SKRIPSI
Oleh :
SKRIPSI
Oleh :
Muhammad Fahmi Akromansyah
NIM. 135050107111048
SKRIPSI
Oleh:
Muhammad Fahmi Akromansyah
NIM. 135050107111048
Mengetahui:
Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya
i
“Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong di PT.
Santosa Agrindo (SANTORI) Desa Wringinanom
Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo”.
Penulis juga bergabung di Kepanitiaan Penerimaan
Mahasiswa Baru Universitas Brawijaya pada periode
(2015-2016), Kepanitiaan Penerimaan Mahasiswa
Baru Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
pada periode (2014-2015) dan periode (2015-2016),
Kepanitiaan Dies Natalis Fakutas Peternakan
Brawijaya pada periode (2015 - 2016).
ii
KATA PENGANTAR
iii
(88.90 ± 2.65), feed conversion (1.05 ± 0.13) and this IOFC
(IDR) (23,940,00 ± 4,204,01).
iv
PENGARUH JENIS HIJAUAN DALAM PAKAN
TERHADAP KONSUMSI, EFISIENSI, KONVERSI
PAKAN DAN IOFC PADA SAPI PERAH LAKTASI
v
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh
jenis hijauan dalam pakan terhadap konsumsi, efisiensi,
konversi pakan dan Income Over Feed Cost (IOFC) pada sapi
perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) laktasi dan untuk
mendapatkan perlakuaan terbaik yang menghasilkan data
konsumsi, efisisiensi, konversi pakan dan Income Over Feed
Cost (IOFC) yang terbaik.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
jenis hijauan. Metode yang digunakan adalah metode
percobaan dengan menggunakan RBSL (rancangan bujur
sangkar latin) terdiri dari 4 perlakuan dan 2 ulangan. Adapun
perlakuan dalam penelitian ini yaitu P1 = 60% BK (Rumput
Odot + Tebon Jagung) + 40% BK Konsentrat, P2 = 60% BK
(Rumput Gajah + Tebon Jagung) + 40% BK Konsentrat, P3 =
60% BK Rumput Gajah + 40% BK Konsentrat, P4 = 60% BK
Rumput Odot + 40% BK Konsentrat. Variabel yang diamati
adalah konsumsi, efisiensi, konversi pakan dan IOFC. Data
dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) dan dilanjutkan
dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD) apabila hasilnya
berbeda nyata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh jenis
hijauan dalam pakan pada konsumsi pakan memberikan
pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi BK,
konsumsi BO dan Konsumsi PK. Terdapat kecenderungan
kandungan KBK tertinggi pada P2 (133,58±11,67),
kecenderungan KBO tertinggi pada P2 (111,40±8,90) dan
kecenderungan KPK pada P1 (17,33±1,27). Jenis hijauan
dalam pakan memeberikan pengaruh yang tidak nyata
(P>0,05) terhadap efisiensi pakan. Terdapat kecenderungan
efisiensi pakan tertinggi pada perlakuan P4 (88,90±2,65). Jenis
hijauan dalam pakan memeberikan pengaruh yang tidak nyata
(P>0,05) terhadap konversi pakan. Terdapat kecenderungan
konversi pakan tertinggi pada perlakuan P4 (1,05±0,13). Jenis
vi
hijauan dalam pakan memeberikan pengaruh yang tidak nyata
(P>0,05) terhadap IOFC. Terdapat kecenderungan IOFC
tertinggi pada perlakuan P4 (23940,00±4204,01).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa Penggunaan jenis hijauan rumput odot, rumput gajah
dan tebon jagung dalam pakan tidak memiliki perbedaan yang
nyata ditinjau dari konsumsi, efisiensi, konversi pakan dan
IOFC pada sapi perah laktasi. Semakin banyak konsumsi
bahan kering dan bahan organik oleh ternak maka semakin
banyak pula konsumsi protein kasar. Perlakuan P4 = 60% (BK)
rumput odot + 40% (BK) konsentrat menjadi perlakuan yang
terbaik berdasarkan hasil dari efisiensi pakan, konversi pakan
dan IOFC (Income Over Feed Cost).
Saran dalam penelitian ini adalah perlu adanya
penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan rumput odot
dalam pakan ternak sapi perah laktasi, agar bisa mengetahui
penggunaan rumput odot dalam pakan yang paling efisien.
vii
viii
KATA PENGANTAR
Isi Halaman
xi
2.8 Efisiensi Pakan .............................................. 30
2.9 Konversi Pakan.............................................. 31
2.10 Income Over Feed Cost (IOFC) .................... 33
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Gambar Halaman
Lampiran Halaman
% : Persen
0
C : Derajad celcius
ANOVA : Analysis variant
BETN : Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
BK : Bahan kering
BO : Bahan Organik
cm : centimeter
dkk : Dan kawan kawan
et.al : ad alii
g : Gram
Ha : Hektar
IOFC : Income Over Feed Cost
kg : kilogram
Kkal : Kilo kalori
LK : Lemak Kasar
mg : miligram
NDF : Neutral Detergent Fiber
NRC : National Research Council
PFH : Peranakan Friesian Holstein
PK : Protein Kasar
RBSL : Rancangan Bujur Sangkar Latin
SK : Serat Kasar
SNF : Solid Non Fat
TDN : Total Digestible Nutrient
VFA : Volatile Fatty Acid
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan susu sapi dari tahun ke tahun terus
meningkat hal ini disampaikan oleh Badan Pusat Statistik
(2015) bahwa, konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia
akan terus ditingkatkan karena saat ini baru mencapai 11,09
liter per tahun, masih jauh di bawah konsumsi per kapita
negara-negara ASEAN lainnya yang mencapai lebih dari 20
liter per kapita per tahun. Ketersediaan susu yang berasal dari
dalam negeri tidak lagi dapat menutupi kebutuhan tersebut.
Walaupun perkembangan populasi sapi perah ada indikasi
mengalami peningkatan namun produktivitas per individu
ternak masih rendah. Rendahnya produktivitas susu sapi
perah diduga karena pakan hijauan belum mencukupi
kebutuhan nutrien dari sapi perah laktasi baik secara kualitas
maupun kuantitas
Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) adalah
persilangan antara sapi lokal (peranakan Ongole) dengan sapi
perah Friesian Holstein. Persilangan ini dilakukan untuk
memperoleh sapi perah jenis baru yang sesuai dengan iklim
dan kondisi di Indonesia. Anggraeni (2008) menyatakan
bahwa produksi susu sapi PFH rata-rata 11,9 liter/ekor/hari
atau kurang lebih 3.500 liter/laktasi. Rendahnya produktivitas
susu sapi perah tidak akan bisa mencukupi kebutuhan dari
tahun ke tahun yang terus meningkat.
Salah satu masalah dalam hal produktivitas ternak sapi
perah adalah faktor pakan, khususnya pakan hijauan yang
merupakan pakan utama. Umumnya jenis hijauan yang
diberikan ke ternak sapi perah adalah rumput gajah
(Pennisetum purpureum) dan tebon jagung (maize stover)
yang memiliki kandungan nutrien dan produksinya cukup
besar, namun kenyataannya produktivitas ternak belum
memadai. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pakan
hijauan untuk sapi perah laktasi yang berguna sebagai
alternatif untuk memenuhi kebutuhan nutrien sapi perah
melalui pakan hijauan guna meningkatan produktivitas susu
sapi perah untuk memenuhi kebutuhan susu sapi perah setiap
tahunnya.
Pakan hijauan yang dapat digunakan pada saat musim
kemarau selain rumput gajah dan tebon jagung adalah rumput
odot (Pennisetum purpureum cv.Mott) atau biasa disebut
rumput gajah mini (dwarf elephant grass) yang merupakan
jenis rumput unggul yang mempunyai produktivitas yang
tinggi, kandungan nutrien yang cukup baik dan memiliki
palatabilitas yang cukup tinggi. Disamping itu kandungan
nutrien rumput odot lebih tinggi pada berbagai tingkat umur
pemotongan. Rumput gajah mini mempunyai keunggulan
antara lain tahan kering, dan hanya bisa di perbanyak melalui
metoda vegetatif (Lasamadi 2013).
Awalnya rumput odot dibawa oleh seorang TKI
bernama pak Odot asal Tulungagung dari Amerika Serikat
pada tahun 2012, setelah dicoba ditanam ternyata
pertumbuhannya cukup cepat dan sangat disenangi ternaknya
dan sejak saat itu rumput odot ini mulai menyebar disekitar
Tulungagung dan sering disebut rumput gajah super. Hasil
survei di tingkat peternak yaitu di daerah Kecamatan
Ngantang dan Karangploso diperoleh hasil bahwa beberapa
peternak sapi perah sudah mulai beralih ke rumput ini untuk
menggantikan rumput yang selama ini digunakan yaitu rumput
gajah.
Sampai saat ini belum ditemukan penelitian
penggunaan rumput odot khususnya untuk pakan sapi perah,
padahal keunggulan rumput tersebut dari sisi nutrien,
palatabilitas dan agronomi cukup mengesankan. Dari hasil
studi referensi rumput ini pernah dianalisis kandungan
nutriennya oleh kelompok peneliti agronomi dari Pakistan,
kandungan nutrien seperti kadar lemak daun 2,72% dan batang
0,91%, protein kasar daun 14,35 % dan batang 8,1 %,
kecernaan daun 72,68% dan batang 62,56% serta kecernaan
protein kasar 14 % (Yassin, Malik dan Nazir, 2003).
Oleh karena itu diperlukan sebuah penelitian yang
menunjukkan suatu hasil data yang nyata tentang hasil
penelitian pengunaan jenis hijauan yaitu rumput odot, rumput
gajah dan tebon Jagung yang ditinjau dari konsumsi pakan,
efisiensi pakan dan konversi pakan serta IOFC (Income Over
Feed Cost). Perbandingan terbaik dapat dilihat dari konsumsi
pakan dikarenakan semakin banyak konsumsi dan efisien
maka semakin baik data konumsi dari jenis hijauan tersebut,
hal ini sesuai dengan Santosa (2006) bahwa konsumsi pakan
sangat tergantung kepada pakan yang disediakan oleh
peternak, pakan dengan kualitas yang baik dan segar maka
akan mempengaruhi konsumsi dari ternak tersebut sehingga
konsumsi dapat maksimal dan efisien.
Selain ditinjau dari konsumsi pakan dapat ditinjau
juga dari efisiensi pakan, semakin tinggi data hasil dari
efisiensi maka semakin baik, hal ini didukung pernyataan oleh
Nurdiati, Handayanta dan Lutojo (2012) bahwa nilai efisiensi
penggunaan pakan yang semakin tinggi menunjukkan bahwa
pakan yang dikonsumsi semakin sedikit untuk menghasilkan
produksi. Nilai efisiensi yang baik maka akan diikuti pula
dengan konversi pakan yang baik pula, karena semakin rendah
hasul dari konversi makan semakin baik data tersebut, intinya
adalah semakin efisien.
Isbandi (2004) menyatakan konversi pakan adalah
indikator teknis yang dapat menggambarkan tingkat efisiensi
penggunaan pakan, semakin rendah angka konversi pakan
berarti semakin baik karena semakin efisien. Dari semua data
tersebut dapat dihitung keuntungan secara ekonomi yaitu
dengan menggunakan IOFC (Income Over Feed Cost), pada
IOFC dapat ditentukan keuntungan melalui perhitungan hasil
penjualan dari produksi susu – biaya konsumsi pakan oleh
ternak. Hal ini sesuai dengan Menurut Hertanto (2014) data
perhitungan ekonomi dianalisis dengan menggunakan
perhitungan Income Over Feed Cost (IOFC) untuk mengetahui
pendapatan yang diperoleh berdasarkan penjualaan susu dan
pengeluaran biaya pakan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas perlu dilakukan
penelitian penggunaan rumput odot untuk melengkapi jenis
pakan hijauan lain (rumput gajah biasa atau tebon jagung)
pada sapi perah, sehingga akan diketahui hasil dari
penggunaan jenis hijauan rumput odot, rumput gajah dan
tebon jagung. Hasil yang terbaik di harapkan bisa
meningkatkan produksi dan kualitas susu sehingga dapat
memperbaiki dari segi ekonomi dan meningkatkan keuntungan
peternak sapi perah di daerah Ngantang dan sekitarnya ditinjau
dari konsumsi pakan, efisiensi pakan, konversi pakan dari sapi
perah yang diberikan perlakuan penggunaan jenis hijauan dan
dihitung menggunakan dengan analisis IOFC (Income Over
Feed Cost) sehingga dapat dihitung antara pendapatan dan
pengeluaran. Diharapkan pada perlakuan penggunaan jenis
hijauan ini dapat menekan pengeluaran dan memperbesar
pendapatan masyarakat yang berhubungan dengan peternakan
sapi perah.
Produksi Meningkat
Variabel Pengamatan:
1. Konsumsi Pakan
2. Efisiensi Pakan
3. Konversi Pakan
4. IOFC (Income Over Feed Cost)
1
Gambar 2. Sapi perah (PFH) Peranakan Friesian Holstein.
15
10 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0
5
0
2 6 10 14 18 22 26 30 34 38 42
WEEKS AFTER PARTURITION
Gambar 3. Kurva laktasi sapi perah selama satu periode laktasi (Molento, 2009).
2
Sapi perah membutuhkan sejumlah nutrien untuk
memenuhi kebutuhan berbagai fungsi tubuhnya. Pada
dasarnya, kebutuhan sapi perah terdiri dari kebutuhan pokok
dan kebutuhan untuk berproduksi. Kebutuhan ternak
ruminansia terhadap pakan dicerminkan oleh kebutuhan
terhadap nutrien. Jumlah kebutuhan nutrien setiap harinya
sangat bergantung terhadap jenis ternak, umur, fase
(pertumbuhan, dewasa, bunting, dan menyusui). 6 Kondisi
tubuh (normal, sakit) dan lingkungan tepat hidupnya
(temperatur, kelembaban udara), serta bobot badannya
(Sutardi, 1981).
Pemusatan daerah pemeliharaan sapi-sapi PFH di
Jawa dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah rendah yang
mempunyai ketinggian sampai 300 m diatas permukaan laut
dengan temperatur harian rata-rata 28º - 35ºC, kelembaban
relatif 75% dan curah hujan 1800 - 2000 mm. Daerah
tinggimempunyai ketinggian lebih dari 750 m di atas
permukaan laut dengan harian rata-rata 16º - 23ºC,
kelembaban relatif 70% dan curah hujan 1.800 mm (Paggi dan
Suharsono, 1978 cit. Hardjosubroto, 1980).
3
2.2 Pakan Hijauan
Hijauan pakan ternak (forage) merupakan bahan
pakan utama untuk ternak serta merupakan dasar dalam usaha
pengembangan peternakan. Untuk meningkatkan produktivitas
ternak, salah satu faktor penting yang harus diperhatikan
adalah penyediaan pakan sepanjang tahun baik kualitas dan
kuantitas yang cukup (Femi dkk, 2011) menyatakan bahwa
salah satu faktor yang menentukan baik buruknya
pertumbuhan ternak sapi adalah pakan.
Pada umumnya pakan ternak ruminansia dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu hijauan dan
konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang
relatif lebih banyak atau bahan tidak tercerna relatif tinggi.
Menurut Sitindaon (2013) mengatakan bahwa pakan ternak
ruminansia terdiri dari pakan hijauan, konsentrat, vitamin dan
mineral sebagai suplemen, jenis pakan hijauan yang biasa
digunakan sebagai pakan pada usaha peternakan rakyat di
pedesaan adalah rumput lapangan, serta beberapa rumput
introduksi sebagai rumput unggulan dan pakan hijauan antara
lain hay, silase, rumput rumputan, leguminosa dan limbah
pertanian (jerami padi, pucuk tebu dan jerami jagung).
Menurut Wilson, Mathius dan Haryanto (1998) pakan hijauan
di daerah tropis memiliki kandungan serat kasar yang tinggi.
Serat kasar diketahui merupakan faktor utama penyebab
rendahnya kemampuan ternak untuk mengkonsumsi pakan dan
mempengaruhi daya cerna ternak serta laju alir partikel pakan,
konsekuensinya tingkat palatabilitas hijauan tropis menjadi
rendah, Farizaldi (2011) menambahkan Faktor kekurangan
cahaya bagi tanaman dapat menggangu proses fotosintesis,
akibanya pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak
optimal sehingga kondisi tersebut tentu akan mempengaruhi
produktivitas hijauan pakan ternak.
4
Kebutuhan hijauan pada setiap jenis ternak berbeda-
beda pada ternak sapi, kerbau, kambing, dan domba
memerlukan jumlah hijauan yang lebih banyak dari pada
ternak non ruminansia seperti: babi, kuda, unggas, dan
lainnya. Pada umumnya jumlah hijauan yang diberikan pada
ternak tersebut adalah 10 % dari bobot hidup, sedangkan
makanan penguat misalnya konsentrat hanya diberikan 1 %
saja dari bobot hidup (Putra, 2009). Delima, Abubakar, dan
Yunus (2015) menambahkan untuk mengukur kebutuhan
hijauan pakan didasarkan pada kemampuan ternak
mengkonsumsi hijauan, konsumsi (kebutuhan) hijauan pakan
seekor sapi dewasa adalah 10 % dari bobot badan.
Kecukupan bahan kering hijauan dan tingkat serat
yang cukup, sangat diperlukan untuk mempertahankan kondisi
rumen sapi perah, sehingga produksi susunya berjalan normal.
Oleh karena itu, sapi perah sebaiknya mendapatkan bahan
kering hijauan 1,4% dari bobot hidup. Jumlah hijauan pada
pakan sapi perah pun jangan kurang dari 0,80% dari bobot
hidup. Pemberian konsentrat yang berlebihan atau pemberian
lemak, pati dan non struktural karbohidrat yang berlebih dalam
pakan juga dapat menyebabkan gangguan fungsi rumen dan
metabolisme sapi perah.
Standar kebutuhan pakan hijauan berdasarkan Satuan
Ternak, dapat dilihat pada tabel 2 :
5
Tabel 2. Standar kebutuhan nutrien sapi perah laktasi dari
pakan hijauan
Ternak Kebutuhan nutrien
BK PK SK LK BETN Abu TDN
(%) (%)* (%)* (%)* (%)* (%)* (%)*
Sapi
Perah 21 10,19 34,15 1,64 42,29 11,73 61
Laktasi
*Berdasarkan dari 100% BK
Sumber: Basya (2002)
6
musim kemarau maka produksi akan turun. Kekurangan pakan
hijauan menurut Farizaldi (2011) dapat diatasi dengan salah
satunya memanfaatkan hijauan pakan ternak yang tumbuh
diareal tanaman perkebunan seperti kelapa, karet, kelapa sawit
dan tanaman lainnnya.
Berkaitan dengan penyediaan hijauan pakan untuk
meningkatkan populasi ternak, ketersediaan lahan yang sesuai
untuk pertumbuhan hijauan menjadi hal yang sangat
penting.Perhitungan luas lahan dilakukan dengan cara
Calculate Return Area yaitu dengan cara data pada populasi
sapi dan target peningkatan produksi dari tahun 2013 sampai
dengan tahun 2017 di akses pada daerah yang di targetkan
peningkatan produksinya. Selanjutnya data kemudian
dikonversi dalam Satuan Ternak (ST) untuk standardisasi
perhitungan dalam penyediaan hijauan pakan (Delima,
Abubakar dan Yunus, 2015).
7
pakan mengandung bekatul, kalsium, molasses, bungkil
kedelai, garam, pollard, mineral, vitamin, dan aroma.
Pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
kualitas dan kuantitas susu. Pemberian pakan konsentrat
komersial dapat meningkatkan kadar lemak susu (Nabila dan
Nurhajati, 2013). Menurut Nabila dan Nurhajati (2013) pakan
konsentrat yang memiliki nilai nutrien lebih tinggi dari pada
hijauan, ditujukan untuk memberikan peluang kepada ternak
agar dapat memaksimalkan pertumbuhan atau produksi.
Tingkat kehalusan konsentrat dapat mempercepat laju
makanan dalam saluran pencernaan dan bakteri rumen tidak
cukup waktu untuk memfermentasi kandungan tersebut,
akibatnya kehilangan energi melalui feses tetap tinggi
(Munandar, 2011).
Adanya tambahan konsentrat agar kadar asam
propionat dalam rumen dapat meningkat, karena kekurangan
asam propionat menyebabkan ternak kekurangan energi.
Kondisi ini menyebabkan ternak mengambil energi dari
jaringan tubuh. Efisiensi pengambilan energi dari jaringan
tubuh ini dapat mencapai 85% (Moe, Tyrrel and Flatt, 1972),
didukung pernyataan oleh Munandar (2011) bahwa
peningkatan konsentrat dalam pakan dapat meningkatkan
proporsi asam propionat dalam cairan rumen dan
meningkatkan efisiensi energi, tapi hal ini terjadi bila proporsi
asam asetat dalam cairan rumen masih 50-60%.
Standar baku konsentrat sapi perah laktasi, dapat
dilihat pada Tabel 3:
8
Tabel 3. Standar baku konsentrat sapi perah laktasi
Kandungan Persentase (%)
TDN 67
Protein Kasar (PK) 16
Lemak Kasar (LK) 6
Kadar Air 12
Serat Kasar (SK) 10
Abu 0,9 – 1,2
Ca dan P 0,6 – 0,8
Sumber: Tillman, dkk (1998)
2 Pemula – 2 14 10 16 7 78
3 Dara 14 10 15 7 75
4 Laktasi 14 10 16 7 70
5 produksi 14 10 18 7 75
tinggi
6 Kering 14 10 14 7 65
bunting
7 Pejantan 14 12 12 6 65
10
sangat responsif terhadap pemupukan. Tumbuh berumpun
dengan perakaran serabut dan terus menghasilkan anakan
apabila dipangkas secara teratur (Akbar, 2016). Menurut
Sirait, Tarigan dan Simanihuruk (2015) Jumlah anakan pada
rumput odot dipengaruhi nyata oleh perlakuan jarak tanam,
semakin lebar jarak tanam semakin banyak jumlah ruas
anakannya . Ditambahkan oleh (Salasa, 2013) semakin dekat
jarak tanam, maka kandungan protein, lemak kecernaan dan
hasil dari rumput gajah mott semakin tinggi. Batang rumput
gajah mott yang lunak sehingga apabila diberikan ke ternak
dapat dimakan langsung tanpa harus di chopper terlebih
dahulu.
Rumput gajah mini atau biasa juga disebut rumput
gajah dwarf sangat potensial dan merupakan salah satu
varietas rumput gajah yang tumbuh tidak terlalu tinggi
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai rumput grazing.
Berdasarkan hasil penelitian, rumput ini mempunyai tinggi
tanaman rata-rata 125 cm, jumlah anakan rata-rata 150 per m2,
dan tingkat persentase daun rata-rata 70% pada sistem
rotasional grazing (Ako, 2013). Menurut Purwawangsa dan
Putera (2014) rumput gajah mini atau rumput odot mempunyai
produktivitas cukup tinggi yaitu mencapai 60 ton/ha/panen
dimana panen pertama pada usia 3-4 bulan, selanjutnya dapat
dipanen setiap 50-60 hari. Rumput odot dapat disimpan
sampai 3 hari tanpa perlakuan khusus, dan masih bisa disantap
sapi dengan lahap .
Rumput gajah mini adalah salah satu jenis rumput
gajah dari hasil pengembangan teknologi hijauan pakan.
Morfologi batangnya berbuku dengan jarak sangat pendek
dibandingkan dengan rumput gajah pada umumnya. Selain itu
batang rumput ini sedikit lunak sehingga sangat disukai oleh
11
ternak. Rumput gajah mini selain sebagai rumput grazing, juga
cocok digunakan sebagai rumput potong (Hasan, 2012).
Menurut Kozioki, Porition and Sanchez (2006) Rumput gajah
dwarf merupakan salah satu rumput unggul karena produksi
kualitas cukup tinggi, palatable, mudah dibudidaya, tahan
penyakit dan mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan
yang bervariasi, alasannya menurut Syarifuddin (2006)
rumput gajah mini (Pennisetum purpureum cv.Mott) atau biasa
disebut dwarf elephant grass merupakan jenis rumput unggul
yang mempunyai produktivitas dan kandungan nutrien yang
cukup tinggi serta memiliki palatabilitas yang tinggi bagi
ternak ruminansia. Tanaman ini merupakan salah satu jenis
hijauan pakan ternak yang berkualitas dan disukai ternak.
Tanaman rumput gajah mini (Pennisetum purpureum
cv.Mott) pertumbuhannya sangat cepat, dan waktu masih muda
nilai nutriennya cukup tinggi (Urribar, Ferrer and Collina.,
2013). Rumput gajah kerdil tumbuh merumpun dengan
perakaran serabut yang kuat serta menghasilkan anakan
apabila di pangkas secara teratur (Syarifuddin 2006; Nawas
2013).
Gambar tanaman rumput odot dan batang rumput odot
dapat dilihat pada Gambar 4:
12
Yassin, Malik dan Nazir (2003) menyatakan bahwa,
rumput gajah mini ini berbeda dari rumput gajah yang biasa
dibudidayakan oleh petani saat ini. Rumput gajah biasa
tingginya sekitar 4,5 meter, sedangkan rumput odot hanya
mencapai 1 meter, dengan rumpun yang sangat rapat mirip
pandan. Dengan kondisi ini, tentunya rumput odot jauh lebih
efisien dalam penggunaan lahan. Untuk lahan 1 meter persegi
rumput gajah biasa hanya menghasilkan sekitar 29,5
kg/ha/tahun, maka rumput odot bisa mencapai sekitar 36
kg/tahun. Hampir semua bagian rumput odot bisa dimakan
oleh sapi, sedangkan rumput gajah biasa hanya sekitar 60-70
% saja.
Hasil analisis proksimat rumput odot dapat dilihat
pada Tabel 5:
Tabel 5. Hasil analisis roksimat rumput odot (Pennisetum
purpureum cv.Mott)
Kandungan Persentase (%)
Protein Kasar (PK) 14
BETN 40,98
Serat Kasar (SK) 29,38
Lemak Kasar (LK) 2,72
Abu 13,54
TDN 51
Sumber: Yassin, Malik dan Nazir (2003)
13
mudah beradaptasi dengan lingkungan lembab maupun
lingkungan yang kering serta tidak dapat tumbuh baik dalam
kondisi lahan yang tergenang air (Kusuma, 2014). Menurut
Sawen (2012) Rumput gajah (Pennisetum purpureum)
merupakan beberapa jenis rumput yang mempunyai kualitas
unggul sebagai pakan ternak. Kebanyakan rumput tropis
apabila kebutuhan nutrien dan airnya tidak terpenuhi, tumbuh
pada tempat atau areal yang ternaungi atau dengan kata lain
tidak tahan terhadap naungan akan menghasilkan produksi
yang rendah.
Rumput gajah memiliki manfaat sebagai hijauan
pakan ternak unggul yang dapat berproduksi tinggi,
kualitasnya baik disusul dengan palatabilitas yang tinggi dan
daya adaptasinya cukup luas serta rumput gajah mengandung
nilai nutrien yang cukup tinggi sehingga rumput gajah
memenuhi syarat untuk dijadikan pakan ternak yang baik
(Sandiah, Yulius, Pasolon dan Sabaruddin, 2011). Menurut
Kusuma (2014) Rumput gajah dapat dibudidayakan dengan
memperhatikan mutu hijauan tersebut yaitu diantaranya
keadaan tanah, iklim dan perlakuan manusia agar dapat
memenuhi kebutuhan nutrien makanan setiap ternak dalam
pengadaan pakan ternak
Pertumbuhan rumput gajah akan sangat baik apabila
penanamannya disertai dengan lokasi penanaman yang tepat
yaitu rumput gajah di tanam di bawah naungan sekitar 60%
sehingga akan tumbuh dengan maksimal. Tinggi rumput gajah
(Pennisetum purpureum) terus meningkat seiring dengan
adanya naungan dengan hasil di atas rata-rata. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa rumput gajah dapat hidup
atau mampu beradaptasi dengan lingkungan yang ternaungi
(Sawen, 2012). Menurut Soegiri, Ilyas, Damayanti dan
14
Reksohadiprodjo, (1980) rumput gajah dapat tumbuh pada
ketinggian 0 – 3000 meter diatas permukaan laut (mdpl),
dengan curah hujan 1000 mm/tahun, tidak tahan terhadap
genangan air dan membutuhkan tanah yang subur. Rumput
gajah sangat disukai ternak, tahan terhadap kekeringan,
produksi dan nilai nutriennya tinggi serta baik untuk silase.
Rumput gajah (Pennisetum purpureum schumach)
adalah hijauan makanan ternak tropik yang mudah
dikembangkan, produksinya tinggi dan dapat dimanfaatkan
sebagai makanan ternak ruminansia (Adijaya, Yasa dan
Guntoro, 2007). Reksohadiprodjo (1985) menyatakan bahwa
rumput gajah merupakan rumput unggul yang termasuk jenis
rumput potong yang berumur panjang (perennial), tumbuh
tegak membentuk rumput, tinggi dapat mencapai 7 meter
apabila dibiarkan bebas dan kedalaman akar mencapai 4,5
meter.
Tabel produksi bahan kering dari rumput gajah
ditinjau dari panjang daun, tinggi tanaman, jumlah anakan,
persen batang pada Tabel 6:
15
Hasil analisis proksimat dari rumput gajah
(Pennisetum purpureum) dengan umur pemotongan 8 minggu
dapat dilihat pada Tabel 7:
16
sebagai silase sehingga mudah untuk diawetkan dalam proses
ensilase. Data hasil penelitian pembuatan silase tanaman
jagung, baik uji organoleptik maupun uji kimiawi
menunjukkan bahwa tanaman jagung sangat ideal bila
digunakan sebagai silase (Kushartono, 2005).
17
Ada beberapa limbah yang dihasilkan dari perkebunan
jagung dan dari industri yang berbasis jagung. Limbah-limbah
ini sangat potensial sebagai pakan ruminansia. Kualitas nutrien
yang terkandung dalam limbah tanaman jagung bervariasi
tetapi tidak cukup tinggi untuk diberikan sebagai pakan
tunggal (Umiyasih dan Elizabeth, 2008). Limbah tanaman
jagung sangat berpotensi untuk dimanfaatkan untuk pakan,
tetapi hanya untuk ternak ruminansia karena tingginya
kandungan serat. Jerami jagung merupakan bahan pakan
penting untuk sapi pada saat rumput sulit diperoleh, terutama
pada musim kemarau (Bunyamin, Efendi dan Andayani,
2013). Menurut Edy dan Wardoyo (2014) bahwa tebon jagung
biasanya diberikan sebagai pakan utama dan sebagai penguat
adalah konsentrat.
19
2.8 Efisiensi Pakan
Efisiensi pakan adalah nilai yang diperoleh dari
produksi susu yang dihasilkan per unit bahan kering pakan
yang terkonsumsi (Diana, Agung dan Limbang, 2014). Rumus
perhitungan efisiensi pakan sebagai berikut: Efisiensi pakan =
Produksi Susu (kg) / konsumsi pakan BK (kg) x 100%.
Menurut Santosa (2006) bahwa efisiensi pakan didefinisikan
sebagai perbandingan jumlah unit produk yang dihasilkan
(produksi susu) dengan jumlah unit konsumsi pakan dalam
satuan waktu yang sama.
Efisiensi pakan dihitung dalam bentuk pakan dan
dalamnya terdapat macam bahan pakan yang dibagi konsentrat
dan hijauan. Konsumsi Konsentrat adalah Jumlah konsentrat
yang diberikan dikurang sisa konsentrat yang tidak dikonsumsi
dan Konsumsi hijauan adalah Jumlah hijauan yang diberikan
dikurang sisa hijauan yang tidak dikonsumsi. Rumus
perhitungan efisiensi pakan sebagai berikut, Efisiensi Pakan =
Produksi Susu (kg) / Konsumsi BK pakan x 100% (Sidqi,
2014). Menurut Budiarsana dan Sutama (2001) efisiensi
produksi susu dihitung berdasarkan protein yang terkandung
dalam produksi susu dalam kalori atau gram dibagi dengan
protein dalam pakan yang dikonsumsi.
Hasil perhitungan terhadap nilai konversi dan efisiensi
pakan dapat menunjukkan suatu hasil konversi dan efisiensi
pakan menunjukkan suatu perubahan pada ternak melalui
perhitungan dengan rumus konversi dan efisiensi pakan ,
dalam penelitian tidak selalu hasil dari efisiensi pakan akan
menjadi lebih baik, (Umiyasih, 2014) menyatakan bahwa
dapat dikatakan suatu efisiensi jelek terlihat dari tingginya
nilai konversi pakan dan beda dengan terendahnya nilai
20
efisiensi pakan terpaut jauh, jadi semakin rendah nilai efisiensi
pakan maka semakin jelek. Didukung pernyataan oleh
Nurdiati, Handayanta dan Lutojo (2012) bahwa nilai efisiensi
penggunaan pakan yang semakin tinggi menunjukkan bahwa
pakan yang dikonsumsi semakin sedikit untuk menghasilkan
produksi.
(Yanwar, Cholis dan Setyowati, 2012) menyatakan
bahwa, efisiensi pakan tidak hanya dipengaruhi dari hasil
produksi susu tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi ternak dan
kemampuan ternak mencerna bahan pakan. Hal ini sesuai
dengan Sudono (2001), bahwa efisiensi pakan sangat
dipengaruhi oleh kondisi ternak dan daya cerna ternak.
Efisiensi pakan dihitung dengan tujuan mengetahui nilai
keefektifan suatu bahan pakan ternak (Yanwar, Nur Cholis
dan Endang Setyowati, 2012). Efisiensi pakan (kadang kadang
disebut efisiensi susu atau efisiensi konsumsi bahan kering)
adalah ukuran sederhana untuk menentukan kemampuan
relatif sapi untuk mengubah nutrien pakan ke dalam susu atau
komponen susu (Novianti, Purwanto dan Atabany, 2014).
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Sidqi (2014)
tentang efisiensi pakan pada sapi perah PFH dengan perlakuan
pemberian pakan Konsentrat Dengan Air (KDA) dan
pemberian pakan Konsentrat Tanpa Air (KTA) dapat
disimpulkan bahwa hasil dari efisiensi pakan rata – rata
51,48% dan 52,68% dan dari hasil penelitian menunjukan
efisiensi pakan tidak menunjukan perbedaan yang nyata.
21
bobot badan atau produksi per satuan waktu akan
menghasilkan konversi pakan. Nilai ini akan semakin efisien
jika jumlah pakan yang dikonsumsi lebih sedikit, tetapi
menghasilkan PBBH atau produksi susu yang lebih tinggi atau
sama (Nurhayu dan Pasambe, 2016). Ngadiyono (2005)
menyatakan bahwa konversi pakan adalah suatu cara atau
rumus yang menunjukkan kemampuan ternak mengubah
bahan pakan untuk memproduksi satu kg pertambahan bobot
badan. Nilai konversi pakan tergantung pada kualitas pakan
yang diberikan, semakin tinggi nutrien yang dikandung akan
semakin baik konversi pakan yang dihasilkan. (Nusi, 2011).
Efisiensi penggunaan energi dan protein tersebut
untuk pertumbuhan mikrobia sehingga meningkatkan efisiensi
konversi pakan, penurunan absorbsi NH3, dan menurunkan N
ekskresi (Reynolds dan Kristensen, 2008). Menurut Yusran
(2004) dapat ditentukan nilai rasio konversi pakan, dan nilai
Break event point menggunakan rumus perhitungan sebagai
berikut: Nilai Rasio Konversi Pakan (RKP) = Konsumsi bahan
kering (BK) / Produksi susu, dan Nilai Break event point harga
susu (BEP) = Biaya pakan (segar)/ produksi susu.
Menurut Sutardi (1990) menyatakan bahwa konversi
pakan sangat dipengaruhi oleh kondisi ternak, daya cerna
ternak, jenis kelamin, bangsa, kualitas dan kuantitas pakan,
juga faktor lingkungan. Isbandi (2004) menyatakan konversi
pakan adalah indikator teknis yang dapat menggambarkan
tingkat efisiensi penggunaan pakan, semakin rendah angka
konversi pakan berarti semakin baik.
22
2.10 IOFC (Income Over Feed Cost)
Income Over Feed Cost (IOFC) adalah selisih dari
total pendapatan dengan total biaya pakan digunakan selama
usaha produksi ternak. Income Over Feed Cost ini merupakan
barometer untuk melihat seberapa besar biaya pakan yang
merupakan biaya terbesar dalam usaha produksi susu. IOFC
diperoleh dengan menghitung selisih pendapatan usaha
peternakan dikurangi biaya pakan. Pendapatan merupakan
perkalian antara produksi susu yang dihasilkan kambing akibat
perlakuan dengan harga jual (Prawirokusumo, 1990).
Menurut Rullyana (2012) Income Over Feed Cost
(IOFC) adalah pendapatan yang didapat setelah dikurangi
biaya pakan selama penggemukan. Menurut Mayulu et al.,
(2009) nilai income over feed costs (IOFC) merupakan selisih
antara pendapatan dengan biaya pakan.
Pada suatu kegiatan usaha diperlukan suatu analisis
biaya agar tidak terjadinya suatu kerugian yang
mengakibatkan kegiatan suatu usaha itu berhenti akibat rugi,
dapat dilakukan data perhitungan ekonomi dianalisis dengan
menggunakan perhitungan Income Over Feed Cost (IOFC)
untuk mengetahui pendapatan yang diperoleh berdasarkan
penjualaan dan pengeluaran biaya. (Hertanto, 2014)
Perhitungan IOFC terlepas dari biaya lain yang belum
diperhitungkan seperti upah tenaga kerja, fasilitas kandang,
bibit dan lain sebagainya yang tidak termasuk ke dalam
kriteria yang diamati dalam biaya variabel (Lestari, 2014).
Menurut (Suryahadi, 2004) data perhitungan ekonomi
dianalisis dengan menggunakan perhitungan Income Over
Feed Cost (IOFC) untuk mengetahui pendapatan yang
23
diperoleh berdasarkan penjualaan susu dan pengeluaran biaya
pakan.
Perhitungan IOFC dilakukan untuk mengetahui nilai
ekonomis pakan terhadap pendapatan petani ternak. Income
over feed costs (IOFC) dilakukan karena biaya pakan berkisar
antara 60-80% dari biaya total produk (Astutik, Arifin dan
Dilaga, 2002). Untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan
secara ekonomis, selain memperhitungkan bobot badan atau
produksi yang dihasilkan dan efisiensi pakan, faktor efisiensi
biaya juga perlu diperhitungkan. Income over feed cost (IOFC)
adalah salah satu cara untuk mengetahui efisiensi biaya yang
diperoleh dari hasil penjualan produksi dikurangi biaya pakan.
Perhitungan IOFC ini terlepas dari biaya lain yang belum
diperhitungkan seperti upah tenaga kerja, fasilitas kandang,
bibit dan lain sebagainya yang tidak termasuk ke dalam
kriteria yang diamati dalam biaya variabel (Sudono, Rosdiana
dan Setiawan, 2003).
Hasil penelitian Hertanto (2014) tentang biaya pakan
untuk memproduksi susu dengan perlakuan Teknologi Pakan
dapat dilihat pada Tabel 9:
24
Hasil penelitian Hertanto (2014) tentang Nilai Income
Over Feed Cost (IOFC) per ekor per hari dengan perlakuan
Teknologi Pakan dapat dilihat pada Tabel 10:
Tabel 10. Nilai Income Over Feed Cost (IOFC) per ekor per
hari
Jenis Teknologi Pakan Nilai IOFC (Rp)*
25
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
37
Tabel 11. Bulan laktasi, periode laktasi dan bobot badan awal
sapi perah di KUD Sumber Makmur
Periode
Bulan laktasi Bobot badan
Nomor sapi laktasi
(bulan) (Kg)
(bulan)
Sapi 1 2 3 357,21
Sapi 2 3 3 372,49
Sapi 3 2 3 349,69
Sapi 4 2 2 372,49
Sapi 5 2 3 396,01
Sapi 6 3 3 420,25
Sapi 7 3 3 380,25
Sapi 8 3 3 400,00
Sumber: KUD Sumber Makmur (2016)
38
3.2.3 Pakan Hijauan
Pakan hijauan perlakuan yang digunakan ada beberapa
jenis yaitu rumput odot, rumput gajah dan tebon jagung.
Masing – masing digunakan dalam perlakuan yang
disesuaikan dengan kebutuhan oleh sapi PFH tersebut. Hijauan
dalam perlakuan ini digunakan sebanyak 60% BK
dikarenakan untuk sapi perah lebih dominan penggunaan
hijauan dibandingkan pakan konsentrat, hal ini dikarenakan
untuk mensintesa lemak susu yang kaitannya dengan kualitas
susu. Dibutuhkan konversi energi yang tinggi dari pakan
hijauan, energi tersebut adalah untuk memproduksi VFA.
Peranan yang penting untuk mendapatkan kualitas susu pada
VFA adalah asam asetat yang banyak didapat dalam hijauan.
Pengadaan pakan hijauan dilakukan 1–3 hari sebelum
pemberian ke ternak. Sebaiknya hijauan segar dilayukan agar
kadar air tidak terlalu tinggi.
39
Tabel 12. Komposisi konsentrat KUD Sumber Makmur
Bahan Pakan Proporsi (%)
Kopra 30
Pollard 22
Kulit kacang 6
CGF (Corn glutten feed) 10
Bungkil kedelai 3
Bekatul 5
Bungkil kelapa sawit 4
Molases 5
DDGS (Dried grains with 5
solubles)
Sumber: KUD Sumber Makmur (2016)
40
P1 = 60% BK (50% Rumput Odot + 50% Tebon Jagung) + 40% BK Konsentrat
P2 = 60% BK (50% Rumput Gajah + 50% Tebon Jagung) + 40% BK Konsentrat
P3 = 60% BK Rumput Gajah + 40% BK Konsentrat
P4 = 60% BK Rumput Odot + 40% BK Konsentrat
Sebagai langkah awal penelitian akan dilakukan
analisis kandungan nutrien rumput odot (Pennisetum
purpureum cv.Mott), rumput gajah (Pennisetum purpureum
cv.schumach) , tebon Jagung (Zea mays.spp) dan konsentrat
dari KUD Sumber Makmur sehingga dapat diketahui potensi
jenis pakan hijauan dan konsentrat sebagai pakan ternak.
Dilanjutkan dengan percobaan perlakuan dengan
menggunakan uji in vivo pada sapi perah sedang laktasi untuk
mengetahui respon pemberian jenis hijauan ini terhadap
konsumsi pakan, efisiensi pakan, konversi pakan dan Income
Over Feed Cost (IOFC).
Pakan yang akan diberikan pada sapi perah yang
sedang laktasi yaitu pakan hijauan dan pakan konsentrat sapi
perah laktasi sesuai dengan kebutuhan penelitian. Proporsi BK
antara hijauan dan konsentrat sebesar 60% hijauan dan 40%
konsentrat. Pakan hijauan diberikan sebanyak 3 kali sehari
untuk semua perlakuan yaitu pukul 05.00 WIB, pukul 11.30
WIB dan pukul 16.00 WIB. Pemberian pakan hijauan selalu
disertai dengan pemberian pakan konsentrat terlebih dahulu
sesuai dengan rasio setiap perlakuan.
41
Periode 1
P1 P2 P3 P4
Sapi 2 Sapi 4 Sapi 1 Sapi 6 Sapi 7 Sapi 5 Sapi 8 Sapi 3
Periode 2
P2 P3 P4 P1
Sapi 2 Sapi 4 Sapi 1 Sapi 6 Sapi 2 Sapi 4 Sapi 1 Sapi 6
Periode 3
P3 P4 P1 P2
Sapi 2 Sapi 4 Sapi 1 Sapi 6 Sapi 2 Sapi 4 Sapi 1 Sapi 6
Periode 4
P4 P1 P2 P3
Sapi 2 Sapi 4 Sapi 1 Sapi 6 Sapi 2 Sapi 4 Sapi 1 Sapi 6
42
sapi di tempatkan pada kandang yang sesuai dengan kelompok
dan perlakuannya. Kandang yang digunakan berjumlah 4
sekat, setiap sekat diisi 2 ekor sapi perah. Kandang setiap unit
percobaan diberi nomor sesuai dengan perlakuan dan
kelompok. Pakan dan air minum yang ditempatkan pada
palungan pakan dan tempat minum. Penempatan perlakuan
dilakukan secara acak dengan ketentuan sebagai berikut:
43
3.4.3 Tahap koleksi data
Tahap koleksi data dilaksanakan selama 8 minggu. Pada
tahapan ini ternak diberi pakan sesuai perlakuan (P1, P2, P3 dan
P4) dan dilakukan koleksi data yaitu jumlah pakan yang
diberikan, sisa pakan, berat sampel pemberian pakan segar dan
kering matahari ,berat sampel sisa pakan segar dan kering
matahari. Koleksi data dilakukan setiap hari selama 2 minggu
pada setiap periode, total lama koleksi data adalah 8 minggu.
Tahap koleksi data dilakukan setiap 2 minggu dalam
setiap periode untuk mengukur semua variabel yang diamati.
Data yang dikumpulkan pada setiap tahap koleksi data sebagai
berikut :
44
3.4.3.2 Koleksi sampel pakan sisa
Sisa pakan hijauan setiap ternak dari pengamatan
selama 24 jam diambil sampel sebanyak 5%, dikeringkan
matahari dan dimasukkan ke dalam plastik, diberi label dan
tanggal pengambilan sampel kemudian disimpan. Pada akhir
penelitian, semua sampel setiap periode dikomposit secara
proporsional (50% dari berat segar) pada setiap perlakuan
disetiap periode. Sampel pakan sisa dimasukkan oven dengan
suhu 60ºC selama 24 jam kemudian ditimbang, digiling
dengan mesin grinder dan dianalisis kandungan BK, BO dan
PK.
Koleksi sisa pakan konsentrat dari pengamatan 24 jam
tidak dilakukan karena konsentrat yang diberikan selalu habis
dikonsumsi setiap sapi selama penelitian.
45
pemberian)] – [Sisa pakan (g) x (%
BK sisa pakan) x (% BO sisa
pakan)]
Konsumsi PK
(KPK) g/ekor/hari = [Pakan pemberian (g) x (% BK pakan
pemberian) x (% PK pakan
pemberian)] – [Sisa pakan (g) x (%
BK sisa pakan x PK sisa pakan)]
2. Efisiensi pakan
Dalam tahap koleksi data untuk mengetahui efisiensi
pakan diperlukan data produksi susu dibagi konsumsi BK
pakan. Berikut adalah rumus penghitungan Efisiensi pakan
:
Produksi susu (Kg)
Efisiensi Pakan (%): x 100 %
Konsumsi BK pakan (Kg)
3. Konversi pakan
Dalam tahap koleksi data untuk mengetahui konversi
pakan diperlukan data konsumsi BK pakan dibagi produksi
susu. Berikut adalah rumus penghitungan Efisiensi pakan :
Konsumsi BK pakan (Kg)
Konversi pakan: Produksi susu (Kg)
46
3.6 Analisa Data
Analisis data menggunakan analisis peragam
(ANCOVA) untuk mengetahui pengaruh bobot badan awal
terhadap variabel yang diamati berdasarkan Rancangan Bujur
Sangkar Latin (Latin Square). Peragam bobot badan awal
untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap konsumsi,
efisiensi dan konversi pakan. Apabila kovarian nyata atau
seragam maka dilanjutkan dengan notasi berdasarkan data
terkoreksi dan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan
dengan data terkoreksi untuk mengetahui perbedaan pengaruh
pada masing-masing perlakuan (Yitnosumarto, 1993). Apabila
tidak nyata maka dilanjutkan dengan analisis ragam (ANOVA)
dengan model matematis yang digunakan adalah :
Yij = µ + βj + δi + εij
Keterangan :
Yij = Pengamatan pada periode ke-j yang mendapat
perlakuan ke-i
µ = Nilai tengah
βj = Pengaruh dari perlakuan pada periode waktu ke-
δi = Pengaruh pada perlakuan ke-1
εij = Galat percobaan pada percobaan ke-j yang mendapat
perlakuan ke-1
47
3.7 Batasan Istilah
48
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kandungan Nutrien Pakan
Produktivitas ternak sapi perah tergantung pada
kandungan nutrien bahan pakannya. Hasil analisa kandungan
nutrien bahan pakan hijauan yang digunakan pada masing –
masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel berikut.
49
penelitian yang sudah dilakukan terdahulu tidak ada perbedaan
yang signifikan.
Hasil penelitian bahan pakan hijauan (P4) rumput odot
pada Tabel 14 di dapatkan hasil kandungan nutrien BK
14,27%, BO 82,14% dan PK 9,46%. Menurut Santia (2007)
menyatakan bahwa rumput odot (Pennisetum purpureum
cv.mott) memiliki kandungan nutrien BK sebesar 15,8% dan
ditambahkan oleh suarna dkk (2013) dalam penelitiannya pada
kandungan nutrien rumput odot memiliki kandungan nutrien
PK 13%. Alasan adanya perbedaan dalam kandungan nutrien
rumput odot dalam penelitian ini dan penelitian terdahulu
menurut Ngadiyono, Hartadi dan Winugroho (2001) adalah
perbedaan komposisi nutrien bahan pakan disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain jenis tanaman, umur tanaman dan
tempat tanaman tersebut ditanam.
Hijauan yang digunakan pada saat penelitian selain
rumput gajah dan rumput odot adalah tebon jagung.
Kandungan nutrien tebon jagung pada penelitian ini adalah
BK 22,45%, BO 87,33% dan PK 9,68%. Terdapat beberapa
perbedaan dalam kandungan nutrien pada tebon jagung apabila
dibandingkan dengan penelitian Nasriya dkk (2016) dalam
penelitiannya pada tebon jagung yang digunakann dalam
perlakuannya mempunyai kandungan BK 32%, BO 82,64%
dan PK 12,06%. Hal ini disebabkan karena perbedaan
komposisi nutrien bahan pakan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain spesies tanaman, umur tanaman dan tempat
tanaman tersebut ditanam (Ngadiyono, Hartadi, Winugroho,
Siswansyah dan Ahmad, 2001).
Pada usaha peternakan untuk meningkatkan produksi
susu suatu ternak adalah dengan cara pemberian pakan hijauan
dan konsentrat. Untuk mengetahui kandungan nutrien pakan
50
perlakuan yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada
Tabel berikut.
51
megalis pada P1, P0 dan P2 dengan rasio pemberian pada tiap
perlakuan adalah 6 kg, 6 kg dan 5 kg dengan kandungan BK
91,45%. Sehingga pada konsumsi BK menghasilkan data yang
sama secara berurutan dari KBK yang tertinggi adalah P1
(166,1), P0 (149,3) dan P2 (148,9).
Kandungan protein kasar (PK) tertinggi pada Tabel 15
terdapat pada perlakuan P4 (rumput odot + konsentrat) yakni
sebesar 12,98% . Hal ini disebabkan oleh penyusun bahan
pakan hijauan pada P4 adalah rumput odot. Hasil analisis di
Laboratorium Nutrisi dan Makanan ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya pada Tabel 14 menunjukkan
hasil perlakuan dengan PK tertinggi adalah P4 (rumput odot)
yaitu sebesar 9,68%. Pada Tabel 15 perlakuan P4 (rumput
odot + konsentrat) memiliki PK paling tinggi pula.
52
Tabel 16. Rataan konsumsi BK, BO dan PK pada masing
masing perlakuan
Rataan Konsumsi Nutrien (g/kg BB0,75/hari)
Perlakuan Bobot badan
KBK KBO KPK
sapi (kg)
P1 372,49 130,51 ± 16,95 105,83 ± 16,96 17,33 ± 1,27a
P2 388,73 133,58 ± 11,67 111,40 ± 8,90 17,25 ± 0,86a
P3 388,13 129,11 ± 15,62 105,75 ± 10,91 15,96 ± 1,63b
P4 374,84 123,78 ± 26,21 103,93 ± 22,18 16,93 ± 0,51a
Keterangan: a-b Superskrip yang berbeda pada kolom yang
sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05)
53
memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi protein
kasar (KPK). Pada Lampiran 19 dan 20 menunjukkan hasil
konsumsi BK dan konsumsi BO memberikan pengaruh yang
tidak nyata, sedangkan hasil konsumsi protein kasar
memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini disebabkan oleh
kandungan nutrien pada setiap bahan pakan perlakuan
berbeda-beda meskipun mempunyai konsumsi BK dan BO
yang tinggi tetapi belum tentu di dalam BK dan BO tersebut
mempunyai kandungan protein yang tinggi pula. Sesuai
dengan Webster (1987), alasan mengapa konsumsi pakan
berbeda-beda terutama pada konsumsi nutrien adalah, apabila
ada ketidakseimbangan kandungan nutrien dalam bahan pakan
seperti BK yang tinggi diikuti dengan BO yang tinggi tetapi
pada PK rendah sehingga kebutuhan nutrien ternak khususnya
kebutuhan protein tidak akan terpenuhi, sehingga apabila
kebutuhan itu belum terpenuhiakan terjadi perangsang utama
ke hipotalamus sebagai pusat lapar dan ternak akan
meningkatkan konsumsi guna untuk memnuhi kebutuhan
protein tersebut.
Pada hasil analisis peragam pada Lampiran 19 dan 20
dapat disimpulkan bahwa penggunaan berbagai jenis hijauan
memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada
konsusmsi bahan kering dan konsumsi bahan organik, maka
dilanjutkan analisis ragam pada konsumsi BK dan BO. Hasil
analisis ragam pada Lampiran 19 dan 20 diketahui bahwa
terdapat hasil tidak berbeda nyata untuk konsumsi BK dan
BO. Hal ini menunjukkan bahwa keempat pakan perlakuan
mempunyai tingkat palatabilitas yang hampir sama dan tingkat
palatbilitas sangat mempengaruhi konsumsi pakan sehingga
berdampak pada KBK dan KBO. Faverdin et al.(1995)
menyatakan bahwa tingkat palatabilitas merupakan faktor
54
utama yang menjelaskan perbedaan konsumsi bahan kering
antara pakan dan ternak-ternak yang berproduksi.
Tabel 17. Urutan hasil rataan yang terbaik pada KBK, KBO
dan KPK berdasarkan rataan bobot badan
Rataan Konsumsi Nutrien (g/kg BB0,75/hari)
No Bobot
KBK KBO KPK
Badan (kg)
1 P2 (388,73) 133,58 111,40 17,25
2 P3 (388,13) 129,11 105,75 15,96
3 P4 (374,84) 123,78 103,93 16,93
4 P1 (372,49) 130,51 105,83 17,33
55
konsentrat dengan kandungan BK 44,46%. Banyak faktor
yang mempengaruhi konsumsi pakan pada konsumsi BK dan
BO, antara lain adalah kandungan nutrien pada setiap bahan
pakan. Preston dan Leng (1984) menyatakan bahwa
ketidakseimbangan kandungan nutrien pakan akan
mempengaruhi konsumsi pakan (KBK dan KBO) dimana
keseimbangan nutrien dalam ransum berhubungan dengan
kegiatan fermentasi pada rumen yang nantinya akan
mempengaruhi konsumsi pakan. Hal ini dikarenakan apabila
ketidakseimbangan nutrien pada bahan pakan maka kebutuhan
nutrien oleh ternak menjadi faktor perangsang utama untuk
disampaikan ke hipotalamus sebagai pusat lapar (Webster,
1987).
Pada hasil penelitian konsumsi bahan organik (KBO)
yang disajikan pada Tabel 16 menunjukkan bahwa P2 memiliki
hasil rataan konsumsi BO paling tinggi 111,40 ± 8,90 . Hal ini
dikarenakan rataan konsumsi BO berbanding lurus dengan
rataan konsumsi BK dimana pada hasil penelitian rataan
konsumsi BK yang memiliki rataan paling tinggi diikuti
dengan rataan konsumsi BO yang tinggi juga yaitu pada P2
dengan rataan konsumsi BK 133,58 ± 11,67 selanjutnya
secara berurutan perlakuan P1, P3 dan P4 juga memiliki data
yang sama bahwa KBK dan KBO berbanding lurus, semakin
tinggi KBK maka semakin tinggi pula KBO dapat dilihat pada
Tabel 16.. Hal ini sesuai dengan penelitian Novianto (2013)
menyatakan bahwa, pada hasil penelitian konsumsi BK dan
BO pada perlakuan pemberian pakan hijauan + konsentrat +
probiss dosis 80 ml/hari memiliki hasil rataan konsumsi BK
tertinggi dengan rataan 13,93 ± 0,09 dan diikuti dengan
perlakuan yang sama dengan rataan konsumsi BO adalah
11,94 ± 0,08.
56
Hasil analisis peragam pada konsumsi PK mempunyai
kesimpulan bahwa penggunaan berbagai jenis hijauan dalam
pakan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap konsumsi PK
(P < 0,05). Hal ini dikarenakan hasil rataan konsumsi PK pada
setiap perlakuan mempunyai nilai yang berbeda cukup
signifikan, sehingga pengaruh dari perlakuan berbeda nyata
terhadap variabel. Pada perlakuan P3 yaitu sebesar 0,97 (g/kg
BB0,75/hari) mempunyai selisih konsumsi protein kasar paling
tinggi sehingga mempengaruhi hasil dan analisis peragam dari
konsumsi protein kasar. Menurut Indriani, (2013) bahwa, pada
penelitiannya menunjukkan konsumsi PK pada salah satu
perlakuaannya mempunyai jarak rataan yang cukup banyak
dibandingkan dengan perlakuan lainnya sehingga pada hasil
analisis peragamnya menyatakan kesimpulan bahwa
memberikan pengaruh yang nyata pada variabelnya.
Hasil penelitian yang sudah disajikan pada Tabel 16
menunjukkan bahwa pada keempat perlakuan yang digunakan
dalam penelitian, perlakuan P1 memiliki hasil rataan konsumsi
protein kasar (KPK) yang paling tinggi yaitu 17,33 ± 1,27
selanjutnya diikuti oleh P2 17,25 ± 0,86, kedua perlakuan
tersebut adalah yang paling tinggi dalam rataan konsumsi
protein kasar (KPK) , hal ini berbanding lurus dengan
konsumsi BK pada P1 dan P2 memiliki rataan konsumsi BK
yang paling tinggi pula. Dapat disimpulkan bahwa KPK dan
KBK berbanding lurus. Pada penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Sukardi (2005) bahwa pada data KBK
mendapatkan data secara berurutan dimulai dari yang terbesar
perlakuan T3 (temulawak + Zn proteinat), T1 (temulawak), T2
(Zn proteinat) dan T0 (kontrol) yang memiliki nilai KBK
12,70 %, 12,61%, 12,51%, 12,45% berbanding lurus dengan
KPK yaitu pada perlakuan yang menggunakan Zn proteinat
57
memiliki KPK tertinggi pada T2 dan T3 dapat ditarik
kesimpulan bahwa konsumsi PK sejalan dengan konsumsi BK
dan kadar PK ransum, sehingga meningkatnya konsumsi BK
akan meningkatkan konsumsi PK. Kecukupan kebutuhan
nutrien dapat dicerminkan dari kecukupan kebutuhan bahan
kering (BK). Hal ini disebabkan semua nutrien yang
dibutuhkan sapi perah terkandung di dalam bahan kering
(NRC, 2001). Kadar PK ransum masing-masing perlakuan
yang berbeda juga mempengaruhi tingginya konsumsi PK
perlakuan. Meningkatnya konsumsi PK memberi peluang
adanya tambahan asupan nutrien yang akan digunakan untuk
sintesis susu. Walaupun demikian, peningkatan produksi susu
sebagai akibat dari meningkatnya kadar PK ransum tidak
selamanya bersifat linier.
58
Dari hasil analisis peragam pada Lampiran 22
mempunyai kesimpulan bahwa, penggunaan berbagai jenis
hijauan pada pakan memberikan pengaruh yang tidak berbeda
nyata untuk efisiensi pakan. Hal ini dikarenakan pada data
hasil produksi susu dan konsumsi bahan kering pada Tabel 18
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dan dapat
disimpulkan bahwa pada semua perlakuan mengkonsumsi
bahan kering yang hampir sama dan mempunyai produksi
yang hampir sama juga. Sesuai hasil penelitian (Sidqi, 2014)
yang menyatakan bahwa, rataan hasil efisiensi yang di dapat
dari penelitiannya adalah > 50%. Hal ini disebabkan oleh
tinggi rendahnya produksi susu dan konsumsi pakan. Produksi
susu yang tinggi dengan konsumsi yang rendah tetntunya akan
meningkatkan efisiensi pakan.
Pada hasil analisis peragam mempunyai hasil
memberikan pengaruh yang tidak nyata pada efisiensi pakan
maka dilanjutkan pada analisis ragam. Hasil ragam
menunjukkan hasil bahwa penggunaan berbagai jenis hijauan
dalam pakan memberikan pengaruh yang tidak nyata juga
(P>0,05) terhadap efisiensi pakan pada sapi perah. Hal ini
berarti data hasil yang diperoleh masih termasuk homogen dan
tidak ada perbedaan yang signifikan. Pada Tabel 18
menunjukkan hasil rataan efisiensi pakan dimulai dari yang
paling tinggi sampai yang paling rendah secara berurutan
sebagai berikut: (P4) 88,90%, (P1) 87,77%, (P2) 85,52%, (P3)
83,65%. Perlakuan dengan hasil rataan efisiensi pakan terbaik
ada pada (P4) 88,90% dengan pakan perlakuan rumput odot +
konsentrat, dan rataan paling rendah ada pada (P3) 83,65%
dengan pakan perlakuan rumput gajah + konsentrat.
Hal ini dikarenakan berhubungan dengan konsumsi
protein kasar oleh ternak. Kandungan nutrien pada setiap
59
ransum pada penelitian ini berbeda-beda dan mempengaruhi
tinggi atau tidaknya konsumsi PK pada perlakuan tersebut.
Semakin tinggi kandungan PK pada pakan dan semakin tinggi
konsumsi PK maka semakin tinggi pula produksi susu pada
sapi perah, sehingga didapatkan data rataan efisiensi pakan
yang baik. Sesuai dengan Indriani (2013) bahwa, kadar PK
ransum masing-masing perlakuan yang berbeda juga
mempengaruhi tingginya konsumsi PK perlakuan.
Meningkatnya konsumsi PK memberi peluang adanya
tambahan asupan nutrien yang akan digunakan untuk sintesis
susu. Walaupun demikian, peningkatan produksi susu sebagai
akibat dari meningkatnya kadar PK ransum tidak selamanya
bersifat linier
60
Tabel 19. Rataan Konversi Pakan
Konsumsi Bahan Produksi Susu Konversi
Perlakuan
kering (kg) (kg) Pakan
P1 12,23 ± 0,50 10,49 ± 1,21 1,13 ± 0,13
P2 12,11 ± 0,34 10,11 ± 1,34 1,18 ± 0,11
P3 11,64 ± 0,76 9,64 ± 1,54 1,22 ± 0,09
P4 12,11 ± 1,15 10,74 ± 0,96 1,05 ± 0,13
61
antara data konsumsi BK dan data produksi susu dan data hasil
konversi pakan.
62
untuk melihat seberapa besar biaya pakan yang merupakan
biaya terbesar dalam usaha produksi susu. IOFC diperoleh
dengan cara menghitung selisih pendapatan usaha peternakan
dikurangi biaya pakan (Tillman, Hartadi, Prawirokusumo dan
Lebdosoekoyo, 1998). Rataan IOFC (Income Over Feed Cost)
masing – masing perlakuan dan periode disajikan pada Tabel
berikut.
63
Rp 21.305,00±6167,24 per ekor, (P2) Rp 21.124,25 ± 6223,48
per ekor, (P3) Rp 20.673,75 ± 7322,95 per ekor. Nilai IOFC
didapat dari membandingkan pendapatan yang diperoleh dari
penjualan susu selama pemberian perlakuan dengan biaya
pakan selama penelitian. Dapat dilihat analisis harga pakan
dan panjualan susu pada Lampiran 2, Selain itu nilai IOFC
juga dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi sapi perah.
Semakin meningkatnya konsumsi pakan menyebabkan biaya
yang diperlukan untuk berproduksi semakin meningkat.
Data hasil IOFC paling rendah pada P3 menggunakan
bahan pakan (rumput gajah + konsentrat) yakni Rp. 20,673,75
per ekor sedangkan hasil IOFC tertinggi terdapat pada
perlakuan P4 dengan menggunakan (rumput odot + konsentrat)
yaitu 23,940,00 per ekor. Hal ini berarti paling tinggi
pendapatan pada perlakuan P4 dengan pengeluaran biaya
pakan yang paling banyak tetapi mendapatkan produksi yang
paling tinggi sehingga pada perlakuan P4 adalah paling efisien.
Sesuai dengan rataan konversi pakan pada Tabel 19 secara
berurutan mulai hasil yang terbaik adalah P4, P1, P2, P3. Hal ini
berarti semakin tinggi konversi pakan maka semakin tinggi
pula IOFC. Hasil IOFC dan konversi pakan berbanding lurus
pada penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh
Giescha (2014) bahwa pada penelitian dapat disimpulkan hasil
IOFC dan konversi pakan berbanding lurus yaitu konversi
pakan secara berurutan menghasilkan data dari yang paling
rendah adalah P4 (1,35), P3(1,43), P2 (1,44), P1 (1,51) P0 (1,70).
Data IOFC dari yang paling besar adalah P4 (19,477),
P3(17,706), P2 (17,175), P1 (16,415) P0 (14,604). Dapat
disimpulkan bahwa dari perlakuan terbaik sampai terburuk
antara konversi pakan dan IOFC pada penelitian ini dan
terdahulu sama-sama memiliki korelasi.
64
Pada Tabel 18 rataan efisiensi pakan terdapat data
yang berhubungan dengan IOFC. Perlakuan terbaik pada
rataan efisiensi pakan Tabel 18 secara berurutan adalah P4, P1,
P2, P3. Sedangkan pada Tabel 19 rataan hasil IOFC juga
mempunyai urutan yang sama dari data yang terbesar adalah
P4, P1, P2, P3. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi
efisiensi pakan maka semakin tinggi pula IOFC. Menurut
Sunarsiyam (2007) pada efisiensi pakan mempunyai pengaruh
yang nyata terhadap IOFC, semakin efisien pakan perlakuan
pada ternak maka semakin tinggi juga pendapatannya atau
IOFC.
65
66
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Penggunaan jenis hijauan rumput odot, rumput
gajah dan tebon jagung dalam pakan tidak
memiliki perbedaan yang nyata ditinjau dari
konsumsi, efisiensi, konversi pakan dan IOFC pada
sapi perah laktasi.
2. Semakin banyak konsumsi bahan kering dan bahan
organik oleh ternak maka semakin banyak pula
konsumsi protein kasar.
3. Perlakuan P4 = 60% (BK) rumput odot + 40% (BK)
konsentrat menjadi perlakuan yang terbaik
berdasarkan hasil dari efisiensi pakan, konversi
pakan dan IOFC (Income Over Feed Cost).
5.2 Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai
penggunaan rumput odot dalam pakan ternak sapi perah
laktasi, agar bisa mengetahui penggunaan rumput odot
dalam pakan yang paling efisien.
49
50
DAFTAR PUSTAKA
69
Berbagai Formula “Urea Molases Blok”. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro,
Semarang.
70
Eniza, S. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan
Ternak. Sumatera Utara: Universitas Sumatra
Utara Press. Hal: 2-7.
71
Harris LE. 1970. Nutrition Research Technique for Domestic
and Wild Animal. Vol 1. An Interna - tional
Record System and Procedur for Analy - zing
Sample. Animal Science Department. Utah State
University. Logan. Utah.
72
Isbandi. 2004. Pembinaan Kelompok Petani Ternak Dalam
Usaha Ternak Sapi Potong. J. Indom. Trop. Anim.
Agric. 29(2): 106-114.
73
Lestari, H. I. 2014. Hubungan Antara Konsumsi Protein
dengan Produksi dan Protein Susu Sapi Perah
Rakyat Di Kabupaten Semarang. Skripsi.
Mayulu H., B. Suryanto, Sunarso, M. Christiyanto, F. I. Ballo
and Refa’i. 2009. Feasibility of Complete feed
Based on Ammonitiated Fermented Rice Straw
Utilization on the Beef Cattle Farming. J. I. Tropic.
Anim. Agri. 34: 74-78.
74
Pengaruh Pemberian Rumput Raja (Pennisetum
Purpupoides) Dan Tebon Jagung Terhadap
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Pada Sapi Po Pedet Jantan Jurnal Zootek
(“Zootek” Journal ) Vol. 36 No. 2 : 387 – 394.
75
Nurdiyati, K., E. Handayanta dan Lutojo. 2012.Efisiensi
Produksi Sapi Potong pada Musim Kemarau di
Peternakan Rakyat Daerah Pertanian Lahan Kering
Kabupaten Gunungkidul. Tropical Animal
Husbandry Vol. 1 (1): 52 – 58.
76
Paramita, L. W., E.S. Waluyo dan A.B. Yulianto. 2008.
Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik D Alam Haylase Pakan Lengkap Ternak
Sapi Peranakan Ongole Media Kedokteran Hewan,
24 (1): 59 – 63.
77
economy of ruminants: An asynchronous
symbiosis. J. Anim. Sci. 86 (E. Suppl.):E293 –
E305.
78
Sari, R. M. 2012. Produksi dan Nilai Nutrisi Rumput Gajah
(Pennisetum purpureum cv.taiwan) yang Diberi
Dosis Pupuk N, P, K Berbeda dan fma Pada Lahan
Kritis Tambang Batubara. Artikel.
79
kering Kabupaten Gunung Kidul. Pros. Lokakarya
Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi
Jagung – Sapi. Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006.
Puslitbang Peternakan, Bogor. 136 – 141.
80
Suwignyo, B., A. Agus dan R. Utomo. 2004. Efektivitas
Penggunaan Complete Feed Berbasis Jerami Padi
Fermentasi Pada Ternak Australian Commercial
Cross. Pros. Seminar Nasional Pengembangan
Usaha Peternakan Berdaya Saing Di Lahan Kering.
Lustrum VII Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Hlm. 74 – 80.
81
Usman, Y., E. M. Sari, N. Fadilla. 2013. Evaluasi
Pertambahan Bobot Badan Sapi Aceh Jantan yang
Diberi Imbangan Antara Hijauan dan Konsentrat di
Balai Pembibitan Ternak Unggul Indrapuri.
Agripet Vol 13. No. 2: 41 – 47.
82
Yusran, M. A. 2004. Pilihan antara pakan alternatif dan
efisiensi penggunaan pakan untuk usaha ternak sapi
perah di Jawa Timur. Unpublish.
83
84