Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN EVALUASI KUALITAS DAGING DAN PRODUK OLAHAN

KOASISTENSI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER


PROGRAM PROFESI DOKTER HEWAN GELOMBANG XIX
KELOMPOK G

Disusun oleh :

Ketut Elok Sukardika 2109611001


Alya Diasti Paraningtyas 2109611025
Salsabila Qutrotu’ain 2109611026
Regina Bonifasia Br Ginting 2109611040
Putu Mira Yudiani 2109611062

LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN


EPIDEMIOLOGI PROGRAM PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Evaluasi Kualitas Daging dan Produk Olahan Daging. Penulis menyadari bahwa
penyelesaian laporan ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penyusun
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.drh. I.B.N Swacita, MP. selaku dosen
pengajar Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Udayana.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih terdapat banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi, maupun analisa penulisan. Sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Akhir kata, penulis
berharap semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 5 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i


KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar belakang.............................................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................ 2
1.3 Manfaat ........................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3
2.1 Daging ........................................................................................................ 3
2.2 Produk olahan daging ................................................................................... 6
2.3 Parameter evaluasi kualitas daging ............................................................... 7
BAB III MATERI DAN METODE ................................................................. 14
3.1 Materi ...................................................................................................... 14
3.2 Metode ...................................................................................................... 14
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 19
4.1 Evaluasi kualitas daging ............................................................................. 19
4.2 Evaluasi kualitas produk olahan daging ...................................................... 26
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 30
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 30
5.2 Saran ...................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 31
LAMPIRAN ...................................................................................................... 33

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Standar warna daging sapi ................................................................. 9


Gambar 3.1 Standar warna daging sapi ............................................................... 14
Gambar 3.2 Kertas lakmus atau kertas pH ........................................................... 16

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan evaluasi daging segar secara subjektif ................... 19
Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan evaluasi daging (pH, daya ikat air, dan kadar air) ... 23
Tabel 4.3 Hasil pertumbuhan ALTB dan koliform daging ................................... 25
Tabel 4.4 Hasil evaluasi kualitas produk olahan daging ....................................... 26
Tabel 4.5 Hasil uji subjektif dan objektif produk olahan daging lainnya .............. 27

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Berdasarkan data Administrasi Kependudukan (Adminduk) per Juni 2021, jumlah
penduduk Indonesia adalah sebanyak 272.229.372 jiwa. Populasi penduduk yang
tinggi ini dibarengi dengan kebutuhan akan makanan yang tinggi pula. Salah satu
sumber makanan yang dibutuhkan masyarakat indonesia adalah daging sebagai sumber
protein hewani.
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki nilai gizi berupa protein
yang mengandung susunan asam amino yang lengkap. Daging didefinisikan sebagai
urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir,
hidung, dan telinga yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong. (Heri
Warsito, Rindiani 2015). Daging dikelompokan menjadi 2 yaitu daging merah yang
bersumber dari ternak sapi, babi, kambing, dan lain-lain, serta daging putih yang
bersumber dari ayam dan ikan.selain itu daging juga dapat dikonsumsi dalam bentuk
olahan seperti bakso, sosis, dan nuget (Bahar, 2003).
Nilai protein daging yang tinggi disebabkan oleh kandungan asam amino
esensialnya yang lengkap dan seimbang. Asam amino esensial merupakan pembangun
protein tubuh yang berasal dari makanan dan tidak dapat dibentuk di dalam tubuh.
Selain kaya protein, daging juga mengandung energi sebesar 250 kkal/100 g. Jumlah
energi dalam daging ditentukan oleh kandungan lemak intraselular di dalam serabut-
serabut otot yang disebut lemak marbling. Kadar lemak pada daging berkisar antara 5-
40%, tergantung pada jenis spesies, makanan, dan umur ternak. Daging juga
merupakan sumber mineral, kalsium, fosfor, dan zat besi, serta vitamin B kompleks
(niasin, riboflavin dan tiamin), dan memiliki kadar vitamin C yang rendah (Lawrie,
2003).

1
Berdasarkan kebutuhan daging yang tinggi tersebut, ketersediaan pangan yang
sehat dan aman menjadi kunci utama mencapai tingkat gizi yang baik. Perlu proses
panjang melalui mata rantai produksi mulai dari penyediaan bibit, prapanen, hingga
pasca panen untuk mendapatkan pangan demikian (Winarno, 2004). Sehingga perlu
dilakukan penilaian kualitas daging dan produk olahannya.

1.2. Rumusan masalah


Bagaimana hasil penilaian kualitas daging dan produk olahannya secara subjektif
dan objektif ?

1.3. Tujuan penulisan


Mahasiswa mampu melakukan penilain kualitas daging dan produk olahannya
secara subjektif dan objektif di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daging
Daging merupakan produk hasil dari hewan yang sering digunakan sebagai
sumber protein hewani sebagian besar masyarakat di Indonesia. Daging kaya akan
protein, mineral, vitamin, lemak serta zat yang lain yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.
Menurut Khasrad dan Ningrat (2010) yang menyatakan bahwa kebutuhan masyarakat
dalam negeri terhadap daging akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk, peningkatan taraf ekonomi, kesadaran masyarakat akan gizi dan keberadaan
masyarakat luar negri. Masyarakat Indonesia rata-rata memerlukan 50 gram protein,
20% diantaranya berasal dari ternak yakni protein dari ternak 4 gram/hari, sedangkan
80% atau 40 gram lainnya berupa protein nabati (Sugeng, 2000).
Sapi lokal merupakan salah satu andalan untuk memenuhi kebutuhan daging
dalam negeri, beberapa rumpun sapi lokal, diantaranya sapi bali, madura, PO dan SO
masih menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan dagiing dalam negeri. Meskipun
produktivitas dan kualitas dagingnya cenderung masih rendah. Di Indonesia masih
belum mampu menghasilkan daging kualitas premium. Daging yang diimpor tersebut
mempunyai beberapa kelebihan yaitu lebih empuk, derajat marbling yang tinggi
sehingga sangat disukai oleh konsumen (Priyanto et al., 2015)
Pada dasarnya kualitas suatu daging dipengaruh oleh beberapa faktor, salah
satunya yaitu bagiamana cara memperlakukannya sebelum dan setelah pemotongan.
Haq et al. (2015) yang menyatakan bahwa faktor sebelum pemotongan yang dapat
mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak,
jenis kelamin, umur, pakan, termasuk bahan aditif (hormon, anti biotik, dan mineral)
dan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain
meliputi pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas, dan daging, bahan

3
tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon, dan anti biotik, lemak
intramuskular, dan metode penyimpanan.
Sumber protein yang dikonsumsi masyarakat di Indonesia mayoritas berasal
dari peternakan, Adapun beberapa jenis daging yang sering dikonsumsi yaitu ayam,
sapi dan babi. Setiap daging memiliki citarasa dan tekstur tersendiri, seperti halnya
daging babi yang cenderung memiliki tekstur lebih lembut dikarena memiliki
kandungan lemak yang tinggi.
A. Daging sapi
Daging sapi merupakan salah satu komoditi peternakan yang menjadi
andalan sumber protein hewani dan sangat menunjang untuk memenuhi kebutuhan
dasar bahan pangan di Indonesia. Daging sapi potong juga telah menjadi salah satu
bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
konsumsi daging nasional yang harus dipenuhi. Kebijakan impor dilakukan dalam
rangka memenuhi kekurangan produksi dalam negeri.
Di Indonesia tingkat konsumsi daging sapi cukup tinggi. Dari berbagai
sumber protein hewani, daging sapi merupakan daging yang menduduki peringkat
atas daripada daging dari ternak lain, baik dari segi kualitas maupun tingkat
kesukaan (Samodra dan Cahyono, 2010). Daging sapi memiliki kandungan gizi
yang tinggi. Kandungan air rata rata 77.65%, kadar lemak rata rata 14.7 % dan
kadar protein rata rata 18.26% (Prasetyo et al, 2013). Kualitas daging dipengaruhi
faktor antemortem (genetik, umur, jenis kelamin, stress, aktivitas) dan faktor
postmortem (pelayuan, pembekuan, metode pengolahan). Analisis kualitas karkas
dan daging meliputi kualitas karkas (tebal lemak punggung, luas urat
daging mata rusuk, warna daging, dan marbling score), serta sifat fisik
daging (pH daging, daya ikat air, daya iris/keempukan, dan susut masak)
(Priyanto et al. 2015)
B. Daging babi
Daging babi merupakan salah satu produk peternakan yang dikonsumsi oleh
masyarakat di Indonesia. Produk peternakan sangat dibutuhkan untuk menopang

4
tubuh manusia sehingga kualitas sumberdaya manusia meningkat menjadi lebih
baik.Hal ini karena produk peternakan memiliki kandungan gizi yang dapat
menunjang kebutuhan nutrisi bagi masyarakat. Produk peternakan dalam hal ini
memiliki skor tertinggi sebagai sumber protein hewani sehingga produk ini
memiliki peranan strategis dalam pencapaian kebutuhan gizi konsumsi pangan
yang baik. Jumlah konsumsi daging babi di Indonesia tidak sebanyak daging ayam
dan sapi. Meski begitu penting untuk memperhatikan kualitas daging babi agar
keamanan produk tetap terjaga sehingga masyarakat yang mengkonsumsi aman.
konsumsi daging babi dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga, dan jumlah
anggota keluarga. Pendapatan rumahtangga dan jumlah anggota keluarga
berpengaruh sangat nyata terhadap konsumsi daging babi (Kumaat, 2016)
Daging babi yang beredar di pasar tradisional pada umumnya berasal dari
daging babi dari bangsa babi landrace persilangan. Sangat sedikit ditemukan
bahkan hampir tidak ditemukan daging babi yang berasal dari breed lokal.
Beberapa faktor menjadi pertimbangan konsumen memilih jenis daging tertentu,
untuk dikonsumsi antara lain cita rasa, budaya, kepercayaan kandungan nutrien dan
kualitas fisik daging. Kualitas fisik daging seekor ternak dipengaruhi oleh faktor
bangsa, umur, jenis kelamin, kastrasi dan pakan. Bangsa ternak babi yang berbeda
akan memperlihatkan kualitas fisik daging yang berbeda pula. (Sriyani et al. 2015)
C. Daging ayam
Daging ayam merupakan jenis daging yang paling digemari di Indonesia.
Konsumsi masyarakat terhadap daging ayam khususnya ayam broiler terus
meningkat dari waktu ke waktu. Selain harganya yang murah daging ayam juga
memiliki nilai gizi yang baik, sehingga banyak masyarakat indoseia memilih
daging ayam dibandingkan daging yang lain. Daging ayam merupakan sumber
protein hewani yang baik, karena mengandung asam amino esensial yang lengkap
dan jumlah perbandingan yang seimbang. Selain itu, daging ayam lebih diminati
oleh konsumen karena mudah dicerna dan dapat dicerna oleh mayoritas orang
(Yashoda et al. 2001).

5
Kualitas daging ayam sangat mempengaruhi terhadap minat masyarakat
dalam mengkonsumsi. Masyarakat cenderung melihat dari tampilan fisik dan bau
ketika membeli daging. Pendapat Hajrawati (2016) yang menyatakan bahwa
kualitas daging ayam meliputi kualitas fisik, kimia dan biologi serta diterima atau
tidaknya oleh konsumen. Secara biologi kerusakan daging ayam lebih banyak
diakibatkan oleh adanya pertumbuhan mikroba yang berasal dari ternak,
pencemaran dari lingkungan baik pada saat pemotongan maupun selama
pemasaran. Pertumbuhan dan aktivitas mikroba dipengaruhi oleh faktor suhu
penyimpanan, waktu, tersedianya oksigen dan kadar air daging.
Perlakuan untuk daging ayam segar perlu perhatian khusus dikarenakan
mudah rusak oleh mikroorganisme. Kondisi pemotongan atau penjualan yang
kurang higenis menyebabkan ayam dapat terkontaminasi bakteri baik yang bersifat
patogen ataupun non pathogen sehingga dapat mempengaruhi kualitas fisik dan
kimia daging (Hajrawati, 2006). BSN (2009) yang menyatakan batas cemaran
mikroba pada karkas dan daging ayam maksimum 1 x 106 cfu/g dan E. coli
maksimum 1 x 101 cfu/g.

2.2 Produk Olahan Daging


Kebutuhan protein terbesar masyarakat bersumber dari sektor peternakan. Di
Indonesia kebutuhan protein hewan asal ternak sesuai dengan standar kebutuhan gizi
nasional sebanyak 6,0 gram/kapita/hari. Upaya penyediaan protein hewani asal ternak
berupa bahan segar dan hasil olahan. Bahan segar memiliki keterbatasan mengingat
sifatnya yang mudah rusak (perisable) sehingga daging sapi memiliki keterbatasan baik
terhadap ruang, tempat dan waktu untuk didistribusi dari tangan produsen ke tangan
konsumen, yang sekaligus berdampak pada penurunan fungsi ekonomis. Untuk
mengatasi penurunan fungsi ekonomis produk daging, maka perlu dilakukan upaya
pengolahan agar produk dapat bertahan lebih lama (Sonbait, 2011).
Di indonesia sangat banyak berbagai macam olahan produk yang berasal dari
ternak. Ternak-terank seperti ayam, sapi, babi dan juga ikan banyak diolah menjadi

6
makanan beku seperti bakso, sosis, nuget dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pendapat
Saragih (2000) beberapa bentuk produk olahan yang diminati konsumen dewasa ini
adalah produk olahan daging yang memenuhi fungsi praktis dan efisien yakni, siap
guna (ready for used), siap saji (ready to cook) dan siap konsumsi (ready to eat).
Daging olahan memiliki kandungan protein dan air lebih sedikit dan lebih banyak
mengandung lemak dan mineral (Soeparno 2005).
Hasil olahan produk daging sangat perlu memperhatikan kualitas produknya
agar produk dapat bertahan lama. Nilai pH mempengaruhi lama waktu simpan produk
olahan peternakan karena nilai pH berhubungan terhadap tingkat pertumbuhan
mikroorganisme yang dapat merusak produk,. Parameter pH dalam produk memegang
kunci penting untuk kualitas karena nilai pH berpengaruh terhadap pertumbuhan
mikroorganisme, perubahan temperatur dan struktur kimia suatu senyawa dalam
kandungan produk (Ismanto et al. 2020).

2.3 Parameter Evaluasi Kualitas Daging


Penilaian kualitas daging ayam, sapi, dan babi dapat dilakukan dengan
menggunakan dua uji yaitu Subjektif (Evaluasi Inderawi) dan uji Objektif (Evaluasi
menggunakan alat-alat laboratoris). Faktor yang mempengaruhi kualitas suatu daging
antara lain : warna, daya ikat air, konsistensi dan tekstur, bau, kepualaman, cita rasa
dan jumlah mikroba.
Kualitas kimia daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging
adalah genetik, spesias, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif
(hormone, antibiotik, dan mineral), serta keadaan stress. Faktor setelah pemotongan
yang mempengaruhi kualitas daging adalah metode pelayuan, metode pemotongan,
metode pemasakan, lemak intramuscular (marbling), tingkat keasamaan (pH) daging,
bahan tambahan (termasuk enzim pengempuk daging), metode penyimpanan dan
pengawetan, macam otot daging, serta lokasi otot (Astawan, 2004).

7
A. Warna daging
Warna merupakan indicator penting yang perlu diperhatikan dalam
produksi daging. Hal ini berkaitan dengan minat konsumen dalam membeli produk,
dikarenakan kesan pertama konsumen dalam membeli daging adalah dengan
melihat warna sebagai tampilan fisiknya. Menurut Soeparno (2009), mioglobin
merupakan salah satu protein sarkoplasmik yang tersusun dari suatu rantai
polipeptida tunggal terikat disekeliling group heme yang membawa Oksigen.
Group heme tersusun dari suatu atom Fe dan suatu cincin pornifin. Perbedaan
warna diantara spesies sebagian besar disebabkan oleh konsentrasi mioglobin. Pada
umumnya dengan bertambahnya umur ternak konsentrasi mioglobin makin
meningkat, tetapi peningkatan ini tak konstan. Oksigenasi terjadi ketika mioglobin
terkena oksigen dan ditandai oleh pengembangan warna cherry-merah cerah.
Daging yang terekspos dengan udara (O2), mioglobin dan oksigen dalamdaging
akan bereaksi membentuk ferrousoxymioglobin (OxyMb) sehingga daging akan
berwarna merah cerah (Kuntoro et al., 2013). Pakan merupakan salah satu faktor
yang sangat berperan dalam menentukan warna daging maupun lemak. Meskipun
demikian, pengaruh pakan terhadap konsentrasi warna daging dan lemak belum
banyak diketahui, baik efek dari penggunaan hijauan sebagai pakan tunggal
maupun dikombinasikan dengan konsentrat (Tahuk et al. 2020). Pengukuran warna
daging dan lemak menggunakan standar warna daging dan lemak berdasarkan
standar skor warna untuk warna daging dan lemak yang dikeluarkan oleh Badan
Standarisasi Nasional (BSN) tentang Standar Nasional Indonesia (SNI: 3932: 2008)
Tentang Standar Mutu Karkas dan Daging Sapi Potong. Skor warna daging

8
memilki skala angka dari 1-9, nilai skor warna semakin besar maka warna daging
dinyatakan semakin gelap

Gambar 2.2 Standar warna daging sapi (SNI: 3932: 2008) Tentang Standar Mutu Karkas
dan Daging Sapi Potong
B. Bau daging
Bau daging dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur kualitas
daging. Daging yang segar cenderung memiliki bau seperti darah segar. Sedangkan
daging yang mengalami pembusukan akan tercium bau busuk. Proses transportasi
daging dari tempat pemotongan sampai konsumen membutuhkan waktu, bahkan
bertambah lama jika memerlukan pengiriman yang jauh dalam jumlah yang
banyak. Pertambahan waktu tersebut akan memberikan kesempatan
mikroorganisme dan bakteri untuk berkembang biak.
Suardana dan Swacita (2009) menjelaskan bahwa bau daging disebabkan
oleh adanya fraksi yang mudah menguap berupa inosin-5-monofosfat (merupakan
hasil konversi dari adenosine-5- trifosfat pada jaringan otot hewan semasa hidup)
yang mengandung hidrogen sulfida dan metil merkaptan. Daging yang masih segar
berbau seperti darah segar. Daging yang telah mengalami pembusukan khususnya
pada daging merah akan berbau busuk, bau daging merupakan pengaruh campuran
dari aktivitas enzim lipolitik triasilgliserol, ketengikan oksidatif asam lemak tak

9
jenuh serta produk degradasi protein yang terakumulasi dalam jaringan lemak
.Produk degradasi protein daging dapat diketahui dari pelepasan gas-gas amonia
(NH3), dan hidrogen sulfida (H2S) serta metil merkaptan yang berbau busuk.
Pelepasan gas-gas ini bersumber dari asam-asam amino penyusun protein daging
yang mengandung gugus NH, gugus S dan gugus CH3 dalam kombinasi dengan
senyawa lain.
C. Konsistensi dan tekstur
Daging segar cenderung memiliki tekstur yang lebih padat atau liat dan
memiliki kandungan air lebih sedikit dibandingkan dengan daging yang sudah
busuk. Tekstur daging busuk sedikit licin karena biasanya akan berlendir karena
terjadi proses pembusukan.
Menurut Soeparno (2005), tekstur daging kemungkinan besar merupakan
penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi
tekstur daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan
termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin dan
stress. Faktor postmortem antara lain meliputi metode pelayuan (chilling),
refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan serta
metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan
pengempuk. Jadi tekstur bisa bervariasi diantaranya spesies, bangsa, ternak dalam
spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang sama.
D. Kepualaman
Kepualaman adalah suatu kondisi pada daging yang mengandung
bintikbintik lemak diantara serat-seratnya (intramuskular) yang tampak secara
visual. Kepualaman daging dievaluasi pada permukaan penampang melintang dari
otot longisimus dorsi pada irisan daerah rusuk ke 10 dan ke – 11.
Tingkat kepualaman berdasarkan standar The Japanese Meat Society
(1974) seperti di bawah :
0 = bintik lemak absen (0% dari penampang melintang permukaan)
1 = bintik lemak absen (10% dari penampang melintang permukaan)

10
2 = bintik lemak absen (20% dari penampang melintang permukaan)
3 = bintik lemak absen (30% dari penampang melintang permukaan)
4 = bintik lemak absen (40% dari penampang melintang permukaan)
5 = bintik lemak absen (50% dari penampang melintang permukaan
Makin tinggi skor nilai yang diberikan oleh daging tersebut, maka makin
baik mutu daging tersebut sebagai bahan pangan karena akan mempengaruhi
citarasa daging setelah dimasak (Suardana dan Swacita, 2009)
E. Nilai pH
Nilai pH dapat mempengaruhi kualitas daging, pH akhir daging yang
dicapai merupakan petunjuk untuk mengetahui kualitas mutu suatu daging. Nilai
pH daging akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari
pemecahan glikogen selama proses glikolisis anaerob dan hal ini akan terbatas bila
glikogen terdeplesi karena lelah, kelaparan atau takut pada hewan sebelum
dipotong. Yanti et al. (2008) mengatakan bahwa pada kondisi normal nilai pH
daging sapi berkisar antara 5,46 –6,29. Soeparno (2005) menyatakan bahwa nilai
pH daging sapi yang rendah (asam), disebabkan oleh penguraian glikogen otot oleh
enzim-enzim glikolisis secara anaerob menjadi asam laktat.
Perubahan nilai pH daging dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya
yaitu stress ternak sebelum dipotong, pemberian injeksi hormone, spesies, macam
otot dan aktivasi enzim yang mempengaruhi glikolisis, pertambahan lama waktu
simpan menyebabkan perubahan fisis dan kimiawi daging. Kesempatan tumbuh
mikroorganisme dan jamur bertambah sehingga menyebabkan perubahan nilai pH
secara nyata. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Weiser et al. (1971) yang
menyataan bahwa perubahan asam bermula dari jamur dalam daging yang
memecah protein menjadi asam amino sehingga kadar asam daging semakin tinggi
atau nilai pH menurun.
F. Daya ikat air
Pengukuran daya ikat air menggunakan metode Hamm, dimana daging di
iris sebanyak 5 gram kemudian potongan daging diletakkan dalam kertas yang

11
menyerap air. Setalah itu lempengan kaca diletakkan di sebelah atas dan bawah
daging kemudian ditekan dengan beban seberat 35 kg. Dibiarkan 10 menit, daging
dilepaskan dari lipatan kertas kemudian ditimbang beratnya. Daya ikat air
berhubungan erat dengan tingkat kualitas daging yaitu keempukan (tenderness),
rasa basah (juiceness) dan warna.
Daya ikat air daging dipengaruhi oleh temperature, kelembapan,
penyimpanan, umur ternak, dan juga kandungan lemak. Menurut Jamhari (2000),
terdapat beberapa faktor yang bisa menyebabkan variasi pada daya ikat air oleh
daging, diantaranya : faktor pH, faktor perlakuan maturasi, pemasakan atau
pemanasan. Faktor biologik seperti jenis otot, jenis ternak, jenis kelamin, dan umur
ternak. Demikian pula faktor pakan, transportasi, suhu, kelembapan, penyimpanan,
preservasi, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan, dan lemak intramuskuler.
Riyanto (2004), menyatakan bahwa daya ikat air akan meningkat jika nilai
pH daging meningkat. Hal ini disebabkan pada pH daging yang rendah maka
struktur daging terbuka sehingga menurunkan daya ikat air, dan tingginya nilai pH
daging mengakibatkan struktur daging tertutup sehingga daya ikat air tinggi.
Semakin pH mendekati nilai isoelektrik daging maka daya ikat air daging akan
semakin rendah, sebaliknya semakin jauh nilai pH dari titik isoelektrik maka
semakin tinggi daya ikat air daging tersebut (Haq et al. 2015).
G. Kadar air
Pemeriksaan kadar air digunakan metode pengeringan atau oven
(thermogravimetri) (Legowo dkk, 2005). Kadar air dalam bahan makanan sangat
mempengaruhi kualitas, cemaran mikroba dan daya simpan dari pangan tersebut.
Oleh sebab itu, penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat penting agar
dalam proses pengolahan maupun pendistribusian mendapat penanganan yang
tepat. Susut masak daging sapi dipengaruhi oleh daya ikat air dan kadar air.
Semakin tinggi daya ikat air dan semakin rendah kadar air daging sapi, maka
persentase susut masak daging sapi akan menurun (41,55%). (Hernando et al.
2015)

12
Kadar air juga dipengaruhi oleh bangsa ternak dan cara pemeliharaan.
Selain itu pemberian pakan juga dapat mempengaruhi kadar air dalam daging.
Menurut Soeparno (2009) kadar air daging dipengaruhi oleh jenis ternak, umur,
kelamin, pakan serta lokasi dan fungsi bagian-bagian otot dalam tubuh. Kadar air
yang tinggi disebabkan umur ternak yang muda, karena pembentukan protein dan
lemak daging belum sempurna (Rosyidi et al., 2010)
H. Cemaran bakteri
Daging sapi memiliki kandungan nutrisi yang baik, Kandungan gizi yang
baik di dalam daging ini sangat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme
Penyediaan daging yang kandungan mikrobanya tidak melebihi Batas Maksimum
Cemaran Mikroba (BMCM) sangat diharapkan dalam memenuhi persyaratan untuk
mendapatkan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Rumah Pemotong-
an Hewan (RPH) merupakan tempat yang rawan dan berisiko cukup tinggi terhadap
cemaran mikroba patogen. Setelah ternak dipotong, mikroba yang terdapat pada
hewan mulai merusak jaringan sehingga bahan pangan hewani cepat mengalami
kerusakan bila tidak mendapat penanganan yang baik (Rahayu, 2006).
Beberapa mikroba patogen yang biasa mencemari daging adalah
Escherichia Coli, Salmonella sp, dan Staphylococcus sp. Pertumbuhan mikroba
pada daging sangat dipengaruhi oleh kadar air daging tersebut. Kandungan air
dalam bahan makanan memengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan
mikroba. Kandungan air tersebut dinyatakan dengan water activity, yaitu jumlah
air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya.
Kelembaban dan kadar air biasanya berpengaruh terhadap pertumbuhan
mikroorganisme. Bakteri dan jamur memerlukan kelembaban di atas 85% untuk
pertumbuhannya (Purnomo, 2004).

BAB III

13
MATERI DAN METODE

3.1 Materi
3.1.1 Alat

Pisau, talenan, gunting, cawan petri, desikator, neraca analitik, forced draf
oven, seplt, pinset, gelas ukur, mortir, cawan pengering, pemberat (jerigen berisi
air seberat 30 kg), 2 buah lempengan kaca, standar warna daging SNI 2008, hp,
cangkir alumunium, inkubator dan pulpen.

3.1.2 Bahan
Daging sapi, babi, dan ayam (dari dua pasar sanglah dan badung), bakso
ayam, bakso sapi, bakso babi, nuget ayam, sosis ayam, sosis sapi, sosis babi,
akuades, kertas pH, media tanam (Nutrien agar dan EMBA), tisu, dan kertas HVS
A4.
3.2 Metode
3.2.1 Uji Subjektif
1. Uji Warna Daging Sapi dan Babi
Masing-masing daging diiris kira-kira tebalnya 1 cm pada permukaan segar,
diletakan pada wadah yang berbeda dan diberi skor (1,2, dan seterusnya),
kemudian dinilai berdasarkan standar warna daging SNI.

Gambar 3.1 Standar warna daging sapi, (Sumber SNI 3932:2008)


Keterangan:

14
Skor 9 = coklat tua, 8 = coklat, 7 = coklat muda, 6 = coklat kemerahan, 5 = merah
tua, 4 = merah cerah, 3 = merah muda, 2 = merah pucat, dan 1 = pucat.
2. Uji Bau Daging Sapi dan Babi
Masing-masing daging diiris kira-kira tebalnya 1 cm pada permukaan segar,
diletakan pada wadah yang berbeda dan diberi skor (1 dan 2), kemudian daging
diperiksa dengan cara dibaui menggunakan indra penciuman. Hasil pengamatan
dinyatakan dengan memberi skor, yaitu: 1 = bau darah segar (normal) dan skor 2
= bau H2S, bau daging basi, bau ammonia, ataupun bau yang lainnya (tidak
normal).
3. Uji Konsistensi dan Tekstur Daging Sapi dan Babi
Masing-masing daging diiris, diletakan pada wadah yang berbeda dan diberi
skor (1, 2 dan 3), kemudian dinilai dengan cara memegang daging yang disajikan
dan memberi skor 1 = liat, 2 = lembek, dan 3 = berair.
4. Uji tekstur
Masing-masing daging diiris, diletakan pada wadah yang berbeda dan diberi
skor (1 dan 2), kemudian dinilai dengan cara meraba permukaan daging yang
disajikan dengan tangan yang jarang digunakan (orang normal dengan tangan kiri
dan orang kidal dengan tangan kanan), kemudian memberi skor 1 = terasa halus
dan 2 = kasar.
5. Keadaan Tenunan Pengikat
Masing-masing daging diiris, diletakan pada wadah yang berbeda dan diberi
skor (1 dan 2), kemudian dinilai dengan cara melihat pada potongan melintang
daging dan amati apakah terdapat jaringan ikat. Nyatakan hasil pengamatan
dengan skor 1 = mutu 1 (tidak mengandung jaringan ikat) dan skor 2 = mutu 2
(jika ditemukan jaringan ikat).
6. Kepulauan Daging
Daging masing-masing diiris, diletakan pada wadah yang berbeda dan diberi
skor (1,2, dan seterusnya), kemudian dinilai dengan cara diamati adanya bintik-

15
bintik lemak diantara serat-seratnya (intramuscular). Kemudian di beri skror
sesuai dengan standar The Japanese Meat Society (1974) :
0 = bintik lemak absen (0% dari penampang melintang permukaan)
1 = bintik lemak absen (10% dari penampang melintang permukaan)
2 = bintik lemak absen (20% dari penampang melintang permukaan)
3 = bintik lemak absen (30% dari penampang melintang permukaan)
4 = bintik lemak absen (40% dari penampang melintang permukaan)
5= bintik lemak absen (50% dari penampang melintang permukaan)

3.2.2 Uji Objektif


1. Uji nilai pH
Daging masing-masing diambil sebanyak 10 gram, dimasukan daging ke dalam
mortir dan ditambahkan akuades sebanyak 10 ml kemudian digerus, dipisahkan
bagian ampas dan ekstraknya. Selanjutnya kertas pH dicelupkan ke dalam ekstrak
daging dan diamati serta dicocokan perubahan warna pada kotakkertas pH tersebut.

Gambar 3.2 Kertas pH (Sumber : Google)


2. Uji daya ikat air
Dalam tahapan uji daya ikat air ini dilakukan dengan Metode Hamm.
Prosedurnya adalah sebagai berikut: masing-masing daging diambil sebanyak 5
gram, diletakan pada wadah yang berbeda dan diberi kode (1,2,3, dan seterusnya),
kemudian tempatkan potongan daging dalam lipatan kertas HVS A4 (menyerap
air) di atas lempengan kaca. Kemudian letakkan lagi lempengan kaca yang lain di
atasnya kemudian ditekan dengan beban seberat 30 kg dan tunggu selama 11,36

16
menit. Setelah itu beban dipaskan dan daging tersebut ditimbang kembali,
Selanjutnya hitung daya ikat airnya dan catat hasil pengukuran yaitu berat awal,
berat akhir, dan daya ikat airnya.
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡𝑟𝑒𝑠𝑖𝑑𝑢
Daya Ikat Air (%) = 𝑥 100
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎𝑤𝑎𝑙

3. Uji kadar air


Pengujian kadar air daging dilakukan dengan cara, yaitu: cawan pengering
diberi kode (1,2,3, dan seterusnya) kemudian dimasukan ke dalam forced draft
oven selama 15 menit, setelah itu cawan di ambil dan didinginkan selama 5 menit
di dalam desikator, kemudian cawan pengering ditimbang dan dicatat hasilnya
setelah itu masukan daging 3-5 gr pada masing-masing cawan dan catat hasilnya.
Kemudian masukan cawan yang telah berisi daging tersebut ke dalam oven dengan
suhu 105 derajat celcius selama 4 jam, setelah 4 jam keluarkan cawan dari oven
dan didinginkan di dalam desikator selama 5 menit kemudian ditimbang kembali
dan dicatat hasilnya.
Terakhir hasilnya dihitung dengan cara:
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
Kadar Air (%) = 𝑥 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙

4. Uji Cemaran Bakteri


Pada penilaian cemaran bakteri pada masing-masing daging dilakukan dengan
2 metode yaitu metode tuang dan metode sebar. Langkah pertama yang dilakukan
adalah ambil masing-masing jenis daging sebanyak 5 gr dan masukan ke dalam
beberapa mortir berbeda, kemudian tambahkan akuades sebanyak 5 ml ke dalam
masing-masing mortir dan dihomogenkan, kedua ambil cairan daging pada setiap
mortir sebanyak 0,1 ml dan campur dengan 0,9 ml larutan akuades kemudian
lakukan pengenceran sebanyak 1000 x pada setiap sampel, terakhir ambil setiap
sampel sebanyak 1 ml. Setelah sampel siap maka siapkan media tanam yaitu:
a. Media NA (Nutrient Agar)
 Kebutuhan media NA untuk 6 sampel yaitu ± 20 ml/petri jadi diperlukan
sebanyak 6 x 20 ml =120 ml. Pada formula media NA tertera 28 gram dalam 1

17
liter, maka media NA yang diperlukan sebanyak 120 ml/1000ml x 28 gram =
3,36 gram
 Ditambahkan akuades steril sampai volume 120 ml, diaduk sampai homogen
 Dipanaskan pada alat pemanas selama beberapa menit sampai mendidih
(masak)
 Media NA didinginkan sampai suhu 40-45oC
 Setelah media dingin (40-45oC), dituang sebanyak ± 20 ml ke dalam cawan
petri yang sudah berisi sampel ekstrak daging 1 ml (pengenceran 1000x)
 Cawan perti diputar ke kiri dan ke kanan agar ekstrak daging bercampur dengan
media NA dengan baik
 Dibiarkan media memadat pada suhu ruang, kemudian cawan petri dimasukkan
ke dalam inkubator dengan suhu 37oC dalam posisi terbalik selama kurang lebih
24 jam.
 Terakhir dihitung jumlah ALTB nya dengan rumus :
1
ALTB = ∑ koloni x ------------------------------------------------------- cfu/gram
faktor pengenceran x volume ekstrak daging

b. Media EMBA (Eosin Methylene Blue Agar)


 Kebutuhan media EMBA untuk 6 sampel yaitu ± 20 ml/petri jadi diperlukan
sebanyak 6 x 20 ml =120 ml. Pada formula media EMBA tertera 28 gram dalam
1 liter, maka media EMBA yang diperlukan sebanyak 120 ml/1000ml x 28 gram
= 3,36 gram
 Tambah akuades steril sampai volume 90 ml
 Panaskan pada alat pemanas selama beberapa menit sampai mendidih
 Diamkan beberapa menit lalu tuangkan ke dalam 6 cawan petri (15 ml/petri)
dan tunggu sampai padat.
 Setelah media padat ambil sampel daging sebanyak 1 ml kemudia gunakan
metode sebar dengan menyebarkan sampel di atas media tanam

18
 Simpan sampel di inkubator dengan suhu 37 derajat celcus selama kurang lebih
24 jam.
 Terakhir hitung jumlah kumannya.
5 Penilaian Kualitas Produk Olahan Daging
Produk olahan daging yang digunakan pada pratikum ini berupa bakso (sapi,
babi, dan ayam), sosis (sapi, babi, dan ayam), dan nuget (ayam). Adapun penilaian
kualitas pada produk olahan daging dilakukan dengan penilaian secara subjektif
(warna, bau, konsistensi, tekstur, dan cita rasa) dan subjektif (pH). Prosedur
yamng digunakan sama seperti prosedur pemeriksaan kualitas daging di atas.

19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Evaluasi Kualitas Daging


Kualitas daging yang dihasilkan dari suatu pemotongan, antara lain tergantung
pada faktor penunjang pertumbuhan. Evaluasi terhadap kualitas dan kesehatan daging
dilakukan secara subjektif dan objektif. Faktor yang mempengaruhi kualitas daging
antara lain: warna, kemampuan menahan air, konsistensi dan tekstur, bau, kepualaman,
cita rasa dan jumlah mikroba. Pada pemeriksaan ini digunakan tiga jenis sampel daging
meliputi daging ayam, daging sapi, daging babi, yang masing-masing didapatkan dari
dua pasar tradisional yang berbeda yaitu dari pasar Sanglah dan pasar Badung.
Sehingga total sampel daging segar yang digunakan yaitu sebanyak enam sampel yang
selanjutnya dievaluasi secara subjektif dengan menggunakan panca indera (Tabel 4.1)
dan secara objektif dengan menggunakan alat-alat laboratoris (Tabel 4.2). selain itu
perkiraan jumlah kuman juga dilakukan dengan penghitungan jumlah kuman dengan
metode tuang dan metode sebar (Tabel 4.3)

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan evaluasi daging segar secara subjektif dari pasar Sanglah
dan pasar Badung
Parameter Uji
Warna Bau Konsistensi Tekstur Keadaan Kepualaman
Sampel
Tenunan
Pengikat
Putih Darah
A1 Liat Kasar Mutu II 0%
kekuningan segar
Putih Darah
A2 Liat Kasar Mutu II 0%
kekuningan segar
Coklat Darah
S1 Liat Kasar Mutu II 10%
kemerahan segar
Coklat Darah
S2 Liat Kasar Mutu II 10%
merah tua segar
Coklat
B1 Busuk Liat Kasar Mutu II 20%
muda

20
Darah
B2 Coklat tua Liat Halus Mutu II 20%
segar
Keterangan: sampel daging segar dari pasar sanglah; A1 (Ayam Sanglah), S1(Sapi
Sanglah), B1 (Babi Sanglah). Sampel Daging Segar dari pasar Badung;
A2 (Ayam Badung), S2 (Sapi Badung), B2 (Babi Badung).
Hasil pemeriksaan secara subjektif pada warna daging segar menunjukkan
adanya kesamaan pada warna daging ayam segar dari pasar Sanglah maupun pasar
Badung yakni berwarna putih kekuningan. Konsentrasi mioglobin akan menyebabkan
macam otot merah atau otot putih (Soeparno et al., 2001). Warna daging ayam segar
adalah putih kekuningan, hal ini sesuai dengan pernyataan Cross (1988), bahwa warna
daging ayam disebabkan provitamin A yang terdapat pada lemak daging dan pigmen
oksimioglobin. Lawrie (2003), menyebutkan bahwa pigmen oksimioglobin adalah
pigmen penting pada daging segar, pigmen ini hanya terdapat di permukaan saja dan
menggambarkan warna daging yang diinginkan konsumen.

Daging sapi yang segar umumnya dinyatakan berwarna adalah merah cerah
(bright red). Pada hasil pemeriksaan didapatkan bahwa warna daging sapi di pasar
badung lebih cerah dibandingkan dengan daging sapi di pasar sanglah. Warna daging
sapi cenderung tampak coklat kemerahan dapat disebabkan karena permukaan daging
yang mengalami kontak dengan udara dalam jangka waktu yang lama, sehingga
berwarna coklat, karena oksimioglobin teroksidasi menjadi metmyoglobin (Lawrie,
2003). Reaksi oksigenasi biasanya dapat ditandai pada daging segar < 0,5 jam dan
biasanya disebut blooming pada industri daging. Oksimioglobin yang merah tetap
stabil sepanjang hemoglobin tetap mengalami oksigenasi dan besi dalam hemoglobin
tetap pada status tereduksi (Francis, 1995).

Dari segi warna daging babi cenderung lebih pucat dari pada daging sapi.
Warna pada daging babi cenderung kecoklatan, mioglobin merupakan pigmen utama
daging dan konsentrasinya akan mempengaruhi intensitas warna merah daging.
Perbedaan kadar miglobin menyebabkan perbedaan intensitas warna daging (Dangur
et al, 2020). Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar mioglobin adalah spesies, jenis

21
kelamin, umur dan aktifitas fisik hewan. Hal ini menjelaskan kenapa daging sapi lebih
merah dari daging babi dan daging babi lebih merah dari daging ayam; atau mengapa
daging hewan jantan, hewan tua dan/atau daging paha lebih merah dari hewan betina,
hewan muda dan/atau daging dada. Warna daging juga dipengaruhi oleh kondisi
penanganan dan penyimpanan. Jenis kemasan, serta suhu dan lama waktu
penyimpanan bisa mempengaruhi warna daging. Hal ini disebabkan oleh terjadinya
perubahan kondisi oksidasi mioglobin yang menyebabkan perubahan warna daging
(Syamsir, 2011). Apabila kontak langsung antara mioglobin dengan oksigen dalam
jangka waktu yang lama, maka akan terjadi oksidasi membentuk ferricmetmyoglobin
(MetMb) sehingga daging berwarna coklat (Aberle et al., 2001; Dengen, 2015). Selain
itu, aktivitas bakteri juga dapat menyebabkan perubahan warna pada daging. Jenis
bakteri pembusuk yang menyebabkan terjadi perubahan warna daging menjadi coklat
kehitaman adalah Chromobacterium lividum (Aberle et al., 2001; Olaoye dan Ntuen,
2011).

Hasil pemeriksaan pada bau daging menunjukkan bahwa sampel daging segar
yang didapatkan dari pasar Sanglah terdapat bau busuk pada daging babi, sedangkan
untuk daging ayam dan sapi memiliki bau seperti darah segar. Pemeriksaan bau pada
sampel daging segar di pasar Badung memiliki bau seperti darah segar yang
menandakan daging masih fresh. Bau daging disebabkan oleh adanya fraksi yang
mudah menguap berupa inosin-5-monofosfat (merupakan hasil konversi dari
adenosine-5-trifosfat pada jaringan otot hewan semasa hidup) yang mengandung
hidrogen sulfida dan metil merkaptan. Daging yang masih segar berbau seperti darah
segar. Umumnya daging yang diletakkan pada suhu ruang selama berjam-jam akan
mengalami pertumbuhan bakteri yang sangat cepat dan menyebabkan kerusakan
protein pada daging sehingga mengalami perubahan aroma pada daging. Produk
degradasi pada daging akan melepaskan gas-gas bau seperti amonia, hidrogen, sulfida,
serta metil merkaptan (Suardana dan Swacita, 2009; Suada et al., 2018).

22
Hasil pemeriksaan pada konsistensi dan tekstur daging menunjukkan bahwa
semua sampel daging segar yang didapatkan dari pasar Sanglah maupun Badung
memiliki konsistensi yang liat dan tekstur yang halus. Konsistensi daging segar
biasanya liat (firmed), konsistensi daging yang tidak segar biasanya lembek (soft)
dan berair (juicy). Konsistensi daging ditentukan oleh banyak sedikitnya jaringan ikat
yang menyusun otot tersebut. Daging yang segar tampak lebih liat sedangkan yang
mulai membusuk konsistensinya berair (Suardana dan Swacita, 2009).
Timbulnya lendir dapat menjadi tanda terjadinya kebusukan pada daging (Jay, 1986 cit
Amri et al., 2018).
Hasil pemeriksaan pada keadaan tenunan pengikat menunjukkan bahwa sampel
daging ayam, sapi dan babi segar yang didapatkan dari pasar Sanglah maupun Badung
jaringan ikatnya positif sehingga termasuk mutu/Klass II. Tenunan pengikat (kolagen
elastis, retikulum, mukopolisakarida dari matriks) dari miofibril aktin, miosin,
tropomiosin dan yang sarkoplasma berhubungan langsung dengan derajat tekstur
daging (Lawrie, 2003). Jumlah jaringan ikat yang lebih banyak mengakibatkan daging
lebih keras dibandingkan jaringan ikat yang lebih sedikit (Soeparno, 1991).

Hasil pemeriksaan keadaan tenunan pengikat menunjukkan adanya perbedaan


persentase antara daging ayam, sapi dan babi di pasar sanglah dan pasar badung.
Kepualaman adalah kondisi pada daging yang mengandung bintik-bintik lemak
diantara serat-seratnya yang dapat dilihat secara visual. Semakin tinggi lemak marbling
membuat daging semakin empuk (Dilaga dan Soeparno, 2007). Pada daging ayam dari
pasar Sanglah dan pasar Badung tidak ditemukan adanya marbling. Namun pada
daging sapi dan babi terdapat adanya marbling dengan persentase yang berbeda-beda.
Jumlah marbling yang dihasilkan menentukan kelembutan, intensitas rasa, dan
juiciness saat dimasak (Pollan, 2006). Alasannya adalah marbling membuat asam
lemak dalam daging sapi mengalami perubahan kimia yang kompleks bila terkena
panas. Perubahan kimia tersebut berinteraksi dengan asam lemak, berkembang di
daging, dan menimbulkan cita rasa yang enak. Lemak tersebut juga memberikan aroma

23
khas daging sapi ketika dimasak dan juiciness yang disebabkan oleh lemak yang
meleleh di daging.

Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan evaluasi daging segar secara objektif (pH, daya ikat air,
dan kadar air) dari pasar sanglah dan pasar Badung
Parameter Uji
Sampel Daya Ikat Air
pH Kadar Air (%)
(%)
A1 6,5 76 78
A2 5,5 70 76
S1 5 80 75
S2 5,5 82 74,5
B1 5 80 72,4
B2 5 77 74,2
Keterangan: Sampel daging segar dari pasar sanglah; A1 (Ayam Sanglah), S1 (Sapi
Sanglah), B1 (Babi Sanglah). Sampel daging segar dari pasar Badung;
A2 (Ayam Badung), S2 (Sapi Badung), B2 (Babi Badung).
Hasil pemeriksaan pH pada daging segar yang diperoleh dari pasar Sanglah dan
Badung menunjukkan kisaran pH 5 - 6,5. Hasil ini menandakan daging yang berasal
dari pasar Sanglah dan Badung memiliki pH yang normal. Tingkat keasaman pH otot
pada hewan sehat sbelum dipotong adalah 7,2 – 7,4. Menurut Buckle et al. (1987),
bahwa pada beberapa ternak, penurunan pH terjadi satu jam setelah ternak dipotong
sampai tercapainya rigormortis. Penurunan nilai pH daging setelah perubahan
glikolisis menjadi asam laktat berhenti berkisar antara 5,1-6,2 (Soeparno, 2005). Nilai
pH daging akan ditentukan oleh jumlah laktat yang dihasilkan dari glikogen selama
proses glikolisis anaerob dan hal ini akan terbatas bila glikogen terdeplesi karena lelah,
kelaparan atau takut pada hewan sebelum dipotong (Buckle et al., 1987). PH daging
yang tinggi akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme juga semakin tinggi. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Buckle et al. (1987), bahwa pada pH rendah (sekitar
5,1 ± 6,1) menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka, sedangkan pH tinggi

24
(sekitar 6,2 ± 7,2) menyebabkan daging pada tahap akhir akan mempunyai struktur
yang tertutup atau padat dan lebih memungkinkan untuk perkembangan
mikroorganisme lebih baik.

Hasil pengamatan daging segar yang diambil dari pasar sanglah dan pasar
badung menunjukkan daya ikat air pada daging ayam sapi, dan babi berkisar antara 76
- 80 %. Kemampuan daging untuk menahan air merupakan suatu sifat penting karena
dengan daya ikat air yang tinggi, maka daging mempunyai kualitas yang baik.
Pengujian daya mengikat air merupakan pengujian untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan daging dalam mengikat air bebas. Daging dengan daya ikat air rendah
akan kehilangan banyak cairan, sehingga terjadi kehilangan berat. Semakin kecil nilai
daya ikat air, maka susut masak daging semakin besar, sehingga kualitas daging
semakin rendah karena banyak komponen-komponen terdegradasi (Lapase et al, 2016).
Menurut Soeparno (2009), daya ikat air daging sekitar 20 - 60%. Sehubungan dengan
penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa semakin menurunnya kadar air daging
maka kemampuan protein untuk mengikat air juga akan menurun.

Kadar air yang diperoleh dari pemeriksaan daging segar ayam, sapi dan babi
yang berasal dari pasar sanglah dan pasar badung berkisar antara 72,1 – 78 %. Secara
umum kadar air daging berkisar antara 68-80 %. Pertumbuhan mikroba pada daging
sangat dipengaruhi oleh kadar air daging tersebut. Kandungan air dalam bahan
makanan memengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba.
Kandungan air tersebut dinyatakan dengan water activity, yaitu jumlah air bebas yang
dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Kelembaban dan kadar
air biasanya berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Bakteri dan jamur
memerlukan kelembaban di atas 85% untuk pertumbuhannya (Purnomo, 2004).
Kasmadiharja (2008) menyatakan bahwa kadar air yang meningkat dipengaruhi oleh
jumlah air bebas yang terbentuk sebagai hasil samping dari aktivitas bakteri.
Berdasarkan uraian diatas daging ayam, sapi dan babi yang berasal dari pasar sanglah
dan badung mempunyai kualitas yang baik.

25
Tabel 4.3 Hasil pertumbuhan ALTB dan koliform dari daging ayam, sapi dan babi dari
pasar Sanglah dan Badung.
Jenis Daging Pasar Sanglah Pasar Badung
ALTB ayam 352 x 103 CFU/g 316 x 103 CFU/g
sapi 325 x 103 CFU/g 132 x 103 CFU/g
babi 75 x 103 CFU/g 380 x 103 CFU/g
Koliform ayam 9 x 10CFU/g 16 x 10 CFU/g
sapi 9 x 10 CFU/g 22 x 10 CFU/g
babi 26 x 10 CFU/g 23 x 10 CFU/g
Dalam acuan ambang batas cemaran bakteri ALT pada daging segar yang telah
ditentukan oleh SNI (No.7388-2009) adalah 1×106 CFU/gr. Berdasarkan hasil yang
telah didapat, maka daging ayam, sapi dan babi yang berasal dari pasar sanglah dan
badung masih berada pada ambang batas yang diwajarkan oleh SNI. Sedangkan untuk
batas cemaran bakteri koliform yang telah ditentukan oleh SNI (No.7388-2009) adalah
1×102, berdasarkan hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa tingkat cemaran
bakteri koliform dari sampel daging babi dari pasar sanglah dan sampel ayam, sapi dan
babi dari pasar badung melebihi ambang batas yang telah ditentukan oleh SNI
(No.7388-2009).
Cemaran ALTB yang masih berada pada ambang batas namun untuk koliform
masih ada daging yang berada diatas ambang batas sehingga menandakan masih
banyak kontaminasi yang berada di pasar sanglah dan pasar badung. Menurut Suryanto
(2005), sanitasi berhubungan dengan jumlah mikroba kontaminan. Semakin rendah
tingkat sanitasi maka semakin tinggi jumlah mikroba yang mengkontaminasi bahan
pangan. Kontaminasi bahan pangan dapat terjadi karena adanya kontaminasi bakteri
dari sarana dan prasarana yang digunakan kurang steril (Syahruddin et al. 2014) seperti
talenan, pisau, timbangan, meja, pencepit. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa ada dua
faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada daging yaitu (a)faktor
intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, Potensi oksidasi reduksi, dan
ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat kemudian (b) faktor ekstrinsik

26
yang meliputi temperatur, kelembapan, ada tidaknya oksigen dan dan bentuk atau
kondisi daging.

5.1 Evaluasi Kualitas Produk Olahan Daging


Olahan daging dibuat bertujuan untuk memperpanjang masa simpan serta
meningkatkan nilai ekonomis tanpa mengurangi nilai gizi dari produk tersebut
(Firahmi et al., 2015). Karena banyaknya produksi kelas rumahan bagi produk olahan
daging, seperti bakso dan sosis, sehingga dibutuhkan syarat untuk menjamin sebuah
produk olahan daging tersebut aman dan layak dikonsumsi. Menurut standarisasi
nasional Indonesia, produk dinyatakan memenuhi syarat untuk dikonsumsi apabila
produk dinyatakan lulus uji, seperti uji subjektif dan uji objektif. Pada praktikum ini
kami melakukan uji subjektif, dengan parameter yang diamati seperti warna, bau,
konsistensi, dan tekstur. Sedangkan uji objektif yang dilakukan yaitu uji Ph.
Berdasarkan uji yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil yang dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 4.4 Hasil evaluasi kualitas produk olahan daging

Kriteria uji Sanglah Badung


Bakso sapi Bakso babi Bakso sapi Bakso babi
Warna normal normal Normal Normal
Bau normal normal Normal Normal
Konsistensi kenyal kenyal Kenyal Kenyal
Tekstur kasar halus Halus Halus
Ph 5 6 6 6

27
Tabel 4.1 Hasil uji subjektif dan objektif produk olahan daging lainnya.

Kriteria Uji Sosis ikan Sosis sapi Sosis babi Bakso ikan
Warna Normal Normal Normal Normal
(kekuningan) (pink) (orange) (putih)
Bau Bau tepung Bau tepung Bau babi Bau tepung
dan sapi
Konsistensi keras kenyal Kenyal Kenyal
Tekstur kasar kasar Kasar Halus
Ph 5 4.5 5.5 6.5

Pembahasan Hasil Evaluasi Kualitas Produk Olahan Daging.


a. Uji Subjektif
Uji warna pada produk olahan daging sangat penting, karena warna dari suatu
produk adalah hal pertama yang dilihat dan dinilai oleh para konsumen, apabila
sebuah produk memiliki warna yang asing, maka akan diangap tidak normal. Warna
pada produk olahan daging disebakan karena hasil dari berbagai proses dan reaksi.
Diantaranya karena bahan dasar yang digunakan, yaitu daging yang memiliki
komponen pembentuk warna yang disebut pigmen mioglobin dan hemoglobin,
pigmen tersebut mengandung protein yaitu globin dan bagian yang terikat pada gobin
yaitu heme. Heme ini mengandung atom Fe yang dapat tereduksi sehingga daging
berwarna merah keunguan, apabila teroksidasi akan menyebabkan daging berwarna
coklat (metmioglobin), atau atom Fe dapat berpasangan dengan oksigen
(oksimioglobin) yang menyebabkan daging berwarna merah cerah. Faktor lain yang
mempengaruhi warna produk daging yaitu suhu, bahan tambahan dan proses
pembuatan (Zurriyati, 2011). Bahan tambahan berupa nitrit yang digunakan dalam
pembuatan sosis sangat berpengaruh terhadap perubahan warna, karena memiliki
fungsi sebagai penstabil warna jaringan daging untuk menghambat mikroorganisme
pembusuk (Pulungan, 2019). Apabila sosis diberi tambahan nitrit sosis akan

28
berwarna merah cerah, sedangkan sosis yang tidak ditambahkan nitrit akan berwarna
merah kecoklatan.
Bau yang timbul dari produk olahan daging berasal dari senyawa mudah
menguap yang terdapat dari daging dan penambahan bumbu yang memberikan
citarasa dan mampu meningkatkan aroma (Apriantini et al., 2021). Bau produk
olahan daging dinyatakan normal apabila tidak tercium bau asing, seperti bau khas
daging dengan aroma bumbu yang biasa ditambahkan.
Konsistensi produk olahan dinilai berdasarkan kekenyalan produk tersebut,
kekenyalan ini dipengaruhi oleh daya mengikat air. Semakin tinggi kadar protein
maka semakin tinggi juga air yang terikat yang menyebabkan semakin kenyal suatu
produk, karena semakin tinggi presentase air yang terkat dalam produk tersebut.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi yaitu adanya penambahan sodium triposphat,
yang dapat meningkatkan daya mengikat air dan pH daging sehingga meningkatkan
kekenyalan produk olahan daging (Zurriyati, 2011). Lemak juga berpengaruh pada
kosnsistensi sebuah produk olahan daging, dikarenakan lemak memberikan sifat
empuk dan semakin rendah lemak pada produk olahan, maka hasil yang didapatkan
akan semakin keras (Apriantini et al., 2021). Faktor lain yang mempengaruhi kulitas
produk olahan daging, baik bakso ataupun sosis adalah cara produksi dan
pengemasan produk. Menurut badan standarisasi nasional bakso daging ataupun
sosis, tahun 1995, sebaiknya produk dikemas dalam wadah yang tertutup rapat, dan
tidak dipengaruhi atau mempengaruhi isi, aman selama penyimpanan dan
pengangkutan. Serta produksi produk harus higenis termasuk cara penyiapan dan
penanganan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang pedoman cara
produksi pangan olahan yang baik.

b. Uji Objektif
Nilai pH adalah suatu indikator penting dalam prinsip pegawetan bahan pangan,
karena berkaitan juga dengan ketahanan hidup mikroba, dimana pada kondisi pH
yang rendah, mikroba semakin sulit untuk hidup, maka produk olahan semakin awet.

29
Nilai pH juga mempengaruhi masa simpan, daya ikat air, tekstur, stabilitas emulsi,
keempukan dan warna (Bulkaini et al., 2019). Perbedaan nilai pH pada produk olahan
daging dapat disebabkan karena perbedaan bahan baku, yaitu pH daging yang
digunakan. Penyebab rendahnya nilai pH juga dapat disebabkan karena sifat
fungsional protein yang berkurang, bahkan hilang karena terjadinya denaturasi
protein (Irawati et al., 2015). Selain itu suhu penyimpanan juga memiliki pengaruh
terhadap perubahan pH, bahwa semakin tinggi temperatur dapat meningkatkan laju
penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat penurunan pH (Ismail et
al., 2016). Pada Proses pengolahan dan penambahan bahan lain dalam pembuatan
produk olahan daging juga dapat menyebabkan pH sedikit meningkat dari pH daging
yang digunakan sebagai bahan dasar yaitu antara 5,3-5,8 (Apriantini et al., 2021).
Menurut Standar Nasional Indonesia (1995), pH bakso yang baik berkiasar antara 6-
7, sedangkan untuk sosis yaitu 6,2-6,8. Berdasarkan parktikum yang telah dilakukan
didapatkan hasil bahwa variabel nilai pH pada bakso yaitu 5-6.5 dan untuk produk
sosis yaitu 4.5-5.5. Terdapat beberapa produk yang memiliki nilai pH dibawah
standar, yang mungkin disebabkan karena faktor penyimpanan yang kurang baik,
karena produk yang dipasarkan semuanya disimpan pada suhu ruang.

30
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Berdasarkan pemeriksaan subjektif dan objektif, daging sapi dan ayam di Pasar
Sanglah dan Pasar Badung masih menjadi pertimbangan untuk dikonsumsi. Sedangkan
pada babi di Pasar Sanglah kurang layak dikomsumsi. Hal ini disebabkan jumlah
bakteri coliform pada daging yang diatas normal disebabkan karena sanitasi di
pedagang yang kurang bagus maupun pada praktikum yang masih belum sepenuhnya
benar-benar steril. Untuk daging olahan, berdasarkan pemeriksaan subjektif layak
untuk dikomsumsi, sedangkan untuk pH cenderung tinggi dikarenakan pada proses
penyimpanan yang menyebabkan terjadinya perubahan suhu.

5.2 Saran
Jika ingin dikomsumsi sebaiknya menggunakan suhu yang tinggi, perlu
ditingkatkan steril pada alat-alat laboratorium sehingga hasil praktikum yang didapat
lebih akurat. Selain itu factor eksternal lainnya seperti kurangnya sanitasi yang
diterapkan pada pedagang daging, seperti memegang uang dan daging tanpa
menggunakan sarung tangan yang menjadi salah satu faktor mempengaruhi hasil
penilaian objektif pada daging.

31
DAFTAR PUSTAKA

Abarele, E.D. Forrest, H.B. Hendrick, M.D. Judge dan R.A Merkel. 2001. Principles
of meat science. W.H. Freeman and Co. San Fransisco.
Bahar, B. (2003). Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. (F. G. Winarmo, Ed.).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan: Hari Purnomo Adiono. UI Press. Jakarta

Cross, H.R, and A.J. Overby. (1988). Meat Science, Milk Science and Technology.
Amsterdam-Oxford-New York-Tokyo: Elsevier Science Publishers B.V.

Dangur, S.T., Novalino H.G., Kallau , Diana A., Wuri. 2020. Pengaruh Infusa Daun
Kelor (Moringa Oleifera) Sebagai Preservatif Alami Terhadap Kualitas Daging
Babi. Jurnal Kajian Veteriner. 8(1) : 1 – 23.
Dilaga, I.W.S. dan Soeparno. 2007. Pengaruh Pemberian Berbagai level Clenbuterol
terhadap Kualitas Daging Babi Jantan Grower. Buletin Peternakan. 31(4): 200-
208.

Fardiaz, S, 1992, Mikrobiologi Pengelolaan Pangan, Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Francis, F.J. 1995. Quality as influenced by color . Journal of Food Quality and
Preference. pp-149 – 155.

Heri Warsito, Rindiani, F. N. (2015). Ilmu Bahan Makanan dasar (I). Yogyakarta: Nuha
Medika
Jay, J.M. 1986. Modern Food Microbiology. New York (USA): Van Nostrand
Reinhold Company cit Amri MC, Sugito, Sulasmi, Nurliana, Ismail, dan Abrar
M. 2018. Quality of Broiler Meat after Treatment of Jaloh Extract and Turmeric
Extract and Infected by Eimeria tenella.Jurnal Medika Veterinaria,12 (2):77-
83.

Kasmadiharja, H. 2008. Kajian Penyimpanan Sosis, Naget Ayam dan Daging Ayam
Berbumbu dalam Kemasan Polipropilen Rigid. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

32
Lapase, O.A., Gumilar J., Tanwiriah W. 2016. Kualitas Fisik (Daya Ikat Air, Susut
Masak, Dan Keempukan) Daging Paha Ayam Sentul Akibat Lama Perebusan.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.

Lawrie, R.A. 2013. Ilmu daging. Edisi Ke-5. Diterjemahkan oleh prakkasi, A, dan
Anwila, Y. universitas indonesia press. Jakarta.
Lawrie, RA. 2003. Ilmu Daging. Universitas Indonesia. Jakarta.

Pollan, M. 2006. Dilema Omnivora. New York: The Penguin Press.

Purnomo, B.2004. Materi Kuliah Mikrobiologi. Universitas Bengkulu. Bengkulu.

Soeparno, Indratiningsih, S. Triatmojo, dan Rihastuti. 2001. Dasar Teknologi Hasil


Ternak. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.

Soeparno. 1991. Ilmu Otot dan Daging. Dosen Fakultas Peternakan, Fakultas Pasca
Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Penerbit Gajah Mada University, Press.
Yogyakarta

Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 6; 152-156; 289-290; 297–299.

Standar warna daging sapi (SNI : 3932 : 2008) Tentang Standar Mutu Karkas dan
Daging Sapi Potong
Suada,I.K., Purnama,D.I.D., Agustina,K.K. 2018. Infusa Daun Salam
Mempertahankan Kualitas dan Daya Tahan Daging Sapi Bali. Buletin Veteriner
Udayana. 10(1): 100-109

Suardana, I W. dan Swacita, I. B. N. 2009. Higiene Makanan. Udayana University


Press, Denpasar, Bali.

Syahruddin M, Suarjana K.G.I, Rudyanto D.M, 2014, ‘Angka Lempeng Total Bakteri
pada Broiler Asal Swalayan di Denpasar dan Kabupaten Bandung’, Jurnal
Indonesia Medicus Veterinus, vol 3, no 2, hal 107-111.

Syamsir, Alvira. 2011. Karakteristik Mutu Daging. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta)

33
LAMPIRAN

Lampiran 1. Pelaksanaan praktikum pada hari pertama

34
Lampiran 2. Praktikum hari kedua

35

Anda mungkin juga menyukai