SKRIPSI
ELIH DALILAH
OLEH :
ELIH DALILAH
D14202052
Dekan
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Agustus 1984 di Bogor, Jawa Barat. Penulis
adalah anak ke dua dari sembilan bersaudara dari pasangan Bapak H. Abdul Kohar
dan Ibu Hj. Basiroh.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Pondok Rumput II,
pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTPN 8
Bogor, dan pendidikan menengah lanjutan atas diselesaikan tahun 2002 di SMUN 2
Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Ilmu Produksi Ternak
dengan Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi (UMPTN) pada Tahun
2002.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Himpunan Profesi (HIMPRO),
Dewan Perwakilan Mahasiswa, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan
BPH Asrama Putri Darmaga (2003-2004). Penulis mendapatkan beasiswa selama
pendidikan di IPB. Beasiswa tersebut terdiri atas, Beasiswa Kerja Mahasiswa (BKM)
periode 2002-2003, beasiswa Student Equity 2003-2006, beasiswa Yayasan Al-
Munawaroh 2003-2006.
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .............................................................................................. i
ABSTRAK ................................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
DAFTAR ISI.................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................. 1
Tujuan .............................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3
Protein ................................................................................................ 3
Daging sapi ........................................................................................ 3
Teknik Pengolahan ............................................................................ 5
Produk Olahan Daging Sapi .............................................................. 8
Bakso ..................................................................................... 8
Sosis ....................................................................................... 9
Dendeng ................................................................................. 10
Abon ...................................................................................... 12
Daging Panggang ................................................................... 14
Bahan Tambahan dan Bumbu ............................................................ 14
Bahan Pengisi ........................................................................ 14
Santan..................................................................................... 15
Minyak ................................................................................... 15
Bumbu-bumbu ....................................................................... 15
Reaksi Protein pada Proses Pengolahan ............................................ 17
Denaturasi Protein.................................................................. 17
Koagulasi Protein ................................................................... 18
Rasemisasi ............................................................................. 18
Pembentukan Lisinoalanin dan Lantionin ............................. 19
Reaksi Maillard ...................................................................... 19
Analisis Protein .................................................................................. 20
Protein Kasar.......................................................................... 20
Daya Cerna ............................................................................ 20
Elektroforesis ......................................................................... 21
Nomor Halaman
1. Komposisi Gizi Daging Ayam, Sapi, Kambing dan Babi .................. 4
2. Komposisi Asam Amino Esensial Daging Sapi .................................... 4
3. Jenis Protein dalam Daging dan Berat Molekulnya ............................. 6
4. Kandungan Nutrisi Bakso ..................................................................... 9
5. Kandungan Nutrisi Sosis ...................................................................... 10
6. Syarat Mutu Dendeng ............................................................................ 12
7. Kandungan Nutrisi Abon ....................................................................... 14
8. Konsentrasi Total Akrilamid dan Berat Molekul Protein ...................... 23
9. Komposisi Gel Pemisah dan Gel Penahan pada Elektroforesis ............ 25
10. Kadar Protein Kasar, Daya Cerna Protein Secara In Vitro dan Kadar
Protein Tercerna pada Daging Sapi Segar dan Produk Olahannya ...... 31
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kurva Standar Berat Molekul Rendah (Low Molecular Weight)...... 30
2. Hasil Analisis Elektroforesis pada Daging Sapi Segar .................... 40
dan Olahannya
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Metode Silver Staining ..................................................................... 52
2. Kadar Air Daging Segar dan Produk Olahannya ............................... 53
3. Kadar Protein Kasar Daging Segar dan Produk Olahannya .............. 53
4. Gambar Hasil Elektroforesis Dendeng, Sosis Sapi dan Marker ........ 54
5. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Dendeng dan Sosis
Sapi .................................................................................................... 54
6. Gambar Hasil Elektroforesis Bakso Sapi dan Marker ....................... 55
7. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Bakso .................... 55
8. Gambar Hasil Elektroforesis Abon Sapi dan Marker ........................ 56
9. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Abon ..................... 56
10. Gambar Hasil Elektroforesis Daging Segar dan Marker ................... 57
11. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Daging Segar ........ 57
12. Gambar Hasil Elektroforesis Daging Panggang dan Marker ............ 58
13. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Daging
Panggang ............................................................................................ 58
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu nutrien yang sangat penting untuk tubuh adalah protein yang
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein juga dapat berfungsi sebagai
sumber energi jika karbohidrat dan lemak tidak tersedia lagi. Protein secara umum di
bagi menjadi protein hewani dan protein nabati. Protein hewani memiliki
keistimewaan bila dibandingkan dengan protein nabati, karena protein hewani lebih
kompleks susunan asam aminonya.
Daging merupakan sumber nutrisi yang berkualitas bagi manusia terutama
sebagai sumber protein. Selain kandungan proteinnya yang tinggi, juga memiliki
kualitas yang tinggi. Kualitas protein dapat dilihat dari komposisi asam amino
penyusun dan daya cerna protein yang menentukan ketersediaan asam amino secara
biologis. Daging adalah salah satu hasil ternak yang dapat diolah dengan berbagai
macam teknik pengolahan. Daging dapat diolah dengan cara dimasak, digoreng,
dipanggang, disate, diasap atau diolah menjadi produk seperti sosis, bakso, abon dan
dendeng serta daging panggang.
Pengolahan bahan makanan dilakukan dengan berbagai tujuan, diantaranya
meningkatkan nilai tambah, memperpanjang masa simpan, meningkatkan nilai gizi,
meningkatkan penerimaan terhadap produk dan menganekaragamkan produk olahan
pangan. Selain memenuhi tujuan-tujuan tersebut, proses pengolahan dan pemasakan
pun dapat meningkatkan daya cerna protein, akan tetapi di satu sisi dapat pula
menurunkan nilai gizi proteinnya. Peningkatan daya cerna protein pada proses
pemasakan dapat terjadi sebagai akibat terdenaturasinya protein dan inaktivasi
senyawa-senyawa antinutrisi.
Penurunan nilai gizi suatu protein dapat disebabkan oleh perlakuan suhu yang
tidak terkontrol yang dapat merusak asam-asam amino bahan pangan hasil ternak.
Keanekaragaman teknik pengolahan daging yang semakin modern harus tetap
mempertimbangkan bagaimana mempertahankan nilai gizi, khususnya protein. Hal
ini mengingat pentingnya daging sebagai sumber protein hewani dan harga bahan
sumber protein yang relatif lebih mahal.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut maka sangat diperlukan
suatu penelitian tentang pengaruh berbagai teknik pengolahan terhadap nilai gizi
protein daging. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi bagaimana
nilai gizi protein daging akibat teknik pengolahan yang berbeda, sehingga hasil
penelitian ini dapat dijadikan suatu acuan untuk memilih cara pengolahan yang tepat
agar gizi produk tetap dapat dipertahankan. Selain itu konsumen dapat memilih
produk yang tepat guna, dan memacu produsen atau peneliti dapat menciptakan suatu
teknik pengolahan yang tepat dan efisien yang dapat mempertahankan nilai gizinya,
baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari nilai gizi protein
produk olahan daging yang meliputi kadar dan kecernaan protein, serta
karakteristiknya melalui elektroforesis.
TINJAUAN PUSTAKA
Protein
Protein memiliki arti pertama atau utama. Protein merupakan makro
molekul yang berlimpah di dalam sel dan menyusun lebih dari setengah berat kering
yang hampir pada semua organisme (Lehninger, 1998). Molekul protein terutama
tersusun oleh atom karbon (51,0-55,0%), hidrogen (6,5-7,3%), oksigen (21,5-23,5%),
nitrogen (15,5-18,0%) dan sebagian besar mengandung sulfur (0,5-2,0%) dan fosfor
(0,0-1,5%) (Anggorodi, 1979). Kegunaan utama protein bagi tubuh adalah sebagai
zat pembangun tubuh, sebagai zat pengatur, mengganti bagian tubuh yang rusak,
serta mempertahankan tubuh dari serangan mikroba penyebab penyakit. Selain itu
protein dapat juga digunakan sebagai sumber energi (kalori) bagi tubuh, bila energi
yang berasal dari karbohidrat atau lemak tidak mencukupi (Muchtadi, 1993). Kadar
protein menentukan mutu makanan (bahan pangan). Protein dapat mengalami
kerusakan oleh panas, reaksi kimia dengan asam atau basa, guncangan dan sebab-
sebab lainnya (Muchtadi dan Sugiono, 1992).
Nilai gizi protein ditentukan oleh kandungan dan daya cerna asam-asam
amino essensial. Daya cerna akan menentukan ketersediaan asam-asam amino
tersebut secara biologis. Proses pengolahan selain dapat meningkatkan daya cerna
suatu protein, dapat pula menurunkan nilai gizinya (Muchtadi, 1989). Kebutuhan
protein setiap manusia adalah 1 g/kg berat badan yang seperempat dari kebutuhan
tersebut harus dipenuhi dari protein hewani, salah satunya adalah dari daging
(Winarno, 1980).
Daging Sapi
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1998).
Berdasarkan keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi: 1) daging segar
yang dilayukan atau tanpa pelayuan, 2) daging yang dilayukan kemudian didinginkan
(daging dingin), 3) daging yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan
(daging beku), 4) daging masak, 5) daging asap, dan 6) daging olahan (Soeparno,
1998 ).
Daging sapi merupakan daging merah yang sering dikonsumsi oleh rakyat
Indonesia. Komponen bahan kering yang terbesar dari daging adalah protein
sehingga nilai nutrisi dagingnya pun tinggi (Muchtadi dan Sugiono, 1992).
Komposisi protein daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1. Selain itu bila ditinjau dari
asam aminonya, daging memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan seimbang
hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 (Kinsman et al., 1992).
Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi dengan
radikal non protein. Berdasarkan asalnya protein dapat dibedakan dalam 3 kelompok
yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein jaringan ikat. Protein
sarkoplasma adalah protein larut air (water soluble protein) karena umumnya dapat
diekstrak oleh air dan larutan garam encer. Protein miofibril terdiri atas aktin dan
miosin, serta sejumlah kecil troponin dan aktinin. Protein ini memiliki sifat larut
dalam larutan garam (salt soluble protein). Protein jaringan ikat merupakan fraksi
protein yang tidak larut, terdiri atas protein kolagen, elastin dan retikulin (Muchtadi
dan Sugiono, 1992). Menurut De Man (1997), protein otot terdiri atas sekitar 70%
protein struktur atau protein fibril dan sekitar 30% protein larut air. Protein miofibril
mengandung sekitar 32%-38% miosin, 13%-17% aktin, 7% tropomiosin dan 6%
protein strom. Miosin merupakan protein yang paling banyak pada otot yaitu sekitar
38%. Jenis protein pada daging dan berat molekulnya disajikan pada Tabel 3.
Teknik Pengolahan
Proses pengolahan selain dapat meningkatkan daya cerna suatu protein dapat
pula menurunkan nilai gizinya. Pengolahan atau pengawetan bahan pangan
berprotein yang tidak terkontrol dengan baik dapat menurunkan nilai gizi proteinnya
karena protein merupakan senyawa yang reaktif. Protein dengan asam amino sebagai
sisi aktif dapat bereaksi dengan komponen lain seperti gula pereduksi, polifenol,
lemak, dan produk oksidasinya serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang
oksida atau hidrogen peroksida (Muchtadi, 1989).
tidak stabil (Hawab, 1999). Pemasakan daging dengan suhu 50oC menyebabkan -
aktinin, protein yang paling labil menjadi tidak larut. Miosin menjadi tidak larut pada
saat suhu pemasakan mencapai 55oC kemudian aktin menjadi tidak larut pada saat
suhu pemanasan mencapai 70-80oC. Miosin dan troponin merupakan protein yang
paling tahan panas dan menjadi insoluble pada suhu 80oC. Komponen protein dengan
berat molekul 30.000 Da jumlahnya meningkat selama pemanasan, hal ini
kemungkinan karena terjadinya aktivasi panas dari protease calsiumactivated
(Kinsman et al., 1994). Kasir (1999) menyatakan bahwa pemanasan (perebusan dan
penggorengan) yang dilakukan secara berlebihan atau waktu yang lama tanpa
penambahan karbohidrat, mengakibatkan nilai gizi protein akan berkurang karena
terbentuknya ikatan silang dalam protein. Proses pengolahan yang menggunakan
panas melibatkan transfer panas secara konduksi, konveksi dan radiasi. Pemanasan
dengan konduksi melibatkan panas secara langsung dari partikel ke partikel misalnya
transfer panas dari bagian permukaan ke bagian dalam daging tanpa melalui medium
selain produk itu sendiri. Pemanasan dengan konveksi melibatkan transfer energi
panas melalui gerakan massa partikel yang dipanaskan dalam medium seperti udara
dan air. Pemanasan radiasi adalah transfer energi panas melalui ruangan (Soeparno,
1998).
Faktor yang mempengaruhi kualitas produk daging yang diolah dengan cara
pengeringan udara panas adalah temperatur, ukuran partikel dan gerakan udara panas
(Soeparno, 1998). Memasak daging dalam oven sangat cocok untuk bagian daging
yang empuk, ketebalan tidak lebih dari dua setengah inci dan ditempatkan pada suhu
125-175oC. Suhu yang lebih rendah akan memperpanjang waktu pemasakan tetapi
akan mengurangi penyusutan daging. Suhu yang lebih tinggi (200oC) digunakan
untuk mencoklatkan daging dan mempertajam aroma pada waktu yang singkat
(Pearson dan Tauber, 1984).
Metode penggorengan ada dua cara yaitu shallow frying yang menggunakan
sedikit minyak dan deep frying yang menggunakan banyak minyak, sehingga bahan
yang digoreng terendam dalam minyak dan panasnya merata dengan suhu 150-
200oC. Cara penggorengan abon sebaiknya dilakukan secara deep frying, karena
lebih cepat matang dan merata dengan suhu minyak goreng mencapai 200-205oC.
Penggunaan minyak goreng berfungsi sebagai penambah rasa gurih, nilai gizi dan
kalori dalam bahan pangan (Wijaya et al., 1992). Menurut Winarno (1999) suhu
penggorengan yang dianjurkan adalah 177-201oC atau tergantung bahan yang di
goreng.
Pengolahan panas memang mungkin memperpanjang dan meningkatkan
ketersediaan bahan pangan untuk konsumen tetapi bahan pangan tersebut mungkin
mempunyai kadar gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan keadaan segarnya.
Penurunan kadar gizi akibat pengolahan panas dipengaruhi oleh beratnya produksi
(Karmas dan Harris, 1989). Pengolahan menunjukkan adanya kerusakan protein.
Kerusakan ini dapat diuji dengan menghitung jumlah sisa asam amino lisin atau yang
disebut juga asam amino lisin yang reaktif (Purnomo, 1997). Namun demikian,
pemanasan 100oC tidak sampai merusak molekul protein secara total (Hawab, 1999).
Produk Olahan Daging Sapi
Bakso
Bakso memegang peranan penting dalam distribusi sumber protein hewani
(daging). Pembuatan bakso dapat mereduksi kebutuhan daging karena adanya
penggunaan atau penambahan bahan pengisi atau bahan pengikat, yang umumnya
berupa tepung tapioka (Muchtadi, 1989). Namun demikian, kadar daging tidak boleh
kurang dari 50%, sesuai dengan definisi bakso menurut BSN (1995), bahwa bakso
adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran
daging lemak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan
atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan.Terbentuknya struktur yang kompak
pada bakso disebabkan adanya kemampuan daging untuk saling berikatan. Proses
pengikatan ini terjadi karena adanya panas, sebab daging segar (mentah) tidak
menunjukkan adanya kecenderungan untuk berikatan. Mekanisme pengikatan ini
melibatkan pengaturan kembali stuktur protein dan memungkinkan protein menjadi
bahan pengikat. Daya ikat protein tergantung pada jumlah protein miofibril yang
terekstrak dari partikel daging sedangkan protein yang terekstrak karena adanya
garam dan fosfat adalah miosin dan aktomiosin. Semakin luas permukaan daging
akibat penghancuran dan pengilingan maka semakin tinggi tingkat kerusakan sel
yang akan menyebabkan pelepasan cairan sel yang lebih banyak (Muchtadi, 1989).
Penggunaan panas pada pembuatan bakso (perebusan) biasa dilakukan pada
suhu 65-70oC20 menit untuk sapi. Penggunaan suhu tersebut menyebabkan protein
yang terkandung dalam daging keluar dan larut dalam air perebusan (Kasir, 1999).
Pembuatan bakso ini pun memerlukan bumbu dan rempah-rempah yang mungkin
saja mempengaruhi nilai gizi dari bakso yang dihasilkan karena bumbu dan rempah
pun mengandung sejumlah protein (Muchtadi,1989).
Menurut Afrianty (2002) pembuatan abon dengan menggunakan daging
sebanyak 250 g memerlukan 7,5 g garam dapur (3%), 50 g es batu (20%), 50 g
tepung tapioka (20%), dan Sodium tripoliposfat (STPP) 0,75 g (0,3%). Merica dan
bawang putih juga diperlukan masing-masing 0,5 g (0,2%) dan 6,5 g (2,6%).
Pembuatan bakso diawali dengan pemotongan daging menjadi bagian yang
kecil, kemudian digiling bersamaan dengan garam, es dan STPP sebanyak 3 kali
masing-masing setengah menit. Daging yang telah halus ditambahkan bumbu dan
tepung tapioka dan digiling kembali sebanyak 3 kali masing-masing setengah menit,
sampai menjadi adonan yang legit. Adonan kemudian didiamkan kurang lebih
selama 5 menit kemudian dicetak bulat-bulat. Bakso direndam dalam air bersuhu 50-
60oC selama 10 menit untuk pembentukan. Setelah 10 menit bakso direbus dalam air
bersuhu 100oC selama 15 menit (Afrianty, 2002).
Kadar protein bakso dipengaruhi oleh jumlah penambahan tepung. Semakin
tinggi penambahan tepung maka kadar protein bakso semakin menurun. Selain itu
juga dipengaruhi oleh lemak. Semakin tinggi penggunaan daging tanpa lemak maka
kandungan protein bakso semakin tinggi (Oktaviani, 2002). Kandungan nutrisi bakso
dapat dilihat pada Tabel 4.
Sosis
Sosis merupakan produk daging giling yang diberi bumbu dan dapat juga
mengalami proses curing, pemanasan, dan pengasapan (Muchtadi, 1989). Menurut
(BSN, 1995) sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging
halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan
atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan tambahan makanan lain yang diizinkan
dan dimasukkan ke dalam selubung sosis.
Menurut Ridwanto (2003) bumbubumbu yang digunakan dalam pembuatan
sosis adalah susu skim 8%, 10% minyak nabati, 25% es, 3% garam, 0,3% STPP, 1%
bawang putih, 1% merica, 0,5% pala bubuk dan 0,3% MSG. Selain ditambahkan
bumbu dalam pembuatan sosis ditambahkan pula bahan pengisi seperti tepung
tapioka sebanyak 20% bahan pengisi.
Sosis dibagi atas enam kategori yang dibedakan berdasarkan metode
pembuatannya, yaitu: 1) sosis segar, 2) sosis kering dan semi kering, 3) sosis masak,
4) sosis masak dan diasap, 5) sosis asap tidak diasap dan 6) cooked meat specialist
(Muchtadi, 1989). Pembuatan sosis secara umum adalah pencucian daging yang
dilanjutkan dengan pemotongan daging menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.
Setelah dipotong daging digiling bersama garam dan setengah bagian es selama 5
menit. Bahan pengisi, lemak dan bumbu yang telah dimixer dimasukkan ke dalam
daging giling dan digiling kembali dengan ditambahkan sisa es yang bertujuan untuk
pencampuran selama 5 menit atau sampai membentuk adonan halus. Adonan
dimasukkan kedalam selongsong, kemudian dimasak dengan cara direbus pada suhu
60oC 45 menit (Ridwanto, 2003).
Sosis merupakan salah satu contoh produk emulsi minyak dalam air. Lemak
pada sosis berfungsi sebagai fase diskontinyu dan air sebagai fase kontinyu
sedangkan protein daging yang terlarut pada sosis bertindak sebagai emulsifier.
Protein harus dilarutkan untuk membentuk emulsi yang stabil. Protein emulsifier
dalam sosis biasanya protein larut dalam garam, yaitu aktin dan miosin. Selain itu
protein yang larut dalam air dan protein jaringan ikat yang tidak larut, mempunyai
kemampuan yang sangat terbatas untuk mengemulsi lemak (Muchtadi, 1989).
Rasio kadar protein : air berperanan dalam perhitungan formula sosis, karena
akan memberi petunjuk tentang penentuan komposisi produk akhir. Komposisi
nutrisi sosis menurut (BSN, 1995) dapat dilihat pada Tabel 5. Protein daging dalam
sosis berfungsi sebagai pengikat dan emulsi. Fraksi jaringan yang berisi protein larut
garam lebih penting dari pada fraksi sarkoplasma yang berisi protein larut dalam air
(Muchtadi, 1989).
Dendeng
Dendeng merupakan produk hasil olahan pengawetan daging secara
tradisional yang secara umum dibuat dari daging sapi (Purnomo, 1997). Menurut
Winarno (1980) dendeng merupakan satu produk awetan daging yang
dikelompokkan sebagai daging curing.
Pembuatan dendeng memerlukan bumbu seperti gula merah (30%), lengkuas
(2,5%), ketumbar (2%), bawang merah (5%), bawang putih (1,5%), garam (2%), lada
(0,2%). Proses pembuatan dendeng dibagi menjadi dua, yaitu dendeng iris dan
dendeng giling. Pembuatan dendeng giling diawali dengan pembersihan daging dari
lemak dan pencucian daging, kemudian daging dipotong-potong dan digiling. Daging
yang telah halus dicuring dengan bumbu yang telah dihaluskan kemudian disimpan
selama sehari semalam. Adonan yang sudah dimalamkan dicetak dalam loyang
dengan ketebalan 3-5 mm. Dendeng dikeringkan dengan oven (60oC) sampai dengan
kadar air yang diinginkan. Dendeng yang akan digoreng direndam dalam air terlebih
dahulu (10 menit) kemudian ditiriskan (Nuraini, 2002).
Purnomo (1997) menyatakan bahwa dendeng mempunyai rasa manis
karena kadar gula yang tinggi, serta mempunyai warna coklat gelap yang disebabkan
oleh pigmen coklat atau pigmen melanoidin yang dihasilkan oleh reaksi pencoklatan
non enzimatis dan kemungkinan warna yang diakibatkan oleh adanya proses
karamelisasi selama produksi dendeng tersebut. Warna dendeng juga dipengaruhi
oleh warna gula kelapa. Penambahan gula sebanyak 30,8% dari berat daging akan
menyebabkan reaksi Maillard karena kandungan gula kelapa terdiri atas sukrosa
73%. Selain memberi warna, gula kelapa dan garam yang ditambahkan pada dendeng
berperan sebagai humektan yang dapat menurunkan kadar air dan aktivitas air
produk, serta memberi rasa pada dendeng bersama-sama dengan bumbu-bumbu lain
sehingga menimbulkan bau yang khas pada dendeng.
Karamelisasi pada suhu tinggi, oksidasi asam askorbat dan reaski Maillard
merupakan tiga jalur utama reaksi pencoklatan non enzimatis. Reaksi Maillard
merupakan penyebab reaksi pencoklatan non enzimatis yang dapat terjadi selama
pengolahan dan penyimpanan makanan kering dan setengah lembab yang
mengandung protein. Pencoklatan non enzimatis sangat dipengaruhi oleh kondisi
reaksi terutama kondisi asam amino atau protein, karbohidrat, aw, kadar air, suhu,
pH, oksigen yang tersedia, humektan yang digunakan serta rempah-rempah atau
bahan tambahan makanan yang dipergunakan (Purnomo, 1997).
Kadar air yang dikurangi pada bahan pangan mengakibatkan kandungan
protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi akan
tetapi vitaminvitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang
(Winarno, 1980). Kenaikan kadar padatan, penambahan gula dalam pembuatan
dendeng dapat menurunkan sedikit nilai gizi protein daging, akibat terjadinya reaksi
pencoklatan non enzimatis (Maillard). Penyimpanan dendeng di suhu ruang pun
dapat menyebabkan reaksi Maillard terus berlangsung secara lambat sehingga dapat
juga menurunkan nilai gizinya (Muchtadi, 1989). Menurut Winarno (1980)
kandungan protein (per100 g) dendeng adalah 55% dan menurut BSN (1992)
kandungan protein pada mutu I adalah minimal 30% dan pada mutu II minimal 25%
untuk kandungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.
Abon
Abon didefinisikan sebagai suatu jenis makanan kering berbentuk khas,
dibuat dari daging yang direbus, disayat-sayat, dibumbui, digoreng dan dipres (BSN,
1995) sedangkan menurut Sudarisman dan Elvina (1996) abon adalah hasil olahan
yang terwujud gumpalan-gumpalan serat daging yang halus dan kering. Daging yang
digunakan untuk pembuatan abon sebaiknya tidak liat serta tidak mengandung lemak
dan serabut jaringan. Bagian penutup (top side), tanjung (rump), pendasar dan gandik
(silver side), paha depan (chuck) dan daging punuk (blade) cocok digunakan untuk
pembuatan abon (Muchtadi, 1989).
Menurut Rahmat (2002) untuk pembuatan abon yang menggunakan daging
sebanyak 1 kg memerlukan bawang merah 50 g, bawang putih 25 g, gula pasir 70 g,
garam 10 g, satu sendok teh merica, minyak goreng 500 cc, santan kental 250 cc, dan
jeruk nipis 20 cc. Pembuatan abon meliputi pencucian, pengukusan, penghancuran
daging, penggorengan dan pengeringan. Daging yang telah dicuci dan dibersihkan
lemaknya, dikukus selama 1 jam, kemudian ditiriskan dan ditumbuk pelan-pelan dan
disuir-suir. Hasil suiran daging dicampur dengan santan, air jeruk nipis dan bumbu
yang telah dihaluskan (bawang merah, bawang putih, merica, garam, gula) dan
didiamkan selama 30 menit agar bumbu lebih meresap. Adonan daging yang sudah
dicampur bumbu, disangrai dengan api kecil 60oC selama 30 menit. Abon yang
digoreng tanpa dikeringkan lagi, memerlukan 1 kg minyak untuk menggoreng 0,5 kg
abon. Lama penggorengan selama 10-15 menit dengan suhu minyak 200oC. Abon
yang dikeringkan dengan menggunakan oven, terlebih dahulu dilakukan
penggorengan selama 10-20 detik dengan suhu minyak 200oC. Suhu pengeringan
yang digunakan 120oC selama 30 menit dengan dilakukan pembalikan sebanyak 3
kali setiap 10 menit sekali supaya matang lebih merata (Rahmat, 2002).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah daging diolah menjadi abon
secara nyata daya cerna proteinnya menurun dari semula sebesar 78,3% untuk daging
mentah menjadi 31,2% untuk abon yang digoreng dalam minyak goreng dan 22,8%
untuk abon yang digoreng dalam santan. Penurunan nilai gizi ini terutama
disebabkan karena terjadinya reaksi pencoklatan (Maillard) selama proses
pengolahan, protein (asam amino) daging bereaksi dengan gula (pereduksi) yang
ditambahkan sebagai bumbu (Muchtadi, 1989). Selain itu, penurunan kadar protein
pada abon disebabkan juga oleh penggunaan minyak yang mengandung 98% lemak
dan penggunaan santan. Persentase lemak yang meningkat menyebabkan persentase
protein menurun (Kasir, 1999).
Pemalsuan pada abon dapat dicegah dengan menentukan kadar protein
minimal. Abon minimal mengandung protein sekitar 20% (Muchtadi, 1989) dan 15%
(BSN, 1995) dan kandungan gizi secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 7. Kadar
protein yang rendah menunjukkan kemungkinan penggunaan daging dalam jumlah
sedikit dan sebagai gantinya digunakan buah nangka, timbul atau kelewih (Muchtadi,
1989).
Tabel 7. Kandungan Nutrisi Abon
Daging Panggang
Pemanggangan merupakan metode dengan cara mengalirkan panas secara
konveksi menggunakan oven tertutup yang dipanaskan terlebih dahulu (Kinsman et
al., 1994). Proses pengeringan daging dengan cara dipanggang dalam oven biasanya
tidak dilakukan pembalikan selama pemasakan. Penambahan bumbu dalam proses
pemanggangan hanya akan menembus sedalam setengah inchi ke dalam daging.
Waktu pemanggangan sangat bervariasi. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan dari
daging seperti bentuk, ukuran, potongan daging, kandungan tulang dan lemak
(Kinsman et al., 1994).
Bahan Pengisi
Bahan pengisi, seperti tapioka sering ditambahkan pada pembuatan sosis dan
bakso. Menurut BSN (1994) tapioka adalah pati yang diperoleh dari umbi ubi kayu
segar (Manihot utilisima POHL atau Manihot usculenta rantz) setelah melalui cara
pengolahan tertentu, dibersihkan dan dikeringkan. Kandungan kadar air pada tapioka
maksimal 15%, abu 0,6%, serat dan benda asing maksimal 0,80% (BSN, 1994).
Menurut Pandisurya (1983) tapioka mengandung air 13,12%, protein 0,13%, lemak
0,04%, abu 0,162%.
Tepung tapioka hampir seluruhnya terdiri atas pati (senyawa yang tidak
mempunyai rasa dan bau sehingga modifikasi cita rasa pada tepung tapioka mudah
dilakukan. Ukuran granula pati 5-35. Pati tepung tapioka terdiri atas amilosa dan
amilopektin (Maarif et al., 1984).
Santan
Penggunaan santan kelapa adalah sebagai komponen penyedap dalam
berbagai masakan tradisional (Winarno, 1999). Kandungan protein pada santan
minimal 3%, lemak minimal 30%, air maksimal 80% (BSN, 1995).
Minyak
Minyak adalah komponen yang penting dalam menu masakan manusia dan
mampu memenuhi beberapa fungsi gizi. Minyak merupakan sumber energi yang
padat (g kal/g) dan dapat membantu meningkatkan densitas kalori dalam makanan
(Winarno, 1999).
Minyak kelapa sawit (palm oil) diperoleh dari daging buah kelapa sawit
mesokarp melalui proses ekstraksi (secara rendering atau pengepresan atau pelarutan
dan proses pemurnian), pengendapan dan pemisahan gum, netralisasi, pemucatan dan
deodorisasi. Secara umum minyak sawit yang dihasilkan mempunyai karakteristik
warna kuning pucat sampai orange tua, aroma yang menyenangkan (sedap), stabil
atau resistan terhadap ketengikan (Winarno, 1999).
Minyak digunakan sebagai medium memasak dalam menggoreng dengan
minyak terbatas (pan frying) maupun minyak melimpah yang mendidih (deep fat
frying). Minyak merupakan penghantar yang baik menyebabkan selain makanan
yang digoreng matang, menyebabkan panas bahan menjadi cukup tinggi sehingga
menjadi coklat sehingga minyak yang digunakan harus tahan pada suhu tinggi
(Winarno, 1999)
Bumbu-bumbu
Garam digunakan sebagai pemberi rasa, pengawet, dan melarutkan protein
miofibril. Penggunaan garam pada sosis melonggarkan protein miofibril dan
meningkatkan kemampuannya untuk mengemulsi lemak (Soeparno, 1998).
Bawang putih sering digunakan sebagai bumbu karena kandungan allicin
yang merupakan komponen utama yang berperanan dalam memberi aroma dan
merupakan salah satu zat aktif yang diduga dapat membunuh kuman-kuman penyakit
(bersifat anti bakteri). Bawang putih mangandung protein per100 g sebesar 4,5-7,0 g
(Penebar Swadaya, 1998). Bawang merah digunakan sebagai penyedap karena
mengandung minyak atsiri, sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin, kaemferol, kuersitin
dan floroglusin (Rismundar, 1988).
Ketumbar (Coriandrum sativum L) digunakan sebagai bahan rempah yang
mengandung minyak atsiri dengan kandungan berbeda-beda 0-2%. Kandungan
protein dalam 100 g adalah 11 g (Rismundar, 1988). Jinten dapat membangkitkan
selera makan, sebagai penambah aroma pada produk daging. Batas maksimum pada
makanan 0,025%. Aroma khas dari jinten diperkirakan karena adanya
dihidrokuminaldehid dan monoterpen. Bau dan rasa jinten adalah kuat, hangat, tajam
dan keras. Kandungan protein per 100 g adalah 18 g (Rismundar, 1988).
Pala (Myristica fraganshouti) digunakan sebagai penambah rasa, penyedap
masakan. Kandungan pala dalam masakan maksimal 0,08%. Selain itu juga pala
memiliki aktivitas fungisidal dan bakterisidal (Rismundar, 1988). Minyak atsiri yang
dikandung biji pala sebesar 2-16%, fixed oil (minyak kental 25-40%) terdiri atas
beberapa jenis asam organik seperti asam palmitat, stearat, dan miristat, karbohidrat
30%, protein 6% (Rismundar, 1988).
Lengkuas (Alpinia galanga) mengandung berbagai jenis minyak atsiri
diantaranya kamfer, galengi, galangol, eugenol dan juga mungkin cucurmin. Minyak
atsiri tersebut seluruhnya menghasilkan bau yang khas. Rimpang laos dikenal
sebagai pengempuk daging, pewangi daging seperti rendang, semur, dendeng
(Rismundar, 1988). Kunyit (Curcuma domestica val) memiliki fungsi sebagai bahan
obat tradisional dan bumbu dapur. Selain digunakan sebagai bumbu kunyit
digunakan sebagai penyedap dan sebagai pewarna (Rismundar, 1988). Komposisi
kunyit terdiri atas air 13,1%, protein 6,3%, lemak 5,1%, karbohidrat 69,4%, abu
3,5%, serat 2-6% (Purseglove, 1972). Menurut Rismundar (1988) protein yang
dikandung kunyit per100 g sebesar 6-8 g.
Kecap adalah sari kedelai yang telah difermentasikan dengan atau tanpa
penambahan gula kelapa dan bumbu. Kecap digunakan sebagai penyedap yang
ditimbulkan oleh asam glutamat yang dalam kecap terdapat dalam kondisi bebas.
Kecap memiliki kandungan protein sebesar 5,5 g per100 g kecap (Santoso, 1994).
Berdasarkan BSN (1994) kandungan protein minimal 2,5% dan mengandung gula
sakarosa 40%.
Asam jawa memiliki kandungan 4%-8% asam tartrat, 2%-6% asam sitrat,
1%-8% kalium bitartrat, 6% asam malat, 25%-40% gula invert, 15% selulosa, 20%-
25% air, 15%-20% zat yang tidak larut dalam air (Sutedjo, 1990). Kemiri adalah
daging biji kemiri (Alleurites mellucana willd) yang telah dipisahkan dari
tempurungnya (BSN, 1998).
Gula putih adalah gula kristal sakarosa kering dari tebu atau bit yang dibuat
melalui proses sulfitasi atau karbonatasi atau proses lainnya sehingga langsung dapat
dikonsumsi. Gula putih mengandung gula pereduksi maksimal 0,10-0,20% b/b (BSN,
1992). Selain gula putih terdapat juga gula merah atau gula kelapa yang mengandung
air 10% dan gula sakarosa 77% (Santoso, 1994).
Denaturasi Protein
Perlakuan yang beragam yang digunakan pada pengolahan menyebabkan
denaturasi protein (Davidek et al., 1990). Denaturasi merupakan suatu perubahan
struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein tanpa terjadinya
pemecahan ikatan kovalen. Denaturasi didefinisikan juga sebagai suatu proses
terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam, dan terbukanya
lipatan molekul (Winarno, 1997). Denaturasi protein adalah perubahan konformasi
yang fundamental dalam semua bagian molekulnya yang penting yang menyebabkan
kehilangan aktivitas biologi dan fungsi alaminya (Davidek et al., 1990). Perlakuan
panas, pH ekstrim, alkohol gangguan fisik dan kimia dapat memicu terjadinya
denaturasi (Brown, 2000). Davidek et al. (1990) menyatakan bahwa proses
penggilingan daging menyebabkan protein terdenaturasi.
Denaturasi oleh panas dapat mempermudah hidrolisis protein oleh
protease dalam usus halus. Akan tetapi panas juga dapat menurunkan mutu protein
akibat perombakan dan terperisainya gugus amino-epsilon dari lisin protein asli yang
menghambat hidrolisis oleh tripsin (Karmas and Harris, 1989). Suhu antara 53oC -
63oC menyebabkan kolagen terdenaturasi. Protein otot mengalami denaturasi pada
kisaran suhu antara 50oC-80oC (122oF dan 176oF) (Tornberg, 2004).
Koagulasi Protein
Pengembangan atau pemekaran molekul protein yang terdenaturasi akan
membuka gugus reaktif yang terdapat pada rantai polipeptida. Selanjutnya akan
terjadi pengikatan kembali pada gugus reaksi yang sama atau berdekatan. Apabila
unit ikatan yang terbentuk cukup banyak, sehingga protein tidak mampu terdispersi
sebagai koloid, maka protein tersebut mengalami koagulasi (Muchtadi et al., 1993).
Menurut Winarno (1997) koagulasi terjadi setelah pengembangan molekul
protein yang terdenaturasi. Setelah protein terdenaturasi unit ikatan gugus reaktif
pada rantai polipeptida yang terbentuk cukup banyak sehingga protein tidak
terdispersi lagi sebagai suatu koloid (Winarno, 1997). Koagulasi dapat terjadi pada
suhu di atas 90oC (Tornberg, 2004). Koagulasi maksimum terjadi pada saat
temperatur antara 60 C-65oC yang dicapai selama pemanasan (Davidek et al., 1990).
o
Rasemisasi Protein
Selama pemanasan bahan pangan berprotein terjadi rasemisasi asam amino
dan reaksi antar asam amino, rasemisasi asam amino yaitu terbentuknya ikatan L-D,
D-L atau D-D (Muchtadi, 1993). Rasemisasi asam amino adalah perubahan
konfigurasi asam amino dari bentuk L ke bentuk D (Astawan, 2005). Proses
pemanasan dengan suhu tinggi dalam waktu yang lama serta perlakuan alkali
menyebabkan terjadinya rasemisasi (Astawan, 2005 ; Muchtadi, 1993).
Rasemisasi asam amino terjadi juga selama penyangrayan bahan-bahan
protein terutama bila terdapat lipid atau gula pereduksi. Rasemisasi yang disebabkan
perlakuan alkali lebih menyebabkan penurunan daya cerna bila dibandingkan dengan
rasemisasi yang disebabkan perlakuan panas (Muchtadi, 1993).
Asam-asam amino D yang terbentuk tidak dapat diserang oleh enzim
pencernaan sehingga tidak dapat digunakan oleh tubuh (Muchtadi, 1993). Menurut
Astawan (2005), tubuh manusia umumnya hanya dapat menggunakan asam amino
dalam bentuk L. Pembentukan ikatan peptida L-D, D-L atau D-D akan tahan
terhadap serangan enzim proteolitik. Penyerapan asam amino D berlangsung lebih
lambat dibandingkan dengan bentuknya dan meskipun dapat dicerna dan diserap,
sebagian besar asam amino essensial bentuk D tidak dapat digunakan oleh tubuh
manusia (Muchtadi, 1993). Pada manusia, D-lisin, D-treonin, D-triptofan, D-leusin,
D-treonin, D-isoleusin dan D-valin, tidak dapat digunakan sama sekali, D-fenilalanin
sebagian dapat digunakan sama seperti L-fenilalanin dan diantara asam amino
essensial hanya D-metionin yang dapat digunakan sama seperti L-metionin
(Muchtadi, 1993).
Reaksi Maillard
Sumber utama penyebab menurunnya nilai gizi protein selama pengolahan
dan penyimpanan adalah reaksi browning non enzimatis (reaksi Maillard), yaitu
reaksi antara protein dengan gula pereduksi (Muchtadi, 1993). Belitz and Grosch
(1999) menyatakan bahwa reaksi ini berlangsung antara gula-gula pereduksi dengan
gugus amino dari asam-asam amino atau protein (terutama e-amino dari lisin, dan -
amino dari asam amino N-terminal). Secara umum, reaksi non-enzimatis browning
hanya terjadi jika ada asam amino bebas dan grup karbonil gula pereduksi yang
diakhiri dengan pembentukan melanoidin (Muchtadi dan Setiawaty, 1985). Suhu,
waktu, kelembaban, pH, konsentrasi dan reaktan alami mempengaruhi terjadinya
reaksi pencoklatan atau Maillard (Shahidi, 1998). Reaksi Maillard efektif terjadi
pada suhu tinggi (Muchtadi dan Setiawaty, 1985). Penurunan nilai gizi ini terutama
disebabkan terjadinya reaksi pencoklatan (Maillard) selama proses pengolahan.
Protein (asam amino) daging bereaksi dengan gula pereduksi yang ditambahkan
sebagai bumbu (Muchtadi, 1989). De Man (1997) menyatakan bahwa asam amino
lisin merupakan asam amino yang peka terhadap kerusakan terutama pencoklatan
non enzimatis, karena asam amino ini cenderung untuk terikat pada senyawa
karbonil melalui gugus -asam amino bebas. Selama pengolahan telah terjadi
kerusakan protein daging baik yang berbentuk ikatan silang (cross linking) ataupun
pemecahan selama pengolahan dan penyimpanan daging setengah lembab pada suhu
38oC.
Analisis Protein
Protein Kasar
Protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung dapat dilakukan
menggunakan analisis kjeldhal (Budiyanto, 2002). Dikatakan secara tidak langsung
karena menurut Budiyanto (2002) yang dianalisis dengan metode ini adalah kadar
nitrogennya. Prinsip analisis kjeldhal adalah penetapan protein berdasarkan oksidasi
bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen jadi amonia. Selanjutnya amonia
bereaksi dengan kelebihan asam membentuk amonium sulfat. Larutan dibuat jadi
basa dan amonia diuapkan untuk kemudian diserap dalam larutan asam borat
nitrogen yang terkandung dalam larutan dapat ditentukan jumlahnya dengan titrasi
menggunakan HCl 0,02 M (Apriyantono et al.,1988).
Analisis kjeldhal dibedakan menjadi dua cara yaitu cara makro dan cara semi
mikro. Cara makro kjeldhal digunakan untuk contoh yang sukar untuk di
homogenisasi dan besar contoh 1-3 g, sedangkan semi mikro dirancang untuk ukuran
kecil yaitu kurang dari 300 mg dari bahan yang homogen (Budiyanto, 2002).
Daya Cerna
Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisa menjadi asam-asam amino oleh
enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna atau nilai
kecernaan (Muchtadi, 1993). Tidak semua protein dapat dihidrolisis oleh enzim
pencernaan menjadi asamasam amino. Protein tidak dapat masuk ke dalam sel
karena ukuran molekulnya tidak memungkinkan kecuali asam amino sebagai unit
monomernya (Hawab, 2002).
Protein harus terlebih dahulu dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim
pencernaan agar dapat masuk kedalam sel dan dapat dimanfaatkan oleh sel tubuh.
Asam amino yang masuk kedalam sel, akan dirakit kembali menjadi makromolekul
protein sesuai dengan yang dibutuhkan sel (Hawab, 2002).
Protein dari badan sebanyak 70 g masuk kedalam saluran pencernaan
bersama dengan 30-80 g protein yang masuk melalui bahan makanan yang
dikonsumsi setiap harinya (Winarno, 1993). Protein juga keluar bersama feses yang
jumlahnya tidak lebih dari 10 g/hari (Winarno, 1993). Pengukuran kualitas kecernaan
protein dapat dilakukan salah satunya dengan metode in vitro yang menggunakan
enzim protease. Enzim-enzim yang digunakan adalah pepsinpankreatin,
kimotripsin, peptidase campuran dari beberapa macam enzim (multi enzim)
(Muchtadi, 1989).
Menurut Matta and Antony (1992), pepsin merupakan salah satu peptidase
dari lambung yang aktif pada pH getah perut (kira-kira sama dengan asam
hidroklorida 0,1 M; larutan asam kuat 0,1 M, pH 1). Pepsin terbentuk dari
pepsinogen melalui autoaktivasi atau oleh kerja asam hidroklorida. Protein besar
mulai dikatalisis oleh pepsin pada lingkungan asam dalam lambung kemudian pepsin
memecahnya menjadi peptida yang lebih kecil.
Degradasi protein merupakan pemecahan molekul protein kompleks menjadi
molekul lebih sederhana oleh pengaruh asam, basa atau enzim. Hasil degradasi
protein dapat berbentuk proteosa, pepton, polipeptida, peptida, asam amino, NH3 dan
unsur N dan juga dapat dihasilkan komponen yang menimbulkan bau busuk misalnya
merkaptan, skatol dan H2S (Winarno, 1980).
Elektroforesis
Salah satu cara atau teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
enzim atau protein adalah elektroforesis (Thohari et al., 1993). Prinsip yang
digunakan dalam elektroforesis untuk memisahkan molekul-molekul dengan muatan
yang berbeda adalah molekul-molekul biologis yang bermuatan listrik, yang
besarnya tergantung pada jenis molekul, pH, dan komponen medium pelarutnya
dalam larutan akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan
muatan molekul (Nur dan Adijuwana, 1987). Teknik elektroforesis pada dasarnya
digunakan untuk mengetahui pita dari protein yang dianalisis mengarah ke kutub
positif (anoda) atau kutub negatif (katoda) (Thohari et al., 1993 ; Matta dan Antony,
1992). Semakin tinggi muatan ion, semakin cepat gerakannya (Matta dan Antony,
1992).
Kegunaan elektroforesis antara lain: 1) menentukan berat molekul (estimasi),
2) mendeteksi terjadinya pemalsuan bahan, 3) mendeteksi terjadinya kerusakan
bahan seperti protein dalam pengolahan dan penyimpanan, 4) untuk memisahkan
spesies-spesies yang berbeda secara kualitatif, yang selanjutnya masing-masing
spesies dapat dianalisis dan 5) menetapkan titik isoelektrik protein (Nur dan
Adijuwana, 1987).
Menurut Thohari et al. (1993) teknik elektroforesis dapat dibedakan menjadi
dua yaitu, 1) elektroforesis larutan (moving boundary elektroforesis) dan 2)
elektroforesis daerah (zone electrophoresis). Pada elektroforesis larutan, larutan
penyangga yang mengandung makro molekul ditempatkan didalam suatu sel tertutup
dan dialiri arus listrik. Kecepatan migrasi dari makro molekul diukur berdasarkan
hasil pemisahan molekul yang dilihat dalam bentuk pita di dalam media pelarut
(Thohari et al., 1993), sedangkan elektroforesis daerah menggunakan suatu bahan
padat yang berfungsi sebagai media penunjang dan berisi larutan penyangga. Contoh
yang akan dianalisis diletakkan pada media penyangga. Perpindahan molekul
dipengaruhi oleh medan listrik dan kepadatan dari media penunjang, dengan melihat
kemurnian dan menentukan ukuran dari biomolekulnya. Media yang biasa digunakan
antara lain gel pati, gel agerose, kertas siklosa poliasetat dan gel poliakrilamid
(Thohari et al., 1993).
Salah satu metode elektroforesis adalah SDS-PAGE (sodium deodocyl
sulphate polyacrylamide gel electrophoresis) (Nur dan Adijuwana, 1987). Gel yang
digunakan dalam elektroforesis SDS-PAGE adalah polyacrylamide yang merupakan
bentuk polimerisasi monomer acrylamid CH2=CH-CO-NH2 dan cross-linking
comonomer N,N-methylene bisacrylamid (Garfin, 1990). Metode SDS-PAGE
terutama dilakukan untuk mengetahui apakah suatu protein monomerik atau
oligomerik. Berat molekul dan jumlah rantai polipetida sebagai sub unit atau
monomer juga dapat ditetapkan dengan SDS-PAGE. Metode SDS-PAGE dilakukan
pada pH sekitar netral. SDS merupakan anionic detergent yang bersama dengan
betamerkaptoetanol dan pemanasan menyebabkan rusaknya struktur tiga dimensi
protein menjadi konfigurasi random coil. Hal ini disebabkan oleh terpecahnya ikatan
sulfida yang selanjutnya tereduksi menjadi gugus-gugus sulfihidril (Nur dan
Adijuwana, 1987). Pemisahan berdasarkan berat molekul dengan berbagai
konsentrasi total akrilamid dapat dilihat pada Tabel 8.
Materi
Bahan-bahan yang digunakan meliputi bahan utama, bahan tambahan dan
bahan untuk analisis kimia. Bahan utama yang digunakan adalah daging sapi bagian
paha belakang (knuckle) sebanyak 5,5 kg. Bahan tambahan selain daging yang
digunakan adalah bahan-bahan untuk pembuatan produk olahan bakso, sosis, abon,
dendeng dan daging panggang. Bahan-bahan untuk analisis laboratorium meliputi
bahan untuk analisis protein kasar (K2SO4, HgO, H2SO4, HCl 0,01 M, NaOH,
H3BO3, HCl 0,043664 N), kecernaan protein secara in vitro (HCl 0,1 N, NaOH 0,5
N, larutan buffer fosfat 0,2 M pH 8 ) dan bahan untuk elektroforesis.
Bahan untuk elektroforesis terbagi menjadi tiga bagian yaitu, bahan pembuat
gel, buffer elektroforesis, buffer sampel, pewarna dan peluntur. Bahan pembuat gel
yang terdiri atas gel pemisah dan gel penahan disajikan pada Tabel 9. Buffer
elektroforesis terdiri atas (glisin 192 mM, SDS 0,1%, tris base 24,8 mM), buffer
sampel (SDS 1 g, gliserol 50%, bromophenol blue 0,1%, tris HCl 1 M, aquades),
larutan pewarna (50% metanol + 10% asam asetat + 0,06% coomassie blue R-250),
dan larutan peluntur (5% metanol + 7,5% asam asetat).
Alat yang digunakan meliputi peralatan untuk pengolahan bakso, sosis, abon,
dendeng dan daging panggang. Selain itu dipergunakan pula alat-alat analisis
laboratorium yang meliputi peralatan analisis kadar protein kasar (labu Kjeldhal 30
ml, pemanas Kjeldhal, alat destilasi, labu Erlenmeyer 125 ml, kondensor), daya cerna
protein secara in vitro (labu Erlenmeyer 50 ml, shaker, sentrifuse, kertas Whatman
41, oven) dan alat yang digunakan untuk elektroforesis terdiri atas alat elektroforesis
dan penangas air.
Tabel 9. Komposisi Gel Pemisah dan Gel Penahan pada Elektroforesis
Komposisi Gel Pemisah 10% Gel Penahan 4%
Poliakrilamid Poliakrilamid
Larutan stok akrilamid (30%), 29% 3,3 ml 0,67 ml
(b/v) akrilamida, 1% (b/v) bis
akrilamida
1,5 M Buffer Tris-Cl pH 8,8 2,5 ml -
0,5 M Buffer Tris-Cl pH 6,8 - 1,25 ml
Akuades 4,11 ml 3,075 ml
10% (b/v) SDS 0,1 ml 0,05 ml
10% (b/v) APS 0,1 ml 0,05 ml
TEMED 0,01 ml 0,005 ml
Sumber : Laemmli (1970)
Prosedur
Preparasi Sampel
Daging yang berasal dari ternak sapi diolah menjadi bakso, sosis, dendeng,
abon dan daging panggang. Produk olahan dan daging segar dari ternak sapi tersebut
kemudian dianalisis mutu dan karakteristik proteinnya.
Pembuatan Sosis (Modifikasi Ridwanto, 2003). Lemak dan jaringan ikat pada
daging dihilangkan. Daging yang telah siap kemudian dimasukkan ke dalam alat
penggiling (food processor) dan ditambahkan 3% garam, 8% susu skim dan 1/3
bagian es batu, kemudian digiling selama 1,5 menit. Adonan ditambah 10% minyak,
1,5% bawang putih yang telah dipotong-potong kecil, 1% merica, 0,5% pala dan 1/3
bagian es batu, kemudian digiling kembali selama 1,5 menit.
Adonan ditambah 12% tepung tapioka dan 1/3 bagian es batu (total es batu
yang ditambahkan adalah 35%), kemudian digiling kembali selama 2 menit.
Persentase bahan tambahan dihitung dari berat daging. Adonan kemudian
dimasukkan ke dalam selongsong sosis (casing) dengan menggunakan stuffer. Sosis
yang telah dimasukkan ke dalam selongsong dikukus selama 45 menit dengan suhu
65oC.
Pembuatan Abon (Modifikasi Rahmat, 2002). Daging dibersihkan dari lemak dan
dikukus selama 1 jam, kemudian disuir-suir dengan menggunakan garpu dan digiling
dengan menggunakan alat penggilingan (food processor). Bumbu yang terdiri atas
5% bawang merah, 2,5% bawang putih, 7% gula pasir, 25% santan, 1% garam, 0,2%
merica dihaluskan yang kemudian ditambahkan 10% air jeruk nipis. Persentase
bumbu yang digunakan berdasarkan berat daging.
Daging yang telah halus kemudian dimasak dengan semua bumbu yang telah
dihaluskan sambil diaduk-aduk hingga bumbu meresap. Daging diangkat dan
ditiriskan, kemudian digoreng dengan minyak sebanyak 450 ml selama 15 menit
dengan api kecil (suhu 150oC). Abon diangkat dan dipres dengan alat pengepres.
Pengurangan kadar minyak dan air dapat dilakukan dengan cara pengeringan
menggunakan oven selama 15 menit pada suhu 130oC.
Keterangan: a = ml titer
b = ml blanko
c = faktor konversi daging
Interpretasi Data
Hasil elektroforesis dilihat dari grafik yang dihasilkan berdasarkan markernya
seperti terlihat pada Gambar 1. Nilai yang dihasilkan, yaitu Rf (hasil pembagian
jarak pita dan jarak running) dan logaritma berat molekul marker (kD),
ditransformasikan dalam bentuk persamaan regresi linier Y = ax + b.
y = ax + b
Log
BM
Rf
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola
searah dengan satu faktor perlakuan yaitu berbagai proses pengolahan. Perlakuan
yang dilakukan yaitu pembuatan produk olahan bakso (T1), sosis (T2), dendeng (T3),
abon (T4), daging panggang (T5) dengan (T0) adalah daging segar. Masing-masing
perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Pengujian peubah dilakukan dengan cara
komposit yaitu dengan mengambil 1/3 bagian dari setiap ulangan sampel kemudian
dicampur. Sampel hasil komposit diaduk rata kemudian diambil sampel untuk
dianalisa sesuai peubah yang diamati. Interpretasi data dilakukan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 10. Kadar Protein Kasar, Daya Cerna Protein Secara In Vitro dan
Kadar Protein Tercerna pada Daging Sapi Segar dan Produk
Olahannya
Jenis Protein Kasar Daya Cerna In Kadar Protein
Produk (% b/b) Vitro (% b/b) Tercerna (%)
Daging 19,0 79,03 15,02
Segar
Bakso 11,16 83,27 9,29
Sosis 12,41 89,60 11,12
Abon 38,98 58,87 22,95
Dendeng 24,58 61,59 15,14
Daging 28,97 59,73 17,30
Panggang
Rendahnya kandungan protein bakso bila dibandingkan dengan protein daging segar
juga disebabkan proses perebusan pada bakso yang dilakukan pada suhu 80oC
selama 5 menit. Menurut Waturaka (2002) perebusan yang dilakukan pada suhu
65oC-70oC selama 20 menit untuk daging sapi dapat menyebabkan protein yang
terkandung dalam daging keluar dan larut dalam air perebusan. Perebusan yang
dilakukan pada penelitian ini pada suhu 80oC sehingga mungkin dengan waktu yang
relatif singkat menyebabkan terlepasnya ikatan struktur protein karena panas, yang
menyebabkan terlarutnya protein larut air ke dalam air rebusan sehingga ketika diuji
kjeldhal sudah tidak terukur lagi. Pernyataan yang sama dinyatakan Setiawaty
(1985) bahwa pengolahan dengan cara perebusan menurunkan jumlah nitrogen
terlarut.
Kandungan protein pada bakso penelitian ini lebih kecil bila dibandingkan
hasil penelitian Anshori (2002) yaitu sebesar 15,43%0,75%. Perbedaan ini
disebabkan kandungan protein daging segar yang digunakan berbeda. Kandungan
protein daging segar yang digunakan Anshori (2002) adalah 22,5%. Selain itu
daging yang digunakan pada penelitian ini adalah daging yang telah mengalami
pembekuan sedangkan daging yang digunakan Anshori adalah daging setelah
pemotongan 1 jam tanpa pembekuan.
Pengolahan menjadi abon diawali dengan tahap pengukusan (tahap ini sudah terjadi
denaturasi karena suhu pengukusan mencapai 95oC), setelah itu dilanjutkan dengan
penghancuran menggunakan food processor tanpa adanya penambahan bahan yang
dapat mencegah mencegah denaturasi (seperti es). Tahap berikutnya adalah
pembumbuan dengan menambahkan santan dan proses pemanasan sampai bumbu
meresap, lalu digoreng dengan menggunakan panas 150oC dan pengeringan dalam
oven pada suhu 130oC. Proses ini menggunakan panas yang tinggi dan waktu yang
lama, sehingga menyebabkan protein terdegradasi dan daya cerna menurun.
Pembuatan abon menggunakan panas yang tinggi dan waktu yang lama,
menyebabkan tidak hanya terjadi denaturasi akan tetapi terjadi juga rasemisasi,
reaksi Maillard dan terbentuknya ikatan silang dalam protein seperti lisinoalanin dan
lantionin. Menurut Kasir (1999) terbentuknya ikatan silang akan menurunkan
kecernaan.
Nilai kecernaan abon pada penelitian ini adalah 58,87%, lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai kecernaan pada penelitian Wisena (1988) yaitu 31,2%
untuk abon yang digoreng dengan minyak dan 22,8% untuk abon yang digoreng
dengan santan. Perbedaan ini disebabkan teknik pembuatan abon yang berbeda pada
penelitian ini pembuatan abon selain ditambahkan santan, abon pun digoreng dengan
menggunakan minyak goreng dan terakhir dikeringkan dengan oven.
Proses pemanasan pada dendeng terdiri atas produk yang dikeringkan pada
suhu 70 C setelah itu dilakukan penggorengan pada suhu 120oC. Penggunaan suhu
o
Daya cerna yang sangat rendah pada daging panggang disebabkan panas yang
digunakan dalam pemanggangan cukup tinggi yaitu 120oC menyebabkan dalam
waktu hanya 10 menit warna daging sudah berubah menjadi coklat yang
mengindikasikan telah terbentuknya melanoidin. Hal itulah yang menyebabkan
menurunnya daya cerna.
Protein Tercerna
Protein tercerna merupakan hasil perkalian antara protein kasar dan daya
cerna in vitro. Protein tercerna menunjukkan jumlah protein yang dapat digunakan
atau dimanfaatkan oleh tubuh. Tabel 10 menunjukkan protein tercerna pada produk
olahan beragam jumlahnya. Pembahasan ini dibagi menjadi dua bagian besar yaitu
produk basah (bakso dan sosis) dan produk kering (abon, dendeng dan daging
panggang).
Walaupun daya cerna pada bakso cukup tinggi yaitu 83,27%, tetapi protein
yang dapat dimanfaatkan dalam bakso hanya 9,29%. Hal ini disebabkan oleh kadar
protein kasar bakso yang sangat kecil yaitu 11,16%, sehingga jika dikalikan antara
protein kasar dan daya cerna menghasilkan nilai yang sangat kecil. Sama halnya
yang terjadi pada produk sosis, nilai protein tercerna kecil karena kadar protein
kasarnya rendah yaitu hanya mencapai 12,41%. Nilai protein tercerna sangat
dipengaruhi oleh kadar protein kasar dan daya cerna yang hubungannya berbanding
lurus. Nilai protein tercerna tinggi dicapai bila kadar protein kasar dan daya cerna
suatu produk tinggi.
114,55 kD
75,87 kD
98,37 kD 98,37 kD 81,58 kD
88,87 kD 61,11 kD
72,54 kD 54,85 kD
68,95 kD 68,95 kD 49,22 kD
65,54 kD 51,96 kD
50,44 kD 50,40 kD
44,18 kD
56,28 kD
45,93 kD 45,94 kD
43,66 kD 33,71 kD
39,45 kD 33,84 kD 36,56 kD
41,50 kD 32,89 kD
31,14 kD
31,17 kD 27,15 kD
37,50 kD
Awalnya pita protein pada bakso dengan menggunakan coomasie blue tidak
terlihat jelas sehingga dilanjutkan dengan silver staining. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Murphy dan Marks (2000) pemanasan dengan menggunakan suhu
80oC menggunakan coomasie blue yang terdeteksi hanya protein dengan berat
molekul <38 kD. Pewarnaan dengan silver staining menyebabkan protein pada
bakso terlihat lebih jelas.
Bila dilihat dari kedua pita antara daging segar dan bakso masih terdapat pita
yang sama berat molekulnya (protein pada daging segar masih terdapat pada bakso),
seperti protein dengan berat molekul 98,37 kD, 68,95 kD, 45,94 kD, 27,65 kD. Hal
ini mungkin disebabkan proses pengolahan menjadi bakso (moist cooking), suhu air
perebusan yang digunakan hanya mencapai 80oC sehingga diduga hanya terjadi
denaturasi ringan yang tidak mengubah ikatan kovalen dari protein.
Bila dilihat lebih jelas lagi terdapat pita protein baru pada bakso dengan berat
molekul 88,87 kD, 56,28 kD, 43,66 kD, 39,15 kD. Hal ini mungkin disebabkan oleh
protein berubah bentuk atau terbentuk ikatan baru hasil pemecahan protein tersebut.
Menurut Setiawaty (1985) panas dapat menyebabkan pembentukan ikatan yang baru
pada protein. Protein pada daging segar yang sudah tidak terdapat pada bakso
mungkin sudah berubah menjadi protein lain yang strukturnya sederhana dengan
berat molekul yang lebih kecil akibat pengaruh pemanasan.
Selain itu juga dapat disebabkan oleh larutnya protein yang larut air, karena
dalam pembuatan bakso terdapat proses perebusan sehingga akan banyak protein
larut air yang hilang. Menurut Kasir (1999) perebusan yang dilakukan pada suhu
65oC-70oC selama 20 menit untuk daging sapi dapat menyebabkan protein yang
terkandung dalam daging keluar dan larut dalam air perebusan. Munculnya protein
baru pada pita elektroforesis bakso bisa juga disebabkan oleh penambahan bumbu
seperti bawang putih, merica dan tapioka yang masing-masing mengandung protein
dengan kadar yang berbeda-beda 4,5-7,0 g dalam 100 gram bawang putih, 0,13%
untuk tapioka, dan merica 11,5% (Rismundar,1988 ; Pandisurya,1983)
Kesimpulan
Pengolahan mempengaruhi nilai gizi protein dari segi kandungan dan nilai
kecernaan protein. Kadar protein kasar produk basah atau produk dengan perebusan
dan pengukusan seperti bakso dan sosis mengalami penurunan dibandingkan dengan
daging segar sedangkan untuk produk yang mengalami pengeringan seperti abon,
dendeng dan daging panggang mengalami peningkatan kadar protein kasar. Apabila
dilihat dari segi daya cerna, bakso dan sosis masih memiliki kualitas protein yang
baik (daya cernanya lebih dari 80%) sedangkan dendeng, abon, dan daging panggang
memiliki kualitas kurang baik (daya cernanya kurang dari 80%). Namun demikian
kadar protein tercerna atau jumlah protein yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh
paling tinggi terdapat pada produk abon. Pita elektroforesis yang terbentuk paling
banyak pada produk bakso dan abon sedangkan paling sedikit terdapat pada produk
sosis. Pengolahan daging menjadi berbagai produk seperti bakso, sosis, abon,
dendeng, dan daging panggang secara umum memiliki nilai gizi protein yang masih
layak untuk dikonsumsi manusia.
Saran
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan
rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan baik.
Shalawat serta salam penulis curahkan pada suri tauladan kita Nabi Muhammad
SAW, kepada keluarga, sahabat dan umatnya sampai akhir zaman.
Ayahanda H. Abdul Kohar dan ibunda tercinta Hj. Basiroh terima kasih atas
motivasi, doa, kasih sayang dan semua bantuan baik materi, moral dan spritual.
Terima kasih untuk kakanda Asep Saepul Anwar dan adik-adikku Tuti Herawati, Ika
Jatnika, Luki Lukman Nul Hakim, Fitri Yani Rahmah, M. Kiran Rosadi, Meirisa
Sofia Khusnul Khotimah, dan Fikri Abdur Rahman atas semua kebahagiaan,
kesabaran, motivasi dan doanya. Keluarga besar H. Saepulloh dan Patonah terima
kasih atas semua bantuan yang telah diberikan.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Dr. Ir. Henny Nuraini,
M.Si dan Tuti Suryati, S.Pt., M.Si atas bimbingan, saran, nasehat dan perhatian yang
telah diberikan pada penulis selama penyusunan karya tulis ini. Terima kasih penulis
ucapkan pula kepada Dr. Ir. Tantan R. Wiradarya selaku dosen pembimbing
akademik atas perhatian dan semua bimbingan yang telah diberikan selama kuliah.
Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Ir. Dwi Joko Setyono M.Si dan Irma
Isnafia Arief S.Pt., M.Si selaku dosen penguji atas semua saran, koreksi dan
masukkannya. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada tim PHK A2
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan yang telah bekerja keras
dalam menyukseskan program pengurangan masa studi dan pendanaan penelitian ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman satu penelitian
Nurjamilah, Febry Ajronah Pane, Iwan Riyanto, dan Aam Aminudin Ridwan S.Pt
atas bantuan, dukungan dan kebersamaan selama penelitian. Tidak lupa penulis
ucapkan terima kasih untuk keluarga besar THT39, keluarga besar Asrama Putri
Darmaga atas semua kasih sayang, motivasi, kebersamaan, rasa kekeluargaan yang
telah diberikan. Tidak lupa saya ucapkan kepada Yayasan Al Munawaroh terima
kasih atas semua bantuan yang telah diberikan. Penulis pun mengucapkan kepada
semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor, Mei 2006
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Afrianty. 2002. Sifat fisiko-kimia dan palatabilitas bakso dengan bahan utama daging
sapi beku pada waktu pembekuan yang berbeda. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati. dan S. Budiyanto. 1988.
Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Andrew. 1986. Electrophoresis Theory, Techniques and Biotechemical and Chemical
Application. 2 nd Edition. Claredon Press, Oxford.
Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.
Anindita, S. 2003. Keamanan pangan dan nilai gizi bakso pedagang sektor informal
di Desa Babakan dan Kelurahan Cibadak Bogor selama penjualan. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anshori, M. 2002. Evaluasi penggunaan jenis daging dan konsentrasi garam yang
berbeda terhadap mutu bakso. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Astawan, M. 2005. http://www.waspada.co.id/serba serbi/kesehatan/artikel.
Badan Standardisasi Nasional. 1992. Dendeng. SNI 01-2908-1992. Dewan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1992. Gula. SNI 01-3140-1992. Dewan Standardisasi
Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1994. Tapioka. SNI 01-3451-1994. Dewan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1994. Kecap Kedelai. SNI 01-3543-1994. Dewan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Abon. SNI 01-3707-1995. Dewan Standardisasi
Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Santan. SNI 01-3816-1995. Dewan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bakso. SNI 01-3818-1995. Dewan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Sosis. SNI 01-3820-1995. Dewan Standardisasi
Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1998. Kemiri. SNI 01-1684-1998. Dewan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Brown, A. 2000. Understanding Food, Principle and Preparation. Wad Sworth
Thomson Learning, Hawai.
Belitz and Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer- Verlag, Berlin.
Budiyanto, M. A. K. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Universitas Muhammadiyah
Malang Press, Malang.
Davidek, J., J. Vellisek and J. Pokorny. 1990. Chemical Change During Food
Processing. Departement of Food Chemistry and Analysis. Institute Chemical
Technology, New York.
De Man, J. M. 1997. Kimia Makanan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia.
Departemen Kesehatan RI, Indonesia, Departemen Kesehatan, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Daftar Komposisi Zat Gizi
Pangan Indonesia, Jakarta.
Garfin, D. 1990. One-Dimensional Gel Electrophoresis. In: Guide to Protein
Purification. Murray P. Deutscher Academic Press, California, San Diego.
Hawab, H. M. 1999. Pengaruh pemanasan beras menjadi nasi sebagai peubah
turunnya nilai nutrien beras. Buletin Kimia No. 14 hal 69-80.
Hawab, H. M. 2002. Pembebasan asam amino dari protein berkeratin tinggi secara in
vitro. Jurnal Ilmu-ilmu Kimia Vol 2 No. 2.
Karmas, E. dan R. Harris. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan.
Terjemahan: Achmadi, S. Institut Teknologi Bandung Press, Bandung.
Kasir, W. K. 1999. Studi banding sifat kimia dan organoleptik abon sapi, ayam,
kelinci. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kelly, R. B., David and John W. F. 1980. Studies on the utilization of lysinoalanin
and lanthionine. J. Nutr. 110 : 907-915.
Kinsman, D. M., A. W. Kotula and B. C. Breindenstein. 1994. Muscle Food, Meat,
Poultry and Seafood Technology. Chapman and Hall, London.
Laemmli, U. K. 1970. Cleavage en struktural proteins during the assembly of the
head of bactioriophage T 4. Nature 227:680-685.
Lenah. 1993. Pembuatan bakso dan sosis dari bahan dasar daging ikan cucut hasil
pemasakan ekstruksi serta evaluasi mutunya. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Lehninger, A. L. 1998. Dasar-dasar Biokimia. Terjemahan : Thenawidjaja, M.
Erlangga, Jakarta.
Maarif, M., Adil. B., M. Rachmaniah dan Suhandi. 1984. Studi pengembangan
proses pembuatan tepung tapioka dari singkong press. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Matta, M. S. dan Antony, C. W. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Institut
Teknologi Bandung Press, Bandung.
Muchtadi, D dan E. Setiawaty. 1985. Studies on dendeng an Indonesian traditional
preserved meat product. Media Teknologi Pangan. 2(1) : 23-29.
Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Protein. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, D. 1989. Protein : Sumber-Sumber dan Teknologi. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, T. R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Pasca Sarjana.
Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, D., Astawan, M. dan N. S Palupi. 1993. Metabolisme Zat Gizi Sumber,
Fungsi dan Kebutuhan bagi Kebutuhan Manusia. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Murphy R. Y. and B. P. Marks. 2000. Effect of meat temperature on proteins, texture
and cook loss for ground chicken breast patties. J. Poultry Science 79:99-104.
Nur, M. dan H. Adijuwana.1987. Teknik Separasi dalam Analisis Pangan. Pusat
Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nuraini, I. 2002. Kualitas dendeng giling dari daging sapi, ayam dan kelinci. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Octaviani, Y. 2002. Kandungan gizi dan palatabilitas bakso campuran daging dan
jantung sapi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pandisurya. 1983. Pengaruh jenis daging dan penambahan tepung terhadap mutu
bakso. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Pramono, A. I., D. Muchatdi, T. R. Muchtadi. 1985. Pembuatan dan evaluasi tahu
bercita rasa daging. Media Teknologi Pangan 2(1):44-54.
Pearson, A. M. and W. Tauber. 1984. Processed Meats. The AVI Publishing
Company,Inc. Wesport, Connecticut.
Penebar Swadaya. 1998. Bawang Putih Dataran Rendah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Price J.F. and Schweigert, B. 1987. The Science of Meat and Meat Products. 2nd
Edition. Food and Nutrition Press, Westport.
Pujoraharjo, A. 2002. Karakteristik sosis dari daging kelinci dan ayam dengan
tingkat penggunaan tapioka dan susu skim yang berbeda. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purnomo, H. 1997. Studi tentang stabilitas protein daging kering dan dendeng selama
penyimpanan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas
Brawijaya, Malang.
Purseglove, J. W. 1972. Tropical Crops : Monocotyledons 2. Longman, London.
Rahmat, M. 2002. Daya terima dan kualitas abon daging ayam ras petelur afkir
goreng dan oven selama penyimpanan pada suhu kamar. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut petanian Bogor, Bogor.
Ridwanto, I. 2003. Kandungan gizi dan palatabilitas sosis daging sapi dengan
substitusi tepung tulang rawan ayam pedaging sebagai bahan pengisi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rismundar. 1988. Budidaya dan Tata Niaga Pala. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rismundar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Eksport Indonesia. Sinar Baru,
Bandung.
Rompis, J. 1998. Pengaruh kombinasi bahan pengikat dan bahan pengisi terhadap
sifat fisik, kimia serta palatabilitas sosis sapi. Tesis. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Saji. 2005. Resep Ayam Panggang Berbumbu. Tabloid , 27 Juli-29 Agustus 2005.
Santoso, H. 1994. Kecap dan Tauco Kedelai. Kanisus, Yogyakarta.
Saunders R. M, M. A. Connor, A. N. Booth, E.M. Bickoff and G.O. Kohler. 1972.
Measurement of digestibility of alfalfa protein concentrates by in vivo and in
vitro methods. J. Nut. 103:530-535.
Sediaoetama, A. D. 1991. Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Dian Rakyat,
Jakarta.
Setiawaty, E. 1985. Mempelajari beberapa sifat protein dendeng sapi. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Shahidi, S. 1998. Flavor of Meat, Meat Products and Sea Food. Thomson Science,
London.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada Universitas Press,
Yoyakarta.
Sutedjo, M. 1990. Pengembangan Kultur Tanaman Berkhasiat Obat. Rineka Cipta, .
Jakarta.
Sudarisman, T dan Elvina A. R. 1996. Petunjuk Memilih Produk Ikan dan Daging.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Thohari, M, B. Masyud, S. Supraptini. dan M. Cece. 1993. Analisis Perbandingan
Polimorfisme Protein Darah dan Berbagai Jenis Rusa di Indonesia dengan
Menggunakan Elektroforesis. Konservasi Sumber Daya Hutan. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tornberg. 2004. Effect of heat on meat proteins-implication on stucture and quality
of meat product. J. Meat Sci 70:493-508.
Waturaka, F.Y. 2002. Komposisi kimia dan daya terima abon dari daging sapi dan
ayam petelur afkir pada cara pemasakan yang berbeda. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Widayanto, H. 2002. Komposisi kimia dan karakteristik organoleptik abon daging
domba dan daging kambing yang dimasak dengan metode pemasakan yang
berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wijaya, H., P. Retno Wikandari, Suliantan dan Sugiono. 1993. Pengaruh Cara
Pengolahan pada Komponen Aktif Cita Rasa dari Rempah-rempah. Pusat
Antar Universitas. Insititut Pertanian Bogor, Bogor.
Winarno , F. G. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka, Jakarta.
Winarno, F. G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Winarno, F. G. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. Pusat
Pengembangan Teknologi Pertanian. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
Wisena, M. 1988. Evaluasi nilai gizi abon sapi menggunakan metode In Vitro dan
evaluasi mutu abon komersil yang berada di kota Bogor. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yenrina, R. 1995. Nilai gizi protein abon daging sapi yang dievaluasi dengan
menggunakan tikus percobaan dan faktor sosial yang berhubungan dengan
konsumsi abon di masyarakat. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Metode Silver Staining
Gel
Series1
4.6
Linear (Series1)
4.4
4.2
4
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Rf
Lampiran 6. Gambar Hasil Elektroforesis Bakso Sapi dan Marker
Bakso Marker
4.8 Series1
4.6
Linear (Series1)
4.4
4.2
4
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Rf
Lampiran 8. Gambar Hasil Elektroforesis Abon Sapi dan Marker
Abon Marker
y = -1.0335x + 5.0445
6
5 R2 = 0.9942
Log BM
4 Series1
3
2 Linear (Series1)
1
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Rf
Lampiran 10. Gambar Hasil Elektroforesis Daging Segar dan Marker
Daging Segar
M
Lampiran 11. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Daging Segar
Marker LMW BM Log BM Run Cm Band Cm Rf
Phosphorylase 97000 4.98677 4.4 0.6 0.136364
Albumin 66000 4.81954 4.4 1.2 0.272727
Ovalbumin 45000 4.65321 4.4 2 0.454545
Carbonic anhydrase 30000 4.47712 4.4 2.8 0.636364
Trypsin inhibitor 20100 4.3932 4.4 3.4 0.772727
- Lactalbumin 14400 4.15836 4.4 4.2 0.954545
5
4.5
4 Series1
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 Linear (Series1)
Rf
Lampiran 12. Gambar Hasil Elektroforesis Daging Panggang dan Marker
4a 4 M
Panggang Sapi
Lampiran 13. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Daging Panggang
y = -1.0225x + 5.051
5.2
R2 = 0.9737
5
4.8
Log BM
Series1
4.6
Linear (Series1)
4.4
4.2
4
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Rf