Anda di halaman 1dari 108

SKRIPSI

EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN


PANGGANG BERBAHAN DASAR TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea
batatas L.) KLON UNGGUL BB00105.10

Oleh:
EVRIN LUTFIKA
F24102034

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Evrin Lutfika. F24102034. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk
Olahan Panggang Berbahan Dasar Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)
Klon Unggul BB00105.10. Di bawah Bimbingan Made Astawan dan Sri
Widowati. 2006.

RINGKASAN

Dewasa ini, penyakit-penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes


melitus (DM) dan kardiovaskular menjadi penyebab utama kematian di negara
maju dan berkembang. Salah satu upaya pencegahannya adalah pemilihan
makanan yang tepat, di antaranya melalui pendekatan indeks glikemik (IG)
pangan. Konsep IG menekankan pada pentingnya mengenal pangan (karbohidrat)
berdasarkan kecepatannya menaikkan kadar glukosa darah. Salah satu bahan
pangan yang berpotensi sebagai pangan fungsional adalah ubi jalar. Ubi jalar
mengandung energi tinggi, kandungan gizi yang baik dan merupakan sumber
karbohidrat dengan IG rendah. Namun minat masyarakat untuk mengkonsumsi
pangan asal ubi jalar masih rendah. Ubi jalar segar juga memiliki kadar air yang
tinggi sehingga mudah rusak bila tidak segera dilakukan penanganan pascapanen.
Pada penelitian ini dilakukan pengembangan produk olahan panggang
berbahan dasar tepung ubi jalar klon unggul BB00105.10, yaitu cookies, cake dan
brownies. Penelitian terdahulu yang dilakukan Astawan dan Widowati (2006)
menunjukkan bahwa ubi jalar klon BB00105.10 memberikan respon glikemik
terbaik dibandingkan tujuh varietas/klon ubi jalar lainnya (Sukuh, Jago, Sari,
Ungu, Kidal, BB00106.18 dan B0464). Penelitian ini terdiri dari penelitian
pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan
tepung ubi jalar dan analisis sifat fisiko-kimianya. Penelitian lanjutan meliputi
formulasi produk olahan panggang, uji organoleptik produk olahan panggang,
analisis sifat fisiko-kimia produk terbaik dan analisis IG dua produk terpilih.
Dari penelitian pendahuluan, diketahui rendemen tepung ubi jalar sebesar
28,46%. Komposisi kimia tepung ubi jalar meliputi kadar air 5,63% (bb), abu
1,86% (bb), protein 1,86% (bb), lemak 0,96% (bb) dan karbohidrat 89,69% (bb).
Pada penelitian lanjutan, formulasi produk olahan dilakukan berdasarkan trial and
error, menghasilkan enam formula berdasarkan dua variabel, yaitu persentase
jumlah gula dan persentase jumlah tepung ubi jalar dengan tepung terigu (basis
100 g total tepung). Berdasarkan hasil uji organoleptik, terpilih produk cookies
formula 6 (tepung 100% dan gula 45%), cake formula 6 (tepung 100% dan gula
80%) dan brownies formula 6 (tepung 100% dan gula 100%).
Produk ubi jalar memiliki kadar serat yang tinggi sehingga dapat diklaim
sebagai pangan fungsional sumber serat. Nilai IG cake dan brownies ubi jalar
masing-masing sebesar 30 ± 13 dan 28 ± 9. Dengan nilai IG tersebut, cake dan
brownies berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10 digolongkan sebagai
pangan yang memiliki nilai indeks glikemik rendah (<55), sehingga dapat diklaim
sebagai pangan fungsional antidiabetes. Nilai beban glikemik cake dan brownies
sebesar 4 dan digolongkan sebagai pangan yang memiliki beban glikemik rendah
EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN
PANGGANG BERBAHAN DASAR TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea
batatas L.) KLON UNGGUL BB00105.10

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
EVRIN LUTFIKA
F24102034

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN


PANGGANG BERBAHAN DASAR TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea
batatas L.) KLON UNGGUL BB00105.10

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
EVRIN LUTFIKA
F24102034

Dilahirkan pada tanggal 19 Mei 1985


Di Bogor, Jawa Barat

Tanggal lulus : 13 November 2006

Menyetujui,
Bogor, November 2006

Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Ir. Sri Widowati, MAppSc.


Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


Ketua Departemen
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Evrin Lutfika. Penulis dilahirkan


di Bogor pada tanggal 19 Mei 1985. Pendidikan dasar
ditempuh penulis di SDN Babakan Tanjung Bandung
(tahun 1990-1992) dan SDN Pengadilan 5 Bogor (tahun
1992-1996). Tahun 1996 sampai 1999 penulis
melanjutkan sekolah di SMPN 1 Bogor. Pada tahun 1999
penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMUN 1
Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai
mahasiswa Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI).
Selama kuliah, penulis aktif dalam kegiatan akademis maupun non-
akademis. Penulis pernah mengikuti kegiatan praktek lapang di PT. Charoen
Pokphand Indonesia-Chicken Processing Plant pada bulan Juli-Agustus 2005.
Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia Dasar I (2003/2004)
dan Teknologi Pengolahan Pangan (2005/2006) serta pernah mengikuti Distance
Education yang terselenggara atas kerjasama Seafast Centre dan Texas A & M
University (2006). Penulis juga pernah terpilih sebagai finalis Lomba Karya Tulis
Mahasiswa bidang IPA tingkat IPB (2005), serta menjadi Sepuluh Besar
Mahasiswa Berprestasi Tingkat Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB
(2005). Selain itu, pada tahun 2004 penulis menerima dana penelitian Bogasari
Nugraha VII dengan penelitian berjudul ‘Pengembangan Produk Puding Instan
Berbahan Dasar Tepung Pisang’.
Penulis aktif di Divisi Infokom Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan
(HIMITEPA) 2004-2005, Paduan Suara Fakultas, dan ikut serta dalam
kepanitiaan berbagai kegiatan seperti Lepas Landas Sarjana Fakultas Teknologi
Pertanian (Juni dan September 2003), Masa Perkenalan Fakultas (2003-2004),
Open House HIMITEPA, Masa Perkenalan Jurusan (BAUR), National Student’s
Paper Competition on Food Issues, Seminar Pangan Halal Tingkat Nasional,
Seminar dan Pelatihan HACCP II, dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XII
Antar SMU Tingkat Nasional (2004). Selain itu, penulis pernah mengikuti
Lokakarya Nasional II Penganekaragaman Pangan, Seminar Nasional Teknologi
Perisa dan Aplikasinya pada Produk Pangan, IDF International Conference of
FGW Student Forum for Milk and Milk Products, Pelatihan Good Laboratory
Practices (GLP) Departemen ITP, Emotional and Spiritual Quotient (ESQ)
Leadership Training (2005), dan Kompeten dalam Tim Perencanaan HACCP
untuk Industri Pangan (2006).
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian,
penulis melaksanakan tugas akhir penelitian dengan bantuan dana dari Program B
Departemen ITP, IPB pada tahun 2006. Hasil penelitian tersebut telah disusun
dalam bentuk skripsi yang berjudul ‘Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik
Produk Olahan Panggang Berbahan Dasar Tepung Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L.)
Klon Unggul BB00105.10’ di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS
dan Ir. Sri Widowati, MAppSc.
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang


Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat
dan salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi dan kekasih Allah Muhammad
SAW. Penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak selama kuliah,
pelaksanaan penelitian, sampai dengan penulisan skripsi. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Keluarga tersayang (Ibu, Bapa, Aa Dia, Mail), keluarga wa Tulus (wa Tulus,
wa Teti, A Redi, Iceu, t Nike, Aguy) dan keluarga besar Sukandar (Pa Aki,
Ma Nini dan semuanya) atas doa, cinta kasih dan motivasi yang tiada terbalas.
2. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang
telah banyak membantu dan memberikan bimbingan selama kuliah sampai
dengan penyusunan tugas akhir.
3. Ir. Sri Widowati, MAppSc. selaku dosen pembimbing kedua yang telah
memberikan bimbingan selama penelitian dan penyusunan tugas akhir.
4. Ir. Didah Nur Faridah, MSi. selaku dosen penguji yang telah meluangkan
waktu dan pikirannya untuk perbaikan skripsi ini.
5. Program B Departemen ITP, yang telah mendanai penelitian ini.
6. Guru-guruku selama sekolah, dosen-dosen IPB, ka Irfan, asisten praktikum,
dan guru lainnya yang telah mengajarkan ilmu-Nya yang tiada ternilai.
7. Nisvi dan Julia, yang telah menjadi sahabat dan partner kerja selama
penelitian dan penyusunan tugas akhir. Terima kasih atas kesabaran,
kerjasama dan pengorbanannya. Tanpa kalian apalah arti “Tiga Srikandi”!
8. Pihak CIP terutama Pak Asep Makmun yang telah membantu dalam
penanaman dan pemanenan ubi jalar klon unggul BB00105.10.
9. Seluruh teknisi lab TPG, PAU, Pilot Plant, FITS, AP4, khususnya Teh Ida, Bu
Rubiyah, Pak Gatot, Pak Sobirin, Pak Rojak, Pak Wahid, Mas Edi, Pak
Yahya, Pak Koko, Pak Sidiq, Pak Nur, Pak Iyas, Bu Sri, Pak Taufik, mas
Zaenal, Pak Basri, Pak Ujang atas bantuannya selama kuliah dan penelitian,
serta Pak Mashudi atas diskusi dan nasihatnya yang sangat berharga.
10. Seluruh teknisi BB Litbang Pasca Panen Bogor khususnya Pak Hasan, Pak
Nana, Bu Pia, Bu Ning, mba Ika, mas Tri atas bantuannya selama penelitian.
11. Para panelis orlep dan IG, terima kasih atas kerelaannya membantu penulis.
12. Para pustakawan di Perpustakaan Fateta, PAU dan LSI, serta para admin di
AJMP dan Departemen yang telah banyak membantu selama penulis di TPG.
13. Papang Sulton Nularif, terima kasih atas persahabatan yang begitu tulus.
14. Teman-teman TPG ’39 khususnya Aline, Fa2, mba Santi, Aa Gum dan Manto
(Hidup B1 ceria! ☺), Zal, Di2n, Dadik, Ulik, Boy (maaf sering direpotin),
Fahrul (atas sharingnya yang penuh makna), Ir-1, Ami, Endang, Evie, Nea,
Hanni, Susan, Desma, Ajeng, Maya, Ponk, Vi2, Yayah, Astri, Tina, Must,
Woro, Nya2, Shinta, Christ, Mangi terima kasih atas kebersamaannya di TPG.
15. Teman-teman sebimbingan khususnya Fafa, Manto, Julia, k Winny, k Armi,
Endy, k Evi, mba Irin, k Puti, mba Reni, Prima, Anis, Andreas dan Indira.
16. Teman-teman TPG 36, 37, 38, 40 dan SJMP 39 khususnya A Diqi, k Awad,
mba Ningrum, mba Putri, Imam, Sigit, Indri, Rahmat, Fajri, k Hendry, bang
Anton, bang Kheri, k Sunu, mba Vera, mba Virna, Awal, Andika dan Astuti.
17. Saudara-saudaraku di FOSMA Bogor, terima kasih atas do’a, keceriaan dan
air mata bahagia yang begitu indah. Penulis tidak dapat mengungkapkan
betapa besar karunia-Nya yang telah mempertemukan kita. Salam 165!
18. Sahabat-sahabatku di SMPN & SMUN 1 Bogor Tika, Ika, Ilma, Intan, Ticeu,
Nanda, Achiw, Lea, Anna, Mulan, Indah, Citra, Siti, Sandi, Fahmi; kakakku
Misha (Dada) dan keluarga atas dukungan dan pengorbanannya selama ini.
19. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, hanya Allah yang akan
membalas kebaikan Anda sekalian.

Penulis berharap ilmu yang diperoleh selama perkuliahan di Departemen


Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dapat diaplikasikan. Semoga apa yang tertulis di
dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Terima kasih.

Bogor, November 2006

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii

I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Tujuan ...................................................................................................... 3
C. Manfaat .................................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4


A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) ................................................................ 4
1. Botani Ubi Jalar ................................................................................. 4
2. Nilai Gizi dan Produksi Ubi Jalar ...................................................... 5
3. Karbohidrat Ubi Jalar ........................................................................ 7
4. Tepung Ubi Jalar ............................................................................... 9
B. Produk Olahan Panggang ......................................................................... 9
1. Definisi ............................................................................................... 9
2. Bahan-bahan Penyusun ...................................................................... 10
3. Proses Pemanggangan ........................................................................ 13
C. Uji Organoleptik ...................................................................................... 14
D. Indeks Glikemik ....................................................................................... 15
E. Pangan Fungsional ................................................................................... 17

III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 19


A. Bahan dan Alat ......................................................................................... 19
B. Metode Penelitian .................................................................................... 19
1. Penelitian Pendahuluan ...................................................................... 19
2. Penelitian Lanjutan ............................................................................ 21
C. Metode Analisis ....................................................................................... 24

iii
1. Analisis Sifat Fisik ............................................................................ 24
2. Uji Organoleptik ................................................................................ 28
3. Analisis Sifat Kimia .......................................................................... 28
4. Analisis Indeks Glikemik .................................................................. 35
D. Rancangan Percobaan .............................................................................. 35

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 38


A. Penelitian Pendahuluan ............................................................................. 38
1. Pembuatan Tepung Ubi Jalar ............................................................. 38
2. Analisis Fisik Tepung Ubi Jalar ......................................................... 40
3. Analisis Kimia Tepung Ubi Jalar ....................................................... 46
B. Penelitian Lanjutan .................................................................................. 49
1. Pembuatan Produk Olahan Panggang ................................................ 49
2. Karakteristik Organoleptik Produk Olahan Panggang ....................... 52
3. Karakteristik Fisik Formula Terbaik .................................................. 55
4. Karakteristik Kimia Formula Terbaik ................................................ 57
5. Indeks Glikemik (IG) ......................................................................... 70

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 78


A. Kesimpulan .............................................................................................. 78
B. Saran ......................................................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 79


LAMPIRAN ...................................................................................................... 84

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik Beberapa Varietas Unggul Ubi Jalar ............................. 5


Tabel 2. Komposisi Kimia Beberapa Varietas/Klon Ubi Jalar ......................... 6
Tabel 3. Komposisi Karbohidrat Beberapa Varietas/Klon Ubi Jalar ................ 8
Tabel 4. Syarat Mutu Cookies menurut SNI No. 01-2973-1992 ...................... 10
Tabel 5. Formulasi Cookies Ubi Jalar ............................................................... 21
Tabel 6. Formulasi Cake Ubi Jalar .................................................................... 21
Tabel 7. Formulasi Brownies Ubi Jalar ............................................................. 22
Tabel 8. Parameter Warna Berdasarkan Nilai hº (Hue) .................................... 26
Tabel 9. Hasil Pengukuran Warna Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ......... 43
Tabel 10. Komposisi Kimia Tepung Ubi Jalar ................................................. 46
Tabel 11. Formula Produk pada Uji Organoleptik ............................................ 52
Tabel 12. Hasil Uji Organoleptik Produk Olahan Panggang ............................ 53
Tabel 13. Setting Texture Analyzer ................................................................... 57
Tabel 14. Komposisi Gizi per 100 g Produk Olahan Terbaik ........................... 58
Tabel 15. Komposisi Gizi per Takaran Saji Produk Olahan Terbaik ............... 58
Tabel 16. Respon Kadar Gula Darah Panelis (mg/dl) Setelah Mengkonsumsi
Standar dan Sampel ........................................................................... 73
Tabel 17. Beban Glikemik Produk Cake dan Brownies .................................... 77

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ................ 20


Gambar 2. Proses Pembuatan Cookies Ubi Jalar ............................................. 22
Gambar 3. Proses Pembuatan Cake Ubi Jalar .................................................. 23
Gambar 4. Proses Pembuatan Brownies Ubi Jalar ........................................... 23
Gambar 5. (a) Tanaman Ubi Jalar; (b) Umbi Ubi Jalar Klon BB00105.10 ..... 38
Gambar 6. Peralatan dalam Pembuatan Tepung Ubi Jalar: (a) Mesin
Penyawut; (b) Mesin Peniris; (c) Oven Pengering; (d) Mesin
Penepung ........................................................................................ 39
Gambar 7. (a) Sawut Kering; (b) Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ........... 40
Gambar 8. Produk formula terbaik: (a) Cookies Ubi Jalar; (b) Cake Ubi
Jalar; (c) Brownies Ubi Jalar .......................................................... 55
Gambar 9. Histogram Rendemen Produk Terbaik ........................................... 56
Gambar 10. Histogram Kekerasan Produk Terbaik ........................................ 57
Gambar 11. Struktur Amilosa ......................................................................... 64
Gambar 12. Struktur Amilopektin ................................................................... 64
Gambar 13. Reaksi Pati dengan Iod ................................................................ 64
Gambar 14. Histogram Amilosa Produk Terbaik ........................................... 65
Gambar 15. Histogram Serat Pangan Produk Terbaik .................................... 67
Gambar 16. Histogram Daya Cerna Pati Produk Terbaik ............................... 69
Gambar 17. Kurva Respon Kadar Gula Darah Glukosa dan Sampel (Cake)
Salah Satu Panelis ....................................................................... 72
Gambar 18. Kurva Respon Kadar Gula Darah Glukosa dan Sampel
(Brownies) Salah Satu Panelis...................................................... 73
Gambar 19. Kurva Perubahan Kadar Gula Darah Glukosa dan Cake ............ 73
Gambar 20. Kurva Perubahan Kadar Gula Darah Glukosa dan Brownies ..... 74

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Tepung Ubi Jalar Klon
BB00105.10.................................................................................. 84
Lampiran 2. Hasil Pengukuran Sifat Amilograf .............................................. 85
Lampiran 3. Lembar Penilaian Uji Organoleptik ............................................. 86
Lampiran 4. Hasil Penilaian Organoleptik Cookies Ubi Jalar ......................... 87
Lampiran 5. Hasil Penilaian Organoleptik Cake Ubi Jalar .............................. 88
Lampiran 6. Hasil Penilaian Organoleptik Brownies Ubi Jalar ....................... 89
Lampiran 7. Hasil Analisis Statistik Uji Hedonik Cookies Ubi Jalar .............. 90
Lampiran 8. Hasil Analisis Statistik Uji Hedonik Cake Ubi Jalar.................... 91
Lampiran 9. Hasil Analisis Statistik Uji Hedonik Brownies Ubi Jalar ............. 92
Lampiran 10. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Formula Terbaik ....................... 93
Lampiran 11. Indeks Glikemik Produk Cake dan Brownies ............................. 94

vii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, penyakit degeneratif telah menjadi perhatian masyarakat


di dunia, termasuk di Indonesia. Penyakit-penyakit degeneratif seperti
kardiovaskular, hipertensi, dan diabetes melitus (DM) menjadi penyebab
utama kematian di negara maju dan berkembang. Penyakit-penyakit tersebut
sangat terkait dengan pola perilaku, termasuk pola makan yang tidak
seimbang dan aktivitas fisik yang rendah. Kegemukan atau obesitas dapat
meningkatkan resiko menderita penyakit tersebut dibandingkan orang yang
berat tubuhnya normal.
Seiring dengan kesadaran masyarakat akan kesehatan, dan mahalnya
harga obat-obatan, maka tindakan pencegahan terhadap penyakit menjadi
sangat penting. Salah satu upaya pencegahannya adalah melalui pemilihan
makanan yang tepat. Makanan yang tepat tidak hanya memenuhi kebutuhan
dasar tubuh saja, tetapi lebih jauh lagi mempunyai sifat fungsional yang akan
memberikan dampak positif bagi kesehatan, yang dikenal dengan sebutan
pangan fungsional. Cara memilih pangan yang tepat di antaranya melalui
pendekatan indeks glikemik pangan.
Konsep indeks glikemik (IG) merupakan pendekatan yang relatif baru
untuk memilih pangan yang baik, khususnya pangan berkarbohidrat. Konsep
ini berguna untuk membina kesehatan, mencegah obesitas, memilih pangan
untuk berolahraga, dan untuk mengurangi resiko penyakit degeneratif.
Konsep IG menekankan pada pentingnya mengenal pangan (karbohidrat)
berdasarkan kecepatannya menaikkan kadar glukosa darah. Pangan yang
memiliki IG tinggi akan menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat, dan
sebaliknya (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Dengan mengetahui IG pangan, penderita DM dan obesitas secara
mandiri dengan mudah dapat memilih makanan yang dapat mengenyangkan
namun tidak cepat menaikkan kadar glukosa darah. Memilih makanan
dengan IG rendah, secara tidak langsung, berarti mengkonsumsi makanan
yang beraneka ragam. Oleh karena itu, pengaturan diet dan pemilihan
makanan dengan konsep IG juga mendukung upaya penganekaragaman
makanan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Salah satu bahan pangan yang berpotensi sebagai pangan fungsional
adalah ubi jalar. Ubi jalar mengandung energi paling tinggi (194 MJ/ha/hari)
di antara tanaman pangan lainnya dan merupakan sumber gizi yang baik
(vitamin A, vitamin C, kalium, besi dan fosfor) (Widodo dan Ginting, 2004),
umur panen relatif pendek (3-4 bulan), dan produksi tinggi (10-30 ton/ha),
sehingga berpotensi dikembangkan untuk diversifikasi pangan (Widowati et
al., 2002). Selain itu, ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dengan IG
rendah (Brand et al., 1985), sehingga banyak digunakan sebagai alternatif diet
bagi penderita obesitas dan DM. Keberadaan ubi jalar telah dikenal baik oleh
masyarakat Indonesia, bahkan di beberapa daerah dijadikan makanan pokok.
Namun minat masyarakat untuk mengkonsumsi pangan asal ubi jalar
masih rendah. Hal tersebut disebabkan pengolahan ubi jalar di Indonesia
masih terbatas dan sederhana, seperti direbus/dikukus, dipanggang, atau
digoreng. Selain itu, timbul persepsi bahwa ubi jalar merupakan bahan
pangan inferior yang tidak sekelas dengan gandum atau jagung. Ubi jalar
segar juga memiliki kadar air yang tinggi sehingga mudah rusak bila tidak
segera dilakukan penanganan pascapanen (Suismono, 2001).
Teknologi pengolahan tepung merupakan salah satu teknologi
alternatif yang diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan di atas.
Pengolahan tepung merupakan salah satu proses pengawetan yang dianjurkan
terutama dari bahan umbi-umbian, buah-buahan dan serealia non beras.
Dalam bentuk tepung, bahan tersebut menjadi lebih tahan disimpan, mudah
dicampur, diperkaya zat gizi, dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai
tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Widowati et al., 2002).
Pada penelitian ini dilakukan pengembangan produk olahan berbahan
dasar tepung ubi jalar klon unggul BB00105.10. Penelitian terdahulu yang
dilakukan Astawan dan Widowati (2006) menunjukkan bahwa ubi jalar klon
BB00105.10 memberikan aktivitas hipoglikemik terbaik dibandingkan tujuh
varietas/klon ubi jalar lainnya (Sukuh, Jago, Sari, Ungu, Kidal, BB00106.18
dan B0464). Respon glikemik tersebut didukung oleh pati resisten (3,8%)

2
dan protein (5,47%) yang cukup tinggi, daya cerna pati rendah (51,4%), serta
kadar amilosa sedang (24,94%). Oleh karena itu, ubi jalar klon BB 00105.10
dapat digunakan sebagai alternatif diet bagi penderita DM atau obesitas.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa indeks glikemik ubi jalar
klon unggul BB00105.10 dipengaruhi oleh proses pengolahan, yaitu
pengukusan (IG = 62), penggorengan (IG = 47) dan pemanggangan (IG = 80)
(Astawan dan Widowati, 2006). Selain proses pengolahan, indeks glikemik
juga dipengaruhi oleh kadar amilosa dan amilopektin; kadar gula dan daya
osmotik pangan; serta kadar lemak, protein, serat dan antigizi pangan
(Rimbawan dan Siagian, 2004).
Penelitian ini difokuskan pada evaluasi mutu gizi dan indeks glikemik
produk olahan panggang berbahan dasar tepung ubi jalar klon unggul
BB00105.10, yang meliputi cookies, cake dan brownies. Produk yang
dihasilkan diharapkan dapat menjadi pangan fungsional dan alternatif diet
bagi penderita diabetes, obesitas, dan bagi yang menjalani diit, dalam rangka
meningkatkan kesehatan masyarakat dan perbaikan kualitas sumberdaya
manusia Indonesia. Selain itu, diharapkan produk olahan tersebut dapat
meningkatkan nilai tambah ubi jalar klon unggul BB00105.10 sehingga dapat
menjadi komoditas alternatif dalam rangka diversifikasi pangan.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan alternatif pengolahan ubi


jalar klon unggul BB00105.10 berupa pembuatan cookies, cake dan brownies
serta menganalisis sifat organoleptik, fisik, kimia dan indeks glikemiknya.

C. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang sifat


organoleptik, fisik, kimia dan indeks glikemik dari produk olahan panggang
berbahan dasar tepung ubi jalar klon unggul BB00105.10.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)

1. Botani Ubi Jalar

Sebagian besar ahli botani sepakat, tanaman ubi jalar (Ipomoea


batatas) berasal dari daerah tropis Amerika. Karena bentuk umbinya
mirip kentang dan rasanya manis maka ubi jalar di Eropa disebut sweet
potato (kentang manis). Sementara di Indonesia ubi jalar dikenal dengan
nama ketela rambat, tela nedri (Jawa), atau boled (Sunda). Kedudukan
tanaman ubi jalar dalam tatanama (sistematika) adalah divisi
Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, bangsa
Tubiflorae, famili Convolvulaceae, genus Ipomoea, dan spesies Ipomoea
batatas (L.) Lam (Sarwono, 2005).
Dalam budidaya dan usaha pertanian, ubi jalar tergolong tanaman
palawija. Tanaman ini membentuk umbi di dalam tanah. Umbi itulah
yang menjadi produk utamanya. Selama pertumbuhannya, tanaman ini
dapat berbunga, berbuah dan berbiji. Sosok pertumbuhannya terlihat
seperti semak atau menjalar (Sarwono, 2005). Tanaman ubi jalar
merupakan tanaman semusim yang memiliki susunan tubuh utama yaitu
batang, daun, bunga, dan akar (umbi) (Rukmana, 1997).
Tanaman ubi jalar dapat beradaptasi luas terhadap lingkungan
tumbuh karena daerah penyebarannya terletak pada 30º Lintang Utara dan
30º Lintang Selatan. Daerah yang paling ideal untuk pengembangan ubi
jalar adalah daerah bersuhu antara 21-27ºC yang mendapat sinar matahari
11-12 jam/hari, kelembaban udara (RH) 50-60%, dengan curah hujan 750-
1500 mm per tahun. Pertumbuhan dan produksi yang optimal untuk usaha
tani ubi jalar tercapai pada musim kemarau (Rukmana, 1997).
Menurut Sarwono (2005), keragaman sifat tanaman ubi jalar dapat
dibedakan berdasarkan penampilan fisik dan usia tanam. Berdasarkan
tekstur daging umbi, ubi jalar dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu
umbi berdaging lunak karena banyak mengandung air dan umbi berdaging
keras karena banyak mengandung pati. Ubi jalar juga dibedakan satu
sama lain berdasarkan warna kulit, warna daging, bentuk daun dan warna
batang. Karakteristik berbagai varietas unggul ubi jalar dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Beberapa Varietas Unggul Ubi Jalar


Warna Ukuran
No Varietas Warna kulit Bentuk
daging (gr)
1. Sukuh Kuning Putih 212 Lonjong
2. Jago Putih kekuningan Putih 176.33 Lonjong
3. BB00106-18 Merah beralur tipis Orange muda 63 Lonjong
4. Sari Merah polos Putih 207.33 Bulat
5. Ungu Ungu Ungu 259 Bulat
6. Kidal Merah tua Putih 207 Lonjong
7. BB00105.10 Merah berbintik Orange tua 357.66 Lonjong
8. B0464 Orange Orange 79.66 Bulat
Sumber: Astawan dan Widowati (2006)

2. Nilai Gizi dan Produksi Ubi Jalar

Ubi jalar memiliki kandungan air yang cukup tinggi, sehingga


bahan kering yang terkandung relatif rendah. Kandungan rata-rata bahan
kering ubi jalar sebesar 30%. Ubi jalar memiliki keistimewaan sebagai
bahan pangan ditinjau dari nilai gizinya. Selain sebagai sumber
karbohidrat, ubi jalar juga berfungsi sebagai sumber vitamin A dan C serta
mineral kalium, besi dan fosfor. Namun kadar protein dan lemaknya
relatif rendah, sehingga konsumsinya perlu didampingi oleh bahan pangan
lain yang berprotein tinggi (Widodo dan Ginting, 2004).
Kandungan protein kasar ubi jalar berkisar dari 3 sampai dengan
7% (berat kering). Protein pada ubi jalar terdistribusi secara merata pada
umbinya. Sedangkan asam amino yang terkandung dalam ubi jalar belum
diketahui secara pasti, tetapi secara umum asam amino aromatik
mempunyai jumlah yang cukup banyak. Asam amino essensial ubi jalar
yang merupakan asam amino pembatas adalah lisin, metionin, sistin dan
treonin (Sulistiyo, 2006). Lipid merupakan komponen minor dalam ubi
jalar dengan kandungan sebesar 0,29-2,7 % (berat kering). Asam linoleat

5
merupakan asam lemak terbanyak diikuti dengan asam palmitat, linolenat,
dan stearat (Kadarisman dan Sulaeman, 1993).
Ubi jalar selain mengandung zat gizi di atas, juga mengandung
senyawa karotenoid, yaitu pigmen yang menyebabkan daging umbi
berwarna kuning, oranye hingga jingga. Pigmen ini terdiri dari β-karoten,
α-karoten, γ-karoten dan kriptoxanthin, yang semuanya sebagai provitamin
A dan di dalam tubuh manusia diubah menjadi vitamin A (Widodo dan
Ginting, 2004). Komposisi kimia beberapa varietas/klon ubi jalar dapat
dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Beberapa Varietas/Klon Ubi Jalar


Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar
Varietas/ protein lemak
No. air abu karbohidrat
Klon
(% bb) (% bk) (% bk) (% bk) (% bk)
1 Kidal 65.98 de 1.69 c 5.32 d 0.77 c 92.22
2 Sukuh 59.26 a 1.65 c 3.71 a 2.01 e 92.63
c c d c
3 BB00105.10 63.71 1.53 5.47 0.76 92.24
4 Sari 65.44 d 1.23 b 4.83 c 1.42 d 92.52
b c bc c
5 Ungu 61.64 1.62 4.40 0.75 93.23
6 B0464 67.26 e 1.57 c 6.74 e 0.26 a 91.43
f a b a
7 BB 00106.18 69.45 0.68 4.37 0.39 94.57
8 Jago 66.41 de 1.51 c 4.24 bc 0.81 c 93.45
Sumber: Astawan dan Widowati (2006)

Menurut Widowati et al. (2002), di Indonesia ubi jalar termasuk


palawija terpenting ke-3 setelah jagung dan singkong. Kandungan gizi
yang cukup baik, umur yang relatif pendek (3-4 bulan) dengan produksi
10-30 ton/hektar menunjukkan bahwa ubi jalar berpotensi dikembangkan
untuk diversifikasi pangan. Selain itu, ubi jalar termasuk tanaman yang
tinggi daya penyesuaian dirinya terhadap lingkungan yang buruk.
Produksi ubi jalar cenderung stabil dari tahun ke tahun, namun dari
tahun 2001 hingga 2003 mengalami peningkatan. Produksi ubi jalar tahun
2003 tercatat sebesar 1.991.478 ton dengan luas panen 197.455 ha dan
produktivitas rata-rata 10,1 ton/ha. Rata-rata produksi ubi jalar di
Indonesia dari tahun 1990 sampai 2003 yaitu 1,9 juta ton/tahun (Direktorat

6
Tanaman Hortikultura, 2003). Balai Penelitian Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian (Balitkabi) telah menemukan teknologi untuk meningkatkan
produktivitas ubi jalar menjadi 30-40 ton/ha (Sarwono, 2005).
Ubi jalar yang telah dipanen perlu mendapat perhatian pada tahap
penanganan dan penyimpanan segar. Saat pemanenan dan penanganan
akan terjadi reaksi pencoklatan secara enzimatis pada umbi yang terluka,
sedangkan pada tahap penyimpanan terjadi proses respirasi yang
menjadikan umbi lebih manis (penyimpanan 2-3 bulan), tumbuh tunas,
susut berat dan pengkerutan permukaan umbi. Kondisi penyimpanan yang
ideal untuk umbi segar yaitu 12-16°C, kelembaban 85-90% dan diatur
ventilasi ruangan (Suismono, 2001).

3. Karbohidrat Ubi Jalar

Ubi jalar mempunyai kandungan air yang cukup tinggi, sehingga


bahan kering yang terkandung relatif rendah. Sewaktu dipanen, ubi jalar
mengandung bahan kering antara 16-40% dan dari jumlah tersebut sekitar
75-90 % adalah karbohidrat. Komponen utama karbohidrat dalam ubi
jalar adalah pati, serat pangan (selulosa, hemiselulosa) serta beberapa jenis
gula yang bersifat larut seperti maltosa, sukrosa, fruktosa dan glukosa
(Sulistiyo, 2006).
Pati yang tersusun atas amilosa dan amilopektin, merupakan
komponen karbohidrat utama pada ubi jalar. Rasio amilosa dan
amilopektin pada ubi jalar cukup bervariasi, tetapi secara umum adalah 1 :
3 atau 1 : 4. Kandungan amilopektin yang tinggi dan amilosa yang rendah
diduga bertanggungjawab terhadap karakteristik tekstur ubi jalar (Woolfe,
1999).
Total gula dalam ubi jalar berkisar antara 0.38 hingga 5.64% dalam
berat basah. Kandungan gula pada ubi jalar yang telah dimasak jumlahnya
meningkat bila dibandingkan jumlah gula pada ubi jalar mentah.
Hidrolisis pati selama pemasakan mengakibatkan peningkatan maltosa
secara signifikan, karena hidrolisis pati menghasilkan dekstrin (Bradbury
dan Holloway, 1988 dalam Djuanda, 2003).

7
Komponen ketiga karbohidrat ubi jalar adalah serat pangan.
Secara umum serat pangan didefinisikan sebagai kelompok polisakarida
dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem
gastrointestinal bagian atas tubuh manusia. Serat pangan total (total
dietary fiber) terdiri dari serat pangan larut (soluble dietary fiber) dan serat
pangan tidak larut (insoluble dietary fiber). Konsumsi serat dalam jumlah
tinggi akan memberi pertahanan pada manusia terhadap timbulnya
berbagai penyakit, misalnya kanker usus besar (colon), divertikulasi,
kardiovaskuler dan obesitas (Muchtadi, 2001). Komposisi karbohidrat
beberapa varietas/klon ubi jalar disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Karbohidrat Beberapa Varietas/Klon Ubi Jalar
Serat
Daya Serat
Amilo- Total pangan
Varietas/ Pati Amilosa cerna pangan
pektin gula tidak
klon (% bk) (% bk) pati larut
(% bk) (% bk) larut
(% bk) (% bk)
(% bk)
Kidal 79,20 b 23,86 c 76,14 e 0,36 b 71,05 d 14,27 d 27,74 c
Sukuh 88,40 f 22,57 ab 77,43 fg 0,34 b 98,30 e 13,89 cd 36,69 d
BB00105.10 93,00 g 24,94 d 75,06 d 1,10 d 51,40 b 12,81 bc 38,56 e
Sari 72,00 a 21,62 a 78,38 g 2,08 e 45,13 a 21,24 f 36,98 d
Ungu 85,40 d 23,02 bc 77,03 ef 0,12 a 99,99 e 13,28 cd 38,77 e
B0464 86,60 e 30,60 g 69,40 a 0,15 a 99,00 e 11,79 a 26,79 b
BB 00106.18 89,00 f 26,08 e 73,92 c 0,61 c 44,57 a 17,34 e 17,02 a
Jago 81,80 c 27,91 f 72,09 b 0,45 b 62,00 c 13,30 cd 17,23 a
Sumber: Astawan dan Widowati (2006)
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan
nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%)

Karakteristik ubi jalar yang berhubungan dengan kandungan


karbohidrat adalah kecenderungan timbulnya flatulensi setelah dikonsumsi.
Flatulensi disebabkan oleh gas flatus yang merupakan hasil samping
fermentasi karbohidrat yang tidak tercerna dalam tubuh, yang dilakukan
oleh mikroflora usus. Karbohidrat yang tidak tercerna tersebut antara lain
pati tidak tercerna (resistant starch), oligosakarida tak tercerna (non
digestibility oligosaccharides), dan polisakarida non pati (non starch
polisaccharides) seperti komponen serat pangan (Damardjati, 2003).

8
4. Tepung Ubi Jalar

Pengolahan ubi jalar menjadi tepung merupakan salah satu cara


pengawetan dan penghematan ruang penyimpanan. Dalam bentuk tepung
ubi jalar lebih fleksibel untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku industri
pangan maupun non pangan (Irfansyah, 2001). Penggunaan tepung ubi
jalar dapat dicampur dengan tepung lain (tepung campuran/composite
flour) sebagai bahan substitusi terigu. Penggunaan tepung ubi jalar
sebagai bahan baku produk cake dan cookies dapat dilakukan sampai
100% pengganti terigu (Suismono, 2001).
Pengolahan ubi jalar menjadi tepung mudah dilakukan dengan
menggunakan peralatan sederhana yang dapat diusahakan di pedesaan
(Widowati et al., 2002). Tepung ubi jalar dapat dibuat dengan
menggunakan beberapa metode pengeringan, diantaranya pengeringan
dengan menggunakan bantuan sinar matahari dan menggunakan alat
pengering seperti mesin pengering sawut ubi jalar, oven dan drum drier.
Metode pengeringan yang digunakan mempengaruhi mutu tepung ubi jalar
yang dihasilkan (Djuanda, 2003).
Proses pengolahan tepung ubi jalar merupakan suatu usaha yang memiliki
prospek yang cukup cerah, karena prosesnya mudah dilakukan dan
kelimpahan ubi jalar di dalam negeri cukup banyak. Dari satu ton ubi jalar
segar dapat diperoleh 200-260 kg tepung ubi jalar murni. Tepung ubi jalar
dapat disimpan hingga 6 bulan (Sarwono, 2005).

B. Produk Olahan Panggang

1. Definisi

Produk-produk bakeri dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu


bread (roti), cookies (biskuit) dan cake (bolu). Biskuit merupakan produk
makanan kering dengan sifat-sifatnya seperti mudah dibawa karena
volume dan beratnya yang kecil, dan umur simpannya relatif lama
(Whiteley, 1971). Menurut BSN (1992), cookies adalah jenis biskuit yang
dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah, dan bila

9
dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat. Syarat mutu cookies
diatur dalam SNI No. 01-2973-1992 (Tabel 4).

Tabel 4. Syarat Mutu Cookies menurut SNI No. 01-2973-1992


No. Kriteria Uji Persyaratan
1. Bau dan rasa Normal, tidak tengik
2. Warna Normal
3. Air (%) Maksimum 5
4. Protein (%) Minimum 9
5. Lemak (%) Minimum 9,5
6. Karbohidrat (%) Minimum 70
7. Abu (%) Maksimum 1,5
8. Serat kasar (%) Maksimum 0,5
9. Energi (kkal/100g) Minimum 400
10. Logam berbahaya Negatif
Sumber: BSN (1992)

Cake merupakan produk bakeri yang terbuat dari terigu, gula,


lemak dan telur. Pembuatan cake membutuhkan pengembang gluten dan
biasanya digunakan bahan pengembang kimiawi serta dibutuhkan
pembentuk emulsi kompleks air dalam minyak dimana lapisan air terdiri
dari gula terlarut dan partikel tepung terlarut. Perbedaan yang paling
utama antara cake dengan produk bakeri lain adalah pada tekstur adonan,
adonan cake bertekstur kental (Sunaryo, 1985).
Brownies merupakan salah satu jenis cake yang berwarna cokelat
kehitaman. Brownies ada dua macam yaitu brownies kukus dan brownies
oven. Struktur brownies sama seperti cake yaitu ketika dipotong terlihat
keseragaman pori remah, berwarna menarik dan jika dimakan terasa
lembut, lembab dan menghasilkan flavor yang baik. Brownies mempunyai
tekstur lebih keras daripada cake karena brownies tidak membutuhkan
pengembangan yang tinggi (Sulistiyo, 2006).

2. Bahan-bahan Penyusun

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan produk bakeri


antara lain tepung terigu, gula, lemak, susu skim, telur, garam, leavening

10
agent, emulsifier dan flavor. Tepung merupakan komposisi dasar pada
produk bakeri. Dalam adonan tepung berfungsi membentuk tekstur,
mengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata, serta
berperan membentuk citarasa (Matz dan Matz, 1978).
Secara umum gula ditambahkan pada produk untuk memberikan
rasa manis. Fungsi gula dalam pembuatan produk bakeri selain memberi
rasa manis juga berpengaruh terhadap pembentukan struktur produk bakeri,
memperbaiki tekstur dan keempukan, memperpanjang kesegaran dengan
cara mengikat air serta merangsang pembentukan warna yang baik
(Subarna, 1996). Selain itu, gula juga dapat berfungsi sebagai pengawet
karena gula dapat mengurangi aw bahan pangan sehingga dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al., 1987).
Gula yang digunakan bisa dalam bentuk gula pasir, gula pasir halus,
atau tepung gula. Penggunaan gula halus pada pembuatan cookies akan
memberikan hasil yang lebih baik karena tidak menyebabkan pelebaran
kue yang terlalu besar. Jumlah gula yang ditambahkan akan berpengaruh
terhadap tekstur dan penampakan cookies. Meningkatnya kadar gula di
dalam adonan cookies akan membuat produk yang dihasilkan menjadi
semakin keras. Selain itu, waktu pembakaran harus sesingkat mungkin
agar tidak hangus karena gula yang terdapat di dalam adonan dapat
mempercepat proses pembentukan warna (Matz dan Matz, 1978).
Lemak merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan
produk bakeri. Lemak yang biasanya digunakan dalam pembuatan produk
bakeri adalah butter (mentega) dan margarin. Mentega adalah lemak
hewani hasil separasi antara fraksi lemak dan non lemak dari susu.
Margarin adalah lemak plastis yang dibuat dari proses hidrogenasi parsial
minyak nabati (Budijanto et al., 2000). Untuk membuat kue kering,
penggunaan mentega menghasilkan aroma yang lebih harum. Dalam
pembuatan produk bakeri ini digunakan campuran margarin dan mentega.
Pada pembuatan cookies, lemak berfungsi untuk memberikan efek
shortening dengan memperbaiki struktur fisik seperti volume
pengembangan, tekstur, kelembutan, serta memberi flavor (Matz dan Matz,

11
1978). Penggunaan lemak dalam pembuatan cake dan brownies dapat
meningkatkan citarasa dan nilai gizi, serta menyebabkan produk lebih
empuk dan tidak cepat menjadi keras (Sulistiyo, 2006).
Telur dalam pembuatan produk bakeri berfungsi untuk membentuk
suatu kerangka yang bertugas sebagai pembentuk struktur. Telur juga
berfungsi sebagai pelembut dan pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk
aerasi, yaitu kemampuan menangkap udara pada saat adonan dikocok
sehingga udara menyebar rata pada adonan. Telur dapat mempengaruhi
warna, rasa, dan melembutkan tekstur produk bakeri dengan daya emulsi
dari lesitin yang terdapat pada kuning telur. Pembentukan adonan yang
kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur (Indrasti, 2004).
Menurut Matz dan Matz (1978), penggunaan susu untuk produk-
produk bakeri berfungsi membentuk flavor, mengikat air, sebagai bahan
pengisi, membentuk struktur yang kuat dan porous karena adanya protein
berupa kasein, membentuk warna karena terjadi reaksi pencoklatan dan
menambah keempukan karena adanya laktosa. Alasan lain penggunaan
susu dalam produk bakeri adalah untuk meningkatkan nilai gizi.
Menurut Winarno (1992), leavening agent (bahan pengembang)
merupakan senyawa kimia yang akan terurai menghasilkan gas di dalam
adonan. Bahan pengembang berfungsi untuk mengembangkan dan
memperbaiki tekstur produk bakeri. Bahan pengembang dapat
mengembangkan produk karena dapat menghasilkan CO2. Bahan
pengembang yang digunakan pada pembuatan cookies adalah soda kue dan
amonium bikarbonat, sedangkan pada pembuatan cake dan brownies
adalah baking powder.
Baking powder merupakan campuran natrium bikarbonat
(NaHCO3) dengan asam (misalnya asam sitrat atau asam tartarat). Baking
powder bersifat cepat larut pada suhu kamar dan tahan selama pengolahan
(Matz dan Matz, 1978). Ammonium bikarbonat biasa digunakan sebagai
tambahan bahan pengembang pada cookies dan crackers serta produk lain
dengan kadar air akhir kurang dari 5%. Ammonium bikarbonat larut pada
air dan dapat terdekomposisi pada suhu 104°F (Stauffer, 1990).

12
Emulsifier berfungsi untuk melembutkan tekstur cake dan
brownies yang dihasilkan. Emulsifier yang digunakan pada pembuatan
cake dan brownies adalah GMS (gliseril monostearat) dan SP. GMS
berfungsi untuk mendorong pembentukan dan mempertahankan emulsi
agar tetap stabil. SP merupakan gula ester dimana esternya merupakan
asam lemak seperti asam searat, palmitat dan oleat. Fungsi SP mirip
dengan GMS yaitu untuk melembutkan tekstur cake dan brownies.
Dark compound chocolate (atau disebut cokelat blok) adalah hasil
olahan cokelat yang biasa digunakan untuk membuat produk-produk
bakeri. Dark cooking chocolate berfungsi untuk memberikan rasa, aroma
dan warna pada brownies. Selain itu juga ditambahkan cokelat bubuk
yang berfungsi untuk memperkuat rasa, aroma dan warna brownies.
Vanili digunakan pada pembuatan cookies untuk memperkuat aroma
produk.

3. Proses Pemanggangan

Pemanggangan adalah salah satu operasi dalam rangkaian proses


pembuatan produk bakeri. Pemanggangan didefinisikan sebagai
pengoperasian panas pada produk adonan dalam oven. Tujuan dari proses
pemanggangan yaitu untuk meningkatkan sifat sensori dan memperbaiki
palatabilitas dari bahan pangan. Pemanggangan juga dapat menghancurkan
enzim dan mikroorganisme serta menurunkan aktivitas air (aw) sehingga
dapat mengawetkan makanan (Fellows, 2000).
Suhu pemanggangan sangat mempengaruhi tingkat kematangan
produk yang dihasilkan. Suhu pemanggangan juga mempengaruhi waktu
yang dibutuhkan oleh adonan yang menjadi produk sesuai yang diinginkan
(Rahmi, 2004). Suhu dan waktu pemanggangan di dalam oven tergantung
pada jenis oven dan jenis produk. Makin sedikit kandungan gula dan
lemak, suhu pemanggangan dapat lebih tinggi (Matz, 1992).
Proses pemanggangan merupakan proses yang paling kritis dalam
produksi biskuit, karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi,
diantaranya tipe oven yang digunakan, metode pemanasan dan tipe bahan

13
bakar yang digunakan. Kondisi pemanggangan yang benar akan
menghasilkan biskuit dengan penampakan dan tekstur, serta kadar air yang
diinginkan (Whiteley, 1971).
Pada proses pemanggangan produk cake, terjadi perubahan baik
pada kulit maupun pada remah kue yaitu terjadi reaksi pencoklatan akibat
peristiwa karamelisasi dan terbentuknya ikatan antara gula dan protein.
Selain itu juga terjadi dekomposisi pati oleh panas dan pembentukan
dekstrin. Reaksi-reaksi itu menghasilkan komponen flavor dan rasa
(Pomeranz dan Shellenberger, 1971).
Suhu pembakaran untuk setiap jenis cake berbeda-beda tergantung
formula, ukuran dan jumlah cake yang akan dibakar, ukuran loyang dan
kadar air adonan. Formula cake yang banyak mengandung gula, lemak
dan telur, suhu yang digunakan untuk pembakaran semakin rendah (<
177°C). Hal ini bertujuan untuk memperlambat pembentukan kerak
sehingga tidak menghambat perambatan panas ke dalam kue dan kue
matang secara menyeluruh (Sunaryo, 1985).
Proses pemanggangan menurut Daniel (1978) yaitu begitu adonan
masuk ke oven, suhu mulai naik dan lemak mulai mencair. Pada saat itu
volume cake juga akan bertambah karena pembentukan gas oleh bahan-
bahan kimia. Pada permukaan cake mulai terbentuk lapisan kulit.
Pembentukan ini lebih lambat pada cake yang besar sehingga dapat
memperlambat proses hardening atau pengeringan kulit.

C. Uji Organoleptik

Keistimewaan produk pangan yaitu mempunyai nilai mutu subyektif


yang menonjol disamping sifat mutu obyektif. Jika mutu obyektif dapat
diukur dengan instrumen fisik maka sifat mutu subyektif hanya dapat diukur
dengan instrumen manusia. Sifat subyektif pangan lebih umum disebut
organoleptik atau sifat indrawi karena penilaiannya menggunakan organ indra
manusia, kadang-kadang juga disebut sifat sensorik karena penilaiannya
didasarkan pada rangsangan sensorik pada organ indra (Soekarto, 1990).

14
Mutu organoleptik mempunyai peranan dan makna yang sangat besar
dalam penilaian mutu produk pangan, baik sebagai bahan pangan hasil
pertanian, bahan mentah industri maupun produk pangan olahan. Meskipun
dengan uji-uji fisik dan kimia serta uji gizi dapat menunjukkan suatu produk
pangan bermutu tinggi, namun akan tidak ada artinya jika produk pangan itu
tidak dapat dimakan karena tidak enak atau sifat organoleptik lainnya tidak
membangkitkan selera. Jadi bagi komoditas pangan pengujian organoleptik
merupakan suatu keharusan (Soekarto, 1990).
Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu metode uji
organoleptik yang sering digunakan untuk menentukan tingkat kesukaan dan
tingkat penerimaan konsumen atas suatu produk tertentu. Dalam uji ini
panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau
sebaliknya ketidaksukaan, disamping itu mereka juga mengemukakan tingkat
kesukaan/ketidaksukaan (Rahayu, 1998). Uji hedonik dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu uji rating dan uji rangking.
Uji rating merupakan cara menilai seberapa besar kesukaan konsumen
terhadap suatu produk. Produk yang diuji dapat dinilai secara keseluruhan
(overall) atau hanya atribut tertentunya saja. Produk-produk yang diuji tidak
dibandingkan satu dan lainnya, hanya dinilai secara tunggal. Metode untuk uji
rating ada dua, yaitu metode skalar dan metode skoring. Uji ranking
merupakan cara yang paling sederhana untuk membandingkan beberapa
sampel berdasarkan satu jenis atribut sensori. Uji ranking membutuhkan
waktu yang lebih sedikit dibandingkan metode lain dan sangat berguna jika
sampel yang diranking akan dianalisis lebih lanjut (Meilgard et al., 1999).

D. Indeks Glikemik

Para ilmuwan awalnya berpendapat bahwa makanan-makanan yang


mengandung karbohidrat kompleks lebih lambat untuk dicerna dan diserap
tubuh sehingga memiliki efek glikemik yang rendah. Namun beberapa
makanan yang tergolong mengandung karbohidrat kompleks seperti kentang
rebus dan roti ternyata memiliki kecepatan untuk dicerna dan diserap hampir
sama dengan maltosa. Oleh karena itulah konsep indeks glikemik mulai

15
diperkenalkan untuk melihat gambaran tentang hubungan karbohidrat dalam
makanan dengan kadar gula darah (Brand-Miller, 2000).
Indeks glikemik (IG) pangan merupakan tingkatan pangan menurut
efeknya (immediate effect) terhadap kadar gula darah. Pangan yang
menaikkan gula darah dengan cepat, memiliki indeks glikemik tinggi,
sebaliknya yang menaikkan gula darah dengan lambat, memiliki indeks
glikemik rendah. Indeks glikemik pangan menggunakan indeks glikemik
glukosa murni sebagai pembandingnya (IG glukosa murni adalah 100)
(Rimbawan dan Siagian, 2004).
Indeks Glikemik juga dapat didefinisikan sebagai rasio antara luas kurva
respon glukosa makanan yang mengandung karbohidrat total setara 50 gram
gula terhadap luas kurva respon glukosa setelah makan 50 gram glukosa, pada
hari yang berbeda dan pada orang yang sama. Kedua tes tersebut dilakukan
pada pagi hari setelah puasa 10 jam dan penentuan kadar gula ditentukan
selama dua jam. Dalam hal ini, glukosa atau roti tawar sebagai standar (nilai
100) dan nilai makanan yang diuji merupakan persen terhadap standar tersebut
(Truswell, 1992). Menurut Foster-Powell et al. (2002), bahan pangan dapat
diklasifikasikan berdasarkan nilai IG-nya sebagai berikut: (a) bahan pangan
dengan nilai IG rendah (<55), (b) bahan pangan dengan nilai IG sedang (55-
69) dan (c) bahan pangan dengan nilai IG tinggi (>70).
Pengenalan karbohidrat berdasarkan efek terhadap kadar gula darah
dan respon insulin (berdasarkan IG-nya) berguna sebagai acuan dalam
menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk
meningkatkan dan menjaga kesehatan. Dengan mengetahui IG pangan,
penderita DM dapat memilih makanan yang tidak menaikkan kadar gula darah
secara drastis sehingga kadar gula darah dapat dikontrol pada tingkat yang
aman. Makanan yang memiliki IG rendah membantu orang untuk
mengendalikan rasa lapar, selera makan dan kadar gula darah (Rimbawan dan
Siagian, 2004).
Berbagai faktor dapat menyebabkan IG pangan yang satu berbeda
dengan pangan lainnya. Bahkan, pangan dengan jenis yang sama bila diolah
dengan cara berbeda dapat memiliki IG yang berbeda, karena pengolahan

16
dapat menyebabkan perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Varietas
tanaman yang berbeda juga menyebabkan perbedaan pada IG. Faktor-faktor
yang mempengaruhi IG pangan, yaitu proses pengolahan, perbandingan
amilosa dengan amilopektin, kadar gula dan daya osmotik pangan, kadar serat,
lemak, protein serta antigizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004).

E. Pangan Fungsional

Sampai sekarang belum ada definisi pangan fungsional yang disepakati


secara universal. The International Food Information Council (IFIC)
mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memberikan manfaat
kesehatan di luar zat-zat gizi dasar (IFIC Foundation, 1998). Menurut
konsensus pada The First International Conference on East-West Perspective
on Functional Foods yang diorganisir dan disponsori oleh International Life
Sciences Institute (ILSI) tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan yang
karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi
kesehatan, diluar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di
dalamnya (Clydesdale, 1999).
Menurut Badan POM (2005), pangan fungsional adalah pangan olahan
yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan
kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak
membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional dibedakan
dari suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya
terhadap kesehatan. Kalau obat fungsinya terhadap penyakit bersifat kuratif,
maka pangan fungsional hanya bersifat membantu pencegahan suatu penyakit.
Pengembangan pangan fungsional ditujukan untuk memperbaiki
fungsi-fungsi fisiologis, melindungi tubuh dari penyakit, khususnya penyakit
degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi, kanker dan diabetes melitus.
Penyakit degeneratif prevalensinya cenderung meningkat dari tahun ke tahun,
salah satunya ialah diabetes mellitus (DM) atau biasa disebut diabetes.
Analisis data dari Poliklinik Diabetes di seluruh Indonesia memperkirakan
jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 1994 sebesar 2,5 juta jiwa
dan pada tahun 2000 menjadi 4 juta jiwa (Tjokroprawiro, 2003).

17
Diabetes adalah penyakit kronik yang timbul karena terlalu banyak
glukosa yang terkandung dalam darah. Hal ini disebabkan oleh gangguan
sekresi insulin sehingga kadar insulin rendah, aktivitas metabolik insulin yang
rendah, atau keduanya. DM juga merupakan sekelompok gangguan metabolik
dengan suatu manifestasi umum, yaitu hiperglikemia (kadar glukosa darah
tinggi) (Tjokroprawiro, 2003). Hasil studi menunjukkan bahwa asupan
karbohidrat dengan IG tinggi menghasilkan insulin resisten yang lebih tinggi
dibandingkan dengan asupan dengan IG rendah (Willett et al., 2002). Oleh
karena itu, penderita diabetes dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan
dengan indeks glikemik rendah sehingga membantu mengontrol kadar gula
darah dalam tubuhnya.

18
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar klon
BB 00105.10, tepung terigu, margarin, mentega/butter, telur, gula halus, gula
pasir, susu skim, leavening agent (baking powder, soda kue, amonium
bikarbonat), emulsifier (GMS, SP), vanili, cokelat bubuk, dark cooking
chocolate (cokelat blok), sodium metabisulfit dan air. Bahan-bahan yang
digunakan untuk analisis meliputi air destilata, NaCl jenuh, K2SO4, HgO,
H2SO4 pekat, batu didih, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, indikator methylen blue,
HCl, pelarut heksana, amilosa murni, etanol 95%, etanol 78%, NaOH 1 N,
asam asetat 1 N, larutan iod, buffer Na-Fosfat 0,1 M, enzim termamyl, buffer
Na-Fosfat 0,05 M, enzim pepsin, enzim pankreatin, celite, aseton, enzim α-
amilase, 3,5-dinitrosalisilat, Na-K-tartarat, maltosa, alkohol dan glukosa.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, oven
pengering, alat penyawut, alat peniris, baskom, disc mill, alat pengayak,
plastik, mixer, sendok, loyang, oven pemanggang, panci, kompor dan
timbangan. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah gelas ukur, gelas
piala, , corong buchner, kertas saring, pompa vakum, oven, desikator, neraca
analitik, kromameter, mesin amilograf, aw meter, pH meter, texture analyzer,
cawan alumunium, cawan porselin, tanur, labu Kjeldahl, alat destilasi,
erlenmeyer, buret, ekstraktor Soxhlet, labu lemak, labu takar, kapas bebas
lemak, sudip, pipet tetes, pipet Mohr, pipet volumetrik, hot plate, inkubator,
spektrofotometer, kuvet, botol semprot, aluminium foil, crucible, tabung
reaksi, termometer, mikro pipet dan glucometer.

B. Metode Penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan dilakukan pembuatan tepung ubi jalar


menurut Widowati et al. (2002) sebagai bahan dasar pembuatan produk
olahan panggang. Bahan baku ubi jalar terlebih dahulu dihitung BDD
(berat yang dapat dimakan) dan tepung ubi jalar dianalisis komposisi
gizinya (proksimat). Tepung ubi jalar yang dihasilkan kemudian dianalisis
sifat fisik, meliputi densitas kamba, densitas padat, kelarutan dalam air,
warna, aw, sifat amilograf, dan rendemen tepung. Pembuatan tepung ubi
jalar dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10

20
2. Penelitian Lanjutan

Pada tahap ini dilakukan formulasi dan pembuatan produk olahan


panggang berbahan dasar tepung ubi jalar klon unggul BB00105.10 yang
meliputi cookies, cake dan brownies. Formulasi produk dapat dilihat pada
Tabel 5 sampai dengan Tabel 7, sedangkan pembuatan produk dapat
dilihat pada Gambar 2 sampai dengan Gambar 4.
Tabel 5. Formulasi Cookies Ubi Jalar
Bahan (gram) F1 F2 F3 F4 F5 F6
Tepung ubi jalar 80 80 90 90 100 100
Tepung terigu 20 20 10 10 0 0
Gula halus 40 45 40 45 40 45
Margarin 50 50 50 50 50 50
Mentega 25 25 25 25 25 25
Kuning telur 16 16 16 16 16 16
Putih telur 2 2 2 2 2 2
Susu skim 13 13 13 13 13 13
Vanili 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7
Soda kue 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
Amonium bikarbonat 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3

Tabel 6. Formulasi Cake Ubi Jalar


Bahan (gram) F1 F2 F3 F4 F5 F6
Tepung ubi jalar 80 80 90 90 100 100
Tepung terigu 20 20 10 10 0 0
Gula pasir 70 80 70 80 70 80
Margarin 40 40 40 40 40 40
Mentega 40 40 40 40 40 40
Kuning telur 56 56 56 56 56 56
Putih telur 90 90 90 90 90 90
Susu skim 14 14 14 14 14 14
GMS 2 2 2 2 2 2
SP 8 8 8 8 8 8
Baking powder 2 2 2 2 2 2

21
Tabel 7. Formulasi Brownies Ubi Jalar
Bahan (gram) F1 F2 F3 F4 F5 F6
Tepung ubi jalar 80 80 90 90 100 100
Tepung terigu 20 20 10 10 0 0
Gula pasir 80 100 80 100 80 100
Margarin 40 40 40 40 40 40
Mentega 40 40 40 40 40 40
Kuning telur 40 40 40 40 40 40
Putih telur 80 80 80 80 80 80
Susu skim 20 20 20 20 20 20
Cokelat blok 80 80 80 80 80 80
Cokelat bubuk 14 14 14 14 14 14
GMS 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6
SP 2 2 2 2 2 2
Baking powder 1 1 1 1 1 1

Gambar 2. Proses Pembuatan Cookies Ubi Jalar

22
Telur, Gula pasir, Baking powder, SP, GMS

Dicampur (mixer)
Tepung ubi jalar
Margarin
Tepung terigu
Mentega
Susu skim
Dicampur (mixer)
Dilelehkan
Dicampur (mixer)

Dimasukkan ke dalam cetakan

Dipanggang 150ºC; ± 17'

Cake ubi jalar

Gambar 3. Proses Pembuatan Cake Ubi Jalar

Gambar 4. Proses Pembuatan Brownies Ubi Jalar

23
Pengujian sifat sensori dilakukan terhadap enam taraf formula
produk olahan ubi jalar untuk mendapatkan satu formula terbaik, melalui
uji organoleptik terhadap kesukaan panelis (overall). Analisis data hasil
percobaan dilakukan dengan analisis statistik Anova dan uji beda Duncan
pada selang kepercayaan 95%. Selanjutnya terhadap formula terbaik
dilakukan analisis fisik dan kimia. Analisis fisik meliputi rendemen dan
kekerasan, sedangkan analisis kimia meliputi nilai proksimat, nilai energi,
kadar amilosa dan amilopektin, serat pangan, dan daya cerna pati.
Dari ketiga jenis produk olahan terbaik, dipilih dua jenis produk
yang akan dilakukan penghitungan indeks glikemik pangan menurut El
(1999). Pemilihan dua jenis produk berdasarkan analisis kimia yang
didukung oleh analisis fisik produk.

C. Metode Analisis
1. Analisis Sifat Fisik
a. Rendemen
Pengukuran rendemen tepung ubi jalar dihitung berdasarkan
perbandingan berat tepung yang diperoleh terhadap berat umbi segar
tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen (%). Perhitungannya
dilakukan dengan menggunakan rumus:
a
Rendemen tepung (%) = × 100%
b
Keterangan:
a = berat tepung yang diperoleh (g)
b = berat umbi ubi jalar segar tanpa kulit (g)

Pengukuran rendemen produk olahan dihitung berdasarkan


perbandingan berat produk yang diperoleh terhadap berat adonan yang
dinyatakan dalam persen (%). Rendemen produk olahan dapat
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
a
Rendemen produk olahan (%) = × 100%
b
Keterangan:

24
a = berat produk olahan (g)
b = berat adonan (g)

b. Densitas Kamba (Khalil, 1999)

Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan tepung ke


dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian
berat tepung ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara
membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas
kamba dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml.

c. Densitas Padat (Khalil, 1999)

Densitas padat diukur dengan cara memasukkan tepung ke


dalam gelas ukur dan dipadatkan sampai volumenya konstan,
kemudian berat tepung ditimbang. Densitas padat dihitung dengan
cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati.
Densitas padat dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml.

d. Kelarutan dalam Air (Sathe dan Salunkhe, 1981 dalam Muchtadi


dan Sumartha, 1992)

Sejumlah 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml air,


kemudian disaring menggunakan corong buchner. Sebelumnya kertas
saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven 100ºC selama 30 menit
dan ditimbang (berat sudah diketahui). Kertas saring dan endapan
yang tertinggal pada kertas saring dikeringkan dalam oven 100ºC
selama 3 jam (sampai mencapai berat yang konstan), didinginkan
dalam desikator, dan ditimbang.
a - (b - c)
Kelarutan (%) = × 100%
a
Keterangan:
a = berat kering sampel (gram)
b = berat endapan dan kertas saring (gram)
c = berat kertas saring (gram)

25
e. Warna, metode Hunter (Hutching, 1999 dalam Djuanda, 2003)

Pengukuran untuk warna tepung dilakukan dengan


menggunakan alat kromameter. Warna tepung dibaca dengan detektor
digital lalu angka hasil pengukuran akan terbaca pada layar. Pada alat
ini yang terukur adalah nilai-nilai L, a, b, dan hº (hue).
Keterangan:
L = nilai yang menunjukkan kecerahan, berkisar antara 0-100
a = merupakan warna campuran merah-hijau
a positif (+) antara 0-100 untuk warna merah
a negatif (-) antara 0-(-80) untuk warna hijau
b = merupakan warna campuran biru-kuning
b positif (+) antara 0-70 untuk warna kuning
b negatif (-) antara 0-(-80) untuk warna biru
hº (hue) = parameter untuk kisaran warna (Tabel 8)

Tabel 8. Parameter Warna Berdasarkan Nilai hº (Hue)


Warna Nilai hº (hue)
Red purple 342 – 18
Red 18 – 54
Yellow red 54 – 90
Yellow 90 – 126
Yellow green 126 – 162
Green 162 – 198
Blue green 198 – 234
Blue 234 – 270
Blue purple 270 – 306
Purple 306 – 342

f. Uji Amilograf (Bhattacharya, 1979)

Uji amilograf bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi


tepung ubi jalar. Sebanyak 45 gram sampel ditimbang dan dilarutkan
dengan 450 ml air destilata, kemudian dimasukkan ke dalam bowl.
Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara

26
menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diatur pada
suhu 20°C atau 25°C. Switch pengatur diletakkan pada posisi bawah
sehingga jika mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.5°C setiap
menit. Mesin amilograf dihidupkan. Begitu suspensi mencapai suhu
30°C, pena pencatat diatur pada skala kertas amilogram. Setelah pasta
mencapai suhu 95°C, mesin dimatikan. Parameter analisis amilograf
terdiri dari suhu gelatinisasi, suhu gelatinisasi puncak dan viskositas
maksimum yang dinyatakan dalam Brabender Unit.

g. Aktivitas Air (aw)

Pengukuran aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan


alat aw meter ”Shibaura aw meter WA-360”. Sebelum digunakan, alat
dikalibrasi dengan NaCl jenuh yang memiliki nilai aw 0.7547;0.7529
dan 0.7509 yang berturut-turut pada suhu 20,25 dan 29ºC dengan cara
memasukkan NaCl jenuh tersebut dalam wadah aw meter. Pembacaan
nilai aw dilakukan setelah indikator proses pada layar penunjuk
menunjukkan proses pengukuran telah selesai. Bila aw yang terbaca
tidak tepat 0.750 maka bagian switch diputar sampai mencapai tepat
0.750. Pengukuran aw sampel dilakukan dengan cara yang sama
dengan kalibrasi alat yaitu sampel ± 1 gram dimasukkan dalam wadah
aw meter. Pembacaan nilai aw dilakukan setelah indikator proses pada
layar penunjuk menunjukkan proses pengukuran telah selesai.

h. Kekerasan

Pengukuran kekerasan dilakukan dengan menggunakan alat


Texture Analyzer. Alat dihidupkan lalu sampel disimpan pada wadah
yang telah disediakan. Bagian tersebut akan mendapat tekanan dari
alat yang bergerak. Besar kecilnya tekanan akan masuk ke dalam
amplifier yang ada di dalam recorder dan keluarannya berupa grafik.
Kekerasan dinyatakan sebagai kg gaya dari puncak tertinggi pada saat
kurva mulai menaik yang dinyatakan sebagai titik nol.

27
2. Uji Organoleptik (Soekarto, 1990)

Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah berupa pengujian


kesukaan inderawi terhadap produk olahan panggang. Pengujian meliputi
uji hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan produk dan uji ranking
untuk mengetahui formulasi yang paling disukai. Skor penilaian yang
digunakan dalam uji hedonik ada 7 tingkat, yaitu 7 = sangat suka, 6 =
suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 = agak tidak suka, 2 = tidak suka, 1 =
sangat tidak suka. Pada uji ranking, ranking 1 menunjukkan produk yang
paling disukai. Penilaian dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih.
Produk yang diujikan adalah produk dalam keadaan matang, yaitu
yang sudah melewati proses pemanggangan. Untuk mengetahui pengaruh
perlakuan terhadap tingkat kesukaan panelis maka dilakukan analsis sidik
ragam terhadap data hasil uji organoleptik. Jika berdasarkan analisis sidik
ragam (ANOVA) dinyatakan ada pengaruh nyata pada perlakuan maka
akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

3. Analisis Sifat Kimia


a. Analisis Proksimat
ƒ Analisis Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995)
Kadar air diukur dengan metode oven biasa karena
kandungan bahan volatil pada sampel rendah dan sampel tidak
terdegradasi pada suhu 100ºC. Cawan alumunium kosong
dikeringkan dalam oven suhu 105°C selama 15 menit lalu
didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai tidak
panas lagi. Cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Lalu ditimbang
sampel sebanyak 5 gram di dalam cawan tersebut. Dikeringkan
sampel dalam oven sampai beratnya konstan (perubahan berat
tidak lebih dari 0.003 gram). Setelah itu didinginkan cawan yang
berisi sampel kering di dalam desikator. Ditimbang berat akhirnya.
Dihitung kadar air dengan persamaan sebagai berikut:
(x - y)
Kadar air (% b/b) = × 100%
(x - a)

28
(x - y)
Kadar air (% b/k) = × 100%
(x - a)
Keterangan:
x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g)
y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)
a = berat cawan kosong (g)

ƒ Analisis Kadar Abu, Metode Oven (AOAC, 1995)

Cawan porselin dibakar dalam tanur selama 15 menit


kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin
ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang di dalam cawan lalu
diabukan di dalam tanur hingga diperoleh abu berwarna putih dan
beratnya tetap. Pengabuan dilakukan dilakukan dalam 2 tahap yaitu
tahap pertama suhu 400°C lalu dilanjutkan pada suhu 550°C,
kemudian didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang.
Perhitungan:
W2
Kadar Abu (% b/b) = × 100%
W1
Keterangan:
W1 = Berat sampel (g)
W2 = Berat abu (g)

ƒ Analisis Kadar Protein, Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak ± 0.1 g (kira-kira membutuhkan 3-10 ml


HCl 0.01N/0.02N) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl 30 ml. Lalu ditimbang 2 gram K2SO4, 50 mg HgO, 2 ml
H2SO4 pekat dan batu didih. Sampel didekstruksi (dididihkan)
selama 1-1.5 jam hingga jernih, lalu didinginkan. Lalu
ditambahkan 2 ml air secara perlahan dan didinginkan kembali.
Cairan hasil dekstruksi (cairan x) dipindahkan ke dalam alat
destilasi dan bilas labu dengan air. Air bilasan juga dipindahkan ke
dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml H3BO3 dan 2

29
tetes indikator (Methylen red : Methylen blue = 2:1) diletakkan di
ujung kondensor alat destilasi dengan ujung selang kondensor
terendam dalam larutan H3BO3. Cairan X ditambahkan 10 ml
NaOH-Na2S2O3 dan destilasi dilakukan hingga larutan dalam
erlenmeyer ± 50 ml. Kemudian larutan dalam erlenmeyer dititrasi
dengan HCl 0.02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan
warna larutan dari hijau menjadi abu-abu. Prosedur yang sama
dilakukan juga untuk penetapan blanko.
Perhitungan:
(Vs - Vb) × C × 14,007
Kadar N (%) = × 100%
W
Kadar Protein (%) = % N × 6,25

Keterangan:
Vs = Volume HCl untuk titrasi sampel (ml)
Vb = Volume untuk titrasi blanko (ml)
C = Konsentrasi HCl (N)
W = Berat sampel (mg)

ƒ Analisis Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang telah bebas lemak dikeringkan di dalam


oven kemudian ditimbang setelah dingin. Sampel sebanyak 5 g
dibungkus dalam kertas saring kemudian ditutup kapas yang bebas
lemak. Sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet,
kemudian pasang kondensor dan labu pada ujung-ujungnya.
Pelarut heksana dimasukkan ke dalam alat lalu sampel direfluks
selama 5 jam. Setelah itu pelarut didestilasi dan ditampung pada
wadah lain. Labu lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu
105°C sampai diperoleh berat tetap. Kemudian labu lemak
dipindahkan ke desikator, lalu didinginkan dan ditimbang.
Perhitungan:
W2
Kadar Lemak (% b/b) = × 100%
W1

30
Keterangan:
W1 = Berat sampel (g)
W2 = Berat lemak (g)

ƒ Analisis Kadar Karbohidrat By Difference (AOAC, 1995)


Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by
difference dilakukan dengan cara:
Kadar Karbohidrat (% b/b) = 100% - (air + protein + lemak + abu)
(% bb)

b. Analisis nilai energi (Almatsier, 2001)


Penentuan nilai energi makanan melalui perhitungan dapat
dilakukan menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai
energi makanan tersebut.
Energi = (4 kkal/g x kadar karbohidrat) + (4 kkal/g x kadar protein ) +
(9 kkal/g x kadar lemak)

c. Analisis Kadar Amilosa (Juliano, 1971 yang Dimodifikasi)

ƒ Pembuatan Kurva Standar


Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian
dimasukkan kedalam labu takar 100 ml dan ditambahkan dengan 1
ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar kemudian
didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan
akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing
sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar
100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan
asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1
ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Setelah itu,
larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades dan dikocok,
lalu didiamkan selama 20 menit. Kemudian diukur intensitas
warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 620 nm.

31
ƒ Penetapan Sampel
Sejumlah 100 mg sampel tanpa lemak dimasukkan ke
dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan 1 ml etanol dan 9 ml
NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel didiamkan selama 24 jam
dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Pipet 5 ml
larutan tersebut, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dan
ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Setelah
itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok,
lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang
terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620
nm. Kadar amilosa dapat dihitung dengan rumus:

A FP
Kadar amilosa (%) = × × 100 %
S W
Keterangan:
A = absorbansi sampel pada panjang gelombang 620 nm
S = slope atau kemiringan pada kurva standar
FP = faktor pengenceran, yaitu 0,002
W = berat sampel (gram)

d. Kadar Serat Pangan, Metode Multienzim (Asp et al., 1983)

Sebanyak 1 gram sampel yang telah dihomogenisasi dan


diliofilisasi dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 25 ml
larutan buffer Na-fosfat 0.1M pH 6 dan dibuat menjadi suspensi
kemudian aduk. Selanjutnya ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl,
tutup erlenmeyer dengan aluminium foil, dan diinkubasi dalam
penangas air bersuhu 100°C selama 15 menit sambil sesekali diaduk.
Sampel diangkat dan didinginkan lalu ditambahkan 20 ml air
destilata dan pH diatur menjadi 1.5 dengan menggunakan HCl 4 M.
Selanjutnya ditambahkan 100 mg enzim pepsin, tutup erlenmeyer dan
diinkubasi dalam penangas air bergoyang bersuhu 40°C selama 60
menit. Selanjutnya ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur
menjadi 6.8 dengan menggunakan NaOH kemudian ditambahkan 100

32
mg enzim pankreatin ditambahkan, tutup erlenmeyer dan diinkubasi
dalam penangas air bergoyang bersuhu 40°C selama 60 menit. Atur
pH menjadi 4.5 dengan menggunakan HCl. Larutan sampel disaring
melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2)
dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada
penyaringan dilakukan pencucian dengan 2 x 10 ml air destilata.

1. Residu (Serat Tidak Larut)


Cuci dengan 2x 10 ml etanol 95% dan 2x 10 ml aseton.
Keringkan pada suhu 1050C sampai mencapai berat konstan
(semalam). Timbang setelah didinginkan dalam desikator (D1).
Abukan pada suhu 5500C selama 5 jam. Timbang setelah
didinginkan dalam desikator (I1).

2. Filtrat (Serat Larut)


Atur volume filtrat menjadi 100 ml. Tambahkan 400 ml
etanol 95% hangat (600C). Biarkan mengendap selama 1 jam.
Saring dengan crucible kering yang telah ditimbang beratnya
(porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat
diketahui). Cuci dengan 2x 10 ml etanol 78%, 2x 10 ml etanol 95%
dan 2x 10 ml aseton. Keringkan pada suhu 1050C sampai mencapai
berat konstan (semalam). Timbang setelah didinginkan dalam
desikator (D2). Abukan pada suhu 5500C selama 5 jam. Timbang
setelah didinginkan dalam desikator (I2).

3. Blanko
Blanko untuk serat tidak larut dan serat larut diperoleh
dengan cara seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa sampel (B1
dan B2).
Perhitungan:
( D1 − I1 − B1 )
% Serat Tidak Larut (IDF) = × 100 %
Berat sampel

( D 2 − I 2 − B2 )
% Serat Larut (SDF) = × 100 %
Berat sampel

33
% Total Serat (TDF) = (SDF + IDF) (%)

Keterangan:
D = Berat setelah pengeringan (g)
I = Berat setelah pengabuan (g)
B = Berat blanko bebas abu (g) = (D-I) blanko

e. Analisis Daya Cerna Pati In Vitro (Muchtadi et al., 1992 yang


Dimodifikasi)
Enzim α-amilase dilarutkan di dalam buffer Na-Fosfat 0.05 M.
Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3,5-
dinitrosalisilat, 30 gram Na-K tartarat dan 1,6 gram NaOH dalam 100
ml aquades. Larutan maltosa standar yang digunakan adalah 0-10 mg
masing-masing dalam 10 ml aquades.
Sampel tanpa lemak dibuat suspensi dalam aquades (1%),
kemudian dipanaskan dalam inkubator selama 30 menit pada suhu
90°C kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml sampel dalam tabung
ditambahkan 3 ml aquades dan 5 ml buffer Na-Fosfat 0.1 M. Lalu
diinkubasikan pada suhu 37°C selama 15 menit. Selanjutnya
ditambahkan larutan enzim amilase dan diinkubasi lagi pada suhu
37°C selama 30 menit.
Sebanyak 1 ml sampel dipipet ke dalam tabung reaksi lain,
ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Lalu dipanaskan pada suhu
100°C selama 10 menit. Warna merah oranye yang tebentuk diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa
campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa
murni yang diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar
dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas.
Blanko dibuat untuk menghitung kadar maltosa awal (bukan
hasil hidrolisis enzim). Prosedur pembuatan blanko sama seperti
prosedur untuk sampel hanya saja tanpa sampel dan tidak ditambahkan
larutan enzim α-amilase. Sebagai gantinya untuk blanko diganti buffer
Na-fosfat 0.1M pH 7. Daya cerna pati dihitung sebagai berikut:

34
a
% Daya Cerna Pati = × 100%
b
Keterangan:
a = kadar maltosa sampel – kadar maltosa blanko sampel
b = kadar maltosa pati murni – kadar maltosa blanko pati murni

4. Analisis Indeks Glikemik (El, 1999)

Setiap porsi sampel yang akan ditentukan IG-nya (mengandung 50


g karbohidrat) diberikan kepada panelis yang telah menjalani puasa penuh
(kecuali air) selama semalam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 pagi
besoknya). Panelis yang digunakan ialah individu sehat, tidak menderita
diabetes, dan memiliki IMT (indeks masa tubuh) normal (18-25).
Panelis yang digunakan berjumlah 16 orang (8 pria dan 8 wanita).
Selanjutnya panelis dibagi menjadi dua grup masing-masing 8 orang (4
pria dan 4 wanita) untuk menguji kedua sampel yang berbeda sehingga
masing-masing grup mempunyai standar glukosa sendiri. Selama dua jam
pasca-pemberian, sampel darah sebanyak 20 μL (finger-prick cappillary
blood samples method) diambil setiap 30 menit selama 2 jam untuk diukur
kadar glukosanya (pengukuran menit ke-0, ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-
120). Pada waktu berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan
50 g glukosa murni (sebagai pangan acuan) kepada panelis.
Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar
pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu (X) dan kadar gula darah (Y). Indeks
glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva
antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan (glukosa murni).

D. RANCANGAN PERCOBAAN

Penentuan formula produk terbaik dalam penelitian ini digunakan


rancangan percobaan acak lengkap (RAL) faktorial, dimana faktor I adalah
jumlah tepung ubi jalar (per 100 gram tepung) dan faktor II adalah jumlah
gula (per 100 gram tepung).

35
ƒ Cookies
Faktor I : Jumlah tepung ubi jalar (T), tarafnya terdiri dari:
T1 : 80 gram
T2 : 90 gram
T3 : 100 gram
Faktor II : Jumlah gula (G), tarafnya terdiri dari:
G1 : 40 gram
G2 : 45 gram

ƒ Cake
Faktor I : Jumlah tepung ubi jalar (T), tarafnya terdiri dari:
T1 : 80 gram
T2 : 90 gram
T3 : 100 gram
Faktor II : Jumlah gula (G), tarafnya terdiri dari:
G1 : 70 gram
G2 : 80 gram

ƒ Brownies
Faktor I : Jumlah tepung ubi jalar (T), tarafnya terdiri dari:
T1 : 80 gram
T2 : 90 gram
T3 : 100 gram
Faktor II : Jumlah gula (G), tarafnya terdiri dari:
G1 : 80 gram
G2 : 100 gram

Model matematis untuk rancangan percobaan acak lengkap dengan 2


faktor sebagai berikut:

Yijk = μ + Ti + Gj + (TG)ij + Σijk

36
Dimana:
Yijk : variabel respon karena kombinasi perlakuan T ke i, G ke j dan
ulangan ke-k (k = 1, 2)
μ : pengaruh rata-rata umum
Ti : pengaruh faktor T pada taraf ke-i (i = 1, 2)
Gj : pengaruh faktor G pada taraf ke-j (j = 1, 2)
(TG)ij : pengaruh interaksi antara taraf ke-i faktor T dengan taraf ke-j faktor G
Σijk : pengaruh kesalahan (galat) percobaan pada ulangan ke-k (k = 1, 2)

37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan
1. Pembuatan Tepung Ubi Jalar
Pada tahap ini dilakukan pembuatan tepung ubi jalar. Bahan baku
yang digunakan pada penelitian ini adalah ubi jalar (Ipomoea batatas L.)
klon unggul BB00105.10 yang berasal dari Kebun Percobaan Muara,
Bogor milik CIP (International Potato Center), yang berumur ± 4 bulan
dan siap panen. Karakteristik fisik ubi jalar yaitu warna kulit merah
berbintik, warna daging orange tua, bentuk lonjong dan ukuran ± 350
gram. Komposisi ubi jalar terdiri dari 83,74% bagian yang dapat dimakan
dan 16,26% bagian yang tidak dapat dimakan (terdiri dari kulit dan umbi
yang terkena hama). Tanaman ubi jalar dan umbi ubi jalar klon unggul
BB00105.10 yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

(a) (b)
Gambar 5. (a) Tanaman Ubi Jalar; (b) Umbi Ubi Jalar Klon BB00105.10

Pembuatan tepung dilakukan menurut Widowati et al. (2002). Ubi


jalar segar dipilih yang bebas dari hama penyakit (tidak boleng), lalu
dikupas dan dicuci. Ubi jalar kupas lalu disawut dengan mesin penyawut
yang digerakkan dengan tenaga motor (Gambar 6a). Sawut basah
ditampung dalam bak plastik, lalu direndam dalam larutan sodium bisulfit
0,3% selama ± 1 jam. Perendaman bertujuan untuk menghilangkan
kotoran dan getah yang masih menempel pada sawut ubi jalar, serta
menghindari terjadinya proses pencoklatan (browning).
Perendaman dalam larutan sodium bisulfit menyebabkan sawut ubi
jalar akan basah, sehingga untuk menghilangkan air dan larutan tersebut
dilakukan penirisan dengan mesin peniris (Gambar 6b). Hasil penirisan
sawut biasanya menggumpal sehingga harus diremahkan dengan tangan
secara pelan-pelan dan merata. Peremahan dilakukan di atas rak kawat.
Hasil penirisan dan peremahan sawut yang baik akan mempercepat waktu
pengeringan.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 6. Peralatan dalam Pembuatan Tepung Ubi Jalar: (a) Mesin
Penyawut; (b) Mesin Peniris; (c) Oven Pengering; (d) Mesin Penepung

39
Sawut ubi jalar memerlukan waktu pengeringan dengan oven
pengering (Gambar 6c) selama ± 8 jam pada suhu 60-70ºC. Kadar air
sawut kering yang direkomendasikan antara 12-14%. Apabila kadar air
sawut masih tinggi, sawut tidak akan tahan disimpan dan menurunkan
mutu tepung ubi jalar. Sebelum digiling, sawut yang sudah kering
disimpan dalam plastik dan diseal. Penggilingan sawut kering menjadi
tepung ubi jalar dilakukan dengan mesin penepung (disc mill) (Gambar
6d). Tepung yang sudah digiling kemudian diayak dengan ukuran 80
mesh, lalu disimpan dalam plastik dan diseal. Sawut kering dan tepung
ubi jalar yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 7.

(a) (b)
Gambar 7. (a) Sawut Kering; (b) Tepung Ubi jalar Klon BB00105.10

2. Analisis Fisik Tepung Ubi jalar

Analisis fisik tepung ubi jalar klon BB00105.10 meliputi


rendemen, densitas kamba, densitas padat, kelarutan dalam air, uji
amilograf, warna dan aw. Hasil analisis fisik tepung ubi jalar dapat dilihat
pada Lampiran 1.

a. Rendemen

Pengukuran rendemen tepung ubi jalar dihitung berdasarkan


perbandingan berat tepung yang diperoleh terhadap berat umbi segar
tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen (%). Rendemen tepung ubi
jalar klon BB00105.10 sebesar 28,46%. Rendemen ini lebih besar dari

40
rendemen tepung ubi jalar yang dikemukakan oleh Suismono (2001)
sebesar 22,55%. Nilai rendemen tepung ubi jalar klon BB00105.10
yang lebih besar dapat disebabkan oleh tingginya kandungan bahan
kering ubi jalar klon BB00105.10.
Namun demikian, rendemen tepung ubi jalar klon BB00105.10
hasil penelitian ini masih cukup rendah. Penyebab rendahnya
rendemen tepung ubi jalar antara lain karena adanya sawut basah yang
tertinggal di mesin penyawut (pada tahap penyawutan), adanya sawut
basah yang tertinggal di bak plastik dan mesin peniris (pada tahap
perendaman dan penirisan), adanya sawut kering yang menempel di
rak oven dan tercecer pada saat pengangkatan dari oven pengering
(pada tahap pengeringan), dan adanya tepung yang tertinggal di mesin
penepung (pada tahap penepungan). Jadi pada setiap tahapan proses
penepungan terdapat resiko pengurangan rendemen tepung.

b. Densitas Kamba dan Densitas Padat

Densitas kamba dan densitas padat merupakan sifat fisik bahan


pangan khusus biji-bijian dan tepung-tepungan. Menurut Ainah
(2004), densitas kamba dan densitas padat dipengaruhi oleh ukuran
bahan dan kadar air. Densitas kamba adalah massa partikel yang
menempati suatu unit volume tertentu tanpa dipadatkan, sedangkan
densitas padat adalah massa partikel yang menempati suatu unit
volume tertentu dengan dipadatkan. Densitas kamba dan densitas
padat dinyatakan dalam satuan gram/ml. Pengetahuan tentang densitas
kamba dan densitas padat diperlukan dalam hal kebutuhan ruang, baik
pada saat penyimpanan maupun pengangkutan.
Densitas kamba tepung ubi jalar adalah 0,482 g/ml, dan
densitas padatnya 0,647 g/ml. Nilai densitas kamba tepung ubi jalar
klon BB00105.10 lebih besar dari tepung ubi jalar merah varietas
Toquicita (0,38 g/ml) namun tidak jauh berbeda dengan nilai densitas
kamba tepung terigu (0,48 g/ml) (Anwar et al., 1993). Dengan
demikian

41
demikian tepung ubi jalar klon BB00105.10 memerlukan ruang yang
lebih kecil dari tepung ubi jalar varietas Toquicita dan tepung terigu
sehingga biaya penyimpanan atau transportasi akan semakin murah.

c. Kelarutan dalam Air

Kelarutan dalam air menunjukkan jumlah partikel tepung yang


dapat larut dalam air. Kelarutan dalam air tepung ubi jalar klon
BB00105.10 yaitu sebesar 19,71%. Rendahnya kelarutan tepung dapat
disebabkan oleh tingginya komponen dalam tepung yang tidak larut air
seperti pati mentah, serat pangan tak larut, pati resisten dan lemak.
Kandungan pati dalam ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 93% (bk),
pati resisten 3,8% (bk) dan serat pangan tidak larut 38,56% (bk)
(Astawan dan Widowati, 2006).

d. Warna

Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat


bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur,
dan nilai gizinya. Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan,
secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan terkadang sangat
menentukan. Selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna
juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan
(Winarno, 1992).
Salah satu sistem yang dapat digunakan untuk memaparkan
warna makanan ialah sistem Hunter, yang digunakan pada penelitian
ini. Dalam sistem ini, terdapat dua dimensi warna yaitu dimensi warna
merah-ke-hijau dan dimensi warna kuning-ke-biru, yang dinyatakan
dengan lambang a dan b. Dimensi warna ketiga yaitu kecerahan, yang
dinyatakan dengan lambang L (deMan, 1997).
Hasil pengukuran warna tepung ubi jalar klon BB00105.10
dapat dilihat pada Tabel 9. Dari hasil pengukuran, tepung ubi jalar
memiliki nilai L yang cukup tinggi, yang menunjukkan tepung ubi
jalar berwarna cerah; nilai a dan b positif, yang menunjukkan tepung

42
ubi jalar berwarna merah ke kuning; serta kisaran nilai hº (hue) 51,9-
55,1. Berdasarkan kisaran warna ini maka tepung ubi jalar klon
BB00105.10 tergolong dalam warna yellow red (merah kekuningan).

Tabel 9. Hasil Pengukuran Warna Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10


Parameter
Nilai Keterangan
warna
L 63,29-63,70 Menunjukkan kecerahan, berkisar 0-100
(+) 5,29- a positif (+) antara 0-100 untuk warna
a
5,72 merah
(+) 7,26- b positif (+) antara 0-70 untuk warna
b
7,55 kuning
Nilai hº (hue) 18-54 untuk warna merah;
hº (hue) 51,9-55,1
54-90 untuk warna merah kekuningan

Warna tepung ubi jalar hasil pengukuran sesuai dengan warna


daging umbi ubi jalar klon BB00105.10 yang berwarna oranye tua.
Warna daging ubi jalar dipengaruhi oleh adanya senyawa karotenoid,
yang merupakan salah satu pigmen alami. Ubi jalar yang memiliki
warna daging umbi kuning hingga oranye tua mengandung β-karoten
300->4000 μg/100 g, lebih tinggi dibanding labu kuning/waluh
maupun wortel (Widodo dan Ginting, 2004).
Proses pengeringan sawut ubi jalar dengan oven menyebabkan
penurunan β-karoten sebanyak 20% (Dignos et al., 1992), sehingga
warna oranye pada tepung ubi jalar lebih muda dari warna daging umbi
ubi jalar. Menurut Ningrum (1999), kandungan β-karoten tepung ubi
jalar kuning yang dikeringkan dengan oven sebesar 11,32 ppm.

e. Uji Amilograf

Pengenalan sifat amilograf merupakan salah satu cara


mengenal sifat pati. Sifat amilograf pati mempertimbangkan
karakteristik pati berdasarkan perubahan viskositas selama pemanasan
dan pendinginan (Mulyandari, 1992). Sifat amilografi pati dipengaruhi
oleh jenis pati, konsentrasi pati yang digunakan, suhu awal terjadinya
gelatinisasi, dan pH suspensi (Pomeranz, 1991). Sifat amilograf pati

43
dapat diukur menggunakan alat “Brabender visko-amilograf”, yaitu
viskometer yang dapat melakukan pencatatan terhadap perubahan
viskositas pati secara kontinyu (Pomeranz dan Meloan, 1994).
Pomeranz (1991) menyatakan bahwa laju pemanasan selama
pengukuran viskositas dijaga konstan yaitu sebesar 1,5°C/menit. Pada
suatu titik, suhu pemanasan dijaga konstan selama selang waktu
tertentu, kemudian suhu diturunkan kembali. Perubahan viskositas
selama pemanasan dan pendinginan diplot pada diagram. Data-data
yang diperoleh dari pengukuran sifat amilograf diantaranya adalah
suhu gelatinisasi, suhu gelatinisasi puncak, waktu gelatinisasi, waktu
gelatinisasi puncak dan viskositas puncak. Pada penelitian ini
dilakukan pengukuran sifat amilograf dengan alat “Brabender visko-
amilograf” sebanyak dua kali ulangan. Hasil pengukuran sifat
amilograf tepung ubi jalar dapat dilihat pada Lampiran 2.
Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana penetrasi air di dalam
granula pati menyebabkan granula membengkak secara luar biasa
sehingga pecah dan membentuk masa yang viscous. Pada pengukuran
sifat amilograf, suhu gelatinisasi yaitu suhu pada saat kurva mulai
naik. Suhu gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil
konversi waktu yang dibutuhkan sampai kurva mulai naik dikalikan
dengan kenaikan suhu (1,5°C/menit) kemudian ditambahkan dengan
suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran. Suhu awal yang
digunakan pada saat pengukuran adalah 30°C.
Berdasarkan hasil analisis, waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai suhu gelatinisasi yaitu 30,2 menit. Jadi, suhu gelatinisasi
tepung ubi jalar adalah 75,3ºC. Suhu gelatinisasi tepung ubi jalar klon
BB00105.10 sedikit lebih tinggi dari suhu gelatinisasi tepung ubi jalar
yang dikemukakan oleh Suismono (2001) dan Irfansyah (2001). Hal
ini dapat disebabkan oleh lebih tingginya kadar gula pada tepung ubi
jalar klon BB00105.10. Menurut Astawan dan Widowati (2006),
kadar gula tepung ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 1,1% (berat
kering). Keberadaan gula dapat menghalangi pengembangan pati di

44
dalam air dan memperlambat proses gelatinisasi pati, karena gula
berkompetisi dengan pati dalam menyerap air sehingga pati
kekurangan air untuk tergelatinisasi (Irfansyah, 2001).
Suhu gelatinisasi puncak yaitu suhu pada saat nilai maksimum
viskositas dapat dicapai. Pada pengukuran sifat amilograf, suhu
gelatinisasi puncak adalah suhu pada saat kurva mencapai puncak.
Suhu gelatinisasi puncak ditentukan berdasarkan perhitungan hasil
konversi waktu yang dibutuhkan sampai kenaikan kurva mencapai
puncak dikalikan dengan kenaikan suhu (1,5°C/menit) kemudian
ditambahkan dengan suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran.
Berdasarkan hasil analisis, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
suhu gelatinisasi puncak adalah 42,4 menit. Jadi, suhu gelatinisasi
puncak tepung ubi jalar adalah 93,6ºC.
Viskositas berhubungan langsung dengan suhu gelatinisasi.
Semakin tinggi suhu gelatinisasi maka semakin lambat granula pati
mengembang dan semakin lambat pula waktu viskositas tercapai
(Winarno, 1992). Viskositas puncak tepung ubi jalar ditentukan
dengan satuan Brabender Unit (BU) pada saat suhu gelatinisasi puncak
tercapai. Berdasarkan hasil analisis, viskositas puncak tepung ubi jalar
klon BB00105.10 adalah 535 BU.

f. Aktivitas Air (aw)

Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya


tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan
dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba
untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroba mempunyai aw minimum
agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri aw 0,90; khamir aw
0,80-0,90; dan kapang aw 0,60-0,70 (Winarno, 1992). Tepung ubi jalar
klon BB00105.10 memiliki nilai aw sebesar 0,35. Dengan demikian
tepung ubi jalar klon BB00105.10 mempunyai umur simpan yang
relatif lama karena nilai aw yang lebih rendah dari kisaran aw dimana
mikroba dapat tumbuh.

45
3. Analisis Kimia Tepung Ubi jalar

Analisis sifat kimia yang dilakukan adalah analisis proksimat, yang


meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar
karbohidrat (by difference). Komposisi kimia tepung ubi jalar dapat dilihat
pada Tabel 10 dan Lampiran 1.

Tabel 10. Komposisi Kimia Tepung Ubi Jalar


Kandungan (% bb)
Komposisi kimia
Klon BB00105.10 Irfansyah (2001)*
Air 5.63 9.30-9.60
Abu 1.86 1.53-1.96
Protein 1.86 2.03-2.46
Lemak 0.97 1.10-1.13
Karbohidrat 89.70 84.85-86.04
Keterangan: * Ubi jalar varietas Putih dan Jingga

a. Kadar Air

Menurut Winarno (1992), air merupakan komponen penting


dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur,
serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan pangan juga
menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan itu.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kadar air yaitu jenis bahan
dan komponen yang ada di dalamnya, serta cara dan kondisi
pengeringan seperti alat, suhu, ketebalan bahan dan lama pengeringan.
Dari hasil analisis, diperoleh kadar air tepung ubi jalar klon
BB00105.10 sebesar 5,63% (bb). Hasil ini lebih rendah dari yang
dikemukakan Irfansyah (2001) yaitu 9,3-9,6% (bb). Rendahnya kadar
air tepung ubi jalar memberi keuntungan pada saat penyimpanan.
Menurut Ainah (2004), kadar air yang tinggi akan menyulitkan pada
saat penyimpanan, karena tepung pada kondisi tersebut mudah
diserang mikroba dan tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama.
Selain itu, dengan semakin rendahnya kadar air maka konsentrasi
komponen-komponen kering seperti protein, lemak, karbohidrat dan
mineral akan lebih tinggi.

46
b. Kadar Abu

Sebagian besar makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan


organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur
mineral dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses
pembakaran, bahan-bahan organik terbakar namun zat anorganiknya
tidak, karena itulah disebut abu. Mineral terdiri dari kalsium, natrium,
klor, fosfor, belerang, magnesium, dan komponen lain dalam jumlah
kecil (Ainah, 2004). Kadar abu tepung ubi jalar klon BB00105.10
sebesar 1,86% (bb).
Nilai kadar abu tepung ubi jalar tidak jauh berbeda dengan
yang dikemukakan oleh Irfansyah (2001), yaitu 1,53-1,96% (bb), tapi
jauh lebih besar dari kadar abu tepung terigu untuk bahan makanan
yang disyaratkan oleh SNI 01-3751-1995 yaitu maksimal 0,6% (bb)
(Indrasti, 2004). Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya kandungan
mineral dalam tepung ubi jalar. Menurut Woolfe (1999), kandungan
mineral yang terdapat pada tepung ubi jalar per 100 g bahan
diantaranya adalah kalsium (152 mg), fosfor (150 mg), zat besi (2,4
mg), thiamin (2,5 mg), riboflavin (1,3 mg), dan niasin (1,6 mg), serta
kandungan vitamin diantaranya vitamin C (30 mg).

c. Kadar Protein

Kadar protein berperan dalam pembentukan adonan yang baik


dan pembentukan crust pada proses pembakaran adonan (Ainah,
2004). Dari hasil analisis pada Tabel 11, diperoleh kadar protein
tepung ubi jalar sebesar 1.86% (bb). Nilai ini lebih rendah dari kadar
protein tepung ubi jalar yang dikemukakan oleh Irfansyah (2001) yaitu
2.03-2.46% (bb) dan jauh lebih rendah dari kadar protein tepung terigu
yang dikemukakan oleh Ainah (2004) yaitu 7-13% (bb). Kandungan
protein tepung ubi jalar klon BB00105.10 yang rendah membuatnya
cocok dijadikan bahan baku pembuatan produk yang tidak
membutuhkan pengembangan.

47
d. Kadar Lemak

Kadar lemak tepung ubi jalar berhubungan erat dengan


ketahanan produk yang dihasilkan terhadap ketengikan karena oksidasi
lemak. Berdasarkan hasil analisis, kadar lemak tepung ubi jalar klon
BB00105.10 yaitu 0.97% (bb). Nilai ini lebih rendah dari kadar lemak
tepung ubi jalar yang dikemukakan oleh Irfansyah (2001) yaitu 1.10-
1.13% (bb) dan kadar lemak tepung gandum yang dikemukakan oleh
Ainah (2004) yaitu 1-2% (bb). Secara umum, kadar lemak tepung ubi
jalar klon BB0105.10 tergolong rendah sehingga tidak akan mudah
rusak akibat reaksi oksidasi dan dapat disimpan dalam waktu lama.

e. Kadar Karbohidrat

Analisis yang paling mudah untuk menentukan kandungan


karbohidrat dalam bahan makanan yaitu dengan cara perhitungan kasar
(proximate analysis) atau juga disebut carbohydrate by difference.
Yang dimaksud dengan proximate analysis adalah suatu analisis
dimana kandungan karbohidrat termasuk serat kasar diketahui bukan
melalui analisis tetapi melalui perhitungan sebagai berikut:
% karbohidrat = 100 % – % (protein + lemak + abu + air). Hasil dari
perhitungan carbohydrate by difference ini biasanya dicantumkan
dalam daftar komposisi bahan makanan (Winarno, 1992).
Kadar karbohidrat tepung ubi jalar klon BB00105.10 dihitung
berdasarkan metode by difference. Berdasarkan hasil analisis,
diperoleh kadar karbohidrat tepung ubi jalar klon BB00105.10 yaitu
sebesar 89.70% (bb). Nilai ini lebih tinggi dari kadar karbohidrat
tepung ubi jalar yang dikemukakan oleh Irfansyah (2001) yaitu 84.85-
86.04% (bb), kadar karbohidrat tepung ubi jalar merah yang
dikemukakan Anwar et al., (1993) yaitu 65.03% (bb) dan kadar
karbohidrat terigu yaitu 77.3% (bb). Kadar karbohidrat yang tinggi
menjadikan tepung ubi jalar berpotensi sebagai bahan pangan sumber
karbohidrat yang murah.

48
B. Penelitian Lanjutan

1. Pembuatan Produk Olahan Panggang

Produk yang dibuat dalam penelitian ini adalah cookies, cake dan
brownies yang berbahan dasar tepung ubi jalar klon unggul BB00105.10
dengan penambahan tepung terigu sebagai salah satu bahan bakunya.
Formulasi produk dilakukan secara trial and error untuk menentukan
formulasi yang secara organoleptik disukai oleh konsumen. Masing-
masing produk dibuat enam formula berdasarkan dua variabel, yaitu
persentase jumlah gula yang digunakan dan persentase jumlah tepung ubi
jalar klon BB00105.10 dengan tepung terigu yang digunakan (basis 100 g
total tepung). Keenam formula produk dapat dilihat pada Tabel 6, 7 dan 8.
Bahan baku dalam pembuatan cookies, cake dan brownies ialah tepung ubi
jalar klon BB00105.10, tepung terigu, gula, lemak, telur, susu skim,
leavening agent, emulsifier, flavor dan pewarna.
Tepung terigu yang ditambahkan pada ketiga produk ialah sebesar
0-20% dari jumlah tepung ubi jalar. Tepung terigu yang digunakan adalah
tepung terigu cap Kunci Biru yang kadar proteinnya rendah (terigu lunak).
Tepung terigu lunak biasa digunakan untuk membuat bolu, kue kering,
crackers, dan biskuit (Subarna, 1996). Digunakan tepung terigu lunak
karena terigu lunak cenderung membentuk adonan yang lebih lembut dan
lengket (Matz, 1992). Selain itu, tepung jenis ini lebih mudah terdispersi
dan tidak mempunyai daya serap air yang terlalu tinggi sehingga dalam
pembuatan adonan membutuhkan lebih sedikit cairan (U.S. Wheat
Associates, 1983).
Penggunaan bahan pengembang atau leavening agent pada produk
olahan yang terbuat dari tepung ubi jalar berbeda dengan produk olahan
yang terbuat dari tepung terigu. Jumlah bahan pengembang pada produk
tepung ubi jalar lebih banyak dibanding produk tepung terigu, karena pada
tepung ubi jalar tidak terdapat protein gliadin dan glutenin yang dapat
membentuk gluten. Gluten inilah yang menyebabkan produk yang terbuat
dari tepung terigu lebih mengembang. Begitu pula dengan jumlah
emulsifier yang ditambahkan pada produk tepung ubi jalar lebih banyak

49
dari produk tepung terigu untuk mendapatkan emulsi yang lebih stabil
sehingga produk yang dihasilkan lebih lembut.
Pada pengolahan cookies, fungsi gluten dalam pembentukan
tekstur tidak mendominasi seperti halnya pada pengolahan produk bakeri
lainnya. Oleh karena itu, penggunaan tepung non terigu yang lebih
mendominasi pada formulasi cookies dapat dilakukan dengan mengatur
bahan formulasi lainnya yaitu lemak yang memiliki peran terhadap
pembentukan tekstur. Cookies dengan penggunaan tepung non terigu yang
mendominasi masuk ke dalam klasifikasi biskuit jenis short dough
(Manley, 1983).
Menurut Matz (1992), pembuatan cookies meliputi tahap
pembuatan adonan, pencetakan, dan pemanggangan. Metode yang
digunakan untuk pencampuran adonan adalah metode krim atau creaming
method (Whiteley, 1971). Pada metode ini, bahan baku dicampur secara
bertahap. Tahap pertama adalah pembentukan krim yang terdiri atas
pencampuran dan pengadukan lemak, gula dan flavor (± 3 menit,
kecepatan tinggi), kemudian ditambah telur (± 2 menit, kecepatan tinggi).
Penambahan tepung dan bahan kering lainnya (susu dan leavening agent)
dilakukan pada bagian paling akhir (± 2 menit, kecepatan rendah), dengan
diayak terlebih dahulu. Metode pencampuran dan pengadukan tersebut
baik untuk cookies karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi
pengembangan gluten yang berlebihan (Matz, 1992).
Pada tahap pencetakan, adonan cookies dicetak dengan
menggunakan alat pencetak cookies. Prinsip dari pencetakan adalah
adonan mendapat tekanan dari alat pencetak (Manley, 1983). Adonan
yang telah dicetak selanjutnya ditata dalam loyang yang telah diolesi
dengan margarin lalu dipanggang dalam oven bersuhu ± 160°C selama ±
10 menit. Pengolesan lemak berfungsi untuk mencegah lengketnya
cookies pada loyang setelah dipanggang.
Pemanggangan menyebabkan pengembangan adonan untuk
membentuk tekstur yang diinginkan. Ukuran cookies yang dihasilkan
dipengaruhi oleh pengembangan yang terjadi selama pemanggangan.

50
Cookies yang selesai dipanggang harus segera didinginkan untuk
menurunkan suhu dan mengurangi pengerasan akibat memadatnya gula
dan lemak (Matz dan Matz, 1978).
Proses pembuatan cake dan brownies hampir sama. Perbedaan
utama cake dan brownies terletak pada bahan baku. Bahan baku brownies
menggunakan cokelat bubuk dan dark cooking chocolate (cokelat blok),
serta menggunakan telur, bahan pengembang dan emulsifier dengan
jumlah lebih sedikit dari cake. Hal ini karena pada pembuatan brownies
tidak diinginkan pengembangan yang tinggi seperti pada pembuatan cake.
Pada proses pembuatan cake, bahan baku juga dicampur secara
bertahap. Telur, gula, emulsifier (GMS dan SP) dan baking powder
dikocok terlebih dahulu (± 9 menit, kecepatan tinggi). Lalu ditambahkan
tepung dan susu skim yang sudah diayak dan dikocok dengan kecepatan
rendah sampai homogen (± ½ menit). Penambahan margarin dan mentega
yang sudah dicairkan dilakukan pada bagian paling akhir dan dikocok
dengan kecepatan rendah sampai homogen (± ½ menit). Kemudian
adonan dimasukkan ke dalam loyang yang telah diolesi dengan margarin
dan dipanggang pada oven bersuhu ± 150°C selama ± 17 menit.
Proses pembuatan brownies mirip dengan pembuatan cake. Telur,
gula, emulsifier (GMS dan SP) dan baking powder dikocok terlebih dahulu
(± 7 menit, kecepatan tinggi), kemudian ditambahkan tepung, cokelat
bubuk, dan susu skim yang sudah diayak dan dikocok dengan kecepatan
rendah selama ± 1 menit. Penambahan margarin, mentega dan cokelat blok
yang sudah dicairkan dilakukan pada bagian paling akhir dan dikocok
dengan kecepatan rendah sampai homogen. Kemudian adonan
dimasukkan ke dalam loyang yang telah diolesi dengan margarin dan
dipanggang pada oven bersuhu ± 130°C selama ± 27 menit.
Pemanggangan menyebabkan pengembangan adonan untuk
membentuk tekstur yang diinginkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pengembangan adonan kue adalah ukuran partikel tepung, ukuran partikel
gula, pengadukan adonan dan penggunaan pelumas pada loyang (Manley,
1983). Cake dan brownies yang selesai dipanggang harus segera

51
didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengurangi pengerasan akibat
memadatnya gula dan lemak (Matz dan Matz, 1978).

2. Karakteristik Organoleptik Produk Olahan Panggang

Uji organoleptik yang dilakukan pada produk olahan tepung ubi


jalar klon BB00105.10 bertujuan untuk mendapatkan satu formula terbaik
yaitu formula yang paling disukai oleh panelis dari keenam formula yang
diuji (Tabel 11). Pada penelitian ini digunakan uji hedonik secara
keseluruhan (overall). Uji hedonik dilakukan dengan dua cara, yaitu uji
rating dan uji ranking. Skor penilaian yang digunakan dalam uji rating ada
7 tingkat, yaitu 7 = sangat suka, 6 = suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 =
agak tidak suka, 2 = tidak suka dan 1 = sangat tidak suka. Pada uji
ranking, ranking 1 menunjukkan produk yang paling disukai.

Tabel 11. Formula Produk pada Uji Organoleptik


Jumlah Bahan (Per 100 g Tepung)
Produk Variabel
F1 F2 F3 F4 F5 F6
T 80 80 90 90 100 100
Cookies
G 40 45 40 45 40 45
T 80 80 90 90 100 100
Cake
G 70 80 70 80 70 80
T 80 80 90 90 100 100
Brownies
G 80 100 80 100 80 100
Keterangan: F1 = formula 1; F2 = formula 6; F3 = formula 3; F4 = Formula 4; F5 =
Formula 5; F6 = Formula 6; T = tepung ubi jalar dan G = gula

Jumlah panelis untuk uji hedonik ditentukan berdasarkan


kemampuan panelis dalam menilai suatu produk pangan. Panelis yang
biasa digunakan untuk uji ini adalah panelis tidak terlatih. Pada penelitian
ini jumlah panelis untuk uji hedonik adalah 30 orang panelis tidak terlatih.
Jumlah contoh yang dujikan adalah sebanyak enam contoh, yaitu enam
formula dari produk. Cara penyajian contoh adalah dengan mengurutkan
sampel secara mendatar yang telah diberi kode tertentu. Lembar penilaian
yang digunakan pada uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 3.

52
Hasil penilaian rata-rata karakteristik organoleptik produk olahan
panggang selajutnya dianalisis secara statistik. Pengujian statistik yang
dilakukan adalah analisis sidik ragam (ANOVA) dengan uji lanjut
Duncan. Hasil penilaian uji organoleptik produk olahan dapat dilihat pada
Lampiran 4 sampai dengan Lampiran 6. Hasil pengujian statistik dapat
dilihat pada Lampiran 7 sampai dengan Lampiran 9.

Tabel 12. Hasil Uji Organoleptik Produk Olahan Panggang


Cookies Cake Brownies
Formula
Rating Ranking Rating Ranking Rating Ranking
1 4,93ab 3,83a 5,17a 3,30a 4,57a 4,83a
2 5,27ab 3,40b 5,20a 3,50b 5,00ab 4,07b
3 5,23ab 2,93c 5,00a 3,80c 5,33bc 2,87c
4 5,33b 3,27d 5,37a 3,17d 5,37bc 2,60d
5 4,73a 4,80e 4,90a 4,40e 4,70a 4,33e
6 5,50b 2,77f 5,30a 2,83f 5,63c 2,30f
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan
nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%)

Berdasarkan hasil uji rating produk cookies (Tabel 12), dapat


diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis tertinggi adalah pada cookies
formula 6 (tepung ubi jalar 100% dan gula 45%) yaitu sebesar 5,50.
Tingkat kesukaaan keseluruhan berkisar antara 4,73-5,50 atau agak suka
sampai suka. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan
bahwa formulasi berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada
selang kepercayaan 95%. Hasil ini diperkuat dengan hasil uji lanjut
Duncan (Lampiran 7) yang menunjukkan bahwa formula 6 tidak berbeda
nyata dengan formula 1, 2, 3, 4 namun berbeda nyata dengan formula 5.
Formula 5 tidak berbeda nyata dengan formula 1, 2 dan 3.
Hasil uji ranking (Tabel 12 dan Lampiran 7) menunjukkan bahwa
formulasi produk cookies berpengaruh nyata terhadap rataan ranking pada
selang kepercayaan 95%. Formula 6 memiliki rataan ranking terendah
yaitu 2,77, diikuti dengan formula 3, 4, 2, 1 dan 5. Dari hasil tersebut
terpilih produk cookies formula 6 karena memiliki skor kesukaan tertinggi

53
dan rataan ranking terendah. Produk cookies formula terbaik disajikan
pada Gambar 8a.
Berdasarkan hasil uji rating produk cake (Tabel 12), dapat
diketahui bahwa formula 4 memiliki skor kesukaan tertinggi yaitu 5,37.
Tingkat kesukaaan keseluruhan berkisar antara 4,90-5,37 atau agak suka.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa formulasi
tidak berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada selang
kepercayaan 95%.
Hasil uji ranking (Tabel 12 dan Lampiran 8) menunjukkan bahwa
formulasi cake berpengaruh nyata terhadap rataan ranking pada selang
kepercayaan 95%. Formula 6 memiliki rataan ranking terendah yaitu 2,83,
diikuti dengan formula 4, 1, 2, 3 dan 5. Dari hasil tersebut terpilih produk
cake formula 6 (tepung ubi jalar 100% dan gula 80%) karena memiliki
rataan ranking terendah. Walaupun pada uji rating formula 6 tidak
memiliki skor kesukaan tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan
formula 4 yang memiliki skor kesukaan tertinggi. Selain itu, formula ini
dipilih karena memiliki persentase tepung ubi jalar paling tinggi. Produk
cake formula terbaik disajikan pada Gambar 8b.
Berdasarkan hasil uji rating produk brownies (Tabel 12), dapat
diketahui bahwa formula 6 (tepung ubi jalar 100% dan gula 100%)
memiliki skor kesukaan tertinggi yaitu sebesar 5,63. Tingkat kesukaaan
keseluruhan berkisar antara 4,57-5,63 atau agak suka sampai suka. Hasil
analisis sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa formulasi
berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada selang
kepercayaan 95%. Hasil ini diperkuat dengan hasil uji lanjut Duncan
(Lampiran 9) yang menunjukkan bahwa formula 6 tidak berbeda nyata
dengan formula 3, 4 namun berbeda nyata dengan formula lainnya.
Pada hasil uji ranking (Tabel 12 dan Lampiran 9), didapatkan nilai
signifikannya 0,000, menunjukkan bahwa formulasi berpengaruh nyata
terhadap rataan ranking pada selang kepercayaan 95%. Formula 6
memiliki rataan ranking terendah yaitu 2,30, diikuti dengan formula 4, 3,
2, 5 dan 1. Dari hasil tersebut terpilih produk brownies formula 6 karena

54
memiliki skor kesukaan tertinggi dan rataan ranking terendah. Produk
brownies formula terbaik disajikan pada Gambar 8c.

(a) (b) (c)


Gambar 8. Produk formula terbaik: (a) Cookies Ubi jalar; (b) Cake Ubi
jalar; (c) Brownies Ubi jalar

3. Karakteristik Fisik Formula Terbaik

a. Rendemen

Rendemen produk olahan terbaik dihitung berdasarkan


perbandingan berat produk olahan yang diperoleh terhadap berat
adonan yang dinyatakan dalam persen (%). Pengukuran rendemen
bermanfaat untuk menentukan jumlah bahan-bahan yang digunakan
untuk menghasilkan produk dalam jumlah tertentu. Berdasarkan hasil
penelitian diperoleh rendemen produk cookies sebesar 89,43%, cake
96,27% dan brownies 95,58%. Perbandingan rendemen ketiga produk
olahan terbaik dapat dilihat pada Gambar 9. Data hasil analisis
rendemen produk terbaik dapat dilihat pada Lampiran 10.
Nilai rendemen dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan
dalam pembuatan adonan. Penggunaan air dalam adonan akan
menurunkan rendemen karena pada saat dilakukan pemanggangan, air
yang terkandung akan diuapkan sehingga berat produk yang dihasilkan
lebih ringan daripada berat adonannya (Rahmawan, 2006). Pada
ketiga produk olahan tidak dilakukan penambahan air. Berdasarkan
hasil analisis kimia terlihat bahwa semakin rendah kadar air produk
maka semakin rendah pula rendemennya.

55
100
96,27 95,58
95

Rendemen (%)
89,43
90

85

80

75
Cookies Cake Brownies

Gambar 9. Histogram Rendemen Produk Terbaik

b. Kekerasan

Kekerasan merupakan sifat fisik dari produk pangan yang


menyatakan karakteristik tekstur produk pangan sebagai gaya yang
dibutuhkan untuk melakukan perubahan bentuk (deformasi) (Larmond,
1976). Kekerasan produk diukur dengan menggunakan alat Texture
Analyzer. Kekerasan dinyatakan dalam satuan gf (gram force). Setting
yang digunakan dalam pengukuran tekstur produk dapat dilihat pada
Tabel 13. Jenis probe yang digunakan pada pengukuran tekstur
cookies adalah P/4, sedangkan pada pengukuran tekstur cake dan
brownies adalah P/75.
Kekerasan produk cookies, cake dan brownies terbaik berturut-
turut adalah 1937,6 gf, 628,9 gf, dan 1373,7 gf. Berdasarkan hasil
analisis terlihat bahwa semakin besar kadar protein produk, beban
yang dibutuhkan untuk memecahkannya (kekerasan) juga semakin
rendah. Hal ini disebabkan protein mempunyai sifat hidrofilik yang
dapat mengikat air, sehingga semakin banyak kandungan protein
dalam bahan pangan maka air yang terkandung di dalamnya juga
semakin besar yang dapat mengakibatkan kekerasannya semakin
rendah. Perbandingan kekerasan produk terbaik dapat dilihat pada
Gambar 10. Data hasil analisis kekerasan produk terbaik dapat dilihat
pada Lampiran 10.

56
Tabel 13. Setting Texture Analyzer
Produk
Setting
Cookies Cake Brownies
Pre test speed (mm/s) 2.0 1.0 1.0
Test speed (mm/s) 0.5 1.0 1.0
Post test speed (mm/s) 10.0 10.0 10.0
Rupture test distance (mm) 1.0 1.0 1.0
Distance (mm) 2.0 7.5 6.0
Force (g) 100 100 100
Load cell 25 kg 25 kg 25 kg
Time (sec) 5.0 5.0 5.0
Count 2 2 2

2500

2000 1937,6
Kekerasan (gf)

1500 1373,7

1000
628,9
500

0
Cookies Cake Brownies

Gambar 10. Histogram Kekerasan Produk Terbaik

4. Karakteristik Kimia Formula Terbaik


a. Proksimat

Nilai gizi suatu produk makanan merupakan faktor yang sangat


rentan terhadap perubahan perlakuan sebelum, selama, dan sesudah
proses pengolahan. Umumnya selama proses pengolahan terjadi
kerusakan gizi secara bertahap pada bahan pangan, misalnya protein
mengalami proses kerusakan atau denaturasi. Tetapi dengan adanya
proses pengolahan dapat meningkatkan aroma dan cita rasa suatu
produk makanan.

57
Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi
suatu bahan pangan atau produk makanan, seperti kadar protein, lemak
dan karbohidrat. Informasi kandungan gizi suatu produk sangat
penting untuk mengetahui jumlah energi yang terdapat pada produk.
Komposisi gizi per 100 g dan per takaran saji produk olahan terbaik
dapat dilihat pada Tabel 14 dan 15. Data hasil analisis proksimat
produk terbaik dapat dilihat pada Lampiran 10.
Tabel 14. Komposisi Gizi per 100 g Produk Olahan Terbaik
Komposisi
Cookies Cake Brownies
kimia
Air (g) 2,73 24,73 19,02
Abu (g) 2,95 1,49 1,89
Protein (g) 4,09 6,05 5,43
Lemak (g) 30,19 20,31 22,14
Karbohidrat (g) 60,04 47,42 51,52
Energi (kkal) 528 397 427

Tabel 15. Komposisi Gizi per Takaran Saji Produk Olahan Terbaik
Berat per Komposisi Gizi per Takaran Saji
Jenis Kue Takaran Protein Lemak Karbo- Energi
Saji (g) (g) (g) hidrat (g) (kkal)
0,74 5,43 10,81 95
Cookies 18
(1 %) (10 %) (3 %) (5 %)
1,51 5,08 11,86 99
Cake 25
(3 %) (9 %) (4 %) (5 %)
1,47 5,98 13,91 115
Brownies 27
(3 %) (11 %) (4 %) (6 %)
Keterangan: Angka di dalam kurung adalah persen AKG (angka kecukupan gizi)
berdasarkan diet 2000 kalori, yaitu protein 50 g, lemak 55 g dan
karbohidrat 325 g

i. Kadar Air

Kadar air yang terdapat pada suatu produk pangan akan


mempengaruhi penampakan, tekstur, cita rasa, dan keawetannya.
Berdasarkan hasil analisis (Tabel 14), diperoleh kadar air produk
terbaik cookies yaitu sebesar 2,73% (bb), cake sebesar 24,73% (bb)

58
dan brownies sebesar 19,02% (bb). Kadar air cookies jauh lebih
rendah dari produk cake dan brownies. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kadar air produk yaitu bahan baku produk,
ketebalan produk dan suhu pemanggangan.
Kadar air cookies yang rendah ini disebabkan bahan baku
cookies mengandung lebih sedikit air, ketebalan cookies lebih
rendah dan suhu pemanggangan lebih tinggi dari produk lainnya.
Ketebalan produk dan suhu pemanggangan mempengaruhi
penguapan air pada adonan yang terjadi pada tahap pemanggangan.
Menurut Ruslim (1993), kenaikan suhu proses akan menurunkan
kadar air produk. Hal ini sesuai dengan prinsip umum pengaruh
suhu terhadap sifat air yaitu semakin tinggi suhu, maka semakin
banyak air yang berubah menjadi uap.
Kadar air pada produk cookies merupakan karakteristik
kritis yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen tehadap
cookies karena kadar air ini menentukan tekstur (kerenyahan)
cookies. Kandungan air yang tinggi membuat cookies tidak renyah
dan teksturnya kurang disukai. Kadar air cookies ubi jalar sesuai
dengan syarat mutu cookies SNI yaitu maksimal 5% (BSN, 1992).
Menurut Winarno (1992), kadar air pada bahan yang berkisar 3-7%
akan mencapai kestabilan optimum, sehingga pertumbuhan
mikroba dan reaksi-raksi kimia yang merusak bahan seperti
browning, hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi.
Kadar air pada produk cake dan brownies mempunyai
pengaruh terhadap tingkat keawetan produk. Suatu bahan pangan
yang tinggi kadar airnya akan semakin cepat busuk daripada bahan
pangan dengan kadar air yang rendah (Winarno, 1992). Menurut
deMan (1997), kadar air dapat mempengaruhi penurunan mutu
makanan secara kimia dan mikrobiologi. Beberapa kerusakan yang
disebabkan oleh kadar air yang tinggi pada bahan pangan adalah
pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan dan hidrolisis lemak.

59
ii. Kadar Abu

Jumlah garam dan mineral yang terdapat pada produk dapat


diinterpretasikan sebagai kadar abu produk. Kadar abu merupakan
unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar
sampai bebas karbon. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 14),
diperoleh kadar abu produk terbaik cookies adalah sebesar 2,95%
(bb), cake sebesar 1,49% (bb) dan brownies sebesar 1,89% (bb).
Nilai kadar abu cookies ubi jalar cukup tinggi jika
dibandingkan dengan SNI cookies yang menyaratkan kandungan
maksimum abu hanya 1,5% (BSN, 1992). Abu yang terdapat pada
cookies sebagian besar berasal dari tepung ubi jalar klon
BB00105.10. Kadar abu pada tepung ubi jalar klon BB00105.10
adalah 1,86% (bb). Nilai kadar abu cake dan brownies tidak
sebesar cookies karena persentase tepung ubi jalar terhadap adonan
cake dan brownies tidak sebesar persentase tepung ubi jalar
terhadap adonan cookies. Persentase tepung ubi jalar terhadap
adonan cookies sebesar 39,60%, cake sebesar 23,07% dan
brownies sebesar 19,19%.

iii. Kadar Protein

Protein merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh


manusia, karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh dan
juga sebagai bahan pembangun dan pengatur (Winarno, 1992).
Penetapan kadar protein pada produk ubi jalar dilakukan dengan
metode mikro-Kjeldahl. Kadar protein yang diperoleh adalah
kadar protein kasar karena dihitung berdasarkan pada nitrogen
yang terkandung dalam bahan. Berdasarkan hasil analisis (Tabel
14), diperoleh kadar protein produk cookies sebesar 4,09% (bb),
cake sebesar 6,05% (bb) dan brownies sebesar 5,43% (bb).
Persentase angka kecukupan gizi (AKG) protein berdasarkan diet
2000 kkal bila mengkonsumsi produk per takaran saji yaitu cookies
sebesar 1%, sedangkan cake dan brownies sebesar 3% (Tabel 15).

60
Protein yang ada pada produk sebagian besar berasal dari
telur dan susu. Nilai protein cookies ubi jalar berada di bawah nilai
yang dipersyaratkan oleh SNI, yaitu minimum 9% (BSN, 1992).
Hal ini disebabkan jumlah telur dan susu yang ditambahkan
sedikit. Selain itu, tepung ubi jalar yang menjadi bahan baku
utama cookies hanya mengandung protein dalam jumlah yang
kecil, yaitu 1,86% (bb) (Tabel 10). Kadar protein cake dan
brownies lebih tinggi dari cookies karena persentase telur terhadap
adonan cake dan brownies lebih tinggi dari persentase telur
terhadap adonan cookies. Begitu pula kadar protein cake lebih
tinggi dari brownies karena persentase telur terhadap adonan cake
lebih tinggi dari persentase telur terhadap adonan brownies.
Persentase telur terhadap adonan cookies sebesar 7,13%, cake
sebesar 33,69% dan brownies sebesar 23,03%.

iv. Kadar Lemak

Lemak berfungsi sebagai sumber citarasa dan memberikan


tekstur yang lembut pada produk. Selain itu, lemak juga
merupakan sumber energi yang dapat memberikan nilai energi
lebih besar daripada karbohidrat dan protein, yaitu 9 kkal per gram.
Lemak pada produk olahan diukur dengan menggunakan metode
ekstraksi Soxhlet. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 14), diperoleh
kadar lemak produk terbaik cookies adalah sebesar 30,19% (bb),
cake sebesar 20,31% (bb) dan brownies sebesar 22,14% (bb).
Persentase angka kecukupan gizi (AKG) lemak berdasarkan diet
2000 kkal bila mengkonsumsi cookies, cake dan brownies per
takaran saji berturut-turut yaitu 10, 9 dan 11%.
Kadar lemak cookies ubi jalar sesuai dengan syarat mutu
cookies SNI yaitu minimal mempunyai kadar lemak 9,5% (BSN,
1992). Kadar lemak ketiga produk cukup tinggi sehingga
memberikan nilai energi yang tinggi. Kadar lemak cake dan
brownies lebih rendah dari cookies karena persentase margarin dan

61
mentega terhadap adonan cake dan brownies lebih rendah dari
persentase margarin dan mentega terhadap adonan cookies. Kadar
lemak cake lebih rendah dari brownies karena pada pembuatan
brownies ditambahkan cokelat blok dan cokelat bubuk yang
menambah kadar lemak brownies. Adapun persentase margarin
dan mentega terhadap adonan cookies sebesar 29,70%, cake
sebesar 18,46% dan brownies sebesar 15,36%

v. Kadar Karbohidrat

Karbohidrat selain berperan sebagai sumber energi utama


juga berperan mencegah pemecahan protein tubuh secara
berlebihan, kehilangan mineral dan membantu dalam metabolisme
lemak dan mineral (Winarno, 1992). Berdasarkan hasil analisis
(Tabel 14), diperoleh kadar karbohidrat produk terbaik cookies
sebesar 60,04% (bb), cake 47,42% (bb) dan brownies 51,52% (bb).
Kadar karbohidrat cookies berada di bawah nilai yang
dipersyaratkan dalam SNI, yaitu minimum 70% (BSN, 1992).
Persentase angka kecukupan gizi (AKG) karbohidrat berdasarkan
diet 2000 kkal bila mengkonsumsi produk per takaran saji yaitu
cookies dan cake sebesar 5%, sedangkan brownies 6% (Tabel 15).
Kadar karbohidrat produk cookies paling besar dari ketiga
produk, diikuti oleh produk brownies dan cake. Kadar karbohidrat
cake dan brownies tidak sebesar cookies karena persentase tepung
ubi jalar terhadap adonan cake dan brownies tidak sebesar
persentase tepung ubi jalar terhadap adonan cookies. Persentase
tepung ubi jalar terhadap adonan cookies sebesar 39,60%, cake
sebesar 23,07% dan brownies sebesar 19,19%. Walaupun
persentase tepung ubi jalar terhadap adonan cake lebih besar dari
brownies, namun kadar karbohidrat cake lebih kecil dari brownies.
Hal ini dapat disebabkan penambahan cokelat blok pada adonan
brownies, dimana komposisi utama dari cokelat blok ialah gula.

62
b. Energi

Nilai energi merupakan nilai yang diperoleh dari konversi


protein, lemak, dan karbohidrat menjadi energi. Sumber energi terbesar
adalah lemak yang menghasilkan 9 kkal energi per gram, sedangkan
karbohirat dan protein menghasilkan energi sebesar 4 kkal per gram.
Pada produk cookies, cake dan brownies, komponen gizi yang
memberikan nilai energi terbesar adalah karbohidrat dan lemak yang
kandungannya cukup tinggi. Urutan nilai energi dari ketiga produk
terpilih dari yang terbesar hingga terkecil yaitu cookies, brownies dan
cake (Tabel 14). Berdasarkan hasil penelitian, nilai energi cookies
sudah sesuai dengan SNI yaitu minimum 400 kkal per 100 gram (BSN,
1992). Persentase angka kecukupan gizi (AKG) energi berdasarkan
diet 2000 kkal (Tabel 15) bila mengkonsumsi produk per takaran saji
yaitu cookies dan cake sebesar 5%, sedangkan brownies sebesar 6%.

c. Amilosa

Pati merupakan homopolimer glukosa dalam ikatan α-


glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan
air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut
amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α
(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang yang
mengandung 94-96% ikatan α-(1,4)-D-glukosa dan 4-6% ikatan
α(1,6)-D-glukosa (Winarno, 1992). Struktur amilosa dan amilopektin
dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.
Analisis kadar amilosa dilakukan berdasarkan prinsip iodine
binding, dimana molekul amilosa akan berikatan dengan molekul iodin
membentuk warna biru yang dapat diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 620 nm. Pengukuran kadar amilosa terdiri dari dua tahap
yaitu pembuatan kurva standar dan penetapan sampel. Persamaan
kurva standar yaitu y = ax + b, dimana x menunjukkan konsentrasi
amilosa dan y menunjukkan absorbansi. Persamaan kurva standar ini
selanjutnya digunakan untuk menentukan kadar amilosa sampel.

63
Gambar 11. Struktur Amilosa (Winarno, 1992)

Gambar 12. Struktur Amilopektin (Winarno, 1992)

Pati bereaksi dengan iod pada daerah amorfnya. Fraksi amilosa


bereaksi dengan iod menghasilkan warna biru, sedangkan amilopektin
bereaksi dengan iod memberi warna kemerahan hingga cokelat.
Reaksi amilosa dengan iod terjadi melalui mekanisme perangkapan iod
di dalam heliks amilosa, sedangkan amilopektin tidak memiliki heliks
yang cukup untuk melakukan hal yang sama (Pomeranz, 1991).
Reaksi pati dengan iod dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Reaksi Pati dengan Iod (Pomeranz, 1991)

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kadar amilosa produk


cookies sebesar 13,24%, produk cake sebesar 10,62% dan produk
brownies sebesar 7,22%. Perbandingan amilosa produk ditunjukkan
pada Gambar 14. Berdasarkan klasifikasi dari IRRI (International
Rice Research Institute), kadar amilosa bahan berpati digolongkan

64
menjadi tiga, yaitu amilosa rendah (< 20%), amilosa sedang (20-25%)
dan amilosa tinggi (> 25%). Berdasarkan penggolongan tersebut,
maka ketiga produk ubi jalar tergolong pangan beramilosa rendah.
Pati yang ada pada ketiga produk ubi jalar berasal dari tepung ubi jalar
klon BB00105.10, karena ketiga produk tersebut menggunakan bahan
baku tepung ubi jalar 100%. Kadar amilosa pada ubi jalar klon
BB00105.10 sebesar 24.94% (bk) (Astawan dan Widowati, 2006).

16
14 13,24
Kadar Amilosa (%)

12
10,62
10
8 7,22

6
4
2
0
Cookies Cake Brownies

Gambar 14. Histogram Amilosa Produk Terbaik

Kadar amilosa produk yang rendah dapat disebabkan adanya


lipid pada produk yang dapat membentuk kompleks dengan amilosa
dan membentuk heliks pada saat gelatinisasi. Kompleks lipid dan
amilosa akan mengakibatkan terhambatnya reaksi amilosa dengan iod.
Hal ini akan menurunkan intensitas warna biru yang terbentuk dan
pada akhirnya akan menurunkan kadar amilosa produk.
Selain itu, sebagian pati dari ketiga produk mungkin sudah
mengalami retrogradasi pati. Menurut Swinkels (1985), selama
retrogradasi pati terbentuk daerah kristalin. Bila pada granula pati
daerah kristalin terutama terdiri dari molekul amilopektin, pada pati
yang mengalami retrogradasi daerah kristalin pati dibentuk terutama
oleh molekul amilosa. Apabila terjadi retrogradasi pati maka terbentuk
daerah kristalin yang tidak dapat bereaksi dengan iod, sehingga akan
menurunkan kadar amilosa produk.

65
d. Serat Pangan

Secara umum, serat pangan (dietary fiber) didefinisikan


sebagai kelompok polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak
dapat dicerna oleh sistem gastrointestinal bagian atas tubuh manusia,
namun terdapat beberapa jenis komponennya yang dapat dicerna
(difermentasi) oleh mikroflora dalam usus besar menjadi produk-
produk terfermentasi. Serat merupakan senyawa inert secara gizi
karena tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan serta hasil-
hasil fermentasinya (oleh mikroba usus) tidak dapat digunakan oleh
tubuh (Muchtadi, 2001).
Serat pangan total (TDF/Total Dietary Fiber) dibagi menjadi
dua, yaitu serat pangan larut (SDF/Soluble Dietary Fiber) dan serat
pangan tidak larut (IDF/Insoluble Dietary Fiber). SDF adalah serat
pangan yang dapat larut atau mengembang dalam air hangat atau panas
serta dapat terendapkan oleh air yang telah dicampur dengan empat
bagian etanol, seperti gum, pektin, β-glucan, sebagian kecil
hemiselulosa, selulosa termodifikasi dan psyllium. IDF adalah serat
pangan yang tidak dapat larut dalam air panas maupun air dingin,
terdiri dari selulosa, lignin, sebagian besar hemiselulosa, dan resistant
strach (pati termodifikasi) (Muchtadi, 2001).
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh total serat pangan
produk cookies sebesar 5,88% (bb), cake 7,18% (bb) dan brownies
5,50% (bb); serat pangan larut produk cookies sebesar 3,04% (bb),
cake 3,73% (bb) dan brownies 3,24% (bb); dan serat pangan tak larut
produk cookies sebesar 2,84% (bb), cake 3,45% (bb) dan brownies
2,25% (bb). Perbandingan serat pangan ketiga produk terbaik dapat
dilihat pada Gambar 15. Tingginya kadar serat pangan pada produk
ubi jalar disebabkan produk ini terbuat dari tepung ubi jalar klon
BB00105.10. Menurut Astawan dan Widowati (2006), kadar serat
pangan larut pada ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 12,81% (bk) dan
kadar serat pangan tak larut sebesar 38,56% (bk).

66
8
7,18
7
5,88

Kadar Serat (%)


6 5,50
5
3,73 3,45
4 3,04 3,24 2,84
3 2,25
2
1
0
Total Serat Serat Larut Serat Tak Larut
Cookies Cake Brownies

Gambar 15. Histogram Serat Pangan Produk Terbaik

Kadar serat pangan total ketiga produk olahan tersebut tidak


jauh berbeda. Kadar serat pangan larut pada ketiga produk olahan
cenderung lebih besar bila dibandingkan dengan kadar serat pangan
tidak larutnya. Serat pangan larut (SDF) bermanfaat bagi penderita
diabetes melitus, yaitu berhubungan dengan peranan SDF dalam
mereduksi penyerapan glukosa dalam usus. Manfaat lain SDF adalah
membuat perut merasa cepat kenyang, sehingga dapat memberi
pengaruh positif pada penderita obesitas (kegemukan). Serat pangan
tidak larut (IDF) berperan penting dalam pencegahan disfungsi alat
pencernaan seperti konstipasi, hemoroid, kanker usus besar, dan
infeksi usus buntu (Prosky dan Vries, 1992).
Salah satu petunjuk Department of Nutrition, Ministry of
Health and Institute of Health (1999) seperti yang dikutip oleh Friska
(2002) menyatakan bahwa makanan dapat diklaim sebagai makanan
sumber serat pangan jika mengandung serat pangan sebesar 3-6
gram/100 gram. Dengan demikian ketiga produk ini dapat diklaim
sebagai makanan sumber serat pangan karena mengandung serat
pangan 3-6 gram/100 gram, bahkan pada produk cake mengandung
serat pangan lebih dari 6 gram/100 gram.
Menurut Badan POM (2005), beberapa persyaratan yang harus
dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan
fungsional adalah: (1) wajib memenuhi kriteria produk pangan; (2)

67
menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan
keamanan serta standar dan persyaratan lain yang ditetapkan; (3)
mempunyai manfaat bagi kesehatan yang dinilai dari komponen
pangan fungsional berdasarkan kajian ilmiah Tim Mitra Bestari; (4)
disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau
minuman; (5) memiliki karakteristik sensori seperti penampakan,
warna, tekstur atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima
konsumen; dan (6) komponen pangan fungsional tidak boleh
memberikan interaksi yang tidak diinginkan dengan komponen lain.
Produk olahan ubi jalar dapat dinyatakan sebagai pangan fungsional
karena telah memenuhi persyaratan di atas.

e. Daya Cerna Pati

Daya cerna pati adalah kemampuan pati untuk dihidrolisis oleh


enzim pemecah pati sehingga menjadi unit-unit yang lebih kecil (gula-
gula sederhana seperti maltosa atau glukosa dan alfa limit dekstrin)
yang dapat diserap oleh tubuh. Pengukuran daya cerna pati dapat
dilakukan secara in vitro menggunakan berbagai macam enzim pada
kondisi tertentu seperti pH, buffer, waktu inkubasi dan suhu. Setelah
hidrolisis, jumlah gula yang berhasil direduksi merupakan hasil dari
daya cerna pati (Tharanathan dan Mahadevamma, 2003).
Pada penelitian ini digunakan metode pengukuran daya cerna
pati secara in vitro (Muchtadi et al., 1992). Dalam metode ini pati
dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi unit-unit maltosa. Jumlah
maltosa yang dihasilkan diukur menggunakan spektrofotometer setelah
direaksikan dengan asam dinitrosalisilat (DNS) melalui kurva standar
maltosa. Daya cerna pati sampel dihitung sebagai persentase terhadap
pati murni (soluble starch).
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh daya cerna pati produk
cookies sebesar 55,07%, produk cake sebesar 26,56% dan produk
brownies sebesar 18,29%. Perbandingan daya cerna pati ketiga produk
ditunjukkan pada Gambar 16. Rendahnya daya cerna pati cake dan

68
brownies dapat disebabkan oleh proses pemanasan. Proses pemanasan
akan menyebabkan rusaknya ikatan hidrogen pada pati sehingga
amilosa dan amilopektin keluar dari granula pati. Kerusakan granula
menyebabkan granula menyerap air, sehingga sebagian fraksi pati
terpisah dan masuk ke dalam media yang ada. Amilosa akan larut dan
sudah tidak dapat dikenali lagi oleh enzim pencernaan sementara
amilopektin dapat terurai pula, sehingga penguraian pati tidak
sempurna dan daya cernanya pun berkurang (Greenwood, 1989).

70
55,07
Daya Cerna Pati (%)

60
50
40
30 26,56

20 18,29

10
0
Cookies Cake Brownies

Gambar 16. Histogram Daya Cerna Pati Produk Terbaik

Penyebab lain penurunan daya cerna yaitu produk mengalami


retrogradasi dimana struktur pati berubah menjadi resistant starch,
sehingga stuktur kimia pati tidak bisa dikenali oleh enzim pencernaan
α-amilase sehingga enzim tidak dapat menghidrolisis pati. Tepung ubi
jalar klon BB00105.10 yang digunakan sebagai bahan baku produk
juga telah mengalami retrogradasi akibat pemanasan dimana struktur
pati berubah menjadi resistant starch. Kandungan resistant starch
pada ubi jalar klon BB00105.10 adalah 3.80% (bk) (Astawan dan
Widowati, 2006). Resistant starch merupakan fraksi pati yang tidak
dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh
mikroflora usus (Tharanathan dan Mahadevamma, 2003).
Selain itu, proses pencernaan pati dipengaruhi oleh keberadaan
komponen pangan lainnya (Tharanthan dan Mahadevamma, 2003).
Komponen pangan yang dapat menurunkan daya cerna pati ialah serat

69
pangan. Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat
fisik pada pencernaan yaitu terhalangnya granula pati oleh serat
sehingga sulit dicerna oleh enzim-enzim amilolitik manusia. Serat
juga dapat memperlambat lewatnya makanan pada saluran pencernaan
dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan
menjadi lambat (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Selain itu, masalah yang timbul dalam hubungannya dengan
pencernaan pati umumnya berasal dari komponen antinutrisi bahan
bakunya. Komponen antinutrisi yang terdapat pada ubi jalar adalah
anti-tripsin sebesar 2,2-25,4 TIU/g, anti-kimotripsin sebesar 0,99
TIU/g dan rafinosa. Pada ubi jalar yang telah dimasak mengandung
rafinosa sebesar 0,5% (Bradbury dan Holloway, 1988 di dalam
Djuanda, 2003). Komponen antinutrisi pada bahan pangan dapat
memperlambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus
(Rimbawan dan Siagian, 2004).

5. Indeks Glikemik (IG)

Dari ketiga jenis produk olahan ubi jalar (cookies, cake dan
brownies), selanjutnya dipilih dua produk untuk dianalisis indeks
glikemiknya. Pemilihan dua jenis produk tersebut didasarkan pada hasil
analisis kimia produk yang menjadi parameter pendukung indeks glikemik
(IG) seperti kadar protein, kadar lemak, kadar amilosa, kadar serat pangan
dan daya cerna pati.
Berdasarkan analisis kimia pada ketiga produk olahan diperoleh
bahwa pengujian IG dilakukan terhadap produk cake dan brownies terbaik.
Hal ini dikarenakan cake dan brownies memiliki nilai daya cerna pati lebih
rendah (Gambar 16) dan memiliki kadar protein lebih tinggi daripada
cookies (Tabel 14). Kadar amilosa dan serat pangan total cookies lebih
tinggi daripada brownies (Gambar 14 dan Gambar 15), tapi karena
nilainya tidak jauh berbeda maka tetap dipilih brownies.
Metode yang digunakan untuk mengukur IG sebenarnya sangat
beragam. Metode analisis IG yang dilakukan pada penelitian ini adalah

70
menurut El (1999). Pengujian IG dilakukan dengan menggunakan darah
manusia sebagai subjek penelitian (in vivo). Manusia merupakan subjek
yang umum digunakan dalam penelitian IG karena metabolisme manusia
sangat rumit sehingga sulit ditiru secara in vitro (Ragnhild et al., 2004).
Perekrutan panelis dilakukan melalui upaya sosialisasi kegiatan
penelitian kepada beberapa mahasiswa IPB dengan alasan usia mahasiswa
termasuk ke dalam persyaratan untuk menjadi panelis (18-30 tahun) dan
untuk mempermudah akses dalam melakukan penelitian. Mahasiswa yang
bersedia menjadi panelis diminta untuk menandatangani formulir
kesediaan (tanpa paksaan) dan mengikuti penjelasan secara lengkap
mengenai tujuan dan prosedur penelitian. Meskipun demikian, mereka
mempunyai hak untuk mengundurkan diri apabila ada di antara mereka
yang menginginkannya.
Panelis yang digunakan terdiri dari dua kelompok (kelompok A
dan B) yang masing-masing berjumlah 8 orang (4 pria dan 4 wanita).
Masing-masing kelompok menguji sampel dan standar (glukosa).
Kelompok A menguji sampel cake dan kelompok B menguji sampel
brownies. Pengujian IG standar dan sampel dilakukan pada hari yang
berbeda. Syarat-syarat panelis yang digunakan adalah sehat, tidak
menderita diabetes dan memiliki nilai indeks masa tubuh (IMT) dengan
kisaran normal (18-25 kg/m2). Seleksi ini dimaksudkan untuk
meminimalisasi variasi yang mungkin timbul antar panelis.
Sampel yang diberikan kepada panelis dalam pengujian IG yaitu
setara dengan 50 gram karbohidrat total (El, 1999). Sampel diberikan
kepada panelis setelah panelis menjalani puasa selama ± 10 jam
sebelumnya (overnight fasting), kecuali air putih. Berdasarkan analisis
proksimat (by difference), kadar karbohidrat cake sebesar 47,42% (bb) dan
brownies sebesar 51,53% (bb). Dengan demikian untuk mendapatkan 50
gram karbohidrat setiap panelis mendapatkan 105 gram cake dan 97 gram
brownies. Pangan standar yang digunakan adalah 50 gram glukosa bubuk
yang dilarutkan dalam 240 ml air (IG = 100).

71
Pengambilan darah dilakukan melalui pembuluh darah kapiler yang
terdapat di jari tangan. Pembuluh darah kapiler dipilih karena darah yang
diambil dari pembuluh kapiler mempunyai variasi kadar gula darah antar
panelis yang lebih kecil dibandingkan darah yang diambil dari pembuluh
vena (Ragnhild et al., 2004). Pengukuran kadar gula darah dilakukan
dengan menggunakan alat glucometer pada menit 0, 30, 60, 90 dan 120
(El, 1999). Glukosa yang terdapat dalam darah akan bereaksi dengan
enzim glucose oxydase (GOD) dan potassium ferricyanide yang terdapat
dalam test strip menghasilkan potassium ferrocyanide. Jumlah potassium
ferrocyanide yang dihasilkan setara dengan jumlah glukosa yang
terkandung dalam sampel (Arkray, 2001).
Hasil respon gula darah standar dan sampel kemudian ditebar pada
sumbu X dan sumbu Y dalam bentuk kurva scatter dengan menggunakan
software Microsoft Excel. Besarnya IG dihitung dengan membandingkan
luas daerah di bawah kurva sampel dan standar (glukosa) pada masing-
masing panelis, kemudian hasilnya dirata-ratakan. Contoh kurva hasil
pengukuran respon kadar gula darah salah satu panelis dapat dilihat pada
Gambar 17 dan Gambar 18. Hasil rata-rata respon kadar gula darah
panelis dapat dilihat pada Tabel 16, dan grafiknya dapat dilihat pada
Gambar 19 dan Gambar 20. Beban glikemik produk cake dan brownies
dapat dilihat pada Tabel 17.

140
gula darah (mg/dl)

130
120
110
100
90
80
0 30 60 90 120
waktu (menit)
Glukosa Cake

Gambar 17. Kurva Respon Kadar Gula Darah Glukosa dan Sampel
(Cake) Salah Satu Panelis

72
140

gula darah (mg/dl)


130
120
110
100
90
80
0 30 60 90 120
waktu (menit)
Glukosa Brownies

Gambar 18. Kurva Respon Kadar Gula Darah Glukosa dan Sampel
(Brownies) Salah Satu Panelis

Tabel 16. Respon Kadar Gula Darah Panelis (mg/dl) Setelah


Mengkonsumsi Standar dan Sampela
Makanan GDP 30 SMb 60 SMb 90 SMb 120 SMb
Glukosa A 87 148 138 110 94
Cake 89 114 97 96 93
Glukosa B 86 140 136 121 100
Brownies 86 102 95 98 96
a
Keterangan: Hasil rata-rata dari 8 panelis
b
SM = setelah makan, angka di depan SM menunjukkan waktu (menit)
GDP = Gula Darah Puasa

70
Perubahan kadar gula darah

60

50
(mg/dl)

40

30

20

10

0
0 30 60 90 120
Waktu sampling kadar gula (menit)

Glukosa Cake

Gambar 19. Kurva Perubahan Kadar Gula Darah Glukosa dan Cake

73
70

Perubahan kadar gula darah


60
50
40

(mg/dl)
30
20
10
0
0 30 60 90 120
Waktu sam pling kadar gula (m enit)

Glukos a Brownies

Gambar 20. Kurva Perubahan Kadar Gula Darah Glukosa dan Brownies

Hasil pengukuran IG (Lampiran 11) menunjukkan bahwa cake ubi


jalar memiliki nilai IG rata-rata sebesar 30 ± 13, dan brownies ubi jalar
memiliki nilai IG rata-rata sebesar 28 ± 9. Dengan nilai IG tersebut, cake
dan brownies berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10
digolongkan sebagai pangan yang memiliki nilai IG rendah (<55).
Menurut Ragnhild et al. (2004), bahan pangan yang memiliki nilai IG
rendah akan menghasilkan kenaikan dan penurunan kadar gula darah yang
tidak terlalu curam sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan
dimetabolisme oleh tubuh. Konsumsi pangan yang mengandung IG
rendah juga dapat meningkatkan sensitivitas produksi insulin dalam
pankreas sehingga dapat menjadi alternatif diet bagi penderita diabetes.
Faktor-faktor yang mempengaruhi IG suatu bahan pangan adalah
daya cerna pati, interaksi antara pati dengan protein, jumlah dan jenis asam
lemak, kadar serat pangan, dan bentuk fisik dari bahan pangan (Ragnhild
et al., 2004). Selain itu, cara pengolahan, perbandingan amilosa dengan
amilopektin, kadar gula, tingkat keasaman dan daya osmotik, dan anti-gizi
pangan juga mempengaruhi IG (Rimbawan dan dan Siagian, 2004). Nilai
IG brownies lebih rendah daripada cake. Hal ini dapat dikarenakan
brownies memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dan daya cerna pati yang
lebih rendah dari cake ubi jalar.

74
Pada ubi jalar klon BB00105.10 yang menjadi bahan baku produk
mengandung pati tidak tercerna (resistant starch = RS) dalam jumlah yang
cukup tinggi, yaitu sebesar 3,80% (bk). Peningkatan kadar RS secara
konsisten menunjukkan penurunan respon glikemik (Astawan dan
Widowati, 2006). Pati yang mengalami retrogradasi merupakan salah satu
contoh dari resistant starch. Penggunaan suhu yang tinggi pada proses
pengolahan juga dapat menyebabkan terjadinya pembentukan pati
teretrogradasi yang bersifat sulit untuk dicerna sehingga dapat
menurunkan nilai indeks glikemik (Fernandes et al., 1997).
Hasil penelitian menunjukkan daya cerna pati cake sebesar
26,56%, sedangkan daya cerna pati brownies sebesar 18,29% (Gambar
16). Daya cerna pati yang rendah berarti hanya sedikit jumlah pati yang
dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi gula-gula sederhana
seperti glukosa dan maltosa dalam waktu tertentu. Dengan demikian kadar
gula di dalam darah tidak mengalami kenaikan secara drastis sesaat setelah
makanan tersebut dicerna dan dimetabolisme oleh tubuh. Peningkatan
kadar gula darah yang cepat dapat mendorong pankreas untuk
mensekresikan insulin lebih banyak, sehingga meningkatkan respon
insulin (Ostman et al., 2001). Oleh karena itu, pangan yang memiliki daya
cerna pati rendah, indeks glikemiknya cenderung rendah.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh total serat pangan cake
sebesar 7,18% (bb) dan brownies sebesar 5,50% (bb); serat pangan larut
cake sebesar 3,73% (bb) dan brownies sebesar 3,24% (bb); dan serat
pangan tak larut cake sebesar 3,45% (bb) dan brownies sebesar 2,25% (bb)
(Gambar 15). Keberadaan serat pangan memberikan pengaruh pada kadar
gula darah. Serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan
secara nyata, sedangkan serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan
campuran makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini memperlambat laju
makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim.
Dengan demikian, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon
glukosa darah lebih rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004).

75
Kadar lemak cake sebesar 20,31% (bb), sedangkan kadar lemak
brownies sebesar 18.77% (bb) (Tabel 14). Pangan yang mengandung
lemak tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung,
sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena
itu, pangan berkadar lemak tinggi mempunyai IG lebih rendah daripada
pangan sejenis yang berlemak rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Namun pangan berlemak tinggi, apapun jenisnya dan walaupun memiliki
nilai IG rendah perlu dikonsumsi secara bijaksana.
Kadar amilosa brownies lebih rendah daripada cake. Kadar
amilosa cake sebesar 10,62% sedangkan brownies hanya 7.22% (Gambar
14). Kandungan amilosa yang lebih tinggi akan menyebabkan pencernaan
terjadi lebih lambat karena amilosa merupakan polimer gula sederhana
yang memiliki struktur tidak bercabang. Struktur yang tidak bercabang ini
membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan
akibatnya sulit dicerna (Rimbawan dan Siagian, 2004). Walaupun kadar
amilosa cake lebih tinggi daripada brownies, kedua produk tersebut
digolongkan ke dalam produk yang berkadar amilosa rendah (<20%),
sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai indeks glikemiknya.
IG hanya memberikan informasi mengenai kecepatan perubahan
karbohidrat menjadi glukosa darah, tetapi tidak memberikan informasi
mengenai banyaknya karbohidrat dan dampak pangan tertentu terhadap
kadar glukosa darah. Kelemahan IG akan tampak bila membandingkan
kandungan karbohidrat pada pangan yang berbeda. Beban glikemik (BG)
dapat memberikan informasi yang lengkap mengenai pengaruh konsumsi
pangan aktual terhadap peningkatan kadar glukosa darah. BG
menggambarkan kualitas dan kuantitas karbohidrat dan interaksinya dalam
pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
BG didefinisikan sebagai IG pangan dikalikan dengan kandungan
karbohidrat pangan tersebut per takaran saji dikalikan 100. Bahan pangan
dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai BG-nya sebagai berikut: (a) bahan
pangan dengan nilai BG rendah (<10); (b) bahan pangan dengan nilai BG
sedang (11-19); dan (c) bahan pangan dengan nilai BG tinggi (>20).

76
Konsumsi cake dan brownies per takaran saji akan menghasilkan
karbohidrat sebesar 11,86 dan 13,91 gram. IG cake dan brownies yaitu
sebesar 30 dan 28. Dengan demikian nilai beban glikemik cake dan
brownies sebesar 4 dan digolongkan sebagai pangan yang memiliki beban
glikemik rendah (Tabel 17).

Tabel 17. Beban Glikemik Produk Cake dan Brownies


Indeks Karbohidrat per Beban
Klasifikasi
Jenis kue Glikemik Glikemik
Takaran Saji (g) BG
(IG) (BG)
Cake 30 11,86 4 rendah
Brownies 28 13,91 4 rendah
Keterangan : BG = IG x karbohidrat per takaran saji
100
Klasifikasi BG: rendah (< 10); sedang (11-19); tinggi (>20)

77
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pada penelitian pendahuluan, dihasilkan tepung ubi jalar klon unggul


BB00105.10 dengan rendemen sebesar 28,46%. Berdasarkan uji organoleptik
produk olahan, terpilih produk cookies formula 6 (tepung 100% dan gula
45%), cake formula 6 (tepung 100% dan gula 80%) dan brownies formula 6
(tepung 100% dan gula 100%).
Produk ubi jalar memiliki kadar serat yang tinggi sehingga dapat
diklaim sebagai pangan fungsional sumber serat. Nilai IG cake dan brownies
ubi jalar masing-masing sebesar 30 ± 13 dan 28 ± 9. Dengan nilai IG tersebut,
cake dan brownies digolongkan sebagai pangan yang memiliki nilai indeks
glikemik rendah (<55), sehingga dapat diklaim sebagai pangan fungsional
antidiabetes. Nilai beban glikemik cake dan brownies sebesar 4 dan
digolongkan sebagai pangan yang memiliki beban glikemik rendah.

B. Saran

Produk cookies, cake dan brownies ubi jalar merupakan produk pangan
fungsional yang dapat diterapkan di industri. Oleh karena itu perlu penelitian
lebih lanjut terutama dalam hal:
1. Analisis biaya dalam pembuatan produk dan scale up.
2. Pendugaan umur simpan produk.
3. Pemilihan bahan pengemas yang sesuai dan desain pengemas yang
menarik sehingga dapat meningkatkan daya tarik produk.
4. Sosialisasi produk cookies, cake dan brownies ubi jalar sebagai pangan
fungsional sumber serat dan antidiabetes.
5. Perbaikan formula cookies sehingga SNI cookies dapat dipenuhi.
6. Penelitian serupa untuk produk olahan panggang lainnya, misalnya roti.
DAFTAR PUSTAKA

Ainah, N. 2004. Karakterisasi Sifat Fisik dan Kimia Tepung Biji Bunga Teratai
Putih (Nymphae pubescens Willd) dan Aplikasinya pada Pembuatan Roti.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta.

Anwar, F., B. Setiawan dan A. Sulaeman. 1993. Studi Karakteristik Fisiko Kimia
Dan Fungsional Pati dan Tepung Ubi Jalar serta Pemanfaatannya dalam
Rangka Diversifikasi Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical


Chemist, Washington DC.

Arkray, Inc. 2001. Instruction Manual for Glucometer. Arkray Corp, Kyoto.

Asp, N-G., C-G. Johanson, H. Halmer, dan M. Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic
assay of insoluble and soluble dietary fiber. J. Agric. Food. Chem. (31):
476-482.

Astawan, M. dan S. Widowati. 2006. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik
Ubi Jalar sebagai Dasar Pengembangan Pangan Fungsional. Laporan
Penelitian RUSNAS, Bogor.

Badan POM. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK 00.05.52.0685. Di dalam: http://www.
pom.go.id [28 April 2006]

Badan Standardisasi Nasional. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit (SNI No. 01-
2973-1992). Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Bhattacharya, K. R. 1979. Gelatinization Temperature of Rice Starch and Its


Determination. Di dalam: Proceedings of The Workshop on Chemical
Aspects of Rice Grain Quality. IRRI, Los Banos. pp 232-247.

Brand J. C., Nicholson, P. L., Thorburn A. W., dan A. S. Truswel. 1985. Food
processing and the glycemic index. Am. J. Clin. Nutr. 42: 1192-1196.

Brand-Miller, J. 2000. Carbohydrates. Di dalam: Mann, J. dan A. S. Truswell


(Eds.). Essentials of Human Nutrition, 2nd Ed. Oxford University Press,
Oxford, pp. 231-255.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wotton. 1987. Ilmu Pangan.


Diterjemahkan oleh: H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta.

Budijanto, S. , N. Andarwulan, D. Herawati. 2000. Modul Praktikum Kimia dan


Teknologi Lipida. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Clydesdale, F.M. 1999. ILSI North America food component reports. Crit. Rev.
Food Sci. Nutr. 39 (3): 203-316.

Damardjati, D. S. 2003. Penelitian dan Potensi Bahan serta Produk untuk


Kesehatan dan Kebugaran. Makalah Seminar. Seminar Keseimbangan
Flora Usus bagi Kesehatan dan Kebugaran, Bogor.

Daniel, A. R. 1978. Bakery Materials and Methods. 4th Edition. Applied Science
Pub. Ltd., London.

deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh: Kosasih


Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung.

Dignos, R. L., Cerna, P. F., dan V. D. Truong. 1992. Beta-carotene content of


sweet potato and its processed products. ASEAN Food Journal Vol. 7. No
3: 163-166.

Direktorat Tanaman Hortikultura. 2003. Perkembangan Luas Panen, Rata-rata


Hasil dan Produksi Ubi Jalar di Indonesia. Di dalam: http://database1.
deptan.go.id. [27 Juli 2005]

Djuanda, V. 2003. Optimasi Formulasi Cookies Ubi Jalar (Ipomea batatas)


Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB, Bogor.

El, S.N. 1999. Determination of glycemic index for some breads. Journal of Food
Chemistry. 67 : 67 – 69

Fellows, P. J. 2000. Food Processing Technology, Principle and Practice. 2nd Ed.
CRC Press, England.

Fernandes, G., Velangi, A. dan T. M. S. Wolever. 1997. Glycemic index of


potatoes commonly consumed in North America. J. Am. Diet. Assoc.
(105): 557-562.

Foster-Powell, K., S. H. A. Holt and J. C. Brand-Miller. 2002. International table


of glycemic index and glycemic load values. Am. J. Clin. Nutr. 76: 5-56

Friska, T. 2002. Penambahan Sayur Bayam (Amaranthus tricolor L.), Sawi


(Brassica juicea L.) dan wortel (Daucus carota L.) pada Pembuatan
Crackers Tinggi Serat Makanan. Skripsi. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor

Greenwood, C.T. 1989. Observation on the Structur of the starch granule. Di


dalam: J. M. V. Blanshard dan J.R. Mitchel (Eds.). Polysacharides in
Food. Butters Works, London.

IFIC Foundation. 1998. Backgrounder: Functional Foods. International Food


Information Council Foundation, Washington DC.

80
Indrasti, D. 2004. Pemanfaatan Tepung Talas Belitung (Xanthosoma
sagittifolium) dalam Pembuatan Cookies. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB, Bogor.

Irfansyah. 2001. Karakterisasi Fisiko-Kimia dan Fungsional Tepung Ubi Jalar


(Ipomoea batatas L.) serta Pemanfaatannya untuk Pembuatan Kerupuk.
Tesis. Program Pascasarjana, IPB, Bogor.

Juliano, B. O. 1971. A simplified assay for milled rice amylose measurement.


Journal of Cereal Science Today. 16: 334-336

Kadarisman, D., dan A. Sulaeman. 1993. Teknologi Pengolahan Ubi Kayu dan
Ubi Jalar. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap perubahan
perilaku fisik bahan pangan lokal: Kerapatan tumpukan, kerapatan
pemadatan dan bobot jenis. Media Peternakan Vol. 22 No. 1: 1-11.

Larmond. 1976. The Texture Profile. Di dalam: deMan, J. M, Voiseyu, P. W.,


Rasper, V. F. dan D. W. Stanley. Rheology and Texture in Food Quality.
The AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut.

Manley, D. J. R. 1983. Technology of Biscuits, Cracers, adn Cookies. Ellis


Horwood Limited, Chicester.

Matz, S. A. 1992. Bakery Technology and Engineering 3rd Ed. Pan-tech


International Inc., Texas.

------- dan T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publ.
Co. Inc., Westport, Connecticut.

Meilgaard, M., G. V. Civille, dan B. T. Carr. 1999. Sensory Evaluation


Techniques 3rd Ed. CRC Press, Boca Raton.

Muchtadi, D. 2001. Sayuran sebagai sumber serat pangan untuk mencegah


timbulnya penyakit degeneratif. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 12:
61-71.

-------, N. S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi
dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi, IPB, Bogor.

------- dan I. G. Sumartha. 1992. Formulasi dan Evaluasi Mutu Makanan Anak
Balita dari Bahan Dasar Tepung Singkong dan Pisang. Laporan Penelitian.
PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Mulyandari, S. H. 1992. Kajian Perbandingan Sifat-sifat Pati Umbi-umbian dan


Pati Biji-bijian. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Ningrum, E. N. 1999. Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Ubi Jalar Kaya


Vitamin A. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

81
Ostman EM, Elmstahl HGML, Bjorck IME. 2001. Inconsystency bertween
glycemic and insulinemic responses to regular and fermented milk
products. Am. J. Nutr. 74 (1): 96-100

Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic Press,


Inc., New York.

------- dan C. E. Meloan. 1994. Food Analysis, Theory and Practice. Chapman and
Hall, New York.

------- dan Shellenberger. 1971. Bread Science and Technology. The AVI Publ.
Co. Inc., Westport, Connecticut.

Prosky, L dan J.W. Vries. 1992. Controlling Dietary Fiber in Food Product. Van
Nostrad Reinhold, New York.

Ragnhild, A.L., Asp, N.L., Axelsen, M and Rben, A. 2004. Glycemix index:
Relevance for health, dietary recommendations and nutritional labelling.
Scandinavian Journal of Nutrition. 482: 84-94.

Rahayu, W. P. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan


Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Rahmi, E. 2004. Pengaruh Perubahan Suhu Oven terhadap Mutu Produk Biskuit
Kelapa di PT. Mayora Indah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB,
Bogor.

Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih
Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rukmana. 1997. Ubi Jalar, Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius, Yogyakarta.

Ruslim, E. 1993. Mempelajari Sifat Fisikokimia dan Daya Cerna Produk Ekstrusi
dari Campuran Beras, Kedelai dan Biji Nangka. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Sarwono, B. 2005. Ubi Jalar: Cara Budi Daya yang Tepat, Efisien dan Ekonomis.
Penebar Swadaya, Jakarta.

Soekarto, S. T. 1990. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil


Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara, Jakarta.

Stauffer, C. E. 1990. Functional Additives For Bakery Foods. AVI Book, New
York.

Subarna. 1996. Formulasi Produk-produk Serealia dan Umbi-umbian Untuk


Produk Ekstrusi, Bakery, dan Penggorengan. Makalah. Pelatihan Produk-
produk Olahan, Ekstrusi, Bakery, dan Frying, Jakarta.

82
Suismono, 2001. Teknologi pembuatan tepung dan pati ubi-ubian untuk
menunjang ketahanan pangan. Di dalam: Majalah Pangan Vol. X No. 37:
37-49. Puslitbang Bulog, Jakarta.

Sulistiyo, C. N. 2006. Pengembangan Brownies Kukus Tepung Ubi Jalar


(Ipomoea Batatas L.) di PT. Fits Mandiri Bogor. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pangan


dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Swinkels, J. J. M. 1985. Sources of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam:


Van Beynum, G. M. A. dan J. A. Roels (Eds.). Starch Conversion
Technology. Chapman and Hall, London.

Tharanathan, R. N. dan S. Mahadevamma. 2003. Grain legumes a boon to human


nutrition. Trends in Food Science and Technology. Vol. 14 (12): 507-518.

Tjokroprawiro, A. 2003. Diabetes Melitus: Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi.


Edisi ketiga. PT. Gramedia. Pustaka Utama, Jakarta

Truswell, A.S. 1992. Glycemix index of food. Eur. J. Clin. Nutr. 46 (2): 91-101

U.S. Wheat Associates. 1983. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Djambatan,
Jakarta.

Whiteley, P. R. 1971. Biscuit Manufacture: Fundamentals of In-line Production.


Applied Science Publishers Ltd., London.

Widodo, Y. dan E. Ginting. 2004. Ubijalar Berkadar Beta Karoten Tinggi sebagai
Sumber Vitamin A. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian, Malang.

Widowati, S., Suismono, Suarni, Sutrisno, dan O. Komalasari. 2002. Petunjuk


Teknis Proses Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber
Karbohidrat Lokal. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian, Jakarta.

Willett, W., Manson, J. and Liu, S. 2002. Glycemic index, glycemic load and risk
of type 2 diabetes. Am. J. Clin. Nutr . 76(1):274S-280S

Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Woolfe, J. A. 1999. Sweet Potato an Untapped Food Resource. Chapman and


Hall, New York.

83
Lampiran 1. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10

No. Jenis Analisis Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan


1. Densitas kamba (g/ml) 0,474 0,491 0,482
2. Densitas padat (g/ml) 0,644 0,649 0,647
3. Kelarutan dalam air (%) 20,51 18,90 19,71
Suhu gelatinisasi (°C) 75,0 75,6 75,3
Waktu gelatinisasi (menit) 30,0 30,4 30,2
4. Suhu gelatinisasi puncak (°C) 93,0 94,2 93,6
Waktu gelatinisasi puncak (menit) 42,0 42,8 42,4
Viskositas (BU) 540 530 535
Warna : L 63,70 63,29 63,50
a (+) 5,72 (+) 5,29 (+) 5,50
5.
b (+) 7,26 (+) 7,55 (+) 7,40
h° (hue) 51,9 55,1 53,5
aw 0,372 0,329 0,350
6.
Suhu (°C) 29,4 29,9 29,6
7. Kadar air (% bb) 6,04 5,22 5,63
8. Kadar abu (% bb) 1,94 1,78 1,86
9. Kadar protein (% bb) 1,77 1,95 1,86
10. Kadar lemak (% bb) 0,95 0,98 0,96
11. Kadar karbohidrat (% bb) 89,3 90,07 89,69

84
Lampiran 2. Hasil Pengukuran Sifat Amilograf

Viskositas
puncak

Suhu dan waktu Suhu dan waktu


gelatinisasi gelatinisasi puncak

Ulangan 1

Viskositas
puncak

Suhu dan waktu Suhu dan waktu


gelatinisasi gelatinisasi puncak

Ulangan 2

85
Lampiran 3. Lembar Penilaian Uji Organoleptik

FORM UJI HEDONIK

Produk :
Nama panelis : Telp/HP :

KUESIONER*

1. Apakah Anda pernah mengkonsumsi produk ini? Pernah (lanjutkan ke nomor 2) / tidak pernah (jangan
lanjutkan)
2. Kapan Anda terakhir mengkonsumsi produk ini? 1/ 2-3/ >3 bulan yang lalu
3. Apakah Anda menyukai produk ini? Ya/tidak
*) Coret yang tidak perlu

UJI RATING
Instruksi :
1. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan.
2. Pada kolom respon, berikan penilaian Anda berdasarkan tingkat kesukaan dengan memberikan check list (√).
3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel.
4. Jangan membandingkan tingkat kesukaan antar sampel.
5. Setelah selesai berikan komentar Anda dalam ruang yang disediakan.

Kode sampel
Respon
372 374 799 461 276 486
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka

Komentar : __________________________________________________________
__________________________________________________________
__________________________________________________________

UJI RANKING
Instruksi :
1. Jangan lupa netralkan lidah anda sebelum mencicipi sampel.
2. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan.
3. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel.
4. Bandingkanlah tingkat kesukaan Anda terhadap setiap sampel.
5. Urutkan ranking sampel berdasarkan tingkat kesukaan Anda, jangan ada angka ranking yang sama.

Kode Sampel 372 374 799 461 276 486


Urutan ranking

Note : Urutan Ranking (1-6)


Ranking 1 (untuk sampel yang paling Anda sukai),
Ranking 6 (untuk sampel yang paling tidak Anda sukai)

Komentar : Apa Alasan Anda Memilih?


______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________

☺ Terima kasih ☺
86
Lampiran 4. Hasil Penilaian Organoleptik Cookies Ubi Jalar
Hedonik Ranking
Panelis
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F1 F2 F3 F4 F5 F6
1 4 6 3 6 5 7 5 3 6 2 4 1
2 5 5 5 4 4 4 2 3 1 4 6 5
3 5 3 6 4 4 4 2 5 1 4 6 3
4 6 5 6 5 5 5 2 4 1 5 6 3
5 5 3 4 4 4 3 1 5 2 3 4 6
6 4 5 6 6 4 6 5 4 3 1 6 2
7 3 5 3 3 6 3 3 2 4 6 1 5
8 6 5 7 6 5 5 2 4 1 3 6 5
9 6 3 5 6 5 4 1 6 3 2 4 5
10 3 6 5 4 4 6 6 2 3 4 5 1
11 6 5 7 7 6 7 5 4 2 3 6 1
12 2 3 6 6 4 6 6 5 1 2 4 3
13 5 6 5 7 5 7 5 3 4 1 6 2
14 5 6 6 5 3 3 3 1 2 4 6 5
15 5 5 4 3 2 4 1 2 3 5 6 4
16 6 7 5 4 5 6 3 1 4 6 5 2
17 5 6 5 7 4 6 4 3 5 1 6 2
18 7 4 6 4 6 6 1 5 4 6 3 2
19 5 6 5 6 6 6 6 4 5 2 1 3
20 5 6 6 6 5 6 5 4 2 3 6 1
21 3 5 5 6 4 5 6 4 3 1 5 2
22 6 6 6 6 5 7 5 4 2 3 6 1
23 6 6 7 5 5 6 3 4 1 6 5 2
24 4 5 3 4 5 6 5 6 3 2 4 1
25 4 5 4 5 5 6 6 3 4 5 2 1
26 3 6 4 6 3 7 5 3 4 2 6 1
27 6 6 6 7 7 5 3 2 1 4 5 6
28 6 6 6 5 6 6 5 1 4 6 3 2
29 7 7 5 7 5 6 3 2 5 1 6 4
30 5 6 6 6 5 7 6 3 4 1 5 2
Jumlah 148 158 157 160 142 165 115 102 88 98 144 83
Rata-rata 4,93 5,27 5,23 5,33 4,73 5,50 3,83 3,40 2,93 3,27 4,80 2,77

Keterangan:
Sampel: F1 = Formula 1; F2 = Formula 2; F3 = Formula 3; F4 = Formula 4; F5 = Formula 5;
dan F6 = Formula 6.
Uji hedonik: 7 = sangat suka, 6 = suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 = agak tidak suka, 2 =
tidak suka, 1 = sangat tidak suka
Uji ranking: 1 = produk yang paling disukai; 6 = produk yang paling tidak disukai
87
Lampiran 5. Hasil Penilaian Organoleptik Cake Ubi Jalar
Hedonik Ranking
Panelis
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F1 F2 F3 F4 F5 F6
1 5 6 4 6 4 7 4 2 5 3 6 1
2 6 5 7 5 6 6 4 6 1 5 3 2
3 5 5 4 6 5 6 3 4 6 1 5 2
4 4 5 5 4 5 5 6 4 1 5 2 3
5 6 5 5 7 6 7 4 6 5 2 3 1
6 6 6 6 5 3 4 3 1 2 4 6 5
7 5 5 5 4 6 4 4 3 2 6 1 5
8 5 5 6 6 6 6 5 6 4 3 1 2
9 6 6 6 5 7 6 2 5 3 6 1 4
10 4 4 4 5 6 5 5 4 6 2 1 3
11 6 5 5 6 5 6 2 4 5 1 6 3
12 4 4 4 4 4 4 2 4 5 1 3 6
13 2 3 5 4 6 1 2 3 5 4 6 1
14 4 6 5 6 4 6 5 1 4 3 6 2
15 5 6 6 6 6 6 6 1 3 4 5 2
16 6 6 6 6 6 7 3 5 2 4 6 1
17 6 6 6 7 6 7 6 3 5 2 4 1
18 7 6 5 6 6 6 1 3 6 4 5 2
19 5 5 5 4 5 6 4 2 3 6 5 1
20 5 6 4 5 4 5 4 1 5 3 6 2
21 6 4 6 5 4 5 1 5 2 3 6 4
22 6 6 6 6 6 5 5 1 2 4 3 6
23 6 5 5 5 5 5 1 6 3 2 5 4
24 7 6 5 7 5 6 1 4 5 2 6 3
25 4 5 2 5 2 4 1 5 4 2 6 3
26 5 6 5 6 4 5 4 1 5 2 6 3
27 3 4 4 5 3 2 4 3 2 1 5 6
28 5 7 4 6 2 7 4 2 5 3 6 1
29 5 3 5 4 5 4 1 6 3 4 2 5
30 6 5 5 5 5 6 2 4 5 3 6 1
Jumlah 155 156 150 161 147 159 99 105 114 95 132 85
Rata-rata 5,17 5,20 5,00 5,37 4,90 5,30 3,30 3,50 3,80 3,17 4,40 2,83

Keterangan:
Sampel: F1 = Formula 1; F2 = Formula 2; F3 = Formula 3; F4 = Formula 4; F5 = Formula 5;
dan F6 = Formula 6.
Uji hedonik: 7 = sangat suka, 6 = suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 = agak tidak suka, 2 =
tidak suka, 1 = sangat tidak suka
Uji ranking: 1 = produk yang paling disukai; 6 = produk yang paling tidak disukai
88
Lampiran 6. Hasil Penilaian Organoleptik Brownies Ubi Jalar
Hedonik Ranking
Panelis
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F1 F2 F3 F4 F5 F6
1 6 7 7 6 4 5 4 3 1 2 5 6
2 3 4 3 5 4 6 6 3 5 2 4 1
3 5 6 6 6 6 6 6 5 3 2 4 1
4 3 6 5 6 2 6 4 2 5 3 6 1
5 3 6 7 6 5 7 6 4 1 3 5 2
6 5 6 5 6 5 6 5 3 4 2 6 1
7 3 4 4 5 6 6 6 5 4 3 1 2
8 2 4 3 3 5 5 6 3 4 5 2 1
9 3 5 3 3 3 6 4 2 6 3 5 1
10 6 5 6 6 5 6 4 5 1 2 6 3
11 4 4 4 4 4 4 4 1 2 5 6 3
12 7 6 7 7 7 6 4 5 1 2 3 6
13 5 5 5 6 6 6 6 5 4 3 1 2
14 4 5 6 4 5 6 6 3 1 5 4 2
15 2 4 6 3 5 3 6 3 1 5 2 4
16 4 4 5 5 4 3 3 4 1 2 5 6
17 5 5 5 5 5 6 4 6 5 2 3 1
18 5 5 6 6 6 6 6 5 1 2 3 4
19 5 6 7 6 5 5 5 2 1 3 6 4
20 5 5 6 6 6 6 6 5 2 4 3 1
21 5 6 6 6 4 5 5 3 2 1 6 4
22 6 6 5 7 4 7 4 3 5 2 6 1
23 5 5 5 6 6 6 5 4 6 1 3 2
24 5 2 5 3 2 6 4 5 2 3 6 1
25 6 5 6 6 5 6 4 6 2 1 5 3
26 4 4 6 5 5 7 6 5 2 3 4 1
27 6 6 6 7 5 7 4 5 3 2 6 1
28 4 4 4 5 5 5 5 6 4 2 3 1
29 5 6 5 6 2 3 3 5 4 1 6 2
30 6 4 6 6 5 7 4 6 3 2 5 1
Jumlah 137 150 160 161 141 169 145 122 86 78 130 69
Rata-rata 4,57 5,00 5,33 5,37 4,70 5,63 4,83 4,07 2,87 2,60 4,33 2,30

Keterangan:
Sampel: F1 = Formula 1; F2 = Formula 2; F3 = Formula 3; F4 = Formula 4; F5 = Formula 5;
dan F6 = Formula 6.
Uji hedonik: 7 = sangat suka, 6 = suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 = agak tidak suka, 2 =
tidak suka, 1 = sangat tidak suka
Uji ranking: 1 = produk yang paling disukai; 6 = produk yang paling tidak disukai
89
Lampiran 7. Hasil Analisis Statistik Uji Hedonik Cookies Ubi Jalar

1. Rating
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 4909.200a 35 140.263 138.543 .000
PANELIS 92.333 29 3.184 3.145 .000
SAMPEL 11.867 5 2.373 2.344 .044
Error 146.800 145 1.012
Total 5056.000 180
a. R Squared = .971 (Adjusted R Squared = .964)

Hasil Uji Duncan


SKOR
a,b
Duncan
Subset
SAMPEL N 1 2
5 30 4.73
1 30 4.93 4.93
3 30 5.23 5.23
2 30 5.27 5.27
4 30 5.33
6 30 5.50
Sig. .062 .052
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1.012.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
b. Alpha = .05.

2. Ranking
Ranks

Mean Rank
SKOR_1 3.83
SKOR_2 3.40
SKOR_3 2.93
SKOR_4 3.27
SKOR_5 4.80
SKOR_6 2.77

Test Statisticsa
N 30
Chi-Square 21.274
df 5
Asymp. Sig. .001
a. Friedman Test

90
Lampiran 8. Hasil Analisis Statistik Uji Hedonik Cake Ubi Jalar

1. Rating
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 4894.378a 35 139.839 175.370 .000
PANELIS 105.311 29 3.631 4.554 .000
SAMPEL 4.711 5 .942 1.182 .321
Error 115.622 145 .797
Total 5010.000 180
a. R Squared = .977 (Adjusted R Squared = .971)

2. Ranking
Ranks

Mean Rank
SKOR_1 3.30
SKOR_2 3.50
SKOR_3 3.80
SKOR_4 3.17
SKOR_5 4.40
SKOR_6 2.83

Test Statisticsa
N 30
Chi-Square 12.819
df 5
Asymp. Sig. .025
a. Friedman Test

91
Lampiran 9. Hasil Analisis Statistik Uji Hedonik Brownies Ubi Jalar

1. Rating
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 4821.267a 35 137.750 157.605 .000
PANELIS 113.533 29 3.915 4.479 .000
SAMPEL 25.933 5 5.187 5.934 .000
Error 126.733 145 .874
Total 4948.000 180
a. R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .968)

Hasil Uji Duncan


SKOR
a,b
Duncan
Subset
SAMPEL N 1 2 3
1 30 4.57
5 30 4.70
2 30 5.00 5.00
3 30 5.33 5.33
4 30 5.37 5.37
6 30 5.63
Sig. .092 .154 .245
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .874.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
b. Alpha = .05.

2. Ranking
Ranks

Mean Rank
SKOR_1 4.83
SKOR_2 4.07
SKOR_3 2.87
SKOR_4 2.60
SKOR_5 4.33
SKOR_6 2.30

Test Statisticsa
N 30
Chi-Square 46.667
df 5
Asymp. Sig. .000
a. Friedman Test

92
Lampiran 10. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Formula Terbaik

Cookies Cake Brownies


Jenis Analisis
1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan
Rendemen (%) 89,79 89,07 89,43 96,36 96,17 96,27 95,67 95,50 95,58
Kekerasan (gf) 1981,9 1893,4 1937,6 653,1 604,8 628,9 1473,6 1273,9 1373,7
Air (% bb) 2,99 2,47 2,73 24,69 24,77 24,73 20,75 17,29 19,02
Abu (% bb) 2,94 2,96 2,95 1,31 1,66 1,49 1,84 1,93 1,89
Protein (% bb) 4,27 3,91 4,09 6,34 5,77 6,05 5,54 5,32 5,43
Lemak (% bb) 31,14 29,24 30,19 18,99 21,64 20,31 22,37 21,9 22,14
Karbohidrat
58,66 61,42 60,04 48,67 46,16 47,42 49,5 53,56 51,52
(% bb)
Daya cerna
56,45 53,68 55,07 26,76 26,35 26,56 16,76 19,82 18,29
pati (%)
Amilosa (%) 14,20 12,28 13,24 11,52 9,73 10,62 7,67 6,78 7,22
Total serat
5,74 6,02 5,88 7,25 7,11 7,18 5,51 5,48 5,50
pangan (% bb)
Serat pangan
2,94 3,14 3,04 3,74 3,73 3,73 3,24 3,24 3,24
larut (% bb)
Serat pangan
2,80 2,88 2,84 3,51 3,39 3,45 2,27 2,24 2,26
tak larut (% bb)

93
Lampiran 11. Indeks Glikemik Produk Cake dan Brownies

Cake

Glukosa Cake
Indeks
Panelis Waktu Waktu
Luas Luas Glikemik
0 30 60 90 120 0 30 60 90 120
1 94 140 87 94 86 1288 88 147 142 83 63 3309 39
2 90 113 89 90 102 856,2 92 168 174 118 90 5487,5 16
3 86 119 90 96 85 1396,5 86 138 165 160 96 6300 22
4 92 117 88 92 85 698,75 84 138 109 65 76 2207,5 32
5 83 99 101 93 98 1545 89 119 134 121 101 3390 46
6 94 104 108 99 96 900 83 153 113 127 113 4770 19
7 83 100 86 82 88 651,25 85 133 123 93 90 2895 22
8 92 123 124 122 105 2985 86 185 147 116 119 6195 48
Indeks Glikemik Rata-rata 30 + 13

Brownies

Glukosa Brownies
Indeks
Panelis Waktu Waktu
Luas Luas Glikemik
0 30 60 90 120 0 30 60 90 120
1 88 109 98 95 86 1115,5 94 144 133 105 74 2890 39
2 89 94 87 96 99 465,05 89 109 136 117 122 3345 14
3 78 94 97 105 100 2190 82 166 164 136 97 6825 32
4 86 103 83 92 86 621,75 79 128 109 107 94 3435 18
5 88 106 93 94 92 930 90 133 131 123 100 3660 25
6 84 120 99 90 104 2010 90 149 149 123 117 4935 41
7 87 98 101 106 106 1605 87 146 161 159 123 6690 24
8 89 97 99 97 96 885 82 122 115 101 94 2940 30
Indeks Glikemik Rata-rata 28 + 9

94

Anda mungkin juga menyukai