Tafsir Al-Bagowi
Dalam Qs. Ad-Dzariyat ayat 56, kata “kholaqo” dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
“menciptakan”. “Kholaqo” berarti Allah menciptakan atau mengkreasi. Proses penciptaan jin
atau manusia tersebut tidak ada kontribusi dari siapapun kecuali Allah sendiri. Proses penciptaan
tersebut yaitu “illaa liya’buduun” yang berarti “untuk beribadah”. Dalam hadist dijelaskan bahwa
Allah merupakan perbendaharaan mutiara yang tersembunyi dimana Allah ingin diketahui
keberadaannya, sehingga Allah menciptakan mahluq agar mereka mengenal Allah sebagai sang
pencipta. Oleh karena itu, semua manusia baik kaya, miskin, muda, tua, pintar atau bodoh, rakyat
ataupun pejabat diharuskan untuk beribadah karena tidak ada pengecualian. Apabila manusia
terlahir dimuka bumi, maka dia diwajibkan untuk beribadah. Meskipun seseorang tidak pernah
menuntut ilmu agama di pesanteran, tetapi dia sudah merasakan manjadi manusia, maka dia
diwajibkan sholat. Sebagai contoh, ketika terdapat seorang mualaf di usia yang sangat tua, maka
ia diwajibkan untuk tetap beribadah karean telah masuk islam meskipun belum bisa mengfalkan
bacaan sholat.
Dalam tafsir Al-Baghowi ulama Sufyan dan ulama-ulama lain mengatakan bahwa ayat ini
diperuntukkan atau dikhususkan untuk golongan-golongan yang taat beribadah kepada Allah
baik dari golongan jin atau manusia. Kata taat memiliki lawan kata yaitu maksiat yang berarti
tidak menyembah Allah. Apabila dia taat maka pasti menyembah Allah, sehingga belajar taat
kepada Allah itu penting. Ibnu Abbas berkata bahwa yang dipanggil untuk “illa liya’buduun”
adalah orang-orang yang beriman. Apabila tidak beriman maka dia tidak taat, apabila tidak taat
maka dia tidak akan beribadah sehingga tempatnya yaitu di neraka jahannam. “Illaa
liya’buduun“ menurut Sayyidina Ali Bin Abi Tholib yaitu perintah untuk menyembah Allah dan
untuk beribadah. Kita tidak diperintah kecuali untuk menyembah Allah sebagai Tuhan Yang
Maha Esa. Maka dari sini menyembah berarti melakukan yang diperintahkan oleh Allah dan
menjauhi semua larangannya dengan taat dan meninggalkan maksiat.
“Su’adaai” berarti orang-orang yang bahagia dan sukses. Kita hidup dan beribadah
kepada Allah berarti kita sudah berjalan di jalan Allah. Sebaliknya orang-orang yang gagal dan
tidak sukses bisa jadi orang-orang itu masih melakukan maksiat dimana golongan orang-orang
tersebut termasuk golongan yang celaka. Su’ada yang berarti beribadah mempunyai lawan kata
yaitu “askiya”, yang berarti selalu mebantah, melawan dan membangkang.
Memaknai ,”tidak Ku-Ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahku”. Kalimat
ini merambah pada thoriqoh dan ma’rifat. Begitu mengamalkan syariat maka kita mentarbiyah
nafsu dan qalbunya bisa merasakan kehadiran Allah. Saat kita melakukan perjalanan hidup dan
melakukan semua ibadah yang mampu dikerjakan, maka selanjutnya yaitu tarbiyah qalbu agar
hati mengenal Allah dan menjadi ma’rifat. Ma’rifat disini bisa dicontohkan dengan semakin
khusyu’nya kita saat sholat. Contoh lainnya yaitu beribadah tanpa dipaksa melainkan sadar diri
bahwa kita membutuhkan untuk beribadah kepada Allah maka itu sudah bisa disebut ma’rifat.
Saat kita sudah ma’rifat dan hanya melakukan ibadah wajib, maka kita akan mersa malu kepada
Allah sehingga pasti akan menambah beribadah dengan ibadah-ibadah lain yang sunnah.