Silase adalah makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi hijauan pakan dengan
kandungan air yang tinggi. Silase adalah pakan yang telah diawetkan yang di proses dari bahan
baku yang berupa tanaman hijauan , limbah industri pertanian, serta bahan pakan alami lainya,
dengan jumlah kadar / kandungan air pada tingkat tertentu kemudian di masukan dalam sebuah
tempat yang tertutup rapat kedap udara , yang biasa disebut dengan Silo, selama sekitar tiga
minggu
Prinsip dasar dari pengawetan dengan cara silase fermentasi adalah sebagai berikut:
Respirasi
Sebelum sel-sel di dalam tumbuhan mati atau tidak mendapatkan oksigen, maka mereka
melakukan respirasi untuk membentuk energi yang di butuhkan dalam aktivitas normalnya.
Respirasi ini merupakan konversi karbohidrat menjadi energi.
Respirasi ini di bermanfaat untuk menghabiskan oksigen yang terkandung, beberapa saat setelah
bahan di masukan dalam silo. Namun respirasi ini mengkonsumsi karbohidrat dan menimbulkan
panas, sehingga waktunya harus sangat di batasi, seperti reaksi dibawah ini :
C2H12O6 + 6O2 →→ 6CO2 + 6H2O + panas
Respirasi yang berkelamaan di dalam bahan baku silase, dapat mengurangi kadar karbohidrat,
yang pada ahirnya bisa menggagalkan proses fermentasi. Pengurangan kadar oksigen yang
berada di dalam bahan baku silase, saat berada pada ruang yang kedap udara yg disebut dengan
Silo, adalah cara terbaik meminimumkan masa respirasi ini.
Ø Fermentatsi
Setelah kadar oksigen habis , maka proses fermentasi di mulai. Fermentasi adalah menurunkan
kadar pH di dalam bahan baku silase sampai dengan kadar pH dimana tidak ada lagi organisme
yang dapat hidup dan berfungsi di dalam silo. Penurunan kadar pH ini dilakukan oleh lactic
acid ( asam laktat ) yang di hasilkan oleh bakteri Lactobacillus. Lactobasillus itu sendiri sudah
berada didalam bahan baku silase, dan dia akan tumbuh dan berkembang dengan cepat sampai
bahan baku terfermentasi. Bakteri ini akan mengkonsumsi karbohidrat untuk kebutuhan
energinya dan mengeluarkan asam laktat. Bakteri ini akan terus memproduksi asam laktat dan
menurunkan kadar pH di dalam bahan baku silase sampai pada tahap kadar pH yang rendah,
dimana tidak lagi memungkinkan bakteri ini beraktivitas, sehingga silo berada pada keadaan
stagnant, atau tidak ada lagi perubahan yang terjadi, dan bahan baku silase berada pada keadaan
yang tetap. Keadaan inilah yang di sebut keadaan terfermentasi, dimana bahan baku berada
dalam keadaan tetap , yang disebut dengan menjadi awet. Pada keadaan ini maka silase dapat di
simpan bertahun-tahun selama tidak ada oksigen yang menyentuhnya.
Ciri-ciri silase yang baik adalah : rasa dan bau asam, warna masih hijau, tekstur hijauannya
masih jelas seperti aslinya, tidak berjamur, tidak berlendir dan tidak menggumpal, secara
laboratoris banyak mengandung asam laktat, kadar N (amonia) rendah yaitu kurang dari 10%,
tidak mengandung asam butirat, dengan pH rendah 3,5 – 4. Pakan yang gagal menjadi silase
akan berbau busuk dan menghitam (Rahmansyah, M, dkk. 2013).
Adrial dan Saleh Mokhtar (2013) menjelaskan bahwa Tujuan utama pembuatan silase adalah
untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk
dimanfaatkan pada masa mendatang. Kualitas dan nilai nutrisi silase dipengaruhi sejumlah
faktor seperti spesies tanaman yang dibuat silase, fase pertumbuhan dan kandungan bahan
kering saat panen, mikroorganisme yang terlibat dalam proses dan penggunaan bahan
tambahan (additif).
Adapun keuntungan dari pembuatan silase ini antara lain adalah : (1) Dapat mengatasi
kekurangan pakan ternak di musim kemarau panjang atau musim paceklik. (2) Untuk
menampung kelebihan produk hijauan makanan ternak atau untuk memanfaatkan hijauan
pada saat pertumbuhan terbaik, tetapi belum dipergunakan. (3) Mendayagunakan hasil sisa
pertanian atau hasil ikutan pertanian Apabila proses pembuatan silase ini berjalan baik, maka
silase ini dapat disimpan dan bisa bertahan 2-3 tahun (Subekti, E. 2009).
pengolahan HMT dengan cara silase yang telah dimodifikasi dengan menggunakan bahan tetes
dan juga memanfaatkan katalisator mikroba efektif yang sudah dijual bebas di pasaran seperti
EM-4, atau M-Bio atau Starbio Untuk mempercepat kondisi asam, ditambahkan inokulum
mikroba obligat anaerob yang dikultur dengan bahan tetes. Kondisi tanpa gangguan udara luar
menyebabkan hijauan yang diawetkan ini akan tahan disimpan selama maksimal 3 tahun. Bila
ada kebocoran atau sudah sempat dibuka, maka produk hijauan silase ini harus habis paling
lama 2 minggu atau dikeringkan sampai kadar air <15% agar tetap awet / tidak busuk. Teori
metode silase modifikasi dilakukan pada hijauan yaitu rumput diganti dengan pucuk daun
jagung yang dicampur dengan tetes 2,5% dan diberi katalis bakteri asam laktat sebanyak 2,5%
juga. Lama proses dipersingkat menjadi hanya 1 minggu ( Erowati, D.A. 2000).
4. Hay
Hay merupakan hijauan makanan ternak yang sengaja dipotong dan dikeringkan agar bisa
diberikan kepada ternak pada kesempatan yang lain dengan kadar air 15-20%. Tujuan dari
pembuatan hay ini adalah Untuk dapat menyediakan pakan untuk ternak pada saat-saat
tertentu. Misalnya dimasa paceklik dan bagi ternak selama dalam perjalanan. Selain itu Untuk
dapat memanfaatkan hijauan pada saat pertumbuhan terbaik, tetapi pada saat itu belum
dimanfaatkan. Prinsip dari proses pembuatan hay ini adalah menurunkan kadar air menjadi 15-
20% dalam waktu yang singkat, baik dengan panas matahari ataupun panas buatan (Subekti, E.
2009).
Hal ini juga didukung denga penjelasan Adrial dan Saleh Mokhtar (2013) bahwa Hay merupakan
hijauan makanan ternak yang diawetkan dengan cara dikeringkan yang mempunyai kandungan
bahan kering 80-85%, warna tetap hijau dan tidak berbau apik. Prinsip pembuatan hay adalah
menurunkan kadar air hijauan secara bertahap tetapi berlangsung dengan cepat. Tujuan
menurunkan kadar air adalah agar sel-sel hijauan tersebut cepat mati dan mencegah
pertumbuhan mikroorganisme sehingga tidak terjadi proses kimia baik berupa respirasi
maupun fermentasi yang dapat menghasilkan panas.
Pembuatan Hay bisa dilkukan dengan cara berikut yaitu :
1). Pencoperan dan Penimbangan rumput hijauan yang dipotong sebelum masa generatif
sehingga kandungan nutrisinya tinggi.
2). Dikeringkan selama 1 hari atau sampai kadar air menjadi 15-20%.
3). Dipress atau dicetak dengan bentuk tertentu.
4). Disimpan pada tempat yang kelembapan rendah.
Ciri-ciri hay yang baik adalah warna hijau kekuningan, tidak banyak daun yang rusak, bentuk
daun masih utuh atau jelas dan tidak kotor atau berjamur, serta tidak mudah patah bila batang
dilipat dengan tangan.
5. Jerami Amoniasi
Teknik amoniasi termasuk perlakuan alkali yang dapat meningkatkan daya cerna jerami padi.
Urea dalam proses amoniasi berfungsi untuk melemahkan ikatan lignoselulosa dan silika yang
menjadi faktor penyebab rendahnya daya cerna jerami padi. Nitrogen yang berasal dari urea
yang meresap dalam jerami mampu meningkatkan kadar amonia di dalam rumen sehingga
tersedia substrat untuk memperbaiki tingkat dan efisiensi sintesis protein oleh mikroba.
kandungan protein kasar jerami padi rendah (3-5%), serat kasarnya tinggi (>34%), kekurangan
mineral, ikatan lignoselulosanya kuat dan kecernaannya rendah. Menurut Preston dan Leng
(1987), rendahnya nilai nutrisi jerami padi disebabkan oleh kadar protein, kecernaan, mineral
esensial dan vitamin yang rendah, serta kadar serat kasar yang tinggi. Salah satu usaha untuk
meningkatkan kualitas jerami padi dapat dilakukan dengan meningkatkan nilai cernanya melalui
pemecahan ikatan kompleks lignoselulosa baik secara kimia, fisika, biologi maupun
kombinasinya.
jerami padi yang diberi perlakuan urea 4% dan disimpan selama 4 minggu terjadi peningkatan
daya cerna dari 35% menjadi 43,6% dan kandungan nitrogen total dari 0,48% menjadi 1,55%.
Langkah yang coba dilakukan adalah dengan memanfaatkan limbah pertanian terutama jerami
padi karena jerami padi sering tidak dimanfaatkan bahkan terbuang. Melalui teknologi
amoniasi dengan urea maka nilai gizi jerami masih dapat ditingkatkan sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia khususnya sapi ( Trisnadewi, dkk.2011).
6. Fermentasi
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam
keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Proses fermentasi juga telah dilakukan terhadap limbah
tanaman jagung menggunakan Pleurotus flabelatus untuk fermentasi jerami jagung. Jamur
Pleurotus merupakan jamur pembusuk putih (white rot fungi). Jamur ini dapatmengeluarkan
enzim-enzim pemecah selulosa dan lignin sehingga kecernaan bahan kering jerami jagung akan
meningkat. Selain itu juga dapat menggunakan Trichoderma virideae untuk memfermentasi
tongkol jagung. Sebelum proses
fermentasi dilakukan, diperlukan mesin penghancur/ penggiling tongkol jagung sehingga
diperoleh ukuran partikel tongkol jagung sebesar butiran biji jagung.
Jamur Trichoderma termasuk jamur penghasil selulase sehingga banyak digunakan untuk
memfermentasi limbah-limbah pertanian. Tongkol dicampur dengan jamur Trichoderma dan
dibiarkan selama 4 – 7 hari dalam tempat tertutup. Fermentasi biasanya akan meningkatkan
nilai nutrisi atau nilai kecernaan bahan kering suatu bahan serta dapat pula menyebabkan
bahan menjadi lebih palatabel bagi ternak ( Umiyasih, U. Dan Elizabeth, E. 2008).