Anda di halaman 1dari 58

PRODUKTIVITAS SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO)

DI DESA SEKARAN KECAMATAN JATIROGO


KABUPATEN TUBAN

SKRIPSI

Oleh:
Pratama Krisna Adi Mulya
NIM. 125050100111041

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
PRODUKTIVITAS SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DI DESA
SEKARAN KECAMATAN JATIROGO KABUPATEN TUBAN

SKRIPSI

Oleh:
Pratama Krisna Adi Mulya
NIM. 125050100111041

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
PRODUKTIVITAS SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DI DESA
SEKARAN KECAMATAN JATIROGO KABUPATEN TUBAN

SKRIPSI

Oleh:
Pratama Krisna Adi Mulya
NIM. 125050100111041

Mengetahui: Menyetujui:
Program Studi Peternakan Pembimbing Utama,
Ketua,

(Dr.Ir. Sri Minarti, MP) (Dr. Ir. Hary Nugroho, MS)


NIP. 19610122 198601 2 001 NIP.19521107 198103 1 002
Tanggal: Tanggal:

Pembimbing Pendamping,

(Dr. Ir. Kuswati, MS)


NIP. 19580711 198601 2 002
Tanggal:
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Tuban Propinsi Jawa Timur pada tanggal 09


Agustus 1994. Penulis merupakan putra pertama dari pasangan Bapak Sirin dan
Ibu Sri Hastutik Rahayu. Dalam keluarga penulis mempunyai satu orang adik
perempuan yang bernama Kharisma Rani Delya.
Riwayat pendidikan yang pernah ditempuh adalah TK Bhayangkari
Montong (1998-2000) SDN Montogsekar 1 Tuban (2000-2006), SMPN
1Montong Tuban (2006-2009), SMKN 1 Tuban jurusan Teknik Instalasi Tenaga
Listrik (2009-2012), dan melanjutkan pendidikan S-1 di Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2012.
Selama di kampus penulis aktif di organisasi Kelompok Ilmiah Mahasiswa
(KIM) dan Barisan Orang Sukses (BOS) Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya. Jabatan menjadi Sekertaris Manajer KIM FAPET UB periode
2014/2015. Penulis berhasil mendapatkan prestasi Juara 2 Kompetisi Debat
Berbahasa Indonesia Tingkat Nasional yang mengusung tema Peternakan dan
dilaksanakan di Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman pada tahun
2012.
Selama menjalankan pendidikan di Universitas Brawijaya penulis
mendapatkan beasiswa Bidikmisi mulai tahun 2012 sampai 2016. Penulis
melaksanakan PKL sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di
Rumah Potong Hewan (RPH) PT, Cianjur Artha Makmur, Widodo Makmur
Perkasa (WMP) Group di Desa Menteng Sari Kecamatan Cikalong Kulon
Kabupaten Cianjur.

i
KATA PENGANTAR

Segala Puja dan Puji bagi Allah SWT atas limpahan Rahmat, Hidayah dan
Pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Hary Nugroho, MS, selaku dosen pembimbing utama dan Dr. Ir.
Kuswati, MS, selaku pembimbing pendamping yang telah banyak
memberikan bimbingan dan motivasi dalam pelaksanaan penelitian serta
dalam penulisan skripsi.
2. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS, selaku Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya Malang yang telah mengijinkan dan memberikan
pendidikan di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
3. Dr. Ir. Sri Minarti, MP, selaku Ketua Program Studi Peternakan, Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya yang telah memberikan izin dalam
pelaksanaan penelitian ini.
4. Bapak Budi Nuswantoro dan Moehammad Hendrawan S. Pt yang telah
membantu dalam proses pengambilan data Produktivitas Sapi PO di Desa
Sekaran Kecamatan Jatirogo.
5. Keluarga tersayang Bapak Sirin, Ibu Sri Hastutik Rahayu dan Adinda
Kharisma Rani Delya yang telah memberikan semangat dan doa selama
penulis menempuh pendidikan di Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya.

Penulis menyadari dalam tulisan skripsi ini masih banyak kekurangan,


kritik dan saran yang membangun diharapkan untuk mendapatkan hasil yang
terbaik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Malang,23 Maret 2016

Penulis

ii
THE PRODUCTIVITY OF FILLIAL ONGOLE BREED (PO) IN
SEKARAN VILLAGE JATIROGO SUBDISTRICT, TUBAN REGENCY
Pratama Krisna Adi Mulya1, Hary Nugroho2 dan Kuswati2
1)
Student at Faculty of Animal Husbandry, Brawijaya University
2)
Lecturer at Faculty of Animal Husbandry, Brawijaya University
Email: krisnaadi736@gmail.com

ABSTRACT

The objective of this research was to know the productivity of fillial ongole breed
(PO) including population structure, calf crop, birth rate, mortality, mutation, birth
weight, adjusted weaning weight in 205 days and statistic vital measurement.
Research was done in Sekaran village Jatirogo subdistrict, Tuban regency.
Materials used in this study were 89 heads male Fillial Ongole Breed and 218
heads female Fillial Ongole Breed from 95 farmers. Data were tabulated to
calculate the percentage, mean, and standard deviation. Data were analyzed using
descriptive analysis. The result showed that population structure of Fillial Ongole
Breed consisted of 29% male and 71% female with the ratio of bulls and cows 1 :
3, calf crop value was 64.74%. Birth rate and mortality rate within population
were 33.87% and 0.97%. Mutation consisted of 10.41% in and 32.57% out. Mean
of birth weight was 25.3±2.1 kg with body length, body height and chest girth
55.55±2.21 cm; 70.55±1.81 cm and 65.36±2.62 cm. Adjusted weaning weight for
205 days was 107.8±14.5 kg for male with the body length, body height, and
chest girth were 93.2±6.2 cm; 99.9±7.0 cm and 111.8±5.1 cm. Adjusted weaning
weight for 205 days 103.4±13.2 kg for female with body length, body height and
chest girth 92.6±6.0 cm; 99.4±7.5 cm and 108.9±7.5 cm. Calf crop value was
higher than the Agriculture Ministry standard. Mutation value showed that the
research location was potential as a production source. Adjusted weaning weight
in 205 days lower than the previous research.

Key words : Filial Ongole Breed, Calf Crop, Birth Weight and Average weaning
Weight

iii
PRODUKTIVITAS SAPI PERANAKAN ONGOLE DI DESA SEKARAN
KECAMATAN JATIROGO KABUPATEN TUBAN

RINGKASAN

Pratama Krisna Adi Mulya1, Hary Nugroho2Kuswati2


1)
Mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang.
2)
Dosen Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang.
.

Sapi PO adalah salah satu sapi lokal yang banyak dibudidayakan di


Indonesia dengan populasi terbesar di Pulau Jawa. Salah satu solusi untuk
memenuhi peningkatan konsumsi daging sapi adalah mengoptimalkan aspek
produksi dan reproduksi serta manajemen pemeliharaan ternak lokal, sehingga
dapat menghasilkan produktivitas yang memiliki kualitas dan kuantitas tinggi
untuk dikembangkan sebagai ternak potong.
Penelitian dilakukan di Desa Sekaran Kecamatan Jatirogo Kabupaten
Tuban pada tanggal 13 Oktober 2015 sampai 23 April 2016. Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui produktivitas sapi PO yang meliputi aspek
struktur populasi, calf crop, tingkat kelahiran, tingkat kematian, mutasi, bobot
lahir, bobot sapih 205 hari dan ukuran statistik vital.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sapi PO jantan 89 ekor
dan betina 218 ekor dengan total 307 ekor dari total 95 peternak. Metode yang
digunakan adalah studi kasus dengan pemilihan lokasi secara purposive sampling
dan pengambilan sampel secara acak meliputi 3 Dukuh yaitu Dukuhan, Babakan
dan Krajan dengan masing-masing 30, 30 dan 35 responden. Data yang diperoleh
ditabulasi dan dihitung persentase, rata-rata dan simpangan baku untuk
selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan struktur populasi sapi PO terdiri dari 29%
jantan dan 71% betina dengan rasio jantan dewasa dan betina dewasa sebesar 1 :
3. Nilai calf crop sebesar 64, 74%. Persentase kelahiran pedet dan kematian
terhadap populasi masing-masing sebesar 33,87% dan 0,97%. Mutasi terdiri dari
pemasukan 10,41% dan pengeluaran 32,57%. Rataan bobot lahir 25,3±2,1 kg
dengan panjang badan, tinggi badan dan lingkar dada secara berurutan 55,55±2,21
cm; 70,55±1,81 cm dan 65,36±2,62 cm. Rataan bobot sapih terkoreksi 205 hari
untuk jantan sebesar 107,8±14,5 kg dengan panjang badan, tinggi badan dan
lingkar dada secara berurutan 93,2±6,2 cm; 99,9±7,0 cm dan 111,8±5,1 cm.
Rataan bobot sapih terkoreksi 205 hari untuk betina sebesar 103,4±13,2 kg dengan
panjang badan, tinggi badan dan lingkar dada secara berurutan 92,6±6,0 cm;
99,4±7,5 cm dan 108,9±7,5 cm.

iv
Nilai calf crop lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang ditetapkan
oleh Peraturan Menteri Pertanian. Nilai mutasi ternak total pengeluaran yang
tinggi dibandingkan dengan pemasukan menunjukkan lokasi penelitian
mempunyai kemampuan produksi yang baik dan berpotensi sebagai wilayah
sumber produksi. Bobot sapih terkoreksi 205 hari diatas rata-rata sebanyak
61,53% untuk jantan dan 7 41,17% untuk betina. Manajemen pemeliharaan yang
efisien perlu diterapkan untuk meningkatkan nilai calf crop melalui pemberian
pakan dengan nilai nutrisi tinggi.

v
DAFTAR ISI
Halaman
RIWAYAT HIDUP i
KATA PENGANTAR ii
ABSTRACT iii
RINGKASAN iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Kegunaan Penelitian 3
1.5 Kerangka Pikir 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi PO 5
2.2 Produktivitas 6
2.3 Bobot Lahir 7
2.4 Bobot Sapih 8
2.4 Pengukuran Statistik Vital 9
BAB III. MATERI DAN METODE METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 10
3.2 Materi Penelitian 10
3.3 Metode Penelitian 10
3.4 Variabel Pengamatan 10
3.5 Analisis Data 10
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi 13
4.2 Karakteristik Peternak 14
4.3 Struktur Sapi PO 15
4.4 Calf Crop Sapi PO 16
4.5 Mutasi Sapi PO 17
4.6 Bobot Lahir dan Ukuran Statistik Vital Pedet Sapi PO 18
4.7 Bobot Sapih dan Ukuran Statistik Vital Sapi PO Umur 205 Hari 19
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 20
5.2 Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 27

vi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Karakteristik Peternak 14
2. Struktur Populasi Sapi PO 15
3. Calf Crop Sapi PO 16
4. Mutasi Sapi PO 17
5. Bobot Lahir dan Ukuran Statistik Vital 18
6. Bobot Sapih Terkoreksi 205 Hari dan Ukuran Statistik Vital 19

vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka pikir penelitian 4
2. Cara Pengukuran Statistik Vital 9

viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Lokasi Penelitian 27
2. Dokumentasi Penelitian 28
3. Karakteristik Responden 29
4. Kepemilikan Sapi PO 32
5. Mutasi Sapi PO 35
6. Kelahiran Sapi PO 38
7. Perhitungan Rataan Kepemilikan Sapi PO 41
8. Perhitungan Persentase Kelahiran, Kematian dan Pertambahan
Populasi Sapi PO 43
9. Bobot Lahir dan Ukuran Statistik Vital Pedet Sapi PO 44
10. Bobot Sapih dan Ukuran Statistik Vital Sapi PO Umur 205 Hari 45

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hasil proyeksi besarnya permintaan daging sapi pada tahun 2015 sebesar
2,40 kg/kapita/tahun, tahun 2016 sebesar 2,41 kg/kapita/tahun dan tahun 2017
diproyeksikan 2,43 kg/kapita/tahun, sementara tahun 2018–2019 mengalami
penurunan dari 0,14 hingga 0,88 atau selama tahun 2015–2019 mengalami
pertumbuhan rata-rata sebesar 0,86% (Anonimous, 2015). Data Statistik
Peternakan Nasional yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Peternakan
melaporkan bahwa pada tahun 2015 Indonesia telah mengimpor 697.500 ekor sapi
bakalan untuk memenuhi peningkatan rata-rata konsumsi daging sapi.
Ternak lokal merupakan plasma nutfah dan ternak yang berasal dari
daerah lain dan sudah beradaptasi di Indonesia (Susilawati, Subagyo, Kuswati,
Budiarto, Ciptadi, Aulani’am, Hakim dan Pahlevi 2004). Jawa Timur merupakan
salah satu gudang ternak sapi potong nasional dengan bangsa sapi yang
mendominasi adalah sapiPeranakan Simental dan Limousin. Sapi PO yang
merupakan plasma nutfah asli Indonesia sudah hampir habis digantikan dengan
sapi bangsa eksotik yang memiliki ingkat reproduktivitas yang rendah. Tahun
2013 populasi sapi potong Jawa Timur mencapai 3.568.709 ekor, ditahun 2014
meningkat menjadi 4.125.533 ekor, hingga tahun 2015 mencapai 4.326.261 ekor
(Badan Pusat Statistik, 2015).
Sapi PO terbentuk sebagai hasil grading up sapi Jawa dengan sapi SO
sekitar tahun 1930, kebijakan pemerintah terhadap sapi PO adalah harus
dikawinkan sapi betina Jawa dengan pejantan SO, yang kemudian menghasilkan
sapi PO. Kebijakan ini dikenal dengan sebutan Ongolisasi, yang dilakukan
mengingat kebutuhan akan ternak sebagai penarik gerobak (Hardjosubroto, 1994).
Sapi PO adalah salah satu sapi lokal yang banyak dibudidayakan di Indonesia
dengan populasi terbesar di Pulau Jawa (Astuti, 2004). Namun seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran sapi PO bergeser kearah
pemenuhan kebutuhan daging masyarakat, karena sapi PO mempunyai
keunggulan mampu beradaptasi baik dengan lingkungan tropis dan kuaitas daging
disukai konsumen dari golongan pedagang bakso yang merupakan konsumen
tertinggi daging sapi di Indonesia.
Salah satu solusi untuk memenuhi peningkatan konsumsi daging sapi
adalah mengoptimalkan aspek produksi dan reproduksi serta manajemen
pemeliharaan ternak lokal, sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang
memiliki kualitas dan kuantitas tinggi untuk dikembangkan sebagai ternak potong.
Peningkatan jumlah populasi ternak lokal belum mampu memenuhi kebutuhan
konsumtif karena daya produksi dan reproduksinya masih rendah serta angka
kematian ternak yang relatif tinggi akibat pola pemeliharaan tradisional.

1
Pengembangan sapi lokal di Indonesia masih belum menunjukkan
kemajuan, sedangkan pemotongan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetap
dilakukan. Seleksi negatif di tingkat peternak menunjukkan bahwa peternak lebih
suka menjual ternaknya yang paling baik untuk mendapatkan harga jual yang
tinggi sehingga ternak yang kurang baik kualitasnya terpaksa dijadikan bibit,
hasilnya berdampak pada sapi lokal mengalami kepunahan sehingga plasma
nutfah hilang dan tidak dapat diperbaharui kembali.
Salah satu ternak lokal di Jawa Timur adalah sapi Peranakan Ongole (PO),
karena saat program Ongolisasi yang dilaksanakan pemerintah Belanda , Propinsi
Jawa Timur tepatnya di wilayah karasidenan Bojonegoro, Kediri dan Madiun
menjadi sentra pengembangan sapi PO dan sampai saat ini masih dipertahankan
untuk dipelihara secara turun temurun. Desa Sekaran Kecamatan Jetirogo
Kabupaten Tuban yang mempunyai populasi 1.223 ekor dan belum banyak
potensi yang digali. Beberapa parameter teknis produktivitas dari aspek produksi
induk meliputi calf crop yang dipengaruhi oleh jumlah induk dalam suatu
wilayah, bobot lahir dan bobot sapih yang dapat menjadikan penentu produksi.
Menurut Budiarto, Hakim, Suyadi, Nugriatiningsih dan Ciptadi (2013)
produktivitas meliputi aspek pengendalian mutasi keluar ternak, pengamatan
pertambahan nilai populasi alami, dan angka calf crop. Aspek – aspek produksi
untuk seleksi dijelaskan pula oleh Supriyantono, Hakim, Suyadi dan Ismudiono
(2012) bahwa estimasi peningkatan genetik dari bobot sapih, pertambahan bobot
badan dan bentuk tubuh sapi diperlukan untuk mengetahui secara luas
peningkatan genetik sifat seleksi. Dengan uraian diatas, maka perlu dilakukan
penelitian tentang produktivitas sapi PO di Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban.
1.2 Rumusan Masalah
Sapi PO merupakan ternak lokal sekaligus sebagai salah satu sumber
plasma nutfah di Indonesia yang perlu dipertahankan kelestariannya.kebutuhan
konsumsi daging sapi dapat dipenuhi dengan produksi daging sapi melalui
produksi sapi potong nasional. Upaya yang dilakukan yaitu meningkatkan
produksi sapi potong lokal dan kebijakan yang bermanfaat untuk ternak sapi PO.
Rumusan masalah penelitian yaitu bagaimana produktivitas sapi PO yang ditinjau
dari aspek produksi :
a. Struktur populasi, calf crop, tingkat kelahiran, tingkat kematian dan mutasi
sapi PO.
b. Bobot lahir, bobot sapih terkoreksi 205 hari dan ukuran statistik vital.

2
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas sapi PO guna
untuk menentukan kebijakan dan kawasan perbibitan sapi PO meliputi aspek:
a. Struktur populasi, calf crop, tingkat kelahiran, tingkat kematian dan
mutasi sapi PO.
b. Bobot lahir, bobot sapih terkoreksi 205 hari dan ukuran statistik vital.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian tingkat produktivitas sapi PO bisa dijadikan pertimbangan untuk
mengoptimalkan potensi ternak lokal sebagai salah satu sumber plasma nutfah di
Indonesia dan memperoleh informasi bagi pemangku kebijakan dalam penentu
kebijakan sebagai kawasan perbibitan sapi PO.
1.5 Kerangka Pikir
Salah satu solusi untuk memenuhi peningkatan konsumsi daging sapi
adalah mengoptimalkan aspek produksi. Untuk mewujudkan ketersediaan bibit
sapi dalam negeri dengan jumlah yang memadai dan berkelanjutan, Pemerintah
berkewajiban membina para pelaku usaha pembibitan sapi. Peran pemerintah
dalam pembibitan ternak juga dijelaskan oleh (Anonimous, 2015) bahwa
pemerintah daerah juga didorong untuk menjadikan sebagian atau seluruh
wilayahnya sebagai wilayah sumber bibit jika memenuhi kriteria.
Salah satu ternak lokal di Jawa Timur adalah sapi Peranakan Ongole (PO)
di Desa Sekaran Kecamatan Jetirogo Kabupaten Tuban yang mempunyai populasi
1.223 ekor dan belum banyak dilakukan penelitian. Merupakan langkah strategis
untuk melalukan penelitian penggalian data base yang meliputi struktur populasi
sebagai pengetahuan populasi dasar, calf crop yang mempengaruhi adalah jumlah
induk, tingkat kelahiran, tingkat kematian dan pedet sapih dalam suatu wilayah,
mutasi ternak yang meliputi keluar masuk ternak dalam satu tahun beserta aspek
produksi yang meliputi bobot lahir, bobot sapih terkoreksi 205 hari dan ukuran
statistik vital dalam rangka pertimbangan untuk mengoptimalkan potensi ternak
lokal sebagai salah satu sumber plasma nutfah di Indonesia dan memperoleh
informasi bagi pemangku kebijakan dalam penentu kebijakan sebagai kawasan
perbibitan sapi PO.
.

3
Sapi PO

1. Tahan serangan penyakit parasit


2. Tahan temperatur udara panas, kelembaban udara
rendah dan daerah kering
3. Tahan pakan terbatas kualitas dan kuantitasnya
4. Reproduksi yang efisien

1. Meningkatkan produktivitas ternak


2. Memenuhui kebutuhan hasil ternak
3. Kebijakan wilayah perbibitan sap PO

Struktur populasi
sapi PO
Calf crop Mutasi

Produksi
Tingkat Kelahiran Ternak Masuk
dan Kematian dan Keluar
Pedet sapi
PO

Bobot Lahir Bobot Sapih


Terkoreksi 205
hari
Peforma
Produksi

Panjang badan Tinggi badan Lingkar dada

Evaluasi pengembangan

Gambar 1. Diagram alir kerangka pikir penelitian

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi PO
Sapi Ongole berasal dari Madras, India. Sapi ini pertama kali dimasukkan
ke Sumba tahun 1906 dengan tujuan semula untuk dikarantina selanjutnya
dikembangkan di pulau tersebut. Tahun 1919 sampai 1929, sudah mulai
disebarluaskan ke luar Pulau Sumba dengan nama Sumba Ongole atau lebih
dikenal dengan sebitan Sapi SO. Pada tahun 1930 Pemerintah membuat kebijakan
keharusan mengawinkan sapi betina Jawa dengan pejantan SO yang kemudian
menghasilkan sapi PO. Kebijakan Pemerintah yang selanjutnya dilakukan adalah
dengan meningkatkan produktivitas melalui jalan persilangan baik dengan
inseminasi buatan maupun kawin alam (Hardjosubroto, 1994). Sejak
pembentukannya hingga menjadi suatu bangsa sapi yang mantap, sampai saat ini
belum banyak usaha terarah yang dilakukan untuk meningkatkan potensi biologik
dan genetiknya. Sapi PO tetap berkembang menjadi bangsa sapi yang mantap
dengan baku karakteristik morfologi yang mudah dikenali. Sapi PO menunjukkan
keunggulan sapi tropis yang tinggi, tahan terhadap panas, tahan terhadap
gangguan parasit seperti gigitan nyamuk dan caplak dan toleransi yang baik
terhadap pakan yang mengandung serat kasar tinggi (Astuti, 2004).
Sapi PO memiliki ciri-ciri berwarna putih dengan warna hitam di beberapa
bagian tubuh, bergelambir dan berpunuk, mempunyai daya adaptasi yang baik
tetapi kemempuan produksinya rendah. Tinggi gumba sapi jantan dewasa 150 cm
dan betina kurang lebih 135 cm sedangkan bobot badan sapi PO jantan dewasa
sekitar 600 kg dan betina dewasa 450 kg (Hardjosubroto dan Astuti, 1994).
Rataanbobot lahir sapi PO adalah 24,5 kg dan untuk rataan bobot sapih sapi PO
umur 205 hari adalah 109 kg (Aryogi Sumadi danHardjosubroto, 2005). Sapi PO di
beberapa daerah dipelihara dengan tujuan ganda disamping sebagai sapi potong
penghasil daging juga untuk tenaga kerja. Keadaan ini juga memberikan
kontribusi pengaruh terhadap potensi biologik baik produksi maupun
reproduksinya (Astuti, 2004).
Sifat pertumbuhan yang ditunjukkan sapi PO dipengaruhi oleh faktor
genetik dan lingkungan dengan sistem pemeliharaan serta interaksi antara
keduanya. Sapi Bos indicus lebih toleran terhadap panas dan kelembaban, dapat
lebih berkeringat dan lebih tahan terhadap kutu (MLA, 2011). Sapi lokal
mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk seperti krisis pakan, air,
pakan berserat tinggi, penyakit parasit, temperatur panas dan sistem pemeliharaan
tradisional (Abdullah, Noor, Martojo, Solihin dan Hendiwirawan, 2007).
Beberapa penelitian dan pengamatan telah melaporkan bahwa sapi PO merupakan
sapi tipe dwiguna, tahan serangan penyakit parasit, temperatur udara panas,
kelembaban udara rendah, daerah kering, pakan terbatas kualitas dan
kuantitasnya, serta efisiensi reproduksi (S/C, CI) lebih sfisien dibanding sapi

5
silangan Bos taurus dan Bos indicus yang dipelihara di peternak rakyat (Aryogi,
Romjali, Wijono dan Pratiwi, 2007). Sapi PO mempunyai respon yang baik
terhadap perubahan lingkungan baik terhadap temperatur maupun kondisi
lingkungan (Suryawan, Malikah, Sularno, Edy dan Agung, 2007).
2.2 Produktivitas
Wiyatna, Gunardi dan Mudikdjo (2012) sebagian besar peternak
memelihara sapi potong dengan tujuan pembibitan sehingga sapi betina
menempati proporsi paling banyak. Disamping itusapi betina dapat pula dijadikan
tenaga kerja penarik bajak karena sifatnya yang lebih tenang dan mudah
dikendalikan dibandingkan sapi jantan.Sumadi, Ngadiyono dan Sulastri (2007)
menyatakan distribusi populasi bangsa sapi di 6 kabupaten kantong ternak di Jawa
Tengah menunjukkan bahwa 60 persen induk sapi yang diusahakan oleh peternak
adalah bangsa sapi PO, karena mempunyai tingkat kebuntingan yang mudah
dibanding sapi keturunan sub tropis.Ditambah Sumadi, Ngadiyono dan Sulastri
(2007) menyatakan sapi hasil persilangan antara sapi lokal dengan sapi sub tropis
selalu mengalami kesulitan kebuntingan dan menyarankan agar persilangan sapi
lokal dengan sub tropis sebaiknya dilakukan pada satu kali persilangan saja.
Akibat tingginya angka perkawinan menyebabkan jarak beranak mencapai 21
bulan dan angka kelahiran rendah. Hartati, Sumadi, Subandriyo dan Hartatik
(2010) menyatakan sapi lokal memeliliki kemampuan reproduktivitas yang lebih
baik dibandingkan sapi persilangan. Sapi lokal mampu beradaptasi pada
lingkungan dan kondisi manajemen pemeliharaan di Indonesia yang sebagian
besar masih dipelihara di peternakan rakyat.
Calf crop adalah persentase antara jumlah pedet sapihan yang diperoleh
dalam keadaan hidup pada umur penyapihan dibandingkan jumlah induk dalam
satu kelompok ternak wilayah tertentu dalam waktu satu tahun (Sonbait, Santoso
dan Panjono, 2011). Peraturan Menteri Pertanian (2010) menyebutkan bahwa
peningkatan calf crop pada sapi lokal diharapkan mencapai nilai 30-40% dari total
populasi dalam satu kawasan. Hafez (2008) menyebutkan bahwa calf crop
dikatakan tinggi apabila mencapai 80% yang telah banyak dilaporkan dari
berbagai negara. Terdapat beberapa rumus pehitungan calf crop menurut Field
(2002) yaitu :

Sedangkan menurut Chenoweth and Sanderson (2005) yaitu :

Hasil penelitian Sonbait, Santoso dan Panjono (2011) menunjukkan bahwa


calf crop dikelompok ternak kabupaten Manokwari Papua Barat selama 1 tahun
diperoleh 51,26% dari populasi induk. Jumlah kelahiran pedet 34 ekor atau

6
53,12% dari populasi induk yaitu 64 ekor. Kematian pedet pada saat dilahirkan
adalah 1 ekor.Sedangkan hasil penelitian Budiarto, Hakim, Suyadi,
Nurgiartiningsih dan Ciptadi (2013) menyebutkan bahwa nilai calf crop Sapi Bali
yang diperoleh di wilayah instalasi dasar Provinsi Bali sebesar 48,41%.
Ditambahkan oleh Yusran, Affandhi, Sudarmadi dan Wiyono (2005)
menyebutkan bahwa pada program sapi silangan PO, Simental dan Limousin di
Kabupaten Probolinggo Jawa Timur diperoleh kelahiran terhadap total populasi
induk sebesar 47,7%, sedangkan kelahiran terhadap total populasi diperoleh
28,7% dengan angka kematian 4,2%.
Sumadi, Ngadiyono dan Sulastri (2007) menyatakan bahwa populasi sapi
PO, Simpo dan Limpo di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah diperoleh persentase
pedet 10,32%, muda 4,77% dan dewasa 64,29%. Ditambahkan oleh Budiarto, dkk
(2013) bahwa persentase sapi Bali di wilayah populasi dasar Provinsi Bali dengan
rincian pedet 29,27%, muda 6,70% dan dewasa 63,88%. Persentase jantan dan
betina sebesar 15,48% dan 84,52%.
2.3 Bobot Lahir
Bobot lahir adalah berat pada saat pedet dilahirkan. Namun, sering
dijumpai adanya kesulitan teknis untuk menimbang pedet sesaat setelah
dilahirkan, sehingga biasanya bobot lahir didefinisikan sebagai berat pedet yang
ditimbang dalam kurun waktu 24 jam atau selambat-lambatnya 3 hari sesudah
lahir (Hardjosubroto, 1994).
Bobot lahir sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan anak sebelum lahir.
Selama didalam kandungan anak mengalami pertumbuhan yang lambat pada 2/3
awal kebuntingan dan pertumbuhan yang cepat selama 1/3 akhir kebuntingan.
Pertumbuhan itu dipengaruhi oleh genetik induk dan pejantan, jenis kelamin anak,
litter size, kualitas pakan induk serta umur dan bobot induk(Thomas, 2005). Hafez
(2008) menyebutkan bahwa kemampuan fisiologis ternak akan menurun seiring
dengan pertambahan umur. Kemampuan fisiologis tersebutsalah satunya adalah
respon terhadap nutrisi yang diberikan selama induk bunting.
Pada saat pedet lahir pencapaian bobot badan baru sekitar 8%. Secara
berurutan yang tumbuh atau terbentuk adalahsaraf, kerangka dan otot yang
menyelubungi seluruh kerangka sudah terbentuk semenjak berada di dalam
kandungan. Jika dibandingkan dengan sapi dewasa, pedet kakinya lebih tinggi dan
dadanya lebih sempit. Kaki belakang lebih panjang dari pada kaki depan,
berbadan pendek dan tipis serta berkepala lebih pendek (Phillips, 2001).
Pedetsemenjak lahir telah memiliki empat lambung seperti sapi dewasa,
namun belum berfungsi seluruhnya. Abomasum dan omasum pedet muda
merupakan bagian yang paling besar, yakni 70%. Sedangkan rumen dan
retikulum, hanya 30%. Pedet umur 3 – 4 minggu pakan yang diberikan berupa
cairan tanpa serat yang berasal dari susu induk atau susu buatan yang sekiranya
bisa memberi kekenyangan dan dapat dicerna (Thomas, 2005).

7
Hasil penelitian Hartati dan Dicky (2008) menunjukkan bahwa bobot lahir
sapi PO adalah 22,66±3,18 kg.MenurutAryogi, Romjali, Wijono dan Pratiwi
(2007) bahwa bobot lahir sapi PO di Pasuruan memiliki 24,5 kg. Bobot lahir sapi
PO di Kebumen sebesar 32,49±5,26 kg (Sudrajad, Subiharta dan Adinata,
2013).Perbedaan tersebut oleh Hartati dan Dicky (2008) dinyatakan diduga erat
kaitannya dengan penampilan genetik induk yang memiliki kemampuan
mothering ability berbeda dalam memelihara kebuntingannya. Menurut
Hardjosubroto (1994), menyatakan bahwa sifat yang secara genetik menurun pada
anaknya terutama adalah sifat yang diturunkan oleh pejantannya. Selain itu, induk
juga memegang peranan penting sebagai faktor penyebab perbedaan.
2.4 Bobot Sapih
Bobot sapih merupakan bobot pada saat anak dipisahkan pemeliharaannya
dengan induk. Bobot sapih menunjukkan kemampuan induk untuk menghasilkan
susu dan kemampuan anak sapi untuk mendapatkan susu dan tumbuh.Penyapihan
di Indonesia dilakukan hingga umur 10 bulan. Standarisasi bobot sapih umumnya
pada umur 205 hari, artinya pedet diasumsikan ditimbang pada umur yang
seragam yaitu 205 hari (Hardjosubroto, 1994).
Secara umum penyapihan pedet dilakukan pada umur tiga sampai tujuh
bulan. Bobot badan sapih dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan
produksi susu dan sifat keibuan (mothering ability) dan merupakan petunjuik yang
baik untuk mengetahui potensi genetik pertumbuhan pedet. Field (2002)
menyatakan perhitungan bobot badan yang disesuaikan ke arah 205 hari yaitu :

( )
( )

Bobot sapih sapi PO hasil penelitian Hartati dan Dicky (2008) dilaporkan
sebesar 87,52±19,25 kg. Bobot tersebut lebih kecil dibandingkan dengan hasil
penelitian Aryogi, dkk (2005) bahwa bobot badan sapi PO umur 205 hari adalah
109 kg. Hasil penelitian Wijono, Hartatik dan Mariyono (2006) menyatakan bobot
sapih terkoreksi sapi PO umur 205 hari sebesar 84,14±17,76 kg dengan
pertambahan bobot badan harian sebesar 0,30±0,08 kg.Hardjosubroto (1994)
melaporkan pertumbuhan pedet dari lahir sampai umur 120 hari adalah
pertumbuhan dalam periode laktasi, kecepatan pertumbuhan pedet tergantung
pada kemampuan produksi susu induk. Philips (2001) menyatakan pertumbuhan
sapi lepas sapih menggambarkan potensi pertumbuhan sebenarnya yang dimiliki
sapi tersebut. Potensi pertumbuhan sebagai dasar penampilan produksi sapi.

8
2.4 Pengukuran Statistik Vital
Menurut Hardjosubroto (1994) produksi ternak sapi potong berhubungan
dengan performannya, antara lain bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh
dan kondisi ternak. Apabila penimbangan bobot badan tidak mungkin dilakukan
maka lingkar dada, panjang badan dan tinggi gumba dapat digunakan sebagai alat
penduga bobot hidup dan dapat menggambarkan penampilan produksi ternak sapi.
Ukuran statistik vital ini digunakan sebagai perameter teknis penentu
standar bibit. Panjang badan dan tinggi gumba diukur dengan mistar ukur
sedangkan lingkar dada diukur dengan pita ukur. Lokasi pengukuran statistik vital
tubuh ternak tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Cara pengukuran statistik vital tubuh ternak sapi


Keterangan :
a. Tinggi gumba diukur dari jarak terpendek dari tanah ke pangkal gumba.
b. Panjang badan dari siku kaki depan (humerus) sampai benjolan tulang
duduk (pin bone).
c. Lingkar dada diukur melingkar melalui bagian belakang bahu (shoulder).
(SNI, 2015)

9
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Desa Sekaran Kecamatan Jatirogo Kabupaten
Tuban pada tanggal 13 Oktober 2015 sampai 23 April 2016.
3.2 Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 95 peternak sapi PO
sebagai responden beserta sapi PO sebanyak 307 ekor.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu suatu
pelukisan dari suatu fase atau keseluruhan pengalaman yang relevan dari data
tertentu yang dipilih. Data primer dipilih melalui wawancara dengan peternak
menggunakan kuisioner dan pengamatan di lapang. Data sekunder diperoleh dari
Kelompok Ternak Sekar Langgeng dan kantor Balai Desa Sekaran Kecamatan
Jatirogo Kabupaten Tuban. Peralatan yang digunakan pada penimbangan bobot
badan yaitu timbangan digital merek Iconix-fx1 berkapasitas 2.000 kg dengan
ketelitian 0,1 kg. Pengukuran statistik vital dilakukan menggunakan mistar ukur
merek ExLokal berkapasitas 210 cm dengan ketelitian 0,1 cm dan pita ukur
(weight ben) merek Rondo berkapasitas 250 cm dengan ketelitian 0,1 cm.
Penentuan lokasi dan sampel penelitian dilakukan secara acak yang
meliputi 3 Dukuh yaitu Dukuhan, Babakan dan Krajan dengan masing – masing
Dukuh 30, 30 dan 35 responden. Pemilihan Desa Sekaran sebagai lokasi
penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa diwilayah tersebut merupakan sentra
sapi PO di Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban.
3.4 Variabel Pengamatan
Variabel produksi yang diamati antara lain persentase kelahiran pedet
terhadap populasi, presentase induk terhadap populasi, persentase kematian
terhadap populasi, presentase calf corp, mutasi ternak dan bobot lahir, bobot sapih
serta statistik vital pedet.
3.5Analisis Data
Data yang diperoleh ditabulasi kemudian dihitung presentase atau rata-rata
dan simpangan baku yang kemudian dianalisis secara deskriptif. Perhitungan rata-
rata dan simpangan baku menurut Hardjosubroto (1994) adalah sebagai berikut:

Keterangan :
n : Banyaknya sampel s : Standar Deviasi
x : Rata-rata x : Niali pengamatan ke – i

10
Menurut Krisna dan Harry (2014) rata-rata kepemilikan ternak sapi
potong responden per tahun dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut
:
1.
2. Pt = (P.aw + P. ak) : 2
3. P. aw = P. ak + D + G – B – E
Keterangan :
x = pemilikan sapi rata-rata responden per tahun (ekor)
Pt = rataan sampel per tahun
P. aw = jumlah sampel awal tahun atau setahun sebelum pengamatan
P. ak = jumlah sampel akhir tahun atau saat pengamatan
D = jumlah kematian setahun ( tidak termasuk dipotong)
G = jumlah pengeluaran ternak dalam setahun
B = jumlah kelahiran ternak selama setahun
E = jumlah pemasukan ternak selama setahun
R = jumlah responden
Perhitungan persentase kelahiran dan kematian menurut Sonbait, dkk
(2011) dapat dihitung sebagai berikut :
a. Jumlah kelahiran terhadap induk (Calf crop)

b. Persentase kelahiran pedet terhadap induk

c. Persentase kelahiran pedet berdasarkan jenis kelamin terhadap induk :


( )

d. Persentase kelahiran pedet terhadap populasi

e. Persentase induk terhadap populasi

f. Persentase kematian terhadap induk

g. Persentase kematian terhadap populasi

11
Penimbangan pedet sapihan dilakukan pada umur yang berbeda, maka
pada saat penimbangan pedet-pedet akan tidak sama umurnya. Untuk
menghilangkan pengaruh umur yang berbeda dilakukan penyesuaian ke umur 205
har. Maka diperoleh rumus bobot sapih umur 205 hari sebagai berikut :

( )
( )
Keterangan :
FKUI = induk umur 2 th = 1,15
Induk umur 3 th = 1,10 (Hardjosubroto, 1994)
Induk umur 4 th = 1,05
Induk umur > 5 th =1,00

12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi


Kecamatan Jatirogo merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Tuban
yang terletak di sisi barat Kabupaten Tuban. Jarak antara kantor Kecamatan
Jatirogo ke Kantor Kabupaten Tuban kurang lebih 60 km. Kecamatan Jatirogo
merupakan Kecamatan yang memiliki jarak terjauh ke 2 setelah Kecamatan
Kenduruan.
Batas Kecamatan Jatirogo :
Utara : Kecamatan Bancar Desa Ngepon dengan Desa Kejuran
Selatan : Kecamatan Kenduruan Desa Wotsogo dan Desa Sidodari
Timur : Kecamatan Bangilan Desa Kedung Jambangan
Barat : Kecamatan Sale Kabupaten Rembang Propinsi Jawa Tengah
Penelitian Produktivitas Sapi PO (Peranakan Ongole) dilakukan di Desa
Sekaran berdasarkan pertimbangan bahwa di wilayah tersebut merupakan sentra
sapi PO. Desa Sekaran dibagi 3 Dukuh, yaitu Dukuh Dukuhan, Krajan dan
Babakan. Lokasi ketiga Dukuh tersebut berdekatan dan mudah dijangkau dengan
topografi wilayahnya sebagian besar adalah datar.
Sapi PO dipelihara secara intensif dan semi intensif. Pemeliharaanintensif
sapi setiap hari kandangkan dan yang semi intensif sapi digembalakan pagi hari
sekitar jam 07.00 WIB dan kembali ke kandang pada sore hari. Sapi
digembalakan di area hutan jati. Kandang yang digunakan adalah kandang
individu yang letaknya didekat rumah peternak berada didalam maupun di luar
rumah. Menurut Luanmase, Nurtini dan Haryadi (2011)sistem pemeliharaan sapi
potong dikategorikan menjadi tiga cara yaitu sistem pemeliharaan intensif yaitu
ternak dikandangkan, sistem pemeliharaan semi intensif yaitu ternak
dikandangkan pada malam hari dan dilepas di padang penggembalaan pada pagi
dan siang hari dan sistem pemeliharaan ekstensif yaitu ternak dilepas di padang
penggembalaan.
Berdasarkan analisis deskriptif musim penghujan terjadi pada bulan
November sampai April, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei
sampai Oktober. Faktor musim menjadi salah satu faktor penentu ketersediaan
pakan khususnya hijauan pakan yang dapat menyebabkan fluktuasi ketersediaan
hijauan dan secara periodik selalu terjadi kekurangan di musim kemarau
(Nurdiyanti, Handayanta dan Lutojo, 2012). Kelebihan sapi PO yang dapat
beradaptasi dengan lingkungan tropis yang mempunyai temperatur panas,
cenderung lebih bertahan di daerah tersebut.

13
4.2Karakteristik Peternak
Pemeliharaan sapi PO oleh peternak di Desa Sekaran Kecamatan Jatirogo
Kabupaten Tuban masih tradisional. Menurut Hakim, Ciptadi dan
Nugriatiningsih, (2010) menyatakan ciri khas sistem peternakan sapi potong di
Indonesia adalah small holder farming system, rata-rata peternakan mempunyai
tingkat pendidikan yang tergolong rendah sehingga kurang responsif terhadap
manajemen breeding. Karakteristikpeternak berdasarkan umur, pendidikan dan
lama beternak disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Peternak
No. Karakteristik Peternak Rata-rata Persentase (%)
1. Umur (Tahun) 48,97 ± 8,13
2. Pendidikan
a. Tidak Sekolah 17,89
b. SD 73,68
c. SMP 6,31
d. SMA 2,10
3. Lama Beternak (Tahun) 34,17 ± 14,96
Sumber : Data Primer, 2015
Tabel 1 menunjukkan bahwa umur peternak 48,97 ± 8,13 tahun. Menurut
Adesoji, Farinde dan Ajayi (2006) bahwa peternak yang berada dalam usia
produktif yaitu berkisar 15 – 45 tahun. Persentase peternak yang tergolong dalam
usia produktif sebesar 45,26% dari jumlah seluruh responden. Data usia, tingkat
pendidikan dan lama beternak tersebut dapat menjadi bahan evaluasi keberhasilan
sistem peternakan yang telah berjalan. Menurut Saleh dan Sofyan (2006)peternak
dengan umur > 55 tahun biasanya akan lebih fokus dalam hal pemeliharaan
karena pada usia tersebut peternak sudah tidak produktif.
Pendidikan yang ditempuh oleh peternak sangan bervariasi(Tabel 1).
Persentase peternak yang tidak sekolah sebesar 17,89%, tingkat SD sebesar
73,68%; SMP 6,31% dan SMA 2,10%. Roessali, Prasetyo, Marzuki dan Oktarian
(2005) menyatakan bahwa tingkat pendidikan dikalangan peternak berperan
dalam mendukung pengetahuan zooteknik, sehingga pendidikan yang tinggi akan
lebih mudah menyerap inovasi baru. Jumlah peternak yang tidak menempuh
pendidikan atau tidak bersekolah sebesar 17,89%. Hal ini menunjukkan perlu
adanya perhatian dari pemangku kebijakan untuk saling mendukung dalam hal ke
arah perbaikan pola pemeliharaan atau inovasi baru. Pendidikan yang lebih tinggi
membuat seorang peternak akan cenderung lebih baik untuk mendapatkan
informasi, baik dari orang lain misalnya penyuluh maupun dari media masa.
Pengalaman beternak sapi PO cukup lama dengan rataan 34,17 ± 14,96
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar merupakan peternak lama.
Lama beternak akan memberikan korelasi terhadap hasil dan gambaran bahwa
peternak memiliki pengetahuan untuk mengembangkan kegiatan beternaknya

14
sehingga adopsi teknologi dapat diterapkan (Nugroho and Winarto, 2005). Mata
pencaharian utama sebagai petanimenjadikan faktor yang kurang maksimalnya
pemeliharaaan sehingga kepemilikan ternak hanya digunakan sebagai tabungan
dan dapat dijual setiap saat.
Peternak di Desa Sekaran cenderung menyukai bangsa sapi PO karena
dapat bertahan dilingkungan tersebut dibanding dengan sapi peranakan Simental
maupun Limousin. Laju pertumbuhan dan pertambahan bobot badan sapi PO
lebih kecil dibandingkan dengan sapi silangan, tetapi tetap efisien karena sesuai
dengan kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan dan telah dipahami kurang
tepat oleh peternak sehingga sapi PO dianggap kalah menguntungkan untuk
dipelihara dibanding sapi silangan (Aryogi, dkk., 2007). Manajemen pemeliharaan
yang diterapkan merupakan hasil dari pengalaman peternak terutama generasi
sebelumnya karena pekerjaan peternak sapi merupakan warisan dan turun
temurun. Menurut Aryogi, dkk., (2005) usaha sapi potong rakyat sebagian besar
merupakan usaha yang bersifat turun temurun dengan pola pemeliharaan sesuai
dengan kemampuan peternak generasi sebelumnya terutama dalam hal pemberian
pakan hijauan yang bervariasi jenis dan jumlahnya.
4.3 Struktur Populasi Sapi PO
Struktur populasi merupakan salah satu variabel utama yang diamati untuk
mengetahui komposisi sapi yang terdapat di lokasi penelitian. Struktur populasi
sapi PO di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Struktur Populasi Sapi PO
No Kelompok Jantan Betina Total
Ekor % Ekor % Ekor %
1 Pedet 21 6,8 39 12,7 60 19,5
(1) (1,8)
2 Muda 13 4,2 23 7,4 36 11,7
(1) (1,7)
3 Dewasa 55 17,9 156 50.8 211 68,8
(1) (2,8)
Total 89 29 218 71 307 100
Sumber : Data Primer, 2015
Struktur sapi PO dilokasi penelitian adalah sebesar 29% jantan dan 71%
betina. Perbandingan sapi jantan dan betina dewasa adalah 1 : 2,8. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa populasi betina lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
jantan namun masih dalam batas normal. Jumlah populasi betina yang tinggi
diharapkan sebagai populasi dasar dan dapat meningkatkan jumlah panen pedet.
Populasi betina berdasarkan kelompok umur sesuai Tabel 2 secara berturut–turut
pedet, muda dan dewasa adalah 12,7%; 7,4% dan 50,8%, persentase betina
dewasa lebih tinggi karena peternak menjadikan ternak sebagai tabungan dengan
mempertahankan betina dewasa sebagai induk dan menjual pedet dari hasil

15
perbibitan tanpa melakukan seleksi.Persentase pedet dan muda lebih tinggi
sedangkan dewasa lebih rendah dibandingkan dengan penelitian hasil penelitian
Sumadi, Ngadiyono dan Sulastri (2007) menunjukkan bahwa jumlah sapi betina
berdasarkan kelompok umur pedet, muda dan dewasa masing–masing yaitu
10,32%; 4,77% dan 64, 29%. Rasio jantan dan betina dalam populasi adalah 1 : 3.
Penggunaan jantan untuk membajak sawah, transportasi cikar, penggemukan
untuk dijual dan perkawinan secara alami.
Rataan kepemilikan sapi PO dilokasi penelitian per tahun berdasarkan
perhitungan pada Lampiran 8 sebesar 3 ekor, tergolong rendah karena ternak
bukan mata pencaharian utama, digunakan sebagai sampingan dan dimanfaatkan
untuk membajak sawah dan transportasi cikar serta memanfaatkan limbah
pertanian sebagai pakan ternak.Menurut Ditjenak (2016) bahwa kepemilikan
ternak pada peternakan rakyat sebesar 1 hingga 3 ekor dengan sistem
pemeliharaan tradisional. Upaya yang dilakukan yaitu dengan peningkatan
pembinaaan teknis, peningkatan pengawasan peredaran bibit/benih di tingkat
lapangan guna meningkatkan angka kelahiran dan jumlah populasi.
4.4 Calf CropSapi PO
Beberapa indikator keberhasilan suatu kegiatan produksi sapi potong yaitu
nilai panen pedet atau calf crop, angka kelahiran dan kematian. Menurut Hafez
(2008), komponen produktivitas sapi adalah jarak kelahiran, panen pedet (calf
crop), jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun (yearling), bobot potong
danpertambahan bobot badan.Persentase kelahiran dan kematian pada populasi
sapi potong di suatu daerah sentra pembibitan sapi potong berpengaruh terhadap
persentase calf crop seperti yang tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase calf crop
No. Keterangan %
1. Pedet sapih terhadap induk (calf crop) 64,74
2. Kelahiran pedet terhadap induk 66,67
a. Jantan 36,53
b. Betina 63,47
3. Kelahiran pedet terhadap populasi 33,87
4. Kematian
a. Terhadap induk 1,92
b. Terhadap populasi 0,97
Sumber : Data Primer, 2015
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase pedet sapih terhadap
induk (calf crop) sebesar 64,74%. Persentase kelahiran pedet terhadap induk
66,67% dengan komposisi jantan sebesar 36,53% dan betina sebesar 63,47%.
Nilai tersebut dipengaruhi olehmothering ability induk terhadap pedet serta sistem
pemeliharaan pedet oleh peternak yang baik sehingga tingkat kematian pedet pada
masa penyapihan rendah. Nilai calf crop yang lebih rendah diperoleh Sonbait,

16
Santosa dan Panjono (2011) sebesar 51,26%. Nilai ideal calf crop pada usaha
pembibitan berkisar 70 hingga 75% (Jainudeen dan Hafez, 2008), sedangkan rata
– rata nilai calf crop nasional sebesar 42,19% (Ditjenak, 2016). Nilai calf crop
dilokasi penelitian lebih baik jika dibandingkan dengan nilai rata-rata nasional.
Menurut Chenoweth and Sanderson (2005) faktor yang mempengaruhi nilai calf
crop antara lain pedet mati saat masa kebuntingan, pedet mati selama masa
penyapihan, jumlah pedet yang sudah lepas sapih serta induk yang tidak bunting
sampai akhir musim kawin.
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui persentase kematian terhadap induk
dan populasi masing-masing sebesar 1,92% dan 0,97%. Nilai tersebut lebih kecil
dibandingkan Peraturan Menteri Pertanian 2010 yang menyebutkan wilayah
sumber bibit menekan angka kematian pedet 5 sampai 10% dan kematian induk 2
sampai 5%.Kematian di lokasi penelitian disebabkan oleh kesalahan teknis
pemeliharaan dan bloat.Bloat disebabkan oleh pemberian pakan dalam kondisi
basah. Menurut Bangar, et al (2013) tingkat kematian ternak yang disebabkan alat
pencernaan mencapai 1,43% dan kekurangan nutrisi sebesar 0,85%.
4.5 Mutasi Sapi PO
Data mutasi sapi PO diperoleh melalui wawancara. Mutasi sapi PO hasil
penelitian di Desa Sekaran Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban disajikan pada
Tabel 4 :
Tabel 4. Mutasi Sapi PO
Komposisi (ekor)
No. Uraian Pedet % Muda % Dewasa % Total %
1. Pemasukan
a. Jantan 2 0,65 8 2,60 10 3,25 20 6,51
b. Betina 1 0,32 5 1,62 6 1,95 12 3,90
Total 3 0,97 13 4,23 16 5,20 32 10,41
2. Pengeluaran
a. Jantan 18 5,86 15 4,88 8 2,60 41 13,35
b. Betina 28 9,12 14 4,56 17 5,53 59 19,40
Total 46 14,98 29 9,44 25 8,14 100 32,57
Sumber : Data Primer, 2015
Berdasarkan Tabel 4 dengan perhitungan pada Lampiran 5 dapat diketahui
pemasukan sapi PO selma tahun 2015 mencapai 10,41% dan pengeluaran sebesar
32,57%. Nilai pengeluaran lebih besar daripada pemasukan disebabkan oleh
kepemilikan yang digunakan sebagai tabungan dan akan menjual ternak yang
paling bagus dan menyisakan ternak jelek sehingga terjadi seleksi negatif. Sistem
gaduhan mempunyai tujuan pemeliharaan ternak yaitu sebagai pembibitan.
Tujuan pembibitan pada sistem gaduhan yaitu memperbanyak jumlah kepemilikan
ternak yang kemudian akan dibagi hasil antara penggaduh (peternak) dan pemilik
sapi dengan sistem yang telah disepakati sebelumnya. Menurut Sonbait, dkk.,

17
(2011) kemitraan dilandasi oleh azas kesetaraan kedudukan, saling membutuhkan,
dan saling menguntungkan serta adanya persetujuan di antara pihak yang
bermitra untuk saling berbagi biaya, resiko dan manfaat. Menurut Hendayana
(2011) bahwa motivasi kepemilikan ternak sapi oleh peternak hanya untuk usaha
sampingan dan untuk tabungan jika dibutuhkan sewaktu–waktu.
Perbandingan pemasukan sapi jantan dan betina adalah 1,6 : 1.
Pengeluaran betina lebih tinggi dibanding jantan masing–masing sebesar 19,40%
dan 13,35%. Pengeluaran jantan diindikasikan sebagai penggemukan dan betina
digunakan untuk memenuhi kebutuhan induk di wilayah lain. Pada penelitian
Sumadi, Ngadiyono dan Sulastri (2007) pengeluaran induk PO dan LIMPO
masing–masing sebesar 6,64% dan 2%, sedangkan total keluar secara keseluruhan
pada sapi PO 25,72% dan pada LIMPO sebesar 48,57%.
Pengeluaran betina pedet dan muda msaing–masing sebesar 9,12% dan
4,56%, menjadi salah satu penyebab rendahnya nilai calf crop dengan pengurasan
ternak muda. Menurut Yusdja dan Ilham (2006) bahwa diindikasikan ternak lokal
mengalami pengurasan sehingga berdampak pada pertumbuhan populasi yang
negatif.
4.6 Bobot Lahir dan Ukuran Statistik Vital Pedet Sapi PO
Bobot lahir dan ukuran statistik vital pedet sapi PO disajikan Tabel 5.
Tabel 5. Bobot Lahir dan Ukuran Satatistik Vital Pedet Sapi PO.
Variabel Pengamatan Rata-rata ± SD
Bobot lahir (kg) 25,3±2,1
Panjang badan (cm) 55,55±2,21
Tinggi badan (cm) 70,55±1,81
Lingkar dada (cm) 65,36±2,62

Sumber : Data Primer, 2016


Berdasarkan pada Tabel 5, secara umum diketahui ukuran statistik vital
panjang badan, tinggi badan dan lingkar dada masing-masing sebesar 55,55±2,21
cm, 70,55±1,81 cm dan 65,36±2,62 cm dengan bobot lahir sebesar 25,3 ± 2,1 kg,
hasil penelitian ini lebih besar dibanding dengan penelitian Hartati dan Dicky
(2008) yang menunjukkan bahwa bobot lahir sapi PO adalah 22,6 ± 3,18 kg dan
menurut Aryogi, Sumadi danHardjosubroto (2005) bahwa bobot lahir sapi PO
memiliki 24,5 kg. Nilaibobot lahir menunjukkan potensi genetik pejantan.
Pejantan yang digunakan untuk kawin alam tidak melalui proses seleksi sehingga
nilai bobot lahir rendah. Selain itu perbedaan lokasi dan waktu pelaksanaan
penelitian juga berpengaruh terhadap kondisi lingkungan yang menunjang sifat
fisik sapi PO, yang sesuai dengan pendapat Hardjosubroto (1994) yang

18
menyatakan ekspresi fenotip seekor ternak dipengaruhi oleh potensi genetik
tetuanya dan pengaruh lingkungan.
4.7 Bobot Sapih Terkoreksi 205 Hari dan Ukuran Statistik Vital
Bobot sapih terkoreksi 205 hari dan ukuran statistik vital disajikan pada
Tabel 6 sebagai berikut :
Tabel 6. Bobot Sapih Terkoreksi 205 Hari dan Ukuran Statistik Vital
Variabel pengamatan Rata-rata ± SD
Jantan Betina
Bobot sapih (kg) 107,8±14,5 103,4±13,2
Panjang badan (cm) 93,2±6,2 92,6±6,0
Tinggi badan (cm) 99,9±7,0 99,4±7,5
Lingkar dada (cm) 111,8±5,1 108,9±7,5
Sumber : Data Primer, 2016
Bobot sapih terkoreksi umur 205 hari jantan sebesar 107,8 ±14,5 kg dan
bobot diatas rata-rata sebanyak 61,53%, betina sebesar 103,4±13,2 kg dan bobot
diatas rata-rata sebanyak 41,17%. Hasil penelitian ini menunjukkan pada sapih
umur 205 hari betina lebih besar dibandingkan jantan dan lebih rendah dibanding
dengan hasil penelitian Aryogi, Sumadi danHardjosubroto (2005) yag menyatakan
bobot badan sapi PO umur 205 hari adalah 109 kg. Perbedaan bobot badan ini
dapat dipengaruhi faktor genetik, kemampuan induk membesarkna anakanya serta
manajemen pemeliharaan. Perbedaan tersebut oleh Hartati dan Dicky (2008)
dinyatakan diduga erat kaitannya dengan penampilan genetik induk yang
memiliki kemampuan mothering ability berbeda dalam memelihara kebuntingan
dan anaknya. Menurut Hardjosubroto (1994), menyatakan bahwa sifat yang secara
genetik menurun pada anaknya terutama adalah sifat yang diturunkan oleh
pejantannya. Selain itu, induk juga memegang peranan penting sebagai faktor
penyebab perbedaan.
Faktor genetik diduga sebagai penyebab perbedaan bobot sapih ini ditinjau
dari potensi genetik pejantan yang berbeda. Pada penelitian ini pejantan yang
digunakan dilokasi penelitian berbeda dengan pejantan yang digunakan penelitian
Aryogi, Sumadi danHardjosubroto (2005). Hal tersebut berimbas pada kemampuan
dan potensi genetik yang berbeda. Peran pejantan dalam faktor genetik ini
penting, dikarenakan menurut Ball and Peters (2007), menyatakan sifat yang
secara genetik menurun pada anaknya terutama sifat yang diturunkan oleh
pejantan. Selain itu induk juga memegang peranan sebagai faktor penyebab
perbedaan. Faktor induk tersebut bisa meliputi faktor yang berperan dalam
perbedaan bobot sapih, ditinjau dari sifat mothering ability (sifat keibuan).
Mothering ability yang tinggi akan mampu memproduksi susu yang tinggi dan
bagus dalam melindungi pedet. Pertumbuhan pedet setelah lahir sangat

19
dipengaruhi oleh produksi susu induk. Produksi susu induk yang terbatas maka
pertumbuhan pedetnya juga mengalami kelambanan. Lambannya petumbuhan
pedet pra sapih dapat menyebabkan rendahnya bobot sapih dan apabila ingin
meningkatkan butuh manajemen yang baik.

20
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut :
1. Struktur populasi didominasi betina dewasa yang menghasilkan nilai calf
cro, tingkat kelahiran lebih tinggi dan tingkat kematian lebih rendah dari
target Peraturan Menteri Pertanian.
2. Mutasi ternak pada pengeluaran lebih tinggi dibandingkan pemasukan
menunjukkan lokasi penelitian sebagai sumber produksi.
3. Rataan bobot lahir sapi PO dilokasi penelitian sebesar 25,27±2,11 kg.
Rataan bobot sapih terkoreksi 205 hari untuk jantan sebesar 107,8±14,5
kg, bobot diatas rata-rata sebanyak 61,53% dan untuk betina sebesar
103,4±13,2 kg, bobot diatas rata-rata sebanyak 41,17%.
5.2 Saran
1. Mengontrol mutasi ternak agar keseimbangan struktur populasi terjaga.
2. Menerapkan manajemen pemeliharaan yang efisien dengan meningkatkan
nilai calf crop melalui pemberian pakan dengan nilai nutrisi tinggi.

21
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. A. N., R. R. Noor, H. Martojo, D. D. Solihin dan E. Handiwirawan.
2007. Keragaman Fenotipik Sapi Aceh di Nanggroe Aced
Darussalam. Jurnal Indonesia Tropical Agriculture. 32 (1): 11 – 21.

Adesoji, S. A., A. J. Farinde and O. A. Ajayi. 2006. Assessment of The Training


Needs of Fadama Farmers for Future Agricultural Extension Work
Development in Osun State, Nigeria. Journal of Applied Sciences. 6
(15) : 3089-3095.

Anonimous. 2015. Outlok Komoditas Pertanian Sektor Peternakan Daging


Sapi.http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/arsip-outlook/70-outlook-
peternakan/350-outlook-daging-sapi-2015. Diakses pada 19 Desember
2016.

_________. 2015. Pedoman Pelaksanaan Pewilayahan Sumber Bibit. Direktorat


Perbibitan Ternak. Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Kementrian Pertanian.
Jakarta.http://bibit.ditjennak.pertanian.go.id/sites/default/files/Pedoma
n%20Pelaksanaan%20Pewilayahan%20Sumber%20Bibit%202015.
Diakses pada 19 Desember 2016.

Aryogi, Sumadi dan W. Hardjosubroto. 2005. Performans Sapi Silangan


Peranakan Ongole di Dataran Rendah (Studi Kasus di Kota Anyar
Probolinggo Jawa Timur). Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. 1 – 7.

Aryogi, E. Romjali, D. B. Wijono dan W. C. Pratiwi. 2007. Peformans dan Profil


Produktivitas Calon Bibit Sumber Sapi Peranakan Ongole. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 148 – 155.

Astuti, M., 2004. Potensi dan Sumberdaya Genetik Sapi Peranakan Ongole (PO).
Dalam : Lokakarya Nasional Sapi Potong. Wartazoa. 14 (3): 98 – 106.

Badan Standarisasi Nasional. 2015. Standar Nasional Indonesia. Bibit Sapi Potong
Bagiann 5 : Sapi Peranakan Ongole.

Bangar, Y., T. A. Khan., A. K. Dohare., D. V. Kolekar., N. Wakchaure and B.


Singh. 2013. Analysis of Morbidity and Mortality Rate in Cattle in
Village Areas of Pune Division in The Maharashtra State. Vet World,
6 (8) : 512-515.

Ball, P.L.H. and Peters, A. R. 2007. Reproduction in Cattle Third Edition. Black
well Publishing. Markono Print Media Pte Ltd. Singapore.

22
Budiarto, A., Hakim, L., Suyadi, Nurgiartiningsih, V.M.A. dan Ciptadi, G. 2013.
Natural Increase Sapi Bali di Wilayah Instalasi Populasi Dasar
Propinsi Bali. Jurnal Ternak Tropika. 14 (2) : 46-52.

Chenoweth, P. J. and M. W. Sanderson. 2005. Beef Practice: Cow-Calf


Production Medicine. Blackwell Publishing Asia. Victoria, Australia.
Page 13.

Ditjenak. 2016. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan.


http://bibit.ditjennak.pertanian.go.id. Diakses pada 3 Maret 2016.

Field, T. G. 2002. Beef Production and Management Decisions. 4th Edition Inc.
Upper Saddle River, New Jersey. 116 – 138.

Hafez, E.S.E., 2008. Reproductive Behavior in Reproduction in Farm Animal 7th


Edition. Blockwell Publishing. USA. 237-257.

Hakim, L., G. Ciptadi dan V. M. A. Nugriartiningsih. 2010. Model Rekording


Data Peformans Sapi Potong Lokal di Indonesia. Jurnal Ternak
Tropika. 11 (2) : 61 – 73.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemulabiakan Ternak di Lapang. Penerbit PT


Gramedia Widiasrana Indonesia. Jakarta.

Hartati dan Dicky, M.D. 2008. Hubungan Bobot Hidup Induk Saat Melahirkan
Terhadap Pertumbuhan Pedet Sapi PO di Foundation Stock. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 111 – 115.

Ihsan, M. N. dan S. Wahyuningsih. 2011. Penampilan Reproduksi Sapi Potong di


Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ternak Tropika. 12 (2). 76 – 80.

Indraningsih, S. Y. 2013. Identifikasi Penyebab Kematian Sapi Potong Dalam


Program PSDS-K di Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. 187-196.

Jainudeen, M. R and E. S. E. Hafez. 2008. Gestation, Prenatal Physilogi and


Parturition in Reproduction in Farm Animal 7th Edition. Blockwell
Publishing. USA. 213-225.

Kasim, K., Segaf, A. B. Languha, dan A. D. Malewa. 2010. Analisi Produktivitas


Sapi Betina Induk di Sulawesi Tengah. Jurnal Agroland. 17 (1) 70 –
76.

Krisna R dan Harry. 2014. Hubungan Tingkat Kepemilikan dan Biaya Usaha
dengan Pendapatan Peternak Sapi Potong di Kabupaten Sukabumi
Proponsi Jawa Barat. Jurnal Aplikasi Manajemen. 12 (2) 295 – 305.

23
Luanmase, C, M., S. Nurtini dan F. Trisakti Haryadi. 2011. Analisis Motivasi
Beternak Sapi Potong bagi Peternak Lokal dan Transmigran serta
Pengaruhnya terhadap Pendapatan di Kecamatan Kairatu Kabupaten
Seram Bagian Barat. ISSN 0126-4400. Buletin Peternakan. 35 (2):
113 – 123.

Martojo, H., 2003. Indigenous Bali Cattle : The BestSuited Cattle Breed for
Sustainable Small Farm in Indonesia.
http://www.angrin.tlri.gov.tw/apec2003/Chapter2Cattle_1.pdf
Maryland. USA. 157-166.

Meat & Livestock Australia. 2011. Tropical Beef Production Manual. Meat &
Livestock Australia Limited. 4 – 16.

Musa, L.M.A., K.J. Peter and M.K.A. Ahmed. 2006. On Farm Characterization
Of Butana and Kenana Cattle Breed Production System in Sudan.
Livestock Research for Rural Dev. 18 (2).

Nugroho, E. and P. S. Winarto. 2005. The Perception of Farm Households on


Small Scale Cattle Farming (Case Study n the Village Kanigoro in
Pagelaran District, Malang Regency). Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Indonesia. 7 (2).

Nugroho, H. 2012. Produktivitas Sapi Peranakan Ongole dan Silangannya di


Peternakan Rakyat pada Ketinggian Tempat yang berbeda di Jawa
Timur. Disertasi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

Nurdiyanti, K., E. Handayatna dan Lutojo. 2012. Efisiensi Produksi Sapi Potong
pada Musim Kemarau di Peternakan Rakyat Daerah Pertanian Lahan
Kering di Kabupaten Gunungkidul. Tropical Animal Husbandry. 1 (1)
: 52 – 58.l

Pawere, F.R., Biliarti, E. dan Nurtinim S. 2010. Proporsi Bangsa, Umur, Bobot
Badan Awal dan Skor Kondisi Tubuh Sapi Bakalan pada Usaha
Penggemukan. Buletin Peternakan. 36 (3) : 193 – 198.

Peraturan Menteri Pertanian. 2010. Pedoman Umum Program Swasembada


Daging Sapi 2014. Jakarta.

Perry, G., R. Daly and T. Melroe. 2009. Increasing Your Calf Crop by
Management, Pregnancy Testing, and Breeding Soundness
Examination of Bulls. College ofAgriculture & Biological Sciences.
South Dakota State University. 1-5.

Phillips, C. J. C. 2001. Principles of Cattle Production. CPI Antoni Rowe Ltd,


Eastbourne.

24
Purohit, G. N., P. Kumar., K. Solanki., C. Shekher and S. P. Yadav. 2012.
Perspectives of Fetal Dystocia in Cattle and Buffalo. Veterinary
Science Development, 2 (8) : 31- 42.

Roessali, W., E. Prasetyo., S. Marzuki dan Oktarian. 2005. Pengaruh Teknologi


Terhadap Produktivitas dan Pendapatan Peternak Sapi Potong di Desa
Canden Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 545-550.

Saleh, E. Y dan Y. H. Sofyan. 2006. Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong di


Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang. Jurnal
Agribisnis Peternakan, 2 (1) : 36-42.

Sonbait, L. Y., K. A. Santosa dan Panjono. 2011. Evaluasi Program


Pengembangan Sapi Potong Gaduhan Melalui Kelompok Lembaga
Mandiri yang Mengakar di Masyarakat di Kabupaten Manokwari
Papua Barat. Buletin Peternakan, 35(3) :208-217.

Sudrajad, P., Subiharta dan Y. Adinata. 2013. Karakter Fenotipik Sapi Betina
Peranakan Ongole Kebumen. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. 98 – 106.

Sumadi, Ngadiyono, N. dan Sulastri, E. 2007. Estimasi Output Sapi Potong di


Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. 324-332

Supriyantono, A., L. Hakim, Suyadi and Ismudiono. 2012. Genetic improvement


of Weaning Weight, Yearling Weight, Body Weight Gain and Body
Dimension of Bali8 Cattle. J. Indo. Trop. Anim. Agric. 37 (1): 10-14.

Suryawan, O., M. Umar, S. Datosukarno, E. Rianto dan A. Purnomoadi. 2007.


Respon Produksi Sapi Madura dan Sapi Peranakan Ongole terhadap
Perubahan Kondisi Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. 175 – 180.

Susilawati, T., Subagyo I., Kuswati, Budiarto A., Muharlien dan M. Y. Afroni,
2004. Ternak Lokal Jawa Timur. Kerjasama antara Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya dengan Dinas Peternakan Propinsi
Jawa Timur. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.

Sonbait, L.Y., Santoso, K.A. dan Panjono. 2011. Evaluasi Program


Pengembangan Sapi Potong Gaduhan Melalui Kelompok Lembaga
Mandiri yang Mengakar di Masyarakat di Kabupaten Manokwari
Papua Barat. Buletin Peternakan 35 (3) : 208-217.

25
Thomas, H. S. 2005. Getting Started with Beef and Dairy Cattle. Library of
CongressCataloging-in-Publication Data. 122-127.

Wijono, D. B., Hartatik dan Mariyono. 2006. Korelasi Bobot Sapih Terhadap
Bobot Lahir dan Bobot Hidup 365 Hari pada Sapi Peranakan Ongole.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
2006. 206 – 211.

Wiyatna, M. F., Gunardi, E,. Dan Mudikdjo. 2012. Produktivitas Sapi Peranakan
Ongole pada Peternakan Rakyat di Kabupaten Sumedang. Jurnal Ilmu
Ternak. 12 (2) 22 – 25.

Yusran, M. A., Affandhi, L., Sudarmadi, B. dan Wiyono, D. B. 2005. Pengkajian


Introduksi Program Kawin Silang Tiga Bangsa Sapi Potong di
Kawasan Agroekosistem Lahan Kering Dataran Rendah Studi Kasus
di Wilayah Probolinggo Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. 1-8.

26
LAMPIRAN

Lampiran 1. Lokasi Penelitian.

27
Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian.

28
Lampiran 3. Karakteristik Responden

Karakteristik Responden
No Umur Lama
Nama Alamat Pendidikan
(Th) Beternak
1 Garim Dukuhan RT 05 RW 03 45 25 SD
2 Diarto Dukuhan RT 05 RW 03 67 50 SD
3 Joko Dukuhan RT 05 RW 03 48 50 SD
4 Suradi Dukuhan RT 05 RW 03 25 10 SD
5 Kurmanto Dukuhan RT 05 RW 03 45 25 SD
6 Darno Dukuhan RT 05 RW 03 37 25 SD
7 Abdul Wahab Dukuhan RT 05 RW 03 40 23 SD
8 Wiji Dukuhan RT 05 RW 03 40 28 SD
9 Tumarno Dukuhan RT 05 RW 03 55 35 TS
10 Rasimen Dukuhan RT 05 RW 03 35 20 SD
11 Sutarto Dukuhan RT 05 RW 03 60 35 SD
12 Muntari Dukuhan RT 05 RW 03 30 15 SD
13 Aji Dukuhan RT 05 RW 03 35 15 SD
14 Bambang Dukuhan RT 05 RW 03 45 23 SD
15 Marsono Dukuhan RT 02 RW 03 27 15 SMP
16 Samuji Dukuhan RT 02 RW 03 41 34 SD
17 Doto Dukuhan RT 02 RW 03 45 45 SD
18 Sarmin Dukuhan RT 02 RW 03 62 50 SD
19 Sunaryo Dukuhan RT 02 RW 03 42 42 SMP
20 Wiyono Dukuhan RT 02 RW 03 85 70 SD
21 Lasmin Dukuhan RT 04 RW 03 45 25 SD
22 Sukijan Dukuhan RT 04 RW 03 38 25 SD
23 Suradi Dukuhan RT 04 RW 03 40 25 SD
24 Sumiati Dukuhan RT 04 RW 03 29 10 SMP
25 Tamsir Dukuhan RT 03 RW 03 64 50 TS
26 Muji Dukuhan RT 03 RW 03 45 32 SD
27 Sri yatun Dukuhan RT 03 RW 03 22 5 SD
28 Warsimin Dukuhan RT 03 RW 03 56 30 SD
29 Wardi Dukuhan RT 03 RW 03 47 30 SD
30 Kasmidi Dukuhan RT 03 RW 03 73 60 TS
31 Kartini Dukuhan RT 03 RW 03 65 40 TS
32 Kamisih Dukuhan RT 03 RW 01 45 30 SD
33 Darmi Dukuhan RT 03 RW 03 65 40 TS
34 Sukimin Dukuhan RT 03 RW 03 56 40 SD
35 Kasmijan Dukuhan RT 03 RW 03 65 50 SD
36 Sutrisno Dukuhan RT 03 RW 03 43 28 SD

29
Lanjutan
37 Jatmiko Dukuhan RT 03 RW 03 40 26 SD
38 Darmin Dukuhan RT 02 RW 03 47 35 SD
39 Sarmin Dukuhan RT02 RW 03 53 40 TS
40 Wardimin Dukuhan RT02 RW 03 80 70 TS
41 Kasmidi Dukuhan RT 02 RW 03 78 78 SD
42 Katim Dukuhan RT02 RW 03 55 42 SD
43 Darkim Dukuhan RT02 RW 03 65 50 TS
44 Kustaram Dukuhan RT02 RW 03 47 34 SD
45 Amin Dukuhan RT 03 RW 01 47 30 SD
46 Suwardi Dukuhan RT 02 RW 01 50 35 SD
47 Sutikno Dukuhan RT 05 RW 01 64 64 SD
48 Kujiono Dukuhan RT 05 RW 01 52 42 SD
49 Sholihin Dukuhan RT 02 RW 03 29 15 SD
50 Margo Dukuhan RT 05 RW 03 40 26 SMP
51 Taji Dukuhan RT 03 RW 03 50 35 SD
52 Taslim Dukuhan RT 03 RW 01 61 45 TS
53 Sulistiono Krajan RT 01 RW 01 20 8 SD
54 Jupri Krajan RT 03 RW 01 39 25 SD
55 Ramin Krajan RT 03 RW 01 72 60 TS
56 Kasmono Krajan RT 02 RW 02 55 42 SD
57 Suyanto Krajan RT 02 RW 02 41 28 SD
58 Karsimin Krajan RT 02 RW 01 55 40 SD
59 Kromo Keti Krajan RT 03 RW 01 70 50 TS
60 Suryadi Babagan RT 01 RW 04 41 26 SMP
61 Suwaji Babagan RT 02 RW 07 43 20 SD
62 Udiyono Babagan RT 01 RW 04 30 15 SD
63 Muji Dukuhan RT 02 RW 03 45 32 SD
64 Hendro S. Babagan RT 02 RW 04 53 15 SMA
65 Maryono Krajan RT 05 RW 01 18 8 SD
66 Warsimin Dukuhan RT 02 RW 03 56 30 TS
67 Suratin Krajan RT 05 RW 01 60 50 TS
68 Mulyoko Krajan RT 05 RW 01 36 20 SD
69 Djamin Krajan RT 05 RW 01 60 50 SD
70 Sugiono Dukuhan RT 02 RW 03 35 20 SMP
71 Somo Babagan RT 01 RW 03 60 45 SD
72 Suyono Babagan RT 01 RW 03 65 50 SD
73 Mudiono Dukuhan RT 02 RW 03 32 20 SMA
74 Limuk Dukuhan RT 03 RW 03 55 40 SD
75 Slamet Krajan RT 03 RW 01 45 30 SD
76 Juli Krajan RT 03 RW 01 68 45 SD

30
Lanjutan
77 Tambar Krajan RT 01 RW 01 45 30 SD
78 Warini Krajan RT 01 RW 02 35 20 SD
79 Karmi Krajan RT 05 RW 01 46 30 SD
80 Nardi Krajan RT 05 RW 01 60 55 TS
81 Suparlan Krajan RT 05 RW 01 32 20 SD
82 Bakrun Krajan RT 05 RW 01 60 50 SD
83 Kastin Dukuhan RT 03 RW 03 65 40 TS
84 Kamijan Dukuhan RT 05 RW 01 46 35 SD
85 Jibris Dukuhan RT 02 RW 01 50 35 SD
86 Mugiyono Dukuhan RT 05 RW 02 35 20 SD
87 Trosarmin Dukuhan RT 01 RW 02 55 35 TS
88 Suratman Krajan RT 01 RW 01 60 50 TS
89 Waneng Krajan RT 01 RW 02 69 50 SD
90 Andi Krajan RT 03 RW 01 20 10 SD
91 Kamo Dukuhan RT 03 RW 03 35 20 SD
92 Suyikno Dukuhan RT 02 RW 03 59 40 SD
93 Trorin Dukuhan RT 03 RW 03 55 40 SD
94 Ramito Dukuhan RT 03 RW 03 60 50 SD
95 Darman Dukuhan RT 03 RW 03 46 25 SD
Jumlah 4652 3246
Rataan 48,97 34,17
Standard Deviasi 14,11 14,96
SD = 73,68 %
SMP = 6,31%
SMA = 2,10%
TS = 17,89%

31
Lampiran 4. Kepemilikan Sapi PO

Komposisi Ternak Saat Survei


Nama
No Jantan Betina
Responden
D M P Jumlah D M P Jumlah
1 Garim 0 1 1
2 Diarto 0 2 1 3
3 Joko 0 2 1 3
4 Suradi 0 1 1
5 Kurmanto 0 1 1
6 Darno 0 1 1
7 Abdul Wahab 0 1 1
8 Wiji 1 1 1 1
9 Tumarno 0 1 1
10 Rasimen 0 1 1 2
11 Sutarto 1 1 1 1
12 Muntari 1 1 3 1 1 5
13 Aji 0 2 1 3
14 Bambang 0 1 1
15 Marsono 2 2 2 2
16 Samuji 2 2 3 1 4
17 Doto 0 1 1
18 Sarmin 2 2 2 2
19 Sunaryo 3 3 0
20 Wiyono 1 1 4 2 6
21 Lasmin 1 1 1 1
22 Sukijan 1 1 2 1 3
23 Suradi 0 1 1
24 Sumiati 0 2 2
25 Tamsir 1 1 1 1 2
26 Muji 1 1 1 1 2
27 Sri yatun 0 1 1 2
28 Warsimin 0 2 2
29 Wardi 2 2 0
30 Kasmidi 0 1 1 2
31 Kartini 0 1 1 2
32 Kamisih 0 1 1 2
33 Darmi 0 1 1
34 Sukimin 0 1 1
35 Kasmijan 2 2 3 1 4

32
Lanjutan
36 Sutrisno 0 1 1
37 Jatmiko 0 2 1 3
38 Darmin 0 1 1 2
39 Sarmin 2 2 2 1 3
40 Wardimin 1 1 2 2
41 Kasmidi 1 1 1 1 2
42 Katim 0 2 2
43 Darkim 0 2 1 3
44 Kustaram 0 2 1 3
45 Amin 0 2 1 3
46 Suwardi 1 1 3 1 4
47 Sutikno 1 1 2 2 4
48 Kujiono 0 2 2
49 Sholihin 1 1 4 1 1 6
50 Margo 0 2 2
51 Taji 2 2 0
52 Taslim 1 1 0
53 Sulistiono 1 1 0
54 Jupri 2 2 0
55 Ramin 4 1 5 4 1 5
56 Kasmono 2 3 5 6 1 2 9
57 Suyanto 1 1 1 1
58 Karsimin 1 1 4 1 2 7
59 Kromo Keti 1 1 2 1 3
60 Suryadi 2 2 0
61 Suwaji 0 3 3
62 Udiyono 2 2 0
63 Muji 1 1 1 1
64 Hendro S 1 1 2 2 2
65 Maryono 0 2 1 3
66 Warsimin 1 1 1 1
67 Suratin 1 1 1 1
68 Mulyoko 2 1 3 2 2
69 Djamin 1 1 0
70 Sugiono 2 1 3 2 2
71 Somo 0 2 1 3
72 Suyono 3 3 3 1 4
73 Mudiono 3 1 4 3 1 4
74 Limuk 1 1 2 0
75 Slamet 2 2 2 2 4

33
Lanjutan
76 Juli 0 1 1 2
77 Tambar 3 1 4 3 3
78 Warini 0 2 2 4
79 Karmi 0 1 1
80 Nardi 1 1 2 2 4
81 Suparlan 0 2 2
82 Bakrun 1 1 2 2
83 Kastin 1 1 3 3
84 Kamijan 1 1 3 1 4
85 Jibris 1 1 2 2
86 Mugiyono 2 2 2 2 4
87 Trosarmin 1 1 0
88 Suratman 0 3 1 4
89 Waneng 0 2 2 4
90 Andi 0 2 1 3
91 Kamo 1 1 2 1 3
92 Suyikno 1 1 2 2
93 Trorin 0 2 2
94 Ramito 0 2 1 3
95 Darman 1 1 2 2
Jumlah 55 13 21 89 156 23 39 218
Rataan 1,72 1,08 1,24 0,94 1,97 1,00 1,30 2,29
Standar Deviasi 0,81 0,29 0,56 1,14 0,93 0,00 0,47 1,63

Keterangan :
Total Populasi = 307 ekor
Pedet = 60 ekor
Muda =36 ekor
Dewasa = 211 ekor

34
Lampiran 5. Mutasi Sapi PO
Sapi Masuk Sapi Keluar
No Nama Jantan Betina Jantan Betina
D M P D M P D M P D M P
1 Garim 1 1
2 Diarto 1
3 Joko 1
4 Suradi 1
5 Kurmanto 1 1
6 Darno 1
7 Abdul W 1
8 Wiji 1
9 Tumarno 1 1
10 Rasimen 1 1
11 Sutarto 1
12 Muntari 1 1
13 Aji 1
14 Bambang 1
15 Marsono 1 1
16 Samuji 1 2
17 Doto 1 2
18 Sarmin 1 1
19 Sunaryo 1
20 Wiyono 1
21 Lasmin 1
22 Sukijan
23 Suradi 1 1
24 Sumiati 1 1
25 Tamsir
26 Muji 1 1 1
27 Sri yatun 1
28 Warsimin 1 1
29 Wardi 1 1
30 Kasmidi 2
31 Kartini 1
32 Kamisih
33 Darmi
34 Sukimin 1
35 Kasmijan

35
Lanjutan
36 Sutrisno 1
37 Jatmiko 1
38 Darmin 1 1
39 Sarmin 1
40 Wardimin 1 2 1
41 Kasmidi
42 Katim ` 1
43 Darkim 1 1
44 Kustaram 1 2
45 Amin 1
46 Suwardi
47 Sutikno
48 Kujiono 1 1
49 Sholihin 1 2
50 Margo
51 Taji 2
52 Taslim 1 1
53 Sulistiono 2 1 1
54 Jupri
55 Ramin 1 1
56 Kasmono 1
57 Suyanto 1 1
58 Karsimin 1
59 Kromo Keti 1
60 Suryadi 1 1
61 Suwaji 1 1 1
62 Udiyono
63 Muji 1 1
64 Hendro S. 1 1
65 Maryono 1
66 Warsimin 1
67 Suratin 1
68 Mulyoko 1
69 Djamin 1 1 1
70 Sugiono 1
71 Somo 1 2
72 Suyono 1
73 Mudiono 1
74 Limuk 1 1 2
75 Slamet

36
Lanjutan
76 Juli
77 Tambar 2
78 Warini
79 Karmi 1
80 Nardi
81 Suparlan 1 1
82 Bakrun
83 Kastin 1 1
84 Kamijan 2
85 Jibris 2
86 Mugiyono 1
87 Trosarmin 1
88 Suratman 2
89 Waneng
90 Andi 1
91 Kamo
92 Suyikno
93 Trorin 1 1
94 Ramito 1 1 1
95 Darman 1
Jumlah 10 8 2 6 5 1 8 15 18 17 14 28

Total Pemasukan = 32 ekor Total Pengeluaran = 100 ekor


Pedet = 3 ekor Pedet = 46 ekor
Muda = 13 ekor Muda = 29 ekor
Dewasa = 16 ekor Dewasa = 25 ekor

37
Lampiran 6. Kelahiran Sapi PO

Kelahiran
No Nama Jenis Kelamin
Jantan Betina Jumlah
1 Garim 0
2 Diarto 1 1
3 Joko 1 1
4 Suradi 0
5 Kurmanto 0
6 Darno 1 1
7 Abdul Wahab 0
8 Wiji 0
9 Tumarno 0
10 Rasimen 0
11 Sutarto 1 1
12 Muntari 1 1 2
13 Aji 1 1
14 Bambang 1 1
15 Marsono 1 1
16 Samuji 2 2
17 Doto 0
18 Sarmin 1 1
19 Sunaryo 0
20 Wiyono 2 2
21 Lasmin 0
22 Sukijan 1 1 2
23 Suradi 0
24 Sumiati 1 1 2
25 Tamsir 1 1
26 Muji 1 1
27 Sri yatun 0
28 Warsimin 1 1
29 Wardi 0
30 Kasmidi 0
31 Kartini 0
32 Kamisih 1 1

38
Lanjutan
33 Darmi 0
34 Sukimin 0
35 Kasmijan 1 1
36 Sutrisno 0
37 Jatmiko 1 1
38 Darmin 1 1
39 Sarmin 2 2
40 Wardimin 1 1
41 Kasmidi 1 1 2
42 Katim 1 1
43 Darkim 1 1 2
44 Kustaram 2 2
45 Amin 2 2
46 Suwardi 0
47 Sutikno 2 2
48 Kujiono 1 1
49 Sholihin 3 3
50 Margo 0
51 Taji 0
52 Taslim 1 1
53 Sulistiono 0
54 Jupri 0
55 Ramin 1 2 3
56 Kasmono 3 2 5
57 Suyanto 0
58 Karsimin 2 2
59 Kromo Keti 2 2
60 Suryadi 0
61 Suwaji 1 1 2
62 Udiyono 0
63 Muji 0
64 Hendro Sasmito 0
65 Maryono 1 1
66 Warsimin 1 1
67 Suratin 1 1
68 Mulyoko 1 1 2
69 Djamin 1 1
70 Sugiono 1 1 2
71 Somo 2 2
72 Suyono 1 1

39
Lanjutan
73 Mudiono 1 2 3
74 Limuk 1 1
75 Slamet 2 2
76 Juli 0
77 Tambar 3 3
78 Warini 2 2
79 Karmi 0
80 Nardi 2 2
81 Suparlan 1 1
82 Bakrun 1 1
83 Kastin 2 1 3
84 Kamijan 2 1 3
85 Jibris 2 2
86 Mugiyono 2 2
87 Trosarmin 0
88 Suratman 2 2
89 Waneng 2 2
90 Andi 1 1
91 Kamo 1 1
92 Suyikno 0
93 Trorin 1 1
94 Ramito 1 1 2
95 Darman 1 1
Jumlah 38 66 104

40
Lampiran 7. Perhitungan Rataan Kepemilikan Sapi PO

Diketahui :

P.ak = 307 ekor (244 UT)

D = 3 ekor (0,75 UT)

G = 100 ekor (51 UT)

B = 104 ekor (23,25 UT)

E = 32 ekor (26 UT)

R = 95 orang

Rataan kepemilikan sapi PO pertahun dapat dihitung sebagai berikut :

a. Dalam ekor

P. aw = P .ak + D + G – B – E

= 307 + 3 + 100 – 104 – 32

= 274

Pt = (P .aw + P .ak) : 2

= (307 + 274) : 2

= 290,5

= Pt : R

= 290,5 : 95

= 3,05 ekor

b. Dalam UT

P. aw = P. ak + D + G – B – E

= 244 + 0,75 + 51 – 23,25 – 26

= 246,5

Pt = (P. aw + P. ak) : 2

= (246,5 + 244) : 2

= 245, 25

41
= Pt : R

= 245, 25 : 95

= 2,58 UT

42
Lampiran 8. Perhitungan Persentase Kelahiran, Kematian dan Pertambahan
Populasi Sapi PO.

Jumlah Populasi = 307 ekor

Jumlah Induk =156 ekor

Jumlah Kelahiran Pedet =104 ekor

a. Jantan = 38 ekor
b. Betina = 66 ekor

Jumlah Pedet yang Mati = 3 ekor

a. Persentase calf crop :


( )

b. Persentase kelahiran pedet terhadap induk :

c. Persentase kelahiran pedet berdasarkan jenis kelamin :


a. Jantan :
b. Betina :
d. Persentase kelahiran pedet terhadap pupolasi :

e. Persentase induk terhadap populasi :

f. Persentae kematian terhadap induk :

g. Persentase kematian terhadap populasi :

h. Pertambahan populasi : Persentase kelahiran pedet – Persentase kematian


= 33,87% - 0,009% = 33,861%

43
Lampiran 9. Bobot Lahir Pedet Sapi PO

Tanggal Tanggal Jenis BB


No Penimbangan Lahir Umur Kelamin UI (th) (kg)
1 08/04/2016 07/04/2016 1 hari Jantan 5 27,5
2 08/04/2016 05/04/2016 3 hari Betina 6 28,5
3 10/04/2016 10/04/2016 5 jam Jantan 6 27
4 10/04/2016 09/04/2016 1 hari Betina 3 24
5 18/04/2016 16/04/2016 2 hari Betina 5 23
6 18/04/2016 17/04/2016 1 hari Jantan 4 26
7 18/04/2016 17/04/2016 1 hari Jantan 3 25
8 18/04/2016 14/04/2016 4 hari Betina 3 27
9 23/04/2016 22/04/2016 1 hari Betina 3 23
10 23/04/2016 22/04/2016 1 hari Betina 4 22
11 23/04/2016 22/04/2016 1 hari Jantan 5 25
Rata-Rata 25,3
ST DEV 2,1

44
Lampiran 10. Bobot Sapih 205 Hari sapi PO
Jenis Kelamin Jantan

Tanggal Tanggal Umur Saat di UI BB BS.


No Penimbangan Lahir Timbang (Hari) (th) (kg) 205
1 08/04/2016 05/03/2016 1 Bulan 3 Hari 33 7 54 192,7
2 08/04/2016 10/02/2016 1 Bulan 28 Hari 58 5 64 155,8
3 10/04/2016 03/03/2016 1 Bulan 7 Hari 37 4 52 171,7
4 08/04/2016 07/02/2016 2 bulan 1 hari 61 5 57 125,8
5 08/04/2016 03/02/2016 2 bulan 5 hari 65 3 30 37,9
6 10/04/2016 08/02/2016 2 Bulan 2 hari 62 5 64 147,3
7 10/04/2016 06/01/2016 3 Bulan 4 hari 94 6 81 142,8
8 10/04/2016 25/12/2015 3 bulan 15 Hari 105 5 80 128,5
9 10/04/2016 29/10/2015 5 Bulan 12 hari 162 5 94 109,8
10 08/04/2016 13/09/2015 6 Bulan 25 hari 205 7 120 118,0
11 10/04/2016 13/09/2015 6 Bulan 27 hari 207 6 125 122,1
12 10/04/2016 07/10/2015 6 bulan 3 Hari 183 5 86 91,1
13 10/04/2016 16/09/2015 6 Bulan 20 Hari 200 8 97 96,8
14 12/04/2016 30/09/2015 6 Bulan 13 Hari 193 6 124 128,0
15 12/04/2016 05/10/2015 6 Bulan 7 Hari 187 7 90 94,1
16 12/04/2016 27/09/2015 6 Bulan 15 Hari 195 5 92 93,3
17 12/04/2016 14/09/2015 6 Bulan 28 Hari 208 4 128 130,8
18 10/04/2016 18/08/2015 7 Bulan 23 hari 233 6 125 111,2
19 10/04/2016 05/09/2015 7 Bulan 5 Hari 215 9 115 108,9
20 12/04/2016 28/08/2015 7 Bulan 15 Hari 225 5 120 109,7
21 12/04/2016 12/09/2015 7 Bulan 210 8 87 83,6
22 12/04/2016 05/08/2015 8 Bulan 7 Hari 247 7 141 119,6
Rata-rata 119,1
STDEV 32,4
Jenis Kelamin Betina

Tanggal Tanggal Umur Saat di UI BB BS.


No Penimbangan Lahir Timbang (Hari) (th) (kg) 205
1 08/04/2016 03/03/2016 1 Bulan 5 Hari 35 4 48 155,4
2 08/04/2016 14/02/2016 1 Bulan 25 Hari 55 5 74 200,2
3 10/04/2016 13/02/2016 1 Bulan 27 hari 57 6 78 208,4
4 10/04/2016 20/02/2016 1 Bulan 20 hari 50 4 58 159,7
5 10/04/2016 05/02/2016 2 Bulan 5 hari 65 6 55 113,3
6 08/04/2016 24/01/2016 3 bulan 15 hari 105 4 90 155,4
7 08/04/2016 20/01/2016 3 Bulan 19 hari 109 5 88 139,7
8 10/04/2016 24/12/2015 3 Bulan 16 Hari 106 6 89 144,9
9 10/04/2016 01/01/2016 3 bulan 10 Hari 100 4 88 150,1
10 08/04/2016 05/10/2015 6 Bulan 3 hari 183 7 86 95,6

45
11 08/04/2016 18/09/2015 6 Bulan 20 Hari 200 7 88 87,5
12 10/04/2016 18/09/2015 6 bulan 22 Har 202 5 130 129,5
13 12/04/2016 05/10/2015 6 Bulan 7 hari 187 6 112 118,2
14 12/04/2016 27/09/2015 6 Bulan 15 Hari 195 6 88 89,1
15 12/04/2016 21/09/2015 6 Bulan 21 Hari 201 10 85 84,2
16 08/04/2016 03/09/2015 7 bulan 5 hari 215 6 101 95,6
17 08/04/2016 29/08/2015 7 Bulan 10 Hari 220 6 127 118,2
18 10/04/2016 16/08/2015 7 bulan 25 Hari 235 5 112 99,1
19 10/04/2016 01/09/2015 7 Bulan 10 Hari 220 4 118 115,3
20 10/04/2016 06/09/2015 7 Bulan 15 Hari 225 6 103 94,2
21 10/04/2016 01/09/2015 7 Bulan 10 Hari 220 6 107 99,5
22 12/04/2016 02/09/2015 7 Bulan 10 Hari 220 8 110 102,3
23 12/04/2016 12/09/2015 7 Bulan 210 6 103 99,2
24 12/04/2016 21/08/2015 7 bulan 22 hari 232 5 133 118,7
25 12/04/2016 09/09/2015 7 Bulan 3 Hari 213 6 109 103,9
26 12/04/2016 23/07/2015 8 Bulan 20 Hari 260 6 145 118,0
Rata-rata 122,9
STDEV 33,0

46

Anda mungkin juga menyukai