dibentuk menjadi lembaran mi.
Pengukusan adonan bertujuan menggelatinisasi sebagian pati dan akan
membantu mengikat adonan serta mempermudah pembentukan lembaran mi
(Putra, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2008) menunjukkan
bahwa pengukusan adonan dilakukan selama 15 menit, apabila waktu pengukusan
lebih pendek akan membuat adonan menjadi mudah patah dan sebaliknya jika
waktu pengukusan lebih panjang akan membuat adonan menjadi lengket dan tidak
dapat dibuat lembaran.

Tabel 17. Pengaruh waktu pengukusan terhadap sifat adonan


Waktu
Sifat Adonan (secara visual)
(menit)
13 Adonan agak kurang matang, agak rapuh sehingga agak sulit
membentuk lembaran, lembaran yang terbentuk agak pecah-
pecah
14 Adonan tidak lengket, lembaran yang terbentuk plastis
sehingga dapat direduksi ukurannya
15 Adonan tidak lengket, lembaran yang terbentuk plastis
sehingga dapat direduksi ukurannya
16 Adonan tidak lengket, lembaran yang terbentuk plastis
sehingga dapat direduksi ukurannya
17 Adonan agak lengket pada roller mesin sheeting, lembaran
agak sulit ditipiskan

38
Akan tetapi, substitusi tepung jagung HMT seperti terlihat pada Tabel 17,
memberikan pengaruh pada waktu pengukusan, yaitu waktu pengukusan adonan
menjadi lebih panjang dan adonan masih dapat ditangani serta dapat dibentuk
menjadi lembaran mi. Substitusi tepung jagung HMT ini memudahkan proses
produksi mi jagung, yaitu pengukusan adonan dapat dilakukan selama 14-16
menit. Waktu pengukusan adonan dapat lebih panjang karena proses modifikasi
HMT dapat mencegah penyerapan air lebih banyak dan adonan menjadi tidak
lengket walaupun waktu pengukusan menjadi lebih lama. Hal ini ditunjukkan
dengan karateristik tepung jagung HMT, seperti telah dipaparkan sebelumnya
memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi, sehingga lebih tahan terhadap
panas dan membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk dapat menggelatinisasi pati
jagung.

1. Analisis Sifat Fisik Mi Jagung


Analisis ini mencakup pengukuran waktu pemasakan optimum, pengukuran
tekstur kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi setelah dimasak menggunakan
alat Texture Analyzer TAXT-2, pengukuran persentase elongasi setelah dimasak,
pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan), dan uji organoleptik
meliputi uji rating atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi setelah
dimasak dengan panelis terlatih.

a. Waktu Pemasakan Optimum


Waktu pemasakan optimum mi basah jagung native dan HMT adalah 30
detik, sedangkan mi kering jagung native dan HMT adalah 3 menit 30 detik.
Waktu pemasakan mi jagung basah lebih singkat karena telah mengalami
pematangan dengan pengukusan, sedangkan mi kering jagung mengalami proses
pengeringan sehingga membutuhkan waktu pemasakan atau rehidrasi yang lebih
panjang.

b. Analisis Profil Tekstur


Analisis profil tekstur dari mi jagung dilakukan menggunakan alat Texture
Analyzer TAXT-2 sehingga dapat diperoleh data mengenai kekerasan, kekenyalan

39
dan kelengketan mi. Gambar 7 menunjukkan nilai kekerasan mi basah jagung,
sedangkan Gambar 8 menunjukkan nilai kekerasan mi kering jagung. Seperti
terlihat pada kedua grafik tersebut, nilai kekerasan mi basah jagung dan mi kering
jagung mengalami penurunan setelah disubstitusi dengan tepung jagung HMT.
Nilai kekerasan mi basah jagung native sebesar 1307,75 gf menurun menjadi
1110,88 gf setelah disubstitusi dengan tepung jagung HMT. Begitu pula dengan
mi kering, sebelum disubstitusi dengan tepung jagung HMT, nilai kekerasannya
mencapai 2042,78 gf dan menurun menjadi 1605,33 gf setelah proses substitusi
dilakukan. Nilai kekerasan ini menurun secara nyata setelah diuji dengan uji
nonparametrik Mann Whitney U/Wilcoxon pada taraf signifikansi 0,05.

1307,75a
1110,88b
Nilai Kekerasan (gf)

1400
1200
1000
800
600
400
200
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 7. Nilai kekerasan mi basah jagung yang diukur dengan Texture


Analyzer

2042,78a
Nilai Kekerasan (gf)

2400 1605,33b
2000
1600
1200
800
400
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 8. Nilai kekerasan mi kering jagung yang diukur dengan Texture


Analyzer

40
Penurunan nilai kekerasan ini dipengaruhi oleh karakteristik tepung jagung
yang telah dimodifikasi HMT. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Beta dan Corke (2001), nilai setback berkorelasi positif dengan tingkat kekerasan
mi pati sorgum. Nilai setback tepung jagung HMT seperti telah dipaparkan
sebelumnya pada karaterisasi tepung jagung HMT, telah mengalami peningkatan
sehingga substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan tingkat kekerasan mi
jagung. Selain itu, seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa menurut Mestres
et al (1988), pati yang mengalami retrogradasi lebih cepat (ditunjukkan dengan
nilai setback yang tinggi) merupakan yang lebih baik untuk produk mi dan mi
yang dibuat dari pati ubi jalar HMT menghasilkan produk mi yang tidak keras
(Collado dan Corke, 1997).
Mi jagung memiliki kelemahan pada teksturnya, yaitu rapuh (sebelum
direhidrasi, pada mi kering) dan kurang kenyal (setelah direhidrasi/dimasak, pada
mi basah dan mi kering). Hal ini disebabkan tepung jagung tidak memiliki protein
gluten yang dapat membentuk tekstur yang kompak dan menghasilkan produk mi
yang kenyal. Substitusi tepung jagung HMT ternyata memberikan pengaruh yang
positif dan nyata (α = 0,05) pada produk akhir mi jagung, baik basah maupun
kering yaitu peningkatan nilai kekenyalan, seperti terlihat pada Gambar 9 dan
Gambar 10. Mi basah jagung setelah disubstitusi tepung jagung HMT meningkat
nilai kekenyalannya dari 482,65 gf menjadi 612,39 gf. Begitu pula dengan mi
kering jagung, meningkat dari 450,61 gf menjadi 631,90 gf.

612,39b
Nilai Kekenyalan (gf)

700 482,65a
600
500
400
300
200
100
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 9. Nilai kekenyalan mi basah jagung yang diukur dengan Texture


Analyzer

41
631,90b

Nilai Kekenyalan (gf)


700 450,61a
600
500
400
300
200
100
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 10. Nilai kekenyalan mi kering jagung yang diukur dengan Texture
Analyzer

Peningkatan nilai kekenyalan ini dipengaruhi oleh karakteristik tepung


jagung yang telah dimodifikasi HMT. Proses modifikasi ini menyebabkan
terbentuknya formasi yang lebih kuat dan rapat sehingga tekstur mi jagung yang
dihasilkan menjadi lebih kompak dan kenyal. Selain itu, tepung jagung HMT
memiliki kestabilan panas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan tidak
adanya breakdown pada profil gelatinisasinya. Menurut Beta dan Corke (2001),
nilai breakdown merupakan tingkat kestabilan granula pati selama
pemanasan, sehingga dengan tidak adanya nilai breakdown pada tepung jagung
HMT menunjukkan bahwa granula pati stabil dan dapat meningkatkan
kekompakan serta elastisitas mi jagung.
Atribut tekstur lain yang ingin diperbaiki dengan adanya substitusi tepung
jagung HMT adalah kelengketan. Seperti terlihat pada Gambar 11 dan 12, nilai
kelengketan mi jagung baik basah maupun kering mengalami penurunan secara
nyata. Nilai kelengketan mi basah jagung setelah disubstitusi tepung jagung HMT
menurun dari 859,51 gf menjadi 648,24 gf. Hal yang sama juga ditunjukkan pada
mi kering jagung, kelengketannya berkurang setelah dilakukan proses substitusi
tepung jagung HMT, yaitu sebelumnya sebesar 1117,68 gf menjadi 748,70 gf.
Kelengketan mi berkaitan dengan jumlah polimer yang lepas pada produk
akhir. Semakin tinggi jumlah polimer yang lepas maka semakin tinggi
kelengketannya dan pada akhirnya juga mempengaruhi KPAP (Kehilangan
Padatan Akibat Pemasakan) serta berakibat pada tidak kompaknya tekstur mi
yang dihasilkan atau mi mudah hancur (putus). Substitusi tepung jagung HMT

42
dapat menurunkan nilai kelengketan karena karateristiknya yang tidak memilki
viskositas maksimum, seperti yang dilaporkan Newport Scientific (1998) dan
dikutip oleh Beta dan Corke (2001), bahwa viskositas maksimum
mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki korelasi negatif dengan
kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas selama
pemanasan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya penurunan kelengketan
pada produk akhir mi jagung, karena semakin meningkatnya jumlah polimer yang
lepas dapat menimbulkan kelengketan di permukaan mi. Selain itu, nilai setback
yang meningkat menunjukkan retrogradasi lebih cepat terjadi sehingga
membentuk struktur mi yang lebih kuat dan kompak. Hal ini dapat mengurangi
kelengketan karena mencegah polimer-polimer lepas selama pemasakan. Data-
data nilai kekerasan, kekenyalan dan kelengketan yang diukur dengan Texture
Analyzer dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan hasil uji statistiknya dapat
dilihat pada Lampiran 4.

859,51a
Nilai Kelengketan (gf)

1000
648,24b
800
600
400
200
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 11. Nilai kelengketan mi basah jagung yang diukur dengan


Texture Analyzer

1117,68a
Nilai Kelengketan (gf)

1200 748,70b
1000
800
600
400
200
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 12. Nilai kelengketan mi kering jagung yang diukur dengan


Texture Analyzer

43
c. Analisis Persentase Elongasi
Gambar 13 dan 14 menunjukkan pengaruh substitusi tepung jagung HMT
terhadap persentase elongasi pada mi basah dan kering jagung. Baik pada ulangan
1 maupun ulangan 2, substitusi tepung jagung HMT memberikan perbedaan yang
nyata pada persentase elongasi mi jagung. Mi basah jagung memiliki rata-rata
elongasi sebesar 46,55% menjadi 69,69% jika disubstitusi dengan tepung jagung
HMT, dan mi kering jagung memiliki rata-rata elongasi sebesar 35,24% menjadi
60,44%. Lampiran 5 menunjukkan data-data nilai persentase elongasi, sedangkan
hasil uji statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 6.

69,69b

70 46,55a
60
Elongasi (%)

50
40
30
20
10
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 13. Persentase elongasi mi basah jagung

60,44b
70
60 35,24a
Elongasi (%)

50
40
30
20
10
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 14. Persentase elongasi mi kering jagung

Peningkatan persentase elongasi ini dipengaruhi oleh karakteristik tepung


jagung HMT yang tidak memiliki breakdown. Nilai breakdown seperti telah
dipaparkan sebelumnya, merupakan tingkat kestabilan granula pati selama
pemanasan (Beta dan Corke, 2001) sehingga dengan tidak adanya nilai breakdown

44
dapat meningkatkan kekompakan serta meningkatkan elastisitas mi jagung. Selain
itu, proses modifikasi HMT menyebabkan terbentuknya ikatan baru yang lebih
kompleks antara amilosa pada bagian amorpous dengan amilopektin pada bagian
kristalin, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru yang memiliki ikatan lebih
kuat dan rapat (Takahashi et al 2005). Hal inilah yang mempengaruhi peningkatan
persentase elongasi mi jagung yang disubstitusi tepung jagung HMT.

d. Analisis KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan)


Hasil pengukuran KPAP mi jagung dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, terlihat bahwa substitusi tepung jagung HMT
dapat menurunkan nilai KPAP secara nyata, baik mi basah maupun mi kering.
Nilai rata-rata KPAP mi basah jagung sebesar 10,28% dan setelah disubstitusi
tepung jagung HMT menjadi 8,68%, sedangkan mi kering jagung sebesar 6,12%
dan setelah disubstitusi tepung jagung HMT menjadi 4,72%.
Hal ini sesuai dengan harapan bahwa substitusi tepung jagung HMT dapat
menurunkan KPAP. Tepung jagung HMT seperti telah dipaparkan sebelumnya
tidak memiliki viskositas maksimum, karateristik ini terkait dengan parameter
KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) karena memiliki korelasi negatif
dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas
(Newport Scientific, 1998). Data-data nilai kehilangan padatan akibat pemasakan
dapat dilihat pada Lampiran 7 , sedangkan hasil uji statistiknya dapat dilihat pada
Lampiran 8.

10,28a
12 8,68b
10
KPAP (%)

8
6
4
2
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 15. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi basah jagung

45
6,12a
7 4,72b
6

KPAP (%)
5
4
3
2
1
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 16. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi kering jagung

Gambar 17 menunjukkan hubungan antara lama pemasakan (menit) dan


KPAP (%). Terlihat pada kedua gambar tersebut bahwa lama pemasakan (menit)
berbanding terbalik dengan nilai KPAP. Hal ini terjadi karena semakin lama mi
dimasak maka proses pelepasan polimer akan meningkat dan akhirnya akan
hancur atau akan merusak kekompakan bentuk mi jagung.
Nilai KPAP antara mi kering jagung native dan HMT pada waktu
pemasakan selama 3 menit (6,07% untuk native dan 4,67% untuk HMT) dan 6
menit (9,57% untuk native dan 8,70% untuk HMT) tidak jauh berbeda. Akan
tetapi, ketika dimasak pada waktu yang lebih lama, kedua jenis mi memberikan
nilai KPAP yang berbeda, nilai KPAP mi kering jagung native lebih tinggi
dibandingkan mi kering jagung HMT.

35,00
30,00
25,00
KPAP (%)

y = 5,308x - 0,793
20,00 R² = 0,982
15,00 Kering Natif
10,00 y = 4,094x - 0,092 Kering HMT
5,00 R² = 0,962
0,00
3 6 9 12 15 18
Lama Pemasakan (menit)

Gambar 17. Hubungan antara kehilangan padatan akibat pemasakan


(KPAP) dan lama waktu pemasakan mi kering jagung

46
2. Analisis Organoleptik Mi Jagung
a. Seleksi Panelis
Pemilihan panelis merupakan hal yang kritis dalam uji organoleptik. Seleksi
panelis merupakan tahap awal untuk menjaring panelis yang memiliki kepekaan
sensori yang baik untuk menguji hasil akhir mi jagung. Bagian awal seleksi
adalah prescreening questionnaire yang dilakukan dengan pengisian kuesioner.
Tujuannya adalah mendapatkan data kandidat panelis mencakup motivasi, waktu
luang, kesehatan dan kebiasaan makan.
Selanjutnya, dilakukan acuity test (uji ketepatan) yang terdiri dari empat
metode seleksi, yaitu: (1) identifikasi rasa dasar untuk mengetahui kemampuan
kandidat panelis dalam mengindentifikasi rasa dasar (manis, asam, asin, pahit, dan
umami), (2) identifikasi aroma dasar untuk mengetahui kemampuan kandidat
panelis dalam mendeskripsikan beberapa aroma dasar (tutti fruity,mint, orange,
meat dan nut), (3) uji ranking rasa dasar untuk mengetahui kemampuan kandidat
panelis dalam membedakan dan mengurutkan intensitas rasa dasar, dan (4) uji
segitiga untuk mengetahui kemampuan kandidat panelis dalam menentukan satu
sampel beda diantara tiga sampel yang disajikan. Seleksi panelis dilakukan
terhadap 40 orang mahasiswa.
Panelis dinyatakan lolos seleksi apabila menjawab dengan benar minimal
80% untuk identifikasi rasa dan aroma dasar, 100% untuk uji ranking, dan
minimal 60% untuk uji segitiga. Berdasarkan penilaian hasil pengujian
identifikasi rasa dan aroma dasar serta uji ranking, maka yang dinyatakan lolos
seleksi sebanyak 28 orang. Selanjutnya, 28 orang ini akan diseleksi dengan uji
segitiga. Uji segitiga ini dilakukan dengan beberapa set mi yang memiliki
perbedaan kekerasan dan kekenyalan. Uji segitiga dengan atribut kekerasan
dilakukan sebanyak 6 kali ulangan dan atribut kekenyalan sebanyak 9 kali
ulangan. Hal ini dilakukan untuk melihat konsistensi calon panelis dalam
membedakan atribut kekerasan dan kekenyalan produk mi.
Berdasarkan hasil penilaian, maka yang dinyatakan lolos seleksi uji segitiga
sebanyak 11 orang. Uji ini merupakan tahap akhir dari rangkaian seleksi panelis,
sehingga 11 orang yang terpilih merupakan calon panelis terlatih yang selanjutnya
akan dilakukan pelatihan panelis. Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan

47
meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap atribut kekerasan, kekenyalan
dan kelengketan mi. Performa 11 orang calon panelis terlatih selama seleksi
panelis dapat dilihat pada Lampiran 9. Contoh scoresheet rangkaian seleksi
panelis dapat dilihat pada Lampiran 1.

b. Pelatihan Panelis Terlatih


Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kemampuan
panelis dalam membedakan atribut tekstur. Atribut tekstur yang dilatih meliputi
kekerasan, kekenyalan dan kelengketan. Atribut tersebut sangat penting untuk
mengevaluasi karakteristik fisik mi jagung secara subjektif, yang kemudian akan
dibandingkan dengan pengukuran secara objektif menggunakan alat Texture
Analyzer TAXT-2. Waktu pelaksanaan pelatihan ini telah disepakati oleh para
calon panelis terlatih.
Pelatihan panelis terdiri dari 8 kali pertemuan, pertemuan pertama
merupakan pengenalan mengenai pengenalan leader pelatihan, tujuan penelitian,
alokasi waktu pelatihan, dan gambaran umum pelatihan panelis yang akan
dilaksanakan. Berdasarkan kesepakatan, maka pelatihan panelis dilaksanakan
pada hari Senin pukul 08.45-09.45 WIB dan Jumat pukul 10.00-11.30 WIB.
Pertemuan kedua meliputi pengenalan berbagai jenis mi. Jenis mi yang
digunakan pada pelatihan antara lain mi kering terigu komersil, mi instan terigu
komersil, mi kering jagung substitusi 35%, dan mi kering jagung 100%. Panelis
kemudian diminta untuk mendeskripsikan karakteristik beberapa jenis mi tersebut
dan pada pertemuan ini disamakan persepsi mengenai kekerasan, kekenyalan, dan
kelengketan serta cara pengujiannya.
Pertemuan ketiga dilakukan penentuan reference untuk atribut tekstur.
Reference merupakan kontrol dalam melakukan penilaian sampel untuk atribut
tekstur. Penentuan reference dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
kemiripan dengan sampel yang akan diuji dan konsistensi serta kemudahan
diperoleh. Oleh karena itu, pemilihan reference dilakukan pada beberapa jenis mi
komersil, dengan pertimbangan bahwa mi komersil dapat dipertahankan
konsistensinya serta mudah diperoleh. Beberapa jenis mi yang digunakan antara
lain mi kering terigu A, mi kering terigu B, mi kering terigu C, dan mi kering

48
terigu D. Berdasarkan hasil diskusi para panelis, maka ditetapkan bahwa mi
kering terigu B merupakan reference untuk pengujian sampel. Hasil diskusi pada
pertemuan ketiga tersebut dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Hasil diskusi pertemuan ketiga pada pelatihan panelis


Deskripsi Atribut
Jenis Mi
Kekerasan Kekenyalan Kelengketan
Mi jagung 100% Keras Tidak kenyal Lengket
Mi kering terigu A Sedikit keras Sedikit kenyal Lengket
Mi kering terigu B Agak keras Sedikit kenyal Sedikit lengket
Mi kering terigu C Tidak keras Kenyal Agak lengket
Mi kering terigu D Tidak keras Agak kenyal Lengket

Pertemuan keempat meliputi latihan skala pada scoresheet uji yang akan
digunakan untuk pengujian sampel mi jagung dan penentuan skala penilaian
terhadap reference. Latihan skala ini dilakukan dengan simulasi pengujian pada
booth yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi untuk menyamakan persepsi.
Scoresheet uji yang digunakan untuk latihan skala dapat dilihat pada Lampiran
10. Pertemuan kelima sampai pertemuan kedelapan merupakan ulangan dari
pertemuan keempat. Beberapa ulangan ini bertujuan melatih konsistensi panelis
sehingga mampu meningkatkan kepekaan panelis dalam membedakan atribut
tekstur yang diperlukan untuk kepentingan penelitian.

c. Uji Organoleptik Mi Jagung


Pengujian organoleptik dilakukan pada sampel mi basah dan mi kering
jagung native serta mi basah dan mi kering jagung HMT yang sudah dimasak. Mi
basah jagung dimasak selama 30 detik, sedangkan mi kering jagung dimasak
selama 3 menit 30 detik berdasarkan hasil pengukuran waktu pemasakan
optimum. Contoh scoresheet uji yang digunakan dalam pengujian tertera pada
Lampiran 10.
Uji organoleptik yang dilakukan meliputi atribut tekstur, yaitu kekerasan,
kekenyalan, dan kelengketan. Panelis terlatih diminta menilai dan memberikan
skor untuk atribut tekstur tersebut. Data-data hasil uji organoleptik dapat dilihat
pada Lampiran 11, sedangkan uji statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 12.

49
Berdasarkan hasil pengujian, panelis menilai kekerasan mi basah jagung
native pada skor 7,36 atau ”keras”, sedangkan mi basah jagung HMT dinilai oleh
panelis pada skor 5,36 atau ”agak keras/agak lunak”. Penurunan nilai kekerasan
ini menunjukkan perbedaan yang nyata (α=0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
substitusi tepung jagung HMT berpengaruh dalam mengurangi kekerasan mi
basah jagung.
Kekerasan mi kering jagung native dinilai oleh panelis pada skor 8,09 atau
berada diantara ”keras” dan ”sangat keras”, sedangkan mi kering jagung HMT
dinilai pada skor 6,82 atau berada diantara ”agak keras/agak lunak” dan ”keras”.
Nilai kekerasan mi kering jagung native dan mi kering jagung HMT memiliki
perbedaan yang nyata, sehingga dapat terlihat bahwa secara organoleptik
kekerasan mi jagung kering dapat dikurangi dengan substitusi tepung jagung
HMT. Grafik nilai kekerasan mi jagung dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19.

10 7,36a
Nilai Kekerasan

8 5,36b
6
4
2
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 18. Nilai kekerasan mi basah jagung secara organoleptik

8,09a
10 6,82b
Nilai Kekerasan

8
6
4
2
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 19. Nilai kekerasan mi kering jagung secara organoleptik

50
Atribut tekstur lain yang diuji adalah kekenyalan. Berdasarkan hasil
pengujian, nilai kekenyalan mi basah jagung native dan mi basah jagung HMT
menunjukkan perbedaan yang nyata. Skor mi basah jagung native dinilai pada
4,82 atau berada diantara ”tidak kenyal” dan ”agak kenyal/agak tidak kenyal”,
sedangkan mi basah jagung HMT dinilai pada 6,18 atau berada diantara ”agak
kenyal/agak tidak kenyal” dan ”kenyal”. Grafik nilai kekenyalan mi jagung dapat
dilihat pada Gambar 20 dan 21.
Hasil yang sama juga ditunjukkan pada mi kering jagung native dan mi
kering jagung HMT. Nilai kekenyalan mi kering jagung native berbeda nyata
dengan mi kering HMT. Skor mi kering jagung native dinilai oleh panelis pada
5,00 atau ”agak kenyal/agak tidak kenyal” dan mi kering jagung HMT pada 6,00
atau ”agak kenyal/agak tidak kenyal”. Substitusi tepung jagung HMT secara
organoleptik dinilai dapat meningkatkan kekenyalan mi jagung, baik basah
maupun kering.

6,18b
7 4,82a
Nilai Kekenyalan

6
5
4
3
2
1
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 20. Nilai kekenyalan mi basah jagung secara organoleptik

6,00b
7 5,00a
Nilai Kekenyalan

6
5
4
3
2
1
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 21. Nilai kekenyalan mi kering jagung secara organoleptik

51
Atribut tekstur yang juga dilakukan evaluasi secara organoleptik adalah
kelengketan mi. Sesuai dengan hasil kesepakatan tim panelis terlatih, kelengketan
mi dinilai dengan memperhatikan kelengketan antar mi, kelengketan pada tangan,
dan ketika dikunyah. Grafik nilai kelengketan mi jagung dapat dilihat pada
Gambar 22 dan 23.

6,36a
7 4,82b
Nilai Kelengketan

6
5
4
3
2
1
0
Basah Natif Basah HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 22. Nilai kelengketan mi basah jagung secara organoleptik

5,45a
7 4,55b
Nilai Kelengketan

6
5
4
3
2
1
0
Kering Natif Kering HMT
Jenis Mi Jagung

Gambar 23. Nilai kelengketan mi kering jagung secara organoleptik

Berdasarkan hasil pengujian, kelengketan mi basah jagung native dan mi


basah jagung HMT memiliki perbedaan yang nyata (α=0,05). Kelengketan mi
basah jagung native dinilai oleh panelis pada skor 6,36 atau berada diantara ”agak
lengket/agak tidak lengket” dan ”lengket”, sedangkan mi basah jagung HMT
dinilai pada skor 4,82 atau berada diantara ”tidak lengket” dan ”agak lengket/agak

52
tidak lengket”. Hasil tersebut menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung HMT
secara nyata dapat menurunkan kelengketan mi jagung.
Substitusi tepung jagung HMT pada mi kering jagung juga secara nyata
dapat menurunkan kelengketan mi. Mi kering jagung native dinilai oleh panelis
pada skor 5,45 atau ”agak lengket/agak tidak lengket”, sedangkan mi kering
jagung HMT dinilai pada skor 4,55 atau berada diantara ”tidak lengket” dan ”
agak lengket/agak tidak lengket”.
Hasil analisis fisik mi jagung, berupa atribut tekstur kekerasan, kekenyalan,
dan kelengketan baik secara objektif (pengukuran profil tekstur) maupun subjektif
(uji organoleptik) menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung HMT dapat
menurunkan nilai kekerasan, meningkatkan kekenyalan, dan menurunkan
kelengketan secara nyata (α=0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa substitusi
tepung jagung HMT berpengaruh positif terhadap kualitas mi jagung baik basah
maupun kering. Selanjutnya, mi basah dan mi kering jagung dilakukan uji
penerimaan konsumen untuk melihat bagaimana penerimaan konsumen terhadap
produk ini.

C. PENERIMAAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK OLAHAN MI


JAGUNG
Informasi mengenai penerimaan konsumen terhadap produk mi jagung
sangat penting untuk mengingat mi jagung merupakan produk yang relatif baru
dan ditujukan untuk dapat dijadikan alternatif pengganti mi terigu komersil.
Responden dalam uji penerimaan konsumen ini diberikan kuisioner yang berisi
pertanyaan mengenai data umum responden, perilaku konsumsi mi responden, dan
penerimaan responden terhadap produk olahan mi jagung. Contoh kuisioner pada
uji penerimaan ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

1. Data Umum Responden


Jumlah responden pada uji penerimaan konsumen ini adalah sebanyak 175
orang. Sebagian besar responden adalah perempuan (58,86%), berusia 16-25
tahun (77,14%), dan berpendidikan SMA (49,71%). Responden didominasi
pelajar/mahasiswa (69,71%) dan memiliki rata-rata pengeluaran per bulan sebesar

53
Rp 500.000-1.000.000 (41,71%). Secara rinci, data umum keseluruhan responden
dapat dilihat pada Lampiran 13.

2. Perilaku Konsumsi Mi Responden


Informasi mengenai perilaku konsumsi mi responden yang dapat diperoleh
dari uji konsumen ini berupa data frekuensi konsumsi mi responden per minggu,
faktor penentu konsumsi mi, dan atribut mutu yang penting menurut responden.
Seperti terlihat pada Gambar 24, sebagian besar (57,14%) responden
mengkonsumsi mi sebanyak <2 kali setiap minggunya, sedangkan sebesar 37,14%
responden mengkonsumsi mi sebanyak 3-4 kali per minggu. Sebagian kecil
responden mengkonsumsi mi sebanyak 5-7 kali per minggu (4,00%) dan >7 kali
per minggu (1,72%).

57,14%
60
Jumlah Responden (%)

50
37,14%
40
30
20
4,00% 1,72%
10
0
< 2 kali 3-4 kali 5-7 kali > 7 kali

Gambar 24. Frekuensi konsumsi mi responden per minggu

Konsumen memiliki pertimbangan tersendiri dalam mengkonsumsi mi.


Gambar 25 menunjukkan diagram faktor penentu yang membuat responden
memutuskan untuk mengkonsumsi mi. Faktor yang menjadi alasan konsumen
dalam mengkonsumsi mi paling banyak karena kualitas atau mutu mi itu sendiri
(35%), kemudian karena harganya (30%). Selain itu, pertimbangan lain dari
konsumen adalah karena mi dapat dijadikan sebagai pengganti makanan pokok
(17%) serta kemudahan dalam memperolehnya (13%), dan 5% untuk jawaban
lainnya.

54
Lainnya
Pengganti 5% Kualitas/
pangan pokok Mutu mi
17% 35%

Harga
terjangkau Kemudahan
30% membeli
13%

Gambar 25. Faktor penentu konsumsi mi

Gambar 26 menunjukkan atribut mutu mi yang dianggap penting oleh


responden. Berdasarkan diagram tersebut, ternyata atribut mutu rasa merupakan
atribut mutu yang dianggap paling penting untuk sebagian besar responden
(74,86%). Selanjutnya, atribut aroma (12,00%), tekstur (9,71%), dan terakhir
adalah warna (3,43%). Walaupun atribut warna menduduki posisi terendah, mi
jagung yang memiliki keunggulan karena tidak diberi tambahan pewarna
diharapkan mampu menjadi alternatif mi terigu komersial. Hal ini dapat didukung
dengan rasa mi yang bisa ditingkatkan dengan pengolahan, sehingga rasa yang
enak dan keunggulan mi jagung dapat meningkatkan penerimaan konsumen.

74,86%
80
Jumlah Responden (%)

70
60
50
40
30
20 12,00% 9,71%
3,43%
10
0
Rasa Aroma Warna Tekstur

Gambar 26. Atribut mutu mi yang penting menurut responden

3. Penerimaan Responden terhadap Produk Olahan Mi Jagung


Bagian ketiga dari kuisioner uji penerimaan konsumen ini diawali dengan
pertanyaan mengenai pengetahuan responden terhadap mi jagung, apakah

55
responden pernah mendengar atau mengenal mi jagung. Seperti terlihat pada
Gambar 27, sebanyak 66,29% dari 175 responden menyatakan bahwa belum
pernah mendengar atau mengetahui mi jagung. Hal ini karena mi jagung
merupakan produk baru dan belum tersosialisasi secara menyeluruh di
masyarakat. Akan tetapi, sebanyak 33.71% dari seluruh responden menyatakan
telah mengetahui mi jagung. Pengetahuan responden didapatkan dari pameran,
hasil penelitian serta sosialisasi yang telah dilakukan di lingkungan sekitar
kampus IPB, karena sebagian besar responden merupakan mahasiswa atau
masyarakat sekitar lingkar kampus IPB.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai penerimaan responden terhadap
produk olahan mi jagung, yaitu mi basah jagung diolah menjadi mi ayam dan mi
kering jagung diolah menjadi mi bakso. Responden diminta menilai tingkat
kesukaan terhadap produk olahan mi jagung yang disajikan serta tingkat
kesesuaian mi jagung yang diolah menjadi produk tersebut, memberikan pendapat
mengenai alternatif produk olahan lain yang sesuai untuk mi jagung, dan
memberikan pendapat apakah mi jagung ini dapat menggantikan mi terigu
komersil. Responden menilai secara terpisah produk olahan yang dibuat dari mi
basah jagung native, mi basah jagung HMT, mi kering jagung native, dan mi
kering jagung HMT. Hal ini dilakukan untuk dapat membandingkan bagaimana
tingkat penerimaan responden terhadap keempat jenis mi jagung tersebut.

66,29%
Jumlah Responden (%)

70
60
50 33,71%
40
30
20
10
0
Ya Tidak

Gambar 27. Pengetahuan responen terhadap mi jagung

56
a. Mi Basah Jagung pada Produk Mi Ayam
Tingkat kesukaan responden terhadap produk olahan mi basah jagung dapat
dilihat pada Gambar 28 dan Gambar 29. Gambar 28 menunjukkan tingkat
kesukaan responden pada produk olahan mi basah jagung native. Apabila
dibandingkan dengan tingkat kesukaan responden terhadap produk olahan mi
basah jagung HMT (Gambar 29), ternyata responden yang menyatakan “suka”
pada kedua jenis mi jauh lebih tinggi daripada responden yang menyatakan pada
level lebih rendah (”agak suka”, ”biasa saja”, ”agak tidak suka”, dan ”tidak
suka”). Akan tetapi, responden yang menyukai produk olahan mi basah jagung
native (69,12%) lebih banyak dibandingkan dengan mi basah jagung HMT (60%).
Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung HMT tidak banyak
mempengaruhi tingkat kesukaan pada mi basah jagung.

Agak tidak
Tidak suka
suka
1%
Biasa saja 3%
18%

Agak suka
9%

Suka
69%

Gambar 28. Tingkat kesukaan responden terhadap mi basah


jagung native pada produk olahan mi ayam

Biasa saja
20%

Agak suka Suka


20% 60%

Gambar 29. Tingkat kesukaan responden terhadap mi basah


jagung HMT pada produk olahan mi ayam

57
Seperti terlihat pada Gambar 30, menurut sebagian besar responden
(93,98%) mi basah jagung sesuai apabila diolah menjadi mi ayam. Hanya
sebagian kecil dari responden yang menyatakan mi basah jagung tidak sesuai jika
diolah menjadi mi ayam, yaitu sebesar 6,02%. Selain menilai tingkat kesukaan
dan kesesuaian, responden juga diminta untuk memberikan pendapat mengenai
alternatif lain dalam mengolah mi jagung.
Seperti terlihat pada Gambar 31, mi basah jagung dapat diolah menjadi mi
goreng (39%), soto mi (35%), toge goreng (16%), dan lainnya seperti ifu mi dan
spageti (10%). Selain itu, sebagian besar responden (87,34%) menyatakan bahwa
mi basah jagung dapat digunakan sebagai alternatif pengganti mi terigu komersial,
seperti diilustrasikan pada Gambar 32.

93,98%
Jumlah Responden (%)

100
80
60
40
6,02%
20
0
Ya Tidak

Gambar 30. Tingkat kesesuaian mi basah jagung yang diolah menjadi mi ayam

Lainnya
10%
Soto mi
35%

Mi goreng
39%
Toge goreng
16%
Gambar 31. Alternatif produk olahan mi basah jagung menurut responden

58
87,34%

Jumlah Responden (%)


100
80
60
40 12,66%
20
0
Ya Tidak

Gambar 32. Tingkat kesesuaian mi basah jagung sebagai alternatif mi terigu


komersial

b. Mi Kering Jagung pada Produk Mi Bakso


Berbeda dengan hasil yang ditunjukkan pada mi basah jagung, substitusi
tepung jagung HMT dapat meningkatkan tingkat kesukaan responden terhadap
produk olahan mi kering jagung. Seperti terlihat pada Gambar 33, responden
yang menyatakan “suka” pada produk olahan mi kering jagung native sebesar
43%. Responden yang menyatakan ”biasa saja” sebanyak 38% dan sisanya (19%)
menyatakan ”agak suka”.

Biasa saja
38% Suka
43%

Agak suka
19%
Gambar 33. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering
jagung native pada produk olahan mi bakso

Responden yang menyatakan “suka” pada produk olahan mi kering jagung


HMT, yaitu sebesar 55% (Gambar 34). Angka ini lebih besar dibandingkan
dengan responden yang menyatakan “suka” pada produk olahan mi kering jagung
native (43%). Akan tetapi, keduanya menunjukkan bahwa responden yang

59
menyatakan “suka” lebih banyak daripada yang menyatakan tingkat kesukaannya
pada level yang lebih rendah (”agak suka”, ”biasa saja”, ”agak tidak suka”, dan
”tidak suka”). Responden yang menyatakan ”agak suka” sebanyak 21%, ”biasa
saja” sebanyak 17%, ”agak tidak suka” sebanyak 4%, dan sisanya sebanyak 3%
menyatakan ”tidak suka” .

Agak tidak
Tidak suka
suka
3%
4%
Biasa saja
17%

Suka
55%
Agak suka
21%

Gambar 34. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering


jagung HMT pada produk olahan mi bakso

Seperti diilustrasikan pada Gambar 35, sebagian besar responden (92,31%)


menyatakan bahwa mi kering jagung sesuai apabila diolah menjadi mi bakso,
hanya 7,69% dari responden yang menyatakan tidak sesuai. Selain menilai tingkat
kesukaan dan kesesuaian, responden juga diminta untuk memberikan pendapat
mengenai alternatif lain dalam mengolah mi jagung.

92,31%
Jumlah Responden (%)

100
80
60
40
7,69%
20
0
Ya Tidak

Gambar 35. Tingkat kesesuaian mi kering jagung yang diolah menjadi mi bakso

60
Seperti terlihat pada Gambar 36, mi kering jagung dapat diolah menjadi
soto mi (38%), mi goreng (34%), toge goreng (22%), dan lainnya seperti ifu mi
dan spageti (6%). Selain itu, sebagian besar responden (84,81%) menyatakan
bahwa mi kering jagung dapat digunakan sebagai alternatif pengganti mi terigu
komersial, seperti diilustrasikan pada Gambar 37.

Lainnya
6%
Soto mi
Mi goreng 38%
34%

Toge goreng
22%
Gambar 36. Alternatif lain untuk produk olahan mi kering jagung menurut
responden

84,81%
Jumlah Responden (%)

100
80
60
40 15,19%

20
0
Ya Tidak

Gambar 37. Tingkat kesesuaian mi kering jagung sebagai alternatif mi terigu


komersial

61
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Modifikasi HMT (Heat Moisture Treatment) dapat mengubah sifat
gelatinisasi tepung jagung. Perubahan tersebut antara lain mempengaruhi suhu
awal gelatinisasi, viskositas maksimum, nilai breakdown dan setback. Suhu awal
gelatinisasi tepung jagung meningkat dari 74,25 oC menjadi 79,50oC. Viskositas
maksimum tepung jagung native sebesar 659,00 BU, sedangkan tepung jagung
HMT tidak memiliki viskositas maksimum. Breakdown tepung jagung native
sebesar 4,00 BU, sedangkan tepung jagung HMT tidak memiliki breakdown. Nilai
setback tepung jagung meningkat dari 315,00 BU menjadi 525,00 BU.
Substitusi tepung jagung HMT memudahkan proses pembentukan adonan,
adonan menjadi tidak lengket dan mudah dibentuk lembaran serta dicetak. Selain
itu, waktu pengukusan adonan menjadi lebih panjang, yaitu 14-16 menit.
Substitusi tepung jagung HMT juga meningkatkan kualitas mi basah jagung dan
mi kering jagung, baik diukur secara objektif maupun subjektif (organoleptik).
Secara objektif, substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan nilai kekerasan,
KPAP, dan kelengketan serta meningkatkan nilai kekenyalan dan persentase
elongasi mi jagung secara nyata (α=0,05). Secara subjektif (organoleptik),
substitusi tepung jagung HMT secara nyata (α=0,05) menurunkan nilai kekerasan
dan kelengketan, serta meningkatkan kekenyalan.
Uji penerimaan konsumen terhadap produk olahan mi jagung dilakukan oleh
responden sebanyak 175 orang. Responden yang menyukai produk olahan mi
basah jagung native (69,12%) lebih banyak dibandingkan dengan mi basah jagung
HMT (60%). Sebagian besar responden (93,98%) menyatakan bahwa mi basah
jagung sesuai apabila diolah menjadi mi ayam. Responden yang menyukai produk
olahan mi kering jagung native sebesar 43%, sedangkan responden yang
menyukai produk olahan mi kering jagung HMT sebesar 55%. Sebagian besar
responden (92,31%) menyatakan bahwa mi kering jagung sesuai apabila diolah
menjadi mi bakso. Sebagian besar responden menyatakan bahwa mi basah jagung
(87,34%) dan mi kering jagung (84,81%) dapat digunakan sebagai alternatif
pengganti mi terigu komersial.

62
B. SARAN
Akan lebih efisien apabila terdapat alat untuk melakukan modifikasi dengan
teknik HMT, karena diperlukan pengadukan setiap jam. Pada uji penerimaan
konsumen diperlukan pula informasi mengenai penerimaan konsumen pada
produk olahan yang lain, seperti soto mi dan mi goreng. Penelitian ini tidak
membandingkan dengan mi terigu komersil, untuk mengetahui posisi mi jagung
pada konsumen dan masyarakat diperlukan uji penerimaan konsumen dengan
membandingkan mi terigu komersil.

63
DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M. 2005. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2009. Harvested Area, Yield Rate, and Production of Maize
by Province (2009). www.bps.go.id. [12 Januari 2010].

Belitz HD dan W Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer, Berlin.

Beta T dan H Corke. 2001. Noodle quality as related to sorghum starch properties.
Cereal Chemistry. 78(4): 417-420.

Budiyah. 2004. Pemanfaatan pati dan protein jagung (CGM) dalam pembuatan mi
jagung instan. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Chen Z, Schols H A, Vorgaren A G J. 2003. Starch Granule Size Strongly


Determines Starch Noodle Processing and Noodle Quality. J Food
Chamisry and Toxicology. 68:1584-1589.

Collado LS dan H Corke. 1997. Properties of starch noodles as affected by sweet


potato genotype. Cereal Chem. 74:182-187.

Collado LS, LB Mabesa, CG Oates, dan H Corke. 2001. Bihon type noodles from
heat moisture treated sweet potato starch. Journal of Food Science. 66:604-
609.

Effendi S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta.

Erlingan RC, H Jacobs, Van Win H, dan Delcour J A. 1996. Effect of


hydrothermal treatment on the gelatinisation properties of potato starch as
measured by differential scanning calorimetry. Thermal Analitic. 4:1229-
1246.

Etikawati E. 2007. Pengaruh Perlakuan Passing, Konsentrasi Na 2CO3, dan Kadar


Air terhadap Mutu Mi Basah Jagung yang Dibuat dengan Ektruder Ulir
Pemasak. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fadlillah HN. 2005. Verifikasi formulasi mi jagung instan dalam rangka


penggandaan skala. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc., Basel.

64
Greenwood CT dan DN Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam: TR Muchtadi, P
Hariyadi, dan AB Azra (eds.). Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar
Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Harper JM. 1981. Extrusion of Foods vol I. CRC Press, Boca Roton, Florida.

Hoover R, Vasanthan T. 1994. The effect of heat moisture treatment on the


structure and physico-properties of cereal, tuber, and legum starshes.
Carbohydrates. 252:33-53.

Hoover R, Gunaratne A. 2001. Effect of moisture treatment on the structure and


physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrates
Polymers. 49:425-437.

Hoseney RC. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2 nd edition.


American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul, Minnesota.

Jacobs H dan Delcour J A. 1998. Hydrothermal modifications on granular starch


with retention of the granular structure: a review. Journal of Agricultural
and Food Chemistry. 46(8):2895-2904.

Johnson LA. 1991. Corn: Production, Procesing, and Utilization. Di dalam:


Lorenz KJ dan K Kulp (eds.). Handbook of Cereal Science and
Technology. Marcell Dekker Inc., New York.

Jugenheimer RW. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John
Willey and Sons, New York.

Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan


Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan
Gizi. Fakulats Teknologi Pertanian. Institute pertanian bogor, Bogor.

Inglett GE. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing
Company Inc., Westport, Connecticut.

Laztity R. 1996. The Chemistry of Cereal Protein, 2nd edition. CRC Press Inc.,
Boca Raton, Florida.

Lestari OA. 2009 Karakterisasi Sifat Fisiko-kimia dan Evaluasi Nilai Gizi
Biologis Mi Jagung Kering Yang Disubstitusi Tepung Jagung
Termodifikasi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

65
Lii CY dan Chang SM. 1981. Characterization of red bean (Phaseolus radiates
var. aurea) starch and its noodle quality. Di dalam : Collado LS, LB
Mabesa, CG Oates, dan H Corke. 2001. Bihon type noodles from heat
moisture treated sweet potato starch. Journal of Food Science. 66:604-609.

Meilgaard M, GV Civille, dan BT Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques.


CRC Press, New York. Muchtadi TR dan Sugiyono. 1989. Petunjuk
Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mestres C, Colonna P, dan Buleon A. 1988. Characteristics or starch networks


within rice flour noodles and mungbean starch vermicelli. Di dalam:
Collado LS, LB Mabesa, CG Oates, dan H Corke. 2001. Bihon type
noodles from heat moisture treated sweet potato starch. Journal of Food
Science. 66:604-609.

Newport Scientific. 1998. Intrepretation. Di dalam : Beta T dan Corke H. 2001.


Noodle quality as related to sorghum starch properties. Cereal Chemistry.
78(4): 417-420.

Oh NH, PA Seib, dan DS Chung. 1985. Noodles III. Effect of processing


variables on the quality characteristic of dry noodles. Cereal Chemistry.
62(6): 437-440.

Pukkahuta C, Suwannawat B. Shobsngob S, Varavinit S. 2008. Comparative


study of pasting and thermal transition characteristics of osmotic preasure
and heat moisture treated corn starch. Carbohydrates Polymers. 72:527-
536

Purwani EY, Widaningrum, Tahir R, Muslich. 2006. Effect of heat moisture


treatment of sago starch on its noodle quality. Journal of Agricultural
Science. 7:8-14.

Purwani EY, Widyaningrum, Setiyanto H, Savitri E, Tahir R. 2006. Teknologi


Pengolahan Mi Sagu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca
Panen Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Putra SN. 2008. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mie Jagung dengan
Metode Kalendering. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
IPB. Bogor.

Shin S, Byun J, Kwan H, Park, dan Moon TW. 2004. Effect of Partial Acid
Hydrolysis and Heat_moisture Treatment on Formation of Resistant Tuber
Starch. Cer Chem. 81, 2 : 194.

66
Standar Nasional Indonesia. 1992. SNI 01-2987-1992 tentang Mi Basah. Dewan
Standardisasi Nasional.

------------------------------------. 1995. SNI 01-3727-1995 tentang Tepung Jagung.


Dewan Standardisasi Nasional.

------------------------------------. 1996. SNI 01-2974-1996 tentang Mi Kering.


Dewan Standardisasi Nasional.

Stute R. 1992. Hydrothermal modification of starches; the difference between


annealing and heat moisture treatment. Starch/Starke 6:205 – 214.

Swinkels JJM. 1985. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam:
Beynum V dan JA Roels (eds). Starch Conversion Tehnology. Marcel
Dekker Inc., New York, Basel.

Takahashi T, Miuora M, Ohisa N, Mori K, Kobayashi S. 2005. Heat treatment of


milled rice and properties of the flour. Cereal Chemistry. 82(2):228-232.

Tam L M, Corke H, Tan W T, Li J, Collado L S. 2004. Production of Bihon-type


Noodle from Maize Starch Differing in Amylose Content. J Cereal Chem.
81(4):475-480.

Tanikawa ET dan A Motohiro. 1985. Marine Products in Japan. Kosersha


Koseikaku Co. Ltd., Tokyo.

Walpole RE. 1995. Pengantar Statisika, edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

Watson SA. 2003. Description, Development, Structure and Composition of the


Corn Kernel. Di dalam: White PJ dan LA Johnson (eds). Corn: Chemistry
and Technology, 2 nd edition. American Association of Cereal Chemistry
Inc., St. Paul, Minnesota, USA.

Warisno. 1998. Budi Daya Jagung Hibrida. Gramedia. Jakarta.

Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

67
LAMPIRAN

67
Lampiran 1. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis

Lampiran 1a. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis untuk Identifikasi Rasa Dasar

IDENTIFIKASI RASA DASAR

Nama : ……………...
Tanggal : …………..

Petunjuk :
Berikut ini telah disediakan lima sampel larutan. Lakukan pencicipan satu per satu
dari kiri ke kanan. Ambil satu sendok sampel larutan, lalu tempatkan pada sendok
pencicip. Rasakan selama 5 detik, kemudian identifikasi rasa tersebut. Netralkan
mulut dengan air sebelum mencicipi sampel berikutnya.

Kode Sampel Deskripsi Rasa

68
Lampiran 1b. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis untuk Identifikasi Aroma Dasar

IDENTIFIKASI AROMA DASAR

Nama : ……………...
Tanggal : …………..

Petunjuk :
Anda akan menerima 5 sampel flavor dalam botol. Lakukan penciuman satu per
satu sampel aroma dari kiri ke kanan satu per satu. Buka tutup botol sampel, lalu
kibaskan tangan Anda di bagian atas botol menuju hidung. Identifikasi dan
deskripsikan aroma yang tercium. Istirahatkan hidung Anda selama 30 detik
sebelum melakukan pengujian sampel berikutnya.

Kode Sampel Deskripsi Aroma

69
Lampiran 1c. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis untuk Uji Rangking Rasa Dasar

UJI RANKING RASA DASAR

Nama : ……………...
Tanggal : …………..

Petunjuk :
Berikut ini telah disediakan 2 set sampel larutan. Lakukan pencicipan satu per satu
dari kiri ke kanan. Urutkan sampel-sampel tersebut berdasarkan intensitas
rasanya, dari yang paling tinggi intensitasnya (tulis angka 1 di bawah kolom
rangking) hingga yang paling rendah intensitasnya (tulis angka 4 di bawah kolom
rangking). Netralkan mulut dengan air sebelum mencicipi sampel berikutnya.

Set 1 (Rasa Asin)


Kode Sampel Rangking

Set 1 (Rasa Pahit)


Kode Sampel Rangking

70
Lampiran 1d. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis untuk Uji Segitiga

UJI SEGITIGA

Nama :
No HP :

Petunjuk:
Berikut telah disediakan 3 sampel uji, yang terdiri dari 2 sampel sama dan
1sampel berbeda. Lakukan pencicipan (untuk atribut kekerasan) dan
perabaan/peregangan (untuk atribut kekenyalan) sampel secara berurutan dari
kiri ke kanan satu per satu. Kemudian identifikasi mana sampel yang berbeda.
Berikan tanda cheklist (V) didepan kode sampel berbeda.

Set 1
~ atribut kekerasan (mi terigu)

Kode sampel Sampel beda

Set 2
~ atribut kekenyalan (kwetiau jagung)

Kode sampel Sampel beda

71
Lampiran 2. Kuisioner Uji Penerimaan Konsumen pada Produk Olahan Mi
Jagung

Kuesioner
ANALISIS PENERIMAAN KONSUMEN
PRODUK MI JAGUNG OLAHAN

Tempat : Baso Favorit/Baso Kabayan* (pilih salah satu)


Tanggal :
Nama Responden :
Jenis Produk Olahan : Mi Bakso/Mi Ayam* (pilih salah satu)

Petunjuk pengisian :
Responden diharapkan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di bawah
ini dengan cara memberi tanda silang (X) pada jawaban yang Anda pilih.
(Mohon diisi dengan lengkap)

A. Data Umum Responden


1. Jenis kelamin Anda :
a. Laki-laki
b. Perempuan
2. Usia Anda saat ini :
a. 16-25 tahun
b. 26-35 tahun
c. 36-45 tahun
d. >45 tahun
3. Tingkat pendidikan terakhir Anda adalah :
a. SMP
b. SMA
c. Diploma
d. S1
e. S2/S3
f. Lainnya, sebutkan ……..
4. Pekerjaan Anda saat ini :
a. Pelajar/Mahasiswa
b. Pegawai Negeri
c. Karyawan Swasta
d. Wiraswasta
e. Ibu Rumah Tangga
f. Lainnya, sebutkan …….

72
5. Rata-rata pengeluaran pribadi Anda per bulan saat ini :
a. <Rp. 300.000
b. Rp. 300.000-Rp. 500.000
c. Rp. 500.000-Rp. 1.000.000
d. Rp. 1.000.000-Rp. 5.000.000
e. >Rp. 5.000.000

B. Perilaku Konsumen Mi Ayam/Mi bakso


1. Seberapa seringkah Anda mengkonsumsi mi dalam seminggu ?
a. < 2 kali
b. 3 - 4 kali
c. 5 – 7 kali
d. > 7 kali
2. Faktor/hal apa yang paling menentukan pilihan Anda dalam
mengkonsumsi mi ?
(jawaban boleh lebih dari 1)
a. Kualitas atau mutu mi (mencakup rasa/tekstur yang enak)
b. Kemudahan untuk membeli
c. Harga yang terjangkau
d. Pengganti pangan pokok (mengenyangkan)
e. Lainnya, sebutkan........
3. Menurut Anda, faktor mutu apa yang menentukan pilihan Anda
untuk mengkonsumsi mi ?
(tolong diurutkan (1) mulai dari yang terpenting hingga (4) yang
kurang penting)
Rasa ....
Aroma/bau ....
Warna ....
Tekstur ....
4. Menurut Anda, karakteristik atau ciri-ciri mi ayam/mi dalam bakso
seperti apa yang paling banyak disukai?
............................................................................................................
......................

C. Produk Olahan Mi Jagung


1. Apakah Anda pernah mengenal atau mendengar mi jagung
sebelumnya ?
a. Ya
b. Tidak
2. Bagaimana tingkat kesukaan Anda terhadap produk olahan mi
jagung ini (secara keseluruhan)?
a. Suka
b. Agak suka

73
c. Biasa saja
d. Agak tidak suka
e. Tidak suka
3. Apa alasan Anda terhadap jawaban pertanyaan no.2 diatas ?
............................................................................................................
4. Menurut Anda, apakah mi jagung sesuai atau cocok bila diolah
menjadi produk ini ?
a. Ya
b. Tidak
5. Jika jawaban pertanyaan no. 4 adalah “Ya”, apakah mi jagung ini
dapat menggantikan jenis mi yang sudah ada (mi terigu) ?
a. Ya
b. Tidak
6. Jika jawaban pertanyaan no. 4 adalah “Tidak”, apa alasan Anda ?
………………………………………………………………………
7. Menurut Anda, apakah produk mi jagung ini cocok pula untuk
produk olahan lainnya, seperti di bawah ini (jawaban boleh lebih
dari 1) :
a. Soto mi
b. Toge goreng
c. Mi goreng
d. Lainnya, sebutkan ……

****************** terima kasih atas partisipasi Anda ******************

74
Lampiran 3. Data Hasil Analisis Fisik (Kekerasan, Kekenyalan dan Kelengketan)
Mi Jagung Diukur dengan Texture Analyzer

Ulangan Bahan Contoh Kekerasan Kelengketan Kekenyalan

1-I Basah Native 1308,7 860,14 488,75

1-II 1318,1 859,01 481,61

2-I 1293,5 858,89 479,27

2-II 1310,7 860,01 480,95

Rata-rata 1307,75 859,51 482,65

1-I Basah HMT 1134,3 648,01 612,16

1-II 1082,7 647,51 616,14

2-I 1110,7 649,11 609,71

2-II 1115,8 648,32 611,53

Rata-rata 1110,88 648,24 612,39

1-I Kering Native 2163,5 1109,42 448,92

1-II 1987,3 1133,23 452,16

2-I 1996,5 1115,01 450,13

2-II 2023,8 1113,04 451,23

Rata-rata 2042,78 1117,68 450,61

1-I Kering HMT 1602,5 749,72 634,13

1-II 1615,7 748,13 631,3

2-I 1595,3 747,89 630,92

2-II 1607,8 749,07 631,25

Rata-rata 1605,33 748,70 631,90

75
Lampiran 4. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Nilai Kekerasan,
Kekenyalan dan Kelengketan yang Diukur dengan Texture
Analyzer

Lampiran 4a. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Nilai Kekerasan

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelB N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianB Basah Native 4 6,50 26,00
Basah HMT 4 2,50 10,00
Total 8

Test Statistics(b)

PenilaianB
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelK N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianK Kering Native 4 6,50 26,00
Kering HMT 4 2,50 10,00
Total 8

Test Statistics(b)

PenilaianK
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelK

76
Lampiran 4b. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Nilai Kekenyalan

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelB N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianB Basah Native 4 2,50 10,00
Basah HMT 4 6,50 26,00
Total 8

Test Statistics(b)

PenilaianB
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelB N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianB Basah Native 4 2,50 10,00
Basah HMT 4 6,50 26,00
Total 8

Test Statistics(b)

PenilaianB
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelK

77
Lampiran 4c. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Nilai Kelengketan

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelB N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianB Basah Native 4 6,50 26,00
Basah HMT 4 2,50 10,00
Total 8

Test Statistics(b)

PenilaianB
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelK N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianK Kering Native 4 6,50 26,00
Kering HMT 4 2,50 10,00
Total 8

Test Statistics(b)

PenilaianK
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelK

78
Lampiran 5. Data Hasil Analisis Persentase Elongasi

Tabel Data Persentase Elongasi Mi Basah Jagung Native


Waktu Putus Jarak Awal Speed Persentase
Ulangan
(s) (cm) (cm/s) Elongasi (%)
I 9,3210 2 0,1 46,61
II 9,2380 2 0,1 46,19
III 9,4140 2 0,1 47,07
IV 9,2640 2 0,1 46,32
Rata-rata 46,55

Tabel Data Persentase Elongasi Mi Basah Jagung HMT


Waktu Putus Jarak Awal Speed Persentase
Ulangan
(s) (cm) (cm/s) Elongasi (%)
I 13,7530 2 0,1 68,77
II 14,0180 2 0,1 70,09
III 13,9650 2 0,1 69,83
IV 14,0120 2 0,1 70,06
Rata-rata 69,69

Tabel data Persentase Elongasi Mi Kering Jagung Native


Waktu Putus Jarak Awal Speed Persentase
Ulangan
(s) (cm) (cm/s) Elongasi (%)
I 7,0210 2 0,1 35,11
II 6,9890 2 0,1 34,95
III 7,0320 2 0,1 35,16
IV 7,1530 2 0,1 35,77
Rata-rata 35,24

Tabel data Persentase Elongasi Mi Kering Jagung HMT


Waktu Putus Jarak Awal Speed Persentase
Ulangan
(s) (cm) (cm/s) Elongasi (%)
I 12,2040 2 0,1 61,02
II 12,1140 2 0,1 60,57
III 12,0210 2 0,1 60,11
IV 12,0150 2 0,1 60,08
Rata-rata 60,44

79
Lampiran 6. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Persentase Elongasi

Mann-Whitney Test
Ranks

JenisB N Mean Rank Sum of Ranks


ElongasiB Basah Native 4 2,50 10,00
Basah HMT 4 6,50 26,00
Total 8

Test Statistics(b)

ElongasiB
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: JenisB

Mann-Whitney Test
Ranks

JenisK N Mean Rank Sum of Ranks


ElongasiK Kering Native 4 2,50 10,00
Kering HMT 4 6,50 26,00
Total 8

Test Statistics(b)

ElongasiK
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: JenisK

80
Lampiran 7. Data Hasil Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan
(KPAP)

Tabel Data KPAP Mi Basah Jagung Native


Berat Berat Berat
Kadar Air
Sampel Sampel 1-kadar air awal*(1- KPAP
U mula-
Mula-mula Kering contoh kadar air (%)
mula
(g) (g) contoh)
1 5,0178 2,8920 0,3569 0,6431 3,2269 10,38
2 5,0403 2,9107 0,3569 0,6431 3,2414 10,20
3 5,1022 2,9444 0,3569 0,6431 3,2812 10,27
4 5,0403 2,9088 0,3569 0,6431 3,2414 10,26

Tabel Data KPAP Mi Basah Jagung HMT


Berat Berat Berat
Sampel Sampel Kadar Air 1-kadar air awal*(1- KPAP
U
Mula-mula Kering mula-mula contoh kadar air (%)
(g) (g) contoh)
1 5,1346 4,6346 0,3658 0,6342 3,2564 8,69
2 5,0769 5,0769 0,3658 0,6342 3,2198 8,65
3 5,0999 5,0999 0,3658 0,6342 3,2344 8,66
4 5,0145 5,0145 0,3658 0,6342 3,1802 8,69

81
Lampiran 8. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Analisis Kehilangan
Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelB N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianB Basah Native 4 6,50 26,00
Basah HMT 4 2,50 10,00
Total 8

Test Statistics(b)

PenilaianB
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,309
Asymp. Sig. (2-tailed) ,021
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelK N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianK Basah Native 4 6,50 26,00
Basah HMT 4 2,50 10,00
Total 8

Test Statistics(b)

PenilaianK
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 10,000
Z -2,323
Asymp. Sig. (2-tailed) ,020
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,029(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelK

82
Lampiran 9. Performa 11 Calon Panelis Terlatih

Uji Uji Uji


Identifikasi Identifikasi Uji Segitiga
Nama Rangking Rangking Segitiga
Rasa Dasar Aroma Dasar Kekenyalan
Asin Pahit Kekerasan
Panelis 1 80 80 100 100 83.33 77.78
Panelis 2 100 80 100 100 83.33 66.67
Panelis 3 100 80 100 100 100 66.67
Panelis 4 80 80 100 100 83.33 66.67
Panelis 5 80 100 100 100 100 77.78
Panelis 6 100 80 100 100 83.33 88.89
Panelis 7 80 80 100 100 100 66.67
Panelis 8 80 80 100 100 83.33 77.78
Panelis 9 100 100 100 100 83.33 66.67
Panelis 10 100 100 100 100 66.67 88.89
Panelis 11 100 80 100 100 100 66.67

83
Lampiran 10. Scoresheet Uji Organoleptik Mi Jagung

Produk : Mi jagung
Nama :……………. Tanggal :…………………

Petunjuk:
Dihadapan Anda terdapat beberapa contoh mi. Anda diminta untuk menilai
kekerasan, kekenyalan dan kelengketan masing-masing contoh. Untuk menilai
kekerasan dan kekenyalan kunyahlah contoh paling kiri terlebih dahulu.
Sedangkan untuk menilai kelengketan, gunakan tangan Anda untuk merasakan
kelengketan contoh dan lakukan juga pengamatan pada penampakan kelengketan
antar mi, kemudian lakukan penilaian dengan memberi tanda (√) pada nilai yang
Anda pilih.

Kekerasan
Kode Contoh
Penilaian
A B C D E
10
Sangat keras
9
8
Keras
7
Agak keras/ 6
Agak lunak 5
4
Lunak
3
2
Sangat lunak
1

84
Kekenyalan
Kode Contoh
Penilaian
A B C D E
10
Sangat kenyal
9
8
Kenyal
7
Agak kenyal/ 6
Agak tidak
5
kenyal
4
Tidak kenyal
3
Sangat tidak 2
kenyal 1

Kelengketan
Kode Contoh
Penilaian
A B C D E
10
Sangat lengket
9
8
Lengket
7
Agak lengket/ 6
Agak tidak
5
lengket
4
Tidak lengket
3
Sangat tidak 2
lengket 1

85
Lampiran 11. Data Hasil Uji Organoleptik dengan Panelis Terlatih

Ulangan Bahan Contoh Kekerasan Kelengketan Kekenyalan

1 Basah Native 7 7 6

2 8 7 4

3 8 5 5

4 7 6 5

5 7 6 5

6 7 6 6

7 7 6 5

8 7 7 5

9 8 7 4

10 8 5 4

11 7 8 4

Rata-rata 7,36 6,36 4,82

1 Basah HMT 6 6 6

2 7 6 7

3 7 4 5

4 6 5 6

5 4 4 6

6 4 4 7

7 6 3 7

8 3 6 5

9 3 6 6

10 6 4 7

11 7 5 6

Rata-rata 5,36 4,82 6,18

86
1 Kering Native 8 5 6

2 9 5 4

3 7 5 5

4 7 5 5

5 7 6 5

6 8 6 4

7 8 6 7

8 8 5 5

9 9 5 4

10 10 6 5

11 8 6 5

Rata-rata 8,09 5,45 5

1 Kering HMT 8 5 5

2 6 5 5

3 6 4 6

4 6 4 5

5 7 4 5

6 8 4 6

7 6 5 8

8 6 6 6

9 8 5 6

10 7 4 7

11 7 4 7

Rata-rata 6,82 4,55 6

87
Lampiran 12. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Atribut Tekstur secara
Organoleptik

Lampiran 12a. Hasil Uji Lanjutan Atribut Tekstur Kekerasan

Mann-Whitney Test

Ranks

SampelB N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianB Basah Native 11 16,05 176,50
Basah HMT 11 6,95 76,50
Total 22

Test Statistics(b)

PenilaianB
Mann-Whitney U 10,500
Wilcoxon W 76,500
Z -3,472
Asymp. Sig. (2-tailed) ,001
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,000(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelK N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianK Kering Native 11 15,09 166,00
Kering HMT 11 7,91 87,00
Total 22

Test Statistics(b)

PenilaianK
Mann-Whitney U 21,000
Wilcoxon W 87,000
Z -2,703
Asymp. Sig. (2-tailed) ,007
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,008(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelK

88
Lampiran 12b. Hasil Uji Lanjutan Atribut Tekstur Kekenyalan

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelB N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianB Basah Native 11 7,27 80,00
Basah HMT 11 15,73 173,00
Total 22

Test Statistics(b)

PenilaianB
Mann-Whitney U 14,000
Wilcoxon W 80,000
Z -3,174
Asymp. Sig. (2-tailed) ,002
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,001(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelK N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianK Kering Native 11 8,45 93,00
Kering HMT 11 14,55 160,00
Total 22

Test Statistics(b)

PenilaianK
Mann-Whitney U 27,000
Wilcoxon W 93,000
Z -2,330
Asymp. Sig. (2-tailed) ,020
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,028(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelK

89
Lampiran 12c. Hasil Uji Lanjutan Atribut Tekstur Kelengketan

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelB N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianB Basah Native 11 15,36 169,00
Basah HMT 11 7,64 84,00
Total 22

Test Statistics(b)

PenilaianB
Mann-Whitney U 18,000
Wilcoxon W 84,000
Z -2,885
Asymp. Sig. (2-tailed) ,004
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,004(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test
Ranks

SampelK N Mean Rank Sum of Ranks


PenilaianK Kering Native 11 15,14 166,50
Kering HMT 11 7,86 86,50
Total 22

Test Statistics(b)

PenilaianK
Mann-Whitney U 20,500
Wilcoxon W 86,500
Z -2,820
Asymp. Sig. (2-tailed) ,005
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,007(a)

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: SampelK

90
Lampiran 13. Data Umum Responden Uji Penerimaan Konsumen terhadap
Produk Olahan Mi Jagung

Karakteristik Persentase Jumlah


Keterangan
Demografi Responden Responden (%)
Laki-laki 41,14
Jenis Kelamin
Perempuan 58,86
16-25 th 77,14
26-35 th 10,28
Usia
36-45 th 7,43
> 45 th 5,15
SMP 8,57
SMA 49,71
Diploma 4,57
Tingkat Pendidikan
S1 29,14
S2/S3 2,29
Lainnya 5,72
Pelajar/Mahasiswa 69,71
Karyawan Swasta 4,57
PNS 1,14
Pekerjaan
Wiraswasta 9,71
Ibu Rumah Tangga 9,14
Lainnya 5,73
< 300.000 17,71
300.000-500.000 34,29
Rata-rata Pengeluaran
500.000-1.000.000 41,71
per Bulan
1.000.000-5.000.000 5,71
>5.000.000 0,58

91

Anda mungkin juga menyukai