Anda di halaman 1dari 78

PENGARUH PERBEDAAN MEDIA TUMBUH DAN UMUR PANEN

MAGOT (Hermetia illucuens) TERHADAP KADAR PROTEIN DAN


LEMAK SEBAGAI PAKAN IKAN

ARVY IRKHAS MAULANA


1810516210007

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2023
PENGARUH PERBEDAAN MEDIA TUMBUH DAN UMUR PANEN
MAGOT (Hermetia illucuens) TERHADAP KADAR PROTEIN DAN
LEMAK SEBAGAI PAKAN IKAN

ARVY IRKHAS MAULANA


1810516210007

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Teknologi Pertanian
Pada
Jurusan Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Lambung Pertanian

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2023
3

19 Januari 2023
4

RINGKASAN

Limbah merupakan hasil samping yang dihasilkan dari proses produksi,


baik itu berasal dari industri maupun domestik. Limbah organik kerap kali
menjadi limbah yang dapat mencemari lingkungan. Meskipun limbah ini
tergolong ke dalam limbah yang mudah diuraikan namun apabila tidak dikelola
dengan baik limbah ini akan mennjadi sumber penyakit bagi manusia dan menjadi
salah satu sumber pencemaran lingkungan. Limbah organik yang berasal dari
limbah agroindustry dan limbah pasar memiliki kandungan protein dan lemak
yang cukup tinggi. Limbah tersebut antara lain limbah sayur kol, ampas tahu,
bungkil kelapa sawit dan solid decanter. Dengan menggunakan limbah tersebut
dapat mengelola dan mengurangi jenis limbah ini dengan menggunakan larva dari
lalat tantara hitam (black soldier fly) dengan nama latin Hermetia illucens atau
lebih dikenal dengan sebutan magot. Magot merupakan suatu larva yang berasal
dari lalat tentara hitam yang dikenal sebagai organisme pembususk limbah
organik. Magot memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi dan dapat
mengkonversi pakan secara optimal serta dapat memanfaatkan dengan baik
berbagai jenis material sebagai sumber makanan. Media tumbuh merupakan suatu
media atau bahan yang digunakan untuk tumbuh dan berkembang pada suatu
organisme atau makhluk hidup yang berisi zat dan nutrisi yang berguna dalam
pembiakannya.
Tinggi rendahnya kandunga protein dan lemak yang ada dalam magot
dipengaruhi perbedaan media tumbuh yang digunakan dan umur panen magot.
Umur panen magot merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap
kualitas dutrisi yang dihasilkan magot. Setiap fase hidup magot mempunyai
ukuran dan jumlah komposisi kimia tubuh yang berbeda, hal ini tentunya
berpengaruh pada kandungan nutrisi magot yang dihasilkan. Pakan merupakan
faktor penting dalam berbagai macam peternakan khususnya budidaya ikan.
Tingginya harga pakan ikan (pelet) tentu menjadi perhatian bagi pembudidaya
ikan, karena sebagian besar biaya yang dikeluarkan dalam membudidayakan ikan
berasal dari pakan ikan tersebut. Oleh karena itu, magot dapat dijadikan solusi
sebagai pakan ikan karena kandungan proteinnya yang cukup tinggi dan
memberikan pertumbuhan yang baik terhadap ikan yang dihasilkan.
5

Tujuan penilitian ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan media tumbuh


dan umur panen terhadap kandungan protein dan lemak yang dihasilkan magot
dan untuk mengetahui jenis media tumbuh yang paling baik dalam menghasilkan
magot yang mempunyai kandungan protein dan lemak yang tinggi. Penelitian ini
menggunakan rancangan acak kelompok dengan 2 faktor dan 3 kali ulangan.
Faktor A yaitu jenis media tumbuh, bungkil kelapa sawit + limbah sayur kol,
bungkil kelapa sawit + solid decanter, dan bungkil kelapa sawit + ampas tahu.
Faktor B yaitu umur panen, 10 hari, 15 hari, dan 20 hari. Sehingga diperoleh 3 x 3
= 9 sampel dan didapat 27 percobaan (9 x 3 = 27 unit). Parameter pengamatan
meliputi, penentuan kadar protein, kadar lemak, dan kadar air pada media tumbuh
dan magot, dan pengukuran panjang, berat rata-rata magot, dan survival rate. Data
yang diperoleh dianalisis menggunakan Analysis of Varian (ANOVA) dengan
menggunakan uji F-hitung dan jika perlakuan terdapat perbedaan nyata, maka
dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf  = 5%.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa Hasil penelitian
yang didapat menunjukkan bahwa adanya pengaruh media tumbuh dan umur
panen magot terhadap kadar protein dan lemak magot yang dihasilkan. Media
tumbuh terbaik yang menghasilkan kadar protein dan kadar lemak tertinggi yaitu
bungkil kelapa sawit + ampas tahu dengan rata-rata kadar protein sebesar 47,25%
dan rata-rata kadar lemak sebesar 35,05%. Umur panen yang paling baik untuk
dijadikan pakan ikan yaitu magot yang belum menjadi prepupa yaitu pada umur 7
– 17 hari karena masih memiliki tekstur kulit yang kenyal. Umur panen terbaik
yang menghasilkan kadar protein dan kadar lemak tertinggi yaitu pada umur 28
hari dengan rata-rata kadar protein sebesar 48,47% dan rata-rata kadar lemak
sebesar 34,54%.

Kata kunci : Limbah organik, magot, media tumbuh, umur panen, protein dan
lemak, pakan ikan
6

RIWAYAT HIDUP

Arvy Irkhas Maulana lahir di Tanah Laut pada tanggal 21 Juni 2000.

Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan bapak
Sulasman dan Ibu Mursilah. Penulis menempuh pendidikan bukan bukan karena
ekonomi yang tinggi, tetapi karena kemauan yang kuat agar bisa membahagiakan
orang tua.
Riwayat pendidikan dari penulis menyelesaikan sekolah dasar di SDN
Pabahanan pada tahun 2012, kemudian melanjutkan ke SMPN 3 Pelaihari dan
lulus pada tahun 2015, setelah itu melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan di
SMKN 2 Pelaihari dengan mengambil jurusan Teknik Kendaraan Ringan dan
lulus pada tahun 2018, kemudian pada tahun 2018 masuk di Fakultas Pertanian,
Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat melalui
jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan tercatat sebagai
Mahasiswa Strata (S1).
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjabat sebagai Koordinator
Departemen Minat dan Bakat di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri
Pertanian (HIMATEKIN) pada tahun 2021 – 2022. Pada semester 7 penulis
pernah melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di PT. Perkebunan
Nusantara XIII, Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi
Kalimantan Selatan.
Penulis melaksanakan penelitian pada tahun 2022 dengan judul “Pengaruh
Perbedaan Media Tumbuh dan Umur Panen Magot (Hermetia illucuens) Terhadap
Kadar Protein dan Lemak Sebagai Pakan Ikan” dibawah bimbingan Dr. Ir.
Tanwirul Millati, MP selaku pembimbing ketua dan Prof. Agung Nugroho, STP,
M.Sc, Ph.D selaku pembimbing anggota.
7

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan skripsi ini. sholawat serta salam senantiasa penulis
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah
menyingkap kegelapan wawasan umat manusia kea rah yang lebih beradab dan
manusiawi.
Skripsi dengan judul “Pengaruh Perbedaan Media Tumbuh dan Umur
Panen Magot (Hermetia illucuens) Terhadap Kadar Protein dan Lemak Sebagai
Pakan Ikan” ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Teknologi Industri Pertanian pada Fakultas Pertanian, Universitas Lambung
Mangkurat.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, berupa
motivasi, pikiran, serta petunjuk-petunjuk, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
sebagaimana mestinya. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan
skripsi ini. untuk ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua penulis Sulasman dan Mursilah serta saudara perempuan
saya Bunga Berliana Kasih, yang telah memberikan dukungan serta doa untuk
menyelesaikan penelitian ini.
2. Ibu Dr. Ir. Tanwirul Millati, MP selaku dosen pembimbing dan juga sebagai
orang tua dikampus yang selalu mendoakan dan memberikan bimbingan,
nasehat, arahan serta motivasi kepada penulis dari awal hingga akhir.
3. Bapak Prof. Agung Nugroho, S.TP., M.Sc., Ph.D selaku dosen pembimbing
dan juga sebagai orang tua dan memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan
dukungan kepada penulis dari awal hingga akhir.
4. Seluruh dosen Teknologi Industri Pertanian (Bapak Dr. Ir. Arief Rahmad
Maulana Akbar, M.Si, Bapak Alan Dwi Wibowo, S.T.P., M.Si, Bapak Agung
Cahyo Legowo. S.T. M.T, Bapak Udiantoro S.P, M.Si (Alm), Ibu Dr. Rini
Hustiany S.T.P., M.Si, Ibu Prof. Dr. Ir. Hesty Heryani, M.Si., IPU., ASEAN
Eng, Ibu Susi S.T.P., M.Si, Ibu Dessy Maulidya Maharani S.P., M.Si, Ibu
8

Febriani Purba, dan Ibu Novianti Adi Rohmanna S.T.P., M.T) atas segala
ilmu yang sudah diberikan.
5. Dr. Ir. Bambang Joko Priatmadi, M.P. selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lambung Mangkurat.
6. Teman - teman satu bimbingan dan seperjuangan yang membantu,
memberikan dukungan dalam penyelesaian penelitian penulis, Hairudinsyah,
Nor Irfansyah, Sandi Setiyawan, Binti Sa’adah dan Nurul Mustakim Silalahi.
7. Kepada teman-teman Basecamp yang selalu memberikan dukungan dan
semangat kepada penulis, Achmad Dhan Mauli, Muhammad Aldi Sofyan,
Bintang Saputra, Hairudinsyah, M. Herman, dan Sutarinda Almajid.
8. Seluruh keluarga besar Teknologi Industri Pertanian 18
9. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari atas keterbatasan penulis sebagai manusia sehingga
dalam penyusunan laporan ini masih banyak kesalahan dan kekurangan yang jauh
dari kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kebaikan penulis kedepannya. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh kalangan agar dapat membuka
wawasan dan pengetahuan kita semua.

Banjarbaru, Januari
2023

Arvy Irkhas Maulana


i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i
DAFTAR TABEL..................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................v
PENDAHULUAN...................................................................................................1
Latar Belakang.....................................................................................................1
Rumusan Masalah................................................................................................3
Tujuan...................................................................................................................3
Manfaat.................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................4
Limbah..................................................................................................................4
Magot....................................................................................................................5
Media Tumbuh.....................................................................................................7
Umur Panen..........................................................................................................9
Pakan Ikan..........................................................................................................10
METODOLOGI PENELITIAN.............................................................................12
Waktu dan Tempat Penelitian............................................................................12
Alat dan Bahan...................................................................................................12
Rancangan Penelitian.........................................................................................12
Tahap Pelaksanaan Penelitian............................................................................13
Pengamatan........................................................................................................16
Analisis Data......................................................................................................19
HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................................21
Karakteristik Media Tumbuh.............................................................................21
Kadar Air Magot................................................................................................22
Kadar Protein Magot..........................................................................................24
Kadar Lemak Magot...........................................................................................27
Survival Rate Magot...........................................................................................30
Panjang Dan Bobot Rata-Rata Magot................................................................33
Panjang Rata-Rata Magot...............................................................................33
Bobot Rata-Rata magot...................................................................................35
KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................................39
ii

Kesimpulan.........................................................................................................39
Saran...................................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................40
LAMPIRAN...........................................................................................................46
iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi Kimia Tubuh Magot


Tabel 2. Kandungan Nutrisi Pada Pakan Ikan Menurut SNI
Tabel 3. Rancangan percobaan penelitian
Tabel 4. Kandungan Nutrisi Pada Media Tumbuh Magot (%).
Tabel 5. Hasil Uji DMRT Kadar Air Magot (%)
Tabel 6. Hasil Uji DMRT Kadar Protein Magot (%)
Tabel 7. Hasil Uji DMRT Kadar Lemak Magot (%)
Tabel 8. Hasil Uji DMRT Survival Rate Magot (%)
Tabel 9. Hasil Uji DMRT Panjang Rata-Rata Magot (cm)
Tabel 10. Hasil Uji DMRT Bobott Rata-Rata Magot (gram)
iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Magot
Gambar 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian
v

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Kegiatan Penelitian


Lampiran 2. Data Hasil Pengamatan
Lampiran 3. Data Hasil Analisis ANOVA
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian pada saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat di


Indonesia. Perkembangan ini diiringi pula dengan semakin meningkatnya jumlah
limbah organik yang dihasilkan. Limbah merupakan hasil samping yang
dihasilkan dari proses produksi, baik itu berasal dari industri maupun domestik.
Limbah organik kerap kali menjadi limbah yang dapat mencemari lingkungan.
Meskipun limbah ini tergolong ke dalam limbah yang mudah diuraikan namun
apabila tidak dikelola dengan baik limbah ini akan mennjadi sumber penyakit bagi
manusia dan menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan. Limbah organik
ini dapat berasal dari limbah pasar, limbah agroindustri, dan lain-lain. Limbah
organik yang berasal dari limbah agroindustry dan limbah pasar memiliki
kandungan protein dan lemak yang cukup tinggi.
Limbah organik yang sering ditemukan namun jarang dimanfaatkan
sebagai media tumbuh magot yaitu limbah sayur kol, ampas tahu, solid decanter,
dan bungkil kelapa sawit. Limbah sayur kol, ampas tahu, solid decanter, dan
bungkil kelapa sawit merupakan limbah atau hasil samping dari limbah pasar dan
limbah agroindustri. Pemanfaatan limbah agroindustri dengan kandungan protein
dan lemak yang cukup tinggi ini dapat menjadi alternatif sebagai pakan ternak.
Dengan menggunakan limbah tersebut dapat mengelola dan mengurangi jenis
limbah ini dengan menggunakan larva dari lalat tantara hitam (black soldier fly)
dengan nama latin Hermetia illucens atau lebih dikenal dengan sebutan magot.
Magot merupakan suatu larva yang berasal dari lalat tentara hitam yang
dikenal sebagai organisme pembususk limbah organik. Magot merupakan jenis
larva yang sangat baik dalam mengurai limbah organik. Magot memiliki tingkat
pertumbuhan yang tinggi dan dapat mengkonversi pakan secara optimal serta
dapat memanfaatkan dengan baik berbagai jenis material sebagai sumber
makanan. Magot dapat dimanfaatkan sebagai pakan ikan, karena kandungan
protein kasar yang ada dalam magot cukup tinggi yaitu 40-50%. Magot dapat
berkembang pada media tumbuh yang memiliki nutrisi yang sesuai dengan
kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, media tumbuh sangat berpengaruh terhadap
kandungan protein dan lemak magot yang dihasilkan.
2

Budidaya magot dapat dilakukan dengan menggunakan media yang


mengandung bahan organik berbasis limbah ataupun hasil samping kegiatan
agroindustri. Media tumbuh merupakan suatu media atau bahan yang digunakan
untuk tumbuh dan berkembang pada suatu organisme atau makhluk hidup yang
berisi zat dan nutrisi yang berguna dalam pembiakannya. Media tumbuh sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan magot, kualitas nutrisi media tumbuh yang
baik akan berpengaruh positif pada kualitas magot yang dihasilkan. Tinggi
rendahnya kandunga protein dan lemak yang ada dalam magot dipengaruhi
perbedaan media tumbuh yang digunakan dan umur panen maggot.
Permasalahan yang dialami oleh dalam pembudidayaan magot saat ini
adalah jumlah produksi yang masih kecil. Hal ini karena para pembudidaya belum
menemukan umur panen yang tepat, sehingga belum dapat hasil yang optimal.
Umur panen magot merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap
kualitas nutrisi yang dihasilkan magot. Magot mempunyai umur 36 – 40 hari yang
diantaranya terdiri dari 5 fase yaitu fase telur, fase larva, fase prepupa, fase pupa,
dan fase dewasa. Setiap fase hidup magot mempunyai ukuran dan jumlah
komposisi kimia tubuh yang berbeda, hal ini tentunya berpengaruh pada
kandungan nutrisi magot yang dihasilkan. Perbedaan ini terjadi karena adanya
perbedaan nutrisi yang terkandung dalam media tumbuh dan respon tubuh
terhadap makanan yang dimakan sehingga dapat berpengaruh terhadap ukuran dan
volume tubuh pada magot.
Pakan merupakan faktor penting dalam berbagai macam peternakan
khususnya budidaya ikan. Dalam usaha budidaya ikan diperlukan pakan yang baik
dalam pertumbuhannya. Tingginya harga pakan ikan (pelet) tentu menjadi
perhatian bagi pembudidaya ikan, karena sebagian besar biaya yang dikeluarkan
dalam membudidayakan ikan berasal dari pakan ikan tersebut. Oleh karena itu,
magot dapat dijadikan solusi sebagai pakan ikan karena kandungan proteinnya
yang tinggi, proses pemeliharaan mudah, masa panen relatif cepat, tidak
memerlukan biaya yang banyak, dan memberikan pertumbuhan yang baik
terhadap ikan yang dihasilkan. Magot dapat dijadikan sebagai pakan ikan dengan
memanfaatkan limbah agroindustri dengan cara mendapatkan media tumbuh yang
tepat dalam membudidayakan magot agar menghasilkan magot yang kualitas baik.
Dengan demikian, diharapkan dapat mengurangi biaya produksi dalam budidaya
ikan.
3

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk meneliti secara langsung


dalam pertumbuhan magot dalam media tumbuh yang berbeda dengan judul
penelitian : “Pengaruh Perbedaan Media Tumbuh Dan Umur Panen Magot
(Hermetia illucuens) Terhadap Kadar Protein Dan Lemak Sebagai Pakan
Ikan”.
Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh perbedaan media tumbuh dan umur panen terhadap


kandungan protein dan lemak magot yang dihasilkan?
2. Apa jenis media tumbuh dan umur panen yang paling baik dalam
menghasilkan magot yang mempunyai kadar protein dan lemak yang
tinggi?

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :


1. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan media tumbuh dan umur panen
terhadap kandungan protein dan lemak magot yang dihasilkan.
2. Untuk mengetahui jenis media tumbuh dan umur panen yang paling baik
dalam menghasilkan magot yang mempunyai kadar protein dan lemak
yang tinggi.

Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah :


1. Bagi masyarakat sebagai sumber informasi mengenai media tumbuh yang
baik dan umur panen optimal dalam menghasilkan magot yang memiiki
kandungan protein dan lemak tinggi dan juga dapat mengurangi limbah
pasar dan limbah agroindustri.
2. Bagi pembudidaya ikan dapat dijadikan landasan untuk memproduksi
pakan ikan dari magot dengan jenis pakan limbah organik yang diolah
secara sederhana sehingga dapat mengurangi biaya produksi. Serta dapat
memberikan informasi tentang media tumbuh dan umur panen yang tepat
dalam membudidayakan magot.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah

Sampah atau limbah organik masih menjadi salah satu permasaahan


penting di Indonesia terutama di sektor agroindustri. Pemanfaatan sampah atau
limbah agroindustri menjadi sumber nutrisi merupakan salah satu solusi dalam
mengatasinya. Limbah agroindustri adalah limbah organik yang tidak bercampur
dengan limbah-limbah anorganik (plastik, logam, dan lain-lain) dan jumlahna
sangat besar.
Selama ini pengolahan limbah agroindustri hanya menitikberatkan pada
pengolahan limbah menjadi pupuk kompos, padahal sampah dapat dikelola
menjadi bahan bakar/sumber energi dan pakan ternak yang baik. Hal ini akan
lebih bernilai ekonomis dan lebih menguntungkan. Jika limbah langsung
dikomposkan maka produk yang diperoleh hanya pupuk organik. Limbah dapat
dijadikan media pembesaran ternak khusunya magot yang bisa digunakan sebagai
pakan ikan. Magot atau larva dari lalat tentara hitam merupakan salah satu
alternatif pakan yang memenuhi persyaratan sebagai sumber protein. Bahan
makanan yang mengandung protein kasar lebih dari 19%, digolongkan sebagai
sumber protein (Murtidjo, B. A., 2001).
Selain limbah agroindustri, pasar juga menjadi salah satu penghasil
sampah organik terbesar dalam satu wilayah. Sampah yang bersumber dari pasar
seperti sayur-sayuran, buahbuahan, ataupun ikan mempunyai kandungan organik
rata-rata sebanyak 95% (Yuwono, 2017). Kubis (Brassica olaracea) merupakan
sayuran daun yang cukup populer di Indonesia. Di beberapa daerah orang lebih
sering menyebutnya sebagai kol. Nama ilmiah kol diberi nama Brassica olaracea,
jenis kubis ini memiliki ciri-ciri daunnya saling menutup satu sama lain
membentuk krop atau telur. Kol mengandung air > 90% sehingga mudah
mengalami pembusukan (Saenab, 2010). Kandungan nutrisi limbah kol yaitu
protein 12,64% dan Serat kasar yaitu 19,67% (Superianto dkk., 2018).
Indonesia mempunyai kapasitas produksi minyak sawit yang lebih unggul
dari produsen negaranegara lain (USDA 2007, Santosa 2008). Di tahun 2007,
wilayah perkebunan kelapa sawit capaian luasnya hingga 6.65 juta hektar atau 10
kali lebih luas daripada luasan pada tahun 1985. Total produksi minyak sawit di
5

tahun 2007 mencapai 17 juta ton CPO serta 1,9 juta ton PKO (Santosa 2008).
Dengan begitu, melimpahnya PKM (Palm Kernel Meal)/bungkil kelapa sawit
menjadi potensi lokal dalam pengembangan sumber protein alternatif magot. Hem
et al. (2008) telah membudidayakan magot di Republik Guinea sebagai pakan
ikan nila (-). Media pertumbuhan Magot yang dipakai ialah satu dari limbah lokal
dari pengolahan minyak kelapa sawit, yakni bungkil kelapa sawit.
Bungkil kelapa sawit merupakan hasil samping dari pengolahan kelapa
sawit yang proporsinya paling banyak dihasilkan 12% dari tandan buah segar
(Suparjo, 2000). Menurut Hartadi et al. (1993), bungkil kelapa sawit dalam bahan
keringnya mengandung protein kasar (PK) 16,8%, lemak kasar (LK) 11,9%, serat
kasar (SK) 22,6%, abu 4,07%, BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen) 44,63%, dan
TDN (total digestible nutrient) 78%. Bungkil kelapa sawit merupakan sumber
protein yang mudah terdegradasi di dalam rumen, protein pakan yang masuk ke
dalam rumen akan didegradasi oleh mikroba rumen menjadi asam amino
kemudian deaminasi menjadi NH3 dan asam α keto.
Selain bungkil kelapa sawit adapun hasil limbah dari pengolahan minyak
kelapa sawit yakni lumpur kelapa sawit. Lumpur sawit merupakan salah satu
limbah yang dihasilkan dari proses pemerasan buah sawit untuk menghasilkan
minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO). Sistem decanter pada proses
pengolahan CPO akan menghasilkan lumpur sawit yang agak padat dikenal
dengan istilah solid decanter, meskipun masih mengandung air tinggi sekitar 70-
80% (Sinurat, 2003). Dilihat dari segi kualitas nutrisi, solid decanter mempunyai
kandungan gizi yang cukup baik. Menurut Batubara et al, (2004) kandungan
protein kasar berkisar 11% dan DE 3,0 Mcal/kg. Kadar air yang tinggi pada
lumpur sawit akan menuntut teknologi pengelolaan yang tepat agar limbah ini
dapat diawetkan.
Limbah ampas tahu juga sangat bagus digunakan sebagai media tumbuh
magot. Kandungan protein yang cukup besar yaitu sebesar 23,39% dapat
memenuhi kebutuhan nutris magot. Menurut (Dermanto, 2018) berpendapat
bahwa budidaya magot yang menggunakan media ampas tahu magot yang
dihasilkan memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu sebesar 48,03%.
6

Magot

Magot merupakan organisme yang berasal dari telur black soldier fly yang
mengalami metamorphosis pada fase kedua setelah fase telur dan sebelum fase
pupa yang kemudian berubah menjadi lalat dewasa (Rujukan Agribisnis
Indonesia, 2013). Klarifikasi magot sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Family : Stratiomydae
Subfamily : Hermetiinae
Genus : Hermetia
Species : Hermetia illucens

Berikut ini merupakan gambar magot

Gambar 1. Magot
Magot memiliki tingkat pertumbuhan tinggi dan dikonversi pakan yang
optimal serta dapat memanfaatkan dengan baik berbagai jenis material sebagai
sumber makanan termasuk bahan organik yang dianggap sudah tidak berguna
seperti limbah rumah tangga pada umumnya, limbah dapur, limbah sayuran,
limbah buah-buahan, limbah agroindustri, dan limbah peternakan. Larva BSF
dapat mengkonsumsi makanan dengan cepat mulai dari 125 mg bagan segar per
larva dalam satu hari dan dapat mencapai ukuran panjang ±27 mm, lebar sekitar 6
mm dan berat sampai 220 mg diakhir fase larva (±14 hari) (Newton et al., 2005).
Magot memiliki beberapa karakter diantaranya :
1. Dapat mereduksi sampah organik.
2. Dapat hidup dalam toleransi pH yang cukup tinggi.
3. Tidak membawa gen penyakit.
7

4. Mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi.


5. Masa hidup sebagai larva cukup lama (± 4 minggu).
6. Mudah dibudidayakan (Adrian, 2015).

Magot merupakan salah satu larva lalat yang memiliki kandungan protein
hewani tinggi. Magot dapat dikembangkan sebagai pakan, kandungan protein
magot cukup tinggi, yaitu 40-50% dengan kandungan lemak berkisar 29-32%
(Bosch et al. 2014). Kandungan protein yang tinggi sangat potensial sebagai
pakan tambahan black soldier fly atau untuk perbesaran ikan. Magot juga
memiliki kandungan antijamur dan antimikroba sehingga apabila dikonsumsi ikan
akan tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan jamur
(Indarmawan 2014). Organ penyimpanan pada magot yang disebut trophochytes
berfungsi menyimpan kandungan nutrient yang terdapat pada media kultur yang
dimakannya. Penggunaan insekta sebagai sumber protein telah banyak diteliti.
Menurut Van Huis (2013), protein yang bersumber pada serangga lebih ekonomis,
bersifat ramah lingkungan dan mempunyai peran penting secara alamiah. Insekta
memiliki nilai konversi pakan yang tinggi dan dapat diproduksi secara massal.
Budi daya insekta juga dapat mengurangi limbah organik yang berpotensi
mencemari lingkungan (Li et al. 2011). Berikut ini merupakan komposisi kimia
tubuh magot.
Tabel 1. Komposisi Kimia Tubuh Magot
Kadar %
Kandungan kimia
Larva Prepupa Pupa
Protein 17,3 36,0-48,0 42,1
Lemak 9,4 28,0-35,0 34,8
Kalsium 0,8 5,0 5,0
Fosfor 0,5 0,9-1,5 1,5
Abu 15,0 14,6-16,6 14,6
Nilai Kalori 0,0 3,5-5,9 0,0
Sumber : Popa & Green 2012
Media Tumbuh

Magot lazim dikenal sebagai dekomposer sebab kebiasaannya memakan


bahan-bahan organik. Magot mengunyah makanan dengan mulut yang bentuknya
seperti pengait (hook). Magot bisa tumbuh pada bahan organik yang telah busuk.
8

Magot dewasa tidak makan, namun hanya memerlukan air karena nutrien hanya
dibutuhkan untuk bereproduksi pada fase magot (Tomberlin, 2009).
Media tumbuh magot sangat penting untuk kualitas magot yang
dihasilkan. Media tumbuh yang berbeda akan menghasilkan magot dengan
kandungan nutrisi yang berbeda (Oliver, 2004). Kualitas dan kuantitas media
perkembangan larva lalat sangat mempengaruhi kandungan nutrien tubuh serta
keberlangsungan hidup larva pada tahap metamorfosis selanjutnya (Gobbi et al.
2013 dan Makkar et al., 2014).
Nilai asam amino, asam lemak, dan mineral yang terkandung di dalam
larva juga tidak kalah dengan sumber-sumber protein lainnya, sahingga larva BSF
merupakan bahan baku ideal yang dapat digunakan sebagai pakan ternak
(Wardana, 2016). Magot BSF dapat dijadikan sebagai salah satu bahan baku
alternatif dalam pakan buatan karena dapat diproduksi secara budidaya dengan
memanfaatkan limbah produk pertanian seperti ampas tahu, limbah sayuran, dan
bungkil kelapa sawit sebagai sumber nutirisi magot (Fasakin et al. 2003).
Menurut penelitian Darmanto (2018), media magot yang dari ampas tahu
lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan menggunakan media yang
menggunakan limbah sayuran. Hal ini disebabkan karena ampas tahu memiliki
kandungan nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan limbah sayuran. Jadi semakin
bagus kandungan nutrisi media pakan magot akan mempercepat laju pertumbuhan
magot.
Terdapat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan budidaya
magot. Hal yang berpengaruh terhadap produksi magot pada media yang
disiapkan yakni kondisi media tumbuh magot serta kandungan nutrisi bahan.
Ditinjau dari kondisi lingkungan, magot suka dengan keadaan lingkungan yang
lembab. Demikian pula dengan kandungan nutrisi pada media tumbuh magot.
Kandungan nutrisi yang optimal amat penting untuk pertumbuhan magot,
Duponte (2003) menyatakan bahwa bahan yang pas untuk pertumbuhan magot
ialah bahan yang kaya akan kandungan bahan organik.
Kandungan nutrisi yang optimal sangat penting dalam pertumbuhan
magot, bahan yang pas untuk pertumbuhan magot ialah bahan yang kaya akan
kandungan bahan organik (Duponte, 2003). Magot akan mengkonversi protein
serta beragam nutrisi menjadi biomassa magot. Magot ini akan mereduksi nutrisi
yang ada pada media sebanyak 50 - 70% (Gary, 2009).
9

Umumnya, karakteristik pakan yang efektif diberikan kepada magot ialah


(Dormans et al, 2017):
 Sumber pakan musti cukup lembab dengan kadar air pakan sekitar 60 –
70%.
 Bahan yang tinggi kandungan protein serta karbohidratnya akan
menghasilkan pertumbuhan yang baik bagi magot.
 Karena magot tidak mempunyai mulut untuk mengunyah makan, maka
penyerapan nutrisi oleh magot akan lebih mudah bila substratnya berupa
potongan-potongan kecil apalagi berbentuk seperti bubur.

Umur Panen

Panen magot dapat dilakukan mulai dari usia 10 – 21 hari. Magot pada
umur 15 hari mempunyai kandungan protein yang paling tinggi. Menurut Fahmi
(2015) menyatakan bahwa magot kandungan proteinnyanya hingga 45% dan
kandungan lemaknya hingga 28% pada umur 15 hari. Menurut Bagastyo (2015)
menyatakan bahwa magot akan mengalami kenaikan bobot badan dan ukurannya
setiap bertambahnya umur dengan disertai ketersediaan pakan yang baik dan
terpenuhi.
Ditinjau dari umur, larva memiliki presentase komponen nutrisi yang
berbeda. Kadar bahan kering magot cenderung berkolerasi positif dengan
meningkatnya umur, yaitu 26,61% pada umur lima hari menjadi 39,37% pada
umur 20 hari. Hal yang sama juga terjadi pada komponen lemak kasar, yaitu
sebesar 13,37% pada umur lima hari dan meningkat menjadi 27,50% pada umur
20 hari. Kondisi ini berbeda dengan komponen protein kasar yang cenderung
turun pada umur lebih tua (Wardhana, 2016).
Tidak hanya media yang mempengaruhi kandungan nutrisi magot, namun
umur magot juga dapat mempengaruhi kandungan nutrisi pada magot. Menurut
Rachmawati et al. (2010) menyatakan bahwa umur juga sangat mempengaruhi
kandungan nutrisi, semakin muda usia pemanenan magot semakin tinggi protein
yang akan didapat. Pertumbuhan magot akan terus bertambah ketika
kebutuhannya terpenuhi dan masa akhir pertumbuhannya terhenti ketika magot
mencapai umur 20 hari (Rini, dkk., 2009). Pada umur 20 hari panjangnya
mencapai 20 mm. Pada fase ini magot telah dapat diberikan pada ikan sebagai
10

pakan. Ukuran maksimum magot mencapai 2,5 cm dan setelah mencapai ukuran
tersebut magot akan menyimpan makanan dalam tubuhnya sebagai cadangan
untuk persiapan proses metamorfosa menjadi pupa (Warburton & Hallman, 2002).
Diameter magot berubah-ubah setiap fasenya, hal ini berkaitan erat
dengan bertambahnya panjang magot, artinya panjang magot bertambah, secara
otomatis diameter magot itu sendiri bertambah. Hal ini juga disebutkan oleh
Katayane et al (2014) bahwa perubahan-perubahan fisik magot ini berkaitan
antara satu sama lain, baik dari ukuran (panjang dan diameter) ataupun warna dari
magot itu sendiri.

Pakan Ikan

Gizi utama dalam pakan ikan setidaknya mengandung unsur protein,


lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air. Meski begitu, kebutuhan nutrisi
ikan berubah-ubah dipengaruhi oleh berbagai faktor. Misalnya, jenis, ukuran, dan
aktivitas ikan, dan macam pakan. Protein berfungsi membentuk dan memperbaiki
jaringan dan organ tubuh yang rusak. Pada kondisi tertentu protein digunakan
sebagai sumber energi pada proses metabolisme. Karena itu, kadar protein pakan
yang rendah akan menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi lambat. Daya tahan
ikan juga menurun sehingga ikan akan mudah terserang penyakit (K.M. Shakil
Rana et. al., 2015).
Magot sebagai pakan memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai pengganti
tepung ikan (fishmeal reflacement) dan sebagai pakan alternatif. Fungsi magot ini
pada akhirnya akan mempengaruhi bentuk pengolahannya. Sebagai pengganti
tepung ikan, magot diolah dalam bentuk tepung. Tepung magot ini selanjutnya
dimasukkan dalam formulasi pakan sebagai salah satu sumber protein
menggantikan tepung ikan. Sebagai pakan alternatif, magot dapat diberikan dalam
bentuk fresh (segar) pada ikan, dapat juga diberikan dalam bentuk pelet. Untuk
pengolahan menjadi pelet magot terlebih dahulu dikeringkan hingga kadar airnya
mencapai 25%, setelah itu langsung langsung dimasukkan kedalam mesin pelet
untuk dicetak (Rini Fahmi et al., 2015). Selain pengganti pelet ternyata magot ini
dapat menghemat pakan 10% hingga 30%, meminimalisir kanibalisme, magot
sebagai antibotik, probiotik dan suplemen alami yang murah meriah, dan kualitas
air tetap terjaga (Heince C. et. al., 2016).
11

Magot banyak dipakai untuk pakan pada ikan air tawar seperti ikan patin,
ikan toman, serta ikan lele. Magot yang diberikan bisa berwujud bisa berwujud
magot segar ataupun magot yang sudah dihancurkan. Kelebihan magot sebagai
pakan ikan beberapa diantaranya yakni tidak sulit dalam pembudidayaannya sebab
magot dapat memanfaatkan bahan organik (limbah), pembudidayaannya bisa
dilakukan secara massal, memiliki kandungan antimikroba, antijamur, serta tidak
mengandung penyakit (Duponte, 2003). Tabel 2 di bawah ini tersaji kandungan
pakan ikan yang standar dan berkualitas mengacu pada SNI.
Tabel 2. Kandungan Nutrisi Pada Pakan Ikan Menurut SNI
Persyaratan Mutu
Jenis Uji Satuan Benih Pembesaran Induk
Air, maks % 12 12 12
Abu, maks % 13 13 13
Protein, min % 30 28 30
Lemak, min % 5 5 7
Serat Kasar, maks % 6 8 8
Sumber : SNI Pakan Ikan (SNI 01-4087-2006)

Magot kaya akan kandungan protein yakni 30 – 45%, memiliki kandungan


asam lemak essensial linoleat serta linolenat. Kandungan protein yang ada pada
magot lebih tinggi 20 – 25% dibandingkan pakan buatan (pelet) (Rini Fahmi et
al., 2015). Ogunji J.O et.al, (2007) menyebutkan bahwa magot dapat
menggantikan tepung ikan sebanyak 30% pada ikan tilapia. Oleh karena itu,
pemakaian magot sebagai pakan ikan cukup memberi keuntungan sebab untuk
memperoleh pakan alami yang kaya akan protein bisa didapatkan dengan cara
membudidayakan magot pada media tumbuh yang optimal.
12

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Agustus – September 2022,


di Desa Tebing Siring Kecamatan Bajuin, Kabupaten Tanah Laut. Untuk
pengujian dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia Fakultas Pertanian
Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari ember kecil,
sendok, saringan, labu kjeldahl, alat destilasi, desikator, buret, timbangan analitik,
erlenmeyer, beaker glass, keras saring, labu ukur, gelas ukur, pipet tetes, tabung
reaksi, corong, oven, soxhlet, kondensor, penjepit labu, labu didih, kertas saring,
cawan penguap, dan rotary evaporator.
Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari limbah
sayur kol, ampas tahu, bungkil kelapa sawit, solid decanter, aquades, asam sulfat
pekat, natrium hidroksida, selenium, cupri sulfat, etanol, indikator metil merah,
natrium sulfat, indikator pp, asam klorida, asam nitrat pekat, natrium tetra borat,
katalisator selenium, dan larutan n-heksan.

Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian yang bersifat


ekspermental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial
yang terdiri dari 2 faktor, yakni jenis media tumbuh dan umur magot yang terdiri
atas 9 perlakuan dan 3 ulangan.
Perlakuan pertama adalah media tumbuh yang terdiri dari tiga macam perlakuan
yaitu :
l1 : Bungkil kelapa sawit + Limbah sayur kol (1:1)
l2 : Bungkil kelapa sawit + Solid decanter (1:1)
13

l3 : Bungkil kelapa sawit + Ampas tahu (1:1)

Perlakuan kedua adalah berdasarkan umur panen magot terdari dari tiga macam
perlakuan :
w1 : 7 hari
w2 : 14 hari
w3 : 21 hari
Tabel 3. Rancangan Percobaan Penelitian
Ulangan 1
Umur Panen
Media Tumbuh
w1 w2 w3
l1 l1w1 l1w2 l1w3
l2 l2w1 l2w2 l2w3
l3 l3w1 l3w2 l3w3
Umur Panen
Media Tumbuh
w1 w2 w3
l1 l1w1 l1w2 l1w3
l2 l2w1 l2w2 l2w3
l3 l3w1 l3w2 l3w3

Ulangan 2

Ulangan 3
Umur Panen
Media Tumbuh
w1 w2 w3
l1 l1w1 l1w2 l1w3
l2 l2w1 l2w2 l2w3
l3 l3w1 l3w2 l3w3

Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian ini dimulai dari persiapan tempat pemeliharaan magot,


penetasan telur, persiapan media tumbuh, pemiindahan magot ke dalam media
14

tumbuh, pemeliharaan, dan pemanenan. Diagram alir pelaksanaan penelitian dapat


dilihat pada Gambar 2.

Persiapan tempat pemeliharaan magot

Jenis Media tumbuh :


 Bungkil kelapa sawit + Penetasan telur
Limbah sayur kol (1:1) Uji Kimia :
 Bungkil kelapa sawit +  Kadar air
Solid decanter (1:1) Persiapan media tumbuh  Kadar protein
 Bungkil kelapa sawit +  Kadar lemak
Ampas tahu (1:1)
Pemindahan magot ke dalam media tumbuh

Umur Panen :
Pemeliharaan
 7 hari
 14 hari
 21 hari
Pemanenan

Pengamatan :
 Kadar air
 Kadar protein
 Kadar lemak
 Pengukuran panjang dan berat rata-rata magot
 Survival rate

Analisis Data :
 Uji Normalitas
 Uji Homogenitas
 Analysis of Varian (ANOVA)
 Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT)

Hasil

Gambar 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian

a. Persiapan tempat pemeliharaan magot


Tempat pemeliharaan magot dibuat dengan menggunakan ember kecil
sebanyak 27 buah. Tujuannya agar mempermudah dalam membedakan perlakuan
15

yang akan dilakuan. Selanjutnya bagian atas dari ember tersebut ditutup dan
deberi lubang.

b. Penetasan telur
Media tetas yang digunakan berupa dedak sebanyak 1 kg yang
ditambahkan sedikit air menggunakan semprotan air, selanjutnya telur lalat tentara
hitam diletakkan diatasnya. Telur lalat tentara hitam yang akan ditetaskan yaitu
sebanyak 2 g. Telur lalat tentara hitam akan menetas pada media penetasan selama
4 hari, setelah itu dipindahkan pada media tumbuh.
c. Persiapan media tumbuh
Media tumbuh yang digunakan pada penelitian ini yaitu limbah sayur kol,
ampas tahu, solid decanter, dan bungkil kelapa sawit. Media tumbuh tersebut
didapatkan dari limbah pasar dan limbah agroindustri. Limbah sayur kol
dilakukan pencacahan terlebih dahulu agar mudah tercerna oleh magot. Media
tumbuh yang digunakan terdiri dari 3 jenis yaitu bungki kelapa sawit + limbah
sayur kol, bungkil kelapa sawit + solid decanter, dan bungkil kelapa sawit +
ampas tahu. Untuk magot dengan umur panen 10 hari deberikan limbah sebanyak
375 g, magot dengan umur panen 15 hari deberikan limbah sebanyak 562,5 gr,
dan magot dengan umur panen 20 hari debrikan limbah sebanyak 750 gr dengan
perbandingan pemberian limbah pada masing-masing media tumbuh yaitu 1:1.
Media tumbuh tersebut kemudian dihomogenkan secara manual dan dibagi ke
dalam 27 ember kecil yang disesuaikan dengan banyaknya perlakuan dan ulangan.
Tiap ember berisi 1,5 kg yang telah dicampurkan sesuai dengan perbandingan.
Setelah didapatkan media tumbuh tersebut kemudian dianalisis kadar air, kadar
protein, dan kadar lemak.
d. Pimindahan magot ke dalam media tumbuh
Magot yang sudah ditetaskan selama 4 hari dilakukan pemindahan ke
setiap media tumbuh yang digunakan. Pemindahan dilakukan dengan cara
memindahkan magot ke dalam ember yang sudah berisi media tumbuh dengan
bantuan alat penjepit. Setiap ember akan diberikan magot sebanyak banyak 300
ekor, selanjutnya dilakukan pemeliharaan sampai umur panen yang telah
ditentukan.
e. Pemeliharaan
16

Pemeliharaan magot sendiri dilakukan dengan cara dengan cara


memastikan agar kandang dalam keadaan baik. Tempat budidaya harus memiliki
siklus udara dan kandungan air yang bagus, karena dalam proses budidaya sangat
berpegaruh terhadap suhu dan kelmbapan. Kandang harus selalu diperhatikan
kandungan airnya, karena magot tidak suka terendam dalam waktu lama. Apabila
kandungan air pada kandang terlalu banyak, maka akan dilakukan pengurangan
dengan cara membuang air sedikit demi sedikit menggunakan bantuan sendok.
Pemeliharaan magot dilakukan pada suhu ruang 30 - 34°C.
f. Pemanenan
Pemanenan dilakukan selama rentang waktu 7 hari, 14 hari dan 21 hari.
Pemanenan dilakukan menggunakan alat penjepit lalu magot ditempatkan di
wadah yang berbeda. Selanjutnya magot yang telah dipanen dilakukan
pemingsanan. Pemingsanan magot dilakukan menggunaka alkohol dengan cara
menuangkan alkohol ke dalam tempat atau wadah magot yang sudah dipanen.
Tujuan dari pemingsanan ini adalah untuk memudahkan dalam pengukuran
panjang dan berat magot serta memudahkan dalam menganalisis kadar air, kadar
protein, dan kadar lemak.

Pengamatan

Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah kadar air, protein dan
lemak pada media tumbuh dan magot, penukuran panjang dan berat rata-rata
moggot, dan Survival rate yang dihasilkan pada masing-masing percobaan.
a. Penentuan kadar air, kadar protein, dan kadar lemak pada magot.
Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur kandungan kadar protein,
kadar lemak, dan kadar air pada masing-masing magot yang telah dipanen dengan
media tumbuh dan umur panen yang berbeda. Untuk menentukan kadar protein
menggunakan metode Kjeldahl, untuk menentukan kadar lemak menggunakan
metode Soxhlet dan kadar air menggunakan metode pengeringan.
 Kadar Air
Pengujian dilakukan pada magot yang telah dipanen dengan media
tumbuh dan umur panen yang berbeda. Prinsip analisa kadar air adalah proses
penguapan air dari dari suatu bahan dengan cara pemanasan. Penentuan kadar air
didasarkan pada perbedaan berat sampel sebelum dan sesudah dikeringkan.
Prosedur penetuan kadar air adalah sebagai berikut, erlenmeyer yang akan
17

digunakan ditimbag terlebih dahulu. Selanjutnya masukkan magot yang sudah


dipanen ke dalam Erlenmeyer lalu ditimbang menggunakan neraca analitik.
Kemudian catat hasil semua timbangan tersebut. Magot kemudian dikeringkan
dalam oven selama 24 jam pada suhu 75 oC. Sampel yang sudah dioven kemudian
didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan setelah dingin kembali
ditimbang. Setelah ditimbang, persentase kadar air dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
b 1−b 2
%kadar air= ×100 %
b

Ketererangan :
b = Berat Sampel (g).
b1 = Berat (sampel + cawan) Sebelum Dikeringkan (g).
b2 = Berat (sampel + cawan) Sesudah Dikeringkan (g).
 Kadar Protein
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl dengan
melalui tiga tahapan yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengujian dilakukan
pada saat umur magot 7 hari, 14 hari, dan 21 hari. Siapkan magot dan media
tumbuh yang ingin digunakan, lalu dihaluskan menggunakan blender. Ditimbang
1 g sampel yang telah diblender. Masukkan ke dalam labu Kjehdahl 100 mL,
kemudian pipet 10 mL asam sulfat pekat masukkan kedalam labu Kjehdahl.
Tambahkan katalisator (campuran selenium) untuk mempercepat destruksi dan
diamkan 10 menit dalam ruang asam. Destruksi pada suhu 410ºC selama ± 2 jam
atau sampai larutan jernih. Destruksi dapat dihentikan pada saat didapatkan
larutan berwarna jernih kehijauan. Hasil destruksi yang didapatkan kemudian
didinginkan, setelah itu diencerkan dengan aquadest sampai 20 ml. Setelah
homogen dan dingin dipipet sebanyak 5 ml, masukkan ke dalam labu destilasi.
Tambahkan 10 ml larutan natrium hidroksida 30% melalui dinding dalam labu
destilasi hingga terbentuk lapisan dibawah larutan asam. Labu destilat dipasang
dan dihubungkan dengan kondensor, lalu ujung kondensor dibenamkan dalam
cairan penampung. Uap dari cairan yang mendidih akan mengalir melalui
kondensor menuju erlemeyer penampung. Erlenmeyer penampung diisi dengan 10
ml larutan asam klorida 0,1 N yang telah ditetesi indikator metil merah. Cek hasil
destilasi dengan kertas lakmus, jika hasil sudah tidak bersifat basa lagi maka
penyulingan dihentikan. Setelah proses destilasi, tahap selanjutnya adalah titrasi.
18

Hasil destilasi yang ditampung dalam erlemeyer berisi asam klorida 0,1 N ditetesi
indikator metil merah sebanyak 5 tetes langsung dititrasi dengan menggunakan
larutan natrium hidroksida 0,1 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan warna merah
muda menjadi kuning.  

Hasil Titrasi× 0,14 ×6,25


% Kadar Protein= ×100 %
W

Keterangan :
0,14 = Berat atom nitrogen
6,25 = Faktor konversi protein
W = Berat sampel (g)
 Kadar Lemak
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode Soxhlet. Pengujian
dilakukan pada saat umur magot 7 hari, 15 hari, dan 20 hari. Langkah pertama
yaitu bersihkan labu didih menggunakan air kemudian keringkan dalam oven
dengan temperature 105°C selama 1 jam. Setelah 1 jam labu didinginkan di dalam
desikaor 30 menit kemudian ditimbang beranya pada neraca analitik (m1).
Ditimbang sebanyak 2 gr sampel (m) dan dimasukkan ke dalam kertas saring
kemudian dilipat dengan rapat lalu dimasukkan ke dalam tabung mikro soxhlet.
Hubungkan peralatan soxhlet dengan kran untuk srkulasi pendingin. Selanjutnya
masukkan larutan n- heksan ke dalam labu didih sebanyak 200-250 ml. Kemudian
hubungkan labu didih dengan ujung bawah tabung mikro soxhlet dan hubungkan
kondensor dengan ekstraktor mikro soxhlet. Ekstraksi dilakukan selama 4 jam.
Kemuadian ambil labu didih hasil eksraksi kemudian dikeringkan dalam oven
dengan suhu 105°C. Dinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian labu
didih tersebut ditimbang menggunakan neraca analitik (m2). Adapun rumus dalam
menghitung kadar lemak sebagai berikut:

m2−m1
%Lemak= x 100 %
m

Keterangan :
m = berat sampel (g)
m1 = berat labu didih kosong (g)
19

m2 = berat labu didih + lemak hasil ekstraksi (g)


b. Pengukuran panjang dan bobot rata-rata magot
Pengamatan dilakukan dengan cara melakukan pengukuran terhadap
ukuran panjang dan bobot rata-rata magot yang sudah dipanen. Jumlah yang
diambil untuk penyamplingan yaitu 30 ekor dari tiap perlakuan. Pengukuran
panjang dan bobot rata-rata magot menggunakan bantuan alat penggaris dan
neraca analitik.

c. Survival rate
Pengamatan dilakukan dengan cara pengamatan pada setiap media
tumbuh mengenai jumlah populasi magot pada saat pemanenan. Apabila ada
magot yang mati akan dilakukan pencatatan serta memeriksa kembali kondisi
media tumbuh.

Nt
SR= x 100 %
N0

Dimana :
SR = Angka kelangsungan hidup
Nt = Jumlah magot pada hari ke t
N0 = Jumlah magot pada awal pemeliharaan

Analisis Data

Model linear aditif rancangan acak kelompok (RAK) Faktorial yang


digunakan untuk menganalisis setiap peubah yang diamati adalah :
Yijk = μ + kk + i + βj +ij + εijk
Dimana :
Yijk = Hasil pengamatan pada suatu percobaan yang menerima perlakuan pada
faktor umur simpan dedak ke-i dan faktor lama proses ekstraksi ke-j, dan
ulangan ke-k
μ = Rata-rata umum
kk = Pengaruh ulangan ke-k
i = Pengaruh dari faktor media tumbuh taraf ke-i
βj = Pengaruh dari faktor umur panen taraf ke-j
20

ij = Pengaruh interaksi antara faktor umur simpan dedak taraf ke-I dan
faktor lama proses ekstraksi taraf ke-j
εijk = Pengaruh galat taraf ke-i dan konsentrasi taraf ke-j pada ulangan ke-k
i = Media tumbuh
j = Umur panen
k = Ulangan
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analysis of Varian
(ANOVA). Dalam pengamblan keputusan akan didasarkan pada nilai F
berpengaruh nyata ≥ 5% (≥0.050) dan nilai F berpengaruh nyata ≤ 5% (≤0.05).
Apabila dari analisis berpengaruh nyata pada taraf 5% (0.05), maka analisis
dilanjutkan dengan uji Duncan’s multiple range test (DMRT) dengan perhitungan
sebagai berikut :

DMRT =R ( p , v , α )
√ KTG
r

Keteragan :
R(p,v,α) = R Tabel dari t Tabel yang termodifikasi
p = perlakuan
v = db galat
α = alva = 0,05
KTG = JK galat / db galat
r =p–1
21

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Media Tumbuh

Karakteristik media tumbuh sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan


magot. Magot dapat mendegradasi limbah organik dengan cara mengekstrak
energi dan nurtien dari sampah organik, sisa makanan, bangkai hewan, dan
kotoran sebagai makanannya (Popa dan Green, 2012). Kualitas dan kuantitas
media tumbuh tinggi akan akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan
kandungan nutrisi magot yang dihasilkan. Bahan organik yang mempengaruhi
pertumbuhan magot ialah protein, hal ini sesuai dengan pernyataan Oliver, (2004)
menyatakan bahwa magot memanfaatkan sumber perotein yang terkandung dalam
media tumbuhnya sebagai pembentuk protein pada tubuhnya, sehingga kandungan
protein magot cenderung lebih tinggi pada media yang memiliki kandungan
protein tinggi. Menurut Suciati dan Faruq (2017) menyatakan bahwa secara
metabolisme magot dapat mengkonversi protein dan berbagai nutrient menjadi
biomassa magot. Selain protein, kadar lemak dan kadar air juga mempengaruhi
terhadap laju pertumbuhan magot. Kadar air optimum untuk media tumbuh larva
yaitu 60% (Alvarez, 2012). Kadar lemak yang ada pada media tumbuh magot
akan digunakan sebagai sumber energi pada saat pertumbuhan. Berikut ini adalah
kandungan nutrisi yang ada pada masing-masing media tumbuh magot (Tabel 4).

Tabel 4. Kandungan Nutrisi Pada Media Tumbuh Magot (%)


Kadar Kadar Kadar
Media tumbuh
Air Lemak Protein
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol 41,08 13,82 15,63
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter 36, 89 11,21 18,27
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu 45,38 17,66 22,37

Menurut Putri, (2018) menyatakan bahwa bungkil kelapa sawit


mengandung kadar protein 12,19%, lemak 9,5% dan kadar air < 10%. Menurut
Muktiani dkk., (2007) menyebutkan bahwa kandungan nutrien limbah kubis yaitu
15,74% bahan kering (BK), 12,49% abu, 12,64% protein kasar (PK), 22,62% serat
kasar (SK), 1,75% lemak kasar (LK) dan 39,27% bahan ekstrak tanpa nitrogen
22

(BETN). Menurut Utomo dan Widjaja, (2005) menyatakan bahwa hasil analisis
proksimat menunjukkan bahwa solid decanter memiliki kandungan bahan kering
81,65% yang di dalamnya terdapat protein kasar 12,63%; serat kasar 9,98%;
lemak kasar 7,12%; kalsium 0,03%; fosfor 0,003%; hemiselulosa 5,25%; selulosa
26,35%; dan energi 3454 kkal/kg. Menurut Hernaman, dkk (2005) menyatakan
bahwa ampas tahu mengandung bahan kering 8,69%, protein kasar 18,67%, serat
kasar 24,43%, lemak kasar 9,43%, abu 3,42% dan BETN 41,97%. Berdasarkan
hasil kandungan nutrisi media tumbuh magot (Tabel 4) pada penelitian ini dapat
dilihat bahwa media tumbuh dengan campuran bungkil kelapa sawit + limbah
sayur kol memiliki kadar air sebesar 41,08%, kadar lemak sebesar 13,82%, dan
kadar protein sebesar 15,63%, media tumbuh dengan campuran bungkil kelapa
sawit + solid decanter memiliki kadar air sebesar 36,89%, kadar lemak sebesar
11,21%, dan kadar protein sebesar 18,27%, dan media tumbuh dengan campuran
bungkil kelapa sawit + ampas tahu memiliki kadar air sebesar 45,38%, kadar
lemak sebesar 17,66%, dan kadar protein sebesar 22,37%. Kandungan antara
kadar air, kadar protein, dan kadar lemak dan nutrisi lainnya penting untuk
tumbuh dan berkembang magot. Kandungan nutirsi media tumbuh magot sangat
menentukan nutrisi magot yang dihasilkan, semakin bagus kualitas nutrient yang
ada pada media tumbuh maka magot yang dihasilkan juga memiliki kandungan
nutrient yang bagus (Maulana et. al, 2021).

Kadar Air Magot

Hasil kadar air berat basah magot menunjukkan bahwa pada media
tumbuh yang berbeda berkisar dari 71,49 – 79,19% dan pada umur panen yang
berbeda berkisar dari 72.11 – 79,02%. Berdasarkan hasil analisis ragam
didapatkan hasill bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara media tumbuh dan
umur panen magot, tetapi faktor tunggal media tumbuh dan umur panen
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air magot yang dihasilkan. Hasil uji
lanjut dengan DMRT dapat dilihat pada Tabel 5.
23

Tabel 5. Hasil Uji DMRT Kadar Air Magot (%)


Umur Panen
Media Tumbuh Rata-rata
7 hari 14 hari 21 hari

Bungkil Kelapa Sawit


73,75 ± 0,73 76 ± 0,95 78,86 ± 1,34 76,21 ± 2,56b
+ Limbah Sayur Kol

Bungkil Kelapa Sawit


66,62 ± 0,76 72,62 ± 1,09 75,26 ± 1,30 71,49 ± 4,43a
+ Solid Decanter

Bungkil Kelapa Sawit


75,97 ± 0,93 78,65 ± 1,33 82,95 ± 1,46 79,19 ± 3,52c
+ Ampas Tahu
Rata-rata 72,11 ± 4.88a 75,76 ± 3,03b 79,02 ± 3,84c
Keterangan : Simbol superscrif yang berbeda pada tiap kolom menunjukkan
adanya beda nyata data tiap-tiap perlakuan berdasarkan uji DMRT
nilai F ≤ 0,05 (Signifikasi berpengaruh nyata)
Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa media tumbuh yang
berbeda berpengaruh nyata terhadap kadar air magot yang dihasilkan dari
(P<0,05). Berdasarkan hasil yang telah didapat (Tabel 5) madia tumbuh bungkil
kelapa sawit + ampas tahu memiliki hasil kadar air tertinggi yaitu sebesar 79,19%.
Sementara kadar air magot yang terendah dihasilkan pada media tumbuh bungkil
kelapa sawit + solid decanter dengan kadar air rata-rata sebesar 71,49%.
Perbedaan kadar air ini karena kandungan air pada media tumbuh bungkil kelapa
sawit + ampas tahu lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan media
tumbuh bungkil kelapa sawit + solid decanter. Hal ini sesuai dengan tinggi
rendahnya kadar air masing -masing media tumbuh magot yang digunakan.
Tinggi rendahnya kadar air yang ada pada magot dipengaruhi oleh kadar air yang
ada pada media tumbuh, semakin tinggi kadar air pada media tumbuh maka akan
semakin tinggi pula kadar air magot yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Fahmi (2015) yang menyatakan bahwa magot memiliki karakter yang
diantaranya bersifat menyerap air pada media sehingga sangat mempengaruhi
kadar air magot.
Menurut Tran et.al (2014) menyatakan bahwa kadar air media saat
budidaya larva mesti rendah, sebab larva tidak dapat tumbuh pada media tumbuh
pada air yang tinggi. Menurut Diener et.al (2009) menyatakan bahwa dalam
24

membudidayakan magot, kadar air media harus rendah karena larva tidak dapat
berkembang baik bahkan tidak dapat tumbuh pada media dengan kadar air tinggi
yaitu > 70%. Magot tidak memiliki mulut untuk menyerap nutrisi, maka nutrisi
akan diserap jika subtratnya berupa bagian-bagian kecil atau bahkan dalam bentuk
air (Lewis et al., 1998). Oleh sebab itu, media tumbuh dengan bungkil kelapa
sawit + ampas tahu menghasilkan magot dengan kadar air teringgi karena media
tumbuh tersebut memiliki kadar air yang tinggi dibandingkan dengan media
tumbuh lainnya (bungkil kelapa sawit + limbah sayur kol dan bungkil kelapa
sawit + solid decanter).
Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa umur panen yang
berbeda berpengaruh nyata terhadap kadar air magot yang dihasilkan (P<0,05).
Berdasarkan hasil yang telah didapat (Tabel 5) rata-rata kadar air magot yang
tertinggi dihasilkan pada hari ke-21 dengan rata-rata kadar air sebesar 79,02%.
Sementara kadar air magot yang terendah dihasilkan pada hari ke-7 dengan rata-
rata kadar air sebesar 72,11%. Perbedaan rataan kadar air magot ini dipengaruhi
oleh kadar air media tumbuh, ukuran dan berat magot. Hal ini karena seiring
dengan bertambahnya umur maka akan bertambah pula ukuran dan berat magot
yang dihasilkan. Oleh sebab itu, semakin bertambahnya ukuran dan berat magot
maka kadar air yang dihasilkan pada magot akan semakin tinggi.
Berdasarkan pernyataan diatas maka umur panen tiap magot akan
menghasilkan kadar air yang berbeda, semakin bertambahnya umur maka
kandungan air yang terdapat pada magot akan semakin meningkat. Hal ini sesuai
dengan pernyataan penelitian yang dilakukan Rachmawati., dkk, (2010) yang
menyatakan bahwa umur juga sangat mempengaruhi kandungan nutrisi magot,
kadar air magot cenderung berkorelasi positif sering dengan pertambahan umur.
Menurut Tomberlin (2009) yang menyatakan bahwa air yang ada pada media
tumbuh diperlukan untuk reproduksi selama fase larva, sehingga magot yang
tumbuh pada media yang mengandung kadar air yang tinggi akan mempengaruhi
pertumbuhan magot.
25

Kadar Protein Magot

Protein adalah salah satu zat nutrisi yang sangat dibutuhkan bagi
pertumbuhan dan perkembangan magot. Magot BSF dimanfaatkan sebagai pakan
ternak, karena kandungan protein magot mencapai 40%. Kadar tersebut lebih
tinggi jika dibandingkan dengan kadar protein pelet buatan untuk ikan konsumsi
sekitar 30 - 35% dan pelet buatan untuk unggas hanya mengandung protein sekitar
20 - 25% (Dewantoro dan Efendi, 2018). Hasil dari kadar protein magot yang
dihasilkan pada media tumbuh dan umur panen yang berbeda berturut-turut
berkisar dari 42,23 – 47,25% dan 37,91 – 48,47%. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara media tumbuh dan umur
panen magot, tetapi faktor tunggal media tumbuh dan umur panen yang berbeda
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar protein magot yang dihasilkan. Hasil
uji lanjut dengan DMRT dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji DMRT Kadar Protein Magot (% Berat Kering)
Umur Panen
Media Tumbuh Rata-rata
7 hari 14 hari 21 hari
Bungkil Kelapa Sawit
44,92 ± 1,96 34,84 ± 1,09 46,94 ± 1,14 42,23 ± 6,48a
+ Limbah Sayur Kol

Bungkil Kelapa Sawit


45,74 ± 1,14 37,38 ± 0,33 47,43 ± 0,22 43,52 ± 5,38b
+ Solid Decanter

Bungkil Kelapa Sawit


49,23 ± 0,89 41,49 ± 1,07 51,05 ± 0,57 47,25 ± 5,07c
+ Ampas Tahu
46,63 ± 2,29b 37,91 ± 3,36a 48,47 ± 2,24c  
Rata-rata
Keterangan : Simbol superscrif yang berbeda pada tiap kolom menunjukkan
adanya beda nyata data tiap-tiap perlakuan berdasarkan uji DMRT
nilai F ≤ 0,05 (Signifikasi berpengaruh nyata)

Berdasarkan analisis ragam diperoleh hasil bahwa berbagai media tumbuh


magot berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak magot yang dihasilkan.
Tabel 6 dapat dilihat bahwa media tumbuh bungkil kelapa sawit + ampas tahu
memiliki rata-rata kadar protein yang paling tinggi yaitu sebesar 47,25% dan
26

bungkil kelapa sawit + limbah sayur kol dengan kadar protein yang paling rendah
yaitu sebesar 42,23%. Sesuai pendapat Katayane et al., (2014) bahwa magot
memanfaatkan sumber protein yang terkandung pada media tumbuhnya untuk
membentuk protein pada tubuhnya, sehingga kadar protein pada magot cendrung
lebih tinggi pada media yang memiliki kadar protein tinggi, hal ini yang menjadi
alasan bahwa rata-rata kadar protein magot pada media tumbuh bungkil kelapa
sawit + ampas tahu lebih tinggi dibandingkan bungkil kelapa sawit + limbah sayur
kol, dikarenakan kadar protein pada media tumbuh bungkil kelapa sawit + ampas
tahu lebih tinggi dibandingkan bungkil kelapa sawit + limbah sayur kol (dapat
dilihat pada Tabel 3). Jika kualitas dan kuantitas nutrien media tinggi akan
berpengaruh positif terhadap protein magot yang dihasilkan.
Berdasarkan analisis ragam diperoleh hasil bahwa umur panen magot
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar protein magot yang dihasilkan. Dilihat
dari Tabel 6 rata-rata kadar protein tertinggi yaitu magot yang dipanen pada umur
21 hari yaitu sebesar 48,47%, sedangkan rata-rata kadar lemak magot terendah
pada umur panen 14 hari yaitu sebesar 37,91%. Berdasarkan hasil protein tersebut
tergambarkan bahwa besarnya nilai rata-rata protein magot yang dihasilkan
tersusun (terbesar ke terkecil) mulai dari umur panen 21 hari, 7 hari, dan 14 hari.
Dilihat dari hasil yang didapatkan kadar protein magot mengalami penurunan
pada hari ke-14 dan mengalami peningkatan pada hari ke 21. Pada hari ke 14
kadar protein magot mengalami penurunan, menurut Fatmasari (2017) yang
menyatakan bahwa kadar protein larva muda lebih tinggi dibandingkan dengan
larva dewasa, kondisi ini karena larva yang masih muda mengalami pertumbuhan
sel struktural dan metabolisme yang lebih cepat dibandingkan larva dewasa. Pada
hari ke-21 kadar protein pada magot mengalami peningkatan, pada tahap ini
magot sudah mencapai fase prepupa. Pada fase ini kadar protein yang ada pada
magot cukup tinggi, karena protein ini akan digunakan sebagai kebutuhan
strukturalnya dan sebagai sumber cadangan energi sampai menjadi lalat. Menurut
Diener (2010) menyatakan bahwa prepupa magot, tahap sebelum menjadi pupa,
mengandung >40 % protein dan 30 % lemak yang memungkinkan penggunaannya
sebagai alternatif bahan pakan ternak.
27

Dilihat dari Tabel 6 hasil kadar protein yang didapat rata-rata berkisar
lebih dari 40%. Menurut Songbesan et. al. (2005) menyebutkan bahwa protein
dari magot dapat mencapai 50%. Menurut Murtidjo (2001), menyatakan bahwa
bahan makanan yang mengandung protein kasar lebih dari 19%, digolongkan
sebagai bahan makanan sumber protein. Pemberian magot telah dicoba kepada
beberapa ikan, antara lain ikan lele. Kadar protein yang terkandung dalam magot
sesuai dengan kebutuhan untuk pembesaran lele yang membutuhkan pakan
dengan kadar protein min 30% (SNI Pakan Buatan untuk Ikan Lele Dumbo).
Menurut Ciprinus Carpio. Ogunji J.O. et. al. (2007) yang menyatakan bahwa
magot dapat menggantikan tepung ikan sebanyak 30% pada ikan tilapia.
Magot yang yang paling baik untuk digunakan sebagai pakan ikan yaitu
magot yang masih dalam fase larva yaitu pada umur 7 – 17 hari. Hal ini
dikarenakan pada umur tersebut kulitnya masih kenyal dan lebih disukai ikan lele
dibandingkan dengan magot pada fase prepupa yang warnanya mulai kecoklatan
dan kulitnya mulai mengeras. Menurut Hahn et al., (2018) menyatakan bahwa
pada fase prepupa hingga menjadi pupa, magot mengandung kitin sebanyak 35%.
Tingginya kandungan kitin ini yang dapat menghambat ikan dalam mencerna
pakannya. Menurut Djunaidi et. al., (2009) menyatakan bahwa kitin akan
membatasi pencernaan protein dan lemak sehingga kecernaannya menjadi rendah.
Pakan ikan dengan kadar protein yang tinggi akan mempercepat
pertumbuhan ikan. Menurut Schulz et.al., (2008) menyatakan bahwa protein
adalah sumber asam amino essensial yang dibutihkan ikan untuk mendukung
pertumbuhan yang optimum, juga sebagai sumber energi bagi ikan. Menurut
Sheppard dan Newton (1995) dalam Sugianto (2007) menyebutkan bahwa magot
bisa menggantikan tepung ikan kualitas tinggi dan memberikan pertumbuhan
yang sama walaupun diberikan dengan kondisi larva yang dipotong-potong.
Rachmawati (2010), menyatakan bahwa larva yang lebih besar (prapupa) ideal
untuk digunakan dalam campuran pakan atau pelet karena mampu memenuhi
kuantitas produksi.

Kadar Lemak Magot


28

Lemak merupakan sumber energi pada ikan. Selain sebagai sumber energi,
lemak memiliki fungsi sebagai media penyimpan vitamin yang terlarut dalam
lemak (Utami dkk, 2013). Lemak adalah sumber energi yang dibutuhkan magot
untuk tumbuh dan berkembang dari magot hingga menjadi lalat. Hasil kadar
lemak magot menunjukkan bahwa pada media tumbuh yang berbeda berkisar dari
25,47 – 35,05% dan pada umur panen yang berbeda berkisar dari 25,05 – 34,54%.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara
media tumbuh dan umur panen magot, tetapi faktor tunggal media tumbuh dan
umur panen yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak
magot yang dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan DMRT dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Uji DMRT Kadar Lemak Magot (% Berat Kering)


Umur Panen
Media Tumbuh Rata-rata
7 hari 14 hari 21 hari
Bungkil Kelapa Sawit
23,70 ± 1,02 30,41 ± 0,78 34,88 ± 0,54 29,67 ± 5,63b
+ Limbah Sayur Kol

Bungkil Kelapa Sawit


19,69 + 0,68 26,53 ± 0,86 30,20 ± 0,42 25,47 ± 5,33a
+ Solid Decanter

Bungkil Kelapa Sawit


31,77 ± 1,08 34,84 ± 0,88 38,54 ± 0,64 35,05 ± 3,39c
+ Ampas Tahu

Rata-rata 25,05 ± 6,15a 30,59 ± 4,16b 34,54 ± 4,18c  


Keterangan : Simbol superscrif yang berbeda pada tiap kolom menunjukkan
adanya beda nyata data tiap-tiap perlakuan berdasarkan uji DMRT
nilai F ≤ 0,05 (Signifikasi berpengaruh nyata)

Kadar lemak magot yang disajikan pada Tabel 7 diketahui bahwa


pemeliharan menggunakan media tumbuh bungkil kelapa sawit + ampas tahu
memiliki rata-rata kadar lemak magot yang tertinggi yaitu sebesar 35,05%,
sedangkan yang terendah terdapat pada media tumbuh bungkil kelapa sawit +
solid decanter yaitu dengan rata-rata kadar lemak magot sebesar 25,47%. Faktor
yang mempengaruhi tinggi rendahnya kadar lemak pada magot adalah media
tumbuh. Kandungan lemak media tinggi akan menghasilkan lemak magot tinggi,
sebaliknya jika lemak media rendah akan menghasilkan lemak kasar magot
rendah. Menurut Purba et. al., (2021), yang menyatakan bahwa pertumbuhan
29

larva magot sangat dipengaruhi oleh komposisi nutrien pakan terutama


makromolekul seperti, karbohidrat, lemak dan protein. Hal ini yang menjadi
alasan, dikarenakan kandungan lemak pada media tumbuh bungkil kelapa sawit +
ampas tahu lebih tinggi dibandingkan bungkil kelapa sawit + solid decanter (dapat
dilihat pada Tabel 3).
Berdasarkan analisis ragam diperoleh hasil bahwa umur panen magot
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak magot yang dihasilkan. Dilihat
dari Tabel 7 diketahui bahwa kadar lemak akan meningkat seiring dengan
bertambahnya umur pemanenan. Kadar lemak tertinggi yaitu magot yang dipanen
pada umur 21 hari yaitu sebesar 34,54%, selanjutnya magot yang dipanen pada
umur 14 hari yaitu sebesar 30,59% dan kadar lemak magot terendah pada umur
panen 7 hari yaitu sebesar 25,05%. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa umur
panen sangat berpengaruh terhadap kandungan lemak magot yang dihasilkan. Hal
ini karena, seiring bertambahnya umur maka akan bertambah juga ukuran dan
berat magot, sehingga kadar lemak yang dihasilkan akan semakin tinggi. Selain
itu, kebutuhan lemak yang diperlukan magot akan semakin meningkat seiring
dengan bertambahnya umur. Kandungan lemak yang ada pada tubuh magot akan
digunakan sebagai sumber energi. Pada fase larva, magot akan memakan semua
nutrien yang ada pada media tumbuh dan pada saat memasuki fase prepupa,
magot tidak lagi membutuhkan makanan, namun memanfaatkan cadangan energi
dari lemak yang tersimpan selama fase larva. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Diener et. al., (2011) yang menyatakan bahwa memasuki tahap prepupa hingga
menjadi lalat, magot akan berhenti makan dan memanfaatkan cadangan lemak di
tubuhnya sebagai sumber energi. Menurut Tomberlin (2009), menyatakan bahwa
magot yang memasuki fase prepupa hanya memerlukan air, karena nutrien hanya
dibutuhkan untuk perkembangan pada fase larva.
Dilihat dari hasil kadar lemak yang didapat terbilang cukup tinggi.
Berdasarkan percobaan pemberian pakan magot ke ikan lele dapat dilihat bahwa
kadar lemak yang tinggi ini akan mengakibatkan perut ikan menjadi beaar dan
akan menghambat pergerakan pada ikan tersebut, bahkan dapat menyebabkan
kematian. Menurut NRC dalam Giri dkk (2007) mengatakan bahwa kandungan
lemak pada pakan ikan direkomendasikan supaya tidak terlalu tinggi karena bila
30

kandungan lemak yang terkandung dalam pakan tinggi maka akan menyebabkan
kerusakan hati pada ikan sehingga dapat menyebabkan kematian. Lemak dalam
pakan berpengaruh terhadap rasa dan tekstur pakan.
Menurut Mudjiman (2004) bahwa kandungan lemak ideal untuk pakan
ikan berkisar 4 - 18%. Menurut Rachmawati (2010), menyatakan bahwa larva
yang lebih besar sangat ideal digunakan untuk campuran pakan atau bahan baku
pelet karena mampu memenuhi kuantitas produksi. Sebaiknya magot hanya
digunakan sebagai pakan pendamping pelet dan penggunaannya sebagai subtitusi
pengganti pakan buatan hanya dalam jumlah terbatas. Magot dapat digunakan
sebagai pakan utama ikan apabila sudah diolah menjadi pelet ikan dengan bahan
utama tepung magot. Penggunaan tepung magot sebagai kombinasi pembuatan
pakan pelet untuk ikan disarankan menggunakan dosis tepung magot sebanyak
25%, hal ini karena, kandungan nutrisi pada pakan ikan dengan dengan dosis 25%
menghasilkan protein rata-rata sekitar ±28% dan protein ini magot dikurangi
maka akan menurunkan kadar protein yang ada pada pakan ikan. Semakin tinggi
dosis tepung magot yang dicampurkan pada pakan ikan, maka akan tinggi pula
kandungan protein yang ada pada pakan ikan. Hal ini sesuai dengan penelitian
Rachmawati dan Samijan (2013) bahwa pada pakan ikan menggunakan campuran
tepung magot dengan dosis 50% memiliki kandungan protein tertinggi yaitu
sebesar 27,79% dan yang terendah pada campuran 25% yaitu sebesar 25,23%.
Menurut Rachmawati dan Samijan (2013), pada ikan menggunakan tepung magot
dan tepung ikan sebagai sumber protein di dalam pakan dengan jumlah terbaik
25% tepung magot dan 75% tepung ikan menghasilkan rata-rata pertumbuhan
bobot mutlak tertinggi yaitu sebesar 158,53 g dan laju pertumbuhan
spesifik sebesar 1,45%.

Survival Rate Magot

Survival Rate merupakan banyaknya jumlah larva Hermetia illucens yang


masih tersisa selama masa observasi. Menurut Muchlisin et al. (2003) untuk
mendapatkan kelangsungan hidup yang baik diperlukan pemberian pakan yang
tepat baik ukuran, jumlah, dan kandungannya. Keberhasilan hidup atau survival
rate akan mempengaruhi secara langsung tingkat reduksi media tumbuh yang
31

diberikan disetiap reaktornya. Hasil dari survival rate magot pada media tumbuh
dan umur panen yang berbeda berturut-turut berkisar dari 98,89 – 99,37% dan
98,04 – 100%. Berdasarkan uji analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh interaksi antara media tumbuh dan umur panen magot, tetapi faktor
tunggal media tumbuh dan umur panen yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap nilai survival rate magot yang dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan DMRT
dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Uji DMRT Survival Rate Magot (%)


Umur Panen
Media Tumbuh Rata-rata
7 hari 14 hari 21 hari
Bungkil Kelapa Sawit
100 ± 0 99 ± 0 98,22 ± 0,51 99,07 ± 0,89a
+ Limbah Sayur Kol

Bungkil Kelapa Sawit


100 ± 0 99,67 ± 0,33 98,44 ± 0,69 99,37 ± 0,82b
+ Solid Decanter

Bungkil Kelapa Sawit


100 ± 0 99,22 ± 0,19 97,44 ± 0,51 98,89 ± 1,31a
+ Ampas Tahu
100 ± 0c 99,30 ± 0,34b 98,04 ± 0,52a
Rata-rata
Keterangan : Simbol superscrif yang berbeda pada tiap kolom menunjukkan
adanya beda nyata data tiap-tiap perlakuan berdasarkan uji DMRT
nilai F ≤ 0,05 (Signifikasi berpengaruh nyata)

Berdasarkan analisis ragam diperoleh hasil bahwa berbagai media tumbuh


magot berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot rata-rata magot. Survival Rate
magot yang disajikan pada Tabel 8 diketahui bahwa nilai Survival Rate pada
penelitian ini cenderung tinggi. Hal ini disebabkan stabilnya kandungan air pada
bahan pakan. Menurut Muhayyat et al., 2016 yang menyatakan bahwa stabilnya
kadar air pada bahan pakan mempengaruhi tingginya nilai survival rate. Media
dengan menggunakan bungkil kelapa sawit + solid decanter memiliki rata-rata
nilai Survival Rate tertinggi yaitu sebesar 99,37%, sedangkan yang terendah pada
media tumbuh bungkil kelapa sawit + ampas tahu yaitu sebesar 98,89%. Media
tumbuh dengan menggunakan bungkil kelapa sawit + ampas tahu mendapatkan
hasil terendah karena media tersebut memiliki kadar air yang tinggi, sehingga
lebih cepat mengalami pembusukan. Nilai survival rate pada penelitian ini
32

termasuk sangat bagus yang dimana nilai rata-rata survival rate yang dihasilkan
yaitu > 90%. Nilai survival rate pada keempat jenis media tumbuh pada penelitian
ini lebih tinggi dari pada penelitian Rofi, (2020) tingkat keberhasilan hidup
menggunakan sampah modifikasi seperti dikukus dan difermentasi menghasilkan
persentase nilai survival rate rata-rata 82%. Menurut (Rofi et al., 2021)
pembusukan secara alami menghasilkan kadar air lebih banyak. Menurut Silmina,
dkk (2015) media yang mempunyai kadar air yang tinggi akan menghambat
pertumbuhan magot. Kondisi ini lah yang menyebabkan magot mengalami
kematian. Selain kadar air, kurangnya kadar oksigen juga menjadi faktor yang
dapat mempengaruhi nilai Survival Rate pada magot. Kurangnya kadar oksigen
akan membuat tempat pemeliharaan dalam kondisi anaerob sehingga dapat
menurunnya tingkat bertahan hidup magot. Proses dekomposisi bahan organik
secara anaerobik akan menghasilkan ammonia dan metana yang bisa menghambat
proses konsumsi pakan dan mempengaruhi pertumbuhannya (Saragi & Bagastyo,
2015).
Berdasarkan analisis ragam diperoleh hasil bahwa berbagai umur panen
magot berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot rata-rata magot. Berdasarkan
hasil yang dilihat pada Tabel 8 diketahui bahwa Survival Rate pada umur panen
dapat dilihat bahwa magot dengan nilai Survival Rate tertinggi dipanen pada umur
panen 7 hari yaitu sebesar 100%, dan diikuti pada umur panen 14 hari yaitu
sebesar 99,30%, sedangkan yang terendah pada umur panen 21 hari yaitu sebesar
98,04%. Adapun faktor yang mempengaruhi yaitu karena semakin lama
pemanenan magot makan akan meningkatnya kadar air yang ada pada media
tumbuh, sehingga media yang digunakan akan mengalami pembusukan. Hal ini
disebabkan karena karakteristik media tumbuh dengan menggunakan bungkil
kelapa sawit + solid decanter yang tidak akan membusuk dan tidak ada
peningkatan kadar air seiring bertambahnya waktu, sedangkan media tumbuh
bungkil kelapa sawit + limbah sayur kol dan media tumbuh bungkil kelapa sawit
+ ampas tahu memiliki karakteriatik limbah yang mudah membusuk dan berair
seiring dengan bertambahnya waktu. Oleh sebab itu, hal ini lah yang akan
menyebabkan kematian pada magot. Hal ini sesuai dengan pernyataan Katayane
dkk., (2014); dan Hakim, (2017) yang menyatakan bahwa tingkat kelulusan hidup
33

(survival rate) larva black soldier fly dapat dipengaruhi oleh kadar air pada pakan
karena larva tidak menyukai tempat yang terlalu basah. Kadar air tinggi pada
tempat pemeliharaan menyebabkan magot tidak makan umpan yang disediakan
melainkan akan mencari tempat lebih kering dan dapat menyebabkan
kematian pada magot.

Panjang dan Bobot Rata-Rata Magot

Panjang Rata-Rata Magot


Panjang merupakan salah satu tanda bahwa organisme tersebut mengalami
pertumbuhan. Kegiatan pengukuran panjang magot pada penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan penggaris pada magot yang telah dipanen sesuai dengan
umur panen yang sudah ditentukan dan selanjutnya dilakukan pengambilan magot
dengan cara sampling. Jumlah magot yang diambil untuk penyamplingan yaitu
diambil sebanyak 10% dari 300 ekor magot disetiap masing-masing perlakuan.
Sebelum melakukan pengukuran magot yang telah dipanen dimasikkan ke dalam
baskom dan dibberikan alkohol agar memudahkan dalam pengukuran. Hasil dari
panjang rata-rata magot yang dihasilkan pada media tumbuh dan umur panen yang
berbeda berturut-turut berkisar dari 1,74 – 2 cm dan 1,58 – 2,17 cm. Berdasarkan
hasil analisis ragam didapatkan hasill bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara
media tumbuh dan umur panen magot, tetapi faktor tunggal media tumbuh dan
umur panen berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap panjang rata-rata magot yang
dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan DMRT dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil Uji DMRT Panjang Rata-Rata Magot (cm)


Umur Panen Rata-rata
Media Tumbuh
7 hari 14 hari 21 hari
Bungkil Kelapa Sawit
1,53 ± 0.01 1,81 ± 0,02 2,2 ± 0.1 1,85 ± 0,34b
+ Limbah Sayur Kol

Bungkil Kelapa Sawit


1,47 ± 0,02 1,75 ± 0,02 2 ± 0.1 1,74 ± 0,26a
+ Solid Decanter

Bungkil Kelapa Sawit 1,73 ± 0,02 1,96 ± 0,03 2,3 ± 0.1 2,00 ± 0,29c
34

+ Ampas Tahu
1,58 ± 0,13a 1,84 ± 0,11b 2,17 ± 0,15c
Rata-rata
Keterangan : Simbol superscrif yang berbeda pada tiap kolom menunjukkan
adanya beda nyata data tiap-tiap perlakuan berdasarkan uji DMRT
nilai F ≤ 0,05 (Signifikasi berpengaruh nyata)

Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa media tumbuh yang
berbeda berpengaruh nyata terhadap panjang rata-rata magot yang dihasilkan
(P<0,05). Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa pertumbuhan panjang rata-rata
magot tertinggi terdapat pada perlakuan yang menggunakan media tumbuh
bungkil kelapa sawit + ampas tahu yaitu sebesar 2 cm, sedangkan pertumbuhan
panjang rata-rata magot terendah tedapat pada perlakuan yang menggunakan
media tumbuh bungkil kelapa sawit + solid decanter yaitu sebesar 1,74 cm. Salah
satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan panjang magot ialah kandungan
nutrisi media tumbuhnya. Susanto (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan suatu
organisme sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan jumlah bahan
makanan yang tersedia. Banyak atau sedikitnya makanan yang didapatkan dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan baik panjang maupun berat suatu organisme.
Media tumbuh sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan magot,
semakin tinggi kandungan nutrisi media tumbuh maka semakin cepat laju
pertumbuhan panjang magot yang dihasilkan. Media tumbuh dengan
menggunakan campuran bungkil kelapa sawit + ampas tahu mempunyai
kandungan nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan media tumbuh dengan
campuran bungkil kelapa sawit + limbah sayur kol dan bungkil kelapa sawit +
solid decanter, kandungan nutrisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Hal ini
sesuai dengan pernyataan De Haas et al., (2006) yang menyatakan bahwa kualitas
media perkembangan larva berkolerasi positif dengan panjang larva dan
persentase daya tahan hidup lalat dewasa.
Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa umur panen yang
berbeda berpengaruh nyata terhadap panjang rata-rata magot yang dihasilkan
(P<0,05). Hasil pengukuran panjang rata-rata magot dapat dilihat pada Tabel 9.
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa rataan panjang magot yang paling
panjang adalah pada umur panen 21 hari yaitu sebesar 2,17 cm, kemudian diikuti
umur panen 14 hari yaitu 1,84 cm, sedangkan rataan terendah pada umur panen 7
35

hari yaitu sebesar 1,58 cm. Yang artinya, semakin bertambahnya umur panen
magot maka ukuran panjang magot akan semakin panjang. Menurut Saragi dan
Bagastyo (2015) menyatakan bahwa perubahan ini disebabkan akibat
pertumbuhan magot dipengaruhi oleh lamanya waktu pemeliharaan dan
ketersediaan pakan untuk pemenuhan kebutuhannya.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa umur panen sangat
mempengaruhi panjang rata-rata magot yang dihasilkan. Dilihat dari hasil
tersebut, perlakuan menggunakan media bungkil kelapa sawit + ampas tahu
memiliki hasil panjang rata-rata tertinggi dibanfingkan dengan media tumbuh
lainnya. Magot terpanjang yaitu magot pada hari ke 21 dengan panjang 2,3 cm.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rini dkk., (2009) yang menyatakan
bahwa panjang magot dengan umur 20 hari yaitu berkisar 20 – 25 mm.
Pertumbuhan panjang ini diiringi pula dengan meningkatnya kadar lemak magot
yang dihasilkan. Semakin panjang ukuran magot maka akan semakin tinggi pula
kadar lemak magot yang dihasilkan.

Bobot Rata-Rata magot

Bobot merupakan berat suatu organisme yang telah mengalami


pertumbuhan. Bobot juga merupakan salah satu tanda bahwa pada organisme
tersebut mengalami pertumbuhan. Untuk menghitung bobot magot dilakukan
dengan cara menimbang magot yang sudah dipanen sebanyak 10% dari masing-
masing perlakuan dengan menggunakan timbangan analitik. Hasil bobot rata-rata
magot menunjukkan bahwa pada media tumbuh yang berbeda berkisar dari 0,16 –
0,20 g dan pada umur panen yang berbeda berkisar dari 0,14 – 0,22 g.
Berdasarkan uji analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi
antara media tumbuh dan umur panen magot, tetapi faktor tunggal media tumbuh
dan umur panen yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot rata-
rata magot yang dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan DMRT dapat dilihat pada
Tabel 10.
36

Tabel 10. Hasil Uji DMRT Bobot Rata-Rata Magot (gram)


Umur Panen
Media Tumbuh Rata-rata
7 hari 14 hari 21 hari
Bungkil Kelapa Sawit
0,13 ± 0,01 0,17 ± 0,01 0,22 ± 0,01 0,17 ± 0,04b
+ Limbah Sayur Kol

Bungkil Kelapa Sawit


0,12 + 0,01 0,16 ± 0,01 0,2 ± 0,01 0,16 ± 0,04a
+ Solid Decanter

Bungkil Kelapa Sawit


0,16 ± 0,01 0,19 ± 0,01 0,24 ± 0,01 0,20 ± 0,04c
+ Ampas Tahu
0,14 ± 0,02a 0,17 ± 0,02b 0,22 ± 0,02c
Rata-rata
Keterangan : Simbol superscrif yang berbeda pada tiap kolom menunjukkan
adanya beda nyata data tiap-tiap perlakuan berdasarkan uji DMRT
nilai F ≤ 0,05 (Signifikasi berpengaruh nyata)

Larva BSF merupakan salah satu agen biokonversi yang mampu


mendegradasi limbah organik dengan kandungan selulosa tinggi. Larva BSF
diketahui mampu mengkonversi senyawa organik dalam ususnya yang berisi
bakteri selulolitik sehingga menghasilkan pupuk organik (Supriyatna dan Putra,
2017). Berdasarkan analisis ragam diperoleh hasil bahwa berbagai media tumbuh
magot berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot rata-rata magot. Hal ini, berarti
media tumbuh dapat mempengaruhi bobot magot yang dihasilkan. Bobot rata-rata
magot yang disajikan pada Tabel 10 diketahui bahwa pemeliharan menggunakan
media bungkil kelapa sawit + ampas tahu memiliki bobot rata-rata magot yang
tertinggi yaitu sebesar 0,20 gram, sedangkan yang terendah terdapat pada bungkil
kelapa sawit + solid decanter yaitu sebesar 0,16 gram. Perbedaan produksi berat
segar magot ini dikarenakan kandungan bahan organik yang terdapat pada media
37

bungkil kelapa sawit + ampas tahu lebih tinggi dibandingkan pada media bungkil
kelapa sawit + solid decanter, kandungan bahan organik tersebut dapat dilihat
pada Tabel 3. Hal ini juga diperkuat oleh Tomberlin et al. (2002) yang
mengatakan, komposisi nutrient pakan menunjukan pengaruh terhadap
pertumbuhan magot. Pakan dengan kandungan nutrisi protein dan lemak tinggi
akan mempercepat kenaikan bobot magot. Magot akan mereduksi nutrien yang
berada pada media budidaya sebesar 50-79% (Gary, 2009 dalam Dina et al.,
2010).
Berdasarkan analisis ragam diperoleh hasil bahwa berbagai umur panen
magot berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot rata-rata magot. Hal ini berarti
umur panen dapat mempengaruhi bobot magot yang dihasilkan. Berdasarkan hasil
yang didapat pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa magot dengan bobot rata-rata
tertinggi dipanen pada umur panen 21 yaitu sebesar 0,22 gram hari dan
selanjutnya diikuti pada umur panen 14 hari yaitu sebesar 0,17 gram dan yang
paling rendah pada umur panen 7 hari yaitu sebesar 0,14 gram. Hal ini disebabkan
karena semakin bertambahnya umur maka kebutuhan nutrisi dan kemampuan
makan pada magot akan meningkat sehingga akan menambah bobot magot yang
dihasilkan. Menurut Rini dkk., (2009) Pertumbuhan magot BSF akan terus
bertambah ketika kebutuhannya terpenuhi dan masa akhir pertumbuhannya
terhenti ketika magot BSF mencapai umur 20 hari. Perbedaan pertumbuhan ini
disebabkan karena jenis pakan yang diberikan berbeda, semakin tinggi kandungan
nutrisi pada media tumbuh maka semakin cepat laju pertumbuhan magot yang
dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Macchiusi dan Baker (1992) kualitas
pakan yang tinggi diberikan kepada magot memastikan kecepatan yang relatif
cepat terhadap pertumbuhan magot. Media tumbuh dengan menggunakan bungkil
kelapa sawit + ampas tahu menghasilkan bobot rata-rata tertinggi pada setiap
umur panennya, sedangkan yang terendah yaitu pada media tumbuh bungkil
kelapa sawit + solid decanter. berdasarkan hasil penelitian ini memperlihatkan
bahwa semakin lama umur panen maka akan semakin bertambahnya bobot magot
yang dihasilkan. Hasil pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan Saragi dan
Bagastyo (2015) yang menyebutkan bahwa magot akan mengalami kenaikan
38

bobot badan dan ukurannya setiap bertambahnya umur dengan disertai


ketersediaan pakan yang baik dan terpenuhi.

Dilihat dari Tabel 10 menunjukkan bahwa kisaran pertambahan bobot


rata-rata magot dalam penelitian ini berkisar antara 0,14 – 0,22 gram/ekor. Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan magot cukup optimal. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian Ediwarman dkk., (2008), yang menyatakan bahwa magot
yang berumur 3 – 4 minggu pemeliharaan menggunakan media PKM (palm
kernel meal) mempunyai bobot rata-rata 0,12 – 0,24 gram/ekor dan panjang
berkisar antara 1,8 – 2,30 cm dengan diameter tubuh berkisar 0,5 – 0,7 cm.
Pertumbuhan magot yang optimal ini diperoleh karena terpenuhinya untur
kebutuhan hidup bagi magot. Pertumbuhan bobot magot ini diiringi pula dengan
peningkatan kadar lemak magot yang dihasilkan. Semakin tinggi bobot maggot
maka kadar lemak yang dihasilkan semakin tinggi. Menurut Firdaus (2009)
meyatakan bahwa pada hari ke 20 terjadinya puncak pertumbuhan magot dan
sebaiknya magot dilakukan pemanenan, karena terdapat kandungan protein dan
lemak yang tinggi dan baik dijadikan pakan alami ikan air tawar.
Ketidaksamaan ukuran panjang dan berat magot pada setiap perlakuan
disebabkan keterbatasan individu dalam persaingan berebut pakan. Magot yang
berukuran kecil kalah bersaing dibandingkan dengan magot berukuran besar.
Selain itu, persaingan dan kanibalisme antar sesama magot juga menyebabkan
ketidaksamaan ukuran dan berat magot (Rachmawati, 2010). Kondisi nutrisi yang
optimum sangat penting untuk mendapatkan nilai produktivitas magot yang tinggi
disertai dengan kualitas biomassa yang baik. Menurut Tomberlin dkk., (2002)
menyatakan bahwa magot Hermetia illucens dapat dikembangbiakkan pada media
yang kaya akan bahan organik. Menurut Arief dkk (2012) menyatakan bahwa
kekurangan energi dapat menghambat perkembangan tubuh magot Hermetia
illucens.
39

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Beradasarkan hasil penelitian dari pengaruh perbedaan media tumbuh dan


umur panen magot (hermetia illucuens) terhadap kadar protein dan lemak sebagai
pakan ikan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa adanya pengaruh media
tumbuh dan umur panen magot terhadap kadar protein dan lemak magot yang
dihasilkan.
2. Media tumbuh yang menghasilkan kadar protein dan kadar lemak tertinggi
yaitu bungkil kelapa sawit + ampas tahu dengan rata-rata kadar protein
sebesar 47,25% dan rata-rata kadar lemak sebesar 35,05%.
3. Umur panen yang paling baik untuk dijadikan pakan ikan yaitu magot yang
belum menjadi prepupa yaitu pada umur 7 – 17 hari karena masih memiliki
tekstur kulit yang kenyal. Umur panen yang menghasilkan kadar protein dan
kadar lemak tertinggi yaitu pada umur panen 21 hari dengan rata-rata kadar
protein sebesar 48,47% dan rata-rata kadar lemak sebesar 34,54%.
4. Hasil pengamatan magot dengan kadar air tertinggi yaitu 11,24%, kadar
protein tertinggi yaitu 48,47%, kadar lemak tertinggi yaitu 35,05%, survival
rate tertinggi yaitu 100%, panjang rata-rata tertinggi yaitu 2,17 cm, dan bobot
rata-rata tertinggi yaitu 0,22 gram.
40

Saran

Penelitian ini selanjutnya diharapkan agar bisa menuruskan penelitian ini


dengan mengembangkan produk pakan ikan dengan bahan baku utama tepung
magot dan dengan komposisi yang berbeda (25%, 50%, 75%, dan 100%), agar
dapat mengetahui komposisi pakan yang terbaik untuk diberikan ke ikan.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian, D. Desember 2015. Habitat Lalat Tentara dan Aplikasi sebagai Pakan.
Diakses dari: http://lalattentara.blogspot.co.id/2015/12/habitat-lalat-
tentara-danaplikasi.html (15 Juni 2016).
Alvarez, L. 2012. The role of black soldier fly, Hermetia illucens (L.) (Diptera:
Stratiomyidae) in sustainable waste management in Northern
Climates. Dissertations. University of Windsor, Windsor.
Arief M., N.A.Ratika, & M.Lamid.2012. Pengaruh Kombinasi Media Bungkil
Kelapa Sawit dan Dedak Padi yang Difermentasi Terhadap Produksi
Magot Black Soldier Fly (Hermetia illucens) Sebagai Sumber
Protein Pakan Ikan. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 3: 17-20.
Batubara, L.P., S.P. Ginting, M. Doloksaribu dan J. Sianipar. 2004. Pengaruh
kombinasi bungkil inti sawit dengan lumpur sawit serta suplementasi
molases terhadap pertumbuhan kambing potong. Prosiding Semmas
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslibangnak Bogor. Hal. 421-
426.
Bosch G, Zhang S, Dennis GABO, Wouter HH. 2014. Protein quality of insects as
potential ingredients for dog and cat foods. J Nutr Sci. 3:1-4.
Darmanto. 2018. Perbandingan Fisik Magot BSF yang dipelihara pada media
Ampas Tahu dan Limbah Buah. Skripsi: Universitas Islam
Lamongan.
De Haas EM, Wagner C, Koelmans AA, Kraak MHS, Admiraal W. 2006. Habitat
Selection by Chironomid Larvae: Fast Growth Requires Fast Food. J
Anim Ecol. 75:148-155.
Dewantoro, Kis. & Efendi, M. (2018). Beternak Magot Black Soldier Fly. Jakarta:
PT Agromedia Pustaka.
Dina, C., Welch, R.P., Zeggini, E., Huth, C., Couper, D.J. and Crawford, G. 2010.
Teknologi Produksi Pakan Alami. Diakses dari :
http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_VII. Accessed 29 october
2010.
41

Diener S, Zurbrügg C & Tockner K. 2009. Conversion of Organic Material by


Black Soldier Fly Larvae: Establishing Optimal Feeding Rates.
Waste Management and Research. 27(6): 603–610.
Diener S. 2010. Valorisation of organic solid waste using the black soldier fly,
Hermetia illucens L., in low and middle-income countries
[Disertasi]. Diambil dari ETH Zurich.
Diener S Solano M uti rre F urbr gg T. 2011. Biological treatment of municipal
organic waste using black soldier fly Magote. Waste Biomass
Valor 2(1): 357-63.
Djunaidi, I. H., Yuwanta, T., Supadmo, dan Nurcahyanto, M. (2009). Performa
dan bobot organ pencernaan ayam broiler yang diberi pakan limbah
udang hasil fermentasi Bacillus sp . Media Peternakan, 32(3), 212–
219.
Dormans B, Diener S, Verstappen, Zurbrugg C. 2017. Black soldier fly biowaste
processing - A step-by-step guide. Dubendorf (CH): Eawag Swiss
Federal Institute of Aquatic Science and Technology.
Duponte, M. W and L. B. Larish. 2003. Tropical Agriculture and Human
Resource. Hawaii.
Ediwarman, Rina Hernawati, Wisnu Adianto, Saurin Hem.2008. Produksi massal
magot menggunakan Palm Kernel Meal (PKM) di Balai Budidaya
Air Tawar Jambi.
Fahmi, M. R. 2015. Optimalisasi proses biokonversi dengan menggunakan mini
larva hermetia illucens untuk memenuhi kebutuhan pakan ikan.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 1: 139-144
Fasakin, E. A., A. M. Balogun and O. O. Ajayi. 2003. Evaluation of full-fat and
defatted magot meals in the feeding of clariid catfish Clarias
gariepinus fingerlings. Aquacult. Res. Vol. 34 (9): 733-738.
Fatmasari, Lisa. 2017. Tingkat Densitas Populasi, Bobot, dan Panjang Magot
(Hermetia Illucens L.) Pada Media yang Berbeda. Skripsi. Lampung.
Universitas Islam Negeri Raden Intan.
Firdaus. 2009. http://budidayanannoclhoropsis.blogspot.com/2009/05/teknik-
budidaya-nannoclhoropsis.html.
Gary. 2009. Black soldier fly larva. Tersedia di: http://www.microponics.net (9
Desember 2016)
Gobbi P, Martínez-Sánchez A, Rojo S. 2013. The effects of larval diet on adult
life-history traits of the Black Soldier Fly, Hermetia illucens
(Diptera: Stratiomyidae). Eur J Entomol. 110:461-468.
Hahn, T., Roth, A., Febel, E., Fijalkowska, M., Schmitt, E., Arsiwalla, T., &
Zibek, S.(2018). New methods for high-accuracy insect chitin
measurement. J. Sci. Food Agric. 98(13), 5069–5073.
42

Hakim, A. R., Prasetya, A. and Petrus, H. T. B. M. (2017) Hermetia illucens


Feeding Rates Study on the Bioconversion of Tuna Processing
Waste using Hermetia illucens Magote.
Hartadi, H. S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman. 1993. Tabel Komposisi Pakan
untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Heince C. et. al. 2016. Pengaruh pemberian tepung ikan dengan tepung magot
(Hermetia illucens) dalam ransu ayam pedaging terhadap kecernaan
kalsium dan fosfor. Jurnal Zootelk, Vol. 36. No. 2. 271-279.
Hem, S. ; Toure, S. ; Sagbla, C. ; Legendre, M., 2008. Bioconversion of palm
kernel meal for aquaculture: experiences from the forest region
(Republic of Guinea). Afr. J. Biotech., 7 (8): 1192-1198
Hernaman, I., R. Hidayat dan Mansyur. 2005. Ampas tahu adalah limbah hasil
pengolahan kedele menjadi tahu. Jurnal Ilmu Ternak. 5.2:94-99.
Indarmawan. 2014. Hewan Avertebrata Sebagai Pakan Ikan Lele. Fakultas
Biologi Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.s
Katayane AF, Wolayan FR, Imbar MR. 2014. Produksi dan Kandungan Protein
Magot (Hermetia illucens) dengan Menggunakan Media Tumbuh
Berbeda. J Zootek, 34:27-36.
K.M, Shakil Rana, et al., 2015. Development of Black Sildier Fly Larvae
Production Technique as an Alternate Fish Feed. International
Journal of Research in Fisheries and Aquaculture. 5;(1).
Li Q, Zheng L, Qiu N, Cai H, Tomberlin JK, Yu Z. 2011. Bioconversion of dairy
manure by Black Soldier Fly (Diptera: Stratiomyidae) for biodiesel
and sugar production. Waste Manag. 31:1316-1320.
Macchiusi, F. & Baker, R.L. (1992) Effects of predators and food availability on
activity and growth of Chironomus tentans (Chironomidae, Diptera).
Freshwater Biology, 28, 207–216.
Makkar HPS, Tran G, Heuze V, Ankreas P. 2014. State of the art on use of insects
as animal feed. Anim Feed Sci Technol. 197:1-33.
Maulana et. al., (2021). Pengaruh Media Tumbuh yang Berbeda terhadap
Kandungan Air, Protein dan Lemak Magot Black Soldier Fly
(Hermetia illucens). Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian,
Universitas Bengkulu
Muchlisin, Z.A., A. Damhoeri, R. Fauziah, Muhammadar, M. Musman. 2003.
Pengaruh beberapa jenis pakan alami terhadap pertumbuhan dan
kelulushidupan larva ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Biologi
3(2): 105-113
Mudjiman. A., 2004. Makanan Ikan. Penerbit Swadaya, Jakarta.
Muhayyat, M. S., Yuliansyah, A. T., & Prasetya, A. (2016). Pengaruh Jenis
Limbah dan Rasio Umpan pada Biokonversi Limbah Domestik
43

Menggunakan Larva Black Soldier Fly (Hermetia illucens). Jurnal


Rekayasa Proses, 10(1), 23–28.
https://doi.org/10.22146/jrekpros.34424
Muktiani, A., J. Achmadi dan B. I. M. Tampubolon. 2007. Fermentabilitas Rumen
Secara In Vitro Terhadap Sampah Sayur Yang Diolah. JPPT.,
32 (1) : 44-50
Murtidjo B. A. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Yogyakarta. PT Kanisius.

Newton GL, Sheppard DC, Thompson SA, Savage SI. 1995. Soldier fly beneits:
House ly control, manure volume reduction and manure nutrient
recycling [Laporan Tahunan]. Diambil dari UGA Animal &
Dairy Science.
Newton L, Sheppard C, Watson DW, Burtle G, Dove R. 2005. Using the black
soldier fly, Hermetia illucens, as a value- added tool for the
management of swine manure. Report for The Animal and Poultr
waste Management Center. North Carolina. North Carolina State
University Raleigh.
Oliver, P.A. 2004. The bio-conversion of putrescent wasted. ESR LLC.
Washington. P. 1-90.
Popa, R. dan Green, T. 2012. DipTerra LCC e-Book ‘Biology and Ecology of the
Black Soldier Fly’. DipTerra LCC.
Putri, Berta D. (2018). „Pemanfaatan Bungkil Inti Sawit Sebagai Media
Pertumbuhan Cacing Sutra (Tubifex Sp.)‟. .Jurnal Rekayasa Dan
teknologi Budidaya Perairan VI(2), 730-738. Available at:
http://dx.doi.org/10.23960/jrtbp.v6i2.p729-738
Rachmawati., D. Buchori., P. Hidayat., S. Hem., M.R. Fahmi. 2010.
Perkembangan dan Kandungan Nutrisi Larva Hermetia illucens
(Linnaeus) (Diptera: Stratiomyidae) pada Bungkil Kelapa Sawit.
Jurnal Entomologi Indonesia, Vol 7 (1): 28-41.
Rachmawati. D & I. Samidjan. 2013. Efetivitas Subsitusi Tepung Ikan dengan
Tepung Magot dalam Pakan Buatan terhadap Pertumbuhan dan
Kelulushidupan Ikan Patin. Journal of Fisheries Science and
Technology, 9 : 1.
Rini FM, H. Saurin dan Wayan S. 2009. Potensi Magot Untuk Peningkatan
Pertumbuhan dan Status Kesehatan Ikan. Loka Riset Budidaya Ikan
Hias Air Tawar, Depok 16436.
Rini. Melta, Fahmi, et. al., 2015. Potensi Magot Sebagai Salah Satu Sumber
Protein Pakan Ikan. Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII.
Rofi, D. Y., Auvaria, S. W., Nengse, S., Oktorina, S., & Yusrianti, Y. (2021).
Modifikasi Pakan Larva Black Soldier Fly (Hermetia illucens)
sebagai Upaya Percepatan Reduksi Sampah Buah dan Sayuran.
44

Jurnal Teknologi Lingkungan, 22(1), 130–137.


https://doi.org/10.29122/jtl.v22i1.4297
Rofi, D. Y. (2020). Teknologi Reduksi Sampah Organik Buah dan Sayur Dengan
Modifikasi Pakan Larva Black Soldier Fly. 1–80.
Rujukan Agribisnis Indonesia pada tanggal 19 desember 2013 ” (On-line),
tersedia di: http://www.bebeja.com/magot-pakan-alami-ikan-protein-
tinggi/ diambil pada tanggal 3 januari 2017.
Saenab, 2010. Evaluasi pemanfaatan limbah sayuran pasar sebagai pakan ternak
ruminansia di DKI Jakarta. Balai Pengkajian Teknologi Jakarta.
Saragi, E.S and Bagastyo, A.Y. 2015. Reduction of Organic Solid Waste By Black
Soldier Fly (Hermetia Illucens) Larvae, The 5th Environmental
Technology and Management Conference “Green Technology
towards Sustainable Environment” November 23-24, 2015,
Bandung, Indonesia.
Schulz, C., Huber, M., Ogunji, J., & Rennert, B.2008. Effects of varying dietary
protein to lipid ratios on growth performance and body composition
of juvenile pike perch (Sander lucioperca). Aquaculture
Nutrition.14: 166–173.
Silmina.D, G. Edriani & M. Putri. 2015. Efektivitas Berbagai Media Budidaya
terhadap Pertumbuhan Magot (Hermetia illucens). Bogor: IPB
Respository, Bogor.
Sinurat, A.P. 2003. Pemanfaatan lumpur sawit untuk bahan pakan unggas.
Wartazoa 13(2): 39-47.
Songbesan O. A., ND. Ajuau, A.A.A. Ugwumba and C.T Madu, 2005 Cost
benefits of magot meal as supplemented feed in the diets of
♀Hererobranchus longifilis x ♂Clarias gariepinus (Pisces
Clariidae) hybrid fingerlings in outdoor concrete tan Joumal of
Industrial and Scientific Research, 3; 51-55
Suciati, R. 2017. Efektifitas media pertumbuhan magots Hermetia illucens (lalat
tentara hitam) sebagai solusi pemanfaatan sampah organik. Biosfer:
Jurnal Biologi Dan Pendidikan Biologi, Vol. 2(1), pp.8-13.
Sudrajat. 2014. Mengelola Sampah Kota, Niaga Swadaya, Jakarta.
Sugianto, D., 2007. Pengaruh tingkat pemberian smagot terhadap pertumbuhan
dan efesiensi pemberian pakan benih ikan gurame (Oshpronemus
gouramy). Skripsi. Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya,
Departemen Budidaya Perairan,Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, InstitutPertanian Bogor.
Suparjo. 2000. Peningkatan potensi serat sawit sebagai sumber pakan ternak
ruminansia. Buletin Peternakan Edisi Tambahan : Fakultas
Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal : 223-236.
45

Supriyatna, A., & Putra, R. E. (2017). Estimasi Pertumbuhan Larva Lalat Black
Soldier (Hermetia illucens) dan Penggunaan Pakan Jerami Padi yang
Difermentasi dengan Jamur P. chrysosporium. Jurnal Biodjati, 2(2),
159. https://doi.org/10.15575/biodjati.v2i2.1569
Superianto, Harahap, dan Ali. 2018. Nilai Nutrisi Silase Limbah Sayur Kol
dengan Penambahan Dedak Padi dan Lama Fermentasi yang
Berbeda. Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 13(2): 172-181.
Susanto, 2002. Pupuk dan Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Tomberlin, J. K., Sheppard, D. C., Joyce, J. A. (2002). Selected life-history traits
of black soldier flies (Diptera: Stratiomyidae) reared on three
artificial diets. Annals of the Entomological Society of America,
95(3), 379–386.
Tomberlin JK, Adler PH, Myers HM. 2009. Development of the black soldier fly
(Diptera: Stratiomyidae) in relation to temperarure Environmental
Entomology 38(3): 930 – 934.
Tran, G. Gnaedinger, C. Melin, C. 2014. Black soldier Fly Larvae (Hermetia
illucens). Feedipedia. Org. Diakses melalui :
http://www.feedipedia.org/node.16388.
United States Departement of Agriculture (USDA). 2007. Nutrient Database for
Standard Reference. RI
Utami. D. A.T., Aida. Y., Pranata.F.S. 2013. Variasi Kombinasi Tepung Labu
Kuning (Cucurbita Moschata D) dan Tepung Azolla (Azolla pinatta
R.br) pada Kecerahan Warna Ikan Koi (Cyprinus carpio L).
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yogyakarta.
Van Huis A. 2013. Potential of insects as food and feed in assuring food security.
Annu Rev Entomol. 58:563-583.
Wardhana, April Hari. 2016. Black Soldier Fly (Hermetia illucens) sebagai
Sumber Protein Alternatif untuk Pakan Ternak. Wartazoa Vol. 26
No. 2 Th. 2016. 9 Juni 2016. Bogor.
Warburton, K. & Hallman, V. 2002. Processing of material by the soldier fly,
Hermetia illucens dalam. Warburton, K., U.P. McGarry, & D.
Ramage. 2002. Integrated Biosystem for Sustainable Development.
RIRDC Publication. Queensland, 197 pp.
Widjaja, F dan B.N. Utomo,. 2005. Pemanfaatan limbah pengolahan minyak
kelapa sawit yang berupa solid untuk pakan ternak (sapi, domba dan
ayam potong). Success Story Pengembangan Teknologi Inovatif
spesifik Lokasi. Badan Litbang Pertanian. Buku I.hlm.173-185.
Yuwono AS, Ra’up AA, Mentari PD, Driantika AV, Buana EG, Rosdiana, Elsa
NS. 2017. Praktik pengelolaan limbah padat dan B3 (Bahan
Berbahaya dan Beracun) di Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi.
Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP.
46

LAMPIRAN
47

Lampiran 1. Dokumentasi Kegiatan Penelitian


No Keterrangan Gambar
1. Penetasan telur
magot

2. Persiapan media
tumbuh

3. Pemeliharaan
48

4. Pemanenan

5. Pengamatan
Survival Rate

6. Pengamatan
panjang magot

7. Pengamatan berat
magot

8. Pengamatan kadar
air magot
49

9. Pengamatan kadar
lemak magot

10. Pengamatan kadar


protein magot

Lampiran 2. Data Hasil Pengamatan


Kandungan Nutrisi Media Tumbuh

Kadar Air Kadar Lemak Kadar Protein

41.08% 13.82% 15.63%

35.89% 11.21% 18.27%

45.38% 17,66% 22.37%

Uji Kadar Air Berat Basah (%) `


Media Tumbuh U1 U2 U3 Rata-rata STD
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-7) 73.63 73.09 74.54 73.75 0.73
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-7) 66.78 65.79 67.28 66.61 0.76
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-7) 76.07 74.99 76.84 75.96 0.93
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-14) 76.33 74.93 76.75 76.00 0.95
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-14) 72.03 73.87 71.95 72.61 1.09
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-14) 80.08 78.44 77.44 78.65 1.33
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-21) 80.18 77.5 78.9 78.86 1.34
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-21) 76.38 73.83 75.58 75.26 1.30
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-21) 84.47 81.57 82.81 82.95 1.46
50

Uji Kadar Air Berat Kering (%)


Media Tumbuh U1 U2 U3 Rata-rata STD
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-7) 6.34 6.80 7.92 7.02 0.81
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-7) 5.39 5.47 6.86 5.91 0.83
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-7) 7.28 7.18 8.21 7.56 0.57
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-14) 9.57 10.40 9.85 9.94 0.42
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-14) 8.42 7.77 8.91 8.36 0.57
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-14) 10.14 11.17 10.53 10.61 0.52
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-21) 11.82 12.80 11.22 11.95 0.80
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-21) 10.71 10.05 10.84 10.53 0.42
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-21) 12.62 13.73 13.37 13.24 0.56

Uji Kadar Protein (%)


Media Tumbuh U1 U2 U3 Rata-rata STD
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-7) 43.15 47.03 44.57 44.92 1.96
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-7) 44.64 46.92 45.65 45.74 1.14
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-7) 48.39 50.15 49.14 49.23 0.89
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-14) 35.74 35.15 33.63 34.84 1.09
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-14) 37.75 37.30 37.11 37.38 0.33
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-14) 40.29 42.35 41.83 41.49 1.07
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-21) 46.11 46.47 48.24 46.94 1.14
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-21) 47.21 47.65 47.44 47.43 0.22
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-21) 51.37 51.39 50.38 51.05 0.57

Uji Kadar Lemak (%)


 Media Tumbuh U1 U2 U3 Rata-rata STD
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-7) 24.84 23.37 22.89 23.70 1.02
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-7) 19.08 20.42 19.57 19.69 0.68
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-7) 32.78 30.63 31.89 31.77 1.08
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-14) 30.11 29.83 31.30 30.41 0.78
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-14) 25.57 27.24 26.78 26.53 0.86
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-14) 35.29 33.83 35.41 34.84 0.88
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-21) 35.02 34.29 35.34 34.88 0.54
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-21) 30.50 29.72 30.39 30.20 0.42
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-21) 39.27 38.07 38.29 38.54 0.64

Uji Survival Rate (%)


  U1 U2 U3 Rata-rata STD
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-7) 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00
51

Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-7) 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-7) 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-14) 99.00 99.00 99.00 99.00 0.00
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-14) 100.00 99.33 99.67 99.67 0.33
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-14) 99.33 99.33 99.00 99.22 0.19
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-21) 97.67 98.33 98.67 98.22 0.51
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-21) 98.67 99.00 97.67 98.44 0.69
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-21) 97.00 98.00 97.33 97.44 0.51

Panjang Rata-rata (cm)


  U1 U2 U3 Rata-rata STD
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-7) 1.54 1.52 1.53 1.53 0.010
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-7) 1.48 1.45 1.49 1.47 0.021
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-7) 1.75 1.73 1.71 1.73 0.020
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-14) 1.8 1.81 1.83 1.81 0.015
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-14) 1.73 1.76 1.75 1.74 0.015
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-14) 2 1.95 1.94 1.96 0.032
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-21) 2.3 2.1 2.2 2.2 0.100
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-21) 2.1 1.9 2 2 0.100
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-21) 2.4 2.2 2.3 2.300 0.100

Bobot Rata-Rata (gram)


  U1 U2 U3 Rata-rata STD
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-7) 0.14 0.13 0.13 0.1333 0.01
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-7) 0.12 0.12 0.11 0.1167 0.01
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-7) 0.17 0.16 0.15 0.1600 0.01
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-14) 0.17 0.16 0.17 0.1667 0.01
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-14) 0.16 0.15 0.16 0.1567 0.01
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-14) 0.2 0.19 0.19 0.1933 0.01
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-21) 0.23 0.21 0.22 0.2200 0.01
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-21) 0.21 0.19 0.2 0.2000 0.01
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-21) 0.25 0.23 0.24 0.2400 0.01

Lampiran 3. Data Hasil Analisi ANOVA


Kadar Air

Between-Subjects Factors
Value Label N
MEDIA_TUMBUH 1.00 L1 9
2.00 L2 10
3.00 L3 8
52

UMUR_PANEN 1.00 W1 9
2.00 W2 9
3.00 W3 9

Descriptive Statistics
Dependent Variable: KADAR_AIR
MEDIA_TUMBUH UMUR_PANEN Mean Std. Deviation N
L1 W1 7.0200 .81265 3
W2 9.9400 .42226 3
W3 11.9467 .79758 3
Total 9.6356 2.22977 9
L2 W1 5.9067 .82658 3
W2 8.8100 1.00210 4
W3 10.5333 .42360 3
Total 8.4560 2.04620 10
L3 W1 7.5567 .56801 3
W2 10.8500 .45255 2
W3 13.2400 .56630 3
Total 10.5113 2.67923 8
Total W1 6.8278 .97356 9
W2 9.6400 1.09132 9
W3 11.9067 1.28787 9
Total 9.4581 2.37700 27

Levene's Test of Equality of Error Variancesa,b


Levene Statistic df1 df2 Sig.
KADAR_AIR Based on Mean .667 8 18 .714
Based on Median .294 8 18 .959
Based on Median and with .294 8 12.790 .955
adjusted df
Based on trimmed mean .637 8 18 .737
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.
a. Dependent variable: KADAR_AIR
b. Design: MEDIA_TUMBUH + UMUR_PANEN + MEDIA_TUMBUH * UMUR_PANEN

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: KADAR_AIR
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
53

Model 2553.052a 9 283.672 556.277 .000


MEDIA_TUMBUH 20.109 2 10.054 19.717 .000
UMUR_PANEN 117.496 2 58.748 115.204 .000
MEDIA_TUMBUH * .916 4 .229 .449 .772
UMUR_PANEN
Error 9.179 18 .510
Total 2562.231 27
a. R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .995)

Post Hoc Tests


MEDIA_TUMBUH
Homogeneous Subsets
KADAR_AIR
Duncan a,b,c

Subset
MEDIA_TUMBUH N 1 2 3
L2 10 8.4560
L1 9 9.6356
L3 8 10.5113
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .510.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.926.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used.
Type I error levels are not guaranteed.
c. Alpha = .05.

UMUR_PANEN
Homogeneous Subsets
KADAR_AIR
Duncana,b
Subset
UMUR_PANEN N 1 2 3
W1 9 6.8278
W2 9 9.6400
W3 9 11.9067
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .510.
54

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.


b. Alpha = .05.

Kadar Lemak

Between-Subjects Factors
Value Label N
MEDIA_TUMBUH 1.00 L1 9
2.00 L2 10
3.00 L3 8
UMUR_PANEN 1.00 W1 9
2.00 W2 9
3.00 W3 9

Descriptive Statistics
Dependent Variable: KADAR_LEMAK
MEDIA_TUMBUH UMUR_PANEN Mean Std. Deviation N
L1 W1 23.7016 1.01682 3
W2 30.4150 .78014 3
W3 34.8838 .53670 3
Total 29.6668 4.92371 9
L2 W1 19.6906 .68172 3
W2 28.7171 4.43644 4
W3 30.2002 .42042 3
Total 26.4541 5.37637 10
L3 W1 31.7652 1.07982 3
W2 34.6183 1.12052 2
W3 38.5423 .63991 3
Total 35.0199 3.24542 8
Total W1 25.0525 5.38791 9
W2 30.5944 3.67586 9
W3 34.5421 3.65137 9
Total 30.0630 5.73800 27

Levene's Test of Equality of Error Variancesa,b


Levene Statistic df1 df2 Sig.
KADAR_LEMAK Based on Mean 3.330 8 18 .016
55

Based on Median .685 8 18 .700


Based on Median and with .685 8 3.576 .701
adjusted df
Based on trimmed mean 2.698 8 18 .038
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.
a. Dependent variable: KADAR_LEMAK
b. Design: MEDIA_TUMBUH + UMUR_PANEN + MEDIA_TUMBUH * UMUR_PANEN

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: KADAR_LEMAK
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Model 25189.618a 9 2798.846 734.426 .000
MEDIA_TUMBUH 333.394 2 166.697 43.742 .000
UMUR_PANEN 417.236 2 208.618 54.742 .000
MEDIA_TUMBUH * 35.323 4 8.831 2.317 .097
UMUR_PANEN
Error 68.597 18 3.811
Total 25258.214 27
a. R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .996)

Post Hoc Tests


MEDIA_TUMBUH
Homogeneous Subsets
KADAR_LEMAK
Duncan a,b,c

Subset
MEDIA_TUMBUH N 1 2 3
L2 10 26.4541
L1 9 29.6668
L3 8 35.0199
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 3.811.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.926.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used.
Type I error levels are not guaranteed.
56

c. Alpha = .05.

UMUR_PANEN
Homogeneous Subsets
KADAR_LEMAK
Duncana,b
Subset
UMUR_PANEN N 1 2 3
W1 9 25.0525
W2 9 30.5944
W3 9 34.5421
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 3.811.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.

Kadar Protein

Between-Subjects Factors
Value Label N
Media_Tumbuh 1.00 L1 9
2.00 L2 9
3.00 L3 9
Umur_Panen 1.00 W1 9
2.00 W2 9
3.00 W3 9

Descriptive Statistics
Dependent Variable: Kadar_Protein
Media_Tumbuh Umur_Panen Mean Std. Deviation N
L1 W1 44.9167 1.96309 3
W2 34.8400 1.08862 3
W3 46.9400 1.14013 3
Total 42.2322 5.75240 9
L2 W1 45.7367 1.14247 3
W2 37.3867 .32868 3
W3 48.1000 1.18114 3
Total 43.7411 4.94596 9
57

L3 W1 49.2267 .88319 3
W2 41.4900 1.07126 3
W3 51.0467 .57744 3
Total 47.2544 4.45842 9
Total W1 46.6267 2.32666 9
W2 37.9056 3.00888 9
W3 48.6956 2.02947 9
Total 44.4093 5.33122 27

Levene's Test of Equality of Error Variancesa,b


Levene Statistic df1 df2 Sig.
Kadar_Protein Based on Mean 1.246 8 18 .330
Based on Median .444 8 18 .879
Based on Median and with .444 8 12.516 .873
adjusted df
Based on trimmed mean 1.173 8 18 .367
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.
a. Dependent variable: Kadar_Protein
b. Design: Media_Tumbuh + Umur_Panen + Media_Tumbuh * Umur_Panen

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: Kadar_Protein
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Model 53965.076 a
9 5996.120 4730.390 .000
Media_Tumbuh 119.529 2 59.764 47.149 .000
Umur_Panen 590.287 2 295.143 232.841 .000
Media_Tumbuh * Umur_Panen 6.338 4 1.585 1.250 .326
Error 22.816 18 1.268
Total 53987.892 27
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)

Post Hoc Tests


Media_Tumbuh
Homogeneous Subsets
Kadar_Protein
Duncana,b
Subset
Media_Tumbuh N 1 2 3
L1 9 42.2322
58

L2 9 43.7411
L3 9 47.2544
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1.268.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.

Umur_Panen
Homogeneous Subsets
Kadar_Protein
Duncana,b
Subset
Umur_Panen N 1 2 3
W2 9 37.9056
W1 9 46.6267
W3 9 48.6956
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1.268.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.

Survival Rate

Between-Subjects Factors
Value Label N
MEDIA_TUMBUH 1.00 L1 9
2.00 L2 10
3.00 L3 8
UMUR_PANEN 1.00 W1 9
2.00 W2 9
3.00 W3 9

Descriptive Statistics
Dependent Variable: SURVIVAL_RATE
MEDIA_TUMBUH UMUR_PANEN Mean Std. Deviation N
L1 W1 100.0000 .00000 3
59

W2 99.0000 .00000 3
W3 98.2233 .50846 3
Total 99.0744 .81216 9
L2 W1 100.0000 .00000 3
W2 99.5825 .32118 4
W3 98.4467 .69256 3
Total 99.3670 .75994 10
L3 W1 100.0000 .00000 3
W2 99.1650 .23335 2
W3 97.4433 .50954 3
Total 98.8325 1.23481 8
Total W1 100.0000 .00000 9
W2 99.2956 .35168 9
W3 98.0378 .67644 9
Total 99.1111 .92893 27

Levene's Test of Equality of Error Variancesa,b


Levene Statistic df1 df2 Sig.
SURVIVAL_RATE Based on Mean 5.126 8 18 .002
Based on Median 1.635 8 18 .184
Based on Median and with 1.635 8 5.853 .286
adjusted df
Based on trimmed mean 4.801 8 18 .003
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.
a. Dependent variable: SURVIVAL_RATE
b. Design: MEDIA_TUMBUH + UMUR_PANEN + MEDIA_TUMBUH * UMUR_PANEN

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: SURVIVAL_RATE
Type III Sum of
Source Squares Df Mean Square F Sig.
Model 265241.409 a
9 29471.268 224826.107 .000
MEDIA_TUMBUH .991 2 .495 3.778 .043
UMUR_PANEN 17.628 2 8.814 67.238 .000
MEDIA_TUMBUH * 1.174 4 .293 2.239 .105
UMUR_PANEN
Error 2.360 18 .131
Total 265243.769 27
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
60

Post Hoc Tests


MEDIA_TUMBUH
Homogeneous Subsets
SURVIVAL_RATE
Duncan a,b,c

Subset
MEDIA_TUMBUH N 1 2
L3 8 98.8325
L1 9 99.0744 99.0744
L2 10 99.3670
Sig. .175 .105
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .131.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.926.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group
sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
c. Alpha = .05.

UMUR_PANEN
Homogeneous Subsets
SURVIVAL_RATE
Duncan a,b

Subset
UMUR_PANEN N 1 2 3
W3 9 98.0378
W2 9 99.2956
W1 9 100.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .131.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.

Panjang Rata-Rata

Between-Subjects Factors
Value Label N
Media_Tumbuh 1.00 L1 9
61

2.00 L2 9
3.00 L3 9
Umur_Panen 1.00 W1 9
2.00 W2 9
3.00 W3 9

Descriptive Statistics
Dependent Variable: Panjang_Rata_Rata
Media_Tumbuh Umur_Panen Mean Std. Deviation N
L1 W1 1.5300 .01000 3
W2 1.8133 .01528 3
W3 2.2000 .10000 3
Total 1.8478 .29567 9
L2 W1 1.4733 .02082 3
W2 1.7467 .01528 3
W3 2.0000 .10000 3
Total 1.7400 .23388 9
L3 W1 1.7300 .02000 3
W2 1.9633 .03215 3
W3 2.3000 .10000 3
Total 1.9978 .25386 9
Total W1 1.5778 .11777 9
W2 1.8411 .09804 9
W3 2.1667 .15811 9
Total 1.8619 .27416 27

Levene's Test of Equality of Error Variancesa,b


Levene Statistic df1 df2 Sig.
Panjang_Rata_Rata Based on Mean 1.867 8 18 .129
Based on Median 1.802 8 18 .143
Based on Median and with 1.802 8 7.530 .218
adjusted df
Based on trimmed mean 1.866 8 18 .130
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.
a. Dependent variable: Panjang_Rata_Rata
b. Design: Media_Tumbuh + Umur_Panen + Media_Tumbuh * Umur_Panen

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: Panjang_Rata_Rata
62

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.
Model 95.485a 9 10.609 2944.028 .000
Media_Tumbuh .302 2 .151 41.859 .000
Umur_Panen 1.566 2 .783 217.327 .000
Media_Tumbuh * Umur_Panen .021 4 .005 1.476 .251
Error .065 18 .004
Total 95.550 27
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .999)

Post Hoc Tests


Media_Tumbuh
Homogeneous Subsets
Panjang_Rata_Rata
Duncan a,b

Subset
Media_Tumbuh N 1 2 3
L2 9 1.7400
L1 9 1.8478
L3 9 1.9978
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .004.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.

Umur_Panen
Homogeneous Subsets
Panjang_Rata_Rata
Duncana,b
Subset
Umur_Panen N 1 2 3
W1 9 1.5778
W2 9 1.8411
W3 9 2.1667
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .004.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
63

b. Alpha = .05.

Berat Rata-rata

Between-Subjects Factors
Value Label N
Media_Tumbuh 1.00 L1 9
2.00 L2 9
3.00 L3 9
Umur_Panen 1.00 W1 9
2.00 W2 9
3.00 W3 9

Descriptive Statistics
Dependent Variable: Berat_Rata_Rata
Media_Tumbuh Umur_Panen Mean Std. Deviation N
L1 W1 .1333 .00577 3
W2 .1667 .00577 3
W3 .2200 .01000 3
Total .1733 .03841 9
L2 W1 .1167 .00577 3
W2 .1567 .00577 3
W3 .2000 .01000 3
Total .1578 .03667 9
L3 W1 .1600 .01000 3
W2 .1933 .00577 3
W3 .2400 .01000 3
Total .1978 .03563 9
Total W1 .1367 .02000 9
W2 .1722 .01716 9
W3 .2200 .01936 9
Total .1763 .03924 27

Levene's Test of Equality of Error Variancesa,b


Levene Statistic df1 df2 Sig.
Berat_Rata_Rata Based on Mean .244 8 18 .976
Based on Median .278 8 18 .965
Based on Median and with .278 8 18.000 .965
adjusted df
Based on trimmed mean .250 8 18 .974
64

Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.
a. Dependent variable: Berat_Rata_Rata
b. Design: Media_Tumbuh + Umur_Panen + Media_Tumbuh * Umur_Panen

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: Berat_Rata_Rata
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Model .878 a
9 .098 1549.529 .000
Media_Tumbuh .007 2 .004 58.118 .000
Umur_Panen .031 2 .016 249.941 .000
Media_Tumbuh * Umur_Panen .000 4 2.593E-5 .412 .798
Error .001 18 6.296E-5
Total .879 27
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)

Post Hoc Tests


Media_Tumbuh
Homogeneous Subsets
Berat_Rata_Rata
Duncan a,b

Subset
Media_Tumbuh N 1 2 3
L2 9 .1578
L1 9 .1733
L3 9 .1978
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 6.296E-5.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.

Umur_Panen
Homogeneous Subsets
Berat_Rata_Rata
Duncan a,b

Umur_Panen N Subset
65

1 2 3
W1 9 .1367
W2 9 .1722
W3 9 .2200
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 6.296E-5.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.

Anda mungkin juga menyukai