Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmanirrahim

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

atas berkat rahmat dan pertolongan-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas

makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarganya. Ucapan terima kasih

kepada Ir. Andry Pratama, S.Pt., MP.IPM. selaku dosen mata kuliah Pengendalian

Mutu Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran atas

bimbingannya.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Pengendalian Mutu Hasil Ternak. Adapun makalah ini diharapkan dapat menjadi

informasi dasar serta referensi. Dalam penyusunan makalah ini, tentunya belum

dapat dikatakan sempurna mengingat pengalaman dan pengetahuan penyusun

yang terbatas. Maka dari itu kami mengharapkan kritik serta saran yang

membangun agar kedepannya penyusun dapat berupaya lebih baik lagi dalam

pembuatan makalah. Akhir kata, penyusun berharap semoga makalah ini dapat

menjadi karya yang menambah pemahaman dan pengetahuan pembaca.

Sumedang, 20 April 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Bab Halaman

KATA PENGANTAR......................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................iii

DAFTAR TABEL.............................................................................v

I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................2
1.3 Tujuan...........................................................................................2

II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mutu Pangan.................................................................................3
2.2 Batas Mutu....................................................................................3
2.3 Kelas Mutu...................................................................................4
2.4 Unsur dan Kriteria Mutu...............................................................5

III PEMBAHASAN
3.1 Pemilihan, Karakteristik Mutu, dan Cara Penyimpanan
Daging Sapi.................................................................................8
3.1.1 Pemilihan Daging Sapi yang Baik......................................8
3.1.2 Karakteristik Mutu Fisik dan Mikrobiologis Daging Sapi. 10
3.1.3 Penyimpanan Daging Sapi yang Baik................................10
3.2 Produk Olahan Daging Sapi.........................................................11
3.2.1 Pembuatan Abon................................................................11
2.2.2 Pembuatan Dendeng..........................................................13
2.3.3 Pembuatan Bakso Giling...................................................15
2.2.4 Sosis...................................................................................17
2.5.5 Curing Daging....................................................................18
3.3 Pengujian Mutu pada Olahan Daging Sapi...................................19

IV KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan...................................................................................25

ii
Bab Halaman

4.2 Saran.............................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................26

LAMPIRAN......................................................................................28

iii
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Mutu Fisik.............................................................................................10
2 Mutu Mikrobiologis..............................................................................10
3 Standar warna daging yang dipakai sesuai dengan
Photographic Colour Standard for Muscle Departement
of Agriculture, Western Australia (1982).............................................20

iv
I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar karena pangan

dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan kelangsungan hidup manusia.

Manusia membutuhkan energi untuk memastikan kelangsungan proses kehidupan

dan memperoleh energi. Kemudian manusia harus makan makanan yang

mengandung berbagai nutrisi. Melalui proses metabolisme dalam tubuh akan

dihasilkan energi digunakan untuk kegiatan dan melakukan proses kimiawi di

dalam tubuh manusia, selain memberikan nutrisi bagi manusia.

Tentukan tingkat kesehatannya. Makanan adalah sumber segalanya

organisme dan air, baik yang diolah atau tidak, yaitu Makanan atau minuman

untuk konsumen Manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku

makanan dan Bahan lain yang digunakan dalam persiapan, pemrosesan dan

produksi makanan dan minuman.

Pangan tersebut Sudah di atur dalam Undang-undang tentang pangan yaitu

UU Nomor 7 Tahun 1996. Hukum pangan dibuat untuk melindungi konsumen

dari risiko kesehatan dan bantu konsumen Mengevaluasi dan memilih bahan

makanan dan produk yang akan dikonsumsi mereka. Hukum pangan juga

bertujuan untuk Membantu dan mempromosikan hasil olahan agar memiliki

standar kualitas yang baik bagi konsumen. Selain itu, hukum pangan juga

Bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan masyarakat Memperluas

dan meningkatkan aktivitas ekonomi negara. Tambahan, Ada peraturan lain

1
mengenai pangan yaitu , UU No. 08, Undang-undang Perlindungan Konsumen

dan Kesehatan tahun 1999 Keputusan Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Berdasarkan sumbernya bahan pangan dapat dibagi menjadi dua yaitu

bahan pangan nabati dan hewani. Nabati dapat dibagi lagi menjadi biji-bijian,

hortikultura, umbi-umbian, kacang-kacangan. Yang dimaksud produk hortikultura

adalah sayuran dan buah-buahan, termasuk bunga-bungaan. Sedang produk

hewani meliputi produk hasil ternak besar ( sapi, kerbau), ternak kecil (kambing,

domba) serta unggas (ayam, bebek, kalkun) serta ikan dan kerang-kerangan serta

hasil laut dan perairan lainnya.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana pemilihan, karakteristik mutu, dan cara penyimpanan daging sapi

yang baik?

2. Apa saja produk olahan daging sapi?

3. Bagaimana melakukan pengujian mutu pada olahan daging sapi?

1.3 Maksud dan tujuan

1. Mengetahui bagaimana pemilihan, karakteristik, dan cara penyimpanan

daging sapi yang baik.

2. Mengetahui apa saja produk olahan daging sapi.

3. Mengetahui bagaimana cara melakukan Pengujian mutu pada olahan daging

daging sapi.

2
II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mutu Pangan

Dalam industri pangan, mutu atau kualitas didefinisikan sebagai tingkat

keistimewaan, sifat, karakter, fungsi dan ciri-ciri yang menunjukkan kesesuaian

bahan atau produk untuk tujuan yang dimaksudkan, dimulai sejak bahan diterima,

di titik-titik proses manufakturing, di distribusi dan maksud lain yang

menyertainya (Dwiloka, dkk., 2004). Pada kenyataannya, mutu produk baik dari

produsen primer (petani/peternak) dan produsen sekunder (industri) memiliki

keragaman. Pada hasil ternak, keragaman mutu disebabkan oleh banyak faktor

baik pada proses produksi (saat pemeliharaan) dan pasca produksi (saat

pemotongan, dan penyimpanan). Sedangkan pada skala industri, keragaman mutu

disebabkan oleh bahan asal, cara pengolahan, penggunaan bahan tambahan

pangan, penyimpanan, dan pengawetan. Keragaman mutu pada produk dapat

terjadi antara produk batch pertama dengan batch lainnya, atau dapat pula terjadi

antara produk musim ini dengan musim selanjutnya.

2.2 Batas Mutu

Pemerintah berupaya melindungi hak konsumen terhadap keragaman

mutu, hal ini dilakukan dengan menetapkan batas mutu dimana pemerintah dapat

melarang produsen untuk memproduksi mutu dengan kualitas rendah. Dengan

demikian, produsen dituntut untuk memproduksi produk bermutu tinggi. Namun

bagi produsen, meningkatkan mutu berarti menambah ongos produksi yang

apabila tidak sesuai dengan kenaikan harga jual maka produsen akan rugi. Disisi

3
lain, produsen seringkali terhambat dengan ketidakmampuannya dalam

menyediakan sarana yang dapat meningkatkan mutu produk.

Penetapan batas mutu oleh pemerintah perlu mempertimbangkan dua hal

pokok yaitu ; batas mutu tidak boleh terlalu rendah agar tidak merugikan

konsumen, dan batas mutu tidak juga terlalu tinggi agar dapat dijangkau oleh

produsen. Batas mutu dalam bentuk hasil olahan pangan ditentukan oleh

Departemen Perindustrian dalam bentuk Standar Industri Indonesia. Produk yang

berada di bawah garis batas mutu disebut lewat mutu / off grade, sedangkan

produk yang sesuai batas mutu disebut mutu minimal, adapun produk yang berada

di atas batas mutu digolongkan kelas mutu. Mutu bersifat dinamis, artinya produk

yang dianggap cukup mutu saat ini dapat dianggap mutu rendah dimasa

mendatang. Sehingga, batas mutu akan berubah sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan tuntutan konsumen (Dwiloka, dkk., 2004).

2.3 Kelas Mutu

Komoditas hasil panen maupun olahan industri tidak selamanya memiliku

mutu yang sama, oleh karena itu produsen atau distributor melakukan

pengelompokkan berdasarkan perbedaan mutu. Pekerjaan mengelompokkan

komoditas mutu sehingga mutunya menjadi seragam disebut pengkelasan mutu

(grading) sedangkan hasil dari pekerjaan tersebut ialah kelas mutu (grade). Kelas

mutu dibedakan berdasarkan nama mutu yang berupa nama atau simbol. Nama

mutu melambangkan kelas mutu dan tingkat harga pada komoditas kelas mutu

tersebut. Pemberian nama mutu ini memudahkan penjual memperkenalkan

berbagai kelas mutu produk dan memudahkan pembeli mengenali macam-macam

pilihan kelas mutu.

4
Namun, pada kenyataannya di pasaran penjual tidak menggunakan tingkat

mutu berdasarkan nama mutu, baik yang menggunakan angka ordinal (1,2,3 atau

I,II,III, dst.) ataupun huruf alfabet (A,B,C, dst.). Hal ini dikarenakan penggunaan

nama mutu akan menimbulkan pandangan buruk konsumen terhadap produk

tertentu dimana hal ini tidak menguntungkan bagi pedagang. Oleh karena itu,

pedagang atau industri biasanya menggunakan nama merek yang berbeda untuk

mencerminkan mutu produk yang berbeda. Sehingga, apabila suatu perusahaan

memiliki 3 merek dagang untuk suatu jenis produk, ini mencerminkan kelas mutu

yang berbeda, begitupun harganya (Dwiloka, dkk., 2004).

2.4 Unsur dan Kriteria Mutu

Unsur mutu meliputi hal yang dapat dilihat, baik yang dapat diukur

maupun tidak dapat diukur. Unsur mutu mecakup sifat produk, parameter dan

faktor mutu. Sifat mutu merupakan sifat yang dapat diamati, diukur, dan dianalisa

dari suatu produk. Sifat mutu terdiri dari ; sifat mutu fisik obyektif (sifat mutu

mekanik, fisik, morfologi, kimiawi, mikrobiologi, gizi, dan biologi) serta sifat

mutu organoleptik/indrawi yang subyektif (rasa, bau, warna, tekstur, dan

penampakan).

A) Sifat Mutu Fisik yang Obyektif

Mutu fisik bersifat objektif karena pengujiannya menggunakan alat, mesin,

hewan percobaan, dan bahan kimia. Sifat mutu fisik diantaranya :

a) Sifat mekanik, yaitu keras-lunak, mudah patah/sobek/putus, kaku-lentur

b) Sifat fisik, yaitu transparan, bentuk cair-padat, berat jenis, indeks bias, titik

didih-beku, warna

c) Sifat kimia, yaitu komponen kimia yang bermanfaat maupun beracun

5
d) Sifat gizi, yaitu kandungan gizi dalam produk pangan yang meliputi kalori,

protein, vitamin, mineral

e) Sifat mikrobiologi, yaitu jenis dan jumlah mikroba dalam produk pangan,

mikroba patogen

f) Sifat biologis, kontaminasi serangga/hama hidup ataupun mati

B) Sifat Mutu Organoleptik yang Subyektif

Sifat sensori/organoleptik ini merupakan sifat yang dapat dikenali dengan

panca indera manusia. Disebut subyektif, karena sifat ini melibatkan proses

motorik dan psikologis. Sifat ini didasarkan atas keinginan manusia dalam

penerimaan makanan atau bahan pangan yang dinilai berdasarkan karakter

tertentu seperti rasa. Karakter ini berasal dari faktor penampakan fisik produk

yang berupa warna, ukuran, bentuk, kerusakan fisik atau kecacatan; faktor

kinestetika seperti tekstur, viskositas, konsistensi, perasaan dengan mulut, dan

perabaan jari (Dwiloka, dkk., 2004).

Penampakan fisik selalu menjadi penentu sikap dan reaksi konsumen

terhadap produk pangan. Apabila produk tersebut menarik perhatian konsumen

maka konsumen akan terbujuk untuk menyentuh dan mencicipinya. Reaksi

selanjutnya yang ditimbulkan oleh konsumen adalah reaksi dari sifat kinestetik

produk tersebut. Tanpa menghiraukan sensitifitas individu, mutu sensori diurutkan

sebagai berikut :

a) Penglihatan : warna dan penampakan

b) Bau / aroma

c) Rasa / flavor : kombinasi rasa dan bau

d) Sentuhan / rasa di mulut dan kesensitifan syaraf / tekstur

6
e) Pendengaran (suara)

Adapun masalah yang seringkali muncul dalam penilaian mutu sensori ini

adalah :

1) Bias, muncul akibat panelis sudah memiliki persepsi tentang produk yang

akan diuji atau karena memiliki minat / interest pribadi.

2) Subjektifitas, karena panelis yang digunakan tidak tepat, atau kurang sensitif

terhadap mutu yang diuji, kurang diskriminatif, dan tidak dapat melakukan

pendekatan analitis dalam mengungkapkan persepsi yang diperoleh

3) Penilaiannya salah, panelis yang digunakan tidak sensitif terhadap

rangsangan yang ditimbulkan produk, atau jumlah panelis tidak dapat

mewakili konsumen

4) Lingkungan penyajian dan pengujian produk, kemampuan panelis sangat

dipengaruhi oleh gangguan atau distraksi seperti, kebisingan, bau menyengat,

ruangan yang terlalu panas atau terlalu dingin.

5) Informasi tidak lengkap, panelis hanya menuliskan komentarnya saja tanpa

adanya pandangan umum terhadap produk. Hal ini dapat juga terjadi karena

informan tidak cukup memberikan tujuan yang jelas kepada panelis.

7
III

PEMBAHASAN

3.1 Pemilihan, Karakteristik Mutu, dan Cara Penyimpanan Daging Sapi

Daging sapi merupakan komoditas yang sangat familiar dikalangan

masyarakat. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, masyarakat tidak

hanya memperhatikan kuantitas dari daging sapi akan tetapi kualitas. Pemilihan

daging sapi yang baik berdasarkan karateristik mutu yang telah memenuhi

standard. Standard tersebut dibuat oleh pemerintah sebagai batas kualitas agar

tidak menjadi produk yang off-grade. Daging sapi yang memiliki kualitas baik

tentu tidak selamanya lansung digunakan sebagai bahan pakan. Alur distribusi

dari RPH menuju pasar hingga pada konsumen memerlukan waktu yang tidak

sedikit. Oleh karena itu, memperhatikan metode – metode penyimpanan daging

sapi sangatlah penting guna menjaga kualitasnya.

3.1.1 Pemilihan Daging Sapi yang Baik

Daging sapi merupakan daging yang tergolong kedalam daging merah.

Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan sudah melakukan sosialisasi

terkait tentang daging ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). ASUH menjadi

patokan kualitas daging yang akan diedarkan pada masyarakat. Daging sapi harus

didapatkan dari sapi yang aman (tidak mengandung bibit penyakit atau toksin),

sehat, utuh (tidak hilang bagian karkass ataupun luka), dan halal (disembelih

secara syariat islam). Menurut Fety Nurrachmawati (2014) terdapat 7 kriteria

daging sapi yang baik yaitu :

8
 Warna daging merah dan segar, semakin gelap daging maka semakin tua sapi

tersebut. Adapun pengaruh dari genetic dan pakan

 Tekstur daging adalah kenyal. Tekanlah daging berkali – kali , apabila

kembali ke posisi awal maka daging tersebut baik. Hindari daging yang

lembek karena mungkin sudah berisikan air

 Aroma daging yaitu aroma khas sapi, apabila aroma asam atau busuk maka

kemungkinan telah terkontaminasi

 Daging sapi memiliki permukaan kering. Apabila coba menekan dan timbul

cairan berwarna merah, itu adalah sari dari daging tersebut

 Keempukan pada daging sapi biasanya dapat diukur dengan alat tertentu.

Semakin tua daging maka semakin banyak jaringan ikat pada dagin tersebut

sehingga daging cenderung liat

 Kandungan lemak (marbling) pada daging sapi cukup banyak. Marbling akan

mempengaruhi rasa dari daging. Marbling pada daging berfungsi sebagai

pembungkus otot dan mempertahankan keutuhan daging.

 Sertifikat halal merupakan kewajiban bagi RPH. Supplier biasanya memiliki

izin tertentu untuk menyembelih dan memperjualkan daging sapi.

Daging sapi yang tidak baik biasanya berasal dari hewan yang sakit terutama pada

bagian organ dalam sehingga akan menimbulkan bau tengik. Selain itu,

kontaminasi daging sapi dapat terjadi pada saat proses penyembelihan hingga

proses distribusi. Sapi yang dalam masa pengobatan terutama antibiotik biasanya

menimbulkan residu yang berpengaruh terhadap kualitas daging sapi.

9
3.1.2 Karakteristik Mutu Fisik dan Mikrobiologis Daging Sapi

Berdasarkan SNI (Standard Nasional Indonesia) 3932 : 2008 bahwa mutu

fisk dan mikrobiologis daging sapi dijelaskan sebagai berikut pada tabel :

Tabel 1. Mutu Fisik

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Total Plate Count cfu/g Maksimum 1 x 106

2 Coliform cfu/g Maksimum 1 x 102

3 Straphylococcus aureus cfu/g Maksimum 1 x 102

4 Salmonella sp per 25 g Negatif

5 Escherichia coli cfu/g Maksimum 1 x 101


Tabel 2. Mutu Mikrobiologis

3.1.3 Penyimpanan Daging Sapi yang Baik

Daging sapi yang berada pada RPH akan memiliki kualitas yang berbeda

dengan daging sapi yang berada pada pasar apabila proses distribusi tidak

memenuhi standard ada. Daging sapi akan mengalami reaksi biokimia sehingga

proses distribusi tidak bisa dilakukan sembarangan. Penyimpanan daging sapi

pada suhu 5o celcius tidak akan mengurangi kualitas daging hingga 2 hari (Candra

Dewi, 2000). Beberapa faktor mengapa masyarakat sering menyimpang daging

10
sapi adalah harga daging sapi yang dinamis. Daging sapi pada hari lebaran akan

sangat berbeda dengan hari biasa karena permintaan meningkat. Oleh karena itu,

metode penyimpanan yang baik akan menjadi stategi untuk mengatasi hal

tersebut. Terdapat mutu fisik dan mikrobiologis yang akan diperhatikan pada

proses penyimpanan ini. Akan tetapi, guna menjalankan ilmu praktis

dimasyarakat, mutu fisik saja sudah cukup untuk menilai kualitas daging sapi.

Mutu fisik mencakup pH, Daya mengikat air, total jumlah mikroba, susut masak,

dan keempukan (Sri Hartati dan Candra Dewi, 2012). Penyimpanan daging yang

baik akan bertahan hingga 8 minggu pada suhu 5o Celcius (Sri hartati dan Candra

Dewi, 2012). Sedangkan menurut Sumoprastowo (2000) bahwa menyimpan

daging segar yang baik yaitu dalam lemari es bersuhu 1,6 o C – 4,4oC yang akan

bertahan selama 5 hari tetapi pada suhu -1,6o C – 1,1oC akan bertahan 8 hari.

3.2 Produk Olahan Daging

3.2.1 Pembuatan Abon

Abon adalah makanan dibuat dari daging yang disuwir--suwir atau

dipisahkan seratnya, kemudian ditambah bumbu-bumbu dan digoreng. Daging

yang umum digunakan untuk pembuatan abon adalah daging sapi atau kerbau.

Meskipun demikian, semua jenis daging termasuk daging ikan dapat digunakan

untuk pembuatan abon. Abon tergolong produk olahan daging yang awet. Untuk

mempertahankan mutunya selama penyimpanan, abon dikemas dalam kantong

plastik dan ditutup dengan rapat.

a. Cara Pembuatan Abon

Daging sapi atau daging kerbau dipotong menjadi tetelan daging. Lemak

dan jaringan ikat dibuang dari seluruh permukaannya, lalu potong-potong dengan

11
ukuran 4 x 4 x 4 cm. Selanjutnya dicuci dengan air bersih, sehingga bebas dari

kotoran dan sisa darah. Daging yang telah dipersiapkan diatas ditimbang seberat 5

kg. Rebus potongan-potongan daging tersebutdalam air mendidih selama 30 - 60

menit.

1. Setelah didinginkan, tumbuk daging yang telah direbus dengan cobek dan

lalu pisahkan seratnya-seratnya dengan menggunakan garpu.

2. Timbang bumbu-bumbu yang diperlukan sebagai berikut : 25 gr ketumbar,

125 gr kemiri, 350 gr gula merah, 150 gr bawang merah, 50 gr bawang putih

dan 200 gr garam dapur.

3. Tumbuk bumbu-bumbu yang telah ditimbang tersebut satu per satu sampai

halus, campur dan aduk sampai semuanya tercampur secara homogen, lalu

tumis dengan sedikit minyak goreng dalam wajan.

4. Timbang daging kelapa seberat 3 kg, lalu parut dan peras santannya dengan

penambahan air panas secukupnya.

5. Masukkan santan yang dihasilkan r 7 ke dalam wajan, tambahan ke dalamnya

daging yang telah disuwir-suwir (dipisahkan dalam bentuk serat-serat daging)

dan bumbu-bumbu yang telah dipersiapkan, aduk sampai merata, lalu

panaskan di atas kompor sampai kering dan tiriskan di atas.

6. Panaskan sebanyak 0.5 kg minyak goreng dalam wajan di atas kompor

dengan api yang sedang besarnya, masukkan ke dalamnya daging yang telah

dipersiapkan sedikit demi sedikit dan goreng sampai kering dan berwarna

coklat muda, lalu tiriskan dan dinginkan di atas.

7. Kemas abon yang dihasilkan dalam kantong plastik atau kemasan lainnya.

12
b. Skema Pembuatan Abon

Daging

Pembuangan lemak, urat-urat yang keras

Pencucian

Perebusan 70-75˚C selama 15 menit

Pencabikan

Penumisan dengan bumbu halus dan pemasakan selama 10 menit

Penggorengan selama 5 menit 115-130 ˚C

Pengepresan

Pengangin-anginan, pemisahan serat dan terbentuklah abon

2.2.2 Pembuatan Dendeng

Dendeng adalah makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan

atau gilingan daging segar yang diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng

termasuk makanan yang dibuat dengan cara pengeringan. Kandungan air dendeng

antara 15 sampai 50 persen, bersifat plastis dan tidak terasa kering. Dendeng

perlu direndam air, lalu dimasak terlebih dulu sebelum dikonsumsi. Bumbu yang

digunakan dalam pembuatan dendeng adalah garam dapur, gula merah, vetsin dan

13
rempah-rempah. Garam dapur merupakan bahan pemberi cita rasa dan pengawet

pada makanan karena dapat menghambat pertumbuhan jasad renik.

a. Pembuatan Dendeng Giling

1. Keringkan loyang dalam oven, 70 ˚C.

2. Siapkan merang bersih, yaitu merang dicuci lalu dijemur sampai kering.

3. Daging sapi dibersihkan dipotong-potong kemudian digiling.

4. Timbang 400 gr daging giling letakkan dalam waskom plastik.

5. Timbang 20 gr garam, 100 gr gula merah, 12 gr bawang putih, ½ gr

merica, ½ gr jinten, 8 gr ketumbar, 4 gr vetsin dan 8 gr lengkuas,

kemudian dihaluskan.

6. Bumbu halus dicampur dengan daging giling sampai benar-benar merata.

7. Daging ditekan (dipres dengan roller, baik roller kayu maupun besi)

hingga tebalnya 2 – 3 mm, lalu dipotong-potong dengan ukuran 4 x 6 cm.

8. Daging diletakkan di atas loyang yang telah dilapisi merang bersih dan

kering.

9. Masukkan loyang berisi lempengan daging ke dalam oven yang

dipanaskan pada suhu 70 ˚C. Setelah 7 jam pengeringan, kemudian

dikemas.

b. Pembuatan Dendeng Iris

1. Keringkan loyang dalam oven 70˚C.

2. Siapkan merang bersih, yaitu merang dicuci lalu dijemurnya sampai

kering.

3. Siapkan air mendidih dalam panci.

4. Daging dibersihkan, lalu diiris setebal 5 cm.

14
5. Masak sebagian dalam air mendidih sampai warna mulai coklat sebagian

lagi langsung di iris dan dibumbui.

6. Daging diiris dengan tebal ¾ cm, lalu dibumbui dengan bumbu yang sama

seperti dendeng giling. Bumbu harus dicampur sampai benar-benar merata.

7. Daging diletakkan di atas loyang yang telah dilapisi merang bersih dan

kering.

8. Masukkan loyang berisi irisan daging ke dalam oven yang dipanaskan pada

suhu 70 ˚C. Setelah 7 jam pengeringan, kemudian dikemas.

c. Skema Pembuatan Dendeng :

Daging Segar

Penghilangan Lemak

Pengirisan Daging

Kyuring (20 jam, 8˚C)

Pengeringan (Kadar Air 15-20 %)

(Dihasilkan Dendeng)

2.3.3 Pembuatan Bakso Giling

Bakso adalah produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang

dilumatkan, dicampur dengan bahan-bahan lainnya, dibentuk bulatan-bulatan, dan

selanjutnya direbus. Biasanya istilah bakso tersebut diikuti dengan nama jenis

dagingnya, seperti bakso ikan, bakso ayam, dan bakso sapi. Berdasarkan bahan

15
bakunya, terutama ditinjau dari jenis daging dan jumlah tepung yang digunakan,

bakso dibedakan menjadi 3 jenis yaitu bakso daging, bakso urat dan bakso aci.

Pembuatan bakso terdiri dari persiapan bahan, penghancuran daging,

pencampuran bahan dan pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan.

Penghancuran daging bertujuan untuk memecah serabut daging, sehingga protein

yang larut dalam larutan garam akan mudah keluar. Penghancuran daging untuk

bakso dapat dilakukan dengan cara mencacah, menggiling atau mencincang

sampai lumat. Alat yang biasa digunakan antara lain pisau,

pencincangan (chopper), atau penggiling (grinder).

Pembentukan adonan dapat dilakukan dengan mencampur seluruh bagian

bahan kemudian menghancurkan-nya sehingga membentuk adonan. Pemasakan

bakso biasanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, bakso dipanaskan

dalam panci berisi air hangat sekitar 60˚C sampai 80˚C, sampai bakso mengeras

dan mengambang di permukaan air. Pada tahap selanjutnya, bakso dipindahkan ke

dalam panci lainnya yang berisi air mendidih, kemudian direbus sampai matang,

biasanya sekitar 10 menit.

Pemasakan bakso dalam dua tahap tersebut dimaksudkan agar permukaan

produk bakso yang dihasilkan tidak keripuk dan tidak pecah akibat perubahan

suhu yang terlalu cepat. Pembuatan bakso dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Bersihkan daging dari lemak pada permukaan dan urat.

2. Timbang 1 kg daging bersama 200 gram es batu dan 50 gram garam dapur

digiling dalam gilingan daging.

3. Daging giling kemudian dimasukkan ke dalam alat penghancur dan

ditambahkan 100 - 1000 gram tapioka (tergantung selera, atau mutu bakso

yang dihasilkan), 2.5 gram MSG, 2.5 gr Titanium dioksida dan 1.5 gr sodium

16
tripolifosfat. Campuran tersebut dihancurkan selama setengah menit lalu

dikeluarkan untuk dicetak.

4. Adonan yang sudah jadi, dicetak dengan tangan dan dengan bantuan sendok.

5. Bakso yang telah dicetak segera dimasukkan ke dalam air hangat dengan suhu

60 sampai 80˚C dan dibiarkan sampai mengambang. Setelah mengambang

bakso dipindahkan ke dalam air mendidih dan dipanaskan sampai bakso

matang, yaitu sekitar 10 menit.

6. Bakso yang matang ditiriskan dan warna dan kehalusannya dilihat secara

visual, keempukan dengan cara digigit, kekenyalan dengan cara dipijat atau

digigit, dan rasa serta aroma dengan cara dicicip. Bakso siap dikonsumsi.

2.2.4 Sosis

Sosis adalah daging lumat yang dicampur dengan bumbu atau rempah-rempah

kemudian dimasukkan dan dibentuk dalam pembungkus atau casing. Bahan-

bahan yang digunakan untuk pembuatan sosis terdiri dari : daging, lemak, bahan

pengikat, bahan pengisi, air, garam dapur dan bumbu.

Secara lengkap langkah-langkah kerja pada pembuatan sosis adalah

sebagai berikut :

1. Daging didinginkan pada suhu 1 sampai 4˚C.

2. Daging dibersihkan dari tulang dan urat atau jaringan pengikat.

3. Timbang 1 kg daging, lalu potong-potong menjadi bentuk balok kecil-kecil.

4. Potongan-potongan daging digiling dalam penggilingan daging sambil

ditambah 100g es, 500 mg vitamin C dan 150 mg NaNO 2. Penggilingan

dilakukan 2 kali agar daging halus. Selama penggilingan temperatur adonan

diusahakan tidak melebihi 22 ˚C.

17
5. Daging giling ditambah 10 g gula pasir, 7 g sodium tripolifosfat, 250 g

minyak jagung, 200 g es, lada, pala, telah dihaluskan secukupnya. Bahan

campuran diaduk dalam wadah dengan menggunakan mikser kira-kira 3

menit.

6. Adonan kemudian ditambah sekitar 100 g tepung tapioka sebagai bahan

pengikat.

7. Pengadukan dilanjutkan selama 10 menit. Selama pengadukan suhu adonan

diusahakan tidak melebihi 22 ˚C.

8. Adonan sosis hasil pengadukan dimasukkan ke dalam alam pengisi (stuffer).

9. Dengan alat pengisi (stuffer) tersebut adonan dimasukkan ke dalam

pembungkus (casing).

10. Setelah diisi pembungkus sosis diikat pada ujung-ujungnya dan pada setiap

15 cm.

11. Sosis dikeringkan dalam oven selama 30 menit dengan suhu 60 ˚C.

12. Sediakan air panas 70 sampai 80 ˚C dalam panci.

13. Sosis dimasak dalam air panas tersebut kira-kira 40 menit.

14. Setelah pemasakan, sosis langsung didinginkan dengan air sampai suhu 25˚C

lalu digantungkan untuk selanjutnya dapat dikonsumsi, dikemas atau

dipasarkan.

2.5.5 Curing Daging

Curing  daging adalah cara mengolah daging dengan menambahkan

beberapa bahan seperti garam (NaCl, natrium nitrit, dan natrium nitrat), gula

(dekstrosa, sukrosa, atau patihidrolisis), serta bumbu. curing adalah prosesing

daging dengan menambah sodium klorida (NaCl), sodium nitrat atau potasium

18
nitrat (NaNO3 atau KNO3), gula, bumbu-bumbu dan zat aditif lainnya (Raharjo et

al., 1993). Tujuan curing adalah flavor, aroma, keempukan, juiciness dan

mereduksi kerutan daging. Curing bertujuan untuk memperpanjang masa simpan

daging, menghambat aktivitas mikroba terutama Clostridium botulinum.

Soeparno (2005), beberapa teknik yang digunakan dalam metode curing

dengan menggunakan garam, yaitu :

1. Wet curing, lebih merata namun hasilnya basah

2. Dry curing, metode ini merupakan cara tradisional, daging diselimuti garam

dan disimpan pada suhu rendah. Garam akan memasuki jaringan dan pada

saat bersamaan,cairan akan keluar dari dalam daging. Peresapan ke daging

tidak optimal karena hanya ditaburkan.

3. Wet and dry curing (kombinasi), teknik ini digunakan untuk mempermudah

proses curing, larutan diinjeksikan langsung pada jaringan. Setelah disimpan

beberapa hari, tumpukan daging ditutupi lagi dengan garam.

4. Injection curing cepat ke sasaran (mioglobin) namun tidak semua mioglobin

terjangkau oleh garam dan ada kemungkinan terbentuknya.

3.3 Pengujian Mutu pada Olahan Daging Sapi

Hasil olahan merupakan produk pangan yang diambil dari ternak sapi

seperti daging. Dalam perlindungan konsumen terhadap hasil olahan tersebut

diperlukan untuk pengujian mutu karena setiap orang atau konsumen

membutuhkan pangan yang bermutu dan berhizi dalam menunjang kebutuhan

hidup. Berdasarkan peraturan pemerintahan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun

2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan, bahwa pangan aman, bermutu dan

19
bergizi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaaan dan

peningkatan derajat Kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat.

Tingkat konsumsi hasil olahan ternak bagi masyarakat Indonesia, dinilai

masih jauh dibawah kecukupan gizi yang dianjurkan, berdasarkan analisis Pola

Pangan Harapan (PPH), bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia akan

protein asal ternak baru mencapai 5,1 g/kap/ht yang setara dengan konsumsi susu

7,5 kg/kap/th, daging 7,7 kg/kap/th, dan telur 4,7 kg/kap/th (Dirjen Bina Produksi

Peternakan, 2004). Oleh karena itu perlunya pengujian mutu untuk hasil olahan

sebelum tersalurkan kepada konsumen, berikut pengujian mutu hasil olahan

ternak sapi.

 Daging

Sapi yang dipotong dapat peroleh hasil produk berupa daging, dimana

daging merupakan bahan pakan yang mengandung nilai gizi tinggi dan

dibutuhkan oleh tubuh seperti protein, vitamin dan mineral. Kriteria kualitas mutu

daging meliputi komposisi fisik, kimia, nilai organoptik (aroma, keempukan, dan

cita rasa).

1. Uji Warna Daging

Dalam pengujian warna daging dapat menunjukan bahwa daging segar

ataupun daging basi dengan cara melihat secara langsung (indrawi) yang

disesuaikan dengan standar warna daging yang ada.

Tabel 3. Standar warna daging yang dipakai sesuai dengan Photographic Colour
Standard for Muscle Departement of Agriculture, Western Australia (1982).

Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat


Coklat
Muda Kemerahan Merah Cerah Merah Tua Gelap
1 2 3 4 5 6

20
2. Uji Bau Daging

Penguian pada bau daging dapat mengetahui bahwa bau daging segar dan

bau daging tidak segar (basi) secara langsung dengan indra penciuman. Aroma

merupakan salah satu parameter penilaian organoleptik terhadap suatu produk,

salah satu yang dapat mempengaruhi aroma daging masak yaitu temperatur

pemasakan (Soeparno, 2005)

3. Uji Konsistensi dan Tekstur

Pengujian pada kosnsistensi dan tekstur berhubungan dengan rabaan atau

sentuhan. Ciri yang sering dijadikan acuan adalah kekerasan, kekohesifan, dan

kandungan air. Menurut Ranti (2016) Tekstur daging sapi sangat di tentukan oleh

kandungan air, kandungan lemak dan jenis karbohidrat

4. Uji Kimia Daging (pH Daging)

Uji pH daging dilakukan dengan, pengambilan daging yang akan di

jadikan sampel ditimbang seberat 100 gram, kemudian daging dicacah dan

ditambah 100 ml Aquades. Daging yang sudah di cacah dan ditambah aquades di

aduk secara homogen, setelah itu dilanjutkan dengan mengukur pH menggunakan

pH meter dilakukan sebanyak 3 kali.

a) Kadar Air, Menurut SNI 01-2891-1992 (BSN, 1992)

Sampel ditimbang sebanyak 1 g – 2 g didalam botol yang sudah diketahui

bobotnya. Selanjutnya dilakukan pengeringan dalam oven suhu 105OC selama tiga

jam.Kemudian dinginkan dalam deksikator.Setelah dingin sampel ditimbang

sehingga didapatkan bobot tetap.Perhitungan kadar air menggunakan rumusan :

Kadar Air = W x 100%


W1
Keterangan:

W = bobot cuplikan sebelum dikeringkan, dalam g

21
W1= adalah kehilangan bobot setelah dikeringkan, dalam g

b) Kadar Lemak, Menurut SNI 01-2891-1992 (BSN, 1992)

Sampel ditimbang sebanyak 1 g – 2 g dan dimasukkan kedalam

selongsong yang dialasi dengan kapas. Selanjutnya selongsong kertas berisi

sampel tersebut disumbat dengan kapas, dan dikeringkan dalam oven pada suhu

tidak lebih 800C selama lebih kurang satu jam, kemudian selongsong dimasukkan

ke dalam soxhlet yang telah dipasang dengan labu lemak yang berisi batu didih

yang telah didinginkan dan telah diketahui bobotnya.Sampel diekstrak dengan

heksana atau pelarut lainnya selama lebih kurang 6 jam.Kemudian heksana

disulingkan, setelah itu ekstrak lemak di keringkan dalam oven pada suhu 1150C.

Selanjutnya dilakukan pendinginan dan lakukan penimbangan. Pengeringan ini

diulangi hingga dicapai bobot tetap. Perhitungan kadar lemak dengan

menggunakan rumus:

Kadar Lemak = W – W1
W2
Keterangan:

W = bobot sampel dalam g

W1= bobot lemak sebelum diekstraksi dalam g

W2 = bobot labu lemak sesudah ekstraksi

c) Kadar Protein, Menurut SNI 01-2891-1992 (BSN, 1992)

Sampel ditimbang sebanyak 0,5g dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl

100 ml. Kemudian ditambahkan 2g campuran selen dan 25 ml H2SO4 pekat.

Selanjutnya dilakukan pemanasan di atas pemanas listrik atau api pembakar

sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar 2 jam).

Cawan berisi tersebut didinginkan, kemudian diencerkan dan masukkan kedalam

22
labu ukur 100 ml, tepatkan sampai tanda garis.Pipet 5 ml larutan dan dimasukkan

kedalam alat penyuling kemudian tambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes

indikator pp.Kemudian disulingkan selama lebih kurang 10 menit, sebagai

penampung dengan menggunakan 10 ml larutan asam borat 2% yang telah

dicampur indikator.Ujung pendingin dibilas dengan air suling.Selanjutnya dititar

dengan larutan HCI 0,01 N. Lalu penetapan blanko. Perhitungan kadar protrein

dengan menggunakan rumus:

( v 1−v 2 ) x N x 0,014 x f . k . xf . p
Kadar Protein = W

Keterangan :

W = bobot cuplikan

V1= volume HCL 0,01 N yang digunakan peniteraan contoh

V2 = volume HCL yang dipergunakan peniteraan contoh

N= normalitas HCL

f.k = protein dari - makanan secara umum 6,25

- minyak kacang 5,46

f.p = faktor pengenceran

d) Kadar abu, Menurut SNI 01-2891-1992 (BSN, 1992)

Sampel ditimbang sabanyak 2 – 3 g dan dimasukkan kedalam cawan

porseln yang telah diketahui bobotnya.Sampel kemudian diarangkan di atas nyala

pembakar, lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550oC sampai

pengabuan sempurna. Cawan yang berisi abu tersebut selanjutnya didinginkan dan

deksikator sampai bobotnya tetap. Perhitungan kadar abu dengan rumus:

23
W 1−W 2
Kadar Abu= W X 100%

Keterangan:

W = bobot contoh sebelum diabukan, dalam g

W1 = bobot contoh + cawan sesudah diabukan, dalam g

W2 = bobot cawan kosong, dalam g

24
IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Terdapat 7 kriteria untuk memilih daging sapi yaitu warna, tekstur, aroma,

permukaan daging kering, keempukan pada daging, kandungan lemak dan

bersertifikat halal. Karakteristik mutu daging sapi didasarkan pada mutu fisik

dan mikrobiologis. Penyimpanan daging yang baik dapat bertahan hingga 8

minggu pada suhu 5oC.

2. Daging dapat diolah menjadi berbagai macam produk antara lain abon,

dendeng, bakso, sosis, curing daging dan lain sebaginya.

3. Pengujian mutu dilakukan karena konsumen membutuhkan pangan yang

bermutu dan berhizi dalam menunjang kebutuhan hidup. Kriteria kualitas

mutu daging meliputi komposisi fisik, kimia, nilai organoptik (aroma,

keempukan, dan cita rasa).

4.2 Saran

Pengendalian dan pengujian mutu pada produk pangan khususnya daging

sapi perlu ditingkatkan lagi untuk mencegah terjadinya kerusakan dan

penyimpangan pada produk baik daging itu sendiri maupun olahannya. Selain itu,

pengujian mutu dilakukan sebagai bentuk perlindungan konsumen terhadap hasil

olahan tersebut.

25
DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia (SNI)


No: 01-2891-1992. Tentang Cara uji makanan dan minuman. BSN.
Jakarta.

Adams, M.R dan Moss, M.O. 2008. Food Microbiology. 3rd Edn. The Royal
Society of Chemistry Publishing. UK.

Asp, N.G., Johansson, C.G., Halmer, H. dan Siljestrom, M. 1983. Rapid enzimatic
assay of insoluble and soluble dietary fiber. Journal of Agricultural and
Food Chemistry 31: 476-482.

Boke, H., Aslim, B. dan Alp, G. 2010. The role of resistance to bile salts and acid
tolerance of exopolysaccharides (epss) produced by yogurt starter
bacteria. Archives of Biological Science Belgrade 62: 323-328.

Candra-Dewi, S.H. 2000. Sifat Kimia dan Jumlah Bakteri Otot Infraspinatus,
Longissimus dorsi dan Semitendinosus Sapi Brahman Cross (BX) pada
Lama Pelayuan yang Berbeda. Media Peternakan IPB, Bogor. 23 : 62-67.

CODEX STAN 249-2006. 2006. Codex Standard for Instant Noodles.


www.codexalimentarius.orgdiunduh 19 April 2021.

Direktorat Jendral Peternakan. 2004. Pedoman Teknis Bantuan Pinjaman


Langsung Masyarakat (BPLM) Berbasis Pemberdayaan Kelompok
Peternak. Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan. Departemen
Pertanian : Jakarta.

Dwiloka, B., Soepardie, dan Nurwantoro. 2004. Pengawasan Mutu Hasil Ternak.
Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.
Hartati Sri dan Candra Dewi. 2012. Populasi Mikroba dan Sifat Daging Sapi
Beku Selama Penyimpanan. Jurnal AgriSains 3(4) : Yogyakarta.

Miller, J., 2000, Statistics and Chemometrics for Analytical Chemistry, 4th ed,
Harlow: Prentice. Hall.

Nielsen, S.S. (2010). Food Analysis. 4th edn. Springer New York Dordrecht
Heidelberg London.

Nurliyani, Harmayani, E. dan Sunarti. 2014. Microbiologi quality, fatty acid and
amino acid profiles of kefir produced from combination of goat and soy
milk. Pakistan Journal of Nutrition 13: 107-115.

Nurrachmawati Fety. 2014. Cara Memilih Daging Sapi Yang Baik dan Layak
Konsumsi.
http://kesmavet.ditjenpkh.pertanian.go.id/index.php/berita/tulisan-ilmiah-

26
populer/52-cara-memilih-daging-sapi-yang-baik-dan-layak-konsumsi.
Diakses pada tanggal 20 April 2021 Pukul 11.00 WIB.
Peraturan Pemerintah no. 28 tahun 2004: Tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi
Pangan.

Photographic Colour Standard for Muscle Departement of Agriculture. 1982.


Western Australia.

Ranti, N.F. 2016. Karakteristik Fisik dan Organoleptik Daging Sapi Bali Pada
Berbagai Lokasi Otot Yang Berbeda. Fakultas Peternakan, Universitas
Halu Oleo. Kendari.

Saraswaty Dian. 2015. Pengaruh Lama Penyimpanan Daging Sapi Pada


Refrigerator trtradap Angka Lempeng Total Bakteri (ALT) dan
Keberadaan Bakteri Echerishia coli. Jurnal Entropi 10(1) : 967 – 973 :
Gorontalo

SNI 3932 : 2008. 2008. Mutu Karkas dan Daging Sapi. Badan Standarisasi
Nasional : Jakarta.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-4. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Suardana IW dan Swacita IBN. 2009. Higiene Makanan. Kajian Teori Dan
Prinsip Dasar. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana.
Denpasar.

Sumoprastowo. 200. Memilih dan Meyimpan Sayur-mayur, Buah-buahan, dan


Bahan Makanan. Hal 64 Edisi ke – 1 cetakan ke-1, Bumi Aksara : Jakarta.

Winarni, Astriati.1993. Patiseri. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Press


IKIP Surabaya.

27

Anda mungkin juga menyukai