SKRIPSI
Oleh:
Pratama Krisna Adi Mulya
NIM. 125050100111041
SKRIPSI
Oleh:
Pratama Krisna Adi Mulya
NIM. 125050100111041
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
SKRIPSI
Oleh:
Pratama Krisna Adi Mulya
NIM. 125050100111041
Mengetahui: Menyetujui:
Program Studi Peternakan Pembimbing Utama,
Ketua,
Pembimbing Pendamping,
i
KATA PENGANTAR
Segala Puja dan Puji bagi Allah SWT atas limpahan Rahmat, Hidayah dan
Pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Hary Nugroho, MS, selaku dosen pembimbing utama dan Dr. Ir.
Kuswati, MS, selaku pembimbing pendamping yang telah banyak
memberikan bimbingan dan motivasi dalam pelaksanaan penelitian serta
dalam penulisan skripsi.
2. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS, selaku Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya Malang yang telah mengijinkan dan memberikan
pendidikan di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
3. Dr. Ir. Sri Minarti, MP, selaku Ketua Program Studi Peternakan, Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya yang telah memberikan izin dalam
pelaksanaan penelitian ini.
4. Bapak Budi Nuswantoro dan Moehammad Hendrawan S. Pt yang telah
membantu dalam proses pengambilan data Produktivitas Sapi PO di Desa
Sekaran Kecamatan Jatirogo.
5. Keluarga tersayang Bapak Sirin, Ibu Sri Hastutik Rahayu dan Adinda
Kharisma Rani Delya yang telah memberikan semangat dan doa selama
penulis menempuh pendidikan di Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya.
Penulis
ii
THE PRODUCTIVITY OF FILLIAL ONGOLE BREED (PO) IN
SEKARAN VILLAGE JATIROGO SUBDISTRICT, TUBAN REGENCY
Pratama Krisna Adi Mulya1, Hary Nugroho2 dan Kuswati2
1)
Student at Faculty of Animal Husbandry, Brawijaya University
2)
Lecturer at Faculty of Animal Husbandry, Brawijaya University
Email: krisnaadi736@gmail.com
ABSTRACT
The objective of this research was to know the productivity of fillial ongole breed
(PO) including population structure, calf crop, birth rate, mortality, mutation, birth
weight, adjusted weaning weight in 205 days and statistic vital measurement.
Research was done in Sekaran village Jatirogo subdistrict, Tuban regency.
Materials used in this study were 89 heads male Fillial Ongole Breed and 218
heads female Fillial Ongole Breed from 95 farmers. Data were tabulated to
calculate the percentage, mean, and standard deviation. Data were analyzed using
descriptive analysis. The result showed that population structure of Fillial Ongole
Breed consisted of 29% male and 71% female with the ratio of bulls and cows 1 :
3, calf crop value was 64.74%. Birth rate and mortality rate within population
were 33.87% and 0.97%. Mutation consisted of 10.41% in and 32.57% out. Mean
of birth weight was 25.3±2.1 kg with body length, body height and chest girth
55.55±2.21 cm; 70.55±1.81 cm and 65.36±2.62 cm. Adjusted weaning weight for
205 days was 107.8±14.5 kg for male with the body length, body height, and
chest girth were 93.2±6.2 cm; 99.9±7.0 cm and 111.8±5.1 cm. Adjusted weaning
weight for 205 days 103.4±13.2 kg for female with body length, body height and
chest girth 92.6±6.0 cm; 99.4±7.5 cm and 108.9±7.5 cm. Calf crop value was
higher than the Agriculture Ministry standard. Mutation value showed that the
research location was potential as a production source. Adjusted weaning weight
in 205 days lower than the previous research.
Key words : Filial Ongole Breed, Calf Crop, Birth Weight and Average weaning
Weight
iii
PRODUKTIVITAS SAPI PERANAKAN ONGOLE DI DESA SEKARAN
KECAMATAN JATIROGO KABUPATEN TUBAN
RINGKASAN
iv
Nilai calf crop lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang ditetapkan
oleh Peraturan Menteri Pertanian. Nilai mutasi ternak total pengeluaran yang
tinggi dibandingkan dengan pemasukan menunjukkan lokasi penelitian
mempunyai kemampuan produksi yang baik dan berpotensi sebagai wilayah
sumber produksi. Bobot sapih terkoreksi 205 hari diatas rata-rata sebanyak
61,53% untuk jantan dan 7 41,17% untuk betina. Manajemen pemeliharaan yang
efisien perlu diterapkan untuk meningkatkan nilai calf crop melalui pemberian
pakan dengan nilai nutrisi tinggi.
v
DAFTAR ISI
Halaman
RIWAYAT HIDUP i
KATA PENGANTAR ii
ABSTRACT iii
RINGKASAN iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Kegunaan Penelitian 3
1.5 Kerangka Pikir 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi PO 5
2.2 Produktivitas 6
2.3 Bobot Lahir 7
2.4 Bobot Sapih 8
2.4 Pengukuran Statistik Vital 9
BAB III. MATERI DAN METODE METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 10
3.2 Materi Penelitian 10
3.3 Metode Penelitian 10
3.4 Variabel Pengamatan 10
3.5 Analisis Data 10
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi 13
4.2 Karakteristik Peternak 14
4.3 Struktur Sapi PO 15
4.4 Calf Crop Sapi PO 16
4.5 Mutasi Sapi PO 17
4.6 Bobot Lahir dan Ukuran Statistik Vital Pedet Sapi PO 18
4.7 Bobot Sapih dan Ukuran Statistik Vital Sapi PO Umur 205 Hari 19
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 20
5.2 Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 27
vi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Karakteristik Peternak 14
2. Struktur Populasi Sapi PO 15
3. Calf Crop Sapi PO 16
4. Mutasi Sapi PO 17
5. Bobot Lahir dan Ukuran Statistik Vital 18
6. Bobot Sapih Terkoreksi 205 Hari dan Ukuran Statistik Vital 19
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka pikir penelitian 4
2. Cara Pengukuran Statistik Vital 9
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Lokasi Penelitian 27
2. Dokumentasi Penelitian 28
3. Karakteristik Responden 29
4. Kepemilikan Sapi PO 32
5. Mutasi Sapi PO 35
6. Kelahiran Sapi PO 38
7. Perhitungan Rataan Kepemilikan Sapi PO 41
8. Perhitungan Persentase Kelahiran, Kematian dan Pertambahan
Populasi Sapi PO 43
9. Bobot Lahir dan Ukuran Statistik Vital Pedet Sapi PO 44
10. Bobot Sapih dan Ukuran Statistik Vital Sapi PO Umur 205 Hari 45
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
Pengembangan sapi lokal di Indonesia masih belum menunjukkan
kemajuan, sedangkan pemotongan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetap
dilakukan. Seleksi negatif di tingkat peternak menunjukkan bahwa peternak lebih
suka menjual ternaknya yang paling baik untuk mendapatkan harga jual yang
tinggi sehingga ternak yang kurang baik kualitasnya terpaksa dijadikan bibit,
hasilnya berdampak pada sapi lokal mengalami kepunahan sehingga plasma
nutfah hilang dan tidak dapat diperbaharui kembali.
Salah satu ternak lokal di Jawa Timur adalah sapi Peranakan Ongole (PO),
karena saat program Ongolisasi yang dilaksanakan pemerintah Belanda , Propinsi
Jawa Timur tepatnya di wilayah karasidenan Bojonegoro, Kediri dan Madiun
menjadi sentra pengembangan sapi PO dan sampai saat ini masih dipertahankan
untuk dipelihara secara turun temurun. Desa Sekaran Kecamatan Jetirogo
Kabupaten Tuban yang mempunyai populasi 1.223 ekor dan belum banyak
potensi yang digali. Beberapa parameter teknis produktivitas dari aspek produksi
induk meliputi calf crop yang dipengaruhi oleh jumlah induk dalam suatu
wilayah, bobot lahir dan bobot sapih yang dapat menjadikan penentu produksi.
Menurut Budiarto, Hakim, Suyadi, Nugriatiningsih dan Ciptadi (2013)
produktivitas meliputi aspek pengendalian mutasi keluar ternak, pengamatan
pertambahan nilai populasi alami, dan angka calf crop. Aspek – aspek produksi
untuk seleksi dijelaskan pula oleh Supriyantono, Hakim, Suyadi dan Ismudiono
(2012) bahwa estimasi peningkatan genetik dari bobot sapih, pertambahan bobot
badan dan bentuk tubuh sapi diperlukan untuk mengetahui secara luas
peningkatan genetik sifat seleksi. Dengan uraian diatas, maka perlu dilakukan
penelitian tentang produktivitas sapi PO di Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban.
1.2 Rumusan Masalah
Sapi PO merupakan ternak lokal sekaligus sebagai salah satu sumber
plasma nutfah di Indonesia yang perlu dipertahankan kelestariannya.kebutuhan
konsumsi daging sapi dapat dipenuhi dengan produksi daging sapi melalui
produksi sapi potong nasional. Upaya yang dilakukan yaitu meningkatkan
produksi sapi potong lokal dan kebijakan yang bermanfaat untuk ternak sapi PO.
Rumusan masalah penelitian yaitu bagaimana produktivitas sapi PO yang ditinjau
dari aspek produksi :
a. Struktur populasi, calf crop, tingkat kelahiran, tingkat kematian dan mutasi
sapi PO.
b. Bobot lahir, bobot sapih terkoreksi 205 hari dan ukuran statistik vital.
2
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas sapi PO guna
untuk menentukan kebijakan dan kawasan perbibitan sapi PO meliputi aspek:
a. Struktur populasi, calf crop, tingkat kelahiran, tingkat kematian dan
mutasi sapi PO.
b. Bobot lahir, bobot sapih terkoreksi 205 hari dan ukuran statistik vital.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian tingkat produktivitas sapi PO bisa dijadikan pertimbangan untuk
mengoptimalkan potensi ternak lokal sebagai salah satu sumber plasma nutfah di
Indonesia dan memperoleh informasi bagi pemangku kebijakan dalam penentu
kebijakan sebagai kawasan perbibitan sapi PO.
1.5 Kerangka Pikir
Salah satu solusi untuk memenuhi peningkatan konsumsi daging sapi
adalah mengoptimalkan aspek produksi. Untuk mewujudkan ketersediaan bibit
sapi dalam negeri dengan jumlah yang memadai dan berkelanjutan, Pemerintah
berkewajiban membina para pelaku usaha pembibitan sapi. Peran pemerintah
dalam pembibitan ternak juga dijelaskan oleh (Anonimous, 2015) bahwa
pemerintah daerah juga didorong untuk menjadikan sebagian atau seluruh
wilayahnya sebagai wilayah sumber bibit jika memenuhi kriteria.
Salah satu ternak lokal di Jawa Timur adalah sapi Peranakan Ongole (PO)
di Desa Sekaran Kecamatan Jetirogo Kabupaten Tuban yang mempunyai populasi
1.223 ekor dan belum banyak dilakukan penelitian. Merupakan langkah strategis
untuk melalukan penelitian penggalian data base yang meliputi struktur populasi
sebagai pengetahuan populasi dasar, calf crop yang mempengaruhi adalah jumlah
induk, tingkat kelahiran, tingkat kematian dan pedet sapih dalam suatu wilayah,
mutasi ternak yang meliputi keluar masuk ternak dalam satu tahun beserta aspek
produksi yang meliputi bobot lahir, bobot sapih terkoreksi 205 hari dan ukuran
statistik vital dalam rangka pertimbangan untuk mengoptimalkan potensi ternak
lokal sebagai salah satu sumber plasma nutfah di Indonesia dan memperoleh
informasi bagi pemangku kebijakan dalam penentu kebijakan sebagai kawasan
perbibitan sapi PO.
.
3
Sapi PO
Struktur populasi
sapi PO
Calf crop Mutasi
Produksi
Tingkat Kelahiran Ternak Masuk
dan Kematian dan Keluar
Pedet sapi
PO
Evaluasi pengembangan
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi PO
Sapi Ongole berasal dari Madras, India. Sapi ini pertama kali dimasukkan
ke Sumba tahun 1906 dengan tujuan semula untuk dikarantina selanjutnya
dikembangkan di pulau tersebut. Tahun 1919 sampai 1929, sudah mulai
disebarluaskan ke luar Pulau Sumba dengan nama Sumba Ongole atau lebih
dikenal dengan sebitan Sapi SO. Pada tahun 1930 Pemerintah membuat kebijakan
keharusan mengawinkan sapi betina Jawa dengan pejantan SO yang kemudian
menghasilkan sapi PO. Kebijakan Pemerintah yang selanjutnya dilakukan adalah
dengan meningkatkan produktivitas melalui jalan persilangan baik dengan
inseminasi buatan maupun kawin alam (Hardjosubroto, 1994). Sejak
pembentukannya hingga menjadi suatu bangsa sapi yang mantap, sampai saat ini
belum banyak usaha terarah yang dilakukan untuk meningkatkan potensi biologik
dan genetiknya. Sapi PO tetap berkembang menjadi bangsa sapi yang mantap
dengan baku karakteristik morfologi yang mudah dikenali. Sapi PO menunjukkan
keunggulan sapi tropis yang tinggi, tahan terhadap panas, tahan terhadap
gangguan parasit seperti gigitan nyamuk dan caplak dan toleransi yang baik
terhadap pakan yang mengandung serat kasar tinggi (Astuti, 2004).
Sapi PO memiliki ciri-ciri berwarna putih dengan warna hitam di beberapa
bagian tubuh, bergelambir dan berpunuk, mempunyai daya adaptasi yang baik
tetapi kemempuan produksinya rendah. Tinggi gumba sapi jantan dewasa 150 cm
dan betina kurang lebih 135 cm sedangkan bobot badan sapi PO jantan dewasa
sekitar 600 kg dan betina dewasa 450 kg (Hardjosubroto dan Astuti, 1994).
Rataanbobot lahir sapi PO adalah 24,5 kg dan untuk rataan bobot sapih sapi PO
umur 205 hari adalah 109 kg (Aryogi Sumadi danHardjosubroto, 2005). Sapi PO di
beberapa daerah dipelihara dengan tujuan ganda disamping sebagai sapi potong
penghasil daging juga untuk tenaga kerja. Keadaan ini juga memberikan
kontribusi pengaruh terhadap potensi biologik baik produksi maupun
reproduksinya (Astuti, 2004).
Sifat pertumbuhan yang ditunjukkan sapi PO dipengaruhi oleh faktor
genetik dan lingkungan dengan sistem pemeliharaan serta interaksi antara
keduanya. Sapi Bos indicus lebih toleran terhadap panas dan kelembaban, dapat
lebih berkeringat dan lebih tahan terhadap kutu (MLA, 2011). Sapi lokal
mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk seperti krisis pakan, air,
pakan berserat tinggi, penyakit parasit, temperatur panas dan sistem pemeliharaan
tradisional (Abdullah, Noor, Martojo, Solihin dan Hendiwirawan, 2007).
Beberapa penelitian dan pengamatan telah melaporkan bahwa sapi PO merupakan
sapi tipe dwiguna, tahan serangan penyakit parasit, temperatur udara panas,
kelembaban udara rendah, daerah kering, pakan terbatas kualitas dan
kuantitasnya, serta efisiensi reproduksi (S/C, CI) lebih sfisien dibanding sapi
5
silangan Bos taurus dan Bos indicus yang dipelihara di peternak rakyat (Aryogi,
Romjali, Wijono dan Pratiwi, 2007). Sapi PO mempunyai respon yang baik
terhadap perubahan lingkungan baik terhadap temperatur maupun kondisi
lingkungan (Suryawan, Malikah, Sularno, Edy dan Agung, 2007).
2.2 Produktivitas
Wiyatna, Gunardi dan Mudikdjo (2012) sebagian besar peternak
memelihara sapi potong dengan tujuan pembibitan sehingga sapi betina
menempati proporsi paling banyak. Disamping itusapi betina dapat pula dijadikan
tenaga kerja penarik bajak karena sifatnya yang lebih tenang dan mudah
dikendalikan dibandingkan sapi jantan.Sumadi, Ngadiyono dan Sulastri (2007)
menyatakan distribusi populasi bangsa sapi di 6 kabupaten kantong ternak di Jawa
Tengah menunjukkan bahwa 60 persen induk sapi yang diusahakan oleh peternak
adalah bangsa sapi PO, karena mempunyai tingkat kebuntingan yang mudah
dibanding sapi keturunan sub tropis.Ditambah Sumadi, Ngadiyono dan Sulastri
(2007) menyatakan sapi hasil persilangan antara sapi lokal dengan sapi sub tropis
selalu mengalami kesulitan kebuntingan dan menyarankan agar persilangan sapi
lokal dengan sub tropis sebaiknya dilakukan pada satu kali persilangan saja.
Akibat tingginya angka perkawinan menyebabkan jarak beranak mencapai 21
bulan dan angka kelahiran rendah. Hartati, Sumadi, Subandriyo dan Hartatik
(2010) menyatakan sapi lokal memeliliki kemampuan reproduktivitas yang lebih
baik dibandingkan sapi persilangan. Sapi lokal mampu beradaptasi pada
lingkungan dan kondisi manajemen pemeliharaan di Indonesia yang sebagian
besar masih dipelihara di peternakan rakyat.
Calf crop adalah persentase antara jumlah pedet sapihan yang diperoleh
dalam keadaan hidup pada umur penyapihan dibandingkan jumlah induk dalam
satu kelompok ternak wilayah tertentu dalam waktu satu tahun (Sonbait, Santoso
dan Panjono, 2011). Peraturan Menteri Pertanian (2010) menyebutkan bahwa
peningkatan calf crop pada sapi lokal diharapkan mencapai nilai 30-40% dari total
populasi dalam satu kawasan. Hafez (2008) menyebutkan bahwa calf crop
dikatakan tinggi apabila mencapai 80% yang telah banyak dilaporkan dari
berbagai negara. Terdapat beberapa rumus pehitungan calf crop menurut Field
(2002) yaitu :
6
53,12% dari populasi induk yaitu 64 ekor. Kematian pedet pada saat dilahirkan
adalah 1 ekor.Sedangkan hasil penelitian Budiarto, Hakim, Suyadi,
Nurgiartiningsih dan Ciptadi (2013) menyebutkan bahwa nilai calf crop Sapi Bali
yang diperoleh di wilayah instalasi dasar Provinsi Bali sebesar 48,41%.
Ditambahkan oleh Yusran, Affandhi, Sudarmadi dan Wiyono (2005)
menyebutkan bahwa pada program sapi silangan PO, Simental dan Limousin di
Kabupaten Probolinggo Jawa Timur diperoleh kelahiran terhadap total populasi
induk sebesar 47,7%, sedangkan kelahiran terhadap total populasi diperoleh
28,7% dengan angka kematian 4,2%.
Sumadi, Ngadiyono dan Sulastri (2007) menyatakan bahwa populasi sapi
PO, Simpo dan Limpo di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah diperoleh persentase
pedet 10,32%, muda 4,77% dan dewasa 64,29%. Ditambahkan oleh Budiarto, dkk
(2013) bahwa persentase sapi Bali di wilayah populasi dasar Provinsi Bali dengan
rincian pedet 29,27%, muda 6,70% dan dewasa 63,88%. Persentase jantan dan
betina sebesar 15,48% dan 84,52%.
2.3 Bobot Lahir
Bobot lahir adalah berat pada saat pedet dilahirkan. Namun, sering
dijumpai adanya kesulitan teknis untuk menimbang pedet sesaat setelah
dilahirkan, sehingga biasanya bobot lahir didefinisikan sebagai berat pedet yang
ditimbang dalam kurun waktu 24 jam atau selambat-lambatnya 3 hari sesudah
lahir (Hardjosubroto, 1994).
Bobot lahir sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan anak sebelum lahir.
Selama didalam kandungan anak mengalami pertumbuhan yang lambat pada 2/3
awal kebuntingan dan pertumbuhan yang cepat selama 1/3 akhir kebuntingan.
Pertumbuhan itu dipengaruhi oleh genetik induk dan pejantan, jenis kelamin anak,
litter size, kualitas pakan induk serta umur dan bobot induk(Thomas, 2005). Hafez
(2008) menyebutkan bahwa kemampuan fisiologis ternak akan menurun seiring
dengan pertambahan umur. Kemampuan fisiologis tersebutsalah satunya adalah
respon terhadap nutrisi yang diberikan selama induk bunting.
Pada saat pedet lahir pencapaian bobot badan baru sekitar 8%. Secara
berurutan yang tumbuh atau terbentuk adalahsaraf, kerangka dan otot yang
menyelubungi seluruh kerangka sudah terbentuk semenjak berada di dalam
kandungan. Jika dibandingkan dengan sapi dewasa, pedet kakinya lebih tinggi dan
dadanya lebih sempit. Kaki belakang lebih panjang dari pada kaki depan,
berbadan pendek dan tipis serta berkepala lebih pendek (Phillips, 2001).
Pedetsemenjak lahir telah memiliki empat lambung seperti sapi dewasa,
namun belum berfungsi seluruhnya. Abomasum dan omasum pedet muda
merupakan bagian yang paling besar, yakni 70%. Sedangkan rumen dan
retikulum, hanya 30%. Pedet umur 3 – 4 minggu pakan yang diberikan berupa
cairan tanpa serat yang berasal dari susu induk atau susu buatan yang sekiranya
bisa memberi kekenyangan dan dapat dicerna (Thomas, 2005).
7
Hasil penelitian Hartati dan Dicky (2008) menunjukkan bahwa bobot lahir
sapi PO adalah 22,66±3,18 kg.MenurutAryogi, Romjali, Wijono dan Pratiwi
(2007) bahwa bobot lahir sapi PO di Pasuruan memiliki 24,5 kg. Bobot lahir sapi
PO di Kebumen sebesar 32,49±5,26 kg (Sudrajad, Subiharta dan Adinata,
2013).Perbedaan tersebut oleh Hartati dan Dicky (2008) dinyatakan diduga erat
kaitannya dengan penampilan genetik induk yang memiliki kemampuan
mothering ability berbeda dalam memelihara kebuntingannya. Menurut
Hardjosubroto (1994), menyatakan bahwa sifat yang secara genetik menurun pada
anaknya terutama adalah sifat yang diturunkan oleh pejantannya. Selain itu, induk
juga memegang peranan penting sebagai faktor penyebab perbedaan.
2.4 Bobot Sapih
Bobot sapih merupakan bobot pada saat anak dipisahkan pemeliharaannya
dengan induk. Bobot sapih menunjukkan kemampuan induk untuk menghasilkan
susu dan kemampuan anak sapi untuk mendapatkan susu dan tumbuh.Penyapihan
di Indonesia dilakukan hingga umur 10 bulan. Standarisasi bobot sapih umumnya
pada umur 205 hari, artinya pedet diasumsikan ditimbang pada umur yang
seragam yaitu 205 hari (Hardjosubroto, 1994).
Secara umum penyapihan pedet dilakukan pada umur tiga sampai tujuh
bulan. Bobot badan sapih dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan
produksi susu dan sifat keibuan (mothering ability) dan merupakan petunjuik yang
baik untuk mengetahui potensi genetik pertumbuhan pedet. Field (2002)
menyatakan perhitungan bobot badan yang disesuaikan ke arah 205 hari yaitu :
( )
( )
Bobot sapih sapi PO hasil penelitian Hartati dan Dicky (2008) dilaporkan
sebesar 87,52±19,25 kg. Bobot tersebut lebih kecil dibandingkan dengan hasil
penelitian Aryogi, dkk (2005) bahwa bobot badan sapi PO umur 205 hari adalah
109 kg. Hasil penelitian Wijono, Hartatik dan Mariyono (2006) menyatakan bobot
sapih terkoreksi sapi PO umur 205 hari sebesar 84,14±17,76 kg dengan
pertambahan bobot badan harian sebesar 0,30±0,08 kg.Hardjosubroto (1994)
melaporkan pertumbuhan pedet dari lahir sampai umur 120 hari adalah
pertumbuhan dalam periode laktasi, kecepatan pertumbuhan pedet tergantung
pada kemampuan produksi susu induk. Philips (2001) menyatakan pertumbuhan
sapi lepas sapih menggambarkan potensi pertumbuhan sebenarnya yang dimiliki
sapi tersebut. Potensi pertumbuhan sebagai dasar penampilan produksi sapi.
8
2.4 Pengukuran Statistik Vital
Menurut Hardjosubroto (1994) produksi ternak sapi potong berhubungan
dengan performannya, antara lain bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh
dan kondisi ternak. Apabila penimbangan bobot badan tidak mungkin dilakukan
maka lingkar dada, panjang badan dan tinggi gumba dapat digunakan sebagai alat
penduga bobot hidup dan dapat menggambarkan penampilan produksi ternak sapi.
Ukuran statistik vital ini digunakan sebagai perameter teknis penentu
standar bibit. Panjang badan dan tinggi gumba diukur dengan mistar ukur
sedangkan lingkar dada diukur dengan pita ukur. Lokasi pengukuran statistik vital
tubuh ternak tersaji pada Gambar 1.
9
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Keterangan :
n : Banyaknya sampel s : Standar Deviasi
x : Rata-rata x : Niali pengamatan ke – i
10
Menurut Krisna dan Harry (2014) rata-rata kepemilikan ternak sapi
potong responden per tahun dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut
:
1.
2. Pt = (P.aw + P. ak) : 2
3. P. aw = P. ak + D + G – B – E
Keterangan :
x = pemilikan sapi rata-rata responden per tahun (ekor)
Pt = rataan sampel per tahun
P. aw = jumlah sampel awal tahun atau setahun sebelum pengamatan
P. ak = jumlah sampel akhir tahun atau saat pengamatan
D = jumlah kematian setahun ( tidak termasuk dipotong)
G = jumlah pengeluaran ternak dalam setahun
B = jumlah kelahiran ternak selama setahun
E = jumlah pemasukan ternak selama setahun
R = jumlah responden
Perhitungan persentase kelahiran dan kematian menurut Sonbait, dkk
(2011) dapat dihitung sebagai berikut :
a. Jumlah kelahiran terhadap induk (Calf crop)
11
Penimbangan pedet sapihan dilakukan pada umur yang berbeda, maka
pada saat penimbangan pedet-pedet akan tidak sama umurnya. Untuk
menghilangkan pengaruh umur yang berbeda dilakukan penyesuaian ke umur 205
har. Maka diperoleh rumus bobot sapih umur 205 hari sebagai berikut :
( )
( )
Keterangan :
FKUI = induk umur 2 th = 1,15
Induk umur 3 th = 1,10 (Hardjosubroto, 1994)
Induk umur 4 th = 1,05
Induk umur > 5 th =1,00
12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
13
4.2Karakteristik Peternak
Pemeliharaan sapi PO oleh peternak di Desa Sekaran Kecamatan Jatirogo
Kabupaten Tuban masih tradisional. Menurut Hakim, Ciptadi dan
Nugriatiningsih, (2010) menyatakan ciri khas sistem peternakan sapi potong di
Indonesia adalah small holder farming system, rata-rata peternakan mempunyai
tingkat pendidikan yang tergolong rendah sehingga kurang responsif terhadap
manajemen breeding. Karakteristikpeternak berdasarkan umur, pendidikan dan
lama beternak disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Peternak
No. Karakteristik Peternak Rata-rata Persentase (%)
1. Umur (Tahun) 48,97 ± 8,13
2. Pendidikan
a. Tidak Sekolah 17,89
b. SD 73,68
c. SMP 6,31
d. SMA 2,10
3. Lama Beternak (Tahun) 34,17 ± 14,96
Sumber : Data Primer, 2015
Tabel 1 menunjukkan bahwa umur peternak 48,97 ± 8,13 tahun. Menurut
Adesoji, Farinde dan Ajayi (2006) bahwa peternak yang berada dalam usia
produktif yaitu berkisar 15 – 45 tahun. Persentase peternak yang tergolong dalam
usia produktif sebesar 45,26% dari jumlah seluruh responden. Data usia, tingkat
pendidikan dan lama beternak tersebut dapat menjadi bahan evaluasi keberhasilan
sistem peternakan yang telah berjalan. Menurut Saleh dan Sofyan (2006)peternak
dengan umur > 55 tahun biasanya akan lebih fokus dalam hal pemeliharaan
karena pada usia tersebut peternak sudah tidak produktif.
Pendidikan yang ditempuh oleh peternak sangan bervariasi(Tabel 1).
Persentase peternak yang tidak sekolah sebesar 17,89%, tingkat SD sebesar
73,68%; SMP 6,31% dan SMA 2,10%. Roessali, Prasetyo, Marzuki dan Oktarian
(2005) menyatakan bahwa tingkat pendidikan dikalangan peternak berperan
dalam mendukung pengetahuan zooteknik, sehingga pendidikan yang tinggi akan
lebih mudah menyerap inovasi baru. Jumlah peternak yang tidak menempuh
pendidikan atau tidak bersekolah sebesar 17,89%. Hal ini menunjukkan perlu
adanya perhatian dari pemangku kebijakan untuk saling mendukung dalam hal ke
arah perbaikan pola pemeliharaan atau inovasi baru. Pendidikan yang lebih tinggi
membuat seorang peternak akan cenderung lebih baik untuk mendapatkan
informasi, baik dari orang lain misalnya penyuluh maupun dari media masa.
Pengalaman beternak sapi PO cukup lama dengan rataan 34,17 ± 14,96
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar merupakan peternak lama.
Lama beternak akan memberikan korelasi terhadap hasil dan gambaran bahwa
peternak memiliki pengetahuan untuk mengembangkan kegiatan beternaknya
14
sehingga adopsi teknologi dapat diterapkan (Nugroho and Winarto, 2005). Mata
pencaharian utama sebagai petanimenjadikan faktor yang kurang maksimalnya
pemeliharaaan sehingga kepemilikan ternak hanya digunakan sebagai tabungan
dan dapat dijual setiap saat.
Peternak di Desa Sekaran cenderung menyukai bangsa sapi PO karena
dapat bertahan dilingkungan tersebut dibanding dengan sapi peranakan Simental
maupun Limousin. Laju pertumbuhan dan pertambahan bobot badan sapi PO
lebih kecil dibandingkan dengan sapi silangan, tetapi tetap efisien karena sesuai
dengan kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan dan telah dipahami kurang
tepat oleh peternak sehingga sapi PO dianggap kalah menguntungkan untuk
dipelihara dibanding sapi silangan (Aryogi, dkk., 2007). Manajemen pemeliharaan
yang diterapkan merupakan hasil dari pengalaman peternak terutama generasi
sebelumnya karena pekerjaan peternak sapi merupakan warisan dan turun
temurun. Menurut Aryogi, dkk., (2005) usaha sapi potong rakyat sebagian besar
merupakan usaha yang bersifat turun temurun dengan pola pemeliharaan sesuai
dengan kemampuan peternak generasi sebelumnya terutama dalam hal pemberian
pakan hijauan yang bervariasi jenis dan jumlahnya.
4.3 Struktur Populasi Sapi PO
Struktur populasi merupakan salah satu variabel utama yang diamati untuk
mengetahui komposisi sapi yang terdapat di lokasi penelitian. Struktur populasi
sapi PO di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Struktur Populasi Sapi PO
No Kelompok Jantan Betina Total
Ekor % Ekor % Ekor %
1 Pedet 21 6,8 39 12,7 60 19,5
(1) (1,8)
2 Muda 13 4,2 23 7,4 36 11,7
(1) (1,7)
3 Dewasa 55 17,9 156 50.8 211 68,8
(1) (2,8)
Total 89 29 218 71 307 100
Sumber : Data Primer, 2015
Struktur sapi PO dilokasi penelitian adalah sebesar 29% jantan dan 71%
betina. Perbandingan sapi jantan dan betina dewasa adalah 1 : 2,8. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa populasi betina lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
jantan namun masih dalam batas normal. Jumlah populasi betina yang tinggi
diharapkan sebagai populasi dasar dan dapat meningkatkan jumlah panen pedet.
Populasi betina berdasarkan kelompok umur sesuai Tabel 2 secara berturut–turut
pedet, muda dan dewasa adalah 12,7%; 7,4% dan 50,8%, persentase betina
dewasa lebih tinggi karena peternak menjadikan ternak sebagai tabungan dengan
mempertahankan betina dewasa sebagai induk dan menjual pedet dari hasil
15
perbibitan tanpa melakukan seleksi.Persentase pedet dan muda lebih tinggi
sedangkan dewasa lebih rendah dibandingkan dengan penelitian hasil penelitian
Sumadi, Ngadiyono dan Sulastri (2007) menunjukkan bahwa jumlah sapi betina
berdasarkan kelompok umur pedet, muda dan dewasa masing–masing yaitu
10,32%; 4,77% dan 64, 29%. Rasio jantan dan betina dalam populasi adalah 1 : 3.
Penggunaan jantan untuk membajak sawah, transportasi cikar, penggemukan
untuk dijual dan perkawinan secara alami.
Rataan kepemilikan sapi PO dilokasi penelitian per tahun berdasarkan
perhitungan pada Lampiran 8 sebesar 3 ekor, tergolong rendah karena ternak
bukan mata pencaharian utama, digunakan sebagai sampingan dan dimanfaatkan
untuk membajak sawah dan transportasi cikar serta memanfaatkan limbah
pertanian sebagai pakan ternak.Menurut Ditjenak (2016) bahwa kepemilikan
ternak pada peternakan rakyat sebesar 1 hingga 3 ekor dengan sistem
pemeliharaan tradisional. Upaya yang dilakukan yaitu dengan peningkatan
pembinaaan teknis, peningkatan pengawasan peredaran bibit/benih di tingkat
lapangan guna meningkatkan angka kelahiran dan jumlah populasi.
4.4 Calf CropSapi PO
Beberapa indikator keberhasilan suatu kegiatan produksi sapi potong yaitu
nilai panen pedet atau calf crop, angka kelahiran dan kematian. Menurut Hafez
(2008), komponen produktivitas sapi adalah jarak kelahiran, panen pedet (calf
crop), jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun (yearling), bobot potong
danpertambahan bobot badan.Persentase kelahiran dan kematian pada populasi
sapi potong di suatu daerah sentra pembibitan sapi potong berpengaruh terhadap
persentase calf crop seperti yang tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase calf crop
No. Keterangan %
1. Pedet sapih terhadap induk (calf crop) 64,74
2. Kelahiran pedet terhadap induk 66,67
a. Jantan 36,53
b. Betina 63,47
3. Kelahiran pedet terhadap populasi 33,87
4. Kematian
a. Terhadap induk 1,92
b. Terhadap populasi 0,97
Sumber : Data Primer, 2015
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase pedet sapih terhadap
induk (calf crop) sebesar 64,74%. Persentase kelahiran pedet terhadap induk
66,67% dengan komposisi jantan sebesar 36,53% dan betina sebesar 63,47%.
Nilai tersebut dipengaruhi olehmothering ability induk terhadap pedet serta sistem
pemeliharaan pedet oleh peternak yang baik sehingga tingkat kematian pedet pada
masa penyapihan rendah. Nilai calf crop yang lebih rendah diperoleh Sonbait,
16
Santosa dan Panjono (2011) sebesar 51,26%. Nilai ideal calf crop pada usaha
pembibitan berkisar 70 hingga 75% (Jainudeen dan Hafez, 2008), sedangkan rata
– rata nilai calf crop nasional sebesar 42,19% (Ditjenak, 2016). Nilai calf crop
dilokasi penelitian lebih baik jika dibandingkan dengan nilai rata-rata nasional.
Menurut Chenoweth and Sanderson (2005) faktor yang mempengaruhi nilai calf
crop antara lain pedet mati saat masa kebuntingan, pedet mati selama masa
penyapihan, jumlah pedet yang sudah lepas sapih serta induk yang tidak bunting
sampai akhir musim kawin.
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui persentase kematian terhadap induk
dan populasi masing-masing sebesar 1,92% dan 0,97%. Nilai tersebut lebih kecil
dibandingkan Peraturan Menteri Pertanian 2010 yang menyebutkan wilayah
sumber bibit menekan angka kematian pedet 5 sampai 10% dan kematian induk 2
sampai 5%.Kematian di lokasi penelitian disebabkan oleh kesalahan teknis
pemeliharaan dan bloat.Bloat disebabkan oleh pemberian pakan dalam kondisi
basah. Menurut Bangar, et al (2013) tingkat kematian ternak yang disebabkan alat
pencernaan mencapai 1,43% dan kekurangan nutrisi sebesar 0,85%.
4.5 Mutasi Sapi PO
Data mutasi sapi PO diperoleh melalui wawancara. Mutasi sapi PO hasil
penelitian di Desa Sekaran Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban disajikan pada
Tabel 4 :
Tabel 4. Mutasi Sapi PO
Komposisi (ekor)
No. Uraian Pedet % Muda % Dewasa % Total %
1. Pemasukan
a. Jantan 2 0,65 8 2,60 10 3,25 20 6,51
b. Betina 1 0,32 5 1,62 6 1,95 12 3,90
Total 3 0,97 13 4,23 16 5,20 32 10,41
2. Pengeluaran
a. Jantan 18 5,86 15 4,88 8 2,60 41 13,35
b. Betina 28 9,12 14 4,56 17 5,53 59 19,40
Total 46 14,98 29 9,44 25 8,14 100 32,57
Sumber : Data Primer, 2015
Berdasarkan Tabel 4 dengan perhitungan pada Lampiran 5 dapat diketahui
pemasukan sapi PO selma tahun 2015 mencapai 10,41% dan pengeluaran sebesar
32,57%. Nilai pengeluaran lebih besar daripada pemasukan disebabkan oleh
kepemilikan yang digunakan sebagai tabungan dan akan menjual ternak yang
paling bagus dan menyisakan ternak jelek sehingga terjadi seleksi negatif. Sistem
gaduhan mempunyai tujuan pemeliharaan ternak yaitu sebagai pembibitan.
Tujuan pembibitan pada sistem gaduhan yaitu memperbanyak jumlah kepemilikan
ternak yang kemudian akan dibagi hasil antara penggaduh (peternak) dan pemilik
sapi dengan sistem yang telah disepakati sebelumnya. Menurut Sonbait, dkk.,
17
(2011) kemitraan dilandasi oleh azas kesetaraan kedudukan, saling membutuhkan,
dan saling menguntungkan serta adanya persetujuan di antara pihak yang
bermitra untuk saling berbagi biaya, resiko dan manfaat. Menurut Hendayana
(2011) bahwa motivasi kepemilikan ternak sapi oleh peternak hanya untuk usaha
sampingan dan untuk tabungan jika dibutuhkan sewaktu–waktu.
Perbandingan pemasukan sapi jantan dan betina adalah 1,6 : 1.
Pengeluaran betina lebih tinggi dibanding jantan masing–masing sebesar 19,40%
dan 13,35%. Pengeluaran jantan diindikasikan sebagai penggemukan dan betina
digunakan untuk memenuhi kebutuhan induk di wilayah lain. Pada penelitian
Sumadi, Ngadiyono dan Sulastri (2007) pengeluaran induk PO dan LIMPO
masing–masing sebesar 6,64% dan 2%, sedangkan total keluar secara keseluruhan
pada sapi PO 25,72% dan pada LIMPO sebesar 48,57%.
Pengeluaran betina pedet dan muda msaing–masing sebesar 9,12% dan
4,56%, menjadi salah satu penyebab rendahnya nilai calf crop dengan pengurasan
ternak muda. Menurut Yusdja dan Ilham (2006) bahwa diindikasikan ternak lokal
mengalami pengurasan sehingga berdampak pada pertumbuhan populasi yang
negatif.
4.6 Bobot Lahir dan Ukuran Statistik Vital Pedet Sapi PO
Bobot lahir dan ukuran statistik vital pedet sapi PO disajikan Tabel 5.
Tabel 5. Bobot Lahir dan Ukuran Satatistik Vital Pedet Sapi PO.
Variabel Pengamatan Rata-rata ± SD
Bobot lahir (kg) 25,3±2,1
Panjang badan (cm) 55,55±2,21
Tinggi badan (cm) 70,55±1,81
Lingkar dada (cm) 65,36±2,62
18
menyatakan ekspresi fenotip seekor ternak dipengaruhi oleh potensi genetik
tetuanya dan pengaruh lingkungan.
4.7 Bobot Sapih Terkoreksi 205 Hari dan Ukuran Statistik Vital
Bobot sapih terkoreksi 205 hari dan ukuran statistik vital disajikan pada
Tabel 6 sebagai berikut :
Tabel 6. Bobot Sapih Terkoreksi 205 Hari dan Ukuran Statistik Vital
Variabel pengamatan Rata-rata ± SD
Jantan Betina
Bobot sapih (kg) 107,8±14,5 103,4±13,2
Panjang badan (cm) 93,2±6,2 92,6±6,0
Tinggi badan (cm) 99,9±7,0 99,4±7,5
Lingkar dada (cm) 111,8±5,1 108,9±7,5
Sumber : Data Primer, 2016
Bobot sapih terkoreksi umur 205 hari jantan sebesar 107,8 ±14,5 kg dan
bobot diatas rata-rata sebanyak 61,53%, betina sebesar 103,4±13,2 kg dan bobot
diatas rata-rata sebanyak 41,17%. Hasil penelitian ini menunjukkan pada sapih
umur 205 hari betina lebih besar dibandingkan jantan dan lebih rendah dibanding
dengan hasil penelitian Aryogi, Sumadi danHardjosubroto (2005) yag menyatakan
bobot badan sapi PO umur 205 hari adalah 109 kg. Perbedaan bobot badan ini
dapat dipengaruhi faktor genetik, kemampuan induk membesarkna anakanya serta
manajemen pemeliharaan. Perbedaan tersebut oleh Hartati dan Dicky (2008)
dinyatakan diduga erat kaitannya dengan penampilan genetik induk yang
memiliki kemampuan mothering ability berbeda dalam memelihara kebuntingan
dan anaknya. Menurut Hardjosubroto (1994), menyatakan bahwa sifat yang secara
genetik menurun pada anaknya terutama adalah sifat yang diturunkan oleh
pejantannya. Selain itu, induk juga memegang peranan penting sebagai faktor
penyebab perbedaan.
Faktor genetik diduga sebagai penyebab perbedaan bobot sapih ini ditinjau
dari potensi genetik pejantan yang berbeda. Pada penelitian ini pejantan yang
digunakan dilokasi penelitian berbeda dengan pejantan yang digunakan penelitian
Aryogi, Sumadi danHardjosubroto (2005). Hal tersebut berimbas pada kemampuan
dan potensi genetik yang berbeda. Peran pejantan dalam faktor genetik ini
penting, dikarenakan menurut Ball and Peters (2007), menyatakan sifat yang
secara genetik menurun pada anaknya terutama sifat yang diturunkan oleh
pejantan. Selain itu induk juga memegang peranan sebagai faktor penyebab
perbedaan. Faktor induk tersebut bisa meliputi faktor yang berperan dalam
perbedaan bobot sapih, ditinjau dari sifat mothering ability (sifat keibuan).
Mothering ability yang tinggi akan mampu memproduksi susu yang tinggi dan
bagus dalam melindungi pedet. Pertumbuhan pedet setelah lahir sangat
19
dipengaruhi oleh produksi susu induk. Produksi susu induk yang terbatas maka
pertumbuhan pedetnya juga mengalami kelambanan. Lambannya petumbuhan
pedet pra sapih dapat menyebabkan rendahnya bobot sapih dan apabila ingin
meningkatkan butuh manajemen yang baik.
20
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut :
1. Struktur populasi didominasi betina dewasa yang menghasilkan nilai calf
cro, tingkat kelahiran lebih tinggi dan tingkat kematian lebih rendah dari
target Peraturan Menteri Pertanian.
2. Mutasi ternak pada pengeluaran lebih tinggi dibandingkan pemasukan
menunjukkan lokasi penelitian sebagai sumber produksi.
3. Rataan bobot lahir sapi PO dilokasi penelitian sebesar 25,27±2,11 kg.
Rataan bobot sapih terkoreksi 205 hari untuk jantan sebesar 107,8±14,5
kg, bobot diatas rata-rata sebanyak 61,53% dan untuk betina sebesar
103,4±13,2 kg, bobot diatas rata-rata sebanyak 41,17%.
5.2 Saran
1. Mengontrol mutasi ternak agar keseimbangan struktur populasi terjaga.
2. Menerapkan manajemen pemeliharaan yang efisien dengan meningkatkan
nilai calf crop melalui pemberian pakan dengan nilai nutrisi tinggi.
21
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. A. N., R. R. Noor, H. Martojo, D. D. Solihin dan E. Handiwirawan.
2007. Keragaman Fenotipik Sapi Aceh di Nanggroe Aced
Darussalam. Jurnal Indonesia Tropical Agriculture. 32 (1): 11 – 21.
Astuti, M., 2004. Potensi dan Sumberdaya Genetik Sapi Peranakan Ongole (PO).
Dalam : Lokakarya Nasional Sapi Potong. Wartazoa. 14 (3): 98 – 106.
Badan Standarisasi Nasional. 2015. Standar Nasional Indonesia. Bibit Sapi Potong
Bagiann 5 : Sapi Peranakan Ongole.
Ball, P.L.H. and Peters, A. R. 2007. Reproduction in Cattle Third Edition. Black
well Publishing. Markono Print Media Pte Ltd. Singapore.
22
Budiarto, A., Hakim, L., Suyadi, Nurgiartiningsih, V.M.A. dan Ciptadi, G. 2013.
Natural Increase Sapi Bali di Wilayah Instalasi Populasi Dasar
Propinsi Bali. Jurnal Ternak Tropika. 14 (2) : 46-52.
Field, T. G. 2002. Beef Production and Management Decisions. 4th Edition Inc.
Upper Saddle River, New Jersey. 116 – 138.
Hartati dan Dicky, M.D. 2008. Hubungan Bobot Hidup Induk Saat Melahirkan
Terhadap Pertumbuhan Pedet Sapi PO di Foundation Stock. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 111 – 115.
Krisna R dan Harry. 2014. Hubungan Tingkat Kepemilikan dan Biaya Usaha
dengan Pendapatan Peternak Sapi Potong di Kabupaten Sukabumi
Proponsi Jawa Barat. Jurnal Aplikasi Manajemen. 12 (2) 295 – 305.
23
Luanmase, C, M., S. Nurtini dan F. Trisakti Haryadi. 2011. Analisis Motivasi
Beternak Sapi Potong bagi Peternak Lokal dan Transmigran serta
Pengaruhnya terhadap Pendapatan di Kecamatan Kairatu Kabupaten
Seram Bagian Barat. ISSN 0126-4400. Buletin Peternakan. 35 (2):
113 – 123.
Martojo, H., 2003. Indigenous Bali Cattle : The BestSuited Cattle Breed for
Sustainable Small Farm in Indonesia.
http://www.angrin.tlri.gov.tw/apec2003/Chapter2Cattle_1.pdf
Maryland. USA. 157-166.
Meat & Livestock Australia. 2011. Tropical Beef Production Manual. Meat &
Livestock Australia Limited. 4 – 16.
Musa, L.M.A., K.J. Peter and M.K.A. Ahmed. 2006. On Farm Characterization
Of Butana and Kenana Cattle Breed Production System in Sudan.
Livestock Research for Rural Dev. 18 (2).
Nurdiyanti, K., E. Handayatna dan Lutojo. 2012. Efisiensi Produksi Sapi Potong
pada Musim Kemarau di Peternakan Rakyat Daerah Pertanian Lahan
Kering di Kabupaten Gunungkidul. Tropical Animal Husbandry. 1 (1)
: 52 – 58.l
Pawere, F.R., Biliarti, E. dan Nurtinim S. 2010. Proporsi Bangsa, Umur, Bobot
Badan Awal dan Skor Kondisi Tubuh Sapi Bakalan pada Usaha
Penggemukan. Buletin Peternakan. 36 (3) : 193 – 198.
Perry, G., R. Daly and T. Melroe. 2009. Increasing Your Calf Crop by
Management, Pregnancy Testing, and Breeding Soundness
Examination of Bulls. College ofAgriculture & Biological Sciences.
South Dakota State University. 1-5.
24
Purohit, G. N., P. Kumar., K. Solanki., C. Shekher and S. P. Yadav. 2012.
Perspectives of Fetal Dystocia in Cattle and Buffalo. Veterinary
Science Development, 2 (8) : 31- 42.
Sudrajad, P., Subiharta dan Y. Adinata. 2013. Karakter Fenotipik Sapi Betina
Peranakan Ongole Kebumen. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. 98 – 106.
Susilawati, T., Subagyo I., Kuswati, Budiarto A., Muharlien dan M. Y. Afroni,
2004. Ternak Lokal Jawa Timur. Kerjasama antara Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya dengan Dinas Peternakan Propinsi
Jawa Timur. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.
25
Thomas, H. S. 2005. Getting Started with Beef and Dairy Cattle. Library of
CongressCataloging-in-Publication Data. 122-127.
Wijono, D. B., Hartatik dan Mariyono. 2006. Korelasi Bobot Sapih Terhadap
Bobot Lahir dan Bobot Hidup 365 Hari pada Sapi Peranakan Ongole.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
2006. 206 – 211.
Wiyatna, M. F., Gunardi, E,. Dan Mudikdjo. 2012. Produktivitas Sapi Peranakan
Ongole pada Peternakan Rakyat di Kabupaten Sumedang. Jurnal Ilmu
Ternak. 12 (2) 22 – 25.
26
LAMPIRAN
27
Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian.
28
Lampiran 3. Karakteristik Responden
Karakteristik Responden
No Umur Lama
Nama Alamat Pendidikan
(Th) Beternak
1 Garim Dukuhan RT 05 RW 03 45 25 SD
2 Diarto Dukuhan RT 05 RW 03 67 50 SD
3 Joko Dukuhan RT 05 RW 03 48 50 SD
4 Suradi Dukuhan RT 05 RW 03 25 10 SD
5 Kurmanto Dukuhan RT 05 RW 03 45 25 SD
6 Darno Dukuhan RT 05 RW 03 37 25 SD
7 Abdul Wahab Dukuhan RT 05 RW 03 40 23 SD
8 Wiji Dukuhan RT 05 RW 03 40 28 SD
9 Tumarno Dukuhan RT 05 RW 03 55 35 TS
10 Rasimen Dukuhan RT 05 RW 03 35 20 SD
11 Sutarto Dukuhan RT 05 RW 03 60 35 SD
12 Muntari Dukuhan RT 05 RW 03 30 15 SD
13 Aji Dukuhan RT 05 RW 03 35 15 SD
14 Bambang Dukuhan RT 05 RW 03 45 23 SD
15 Marsono Dukuhan RT 02 RW 03 27 15 SMP
16 Samuji Dukuhan RT 02 RW 03 41 34 SD
17 Doto Dukuhan RT 02 RW 03 45 45 SD
18 Sarmin Dukuhan RT 02 RW 03 62 50 SD
19 Sunaryo Dukuhan RT 02 RW 03 42 42 SMP
20 Wiyono Dukuhan RT 02 RW 03 85 70 SD
21 Lasmin Dukuhan RT 04 RW 03 45 25 SD
22 Sukijan Dukuhan RT 04 RW 03 38 25 SD
23 Suradi Dukuhan RT 04 RW 03 40 25 SD
24 Sumiati Dukuhan RT 04 RW 03 29 10 SMP
25 Tamsir Dukuhan RT 03 RW 03 64 50 TS
26 Muji Dukuhan RT 03 RW 03 45 32 SD
27 Sri yatun Dukuhan RT 03 RW 03 22 5 SD
28 Warsimin Dukuhan RT 03 RW 03 56 30 SD
29 Wardi Dukuhan RT 03 RW 03 47 30 SD
30 Kasmidi Dukuhan RT 03 RW 03 73 60 TS
31 Kartini Dukuhan RT 03 RW 03 65 40 TS
32 Kamisih Dukuhan RT 03 RW 01 45 30 SD
33 Darmi Dukuhan RT 03 RW 03 65 40 TS
34 Sukimin Dukuhan RT 03 RW 03 56 40 SD
35 Kasmijan Dukuhan RT 03 RW 03 65 50 SD
36 Sutrisno Dukuhan RT 03 RW 03 43 28 SD
29
Lanjutan
37 Jatmiko Dukuhan RT 03 RW 03 40 26 SD
38 Darmin Dukuhan RT 02 RW 03 47 35 SD
39 Sarmin Dukuhan RT02 RW 03 53 40 TS
40 Wardimin Dukuhan RT02 RW 03 80 70 TS
41 Kasmidi Dukuhan RT 02 RW 03 78 78 SD
42 Katim Dukuhan RT02 RW 03 55 42 SD
43 Darkim Dukuhan RT02 RW 03 65 50 TS
44 Kustaram Dukuhan RT02 RW 03 47 34 SD
45 Amin Dukuhan RT 03 RW 01 47 30 SD
46 Suwardi Dukuhan RT 02 RW 01 50 35 SD
47 Sutikno Dukuhan RT 05 RW 01 64 64 SD
48 Kujiono Dukuhan RT 05 RW 01 52 42 SD
49 Sholihin Dukuhan RT 02 RW 03 29 15 SD
50 Margo Dukuhan RT 05 RW 03 40 26 SMP
51 Taji Dukuhan RT 03 RW 03 50 35 SD
52 Taslim Dukuhan RT 03 RW 01 61 45 TS
53 Sulistiono Krajan RT 01 RW 01 20 8 SD
54 Jupri Krajan RT 03 RW 01 39 25 SD
55 Ramin Krajan RT 03 RW 01 72 60 TS
56 Kasmono Krajan RT 02 RW 02 55 42 SD
57 Suyanto Krajan RT 02 RW 02 41 28 SD
58 Karsimin Krajan RT 02 RW 01 55 40 SD
59 Kromo Keti Krajan RT 03 RW 01 70 50 TS
60 Suryadi Babagan RT 01 RW 04 41 26 SMP
61 Suwaji Babagan RT 02 RW 07 43 20 SD
62 Udiyono Babagan RT 01 RW 04 30 15 SD
63 Muji Dukuhan RT 02 RW 03 45 32 SD
64 Hendro S. Babagan RT 02 RW 04 53 15 SMA
65 Maryono Krajan RT 05 RW 01 18 8 SD
66 Warsimin Dukuhan RT 02 RW 03 56 30 TS
67 Suratin Krajan RT 05 RW 01 60 50 TS
68 Mulyoko Krajan RT 05 RW 01 36 20 SD
69 Djamin Krajan RT 05 RW 01 60 50 SD
70 Sugiono Dukuhan RT 02 RW 03 35 20 SMP
71 Somo Babagan RT 01 RW 03 60 45 SD
72 Suyono Babagan RT 01 RW 03 65 50 SD
73 Mudiono Dukuhan RT 02 RW 03 32 20 SMA
74 Limuk Dukuhan RT 03 RW 03 55 40 SD
75 Slamet Krajan RT 03 RW 01 45 30 SD
76 Juli Krajan RT 03 RW 01 68 45 SD
30
Lanjutan
77 Tambar Krajan RT 01 RW 01 45 30 SD
78 Warini Krajan RT 01 RW 02 35 20 SD
79 Karmi Krajan RT 05 RW 01 46 30 SD
80 Nardi Krajan RT 05 RW 01 60 55 TS
81 Suparlan Krajan RT 05 RW 01 32 20 SD
82 Bakrun Krajan RT 05 RW 01 60 50 SD
83 Kastin Dukuhan RT 03 RW 03 65 40 TS
84 Kamijan Dukuhan RT 05 RW 01 46 35 SD
85 Jibris Dukuhan RT 02 RW 01 50 35 SD
86 Mugiyono Dukuhan RT 05 RW 02 35 20 SD
87 Trosarmin Dukuhan RT 01 RW 02 55 35 TS
88 Suratman Krajan RT 01 RW 01 60 50 TS
89 Waneng Krajan RT 01 RW 02 69 50 SD
90 Andi Krajan RT 03 RW 01 20 10 SD
91 Kamo Dukuhan RT 03 RW 03 35 20 SD
92 Suyikno Dukuhan RT 02 RW 03 59 40 SD
93 Trorin Dukuhan RT 03 RW 03 55 40 SD
94 Ramito Dukuhan RT 03 RW 03 60 50 SD
95 Darman Dukuhan RT 03 RW 03 46 25 SD
Jumlah 4652 3246
Rataan 48,97 34,17
Standard Deviasi 14,11 14,96
SD = 73,68 %
SMP = 6,31%
SMA = 2,10%
TS = 17,89%
31
Lampiran 4. Kepemilikan Sapi PO
32
Lanjutan
36 Sutrisno 0 1 1
37 Jatmiko 0 2 1 3
38 Darmin 0 1 1 2
39 Sarmin 2 2 2 1 3
40 Wardimin 1 1 2 2
41 Kasmidi 1 1 1 1 2
42 Katim 0 2 2
43 Darkim 0 2 1 3
44 Kustaram 0 2 1 3
45 Amin 0 2 1 3
46 Suwardi 1 1 3 1 4
47 Sutikno 1 1 2 2 4
48 Kujiono 0 2 2
49 Sholihin 1 1 4 1 1 6
50 Margo 0 2 2
51 Taji 2 2 0
52 Taslim 1 1 0
53 Sulistiono 1 1 0
54 Jupri 2 2 0
55 Ramin 4 1 5 4 1 5
56 Kasmono 2 3 5 6 1 2 9
57 Suyanto 1 1 1 1
58 Karsimin 1 1 4 1 2 7
59 Kromo Keti 1 1 2 1 3
60 Suryadi 2 2 0
61 Suwaji 0 3 3
62 Udiyono 2 2 0
63 Muji 1 1 1 1
64 Hendro S 1 1 2 2 2
65 Maryono 0 2 1 3
66 Warsimin 1 1 1 1
67 Suratin 1 1 1 1
68 Mulyoko 2 1 3 2 2
69 Djamin 1 1 0
70 Sugiono 2 1 3 2 2
71 Somo 0 2 1 3
72 Suyono 3 3 3 1 4
73 Mudiono 3 1 4 3 1 4
74 Limuk 1 1 2 0
75 Slamet 2 2 2 2 4
33
Lanjutan
76 Juli 0 1 1 2
77 Tambar 3 1 4 3 3
78 Warini 0 2 2 4
79 Karmi 0 1 1
80 Nardi 1 1 2 2 4
81 Suparlan 0 2 2
82 Bakrun 1 1 2 2
83 Kastin 1 1 3 3
84 Kamijan 1 1 3 1 4
85 Jibris 1 1 2 2
86 Mugiyono 2 2 2 2 4
87 Trosarmin 1 1 0
88 Suratman 0 3 1 4
89 Waneng 0 2 2 4
90 Andi 0 2 1 3
91 Kamo 1 1 2 1 3
92 Suyikno 1 1 2 2
93 Trorin 0 2 2
94 Ramito 0 2 1 3
95 Darman 1 1 2 2
Jumlah 55 13 21 89 156 23 39 218
Rataan 1,72 1,08 1,24 0,94 1,97 1,00 1,30 2,29
Standar Deviasi 0,81 0,29 0,56 1,14 0,93 0,00 0,47 1,63
Keterangan :
Total Populasi = 307 ekor
Pedet = 60 ekor
Muda =36 ekor
Dewasa = 211 ekor
34
Lampiran 5. Mutasi Sapi PO
Sapi Masuk Sapi Keluar
No Nama Jantan Betina Jantan Betina
D M P D M P D M P D M P
1 Garim 1 1
2 Diarto 1
3 Joko 1
4 Suradi 1
5 Kurmanto 1 1
6 Darno 1
7 Abdul W 1
8 Wiji 1
9 Tumarno 1 1
10 Rasimen 1 1
11 Sutarto 1
12 Muntari 1 1
13 Aji 1
14 Bambang 1
15 Marsono 1 1
16 Samuji 1 2
17 Doto 1 2
18 Sarmin 1 1
19 Sunaryo 1
20 Wiyono 1
21 Lasmin 1
22 Sukijan
23 Suradi 1 1
24 Sumiati 1 1
25 Tamsir
26 Muji 1 1 1
27 Sri yatun 1
28 Warsimin 1 1
29 Wardi 1 1
30 Kasmidi 2
31 Kartini 1
32 Kamisih
33 Darmi
34 Sukimin 1
35 Kasmijan
35
Lanjutan
36 Sutrisno 1
37 Jatmiko 1
38 Darmin 1 1
39 Sarmin 1
40 Wardimin 1 2 1
41 Kasmidi
42 Katim ` 1
43 Darkim 1 1
44 Kustaram 1 2
45 Amin 1
46 Suwardi
47 Sutikno
48 Kujiono 1 1
49 Sholihin 1 2
50 Margo
51 Taji 2
52 Taslim 1 1
53 Sulistiono 2 1 1
54 Jupri
55 Ramin 1 1
56 Kasmono 1
57 Suyanto 1 1
58 Karsimin 1
59 Kromo Keti 1
60 Suryadi 1 1
61 Suwaji 1 1 1
62 Udiyono
63 Muji 1 1
64 Hendro S. 1 1
65 Maryono 1
66 Warsimin 1
67 Suratin 1
68 Mulyoko 1
69 Djamin 1 1 1
70 Sugiono 1
71 Somo 1 2
72 Suyono 1
73 Mudiono 1
74 Limuk 1 1 2
75 Slamet
36
Lanjutan
76 Juli
77 Tambar 2
78 Warini
79 Karmi 1
80 Nardi
81 Suparlan 1 1
82 Bakrun
83 Kastin 1 1
84 Kamijan 2
85 Jibris 2
86 Mugiyono 1
87 Trosarmin 1
88 Suratman 2
89 Waneng
90 Andi 1
91 Kamo
92 Suyikno
93 Trorin 1 1
94 Ramito 1 1 1
95 Darman 1
Jumlah 10 8 2 6 5 1 8 15 18 17 14 28
37
Lampiran 6. Kelahiran Sapi PO
Kelahiran
No Nama Jenis Kelamin
Jantan Betina Jumlah
1 Garim 0
2 Diarto 1 1
3 Joko 1 1
4 Suradi 0
5 Kurmanto 0
6 Darno 1 1
7 Abdul Wahab 0
8 Wiji 0
9 Tumarno 0
10 Rasimen 0
11 Sutarto 1 1
12 Muntari 1 1 2
13 Aji 1 1
14 Bambang 1 1
15 Marsono 1 1
16 Samuji 2 2
17 Doto 0
18 Sarmin 1 1
19 Sunaryo 0
20 Wiyono 2 2
21 Lasmin 0
22 Sukijan 1 1 2
23 Suradi 0
24 Sumiati 1 1 2
25 Tamsir 1 1
26 Muji 1 1
27 Sri yatun 0
28 Warsimin 1 1
29 Wardi 0
30 Kasmidi 0
31 Kartini 0
32 Kamisih 1 1
38
Lanjutan
33 Darmi 0
34 Sukimin 0
35 Kasmijan 1 1
36 Sutrisno 0
37 Jatmiko 1 1
38 Darmin 1 1
39 Sarmin 2 2
40 Wardimin 1 1
41 Kasmidi 1 1 2
42 Katim 1 1
43 Darkim 1 1 2
44 Kustaram 2 2
45 Amin 2 2
46 Suwardi 0
47 Sutikno 2 2
48 Kujiono 1 1
49 Sholihin 3 3
50 Margo 0
51 Taji 0
52 Taslim 1 1
53 Sulistiono 0
54 Jupri 0
55 Ramin 1 2 3
56 Kasmono 3 2 5
57 Suyanto 0
58 Karsimin 2 2
59 Kromo Keti 2 2
60 Suryadi 0
61 Suwaji 1 1 2
62 Udiyono 0
63 Muji 0
64 Hendro Sasmito 0
65 Maryono 1 1
66 Warsimin 1 1
67 Suratin 1 1
68 Mulyoko 1 1 2
69 Djamin 1 1
70 Sugiono 1 1 2
71 Somo 2 2
72 Suyono 1 1
39
Lanjutan
73 Mudiono 1 2 3
74 Limuk 1 1
75 Slamet 2 2
76 Juli 0
77 Tambar 3 3
78 Warini 2 2
79 Karmi 0
80 Nardi 2 2
81 Suparlan 1 1
82 Bakrun 1 1
83 Kastin 2 1 3
84 Kamijan 2 1 3
85 Jibris 2 2
86 Mugiyono 2 2
87 Trosarmin 0
88 Suratman 2 2
89 Waneng 2 2
90 Andi 1 1
91 Kamo 1 1
92 Suyikno 0
93 Trorin 1 1
94 Ramito 1 1 2
95 Darman 1 1
Jumlah 38 66 104
40
Lampiran 7. Perhitungan Rataan Kepemilikan Sapi PO
Diketahui :
R = 95 orang
a. Dalam ekor
P. aw = P .ak + D + G – B – E
= 274
Pt = (P .aw + P .ak) : 2
= (307 + 274) : 2
= 290,5
= Pt : R
= 290,5 : 95
= 3,05 ekor
b. Dalam UT
P. aw = P. ak + D + G – B – E
= 246,5
Pt = (P. aw + P. ak) : 2
= (246,5 + 244) : 2
= 245, 25
41
= Pt : R
= 245, 25 : 95
= 2,58 UT
42
Lampiran 8. Perhitungan Persentase Kelahiran, Kematian dan Pertambahan
Populasi Sapi PO.
a. Jantan = 38 ekor
b. Betina = 66 ekor
43
Lampiran 9. Bobot Lahir Pedet Sapi PO
44
Lampiran 10. Bobot Sapih 205 Hari sapi PO
Jenis Kelamin Jantan
45
11 08/04/2016 18/09/2015 6 Bulan 20 Hari 200 7 88 87,5
12 10/04/2016 18/09/2015 6 bulan 22 Har 202 5 130 129,5
13 12/04/2016 05/10/2015 6 Bulan 7 hari 187 6 112 118,2
14 12/04/2016 27/09/2015 6 Bulan 15 Hari 195 6 88 89,1
15 12/04/2016 21/09/2015 6 Bulan 21 Hari 201 10 85 84,2
16 08/04/2016 03/09/2015 7 bulan 5 hari 215 6 101 95,6
17 08/04/2016 29/08/2015 7 Bulan 10 Hari 220 6 127 118,2
18 10/04/2016 16/08/2015 7 bulan 25 Hari 235 5 112 99,1
19 10/04/2016 01/09/2015 7 Bulan 10 Hari 220 4 118 115,3
20 10/04/2016 06/09/2015 7 Bulan 15 Hari 225 6 103 94,2
21 10/04/2016 01/09/2015 7 Bulan 10 Hari 220 6 107 99,5
22 12/04/2016 02/09/2015 7 Bulan 10 Hari 220 8 110 102,3
23 12/04/2016 12/09/2015 7 Bulan 210 6 103 99,2
24 12/04/2016 21/08/2015 7 bulan 22 hari 232 5 133 118,7
25 12/04/2016 09/09/2015 7 Bulan 3 Hari 213 6 109 103,9
26 12/04/2016 23/07/2015 8 Bulan 20 Hari 260 6 145 118,0
Rata-rata 122,9
STDEV 33,0
46