19 Januari 2023
4
RINGKASAN
Kata kunci : Limbah organik, magot, media tumbuh, umur panen, protein dan
lemak, pakan ikan
6
RIWAYAT HIDUP
Arvy Irkhas Maulana lahir di Tanah Laut pada tanggal 21 Juni 2000.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan bapak
Sulasman dan Ibu Mursilah. Penulis menempuh pendidikan bukan bukan karena
ekonomi yang tinggi, tetapi karena kemauan yang kuat agar bisa membahagiakan
orang tua.
Riwayat pendidikan dari penulis menyelesaikan sekolah dasar di SDN
Pabahanan pada tahun 2012, kemudian melanjutkan ke SMPN 3 Pelaihari dan
lulus pada tahun 2015, setelah itu melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan di
SMKN 2 Pelaihari dengan mengambil jurusan Teknik Kendaraan Ringan dan
lulus pada tahun 2018, kemudian pada tahun 2018 masuk di Fakultas Pertanian,
Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat melalui
jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan tercatat sebagai
Mahasiswa Strata (S1).
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjabat sebagai Koordinator
Departemen Minat dan Bakat di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri
Pertanian (HIMATEKIN) pada tahun 2021 – 2022. Pada semester 7 penulis
pernah melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di PT. Perkebunan
Nusantara XIII, Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi
Kalimantan Selatan.
Penulis melaksanakan penelitian pada tahun 2022 dengan judul “Pengaruh
Perbedaan Media Tumbuh dan Umur Panen Magot (Hermetia illucuens) Terhadap
Kadar Protein dan Lemak Sebagai Pakan Ikan” dibawah bimbingan Dr. Ir.
Tanwirul Millati, MP selaku pembimbing ketua dan Prof. Agung Nugroho, STP,
M.Sc, Ph.D selaku pembimbing anggota.
7
KATA PENGANTAR
Febriani Purba, dan Ibu Novianti Adi Rohmanna S.T.P., M.T) atas segala
ilmu yang sudah diberikan.
5. Dr. Ir. Bambang Joko Priatmadi, M.P. selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lambung Mangkurat.
6. Teman - teman satu bimbingan dan seperjuangan yang membantu,
memberikan dukungan dalam penyelesaian penelitian penulis, Hairudinsyah,
Nor Irfansyah, Sandi Setiyawan, Binti Sa’adah dan Nurul Mustakim Silalahi.
7. Kepada teman-teman Basecamp yang selalu memberikan dukungan dan
semangat kepada penulis, Achmad Dhan Mauli, Muhammad Aldi Sofyan,
Bintang Saputra, Hairudinsyah, M. Herman, dan Sutarinda Almajid.
8. Seluruh keluarga besar Teknologi Industri Pertanian 18
9. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari atas keterbatasan penulis sebagai manusia sehingga
dalam penyusunan laporan ini masih banyak kesalahan dan kekurangan yang jauh
dari kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kebaikan penulis kedepannya. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh kalangan agar dapat membuka
wawasan dan pengetahuan kita semua.
Banjarbaru, Januari
2023
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
DAFTAR TABEL..................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................v
PENDAHULUAN...................................................................................................1
Latar Belakang.....................................................................................................1
Rumusan Masalah................................................................................................3
Tujuan...................................................................................................................3
Manfaat.................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................4
Limbah..................................................................................................................4
Magot....................................................................................................................5
Media Tumbuh.....................................................................................................7
Umur Panen..........................................................................................................9
Pakan Ikan..........................................................................................................10
METODOLOGI PENELITIAN.............................................................................12
Waktu dan Tempat Penelitian............................................................................12
Alat dan Bahan...................................................................................................12
Rancangan Penelitian.........................................................................................12
Tahap Pelaksanaan Penelitian............................................................................13
Pengamatan........................................................................................................16
Analisis Data......................................................................................................19
HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................................21
Karakteristik Media Tumbuh.............................................................................21
Kadar Air Magot................................................................................................22
Kadar Protein Magot..........................................................................................24
Kadar Lemak Magot...........................................................................................27
Survival Rate Magot...........................................................................................30
Panjang Dan Bobot Rata-Rata Magot................................................................33
Panjang Rata-Rata Magot...............................................................................33
Bobot Rata-Rata magot...................................................................................35
KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................................39
ii
Kesimpulan.........................................................................................................39
Saran...................................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................40
LAMPIRAN...........................................................................................................46
iii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Magot
Gambar 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian
v
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
Limbah
tahun 2007 mencapai 17 juta ton CPO serta 1,9 juta ton PKO (Santosa 2008).
Dengan begitu, melimpahnya PKM (Palm Kernel Meal)/bungkil kelapa sawit
menjadi potensi lokal dalam pengembangan sumber protein alternatif magot. Hem
et al. (2008) telah membudidayakan magot di Republik Guinea sebagai pakan
ikan nila (-). Media pertumbuhan Magot yang dipakai ialah satu dari limbah lokal
dari pengolahan minyak kelapa sawit, yakni bungkil kelapa sawit.
Bungkil kelapa sawit merupakan hasil samping dari pengolahan kelapa
sawit yang proporsinya paling banyak dihasilkan 12% dari tandan buah segar
(Suparjo, 2000). Menurut Hartadi et al. (1993), bungkil kelapa sawit dalam bahan
keringnya mengandung protein kasar (PK) 16,8%, lemak kasar (LK) 11,9%, serat
kasar (SK) 22,6%, abu 4,07%, BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen) 44,63%, dan
TDN (total digestible nutrient) 78%. Bungkil kelapa sawit merupakan sumber
protein yang mudah terdegradasi di dalam rumen, protein pakan yang masuk ke
dalam rumen akan didegradasi oleh mikroba rumen menjadi asam amino
kemudian deaminasi menjadi NH3 dan asam α keto.
Selain bungkil kelapa sawit adapun hasil limbah dari pengolahan minyak
kelapa sawit yakni lumpur kelapa sawit. Lumpur sawit merupakan salah satu
limbah yang dihasilkan dari proses pemerasan buah sawit untuk menghasilkan
minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO). Sistem decanter pada proses
pengolahan CPO akan menghasilkan lumpur sawit yang agak padat dikenal
dengan istilah solid decanter, meskipun masih mengandung air tinggi sekitar 70-
80% (Sinurat, 2003). Dilihat dari segi kualitas nutrisi, solid decanter mempunyai
kandungan gizi yang cukup baik. Menurut Batubara et al, (2004) kandungan
protein kasar berkisar 11% dan DE 3,0 Mcal/kg. Kadar air yang tinggi pada
lumpur sawit akan menuntut teknologi pengelolaan yang tepat agar limbah ini
dapat diawetkan.
Limbah ampas tahu juga sangat bagus digunakan sebagai media tumbuh
magot. Kandungan protein yang cukup besar yaitu sebesar 23,39% dapat
memenuhi kebutuhan nutris magot. Menurut (Dermanto, 2018) berpendapat
bahwa budidaya magot yang menggunakan media ampas tahu magot yang
dihasilkan memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu sebesar 48,03%.
6
Magot
Magot merupakan organisme yang berasal dari telur black soldier fly yang
mengalami metamorphosis pada fase kedua setelah fase telur dan sebelum fase
pupa yang kemudian berubah menjadi lalat dewasa (Rujukan Agribisnis
Indonesia, 2013). Klarifikasi magot sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Family : Stratiomydae
Subfamily : Hermetiinae
Genus : Hermetia
Species : Hermetia illucens
Gambar 1. Magot
Magot memiliki tingkat pertumbuhan tinggi dan dikonversi pakan yang
optimal serta dapat memanfaatkan dengan baik berbagai jenis material sebagai
sumber makanan termasuk bahan organik yang dianggap sudah tidak berguna
seperti limbah rumah tangga pada umumnya, limbah dapur, limbah sayuran,
limbah buah-buahan, limbah agroindustri, dan limbah peternakan. Larva BSF
dapat mengkonsumsi makanan dengan cepat mulai dari 125 mg bagan segar per
larva dalam satu hari dan dapat mencapai ukuran panjang ±27 mm, lebar sekitar 6
mm dan berat sampai 220 mg diakhir fase larva (±14 hari) (Newton et al., 2005).
Magot memiliki beberapa karakter diantaranya :
1. Dapat mereduksi sampah organik.
2. Dapat hidup dalam toleransi pH yang cukup tinggi.
3. Tidak membawa gen penyakit.
7
Magot merupakan salah satu larva lalat yang memiliki kandungan protein
hewani tinggi. Magot dapat dikembangkan sebagai pakan, kandungan protein
magot cukup tinggi, yaitu 40-50% dengan kandungan lemak berkisar 29-32%
(Bosch et al. 2014). Kandungan protein yang tinggi sangat potensial sebagai
pakan tambahan black soldier fly atau untuk perbesaran ikan. Magot juga
memiliki kandungan antijamur dan antimikroba sehingga apabila dikonsumsi ikan
akan tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan jamur
(Indarmawan 2014). Organ penyimpanan pada magot yang disebut trophochytes
berfungsi menyimpan kandungan nutrient yang terdapat pada media kultur yang
dimakannya. Penggunaan insekta sebagai sumber protein telah banyak diteliti.
Menurut Van Huis (2013), protein yang bersumber pada serangga lebih ekonomis,
bersifat ramah lingkungan dan mempunyai peran penting secara alamiah. Insekta
memiliki nilai konversi pakan yang tinggi dan dapat diproduksi secara massal.
Budi daya insekta juga dapat mengurangi limbah organik yang berpotensi
mencemari lingkungan (Li et al. 2011). Berikut ini merupakan komposisi kimia
tubuh magot.
Tabel 1. Komposisi Kimia Tubuh Magot
Kadar %
Kandungan kimia
Larva Prepupa Pupa
Protein 17,3 36,0-48,0 42,1
Lemak 9,4 28,0-35,0 34,8
Kalsium 0,8 5,0 5,0
Fosfor 0,5 0,9-1,5 1,5
Abu 15,0 14,6-16,6 14,6
Nilai Kalori 0,0 3,5-5,9 0,0
Sumber : Popa & Green 2012
Media Tumbuh
Magot dewasa tidak makan, namun hanya memerlukan air karena nutrien hanya
dibutuhkan untuk bereproduksi pada fase magot (Tomberlin, 2009).
Media tumbuh magot sangat penting untuk kualitas magot yang
dihasilkan. Media tumbuh yang berbeda akan menghasilkan magot dengan
kandungan nutrisi yang berbeda (Oliver, 2004). Kualitas dan kuantitas media
perkembangan larva lalat sangat mempengaruhi kandungan nutrien tubuh serta
keberlangsungan hidup larva pada tahap metamorfosis selanjutnya (Gobbi et al.
2013 dan Makkar et al., 2014).
Nilai asam amino, asam lemak, dan mineral yang terkandung di dalam
larva juga tidak kalah dengan sumber-sumber protein lainnya, sahingga larva BSF
merupakan bahan baku ideal yang dapat digunakan sebagai pakan ternak
(Wardana, 2016). Magot BSF dapat dijadikan sebagai salah satu bahan baku
alternatif dalam pakan buatan karena dapat diproduksi secara budidaya dengan
memanfaatkan limbah produk pertanian seperti ampas tahu, limbah sayuran, dan
bungkil kelapa sawit sebagai sumber nutirisi magot (Fasakin et al. 2003).
Menurut penelitian Darmanto (2018), media magot yang dari ampas tahu
lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan menggunakan media yang
menggunakan limbah sayuran. Hal ini disebabkan karena ampas tahu memiliki
kandungan nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan limbah sayuran. Jadi semakin
bagus kandungan nutrisi media pakan magot akan mempercepat laju pertumbuhan
magot.
Terdapat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan budidaya
magot. Hal yang berpengaruh terhadap produksi magot pada media yang
disiapkan yakni kondisi media tumbuh magot serta kandungan nutrisi bahan.
Ditinjau dari kondisi lingkungan, magot suka dengan keadaan lingkungan yang
lembab. Demikian pula dengan kandungan nutrisi pada media tumbuh magot.
Kandungan nutrisi yang optimal amat penting untuk pertumbuhan magot,
Duponte (2003) menyatakan bahwa bahan yang pas untuk pertumbuhan magot
ialah bahan yang kaya akan kandungan bahan organik.
Kandungan nutrisi yang optimal sangat penting dalam pertumbuhan
magot, bahan yang pas untuk pertumbuhan magot ialah bahan yang kaya akan
kandungan bahan organik (Duponte, 2003). Magot akan mengkonversi protein
serta beragam nutrisi menjadi biomassa magot. Magot ini akan mereduksi nutrisi
yang ada pada media sebanyak 50 - 70% (Gary, 2009).
9
Umur Panen
Panen magot dapat dilakukan mulai dari usia 10 – 21 hari. Magot pada
umur 15 hari mempunyai kandungan protein yang paling tinggi. Menurut Fahmi
(2015) menyatakan bahwa magot kandungan proteinnyanya hingga 45% dan
kandungan lemaknya hingga 28% pada umur 15 hari. Menurut Bagastyo (2015)
menyatakan bahwa magot akan mengalami kenaikan bobot badan dan ukurannya
setiap bertambahnya umur dengan disertai ketersediaan pakan yang baik dan
terpenuhi.
Ditinjau dari umur, larva memiliki presentase komponen nutrisi yang
berbeda. Kadar bahan kering magot cenderung berkolerasi positif dengan
meningkatnya umur, yaitu 26,61% pada umur lima hari menjadi 39,37% pada
umur 20 hari. Hal yang sama juga terjadi pada komponen lemak kasar, yaitu
sebesar 13,37% pada umur lima hari dan meningkat menjadi 27,50% pada umur
20 hari. Kondisi ini berbeda dengan komponen protein kasar yang cenderung
turun pada umur lebih tua (Wardhana, 2016).
Tidak hanya media yang mempengaruhi kandungan nutrisi magot, namun
umur magot juga dapat mempengaruhi kandungan nutrisi pada magot. Menurut
Rachmawati et al. (2010) menyatakan bahwa umur juga sangat mempengaruhi
kandungan nutrisi, semakin muda usia pemanenan magot semakin tinggi protein
yang akan didapat. Pertumbuhan magot akan terus bertambah ketika
kebutuhannya terpenuhi dan masa akhir pertumbuhannya terhenti ketika magot
mencapai umur 20 hari (Rini, dkk., 2009). Pada umur 20 hari panjangnya
mencapai 20 mm. Pada fase ini magot telah dapat diberikan pada ikan sebagai
10
pakan. Ukuran maksimum magot mencapai 2,5 cm dan setelah mencapai ukuran
tersebut magot akan menyimpan makanan dalam tubuhnya sebagai cadangan
untuk persiapan proses metamorfosa menjadi pupa (Warburton & Hallman, 2002).
Diameter magot berubah-ubah setiap fasenya, hal ini berkaitan erat
dengan bertambahnya panjang magot, artinya panjang magot bertambah, secara
otomatis diameter magot itu sendiri bertambah. Hal ini juga disebutkan oleh
Katayane et al (2014) bahwa perubahan-perubahan fisik magot ini berkaitan
antara satu sama lain, baik dari ukuran (panjang dan diameter) ataupun warna dari
magot itu sendiri.
Pakan Ikan
Magot banyak dipakai untuk pakan pada ikan air tawar seperti ikan patin,
ikan toman, serta ikan lele. Magot yang diberikan bisa berwujud bisa berwujud
magot segar ataupun magot yang sudah dihancurkan. Kelebihan magot sebagai
pakan ikan beberapa diantaranya yakni tidak sulit dalam pembudidayaannya sebab
magot dapat memanfaatkan bahan organik (limbah), pembudidayaannya bisa
dilakukan secara massal, memiliki kandungan antimikroba, antijamur, serta tidak
mengandung penyakit (Duponte, 2003). Tabel 2 di bawah ini tersaji kandungan
pakan ikan yang standar dan berkualitas mengacu pada SNI.
Tabel 2. Kandungan Nutrisi Pada Pakan Ikan Menurut SNI
Persyaratan Mutu
Jenis Uji Satuan Benih Pembesaran Induk
Air, maks % 12 12 12
Abu, maks % 13 13 13
Protein, min % 30 28 30
Lemak, min % 5 5 7
Serat Kasar, maks % 6 8 8
Sumber : SNI Pakan Ikan (SNI 01-4087-2006)
METODOLOGI PENELITIAN
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari ember kecil,
sendok, saringan, labu kjeldahl, alat destilasi, desikator, buret, timbangan analitik,
erlenmeyer, beaker glass, keras saring, labu ukur, gelas ukur, pipet tetes, tabung
reaksi, corong, oven, soxhlet, kondensor, penjepit labu, labu didih, kertas saring,
cawan penguap, dan rotary evaporator.
Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari limbah
sayur kol, ampas tahu, bungkil kelapa sawit, solid decanter, aquades, asam sulfat
pekat, natrium hidroksida, selenium, cupri sulfat, etanol, indikator metil merah,
natrium sulfat, indikator pp, asam klorida, asam nitrat pekat, natrium tetra borat,
katalisator selenium, dan larutan n-heksan.
Rancangan Penelitian
Perlakuan kedua adalah berdasarkan umur panen magot terdari dari tiga macam
perlakuan :
w1 : 7 hari
w2 : 14 hari
w3 : 21 hari
Tabel 3. Rancangan Percobaan Penelitian
Ulangan 1
Umur Panen
Media Tumbuh
w1 w2 w3
l1 l1w1 l1w2 l1w3
l2 l2w1 l2w2 l2w3
l3 l3w1 l3w2 l3w3
Umur Panen
Media Tumbuh
w1 w2 w3
l1 l1w1 l1w2 l1w3
l2 l2w1 l2w2 l2w3
l3 l3w1 l3w2 l3w3
Ulangan 2
Ulangan 3
Umur Panen
Media Tumbuh
w1 w2 w3
l1 l1w1 l1w2 l1w3
l2 l2w1 l2w2 l2w3
l3 l3w1 l3w2 l3w3
Tahapan Penelitian
Umur Panen :
Pemeliharaan
7 hari
14 hari
21 hari
Pemanenan
Pengamatan :
Kadar air
Kadar protein
Kadar lemak
Pengukuran panjang dan berat rata-rata magot
Survival rate
Analisis Data :
Uji Normalitas
Uji Homogenitas
Analysis of Varian (ANOVA)
Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT)
Hasil
yang akan dilakuan. Selanjutnya bagian atas dari ember tersebut ditutup dan
deberi lubang.
b. Penetasan telur
Media tetas yang digunakan berupa dedak sebanyak 1 kg yang
ditambahkan sedikit air menggunakan semprotan air, selanjutnya telur lalat tentara
hitam diletakkan diatasnya. Telur lalat tentara hitam yang akan ditetaskan yaitu
sebanyak 2 g. Telur lalat tentara hitam akan menetas pada media penetasan selama
4 hari, setelah itu dipindahkan pada media tumbuh.
c. Persiapan media tumbuh
Media tumbuh yang digunakan pada penelitian ini yaitu limbah sayur kol,
ampas tahu, solid decanter, dan bungkil kelapa sawit. Media tumbuh tersebut
didapatkan dari limbah pasar dan limbah agroindustri. Limbah sayur kol
dilakukan pencacahan terlebih dahulu agar mudah tercerna oleh magot. Media
tumbuh yang digunakan terdiri dari 3 jenis yaitu bungki kelapa sawit + limbah
sayur kol, bungkil kelapa sawit + solid decanter, dan bungkil kelapa sawit +
ampas tahu. Untuk magot dengan umur panen 10 hari deberikan limbah sebanyak
375 g, magot dengan umur panen 15 hari deberikan limbah sebanyak 562,5 gr,
dan magot dengan umur panen 20 hari debrikan limbah sebanyak 750 gr dengan
perbandingan pemberian limbah pada masing-masing media tumbuh yaitu 1:1.
Media tumbuh tersebut kemudian dihomogenkan secara manual dan dibagi ke
dalam 27 ember kecil yang disesuaikan dengan banyaknya perlakuan dan ulangan.
Tiap ember berisi 1,5 kg yang telah dicampurkan sesuai dengan perbandingan.
Setelah didapatkan media tumbuh tersebut kemudian dianalisis kadar air, kadar
protein, dan kadar lemak.
d. Pimindahan magot ke dalam media tumbuh
Magot yang sudah ditetaskan selama 4 hari dilakukan pemindahan ke
setiap media tumbuh yang digunakan. Pemindahan dilakukan dengan cara
memindahkan magot ke dalam ember yang sudah berisi media tumbuh dengan
bantuan alat penjepit. Setiap ember akan diberikan magot sebanyak banyak 300
ekor, selanjutnya dilakukan pemeliharaan sampai umur panen yang telah
ditentukan.
e. Pemeliharaan
16
Pengamatan
Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah kadar air, protein dan
lemak pada media tumbuh dan magot, penukuran panjang dan berat rata-rata
moggot, dan Survival rate yang dihasilkan pada masing-masing percobaan.
a. Penentuan kadar air, kadar protein, dan kadar lemak pada magot.
Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur kandungan kadar protein,
kadar lemak, dan kadar air pada masing-masing magot yang telah dipanen dengan
media tumbuh dan umur panen yang berbeda. Untuk menentukan kadar protein
menggunakan metode Kjeldahl, untuk menentukan kadar lemak menggunakan
metode Soxhlet dan kadar air menggunakan metode pengeringan.
Kadar Air
Pengujian dilakukan pada magot yang telah dipanen dengan media
tumbuh dan umur panen yang berbeda. Prinsip analisa kadar air adalah proses
penguapan air dari dari suatu bahan dengan cara pemanasan. Penentuan kadar air
didasarkan pada perbedaan berat sampel sebelum dan sesudah dikeringkan.
Prosedur penetuan kadar air adalah sebagai berikut, erlenmeyer yang akan
17
Ketererangan :
b = Berat Sampel (g).
b1 = Berat (sampel + cawan) Sebelum Dikeringkan (g).
b2 = Berat (sampel + cawan) Sesudah Dikeringkan (g).
Kadar Protein
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl dengan
melalui tiga tahapan yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengujian dilakukan
pada saat umur magot 7 hari, 14 hari, dan 21 hari. Siapkan magot dan media
tumbuh yang ingin digunakan, lalu dihaluskan menggunakan blender. Ditimbang
1 g sampel yang telah diblender. Masukkan ke dalam labu Kjehdahl 100 mL,
kemudian pipet 10 mL asam sulfat pekat masukkan kedalam labu Kjehdahl.
Tambahkan katalisator (campuran selenium) untuk mempercepat destruksi dan
diamkan 10 menit dalam ruang asam. Destruksi pada suhu 410ºC selama ± 2 jam
atau sampai larutan jernih. Destruksi dapat dihentikan pada saat didapatkan
larutan berwarna jernih kehijauan. Hasil destruksi yang didapatkan kemudian
didinginkan, setelah itu diencerkan dengan aquadest sampai 20 ml. Setelah
homogen dan dingin dipipet sebanyak 5 ml, masukkan ke dalam labu destilasi.
Tambahkan 10 ml larutan natrium hidroksida 30% melalui dinding dalam labu
destilasi hingga terbentuk lapisan dibawah larutan asam. Labu destilat dipasang
dan dihubungkan dengan kondensor, lalu ujung kondensor dibenamkan dalam
cairan penampung. Uap dari cairan yang mendidih akan mengalir melalui
kondensor menuju erlemeyer penampung. Erlenmeyer penampung diisi dengan 10
ml larutan asam klorida 0,1 N yang telah ditetesi indikator metil merah. Cek hasil
destilasi dengan kertas lakmus, jika hasil sudah tidak bersifat basa lagi maka
penyulingan dihentikan. Setelah proses destilasi, tahap selanjutnya adalah titrasi.
18
Hasil destilasi yang ditampung dalam erlemeyer berisi asam klorida 0,1 N ditetesi
indikator metil merah sebanyak 5 tetes langsung dititrasi dengan menggunakan
larutan natrium hidroksida 0,1 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan warna merah
muda menjadi kuning.
Keterangan :
0,14 = Berat atom nitrogen
6,25 = Faktor konversi protein
W = Berat sampel (g)
Kadar Lemak
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode Soxhlet. Pengujian
dilakukan pada saat umur magot 7 hari, 15 hari, dan 20 hari. Langkah pertama
yaitu bersihkan labu didih menggunakan air kemudian keringkan dalam oven
dengan temperature 105°C selama 1 jam. Setelah 1 jam labu didinginkan di dalam
desikaor 30 menit kemudian ditimbang beranya pada neraca analitik (m1).
Ditimbang sebanyak 2 gr sampel (m) dan dimasukkan ke dalam kertas saring
kemudian dilipat dengan rapat lalu dimasukkan ke dalam tabung mikro soxhlet.
Hubungkan peralatan soxhlet dengan kran untuk srkulasi pendingin. Selanjutnya
masukkan larutan n- heksan ke dalam labu didih sebanyak 200-250 ml. Kemudian
hubungkan labu didih dengan ujung bawah tabung mikro soxhlet dan hubungkan
kondensor dengan ekstraktor mikro soxhlet. Ekstraksi dilakukan selama 4 jam.
Kemuadian ambil labu didih hasil eksraksi kemudian dikeringkan dalam oven
dengan suhu 105°C. Dinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian labu
didih tersebut ditimbang menggunakan neraca analitik (m2). Adapun rumus dalam
menghitung kadar lemak sebagai berikut:
m2−m1
%Lemak= x 100 %
m
Keterangan :
m = berat sampel (g)
m1 = berat labu didih kosong (g)
19
c. Survival rate
Pengamatan dilakukan dengan cara pengamatan pada setiap media
tumbuh mengenai jumlah populasi magot pada saat pemanenan. Apabila ada
magot yang mati akan dilakukan pencatatan serta memeriksa kembali kondisi
media tumbuh.
Nt
SR= x 100 %
N0
Dimana :
SR = Angka kelangsungan hidup
Nt = Jumlah magot pada hari ke t
N0 = Jumlah magot pada awal pemeliharaan
Analisis Data
ij = Pengaruh interaksi antara faktor umur simpan dedak taraf ke-I dan
faktor lama proses ekstraksi taraf ke-j
εijk = Pengaruh galat taraf ke-i dan konsentrasi taraf ke-j pada ulangan ke-k
i = Media tumbuh
j = Umur panen
k = Ulangan
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analysis of Varian
(ANOVA). Dalam pengamblan keputusan akan didasarkan pada nilai F
berpengaruh nyata ≥ 5% (≥0.050) dan nilai F berpengaruh nyata ≤ 5% (≤0.05).
Apabila dari analisis berpengaruh nyata pada taraf 5% (0.05), maka analisis
dilanjutkan dengan uji Duncan’s multiple range test (DMRT) dengan perhitungan
sebagai berikut :
DMRT =R ( p , v , α )
√ KTG
r
Keteragan :
R(p,v,α) = R Tabel dari t Tabel yang termodifikasi
p = perlakuan
v = db galat
α = alva = 0,05
KTG = JK galat / db galat
r =p–1
21
(BETN). Menurut Utomo dan Widjaja, (2005) menyatakan bahwa hasil analisis
proksimat menunjukkan bahwa solid decanter memiliki kandungan bahan kering
81,65% yang di dalamnya terdapat protein kasar 12,63%; serat kasar 9,98%;
lemak kasar 7,12%; kalsium 0,03%; fosfor 0,003%; hemiselulosa 5,25%; selulosa
26,35%; dan energi 3454 kkal/kg. Menurut Hernaman, dkk (2005) menyatakan
bahwa ampas tahu mengandung bahan kering 8,69%, protein kasar 18,67%, serat
kasar 24,43%, lemak kasar 9,43%, abu 3,42% dan BETN 41,97%. Berdasarkan
hasil kandungan nutrisi media tumbuh magot (Tabel 4) pada penelitian ini dapat
dilihat bahwa media tumbuh dengan campuran bungkil kelapa sawit + limbah
sayur kol memiliki kadar air sebesar 41,08%, kadar lemak sebesar 13,82%, dan
kadar protein sebesar 15,63%, media tumbuh dengan campuran bungkil kelapa
sawit + solid decanter memiliki kadar air sebesar 36,89%, kadar lemak sebesar
11,21%, dan kadar protein sebesar 18,27%, dan media tumbuh dengan campuran
bungkil kelapa sawit + ampas tahu memiliki kadar air sebesar 45,38%, kadar
lemak sebesar 17,66%, dan kadar protein sebesar 22,37%. Kandungan antara
kadar air, kadar protein, dan kadar lemak dan nutrisi lainnya penting untuk
tumbuh dan berkembang magot. Kandungan nutirsi media tumbuh magot sangat
menentukan nutrisi magot yang dihasilkan, semakin bagus kualitas nutrient yang
ada pada media tumbuh maka magot yang dihasilkan juga memiliki kandungan
nutrient yang bagus (Maulana et. al, 2021).
Hasil kadar air berat basah magot menunjukkan bahwa pada media
tumbuh yang berbeda berkisar dari 71,49 – 79,19% dan pada umur panen yang
berbeda berkisar dari 72.11 – 79,02%. Berdasarkan hasil analisis ragam
didapatkan hasill bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara media tumbuh dan
umur panen magot, tetapi faktor tunggal media tumbuh dan umur panen
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air magot yang dihasilkan. Hasil uji
lanjut dengan DMRT dapat dilihat pada Tabel 5.
23
membudidayakan magot, kadar air media harus rendah karena larva tidak dapat
berkembang baik bahkan tidak dapat tumbuh pada media dengan kadar air tinggi
yaitu > 70%. Magot tidak memiliki mulut untuk menyerap nutrisi, maka nutrisi
akan diserap jika subtratnya berupa bagian-bagian kecil atau bahkan dalam bentuk
air (Lewis et al., 1998). Oleh sebab itu, media tumbuh dengan bungkil kelapa
sawit + ampas tahu menghasilkan magot dengan kadar air teringgi karena media
tumbuh tersebut memiliki kadar air yang tinggi dibandingkan dengan media
tumbuh lainnya (bungkil kelapa sawit + limbah sayur kol dan bungkil kelapa
sawit + solid decanter).
Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa umur panen yang
berbeda berpengaruh nyata terhadap kadar air magot yang dihasilkan (P<0,05).
Berdasarkan hasil yang telah didapat (Tabel 5) rata-rata kadar air magot yang
tertinggi dihasilkan pada hari ke-21 dengan rata-rata kadar air sebesar 79,02%.
Sementara kadar air magot yang terendah dihasilkan pada hari ke-7 dengan rata-
rata kadar air sebesar 72,11%. Perbedaan rataan kadar air magot ini dipengaruhi
oleh kadar air media tumbuh, ukuran dan berat magot. Hal ini karena seiring
dengan bertambahnya umur maka akan bertambah pula ukuran dan berat magot
yang dihasilkan. Oleh sebab itu, semakin bertambahnya ukuran dan berat magot
maka kadar air yang dihasilkan pada magot akan semakin tinggi.
Berdasarkan pernyataan diatas maka umur panen tiap magot akan
menghasilkan kadar air yang berbeda, semakin bertambahnya umur maka
kandungan air yang terdapat pada magot akan semakin meningkat. Hal ini sesuai
dengan pernyataan penelitian yang dilakukan Rachmawati., dkk, (2010) yang
menyatakan bahwa umur juga sangat mempengaruhi kandungan nutrisi magot,
kadar air magot cenderung berkorelasi positif sering dengan pertambahan umur.
Menurut Tomberlin (2009) yang menyatakan bahwa air yang ada pada media
tumbuh diperlukan untuk reproduksi selama fase larva, sehingga magot yang
tumbuh pada media yang mengandung kadar air yang tinggi akan mempengaruhi
pertumbuhan magot.
25
Protein adalah salah satu zat nutrisi yang sangat dibutuhkan bagi
pertumbuhan dan perkembangan magot. Magot BSF dimanfaatkan sebagai pakan
ternak, karena kandungan protein magot mencapai 40%. Kadar tersebut lebih
tinggi jika dibandingkan dengan kadar protein pelet buatan untuk ikan konsumsi
sekitar 30 - 35% dan pelet buatan untuk unggas hanya mengandung protein sekitar
20 - 25% (Dewantoro dan Efendi, 2018). Hasil dari kadar protein magot yang
dihasilkan pada media tumbuh dan umur panen yang berbeda berturut-turut
berkisar dari 42,23 – 47,25% dan 37,91 – 48,47%. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara media tumbuh dan umur
panen magot, tetapi faktor tunggal media tumbuh dan umur panen yang berbeda
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar protein magot yang dihasilkan. Hasil
uji lanjut dengan DMRT dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji DMRT Kadar Protein Magot (% Berat Kering)
Umur Panen
Media Tumbuh Rata-rata
7 hari 14 hari 21 hari
Bungkil Kelapa Sawit
44,92 ± 1,96 34,84 ± 1,09 46,94 ± 1,14 42,23 ± 6,48a
+ Limbah Sayur Kol
bungkil kelapa sawit + limbah sayur kol dengan kadar protein yang paling rendah
yaitu sebesar 42,23%. Sesuai pendapat Katayane et al., (2014) bahwa magot
memanfaatkan sumber protein yang terkandung pada media tumbuhnya untuk
membentuk protein pada tubuhnya, sehingga kadar protein pada magot cendrung
lebih tinggi pada media yang memiliki kadar protein tinggi, hal ini yang menjadi
alasan bahwa rata-rata kadar protein magot pada media tumbuh bungkil kelapa
sawit + ampas tahu lebih tinggi dibandingkan bungkil kelapa sawit + limbah sayur
kol, dikarenakan kadar protein pada media tumbuh bungkil kelapa sawit + ampas
tahu lebih tinggi dibandingkan bungkil kelapa sawit + limbah sayur kol (dapat
dilihat pada Tabel 3). Jika kualitas dan kuantitas nutrien media tinggi akan
berpengaruh positif terhadap protein magot yang dihasilkan.
Berdasarkan analisis ragam diperoleh hasil bahwa umur panen magot
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar protein magot yang dihasilkan. Dilihat
dari Tabel 6 rata-rata kadar protein tertinggi yaitu magot yang dipanen pada umur
21 hari yaitu sebesar 48,47%, sedangkan rata-rata kadar lemak magot terendah
pada umur panen 14 hari yaitu sebesar 37,91%. Berdasarkan hasil protein tersebut
tergambarkan bahwa besarnya nilai rata-rata protein magot yang dihasilkan
tersusun (terbesar ke terkecil) mulai dari umur panen 21 hari, 7 hari, dan 14 hari.
Dilihat dari hasil yang didapatkan kadar protein magot mengalami penurunan
pada hari ke-14 dan mengalami peningkatan pada hari ke 21. Pada hari ke 14
kadar protein magot mengalami penurunan, menurut Fatmasari (2017) yang
menyatakan bahwa kadar protein larva muda lebih tinggi dibandingkan dengan
larva dewasa, kondisi ini karena larva yang masih muda mengalami pertumbuhan
sel struktural dan metabolisme yang lebih cepat dibandingkan larva dewasa. Pada
hari ke-21 kadar protein pada magot mengalami peningkatan, pada tahap ini
magot sudah mencapai fase prepupa. Pada fase ini kadar protein yang ada pada
magot cukup tinggi, karena protein ini akan digunakan sebagai kebutuhan
strukturalnya dan sebagai sumber cadangan energi sampai menjadi lalat. Menurut
Diener (2010) menyatakan bahwa prepupa magot, tahap sebelum menjadi pupa,
mengandung >40 % protein dan 30 % lemak yang memungkinkan penggunaannya
sebagai alternatif bahan pakan ternak.
27
Dilihat dari Tabel 6 hasil kadar protein yang didapat rata-rata berkisar
lebih dari 40%. Menurut Songbesan et. al. (2005) menyebutkan bahwa protein
dari magot dapat mencapai 50%. Menurut Murtidjo (2001), menyatakan bahwa
bahan makanan yang mengandung protein kasar lebih dari 19%, digolongkan
sebagai bahan makanan sumber protein. Pemberian magot telah dicoba kepada
beberapa ikan, antara lain ikan lele. Kadar protein yang terkandung dalam magot
sesuai dengan kebutuhan untuk pembesaran lele yang membutuhkan pakan
dengan kadar protein min 30% (SNI Pakan Buatan untuk Ikan Lele Dumbo).
Menurut Ciprinus Carpio. Ogunji J.O. et. al. (2007) yang menyatakan bahwa
magot dapat menggantikan tepung ikan sebanyak 30% pada ikan tilapia.
Magot yang yang paling baik untuk digunakan sebagai pakan ikan yaitu
magot yang masih dalam fase larva yaitu pada umur 7 – 17 hari. Hal ini
dikarenakan pada umur tersebut kulitnya masih kenyal dan lebih disukai ikan lele
dibandingkan dengan magot pada fase prepupa yang warnanya mulai kecoklatan
dan kulitnya mulai mengeras. Menurut Hahn et al., (2018) menyatakan bahwa
pada fase prepupa hingga menjadi pupa, magot mengandung kitin sebanyak 35%.
Tingginya kandungan kitin ini yang dapat menghambat ikan dalam mencerna
pakannya. Menurut Djunaidi et. al., (2009) menyatakan bahwa kitin akan
membatasi pencernaan protein dan lemak sehingga kecernaannya menjadi rendah.
Pakan ikan dengan kadar protein yang tinggi akan mempercepat
pertumbuhan ikan. Menurut Schulz et.al., (2008) menyatakan bahwa protein
adalah sumber asam amino essensial yang dibutihkan ikan untuk mendukung
pertumbuhan yang optimum, juga sebagai sumber energi bagi ikan. Menurut
Sheppard dan Newton (1995) dalam Sugianto (2007) menyebutkan bahwa magot
bisa menggantikan tepung ikan kualitas tinggi dan memberikan pertumbuhan
yang sama walaupun diberikan dengan kondisi larva yang dipotong-potong.
Rachmawati (2010), menyatakan bahwa larva yang lebih besar (prapupa) ideal
untuk digunakan dalam campuran pakan atau pelet karena mampu memenuhi
kuantitas produksi.
Lemak merupakan sumber energi pada ikan. Selain sebagai sumber energi,
lemak memiliki fungsi sebagai media penyimpan vitamin yang terlarut dalam
lemak (Utami dkk, 2013). Lemak adalah sumber energi yang dibutuhkan magot
untuk tumbuh dan berkembang dari magot hingga menjadi lalat. Hasil kadar
lemak magot menunjukkan bahwa pada media tumbuh yang berbeda berkisar dari
25,47 – 35,05% dan pada umur panen yang berbeda berkisar dari 25,05 – 34,54%.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara
media tumbuh dan umur panen magot, tetapi faktor tunggal media tumbuh dan
umur panen yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak
magot yang dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan DMRT dapat dilihat pada Tabel 7.
kandungan lemak yang terkandung dalam pakan tinggi maka akan menyebabkan
kerusakan hati pada ikan sehingga dapat menyebabkan kematian. Lemak dalam
pakan berpengaruh terhadap rasa dan tekstur pakan.
Menurut Mudjiman (2004) bahwa kandungan lemak ideal untuk pakan
ikan berkisar 4 - 18%. Menurut Rachmawati (2010), menyatakan bahwa larva
yang lebih besar sangat ideal digunakan untuk campuran pakan atau bahan baku
pelet karena mampu memenuhi kuantitas produksi. Sebaiknya magot hanya
digunakan sebagai pakan pendamping pelet dan penggunaannya sebagai subtitusi
pengganti pakan buatan hanya dalam jumlah terbatas. Magot dapat digunakan
sebagai pakan utama ikan apabila sudah diolah menjadi pelet ikan dengan bahan
utama tepung magot. Penggunaan tepung magot sebagai kombinasi pembuatan
pakan pelet untuk ikan disarankan menggunakan dosis tepung magot sebanyak
25%, hal ini karena, kandungan nutrisi pada pakan ikan dengan dengan dosis 25%
menghasilkan protein rata-rata sekitar ±28% dan protein ini magot dikurangi
maka akan menurunkan kadar protein yang ada pada pakan ikan. Semakin tinggi
dosis tepung magot yang dicampurkan pada pakan ikan, maka akan tinggi pula
kandungan protein yang ada pada pakan ikan. Hal ini sesuai dengan penelitian
Rachmawati dan Samijan (2013) bahwa pada pakan ikan menggunakan campuran
tepung magot dengan dosis 50% memiliki kandungan protein tertinggi yaitu
sebesar 27,79% dan yang terendah pada campuran 25% yaitu sebesar 25,23%.
Menurut Rachmawati dan Samijan (2013), pada ikan menggunakan tepung magot
dan tepung ikan sebagai sumber protein di dalam pakan dengan jumlah terbaik
25% tepung magot dan 75% tepung ikan menghasilkan rata-rata pertumbuhan
bobot mutlak tertinggi yaitu sebesar 158,53 g dan laju pertumbuhan
spesifik sebesar 1,45%.
diberikan disetiap reaktornya. Hasil dari survival rate magot pada media tumbuh
dan umur panen yang berbeda berturut-turut berkisar dari 98,89 – 99,37% dan
98,04 – 100%. Berdasarkan uji analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh interaksi antara media tumbuh dan umur panen magot, tetapi faktor
tunggal media tumbuh dan umur panen yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap nilai survival rate magot yang dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan DMRT
dapat dilihat pada Tabel 8.
termasuk sangat bagus yang dimana nilai rata-rata survival rate yang dihasilkan
yaitu > 90%. Nilai survival rate pada keempat jenis media tumbuh pada penelitian
ini lebih tinggi dari pada penelitian Rofi, (2020) tingkat keberhasilan hidup
menggunakan sampah modifikasi seperti dikukus dan difermentasi menghasilkan
persentase nilai survival rate rata-rata 82%. Menurut (Rofi et al., 2021)
pembusukan secara alami menghasilkan kadar air lebih banyak. Menurut Silmina,
dkk (2015) media yang mempunyai kadar air yang tinggi akan menghambat
pertumbuhan magot. Kondisi ini lah yang menyebabkan magot mengalami
kematian. Selain kadar air, kurangnya kadar oksigen juga menjadi faktor yang
dapat mempengaruhi nilai Survival Rate pada magot. Kurangnya kadar oksigen
akan membuat tempat pemeliharaan dalam kondisi anaerob sehingga dapat
menurunnya tingkat bertahan hidup magot. Proses dekomposisi bahan organik
secara anaerobik akan menghasilkan ammonia dan metana yang bisa menghambat
proses konsumsi pakan dan mempengaruhi pertumbuhannya (Saragi & Bagastyo,
2015).
Berdasarkan analisis ragam diperoleh hasil bahwa berbagai umur panen
magot berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot rata-rata magot. Berdasarkan
hasil yang dilihat pada Tabel 8 diketahui bahwa Survival Rate pada umur panen
dapat dilihat bahwa magot dengan nilai Survival Rate tertinggi dipanen pada umur
panen 7 hari yaitu sebesar 100%, dan diikuti pada umur panen 14 hari yaitu
sebesar 99,30%, sedangkan yang terendah pada umur panen 21 hari yaitu sebesar
98,04%. Adapun faktor yang mempengaruhi yaitu karena semakin lama
pemanenan magot makan akan meningkatnya kadar air yang ada pada media
tumbuh, sehingga media yang digunakan akan mengalami pembusukan. Hal ini
disebabkan karena karakteristik media tumbuh dengan menggunakan bungkil
kelapa sawit + solid decanter yang tidak akan membusuk dan tidak ada
peningkatan kadar air seiring bertambahnya waktu, sedangkan media tumbuh
bungkil kelapa sawit + limbah sayur kol dan media tumbuh bungkil kelapa sawit
+ ampas tahu memiliki karakteriatik limbah yang mudah membusuk dan berair
seiring dengan bertambahnya waktu. Oleh sebab itu, hal ini lah yang akan
menyebabkan kematian pada magot. Hal ini sesuai dengan pernyataan Katayane
dkk., (2014); dan Hakim, (2017) yang menyatakan bahwa tingkat kelulusan hidup
33
(survival rate) larva black soldier fly dapat dipengaruhi oleh kadar air pada pakan
karena larva tidak menyukai tempat yang terlalu basah. Kadar air tinggi pada
tempat pemeliharaan menyebabkan magot tidak makan umpan yang disediakan
melainkan akan mencari tempat lebih kering dan dapat menyebabkan
kematian pada magot.
Bungkil Kelapa Sawit 1,73 ± 0,02 1,96 ± 0,03 2,3 ± 0.1 2,00 ± 0,29c
34
+ Ampas Tahu
1,58 ± 0,13a 1,84 ± 0,11b 2,17 ± 0,15c
Rata-rata
Keterangan : Simbol superscrif yang berbeda pada tiap kolom menunjukkan
adanya beda nyata data tiap-tiap perlakuan berdasarkan uji DMRT
nilai F ≤ 0,05 (Signifikasi berpengaruh nyata)
Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa media tumbuh yang
berbeda berpengaruh nyata terhadap panjang rata-rata magot yang dihasilkan
(P<0,05). Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa pertumbuhan panjang rata-rata
magot tertinggi terdapat pada perlakuan yang menggunakan media tumbuh
bungkil kelapa sawit + ampas tahu yaitu sebesar 2 cm, sedangkan pertumbuhan
panjang rata-rata magot terendah tedapat pada perlakuan yang menggunakan
media tumbuh bungkil kelapa sawit + solid decanter yaitu sebesar 1,74 cm. Salah
satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan panjang magot ialah kandungan
nutrisi media tumbuhnya. Susanto (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan suatu
organisme sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan jumlah bahan
makanan yang tersedia. Banyak atau sedikitnya makanan yang didapatkan dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan baik panjang maupun berat suatu organisme.
Media tumbuh sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan magot,
semakin tinggi kandungan nutrisi media tumbuh maka semakin cepat laju
pertumbuhan panjang magot yang dihasilkan. Media tumbuh dengan
menggunakan campuran bungkil kelapa sawit + ampas tahu mempunyai
kandungan nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan media tumbuh dengan
campuran bungkil kelapa sawit + limbah sayur kol dan bungkil kelapa sawit +
solid decanter, kandungan nutrisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Hal ini
sesuai dengan pernyataan De Haas et al., (2006) yang menyatakan bahwa kualitas
media perkembangan larva berkolerasi positif dengan panjang larva dan
persentase daya tahan hidup lalat dewasa.
Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa umur panen yang
berbeda berpengaruh nyata terhadap panjang rata-rata magot yang dihasilkan
(P<0,05). Hasil pengukuran panjang rata-rata magot dapat dilihat pada Tabel 9.
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa rataan panjang magot yang paling
panjang adalah pada umur panen 21 hari yaitu sebesar 2,17 cm, kemudian diikuti
umur panen 14 hari yaitu 1,84 cm, sedangkan rataan terendah pada umur panen 7
35
hari yaitu sebesar 1,58 cm. Yang artinya, semakin bertambahnya umur panen
magot maka ukuran panjang magot akan semakin panjang. Menurut Saragi dan
Bagastyo (2015) menyatakan bahwa perubahan ini disebabkan akibat
pertumbuhan magot dipengaruhi oleh lamanya waktu pemeliharaan dan
ketersediaan pakan untuk pemenuhan kebutuhannya.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa umur panen sangat
mempengaruhi panjang rata-rata magot yang dihasilkan. Dilihat dari hasil
tersebut, perlakuan menggunakan media bungkil kelapa sawit + ampas tahu
memiliki hasil panjang rata-rata tertinggi dibanfingkan dengan media tumbuh
lainnya. Magot terpanjang yaitu magot pada hari ke 21 dengan panjang 2,3 cm.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rini dkk., (2009) yang menyatakan
bahwa panjang magot dengan umur 20 hari yaitu berkisar 20 – 25 mm.
Pertumbuhan panjang ini diiringi pula dengan meningkatnya kadar lemak magot
yang dihasilkan. Semakin panjang ukuran magot maka akan semakin tinggi pula
kadar lemak magot yang dihasilkan.
bungkil kelapa sawit + ampas tahu lebih tinggi dibandingkan pada media bungkil
kelapa sawit + solid decanter, kandungan bahan organik tersebut dapat dilihat
pada Tabel 3. Hal ini juga diperkuat oleh Tomberlin et al. (2002) yang
mengatakan, komposisi nutrient pakan menunjukan pengaruh terhadap
pertumbuhan magot. Pakan dengan kandungan nutrisi protein dan lemak tinggi
akan mempercepat kenaikan bobot magot. Magot akan mereduksi nutrien yang
berada pada media budidaya sebesar 50-79% (Gary, 2009 dalam Dina et al.,
2010).
Berdasarkan analisis ragam diperoleh hasil bahwa berbagai umur panen
magot berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot rata-rata magot. Hal ini berarti
umur panen dapat mempengaruhi bobot magot yang dihasilkan. Berdasarkan hasil
yang didapat pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa magot dengan bobot rata-rata
tertinggi dipanen pada umur panen 21 yaitu sebesar 0,22 gram hari dan
selanjutnya diikuti pada umur panen 14 hari yaitu sebesar 0,17 gram dan yang
paling rendah pada umur panen 7 hari yaitu sebesar 0,14 gram. Hal ini disebabkan
karena semakin bertambahnya umur maka kebutuhan nutrisi dan kemampuan
makan pada magot akan meningkat sehingga akan menambah bobot magot yang
dihasilkan. Menurut Rini dkk., (2009) Pertumbuhan magot BSF akan terus
bertambah ketika kebutuhannya terpenuhi dan masa akhir pertumbuhannya
terhenti ketika magot BSF mencapai umur 20 hari. Perbedaan pertumbuhan ini
disebabkan karena jenis pakan yang diberikan berbeda, semakin tinggi kandungan
nutrisi pada media tumbuh maka semakin cepat laju pertumbuhan magot yang
dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Macchiusi dan Baker (1992) kualitas
pakan yang tinggi diberikan kepada magot memastikan kecepatan yang relatif
cepat terhadap pertumbuhan magot. Media tumbuh dengan menggunakan bungkil
kelapa sawit + ampas tahu menghasilkan bobot rata-rata tertinggi pada setiap
umur panennya, sedangkan yang terendah yaitu pada media tumbuh bungkil
kelapa sawit + solid decanter. berdasarkan hasil penelitian ini memperlihatkan
bahwa semakin lama umur panen maka akan semakin bertambahnya bobot magot
yang dihasilkan. Hasil pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan Saragi dan
Bagastyo (2015) yang menyebutkan bahwa magot akan mengalami kenaikan
38
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, D. Desember 2015. Habitat Lalat Tentara dan Aplikasi sebagai Pakan.
Diakses dari: http://lalattentara.blogspot.co.id/2015/12/habitat-lalat-
tentara-danaplikasi.html (15 Juni 2016).
Alvarez, L. 2012. The role of black soldier fly, Hermetia illucens (L.) (Diptera:
Stratiomyidae) in sustainable waste management in Northern
Climates. Dissertations. University of Windsor, Windsor.
Arief M., N.A.Ratika, & M.Lamid.2012. Pengaruh Kombinasi Media Bungkil
Kelapa Sawit dan Dedak Padi yang Difermentasi Terhadap Produksi
Magot Black Soldier Fly (Hermetia illucens) Sebagai Sumber
Protein Pakan Ikan. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 3: 17-20.
Batubara, L.P., S.P. Ginting, M. Doloksaribu dan J. Sianipar. 2004. Pengaruh
kombinasi bungkil inti sawit dengan lumpur sawit serta suplementasi
molases terhadap pertumbuhan kambing potong. Prosiding Semmas
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslibangnak Bogor. Hal. 421-
426.
Bosch G, Zhang S, Dennis GABO, Wouter HH. 2014. Protein quality of insects as
potential ingredients for dog and cat foods. J Nutr Sci. 3:1-4.
Darmanto. 2018. Perbandingan Fisik Magot BSF yang dipelihara pada media
Ampas Tahu dan Limbah Buah. Skripsi: Universitas Islam
Lamongan.
De Haas EM, Wagner C, Koelmans AA, Kraak MHS, Admiraal W. 2006. Habitat
Selection by Chironomid Larvae: Fast Growth Requires Fast Food. J
Anim Ecol. 75:148-155.
Dewantoro, Kis. & Efendi, M. (2018). Beternak Magot Black Soldier Fly. Jakarta:
PT Agromedia Pustaka.
Dina, C., Welch, R.P., Zeggini, E., Huth, C., Couper, D.J. and Crawford, G. 2010.
Teknologi Produksi Pakan Alami. Diakses dari :
http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_VII. Accessed 29 october
2010.
41
Newton GL, Sheppard DC, Thompson SA, Savage SI. 1995. Soldier fly beneits:
House ly control, manure volume reduction and manure nutrient
recycling [Laporan Tahunan]. Diambil dari UGA Animal &
Dairy Science.
Newton L, Sheppard C, Watson DW, Burtle G, Dove R. 2005. Using the black
soldier fly, Hermetia illucens, as a value- added tool for the
management of swine manure. Report for The Animal and Poultr
waste Management Center. North Carolina. North Carolina State
University Raleigh.
Oliver, P.A. 2004. The bio-conversion of putrescent wasted. ESR LLC.
Washington. P. 1-90.
Popa, R. dan Green, T. 2012. DipTerra LCC e-Book ‘Biology and Ecology of the
Black Soldier Fly’. DipTerra LCC.
Putri, Berta D. (2018). „Pemanfaatan Bungkil Inti Sawit Sebagai Media
Pertumbuhan Cacing Sutra (Tubifex Sp.)‟. .Jurnal Rekayasa Dan
teknologi Budidaya Perairan VI(2), 730-738. Available at:
http://dx.doi.org/10.23960/jrtbp.v6i2.p729-738
Rachmawati., D. Buchori., P. Hidayat., S. Hem., M.R. Fahmi. 2010.
Perkembangan dan Kandungan Nutrisi Larva Hermetia illucens
(Linnaeus) (Diptera: Stratiomyidae) pada Bungkil Kelapa Sawit.
Jurnal Entomologi Indonesia, Vol 7 (1): 28-41.
Rachmawati. D & I. Samidjan. 2013. Efetivitas Subsitusi Tepung Ikan dengan
Tepung Magot dalam Pakan Buatan terhadap Pertumbuhan dan
Kelulushidupan Ikan Patin. Journal of Fisheries Science and
Technology, 9 : 1.
Rini FM, H. Saurin dan Wayan S. 2009. Potensi Magot Untuk Peningkatan
Pertumbuhan dan Status Kesehatan Ikan. Loka Riset Budidaya Ikan
Hias Air Tawar, Depok 16436.
Rini. Melta, Fahmi, et. al., 2015. Potensi Magot Sebagai Salah Satu Sumber
Protein Pakan Ikan. Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII.
Rofi, D. Y., Auvaria, S. W., Nengse, S., Oktorina, S., & Yusrianti, Y. (2021).
Modifikasi Pakan Larva Black Soldier Fly (Hermetia illucens)
sebagai Upaya Percepatan Reduksi Sampah Buah dan Sayuran.
44
Supriyatna, A., & Putra, R. E. (2017). Estimasi Pertumbuhan Larva Lalat Black
Soldier (Hermetia illucens) dan Penggunaan Pakan Jerami Padi yang
Difermentasi dengan Jamur P. chrysosporium. Jurnal Biodjati, 2(2),
159. https://doi.org/10.15575/biodjati.v2i2.1569
Superianto, Harahap, dan Ali. 2018. Nilai Nutrisi Silase Limbah Sayur Kol
dengan Penambahan Dedak Padi dan Lama Fermentasi yang
Berbeda. Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 13(2): 172-181.
Susanto, 2002. Pupuk dan Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Tomberlin, J. K., Sheppard, D. C., Joyce, J. A. (2002). Selected life-history traits
of black soldier flies (Diptera: Stratiomyidae) reared on three
artificial diets. Annals of the Entomological Society of America,
95(3), 379–386.
Tomberlin JK, Adler PH, Myers HM. 2009. Development of the black soldier fly
(Diptera: Stratiomyidae) in relation to temperarure Environmental
Entomology 38(3): 930 – 934.
Tran, G. Gnaedinger, C. Melin, C. 2014. Black soldier Fly Larvae (Hermetia
illucens). Feedipedia. Org. Diakses melalui :
http://www.feedipedia.org/node.16388.
United States Departement of Agriculture (USDA). 2007. Nutrient Database for
Standard Reference. RI
Utami. D. A.T., Aida. Y., Pranata.F.S. 2013. Variasi Kombinasi Tepung Labu
Kuning (Cucurbita Moschata D) dan Tepung Azolla (Azolla pinatta
R.br) pada Kecerahan Warna Ikan Koi (Cyprinus carpio L).
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yogyakarta.
Van Huis A. 2013. Potential of insects as food and feed in assuring food security.
Annu Rev Entomol. 58:563-583.
Wardhana, April Hari. 2016. Black Soldier Fly (Hermetia illucens) sebagai
Sumber Protein Alternatif untuk Pakan Ternak. Wartazoa Vol. 26
No. 2 Th. 2016. 9 Juni 2016. Bogor.
Warburton, K. & Hallman, V. 2002. Processing of material by the soldier fly,
Hermetia illucens dalam. Warburton, K., U.P. McGarry, & D.
Ramage. 2002. Integrated Biosystem for Sustainable Development.
RIRDC Publication. Queensland, 197 pp.
Widjaja, F dan B.N. Utomo,. 2005. Pemanfaatan limbah pengolahan minyak
kelapa sawit yang berupa solid untuk pakan ternak (sapi, domba dan
ayam potong). Success Story Pengembangan Teknologi Inovatif
spesifik Lokasi. Badan Litbang Pertanian. Buku I.hlm.173-185.
Yuwono AS, Ra’up AA, Mentari PD, Driantika AV, Buana EG, Rosdiana, Elsa
NS. 2017. Praktik pengelolaan limbah padat dan B3 (Bahan
Berbahaya dan Beracun) di Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi.
Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP.
46
LAMPIRAN
47
2. Persiapan media
tumbuh
3. Pemeliharaan
48
4. Pemanenan
5. Pengamatan
Survival Rate
6. Pengamatan
panjang magot
7. Pengamatan berat
magot
8. Pengamatan kadar
air magot
49
9. Pengamatan kadar
lemak magot
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-7) 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-7) 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-14) 99.00 99.00 99.00 99.00 0.00
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-14) 100.00 99.33 99.67 99.67 0.33
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-14) 99.33 99.33 99.00 99.22 0.19
Bungkil Kelapa Sawit + Limbah Sayur Kol (Hari Ke-21) 97.67 98.33 98.67 98.22 0.51
Bungkil Kelapa Sawit + Solid Decanter (Hari Ke-21) 98.67 99.00 97.67 98.44 0.69
Bungkil Kelapa Sawit + Ampas Tahu (Hari Ke-21) 97.00 98.00 97.33 97.44 0.51
Between-Subjects Factors
Value Label N
MEDIA_TUMBUH 1.00 L1 9
2.00 L2 10
3.00 L3 8
52
UMUR_PANEN 1.00 W1 9
2.00 W2 9
3.00 W3 9
Descriptive Statistics
Dependent Variable: KADAR_AIR
MEDIA_TUMBUH UMUR_PANEN Mean Std. Deviation N
L1 W1 7.0200 .81265 3
W2 9.9400 .42226 3
W3 11.9467 .79758 3
Total 9.6356 2.22977 9
L2 W1 5.9067 .82658 3
W2 8.8100 1.00210 4
W3 10.5333 .42360 3
Total 8.4560 2.04620 10
L3 W1 7.5567 .56801 3
W2 10.8500 .45255 2
W3 13.2400 .56630 3
Total 10.5113 2.67923 8
Total W1 6.8278 .97356 9
W2 9.6400 1.09132 9
W3 11.9067 1.28787 9
Total 9.4581 2.37700 27
Subset
MEDIA_TUMBUH N 1 2 3
L2 10 8.4560
L1 9 9.6356
L3 8 10.5113
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .510.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.926.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used.
Type I error levels are not guaranteed.
c. Alpha = .05.
UMUR_PANEN
Homogeneous Subsets
KADAR_AIR
Duncana,b
Subset
UMUR_PANEN N 1 2 3
W1 9 6.8278
W2 9 9.6400
W3 9 11.9067
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .510.
54
Kadar Lemak
Between-Subjects Factors
Value Label N
MEDIA_TUMBUH 1.00 L1 9
2.00 L2 10
3.00 L3 8
UMUR_PANEN 1.00 W1 9
2.00 W2 9
3.00 W3 9
Descriptive Statistics
Dependent Variable: KADAR_LEMAK
MEDIA_TUMBUH UMUR_PANEN Mean Std. Deviation N
L1 W1 23.7016 1.01682 3
W2 30.4150 .78014 3
W3 34.8838 .53670 3
Total 29.6668 4.92371 9
L2 W1 19.6906 .68172 3
W2 28.7171 4.43644 4
W3 30.2002 .42042 3
Total 26.4541 5.37637 10
L3 W1 31.7652 1.07982 3
W2 34.6183 1.12052 2
W3 38.5423 .63991 3
Total 35.0199 3.24542 8
Total W1 25.0525 5.38791 9
W2 30.5944 3.67586 9
W3 34.5421 3.65137 9
Total 30.0630 5.73800 27
Subset
MEDIA_TUMBUH N 1 2 3
L2 10 26.4541
L1 9 29.6668
L3 8 35.0199
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 3.811.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.926.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used.
Type I error levels are not guaranteed.
56
c. Alpha = .05.
UMUR_PANEN
Homogeneous Subsets
KADAR_LEMAK
Duncana,b
Subset
UMUR_PANEN N 1 2 3
W1 9 25.0525
W2 9 30.5944
W3 9 34.5421
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 3.811.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.
Kadar Protein
Between-Subjects Factors
Value Label N
Media_Tumbuh 1.00 L1 9
2.00 L2 9
3.00 L3 9
Umur_Panen 1.00 W1 9
2.00 W2 9
3.00 W3 9
Descriptive Statistics
Dependent Variable: Kadar_Protein
Media_Tumbuh Umur_Panen Mean Std. Deviation N
L1 W1 44.9167 1.96309 3
W2 34.8400 1.08862 3
W3 46.9400 1.14013 3
Total 42.2322 5.75240 9
L2 W1 45.7367 1.14247 3
W2 37.3867 .32868 3
W3 48.1000 1.18114 3
Total 43.7411 4.94596 9
57
L3 W1 49.2267 .88319 3
W2 41.4900 1.07126 3
W3 51.0467 .57744 3
Total 47.2544 4.45842 9
Total W1 46.6267 2.32666 9
W2 37.9056 3.00888 9
W3 48.6956 2.02947 9
Total 44.4093 5.33122 27
L2 9 43.7411
L3 9 47.2544
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1.268.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.
Umur_Panen
Homogeneous Subsets
Kadar_Protein
Duncana,b
Subset
Umur_Panen N 1 2 3
W2 9 37.9056
W1 9 46.6267
W3 9 48.6956
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1.268.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.
Survival Rate
Between-Subjects Factors
Value Label N
MEDIA_TUMBUH 1.00 L1 9
2.00 L2 10
3.00 L3 8
UMUR_PANEN 1.00 W1 9
2.00 W2 9
3.00 W3 9
Descriptive Statistics
Dependent Variable: SURVIVAL_RATE
MEDIA_TUMBUH UMUR_PANEN Mean Std. Deviation N
L1 W1 100.0000 .00000 3
59
W2 99.0000 .00000 3
W3 98.2233 .50846 3
Total 99.0744 .81216 9
L2 W1 100.0000 .00000 3
W2 99.5825 .32118 4
W3 98.4467 .69256 3
Total 99.3670 .75994 10
L3 W1 100.0000 .00000 3
W2 99.1650 .23335 2
W3 97.4433 .50954 3
Total 98.8325 1.23481 8
Total W1 100.0000 .00000 9
W2 99.2956 .35168 9
W3 98.0378 .67644 9
Total 99.1111 .92893 27
Subset
MEDIA_TUMBUH N 1 2
L3 8 98.8325
L1 9 99.0744 99.0744
L2 10 99.3670
Sig. .175 .105
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .131.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.926.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group
sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
c. Alpha = .05.
UMUR_PANEN
Homogeneous Subsets
SURVIVAL_RATE
Duncan a,b
Subset
UMUR_PANEN N 1 2 3
W3 9 98.0378
W2 9 99.2956
W1 9 100.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .131.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.
Panjang Rata-Rata
Between-Subjects Factors
Value Label N
Media_Tumbuh 1.00 L1 9
61
2.00 L2 9
3.00 L3 9
Umur_Panen 1.00 W1 9
2.00 W2 9
3.00 W3 9
Descriptive Statistics
Dependent Variable: Panjang_Rata_Rata
Media_Tumbuh Umur_Panen Mean Std. Deviation N
L1 W1 1.5300 .01000 3
W2 1.8133 .01528 3
W3 2.2000 .10000 3
Total 1.8478 .29567 9
L2 W1 1.4733 .02082 3
W2 1.7467 .01528 3
W3 2.0000 .10000 3
Total 1.7400 .23388 9
L3 W1 1.7300 .02000 3
W2 1.9633 .03215 3
W3 2.3000 .10000 3
Total 1.9978 .25386 9
Total W1 1.5778 .11777 9
W2 1.8411 .09804 9
W3 2.1667 .15811 9
Total 1.8619 .27416 27
Subset
Media_Tumbuh N 1 2 3
L2 9 1.7400
L1 9 1.8478
L3 9 1.9978
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .004.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.
Umur_Panen
Homogeneous Subsets
Panjang_Rata_Rata
Duncana,b
Subset
Umur_Panen N 1 2 3
W1 9 1.5778
W2 9 1.8411
W3 9 2.1667
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .004.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
63
b. Alpha = .05.
Berat Rata-rata
Between-Subjects Factors
Value Label N
Media_Tumbuh 1.00 L1 9
2.00 L2 9
3.00 L3 9
Umur_Panen 1.00 W1 9
2.00 W2 9
3.00 W3 9
Descriptive Statistics
Dependent Variable: Berat_Rata_Rata
Media_Tumbuh Umur_Panen Mean Std. Deviation N
L1 W1 .1333 .00577 3
W2 .1667 .00577 3
W3 .2200 .01000 3
Total .1733 .03841 9
L2 W1 .1167 .00577 3
W2 .1567 .00577 3
W3 .2000 .01000 3
Total .1578 .03667 9
L3 W1 .1600 .01000 3
W2 .1933 .00577 3
W3 .2400 .01000 3
Total .1978 .03563 9
Total W1 .1367 .02000 9
W2 .1722 .01716 9
W3 .2200 .01936 9
Total .1763 .03924 27
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.
a. Dependent variable: Berat_Rata_Rata
b. Design: Media_Tumbuh + Umur_Panen + Media_Tumbuh * Umur_Panen
Subset
Media_Tumbuh N 1 2 3
L2 9 .1578
L1 9 .1733
L3 9 .1978
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 6.296E-5.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.
Umur_Panen
Homogeneous Subsets
Berat_Rata_Rata
Duncan a,b
Umur_Panen N Subset
65
1 2 3
W1 9 .1367
W2 9 .1722
W3 9 .2200
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 6.296E-5.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000.
b. Alpha = .05.