Anda di halaman 1dari 28

KUALITAS DAN PALATABILITAS SILASE DAAUN KARET

(Hevea brassiliensis) PADA TERNAK KAMBING PERANAKAN


ETAWA

SKRIPSI

BAYU KRISNA
E10012073

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2017
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………….. i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. .. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2Tujuan Penelitian .................................................................................. 2
1.3 Manfaat Penelitian ............................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... ...3
2.1 Daun Karet .......................................................................................... 3
2.2 Silase .................................................................................................... 4
2.3 Kualitas Silase Secara Kualitatif Dan Kuantitatif ............................... 4
2.4 Konsumsi Pakan .................................................................................. 6
2.5 Ternak Kambing .................................................................................. 7

BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................. 9


3.1 Tempat dan Waktu ............................................................................... 9
3.2 Materi Penelitian .................................................................................. 9
3.3 Metode Penelitian ................................................................................ 10
3.3.1 Tahap Pembuatan Silase Daun Karet Perlakuan ......................... 10
3.3.2 Tahap Uji Kualitas Silase ............................................................ 12
3.3.3 Tahap Pembuatan Evaluasi Palatabilitas Silase

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 16


4.1 Karakteristik Fisik Silase Daun Karet ................................................. 16
4.2 Karakteristik Fermentasi Silase .......................................................... 17
4.3 Palatabilitas Terhadap Daun Karet Segar Dan Silase Daun Karet
Perlakuan Pada Kambing PE .............................................................. 21

BAB V. PENUTUP ............................................................................................ 22


5.1Kesimpulan .......................................................................................... 22
5.2 Saran .................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 23


LAMPIRAN ....................................................................................................... 28
BABI
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daun Karet (Hevea brasiliensis) telah dilaporkan mempunyai potensi
sebagai Herbal Nutrisi untuk Kambing (Wigati et al., 2014), artinya dapat
digunakan sebagai sumber hijauan pakan ternak sekaligus sebagai obat herbal,
khususnya obat cacing untuk ternak kambing maupun ruminansia lainya. Potensi
yang dimiliki oleh daun karet sebagai sumber hijauan pakan ternak ditunjukkan
oleh kimia pakanya, yaitu mengandung 40,4% BK; 87,9% BO; 19,5% PK; 6,22%
EE; 27, 0% SK, (Wigatiet al., 2014). Potensi herbalnya ditunjukan oleh
kandungan tannin total dan tannin terkondensasi yang ada didalam daun karet,
yaitu 2,3 %, dan tannin total ( BK Basis) 2,5% (Wigati et al., 2014). Selanjutnya
juga dilaporkan bahwa ekstrak tannin daun karet mempunyai efek anthelminntik
terhadap cacing hematoda Haemonces conturtus secara invitro (Wigati et
al.,2015).
Ketersdiaan daun karet sebagai pakan ternak sangat berlimpah dan
ketersediannya berkesinambungan sepanjang tahun, terutama pada peternakan
yang terintegrasi pada usaha perkebunan karet. Selain peternak mampu
menyediakan hijuan pakan ternak, peternak juga mampu menjaga kondisi
kesehatan ternak mereka sehingga potensi ternak terserang penyakit dapat ditekan.
Namun demikian pada saat kemarau panjang, ketersediaan hijauan daun
karet masih berlimpa, tetapi hijauan pakan lain (gulma, rumput, dll) menjadi
sangat sulit diperoleh atau mutunya menjadi sangat rendah. Pada saat musim
hujan yang terus menerus, terjadi hambatan dalam mengambil hijauan pakan serta
keadaan hijauan basah sehingga menimbulkan masalah kesehatan ternak
(kembung, diare), atau pada saat peternak mempunyai kegiatanlain yang
menyebabkan peternak tidak bisa mengambil hijauan dalam waktu yang lama (± 3
hari), maka timbul hambatan bagi peternak untuk memenuhi hijauan pakan bagi
ternak-ternaknya. Untuk mengatasi hambatan tersebut, dibutuhkan strategi
pengewetan hijauan pakan untuk menyediakan sumber pakan cadangan.
Berdasarkan ketersediaan dan kualitasnya maka daun karet sangat potensial
dijadikan sebagai hijauan pakan yang akan diawetkan salah satu cara
pengawetannya adalah silase. Silase merupakan metode pengawetan hijauan
pakan ternak dalam bentuk segar yang melalui proses fermentasi anaerob.
Pembuatan silase dibagi menjadi dua periode untuk melihat kandungan pakannya.
Dengan metode tersebut, pemanfaatan daun karet yang ketersediannya berlimpa
sepanjang musim dapat di awetkan dan dapat digunakan pada saat peternak tidak
sempat untuk meramban atau pada musim-musim tertentu dengan jangka waktu
penyimpanan yang lama. Selain itu fungsi nutritive yang terkandung didalam
daun karet diharapkan dapat dipertahankan melalui proses silase sehingga pada
saat musim paceklik pakan silase daun karet dapat digunakan sebagai hijauan
ternak yang mempunyai kandungan nutritive dengan kualitas baik.
Oleh karena itulah pemanfaatan teknologi pengolahan pakan hijauan dengan
sistem silase diharapkan mampu mempertahankan kualitas daun karet dan
meningkatkan palatabilitas sehingga dapat menjadi lumbung pakan bagi peternak.
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas dan palatabilitas silase
daun karet yang diberikan pada kambing.

1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah agar dapat memberikan informasi
pemanfaatan daun karet sebagai hijauan pakan, teknologi pengawetan daun karet
sebagai silase sehingga dapat menjadi strategi membentuk sumber cadangan
pakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun Karet (Hevea brassiliensis)


Dalam dunia tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai
berikut:
Divisio : Spermathophyta
Sub division : Angiospermae
Klasis : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Familia : Euphorbiceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea brasiliensis
Karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar.
Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh
lurus dan memiliki percabangan yang tinggi. Dibeberapa kebun karet ada.
Kecenderungan arah tumbuh tanamanya agak. Batang tanaman ini mengandung
getah yang dikenal dengan nama lateks. Daun karet terdiri dari tangkai daun
utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai utama 3-20 cm, sedangkan panjang
tangkai anak daun antara 3-10 cm. Anak daun berbentuk memanjang elips,
memanjang dengan ujung runcing (Nazaruddin, 1992).
Karet adalah tanaman yang berasal dari wilayah Amerika yang beriklim
tropis, karet bisa tumbuh di Indonesia yang juga berilkim tropis. Karet merupakan
tanaman dataran rendah, yaitu bisa tumbuh dengan baik di dataran dengan
ketinggian 0-400 meter di atas permukaan laut. Di ketinggian tersebut suhu harian
25 - 30 0C. Jika dalam jangka waktu yang cukup panjang suhu ratarata kurang
dari 20 0C, tempat tersebut tidak cocok untuk tanaman karet. Suhu lebih dari 30
0C juga mengakibatkan karet tidak bisa berproduksi dengan baik. Meskipun karet
membutuhkan tempat yang hangat, karet juga memerlukan kelembaban yang
cukup. Karenanya wilayah dengan curah hujan yang tinggi sangat disukai
tanaman ini, lebih baik lagi curah hujan tersebut rata sepanjang tahun. Sebagai
tanaman tropis, karet juga membutuhkan sinar matahari sepanjang hari, minimum
5-7 jam/hari (Setiawan, 2005).
Daun Karet mengandung serat kasar yang tinggi yang membatasi
penggunaannya sebagai bahan pakan ternak. Daun karet mengandung serat kasar
sebesar 27,0% (Wigati et al., 2013). Oleh sebab itu, sangat penting untuk
mengurangi kadar serat kasar dalam daun Karet untuk memperbaiki nilai gizinya.
Daun Karet dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui fermentasi, karena
fermentasi dapat meningkatkan kecernaan protein, menurunkan kadar serat kasar,
memperbaiki rasa dan aroma bahan pakan, serta menurunkan kadar logam berat
(Kompiang et al., 1997; Laconi, 1992; Purwadaria et al., 1998; Sinurat et al.,
1995)
2.2 Silase
Silase merupakan makanan ternak yang dihasilkan melalui proses
fermentasi dengan kandungan air yang tinggi. Ensilase adalah proses
pembuatannya, sedangkan tempat pembuatan dinamakan silo. Sejarah dimulainya
silase sejak 1500-2000 sebelum masehi (Sapienza dan Bolsen, 1993). Silase
adalah pakan produk fermentasi hijauan, hasil samping pertanian dan agroindustri
dengan kadar air tinggi yang diawetkan dengan menggunakan asam, baik yang
sengaja ditambahkan maupun secara alami dihasilkan bahan selama peyimpanan
dalam kondisi an aerob (McDonald et al., 1991).
Ada dua cara pembuatan silase yaitu secara kimia dan biologis. Cara kimia
dilakukan dengan penambahan asam sebagai pengawet seperti asam format, asam
propionat, asam klorida dan asam sulfat. Penambahan asam tersebut dibutuhkan
agar pH silase dapat turun dengan segera (sekitar 4,2), sehingga keadaan ini akan
menghambat proses respirasi, proteolisis dan mencegah aktifnya bakteri
Clostridia, sedangkan secara biologis dengan menfermentasi bahan sampai
terbentuk asam sehingga menurunkan pH silase. Asam yang terbentuk selama
proses tersebut antara lain adalah asam laktat, asam asetat dan asam butirat serta
beberapa senyawa lain seperti etanol, karbondioksida, gas metan, karbon
monoksida nitrit (NO) dan panas (McDonald et al., 1991).
Secara umum kualitas silase dipengaruhi oleh tingkat kematangan hijauan,
kadar air, ukuran partikel bahan, penyimpanan pada saat ensilase dan pemakaian
aditif (Schroeder, 2004). Lebih lanjut dijelaskan faktor lainnya yang
mempengaruhi kualitas silase yaitu: 1) karakteristik bahan meliputi; kandungan
bahan kering, kapasitas penyangga, struktur fisik dan varietas, 2) tata laksana
pembuatan silase yaitu; ukuran partikel, kecepatan pengisian silo, kepadatan
pengepakan, dan penyegelan silo dan 3) keadaan iklim: suhu dan kelembaban
(Sapienza dan Bolsen 1993; McDonald et al., 1991).
Proses fermentasi silase secara garis besar dibagi menjadi 4 fase yaitu: 1)
fase aerob, 2) fase fermentasi, 3) fase stabil dan 4) fase pengeluaran untuk
diberikan pada ternak (Sapienza dan Bolsen 1993; Schroeder 2004;). Ensilase
pada dasarnya serupa dengan proses fermentasi di dalam rumen (an aerob),
namun terdapat perbedaan antara lain pada silase hanya sekelompok/grup bakteri
(diharapkan bakteri pembentuk asam laktat) yang aktif dalam proses tersebut,
sedangkan proses di dalam rumen melibatkan lebih banyak mikroorganisme dan
beraneka ragam (Parakkasi, 1995). Pembuatan silase dengan bahan baku yang
memiliki kadar air yang cukup tinggi akan memiliki laju fermentasi yang lebih
cepat. Menurut Sapienza dan Bolsen (1993) fermentasi normal dengan kadar air
55%-60% akan memfasilitasi fermentasi aktif selama 1-5 minggu.
Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk mengawetkan dan
mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk dimanfaatkan pada
masa mendatang (Sapienza dan Bolsen, 1993). Memacu terciptanya kondisi an
aerob dan asam dalam waktu singkat merupakan prinsip dasar pembuatan silase.
Menurut Coblentz (2003) ada tiga hal penting agar diperoleh kondisi tersebut
yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang
membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo dan
menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan.

2.3 Kualitas silase secara kualitatif dan kuantitatif


Silase jika dinilai dari segi kualitatif dapat ditinjau dari beberapa parameter
seperti pH, suhu, tekstur, warna dan kandungan asam laktatnya (Ratnakomala,
2006). Silase dikatakan memiliki kualitas yang baik jika pH maksimu 3,8-4,2
kemudian memiliki bau seperti buah- buahan dan sedikit asam, sangat wangi,
sehingga terdorong untuk mencicipinya, kemudian apabila digigit terasa manis
dan terasa asam seperti yogurt atau yakult, kemudian memiliki warna hijau
kekuning- kuningan. Silae yang baik memiliki tekstur kering, namun apabila
dipegang terasa lembut dan empuk (Direktorat Pakan Ternak)
Kerusakan silase diperhitungkan sebagai persentese dari silase yang rusak
disbandingkan dengan jumlah keseluruhan silase dalam satu silo. silase yang
mengalami kerusakan dapat terlihat dari tekstur silase yang rapuh. Bewarna
coklat kehitaman, dan berbau busuk serta banyak ditumbuhi jamur. Pada umunya
kerusakan terjadi pada permukaan dekat penutup silo (Ratnakomala et al., 2006)
Kuantitatif
Hernaman (2009) menerangkan bahwa karbohidrat bersifat dan dapat
menarik air sehingga dapat meningkatkan kadar air pada pakan hijauan yang
dikonversi menjadi silase. Penelitian dari Mugiwati (2013) didapatkan bahwa
dengan menggunakan bakteri asam laktat 60 ml pada pembuatan silase rumput
gajah menghasilkan kadar air yang lebih tinggi dengan kadar air 79,53%
dibandingkan dengan perlakuan yang hanya menggunakan bakteri asam laktat
sebanyak 40 ml ini dikarenakan bakteri asam laktat yang mampu merubah
glukosa menjadi air. Mc Donald (1981) selama proses ensilase berlangsung
dimana glukosa diubah menjadi CO2 H2O dan panas.
Kadar air ideal dalam pembuatan silase yakni sekitar 60% -70% karenaa
jika kadar air melebihi 70% maka silase yang dihasilkan tidak begitu disukai
ternak. Silase ini kurang masam dan mempunyai kosentrasi asam butirat dan N-
Amonia tinggi. Sedangkan silase dengan kosentrasi kadar air dibawah 50% akan
mengakibatkan proses fermentasi terbatas. Hal ini berdampak pada silase silase
yang akan dihsilkan memiliki ph yang tinggi dann kosentrasi asam laktat rendah
sehingga bisa memicu bakteri pembusuk tumbuh (Suparjo, 2004)
2.4 Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dimakan ternak atau kelompok
ternak dalam periode waktu tertentu. Tingkat konsumsi (Voluntary Feed Intake
/VFI) adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak bila bahan pakan tersebut
diberikan secara adlibitum (Parakkasi, 1999). Sedangkan Tillman et all.,(1991)
menambahkan bahwa ternak akan mengkonsumsi pakan untuk memenuhi
kebutuhan energinya, sehingga jumlah pakan yang dikonsumsinya cenderung
berkolerasi erat dengan tingkat energinya. Jumlah konsumsi pakan merupakan
salah satu tanda terbaik produktifitas hewan.
Jumlah konsumsi pakan adalah faktor penentu yang paling penting yang
menentukan zat-zat makanan yang didapat oleh ternak selanjutnya mempengaruhi
tingkat produksi. Akan tetapi faktor konsumsi pakan pada ternak ruminansia
sangat komplek dan banyak factor yang terlibat seperti sifat-sifat pakan, faktor
ternak, dan faktor lingkungan (Wodzicka et all., 1993). Konsumsi pakan
ruminansia dikontrol oleh faktor-faktor yang tidak sama seperti halnya pada non
ruminansia. Ruminansia mampu mencerna bahan yang kaya akan serat kasar dan
memecahkannya menjadi produk yang dapat difermentasi di dalam rumen. Produk
fermentasi tersebut kemudian diabsorbsi dan beredar di dalam darah yang
selanjutnya akan mempengaruhi konsumsi pakan (Arora, 1989).
Kartadisastra (1997) menyatakan, ternak ruminansia dalam kondisi yang
normal (tidak dalam keadaan yang sakit atau sedang bereproduksi) mengkonsumsi
pakan dalam jumlah yang terbatas sesuai dengan kebutuhannya untuk mencukupi
kebutuhan pokok. Kemudian sejalan dengan pertumbuhan, perkembangan kondisi
serta tingkat produksi yang dihasilkannya konsumsi pakan pun akan meningkat
pula. Tinggi rendahnya konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat
dipengaruhi oleh faktor eksternal(lingkungan) dan internal (kondisi ternak itu
sendiri).

2.5 Ternak kambing


Ternak kambing merupakan salah satu jenis ternak yang akrab dengan
sistem usahatani di pedesaan dan merupakan komponan peternakan rakyat
(Soebandriyo et al., 1995).Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan
antara kambing lokal Indonesia dengan kambing lokal dari India, yaitu antara
kambing Kacang dan kambing Etawah, sehingga memiliki sifat diantara kedua
tetua kambing tersebut (Atabany.,2001).Kambing PE merupakan kambing tipe
dwiguna yang dapat menghasilkan susu dan dapat menghasilkan daging. Kambing
PE di pulau Jawa, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah telah lebih dahulu
dibudidayakan dibandingkan dengan di Jawa Barat. Kambing dikembangkan dan
dijadikan sebagai usaha sambilan di Jawa Barat dengan memanfaatkan sumber
daya manusia dan hijauan yang tersedia.
Karakteristik kambing PE adalah bermuka cembung telinga menggantung
ke bawah dengan panjang 18-19 cm, tinggi badan kambing dewasa antara 75-100
cm, bobot jantan dewasa sekitar 40 kg dan betina sekitar 35 kg. Kambing PE
jantan berbulu lebih lebat dan panjang di bagian atas dan bawah leher, rambut
pundak dan paha belakang lebih lebat dan panjang. Kambing PE betina memiliki
bulu panjang hanya pada bagian paha belakang. Warna bulu kambing PE terdiri
atas kombinasi coklat sampai hitam atau abu-abu dan muka cembung (Tanius,
2003).
Kambing PE memiliki bobot lahir 3,5 kg, bobot sapih 13.5 kg dan betina
dewasa 45 kg serta bobot pejantan 60 kg, lama kebuntingan rata-rata 150 hari
(Kurniawan, 1987). Selanjutnya dinyatakan oleh Sugeng (1995) bahwa kambing
Peranakan Etawah memiliki warna bulu coklat dengan bercak hitam dan putih
BAB III
METODA PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 12 Agustus sampai dengan 13
Oktober 2016. Daun Karet diambil dari perkebunan karetmilik rakyat di Dusun
Catur Karya, Desa Pondok Meja, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi,
Propinsi Jambi. Proses pembuatan Silase serta uji palatabilitas dilakukan di
peternakan kambing rakyat Dusun Catur Karya Desa Pondok Meja. Analisis
kimia pakan daun karet segar dan silase dilakukan di Laboratorium Nutrisi
Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

3.2. Materi Penelitian


Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah, daun beserta ranting
karet,dedak halus (akselerator), EM4 (starter) dan kambing PE betina. Daun
ranting karet yang digunakan adalah daun ranting karet yang dapat dikonsumsi
oleh ternk (edible portion)yang diperoleh dari tanaman karet seling (yang tumbuh
diantara pohon karet utama).
Bahan yang digunakan sebagai starter adalah EM4 (Efective
Microorganisme) yang efektif digunakan sebagai starter fermentasi bahan pakan
ternak. EM4tersebut diproduksi oleh PT. Songgo Langit Persada,dan
mengandung bakteri fermentasi dari genus Lactobacillus, Actinomycetes, bakteri
fotosintetic dan ragi.Untuk evaluasi palatabilitas digunakan 4 ekor kambing PE
betina umur rata-rata10 bulan dengan bobot badan rata-rata 40 kg.
Alat yang digunakan selama penelitian ini adalah kandang individu
sebanyak 4 unit dengan ukuran 1m x 1,5m, timbangan untuk menimbang pakan
dengan kepekaan 0,1kg kapasitas 5 kg, timbangan analitik dan timbangan untuk
menimbang bobot badan kambing dengan kepekaan 0,1 kg kapasitas 150 kg,
toples sebagai wadah atau silo pada pembuatan silase, ember dan pisau untuk
mencacah daun karet yang akan dijadikan silase.
3.3. Metoda Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu tahap pembuatan silase sesuai
dengaan rancangan perlakuannya tahap uji kualitas silase dan tahap palatabilitas
silase.
3.3.1.Tahap Pembuatan Silase Daun Karet Perlakuan
A. Jenis silase perlakuan
Pada tahap ini dilakukan pembuatan 3 jenis silase (P0, P1, P2) dengan
bahan utama daun karet. Adapun ke 3 jenis silase tersebut adalah:
P-0 : Silase daun Karet tanpa bahan tambahan
P-1 : Silase daun Karet ditambah dengan 6% dedak
P-2 : Silase daun Karet ditambah dengan 6% dedak dan 1% starter
EM4 Masing-masing silase dibuat 2x4 ulangan (8 toples). Masing-masing4
ulangan terrsebut digunakan untuk mengevaluasi kualitas silase dengan
perbedaan lama ensilase 14 dan 21 hari.
B. Pembuatan Silase
Pada pembuatan silase digunakan daun karet sebanyak ± 150 kg yang
diambil pada pagi hari dari perkebunan karet rakyat yang ada didesa Pondok
Meja. Selanjutnya daun karet yang telah diambil dicacah dengan ukuran ± 5 cm.
Hasil cacahan ditimbang dengan berat masing-masing 1,5 kg dan ditempatkan
pada 8 toples untuk perlakuan P0.
Untuk perlakuan P1, cacahan daun karet ditimbang sebanyak 3 kg dan
ditempatkan dalam baskom, setelah itu ditambah dengan 180 g dedak halus (6%),
dan diaduk hingga merata. Selanjutnya dibagi menjadi dua bagian dengan berat ±
1,5 kg dan dimasukkan kedalam 2 toples. Proses yang sama diulang untuk 6
toples berikutnya.
Selanjutnya untuk perlakuan P2, cacahan daun karet ditimbang sebanyak
3kg yang ditempatkan kedalam baskom, setelah itu ditambah dengan 180 g dedak
halus (6%) lalu diaduk hingga merata lalu ditambah lagi dengan 30 ml EM4 (1%)
kemudian diaduk kembali. Selanjutnya dibagi menjadi 2 bagian dengan berat ±
1,5 kg dan dimasukkan kedalam 2 toples. Proses diulang untuk 6 toples
berikutnya.
Setelah semua bahan dimasukkan kedalam toples, toples ditutup rapat agar
keadaan anaerob dapat tercapai. Adapun prosedur pembuatan silase dapat dilihat
pada gambar 1.

(Daun Karet)

P0

(Cacahan daun karet) (Silo)

P1

(Dedak) (Silo)

P2

(EM4) (Silo)
Gambar 1. Tahapan pembuatan silase

3.3.2. Tahap Uji Kualitas Silase


Pada hari ke 14 dan 21 setelah proses fermentasi ensilase, masing-masing
silase diambil sampelnya sebanyak 100 g untuk uji kualitas fisik dan kimia pakan.
Untuk uji kualitas kimia, maka sampel dari masing-masing perlakuan dikomposit
dan kemudian diambil sampel kembali untuk analisis proksimat.

A. uji kualitas fisik dan pH


1. Kualitas Fisik
Kualitas fisik silase daun karet dilakukan dengan mengamati karakter fisik
silase seperti warna (hijau kekuningan, coklat, coklat kehitaman), aroma (busuk,
asam, sangat asam), tekstur (menggumpal, tidak menggumpal) Cullison (1975)
dan Utomo (1994). Selanjutnya tempratur silase didalam silo diukur pada akhir
proses ensillase, yaitu pada hari ke 14 dan 21 untuk semua jenis silase. Alat yang
digunakan untuk pengukuran adalah termometer batang.
2. Nilai pH
Pengukuran nilai pH silase menggunakan prosedur Naumann dan Bassler
(1997). Sebanyak 10 g silase dicampur dengan 100 ml aquades dan dimasukkan
ke dalam blender selama 1 menit dengan kekuatan sedang. Setelah itu, pH meter
yang sudah ditera terhadap larutan standar ber-pH 4 dan pH 7 dimasukkan ke
dalam sampel dan dilakukan pembacaan pH setelah 30 detik atau setelah pH
terlihat stabil.
B. Uji Kualitas Kimia Pakan
Pengujian kualitas kimia pakan dilakukan untuk mengetahui komposisi
kimia pakan seperti BK, BO, PK, LK dan SK pada daun karet segar dan yang
telah dijadikan silase. Komposisi kimia pakan ini ditentukan dengan
menggunakan prosedur analisis proksimat menurut AOAC (2005).
C. Variabel yang Diamati
Adapun variabel yang diamti adalah :
1. kualitas fisik silase (aroma, tekstur, dan warna) dan tempratur akhir silase.
2. nilai pH silase umur 14 dan 21 hari
3. komposisi kimia pakan yang meliputi BK, BO, PK, LK, SK silase secara
deskriptif dengan perbedaan lama umur ensilase 14 dan 21 hari.
D. Analisis Data
Pada penelitin ini data kualitas fisik, pH, tempratur, dan komposisi kimia
pakan diamati secara deskriptif.

3.3.3.Tahap Evaluasi Palatabilitas Silase


A. Metode Evaluasi
Evaluasi tingkat kesukaan (palatabilitas) ternak terhadap silase yang
dihasilkan dilakukan menggunakan silase yang ensilasenya berlangsung selama
21 hari. Ketiga jenis silase tersebut diberikan pada 4 ekor ternak kambing betina
dan ditambah jenis perlakuan keempat berupa daun ranting segar sebagai
pembanding.
Jenis perakuan pakan untuk uji palatabilitas silase terdiri dari :
DK : Daun ranting Karet Segar
P0 : Silase daun ranting karet segar tanpa bahan tambahan
P1 : Siase daun ranting karet segar ditambah dengan 6% dedak
P2 : Siase daun ranting karet segar ditambah dengan 6% dedak dan 1% starter
EM4
Metode evaluasi palatabilitas yang digunakan adalah metode kafetaria
menurut afdal, et a., (2012). Jumlah pakan yang diberikan didasarkan pada intake
bahan kering ternak kambing PE menurut Wigati, et al., (2016) yaitu 5% dari
bobot badan. Bila rata-rata bobot badan kambing 30 kg, maka jumlah intake yang
dibutuhkan adalah 2000 g. Total Silase yang diberikan pada ternak sebanyak 60%,
sehingga masing-masing jenis silase (P0, P1, dan P2) yang diberikan adalah 20%
yang dibagi dalam 3 kali pemberian (6.7%) yaitu pada pukul 08.00, 11.00 dan
14.00. Daun karet segar (DK) diberikan sebanyak 20% dari total kebutuhan yang
dibagi dalam 3 kali pemberian pukul 08.00, 11.00 dan 14.00. Untuk 20% sisa
kebutuhan diberikan campuran dari beberapa hijauan pakan lain selain daun karet
seperti, rumupt kawatan (Otochloa nodosa), rumput paitan (Axonopus
compresus), anggrung, daun nangka, rumput cabe-cabean, gusduran dan lainnya.
Sebelum perlakuan dimulai ternak diadaptasikan dahulu dengan ke 3 jenis silase
selama 3 hari.
Adapun metode evaluasi palatabilitas silase yang dilakukan adalah sebagai
berikut.
1. Untuk metode kafetaria ini digunakan 4 ekor kambing yang masing
masing ditempatkan didalam kandang individu yang telah dimodifikasi
tempat pakannya seperti gambar 2.

Ket :
DK P0 P1 Tempat
pakan
P2

Kambing

Gambar 2. Denah posisi tempat pakan dalam kandang

2. Daun karet segar dan masing-masing jenis silase ditimbang sebanyak


300 g (BK basis) dan masing-masing jenis pakan perlakuan tadi dibagi
menjadi 3 bagian yaitu masing-masing 100 g. Selanjutnya bahan kering
tersebut dikonversikan kedalam bahan segar berdasarkan nilai BK silase.
3. Keempat jenis pakan perlakuan tersebut kemudian diberikan kepada
masing-masing ternak secara bersamaan dan penentuan tempat pakan
dilakukan secara acak.
4. Frekuensi pemberian pakan dari pakan perlakuan adalah 3 kali sehari
yaitu pada pukul 08.00, 11.00 dan 14.00. Pada setiap periode pemberian
pakan, penentuan tempat pakan akan kembali diacak. Penimbangan sisa
pakan dilakukan setiap akhir periode pemberian pakan. Kemudian
dihitung kosumsi pada setiap periode pemberian dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
konsumsi BK = jumlah BK - BK sisa pakan
5. Data konsumsi bahan kering pada setiap periode pemberian pakan akan
dipresentasikan dalam bentuk dipersentasikan dalam tabel jumlah
konsumsi yang juga akan digunakan untuk mengevaluasi palatabilias
ternak terhadap jenis pakan perlakuan.
B. Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan untuk evaluasi Palatabilitas adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan (DK, P0,P1, P2,) dan 16 ulangan (4
ulangan ternak dan 4 ulangan hari).
C. Variabel Yang Diukur
Variabel yang diukur adalah palatabilitas ternak terhadap pakan perlakuan
yang diukur dari tingkat preferensi dan jumlah total rata-rata konsumsi bahan
kering. Preferensi diukur dari jumlah konsumsi jenis pakan yang paling banyak
dikonsumsi pada setiap periode penyajian. Total konsumsi dihitung dari jumlah
konsumsi masing-masing jenis hijauan pakan dari total periode pemberian pakan.

D. Analisis Data
Data konsumsi pada tiap pemberian yang mengindikasikan preferensi
ternak terhadap jenis hijuan pakan akan dianalisis secara deskriftif. Data rata-rata
konsumsi pakan dianalisi dengan analisis variansi (ANOVA) sesuai dengan
rancangan percobaanya. Bila ada pengaruh yang nyata dari perlakuan akan
dilanjutkan dengan Uji Jarak Duncan (steel and Torrie, 1993).
HASIL PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Fisik Silase Daun Karet


Indikator keberhasillan silase dapat dilihat dari kualitas silase yang
dihasilkan. Hal itu dapat dilihat dari karakteristik silase yang dihasilkan yang
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas silase (Bolsen dan
Sapienza 1993). Hasil pengamatan karakteristik (warna, aroma, tekstur,) silase
daun karet dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan warna, aroma, dan tekstur silase Daun Karet Perlakuan
P0, P1, P2 umur 14 dan 21 hari.

Peubah yang Diamati


Perlakuan
Warna Aroma Tekstur Umur
P0 Hijau Kekuningan Asam Halus
P1 Hijau Kekuningan Asam Halus 14 hari
P2 Hijau Kekuningan Sangat Asam Halus

P0 Hijau Kekuningan Asam Halus


P1 Hijau Kekuningan Asam Halus 21 Hari
P2 Hijau Kekuningan Sangat Asam Halus
Ket : P0 = silase daun karet tanpa bahan tambahan. P1 = silase daaun karet + dedak 6%. P2 =
silase daun karet + dedak 6 % + EM4 1%.
Berdasarkan pengamatan karakteristik yang telah dilakukan, secara umum
silase daun karet yang dihasilkan selama penelitian berwarna hijau kekuningan.
Selain itu aroma silase daun karet berbau asam dan sangat asam. Sedangkan
tekstur silase daun karet seluruh perlakuan adalah halus. Jika dilihat berdasarkan
hasil pengamatan karakteristik, dapat dikatakan bahwa seluruh silase perlakuan
mempunyai kualitas fisik yang baik yakni mempunyai warna hijau kekuningan
atau kecoklatan, beraroma asam dan bertekstur halus (Utomo 1999).

4.2. Karakteristik Fermentasi Silase


Karakteristik fermentasi menjadi indikator fermentasi. Karakteristik
fermentasi silase yang diamati meiputi nilai pH dan tempratur silase .
Nilai pH
Nilai pH merupakan salah satu indikator kualitas silase. Besaran nilai pH
silase daun karet dengan lama ensilase dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. pH silase Daun Karet


Lama Ensilase (hari)
Perlakuan Rataan ±SD
14 21
P0 4.77 4.85 4.81 ± 0.06
P1 4.51 4.38 4.44 ± 0.10
P2 3.98 4.15 4.07 ± 0.12
Rataan ±SD 4.42 ± 0.40 4.46 ± 0.36 4.44 ± 0.37
Keterangan : P0 = silase daun karet tanpa bahan tambahan. P1 = silase daun karet + dedak 6%. P2
= silase daun karet + dedak 6 % + EM4 1%.
Berdasarkan pengukuran nilai pH yang telah diakukan, perbedaan umur
ensilase 14 dan 21 hari menghasilkan nilai pH yang berbeda yakni rata-rata 4,42
vs 4,46. Selain itu nilai pH terendah dimiliki silase daun karet P2 dengan rata-rata
4,07 diikuti P1 4,44 dan P0 4,81. Perbedaan nilai pH pada dua periode lama
ensilase diduga erat kaitanya dengan proses fermentasi yang sedang berlangsung.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Elfering (2010) yakni pada fase fermentasi
terjadi proses reaksi anaerob. Fase ini berlangsung dari beberapa hari hingga
beberapa minggu, tergantung dari komposisi bahan dan kondisi silase. Jika proses
fermentasi berjalan sempurna, maka bakteri asam laktat sukses berkembang.
Sementara itu nilai pH terendah pada P2 dan P1diduga karena adanya
penambahan dedak dan EM4 yang mengandung karbohidrat dan bakteri asam
laktat, sehingga dapat mempercepat penurunan pH silase karena pembentukan
bakteri asam laktat akan terjadi lebih cepat. Pernyataan ini didukung oleh Santoso
(2009) yang menjelaskan dengan penambahan bakteri asam laktat dan sumber
karbohidrat dapat mempercepat laju fermentasi dan mempercepat penurunan pH
dengan memanfaatkan monosakarida seperti glukosa dan fruktosa sehingga terjadi
akumulasi asam laktat. Sedangkan pada silase P0 yang mengalami peningkatan
pH mulai dari 4,77- 4,85 diduga karena bahan silase daun karet rendah akan
karbohidrat sehingga sumber karbohidrat hanya berasal dari daun karet itu sendiri
sehingga pembentukan bakteri asam laktat berjalan lambat.
Untuk penentuan kualitas silase berdasarkan nilai pH, dapat dikatakan
sangat baik hingga buruk pada perlakuan yang berurutan (P2, P1, P0) mengacu
pada Wilkins (1998) yang menyebutkan bahwa kualitas silase berdasarkan pH
dikategorikan menjadi 4 golongan, silase dikatakan baik sekali jika (pH 3,2 -4,2),
baik (pH 4,2-4,5), sedang (pH 4,5-4,8) dan buruk jika (pH > 4,8).
Tempratur
Pada proses fermentasi, tempratur merupakan indikasi pertumbuhan bakteri
asam laktat. Sehingga kualitas silase dapat dilihat dari kenaikan dan penurunan
tempratur silase. Termpratur silase dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Tempratur silase
Lama Ensilase (hari)
Perlakuan Rataan ±SD
14 21
P0 30.25 26.25 28.25 ± 2.83
P1 30.5 26.25 28.38 ± 3.01
P2 30 26.5 28.25 ± 2.47
Rataan ±SD 30.25 ± 0.25 26.33 ± 0.14 28.29 ± 0.27
Keterangan : P0 = silase daun karet tanpa bahan tambahan. P1 = silase daaun
karet + dedak 6%. P2 = silase daun karet + dedak 6 % + EM4 1%.

Berdasarkan data pada tabel diatas, terdapat perbedaan tempratur pada lama
ensilase 14 dan 21 hari dengan rata-rata yakni 30,25 vs 26,33. Perbedaan
tempratur pada silase diduga karena lama ensilase yang berbeda sehingga terjadi
perbedaan fase proses fermentsi. Pada awal ensilase, silase memasuki fase aerob
dan anaerob, pada fase aerob tempratur akan meningkat. Hal ini terjadi karena
tumbuhan masih mengalami proses respirasi. Kenaikan tempratur tidak akan
terjadi jika kondisi anaerob cepat tercapai.
Pada kondisi anaerob bakteri dari permukaan hijauan akan mengkonsumsi
oksigen sampai oksigen habis. Proses ini sangat diinginkan pada proses
pembuatan silase, di mana dengan habisnya oksigen secara optimal kondisi
anaerob dapat segera tercapai. pada waktu yang bersamaan, bakteri-bakteri
tersebut akan memanfaatkan karbohidrat terlarut yang seharusnya digunakan
bakteri asam laktat (BAL) untuk membentuk asam laktat menjadi CO2, H2O dan
panas. Proses ini menyebabkan kehilangan energi dan bahan kering (Muck, 2011),
sehingga penurunan suhu terjadi pada lama ensilase 21 hari.
Kualitas kimia Silase Daun Karet
Komposisi kimia pakan merupakan hal penting yang harus diperhatikan
karena sangat berpengaruh pada produksifitas ternak. Komposisi kimia pakan
pada daun karet segar dan silase daun karet perlakuan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi kimia pakan pada daun karet segar dan silase daun karet
perlakuan
Perlakuan BK BO PK LK SK
Lama ensilase 14 hari
Daun karet Segar 37,97 95,39 17,17 6,95 31,60
P0 30,12 85,15 18,88 4,15 26,47
P1 27,95 90,90 15,36 4,83 29,04
P2 20,72 93,00 15,37 5,49 26,84
Lama ensilase 21 hari
P0 28,55 88,05 15,35 4,76 27,07
P1 25,68 92,96 17,11 3,98 27,32
P2 18,85 96,95 16,67 5,11 28,20
Keterangan : P0 = silase daun karet tanpa bahan tambahan. P1 = silase daaun karet + dedak 6%. P2
= silase daun karet + dedak 6 % + EM4 1%.

Hasil analisi proksimat menunjukkan komposisi kimia pakan pada daun


karet segar dan silase daun karet memiliki kandungan bahan kering yakni berkisar
antara 18 - 35 %. Kandungan bahan kering yang dimiliki daun karet segar telah
memenuhi persyaratan dalam pembuatan silase. Mengacu pada Ohmomo et al.,
(2002) Hijauan yang diawetkan dalam bentuk segar sebaiknya mengandung bahan
kering 35 - 40 %. Kadar air yang terlalu tinggi mendorong pertumbuhan jamur
dan menghasilka asam butirat, sedangkan kadar air yang rendah menyebabkan
suhu dildalam silo lebih tinggi sehingga mempunyai resiko yang tinggi terhadap
terjadinya kebakaran (Pioner Development Fondation, 1991).
Kandungan bahan organik pada silase daun karet tidak jauh berbeda dengan
daun karet segar, yakni berkisar antara 85.15 – 96.95% pada silase daun karet,
sedangkan pada daun karet segar berkisar antara 95.39 %. Hal ini menunjukkan
bahwa daun karet segar dan silase daun karet baik digunakan sebagai pakan ternak
karena dapat menjadi sumber energi yang cukup tinggi untuk ternak.
Pada tabel 3 menunjukkan bahwa kandungan protein kasar silase daun karet
P0,P1,P2 tidak jauh berbeda dengan daun karet segar DK. Hal ini diduga karena
keadaan asam pada silase mampu menekan pertumbuhan bakteri pembusuk
sehingga kerusakan protein bahan pakan dapat ditekan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Diana et al., (2008) yang menyatakan bahwa prinsip utama pembuatan
silase adalah, menghentikan pernafasan dan penguapan sel-sel tanaman,
mengubah karbohidrat menjadi asam laktat oleh bakteri asam laktat dan menahan
aktivitas enzim dan bakteri pembusuk.
Kandungan lemak kasar pada pada daun karet segar lebih tinggi
dibandingkan dengan silase daun karet. Hal ini di duga disebabkan oleh
terpecahnya ikatan kompleks trigliserida menjadi ikatan-ikatan yang lebih
sederhana antara lain dalam bentuk asam lemak dan alkohol. Sebagian asam
lemak yang terbentuk akan menguap dan menyebabkan kadar lemak menurun.
Menurut Makmur et al.,(2006), bahwa kandungan lemak kasar dari bahan pakan
terdiri dari ester gliserol, asam-asam lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam
lemak mudah menguap.
Berdasarkan nilai kandungan serat kasar pada daun karet segar lebih tinggi
dibandingkan dengan seluruh silase perlakuan, namun paling rendah pada silase
P0 dengan lama ensilase 14 hari. Rendahnya kandungan serat kasar silase P0
diduga karena silase P0 tidak menggunakan bahan tambahan dedak padi seperti
pada P1 dan P2. Penurunan serat kasar terjadi akibat aktifitas mikroba khususnya
kelompok bakteri penghasil asam laktat yang akan menyerap karbohidrat dan
menghasilkan asam asetat sebagai hasil akhirnya. Kelompok bakteri Lactobacillus
dalam proses fermentasi akan menghasilkan sejumlah besar enzim mencerna serat
kasar seperti selulase dan mannase. Keuntungan kelompok bakteri ini dalam
mencerna serat kasar adalah karena bakteri tidak menghasilkan serat kasar dalam
aktivitasnya, sehingga lebih efektif dalam menurunkan serat kasar dari pada ragi
dan jamur (Hanafiah, 1995).
Berdasarkan komposisi kimia pakan diatas, dapat dinyatakan bahwa silase
daun karet baik digunakan sebagai pakan ternak dan dapat digunakan sebagai
pakan pengganti hijauan segar.

4.3. Palatabilitas Terhadap Daun Karet Segar Dan Silase Daun Karet
Perlakuan Pada Kambing PE
Palatabilitas merupakan tingkat kesukaan ternak terhadap suatu pakan yang
diberikan. Untuk mengetahui tingkat palatabilitas suatu pakan, dapat diamati
dengan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak terhadap jenis pakan. Dengan
rata-rata BB pada kambing perlakuan sebesar 44,4 kg dan dengan DMI yang
ditentukan sebesar 5% dari BB mengacu pada Wigati et al., (2016), dan total
semua ransum yang diberikan adalah sebesar 60% DMI, maka jumlah bahan
kering yang diberikan perekor perhari adalah sebesar 1332 g BK. Untuk masing-
masing pakan perlakuan rata-rata jumlah bahan kering yang diberikan perekor
perhari adalah sebesar 333,0 g BK. Adapun jumlah rata-rata konsumsi BK pakan
perlakuan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5.Rata-rata (± SEM) konsumsi bahan kering pakan perlakuan (g/ekor/hari)
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P>0.01), K1: rata-rata konsumsi hari ke 1, K4: rata-rata konsumsi hari ke 1-4, P:
pemberian, SEM : Standar eror mean
Hasil analisis statistik menunjukan bahwa konsumsi BK silase P0 pada hari
pertama (K1) tidak berbeda nyata (P>0,01) dari konsumsi BK daun karet segar
(DK), namun nyata (P<0,05) lebih tinggi dari konsumsi BK silase P1 dan P2,
sedangkan konsumsi BK silase P1 berbeda tidak nyata (P>0,01) dari P2. Pada
rata-rata konsumsi hari ke 1-4 (K4), konsumsi BK silase P0, P1, dan P2 berbeda
nyata (P>0,01) lebih rendah dari konsumsi BK daun karet segar (DK). Sementara
itu konsumsi BK silase P0 sangat nyata lebih tinggi (P>0,01) dari konsumsi BK
P1 dan P2, dan konsumsi BK silase P1 berbeda tidak nyata (P>0,01) dari silase
P2.
Tabel 6. Konsumsi hijauan segar dan silase pada kambing dan sapi
Bahan Pakan Jenis ternak Jumlah konsumsi Sumber
Silase limbah sayuran +
kambing 188 g/hari Angga et al .,(2015)
dedak 10%

Konsumsi (% dari
Konsumsi
Perlakuan Pemberian )
K1 K4 P/K1 P/K4
A A A
DK 255.3 ± 31.1 261.1 ± 32.0 76.7 78.4A
PO 178.3 ± 62.0A 125.2 ± 14.3B 53.6A 37.6B
B
P1 62.1 ± 41.2 35.7 ± 10.7C 18.6B 10.7C
C B
P2 41.4 ± 64.8 B
25.0 ± 7.4 12.4 7.5C
Rumput Gajah 100% Sapi bali 15,95 kg/hari Diana (2011)
Silase pelepah kelapa
Sapi bali 5,80 kg/hari Diana (2011)
sawit 100%

Data dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa palatabilitas dari silase
lebih rendah dari daun karet segar, sedangkan dari 3 jenis silase perlakuan (P0,
P1, P2) yang diberikan pada kambing, maka silase P0 yang paling disukai oleh
kambing. Selain itu hasil penelitian lainya yang ditampilkan pada Tabel 6.
Menunjukan hal yang sama pada konsumsi silase limbah sayuran ditambah
dengan dedak 10% yakni hanya 188 g/hari dan konsumsi silase daun pelepah
kelapa sawit pada sapi bali yakni hanya 5,80 kg/hari atau hanya 36% dari
konsumsi rumput gajah segar. Hal ini menunjukkan bahwa kambing PE memiliki
palatabilitas yang tinggi terhadap daun karet segar, tetapi rendah pada silase
perlakuan. tingginya konsumsi pada daun karet segar diduga karena ternak sudah
terbiasa dengan daun karet segar yang diberikan. Sedangkan rendahnya
palatabilitas silase daun karet diduga karena silase perlakuan menimbulkan bau
asam yang menyebabkan ketidaksukaan kambing terhadap silase perlakuan. Hal
ini sejalan dengan pernyataan Devendra dan Burns (1994), yang menyatakan
bahwa pada umumnya kambing merupakan jenis ternak yang mempunyai
kebiasaan memilih pakan yang akan dikonsumsinya dan pada ternak ruminansia
rangsangan penciuman (bau/aroma) sangat penting untuk mencari dan memilih
makanan (Dukes, 1995).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa daun karet yang dijadikan
silase mampu mempertahankan kualitas fisik dan kimia pakanya, namun rendah
palatabilitasnya.
5.2 Saran
Untuk mendapatkan nilai palatabilitas yang lebih jelas, maka untuk analisis
palatabilitas seharusnya tidak menggunakan daun karet segar serta waktu
pemberian diperpanjang.
DAFTAR PUSTAKA

Afdal.M., K. Azhar,A.R. Alimon and N. Abdullah. 2012. Evaluation of the


Palatability of Palm Decanter Meal Preserved with Ground Cinnamon Stick
(Cinnamomumburmannii) on Goat. Journal of Animal and Veterinary
Advances 11 (20). 3749-3754.

Angga, A., Muhtarudin & Erwin. 2015. Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis
Sumber Karbohidrat Pada Silase Limbah Sayuran Terhadap Kualitas dan
Tingkat Palatabilitas Silase. Jurnal Ilmiah Peternakan terpadu. Vol. 3(4:196-
200).

AOAC (Association of Official Analytical Chemist). 2005. Official Methods of


Analysis of the Association of Official Analitycal Chemist International.
18th ed. Assoc. Off.Anal. Chem. Arlington.
Atabany, A. 2001. Studi kasus produksi kambing Peranakan Etawah dan kambing
Saanen pada peterakan kambing Barokah dan PT Taurus Dairy Farm.
Tesis. Program Pasca sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Coblenzt W. 2003. Principles of silage making. http://www.uaex.edu [Maret
2009].

Cullison, A. E. 1975. Feed And Feding. University Of George Reston Publishing


Company Inc. Virginia.

Devendra C., Burns. M., 1994. Produksi kambing di daerah tropis. Bandung:
penerbit IPB Bandung.

Diana, D.N. 2011. Konsumsi Ransum Dan Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali
Yang Diberi Silase Daun Pelepah Kelapa Sawit Sebagai Subsitusi Rumput
Gajah. Skripsi Sarjan. Fakultas Pertanian Dan Peternakan. UIN Sultan
Syarif Kasim Riau. Pekanbaru.

Diana, N.H. 2004. Perlakuan Silase dan Amonias Daun Kelapa Sawit sebagai
Bahan Pakan Domba. Fakultas Pertanian. Program Studi Produksi Ternak.
USSU. Sumatera Utara.

Dukes, H.H. 1995. the phisycology of Domestic Animal. Ed. Ke – 7. New York.
Comstock publishing Associates.

Hanafiah, A. 1995. Peningkatan Nilai Nutrisi Empulur Sagu (Metroxylon sp)


sebagai Bahan Pakan Monogastrik melalui Teknologi Fermentasi
Menggunakan Aspergillus niger. Skripsi. IPB,Bogor, Indonesia.
Kartadisastra, H.R., 1997. Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius. Yogyakarta.
Kompiang, I. P., T. Purwadaria, T. Haryati, dan Supriyati. 1997. Bioconversion of
sago (Metroxylon sp) waste. In: Current Status of Agricultural
Biotechnology in Indonesia. Darussman, A, I. P. Kompiang and S.
Moeljoprawiro Eds. AARD Indonesia. Pp. 523-526.
Kryazakis, I. & J.D. Oldham.1993. Diet selection in sheep the ability of growing
lambs to select a diet that meets their crude protein requirement. Br. J.
Nutr. 69: 617-629.
Laconi, E. B. 1992. Pemanfaatan Manure Ayam sebagai Suplemen Non Protein
Nitrogen (NPN) dalam Pembuatan Silase Jerami Padi untuk Kerbau.
Thesis, IPB, Bogor, Indonesia.

Makmur & Indrawati.2006. Kandungan Lemak Kasar dan BETN Silase Jerami
Jagung (Zea mays L) dengan Penambahan Beberapa Level Limbah WHEY.
Skripsi Sarjana. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Muck, R.E. 2011. Preventing Silage Storage Losses. University of Wisconsin.


Madison.

Naumann, C. & Basler, R. 1997. VDLUFA-Methodenbuch Band III, Die


chemische Untersuchung von Futtermitteln. 3rd ed. VDLUFA-Verlag.
Darmstadt, Germany.
NRC, 1994. Nutrien Requirement of goat 9 Ed. Washington DC : National
Academy pres
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan, UI Press.
Jakarta.
Purwadaria, T., A. P. Sinurat, T. Haryati, I. Sutikno, Supriyati dan J. Darma.
1998. The correlation between mannase and cellulase activities toward
fibre content of palm oil sludge fermented with Aspergillus niger. JITV 3:
230-236.
Sapienza, A dan Bolsen. 1993. Teknologi Silase. Terjemahan: Rini, B. S.
Martoyoedo. Kansas State University. England.
Schroeder JW. 2004. Silage fermentation and preservation. Extension Dairy
Speciaslist. AS-1254. http://www.ext.nodak.edu/extpubs/ansci/dairy/as
1254w. htm. [Maret 2009].
Sinurat, A. P., P. Setiadi, A. Lasmini, A. R. Setioko, T. Purwadaria, I. P.
Kompiang dan J. Darma. 1995. Penggunaan cassapro (singkong
terfermentasi) untuk itik petelur. Ilmu dan Peternakan 8: 28-31.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta. (Diterjemahkan oleh B. Sumantri).
Tanius, T.S.A. 2003. Seri Agribisnis Beternak Kambing Perah Peranakan Etawah.
Press, Surakarta.
Tillman A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S.
Lebdosoekojo, 1991. Ilmu makanan ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta

Utomo, R. 1999. Teknologi Pakan Hijauan. Fakultas Peternakan, Universitas


Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wigati, S. Maksudi, dan E. Wiyanto. 2016. The Use of Rubber Leaves


(Heveabrasiliensis) as Forage In Suporting The Development of Goats.
Dalam :Procceding International Seminar on Livestock Production and
Veterinary Technology : 10-12 Agustus 2016, Bali.
Wigati, S., Kustantinah., E. Wiyanto and E. R. Orskov. 2014b. in Sacco
Degradability of Six Different Tropical Feedstuffs. Proceedings The 16th
AAAP Animal Science Congress :Vol II Abstracts : 10-14 November
2014, Yogyakarta, Indonesia. Pp.376-379.Arora, S.P., 1989. Pencernaan
Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wigati, S., M. Maksudi and A. Latief.2014a. Analysis of Rubber Leaf (Hevea
brasiliensis) Potency as Herbal Nutrition for Goats. Proccedings the
16thAAAP Congress: Sustainable Livestock Production in The
Persperctive of Food Security, Policy, Genetic Resources, and Climate
Change. Vol II abstract : 10-14 november 2014, Yogyakarta, Indonesia. P.
130Mc. Donald, P., A.R. Henderson and S.J.E. Heron. 1991. The
Biochemistry of Silage. 2nd Edition. National Academy Press,
Washington D.C.
Wiradarya.1993. Produksi Kambing dan Domba diIndonesia.UNS pres.Surakarta.
Wodzicka dan Tomas Zewska, I.M Mashka, A Djayanegara,Gardiner danT.P

Anda mungkin juga menyukai