Anda di halaman 1dari 66

STATUS KEBUNTINGAN DAN GANGGUAN REPRODUKSI

TERNAK SAPI BALI BETINA DI MINI RANCH MAIWA


KABUPATEN ENREKANG
HALAMAN SAMPUL

SKRIPSI

Oleh:

DIMAS PANJI PANGESTU


I 111 07 003

PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK


JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
STATUS KEBUNTINGAN DAN GANGGUAN REPRODUKSI
TERNAK SAPI BALI BETINA DI MINI RANCH MAIWA
KABUPATEN ENREKANG
HALAMAN JUDUL

SKRIPSI

Oleh:

DIMAS PANJI PANGESTU


I 111 07 003

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK


JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Dimas Panji Pangestu

Stambuk : I 111 07 003

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli.

b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab

Hasil dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan atau

dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan sepenuhnya.

Makassar, 10 Juni 2014

Dimas Panji Pangestu

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Status Kebuntingan dan Gangguan Reproduksi Ternak


Sapi Bali Betina di Mini Ranch Maiwa Kabupaten
Enrekang
Nama : Dimas Panji Pangestu
Stambuk : I 111 07 003
Program Studi : Produksi Ternak
Jurusan : Produksi Ternak
Fakultas : Peternakan

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc
NIP. 19700725 199903 1 001 NIP. 19641231 198903 1 025

Dekan Fakultas Peternakan Ketua Jurusan Produksi Ternak

Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc
NIP. 19520923 197903 1 002 NIP. 19641231 198903 1 025

Tanggal Lulus: 16 Juni 2014

iv
ABSTRAK

DIMAS PANJI PANGESTU (I 111 07 003). Status Kebuntingan dan Gangguan


Reproduksi Ternak Sapi Bali Betina di Mini Ranch Maiwa Kabupaten Enrekang.
Dibimbing oleh Muhammad Yusuf sebagai pembimbing utama dan Sudirman
Baco sebagai pembimbing anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kebuntingan dan tingkat kejadian
gangguan reproduksi pada ternak sapi Bali betina di Mini Ranch Maiwa, Kabupaten
Enrekang. Sebanyak 46 ekor induk sapi Bali digunakan dalam penelitian ini, 13
ekor induk sapi Bali di Mini Ranch Maiwa diperiksa sebagai sampel utama
sedangkan 22 ekor sapi di Instalasi Perbibitan Rakyat (IPR) Pinrang telah diperiksa
sebagai data perbandingan. Palpasi rektal dilakukan untuk mengetahui kondisi
uterus dan ovarium. Transrektal Ultrasonografi digunakan untuk melihat
perkembangan organ reproduksi secara visual. Diagnosis palpasi rektal didasarkan
pada bentuk, ukuran, penyelipan, ballottement dan desiran (fremitus) pada organ
yang teraba, sedangkan interpretasi sonogram untuk USG didasarkan pada bentuk,
ukuran, pergerakan, dan echogenicity yang tampil pada sonogram. Data yang
diperoleh pada penelitian ini dianalisa secara deskriptif berdasarkan proporsi,
persentase, nilai maksimum, nilai minimum, rerata dan simpangan baku. Uji Beda
Nyata Terkecil (BNT) digunakan untuk menguji perbedaan rerata parameter status
kebuntingan dengan perolehan BCS (body condition score) seluruh ternak di kedua
lokasi penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat gangguan
reproduksi pada ternak sapi Bali betina di Mini Ranch Maiwa sebesar 46,2%. Kista
folikular dan ovarium tidak aktif (anestrus) merupakan gangguan reproduksi yang
ditemukan pada ternak sapi Bali betina di Mini Ranch Maiwa. Kondisi tubuh yang
rendah diduga merupakan faktor utama penyebab masalah ini.

Kata Kunci: Sapi Bali, Status Kebuntingan, Gangguan Reproduksi, Kista


Folikular, Anestrus, Mini Ranch Maiwa.

v
ABSTRACT

DIMAS PANJI PANGESTU (I 111 07 003). Pregnancy Status and Reproductive


Disorders of Bali Cows at the Maiwa Mini Ranch, Enrekang Regency. Supervised
by Muhammad Yusuf as main supervisor and Sudirman Baco as co-supervisor.

The objective of this study was to ascertain the pregnancy status and the incidence
of reproductive disorders of Bali Cows at The Maiwa Mini Ranch, Enrekang
Regency. A total of 46 Bali cows were enrolled in the present study, 13 Bali cows
at The Maiwa Mini Ranch were examined as the main sample while the others 22
cows were examined at the IPR (Instalasi Perbibitan Rakyat) Pinrang as the
comparative data. Trans-rectal palpation of the uterine was performed to
determine the consistency of uterine, followed by the presence of any palpable
ovarian structures. Trans-rectal ultrasonography was used to visualize the
development of reproductive organs, whereas the interpretation of ultrasound
sonogram was based on the shape, size, movement, and echogenicity on a
sonogram. The data obtained in the present study were analyzed descriptively based
on proportions, percentages, maximum value, minimum value, mean and standard
deviation. Least Significant Difference test (LSD) was used to test for differences
between pregnancy and body condition score (BCS) of the total cows from two
locations. The results of this study showed that the level of reproductive disorders
of Bali cows at the Mini Ranch Maiwa was 46.2%. Ovarian follicular cysts and
inactive ovary (anestrus) were the incidence of reproductive disorders that were
found in Bali cows at the Mini Ranch Maiwa. Low body condition score was
expected as the main factor causing this problem.

Keywords: Bali cows, Pregnancy status, Reproductive Disorders, Follicular


Cysts, Anestrus, Mini Ranch Maiwa.

vi
KATA PENGANTAR

Besarnya kontribusi dunia peternakan dalam memajukan taraf hidup rakyat

sedikit-banyak telah dipengaruhi oleh sikap kalangan intelektual di-dalamnya.

Sekalipun kecil, penulis telah berupaya mendedikasikan diri dengan memanfaatkan

segala sumber daya yang relatif terbatas untuk menyediakan tambahan

perbendaharaan informasi ilmiah mengenai status kebuntingan dan gangguan

reproduksi ternak sapi Bali di tengah lemahnya budaya literasi kalangan intelektual

Indonesia. Besar harapan penulis, skripsi ini mampu menjadi pedoman dalam

penanganan gangguan reproduksi sapi Bali di Mini Ranch Maiwa, sekaligus

menjadi rujukan ilmiah yang memadai bagi penelitian lebih lanjut.

Di samping sebagai suatu karya penelitian, dan juga sebagai prasyarat untuk

memperoleh gelar sarjana, rampungnya skripsi ini tak lain merupakan suatu simbol

pencapaian dari harapan-harapan sejumlah pihak terhadap penulis selama menjadi

mahasiswa. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan jika melalui pengantar skripsi ini

penulis sedikit beramah-tamah mengabadikan rasa terima kasih penulis terhadap

mereka yang turut mengambil bagian di balik rampungnya skripsi ini. Berbagai

kendala dan tantangan berhasil penulis atasi berkat dukungan mereka, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Tak lupa penulis menghaturkan syukur kepada

“Sang Pemilik dari Segala Pemilik,” Allah SWT, atas ridha-Nya kepada penulis.

Dengan penuh rasa terima kasih, kepada:

1. Kedua orang tua, Ibunda A. Sitti Sulaiha Takke beserta Ayahanda Lukman

Nulhakim atas doa dan harapan yang selalu mengalir di hati penulis, juga

kepada kedua Adinda tercinta, Ningrum Pangestu dan Danang Bintoro Pangestu

atas kasih sayang dan suka-duka yang telah terlewati.

vii
2. Kedua dosen pembimbing, Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt. dan Prof. Dr. Ir. H.

Sudirman Baco, M.Sc. yang juga merupakan Sekertaris dan Ketua Jurusan

Produksi Ternak, terima kasih yang setinggi-tingginya atas ilmu, arahan dan

masukan yang tak ternilai, juga bantuan serta kerjasamanya selama penelitian.

Banyak pengalaman baru yang penulis dapatkan selama berada di bawah

bimbingan beliau berdua.

3. Dosen-dosen pembahas Bapak Prof. Dr. Ir. Abd. Latief Toleng, M.Sc, dan

Bapak Prof. Dr. Ir. Herry Sonjaya, DEA. DES., atas segala masukan dan saran

yang sangat bermanfaat dalam proses penyempurnaan skripsi ini, terkhusus

kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Garantjang, M.Sc., Dosen Pembahas

sekaligus Penasehat Akademik penulis yang telah membimbing perjalanan

akademik penulis selama kurang-lebih 14 semester.

4. Sahabat-sahabat “seperjuangan-seperskripsian” Taufik Hidayat dan Abdullah

Bin Hatta, setiap siang dan malam yang telah terlewati bersama akhirnya

termanifestasikan melalui rampungnya skripsi ini. Sekali lagi terima kasih atas

segalanya.

5. Dekan Fakultas Peternakan, Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc.,

beserta jajarannya, segenap Dosen dan staf Fakultas Peternakan tanpa

terkecuali, atas ilmu, bantuan, dan kerjasamanya selama ini. Terkhusus kepada

Prof. Rr. Sri Rachma Aprilita B., M.Sc., Ph.D., terima kasih banyak atas

pengalaman memperoleh ilmu dan berbagi cerita di masa yang singkat dulu.

Semangat penulis untuk menyelesaikan kuliah saat ini banyak dipengaruhi oleh

pengalaman-pengalaman tersebut.

viii
6. Sahabat-sahabat KOMTANI/KMMP, Ahmad Taqiuddin Reza Putra, SS., yang

telah membagi perspektifnya, segala pengertian serta kisah-kisah yang terlewati

berdua sungguh sulit untuk dilupakan, Harpiana Rahman, SKM., yang telah

menginspirasi penulis untuk mengadopsi prinsip “lebih berharga tindakan kecil

sekalipun orang lain telah berpikir besar,” Istiana Aminuddin, S.Sos., yang telah

berbagi kebersamaan dan cerita dalam banyak hal, serta Taufik S.Hut., yang

telah mengajarkan penulis tentang toleransi.

7. Fauziah Agni, SKM., “Sang Kekasih Hati.” Si Perempuan Biasa yang –secara

mengejutkan– memiliki segala macam hal –kelebihan dan kekurangan– yang

belum pernah dimiliki penulis sebelumnya. Tempat penulis belajar tentang

kesabaran, seni mengalah, kebijaksanaan, kedewasaan, kepemimpinan,

keberanian, kehormatan, dan bahkan Ketuhanan. Si Perempuan Biasa yang

selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Para sahabat senasib-sependeritaan Rumput’07, tempat penulis mengandalkan

segalanya semasa perkuliahan. Kawan-kawan Tanduk’01, Caput’02, Spider’03,

Hamster’04, Lebah’05, Colagen’06, Bakteri’08, Merpati’09, L10N’10, dan

Solandeven’11. Segenap warga HIMAPROTEK-UH dan SEMA FAPET-UH,

serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu-per-satu.

Skripsi ini adalah persembahan kecil bagi bangsa Indonesia, semoga

mampu mengambil bagian dalam proses pencapaian peternakan yang

mensejahterakan masyarakat.

Makassar, 22 Mei 2013

Dimas Panji Pangestu

ix
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ........................................................................... i

HALAMAN JUDUL .............................................................................. ii

PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................. iii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. iv

ABSTRAK ............................................................................................. v

ABSTRACT ........................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ............................................................................ vii

DAFTAR ISI .......................................................................................... x

DAFTAR TABEL ................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xiv

PENDAHULUAN .................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
A. Tinjauan Umum Sapi Bali .......................................................... 3
B. Sistem Semi Intensif Mini Ranch ............................................... 5
C. Metode Pemeriksaan Kebuntingan ............................................. 6
1. Palpasi Rektal ...................................................................... 7
2. Transrektal Ultrasonografi ................................................... 9
D. Status Kebuntingan .................................................................... 13
E. Umur Kebuntingan ..................................................................... 15
1. Periode Pertama ................................................................... 15
Vesikel Amnion (Amniotic Vesicle) .................................... 17
Fetal Membrane Slip .......................................................... 19
2. Periode Ke-dua dan Ke-tiga ................................................. 19
Plasentoma ......................................................................... 20

x
Premitus pada Arteria Uteri ................................................ 21
Fetal Ballotement ............................................................... 21
F. Gangguan Reproduksi ................................................................ 23
1. Kista Ovarium ..................................................................... 23
2. Kompleks Metritis ............................................................... 24
Metritis ............................................................................... 24
Endometritis ....................................................................... 25
Pyometra ............................................................................ 25
3. Servisitis dan Vaginitis ........................................................ 26
G. Vaginoskopi ............................................................................... 26

H. Body Condition Score ................................................................. 27

METODE PENELITIAN ........................................................................ 29


Waktu dan Tempat ........................................................................... 29
Materi Penelitian .............................................................................. 29
Metode Penelitian ............................................................................ 29
Parameter yang Diukur ..................................................................... 31
Analisis Data .................................................................................... 32

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 33


Skor Kondisi Tubuh (BCS) .............................................................. 33
Status Kebuntingan dan Gangguan Reproduksi ................................ 35
Umur Kebuntingan ........................................................................... 39
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 40
Kesimpulan ....................................................................................... 40
Saran................................................................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 41

LAMPIRAN ........................................................................................... 48

RIWAYAT HIDUP ................................................................................ 52

xi
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman


1. Tanda-tanda Sapi Positif Bunting pada Metode Palpasi Rektal ..... 14

2. Karakteristik Uterus Sapi Selama Kebuntingan............................. 16

3. Karakteristik yang Dapat Diidentifikasi dalam Deteksi Awal


Kebuntingan Sapi dengan Metode Ultrasonografi ........................ 17

4. Perkiraan Umur Kebuntingan Berdasarkan Ukuran Vesikel


Amnion ....................................................................................... 18

5. Diameter Plasentoma Berdasarkan Umur Kebuntingan ................ 20

6. Umur Kebuntingan Berdasarkan Perbandingan Objek yang Seukuran


dengan Fetus Teraba pada Metode Palpasi Rektal ........................ 22

7. Efek BCS terhadap Persentasi Kebuntingan Sapi ......................... 28

8. Hubungan BCS terhadap Persentasi Sapi Bunting Kembali Setelah


Penyapihan .................................................................................. 28

9. Proporsi Ternak Sapi Bali Betina Berdasarkan Skor BCS di


Mini Ranch Maiwa ....................................................................... 33

10. Perbandingan Distribusi Ternak Sapi Bali Betina Berdasarkan


Skor BCS di Mini Ranch Maiwa dan IPR Pinrang ........................ 33

11. Proporsi Ternak Sapi Bali Betina Berdasarkan Status Kebuntingan


dan Gangguan Reproduksi di Mini Ranch Maiwa ......................... 35

12. Perbandingan Status Kebuntingan dan Gangguan Reproduksi Ternak


Sapi Bali Betina di Mini Ranch Maiwa dan IPR Pinrang .............. 36

13. Rerata BCS Ternak Sapi Bali Betina Berdasarkan Status


Kebuntingan dan Gangguan Reproduksi di Mini Ranch Maiwa
dan IPR Pinrang ........................................................................... 37

14. Perbandingan Distribusi Ternak Sapi Bali Betina Berdasarkan Umur


Kebuntingan di Mini Ranch Maiwa dan IPR Pinrang .................... 39

xii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman


1. Akurasi Diagnosis Kebuntingan dengan Metode Ultrasonografi .. 10

2. Tahap-tahap dalam Diagnosis dan Penentuan Umur Kebuntingan


pada Sapi dengan Metode Palpasi Rektal ..................................... 14

3. Pengaruh Relatif BCS terhadap Persentasi Kebuntingan ............... 28

4. Penampilan Ternak Sapi Bali Betina Berdasarkan Kriteria


BCS 1-9 ....................................................................................... 30

5. Tampilan Sonogram Organ Reproduksi Ternak Sapi Bali yang


Mengalami Kista Folikular ........................................................... 35

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman


1. Hasil Uji Normalitas Status Kebuntingan terhadap kondisi
BCS dengan SPSS 20 .................................................................. 49

2. Sidik Ragam Pengaruh Status Kebuntingan terhadap BCS ........... 49

3. Sidik Ragam Pengaruh Status Kebuntingan terhadap BCS


dengan SPSS 20 ........................................................................... 49

4. Pembandingan Selisih Rerata BCS Berdasarkan Status


Kebuntingan dengan Nilai BNT .................................................... 50

5. Hasil Uji BNT Status Kebuntingan terhadap BCS......................... 50

6. Hasil Uji BNT Status Kebuntingan terhadap BCS dengan


SPSS 20 ....................................................................................... 50

7. Proporsi Ternak Sapi Bali Berdasarkan Umur Kebuntingan


di Mini Ranch Maiwa ................................................................... 51

8. Dokumentasi Penelitian ............................................................... 51

xiv
PENDAHULUAN

Sapi Bali (Bos sondaicus) sebagai plasma nutfah ternak potong Indonesia

merupakan jenis sapi yang paling populer dipelihara oleh kalangan peternak,

khususnya di provinsi Sulawesi Selatan. Kemampuan beradaptasi dengan baik pada

lingkungan ekstrim wilayah tropis serta jarak melahirkan yang relatif pendek

dimana periode kelahiran terjadi sepanjang tahun diketahui sebagai pertimbangan

utama yang menyebabkan ternak sapi Bali banyak dipelihara oleh masyarakat

(Murtidjo, 1990; Talib, 2002).

Realita di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan sapi Bali untuk dapat

melahirkan sepanjang tahun yang ditandai dengan aktivitas ovarium dan

perkawinan kembali kurang dari dua bulan sesudah melahirkan (Talib dkk., 2001)

relatif sulit untuk dicapai peternak. Hal tersebut dapat disebabkan oleh terjadinya

gangguan reproduksi (Tarmudji dkk., 2001; Ismudiono dkk., 2010) serta minimnya

informasi mengenai status kebuntingan.

Laporan mengenai proporsi ternak sapi Bali yang mengalami gangguan

reproduksi sebelumnya telah dilaporkan oleh Yusuf dkk. (2012) untuk sapi Bali

yang dipelihara secara semi intensif oleh peternak skala kecil, sedangkan untuk sapi

Bali yang dipelihara di padang penggembalaan belum banyak dilaporkan.

Mengingat resiko yang juga cukup besar untuk terjadinya gangguan reproduksi

pada sapi Bali yang digembalakan di padang rumput, maka penelitian ini ditujukan

untuk mengetahui status kebuntingan dan tingkat kejadian gangguan reproduksi

pada ternak sapi Bali yang dipelihara secara semi intensif di Mini Ranch Maiwa,

Kabupaten Enrekang. Data hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi

pedoman dalam penanganan gangguan reproduksi dalam rangka perbaikan mutu

1
reproduksi sapi Bali di Mini Ranch Maiwa sekaligus menjadi rujukan ilmiah yang

memadai bagi penelitian lebih lanjut terkait kebuntingan dan gangguan reproduksi

pada ternak sapi Bali yang dipelihara secara semi intensif di padang

penggembalaan.

2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Sapi Bali

Sapi Bali (Bos sondaicus) adalah sapi hasil domestikasi banteng liar (Bos

javanicus) (Talib dkk., 2003). Berdasarkan hierarki pada taksonomi hewan, sapi

Bali diklasifikasikan kedalam famili Bovidae, genus Bos dan subgenus Bovine

(Blakely and Bade, 1992). Penjinakan banteng liar menjadi sapi Bali telah

berlangsung sangat lama dan oleh sebagian besar peneliti belum diketahui dengan

pasti awal dari proses domestikasi banteng liar tersebut (Talib, 2002) namun

Rollinson (1984) menduga bahwa sapi Bali tersebut telah didomestikasi dari

Banteng liar sejak 3500 SM.

Penamaan sapi Bali oleh masyarakat luas diduga berkembang seiring

dengan kemajuan budidaya sapi tersebut di pulau Bali. Pendapat tersebut

dikemukakan oleh Pane (1990) bahwa banteng liar awalnya hanya dijinakkan di

Jawa dan Bali, namun dalam perkembangannya ternyata sapi hasil penjinakan

banteng tersebut hanya berkembang baik di pulau Bali. Sapi tersebut tidak banyak

dikembangkan di pulau jawa menurut Inounu (2011) diduga disebabkan oleh

populasi ternak domba yang cukup tinggi di Jawa dimana ternak domba tersebut

sangat berpotensi menjadi carrier penyakit MCF (Malignant Catarrhal Fever)

yang dapat menular pada ternak sapi Bali.

Ciri-ciri fisik sapi Bali antara lain berukuran sedang, berdada dalam, serta

berbulu pendek, halus dan licin. Warna bulu merah bata dan coklat tua dimana pada

waktu lahir, baik jantan maupun betina berwarna merah bata dengan bagian warna

terang yang khas pada bagian belakang kaki. Warna bulu menjadi coklat tua sampai

3
hitam pada saat mencapai dewasa dimana jantan lebih gelap daripada betina. Warna

hitam menghilang dan warna bulu merah bata kembali lagi jika sapi jantan dikebiri.

Bibir, kaki dan ekor berwarna hitam dan kaki putih dari lutut ke bawah, dan

ditemukan warna putih di bawah paha dan bagian oval putih yang amat jelas pada

bagian pantat. Pada punggung ditemukan garis hitam di sepanjang garis punggung

(garis belut). Kepala lebar dan pendek dengan puncak kepala yang datar, telinga

berukuran sedang dan berdiri. Tanduk jantan besar, tumbuh ke samping dan

kemudian ke atas dan runcing (Wiliamson and Payne, 1993).

Populasi sapi Bali hingga tahun 2013 diperkirakan berada pada kisaran 3,2-

3,3 juta ekor, tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan konsentrasi

utama berada di Pulau Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi

Selatan, Kalimantan Selatan, Lampung dan Sumatera Selatan. Angka tersebut

hampir mencapai 20% dari 16,6 juta ekor (angka sementara) total populasi sapi

potong di Indonesia (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian Darmadja (1980), sapi Bali mempunyai

fertilitas 83-86%, laporan ini menunjukkan bahwa dari sudut pengembangbiakan

sapi Bali lebih baik daripada sapi potong asal Eropa yang rata-rata mempunyai

fertilitas 60%. Sapi Bali betina rata-rata mencapai dewasa kelamin pada umur 18

bulan. Siklus estrus rata-rata 18 hari dimana pada sapi Bali muda berkisar antara

20-21 hari sedangkan betina dewasa antara 16-23 hari. Lama masa birahi sekitar

16-23 jam dengan masa subur 18-27 jam (Murtidjo, 1990). Lama kebuntingan

berkisar antara 280-294 hari (Davendra dkk., 1973) sedangkan persentase

kebuntingan dilaporkan sebesar 86,56% (Pastika dan Darmadja, 1976). Tingkat

4
kematian pada saat melahirkan sekitar 3,65% dengan persentase kelahiran normal

mencapai 83,4% dan calving Interval sekitar 15,48-16,28 bulan (Murtidjo, 1990).

B. Sistem Semi Intensif Mini Ranch

Substansi dari sistem pemeliharaan semi intensif adalah ternak

dikandangkan pada sore/malam hari dan dilepas di padang penggembalaan

pada pagi hari (Zakariah, 2012), namun terdapat perbedaan antara sistem semi

intensif skala kecil (tradisional) dengan sistem semi intensif mini ranch. Perbedaan

tersebut paling tidak terletak pada kapasitas ternak yang mampu dipelihara,

pemanfaatan teknologi, serta jenis komponen biotik padang penggembalaan yang

digunakan sebagai sumber pakan. Sistem semi intensif skala kecil mengacu pada

pemeliharaan ternak dengan jumlah kecil, teknologi peternakan masih tradisional

dan komponen biotik padang penggembalaan mengandalkan ketersediaan vegetasi

alami, sedangkan mini ranch mampu memelihara ternak dengan jumlah lebih besar,

menerapkan teknologi yang relatif lebih maju dan mengandalkan padang

penggembalaan dengan vegetasi buatan atau setidaknya dominan vegetasi buatan

(Siswadi dan Saragih, 2011).

Peluang ternak sapi Bali yang dipelihara di mini ranch untuk mengalami

gangguan reproduksi didasarkan pada asumsi bahwa pada mini ranch ternak tidak

dikandangkan sepanjang hari. Umumnya pada mini ranch, ternak jarang diberi

pakan dalam kandang (cut and carry) melainkan ternak lebih banyak merenggut

sendiri makanannya di padang penggembalaan yang telah disediakan. Padang

penggembalaan yang digunakan pada mini ranch komposisi-botaninya telah diubah

dengan jalan mengatur penggembalaan melalui pemotongan, drainase, penggunaan

5
pupuk, pengolahan tanah, penanaman ulang dan pemberantasan tumbuh-tumbuhan

pengganggu sekalipun beberapa spesies hijauan makanan ternak dalam padangan

umumnya belum ditanam secara permanen oleh peternak (temporer) (McIlroy,

1976; Reksohadiprodjo, 1994). Mini ranch juga menerapkan penggunaan paddock

untuk membatasi ternak tetap berada pada lingkungan padang penggembalaan yang

diinginkan. Sekalipun demikian, dengan digembalakan, peternak tidak sepenuhnya

dapat mengontrol infeksi bakteri dari hijauan yang direnggut oleh ternak sapi.

Yusuf dkk. (2012) telah melaporkan kejadian gangguan reproduksi pada

sapi Bali yang dipelihara oleh peternak skala kecil di Kabupaten Bantaeng, Provinsi

Sulawesi Selatan. Penelitian tersebut menunjukkan tingginya kejadian gangguan

reproduksi pada sapi Bali yakni sebesar 63,1% dari 111 ekor ternak mengalami

gangguan reproduksi yang utamanya disebabkan oleh ovarium tidak aktif.

C. Metode Pemeriksaan Kebuntingan

Kebuntingan didefinisikan sebagai suatu periode fisiologis pasca

perkawinan ternak betina yang menghasilkan konsepsi yang diikuti proses

perkembangan embrio kemudian fetus hingga terjadinya proses partus (Hafez,

2000) sedangkan menurut Illawati (2009) kebuntingan merupakan suatu proses

dimana bakal anak sedang berkembang di dalam uterus seekor hewan betina.

Kebuntingan sapi berlangsung sejak konsepsi (fertilisasi) sampai terjadinya

kelahiran anak (partus) secara normal (Soebandi, 1987; Frandson, 1992).

6
Seiring bertambahnya umur kebuntingan, uterus mengalami perubahan

secara kontinyu baik dari segi ukuran, letak, maupun morfologi, sehingga

dimungkinkan suatu kaidah dalam memprediksi umur kebuntingan melalui temuan-

temuan fisik organ reproduksi. Sejumlah pendekatan telah dikembangkan dan

dievaluasi dalam pemeriksaan kebuntingan ternak sapi hingga metode diagnosis

kebuntingan dapat diklasifikasikan menjadi dua (langsung dan tidak langsung) atau

tiga kategori (visual, klinis, dan tes laboratorium). Untuk metode klinis, sejauh ini

palpasi rektal dan ultrasonografi telah digunakan lebih dari 95% peternak modern

di belahan dunia dari waktu ke waktu (Rodning et al., 2012). Bila dilakukan dengan

benar, kedua metode tersebut aman untuk induk sapi dan fetusnya. Meskipun

demikian, terlepas dari metode yang digunakan untuk mendeteksi status

kebuntingan, sebagian kecil (sekitar 5%) dari sapi yang didiagnosis bunting

sebelum 60 hari kebuntingan akan mengalami kematian embrio dini, dimana hal ini

bukan merupakan efek dari pemeriksaan kebuntingan itu sendiri melainkan

keguguran yang terjadi secara alami.

1. Palpasi Rektal

Perkembangan hasil konsepsi akan mengarah kepada peningkatan secara

bertahap ukuran, desiran, serta karakteristik yang terdapat pada organ

reproduksi. Pada sebagian besar spesies ternak, organ reproduksi biasanya terletak

di dasar panggul tepat di bawah rektum selama awal kebuntingan dan di dalam

rongga perut selama akhir kebuntingan. Palpasi rektal dilakukan dengan cara

memasukkan tangan ke dalam rektum hingga tercapai perabaan terhadap uterus dan

ovarium sehingga dapat diketahui kondisi organ, kelainan, serta siklus reproduksi

7
yang terjadi pada seekor ternak (Hafez, 1980). Tingkat akurasi dalam memprediksi

kebuntingan tergantung spesies, periode kebuntingan serta pengalaman palpator,

namun metode palpasi rektal relatif memiliki tingkat akurasi mencapai 100% dalam

mendiagnosa kebuntingan pada 35-45 hari postbreeding (Eilts, 2007).

Palpasi rektal merupakan metode yang tertua dan paling luas digunakan

sebagai diagnosis awal kebuntingan ternak perah (Cowie, 1948). Pada spesies

hewan domestikasi berukuran besar seperti sapi, kerbau, kuda dan unta, palpasi

rektal sekalipun dengan beberapa keterbatasan, merupakan metode diagnosis

kebuntingan yang paling mudah, murah dan tercepat dengan sedikit atau bahkan

nihil peluang membahayakan hewan dan fetus bila dilakukan dengan hati-

hati. Palpasi rektal dianggap menjadi metode diagnosis kebuntingan sapi perah

yang akurat untuk operator berpengalaman setelah hari ke-35 postbreeding

(Romano, 2013; Roberts, 1971; Zemjanis, 1970; Momont, 1990). Sebagian kecil

studi menunjukkan bahwa palpasi rektal dapat meningkatkan risiko kematian

embrio iatrogenik pada sapi perah (Paisley et al., 1978; Vaillancourt et al., 1979;

White et al., 1989), namun lebih banyak peneliti dengan hasil penelitian berbeda

tidak sependapat dengan pendapat tersebut (Purohit, 2010). Menurut Romano and

Magee (2001), prosedur dengan palpasi rektal tersebut tidak memberikan informasi

tentang viabilitas embrio/fetus selama tahap-tahap awal kebuntingan.

8
2. Transrektal Ultrasonografi

Ultrasonografi (USG) didefinisikan sebagai suatu proses pencitraan

terhadap struktur di dalam tubuh dengan mengukur dan merekam pantulan (gema)

gelombang suara frekuensi tinggi (O’Toole, 2013). Selama satu dekade terakhir,

ultrasonografi sangat popular digunakan oleh kalangan dokter hewan serta peternak

modern dan telah menjadi pilihan metode untuk pencitraan diagnostik dari berbagai

organ tubuh hewan, termasuk organ reproduksi. Pada diagnosis hewan, dikenal

metode transrektal ultrasonografi (pemeriksaan di dalam rektum) untuk ternak

besar dan transabdominal ultrasonografi (pemeriksaan di permukaan perut) untuk

ternak kecil (Purohit, 2010).

Gelombang ultrasound adalah istilah untuk frekuensi gelombang suara

tinggi. Suara yang mampu didengar oleh telinga manusia bervariasi antara 20

hingga 20.000 Hz (Hertz), sedangkan gelombang ultrasound adalah frekuensi yang

lebih tinggi, dan untuk kebanyakan aplikasi diagnostik, digunakan frekuensi 1-10

MHz (Purohit, 2010). Pemilihan frekuensi ini berdasarkan tingkat penetrasi yang

diharapkan untuk menembus jaringan target dan resolusi dari tampilan di layar

monitor yang dibutuhkan. Pada frekuensi rendah akan didapatkan tampilan detail

yang kurang baik tetapi penetrasi jaringan yang lebih baik, sedangkan pada

frekuensi yang tinggi akan didapatkan tampilan detail yang baik tetapi kedalaman

penetrasi jaringan yang kurang baik (Lavin, 2007). Frekuensi 1-4,0 MHz baik

digunakan untuk transabdominal ultrasonografi misalnya pada kambing, domba

dan babi. Frekuensi 5,0-7,5 MHz baik digunakan untuk transrektal ultrasonografi

pada kuda, sapi dan domba (Jainudeen and Hafez, 2000).

9
Pada metode USG, beberapa peneliti telah melaporkan efektifitas dari

penerapan metode ultrasonografi dalam mendeteksi awal kebuntingan sapi

berdasarkan keberadaan vesikel embrio. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

bahwa pada umur kebuntingan sembilan hari (Boyd et al., 1988), 10 hari (Curran

et al., 1986), dan 12 hari (Pierson and Ginther, 1984) metode ultrasonografi efektif

dilaksanakan hanya sebagai langkah untuk mengonfirmasi kebuntingan atau untuk

memvalidasi proses deteksi keberadaan embrio pada dua minggu pertama

kebuntingan. Namun, Kastelic dkk. (1989) yang telah memantau kebuntingan

indukan muda baik yang bunting maupun tidak bunting pada sapi yang telah di-

inseminasi menemukan bahwa diagnosis kebuntingan pada hari 10 sampai hari 16

menghasilkan akurasi diagnosis positif bunting atau tidak bunting kurang dari 50%

sedangkan pada hari ke-18, 20, dan 22 akurasi diagnosis kebuntingan meningkat

berturut-turut menjadi 85%, 100%, dan 100%. Hal serupa dikemukakan oleh Fricke

(2009), bahwa akurasi diagnosis kebuntingan menggunakan metode USG dengan

jenis transduser 7,5 MHz tidak lebih tinggi dari 50% jika dilakukan sebelum hari

16 pasca inseminasi (Gambar 1).

100 7.5 MHz


5.0 MHz
n = 19
80
2.5 MHz
Akurasi (%)

60

40

20

0
10 12 14 16 18 20 22
Pasca Inseminasi (hari)
Gambar 1. Akurasi Diagnosis Kebuntingan dengan Metode Ultrasonografi
(Fricke, 2009)

10
Peralatan USG pada dasarnya terdiri dari transduser (probe) dan scan

converter. Transduser adalah bagian yang memproduksi gelombang

ultrasound. Transduser dilengkapi dengan kristal piezoelectric (timbal-zirkonat-

titanat dan sebagainya) yang bila dirangsang oleh tegangan tinggi akan

memancarkan gelombang ultrasound. Transduser yang umum digunakan dalam

praktek reproduksi hewan adalah transduser transrektal linear (frekuensi 5-10 MHz)

dan transduser transabdominal sektor (frekuensi dari 1-4,0 MHz). Gelombang

ultrasound ditransmisikan kepada ternak pasien dari transduser dan menyebar

melalui jaringan. Pancaran gelombang ultrasound dapat dipantulkan kembali,

sebagian diserap, atau juga seluruhnya diserap. Gema (echos) akan ditangkap

kembali dan dideformasi oleh kristal dalam transduser. Energi mekanik tersebut

diubah kembali menjadi energi listrik berupa sinyal yang sebanding dengan

kekuatan echo dan tertunda oleh waktu kira-kira sebanding dengan jarak tempuh

penelusuran USG. Scan converter menafsirkan variasi dari echo berupa tampilan

kecerahan pada tabung sinar katoda dari sistem B-mode atau variasi lain dalam

amplitudo mode (A-mode) layar osiloskop dan juga menyimpan gambar bila

diperlukan. Gelombang ultrasound dipancarkan dalam bentuk gema

pulsa. Sebentuk pulsa ultrasound yang telah dipancarkan akan direfleksikan

sebelum emisi pulsa berikutnya dipancarkan kembali (Jainudeen and Hafez, 2000;

Lavin, 2007; Purohit, 2010).

Berdasarkan teknik yang digunakan dalam diagnosa, mode USG terbagi

atas A-mode (amplitude modulation), B-mode (brightness modulation), dan M-

mode/TM-mode (motion or time-motion modulation). A-mode merupakan teknik

pemeriksaan satu dimensi yang ditampilkan dengan waktu (jarak) pada sumbu

11
horizontal dan digunakan transduser dengan kristal tunggal. B-mode merupakan

teknik yang menggabungkan A-mode dengan amplitudo sehingga echo ditampilkan

dengan titik kecerahan berbeda pada skala abu-abu yang sesuai dengan intensitas

(amplitudo) dari setiap pulsa gelombang ultrasound. Lokasi pada layar berkaitan

dengan posisi dan kedalaman organ target. M-mode adalah teknik B-mode satu

dimensi yang ditampilkan dengan waktu pada kedua axis untuk memungkinkan

pengamatan pada target bergerak. Echo dihasilkan oleh transduser stasioner yang

direkam secara terus-menerus dari waktu ke waktu dan diperbarui secara cepat. M-

mode digunakan untuk menganalisis struktur bergerak misalnya katup jantung pada

studi kardiologi. Untuk diagnosa kebuntingan sapi, digunakan Realtime B-mode

yakni teknik ultrasonografi B-mode yang menggunakan sebuah array detector

dengan kecepatan 30 frame per detik untuk menampilkan citra skala abu-abu

bergerak dari anatomi organ secara cross-sectional. Gambar dihasilkan dari refleksi

gelombang ultrasound setelah aktivasi berurutan transduser array yang ditampilkan

pada layar dengan kecepatan yang cukup untuk memberikan penampilan gambar

hidup. Oleh karena bidang organ target disoroti berkali-kali per detik, maka dapat

divisualisasikan dengan lebih hidup sebagaimana yang benar-benar terjadi pada

organ target, seperti misalnya mendeteksi gerakan fetus (Purohit, 2010; Lutz and

Buscarini, 2011).

Gambaran echo ditentukan oleh ketebalan jaringan. Struktur jaringan dapat

dibedakan menjadi echogenic yaitu jaringan yang mampu memantulkan gelombang

ultrasound dengan baik dan nonechogenic yaitu jaringan yang gagal memantulkan

gelombang ultrasound sehingga tidak menghasilkan gema. Semakin tebal (padat)

suatu jaringan maka semakin banyak gelombang yang dipantulkan sehingga

12
semakin terang (putih) tampilan dalam layar monitor (Jainudeen and Hafez, 2000;

Lavin, 2007; Purohit, 2010). Ihnatsenka and Boezaart (2010) menyatakan bahwa

berdasarkan ekogenisitasnya, hasil sonografi akan tampil dalam tiga jenis

visualisasi yakni hyperechoic, hypoechoic dan anechoic. Hyperechoic (echogenic)

merupakan citra berwarna putih pada sonogram yang dapat dijumpai pada struktur

seperti tulang, udara, kolagen dan lemak, disebabkan pemantulan gelombang (echo)

secara sempurna dari struktur target (highly reflective interface). Hypoechoic

(echopoor) merupakan citra berwarna abu-abu pada sonogram yang dapat dijumpai

pada struktur seperti jaringan lunak, disebabkan tingkat echo yang rendah dari

struktur target (intermediate reflection/transmission). Anechoic

(echolucent/nonechogenic) merupakan citra berwarna hitam pada sonogram yang

dapat dijumpai pada struktur seperti cairan kantung kemih, disebabkan tidak terjadi

pemantulan gelombang dari struktur target (complete transmission).

D. Status Kebuntingan

Tanda-tanda positif bunting via palpasi rektal umumnya didasarkan pada

perabaan vesikel amnion (kantung amnion), fetal membrane slip, fetus, plasentoma,

serta fremitus pada arteria uteri (Tabel 1). Temuan vesikel amnion sebagai acuan

dalam menentukan status kebuntingan sapi perah dengan palpasi rektal

digambarkan oleh Wisnicky dan Cassida (1948), sedangkan tergelincirnya

membran chorioallantoic (fetal membrane slip) antara ibu jari dengan jari telunjuk

palpator pada hari ke-30 kebuntingan dijelaskan oleh Zemjanis (1970). Ternak sapi

dinyatakan positif bunting jika salah satu dari kelima parameter penduga tersebut

13
ditemukan saat palpasi, sedangkan pada metode ultrasonografi, sapi positif bunting

diidentifikasi melalui temuan vesikel amnion dan fetus (Tabel 1).

Tabel 1. Tanda-tanda Sapi Positif Bunting pada Metode Palpasi Rektal


Fetal Fremitus Arteria Uteri
Umur Vesikel
Membrane Fetus Plasentoma
Kebuntingan Amnion Ipsilateral Kontralateral
Slip
30 hari + +
45 hari + +
60 hari + +
75 hari + + +
90 hari + + +
105 hari + + +
4 bulan + + +
5 bulan + + + +
6 bulan + + +
7 bulan + + + +
Sumber: Eilts (2007)

Palpasi secara seksama


Langkah 1 untuk menemukan
keberadaan fetus.

Jika fetus tidak


Jika fetus ditemukan:
ditemukan:

Umur ditentukan Periksa perpindahan


berdasarkan ukuran fetus, uterus dengan
Langkah 2A
lokasi fetus, serta perkiraan menempatkan serviks Langkah 2B
ukuran kotiledon yang pada atau di dekat pelvic
terdapat pada badan uterus. brim.

Jika uterus dapat


Jika uterus tidak dapat
dipindahkan, telusuri
Langkah 3C dipindahkan, periksa Langkah 3D uterus mulai dari serviks
kornua uteri.
turun ke rongga tubuh.

Periksa: Periksa:
1. Cairan 1. Kotiledon
Langkah 4C 2. Selip membran Langkah 4D 2. Pulsasi (fremitus) uteria
3. Ketebalan dinding uterus arteri

Jika ada, induk sapi telah


Jika ada, induk sapi telah
Jika tidak ada, induk sapi bunting. Umur fetus
bunting antara 30-90 hari. Jika tidak ada, kembali ke
dalam masa kosong (days ditentukan berdasarkan
Umur fetus ditentukan langkah 2B
open) kurang dari 30 hari ukuran kotiledon dan
berdasarkan ukuran fetus arteria uteri

Gambar 2. Tahap-tahap dalam Diagnosis dan Penentuan Umur Kebuntingan pada


Sapi dengan Metode Palpasi Rektal (Carpenter and Sprott, 2008)

14
Sapi yang negatif bunting normal dapat diidentifikasi dengan karakteristik

yaitu tidak terdapatnya gelembung yang berisi cairan di kedua kornua uteri, kedua

kornua uteri berdinding tebal, teraba agak menggelung dan dapat ditelusuri sampai

ke pangkalnya (Arsyad dan Yudistira, 2011). Disamping itu, organ reproduksi sapi

tidak bunting secara keseluruhan akan berada di dalam rongga panggul (pelvic

cavity) kecuali untuk sapi yang lebih tua atau lebih besar, kemungkinan akan

ditemukan serviks dan kornua uteri sedikit membuncit dari pelvic brim (tepi

panggul) hingga ke rongga tubuh (Carpenter and Sprott, 2008), hal tersebut dapat

dibedakan dengan sapi positif bunting melalui palpasi cairan di dalam uterus.

Pendekatan sistematis untuk menentukan bunting atau tidaknya sapi beserta umur

perkiraan kebuntingan dipaparkan pada Gambar 2.

E. Umur Kebuntingan

Periode kebuntingan sapi dibagi atas tiga tahap, masing-masing tahap

berlangsung selama tiga bulan (trimester). Trimester pertama dijadikan acuan untuk

deteksi kebuntingan dini sedangkan trimester ke-dua dan ke-tiga dijadikan sebagai

dasar untuk deteksi kebuntingan lanjutan (Carpenter and Sprott, 2008).

1. Periode Pertama

Trimester pertama kebuntingan dijadikan sebagai acuan dalam diagnosis

kebuntingan dini menurut Susanto (2010) disebabkan karena pada usia kebuntingan

tersebut asimetri kornua uteri masih jelas teraba dan bifurkasio uteri masih dapat

dirasakan sehingga lebih mudah mendiagnosa ada tidaknya kebuntingan. Pada usia

kebuntingan diatas 3 bulan kornua yang bunting sudah semakin besar sehingga

15
asimetri kornua uteri tidak terasa lagi, karena kornua uteri yang ada fetusnya sudah

menutup kornua satunya.

Pada awal kebuntingan uterus induk sapi muda berada pada rongga panggul

(pelvic cavity) (Tabel 2) dan tepat di depan tepian panggul (pelvic brim) untuk induk

sapi yang telah pluriparous (Purohit, 2010). Disamping itu, menurut Rasad (2011)

kornua uteri akan teraba berbentuk asimetris dimana salah satu sisi kornua

membengkak karena berisi sejumlah cairan (35 hari kebuntingan), kemudian pada

ovarium yang berada di ujung kornua uteri yang membengkak tersebut akan

ditemukan korpus luteum. Pertambahan diameter kornua uteri juga ditandai dengan

penipisan dinding uterus. Lalu pada 40-90 hari kebuntingan, uterus terasa seperti

karet balon yang hampir terisi penuh dengan cairan. Volume cairan meningkat

dengan cepat pada lima bulan pertama kebuntingan dan kemudian diikuti dengan

peningkatan secara perlahan. Menurut Arsyad dan Yudistira (2011) selama tiga

bulan pertama kebuntingan, induk sapi baru dapat dinyatakan bunting jika pada

kornua uteri telah ditemukan cairan plasenta (chorioallantoic) pada minggu ke-5

atau ke-6 hingga umur kebuntingan delapan minggu.

Tabel 2. Karakteristik Uterus Sapi Selama Kebuntingan


Umur Diameter
Struktur Teraba dengan Palpasi
Kebuntingan Posisi Uterus Uterus
Rektal
(hari) (cm)
35-40 Lantai Pelvis 2-3 Asimetri uteri/Fetal Membrane Slip
45-50 Lantai Pelvis 5,0-6,5 Asimetri uteri/Fetal Membrane Slip
60 Pelvis/abdomen 6,5-7,0 Fetal Membrane Slip
90 Abdomen 8,0-10,0 Plasentoma kecil/fetus (10-15 cm)
120 Abdomen 12 Plasentoma/fetus (25-30 cm), fremitus
150 Abdomen 18 Plasentoma/fetus (35-40 cm), fremitus
Sumber: Manan (2001); Moreira and Hansen (2005)

16
Pada diagnosis dengan ultrasonografi, sebagaimana yang telah diulas

sebelumnya bahwa struktur berisi cairan akan tampak hitam (anechoic), struktur

keras seperti tulang tampak putih (hyperechoic) dan struktur lainnya antara tulang

dan cairan tampak abu-abu (hypoechoic). Diagnosis dasar kebuntingan pada

metode ultrasonografi terletak pada identifikasi struktur dari hitam, abu-abu atau

skala putih tersebut. Temuan awal sonografi untuk kebuntingan di sebagian besar

hewan adalah munculnya cairan anechoic dalam lumen uterus. Cairan ini terus

meningkat ke taraf dimana embrio yang tepat akan terlihat sebagai struktur

hypoechoic mengambang dalam cairan tersebut dan semakin jelas struktur fetus

maka akan terlihat membran fetus bersama dengan fetus. Viabilitas fetus yang

sedang berkembang dapat dipastikan ketika jantung fetus yang berdetak terlihat

sebagai struktur hypoechoic berkedip. Tabel 3 menyajikan beberapa karakteristik

temuan ultrasonografi berdasarkan umur kebuntingan saat pertama kali muncul.

Tabel 3. Karakteristik yang Dapat Diidentifikasi dalam Deteksi Awal Kebuntingan


Sapi dengan Metode Ultrasonografi
Umur Kebuntingan Awal (hari)
Ciri
Rerata Rentang
Embrio 20,3 19-24
Detak Jantung 20,9 19-24
Allantois 23,2 22-25
Spinal chors 29,1 26-33
Amnion 29,5 28-33
Plasentoma 35,2 33-38
Diadaptasi dari Curran et al. (1986)

Vesikel Amnion (Amniotic Vesicle)

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa kemunculan vesikel amnion pada

sapi telah dapat dideteksi pada sembilan hari (Boyd et al., 1988), 10 hari (Curran et

17
al., 1986), atau 12 hari (Pierson and Ginther, 1984) umur kebuntingan. Namun,

hasil penelitian dari Kastelic dkk. (1989) menunjukkan bahwa deteksi kebuntingan

sapi dengan ultrasonografi sampai hari ke-16 kebuntingan menghasilkan akurasi

kurang dari 50% dan pada ada hari ke-18, 20, dan 22 akurasi meningkat berturut-

turut menjadi 85%, 100%, dan 100%. Meskipun demikian Fricke (2009)

melaporkan bahwa sekalipun diagnosis ultrasonografi sapi di bawah umur

kebuntingan 20 hari memiliki akurasi kurang dari 50%, namun hasilnya tetap dapat

diterima sebagai konfirmasi bahwa induk sapi positif bunting.

Tabel 4. Perkiraan Umur Kebuntingan Berdasarkan Ukuran Vesikel Amnion


Lebar
Umur Kebuntingan (hari) Lebar (ujung jari)*
(cm)
35 0,7 1/2
42 1,5 1
48 3,5 2
53 5,5 3
58 7,5 4
62 9,0 4+
65 10,5 5
* Ukuran Rata-rata Jari Tangan Orang Dewasa
Sumber: Mortimer (2007)

Vesikel amnion yang mulai dapat dideteksi dengan USG sejak umur 9-22

hari kebuntingan akan tampak berupa cairan anechoic dalam lumen uterus. Posisi

cairan yang membentuk vesikel amnion terletak secara ipsilateral terhadap korpus

luteum di salah satu kornua uteri (Curran et al., 1986). Sampai hari ke-25, diameter

vesikel amnion masih sangat kecil sehingga hanya dapat dideteksi dengan USG

frekuensi di atas 5 MHz, yakni sekitar 2 sampai 4 mm (Pierson and Ginther, 1984).

Pada hari ke-25 sampai 30, vesikel amnion berada pada ukuran maksimal akibat

akumulasi cairan, yakni berdiameter sekitar 10 mm (Kähn, 2004). Pada kondisi ini

vesikel amnion sudah dapat dideteksi dengan palpasi rektal.

18
Deteksi vesikel amnion dengan palpasi rektal teraba antara 30-50 hari

kebuntingan (Purohit, 2010) sebagai objek berbentuk oval berisi cairan yang berada

dalam lumen uterus dan lebih banyak ditemukan pada ujung kornua uteri. Vesikel

lebih menonjol (bengkak) di awal kebuntingan tetapi menjadi lebih lembek seiring

bertambahnya kebuntingan hingga hari ke-65 sampai 70, pada kondisi itu akan

sangat sulit untuk mendeteksi vesikel. Ukuran vesikel sekitar selebar satu jari (1,5

cm) pada 40-42 hari kebuntingan dan meningkat menjadi selebar empat jari (9 cm)

pada 60-62 hari kebuntingan (Roberts, 1985).

Fetal Membrane Slip

Selaput fetal (chorioallantoic) di uterus menyelip saat diberi penyempitan

dengan ibu jari dan telunjuk (Susanto, 2010) atau yang biasa disebut fetal

membrane slip dapat dirasakan antara 35-90 hari kebuntingan (Zemjanis, 1970).

Fetal membrane slip adalah pembuktian adanya selaput fetal atau selubung fetus,

sedangkan fetal slip adalah meraba kornua uteri dengan ibu jari dan jari telunjuk

atau melakukan pengurutan secara hati-hati kornua uteri ke depan sehingga embrio

dan selaput fetus terdorong ke ujung kornua uteri (Susanto, 2010). Fetal membrane

slip merupakan tanda positif bunting yang terkhusus untuk metode diagnosis

dengan palpasi rektal.

2. Periode Ke-dua dan Ke-tiga

Pada sekitar tiga setengah sampai empat bulan umur kebuntingan,

perkembangan uterus mengarah ke depan (anterior) diawali dengan mulai turun ke

rongga perut (abdominal cavity). Kemudian pada umur kebuntingan sekitar empat

setengah sampai lima bulan, uterus telah mencapai dasar perut (abdominal) dan

19
pada kondisi itu hanya serviks yang mampu teraba dalam rongga panggul dimana

serviks tersebut juga ikut tertarik ke depan, pada kondisi itu, uterus tidak dapat

ditarik, lalu setelah itu, uterus kemudian akan mengarah ke atas. Oleh sebab itu,

secara keseluruhan baik uterus maupun fetus hampir tidak teraba selama empat

sampai enam setengah bulan dari periode kebuntingan sehingga diagnosis dengan

palpasi rektal harus bergantung pada indikator lain dari kebuntingan seperti

plasentoma atau juga fremitus (Purohit, 2010).

Plasentoma

Plasentoma merupakan gabungan antara kotiledon dan karunkula (Bowen,

2000). Kemunculan plasentoma adalah tanda lain dari ternak yang positif bunting,

dimana terdeteksi mulai sekitar 75 hari hingga akhir kebuntingan. Pada periode

kebuntingan dimana uterus telah turun ke rongga perut dan fetus tidak teraba,

perabaan terhadap plasentoma adalah indikasi yang paling pasti bahwa sapi sedang

bunting. Oleh karena terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara ukuran

plasentoma seekor induk sapi dimana plasentoma dengan ukuran terbesar berada

pada posisi yang terdekat dengan fetus, sehingga penerapan palpasi terhadap

plasentoma untuk induk sapi dengan kebuntingan tua sangat dibatasi. Secara umum,

plasentoma akan teraba seperti benjolan tebal dan lunak di dinding uterus.

Tabel 5. Diameter Plasentoma Berdasarkan Umur Kebuntingan


Umur Kebuntingan (hari) Diameter (cm)
75 0,6
100 1,5
115 2,2
125 2,5
150 4
180 5
Sumber: McCue (2012)

20
Fremitus pada Arteria Uteri

Mulai usia kebuntingan 4 bulan, dapat dirasakan adanya denyutan dari arteri

uterinea media yang letaknya kira-kira di bidang medial dari os illium, sedikit ke

kranial. Dengan semakin bertambahnya usia kebuntingan, denyutan akan berubah

menjadi desiran yang kekuatannya semakin meningkat (Susanto, 2010).

Pasokan utama darah untuk uterus sapi bunting masuk melalui arteria uteri

yang jauh meningkat seiring dengan progres kebuntingan. Pembuluh tersebut

membentang secara bilateral pada ligamen, tepat di bawah dan dari anterior menuju

poros iliaka berlawanan dengan arah cranio ventral. Pembuluh tersebut dapat teraba

oleh tangan jika diarahkan lateral menuju poros iliaka. Pembuluh tersebut juga

dapat digerakkan dengan bebas. Pembesaran arteria uteri, ipsilateral terhadap

kornua uteri sapi bunting, dimana terdeteksi setelah 80 hingga 90 hari kebuntingan.

Pada sekitar 120 hari kebuntingan, aliran darah dalam arteri meningkat ke titik

dimana aliran darah teraba sebagai sensasi berdesir, juga disebut "thrill" atau

"fremitus". Pada tujuh sampai delapan bulan kebuntingan, fremitus kadang pula

teraba pada sisi kornua uteri sapi yang tidak bunting.

Fetal Ballottement

Fetus dapat teraba dengan palpasi pada saat amnion mulai berkurang (65-70

hari) hingga akhir kebuntingan. Namun pada induk sapi berukuran besar, fetus

teraba selama pertengahan kebuntingan (empat setengah hingga enam setengah

bulan). Fetus lebih banyak teraba selama kebuntingan dini pada umur kebuntingan

dua sampai empat bulan. Durant (1986) menyatakan bahwa fetus kurang-lebih

seukuran dengan tikus pada dua hingga tiga bulan umur kebuntingan dan meningkat

21
seukuran anak kucing (kucing kecil) pada umur kebuntingan empat bulan, kucing

besar/dewasa pada lima bulan kebuntingan dan seukuran anjing beagle pada enam

bulan umur kebuntingan (Tabel 6). Pertumbuhan maksimum dari fetus terjadi pada

satu bulan hingga satu setengah bulan terakhir kebuntingan dan perkiraan prediksi

status kebuntingan tergantung pada pengalaman pemeriksa serta lokasi dari bagian-

bagian fetus. Pada umur delapan bulan kebuntingan, bagian fetus (kaki dan kepala)

teraba dalam rongga panggul (pelvic cavity) atau dari kranial hingga ke pinggir

panggul (pelvic brim). Palpasi pada ekstremitas fetus menjadi bukti yang cukup

untuk diagnosa kebuntingan uterus normal.

Tabel 6. Umur Kebuntingan Berdasarkan Perbandingan Objek yang Seukuran


dengan Fetus Teraba pada Metode Palpasi Rektal
Umur Kebuntingan (bulan) Objek Pembanding
2 Mencit
3 Tikus Got
4 Anak kucing
5 Kucing dewasa
6 Anjing Beagle
Sumber: McCue (2012)

Pada pemeriksaan kebuntingan dengan USG, indikasi kebuntingan

diperoleh berdasarkan pengamatan pada pencitraan layar monitor USG. Ternak sapi

yang positif bunting ditandai dengan bentukan bulatan anechoic di sebelah dorsal

vesika urinaria, tampakan kantong amnion serta jika tidak terlihat adanya gambaran

muskulus.

22
F. Gangguan Reproduksi

Gangguan reproduksi, selain dapat diidentifikasi melalui metode palpasi

rektal dan ultrasonografi, namun juga dapat mengakibatkan hasil diagnosis positif

palsu jika tidak dilakukan dengan cermat.

1. Kista Ovarium

Kista ovarium diidentifikasi berupa struktur folikel berdiameter minimal 2,5

cm (sekitar 1 inci) yang hadir selama 10 hari atau lebih pada ovarium tanpa adanya

fungsional korpus luteum (CL). Diduga bahwa kejadian kista ovarium mencapai 5-

20% di sebagian besar ternak sapi (Allrich, 2001). Dikategorikan diantaranya kista

folikular dan kista luteal.

Kista folikular terjadi karena rendahnya hormon LH, akibatnya terjadi

kegagalan ovulasi dan luteinasi pada folikel yang matang. Pada pemeriksaan per

rektal teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm, biasanya ditemukan dalam

jumlah yang banyak, permukaan halus, dinding tipis, jika ditekan terdapat fluktuasi

(Bearden et al., 2004). Dicitrakan secara ultrasonografi dengan berdinding tipis

2 mm) struktur nonechogenic terlihat di atas permukaan ovarium. Ukuran 25

mm (Kumar and Purohit, 2009).

Kista luteal adalah folikel matang yang gagal mengalami ovulasi namun

mengalami luteinasi oleh tingginya hormon LH. Karena berbeda tingkatan

luteinasi, kista luteal teraba lebih kenyal/tidak sepadat korpus luteum. Gejala yang

ditimbulkan adalah terjadi anestrus. Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium

berdiameter lebih dari 2,5 cm, biasanya ditemukan dalam jumlah tunggal,

permukaan halus, dinding tebal, jika ditekan kenyal (Bearden et al., 2004).

23
Dicitrakan secara ultrasonografi dengan rongga tengah anechoic dibatasi oleh

dinding yang tampak jelas (2-5 mm) dari jaringan luteinized yang dicitrakan berada

di luar permukaan ovarium (Kumar and Purohit, 2009).

2. Kompleks Metritis

Infeksi uterus biasanya timbul sebagai bagian dari suatu kompleks penyakit

yang disebut sebagai “kompleks metritis” yaitu metritis, endometritis dan

pyometra. Ketiga penyakit tersebut umumnya berasal dari penyebab yang sama,

terkadang saling memicu satu sama lain serta membutuhkan penanganan yang sama

(Laven, 2013).

Metritis

Metritis adalah peradangan yang terjadi pada sejumlah lapisan uterus yang

biasanya mencakup selaput lendir pada lapisan dinding uterus (endometrium)

hingga lapisan otot polos pada dinding uterus (miometrium). Perbedaan metritis

dengan endometritis adalah bahwa endometritis hanya melibatkan endometrium,

namun seringkali penamaan metritis merujuk pada kedua kondisi tersebut (metritis

dan endometritis) (Manspeaker, 1996).

Metritis klinis dapat dideteksi dengan palpasi rektal, yakni terjadinya

peningkatan ukuran dan ketebalan dinding uterus, sedangkan melalui ultrasonografi

akan ditemukan dinding uterus menebal dan badan uterus membuncit serta

sejumlah sejumlah besar cairan anechoic hadir dalam lumen bersama dengan

partikel echogenic.

24
Endometritis

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa endometritis merupakan

peradangan pada endometrium. Gejalanya ditandai dengan leleran berwarna jernih

keputihan sampai purulen (kekuningan) yang berlebihan. Dengan palpasi rektal,

dapat diketahui kondisi uterus mengalami peningkatan ukuran sebab tertimbun

cairan ditemukan adanya involusi uterus yang terasa seperti adonan (doughy feel).

Pada lumen ditemukan cairan anechoic dengan jumlah sedang hingga besar

bersama dengan partikel echogenic yang tampak seperti "bersalju". Dinding uterus

menebal.

Pyometra

Pyometra merupakan bentuk khusus dari endometritis kronis, ditandai

dengan pengumpulan eksudat purulen (nanah) dalam lumen uterus, serviks tidak

berdilatasi sehingga leleran nanah tidak keluar. Menurut Sayuti dkk (2012) uterus

berada di bawah pengaruh hormon progesteron yang menekan aktivitas fagositosis

oleh sel-sel leukosit, sehingga serviks tertutup dan membuat nanah berakumulasi

dan terhambat pengeluarannya. Cairan nanah yang mengisi penuh uterus dapat

ditemukan dengan palpasi rektal, namun seringkali membingungkan palpator untuk

dibedakan dengan kebuntingan (diagnosa positif palsu). Perbedaan pyometra

dengan kebuntingan normal adalah bahwa pada pyometra dinding uterus lebih

tebal, kenyal dan tidak memiliki tonisitas. Selain itu, nanah biasanya lebih kental

dibandingkan vesikel amnion dan sering dapat dipindahkan dari satu tanduk yang

lain, tidak ada fetus teraba, fremitus tidak teraba serta ukuran kornua uteri tidak

meningkat seiring waktu seperti yang terjadi pada kebuntingan. Temuan pyometra

25
dengan ultrasonografi ditandai oleh citra uterus membuncit dengan dinding

menebal. Cairan kental yang terkandung dalam lumen menyebar, partikel

echogenic mengambang di dalamnya.

3. Servisitis dan Vaginitis

Kedua gangguan reproduksi ini biasanya merupakan dampak lebih lanjut

dari penyakit-penyakit kompleks metritis atau juga dapat disebabkan oleh tindakan

penanganan gangguan reproduksi yang tidak tepat seperti efek samping dari

fetotomi. Penamaan servisitis dipakai jika peradangan terjadi pada serviks

sedangkan vaginitis untuk peradangan pada vagina. Tanda-tanda servisitis dan

vaginitis keduanya sama mulai dari leleran lendir keruh dan hyperemia

mukosa (mukosa kemerahan) sampai nekrosis mukosa (kematian jaringan mukosa)

disertai pengejanan terus-menerus hingga terjadinya septicemia (multiplikasi

bakteri dalam darah) (Affandhy dkk., 2007).

Baik melalui metode palpasi rektal maupun ultrasonografi, temuan servisitis

dan vaginitis akan menunjukkan hasil yang sama dengan temuan pada penyakit-

penyakit kompleks metritis, sehingga sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan

lebih lanjut melalui metode vaginoskopi untuk diagnosis positif kedua penyakit

tersebut.

G. Vaginoskopi

Vaginoskopi adalah teknik yang cepat dan sederhana, namun karena

diagnosis positif-nya didasarkan pada adanya eksudat serviks, cenderung jarang

digunakan oleh peternak untuk proporsi sapi yang mengalami gangguan reproduksi.

Menurut Barlund et al. (2007), vaginoskopi merupakan sebuah teknik diagnostik

26
yang jauh lebih baik untuk diagnosis endometritis dibandingkan dengan palpasi

rektal, tetapi kurang dimanfaatkan oleh praktisi hewan. LeBlanc et al. (2002) yang

meneliti sapi bunting 120 dan 150 hari postpartum melaporkan bahwa metode

vaginoskopi memiliki sensitivitas 20% dan spesifisitas 88% untuk kasus

endometritis. Metode vaginoskopi sangat baik digunakan untuk melengkapi metode

palpasi rektal dan ultrasonografi dalam diagnosis gangguan reproduksi.

H. Body Condition Score

Cadangan energi tubuh dapat dinilai dengan metode penilaian visual yang

dikenal sebagai body condition score (BCS) atau skor kondisi tubuh. Skor relatif

yang didapatkan dari metode BCS membantu peternak dalam memperoleh

gambaran mengenai level cadangan otot dan lemak tubuh dari setiap ekor ternak

sapi. Skor tersebut berkisar pada skala 1-5 (Lowman et al., 1976; Pennington, 2003)

atau skala 1-9 (Henneke et al., 1983; Holmes et al., 1987). Skala 1-9 umum

diterapkan pada ternak sapi dan kuda, dimana 1 berarti sangat kurus dan 9

mengalami obesitas (Morriss et al. 2002).

Cadangan energi dalam bentuk lemak dan otot sangat penting untuk

keberhasilan reproduksi. Beberapa studi menemukan bahwa skor kondisi tubuh

(BCS) pada saat calving dan pada awal musim kawin adalah indikator yang paling

penting terhadap kinerja reproduksi (Perry et al, 1991; Spitzer et al, 1995). Skor

kondisi tubuh pada saat calving memiliki efek yang paling besar terhadap tingkat

kehamilan (pregnancy rate) dalam penerapan kontrol terhadap musim kawin

(Lalman et al., 1997). Menurut Glaze (2009), terdapat hubungan antara BCS

dengan interval beranak, persentasi kebuntingan, persentasi kebuntingan pasca

27
penyapihan, dan kekuatan anak untuk berdiri segera setelah lahir. Pengaruh BCS

terhadap persentasi kebuntingan disajikan pada Tabel 7 (Glaze, 2009) dan Gambar

3 (Selk et al., 1988). Rasby et al. (2007) melaporkan data persentasi kebuntingan

pasca penyapihan (Tabel 8) terhadap 101.060 ekor ternak sapi potong yang telah

diobservasi selama sembilan tahun (1986-1994).

Tabel 7. Efek BCS terhadap Persentasi Kebuntingan Sapi


Skor BCS Kebuntingan (%)
4 50,0
5 81,0
6 88,0
7 90,0
Sumber: Glaze (2009)

100
Persentase Kebuntingan

80

60

40

20

0
2 3 4 5 6 7

Body Condition Score


Gambar 3. Pengaruh Relatif BCS terhadap Persentasi Kebuntingan (Diadaptasi
dari Selk et al., 1988)

Tabel 8. Hubungan BCS terhadap Persentasi Sapi Bunting Kembali Setelah


Penyapihan
Skor BCS Kebuntingan (%)
3 75,7
4 85,4
5 93,8
6 95,6
Diadaptasi dari Rasby et al. (2007)

28
METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dibagi dalam dua tahap pemeriksaan klinis, pemeriksaan

pertama dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 2014 di Mini Ranch Maiwa (Ladang

Ternak Maroangin) Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Kelurahan

Bangkala Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang, kemudian dilakukan

pemeriksaan kedua untuk memperoleh data pembanding pada tanggal 29 Maret

2014 di Instalasi Pembibitan Rakyat (IPR) Kawasan Peternakan Kabupaten Pinrang

Desa Malimpung Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang.

Materi Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang jepit, USG

Scanner (Honda HS-101V), tali dan ember. Bahan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah 46 ekor (13 ekor di Enrekang dan 33 ekor di Pinrang) ternak sapi Bali

betina yang sudah pernah bunting, glove dan pelumas.

Metode Penelitian

1. Skoring Ternak

Kondisi ternak dinilai dengan metode BCS (body condition score)

berdasarkan kriteria Henneke et al. (1983) 1-9, sebagai berikut:

29
BCS 1 BCS 2

BCS 3 BCS 4

BCS 5 BCS 6

BCS 7 BCS 8

BCS 9

Gambar 4. Penampilan Ternak Sapi Bali Betina Berdasarkan Kriteria BCS 1-9
(Diadaptasi dari BPTP-NTB, 2010)

30
2. Pemeriksaan Klinis

Ternak diperiksa secara klinis dengan metode palpasi rektal dan transrektal

ultrasonografi (USG). Jika ditemukan indikasi gangguan reproduksi berupa

discharge (cairan) pada vagina, maka dilakukan pemeriksaan secara vaginoskopi.

Diagnosis palpasi rektal didasarkan pada bentuk, ukuran, penyelipan, ballottement

dan desiran (fremitus) pada organ yang teraba. Interpretasi sonogram untuk USG

didasarkan pada bentuk, ukuran, pergerakan, dan echogenicity yang tampil pada

sonogram. Diagnosis vaginoskopi didasarkan pada warna dan bau yang teramati

pada discharge vagina.

3. Tabulasi Data

Data yang diperoleh dari hasil skoring dan pemeriksaan klinis di Mini

Ranch Maiwa kemudian dibandingkan dengan data hasil pemeriksaan di IPR

Pinrang, ditambah dengan data sekunder penelitian Yusuf dkk. (2012) untuk

dikelompokkan dan disajikan kedalam sejumlah kriteria pengamatan sesuai dengan

parameter penelitian.

Parameter yang Diukur

1. Proporsi ternak berdasarkan skor BCS.

2. Proporsi ternak bunting dan tidak bunting.

3. Proporsi ternak berdasarkan umur kebuntingan.

4. Proporsi ternak yang mengalami gangguan reproduksi.

31
Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode statistik deskriptif dan inferensial.

Statistik deskriptif disajikan berupa data proporsi, persentase, nilai maksimum, nilai

minimum, rerata dan simpangan baku dari parameter yang diukur (Rasyad, 2003),

sedangkan untuk metode statistik inferensial menggunakan model analisis

perbandingan rata-rata uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Sudjana, 1996) untuk

menguji perbedaan rerata parameter status kebuntingan dengan perolehan BCS

seluruh ternak di kedua lokasi penelitian.

= = dimana 0 1

= + +

Keterangan:

= Proporsi = Rerata umum (mean populasi)


= Jumlah sampel = Pengaruh perlakuan ke-i
= Frekuensi sampel = Pengaruh galat ke-j yang memperoleh
= Nilai pengamatan ke-j yang perlakuan ke-i
memperoleh perlakuan ke-i

Hasil penelitian berupa data statistik deskriptif ditampilkan dalam bentuk

tabel sedangkan kasus gangguan reproduksi hasil ultrasonografi ditampilkan

dengan gambar.

32
HASIL DAN PEMBAHASAN

Skor Kondisi Tubuh (BCS)

Telah dilakukan skoring terhadap 13 ekor ternak sapi Bali betina dewasa di

Mini Ranch Maiwa (Tabel 9). Seluruh ternak yang telah diskoring hanya memenuhi

kriteria BCS 5 yang mengindikasikan rendahnya level cadangan otot dan lemak

tubuh. Proporsi terbesar berada pada BCS 3 sebanyak enam ekor dengan nilai

proporsi 0,46 (46,2%).

Tabel 9. Proporsi Ternak Sapi Bali Betina Berdasarkan Skor BCS di Mini Ranch
Maiwa
BCS %
3 6 0,46 46,2
4 2 0,15 15,4
5 5 0,38 38,5
13 1 100

Tabel 10. Perbandingan Distribusi Ternak Sapi Bali Betina Berdasarkan Skor BCS
di Mini Ranch Maiwa dan IPR Pinrang
BCS
Lokasi 2 3 4 5 6 7 n
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - (%) - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Enrekang 0(0) 6(46,2) 2(15,4) 5(38,5) 0(0) 0(0) 13
Pinrang 2(6,1) 10(30,3) 6(18,2) 5(15,2) 8(24,2) 2(6,1) 33
2(4,3) 16(34,8) 8(17,4) 10(21,7) 8(17,4) 2(4,3) 46

Dalam penelitian ini, persentase ternak berdasarkan BCS di Mini Ranch

Maiwa (Enrekang) juga dibandingkan dengan ternak sapi Bali betina di IPR Pinrang

(Tabel 10). Ternak-ternak di IPR Pinrang lebih bervariasi dibandingkan di Mini

Ranch Maiwa, dimana ditemukan ternak dengan BCS >5 sebanyak delapan ekor

(24,2%) memenuhi kriteria BCS 6 dan dua ekor (4,3%) memenuhi kriteria BCS 7.

Secara keseluruhan di kedua lokasi penelitian didominasi ternak-ternak dengan

BCS 3, yaitu sebanyak 16 ekor (34,8%) dimana 10 ekor (30,3%) ternak dengan

33
BCS 3 ditemukan di IPR Pinrang. Meskipun di kedua lokasi masih didominasi oleh

ternak-ternak dengan kriteria BCS rendah, penelitian ini menunjukkan bahwa di

Mini Ranch Maiwa kondisi tubuh ternak jauh lebih buruk buruk dibandingkan

dengan IPR Pinrang.

Untuk mencapai performa reproduksi yang optimal, skor sapi potong ideal

adalah BCS 5-7 (Mulliniks et al., 2012). Kelompok ternak dengan BCS 4 akan

memiliki kinerja reproduksi yang buruk dibandingkan kelompok ternak dengan

BCS 5. Ternak dengan BCS 5 atau lebih dapat menjamin tingkat kebuntingan yang

tinggi selama faktor-faktor lain seperti penyakit dan lain-lain tidak mempengaruhi

angka konsepsi. Sapi dengan BCS kurang dari 5 kemungkinan tidak memperoleh

energi serta protein dengan tingkat yang memadai dari total pakan yang

dikonsumsi, meskipun faktor-faktor lain seperti mineral (fosfor) dan juga gangguan

parasit mungkin terlibat. Kombinasi dari masalah gizi tersebut merupakan faktor

yang paling sering terjadi pada ternak dengan BCS rendah (Herd and Sprott, 1996).

Rendahnya perolehan BCS ternak sapi Bali betina di Mini Ranch Maiwa

dapat ditinjau dari faktor-faktor ketersediaan pakan, dalam hal ini musim dan

kondisi padang pengembalaan di Mini Ranch. Iklim pada bulan Maret 2014 saat

pemeriksaan klinis dilaksanakan serta melihat iklim beberapa bulan sebelum bulan

Maret dimana merupakan fase akhir musim hujan di wilayah Enrekang bagian

selatan (Maiwa) (BMKG, 2013) mengindikasikan faktor komponen biotik padang

penggembalaan yang cukup potensial untuk ketersediaan pakan hijauan. Diduga

terjadinya overgrazing akibat vegetasi alami padang penggembalaan yang tidak

diperbarui menjadi penyebab rendahnya pemenuhan pakan hijauan ternak sapi Bali

di Mini Ranch Maiwa.

34
Status Kebuntingan dan Gangguan Reproduksi

Tabel 11. Proporsi Ternak Sapi Bali Betina Berdasarkan Status Kebuntingan dan
Gangguan Reproduksi di Mini Ranch Maiwa
Parameter %
Bunting 6 0,46 46,2
Tidak Bunting
1. Siklus Normal 2 0,15 15,4
2. Gangguan Reproduksi
a. Kista Folikular 1 0,08 7,7
b. Anestrus 4 0,31 30,8
13 1 100

Proporsi ternak bunting di Mini Ranch Maiwa sebesar 0,46 (46,2%) dan

sisanya tidak bunting pada saat pemeriksaan klinis. Dari tujuh ekor yang tidak

bunting, hanya dua ekor bersiklus normal yang ditandai dengan kornua uteri dan

ovarium berfungsi normal, sedangkan sebanyak lima ekor sisanya mengalami

gangguan reproduksi. Hanya ditemukan dua jenis gangguan reproduksi yakni kista

folikular sebanyak satu ekor (7,7%) dan anestrus dimana ovarium tidak aktif

sebanyak empat ekor (30,8%). Kista folikular teridentifikasi melalui palpasi rektal

dan ultrasonografi dimana teraba ovarium kanan seekor ternak berdiameter 2,5 cm

(Gambar 13).

Gambar 5. Tampilan Sonogram Organ Reproduksi Ternak Sapi Bali yang


Mengalami Kista Folikular

35
Dibandingkan dengan ternak di Mini Ranch Maiwa, ternak bunting di IPR

Pinrang berada pada persentase yang lebih rendah yaitu 36,4% (Tabel 12). Ternak

dengan siklus normal di IPR Pinrang sebanyak sembilan ekor dan kasus gangguan

reproduksi berupa anestrus sebanyak 12 ekor (36,4%).

Tabel 12. Perbandingan Status Kebuntingan dan Gangguan Reproduksi Ternak


Sapi Bali Betina di Mini Ranch Maiwa, IPR Pinrang, dan Kabupaten
Bantaeng.
Tidak Bunting
Bunting Siklus Gangguan Reproduksi
Lokasi n
Normal Kista Folikular Anestrus
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - (%) - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Enrekang 6(46,2) 2(15,4) 1(7,7) 4(30,8) 13
Pinrang 12(36,4) 9(27,3) 0(0) 12(36,4) 33
Bantaeng* 41(36,9) 17(15,3) 0(0) 53(47,7) 111
*
Data penelitian Yusuf dkk. (2012)

Tingkat kejadian gangguan reproduksi dalam penelitian ini cukup tinggi

dimana anestrus menjadi insiden utama yang diikuti kista folikular sekalipun hanya

ditemukan pada seekor ternak di Mini Ranch Maiwa. Dalam penelitian sebelumnya,

Yusuf dkk. (2012) telah melaporkan kejadian gangguan reproduksi pada sapi Bali

yang dipelihara oleh peternak skala kecil di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi

Selatan. Penelitian tersebut menunjukkan tingginya kejadian gangguan reproduksi

pada sapi Bali yakni sebesar 63,1% dari 111 ekor ternak mengalami gangguan

reproduksi yang utamanya disebabkan oleh anestrus dimana ovarium tidak aktif.

Terjadinya anestrus kista folikular sangat erat kaitannya dengan kekurangan nutrisi

yang dapat menyebabkan gagalnya produksi dan pelepasan hormon gonadotropin

terutama FSH dan LH yang mengarah kepada ovarium tidak aktif dan sistik.

Meskipun keduanya tidak semata-mata disebabkan kurangnya asupan nutrisi

namun kondisi BCS ternak biasanya mengarah pada tingkat pemenuhan nutrisi.

36
Tabel 13. Rerata BCS Ternak Sapi Bali Betina Berdasarkan Status Kebuntingan
dan Gangguan Reproduksi di Mini Ranch Maiwa dan IPR Pinrang
Status Lokasi Rerata Min Maks n
Bunting Enrekang 4,17±0,98 3 5 6
Pinrang 4,58±1,62 2 7 12
Kedua Lokasi 4,44±1,42 2 7 18
Siklus Normal Enrekang 4,50±0,71 4 5 2
Pinrang 4,78±1,48 3 7 9
Kedua Lokasi 4,73±1,35 3 7 11
Gangguan Reproduksi Enrekang 3,40±0,89 3 5 5
Pinrang 3,92±1,24 2 6 12
Kedua Lokasi 3,76±1,15 2 6 17

Tabel 13 memperlihatkan rerata BCS ternak di kedua lokasi dimana rerata

BCS yang paling rendah dimiliki oleh ternak-ternak yang mengalami gangguan

reproduksi yakni 3,76±1,15 diikuti ternak bersiklus normal dengan rerata BCS

4,73±1,35 kemudian rerata BCS ternak yang bunting 4,44±1,42. Sekalipun

demikian, berdasarkan hasil analisis ragam uji BNT dari sampel sapi Bali pada

penelitian ini menunjukkan bahwa status kebuntingan tidak berbeda nyata (P>0,05)

terhadap BCS dari ternak sapi Bali secara keseluruhan di kedua lokasi. Hasil

analisis tersebut dapat dikaitkan dengan fakta bahwa kemampuan seekor ternak

untuk memenuhi kriteria BCS tertentu sangat dipengaruhi oleh level cadangan

energi dan lemak tubuh yang mana sangat bergantung pada manajemen pakan dan

kontrol penyakit, dan kedua hal tersebut juga menjadi sumber penyebab terjadinya

gangguan reproduksi sehingga ternak yang mengalami gangguan reproduksi

seringkali disertai BCS yang buruk ataupun sebaliknya. Hubungan yang tidak

signifikan antara status kebuntingan dengan perolehan BCS dapat disebabkan nilai

pengamatan pada variabel gangguan reproduksi yang terlalu kecil dimana dalam

penelitian ini hanya ditemukan satu kasus dari 46 sampel sehingga salah satu data

37
tidak berdistribusi normal yang dapat mempengaruhi signifikansi asumsi ANOVA

(Keppel and Wickens, 2004; Tabachnick and Fidell, 2007).

Selain itu, volume perut yang semakin bertambah seiring dengan

pertambahan umur kebuntingan dapat mempengaruhi tampilan visual dan perabaan

dari rusuk saat skoring. Status kebuntingan, dalam hal ini yang terjadi pada umur

kebuntingan tua memang sangat signifikan berkorelasi positif terhadap volume

perut (Arsyad dan Yudistira, 2011). Meskipun begitu, penentuan BCS tidak

didasarkan hanya pada kondisi perut (rusuk), namun juga memperhitungkan faktor

lain seperti tampilan visual dan perabaan dari prosesus spinosus, prosesus

transversus, tuber coxae (hooks), thurl, tuber ichiadidus (pins bone), dan pangkal

ekor (tail head) (Sukandar dkk, 2009). Hal tersebut dapat membantu menjelaskan

mengapa tidak diperoleh hubungan yang signifikan antara status kebuntingan

dengan BCS.

Temuan rerata BCS terendah pada ternak-ternak yang mengalami gangguan

reproduksi mempertegas indikasi terjadinya manajemen pemeliharaan yang tidak

optimal terutama pakan dan penyakit. Sistem pemeliharaan semi intensif telah

diterapkan di Mini Ranch maiwa dan IPR Pinrang. Ternak tidak dikandangkan

sepanjang hari dan jarang diberi pakan dalam kandang (cut and carry)

memungkinkan ternak lebih banyak merenggut sendiri makanannya di padang

penggembalaan. Idealnya, padang penggembalaan telah diatur sedemikian rupa

agar mampu memenuhi kebutuhan nutrisi secara optimal sekaligus menghindari

penyakit. Namun kendala yang selama ini terjadi yang juga merupakan kelemahan

dari sistem pemeliharaan semi intensif adalah bahwa proses pemenuhan pakan

ternak tidak dapat dikontrol secara optimal sebagaimana yang dapat dilakukan jika

38
ternak dipelihara secara intensif. Perlu tindakan khusus untuk ternak yang

dipelihara secara semi intensif. Optimalisasi pemenuhan nutrisi melalui

penambahan pakan konsentrat, pembaruan tanaman pakan di padang

penggembalaan, serta pemeriksaan kesehatan secara rutin dapat dilakukan untuk

peningkatan performa reproduksi.

Umur Kebuntingan

Tabel 14. Perbandingan Distribusi Ternak Sapi Bali Betina Berdasarkan Umur
Kebuntingan di Mini Ranch Maiwa dan IPR Pinrang
Umur Kebuntingan (bln)
Lokasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 n
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - (%) - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Enrekang 1(16,7) 1(16,7) - - 1(16,7) - 1(16,7) 1(16,7) 1(16,7) 6
Pinrang 1(8,3) - 2(16,7) 2(16,7) - 2(16,7) 2(16,7) 2(16,7) 1(8,3) 12
2(11,1) 1(5,6) 2(11,1) 2(11,1) 1(5,6) 2(11,1) 3(16,7) 3(16,7) 2(11,1) 18

Tabel 14 menunjukkan bahwa dari total enam ekor ternak betina yang

bunting di Mini Ranch Maiwa, terjadi distribusi ternak yang merata sebanyak satu

ekor (16,7%) pada setiap umur kebuntingan, terkecuali umur kebuntingan 3 dan 4

bulan. Berbeda halnya dengan ternak-ternak bunting yang ditemukan di IPR

Pinrang dimana ditemukan sebanyak satu ekor (8,3%) ternak bunting pada umur 1

dan 9 bulan, serta sebanyak dua ekor (16,7%) ternak bunting pada umur

kebuntingan 3, 4, 6, 7 dan 8 bulan.

39
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya,

maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Proporsi ternak bunting di Mini Ranch Maiwa sebesar 46,2%. Hasil tersebut

lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi ternak bunting di IPR Pinrang

(36,4%) dan peternak tradisional di Kabupaten Bantaeng (36,9%).

2. Insiden gangguan reproduksi di Mini Ranch Maiwa mencapai 38,5% berupa

kista folikular dan ovarium tidak aktif.

3. Seluruh ternak betina di Mini Ranch Maiwa hanya memenuhi kriteria BCS

5 dimana proporsi terbesar (46,2%) berada pada BCS 3.

4. Status kebuntingan tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap perolehan BCS

ternak sapi Bali betina secara keseluruhan di Mini Ranch Maiwa dan IPR

Pinrang.

Saran

Rendahnya BCS sapi Bali betina di Mini Ranch Maiwa yang mengarah

kepada tingginya gangguan reproduksi mengindikasikan terjadinya manajemen

pemeliharaan yang tidak optimal, terutama pakan dan penyakit. Dibutuhkan suatu

langkah perbaikan manajemen guna mencapai efisiensi reproduksi.

40
DAFTAR PUSTAKA

Affandhy, L., W.C. Pratiwi, dan D. Ratnawati. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan
Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Pasuruan.
Allrich, R.D. 2001. Ovarian Cysts in Dairy Cattle. Department of Animal Sciences
Purdue University, West Lafayette. Indiana.
Arsyad dan B.S. Yudistira. 2011. Pemeriksaan Kebuntingan pada Sapi. Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung.
Barlund, C.S., T.D. Carruthers, C.L. Waldner, and C.W. Palmer. 2007. A
Comparison of Diagnostic Techniques for Postpartum Endometritis in Dairy
Cattle. Theriogenology 69(2008): 714-723.
Bearden, H. Joe, J.W. Fuquay, and S.T. Willard. 2004. Applied Animal
Reproduction. Upper Saddle River. New Jersey.
Blakely, J. and D.H. Bade. 1992. Ilmu Peternakan. 4th ed. Terjemahan Srigandono.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

BMKG. 2013. Prakiraan Musim Hujan 2013/2014. Badan Meteorologi Klimatologi


dan Geofisika. Jakarta.
Bowen, R. 2000. Placentation in Ruminants. http://www.vivo.colostate.edu/
hbooks/pathphys/reprod/placenta/ruminants.html. 24 November 2013
(02.18).
Boyd, J.S., S.N. Omran, and T.R. Ayliffe. 1988. Use of A High Frequency
Transducer with Realtime B-mode Ultrasound Scanning to Identify Early
Pregnancy in Cows. Vet.Rec. 123: 8-11.

BPTP-NTB. 2010. Pengukuran Ternak Sapi Potong. Balai Pengkajian Teknologi


Pertanian NTB. Mataram.
Carpenter, B.B., and L.R. Sprott. 2008. Determining Pregnancy in Cattle. B-1077.
AgriLIVE Extension, Texas A&M University. Texas.
Cowie, T.A. 1948. Pregnancy Diagnosis Tests: A review. Commonwealth
Agricultural Bureaux Joint Publication. 1(13): 11-17.
Curran, S., R.A. Pierson, and O.J. Ginther. 1986. Ultrasonographic Appearance of
the Bovine Conceptus From Days 20 Through 60. JAVMA. 189: 1295-
1302.

Darmadja, D. 1980. Half Century of Traditional Bali Cattle Farming in Balinese


Agricultural Ecosystem. Disertasi. Padjadjaran University. Bandung.
Davendra, C.T., K.C. Lee, and Pathmasingam. 1973. The Productivity of Bali
Cattle in Malaysia. Agricultural Journal 49: 183-197.

41
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Buffalo Population by
Province, 2009-2013. Ditjennak Deptan RI. Jakarta. http://ditjennak.pertani
an.go.id/index.php?page=download&action=in. 1 Desember 2013 (05.16).

Durant, H.B. 1986. Examination of the Reproductive Tract of Cow and Heifer.
Current Therapy in Theriogenology, WB Saunders Co. Hlm: 95-101.
Eilts, B.E. 2007. Pregnancy Examination of the Cow. http://www.vetmed.lsu.
edu/eiltslotus/theriogenology-5361/bovine_pregnanacy.htm. 24 November
2013 (02.26).
Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Fricke, P.M. 2009. Applying Ultrasound Tests for Managing Cows Open at
Pregnancy Diagnosis. University of Wisconsin. Madison.

Glaze, J.B. 2009. Body Condition Scoring (BCS) in Beef Cattle.


http://osufacts.okstate.edu/ bcs_pres_carl.pdf. 1 Desember 2013 (04.32).
Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in Farm Animals. 4th ed. Lea and Febiger.
Philadelphia.
____________ 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th ed. Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia.

Henneke, D., G.D. Potter, J.L. Kreider, and B.F. Yeated. 1983. Relationship
between Condition Score, Physical Measurements and Body Fat Percentage
in Mares. Equine Veterinary Journal 15(4): 371-372.
Herd, D.B., and L.R. Sprott.1996. Body Condition, Nutrition and Reproduction of
Beef Cows. AgriLIFE EXTENSION. Texas A&B System, B-1256.
Holmes, C.W., G.F. Wilson, D.D.S. McKenzie, D.S. Flux, I.M. Brookes, and
A.W.F. Davey. 1987. Milk Production from Pasture. Butterworths
Agricultural Books. Wellington.

Ihnatsenka, B. and Boezaart, A.P. 2010. Ultrasound: Basic Understanding and


Learning the Language. International Shoulder Journal 4(3): 55-62.
Illawati, R.W. 2009. Efektivitas Penggunaan Berbagai Volume Asam Sulfat Pekat
(H2SO4) untuk Menguji Kandungan Estrogen dalam Urine Sapi Brahman
Cross Bunting. Skripsi. Sekolah Tinggi Peternakan. Sijunjung.
Inounu, I. 2011. Pembentukan Domba Komposit melalui Teknologi Persilangan
dalam Upaya Peningkatan Mutu Genetik Domba Lokal. Pengembangan
Inovasi Pertanian 4(3): 218-230.

Ismudiono, P. Srianto, H. Anwar, S.P. Madyawati, A. Samik, dan E. Safitri. 2010.


Fisiologi Reproduksi pada Ternak. 1st ed. Fakultas Kedokteran Hewan.
Universitas Airlangga. Surabaya.

42
Jainudeen, M.R. and E.S.E. Hafez. 2000. Pregnancy Diagnosis. Lippincoltt
Williams and Wilkins. Philadelphia.
Kastelic, J.P. and O.J. Ginther. 1989. Fate of Conceptus and Corpus Luteum
after Induced Embryonic Loss in Heifers. J.Am.Vet.Med.Assoc 194: 922-
928.
Kähn, W. 2004. Veterinary Reproductive Ultrasonography. Die Deutsche
Bibliothek. Germany.
Keppel, G. and T.D. Wickens. 2004. Design and analysis. 4th ed. Englewood Cliffs,
NJ: Prentice-Hall.
Kumar, V. and G.N. Purohit. 2009. Ultrasonographic Diagnosis of the Bovine
Genital Tract Disorders. Vet.Scan 4(2): 43.
Lalman, D.L., D.H. Keisler, J.E. Williams, E.J. Scholljegerdes, and D.M. Mallett.
1997. Influence of Postpartum Weight and Body Condition Change on
Duration of Anestrus by Undernourished Suckled Beef Heifers. J.Anim.Sci.
75(8): 2003-8.
Laven, R. 2013. Fertility in Dairy Herds: Uterine Infection. BVetMed MRCVS.
Lavin, L.M. 2007. Radiography in Veterinary Technology. 4th ed. Saunders
Elsevier. USA.

LeBlanc, S.J., T.F. Duf eld, K.E. Leslie, K.G. Bateman, G.P. Keefe, and J.S.
Walton. 2002. De ning and Diagnosing Postpartum Clinical Endometritis
and Its Impact on Reproductive Performance in Dairy Cows. J. Dairy Sci.
85: 2223-36.
Lowman, B.G., N.A. Scott, and S.H. Sommerville. 1976. Condition Scoring of
Cattle. Bulletin East of Scotland College of Agriculture. No: 6.
Lutz, H. and E. Buscarini. 2011. WHO Manual of Diagnostic Ultrasound. 2nd ed.
WHO Library Cataloguing-in-Publication Data.

Manan, D. 2001. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Direktorat Pembinaan Penelitian


dan Pengabdian pada Masyarakat DIKTI. Jakarta.
Manspeaker, J.E. 1996. Metritis and Endometritis. Dairy Integrated Reproductive
Management IRM-22.
McCue, P. 2012. Pregnancy Diagnosis in Domestic Animals. www.biomedcentral.
com/content. 24 November 2013 (01.44).

McIlroy, R.J. 1976. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya


Paramita. Jakarta.
Momont, H. 1990. Rectal Palpation: Safety Issues. Bov.Pract 25: 122-123.
Moreira, F. and P.J. Hansen. 2005. Pregnancy Diagnosis in the Cow. Dept. of
Animal Sciences, University of Florida. Florida-USA.

43
Morriss, S.T., P.R. Kenyon, and D.L. Burnham. 2002. A Comparison of Two Scales
of Body Condition Scoring in Hereford x Friesian Beef Breeding Cows.
Institute of Veterinary, Animal and Biomedical Sciences, Massey
University, Palmerston North. http://www.grassland.org.nz/publications/
nzgrassland_publication_470.pdf. 1 Desember 2013 (04.37)

Mortimer, R. 2007. The Future of Pregnancy Testing in Beef Cattle. Veterinary


Medicine and Biomedical Sciences. Colorado State University Proceedings,
Applied Reproductive Strategies in Beef Cattle. 11-12 September 2007.
Billings, Montana.
Mulliniks, J.T., S.H. Cox, M.E. Kemp, R.L. Endecott, R.C. Waterman, D.M.
VanLeeuwen, and M. K. Petersen. 2012. Relationship between Body
Condition Score at Calving and Reproductive Performance in Young
Postpartum Cows Grazing Native Range. J ANIM SCI. 90:2811-2817.
Murtidjo, B.A. 1990. Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta.
O’Toole, M.T. 2013. Mosby's Medical Dictionary. 9th ed. Elsevier Inc. St. Louis -
Missouri.

Paisley, L.G., W.D. Mickelson, and O.L. Trost. 1978. A Survey of the Incidence of
Prenatal Mortality in Cattle Following Pregnancy Diagnosis by Rectal
Palpation. Theriogenology 9: 481-491.
Pane, I. 1990. Upaya Meningkatkan Mutu Genetik Sapi Bali di P3 Bali. Prosiding
Seminar Nasional Sapi Bali. 20-22 September. No: 42.
Pastika, M. dan D. Darmadja. 1976. Performans Reproduksi Sapi Bali. Prosiding
Seminar Reproduksi Sapi Bali, Denpasar, Bali. Universitas Udayana.
Pennington, J. A. 2003. Body Condition Scoring with Dairy Cows. University of
Arkansas AR Agriculture and Natural Resources FSA-4008. http://www.
uaex.edu/Other_Areas/publications/PDF/FSA-4008.pdf. 1 Desember 2013
(05.16).
Perry, R.C., L.R. Corah, R.C. Cochran, W. E. Beal, J.S. Stevenson, J.E. Minton,
D.D. Simms, and J.R. Brethour. 1991. Influence of Dietary Energy on
Follicular Development, Serum Gonadotropins, and First Postpartum
Ovulation in Suckled Beef Cows. J.Anim.Sci. 69: 3762.
Pierson, R.A., and O.J. Ginther. 1984. Ultrasonography for Detection of
Pregnancy and Study of Embryonic Development in Heifers.
Theriogenology 22: 225-233.

Purohit, G. 2010. Methods of Pregnancy Diagnosis in Domestic Animals: The


Current Status. Webmedcentral.
Rasad, S.D. 2011. Diagnosa Kebuntingan. Teknologi Reproduksi Ternak Fak.
Peternakan UNPAD.

44
Rasby, R.J., A. Stalker, and R.N. Funston. 2007. Body Condition Scoring Beef
Cows: A Tool for Managing the Nutrition Program for Beef Herds.
Extension EC281. University of Nebraska. Lincoln.

Rasyad, R. 2003. Metode Statistik Deskriptif untuk Umum. Grasindo. Jakarta.


Reksohadiprojo, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak
Tropik. BFFE. Yogyakarta.
Roberts, S.J. 1971. Veterinary Obstetrics and Genital Diseases. Ithaca. New York.

__________ 1985. Veterinary Obstetrics Ana Genital Diseases. Indian edition CBS
Publishers. New Delhi.
Rodning, S, W. Prevatt, R. Carson, J. Elmore, and M. Elmore. 2012. Annual Beef
Cow Pregnancy Examination. Animal Sciences Series Timely Information:
Agriculture & Natural Resources. Alabama Cooperative Extension System
and Auburn University.
Rollinson, D.H.L. 1984. Bali Cattle: Evolution of Domesticated Animals. Mason,
IL, Longman. New York.
Romano, J.E. and D. Magee. 2001. Applications of Transrectal Ultrasonography
in Cow/heifer Reproduction. Annual Food Conference: Conception to
Parturition: Fertility in Texas Beef Cattle. Vet.Med. 2-3. Texas A&M
University Hlm: 99-104.
Romano, J.E. 2013. Early Pregnancy Diagnosis by Palpation per Rectum on
Embryo/Fetus Mortality in Dairy Cattle. Veterinary Population Medicine
College of Veterinary Medicine University of Minnesota.
Sayuti, A., J. Melia, Amrozi, Syafruddin, Roslizawaty dan Y. Fahrimal. 2012.
Gambaran Klinis Sapi Piometra Sebelum dan Setelah Terapi dengan
Antibiotik dan Prostaglandin Secara Intra Uteri. Jurnal Kedokteran Hewan
6(2).
Selk, G.E., R.P. Wettemann, K.S. Lusby, J.W. Oltjen, S.L. Mobley, R.J. Rasby, and
J.C. Garmendia. (1988) Relationships among Weight Change, Body
Condition and Reproductive Performance of Range Beef Cows. Journal of
Animal Science 66(12): 3153-9.

Siswadi dan G.S. Saragih. 2011. Daya Dukung Lahan Semi-Arid untuk
Pengembangbiakan Rusa Timor (Rusa Timorensis Blainville 1822) dengan
Sistem Mini Ranch. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Soebandi, P. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.
Spitzer, J.C., D.G. Morrison, R.P. Wettemann, and L.C. Faulkner. 1995.
Reproductive Responses and Calf Birth and Weaning Weights as
Affected by Body Condition at Parturition and Post Partum Weight Gain
in Primiparous Beef Cows. J.Anim.Sci. 73: 1251-1257.

45
Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Tarsito. Bandung.

Sukandar, A., B.P. Purwanto dan A. Anggraeni. 2009. Keragaan Body Condition
Score dan Produksi Susu Sapi Perah Friesian-holstein di Peternakan Rakyat
KPSBU Lembang, Bandung. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner 2009. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Susanto, Dwi. 2010. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Sapi Perah di Wilayah
Koperasi Unit Desa (KUD) Mandiri, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten
Garut, Jawa Barat. Veterinarian (doc.vet.med).
Tabachnick, B.G. and L.S. Fidell. 2007. Using Multivariate Statistics. 5th ed.
Boston: Allyn and Bacon.
Talib, C., A. Bamualim dan A. Pohan. 2001. Pengaruh Perbaikan Pakan pada Pola
Sekresi Hormon Progesteron Induk Sapi Bali Bibit dalam Periode Post
Partus. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Bogor 17-18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. Hlm: 79-84.

Talib, C. 2002. Sapi Bali di Daerah Sumber Bibit dan Peluang Pengembangannya.
WARTAZOA 12 (3).
Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, Budiarti, Turner, and D. Lindsay. 2003. Survey
of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing
Breeding Programs in Indonesia. ACIAR Proceedings 110: 3-9.
Tarmudji, H.W. Pratomo, dan Istiana. 2001. Identifikasi Gangguan Reproduksi
pada Sapi Potong di Kabupaten Tanah Laut, Kaimantan Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang
Peternakan, Bogor. Hlm: 18-125.
Vaillancourt, D., C.J. Bierschwal, D. Ogwu, R.G. Elmore, C.E. Martin, A.J. Sharp,
and R.S. Youngquist . 1979. Correlation Between Pregnancy Diagnosis
by Membrane Slip and Embryonic Mortality. JAVMA 175: 466-468.
White, M.E., N. LaFaunce, and R.D. Mohammed. 1989. Calving Outcomes for
Cows Diagnosed Pregnant or Nonpregnant by Perrectum Examination
at Various Intervals after Insemination. Can.Vet. Journal 30: 867-870.
Williamson, G. and W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Terjemahan S.G.N. Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Wisnicky, W. and L.E. Casida. 1948. Manual Method for the Diagnosis of
Pregnancy in Cattle. J.Am.Vet.Med.Assoc. 113:451.
Yusuf, M., L. Toleng, A. Hasbi, dan S. Nurlaelah. 2012. Gangguan Reproduksi
pada Ternak Sapi Bali yang Dipelihara oleh Peternak Skala Kecil (A
Preliminary Study). Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan
Universitas Padjadjaran. 7 November. Bandung.

46
Zakariah, M.A. 2012. Sistem Produksi Ternak Potong di Kolaka, Sulawesi
Tenggara. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Zemjanis, R. 1970. Pregnancy Examination: Diagnostic and Therapeutic


Techniques in Animal Reproduction. 2nd ed. Williams and Wilkins.
Baltimore.

47
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Uji Normalitas Status Kebuntingan terhadap kondisi BCS
dengan SPSS 20
STSBTG Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
BUNTING .178 18 .135 .929 18 .189
SIKLUS NORMAL .217 11 .157 .905 11 .211
BCS
GANGGUAN
.277 17 .001 .856 17 .013
REPRODUKSI
a. Lilliefors Significance Correction

Lampiran 2. Sidik Ragam Pengaruh Status Kebuntingan terhadap BCS


F Tabel
SK DB JK KT F Hitung
0.05 0.01
Perlakuan 2 7.184 3.592 2.096tn 3.21 5.14
Galat 43 73.685 1.714
Total 45 80.870
KK = 30,7%
tn
Tidak berpengaruh nyata

Lampiran 3. Sidik Ragam Pengaruh Status Kebuntingan terhadap BCS dengan


SPSS 20
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between 7.184 2 3.592 2.096 .135
Groups
Within 73.685 43 1.714
Groups
Total 80.870 45

49
Lampiran 4. Pembandingan Selisih Rerata BCS Berdasarkan Status Kebuntingan
dengan Nilai BNT
Perlakuan G. Repro. Bunting S. Normal Notasi
Rerata 3.765 4.444 4.727
a
tn
G. Repro. 3.765 0.000 b a
Bunting 4.444 0.680tn 0.000tn c ab
S. Normal 4.727 0.963tn 0.283tn 0.000tn abc
tn
Tidak berpengaruh nyata

Lampiran 5. Hasil Uji BNT Status Kebuntingan terhadap BCS


Perlakuan Rerata
Gangguan Reproduksi 3.765a
Bunting 4.444ab
Siklus Normal 4.727abc

Lampiran 6. Hasil Uji BNT Status Kebuntingan terhadap BCS dengan SPSS 20
95% Confidence
Mean Interval
Difference Std. Lower Upper
(I) STSBTG (I-J) Error Sig. Bound Bound
LSD BUNTING SIKLUS -.28283 .50098 .575 -1.2932 .7275
NORMAL
GANGGUAN .67974 .44272 .132 -.2131 1.5726
REPRODUKSI
SIKLUS BUNTING .28283 .50098 .575 -.7275 1.2932
NORMAL GANGGUAN .96257 .50654 .064 -.0590 1.9841
REPRODUKSI
GANGGUAN BUNTING -.67974 .44272 .132 -1.5726 .2131
REPRODUKSI SIKLUS -.96257 .50654 .064 -1.9841 .0590
NORMAL

50
Lampiran 7. Proporsi Ternak Sapi Bali Berdasarkan Umur Kebuntingan di Mini
Ranch Maiwa
Umur Kebuntingan (bln) %
1 1 0,17 16,7
2 1 0,17 16,7
5 1 0,17 16,7
7 1 0,17 16,7
8 1 0,17 16,7
9 1 0,17 16,7
6 1 100

Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. USG Scanner (Honda HS-101V) Gambar 2. Penentuan BCS (scoring)

Gambar 3. Pemeriksaan Klinis dengan Palpasi Gambar 4. Pemeriksaan Klinis dengan


Rektal Transrektal Ultrasonografi

51
RIWAYAT HIDUP

Dimas Panji Pangestu (I 111 07 003) lahir pada tanggal 2

Oktober 1989 di Ujung Pandang (sekarang Makassar). Anak

pertama dari tiga bersaudara buah pernikahan pasangan

Lukman Nulhakim dan A. Sitti Sulaeha Takke. Jenjang

pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah TK PKK

Paropo II Ujung Pandang (1994-1995), SDI Tello Baru II Ujung Pandang (1995-

1998), SDI Kompres Ralla Kab. Barru (1998-2001), SLTPN I Tanete Riaja Kab.

Barru (2001-2004), SMA Negeri 1 Tanete Rilau Kab. Barru (2004-2007). Setelah

tamat SMA pada tahun 2007, penulis diterima di Universitas Hasanuddin Makassar

pada Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan. Selama kuliah, penulis

memperoleh kesempatan menjabat sebagai Pengurus Badan Eksekutif sejumlah

lembaga kemahasiswaan seperti HIMAPROTEK-UH (2008-2010), SEMA

FAPET-UH (2008-2011), dan UKPM-UH (2009-2011).

52

Anda mungkin juga menyukai