Anda di halaman 1dari 362

BUKU PEDOMAN PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

HEWAN (PPDH)

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


VETERINER
JILID I
( DASAR DASAR TEORI)

OLEH :
Drh. I Wayan Suardana, MSi
Drh. Ida Bagus Ngurah Swacita, MP

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA


DENPASAR
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang

Widhi Wasa, karena atas berkat rahmat-Nya lah penyusunan Buku Pedoman Pendidikan

Profesi Dokter Hewan (PPDH) Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner ini dapat

diselesaikan dengan baik.

Penyusunan buku ini dimaksudkan sebagai acuan dasar bagi mahasiswa “ Sarjana

Kedokteran Hewan” yang bermaksud memperdalam profesinya melalui pendidikan

profesi / koasistensi khususnya di laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, dengan

harapan melalui buku pedoman ini dapat terpenuhinya Standar Minimal Kompetensi

Lulusan Dokter Hewan yakni : “memiliki ketrampilan dalam melakukan

pemeriksaan antemortem dan postmortem, mampu melakukan pengawasan bahan

makanan asal hewan dan produk olahannya, mampu melakukan pengukuran

(assesment) dan penyeliaan kesejahteraan hewan serta memiliki kemampuan

manajemen pengamanan hayati hewan (biosecurity), pengendalian lingkungan,

serta pengendalian dan penolakan penyakit strategis dan zoonosis”.


Kami menyadari bahwa Buku Pedoman ini masih banyak kekurangannya, untuk

itu saran dan kritik sangat kami harapkan demi peningkatan kualitas lulusan dokter

hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Denpasar, Agustus 2015

Tim Penyusun
BAB I

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP)

KOASISTENSI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

Program PPDH : Koasistensi Kesmavet

SKS : 3 SKS

Waktu : 3 minggu

Lokasi Koas : RPH Mambal, RPH dan Unggas Pesanggaran, RPA Kediri

Tabanan, Lab Kesmavet FKH Unud.

Deskripsi Singkat :

Koas kesmavet memperdalam pengetahuan dan keterampilan cara pemeriksaan

ante-mortem dan post-mortem pada ternak sapi dan babi; Pengawasan mutu dan

kesehatan bahan asal hewan dan produk olahannya; Pengukuran dan penyeliaan

kesejahteraan hewan, Penilaian kelayakan dan kesehatan lingkungan suatu RPH.

Tujuan Instruksional Umum :


Setelah koas kesmavet selama 3 minggu, mahasiswa program PPDH

mampu :

1. Menilai dan terampil melakukan pemeriksaan kesehatan ante mortem dan

post-mortem pada ternak sapi dan babi.

2. Menilai dan terampil melakukan pengawasan mutu dan kesehatan bahan

makanan asal hewan (daging, susu, telur) dan produk olahannya

3. Menerapkan pengukuran (assesment) dan penyeliaan kesejahteraan hewan

4. Menilai kelayakan suatu Rumah Pemotongan Hewan (RPH).

5. Menilai kesehatan lingkungan terutama pada RPH dan Peternakan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 1


MINGGU/ WAKTU MATERI PENANGGUNG
HARI JAWAB
I Senin 08.30-09.00 Pengarahan koas (tata tertib, materi, Tim Pengelola
jadwal koas, pemilihan koordinator) Koas

09.00-11.30 Review perundang-undangan yang Prof.Dr.IB Arka,


berkaitan dengan Kesmavet : GDFT.
1.PP RI No.23/1983 : Kesmavet.
2.PP RI No.15/1977 : Penolakan dan
Pemberantasan Penyakit.
3.SK Mentan No.745/1992 : Peng-
awasan Daging dari Luar Negeri
4.SK Mentan No.445/2002 : Pela-
rangan Impor Ternak Ruminansia
dari Negara Tertular BSE
5.SE Mentan No.TN 510/2001 :
Penolakan Masuknya Penyakit
PMK
6.SK Dirjenak No.254/1995 : NKV
bagi RPH Unggas dan Tempat
Pemotongan Daging
7.SK Dirjenak No.114/1996 : NKV
Bagi Usaha Pengimpor Daging
8.SK Dirjen Produksi Ternak No.71 :
Prosedur Baku Importasi Hewan dan
Bahan Asal Hewan
9.SE Dirjen Produksi Peternakan
No.TN 540/2002 : Penghentian
Sementara Pemasukan Hewan
Ruminansia dari Negara Tertular
BSE
I Selasa 08.30-09.30 1.Tugas dan Fungsi Direktorat Drh. Wayan
Kesehatan Masyarakat Veteriner Bagiasih Wisna,
2.Program Monitoring dan Survei- MS
lens Residu pada Produk Pangan
09.30-10.30 1.Review Penyakit yang Ditularkan Drh. I Ketut
oleh Makanan (Food Borne Disea- Suada, MSi
ses)
2.Pedoman Teknis Sanling RPH/
Unggas
10.30-11.30 1.Review Penyakit yang Ditularkan Drh. I Made
oleh Susu dan Produk Susu (Milk Sukada, MSi.
Borne Diseases)
2.Kebijakan Pemerintah dalam Me-

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 2


ningkatkan Produksi Susu di Indo.
I Rabu 08.30-09.30 1.Pedoman Seleksi dan Penyembe- Drh. Mas Djoko
lihan Hewan Qurban Rudyanto, MS
2.Pedoman Penyembelihan Halal
09.30-10.30 1.Petunjuk Untuk Penanganan, Drh.I.B. Ngurah
Pengiriman dan Pemotongan yg Swacita, MP
Manusiawi
2.Review Pemeriksaan Kesehatan
Ante-mortem dan Post-mortem
serta Kualitas dan Kesehatan
Daging
10.30-11.30 1.Kebijakan mengenai Keamanan Drh. I Wayan
dan Kualitas Daging Indonesia Suardana, MSi
2.Peningkatan Peranan Pemerintah
dalam Pengawasan Bahan Makan
an Asal Hewan, Memperkenalkan
Konsep HACCP
I Kamis 08.30-selesai 1.Pemeriksaan Kualitas Daging dan Drh.I.B. Ngurah
23.00- Produknya (3 tempat pengambilan Swacita, MP
selesai 2.Pemeriksaan Kesehatan AM-PM
Sapi di RPH Mambal
I Jum’at 09.30- 1.Pemeriksaan Kualitas Daging dan Drh.I.B. Ngurah
selesai Produknya (ulangan dari 3 tempat Swacita, MP
I Sabtu 08.30- 1.Pemeriksaan Kualitas Susu Segar Drh. I Made
selesai (3 tempat pengambilan) Sukada, MSi
II Senin 08.30- 1.Pemeriksaan Pemalsuan Susu Ir. Martini
selesai (air tajin, santan, dll) Hartawan, MSi
23.00- 2. Pemeriksaan Kesehatan AM-PM Drh. I Ketut
selesai Sapi di RPH Mambal Gunata
II Selasa 09.30-selesai 1.Pemeriksaan Kualitas Telur Ayam Drh. I Wayan
Ras (3 tempat pengambilan) Suardana, MSi
II Rabu 08.30-selesai 1.Pemeriksaan Kualitas Telur Ayam Drh. I Wayan
23.00-selesai Ras (3 tempat pengambilan) Suardana, MSi
2.Ujian Praktek Pemeriksaan AM & Drh.I.B. Ngurah
PM Sapi di RPH Mambal Swacita, MP
II Kamis 09.30-selesai 1.Pemeriksaan Kualitas Air Limbah Drh. I Ketut
RPH/Peternakan Suada, MSi
II Jum’at 08.30-selesai 1.Pemeriksaan Kualitas Air Limbah Drh. I Ketut
23.30-selesai RPH/Peternakan Suada, MSi
2.Pemeriksaan Kesehatan AM-PM Drh.I.B. Ngurah
Babi di RPH&Ungg. Pesanggaran Swacita, MP
II Sabtu 09.30-selesai 1.Tabulasi data dan diskusi Pembimbing
Koas
III Senin 08.30-selesai 1.Kunjungan ke TPA PT Wonokoyo, Drh.I Wayan
Kediri, Tabanan Suardana, MSi
23.30-selesai 2.Pembuatan draft laporan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 3


3.Pemeriksaan Kesehatan AM dan Drh.Md. Ngurah
PM Babi di RPH dan Unggas Sugiri
Pesanggaran
III Selasa 08.30-selesai 1.Kunjungan ke TPA PT Wonokoyo, Drh.I Wayan
Kediri, Tabanan Suardana, MSi
2.Pembuatan draft laporan
III Rabu 08.30-selesai 1.Kunjungan ke TPA PT Wonokoyo, Drh.Mas Djoko
Kediri, Tabanan Rudyanto, MS
23.30-selesai 2.Pembuatan draft laporan
3.Ujian Praktek Kesehatan AM dan Drh.I.B. Ngurah
PM Babi di RPH dan Unggas Swacita, MP
Pesanggaran
III Kamis 09.30-11.30 1.Pengumpulan Laporan Koas Pembimbing
Koas 1 dan 2
III Jum’at 08.30-selesai 1. Ujian Koas Kesmavet Pembimbing
Koas 1
III Sabtu 08.30-selesai 1. Ujian Koas Kesmavet Pembimbing
Koas 2

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 4


BAB II

2.1 MATERI PERATURAN PERUNDANGAN KESMAVET

PERATURAN PERUNDANGAN
KESMAVET
EDISI I

DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PERTERNAKAN

DEPARTEMEN PERTANIAN

2002

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 5


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1983
TENTANG
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan penting


dalam mencegah penularan zoonosa dan pengamanan produksi
bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan lainnya. Untuk
kepentingan kesehatan masyarakat ;
b. Bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 19 dan Pasal 21 Undang – Undang
No 6 Tahun 1967 dipandang perlu mengatur Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Peraturan Pemerintah

Mengingat : 1. Pasal 5 Ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945;


2. Undang – Undang Nomor Tahun 1967 tentang Ketentuan –
Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran
Negara tahun 1967 No 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2824);
3. Undang – Undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok – Pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara tahun 1974 nomor
3B, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037)
4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1973 tentang Pembuatan
Persediaan, Peredaran dan Pemakaian Vaksin, Sera dan Bahan –
bahan Diagnostika Biologis untuk Hewan ( Lembaran Negara
Tahun 1973 No 23 );
5. Peraturan Pemerintah No 15 tahun 1977 tentang Penolakan,
Pencegahan, Pemberantasan, dan Pengobatan Penyakit Hewan
(Lembaran Negara Tahun 1977 No 20, Tambahan Lembaran
Negara No 3101);
6. Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 1977 tentang Usaha
Peternakan (Lembaran Negara Tahun 1977 No. 21, tambahan
Lembaran Negara No 3102);

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 6


M E M U T U S K A N:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KESEHATAN


MASYARAKAT VETERINER

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :


a. Pengujian adalah kegiatan pemeriksaan kesehatan bahan makanan asal hewan dan
bahan asala hewan untuk mengetahui bahwa bahan-bahan tersebut layak, sehat dan
aman bagi manusia;
b. Daging adalah bagian-bagian dari hewan yang disembelih atau dibunuh dan lazim
dimakan manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada
pendinginan;
c. Susu adalah cairan yang diperoleh dari ambing ternak perah sehat, dengan cara
pemerahan yang benar, terus menerus dan tidak dikurangi sesuatu dan/atau
ditambahkan kedalamnnya sesuatu bahan lain;
d. Usaha pemotongan hewan adalah kegiatan – kegitan yang dilakukan oleh perorangan
dan/atau badan yang melaksanakan pemotongan hewan dirumah potong hewan milik
sendiri atau milik pihak ketiga atau menjual jasa pemotongan hewan;
e. Telur adalah telur unggas;
f. Zoonosa adalah penyakit yang dapat berjangkit dari hewan kepada manusia atau
sebaliknnya;
g. Pengawetan adalah usaha atau kegiatan tertentu untuk mengendalikan, menghambat
reaksi enzima oleh mikroorganisme pembusuk, sehingga bahan makanan tersebut
dapat digunakan dengan aman dalam jangka waktu yang lebih lama;
h. Menteri adalah mentri yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan masyarakat
veteriner.

BAB II
PENGAWASAN KESEHATAN MASYARAKAT VETRINER

Pasal 2
1) Setiap hewan potong yang akan dipoktong harus sehat dan telah diperiksa
kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
2) Jenis – jenis hewan potong ditetapkan lebih lanjut oleh menteri.
3) Pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di rumah potong hewan atau tempat
pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
4) Pemotongan hewan untuk keperluan keluarga, upacara adat dan keagamaan serta
penyembelian hewan potong secara darurat dapat dilaksanakan menyimpang dari

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 7


ketentuan sebagaimana dari dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini, dengan mendapat izin
terlebih dahulu dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan atau pejabat yang ditunjuknya.
5) Syarat – syarat rumah potong hewan, pekerja, pelaksanaan pemotongan, dan cara
pemeriksaan kesehatan dan pemotongan harus memenuhi ketentuan – ketentuan yang
ditetapkan oleh menteri

Pasal 3
(1) Setiap orang atau badan yang melaksanakan :
a. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar propinsi
dan ekspor harus memperoleh surat ijin usaha pemotongan hewan dari menteri
atau pejabat yang ditunjuknnya.
b. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar
Kabupaten/Kotamadya daerah Tingkat II dalam suatu daerah Tingkat I harus
memperoleh surat ijin usaha pemotongan hewan dari Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I yang bersangkutan.
c. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II harus memperoleh surat izin usaha
pemotongan hewan dari Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II
yang bersangkutan.

(2) Tata cara memperoleh surat ijin usaha pemotongan hewan ditetapkanb oleh :
a. Menteri sepanjang mengenai usaha pemotongan hewan untuk penyediaan
daging kebutuhan antar Propinsi dan ekspor
b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, sepanjang mengenai usaha pemotongan
hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II, dalam suatu Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
c. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sepanjang mengenai usaha
pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan suatu
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan

Pasal 4

(1) Daging hewan yang telah selesai dipotong harus segera diperikasa kesehatannya
oleh petugas pemeriksa berwenang
(2) Daging yang lulus dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal
ini, baru diedarkan setelah terlebih dahulu dibubuhi cap atau stempel oleh petugas
pemeriksa yang berwenang
(3) Ketentuan – ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) Pasal ini dan
cara penanganan serta syarat kelayakan tempat penjualan daging diatur lebih lanjut
oleh menteri.
(4) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan daging yang tidak berasal dari
rumah potong hewan sebagimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) Peraturan
pemerintah ini, kecuali dari daging yang berasal dari pemotongan hewan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) peraturan pemerintah ini.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 8


(5) Setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat.

Pasal 5

(1) Setiap perusahaan susu harus memenuhi persyaratan tentang kesehatan sapi perah,
perkandangan, kesehatan lingkungan, kamar susu, tempat penampungan susu dan
alat – alat serta keadaan air yang dipergunakan dalam kaitannya dengan produksi
susu.
(2) Persyaratan usaha peternakan susu rakyat diatur tersendiri oleh Menteri.
(3) Tenaga kerja yang menangani produksi susu harus memenuhi syarat- syarat sebagai
berikut :
a. berbadan sehat;
b. berpakaian bersih;
c. diperiksa kesehatannya secara berkala oleh dinas kesehatan setempat;
d. tidak berbuat hal – hal yang dapat mencemarkan susu;
e. syarat – syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 6

Pemerahan dan penanganan susu harus :


a. Dilakuakn secara higienis;
b. Mengikuti cara – cara pemerahan yang baik;
c. Memenuhi syarat – syarat lain yang ditetapkan oleh menteri

Pasal 7

(1) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan susu yang tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri
(2) Setiap orang atau badan yang mengedarkan susu harus mengikuti cara penanganan,
penyimpanan, pengangkutan dan penjualan susu kyang ditetapkan oleh Menteri
(3) Menteri menetapkan syarat kelayakan tempat usaha dan tempat penjualan susu

Pasal 8

Setiap usaha peternakan babi harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat
veteriner dari ternak babi, syarat – syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan yang
ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 9

Setiap usaha peternakan unggas harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat
veteriner dari ternak unggas,syarat – syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan yang
ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 9


Pasal 10

(1) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan telur yang tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri
(2) Setiap orang atau badan yang mengedarkan telur harus mengikuti cara
penyimpanan, dan pengangkutan yang ditetapkan oleh Menteri

Pasal 11

Setiap usaha atau kegiatan pengawetan bahan makanan asal hewan dan hasil usaha atau
kegiatan tersebut harus memenuhi syarat – syarat kesehatan masyarakat veteriner yang
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 12

Menteri menetapkan batas maksimum kandungan residu bahan hayati, antibiotika, dan
obat lainnya dalam bahan makanan asal hewan.

Pasal 13

Setiap usaha pengumpulan, penampungan, penyimpanan dan pengawetan bahan asal


hewan harus memenuhi ketentuan – ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang
ditetapkan oleh Menteri

Pasal 14

(1) Pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner atas pemotongan hewan,


perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi, daging, susu dan telur,
pengawetan bahan makanan asal hewan yang diawetkan dan bahan asal hewan
dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II, kecuali usaha
pemotongan hewan sebagimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf
b Peraturan Pemerintah ini
(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menetapkan tata cara pelaksanaan
pengawasan kesehatan masyaratkat veteriner dengan memperhatikan ketentuan
Menteri.
(3) Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner yang menyangkut bidang teknis
higienis dan sanitasi dilakukan oleh Dokter Hewan Pemerintah
(4) Dokter Hewan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini ditunjuk
oleh Menteri.

Pasal 15

(1) Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan – ketentuan kesehatan masyarakat veteriner


yang menyangkut kepentingan suatu Daerah Tingkat II dan antar Daerah Tingkat II

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 10


dalam suatu Daerah Tingkat I, dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
(2) Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan – ketentuan kesehatan masyarakat veteriner
yang menyangkut kepentingan antar Propinsi atau Daerah Tingkat I dan keperluan
ekspor dilakukan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya.

BAB III
PENGUJIAN

Pasal 16

(1) Dalam rangka pengawasan daging, telur, bahan makanan asal hewan yang
diawetkan, dan bahan asal hewan apabila dipandang perlu dapat dilakukan
pengujian.
(2) Dalam rangka pengawasan terhadap kesehatan susu, pengujiannya dapat
dilakukan setiap waktu.

Pasal 17

Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya menetapkan petunjuk teknis pengujian

Pasal 18

(1) Pengujian daging, susu dan telur serta bahan asal hewan lainnya dilakukan oleh
pemerintah daerah Tingkat II
(2) Pemerintah daerah Tingkat II mengatur lebih lanjut pelaksanaan pengujian bahan
makanan asal hewan dan bahan asal hewan yang beredar didaerah
kewenangannya masing – masing.
(3) Dalam melakukan kewenangan tersebut pemerintah daerah harus mengindahkan
petunjuk teknis pengujian yang dikeluarkan oleh Menteri.

Pasal 19

Menteri mengatur pengujian bahan makanan yang berasal dari hewan yang diawetkan.

Pasal 20

(1) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah
ini, dilakukan dilaboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan
Daerah Tingkat II setempat.
(2) Apabila pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, tidak dapat
dilaksanakan oleh laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 11


Daerah Tingkat II setempat, Menteri menunjuk lembaga atau laboratorium yang
berwenang melakukan pengujian.

BAB IV
PEMBERANTASAN RABIES

Pasal 21

Menteri menetapkan daerah – daerah tertentu didalam Wilayah Negara Republik


Indonesia, sebagai daerah bebas rabies.

Pasal 22

(1) Untuk mempertahankan daerah bebas rabies, setiap orang atau badan hukum
dilarang memasukkan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga
dapat menularkan rabies.
a. dari Negara atau bagian Negara lain yang belum diakui sebagai Negara atau
bagian Negara yang bebas rabies kedalam wilayah Negara Republik Indonesia
yang telah dinyatakan sebagai daerah bebas rabies;
b. dari daerah yang belum dinyatakan oleh Menteri sebagai daerah bebas rabies
kedaerah lain di wilayah Negara Republik Indonesia yang telah dinyatakan
sebagai daerah bebas rabies.
(2) Menteri dapat memberikan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) Pasal ini hanya untuk kepentingan umum, ketertiban umum dan
mempertahankan keamanan.

Pasal 23

Menteri mengatur syarat – syarat dan tata cara tentang :


a. pemasukan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan
rabies dari wilayah Negara Republik Indonesia
b. pengeluaran anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga dapat
menularkan rabies dari wilayah Negara Republik Indonesia keluar negeri
c. pemasukan dan pengeluaran anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga
dapat menularkan rabies antar daerah didalam wilayah Negara Republik Indonesia.

Pasal 24

(1) Pencegahan dan pemberantasan rabies pada anjing kucing, kera, dan satwa liar
lainnya yang diduga dapat menularkan rabies diatur lebih lanjut oleh Menteri
(2) Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies diselenggarkan dengan kerjasama
dengan instansi lain

Pasal 25

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 12


Dengan tidak mengurangi berlakunya Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Peraturan
Pamerintah ini, pencegahan dan pemberantasan rabies pada anjing dibawah kewenangan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dilakuakan oleh Departemen Pertahanan dan
Keamanan.

BAB V
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN ZOONOSA LAINNYA

Pasal 26

Menteri menetapkan jenis – jenis zoonosa yang harus diadakan pencegahan dan
pem,berantasan,

Pasal 27

(1) Pencegahan dan pemberantasan zoonosa sebagaimana dimaksud dalam pasal 26


peraturan pemerintah ini merupakan kewajiban pemerintah dan dilaksanakan bersama
antara instansi – instansi yang langsung atau tidak langsung berkepentingan dengan
kesejateraan dan kepentingan umum.
(2) Menteri menetapkan petunjuk – petunjuk pelaksanaan pemberantasan zoonosa.

BAB VI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 28

(1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 3 ayat
(1), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 5 (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13
Peraturan Pemerintah ini dipidana dengan pidana kurungan selama – lamanya 6
(enam) bulan dan/atau denda setinggi – tingginya Rp 50.000 (lima puluh ribu).
(2) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (5), Pasal 7 ayat (1), Pasal 10 ayat (1)
Peraturan Pemerintah ini dipidana berdasarkan ketentuan perundang – undangan yang
berlaku.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 29

(1) Hal – hal yang belum cukup diatur dalam peraturan pemerintah ini diatur lebih lanjut
oleh menteri.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 13


(2) Peraturan yang mengatur masalah kesehatan masyarakat veteriner yang sudah ada dan
berlaku sebelum dikeluarkan peraturan pemerintah ini, masih tetap berlaku sebelum
peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 30

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Juli 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Ttd

SOEHARTO

Diundang di Jakarta
Pada tanggal 13 Juli 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

Ttd

SUDHARMONO, S.H

LEMBARAN – LEMBARAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 28

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 14


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1983
TENTANG
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

A. UMUM

Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan
dan bahan – bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kesehatan manusia.

Oleh karena itu kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan yang penting dalam
mencegah penularan penyakit pada manusia baik melalui hewan maupun bahan makanan
asal hewan atau bahan hewan lainnya, dan ikut serta memelihara dan mengamankan
produksi bahan makanan asal hewan dari pencemaran dan kerusakan akibat penanganan
yang kurang higienis.

Fungsi kesehatan masyarakat veteriner sebagaimana diuraikan dalam peraturan


pemerintah ini, antara lain untuk melindungi konsumen – konsumen dari bahaya yang
dapat mengganggu kesehatan (“Foodborne Disease”) akibat menggunakan baik untuk
dipakai atau dimakan bahan makanan asal hewan, melindungi dan menjamin ketentraman
bhatin masyarakat dari kemungkinan – kemungkinan penularan zoonosa yang sumbernya
berasal dari hewan serta melindungi petani atau peternak dari kerugian – kerugian
sebagai akibat penurunan nilai dan kualitas bahan makanan asal hewan yang diproduksi.
Dengan demikian kiranya dapat dipahami tentang pentingnya kesehatan masyarakat
veteriner, karena menyangkut aspek kesehatan dan secara tidak langsung mempengaruhi
aspek ekonomi yang satu dengan lainnya mempunyai pengaruh timbal balik.

Mengingat pengaruh – pengaruh itu, maka perlu bidang kesehatan masyarakat veteriner
ini diatur dengan sebaik – baiknya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 15


Peraturan dibidang kesehatan masyarakat veteriner di Indonesia pada saat sekarang yang
meliputi atau mencakup usaha – usaha yang berhubungan dengan bahan makanan asal
hewan dan bahan asal hewan serta pencegahan atau pemberantasan atau zoonosa belum
lengkap sebagaimana yang diharapkan

Keadaan ini mempersulit dalam pembinaan teknis pelaksanaan yang dapat berakibat
kurangnya pengawasan sehingga menyebabkan timbulnya kerugian baik pada konsumen
maupun produsen

Dalam usaha penanganan, pembinaan dan pengembangan bidang kesehatan masyarakat


veteriner serta mengingat atau memperhatikan kemajuan teknologi di bidang lain maka
bidang kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapat perhatian bagi pengembangannya.
Untuk maksud tersebut diperlukan adanya peraturan pemerintah tentang kesehatan
masyarakt veteriner yang dapat memberikan kepastian dan jaminan hukum baik bagi
pemerintah maupun masyarakat

Sebagimana diketahui bahwa bahan makanan asal hewan atau bahan asal hewan lainnya
berhubungan dengan sifatnya yang mudah rusak dan dapat menjadi sumber penularan
penyakit hewan kepada manusia, maka setiap usaha yang bergerak dan berhubungan
dengan bahan-bahan tersebut harus memenuhi syarat kesehatan masyarakat veteriner agar
bahan-bahan tersebut tetap sehat dan dapat dikonsumsi manusia (memenuhi persyaratan
kesehatan).

Dalam pelaksanaannya diperlukan adanya pengawasan Pemerintah terhadap usaha-usaha


tersebut agar syarat-syarat yang telah ditetapkan ditaati. Di samping itu diperlukan pula
pengujian-pengujian terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat diketahui apakah bahan-
bahan tersebut benar-benar memenuhi persyaratan.

Mengenai perusahaan susu, perusahaan unggas, dan perusahaan babi sehubungan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan di Indonesia
yaitu dalam rangka usaha pembangunan dan pengembangan peternakan umumnya, maka
dalam pembina dan penerapan peraturan mengenai bidang peternakan tersebut diatas,
kepentingan-kepentingan/masalah kesehatan masyarakat veteriner wajib diperhatikan.
Dengan demikian hal-hal yang menyangkut perizinan wajib diperhatikan. Dengan
demikian hal-hal yang menyangkut perizinan usaha peternakan harus di syaratkan
sebelumnya agar syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner dapat dipenuhi.

Usaha pemotongan hewan juga termasuk ruang lingkup bidang kesehatan masyarakat
veteriner dan dapat merupakan suatu unit usaha yang sifatnya terpadu dengan rumah
potong hewan dan pengawetan daging atau bahan asal hewan.

Keadaan ini sama halnya dengan usaha peternakan sapi perah atau perusahaan susu yang
membutuhkan unit untuk pengerjaan atau penampungan susu (kamar susu).

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 16


Pengujian merupakan bagian dari pada kegiatan pengawasaan, baik pengujian terhadap
bahan segar, bahan hasil pengawetan dan bahan asal hewan itu. Untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan pengujian ini diperlukan adanya tenaga-tenaga terampil, sarana dan
peralatan yang memadai dan biaya operasional. Dengan melaksanakan pengawasan dan
pengujian ini, maka semua produk bahan asal hewan yang disampaikan kepada pihak
konsumen dapat dijamin kebersihan dan keamanannya, sehingga tidak menimbulkan
bahaya-bahaya yang tidak diinginkan bila dikonsumsi atau digunakan oleh para
konsumen. Bidang pengujian ini cukup luas, pada pokoknya akan mencakup pengujian
secara fisis, khemis dan bakteriologis dan dapat diperinci lebih lanjut tergantung pada
macam atau kondisi bahan yang akan diuji dan apa yang perlu diperiksa.

Pengujian bahan makanan asal hewan (daging, susu, dan telur) dan bahan asal hewan
lainya, menjadi tanggung jawab Pemerintah. Khusus mengenai rabies yang merupakan
zoonosa terpenting yang berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia, perlu diatur usaha
penolakan, pencegahan dan pemberantasannya di indonesia dengan sebaik-baiknya.

Dalam rangka penolakan rabies ke dalam wilayah atau daerah-daerah di Indonesia makan
diadakan larangan untuk memasukkan anjing, kucing atau kera, dan satwa liar lainnya ke
dalam wilayah atau daerah-daerah tertentu.

Pengecualian terhadap larangan tersebut dapat diberikan kepada rombongan sirkus atau
badan lain yang sama sifatnya. Daerah-daerah tersebut di atas dikenal sebagai daerah
bebas rabies. Daerah bebas rabies tersebut kita pertahankan agar tetap bebas.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 2
Ayat (1)
Pemeriksaan hewan sebelum dipotong adalah untuk daging sehat untuk
konsumsi manusia.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Untuk memperoleh daging yang sehat pada dasarnya pemotongan hewan harus
dilakukan di rumah pemotongan hewan. Namun demikian mengingat belum
semua daerah mempunyai rumah pemotongan hewan maka pemotongan hewan
dapat dilakukan ditempat pemotongan hewan lain yang ditunjuk oleh
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II setempat.

Ayat (4)

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 17


Pemotongan hewan yang dilakukan menyimpang dari ketentuan ayat (3) Pasal
ini, semata-mata hanya untuk keperluan keluarga, agama, adat, dan bukan untuk
mata pencaharian atau diperdagangkan.

Ayat (5)
Pekerja yang dimaksud dalam ayat ini adalah tenaga-tenaga yang langsung
terlibat dalam pemotongan hewan (orang yang menyembelih, orang yang
menguliti dan lain-lain).

Pasal 3

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud penanganan dalam ayat ini antara lain pemotongan bagian-
bagian daging, pengangkutan, penyimpanan, dan manjanjakan daging pada saat
penjualan.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 18


Pasal 6
Yang dimaksud penanganan dalam pasal ini antara lain pendinginan,
pasteurisasi, dan sterilisasi susu.

Pasal 7

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 8
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan
timbulnya gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan terhadap
masyarakat sekitarnya dan kesehatan ternak babinya sendiri.

Pasal 9
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan mencegah kemungkinan timbulnya
gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan terhadap masyarakat
sekitarnya dan kesehatan ternak unggasnya sendiri.

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 11
Maksud dan tujuan pengawetan dalam pasal ini adalah semua usaha/kegiatan
untuk mengendalikan, menghambat reksi enzyma dan mikroorganisme
pembusuk. Sehingga bahan makanan tersebut dapat digunakan dengan aman
dalam jangka waktu yang lebih lama. Dalam usaha/kegiatan pengawetan ini
termasuk: penggunaan suhu rendah, suhu tinggi, proses pengeringan, dan
bahan-bahan kimiawi dan zat tambahan lainya. Syarat-syarat kesehatan
masyarakat veteriner dalam pasal ini adalah syarat-syarat kesehatan tentang:
Bahan baku, bahan pengawet, bagan tambahan lainnya, sarana dan cara
pengawetan serta cara pengepakan, penyimpanan dan pengangkutan hasil
usaha/ kegiatan pengawetan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 19


Pasal 12
Penggunaan bahan hayati, antibiotika dan obat-obat lainnya pada hewan dapat
meningkatkan residu dalam bahan makanan asal hewan yang bersangkutan,
yang pada tingkat tertentu dapat membahayakan kesehatan manusia. Oleh
karena itu perlu ditetapkan batas maksimum residu yang dapat diizinkan dalam
bahan makanan asal hewan.

Pasal 13
Syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner dalam pasal ini adalah syarat-
syarat kesehatan tentang:
• Tempat atau lokasi pengumpulan dan penampungan serta lingkungannya
• Cara-cara pengawetan dan penyimpanan serta keterangan asal dari bahan asal
hewan tersebut

Pasal 14

Ayat (1)
Bahwa tugas-tugas bidang kesehatan masyarakat veteriner sesuai dengan
maksud Peraturan Pemerintah ini merupakan tugas pembantuan (medebewind)
kepada Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II. Dengan demikian hanya
pelaksanaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah sedangkan pembinaan
dan hal-hal yang menyangkut masalah teknis tetap menjadi tanggung jawab dan
sepenuhnya ditangan Pemerintah Pusat.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Dalam hal pelaksanaan pengawasan yang nyata-nyata menyangkut bidang
teknis higiene dan sanitasi akan dilakukan oleh dokter hewan ditunjuk dan
dianggap cakap dalam bidang ini.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 20


Pasal 16

Ayat (1)
Pengujian terhadap daging, telur, bahkan makanan asal hewan yang diawetkan
dan bahan asal hewan dapat dilakukan bila hasil penentuan sebelumnya belum
dapat memberikan keyakinan tentang kesehatan dari bahan-bahan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Apabila laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan Daerah
Tingkat II setempat tidak tersedia perlengkapan yang memadai atau Dinas
Peternakan setempat tidak memiliki laboratorium sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) pasal ini, maka pelaksanaan pengujian dapat dilakukan di laboratorium
lain yang ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 21


Daerah bebas rabies dalam wilayah Negara Wilayah Indonesia ditetapkan
dengan Keputusan Menteri. Untuk daerah tersebut dilarang memasukkan anjing,
kucing, kera, dan satwa liar lainya yang dapat menularkan rabies.

Ayat (2)
Izin pengecualian untuk memasukkan anjing, kucing, kera dari daerah rabies
untuk keperluan umum dan pertahanan keamanan diberikan oleh Menteri atas
dasar permohonan dari yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan
kepentingan pertahanan dan keamanan misalnya anjing-anjing pelacak untuk
pengamanan operasi/obyek militer, anjing pelacak untuk operasi kepolisian, dan
petugas/instansi Bea dan Cukai misalnya operasi narkotika dll. Sedangkan
anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainya untuk kepentingan pribadi dari
anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak termasuk di dalam
pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (2) ini.

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies diselenggarakan dengan
kerja sama dengan instansi lain, karena disamping rabies mempunyai akibat
negatif terhadap manusia yang terjangkit dan masyarakat sekitarnya, juga
pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies tersebut dapat disertai
dengan suatu tindakan pemusnahan terhadap milik orang lain.

Pasal 25
Anjing yang ada di bawah kewenangan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia antara lain ialah anjing-anjing pelacak dalam satuan Brigade Anjing
dalam Dinas Provost Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, anjing
pelacak yang merupakan bagian dari Satuan Satwa POLRI. Untuk usaha
pencegahan adanya rabies pada anjing tersebut termasuk pelaksanaan vaksinasi
dilakukan oleh unsur Departemen Pertahanan dan Keamanan. Dalam hal-hal
tertentu Departemen Pertahanan Keamanan dapat minta bantuan kepada Dinas
Peternakan bilamana tenaga teknis untuk maksud tersebut belum dapat
dipenuhi.

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 22


Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3253

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 23


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUU 1977
TENTANG
PENOLAKAN, PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN
DAN PENGOBATAN PENYAKIT HEWAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MENIMBANG :
a. Bahwa ternak sebagai sumber produksi untuk mencukupi kebutuhan manusia akan
protein hewani merupakan salah satu bahan produksi untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat, kemakmuran serta kesejahteraan bangsa dan negara perlu dipelihara
kelestariannya dan dikembangkan sebaik-baiknya;
b. Bahwa usaha pemeliharaan dan peningkatan perkembangan hewan perlu dilindungi
dari kerugian yang dapat ditimbulkan oleh berbagai macam penyakit hewan serta
adanya penyakit yang dapat berpindah dari hewan kepada manusia;
c. Bahwa atas dasar hal tersebut, maka usaha penolakan, pencegahan, pemberantasan,
dan pengobatan penyakit hewan perlu dilakukan secara seksama dan diatur dengan
sebaik-baiknya;

MENGINGAT :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketentuan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-
Garis Besar Haluan Negara;
3. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok Peternakan
Dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2824);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Di Daerah
(Lembaga Negara Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah,
Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomer
3037);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1973 tentang Perubahan, Persediaan,
Peredaran Dan Pemakaian Vaksin, Sera Dan Bahan-Bahan Diagnostik Untuk Hewan
(Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 23);

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 24


MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENOLAKAN,
PENCEGAHAN, PEMBERATASAN, DAN PENGOBATAN PENYAKIT
HEWAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Didalam peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :


1. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
2. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang penolakan,
pencegahan, pemberatasan dan pengobatan penyakit hewan.
3. Penolakan Penyakit Hewan adalah:
a) Semua tindakan untuk mencegah masuknya sesuatu penyakit hewan dalam negeri
ke dalam wilayah negara republik indonesia;
b) Semua tindakan untuk mencegah masuknya penyakit hewan dari suatu wilayah
pulau yang satu ke dalam wilayah/pulau yang lain dalam lingkungan negara
republik indonesia.
4. Pencegahan penyakit hewan adalah semua tindakan untuk mencegah timbulnya,
berjangkitnya dan menjalarnya panyakit hewan.
5. Pemberatasan penyakit hewan adalah semua tindakan untuk manghilangkan
timbulnya/terjadinya, berjangkitnya dan menjalarnya kasus penyakit hewan.
6. Pengobatan penyakit hewan adalah semua tindakan untuk melaksanakan
pemyembuhan penyakit hewan yang menular maupun yang tidak menular.
7. Pelabuhan hewan adalah pelabuhan laut, sungai, dan udara yang oleh Menteri
ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan atau mengeluarkan hewan ternak
bahkan asal hewan dan hasil bahan asal hewan.
8. Karantina hewan adalah tempat dan atau tindakan mengasingkan hewan ternak bahan
asal hewan dan hasil bahan asal hewan agar supaya tidak menular kepada
hewan/ternak yang sehat.
9. Pengawasan penyakit hewan adalah tindakan pemilihan dan pengawasan yang
diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau ahli pengawas yang ditunjuk oleh
Menteri, untuk mendapatkan kepastian apakah seekor atau lebih hewan/ternak, bahan
asal hewan dan hasil bahan asal hewan bebas dari segala penyakit hewan.
10. Bahan asal hewan /ternak adalah bahan yang berasal dari hewan/ternak yang dapat
diolah lebih lanjut.
11. Hasil bahan asal hewan / ternak adalah bahan asal hewan /ternak yang diolah dan
dipergunakan untuk makan manusia, penyusunan makanan hewan dan bahan baku
untuk industri dan farmasi.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 25


BAB II
KEBIJAKSANAAN UMUM

Pasal 2

Untuk menjamin wilayah Negara Republik Indonesia bebas secara lestari dari
penyakit hewan, pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang meliputi penolakan,
pencegahan, pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan.

Pasal 3

Dalam melaksanakan tindakan penolakan penyakit hewan sebagaimana dimaksud


pada pasal 2, maka setiap hewan/ternak, bahan asal hewan, hasil-hasil bahan asal hewan
yang didatangkan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia harus
disertai surat keterangan kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
dari negara asalnya.

Pasal 4

1) Pemindahan hewan/ternak, bahkan asal hewan dan hasil bahan asal hewan dari suatu
wilayah propinsi ke wilayah propinsi lainya dalam negara republik indonesia harus
disertai surat keterangan kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang untuk itu, dengan memenuhi tatacara karantina hewan.
2) Setiap orang harus mencegah timbulnya dan menjalarnya penyakit hewan yang dapat
dibawa oleh hewan/ternak, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan dalam
perjalanan atau pengangkutan antar pulau/wilayah sesuai dengan ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5

1) Setiap orang harus melaporkan adanya persangkaan atau adanya kasus kepada pejabat
atau instansi yang berwenang.
2) Keharusan melapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan kewajiban bagi
pemilik atau peternak, pejabat pamong praja, dan pejabat atau ahli yang karena
tugasnya ada hubunganya dengan pengobatan dan perawatan penyakit hewan.

BAB III
WEWENANG PENGATURAN DAN PELAKSANAAN

Pasal 6

1) Pelaksanaan tindakan-tindakan penolakan, pencegahan, pemberantasan, dan


pengobatan penyakit hewan diatur lebih lanjut oleh menteri

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 26


2) Wewenang pengaturan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dapat dilimpahkan
kepada pejabat yang ditunjuk oleh menteri.
3) Wewenang pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dapat dilimpahkan oleh menteri kepada Gubernur kepala daerah.
4) Gubernur kepala daerah dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), bertanggung jawab kepada Menteri.
5) Wewenang pelaksanaan atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
hewan/ternak milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Kepolisian
Republik Indonesia diserahkan kepada Menteri Pertahanan Keamanan.

BAB IV
PENGAWASAN

Pasal 7

Menteri mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tindakan-tindakan penolakan,


pencegahan, pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan sebagaimana dimaksud
pada pasal 6 dengan sebaik-baiknya.

Pasal 8

1) Menteri menetapkan jenis-jenis penyakit hewan dan wilayah bebas.


2) Menteri menetapkan pelabuhan hewan setelah berkonsultasi dengan Menteri yang
bertanggung jawab dalam bidang pelabuhan.

Pasal 9

Menteri menunjuk ahli pengawas untuk diikutsertakan dalam tindakan-tindakan


penolakan, pencegahan, pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan.

BAB VI
KATENTUAN PERALIHAN

Pasal 11

1) Hal-hal yang belum cukup diatur di dalam peraturan pemerintah ini akan diatur lebih
lanjut oleh Menteri atau bersama-sama dengan Menteri lain yang bersangkutan.
2) Selama ketentuan pelaksana peraturan pemerintah ini belum ditetapkan, maka
ketentuan yang ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa peraturan
pemerintah ini.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 27


BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 12

Peraturan pemerintah ini disebut peraturan pemerintah tentang penyakit hewan.

Pasal 13

Peraturan pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar supaya
setiap orang mengetauhinya, memerintahkan pengudangan peraturan pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Diundangkan di Jakarta Ditetapkan di Jakarta


Pada tanggal 16 Maret 1977 Pada Tanggal 16 Maret 1977
MENTERI/SEKERTARIS NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd ttd

SUDHARMONO, S.H. SOEHARTO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 20

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 28


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 1977
TENTANG
PENOLAKAN, PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN
DAN PENGOBATAN PENYAKIT HEWAN

I. UMUM
Pemerintah menyadari akan pentingnya hewan/ternak sebagai salah satu sumber
kemakmuran, sehingga oleh karena itu adalah menjadi kewajiban pemerintah untuk
memelihara dan megembangkan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat dicapai maksud
penggunaan hewan/ternak secara lestari.
Pada umumnya sampai saat ini, mengenai pemeliharaan hewan/ternak masih
banyak dipergunakan peraturan-peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
pemerintah Hindia Belanda, yang dalam beberapa hal sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan dewasa ini, baik ditinjau dari segi teknis biologis, maupun dari
segi sosial ekonomi.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadakan pengaturan yang mengarah kepada
kelestarian sumber kemakmuran yang berwujud hewan/ternak yang disesuaikan dengan
perkembangan keadaan secara Nasional dan Internasional. Pengaturan tersebut meliputi
penolakan masuknya penyakit hewan ke dalam wilayah negara republik indonesia, antar
wilayah Indonesia, pencegahan timbulnya penyakit hewan, pemberantasan penyakit
hewan dan pengobatan hewan/ternak yang menderita penyakit. Untuk keperluan
pelaksanaan usaha-usaha tersebut diperlukan tenaga ahli, sarana, prasarana dan organisasi
serta tatakerja yang sebaik-baiknya.
Berhubungan penyakit hewan dapat cepat menular secara luas tanpa mengenal batas
lokal, regional dan batas negara, yang disebabkan oleh sifatnya penyakit itu sendiri dan
oleh perkembangan lalu-lintas perhubungan yang modern dan cepat, sehingga oleh
karena itu pemerintah bertanggung jawab atas masalah penolakan, pencegahan,
pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan/ternak dan apabila perlu untuk
mempercepat pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut, dapat dilimpahkan wewenang
pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah tingkat I

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1

Angka 1 dan 2
Cukup jelas

Angka 3

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 29


Yang dimaksud dengan tindakan penolakan penyakit hewan, ialah mencegah
penularan penyakit hewan, karena penularan itu dapat secara langsung dan tidak
langsung yaitu melalui hewannya sendiri, oleh manusia, melalui bahan asal
hewan, melalui hasil bahan asal hewan, melalui lalat yang diperlukan untuk
menyertai hewan dan melalui bahan makanan hewan.

Angka 4 sampai dengan 9


Cukup jelas

Angka 10
• Termasuk dalam pengertian “bahan asal hewan” ialah daging, susu, telur, bulu,
tanduk, kuku, kulit, tulang, mani, madu, dan hasil dari ikan.

Angka 11
• Termasuk dalam pengertian “hasil bahan asal hewan” ialah:
• Bahan asal hewan yang untuk makanan manusia antara lain daging yang
diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan, misalnya: daging rebus,
dendeng, susu kental manis, krupuk kulit, telur dan madu.
• Bahan asal hewan guna keperluan industri seperti kulit, bulu hewan, kuku dan
tanduk, tulang, darah, usus, dan pupuk hewan.

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kasus ialah suatu keadaan, dimana terdapat seekor atau
lebih hewan/ternak yang terjangkit oleh suatu penyakit hewan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 30


Pasal 6

Ayat (1)
Dalam hal ini Menteri akan mengatur lebih lanjut tentang:
• Pelaksanaan usaha pencegahan dan pengawasan timbulnya penyakit hewan,
sehingga dapat terjamin keselamatan hewan secara lestari;
• Pelaksanaan pemberantasan penyakit hewan yang memuat penyakit dan cara-
cara pencegahan, pemberantasan dan pemusnahan penyakit hewan;
• Pelaksanaan pengobatan dan penyakit hewan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan wilayah bebas (free zone) adalah suatu daerah terbatas
yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan peraturan pemerintah ini, dimana
hewan/ternak ada dibawah pengawasan instansi yang berwenang yang ditunjuk
oleh menteri dan di dalam daerah tersebut selama waktu tertentu tidak terdapat
sesuatu penyakit hewan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9

Yang dimaksud dengan ahli pengawas adalah dokter hewan, baik yang menjabat pegawai
negeri maupun yang ditunjuk khusus untuk melakukan pengawanan kesehatan hewan.

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 31


Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPULIK INDONESIA NOMOR 3101

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 32


MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA

SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN


NOMOR : 745/Kpts/TN.240/12/1992.

TENTANG

PERSYARATAN DAN PENGAWASAN PEMASUKAN DAGING


DARI LUAR NEGERI

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencukupi kebutuhan daging di dalam negeri


dan meningkatkan gizi masyarakat serta upaya menunjang
kunjungan wisatawan mancanegara, dipandang perlu membuka
peluang pemasukan daging dari luar negeri ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia;
b. bahwa untuk memperlancar arus daging dari luar negeri tersebut
agar secepatnya sampai pada konsumen dalam keadaan mutu yang
baik, dipandang perlu untuk menyederhanakan proses penanganan
tindakan karantina dan pemeriksaan mutunya;
c. bahwa untuk mengurangi resiko masuknya penyakit hewan
karantina dan melindungi konsumen dari penyakit zoonosa serta
menjamin kelayakan dan ketentraman batin masyarakat dalam
mengkonsumsi daging yang berasal dari luar negeri, dipandang
perlu melakukan pengaturan yang bersifat teknis terhadap
pemasukan daging tersebut;
d. bahwa atas dasar hal- hal tersebut diatas, dipandang perlu
menetapkan ketentuan tentang persyaratan dan pengawasan
pemasukan daging dari luar negeri dengan Surat Keputusan.

Mengingat : 1. Undang-Udang Nomor 6 Tahun 1967;


2. Undang-Udang Nomor 16 Tahun 1992;
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1977;
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1983;
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984
jo Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1990;

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 33


6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 1986;
7. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 422/Kpts/LB.720/6/-1988:
8. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 560/Kpts/01.210/8/-1990.

Memperhatikan : 1. Intruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1991


2. Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 200/Kp/VI/92;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN TENTANG


PERSYARATAN DAN PENGAWASAN PEMASUKAN DAGING
DARI LUAR NEGERI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam surat keputusan ini yang dimaksud dengan:


a. Daging adalah bagian-bagian dari hewan yang di dapat dengan cara menyembelih dan
atau dibunuh yang lazim di makan oleh manusia, berupa karkas, setengah karkas,
potongan daging bertulang lainya, daging tanpa tulang, perutan, kecuali yang telah
diawetkan dengan cara lain dari pada pendinginan;

b. Nomor kontrol veteriner adalah registrasi rumah pemotongan hewan; perusahaan-


perusahaan pengolahan atau usaha-usaha lainnya yang bergerak dalam bidang
pengumpulan, penampungan, penyimpanan dan pengawetan bahan asal hewan yang
diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan masyarakat
veteriner di suatu negara;

c. Penyakit hewan menular utama adalah penyakit-penyakit yang mempunyai daya


penularan cepat dan berdampak sosial ekonomi atau yang dapat menyebabkan
gangguan kesehatan masyarakat yang serius serta merupakan penyakit yang penting
di dalam perdagangan hewan serta bahan asal hewan secara internasional;

d. Kesehatan masyarakat veteriner yang disingkat kesmavet adalah segala unsur yang
berhubungan dengan hewan dan bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung
atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia.

e. Pemasukan daging adalah pemasukan daging dari luar negeri ke wilayah negara
Republik Indonesia.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 34


f. Daging asal luar negeri adalah daging yang dimasukkan dari luar negeri ke wilayah
negara Republik Indonesia.

Pasal 2

1) Pemasukan daging dapat dilakukan oleh importir umum sepanjang memenuhi


ketentuan mengenai jenis dan kualitas, persyaratan teknis penolakan penyakit hewan
dan kesehatan mayarakat veteriner sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang
berlaku, persyaratan keamanan dan ketentraman batin konsumen.

2) Importir dan/atau pengedar daging asal luar negeri, harus mencegah kemungkinan
timbul dan menjalarnya penyakit hewan yang dapat ditularkan malalui daging yang
diimpor dan/atau diedarkannya, serta ikut bertanggung jawab atas keamanan dan
ketentraman batin konsumen.

BAB II
SYARAT PEMASUKAN DAGING

Pasal 1

Pemasukan daging harus memenuhi persyaratan teknis yang terdiri dari persyaratan:
a. Negara asal;
b. Rumah potong asal daging;
c. Kualitas daging;
d. Cara pemotongan;
e. Pengemasan;
f. Pengangkutan;
dan disertai surat keterangan kesehatan dan dokumen lainya dari negara asal.

Pasal 4

Daging asal luar negeri, harus berasal dari suatu negara yang:
a. Sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir dinyatakan
bebas dari penyakit hewan menular utama Mulut Dan Kuku (Foot And Mouth
Disease) dan Riderpest:
b. Dalam waktu 3 (tiga) tahun terakhir secara berturut-turut, negara tersebut tidak
melakukan vaksinasi terhadap penyakt hewan menular utama Mulut dan Kuku dan
Riderpest.
c. Telah memiliki sistem pengawasan kesehatan daging baik di Rumah Pemotongan
Hewan (RPH) maupun dalam peredaran sekurang-kurangnya memenuhi standart dan
ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku di Indonesia.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 35


Pasal 5

1) Pemasukan daging babi, disamping harus memenuhi persyaratan sebagaimana


dimaksud dalam pasal 4, negara asal daging yang bersangkutan harus:
a. Sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir telah
dinyatakan bebas dari penyakit Swine Vasicular Disease, Teschen Disease dan
African Swine Fever;
b. Berasal dari suatu peternakan yang sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan terakhir sudah dinyatakan bebas dari Transmible Gastro
Enteritis (TGF), Trichinosis dan Cysticercosis.

2) Pemasukan daging unggas selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud


dalam pasal 4 huruf c. Negara asal daging unggas yang bersangkutan harus sekurang-
kurangnya dalam waktu 90 hari terakhir dinyatakan tidak sedang mewabah.

3) Pemasukan daging itik, disamping harus memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut


dalam ayat (2), daging itik yang bersangkutan harus berasal dari suatu peternakan
yang dalam jangka waktu 90 hari terakhir telah dinyatakan bebas dari penyakit Duck
Viral Hepatitis dan Duck Viral Enteritis.

Pasal 6

Daging asal luar negeri harus berasal dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang
berasal di bawah pengawasan dokter hewan yang berwenang di negara asal, dan RPH
tersebut telah diakui oleh pemerintah Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya
setara dengan standart RPH klas A di Indonesia.

Pasal 7

Daging asal luar negeri harus disertai Surat Keterangan Kesehatan dari Dokter Hewan
yang berwenang di negara asal, yang menyatakan bahwa:
1. situasi penyakit di negara asal dinyatakan bebas dari penyakit hewan menular utama
yang dapat menulari jenis ternak asal daging yang bersangkutan;
2. daging tersebut berasal dari ternak yang lahir dan dipelihara atau telah berada di
negar tersebut sekurang-kurangnya selama 4 (empat) bulan;
3. daging tersebut berasal dari ternak yang dipotong di RPH seperti tersebut pada pasal
6 serta telah lulus dari pemeriksaan ante mortem dan post mortem, serta diproses
menurut persyaratan sanitasi sehingga layak untuk dikonsumsi manusia dan tidak
berbahaya sebagai bahan penularan penyakit;
4. daging tersebut tidak mengandung pengawet atau bahan lain yang dapat
membahayakan kesehatan manusia;
5. masa penyimpanan daging tersebut tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sejak pemotongan
ternak hingga batas waktu pemberangkatan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 36


Pasal 8

1) Pemasukan daging untuk keperluan konsumsi umum atau diperdagangkan harus


berasal dari ternak yang pemotonganya dilakukan menurut syarat Islam dan
dinyatakan dalam sertifikal halal.
2) Ketentuan pada (1) tidak berlaku bagi pemasukan daging babi, daging untuk
keperluan khusus dan terbatas, serta daging untuk pakan hewan yang dinyatakan
secara tertulis oleh pemilik dan atau pengguna.

Pasal 9

Daging asal luar negeri harus dikemas, dan kemasan daging tersebut harus:
1. asli dari negara asal dan diberi segel;
2. mencantumkan Nomor Kontrol Veteriner;
3. mencantumkan tanggal pemotongan.
4. mencantumkan jenis dan kualitas daging dan peruntukannya.

Pasal 10

1) Daging asal negeri harus diangkut secara langsung dari negara asal ke pelabuhan
tujuan pemasukan di Indonesia, dan tidak boleh diturunkan di negara transit.
2) Pemasukan daging dengan cara transit di atau reekspor melalui negara lain, dapat
disetujui dengan pertimbangan khusus, setelah diadakan penilaian dan pengamatan
terlebih dahulu, serta tidak bertentangan dengan pasal 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 surat
keputusan ini.

Pasal 11

1) Daging asal luar negeri yang diangkut dengan kontainer, maka kontainer tersebut
harus disegel oleh dokter hewan yang berwenang, dan segel tersebut hanya dapat
dibuka oleh petugas Karantina Hewan pada tempat pemasukan.
2) Daging yang mempunyai Sertifikat Halal tidak boleh dicampur dalam satu wadah
atau kontainer dengan daging yang tidak mempunyai Sertifikat Halal.
3) Selama dalam pengangkutan, temperatur dalam kontainer atau alat angkut harus
dijaga stabil, untuk daging segar berkisar antara 00C sampai dengan 40C, dan untuk
daging beku berkisar antara 180C sampai dengan 220C dibawah nol.

Pasal 12

Daging asal luar negeri untuk keperluan pakan hewan harus:


a) Diberi zat berwarna;
b) Diberi tanda yang berbunyi tidak layak dikonsumsi manusia pada kemasannya;
c) Diangkut dalam wadah atau kontainer yang terpisah dengan daging untuk konsumsi
manusia.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 37


BAB III
TATA CARA PEMASUKAN DAGING

Pasal 13

1) Setiap orang atau badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai importir
umum dapat melakukan pemasukan daging dari luar negeri ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia.
2) Direktur Jendral Peternakan melakukan penilaian terhadap situasi penyakit, sistem
pengawasan kesehatan dan tata cara pemotongan daging, RPH dan Perusahaan
Pengolahan Daging di negara atau bagian suatu negara asal daging, serta jenis,
kwalitas, dan peruntukan daging yang akan dimasukkan dari luar negeri ke dalam
wilayah negara Republik Indonesia.
3) Penilaian oleh Direktur Peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
berdasarkan persyaratan teknis tersebut pada Bab II dan dapat disesuaikan menurut
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat dilaksanakannya penilaian.
4) Untuk keperluan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pada importir
mengajukan permohonan rencana pemasukan daging secara tertulis kepada Direktur
Jendral Peternakan dengan mencantumkan Negara Asal, Nama, Alamat dan Nomor
Kontrol Veteriner RPH atau Perusahaan Pengolahan Daging daerah pemasukan, jenis
dan peruntukan, serta jumlah dan rencana pemasukan daging serta melampirkan data
perusahaan dan data teknis yang dipersaratkan.

Pasal 14

1) Direktur Jendral Peternakan setelah menerima permohonan tertulis sebagaimana


dimaksud pada Pasal 13 ayat (4), paling lama dalam waktu 14 (empat belas) hari telah
memberikan jawaban berupa penolakan atau persetujuan.
2) Dalam hal Direktur Jendral Peternakan menyetujui permohonan pemasukan daging
tersebut pada ayat (1), maka Direktur Jendral Peternakan menerbitkan surat
persetujuan pemasukan berdasarkan permohonan yang ada dan rencana pemasukan
dalam kurun waktu tertentu dan mencantumkan persyaratan kesehatan hewan atau
kewajiban lain yang harus dipenuhi oleh importir.
3) Dalam hal Direktur Jendral Peternakan menolak permohonan pemasukan daging dari
luar negeri, maka Direktur Jendral Peternakan menerbitkan surat penolakan
pemasukan dengan mencantumkan alasan-alasan penolakannya.
4) Tembusan surat persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat
(3) disampaikan kepada Direktorat Jendral Perdagangan Luar Negeri, Direktorat
Jendral Bea dan Cukai, Kepala Dinas Peternakan Propinsi Dati I setempat, Kepala
Pusat Karantina Pertanian, dan Kepala Balai Karantina Hewan setempat.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 38


Pasal 15

Pemasukan daging dari negara-negara yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana


dimaksud Pasal 4 dan Pasal 5 kedalam wilayah Indonesia yang berupa barang bawaan
dan untuk keperluan sendiri serta jumlahnya tidak melebihi 10 kg untuk setiap orang,
tidak perlu mengajukan permohonan kepada dan mendapat persetujuan dari Direktorat
Jendral Peternakan, tetapi tetap dikenakan tindakan karantina dan pemeriksaan teknis
lainya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pasal 16

1) Setiap pemasukan daging harus dilaporkan oleh pemiliknya kepada petugas Karantina
Hewan pada tempat pemasukan untuk dikenakan tindakan karantina, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan karantina yang berlaku.
2) Apabila tindakan karantina dilakukan diluar tempat pemasukan, maka Kepala Pusat
Karantina Pertanian menetapkan tempat penyimpanan daging yang telah memenuhi
persyaratan yang disediakan oleh importir, untuk ditetapkan sebagai instalasi
karantina dalam melakukan tindakan karantina.
3) Tempat penyimpanan daging yang ditetapkan sebagai instalasi sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah mendapatkan ijin sebagai tempat
penyimpanan daging dari Dinas Peternakan Daerah Tingkat I setempat.
4) Penetapan instalasi karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memerlukan
rekomendasi lagi dari Dinas Peternakan setempat.
5) Ketentuan tersebut pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga untuk pemasukan
daging antar area di dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 17

Disamping dikenakan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam pasal 16,


terhadap daging asal luar negeri dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:
1. pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan dokumen, surat persetujuan pemasukan
daging dan surat keterangan halal.
2. pemeriksaan nomor kontrol veteriner dan tanggal pemotongan;
3. pemeriksaan organoleptik dengan cara:
a. mengambil contoh dengan metode pengambilan contoh acak sederhana (random
sampling) yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan organoleptik
maliputi: bau, warna, dan konsistensi dengan cara melihat, mencium, meraba
dan apabila dianggap perlu dengan melakukan penyayatan dalam batas yang
wajar, menurut prinsip-prinsip kesehatan masyarakat veteriner.
b. Menutup kembali kemasan yang telah dibuka dan diberi segel setelah selesai
pemeriksaan organoleptik sebagaimana dimaksud pada huruf a.
4. pengambilan contoh seperti butir a harus dilakukan langsung oleh Dokter Hewan
Karantina.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 39


5. dilanjutkan dengan pengujian laborataris (pengukuran pH, kebusukan dan
pencemaran mikrobiologi) apabila dalam pemeriksaan organoleptik terdapat
kalainan, dan selama pengujian Dokter Hewan Karantina dapat menahan seluruh
atau sebagian kontainer;
6. melaporkan hasil pengujian laboratorium kepada Direktur Jendral Peternakan dan
Kepala Balai Karantina Hewan, apabila ditemukan adanya daging yang tidak layak
dikonsumsi.

Pasal 18

1) Daging asal luar negeri dibebaskan untuk dapat dikeluarkan dari instalasi Karantina
Hewan, apabila semua tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, telah dilaksanakan serta tidak
ditemukan hewan menular, serta dianggap layak untuk dikonsumsi manusia.
2) Pembebasan daging asal luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai
sertifikat pelepasan (surat keterangan kesehatan daging) dengan menambahkan
penjelasan bahwa daging tersebut telah dilakukan pemeriksaan ulang (herkeuring)
sehingga layak untuk dikonsumsi manusia.
3) Sertifikat pelepasan daging (surat keterangan kesehatan daging) tersebut pada ayat (2)
disamping kepada pemilik daging dan tembusannya dikirimkan kepada Kepala Dinas
Peternakan Dati I yang bersangkutan.

Pasal 19

Pemasukan daging yang tidak memenuhi ketentuan pasal 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 dan
16 ayat (1) harus segera ditolak atau dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan
yang berlaku.

BAB IV
PENGAWASAN PEREDARAN DAGING ASAL LUAR NEGERI

Pasal 20

1) Pengawasan peredaran daging asal luar negeri yang telah dibebaskan dari tindakan
karantina dilakukan oleh Dinas Peternakan Dati II di tempat-tempat penyimpanan,
penjajaan, dan alat angkut dengan memperhatikan petunjuk Menteri.
2) Pengawasan peredaran daging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
mengamankan kepentingan konsumen dan dilakukan secara berkala atau sewaktu-
waktu apabila ditemui adanya kecurigaan terhadap penyimpangan persyaratan teknis
yang telah ditetapkan.
3) Kegiatan pengawasan peredaran daging asal luar negeri meliputi pemeriksaan daging,
dan pemeriksaan tempat penyimpanan, tempat penjajaan serta alat angkutnya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 40


4) Pengawasan peredaran daging asal luar negeri dilakukan oleh Dokter Hewan
Pemerintah yang ditunjuk oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas
usul Kepala Dinas Peternakan Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
5) Dokter hewan yang ditunjuk sebagai pengawas peredaran daging sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), harus memeliki sertifikat sebagai pengawas Kesehatan
Masyarakat Veteriner (Kesmavet) dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya.

Pasal 21

1) Pemeriksaan daging asal luar negeri meliputi pemeriksaan kesehatan dan kelayakan
serta pengujian laboratoris yang dilakukan 4 (empat) kali dalam setahun secara acak
sederhana (random sampling) berdasarkan importirnya, negara asal, jenis daging dan
merk dagang ditempat penyimpanan, pengangkutan, dan/atau penjajaan.
2) Pelaksanaan pemeriksaan kesehatan dan kelayakan daging dilakukan secara
organoleptik sedangakan pengujian laborataris dilakukan terhadap pH daging,
kebusukan, pencemaran, mikro-biologi, kandungan residu dan uji lainnya yang
dianggap perlu.

Pasal 22

1) Pemeriksaan terhadap tempat penyimpanan, penjajaan dan alat angkut daging asal
luar negeri, meliputi pemeriksaan phisik, higiene, sanitasi dan persyaratan teknis serta
administrasi lainnya, yang dilakukan sekali dalam setiap tahun.
2) Persyaratan teknis dan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
1.Importir dan/atau pengedar daging asal luar negeri harus telah melaporkan fasilitas
tempat penyimpanan, dan / atau tempat penjajaan, dan / atau alat angkut daging
yang akan dipergunakan.
2.Suhu untuk daging segar dingin harus berkisar antara 00 C sampai dengan 40 C dan
untuk daging beku antara 180 C sampai dengan 220 C dibawah nol.
3.Penyimapanan, pengangkutan dan penjajaan, daging asal luar negeri yang
bersertifikat halal dan/atau yang untuk keperluan pakan hewan.

Pasal 23

1) Pengawasan peredaran daging asal luar negeri melaporklan hasil pemeriksaan daging
dan tempat penyimpanan, alat angkut dan penjajaan kepada Kepala Dinas Peternakan
Daerah Tingkat II.
2) Dinas Peternakan melaporkan hasil pengawasan peredaran daging asal luar negeri
kapada Direktur Jenderal Peternakan, Kepala Dinas Peternakan Daerah tingkat I dan
Kepala Pusat Karantina Pertanian sekali setiap tahun.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 41


Pasal 24

Apabila di dalam wilayah Dearah Tingkat II tidak ada atau belum dibentuk Dinas
Peternakan Daerah Tingkat II, maka pelaksanaan peredaran daging sebagaimana di
maksud dalam Surat Keputusan ini dilakukan oleh Dinas Peternakan Daerah Tingkat I.

BAB V
PENUTUP

Pasal 25

Dengan ditetapkannya surat keputusan ini tidak mengurangi :


1. Berlakunya ketentuan karantina hewan kecuali yang secara tegas diatur lain dalam
surat keputusan ini;
2. Hak dan wewenang Pemerintah Daerah dalam mengatur dan memungut retribusi atas
pemasukan daging asal luar negeri.

Pasal 26

Dengan berlakunya surat keputusan ini maka segala ketentuan yang bertentangan dengan
surat keputusan ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 27

Surat keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di J a k a r t a
Pada tanggal 30 desember 1992

Menteri Pertanian,

Ir. W a r d o j o

SALINAN Surat Keputusan ini disampaikan


Kepada Yth :
1. Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri dan Pengawasan
Pembangunan;
2. Menteri Dalam Negeri;
3. Menteri Kesehatan;

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 42


4. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
5. Inspektur Jenderal Departemen Pertanian;
6. Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, Departemen Kesehatan;
7. Sekeretaris Jenderal Departemen Pertanian;
8. Para Direktur Jenderal dan Kepala Badan Lingkungan Departemen Pertanian;
9. Para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia;
10. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian diseluruh Indonesia

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 43


MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN


NOMOR : 471/Kpts/TN.530/7/2002

TENTANG
PELARANGAN PENGGUNAAN TEPUNG DAGING, TEPUNG TULANG,
TEPUNG DARAH, TEPUNG DAGING DAN TULANG (TDT) DAN BAHAN
LAINNYA ASAL RUMINANSIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA

MENTERI PERTANIAN

Menimbang : a. bahwa berdasarkan bukti ilmiah telah dinyatakan adanya keterkaitan


antara penyebab penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE)
dengan Creutzfelt Jacob Disease Varian baru (nv CJD) yang
menyerang manusia;

b. bahwa resiko ternak ruminansia menjadi tertular BSE adalah melalui


pemberian pakan ternak tepung daging, tepung tulang, tepung darah,
tepung daging dan tulang (TDT) atau Meat dan Bone Meal (MBM)
serta bahan lainnya asal ruminansia atau penggunaan MBM sebagai
pupuk tanaman yang mencemari lingkungan sekitarnya atau melalui
embrio ternak ruminansia

c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, untuk mencegah


terjadinya resiko penularan BSE pada ternak ruminansia ke dalam
wilayah Negara Republik Indonesia dan sekalighus dalam rangka
mempertahankan wilayah Indonesia tetap bebas dari BSE, maka
dipandang perlu menetapkan pelarangan penggunaan tepung daging,
tepung tulang, tepung darah, TDT/MBM serta bahan lainnya asal
ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia dengan Keputusan
Menteri Pertanian

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 44


Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang ketentuan –
ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan lembaran Negara
Nomor 2824
2. Undang – undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara nomor 3482)
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pangan
(Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan
Lembaran Negara nomor 3556)
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentan Perlindungan
Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara nomor 3817)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang
Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan, dan Pengobatan
Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara nomor 3101)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina
Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan
Lembaran Negara nomor 4002)
7. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Unit
Pembentukan Kabinet Gotong Royong.
8. Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang
Kedudukan Tugas, Fungsi kewenangan, Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Departemen.
9. Keputusan Presiden Presiden Nomor 109 Tahun 2001 tentang
Unit Organisasi dan Tugas Esalon I Departemen;
10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 284/Kpts/OP 1983
tentang penunjukan Pejabat Penerima Wewenang mengatur
tindakan Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan
Pengobatan Penyakit Hewan;
11. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 01/Kpts/OT.210/1/2001
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian
juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 354
1/Kpts/OT.210/6/2001
12. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 99/Kpts/OT 210/2/2001
tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Pertanian juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor
392/Kpts/OT.210/7/2002;

Memeperhatikan : 1. Surat Edrana Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No.


TU.340/28/E/01.2002 tanggal 24 januari 2002 tentang
Penghentian Sementara Pemasukan Ruminansia dan
Produknya dari Negara Tertular BSE;
2. Notifikasi Kebijakan Darurat (Notification of Emergency
Measures) ke World Trade Organization/WTO mengenai

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 45


penghentian sementara importasi hewan dan produk hewan
termasuk TDT/MBM dari negara-negara tertular BSE ke
Indonesia tanggal 12 Februari 2001
3. Keputusan Eropean Commission yang melarang penggunaan
TDT/MBM dan protein hewan yang dipelihara didarat lainnya
sebagai pakan ternak sesuai Council Decission 2000/766/EC
dan 2001/9/EC tanggal 1 Januari 2001
4. International Animal Helth Code OIE tentang persyaratan lalu
lintas hewan dan produk hewan yang terkait dengan BSE;
5. Hasil kesepakatan bersama antara negara-negara ASEAN pada
pertemuan ke IX (ASEAN Working Group on
Livestock/ASEAN WGL) yang diadakan di Laos pada tanggal
8-9 Agustus 2001 yang merekomendasikan pelarangan
penggunaan TDT/MBM sebagai bahan makanan ternak
ruminansia

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
KESATU : Melarang penggunaan tepung daging, tepung tulang, tepung darah,
tepung daging, dan tulang (TDT/MBM) dan bahan lainnya asal
ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia sesuai keputusan
ketetapan Internasional Aniamal Health Code OIE.

KEDUA :Pelaksanaan pengawasan terhadap pelarangan penggunaan tepung


daging, tepung tulang, tepung darah, tepung daging, dan tulang dan
bahan lainnya asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia
dilakukan sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 oleh Dinas Peternakan
atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan/ Kesehatan Hewan
di Kabupaten/ Kota setempat sesuai kewenangannya

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal yang ditetapkan

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 juli 2002

MENTERI PERTANIAN,

PROF. DR. IR. BUNGARAN SARAGIH, M.Ec

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 46


Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth :

1. Menteri Perindustrian dan Perdagangan


2. Menteri Kesehatan;
3. KEPALA Badan Pengawasan Obat dan Makanan;
4. Para Pejabat Esalon I Lingkup Departemen Pertanian;
5. Para Gubernur Propinsi di seluruh Indonesia;
6. Para Kepala Dinas Perternakan atau Kepala Dinas yang membidangi fungsi
Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi seluruh Indonesia
7. Kepala Balai Penyidik dan Pengujian Veteriner Wilayah I-VII;
8. Kepala Balai Pengujian Pakan Ternak;
9. Kepala Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 47


MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN


NOMOR : 445/Kpts/TN.540/7/2002

TENTANG

PELARANGAN PEMASUKAN TERNAK RUMINANSIA DAN PRODUKNYA


DARI NEGARA TERTULAR PENYAKIT BOVINE SPONGIFORM
ENCEPHALOPHATY (BSE)

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan bukti ilmiah telah dinyatakan adanya


keterkaitan antara penyebab penyakit Bovine Spongiform
Encephalopathy (BSE) dengan Creutzfelt Jacob Disease
Varian baru (nv CJD) yang menyerang manusia;

b. bahwa berdasarkan data Badan Kesehatan Hewan Dunia


(Office International des Epizooties/OIE); jumlah negara
yang tertular BSE dilaporkan mengalami peningkatan
disamping adanya penambahan jenis bahan beresiko yang
dapat menularkan penyakit BSE.

c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, untuk


mencegah terjadinya resiko penularan BSE pada ternak
ruminansia ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia
(NKRI) dan sekaligus dalam rangka mempertahankan
wilayah Indonesia tetap bebas dari BSE, maka dipandang
perlu menetapkan pelarangan pemasukan ternak ruminansia
dan produknya dari negara tertular kedalam wilayah NKRI
denga Keputusan Menteri Pertanian.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 48


1. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang ketentuan –
ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan
lembaran Negara Nomor 2824
2. Undang – undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara nomor 3482)
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pangan
(Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan
Lembaran Negara nomor 3556)
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentan Perlindungan
Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara nomor 3817)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang
Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan, dan Pengobatan
Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara nomor 3101)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang
Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor
161, Tambahan Lembaran Negara nomor 4002)
7. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Unit Pembentukan Kabinet Gotong Royong.
8. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 284/Kpts/OP 1983
tentang penunjukan Pejabat Penerima Wewenang mengatur
tindakan Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan
Pengobatan Penyakit Hewan;
9. Keputusan Menteri Pertanian Nomor
01/Kpts/OT.210/1/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Pertanian juncto Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 354 1/Kpts/OT.210/6/2001
10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 99/Kpts/OT
210/2/2001 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Pertanian juncto Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 392/Kpts/OT.210/7/2002;

Memeperhatikan : 1. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan


No. TU.340/28/E/01.2002 tanggal 24 januari 2002
tentang Penghentian Sementara Pemasukan Ruminansia
dan Produknya dari Negara Tertular BSE;

2. International Animal Health Code OIE tentang persyaratan


lalu lintas hewan dan produk hewan yang terkait dengan
BSE.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 49


3. Notifikasi Kebijakan Darurat (Notification of Emergency
Measures) ke World Trade Organization/WTO mengenai
penghentian sementara importasi hewan dan produk
hewan termasuk TDT/MBM dari negara-negara tertular
BSE ke Indonesia tanggal 12 Februari 2001

MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KESATU : Melarang pemasukan ternak ruminansia dan produknya dari negara-
negara tertyular BSE.
KEDUA : Jenis ternak ruminansia dari produknya yang dilarang untuk
dimasukkan kewilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal yang ditetapkan

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 juli 2002
MENTERI PERTANIAN

PROF. DR. IR BUNGARAN SARAGIH, M.Ec.

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth :

1. Menteri Perindustrian dan Perdagangan


2. Menteri Kesehatan;
3. KEPALA Bbadan Pengawasan Obat dan Makanan;
4. Para Pejabat Esalon I Lingkup Departemen Pertanian;
5. Para Gubernur Propinsi di seluruh Indonesia;
6. Para Kepala Dinas Perternakan atau Kepala Dinas yang membidangi fungsi
Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi seluruh Indonesia
7. Kepala Balai Penyidik dan Pengujian Veteriner Wilayah I-VII;
8. Kepala Balai Pengujian Pakan Ternak;
9. Kepala Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 50


Lampiran Keputusan Menteri Pertanian
Nomor : 445/Kpts/TN.540/7/2002
Tanggal : 15 Juli 2002

Daftra ternak ruminansia dan Produknya yang dilarang masuk ke Indonesia :

1. Ruminansia
a. Sapi
b. Kambing
c. Domba

2. Bahan asal Ruminansia


a. Daging dan produk olahannya dari ruminansia.
b. Tulang
c. Offal
d. SRM (Specified Risk Material : otak, mata, tonsil, syaraf tulang belakang, usus,
kelenjar, limpa dan produk yang mengandung syaraf
e. Embrio yang digunakan untuk perbibitan (breeding)
f. Semen
g. Fetal bovine serum
h. Gut/bladder/stomach dari ruminansia untuk casing sosis
i. Hati
j. Ekstrak dan juice daging

3. Hasil bahan Ruminansia


a. Meat and bone meal (MBM) yang berasal dari ruminansia
b. Blood meal
c. Protein meal
d. Tankage
e. Fat dan turunannya
f. Gelatin yang terbuat dari tulang
g. Collagen yang terbuat dari tulang
h. Tallow yang mengandung protein
i. Petfood yang terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari ruminansia

MENTERI PERTANIAN

PROF. DR. IR BUNGARAN SARAGIH, M.Ec

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 51


MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA

SURAT EDARAN MENTERI PERTANIAN


Nomor : TN.510/94/A/IV/2001

TENTANG TINDAKAN PENOLAKAN PENCEGAHAN MASUKNYA


PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK)

I. LANDASAN

1. Berdasarkan laporan dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale des
Epizooties/OIE), bahwa sejak awal tahun 2000 sampai saat ini telah terjadi wabah
penyakit hewan menular Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di beberapa negara Asia,
Afrika, Amerika Serikat dan Uni Eropa.

2. Dengan berpedoman pada ketentuan dari OIE (OIE Animal Health Code) dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu :
a. Undang-undnag No.6 Tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
b. Undang-undnag No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan.
c. Undang-undng No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
d. Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1977 tentang Penolakan dan Pencegahan
Penyakit Hewan
e. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat
Veteriner.
f. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000 tentang Karatina Hewan
g. Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1997 tentang Karantina Bahan Baku Kulit.
h. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 487/Kpts/Um/6/1981 tentang
Pencegahan Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan
i. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 422/Kpts/LB.720/6/1988 tentang
Peraturan Karantina Hewan.

3. Maka dalam rangka penolakan dan pencegahan masuknya PMK ke wilayah


Indonesia telah ditetapkan tindakan pengamanannya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 52


II. TINDAKAN PENGAMANAN
A. PELANGGARAN MENYELURUH
Mengingat saat ini beberapa negara Uni Eropa (Inggris, Irlandia, Perancis dan
Belanda) serta di negara-negara Amerika Selatan (Uruguay, Peru, Brasil dan
Argentina) telah terjadi wabah PMK, telah dietetapkan bahwa jeni-jenis
komoditi hewan, bahan dan hasil hewan serta bahan-bahan ikutannya yang
berasal dari seluruh Negara Uni Eropa dan negara-negara Uruguay, Peru, Brasil
dab Argentina dilarang dimasukkan ke Indonesia.

Komoditas hewan, bahan dan hasil hewan serta bahan ikutannya tersebut, sebagai
berikut :
1. Hewan, bahan asal dan hasil hewan serta bahan ikutannya
a. Hewan sejenis ruminansia, babi dan sebangsanya.
b. Hewan kesayangan seperti anjing, kucing, kuda dan sebagainya juga hewan
percobaan seperti cavia, kelinci, hamster dan mencit.
c. Hewan jenis unggas termasuk burung.
d. Bahan asal hewan yaitu daging, susu, semen, embrio dan telur.
e. Bahan hasil hewan yaitu kulit, tulang, bulu, wol, tanduk dan kuku yang mentah
atau sudah diolah
f. Organ tubuh, kelenjar, protein dan ekstraks dari ruminansia dan babi
g. Bahan ikutan hewan seperti kotoran hewan dan pupuk asal hewan.

2. Bahan baku pakan dan pakan hewan


a. Bahan baku pakan berasal dari hewan yaitu tepung tulang, daging, darah dan
tepung bulu
b. Bahan baku pakan berasal dari biji-bijian jagung, kacang-kacangan, kedelai dan
biji-bijian seperti bahan baku ternak lainnya.
c. Pakan hijauan segar ataupun yang sudah diolah.
d. Pakan jadi dan konsentrat untuk ruminansia dan babi.
e. Pakan jadi yang mengandung bahan asal hewan untuk hewan kesayangan dan
unggas.

3. Peralatan dan mesin serta obat-obatan


a. Peralatan dan mesin peternakan dan pertanian bekas pakai.
b. Obat dan obat hewan yang bahan bakunya berasal dari hewan serta olahannya dari
hewan ruminansia dan babi
c. Vaksin, antigen, serta, dan antisera yang berkaitan dengan virus Penyakit Mulut
dan Kuku.

4. Pelarangan ini berlaku untuk semua komoditi hewan tersebut diatas baik yang
diperdagangkan maupun sebagai tentengan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 53


B. PELARANGAN SEMENTARA
1. Tindakan pelarangan menyeluruh terhadap pemasukan komoditas hewan,
bahan asal dan hasil hewan serta bahan ikutannya tersebut diatas, dalam
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal yang ditetapkannya pelarangan
tertanggal 27 Maret 2001 akan dilakukan evaluasi terhadap perkembangan
situasi wabah penyakit dan upaya-upaya pengendaliannya dari masing-
masing negara bersangkutan.

2. Apabila wabah penyakit dapat dikendalikan dan tidak menjalar kenegara


lain, maka bagi negara-negara yang masih dalam kondisi bebas atau telah
dinyatakan bebas PMK oleh OIE, maka ketentuan pelarangan menyeluruh
akan segera dipertimbangkan untuk dibebaskan kembali selama tidak
ada ketentuan yang menyangkut penyakit lainnya.
Sedangkan bagi negara-negara yang wabahnya terkendali tetapi belum
dinyatakan bebas penyakit oleh OIE, maka khusus untuk jenis-jenis
produk hewan yang telah melalui pengelolahan tertentu dan beresiko untuk
penularan penyakit serta sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku
akan dipertimbangkan untuk dikeluarkan dari pelarangan, yaitu :

a. Hewan, bahan asal dan hasil hewan


1. Unggas dan hasil produk unggas
2. Anjing, kucing dan sebangsanya
3. Kulit hewan sudah diolah (kulit wet blue, crust dan kulit jadi)
4. Bulu, wol dan bulu leher yang sudah diolah.

b. Bahan baku dan pakan hewan


1. Biji-bijian untuk bahan baku pakan yang telah diolah
2. Pakan hewan untuk hewan kesayangan yang tidak mengandung
bahan asal ternak ruminansia dan babi
3. Tepung bulu unggas yang sudah diolah

c. Susu olahan
Susu olahan berupa susu bubuk, skim, krim mentega, keju, yogurt dan
susu UHT serta susu yang telah /diolah dengan bahan makanan seperti
coklat dan biskuit yang tidak mengandung bahan asal hewan lainnya.

d. Peralatan dan mesin serta obat-obatan


1. Alat-alat dan mesin peternakan dan pertanian
2. Obat dan vaksin yang tidak berkaitan dengan Penyakit Mulut dan
Kuku yang dalam produksinya tidak berhubungan dengna hewan
ruminansia dan babi.
3. Obat-obat dan keperluan Kedokteran Umum dan kepentingan
penelitian yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknelogi.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 54


3. Pertimbanagn terhadap produk-produk tertentu sebagaimana tercantum
dalam butir B1 dan B2 tersebut diatas yang dikeluarkan dari pelarangan,
berlaku pula terhadap bahan-bahan yang berasal dari negara-negara yang
tidak sedang terjangkit wabah.

C. PEMBEBASAN MENYELURUH
Hewan, bahan asal dan hasil hewan serta bahan ikutan seperti dimaksud pada
butir A. Dapat dipertimbangkan pembebasannya secara menyeluruh dari
pelarangan yaitu apabila negara-negara yang bersangkutan telah mendapat
pernyataan resmi bebas Penyakit Mulut dan Kuku serta penyakit hewan menular
lain (daftar A) dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office Internartional des
Epizooties)

III. HIMBAUAN
Kepada lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta dan pihak-pihak yang
berkaitan dengan surat edaran ini dihimbau untuk dapat mentaatinya dan dapat
membantu dalam upaya penolakan dan pencegahan masuknya Penyakit Mulut
dan Kuku ke wilayah Indonesia.

Demikian surat ini dikeluarkan untuk dapat diketahui dan dimaklumi oleh
semua yang berkepentingan.

Jakarta 20 April 2001

MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA

(BUNGARAN SARAGIH)

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 55


DEPARTEMEN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN
Jl Salemba Raya No.16
Kotak Pos 1402 Telp. (021)331859, 334948, 3149287
Jakarta 10014 Fax. (021) 3143937

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN


Nomor : 254/TM.520/Kpts/DJP/Deptan/1995
TENTANG
PEDOMAN PEMBERIAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) RUMAH
PEMOTONGAN HEWAN/UNGGAS DAN PEMPROSESAN DAGING

Menimbang : a. bahwa untuk kepentinganpengawasan dalam rangka pendirian


dan pengelolaan rumah potong hewan (RPH/RPU) serta tempat
pemrosesan daging, maka setiap RPH/RPU dan tempat
pemrosesan daging perlu diberikan penomoran yang disebut
Nomor Kontrol Veteriner;

b. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut maka dipandang perlu


menetapkan pedoman pemberian Nomor Kontrol Veteriner
RPH.RPU dan tempat Pemrosesan Daging.

Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983;


2. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 83/M/1988;
3. SK. Menteri Pertanian No.55/ Kpts/TM.240/9/1986;
4. SK. Menteri Pertanian No.557/ Kpts/TM.520/9/1987;
5. SK. Menteri Pertanian No.295/ Kpts/TM.240/5/1989;
6. SK. Menteri Pertanian No.413/ Kpts/TM.310/7/1992;
7. SK. Menteri Pertanian No.745/ Kpts/TM.240/12/1992;
8. SK. Menteri Pertanian No.306/ Kpts/TM.330/4/1994;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : Pedoman pemeberian Nomor Kontrol Veteriner Rumah


Pemotongan Hewan / Unggas dan tempat Pemrosesan Daging
sebagai berikut :

PERTAMA : Setiap Rumah Pemotongan Hewan/Unggas dan tempat Pemrosesan


Daging diberikan Nomor Kontrol Veteriner. Pemberian Nomor
Kontrol Veteriner dimaksud mengikuti petunjuk teknis sebagai
tersebut pada lampiran surat keputusan ini.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 56


KEDUA : Permohonan pemberian Nomor Kontrol Veteriner Rumah
Pemotongan Hewan/Unggas dan tempat Pemrosesan Daging,
disampaikan oleh pengelolah kepala Direktur Jenderal Peternakan
atas rekomendasi/pertimbanagn kepala Dinas Peternakan Propinsi
daerah tingakt I setempat.

KETIGA : Nomor Kontrol Veteriner yang sudah ada saat dikeluarkannya


surat keputusan ini dinyatakan tetap berlaku.

KEEMPAT : Surat keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan
ketentuan bahwa apabila dikemudian hari terdapat kekurangan
dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan seperlunya.

DITETAPKAN DI : J A K A R T A
PADA TANGGAL : 29 JUNI 1995

DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN

Dr Drh S O E H A D J I
Nip : 080.013.186

Tembusan Surat Keputusan ini disampaikan kepada Yth :


1. Sdr Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian;
2. Sdr Direktur Jenderal Pemerintah Umum dan Onotomi Daerah, Departemen Dalam
Negeri;
3. Sdr Direktur Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri;
4. Sdr para Gubernur KDH Tingkat I seluruh Indonesia;
5. Sdr para Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Dati I di seluruh Indonesia;
6. Sdr para Kepala Dinas Peternakan Propinsi Dati I di seluruh Indonesia;
7. Sdr para Kepala Dinas Petrenakan Kabupaten/Kotamadya Dati II di seluruh
Indonesia.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 57


LAMPIRAN : SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN
NOMOR : 254/TN.520/Kpts/DJP/Deptan/1995

PETUNJUK TEKNIS
PEMBERIAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV)
PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN/UNGGAS
DAN TEMPAT PEMROSESAN DAGING SERTA HASIL IKUTANNYA.

I. PENDAHULUAN

Rumah Pemotongan Hewan/Unggas (RPH/RPU) dan atau tempat Pemrosesan


Daging (Meat Processing Plant) adalah suatu kompleks bangunan dengan disain
dan persyaratan-persyaratan teknis tertentu yang dipergunakan sebagai tempat
memotong hewan/unggas dan penanganan serta pemrosesan dagingnya secara benar
bagi konsumsi masyarakat luas. Pada dasarnya lokasi bangunan RPH/RPU dapat
berdiri sendiri, akan tetapi berada dalam satu lokasi dengan bangunan tempat
pemrosesan daging (TPD). Tempat pemrosesan daging adalah suatu bangunan atau
komplek bangunan dengan disain dan persyaratan-persyaratan teknis tertentu yang
dipergunakan sebagai tempat pemrosesan lebih lanjut yang berupa pemotongan
bagian daging/pelepasan tulang, pengolahan/pemrosesan jadi produk,
pembungkusan/pengepakan dan pemberian label serta penyimpanan hasil/produk
hasil.

Dengan demikian, maka RPH/RPU merupakan sarana pelayanan kepada


masyarakat dalam penyediaan daging sehat dan berfungsi pokok sebagai (a) tempat
pelaksanaan pemotongan hewan dan penanganan daging secara benar; (b) tempat
pelaksanaan pemeriksaan hewan sebelum dipotong dan pemeriksaan daging untuk
mencegah penularan penyakit hewan kepada manusia dan (c) tempat untuk
menditeksi penyakit hewan yang ditemukan guna pencegahan dan pemberantasan
penyakit hewan menular didaerah asal serta (d) tempat pelaksanaan seleksi dan
pengendalian pemotongan hewan besar betina bertanduk yang masih produktif.
Sedangkan tempat pemrosesan daging (TPD) merupakan sarana penyediaan daging
yang telah diolah secara benar serta memenuhi persyaratan kesehatan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

Dalam rangka pembinaan RPH/RPU dan tempat pemrosesan daging (TPD) di


Indonesian secara bertahap dan berkesinambungan dengan telah adanya landasan
hukum yang kuat dan mantap maka pemerintah bermaksud :
1. Menata kembali fungsi, peranan dan citra RPH/RPU sebgai sarana pelayanan
kepada masyarakat untuk menyediaan daging sehat, aman, murni dan halal;
2. Menetapkan setiap RPH/RPU dan tempat pemrosesan daging (TPD) harus
memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV);
3. Menyeragamkan peraturan-peraturan daerah, khususnya yang menyangkut
RPH/RPU dan usaha pemotongan hewan/unggas serta penanganan daging.
4. Memberikan kepastian dan jaminan hukum, baik bagi pemerintah maupun
masyarakat.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 58


Yang dimaksud dengan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah registrasi Rumah
Pemotongan Hewan/Unggas (RPH/RPU) tempat pemrosesan daging (TPD) atau
usaha-usaha lainnya yang bergerak dalam bidang pengumpulan, penampungan,
penyimpanan dan pengawetan bahan asal hewan yang diterbitkan oleh instansi yang
bertanggung jawab dalam bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner dengan
dilakukan langkah-langkah penataan kembali masalah RPH/RPU ini antara lain
dengan standarisasi dan akreditasi RPH/RPU, pengaturan/penggunaan jenis-jenis
stempel sesuai dengan jenis hewan, pemberian label pada kemasan daging unggas
dan pemberian Nomor Kontrol Veteriner pada setiap RPH/RPU dan tempat
pemrosesan daging yang telah terakreditasi, maka RPH/RPU dan tempat
pemrosesan daging yang telah memenuhi persyaratan tersebut dapat melaksanakan
fungsinya secara maksimal.

Dengan demikian terbuka kesempatan bagi RPH/RPU dan tempat pemrosesan


daging tersebut untuk menyediakan daging sehat sesuai kemampuan baik untuk
kebutuhan sendiri maupun kebutuhan wilayah lain dengan memperhatikan
ketentuan yang berlaku.

Dengan adanya tertib hukum dalam kegiatan pemotongan hewan/unggas akan


mempermudah untuk melaksanakan pengawasan terhadap peredaran daging yang
dilaksanakan oleh pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner dilapangan dan lebih
banyak konsumen yang menerima pelayanan dari RPH/RPU dan tempat
pemrosesan daging yang telah memenuhi persyaratan tersebut berupa daging yang
sehat, aman, utuh/murni dan halal serta adanya kepastian hukum baik bagi
pemerintah maupun masyarakat yang melaksanakan pemotongan hewan/unggas.

II. TUJUAN
Tujuan pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) pada setiap Rumah
Pemotongan Hewan/Unggas (RPH/RPU) dan tempat Pemrosesan Daging :
1. Memberikan jaminan dan perlindungan kepada masyarakat, baik/yang
melaksanakan kegiatan pemotongan hewan/ unggas dan pemrosesan/
pengelolaan daging maupun yang mengkonsumsi daging bahwa daging berasal
dari hasil pemotongan hewan/unggas di RPH/RPU dan tempat pemrosesan
daging yang telah memenuhi persyaratan.
2. Terlaksananya tertib hukum dan tertib administrasi dalam pendirian/
pengelolaan RPH/RPU dan tempat pemrosesan daging
3. Mempermudah dan memperlancar pelaksanaan sistem pengawasan pemotongan
hewan/unggas dan peredaran daging
4. Meningkatkan daya guna dan produktivitas dalam mencapai mutu produk
(daging) dan hasil olahannya serta jasa pemotongan hewan/unggas yang
memenuhi syarat/standar

III. LANDASAN HUKUM


Dalam upaya memeperoleh daging yang memenuhi persyaratan kuantitatif (nilai
gizi), persyaratan higieni dan persyaratan halal maka telah diterbitkan perangkat

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 59


pengawasan/pengamanan berupa ketentuan peraturan sehingga diperoleh daging
yang aman (safe), sehat (sound),. utuh/murni (wholesome) dan halal.
1. Undang-undang No. 6 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan
2. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat
Veteriner
3. SK Menteri Pertanian No.555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat RPH
dan Usaha Pemotongan Hewan.
4. SK Menteri Pertanian No.557/Kpts/TN.520/9/1986 tentang Syarat-Syarat RPU
dan Usaha Pemotongan Hewan.
5. SK Menteri Pertanian No.259/Kpts/TN.240/5/1986 tentang Pemotongan Babi
dan Penanganan Daging Babi dan Hasil Ikutannya
6. SK Menteri Pertanian No.413/Kpts/TN.310/7/1986 tentang Pemotongan Hewan
Potong Penanganan Daging dan Hasil Ikutannya.
7. SK Menteri Pertanian No.745/Kpts/TN.240/12/1986 tentang Persyaratan dan
Pengawasan Pemasukan Daging dari Luar Negeri
8. SK Menteri Pertanian No.306/Kpts/TN.330/4/1986 tentang Pemotongan
Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya.

IV. TATA CARA PEMEBERIAN NOMOR KONTROL VETERINER


1. Prinsip Dasar
Penetapan program pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) terhadap
RPH/RPU dan Tempat Pemrosesan Daging (Meat Processing Plant) dilakukan
oleh Direktorat Jenderaal Peternakan cq. Direktorat Bina Kesehatan Hewan
berdasarkan atas usulan dari Dinas Peternakan Daerah yang mendirikan /
mengelola RPH/RPU maupun masyarakat/pihak swasta dan pihak lain yang
melakukan Usaha Pemotongan Hewan/Unggas Kategori I dan Kategori II (yang
memiliki RPH/RPU) dari semua kelas (A,B,C dan D) dan atau yang mendirikan
Tempat Pemrosesan Daging setelah mendapatkan rekomendasi dari Dinas
Peternakan Propinsi Dati I setempat

Prinsip yang dianut dalam mempersiapkan pemberian Nomor Kontrol Veteriner


(NKV) adalah harus menjamin bahwa NKV yang ditetapkan sesuai dengan
keadaan RPH/RPU dan Tempat Pemrosesan Daging tersebut dan memenuhi
persyaratan minimal yang ditentukan peraturan perundangan sehingga
kepentingan produsen/pengelola RPH/RPU dan atau Tempat Pemrosesan
Daging serta konsumen dapat diperhatikan. Untuk itu selalu dilakukan
peninjauan atau evaluasi secara periodik agar NKV yang diberikan dapat
dilaksanakan dan dipertahankan atau bahkan apabila diperlukan dapat
ditingkatkan.

2. Ruang Lingkup
2.1 Rumah Potong Hewan/Unggas
Ruang lingkup pemberian Nomor Kontrol Veteriner mencakup semua
aspek dan kegiatan di RPH/RPU yang dilakukan oleh pengelola sesuai

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 60


dengan Peraturan mengenai Syarat-Syarat Rumah Pemotongan
Hewan/Unggas yang secara garis besar meliputi :
(1) Lokasi yang meliputi posisi RPH/RPU dan atau Tempat Pemrosesan
Daging tersebut beserta halaman dan pagar yang ada terhadap posisi
kota
(2) Bangunan utama yang meliputi ruangan-ruangan yang ada
didalamnya, dinding dan lantai, pintu, jendela serta ventilasinya,
penerangan yang ada serta air yang tersedia.
(3) Peralatan Produksi dan Kebersihannya
(4) Ruang-ruang lain dalam bangunan utama dan kondisinya yang
meliputi ruang pelayuan daging, ruang pelepasan tulang, ruang
pembungkusan dan ruang pendinginan /cold storage sebagai ruang
penyimpanan daging.
(5) Kandang dan kebersihannya termasuk kondisi kandang dan kapasitas
kandang.
(6) Laboratorium yang dimiliki, termasuk kemampuan pengujian, tenaga
dan peralatan yang ada.
(7) Sistem pembuangan dan kesehatan lingkungan yang ada termasuk
tempat isolasi, tempat pemotongan darurat dan kamar mandi/wc untuk
karyawan.
(8) Karyawan dan kesehatannya termasuk tenaga Dokter Hewan
penanggung jawab dan teknisi pemeriksa daging.
(9) Ruangan-ruangan lain dalam kompleks, yangmeliputi ruang
administrasi, ruang penyimpanan alat, ruang ganti karyawan, ruang
istirahat,locker dan kantin.
(10) Alat pengangkut /daging yang meliputi jenis angkutan, fasilitas yang
ada pada alat angkutan, kapasitas dan kondisinya serta cara
pengangkutan dagingnya
(11) Lokasi tersebut dengan RPH babi dan tempat Pemrosesan Daging
Babi, meliputi bentuk pembatas, ketinggian letak bangunan dengan
bangunan lainnya, peralatan yang digunakan karyawannnya.
(12) Langkah-langkah pemeliharaan/perawatannya.

2.2.Tempat Pemrosesan Daging


Ruang lingkup Pemberian Nomor Kontrol Veteriner mencakup semua
aspek dan kegiatan di Tempat Pemrosesan Daging (TPD) yang dilakukan
oleh pengelola sesuai peraturan mengenai pemotongan hewan
potong/unggas dan penanganan daging yang secara garis besar meliputi :
(1) Lokasi yang meliputi posisi TPD tersebut, khususnya keadaan sekitar
seperti jaraknya dengan sumber pencemaran (bau busuk, debu, asap)
dan sumber pencemaran lainnya.
(2) Bangunan dan fasilitasnya yang meliputi ruangan-ruangan berurutan
sesuai tahapan kegiatan dengan konstruksi berupa dinding bagian
dalam, lantai, langit, pintu, jendela, dan ventilasi dan penerangan serta
air sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontaminasi silang.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 61


(3) Fasilitas yang ada harus dapat menjamin dan memudahkan
pengawasan kesehatan daging serta pelaksanaan pemeriksaan
termasuk fasilitas sanitasi yang berupa air (panas, dingin), sistem
saluran pembuangan, ruang ganti pakaian/toilet, fasilitas pencucian
tangan diruangan dan fasilitas pembersih/desinfeksi.
(4) Laboratorium yang dimiliki termasuk kemampuan penguji, tenaga dan
peralatan yang ada.
(5) Karyawan dan kesehatannya termasuk tenaga Dokter Hewan
penanggung jawab dan tenaga teknisi lainnya.
(6) Proses pengelolahan harus diawasi oleh penanggung jawab produksi
dan seluruh tahap pemrosesan dilakukan dalam kondisi yang baik dan
metoda yang benar untuk mencegah kemungkinan
kontaminasi/tumbuh kembang mikroorganisme patogen/pembusuk
(7) Pembungkus dan wadah produk akhir harus memenuhi persyaratan
sebagai wadah/pembungkus makanan (food grade) dan ditangani
secara higienis.
(8) Ruangan-ruangan lain dalam kompleks, yang meliputi ruang
administrasi, ruangan penyimpanan alat, ruang istirahat, locker, kantin
dan ruangan lain.
(9) Alat pengangkut produk akhir yang meliputi jenis angkutan, fasilitas
yang ada pada alat angkut, kapasitas dan kondisinya.
(10) Langkah-langkah pemeliharaan/perawatan, khususnya program
pembersihan/desinfeksi, pengontrolan suhu / temperatur ruangan
pengolahan maupun ruangan penyimpanan daging / produk akhir dan
penyimpanan bahan berbahaya.

2.3.Alat/Kendaraan pengangkut daging


(1) Kendaraan pengangkut daging dan atau hasil olahannya harus berupa
kendaraan khusus pengangkut daging dan tidak digunakan untuk
keperluan lain.
(2) Ruang bagian dalam angkutan daging harus terbuat dari bahan anti
karat, berlantai licin, bersudut antara pertemuan melengkung
sehingga mudah dibersihkan dan dilengkapi lampu penerangan yang
cukup, mempunyai pintu yang selalu tertutup dalam perjalanan.
(3) Kendaraan angkutan daging harus mempunyai fasilitas sedemikian
rupa sehingga daging dan atau hasil olahannya tidak kontak dengan
lantai (tidak diletakkan langsung dilantai kendaraan angkutan)
(4) Untuk dapat mempertahankan suhu daging selama pengangkutan,
kendaraan angkutan daging yang mengangkut daging lebih dari 2
(dua) jam harus dilengkapi dengan pendingin dengan suhu setinggi-
tingginya 100 C dan untuk pengangkutan daging/hasil olahannya
dalam keadaan beku bersuhu setinggi-tingginya minus 150 C.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 62


3. Cara Penulisan Nomor Kontrol Veteriner (NKV)
(1) Pada prinsipnya Nomor Kontrol Veteriner terdiri dari tiga jenis
huruf/angka yang menunjukkan kelas dan lokasi RPH/RPU serta nomor
urut pemberian NKV :
a. Kelas dari RPH/RPU dan atau Tempat Pemrosesan Daging dinyatakan
dengan huruf A, B, C atau D
b. Lokasi RPH/RPU dan atau Tempat Pemrosesan Daging yang
dinyatakan dengan angka yang menunjukkan Propinsi, Kabupaten/
Kotamadya dan Kecamatan (sesuai standar BPS)
c. Nomor urut pemberian NKV yang dinyatakan dengan angka.
(2) Untuk membedakan NKV Rumah Pemotongan Hewan dan atau Tempat
Pemrosesan Daging dengan NKV Rumah Potong Unggas dan Tempat
Pemrosesan Daging Unggas, maka urutan penulisan NKV ditetapkan
sebagai berikut :
a. Bagi NKV RPH/Tempat Pemrosesan Daging, penulisan NKV dimulai
dengan Kelas RPH/Tempat Pemrosesan Daging – Lokasi RPH/Tempat
Pemrosesan Daging – Nomor Urut Pemberian NKV
b. Bagi NKV RPU/Tempat Pemrosesan Daging Unggas , penulisan NKV
dimulai dengan Nomor Urut NKV – Lokasi RPU/Tempat Pemrosesan
Daging Unggas – Kelas RPU/Tempat Pemrosesan Daging Unggas
(3) Berdasarkan usulan dari pengelola RPH/RPU dan atau Tempat
Pemrosesan Daging yaitu Dinas Peternakan atau pihak swata atau pihak
lainnya serta dari hasil peninjauan dan evaluasi Direktorat Jenderal
Peternakan, maka akan dikeluarkan Nomor Kontrol Veteriner, yaitu
berupa :
a. Sertifikat pemberian Nomor Kontrol Veteriner bagi RPH/RPU yang
berfungsi sebagai pelayanan pemotongan hewan/unggas untuk
keperluan pembinaan Kesehatan Masyarakat Veteriner yang dikelola
oleh Dinas Peternakan Daerah.
b. Sertifikat pemberian Nomor Kontrol Veteriner dan surat Izin Usaha
Pemotongan Hewan/Unggas, bagi RPH/RPU dan atau Tempat
Pemrosesan Daging yang berfungsi sebagai kegiatan usaha
pemotongan hewan/unggas yang dikelolah oleh Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) atau swasta.
(4) Sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang pemotongan
hewan/unggas dan penanganan daging/unggas, maka NKV yang telah
diberikan, harus dicantumkan pada :
a. Stempel pada daging hewan potong yang bersangkutan, sebagai hasil
keputusan pemeriksaan post mortem.
b. Label pada kemasan daging unggas yang bersangkutan, sebagai hasil
keputusan pemeriksaan post mortem dan label pada kemasan baru
daging unggas, apabila dilakukan penggantian kemasan asli dari RPU
oleh toko daging/pasar swalayan atau pihak lain.
c. Label pada kemasan daging/bagian-bagian daging (parting) dan hasil
olahannya sebagai hasil Produksi dari Tempat Pemrosesan Daging
(TPD)

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 63


V. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

1. Pembinaan
Pembinaan mempunyai tujuan meningkatkan, mengarahkan dan
mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan RPH/RPU, pelaksanaan pemotongan
hewan/unggas dan pemrosesan daging dengan sasaran untuk mewujudkan agar
pengelolahan dan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan yang telah
ditetapkan. Pembinaan dilaksanakan oleh instansi teknis baik ditingkat Daerah
maupun ditingkat Pusat bekerjasama dengan pihak terkait.

2. Pengawasan
Pengawasan mempunyai tujuan untuk meningkatkan pelaksanaan
penerapan/pemberian NKV dengan lebih konsisten, memberikan umpan balik
dalam penyempurnaan sistem pemberian NKV yang sehat dan benar,
mempermudah pendeteksian timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan
pengelolahn RPH/RPU dan Tempat Pemrosesan Daging serta melindungi
konsumen dari jasa pemotongan hewan/unggas dan peredaran daging yang
dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan maupun kulitasnya rendah
Maksud dari pengawasan adalah untuk menjamin bahwa pemberian dan
penerapan NKV tetap memenuhi ketentuan yang berlaku dengan penuh
tanggung jawab.
Obyek yang diawasi adalah segala fasilitas dan kegiatan yang berkaitan dengan
pemberian NKV sesuai dengan pedoman dan peraturan perundangan yang
berlaku.

3. Sanksi
Sanksi yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dikenakan
kepada pengelola RPH/RPU dan tempat Pemrosesan Daging yang telah
melakuakn penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan RPH/RPU dan
penerapan NKV sesuai dengan kategori penyimpangan yang tertuang dalam
ketentuan yag berlaku.

Sanksi dalam pengelolaan RPH/RPU dan peredaran daging dikategorikan dalam


3 (tiga) jenis yaitu :
(1) Sanksi Pidana, ayaitu sanksi yang dikenakan terhadap mereka yang
melakuakn tindakan pidana atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun
1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, yaitu mengenai usaha
pemotongan hewan.
(2) Sanksi administratif bagi RPH/RPU yang dikelolah oleh Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) atau swasta, yaitu sanksi dibidang administratif yang
dikenakan terhadap pengelola RPH/RPU yang berupa pencabutan izin usaha
pemotongan hewan/unggas dan penurunan kelas RPH/RPU dan tempat
Pemrosesan Daging atau peninjauan kembali sertifikat NKV yang diberikan.
(3) Sanksi administratif bagi RPH/RPU yang berfungsi sebagai pelayanan
masyarakat, yaitu sanksi dibidang administratif yang dikenakan terhadap

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 64


pengelolah RPH/RPU dalam rangka kepentingan pembinaan kesehatan
masyarakat veteriner yang berupa peninjauan ulang Sertifikat NKV yang
telah diberikan.

VI. PENUTUP

Diharapkan melalui sistem pemberian/penerapan Nomor Kontrol Veteriner (NKV),


yang merupakan dasar dan pedoman kegiatan pengelolahan RPH/RPU dan
pemotongan hewan/unggas, keterpaduan derap langkah dalam standarisasi Rumah
Potong Hewan/Unggas dan Usaha Pemotongan Hewan/Unggas untuk penyediaan
daging yang aman, sehat, utuh/murni dan halal dapat lebih ditingkatkan.

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 65


DEPARTEMEN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN
Jl Salemba Raya No.16
Kotak Pos 1402 Telp. (021)331859, 334948, 3149287
Jakarta 10014 Fax. (021) 3143937

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN


NOMOR : 144/TN.330/Kpts/DJP/Deptan/1996

TENTANG

POEDOMAN PEMBERIAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV)


USAHA PENGIMPOR, PENGUMPUL/PENAMPUNG DAN
PENGEDAR DAGING SERTA HASIL OLAHANNYA

Menimbang : a.bahwa untuk kepentingan pengawasan dalam usaha pengimpor,


pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil
olahannya, maka setiap usaha pengimpor,
pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil
olahannya perlu diberikan penomoran yang disebut Nomor
Kontrol Veteriner.
b. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut maka dipandang perlu
menetapkan pedoman pemberian Nomor Kontrol Veteriner
Usaha Pengimpor, pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging
serta Hasil Olahannya.

Mengingat : 1. Undang-undang No. 6 Tahun 1967


2. Undang-undang No. 16 Tahun 1992
3. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 83/M Tahun 1988
5. SK. Menteri Pertanian No. 295/Kpts/TN. 240/5/1989
6. SK. Menteri Pertanian No. 413/Kpts/TN. 310/7/1992
7. SK. Menteri Pertanian No. 745/Kpts/TN. 240/12/1992
8. SK. Menteri Pertanian No. 305/Kpts/TN. 330/4/1994

MEMUTUSKAN

Menetapkan : Pedoman Pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) Usaha


Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging serta
hasil Olahannya sebagai berikut :

PERTAMA : Setiap Usaha Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan Pengedar


Daging serta Hasil Olahannya diberikan Nomor Kontrol
Veteriner. Pemberian Nomor Kontrol Veteriner dimaksud

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 66


mengikuti petunjuk teknis sebagai tersebut dalam lampiran surat
keputusan ini.

KEDUA. : Permohonan untuk pemberian Nomor Kontrol Veteriner Usaha


Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging serta
Hasil Olahannya disampaikan oleh pengelolah kepada Direktur
Jenderal Peternakan atas Rekomendasi/pertimbangan Kepala
Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I setempat

KETIGA : Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal yang ditetapkan
dengan ketentuan bahwa apabila dikemudian hari terdapat
kekurangan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan
seperlunya.

DITETAPKAN DI : J A K A R T A
PADA TANGGAL : 26 FEBRUARI 1995

DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN

Dr Drh S O E H A D J I
Nip : 080.013.186

Tembusan Surat Keputusan ini disampaikan kepada Yth :


1. Sdr Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian;
2. Sdr para Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Dati I di seluruh Indonesia
3. Sdr para Kepala Dinas Peternakan Propinsi Dati I di seluruh Indonesia
4. Sdr para Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kotamadya Dati II di seluruh
Indonesia;
5. Sdr Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (ASPIDI);
6. Sdr Ketua Umum Asosiasi Distributor Daging Jakarta (AD2J)

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 67


LAMPIRAN : SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN
NOMOR : 144/TN.330/Kpts/DJP/Deptan/1996

PETUNJUK TEKNIS
PEMBERIAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) USAHA
PENGIMPOR, PENGUMPUL/PENAMPUNG DAN PENGEDAR
DAGING SERTA HASIL OLAHANNYA

I. PENDAHULUAN
Untuk pemenuhan bahan makanan asal hewan khususnya daging, serta disamping
pemenuhan secara kuantitatif, diperlukan pula pemenuhan syarat – syarat kualitatif
(aspek nilai gizi), syarat-syarat kualitatif (aspek nilai gizi), syarat-syarat hygiene (aspek
kehalalan) serta syarat-syarat dan keadaan yang menjamin ketentraman bathin
masyarakat yang menggunakannya (aspek kehalalan).
Sebagaimana diketahui bahwa bahan makanan asal hewan khususnya daging
mempunyai sifat mudah sekali rusak dan dapat menjadi sumber penularan penyakit
hewan kepada manusia. Dengan demikian setiap usaha yang bergerak dan berhubungan
dengan bahan asal hewan tersebut harus memenuhi syarat-syarat kesehatan masyarakat
veteriner agar bahan-bahan tersebut tetap aman (safe), sehat (sound), utuh/murni
(wholesome) dan halal.
Dengan demikian, maka usaha pengimpor, pengumpulan penampungan dan
pengedar daging serta hasil olahannya merupakan sarana dalam penyediaan daging secara
benar serta memenuhi persyaratan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam pelaksanaannya diperlukan adanya pengawasan pemerintah terhadap usaha
tersebut agar syarat-syarat yang telah ditetapkan ditaati. Dalam rangka pembinaan usaha
pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya di
Indonesia, maka dengan telah adannya landasan hukum yang kuat dan mantap, secara
bertahap dan berkesinambungan pemerintah bermaksud:
1. Menata persyaratan kesehatan dan ketentuan teknis lain yang mengatur kegiatan
usaha yang bergerak dan berhubungan dengan daging dan hasil olahannya;
2. Menetapkan setiap usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging
dan hasil olahannya harus memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV);
3. Menyeragamkan Peraturan-Peraturan Daerah, khususnya yang menyangkut
pengaturan usaha yang bergerak dalam penanganan daging dan hasil olahannya;
4. memberikan kepastian dan jaminan hukum, baik bagi pemerintah maupun
masyarakat.
Yang dimaksud dengan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah registrasi Usaha
Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya yang
diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan masyarakat
veteriner.
Yang dimaksud dengan Usaha Pengimpor Daging/Hasil Olahanya adalah suatu
usaha yang kegiatannya melakukan daging/hasil olahannya dari luar negeri ke wilayah
negara Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan usaha Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging/Hasil
Olahannya adalah suatu usaha yang kegiatannya melakukan usaha distribusi

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 68


(mengumpulkan/menampung yang kemudian menjual/mengedarkan kembali)
daging/hasil olahannya.
Dengan dilakukannya langkah-langkah penataan ketentuan yang mengatur bidang
kegiatan usaha yang bergerak dalam penanganan daging dan didukung telah adannya
standarisasi dan akreditasi RPH/RPU, pengaturan/pengguna jenis-jenis stempel daging
sesuai jenis hewan, pemberian label pada kemasan daging unggas dan pemberian Nomor
Kontrol Veteriner pada setiap RPH/RPU dan Tempat Pemrosesan Daging yang telah
diakreditasi, maka usaha pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil
olahannya yang telah memenuhi persyaratan dapat melakukan usaha secara maksimal.
Dengan demikian terbuka kesempatan bagi usaha pengimpor, pengumpul /
penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya untuk menyediakan daging sehat
sesuai kemampuan baik untuk kebutuhan diwilayahnya sendiri maupun kebutuhan
wilayah lain dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.
Dengan adannya tertib hukum dalam kegiatan usaha pengimpor, pengumpul /
penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya, akan mempermudah untuk
melaksanakan pengawasan terhadap peredaran daging dan hasil olahannya oleh para
pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner di lapangan dan lebih banyak konsumen
mendapat daging sehat, aman, utuh/murni dan halal serta adannya kepastian hukum baik
bagi pemerintah maupun bagi masyarakat yang melaksanakan kegiatan usaha pengimpor,
pengumpul / penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya.

II. TUJUAN
Tujuan pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) pada setiap usaha Pengimpor,
Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging serta hasil olahannya adalah:
1. Memberikan jaminan dan perlindungan kepada masyarakat, baik yang
melaksanakan kegiatan usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar
daging serta hasil olahannya maupun masyarakat konsumen, bahwa daging yang
dibeli/dikonsumsi berasal dari hasil usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan
pengedar daging yang telah memenuhi persyaratan.
2. Terlaksananya tertib hukum dan tertib administrasi dalam pengelola usaha
pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya.
3. Mempermudah dan memperlancar pelaksanaan sistem pengawasan usaha
pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya.
4. Meningkatkan daya guna, hasil guna dan produktivitas dalam mencapai mutu
produk (daging dan hasil olahannya) yang memenuhi syarat/standar.

III. LANDASAN HUKUM


Dalam upaya untuk memperoleh daging yang memenuhi persyaratan kualitatif
(nilai gizi), persyaratan hygiene dan persyaratan kehalalan, maka telah diterbitkan
perangkat pengawasan/pengamanan berupa ketentuan peraturan sehingga diperoleh
daging yang aman (safe), sehat (sound), utuh/murni (wholesome) dan halal.
1. Undang-Undang No. 6 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
2. Undang-Undang No. 16 Tahun 1992, tentang Karantina Hewan, ikatan dan
Tumbuhan.
3. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983, tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 69


4. Instruktur Presiden RI No. 2 Tahun 1991, tentang Peningkatan Pembinaan dan
Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan.
5. SK. Menteri Pertanian No. 295/Kpst/TN.240/5/1989 tentang Pemotongan Babi dan
Penanganan Daging Babi dan Hasil Ikutannya.
6. SK. Menteri Pertanian No. 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan
potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya.
7. SK. Menteri Pertanian No. 745/Kpts/TN.240/12/1992 tentang Persyaratan dan
Pengawasan Pemasukan Daging dari Luar Negeri.
8. SK. Menteri Pertanian No. 306/Kpts/TN.330/4/1994 tentang Pemotongan Unggas
dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya.

IV. TATA CARA PEMBERIAN NOMOR KONTROL VETERINER

1. Prinsip Dasar

Penetapan program pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) terhadap Usaha


Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging Serta Hasil Olahannya
dilakukan oleh Direktorat Jendral Peternakan cq. Direktor Bina Kesehatan Hewan
berdasarkan atas permohonan masyarakat/pihak swasta dan pihak lain yang melakukan
usaha Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging Serta Hasil Olahannya
setelah mendapatkan rekomendasi dan Dinas Peternakan Propinsi Dati I setempat.
Prinsip yang dianut dalam mempersiapkan pemberian Nomor Kontrol Veteriner
(NKV) adalah harus menjamin bahwa NKV yang ditetapkan sesuai dengan keadaan
usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya dan
memenuhi persyaratan minimal yang ditentukan peraturan perundangan yang ada
sehingga kepentingan pengusaha/pengelola usaha pengimpor, pengumpul/penampung
dan pengedar daging serta hasil olahannya dan kepentingan konsumen dapat
diperhatikan. Untuk itu selalu dilakukan peninjauan dan evaluasi secara periodik agar
NKV yang diberikan dapat dilaksanakan dan dipertahankan atau bahkan apabila di
perlukan dapat ditingkatkan.

2. Ruang lingkup

Ruang lingkup pemberian Nomor Kontrol Veteriner mencakup semua aspek dan
kegiatan di tempat usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta
daging hasil olahannya yang dilakukan oleh pengelola sesuai dengan peraturan mengenai
Penanganan Daging/Daging Unggas serta Hasil Ikutannya yang secara garis besar
meliputi:
1) Usaha Pengimpor, Pengumpulan/Penampungan dan Pengedar Daging serta Hasil
Olahannya.
a. Lokasi yang meliputi posisi Usaha Pengimpor, penngumpulan/penampungan dan
pengedar daging serta hasil olahannya tersebut, khususnya dengan keadaan sekitar
seperti jaraknya dengan sumber pencemaran (bau busuk, debu, asap) dan sumber
pencemaran lain.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 70


b. Bangunan dan fasilitasnya yang meliputi ruangan-ruangan berurutan sesuai
tahapan kegiatan dengan konstruksi berupa dinding bagian dalam, lantai, langit-
langit, pintu, jendela, ventilasi, dan penerangan serta air yang tersedia sedemikian
rupa sehingga dapat mencegah terjadinnya kontaminasi silang.
c. Fasilitas yang ada harus dapat menjamin dan memudahkan pengawasan kesehatan
daging beserta pelaksanaan pemeriksaannya termasuk fasilitas sanitasi yang
berupa air (dingin, panas), sistem saluran pembuangan, ruang ganti pakaian/toilet,
fasilitas cuci tangan di ruangan dan fasilitas pembersih/desinfeksi.
d. Karyawan dan kesehatannya termasuk keharusan adannya dokter hewan sebagai
penanggung jawab teknis dan tenaga teknis lainnya.
e. Proses penanganan daging dan hasil olahannya harus diawasi oleh penanggung
jawab teknis dan seluruh tahap penanganan daging dilakukan dalam kondisi yang
baik dan metode yang benar untuk mencegah kemungkinan kontaminasi/tumbuh
kembangnya mikroorganisme patogen/pembusuk.

2) Ruang/Sarana Penyimpanan dan Hasil Olahannya.


a. Ruangan/sarana penyimpanan daging/hasil olahannya harus berupa ruangan
khusus penyimpanan daging dan hasil olahnnya dan tidak digunakan untuk
keperluan penyimpanan barang/komoditi lain.
b. Dinding bagian dalam dari ruangan penyimpanan daging harus terbuat dari bahan
anti karat, berlantai tidak licin, bersudut pertemuan antara dinding melengkung
sehingga mudah dibersihkan dan dilengkapi lampu penerangan yang cukup.
c. Ruangan/sarana penyimpanan daging/hasil olahannya mempunyai langit-langit
yang bagian-bagiannya tidak mudah lepas.
d. Ruangan/sarana penyimpanan daging / hasil olahannya dilengkapi dengan pintu
pengaman dari bahan yang tidak mudah berkarat serta pengontrolan /pengatur
suhu.
e. Tata cara penyimpanan daging/hasil olahannya harus di atur sedemikian rupa
sehingga daging/hasil olahannya yang disimpan terlebih dahulu akan dengan
mudah untuk dikeluarkan lagi.
f. Pembungkusan dan wadah produk akhir harus memenuhi persyaratan sebagai
wadah/pembungkus makanan (food grade) dan ditangani secara higienis.
g. Ruangan-ruangan lain dalam kompleks, yang meliputi ruang administrasi, ruang
penyimpanan alat, ruang, istirahat, locker, kantin dan ruangan lain.
h. Alat pengangkutan produk akhir yang meliputi jenis angkutan, fasilitas yang ada
pada alat angkut, kapasitas dan kondisinya
i. Langkah-langkah pemeliharaan / perawatan, khususnya program pembersihan /
desinfeksi, pengontrolan suhu/temperatur ruangan penanganan maupun ruangan
penyimpanan daging/ produk akhir dan penyimpanan bahan berbahaya.

3) Alat/kendaraan Pengangkut Daging dan Hasil Olahanya


a. Kendaraan pengangkutan daging dan atau hasil olahannya harus berupa
kendaraan khusus pengankut daging dan tidak digunakan untuk keperluan lain.
b. Ruang bagian dalam angkutan daging harus dibuat dari bahan anti karat, berlantai
tidak licin, bersudut pertemuan antar dinding melengkung sehingga mudah

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 71


dibersihkan dan dilengkapi lampu penerang yang cukup, mempunyai pintu yang
selalu tertutup selama perjalanan.
c. Kendaraan angkutan daging harus mempunyai fasilitas sedemikian rupa sehingga
daging dan atau hasil olahannya tidak kontak dengan lantai (tidak diletakkan
langsung dilantai kendaraan angkutan).
d. Untuk dapat mempertahankan suhu daging selama pengangkutan, kendaraan
angkutan daging yang mengangkut daging lebih dari 2 (dua) jam harus dilengkapi
dengan alat pendingin dengan suhu setinggi-tingginya 100C dan untuk
pengangkutan daging/hasil olahannya dalam keadaan beku bersuhu antara minus
180C sampai dengan minus 220C.

4) Bahan Makanan Asal Hewan (Daging dan Hasil Olahannya)


Untuk mencegah kemungkinan masuknya/menjalarnya penyakit hewan menular ke
wilayah/antar wilayah Republik Indonesia yang dapat ditularkan melalui daging/hasil
olahannya dan menjamin ketentraman batin masyarakat dalam mengkonsumsi
daging/hasil olahannya, maka:

a. Daging/hasil olahannya yang berasal dari luar negeri:


a) Setiap pemasukan daging/hasil olahannya harus disertai Surat Keterangan
Kesehatan (Health Certificate) yang dikeluarkan oleh dokter hewan
pemerintah yang berwenang.
b) Disertai dengan sertifikat halal, yang menyatakan bahwa daging tersebut
berasal dari ternak yang pemotongannya dilakukan menurut syariat islam.
c) Harus dikemas dengan baik sehingga tidak terjadi pencemaran.
d) Dalam pengangkutan dan tempat penyimpanan daging babi dengan hewan
lainnya harus terpisah.
b. Daging/hasil olahannya yang berasal dari dalam negeri/luar daerah:
a) Harus disertai Surat Keterangan Kesehatan dan Asal Daging (Certificate Of
Health And Origin) yang dikeluarkan oleh dokter hewan yang berwewenang
pada Dinas Peternakan daerah pengirim.
b) Khusus daging yang berasal dari propinsi lain, selain kelengkapan dokumen
diatas, harus disertai Surat Izin Pengeluaran Bahan Makanan Asal Hewan
(daging/olahannya) dari Direktur Jendral Peternakan.
c) Harus dikemas dengan baik sehingga tidak terjadi pencemaran.
d) Dalam pengangkutan dan tempat/penyimpanan daging babi harus terpisah
dengan daging hewan lainnya.

3. Cara Penulisan Nomor Kontrol Veteriner (NKV)

1) Pada prinsipnya Nomor Kontrol Veteriner terdiri dari urutan 3 (tiga) jenis huruf/
angka yang menunjukkan jenis dan lokasi usaha pengimpor,
pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya serta nomor
urut pemberian NKV:
a. Jenis usaha yang dinyatakan dengan huruf, yaitu: I (import), D (distributor), P
(pengenceran) atau gabungan diantaranya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 72


b. Lokasi usaha pengimpor, pengumpul/ penampung dan pengedar daging serta
hasil olahanya dinyatakan dengan angka yang menunjukkan propinsi,
kabupaten/kotamadya dan kecamatan (sesuai standar BPS).
c. Nomor urut pemberian NKV yang dinyatakan dengan angka.

2) Berdasarkan permohonan dari pengelola usaha pengimpor,


pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahanya atau pihak
swasta lainnya serta dari hasil peninjauan dan evaluasi Direktorat Jendral
Peternakan, maka akan dikeluarkan Nomor Kontrol Veteriner, yaitu Sertifikat
Pemberian Nomor Kontrol Veteriner.

3) Sesuai dengan peraturan perudang-undangan tentang kesehatan masyarakat


veteriner dan penanganan daging/daging unggas, maka NKV yang telah
diberikan, harus dicantumkan pada label pembungkus dan kemasan
daging/bagian-bagian daging/daging unggas (parting) dan hasil olahannya sebagai
hasil produksi usaha pengimpor pengumpul/penampung dan pengedar daging
serta hasil olahannya.

V. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

1. Pembinaan
Pembinaan mempunyai tujuan meningkatkan, mengarahkan dan menkoordinasi
kegiatan usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil
olahanya dengan sasaran untuk mewujudkan agar pengelola dan pelaksanaan
kegiatan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Pembinaan dilaksanakan
oleh instansi teknis baik ditingkat daerah maupun Pusat bekerjasama dengan pihak
lain yang terkait.

2. Pengawasan
Pengawasan mempunyai tujuan untuk meningkatkan pelaksanaan
penerapan/pemberian NKV dengan lebih konsisten, memberikan umpan balik
dalam penyempurnaan sistem pemberian NKV, menciptakan iklim standarisasi
usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahanya
dengan pemberian NKV yang sehat dan benar, mempermudah pendeteksian
timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan usaha tersebut serta
melindungi konsumen dari jasa penanganan dan peredaran daging / hasil olahannya
yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan maupun yang kualitasnya
rendah.

Maksud dari pengawasan adalah untuk menjamin bahwa pemberian dan penerapan
NKV tetap memenuhi ketentuan yang berlaku dengan penuh tanggung jawab.
Obyek yang diawasi adalah segala fasilitas dan kegiatan yang berkaitan dengan
pemberian NKV sesuai dengan janji pedoman dan peraturan perundangan yang
berlaku.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 73


3. Sanksi
Sanksi yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dikenal kepada
pengelola usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta
hasil olahanya yang telah melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam
pengelolaan usaha dan penerapan NKV sesuai dengan ketagori penyimpangan yang
tertuang dalam ketentuan yang berlaku.

Sanksi dalam pengelolaan usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar


daging serta hasil olahanya yang dikategorikan dalam 2 (dua) jenis yaitu:
1) Sanksi pidana, yaitu sanksi yang dikenakan terhadap mereka yang telah
melakukan tindakan pidana atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam pasal 5, 6, 7, 9, 21, dan 25 Undang-Undang NO. 16 Tahun
1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, Tumbuhan.
2) Sanksi pidana, yaitu sanksi yang dikenal terhadap mereka yang telah melakukan
tindakan pidana atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam pasal 4 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner, yaitu mengenai larangan mengedarkan daging
yang tidak berasal dari RPH dan pasal 4 ayat (5) mengenai larangan menjual
daging yang tidak sehat.
3) Sanksi administrasi, yaitu sanksi yang dikenakan dalam bidang administratif
terhadap pengelola usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar
daging serta hasil olahanya perubahan pencabutan persetujuan impor/izin
pengumpul/penampung dan pengedar daging dan peninjauan kembali sertifikat
pemberian NKV yang telah diberikan.

VI. PENUTUP
Diharapkan melalui sistem pemberian/penerapan Nomor Kontrol Veteriner (NKV),
yang merupakan dasar dan pedoman kegiatan pengelolaan usaha pengimpor, pengumpul /
penampung dan pengedar daging serta hasil olahanya keterpaduan derap langkah dalam
standarisasi usaha tersebut dan penanganan daging untuk penyediaan daging yang aman,
sehat, utuh murni dan halal dapat lebih ditingkatkan.

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 74


DEPARTEMEN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN
Jl Salemba Raya No.16
Kotak Pos 1402 Telp. (021)331859, 334948, 3149287
Jakarta 10014 Fax. (021) 3143937

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDRAL PETERNAKAN


NOMOR : 143/TN.520/KPT/DJP/Deptan/1996

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAWASAN KESEHATAN


MASYARAKAT VETERINER

DIREKTUR JENDRAL PETERNAKAN

Menimbang :
a. Bahwa dalam melindungi masyarakat dari bahaya yang dapat mengganggu
kesehatan dan menjamin ketentraman batinnya akibat menggunakan bahan
makanan asal hewan, serta melindungi peternak dari kerugian sebagai akibat
penurunan nilai/kualitas bahan makanan asal hewan yang diproduksi, maka
setiap usaha yang bergerak dan berhubungan dengan bahan tersebut harus
memenuhi syarat kesehatan masyarakat veteriner;
b. Bahwa dalam pelaksanaannya diperlukan adannya pengawasan terhadap
usaha-usaha tersebut agar syarat-syarat yang ditetapkan ditaati;
c. Bahwa untuk melaksanakan pengawasan dimaksud dipandang perlu
menetapkan petunjuk pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat
veteriner.

Mengingat :
1. Undang-Undang No. 6 Tahun 1967;
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974;
3. Peratuaran Pemerintah No. 15 Tahun 1977;
4. Peratuaran Pemerintah No. 22 Tahun 1983;
5. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/Kpts/Um/10/1982;
6. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 555/Kpts/Tn.240/9/1986;
7. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 557/Kpts/Tn.520/9/1987;
8. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 295/Kpts/Tn.240/5/1989;
9. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 413/Kpts/Tn.310/7/1992;
10. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 745/Kpts/Tn.240/12/1992;
11. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 306/Kpts/Tn.330/4/1994;
12. Surat Keputusan Direktur Jendral Peternakan No. 17/Kpts/DJP/Deptan/83;
13. Surat Keputusan Direktur Jendral Peternakan No. 77 /TN.120/ Kpts/ DJP/
deptan/1993.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 75


MEMUTUSKAN

Menetapkan :

Pertama :Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Kesehatan Masyarakat Vetriner terhadap


kegiatan pemotongan hewan, perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan
babi, pengawetan bahan makanan asal hewan beserta produknya (daging, susu,
telur, bahan makanan asal hewan yang diawetkan) dan bahan asal sebagaimana
tersebut pada Lampiran Keputusan ini;

Kedua : Dalam melaksanakan pengawasan dimaksud, Pengawasan Kesehatan Masyarat


Veteriner mengikuti petunjuk pelaksanaan pengawasan sebagai dimaksud
AMAR PERTAMA;

Ketiga : Dalam melaksanakan pengawasan dimaksud, Pengawasan Kesehatan


Masyarakat Veteriner bertanggung jawab secara teknis kepada Direktur
Jendral Peternakan.

Keempat: Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal di tetapkan dengan ketentuan
bahwa apabila di kemudian hari terdapat kekurangan dalam penetapan ini
akan diadakan perbaikan.

Tembusan disampaikan kepada Yth:


1. Sdr. Sekertaris Jendral Departemen Pertanian;
2. Sdr. Direktur Jendral Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam
Negeri;
3. Sdr. Direktur Jendral Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri;
4. Sdr. Para Gubernur/KDH Tingkat I Seluruh Indonesia;
5. Sdr. Para Kepala Kantor Wilayah Depertemen Pertanian Propinsi Dati I diseluruh
Indonesia;
6. Sdr. Para Kepala Dinas Peternakan Propinsi Dati I di seluruh Indonesia;
7. Sdr. Para Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kotamadya Dati II di seluruh
Indonesia;

DITETAPKAN DI : J A K A R T A
PADA TANGGAL : 26 FEBRUARI 1995

DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN

Dr Drh S O E H A D J I
Nip : 080.013.186

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 76


LAMPIRAN : SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDRAL PETERNAKAN
NOMOR : 143/TN.520/KPTS/DJP/DEPTAN/1996
TANGGAL : 26 Februari 1996
TENTANG : PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAWASAN KESEHATAN
MASYARAKAT VETERINER

I. PENDAHULUAN
Peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan pengawasan kesehatan
masyarakat veteriner termasuk didalamnya pengawasan tentang usaha pemotongan
hewan dan penanganan daging serta hasil ikutannya dan pengawasan kualitas susu
produksi dalam negeri telah ditetapkan dalam beberapa ketentuan yaitu Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri Pertanian, Surat Keputusan Bersama
Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian dan Menteri Pertanian serta
Surat Keputusan Direktur Jendral Peternakan.
Pelaksanaan pengaturan di bidang pengamanan hasil peternakan dan tata cara
pengawasannya merupakan suatu upaya atau kegiatan yang harus dilaksanakan secara
berkesinambungan dan terpadu mengingat saat ini perkembangan penyediaan,
pengolahan/pemrosesan, penyimpanan, peredaran dan pemanfaatan bahan makanan asal
hewan dan hasil olahannya semakin meningkat dan beraneka ragam sering dengan makin
meningkatnya populasi, produksi dan konsumsi hasil ternak.
Tujuan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner antara lain untuk menjaga mutu
atau kualitas bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya, membina dan menerbitkan
usaha penyediaan bahan makanan asal hewan dan mencegah terjadinya penyimpangan,
pemalsuan terhadap bahan makanan asal hewan.
Dalam kaitan tersebut agar pelaksanaan pengawasan dapat dilakukan secara efektif
dan efisien, maka diperlukan adannya kesamaan persepsi tentang tata cara dan tindak
pengawasan. Untuk itu dianggap perlu adannya Petunjuk Pelaksanaan yang dapat
dijadikan pedoman dan pegangan bagi pengawas kesehatan masyarakat veteriner dan
semua unsur yang terlibat dalam kegiatan pengawasan mulai dari tingkat pusat sampai ke
daerah.

II. TUJUAN PENGAWASAN


Tujuan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner adalah:
1. untuk mencegah terjadinya berbagai penyimpangan yang menyangkut
keamanan dan mutu bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya.
2. agar bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya yang beredar dalam
masyarakat layak untuk dikonsumsi dalam pengertian bahan tersebut aman,
sehat, murni/utuh dan halal.
3. untuk menerbitkan usaha yang berkaitan dengan pengadaan bahan makanan asal
hewan dan hasil olahannya, baik itu sebagai pengelola rumah pemotongan
hewan/unggas, produsen/pengolah bahan makanan asal hewan dan hasil
ikutannya, importir, distributor maupun bahan makanan asal hewan dan hasil
olahannya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 77


4. untuk mencegah terjadinnya penyalahgunaan hak, baik dalam hal penyediaan,
pengolahan/pemrosesan, penyimpanan dan pengangkutan maupun dalam hal
peredaran bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya.
5. dalam rangaka pembinaan dan bimbingan usaha yang berkaitan dengan
penyediaan bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya.

III. KETENTUAN-KETENTUAN PENGAWASAN MASYARAKAT VETERINER

1. Dasar Hukum
Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner dilandasi dengan dasar hukum yang
kuat karena mulai dari Ordonasio atau Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sampai
kepada peraturan pelakasanaanya sudah ada. Dengan demikian segala tidakan yang
menyangkut pengawasan kesehatan masyarakat veteriner dapat dibenarkan dan
mendapat perlindungan hukum yang mantap dan bertanggung jawab.
Sebagai landasan pokok yang mengatur pelaksanaan pengawasan masyarakat
veteriner sudah ada yaitu Ordonasio 1912 No.432 dan No.435 yang dikenal dengan
pengaturan tentang campur tangan pemerintah dalam bidang kehewanan beserta
perubahan-perubahannya, antara lain Staatblad 1936 No. 714 dan No. 715 dan
Staatblad No. 1937 No. 512 yang secara khusus mengatur tentang campur tangan
pemerintah dibidang kehewanan termasuk urusan “Veteriner Hygine”. Selanjutnya
Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok peternakan dan kesehatan
hewan yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1967.
Pasal-pasal yang memperinci dan mengatur tata cara pelaksanaan pengawasan/
pemeriksaan yang termuat dalam landasan pokok dan landasan pelengkap dapat
diutarakan sebagai berikut:

1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1967

Pasal 19 ayat 2 yang berbunyi :


Urusan-urusan kesehatan masyarakat veteriner meliputi antara lain urusan-urusan
kesehatan bahan makanan yang berasal dari hewan, dan urusan-urusan penyakit
penyakit hewan yang termasuk anthropozoonosa.

Pasal 21 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :


Untuk kepentingan permeliharaan kesehatan manusia dan ketentraman bathin
masyarakat, sebagaimana termaksud pada Pasal 19 ayat 2, maka dengan Peraturan
Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang:

Ayat 1
a. Pengawasan pemotongan hewan;
b. Pengawasan perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi;
c. Pengawasan dan pengujian daging, susu dan telur;
d. Pengawasan pengolahan bahan makanan yang berasal dari hewan;
e. Pengawasan dan pengujian bahan makanan yang berasal dari hewan yang diolah;

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 78


f. Pengawasan terhadap "bahan-bahan hayati" yang ada sangkut pautnya dengan
hewan, bahan-bahan pengawetan makanan dan lain-lain.

Ayat 2
a. Pernberantasan rabies pada anjing, kucing dan kera dan lain-lain anthropozoonosa
yang penting;
b. Pengawasan terhadap bahan-bahan dari hewan yaitu: kulit, bulu, tulang, kuku,
tanduk dan lain-lain;
c. Dalam pengendalian anthropozoonosis diadakan kerjasama yang baik antara
instansi-instansi yang langsung atau tidak langsung berkepentingan dengan
kesehatan umum.

2) Peraturan Pernerintah No. 22 Tahun 1983

Pasal 2 ayat 1, 4 dan 5 yang berbunyi:


Setiap hewan potong yang akan dipotong harus sehat dan telah diperiksa
kesehatannya oleh petugas perneriksa yang berwenang.

Pernotongan hewan potong harus dilaksanakan di rumah pemotongan hewan


atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang
berwenang.

Pemotongan hewan potong untuk keperluan keluarga, upacara adat dan


keagamaan serta penyembelihan hewan potong secara darurat dapat
dilaksanakan menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud diatas, dengan
mendapat izin terlebih dahulu dari Bupati/Walikotamadya Kapala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuknya.

Syarat-syarat rumah pemotongan hewan, pekerja, pelaksana pemotongan cara


perneriksaan kesehatan dan pemotongan harus memenuhi ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan o!eh Menteri.

Pasal 3 ayat 1 huruf a, b dan c yang berbunyi :

a. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Propinsi dan
ekspor harus memperoleh surat izin usaha pemotongan hewan dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuknya.
b. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan atar
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam suatu Daerah Tingkat I harus
memperoleh surat izin pemotongan hewan dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I yang bersangkutan.
c. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II harus memperoleh surat izin usaha
pemotongan hewan dari Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat yang
bersangkutan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 79


Pasal 4 ayat 1, 2, 3, 4 dan 5 yang berbunyi :

Daging hewan yang telah selesai dipotong harus segera diperiksa kesehatan oleh
petugas pemeriksa yang berwenang.

Daging yang lulus dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud, baru dapat diedarkan
setelah terlebih dahulu dibubuhi cap atau setempel oleh petugas pemeriksa yang
berwenang.

Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dan cara penanganan serta syarat


kelayakan tempat penjualan daging diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan daging yang tidak berasal dari rumah
pemotongan hewan kecuali daging yang berasal dari pemotongan untuk keperluan
keluarga, upacara adat, keagamaan dan penyembelihan darurat.

Setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat.
Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 yang berbunyi :
Setiap perusahaan susu harus memenuhi persyaratan tentang kesehatan sapi perah.
perkandangan, kesehatan lingkungan, kamar susu, tempat penampungan susu dan
alat-alat serta keadaan air yang dipergunakan dalam kaitannya dengan produksi susu.

Persyaratan usaha peternakan susu rakyat diatur tersendiri oleh Menteri.

Tenaga kerja yang menangani produksi susu, harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. berbadan sehat
b. berpakaian bersih
c. diperiksa kesehatannya secara berkala oleh Dinas Kesehatan setempat
d. tidak berbuat hal-hal yang dapat mencemarkan susu
e. syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri

Pasal 6 yang berbunyi:


Pemerahan dan penanganan susu harus:
a. dilakukan secara hygienis
b. mengikuti cara-cara pemerahan yang baik
c. memenuhi syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri

Pasal 7 ayat 1, 2 dan 3 yang berbunyi :


Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan susu yang tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.

Setiap orang atau badan yang mengedarkan susu harus mengikuti cara penanganan,
penyimpanan, pengangkutan dan penjualan susu yang ditetapkan oleh Menteri.

Menteri menetapkan syarat kelayakan tempat usaha dan tempat penjualan susu.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 80


Pasal 8 yang berbunyi:
Setiap usaha peternakan babi harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan
masyarakat veteriner dari ternak babi, syarat-syarat kesehatan lingkungan dan
perkandanganilya ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 9 yang berbunyi:

Setiap usaha peternakan unggas harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan


masyarakat veteriner dari ternak uanggas, syarat-syarat kesehatan lingkungan dan
perkandangan yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.

Pasal 10 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :


Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan telur yang tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.

Setiap orang atau badan yang mengeluarkan telur harus mengikuti cara penyimpanan
dan pengangkutan telur yang ditetapkan oleh Menteri

Pasal 11 yang berbunyi :


Setiap usaha atau kegiatan pengawetan bahan makanan asal hewan dan hasil usaha
kegiatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner yang
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 12 yang berbunyi.


Menteri menetapkan batas maksimum kandungan residu bahan hayati antibiotika dan
obat lainnya dalam bahan makanan asal hewan.

Pasal 13 yang berbunyi


Setiap usaha pengumpulan, penampungan, penyimpanan dan pengawetan bahan asal
hewan harus memenuhi ketentuan-ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 14 ayat 1 dan 3 yang berbunyi :


pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner atas pemotongan hewan,
perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi, daging susu dan telur,
pengawetan bahan makanan asal hewan, bahan makanan asal hewan yang diawetkan
dan bahan asal hewan dilakukan oleh Bupati/Walikotamadaya Kepala Daerah Tingkat
II, kecuali usaha pemotongan hewan untuk keperluan ekspordan antar Propinsi Dati I.

Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner yang menyangkut bidang teknis higiene


dan sanitasi dilakukan oleh Dokter Hewan Pernerintah.

Dokter Hewan Pemerintah Pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner dimaksud


ditunjuk oleh Menteri.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 81


2. Ketentuan Operasional
Adapun peraturan pelaksanaannya yang menyangkut masalah pegawasan kesehatan
masyarakat veteriner tersebut baik, berupa Surat Keputusan Menteri Pertanian maupun
Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan adalah sebagai berikut :

1) Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 555/Kpts/TN.240/9/1986 tertanggal 9


September 1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan hewan dan Usaha
Pemotongan Hewan.

Dalam Surat Keputusan ini diatur mengenai syarat-syarat rumah pemotongan


hewan, usaha pemotongan hewan dan pelaporan kegiatan pemotongan hewan
yang dilakukan.

2) Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 557/Kpts/TN.240/1987 tertanggal


tentang Syarat-syarat Pemotongan Unggas dan Usaha Pernotongan Unggas.

Dalam Surat Keputusan ini diatur mengenai syarat-syarat rumah pemotongan


unggas, usaha pemotongan unggas dan pelaporan kegiatan pemotongan unggas
yang dilakukan.

3) Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 295/Kpts/TN.240/5/1989 tertanggal 5


Mei 1989 tentang Pemotongan Babi dan Penanganan Daging Babi dan Hasil
Ikutannya.

Dalam Surat Keputusan ini diatur syarat pemotongan babi, pemeriksaan ante
mortem dan post mortem, cara penyembelihan babi, cara penanganan daging
babi dan hasil ikutannya, syarat-syarat pengangkutan daging babi, tempat
penjualan daging babi serta kesehatan karyawan dan lingkungan.

4) Surat Keputusan Menteri Pertanian No.413/Kpts/TN.310/7/1992 tertanggal 25


Juli 1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta
Hasil Ikutannya.

Dalam Surat Keputusan ini diatur mengenai syarat dan tata cara pemotongan
hewan potong, tata cara penanganan daging serta penanganan hasil ikutan dan
limbah. Disamping itu diatur pula perlakuan yang harus dikenakan terhadap
daging apabila menderita penyakit-penyakit tertentu serta tulisan tanda/stempel
daging hewan potong.

5) Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 306/Kpts/TN.330/4/94 tertanggal 27


April 1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta
Hasil Ikutannya.

Dalam Surat Keputusan ini diatur mengenai syarat dan tata cara pemotongan
unggas, tata cara penanganan daging unggas serta Penanganan hasil ikutan
limbahnya. Disamping itu diatur pula perlakuan yang harus dikenakan terhadap

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 82


daging unggas apabila menderita penyakit-penyakit tertentu serta pemberian
label pada kemasan daging unggas sebagai hasil pemeriksaan post mortem.

6) Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No. 17/Kpts/DJP/Deptan


tertanggal 19 Januari 1983 tentang Syarat-syarat, Tata Cara Pengawasan dan
Pemeriksaan Kualitas Susu Produksi Dalam Negeri.

Dalam Suat Keputusan ini diatur mengenai syarat-syarat kesehatan sapi perah
dan kualitas susu yang diproduksikan, tata cara pengawasan dan pengujian
kualitas susu serta hasil pemeriksaan dan pengujian kualitas susu.

7) Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No.77 / TN.120 /Kpts/DJ P /


Deptan / 1993 tertanggal 26 Pebruari 1993 tentang Pedoman Teknis Perusahaan
Peternakan beserta penambahan lampirannya, yang tertuang dalarn SK. Direktur
Jenderal Peternakan No. 92/TN.120/Kpts/DJP/Deptan/1994 tanggal 21 Pebruari
1994.

8) Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No. 254/TN.520/Kpts/DJ


P/Deptan/1995 tertanggal 29 Juni 1995 tentang Pedoman Pemberian Nomor
Kontrol Veterin (NKV) Rumah Pemotongan Hewan/Unggas dan Tempat
Pemrosesan Daging.

IV. OPERASIONALISASI PENGAWASAN

1. Syarat-syarat Pengawasan Kesmavet

Syarat pengawas Kesmavet dinyatakan sebagai berikut:


1) Pengawas kesehatan masyarakat veteriner dilakukan oleh Pengawas Kesmavet
yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Pertanian. Usulan Pengangkatan
dan pemberhentian pengawas kesmavet diajukan oleh Kepala Dinas Peternakan
Daerah Propinsi Tingkat I melalui Direktur Jenderal Peternakan
2) Syarat Pengawas Kesmavet yaitu harus beriijazah dokter yang telah mengikuti
pendidikan dan pelatihan kesehatan masyarakat veteriner.
3) Penempatan dan penetapan wilayah kerja Pengawas Kesmavet ditetapkan dengan
Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan. Dalam melaksanakan tugasnya
Pengawas Kesmavet harus Mengenakan kartu tanda pengenal yang diterbitkan
oleh Direktorat Jenderal Peternakan.

2. Tugas dan Wewenang Pengawas Kesmavet

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983, Pengawas Kesmavet


mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap setiap usaha yang bergerak dan
berhubungan dengan bahan makanan asal hewan atau bahan asa! hewan lainnya, agar
syarat-syarat yang telah ditetapkan ditaati yaitu :

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 83


1) Melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan persyaratan dan
perizinan usaha pemotongan hewan dan penanganan daging dan hasil ikutannya.

2) Melakukan pengawasan terhadap pemotongan hewan, perusahaan susu,


perusahaan unggas, perusahaan babi, pengawetan bahan makanan asal hewan/
produknya dan bahan asal hewan termasuk pekerja, sarana dan tempat
penyimpanannya, alat serta cara pengangkutannya.

3) Melakukan pengawasan terhadap daging, susu dan telur serta hasil olahannya
yang beredar ditempat-tempat penjualan dan tempat lainnya, termasuk bahan-
bahan hayati yang ada sangkut pautnya dengan hewan dan bahan-bahan
pengawetan makanan.

4) Mengambil contoh sampel daging, susu dan telur/olahannya dan bahan asal
hewan lainnya guna pengujian laboratorium terhadap keamanan dan
kesehatannya.

5) Melakukan pengawasan terhadap pakan, bahan hayati, obat hewan dan pestisida
yang diberikan khususnya pada ternak-ternak penghasil daging, susu dan telur.

6) Melakukan pengawasan terhadap bahan-bahan dari hewan yaitu kulit, bulu,


tulang, tanduk, dan lain-lain.

Apabila dalam pengawasan sebagaimana dimaksud diatas ditemukan


penyimpangan, Menteri atau pejabat Pengawas Kesmavet dapat memerintahkan untuk:

1) Menghentikan sementara kegiatan pemotongan hewan, produksi susu, produksi


telur, produksi babi dan pengawetan bahan, makanan asal hewan.

2) Melarang peredaran daging, susu, telur, bahan makanan asal hewan yang
diawetkan dan bahan asal hewan.

3) Menarik dari peredaran terhadap daging, susu, telur, bahan makanan asal hewan
yan diawetkan dan bahan asal hewan.

4) Menghentikan pemakaian pakan, bahan hayati, obat hewan pestisida yang tidak
sesuai dengan ketentuan.

3. Mekanisme Pengawasan Kesmavet


Tindak pengawasan merupakan kegiatan yang melibatkan beberapa istansi baik
dalam lingkup Direktorat Jenderal Peternakan maupun istansi terkait diluar Direktorat
Jenderal Peternakan. Dalam kaitan tersebut diperlukan adanya suatu
sistem yang transparan yang dapat menjadi pedoman/pegangan dalam
pelaksanaan tindak pengawasan kesmavet baik di tingkat pusat maupun tingkat
daerah.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam sistim pengawsan Kesmavet antara
lain :

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 84


1. Pengorganisasian
Untuk memperlancar kegiatan pengawasan diperlukan adannya pengorganisasian
yang mantap, dimana masing-masing disiplin mempunyai wewenang dan tugas
yang jelas sesuai dengan fungsi yang dimiliki,

Di dalam pengorganisasian kegiatan pengawasan kesmavet maka 3 (tiga) hal yang


mendapat perhatian:

a. Pengorganisasian yang menyangkut pembinaan.

DirekturJenderal Peternakan cq. Direktorat Bina Kesehatan hewan adalah


sebagai pembina tingkat nasional atau tingkat pusat selanjutnya pembinaan di
tingkat propinsi maupun di Tingkat Kabupaten/kotamadya dilakukan oleh
Dinas Peternakan Daerah Tingkat I dan II.

b. Pengorganisasian dibidang pengawasan mutu bahan makan asal hewan. Dalam


hal ini ada 2 (dua kelompok kegiatan yaitu yang menyangkut masalah
penilaian administratif dan pengujian mutu :

a) Penilaian administratiif.
Pengorganisasian mengenai penilaian mutu secara administratif ditingkat
pusat adalah Direktorat Bina Kesehatan Hewan pada tingkat propinsi
maupun tingkat Kabupaten/Kotamadya adalah Peternakan Daerah Tingkat
I dan II.

b) Pengujian mutu
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 466 / Kpts / OT.210 /
6 / 94 tertanggal 9 Juni 1994 telah ditetapkan bahwa yang berwenang
melakukan pengujian mutu bahan makanan asal hewan adalah Loka
Pengujian Mutu Produk Peternakan. Berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 110/Kpts/OT.210/2/93 tertanggal 19 Februari 1993
ditetapkan bahwa yang ditunjuk melakukan pengujian laboratoris bahan
makanan asal hewan dari cemaran mikroba dan kandungan residu bahan
hayati, kimia, logam berat. antibiotika, hormon dan obat lainnya adalah :
Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) Wilayah I Medan, BPPH
Wilayah II Bukit tinggi, BPPH Wilayah III Bandar Lampung, BPPH
Wilayah IV Yogyakarta, BPPH Wilayah V Banjar Baru, BPPH Wilayah
VI Denpasar, BPPH Wilayah V Maros dan Balai Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) Gunung sindur, Bogor.

Pengujian mutu dapat dilakukan juga di laboratorium-laboratorium


lainnya baik milik pemerintah maupun swasta apabila memenuhi
persyaratan (diakreditasi dan disertifikasi) sebagai unit laboratorium
pengujian mutu.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 85


c) Pengorganisasian di bidang pengawasan lapangan.
Dalam hal ini telah diangkat Pengawasan Kesmavet berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian dan selanjutnya penetapan wilayah kerjanya
ditetapkan oleh Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan.
Pengawasan Kesmavet tersebut bertugas mengadakan pengawasan
lapangan sesuai dengan tugas, wewenang dan wilayah kerjanya.

2. Tindakan preventif
Dalam pelaksanaan tindak pengawasan perlu dipikirkan dan diperhitungkan
kemungkinan timbulnya implikasi yang merupakan efek samping dari pada
tindakan pengawasan tersebut.

Seperti telah di singgung bahwa efek samping ini dapat terjadi juga pada
bidang!aln. Namun yang penting kemungkinan efek samping tersebut diusahakan
untuk diperkecil celah-celahnya. Untuk mencegah hal demikian perlu
dipersiapkan metode pengawasan tertentu sehingga implikasi demikian tidak
sempat dimanfaatkan oleh yang tidak bertanggung jawab. Pencegahan ini tidak
saja terhadap pelaksana pengawasan di lapangan , tetapi juga dalam pelaksanaan
pengawasan fungsi pada pengorganisasian lain.

4. Penyusunan Rencana Kerja

Di dalam pelaksanaan tindak pengawasan perlu disusun suatu rencana kerja yang
baik dengan menetapkan langkah-langkah yang akan diambil dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:

1) Setiap Pengawas Kesmanavet wajib menyusun rencana kerja tahunan yang dirinci
dalam kegiatan bulanan. Dalam kegiatan tersebut mencakup kegiatan pengawasan
terhadap seluruh usaha pemotongan hewan, perusahaan susu, perusahaan unggas,
perusahaan babi, perusahaan pengolahan dan Pengawetan bahan makanan asal
hewan dan bahan asal hewan yang ada di wilayah kerjanya.

2) Pengawas Kesmavet yang kedudukan satuan administrasi pangkalnya berada pada


Dinas Kabupaten/Kotamadya Dati II menyampaikan rencana kerja tahunan
kepada Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kotamadya Dati II, sedangkan
Pengawas Kesmavet yang kedudukan satuan administrasi pangkalnya berada pada
Dinas Peternakan Dati I menyampaikan rencana kerja tahunan kepada Kepala
Dinas Peternakan Dati I setempat.

3) Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kotamadya Dati II atau Kepala Dinas


Peternakan Dati I menyampaikan rencana kerja tahunan kesmavet kepada
Direktorat Jendral Peternakan cq. Direktorat Bina Kesehatan Hewan.

4) Rencana kerja tersebut selambat-selambatnya bulan Juli setiap tahun diterima


oleh Direktorat Jendral Peternakan cq. Direktorat Bina Kesehatan Hewan untuk

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 86


dipergunakan sebagai bahan penyusunan anggaran pembiayaan pengawasan
kesmavet.

5. Kegiatan Pengawasan Kesmavet

Kegiatan pengawasan kesmavet sehubungan dengan peternakan meliputi hal-hal


sebagai berikut:
1) Penertiban usaha
Penertiban usaha pemotongan hewan dan perusahaan yang bergerak di bidang
pengolahan bahan makanan asal hewan mulai dari tempat pemrosesan daging
(TPD), sampai kepada yang bergerak dalam Pengadaan dan peredaran yaitu
importir, distributor dan pengecer. Tindak penertiban disini menyangkut masalah
perizinan atau persyaratan lain yang harus dipenuhi termasuk sertifikat Nomor
Kontrol Veteriner (NKV) dari usaha yang ada hubungannya dengan pengamanan
bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan.

Mengenai perusahaan susu, perusahaan unggas dan perusahaan babi yang diatur
tersendiri melalui Peraturan Pernerintah No. 16 Tahun 1977 tentang Usaha
Peternakan, maka dalam pembinaan dan penerapan peraturan mengenai bidang
peternakan tersebut, kepentingan kesehatan masyarakat veteriner wajib
diperhatikan seperti kesehatan ternaknya, perkandangannya, kesehatan
lingkungan alat serta air yang digunakan kamar susu dan tempat penampungan
susunya.

2) Penertiban terhadap pengiriman, bahan makanan asal hewan.

Penertiban pengiriman bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan
termasuk penertiban terhadap perizinan impor/ekspor dan pengiriman antar
propinsi yang diberikan kepada perusahaan tertentu.

3) Penertiban terhadap penanganan, penyimpanan, pengangkutan dan pengedaran


bahan makanan asal hewan.

Penertiban ini ditujukan terhadap sarana penanganan, penyimpanan,


pengangkutan dan pengedaran bahan makanan asal hewan persyaratan khusus
sesuai dengan ketentuan yang ber!aku.

4) Pengambilan sampel/contoh bahan makanan asal hewan dan/atau bahan asal


hewan (termasuk yang telah diawetkan) serta hasil olahannya.

Pengambilan ini dilakukan apabila ada kecurigaan atau ditemukan kemungkinan


penyimpangan dari tata cara pemotongan, pemrosesan, penanganan, penyimpanan
maupun pengangkutan sesuai ketentuan yang berlaku. Sampel/contoh dikirim ke
laboratorium yang telah ditunjuk/diakreditasi guna pembuktian lebih lanjut.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 87


Pemeriksaan ditujukan terhadap kemungkinan pencemaran oleh mikroba dan
residu dan atau kemungkinan pemalsuan.

5) Pengawasan pelaksanaan (verifikasi) upaya jaminan mutu (quality assurance)


pada usaha pemotongan hewan, perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan
babi dan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan bahan makanan asal
hewan.

Dalam upaya meningkatkan pengawasan bahan makanan asal hewan, Pengawas


Kesmavet perlu memperhatikan titik-titik rawan/kritis terhadap kontaminasi pada
setiap mata rantai mulai dari pra, proses dan pasca produksi. Salah satu metoda
jaminan mutu yang menggunakan prinsip tersebut diatas dan diterapkan untuk
bahan pangan termasuk bahan makanan asal hewan dikenal sebagai metoda
analisa bahaya dengan mengendalikan titik-titik atau Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP). HACCP dilakukan mengendalikan pencemaran baik
yang bersifat fisik, kimiawi maupun mikrobiologik.

Pada prinsipnya metode HACCP mencakup tiga hal berikut: (1)


mengindentifikasi jenis-jenis pencemaran; (2) menentukan titik-titik pengendalian
dan (3) melakukan pemantauan terhadap pengendalian titik kritis. Dengan menitik
beratkan pada pengawasan faktor kunci tersebut yang mempengaruhi keamanan
dan kualitas bahan pangan asal hewan, maka diharapkan kelemahan-kelemahan
yang ditimbulkan dalam sistern pengawasan dapat dihindari dan diperkecil.

6. Tata Cara Pengawasan

Dalam pelaksanaan tindak pengawasan kesmavet perlu diperhatikan tata cara


sebagai berikut:

1) Setiap peiaksana tugas Pengawas Kesmavet yang menjalankan pekerjaan sebagai


Pengawas Kesmavet harus mendapat surat perintah dari Kepala Dinas Peternakan
Dati I dan Kepala Dinas Dati II/Kotamadya sesuai wilayah kerjanya.

2) Apabila petugas menemukan hal-hal yang men yimpang dari ketentuan-ketentuan


yang ada, maka petugas akan melakukan tindakan sebagai berikut :
a. Pengawas Kesmavet membuat teguran tertulis dua kali berturut-turut
selang waktu 1 (satu) bulan, dan memberikan laporan kepada Direktur
Jenderal Peternakan dengan tembusan Kepala Dinas Peternakan Propinsi
DatiI dan Kepala Dinas Peternakan Dati II/Kotamadya setempat;

b. Pengawas Kesmavet memberikan laporan kepada pemberi izin untuk


mengambil tindakan lebih lanjut dapat berupa mewajibkan yang
bersangkutan memenuhi ketentuan perizinan. Mencabut izin atau menutup
usaha yang bersangkutan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 88


3) Apabila Pengawas Kesmavet menemukan penyimpangan tentang syarat dan tata
cara pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging hewan potong/unggas,
serta hasil ikutannya, sarana penanganan, penyimpanan, pengangkutan dan
pengedaran bahan makanan asal hewan, maka Pengawas Kesmavet melakukan
tindakan sebagai berikut:
a. Dapat menghentikan sementara. kegiatan usaha pemotongan hewan,
penyediaan dan peredaran bahan makanan asal hewan paling lama 5 (lima)
hari;

b. Membuat laporan penyimpangan dan tindakan penghentian sementara kepada


Menteri Pertanian melalui DirekturJenderal Peternakan paling lama 2 hari
kerja dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian
setempat, Dinas Peternakan Dati I dan Dinas Peternakan Dati II/Kotamadya
setempat;

c. Apabila dalam jangka waktu 30 hari Direktur Jenderal Peternakan atas nama
Menteri Pertanian belum mengambil keputusan, maka Pengawas Kesmavet
dapat mernperpanjang penghentian sementara;

d. Berdasarkan laporan Pengawas Kesmavet, maka Direktorat Jenderal


Peternakan atas nama Menteri Pertanian paling lambat 60 hari sejak
diterimanya laporan tersebut mengambil keputusan yaitu:
a) Mencabut tindakan penghentian sementara yang telah dilakukan Pengawas
Kesmavet dan menyatakan kegiatan pemotongan hewan, penanganan,
penyimpanan, pengangkutan dan peredaran bahan makanan asal hewan
yang dilaporkan dapat dilanjutkan atau;
b) Menghentikan pemotongan hewan, penanganan, penyimpanan,
pengangkutan dan peredaran bahan makanan asal hewan serta melarang
dan memerintahkan penaarikan peredaran bahan makana asal hewan dari
pasaran;
c) Keputusan DirekturJenderal Petemakan atas nama Menteri Pertanian pada
butir (a) disampaikan kepada yang bersangkutan dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Peternakan Propinsi Dati I, Kepala Dinas Peternakan Dati
II/Kotamadya setempat;
d) Keputusan DirekturJenderal Petemakan atas nama Menteri Pertanian pada
butir (b) disampaikan kepada yang bersangkutan dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Peternakan Propinsi Dati I, Kepala Dinas Peternakan Dati
II/Kotamadya setempat.

V. SASARAN PENGAWASAN
Secara umum yang menjadi sasaran pengawasan adalah sernua jenis kegiatan yang
menyangkut pengawasan keamaanan dan pengendalian mutu bahan makanan asal hewan
dan aspek-aspeknya. Sesuai dengan ketentuan perundangan yang ada yang menjadi
sasaran pengawasan adalah kegiatan pemotongan hewan, perusahaan susu perusahaan
unggas, perusahaan babi, perusahaan pengawetan bahan makanan asal hewan kegiatan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 89


lainnya yang menyangkut penyimpanan, pengangkutan dan pengedaran bahan makanan
asal hewan.

Sasaran pengawasan yang menyangkut kegiatan pengadaan bahan makanan hewan


baik untuk dalam negeri maupun luar negeri adalah Rumah Pemotongan Hewan Unggas
(PPH/RPU) dan atau distributor maupun eksportir/Importir itu sendiri, industri
pengolahan susu (IPS) dan perusahaan/koperasi susu. Sedangkan untuk kegiatan
penanganan, penyimpanan, pengangkutan dan peredaran terutama ditujukan kepada.
tempat pemrosesan daging (TPD), distributor dan para pengecer (depo).

Pada kegiatan pengawasan cemaran mikroba dan kandungan residu yang menjadi
sasaran pengawasan disamping yang telah disebutkan diatas termasuk juga dalam sasaran
pengawasan adalah perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi serta hotel-
hotel, pasar swalayan dan restauran yang bahan makanan utama yang dijual/dihidangkan
mempergunakan bahan makanan asal hewan.
Di dalam melaksanakan pengawasan, maka yang menjadi sasaran pengawasan yakni :

1. Rumah Pemotongan Hewan/Unggas (RPH/RPU)

Hal-hal yang perlu ditertibkan dan diawasi antara lain :


1) Pelaksanaan ketentuan peraturan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian
555/1986 dan No. 557/1987 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan
Unggas dan Usaha Pemotongan Hewan/Unggas berdasarkan kelas RPH/RPU dan
luas peredaran daging/daging unggas yang dihasilkan.

2) Pelaksanaan kegiatan dalam usaha pemotongan hewan/unggas harus sesuai


dengan ketentuan teknis yang tercanturn dalam izin usaha pemotongan
pemotongan hewan/unggas dan sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV) yang
telah diberkan bagi RPH/RPU yang dimiliki oleh swasta atau Badan Usarja Milik
Daerah (BUMD). Bagi RPH rnilik pemerintah harus sesuai dengan ketentuan
teknis yang tercantum dalam sertifikat NKV yang telah diberikan.

3) Pengawasan kesehatan hewan/unggas dan proses produksi daging yang meliputi:


a. Pengawasan kesehatan hewan/unggas
b. Proses pemotongan dan penanganan daging
c. Proses pengangkutan
Jenis kegiatan tersebut diatas meliputi:
a) Kegiatan pemulihan kondisi dengan cara hewan diistirahatkan dahulu minimal
selama 12 jam sebelum dipotong kecuali unggas.

b) Kegiatan pemeriksaan kesehatan terhadap hewan/unggas yang akan dipotong


(pemeriksaan ante mortem) dengan cara:
i. Mengamati keadaan hewan/unggas dengan seksama;
ii. Pengujian laboratorik apabila ada kecurigaan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 90


c) Khusus untuk sapi/kerbau betina dilakukan pemeriksaan dengan cara eksplorasi
rektal untuk mengetahui bahwa sapi/kerbau betina dimaksud dalam "keadaan
bunting atau merupakan sapi/kerbau yang masih produklif (bibit) sesuai peraturan
yang berlaku.

d) Kegiatan penyembelihan:
i. Penyembelihan hewan/unggas dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan
atau tanpa pemingsanan terlebih dahulu dan apabila hewan tersebut bukan
babi, maka pemingsanannya dilakukan menurut cara yang sesuai dengan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
ii. Penyembelihan dilakukan oleh seorang Muslim menurut tata cara agama
Islam dan dilakukan menurut cara yang sesuai dengan Fatwa MUI tanggal 23
Oktober 1976 yaitu dilakukan dengan pisau yang tajam memutuskan hulqum
(tempat berjalan nafas), mari’ (tempat berjalan makanan) dan waldajain (dua
urat nadi) hewan yang akan disembelih dengan terlebih dahulu membaca
Basmallah.

Bagi unggas dilakukan menurut cara yang sesuai dengan Fatwa MUI tanggal 2
Desember 1993 mengenai Fatwa halal atas sistim pemotongan unggas.

e) Kegiatan pemeriksaan daging (post morlem)


i. Setelah hewan/unggas yang disembelih tidak menunjukkan tanda-tanda
bergerak dan darahnya berhenti mengalir, maka dilakukan penyelesaian
penyembelihan dan setelah itu dilakukan pemeriksaan kesehatan daging dan
bagiannya secara utuh oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
ii. Pengujian laboratorik apabila ada kecurigaan.
iii. Hasil keputusan dari pemeriksaan tersebut dinyatakan dengan memberikan
stempel/tanda pada daging yang bersangkutan dengan bentuk, model ukuran
dan tulisannya sebagaimana tercantum dalam SK Menteri Pertanian No.
413/1992 dengan sekaligus mencantumkan Nomor Kontrol Veteriner (NKV)
yang telah diberikan. Khusus untuk daging unggas diberi label yang
mencantumkan NKV pada kemasannya sesuai dengan petunjuk dalam SK
Menteri Pertanian No. 306/1994.
iv. Kegiatan pelayuan daging (kecuali daging unggas)
Setelah pemeriksaan kesehatannya maka dilakukan penirisan diruang
pelayuan dengan cara tetap menggantungnya selama 8 (delapan) jam sehingga
darah yang masih tertinggal akan habis dan daging yang dihasilkan akan lebih
sehat dan empuk.

v. Kegiatan pengangkutan daging


Alat pengangkutan daging harus memenuhi persyaratan teknis yang telah
dipersyaratkan. Dalam memindahkan daging ke alat pengangkut dan atau dari
alat pengangkut ke tempat penyimpanan/penampungan, maka tetap
dihindarkan adanya pencemaran, baik terhadap mikro organisme maupun
terhadap daging yang diharamkan oleh agama Islam.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 91


2. Peternakan sapi perah rakyat/perusahaan peternakan sapi perah (perusahaan
susu)
Hal-hal yang perlu ditertibkan dan diawasi antara lain:
1) Dokter Hewan atau tenaga teknis penanggung jawab yang melaksanakan terhadap
kesehatan sapi perah dan susu yang dihasilkan.

2) Pengawasan lokasi usaha dan produksi susu yang meliputi:


a. Pengawasan perkandangan dan lingkungannya;
b. Pengawasan kandang/tempat pemerahan;
c. Pengawasan peralatan penampungan susu;
d. Pengawasan cara-cara pemerahan dan kebersihan sapi-sapi tersebut saat
diperah;
e. Pengawasan kamar susu;
f. Pengawasan kesehatan dan kebersihan para karyawan perusahaan;
g. Pengawasan penggunaan air di dalam produksi;
h. Pengawasan peralatan dan botol-botol yang digunakan serta pembersihannya.

3) Pengawasan saat penyimpanan


Segera setelah susu diproduksi, maka sebelum diedarkan lebih lanjut terlebih
dahulu mengalami penyimpanan untuk beberapa saat lamanya. Waktu
penyimpanan ini dapat lebih panjang bila perusahaan susu tersebut telah memiliki
suatu "milk cooling unit". Dalam rangka pengawasan selama penyimpanan ini
diperhatikan hal-hal yang menyangkut:
a. Penyimpanan susu tanpa proses pendinginan;
b. Penyimpanan susu dengan proses pendinginan (milk cooling unit).
c. Pengawasan selama pengangkutan meliputi pengawasan kondisi alat angkut
dan temperatur selama pengangkutan;
d. Pengawasan pada saat pemasaran meliputi pengawasan penempatan susu pada
saat di perusahaan, tindak penanganan pada saat perpindahan susu ke tangan
konsumen serta temperatur penyimpanan selama menunggu pemasaran.

4) Tindakan pencegahan (vaksinasi) terhadap penyakit dan tertentu yang terdapat di


daerah bersangkutan yang sesuai dengan kriteria dan ketentuan yang berlaku
dalam bidang Kesehatan hewan. Setiap pelaksanaan vaksinasi hendaknya dicatat
dalam kartu kesehatan ternak.

5) Peredaran susu yang berasal dari sapi perah selama pengobatan antibiotika atau
hormon untuk dikonsurnsi manusia. Hendaknya susu dipergunakan kembali
setelah 7 (tujuh) hari dari saat pernberian antibiotika atau 3 (tiga) hari dari saat
pernberian hormon yang terakhir.

6) Peredaran daging yang berasaI dari sapi perah yang dipotong selama pengobatan
antibiotika atau hormon untuk konsumsi manusia, kecuali apabila ternak tersebut
dipotong setelah 7 (tujuh) hari dari saat pernberian antibiotika atau 3 (tiga) hari
dari saat pernberian hormon yang terakhir.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 92


3. Perusahaan unggas
Hal-hal yang perlu ditertibkan dan diawasi antara lain:
1) Dokter Hewan atau tenaga teknis yang bertanggung jawab terhadap pengawasan
usaha peternakan unggas terutama persyaratan kesehatan unggas, kesehatan
lingkungan dan perkandangannya.

2) Tindakan pencegahan (vaksinasi) terhadap penyakit-penyakit unggas yang sesuai


dengan kriteria dan ketentuan yang berlaku dalam bidang kesehatan hewan.
Setiap pelaksanaan vaksinasi dicatat dalam kartu kesehatan ternak.

3) Peredaran daging yang berasal dari ayam petelur/pedaging/bibit selama


pengobatan antibiotika atau hormon kecuali apabila ternak unggas tersebut
dipotong setelah 7 (tujuh) hari dari saat pemberian antibiotika atau 3 (tiga) hari
dari saat pemberian hormon yang terakhir.

4) Kesehatan telur yang beredar:


a. Harus berasal dari peternakan ayam petelur yang bebas dari beberapa penyakit
menular seperti pullorurn/salmonellosis dan lain sebagainya.
b. Cara pewadahan dan pengangkutannya dapat menjamin bahwa telur tebaik,
sehat dan aman sampai ke konsumen.

4. Perusahaan Babi
Hal-hal yang perlu ditertibkan dan diawasi antara lain:
1) Dokter Hewan atau tenaga teknis yang bertanggung jawab terhadap pengawasan
usaha peternakan babi terutama persyaratan kesehatan babi, kesehaian lingkungan
dan perkandangannya.

2) Tindakan Pencegahan (vaksinasi) terhadap penyakit-penyakit babi yang sesuai


dengan kriteria dan ketentuan yang berlaku dalam bidang kesehatan hewan.
Setiap pelaksanaan vaksinasi dicatat dalam kartu kesehatan ternak.

3) Peredaran daging yang berasal dari ternak babi selama pengobatan antibiotik atau
hormon kecuali apablila ternak babi tersebut dipotong setelah 7 (tujuh) hari saat
pernberian antibiotika atau 3 (tiga) hari dari saat pemberian hormon yang
terakhir.

5. Perusahaan yang bergerak dalam usaha pengadaan dan pemrosesan bahan


makanan asal hewan (tempat pemrosesan daging, industri pengolah susu dan
lain-lain).
Hal-hal yang ditertibkan dan diawasi antara lain:
1) Pelaksanaan kegiatan dalam usaha penyediaan dan pemrosesan bahan makan asal
hewan harus sesuai dengan ketentuan teknis yang tercanturn dalam izin usaha
pengolahan bahan makanan asal hewan dan sertifikat Nomor Kontrol Veteriner
(NKV) yang telah diberikan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 93


2) Bahan baku utama harus berasal dari daging yang memenuhi persyaratan baik
dari segi kesehatan maupun kehalalan.

3) Bahan tambahan yang diberikan berupa "shortening, stabilizer atau emulsifier”


harus berasal dari lemak nabati atau lemak hewani (selain babi) yang telah dikaji
secara kimiawi dan dijamin halal.

4) Tempat pemrosesan daging yang mengolah babi harus jelas terpisah sama sekali
dengan tempat pemrosesan daging bukan babi.

6. Eksportir/Importir dan Distributor


Hal-hal yang akan diawasi dan ditertibkan antara lain:
1) Pelaksanaan kegiatan dalam memasukkan bahan makanan asal hewan ke dalam
negeri atau mengirimkan bahan makanan asal hewan keluar negeri harus memiliki
persetujuan/izin impor/ekspor serta memenuhi tata cara karantina sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Bagi pengiriman antar propinsi harus memiliki izin
pengiriman bahan makanan asal hewan antar propinsi dari Direktur Jenderal
Peternakan.

2) Khusus mengenai pengeluaran daging hasil oiahannya untuk tujuan antar Propinsi
dan ekspor, maka dagingnya harus berasal dari RPH yang telah memenuhi
persyaratan untuk keperluan tersebut.

3) Cara dan sarana penanganan serta pengangkutan bahan makanan asal hewan harus
sesuai dengan persyaratan/ketentuan teknis yang tercanturn dalam sertifikat NKV.

4) Sanitasi dan suhu ruangan dimana bahan makanan asal hewan diletakkan atau
disimpan.

5) Pengadaan air bersih dan sumber air yang digunakan dalam melakukan
pemrosesan bahan makanan asal hewan.

7. Perusahaan dan perorangan (depot pengecer/toko daging/pasar swalayan)


Hal-hal yang diawasi dan ditertibkan antara lain:
1) Dalam peredaran saat penjualan/penjajaan daging di depo pengecer/los pasar
harus secara jelas dipisahkan sama sekali antara tempat/los penjualan daging
bukan babi dengan tempat/los daging babi serta terpisah juga dengan tempat/los
penjualan komoditi lainnya. Demikian juga dengan tempat penjualan daging di
toko daging maupun pasar swalayan berupa lemari atau "show case" maupun
ruang penyimpanan harus terpisah antara daging/hasil olahan yang berasal dari
hewan bukan babi dengan daging/hasil olahan babi.

2) Apabila menjual daging dan hasil olahannya yang berasal dari Propinsi lain, maka
harus menunjukan Surat lzin Pengeluaran/Pengiriman Daging dari Direktur
Jenderal Peternakan yang dipunyai oleh pengirim.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 94


3) Sanitasi dan suhu ruangan penyimpanan serta peralatan yang digunakan untuk
menjajakan bahan makanan asal hewan.

8. Bahan makanan hasil hewan (daging, susu, telur dan bahan makanan hewan
yang diolah dan diawetkan).
1) Pengamatan mutu bahan makanan asal hewan (secara organoleptik) dan apabila
kecurigaan dilakukan pengambilan sampel/contoh untuk pengujian di
laboratorium yang ditunjuk/diakreditasi.

2) Stempel atau label pada bahan makanan asal hewan yang mencantumkan Nomor
Kontrol Veteriner (NKV) dan hasil pemeriksaan kesmavet.

3) Bahan pembungkus/pengepakan yang digunakan untuk membungkus/mengepak


bahan makanan asal hewan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Bahan pembungkus/pengepakan harus disimpan dan digunakan dalam
keadaan bersih dan sanitasi baik;
b. Pembungkusan/pengepakan harus cukup aman untuk melindungi bahan
rnakanan asal hewan dari kontaminasi/pencemaran;
c. Bahan pembungkus/pengepakan harus non-toksik (tidak berbahaya) dan
menimbulkan deposit (bahan tertinggal) apapun pada bahan makanan
hewan.

VI. SANKSI

Para pengawas kesmavet diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan segala


sesuatu yang berhubungan dengan bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan.
Berwenang memasuki dan memeriksa halaman, bangunan, ruangan pemotongan,
pelayuan, penyimpanan, tempat dan alat penyimpanan serta peredaran bahan makanan
asal hewan dan lain-lainnya yang ada sangkut pautnya dengan penanganan bahan
makanan hewan.

Disamping itu bila dianggap perlu pengawas bahan makanan asal hewan dapat
mengambil sampel bahan makanan asal hewan yang diproduksi, disimpan, diangkut dan
diedarkan di tempat-tempat penjualan atau pasar setiap saat dan setiap contoh untuk
bahan pengujian. Mengenai pembelian bahan makanan asal hewan yang dipergunakan
sebagai sampel disediakan anggaran melalui APBN atau sumber lain.

Apabila dalam pelaksanaan di lapangan ada hal-hal yang menyimpang baik berupa
pelanggaran ataupun kejahatan, maka para pengawas memiliki wewenang untuk
melakukan teguran, peringatan sampai dengan tindak penyegelan.

Berat ringannya sanksi sangat tergantung kepada berat ringannya pelanggaran


yang diperbuat. Sanksi yang dapat diberikan kepada yang melakukan pelanggaran ringan
adalah sanksi administratif. Sedangkan apabila sifat perbuatan pelanggaran tersebut dapat
mengakibatkan kerugian dan atau membahayakan konsumen dianggap sebagai perbuatan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 95


kejahatan yang dapat diancam dengan sanksi pidana yang berlaku umum, maka
penyelesaiannya harus dilakukan oleh petugas yang berwenang.

Sanksi yang dapat diberikan kepada yangmelakukan pelanggaran adalah sebagai


berikut:

1. Sanksi Administratif

1) Teguran
Setiap pelanggaran yang ditemukan Pengawas Kesmavet harus diberikan
teguran secara tertulis dua kali berturut-turut selang 1 (satu) bulan. Apabila
teguran tertulis tersebut tidak dihiraukan maka tindakan selanjutnya dapat
dilakukan tindakan penyegelan sambil menunggu keputusan dan pemberi izin
usaha.

2) Pemanggilan
Pemanggilan penanggung jawab atau pimpinan perusahaan baik secara lisan
maupun tertulis.

Dalam melaksanakan teguran/pemanggilan Pengawas Kesmavet dapat melakukan


pembinaan melalui pendekataan yang bersifat edukatif yaitu kegiatan penyuluhan.
Kegiatan penyuluhan dapat diselenggarakan secara terpadu dengan instansi terkait
lainnya untuk lebih menyadarkan akan pentingnya usaha pengawasan bahan
makanan asal hewan agar memenuhi persyaratan kesehatan (higiene) dan
menjamin ketentraman bathin masyarakat. Apabila dalam pembinaan tersebut
masih terdapat pelanggaran peraturan yang berlaku, maka akan dikenakan sanksi
pidana.

2. Sanksi Pidana

1) Ketentuan pidana dalam Peraturan Pernerintah Sebagai penjabaran dari


Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 dalam kaitan penanganan bahan pagan
hewan asal ternak ada 2(dua) Peraturan Pemerintah (PP) yang memuat
ketentuan pidana bagi pelanggarnya yaitu PP No. 15 Tahun 1983 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner dan PP No. 15 Tahun 1977 tentang
Penolakan, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan.

a. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 Ketentuan Pidana yang diatur


dalam PP ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
a) Bagi pelanggar yang melakukan tindak pelanggaran terhadap
ketentuan pasal-pasal tertentu dalam Peraturan Pemerintah ini dipidana
dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau
denda setinggi-tingginya Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).
i. Pasal 2: Pemotongan hewan potong yang dilaksanakan di luar
Rumah Pemotongan Hewan/RPH atau Tempat Pemotongan
Hewan/TPH lainnya yang tidak ditunjuk oleh pejabat yang

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 96


berwenang (ayat 3); Memotong hewan untuk keperluan upacara
adat/keluarga/keagamaan serta pemotongan hewan secara darurat
tidak mempunyai Surat izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat lI yang bersangkutan atau pejabat yang
ditunjuknya (ayat 4); Persyaratan teknis RPH, pekerja, pelaksanaan
pemotongan, cara pemeriksaan kesehatan dan pemotongan yang
tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetap oleh Menteri
(ayat 5).

ii. Pasal 3 ayat I : Bagi setiap badan/usaha yang melaksanakan usaha


pemotongan hewan bagi kebutuhan:

i) antar propinsi dan ekspor tidak mempunyai izin dari Menteri


atau pejabat yang ditunjuknya;
ii) antar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam suatu
Daerah Tingkat I tidak mempunyai Surat izin dari Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan;
iii) lokal/wilayah Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II
tidak mempunyai Surat izin dari Bupati atau Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
iv) Pasal 4: Bagi petugas perneriksa berwenang yang tidak
memeriksa kesehatan daging segera setelah hewan dipotong
(ayat 1). Bagi setiap orang atau badan yang mengedarkan
daging yang tidak berasal dari RPH (ayat 4).
v) Pasal 5 : Bagi setiap pemeriksaan susu yang tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan (ayat 1).
vi) Pasal 13: Bagi setiap usaha penampungan dan pengawetan
bahan pangan asal hewan yang tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang
ditetapkan oleh Menteri.

b) Bagi pelanggar pasal-pasal tertentu dari PP NO.22 Tahun l983 ini


dipidana berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku dalam PP
No. 15 Tahun 1997. Pasal-pasal dimaksud secara rinci dapat
disebutkan sebagai berikut :
i. Pasal 4 ayat 5 mengedarkan daging yang tidak sehat.
ii. Pasal 7 ayat I mengedarkan susu yang tidak memenuhi persyarata.
iii. Pasal 10 ayat I : mengedarkan telur yang tidak memenuhi
persyaratan.

b. Peraturan pemerintah No. 15 Tahun 1977

Ketentuan pidana yang diatur dalam PP No. 15 Tahun 1977 yang


berkaitan dengan penanganan bahan hewani asal temak dikelompokkan
menjadi 2 (dua) bagian yaitu tlndak pidana kejahatan dan tindak pidana
pelanggaran.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 97


a) Tindak pidana kejahatan adalah barang siapa yang dengan sengaia
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana tersurat dalam pasal 4 ayat (5), pasal 7 (ayat), pasal 10
(ayat 1), PP No. 22 Tahun 1983, dalam PP No. 15 Tahun 1977 ini
dikategorikan dapat menimbulkan dan menularnya penyakit hewan
diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 2 tahun.

b) Tindak pidana pelanggaran adalah barang siapa yang karena


kealpaannya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana tersurat dalam pasal 4 (ayat 5), pasal 7 (ayat
1), pasal 10 (ayat 1) dimaksud pada butir (a) diancam pidana kurungan
selama-lamanya 6 (enam) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

2) Ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah.


Ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah tidak seragam tergantung kepada
kebutuhan/keperluan daerah masing-masing mengingat berdasarkan Staatblad
Tahun 1936 No. 714 dan No. 715 serta Tahun 1937 No. 512 urusan "veteriner
hygiene" diserahkan kepada Kotapraja/Kabupaten. Dengan adanya landasan
hukum yang ada yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 beserta peraturan
pelaksanaannya diharapkan masing-masing Pemerintah Daerah berdasarkan
dengan kewenangannya menyesuaikan dengan Undang-Undang tersebut
beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya.

VII. PELAPORAN

1. Laporan Pengawas Kesmavet

Pengawas Kesmavet wajib membuat laporan kegiatan-kegiatan


sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Pengawas Kesmavet yang satuan
administrasi pangkaInya berada pada Dinas Peternakan Dati II/Kotamadya
menyampaikan laporan kepada Dinas Peternakan Dati II, sedangkan Pengawas
Kesmavet yang Kedudukan satuan administrasinya pada Dinas Peternakan Dati I
menyampaikan laporan kepada Dinas Peternakan Dati I setempat.

2. Laporan Kepala Dinas Peternakan Dati I dan Dati II

Kepala Dinas Peternakan Dati II selanjutnya mengolah laporan Pengawas


Kesmavet yang berada diwilayahnya masing-masing, selanjutnya dikirim kepada
Dinas Peternakan Dati II. Selanjutnya Dinas Peternakan Dati I
menganalisa/mengevaluasi seluruh laporan Dati I. Hasil evaluasi laporan tersebut
diteruskan kepada Direktur Jenderal Peternakan cq. Direktur Bina Kesehatan
Hewan bersama-sama dengan Rencana Kerja Tahunan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 98


Laporan dan Rencana Kerja Tahunan tersebut selambat-lambatnya bulan Juli
setia tahunnya telah diterima oleh Direktur Jenderal Peternakan cq. Direktur
Bina Kesehata Hewan. Bentuk formulir pelaporan akan disampaikan kemudian
melalui Surat Edaran DirekturJenderal Peternakan.

VII. PENUTUP

Dengan adanya Petunjuk Pelaksanaan Kesehatan Masyarakat Veteriner ini


diharapkan kegiatan pengawasan terhadap bahan makanan asal hewan dan bahan asal
hewan dapat dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.

Jakarta, 26 Februari 1996

An. DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN


DIREKTUR BINA KESEHATAN HEWAN

Ttd

Drh SOFJAN SUDRAJAT, MS


Nip : 080.027.915

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 99


DEPARTEMEN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN
Jl Harsono RM No. 3 Gedung C
Pasar Minggu, Jakarta 12550 Telp : (021) 7815580-83
Kotak Pos 1108/JKS, Jakarta 12011 Fakx : (021) 7815581; 7815583

TENTANG

PROSEDUR BAKU IMPORTASI HEWAN DAN BAHAN ASAL HEWAN

DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN

Menimbang:
a. bahwa dalam upaya mempertahankan Indonesia dari Status Bebas Penyakit
Hewan Menular Utama diperlukan langkah-langkah kebijakan strategis melalui
pengawasan terhadap Lalu-Iintas pemasukan Hewan dan Bahan Asal Hewan dari
Luar Negeri:

b. bahwa dengan mengacu pada ketentuan Animal Health Code Office International
des Epizooties (OIE), maka dalam rangka pengawasan terhadap lalu-lintas
pemasukan Hewan dan Bahan Asal Hewan dari Luar Negeri tersebut dipandang
perlu menetapkan Prosedur Baku Importasi Hewan dan Bahan Asal Hewan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Produksi Peternakan.

Mengingat:
a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran
Negara Nomor 10, Tambahan Lembara Negara Nomor 2824);

b. Undang-undang Republik indonesia Nomor 16 Tahun 1992 tentang


Karantina Hewan, ikan dan tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3462);
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1977 tentang
Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan
(Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor Tambahan Lernbaran Negara
Nomor 3101);

d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 19 tentang


Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor
28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253);

e. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 136 Tahun 19 tentang


Kedudukan, tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan tata Kerja Departemen
Pertanian;

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 100


f. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 284/Kpts/OP/1983 tentang
Penunjukan Pejabat Penerima Wewenang Mengatur Tindakan Penolakan,
Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan;

g. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 422/Kpts/LB.720 1988


tentang Peraturan Karantina Hewan;

h. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 745/Kpts/TN.240/12/1992


tentang Persyaratan dan Pengawasan Daging dari Luar Negeri;

i. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 160/Kpts/OT210/3/2000


tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;

Memperhatikan:
international Animal Health Code -Office International des Epizooties
(OIE) Tahun 1999.

MEMUTUSKAN

Menetapkan:

PERTAMA : Menetapkan Prosedur Baku Importasi Hewan dan Bahan Asal Hewan
sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan ini.

KEDUA : Prosedur Baku Importasi Hewan dan Bahan Asal Hewan sebagaimana
dimaksud pada amar PERTAMA, merupakan pedoman bagi petugas
pelaksana dan para pelaku Importasi Hewan dan Bahan Asal Hewan
serta akan dilakukan peninjauan kembali berdasarkan ketentuan-
ketentuan Nasional, Internasional dan menurut perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal Ditetapkan

Ditetapkan : di Jakarta
Pada Tanggal : 30 Juni 2000

DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN

Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS


Nip : 080.027.915

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 101


Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.
1. Menteri Pertanian Republik Indonesia;
2. Para Pejabat Eselon I di lingkungan Departemen Pertanian;
3. Para Pejabat Eselon II Direktorat Jenderal Produksi Peternakan;
4. Para Gubernur Propinsi di seluruh Indonesia;
5. Para Kepa!a Kantor Wilayah Departemen Petanian di seluruh indonesia;
6. Para Bupati/Walikota di seluruh Indonesia;
7. Assosiasi Pengusaha Daging dan Feedloter Indonesia (APFINDO);
8. Assosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (ASPIDI);
9. Kelompok Kerja Importir Daging Unggas.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 102


LAMPIRAN I : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI
PETERNAKAN
NOMOR : 71/TN.690/Kpts/DJP/DEPTAN/2000
TANGGAL : 30 Juni 2000

PROSEDUR OPERASIONAL BAKU IMPORTASI HEWAN TERNAK

1. Kajian awal situasi penyakit hewan menular dilakukan berdasarkan laporan Office
International des Epizooties (OIE) dari setiap negara pengekspor hewan/ternak.
a. Importasi ternak ruminansia dan babi hanya dari negara yang bebas penyakit
hewan menular utama daftar A OIE (lampiran iii). Penyakit Hewan daftar B
OIE juga diperlukan sebagai bahan evaluasi Analisa resiko penyakit.
b. Importasi ternak unggas hanya dari negara yang bebas penyakit menular A
influenza.
c. Informasi tentang kesehatan farm dan lingkungan area farm di negara
pengekspor diperlukan untuk analisa resiko.
2. Kunjungan ke negara pengekspor dilakukan oleh suatu Tim Akreditasi untuk
melakukan evaluasi (penilaian) situasi penyakit hewan menular dan sistem
epidemiologi penyakit di negara pengekspor.
3. Dilakukan kesepakatan bilateral antara kedua negara dalam bentuk kerjasama
"Memorandum of Understanding" (MOU) dan/atau Protokol Persyaratan Kesehatan
Hewan.
4. Dilakukan penilaian tentang kemungkinan importasi hewan/ternak berdasar evalusi
situasi penyakit hewan menular utama dan penetapan persyaratan teknis kesehatan
hewan lainnya seperti perlakuan dan pengujian laboratorium.
5. Pengawasan Karantina didasarkan atas Certificate of Health memuat tentang
persyaratan teknis kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh dokter hewan yang
dikuasakan dan dokumen lainnya yang syah dari negara pengekspor.
6. Pengawasan penyebaran dan pemeliharaan dilakukan oleh Dinas Peternakan
setempat.

DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN

Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS


Nip : 080.027.915

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 103


LAMPIRAN II : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI
PETERNAKAN NOMOR
NOMOR : 71/TN.690/Kpts/DJP/Deptan/2000
TANGGAL: 30 Juni 2000

PROSEDUR OPERASIONAL BAKU IMPORTASI BAHAN ASAL HEWAN

1. Kajian awal situasi penyakit calon negara pengekspor bahan asal hewan dilakukan
berdasar laporan rutin Office International des Epizooties (OIE) atau Badan
Internasional yang lain.
a. Untuk ruminansia dan babi, importasi hanya dari negara yang bebas penyakit
hewan menular utama daftar A OIE (Lampiran III).
b. Untuk unggas, importasi hanya dari negara bebas pathogenic strain Avian
Influenza (Fowl plaque).
c. Informasi tentang kesehatan farm dan lingkungan juga diperlukan sebagai bahan
evaluasi.

2. Kunjungan ke negara pengekspor dilakukan oleh suatu Tim untuk melakukan


evaluasi epidemiologi penyakit di negara pengekspor.

3. Dilakukan kesepakatan bilateral antara kedua negara dalam bentuk kerjasama


"Memorandum of Understanding" (MOU) dan/atau Protokol Persyaratan Kesehatan
Hewan, berdasarkan pada keuntungan bersama.

4. Kemungkinan importasi dilaksanakan berdasarkan pada kesimpulan teknis dari


evaluasi yang dilakukan oleh Tim Direktorat Jenderal Produksi Peternakan dan
perlakuan halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

5. Pengawasan Karantina di Indonesia berdasarkan Sertifikasi Kesehatan Hewan dan


dokumen lain yang legal yang memuat tentang negara asal bahan asal hewan,
keterangan kesehatan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan berwenang dan
sertifikat halal dari Majelis Ulama negara pengekspor yang telah disetujui oleh MUI
(Lampiran V).

6. Pengawasan distribusi dilakukan oleh Dinas Peternakan setempat.

DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN

Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS


Nip : 080.027.915

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 104


LAMPIRAN III : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI
PETERNAKAN
NOMOR : 71/TN.690/Kpts/DJP/Deptan/2000
TANGGAL : 30 Juni 2000

Tabel 1. DAFTAR NEGARA-NEGARA YANG BEBAS PENYAKIT HEWAN


MENULAR UTAMA DAFTAR A OIE DAN BERPOTENS1 UNTUK
PERDAGANGANGAN BILATERAL TERNAK DAN HASIL TERNAK
DENGAN INDONESIA

NO BENUA NEGERA KETERANGAN


1 AFRIKA TIDAK ADA
2 AMERIKA BARDABOS
CANADA
CHILE KECUALI BABI
CUBA KECUALI BABI
FAKLAND ISLANDS
HAITI
ARGENTINA
URUGUAY KECUALI BABI
USA DALAM PROSES

3 ASIA SINGAPURE KECUALI BABI


4 EROPA AUSTRIA KECUALI BABI
BELGIA
CROATA
CHECHA REPUBLIC
DENMARK
FINLANDIA
PERANCIS
JERMAN
ISLANDIA
LATVIA KECUALI BABI
LITHUANIA
LUXEMBURG
MACEDONIA
MALTA KECUALI BABI
BELANDA
ROMANIA KECUALI BABI
REPUBLIC SLOVAKIA
SWEDIA KECUALI BABI
SWITZERLAND KECUALI BABI
INGGRIS
YUGOSLAVIA KECUALI BABI
5 OCENIA AUSTRALIA
NEW CALEDONIA
NEW ZEALAND
SAMOA
VANUATU
Keterangan : Daftar ini dapat berubah sesuai perubahan situas, penyakit.

DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN

Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS


Nip : 080.027.915

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 105


LAMPIRAN IV : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN
NOMOR : 7/TN.690/Kpts/DJP/Deptan/2000
TANGGAL : 30 Juni 2000

Tabel 2. DAFTAR NEGARA-NEGARA YANG SUDAH MELAKSANAKAN


KERJASAMA PERDAGANGAN BILATERAL TERNAK DAN HASIL
TERNAK DENGAN INDONESIA

NO JENIS KOMODITI NEGARA YANG SUDAH KERJASAMA


1 TERNAK :
a. Ternak Ruminansia Australia, New Zaeland, USA, Kanada

b. Kuda Australia, New Zaeland, Denmark

c. DOC USA, Belanda, Perancis, Inggris,


Jerman, Australia, Thailand, Taiwan

2 DAGING
a. Sapi Australia, New Zaeland, USA, Kanada,
Irlandia, Argentina, Jerman

b.Unggas USA, Thailand

3 BAHAN BAKU PAKAN USA, Australia, New Zaeland, Kanada,


TERNAK ASAL Italia
HEWAN

DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN

Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS


Nip : 080.027.915

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 106


LAMPIRAN V : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN
NOMOR : 71/TN.690/Kpts/DJP/Deptan/2000
TANGGAL : 30 Juni 2000

DAFTAR ORGANISASI ISLAM DI NEGARA PENGEKSPOR YANG


SERTIFIKASI HALAL TELAH DISETUJUI MAJELIS ULAMA INDONESIA
(MUI)

I. DAGING UNGGAS

1. USA:
1). Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA)
2). Islamic Food Authority.

2. AUSTRALIA:

1). The Islamic Coordinating Council of Victoria (ICCV)


2). The Australian Federation of Islamic Council (AFIC)
3). Supreme Islamic Coun&il of Halal Meat.

3. NEWZEALAND:
1). The Federation of Islamic Associations.
2). Abu Baker Islamic Organization.

4. THAILAND:
1). Sheikul Islam Office.

5. CANADA:
1). The Islamic Food and Nutrition Council

II. DAGING TERNAK RUMINANSIA


1. USA:
1). Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA)
2). Islamic Food Authority.

2. AUSTRALIA:
1). The Islamic Coordinating Council of Victoria (ICCV)
2). The Australian Federation of Islamic Council (AFIC)
3). Suprerve Islamic Council of Halal Meat.

3. NEW ZEALAND:
1). The Federation of Islamic Associations of New Zealand.
2). Abu Baker Islamic Organization.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 107


4. CANADA:
1). The Islamic Food and Nutrition'Council of America (IFANCA)

5. IRLANDIA:
1). Bray Islamic Society
2). Islamic Centre of Ireland
3). Waterford Islamic Centre Ireland

6. ARGENTINA:

1). Centro Islamico de la Republica Argentina

DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN

Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS


Nip : 080.027.915

Catatan : Daftar akan diperbaharui sesuai dengan rekomendasi MUI

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 108


DEPARTEMEN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN
Jl Harsono RM No. 3 Gedung C
Pasar Minggu, Jakarta 12550 Telp : (021) 7815580-83
Kotak Pos 1108/JKS, Jakarta 12011 Fakx : (021) 7815581; 7815583

Nomor : TN.540/196/E/06.02 Jakarta, 25 Juni 2002


Lampiran : 1(satu)
Perihal : Penghentian sementara KEPADA Yth:
Pemasukan Hewan Ruminansia
Dan Produknya dari negara 1. Kepala Badan Pengawas Obat dan
tertular BSE makanan;
2. Direktur Jenderal Kerjasama Lembaga
Industri dan Perdagangan Internasional,
Depperindag;
3. Direktur Jenderal Bea dan Cukai,
Depkeu
4. Direktur Jenderal PPM & PL, Depkes;
5. Ketua ASFINDO
6. Ketua ASPIDI
Di,
TEMPAT

SURAT EDARAN
Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No.
TN.310/28/E/01.2002 tanggal 24 Januari 2002 telah ditetapkan negara-negara yang
tertular Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) serta jenis-jenis ternak dan produk
ternak yang pemasukan dihentikan sementara.

Berkenaan dengan itu, dalam perkembangan selanjutnya dapat kami sampaikan hal-hal
berikut :
1. Berdasarkan laporang mingguan OIE tanggal 10 mei 2002, pad tanggal 2 mei 2002
telah dideteksi kasus BSE pertama kali di Polandia dan diteguhkan dengan pengujian
laboratorium yang menunjukkan reaksi positif terhadap BSE
2. Berdasarkan laporan darurat (emergency report) OIE tanggal 4 Juni 2002, dilaporkan
kasus BSE untuk pertama kalinya pada sapi di negara Israel sesuai dengan hasil
pengujian laboratorium pendahuluan tanggal 28 mei 2002 dan 29 mei 2002 di Israel
yang diteguhkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium rujukan OIE 4 Juni 2002
Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan dalam rangka melindungi sumberdaya hayati
nasional serta mencegah masuknya penyakit BSE ke Indonesia, derogan ini dinyatakan
bahwa disamping negara-negara seperti yang telah ditetapkan dalarn Surat Edaran
Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No. TN.310/28/E/01.2002, pemasukain
hewan ruminansia dan produknya dari Polandia dan Israel ke Indonesia dihentikan
sementara pemasukannya sebagaimana tercantum pada lampiran Surat Edaran Ini.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 109


Pernyatan terhadap penghentian sementara pemasukan hewan ruminainsia dan produknya
dari negara yang terjangkit BSE akan dievaluasi kembali sesuai perkembangan status
setiap negara terhadap BSE yang dinytakan oleh OIE.

Khusus untuk Israel, negara tersebut belum bebas terhadap beberapa penyakit hewan
daftarA-OIE, seperti Peste des Petilts Ruminants, Blue Tounge, Cacar Kambing dan
Cacar Domba, sehingga berlaku juga penolakan pemasukan hewan, bahan asal hewan
dan hasil bahan asal hewan karena penyakit tersebut.

Dernikian Surat Edaran ini dikeluarkan untuk diketahui oleh berbagai pihak yang
berkepentingan.

DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN

Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS


Nip : 080.027.915

Ternbusan Surat Edaran ini disampaikan kepala Yth. :


1. Menteri Pertanian RI;
2. Menteri Kesehatan RI;
3. Kepala Bagian Penguiian Obat dan Makanan;
4. Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian;
5. Inspektur Jenderal Departemen Pertanian;
F. Sdr. Direktur Jenderal Bina Sarana Partanian, Deptan;
7. SK Direktur Jende.al Bina Produksi Tanamao Pangan, Deptan;
8. Sdr. Direktur Jencleral Bina Produlksi Holtikultura, Deptan;
9. Sdr. Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Deptan;
10. Sdr. Direktur Jencleral Bina Pengolahan dan Pernasaran Hasil Pertanian,
Deptan;
11. Sdr. Kepala Badan Bimbingan Masal dan Ketahanan Pangan, Deptan;
12. Sdr. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perianian, Deptan;
13. Sdr. Kepala Baclan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, :Deptan;
14. Sdr. Kepala Baclan Karantina Pertanian, Deptan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 110


BAB III

TUGAS DAN FUNGSI DIREKTORAT KESEHATAN MASYARAKAT

VETERINER

Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) mempunyai tugas

• Melaksanakan perumusan kebijakan

• Standarisasi dan bimbingan teknis

• Evaluasi di bidang Kesmavet

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud diatas, Direktorat Kesehatan

Msyarakat Veteriner menyelenggarakan fungsi :

1. Menyiapkan rumusan kebijakan di bidang produk pangan hewan hewani, produk

hewan non pangan dan higiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan serta residu

produk peternakan.

2. Menyiapkan rumusan standar, norma, kriteria di bidang produk pangan hewan,

produk hewan non pangan dan higiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan serta

residu produk peternakan.

3. Melakukan bimbingan teknis di bidang produk pangan hewan hewani, produk

hewan non pangan dan higiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan serta residu

produk peternakan.

4. Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang produk pangan hewan hewani,

produk hewan non pangan dan hiygiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan serta

residu produk peternakan.

5.Melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat

Direktorat Kesehatam Masyarakat Veteriner terdiri dari :

1. Sub Direktorat Produk Pangan Hewani;

2. Sub Direktorat Produk Hewan Non Pangan;

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 111


3. Sub Direktorat Higiene, Sanitasi dan Kesejahteraan Hewan;

4. Sub Direktorat Residu;

5. Sub Bagian Tata Usaha;

6. Kelompok Jabatan Fungsional.

1. Sub Direktorat Produk Pangan Hewani mempunyai tugas :

Melaksanakan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, prosedur dan

bimbingan teknis serta evaluasi di bidang produk pangan hewani.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana diumaksud Sub Direktorat Produk Pangan

Hewani menyelenggarakan fungsi :

a. Penyiapan penyusunan pedoman , standar, norma, kriteria, dan prosedur di

bidang lalu lintas dan analisis resiko produk pangan hewani.

b. Penyiapan bimbingan teknis di bidang lalu lintas dan analisis resiko produk

pangan hewani.

c. Penyiapan evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang lalu lintas dan analisis

resiko produk pangan hewani.

Sub Direktorat Produk Pangan Hewani terdiri dari :

a. Seksi Lalu Lintas Produk Pangan Hewani

b. Seksi Analisis Resiko

a. Seksi Lalu Lintas Produk Pangan Hewani (PPH) mempunyai tugas :

Melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman standar, norma, kriteria,

prosedur, dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang lalu lintas PPH.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 112


Dalam melaksnakan tugas sebagaimana dimaksud Seksi Lalu Lintas Produk Pangan

Hewani (PPH) menyelenggarakan fungsi :

1. Penyiapan bahan untuk penyusunan pedoman standar, norma , kriteria, prosedur,

bimbingan teknis dan evaluasi lalu lintas ekspor/impor PPH;

2. Penyiapan kriteria dan prosedur eksportasi PPH serta melakukan kajian kelayakan

persyaratan teknis dan sertifikasi kesehatan masyarakat veteriner (Vetyerinary

Publich Health) importasi PPH;

3. Penyiapan bahan program standar PPH untuk melindungi kesehatan konsumen

dan untuk menjamin terselenggaranya lalu lintas PPH;

b. Seksi Analisis Resiko Produk Pangan Hewani (PPH) mempunyai tugas :

melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria,

prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang produk pangan hewan.

.Dalam melaksnakan tugas sebagaimana dimaksud Seksi Analisis Resiko Produk

Pangan Hewani (PPH) menyelenggarakan fungsi :

1. Penyiapan bahan dan bimbingan teknis analisis resiko keamanan PPH;

2. Penyiapan bahan identifikasi, situasi, status dan evaluasi kesehatan wilayah;

3. Penyiapan bahan-bahan persyaratan teknis kesmavet, harmonisasi peraturan

dan kerja sama antar negara.

2.Sub Direktorat Produk Hewan Non Pangan (PHNP) mempunyai tugas :

melaksanakan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, prosedur dan

bimbingan teknis serta evaluasi di bidang produk hewan non pangan.

Dalam melaksnakan tugas sebagimana dimaksud Sub Direktorat Produk Hewan

Non Pangan (PHNP) menyelenggarakan fungsi :

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 113


a. Penyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, dan prosedur di

bidang lalu lintas dan analisis resiko produk hewan non pangan.

b. Penyiapan bimbingan teknis di bidang lalu lintas dan analisis resiko produk

hewan non pangan.

c. Penyiapan evaluasi pelaksanaan kegian di bidang lalu lintas dan analisis

resiko produk hewan non pangan.

Sub Direktorat Produk Hewan Non Pangan (PHNP) terdiri dari :

a. Seksi Lalu Lintas Produk Hewan Non Pangan

b.Seksi Analisis Resiko.

a. Seksi Lalu Lintas Produk Hewan Non Pangan (PHNP) mempunyai tugas :

melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman standar, norma, kriteria,

prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang lalu lintas produk hewan

non pangan.

Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud Seksi Lalu Lintas Produk Hewan

Non Pangan (PHNP) menyelenggarakan fungsi :

1. Penyiapan bahan untuk penyusunan pedoman , norma, prosedur bimbingan

teknis dan evaluasi lalu lintas ekspor/impor PHNP.

2. Penyiapan criteria dan prosedur eksportasi PHNP srta melakukan kajian

kelayakan persyaratan teknis dan sertfikasi kesmavet importasi PHNP.

3. Penyiapan bahan program standar PHNP untuk melindungi keamanan

konsumen dan menjamin terselenggaranya lalu lintas PHNP.

b.Seksi Analisis Resiko PHNP mempunyai tugas :

melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman, standar, norma, criteria,

prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang PHNP.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 114


Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Seksi Analisis Resiko PHNP

menyelenggarakan fungsi :

1. Penyiapan bahan dan bimbingan teknis analisa resiko keamanan PHNP;

2. Penyiapan bahan identifikasi, situasi, status dan evaluasi kesehatan wilayah;

3. Penyiapan bahan-bahan persyaratan teknis kesmavet, harmonisasi peraturan

dan kerja sama antar negara.

3.Sub Direktorat Higiene, Sanitasi, dan Kesrawan (KSHK) mempunyai tugas :

melaksanakan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, prosedur dan

bimbingan teknis serta evaluasi di bidang hygiene, sanitasi dan kesejahteraan

hewan .

Dalam melaksnakan tugas sebagimana dimaksud Sub Direktorat Higiene,

Sanitasi, dan Kesejahteraan hewan (KSHK) menyelenggarakan fungsi :

a. Penyiapan penyusunan pedoman , standar, norma, kriteria, dan prosedur di

bidang higiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan.

b. Penyiapan bimbingan teknis di bidang higiene, sanitasi dan kesejahteraan

hewan.

c. Penyiapan evaluasi pelaksanaan kegitan di bidang hygiene, sanitasi dan

kesejahteraan hewan

Sub Direktorat Higiene, Sanitasi, dan Kesejahteraan hewan (KSHK) terdiri dari :

a. Seksi Higiene dan Sanitasi

b. Seksi Kesejahteraan hewan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 115


a. Seksi Higiene dan Sanitasi mempunyai tugas :

melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman , standar, kriteria, prosedur,

bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang higiene dan

sanitasi.

Dalam melaksnakan tugas sebagimana dimaksud Seksi Higiene dan Sanitasi

menyelenggarakan fungsi :

1. Penyiapan bahan untuk penyusunan pedoman , norma, prosedur, bimbingan

teknis dan evaluasi pemotongan hewan dan penanganan daging, susu dan telur

serta hasil ikutannya;

2. Penyiapan kriteria dan prosedur pengendalian pemotongan hewan betina serta

melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatannya;

3. Penyiapan bahan kajian sistem sertifikasi jaminan keamanan produk pangan

asal hewan.

b.Seksi Kesejahteraan Hewan mempunyai tugas :

melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman , standar, kriteria, prosedur,

dan bimbingan teknis serta evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang kesrawan.

Dalam melaksnakan tugas sebagaimana dimaksud Seksi Kesejahteraan Hewan

menyelenggarakan fungsi :

1. Penyiapan bahan untuk penyusunan pedoman , norma, prosedur,

bimbingan teknis dan evaluasi kesejahteraan hewan.

2. Penyiapan criteria dan prosedur pemeliharaan, pengankutan serta

pemotongan hewan yang sesuai dengan kesejahteraan hewan;

3. Penyiapan bahan program standar kesejahteraan hewan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 116


4. Sub Direktorat Residu mempunyai tugas :

melaksanakan penyusunan pedoman , standar, norma, kriteria, prosedur, dan

bimbingan teknis serta evaluasi di bidang residu.

Dalam melaksnakan tugas sebagimana dimaksud Sub Direktorat Residu

menyelenggarakan fungsi :

a. Penyiapan penyusunan pedoman , standar, norma, kriteria dan prosedur

di bidang penetapan ambang residu dan bimbingan pengujian residu.

b. Penyiapan bimbingan teknis di bidang penetapan ambang residu dan

pengujian residu.

c. Penyiapan evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang penetapan ambang

residu dan bimbingan pengujian residu.

Sub Direktorat Residu terdiri dari :

a. Seksi Ambang Residu

b. Seksi Bimbingan Pengujian

a. Seksi Ambang Residu mempunyai tugas :

melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman , standar, kriteria, prosedur

dan bimbingan teknis serta evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang penetapan

ambang residu.

Dalam melaksnakan tugas sebaimana dimaksud Seksi Ambang Residu

menyelenggarakan fungsi :

1. Penyiapan bahan penyusunan pedoman , standar, bimbingan teknis,

penetapan batas maksimun residu, cemaran mikroba dan logam berat pada

produk pangan asal hewan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 117


2. Penyiapan bahan kriteria dan prosedur serta melakukan kajian penerapan

hasil pengujian residu, cemaran mikroba dan logam berat.

3. Penyiapan bahan kajian dan standar residu, cemaran mikroba dan logam

berat serta mengevaluasi pelaksanaan kegiatannya.

b.Seksi Bimbingan Pengujian mempunyai tugas :

melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria,

prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang

pengujian residu.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Seksi Bimbingan Pengujian

menyelenggarakan fungsi :

1. Penyiapan bahan penyusunan pedoman , standar, norma, criteria,

prosedur dan bimbingan teknis pengujian laboratorium kesmavet.

2. Pengumpulan bahan bimbingan pengembangan laboratorium kesmavet

3. Pengumpulan dan pengolahan serta mengevaluasi hasil pengujian

laboratorium kesmavet.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 118


BAGAN STRUKTUR ORGANISASI

DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN

DIREKTORAT JENDERAL
BINA PRODUKSI PETERNAKAN

SETDITJEN

DIREKTORAT DIREKTORAT DIREKTORAT DIREKTORAT DIREKTORAT


PEMBIBITAN BUDIDAYA PENGEMBA KESEHATAN KESEHATAN
PETERNAKAN NGAN HEWAN MASYARAKAT
PETERNAKAN VETERINER

Gambar 1. Bagan Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 119


STRUKTUR ORGANISASI

DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN

DIREKTORAT
KESEHATAN MASYARAKAT
VETERINER

SUB BAGIAN
TATA USAHA

SUB-DIREKTORAT SUB-DIREKTORAT SUB-DIREKTORAT SUB-DIREKTORAT


PRODUKSI PANGAN PRODUK HEWAN HIGIENE, SANITASI, RESIDU
HEWANI NON PANGAN DAN
KESEJAHTERAAN
HEWAN

SEKSI LALU SEKSI LALU SEKSI SEKSI


LINTAS PRODUK LINTAS PRODUK HIGIENE DAN AMBANG RESIDU
PANGAN HEWAN SANITASI
HEWANI NON PANGAN

SEKSI SEKSI SEKSI SEKSI


ANALISIS RESIKO ANALISIS RESIKO KESEJAHTERAAN BIMBINGAN
HEWAN PENGUJIAN

KELOMPOK
JABATAN FUNGSIONAL

Gambar 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 120


BAB IV

RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK ASAL


HEWAN DI INDONESIA

4.1. PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir sebagian besar negara-negara di dunia termasuk

juga Indonesia telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap keamanan dan

kemurnian makanan bagi kepentingan perlindungan dan kesehatan konsumen.

Ketelitian pengamatan terhadap adanya kandungan residu dalam makanan merupakan

salah satu upaya untuk menjaga agar makanan yang akan dikonsumsi manusia

memiliki resiko membahayakan kesehatan sekecil mungkin. Kesadaran akan

pentingnya pengawasan residu dalam makanan juga didorong oleh perkembangan

yang begitu cepat dalam teknik-teknik pengujian residu dan diikuti pula dengan

kemajuan - kemajuan dalam bidang biokimia, toksikologi dan fisiologi, sehingga

makin banyak jenis-jenis residu yang dapat dideteksi serta potensinya dalam

membahayakan kesehatan manusia dapat diungkapkan.

Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya peningkatan kepekaan konsumen

terhadap adanya kandungan residu dalam makanan antara lain :

1. Konsumen makin tinggi pengetahuannya sehingga makin sadar dan makin kuat

tuntutannya untuk memperoleh makanan yang aman.

2. Adanya peningkatan kejadian residu dan cemaran mikroba yang potensial

membahayakan kesehatan masyarakat akibat kecenderungan meningkatnya

pemakaian bahan - bahan kimiawi untuk pertanian

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 121


3. Makin tingginya kepekaan metoda pengujian yang mampu mendeteksi kandungan

residu sampai batas yang cukup rendah sehingga memungkinkan residu dapat

dideteksi sedini mungkin.

Disamping itu adanya kecenderungan dari negara - negara pengimpor bahan asal ternak

di era globalisasi untuk menjadikan residu kimia dalam makanan sebagai hambatan

perdagangan bukan tarif (non-tarif trade barrier).

Dengan semakin meningkatnya arus perdagangan domestik maupun internasional dan

semakin ketatnya persaingan antar negara dalam menghasilkan produk - produk yang

bermutu tinggi dan aman, maka makin ketat pula negara-negara pengimpor mengatur

standar perdagangan yang memenuhi persyaratan teknis yang diinginkan. Adanya batas

residu dan cemaran dalam makanan juga menyebabkan negara - negara pengimpor

semakin proteksionis dalam menetapkan persyaratan - persyaratan teknis perdagangan

bagi bahan asal hewan.

Indonesia sebagai salah satu negara yang aktif mengekspor produk hewan misaInya

ekspor babi ke Singapura, daging ayam ke Jepang dan juga mengimpor daging bermutu

dari Australia dan Selandia Baru dituntut untuk ikut aktif mengikuti kecenderungan pola

perdagangan Internasional yang berkembang saat ini.

Untuk itu baik pemerintah maupun industri peternakan di Indonesia harus mampu

mengantisipasi situasi yang berkembang agar mampu bersaing di pasar global sekaligus

melindungi produsen maupun konsumen didalam negeri. Usaha pencegahan berdasarkan

prinsip "Quality Assurance" (QA) sudah harus dilaksanakan oleh pihak industri

peternakan mulai dari tingkat pensuplai, produsen, sampai tingkat pengolah, sehingga

dapat meningkatkan efisiensi produksi dan memperkuat daya saing dari bahan makanan

asal hewan dengan tingkat kandungan residu yang masih-aman.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 122


Akhir - akhir ini setiap negara mulai menetapkan "Maximum Residue Level" (MRL)

sebagai persyaratan yang sah dari produk - produk bahan makanan asal hewan yang akan

diperdagangkan. Yang dimaksud dengan MRL atau batas toleransi adalah batas angka

tertinggi residu yang masih diperbolehkan berada dalam makanan. Jumlah residu yang

berasal dari segala sumber makanan untuk dikonsumsi manusia tidak boleh melampaui

jumlah yang biasa terdapat dalam makanan sehari - hari atau "acceptable daily intake"

(ADI). Batasan MRL ini masih bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya,

sehingga perlu diperhatikan dengan cermat dalam perdagangan baik bagi negara

pengimpor maupun pengekspor.

Pada masa sekarang dimana persaingan pasar semakin ketat, industri pangan asal hewan

harus mampu mempertahankan tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk yang

aman dan memiliki kualitas nutrisi yang memenuhi persyaratan. Para produsen dan

pengolah bahan pangan harus mampu menghasilkan dan memasarkan makanan asal

hewan yang dapat bertahan terhadap pengujian dari konsumen yang kritis dan bahkan

menghadapi pemeriksaan terhadap aturan pasar yang ketat.

Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah terus berusaha memberikan jaminan terhadap

produk pangan asal hewan yaitu sejak tahun 1996 telah dilakukan monitoring dan

surveilans residu dan cemaran mikroba pada produk asal hewan dengan harapan dapat

diantisipasi kemungkinan timbulnya hal-hal yang membahayakan konsumen serta

dampaknya terhadap perdagangan produk asal hewan baik impor maupun ekspor.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 123


II. TUJUAN
Tujuan dilaksanakannya monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba adalah :

1. Untuk mendapatkan gambaran secara garis besar kandungan residu yang ada

dalam bahan makanan asal hewan maupun lingkungan peternakan di Indonesia

dan sekaligus mengetahui tingkat cemarannya

2. Memperkenalkan konsep “Quality Assurance" (OA) untuk pengawasan produk

makanan asal hewan pada setiap tahap pemrosesan mulai dari bahan mentah

sampai pada produk akhir.

III. SASARAN
Adapun sasaran yang dituju dari monitoring dan surveilans residu ini adalah untuk

memberikan perlindungan kepada konsumen dalam aspek keamanan dan kesehatan

masyarakat meliputi :

1. Jangka pendek : memberikan informasi kepada konsumen tentang produk pangan

hewani yang sehat dan berkuaiitas (residu dibawah BMR).

2. Jangka menengah: meningkatkan kesadaran masyarakat akan produk pangan

hewani yang sehat dan berkualitas (quality assurance) serta mendukung

perdagangan global produk pangan hewani.

3. Jangka panjang : harmonisasi dengan peraturan internasional ( SPS, CAC, OIE).

IV PENGENALAN TENTANG RESIDU DAN JENISNYA.


Residu didefinisikan sebagai kandungan zat yang tidak diinginkan tertinggal

dalam makanan ataupun lingkungan sekitar. Residu kimia dan obat hewan dalam

makanan yang berasal dari hewan seperti daging, susu dan telur merupakan masalah yang

menjadi perhatian utama dari konsumen baik di negara maju maupun di negara

berkembang.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 124


Tanggung jawab pengawasan terhadap kedua jenis residu ini bukan hanya terletak pada

industri peternakan akan tetapi juga pada pemerintah yang memiliki wewenang untuk

menjamin kualitas produk makanan yang aman dan murni dengan harga yang pantas baik

untuk konsumsi domestik maupun tujuan ekspor.

Penggunaan bahan kimiawi dalam upaya menangani penyakit yang ditularkan oleh

insekta maupun penanganan hama sangat umum dalam pola peternakan intensif dan

modern. Begitupun penggunaan bahan kimiawi untuk menjaga kesehatan ternak,

meningkatkan efisiensi makanan dan merangsang pertumbuhan ternak.

Dalam garis besarnya residu terdiri dari 3 (tiga) kelompok besar yaitu:

1. Residu alamiah
Residu ini selalu didapatkan secara alamiah dalam lingkungan sekitar dan pada

umumnya terdiri dari residu mineral dan mikrobiologik. Sebagian besar residu

mineral adalah logam berat (timah, logam air raksa, cadmium dsb) dan dapat

dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

a. Geogenik yaitu :

Logam yang secara alamiah terdapat dalam tanah dengan konsentrasi lebih

tinggi dari normal. Mineral ini diabsorpsi oleh tanaman dan masuk

kedalam rantai makanan.

b. Anthropogenik yaitu :

Logam yang mengkontaminasi tanah dan hewan lebih dari batas

alamiahnya akibat perbuatan manusia. Contohnya tanah sekitar daerah

pertambangan dan limbah industri sekunder atau pencemaran tanah akibat

penggunaan pupuk phosphat yang berlebihan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 125


c. Biogenik yaitu :

Residu biogenik selalu ada secara alamiah dalam makanan (mycotoxin,

phytotoxin). Secara alamiah pula hewan dapat mencegah akumulasi residu

dalam tubuh atau membentuk sistim pertahanan anti toksin. Akibat

penerapan cara-cara pertanian modern serta adanya perubahan iklim mikro

memungkinkan terjadinya wabah keracunan pada hewan. Oleh karena itu

residu kadang-kadang didapatkan dalam konsentrasi tinggi pada hati, susu

dan telur.

2. Residu yang disebabkan oleh manusia

Residu ini tidak terdapat secara alamiah sebelum ada campur tangan

manusia. Kandungan sintetis ini dapat menimbulkan residu pada hewan apabila

diberikan oleh manusia atau terkontaminasi secara tidak sengaia. Contoh :

senyawa dari hasil teknologi pertanian dan industri (dieldrin, dioxin, aldrin dan

DDT); obat-obatan dan perangsang pertumbuhan (antibiotika, antimikroba,

anabolik steroid) ; radioisotop sintetis (caesium -137)

3. Residu Sekunder

Residu ini mencakup semua zat baik yang tidak diinginkan maupun

diinginkan yang dihasilkan dalam jumlah berlebihan selama masa perlakuan dan

pemrosesan lebih lanjut terhadap makanan atau selama masa pengawetan

makanan. Kelompok ini termasuk nitrosamida yang dihasilkan akibat

pencampuran antara nitrit dengan amina primer dalam daging selama masa

pengasapan dan benzopyrenes yang timbul akibat proses rumah asap.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 126


Disamping itu residu dapat pula digolongkan dengan cara lain yaitu:

1. Homobiotik yaitu :

Zat-zat yang terjadi secara alamiah dalam hewan sasaran (contoh : hormon dan

vitamin). Zat - zat ini biasa digunakan untuk tujuan therapeutik, prophylaktik atau

perangsang pertumbuhan.

2. Xenobiotik yaitu :

Zat - zat yang tidak didapatkan secara alamiah dalam hewan sasaran (contoh:

antibiotika, pestisida).

Pada dasarnya residu berada dalam tubuh hewan melalui suatu proses absorpsi seperti

misalnya dari tanah diabsorpsi oleh tanaman dan tanaman kemudian dimakan oleh hewan

atau dari air yang diminum oleh hewan, kemudian diabsorpsi oleh jaringan tubuh. Cara

lain residu berada dalam tubuh hewan melalui pernafasan atau kontak kulit. Cara lain lagi

adalah melalui campur tangan manusia (injeksi). Setelah masuk tubuh hewan, residu

diabsorpsi masuk kedalam sirkulasi darah untuk kemudian didistribusikan keberbagai

bagian tubuh. Setelah itu residu diekskresikan melalui urine, empedu atau faeces dan

pada hewan betina melalui air susu atau telur dengan lamanya waktu pengeluaran

bervariasi mulai dari beberapa jam sampai dengan beberapa tahun.

Residu cenderung untuk melekat pada jaringan tubuh yang berbeda - beda seperti

organokhlorine pada lemak, tetracyclin pada tulang, cadmium pada ginjal.

Resiko ancaman akibat residu.

Sejumlah cara telah dicoba untuk membuat urutan resiko ancaman akibat bermacam -

macam jenis residu ditinjau dari sifat toksikologinya maupun potensi bahayanya. Faktor -

faktor yang dipertimbangkan antara lain :

1. Keracunan akut.

2. Akumulasi dalam jaringan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 127


3. Efek mutagenik

4. Efek karsinogenik

5. Induksi resisten

6. Penekanan terhadap daya tahan tubuh

7. Potensi alergi

V. PELAKSANAAN
1. Monitoring dan surveilans residu dilaksanakan setiap bulan dengan cara

mengumpulkan sampel secara acak dari lapangan.

2. Pelaksana program adalah Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan di Bogor,

Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner di 7 ( tujuh ) wilayah serta

Laboratorium Kesmavet daerah.

3. Sampel diambiI dari berbagai macam sumber yaitu :

a. Rumah Potong Hewan / Unggas

b. Pasar penjualan daging

c. Tempat penampungan susu

d. Depot/ agen penjualan susu

e. Pasar penjualan telur

f. Perusahaan pengawetan bahan makanan asal hewan

g. Industri pengolahan susu

h. Perusahaan peternakan

i. Pasar swalayan

4. Sebagian jaringan tubuh maupun hasil eksresi dari tubuh hewan yang diambil dari

karkas dapat berupa :

a. Daging segar tanpa tulang (otot)

b. Ginjal

c. Hati

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 128


d. Thyroid

e. Lemak

f. Isi perut /usus

g. Darah/serum

h. Urine

i. Faeces

5. Laporan mengenai pengambilan dan pengujian sampel dikirimkan setiap 3 bulan

sekali ke Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Direktorat Jenderal Bina

Produksl Peternakan Departemen Pertanian. Dengan demikian setiap tahun akan

diterima laporan kwartal berturut - turut pada bulan Juli, Oktober, Januari, dan

April .

6. Sub Direktorat Residu, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner bertanggung

jawab untuk mengkompilasi dan menganalisa data laporan kwartal yang dikirim

oleh BPMPP, BPPV dan Laboratorium Kesmavet.

VI. METODOLOGI

1. Pengujian residu dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.

2. Pengujian secara kualitatif melalui metode skreening untuk pemeriksaan

antibiotika, sedangkan pemeriksaan secara kuantitatif dengan menggunakan

peralatan Kromatografi cair kinerja tinggi ( HPLC) untuk antibiotika dan hormon,

Gas Chromatografi (GC) untuk pemeriksaan pestisida dan Atomic Absorbent

Spectrophotometer (AAS) untuk pengujian logam berat. Pada saat ini yang

dilakukan oleh laboratorium penguji adalah metode skreening dan HPLC.

3. Pengambilan sampel dilakukan secara random (acak) yang dilakukan pada rantai

budidaya, pengolahan (RPH/RPU), pasar tradisional maupun supermarket dan

tempat - tempat penampungan untuk komoditi peternakan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 129


VII. HASIL MONITORING DAN SURVEILANS

1. Jumlah sampel
Jumlah sampel dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2002 bervariasi pada tiap

laboratorium dengan total sampel pada tahun 1996 : 1.776 sampel, tahun 1997 : 2.482

sampel , tahun 1998: 1.368 sampel , tahun 1999 : 1.870 sampel , tahun 2000 : 1.575

sampel , tahun 2001 : 1.676 sampel dan tahun 2002 : 1.810 sampel. Total sampel

yang telah diperiksa dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2002 adalah 12.557

sampel.

Dilihat dari jumlah sampel yang diuji masih jauh dari persyaratan yang diharapkan

untuk mendapatkan hasil monitoring yang baik sesuai dengan sampling plan yang

baik yaitu lebih kurang 5 % dari jumlah produk yang beredar dalam pasaran atau

berdasarkan populasi atau jumlah pemotongan ternak yang ada di Indonesia

2. Jenis sampel

Jenis sampel yang diperiksa pada setiap laboratorium bervariasi dan pada umumnya

sampel yang diperiksa adalah daging sapi, daging ayam, hati sapi, telur dan susu,

3. Asal sampel
Sampel yang diperiksa pada saat ini umumnya berasal dari pasar tradisional, pasar

swalayan, Rumah Potong Hewan, Rumah Potong Unggas, peternak dan importir

daging.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 130


4. Hasil pengujian

a. Hasil positif residu antibiotika:


Tahun 1996: positip 363 dari total sampel 1.776 (20,44 %)

Tahun 1997 : positip 141 dari total sampel 2.482 ( 5,68 %)

Tahun 1998: positip 448 dari total sampel 1.368 ( 32,74 %)

Tahun 1999: positip 426 dari total sampel 1.870 ( 22,78 %)

Tahun 2000: positip 249 dari total sampel 1.575 ( 15,80 %)

Tahun 2001 : positip 159 dari total sampel 1.676 (9,48%)

Tahun 2002: positip 317 dari total sampel 1.810 ( 17,51 %)

Sedangkan residu antibiotika yang terdeteksi umumnya adalah antibiotika golongan

aminoglikosida, penicillin , makrolida dan tetracyclin.

No. Kelompok Antibiotika Jenis Antibiotika


Penicillin, Cloxacillin, Dicloxacillin, Nafcillin,
1. Penicillin
Ampicillin, Amoxicillin.
2. Makrolida Kitasamycin, spiramycin, Tyloclin, Josamycin.
Streptomycin, kanamycin, Neomycin,
3. Aminoglikosida
Gentamycin, Ampramycin, Spectinomycin.
Oxytetracyclin, Tetracyclin, Doxysiclin,
4. Tetracyclin
Chlortetracyclin.

b. Hasil positip residu hormon


Pemeriksaan residu hormon mulai dilaksanakan pada tahun 2000 dan laboratorium

penguji yang telah melakukan pemeriksaan hormon adalah Balai pengujian Mutu

Produk Peternakan di Bogor. Residu hormon yang diuji adalah zeranol dan trenbolon

acetat. Pada tahun 2000 dilakukan pengujian pada 13 sampel yang terdiri dari 11

sampel daging sapi dan 2 sampel hati sapi yang semuanya merupakan daging dan hati

sapi yang diimpor dari Australia. Dari 13 sampel yang diuji keseluruhan hasil ujinya

negatip. Sedangkan pada tahun 2001 telah dilakukan pengujian pada 55 sampel

daging sapi dan hati sapi impor dari Australia, New Zealand dan USA, 16 sampel ( 29

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 131


%) menunjukkan hasil uji positip hormon Trenbolon Acetat dengan jumlah yang

melebihi batas maksimum yang telah ditentukan dalam SNI 01 - 6366 - 2000 tentang

Batas Maksimum Residu dan Cemaran Mikroba. Pada tahun 2002 dilakukan

pengujian daging sapi sejumlah 70 sampel dengan hasil uji positip trenbolon acetat

sejumlah 5 sampel (7,14%). Mengingat hormon sintetik yang umumnya dipergunakan

adalah zeranol dan trenbolon acetat, maka pengujian hormon khusus dilakukan

terhadap kedua hormon tersebut.

Dari UPT laboratorium Ditjen Bina Produksi Peternakan, BPPV belum dapat

melakukan pengujian karena SDM dan peralatan yang belum mendukung serta bahan

pengujian yang mahal. Untuk masa mendatang telah dipersiapkan agar BPPV dapat

melakukan pengujian hormon melalui pelatihan dan penyediaan sarana.

Dari data hasil pengujian yang dapat dianalisa diketahui bahwa produk peternakan di

dalam negeri (baik produk lokal maupun impor) masih banyak mengandung residu

antibiotika maupun hormon yang melampaui ambang batas. Hal ini dapat disebabkan

oleh penggunaan antibiotika maupun hormon yang tidak sesuai dengan aturan dan

takaran yang tepat, baik dalam pengobatan penyakit ataupun penggunaan tambahan

pakan, khususnya menyangkut takaran (dosis), waktu henti obat dan pemilihan

antibiotika sesuai diagnosa yang tepat serta akibat penggunaan hormon penggertak

pertumbuhan.

c. Hasil pemeriksaan cemaran mikroba


Pemeriksaan cemaran mikroba dilakukan oleh seluruh laboratorium penguji. Cemaran

mikroba yang diperiksa umumnya adalah TPC, Fecal.Coliform, E.coli, Salmonella

dan Staphylococcus aureus. Dari hasil pemeriksaan cemaran mikroba , jumlah TPC

yang melebihi batas maksimum seperti ditentukan dalam SNI 01- 6366-2000

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 132


umumnya diperoleh dari sampel daging yang berasal dari pasar tradisional dan

sampel susu pada peternak. Akan tetapi juga ditemukan pada sampel daging yang

berasal dari beberapa pasar swalayan di Lampung dan Jawa Timur. Hal ini

menunjukkan bahwa hygiene dan sanitasi di pasar swalayan juga masih perlu

mendapatkan perhatian dan ditingkatkan sehingga tingkat cemaran mikrobanya dapat

diperbaiki, sedangkan hasil uji untuk Salmonella hingga saat ini menunjukkan hasil

negatip.

Dari hasil pemeriksaan cemaran mikroba ditemukan jumlah TPC yang melebihi batas

maksimum, hal ini dapat disebabkan oleh kontaminasi dari pekerja atau alat-alat yang

kurang bersih, adanya kontaminasi dari lingkungan yang kurang memenuhi syarat

sanitasi dan hygienis serta kurang diperhatikannya penanganan selama transportasi

menuju laboratorium.

Hasil monitoring dari masing-masing laboratorium seperti terlihat pada lampiran.

VIII. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI


1. Belum semua laboratorium penguji dapat melakukan pengujian terhadap residu

antibiotika dan hormon secara kuantitatif, pengujian terhadap residu hormon baru

dapat dilakukan oleh Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP) di

Bogor. Hal ini disebabkan karena peralatan HPLC untuk pengujian secara

kuantitatif belum dapat dioperasionalkan pada laboratorium yang lain.

2. Belum adanya penyeragaman metode pengujian diantara laboratorium penguji

dan adanya kesulitan dalam pengadaan bahan baku standar, khususnya untuk

residu antibiotika.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 133


3. Dinas Peternakan belum secara aktif melakukan pengawasan residu dan cemaran

mikroba sehingga hasil pengawasan hanya diperoleh dari pelaksanaan monitoring

oleh laboratorium.

4. Biaya pengujian yang cukup mahal menyebabkan jumlah sampel belum sesuai

dengan yang diharapkan untuk memperoleh hasil monitoring residu dan cemaran

mikroba representatif secara nasional.

5. Kurangnya kesadaran dari perusahaan peternakan untuk dapat melaksanakan

pengujian produknya secara rutin.

IX. KAJIAN MASALAH


1. Optimalisasi peralatan HPLC serta peningkatan sumber daya manusia (SDM)

untuk operasionalisasi HPLC sangat diperlukan, sehingga pengujian secara

kuantitatif dapat dilakukan oleh semua laboratorium.

2. Data yang diterima dari laboratorium masih jauh dari lengkap untuk dapat

dievaluasi secara lebih komprehensif karena jenis pengujian yang masih terbatas

serta metode pengujian yang bervariasi, untuk itu perlu dilakukan pengkajian

kembali terhadap penyeragaman pengujian (kualitatif dan kuantitatif) agar dapat

diperoleh data yang lebih lengkap dan akurat.

3. Keterbatasan tenaga Dokter Hewan, khususnya dalam bidang pengawasan

Kesmavet serta dengan adanya otonomi daerah dimana Dinas banyak mengalami

perubahan struktur dan organisasi sehingga Dinas Peternakan belum dapat

berperan aktif dalam pengawasan Kesmavet, khususnya pengawasan residu.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 134


4. Biaya pengujian residu dan cemaran mikroba relatif mahal sehingga Dinas

Peternakan maupun laboratorium perlu mengalokasikan dana, baik dari APBD

maupun APBN sebagaimana diatur dalam PP No. 49/2002 untuk dapat

terealisasinya pengawasan residu di daerah.

5. Perusahaan peternakan saat ini hanya melakukan pengujian produknya apabila

diperlukan sesuai dengan pemasaran produknya, misal untuk keperluan ekspor.

Secara bertahap telah dimulai oleh beberapa perusahaan untuk melakukan

pengujian secara rutin.

X. UPAYA TINDAK LANJUT

Dalam rangka meningkatkan hasil monitoring dan surveilans residu dan cemaran

mikroba oleh laboratorium penguji perlu ditempuh beberapa langkah sebagai berikut :

1. Pengujian secara kualitatif dilakukan untuk 4 ( empat ) kelompok antibiotika yaitu

Penicillin, Tetracyclin, Makrolida dan Aminoglikosida. Pengujian secara

kuantitatif dilakukan untuk antibiotika Jenis Oxytetracyclin, sedangkan jenis

antibiotika lainnya dilakukan pengujian secara kuantitatif sesuai kebutuhan dan

ketersediaan bahan standar.

2. Pengujian residu hormon dilakukan oleh semua laboratorium penguji melalui

optimalisasi HPLC dan SDM.

3. Metode pengujian terhadap residu akan diseragamkan melalui standarisasi metode

pengujian.

4. Pengadaan bahan standar uji dikoordinasi oleh Direktorat Kesehatan Masyarakat

Veteriner.

5. Untuk optimalisasi dan akurasi hasil monitoring, diupayakan:

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 135


a. Pengujian cemaran mikroba terhadap Salmonella, E. coli, F. Coliform,

Staphylococcus dan TPC.

b. Untuk pengujian residu antibiotika dan pestisida sampel diambil dari

perusahaan peternakan, tempat pengumpulan dan RPH/RPU, sedangkan

pengujian cemaran mikroba, sampel diambil dari seluruh mata rantai

produksi hingga ke konsumen.

c. jumlah sampel ditetapkan 6 -30 sampel dengan berat minimal 500 gram

untuk setiap lot/batch suatu produk sesuai dengan standard Codex.

d. Untuk tahun 2003 masing-masing laboratorium penguji mentargetkan

pengambilan sampel sejumlah 200 sampel untuk pengujian residu dan 200

sampel untuk pemeriksaan cemaran mikroba.

e. Pelatihan dalam rangka meningkatkan ketrampilan petugas laboratorium

akan diadakan oleh Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan dalam

bentuk magang maupun bentuk pelatihan.

6. Dinas Peternakan selain berperan aktif melakukan pengawasan residu (telah

dimulai oleh Dinas Peternakan Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan

Timur) perlu pula melakukan pengawasan pemakaian obat-obatan dan tambahan

pakan serta peningkatan hygiene pada segmen budidaya, khususnya kepada para

peternak.

XI. KESIMPULAN
1. Residu antibiotika dan hormon serta cemaran mikroba yang melampaui batas

ambang masih ditemukan pada beberapa sampel produk asal hewan, khususnya

residu antibiotika. Untuk itu penggunaan antibiotika dalam budidaya peternakan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 136


harus sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga kesehatan konsumen akan

terjamin.

2. Dengan meningkatnya penggunaan obat hewan, perlu pula ditingkatkan

pengawasan terhadap pemakaian obat-obatan pada pemilik ternak (peternak).

3. Kesadaran produsen untuk memproduksi produk asal hewan yang aman dan bebas

residu perlu ditingkatkan melalui monitoring dan pengujian produknya terhadap

residu dan cemaran mikroba secara rutin.

4. Kesadaran konsumen serta pengetahuan tentang produk yang aman dan bebas dari

bahaya residu perlu ditingkatkan melalui sosialisasi yang berkesinambungan.

5. Secara bertahap perlu dilakukan tindakan koreksi (compliant action) sesuai

dengan ketentuan yang berlaku terhadap produsen yang memproduksi produk asal

hewan yang membahayakan konsumen.

6. Tindakan koreksi dapat dilakukan secara lisan, tertulis atau bahkan dengan

publikasi melalui mass media dengan tujuan untuk mendidik produsen agar

memproduksi produk yang aman. Tindakan koreksi ini dapat dilakukan oleh

Dinas Peternakan, baik di Kabupaten/Kota, Dinas Propinsi maupun Direktorat

Jenderal Bina Produksi Peternakan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 137


Tabel 3. Hasil Monitoring dan Surveilans Residu (Jumlah Sampel dan Positif Residu)
Masing-masing Lab.Kesmavet Tahun 1996-2002

Tabel 4. Hasil Monitoring dan Surveilans Residu (Jenis Sampel yang Positif) Masing-
masing Lab. Kesmavet Tahun 1996 – 2002

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 138


Tabel 5. Hasil Monitoring dan Surveilans Residu (Asal Sampel) Masing-masing Lab.
Kesmavet Tahun 1996 - 2002

Tabel 6. Hasil Positif Antibiotika Tahun 1996 - 2002

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 139


Tabel 7. Hasil Positif Hormon Tahun 1996 - 2002

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 140


BAB V

PENYAKIT YANG DITULARKAN MELALUI MAKANAN

(FOODBORNE DISEASE)

I. PENDAHULUAN
Foodborne disease adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan berupa

gangguan pada saluran pencernaan makanan dengan gejala umum sakit perut, diare

dan/atau muntah. Agen utama penyebab penyakit yang ditularkan melalui makanan

adalah bakteri (microbial foodbome disease), yang sebetulnya secara alami terdapat di

lingkungan sekitar manusia, dan ditularkan kepada manusia. melalui makanan.

Terjadinya penyakit yang ditularkan melalui makanan o1eh bakteri sangat

tergantung kepada beberapa faktor, yaitu:

1. Terdapatnya agen penyebab penyakit pada saat pengolahan makanan yang ditularkan

melalui bahan makanan, pekerja atau hewan.

2. Kontaminasi silang melalui tangan, permukaan peralatan memasak atau pakaian.

3. Adanya makanan yang berperan sebagai media perantara.

4. Penyimpanan makanan pada suhu ruangan selama lebih dari 2 jam.

5. Adanya subjek (manusia) yang rentan.

Beberapa. bakteri utama penyebab penyakit yang ditularkan melalui makanan ini

adalah: Salmonella, Staphylococcus aureus, Closttridium perfringens, Clostridium

botulinum, Listeria Monocytogenes, Yersinia enterocolitica dan Escherichia coli

0157:H7.

Penyakit ini dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu:

1. Melalui infeksi yakni termakannya sel-sel bakteri dalam jumlah yang cukup untuk

dapat menimbulkan penyakit. Contoh: Salmonella, Listeria monocytogenes,Yersinia

enterecolitiaca, campylobacter jejuni dan Escherichia coli 015 7:H7.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 141


2. Melalui intoksikasi dimana gejala sakit yang timbul disebabkan oleh toksin yang

dihasilkan oleh bakteri pada makanan yang dikontaminasinya (contohnya

Staphylococcus aureus dan Clostridium hotulinum) atau toksin yang diproduksi di

dalam usus induk semang (misalnva Clostridium perfringens).

II. BEBERAPA BAKTERIAL FOODBORNE DISEASE

1. Salmonellosis
Agen Penyebab

Salmonellosis terjadl akibat infeksi bakteri Salmonella sp. yang terdiri dari

beberapa ratus serotipe. Seluruh serotipe tersebut memiliki potensi yang sama

besar sebagai agen penyebab penyakit.

Masa inkubasi berkisar antara 6-48 jam dengan gejala sakit berupa sakit

perut, diare, rasa mual, kedinginan, demam dan sakit kepala. Lamanya sakit

dapat berkisar antara 3-5 hari. Bayi, anak-anak, orang sakit dan orang tua lebih

rentan terhadap salmonellosis.

Sumber

Salmonella dapat berasal dari ekskreta manusia maupun hewan dan air

yang terkontaminasi o1eh limbah. Salmonella sering ditemukan dalam bahan

makanan asal hewan, terutama daging, daging unggas dan telur, yang belum

atau masih setengah masak dan disebarkan ke makanan lain melalui

kontaminasi silang (Diagram 1). Salmonella enteritidis dilaporkan sering

ditemukan pada kulit telur dengan grade A. Sedangkan susu yang tidak

dipasteurisasi juga dapat mengandung bakteri Salmonella.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 142


HEWAN

(Daging, jerohan, susu segar,


telur, daging unggas, ekskreta)

Salmonella

Tidak dimasak atau setengah masak

Infeksi

Keracunan makanan

Gambar 3. Sumber Penularan Hewan (animal reservoir) bagi Organisme Salmonella

Pencegahan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya

salmonellosis adalah : a) Seluruh jenis daging, ikan dan telur haruslah dimasak

dengan baik dan benar, b) Hindarilah kontaminasi antara makanan yang telah

dimasak dengan tetesan cairan (misalnya darah) yang berasal dari bahan

mentah, dan c) Hindarilah meminum susu yang tidak dipasteurisasi

2. Intoksikasi Staphlococcus
Agen penyebeb penyakit

Intoksikasi Staphylococcus disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh

bakteri Staphylococcus aureus dalam makanan yang dikontaminasinya

(Diagram 2)

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 143


Manusia
(Hidung, luka di kulit)

Staphylococci

Tangan

Makanan
Penyimpanan dalam suhu ruangan
Mendukung perkembang biakan

Toksin

Keracunan makanan

Gambar 4. Sumber Penularan Manusia (human reservoir) bagi Organisme


Staphylococcus

Gejala intoksikasi staphylococcus tergantung pada kondisi kesehatan

seseorang dan dapat meliputi mual, muntah dan diare. Masa inkubasi berkisar

antara 30 menit-8 jam dan sakit dapat bertahan sekitar 1-2 hari.

Toksin S. Aureus lebih tahan terhadap proses pemasakan, suhu dingin dan

pembekuan dibandingkan bila berada dalam bentuk sel. Melalui pemasakan

secara sempurna misalnya, toksin masih aktif dan diperlukan waktu sedikitnya

30 menit dengan jalan perebusan untuk pemusnahannya

Sumber

Habitat utama staphylococci adalah selaput membran hidung dan kulit

manusia maupun hewan. Banyak orang memiliki kebiasaan kurang baik yaitu

menyentuh bagian dalam hidungnya. Tanpa disadari tindakan ini dapat

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 144


memindahkan bakteri staphylococcus ke tangan dan selanjutnya disebarkan lagi

ke makanan melalui penanganan yang tidak benar.

Bakteri ini dapat pula ditemukan pada ;luka di kulit, melalui luka sayatan

atau pori-pori, bakteri ini masuk ke bagian dalam kulit, tumbuh dan berkembang

biak. Dalam kasus ini bakteri tetap dapat disebarkan walaupun tangan telah

dicuci.

Jenis makanan yang ideal sebagai media perantaranya adalah makanan

dengan kandungan protein, gula dan garam yang tinggi.

Pencegahan

Tindakan pencegahan terdiri dari : a) Mencuci tangan dan mencuci seluruh

peralatan dan perlengkapan memasak setiap kali hendak mempersiapkan atau

akan menyajikan makanan, b) Penyimpanan makanan (terutama daging) segera

setelah dimasak didalam lemari es didalam wadah tertutup, dan c) Orang

berpenyakit kulit hendaknya tidak terlibat dalam proses produksi makanan.

3. Enteritis Clostridium perfringens


Agen penyebab sakit

Penyebab foodborne disease ini adalah bakteri Clostridium perfringens

yang bersifat anaerobik, dapat tumbuh dan berkembang biak dengan sedikit atau

tanpa kehadiran oksigen.

Gejala sakit timbul akbat toksin yang dihasilkan bakteri didalam usus

induk semang. Masa inkubasinya berkisar antara 9-15 jam dengan gejala

meliputi diare dan sakit perut yang dapat bertahan selama 1 hari. Gejala sakit

akan lebih parah pada orang lanjut usia dan penderita sakit lambung.

C. perfringens dapat ditemukan dalam bentuk sel vegetatif atau bentuk spora.

Relatif tahan terhadap proses pemanasan dan pengeringan, terutama bentuk

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 145


spora yang tetap berada dalam keadaan dormant (tidak aktif) dalam makanan,

tanah dan debu hingga mencapai induk semang atau media perantara yang tepat.

Sumber

Di dalam usus besar manusia atau hewan, organisme ini berada dalam

bentuk spora dan dikeluarkan bersama feses ke tanah atau ke sistem

pembuangan. Melalui air dan tumbuhan dan serangga organisme ini mencapai

induk semangnya kembali atau terlibat ke dalam sistem penyediaan pangan

(Diagram 3). Karenanya selain ditemukan dalam ekskrete manusia maupun

hewan, C. perfringens dapat pula dijumpai pada daging segar termasuk daging

ayam, produk makanan yang dikeringkan, tanah dan limbah.

Hewan Manusia
Lalat

Ekskreta

Lalat, tanah, debu

Karkas Tangan

Daging mentah
Spora yang bertahan dari pemasakan akan menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak
selama pendinginan dan penyimpanan

Daging dengan kontaminasi berat

Keracunan makanan akibat toksin yang dihasilkan dalam usus induk semang

Gambar 5. Sumber Penularan Manusia dan Hewan bagi Organisme C perfringens

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 146


Pencegahan

Suhu internal makanan perlu selalu diperhatikan. Bagi makanan yang akan

disajikan panas maka suhu internal dijaga agar suhu minimumnya 60°C, atau

suhu maksimum 5,5°C bagi makanan yang akan disajikan dingin.

4. Campylobacteriosis
Agen Penyebab Penyakit

Campylobacteriosis disebabkan oleh Campylobacter jejuni dengan gejala

berupa demem, sakit kepala dan pegal linu diikuti dengan diare (kadang-kadang

disertai dengan darah), sakit perut dan merasa mual. Biasanya gejala timbul

sekitar 2-10 hari setelah infeksi dan bertahan antara 1-10 hari

Sumber

Dapat ditemukan pada daging segar atau daging setengah masak, daging

ayam atau kerang. Dapat juga ditemukan pada susu yang tidak dipasteurisasi, air

minum yang tidak diolah atau hewan peliharaan yang terinfeksi.

Pencegahan

Masaklah secara sempurna semua jenis daging. Pencucian tangan,

peralatan memasak dan seluruh permukaan yang menyentuh daging segar,

termasuk daging unggas, hendaknya dilakukan dengan cermat dan seksama.

Hidarilah minum susu yang tidak dipasteurisasi atau air mentah.

5. Botulismus
Agen Penyebab Penyakit

Botulismus disebabkan oleh toksin yang diproduksi oleh bakteri

Clostridium botulinum dalam makanan yang terkontaminasi

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 147


Seperti halnya C. perfringens, C. botulinum juga termasuk kedalam

golongan bakteri anaerobik dan dapat ditemukan dalam bentuk vegetatif atau

spora. Bentuk vegetatif dapat menghasilkan toksin sebagai penyebab sakit.

Toksin botulismus menyerang sistem syaraf dan dapat bersifat fatal bila

penderita tidak mendapat pertolongan. Masa inkubasi berkisar antara 12-48 jam

dengan gejala berupa penglihatan kabur, kesulitan untuk berbicara, menelan dan

benafas. Kematian akibat botulismus dapat dihindari dengan pemberian

antitoksin. Akan tetapi efek samping yang diakibatkannya cukup berat berupa

kerusakan syaraf yang sulit untuk diperbaiki kembali

Sumber

Dapat ditemukan di tanah atau air. Botulismus biasanya selalu

diasosiasikan dengan makanan kaleng yang tidak mengalami proses pemanasan

dengan temperatur yang cukup tinggi untuk dapat menghancurkan spora. Akan

tetapi telah pula dilaporkan bahwa kejadian botulismus dapat juga diasosiasikan

dengan makanan masak dalam kemasan hampa udara yang disimpan terlalu

lama pada suhu ruangan.

Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya botulismus, hindari makanan yang berasal

dari: a) kemasan kaleng yang sudah bocor, menggembung atau sudah rusak, b)

kemasan botol yang sudah retak, tidak rapat lagi tutupnya atau sudah

menggelembung, c) kemasan yang menyemburkan air pada saat dibuka, dan d)

kemasan kaleng yang sudah mengalami penyimpangan bau dan penampilan.

Buang makanan dalam kemasan industri rumah tangga yang sudah tidak lagi

memenuhi persyaratan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 148


6. Listeriosis
Agen penyebab penyakit

Listeriosis disebabkan oleh Listeria monocytogenes. Kasus ini jarang

terjadi akan tetapi bersifat fatal.

Kelompok beresiko tinggi adalah wanita hamil dan anak-anak. Gejala.

pada orang dewasa menyerupai gejala influenza yang terjadi secara tiba-tiba

meliputi demam, kedinginan, sakit kepala, nyeri punggung dan kadang-kadang

disertai sakit perut dan diare. Pada bayi gejala sakit dapat berupa gangguan

pernafasan, tidak mau minum dan muntah. Komplikasi listeriosis dapat berupa

meningitis atau meningoenchepalitis yang menyebabkan kerusakan pada

jaringan di sekitar otak atau tulang belakang dan septichemia.

Sumber

Biasa ditemukan dalam usus manusia dan hewan, dalam susu dan di

lingkungan pengolahan makanan. Listeria. dapat tetap tumbuh (walaupun

lambat) pada suhu lemari es (4-80C).

Pencegahan

Untuk menghindari terjadinya listeriosis, terutama bagi mereka yang

termasuk kelompok beresiko tinggi, hendaknya berhati-hati dalam memilih

makanan dalam kemasan, terutama makanan berlabel "disimpan dalam. lemari

es". Perhatikan cara penyimpanan di rumah, sesuaikan dengan petunjuk yang

tercantum pada kemasan. Perlu pula diperhatikan tanggal kadaluwarsa.

7. Hemorrhagic colitis
Agen penyebab penyakit

Hemorrhagic colitis disebabkan oleh Escherichia coli O157:H7.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 149


Gejala meliputi kejang perut yang diikuti dengan diare (seringkali

bercarnpur darah), mual, muntah, kadang-kadang demam yang ringan.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah hemolytic uremic syndrome (HUS),

infeksi saluran kemih yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut pada

anak-anak. Gejala tersebut biasanya muncul 3-4 hari setelah mengkonsumsi

makanan terkontaminasi dan bertahan hingga 10 hari. Seringkali pasien

membutuhkan rawat inap di rumah sakit.

Sumber

Beberapa galur Escherchia coli seringkali diasosiasikan dengan air yang

telah terkontaminasi oleh faeces dan sejak lama telah diketahui menjadi

penyebab diare pada anak-anak. Salah satu serotipe bakteri ini, yaitu 0157: H7,

memproduksi toksin yang dapat menyebabkan hemorragic colitis. Daging giling

mentah dan susu yang tidak dipasteurisasi dilaporkan menjadi salah satu sumber

makanan penyebab penyakit tersebut.

Pencegahan

Yang perlu diperhatikan untuk menghindari terjadinya hemorrhagic

colitis adalah:

1) Pemasakan dan pemanasan makanan dengan seksama

2) Sanitasi yang baik

3) Penyimpanan makanan dalam lemari es (suhu maksimum 5,5°C) segera

setelah dimasak hingga makanan tersebut akan dikonsumsi.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 150


8. Yersiniosis
Agen penyebab penyakit

Agen Penyebab yersiniosis adalah Yersinia enterocolitica. Masa

inkubasi adalah 1-7 hari dengan lama sakit antara 1-2 hari. Gejala dapat berupa

nyeri perut yang menyerupai radang appendix, demam, diare (seringkali

bercampur darah), kadang-kadang disertai muntah.

Sumber

Bakteri ini biasa ditemukan pada babi dan limbahnya, akan tetapi dapat

pula diisolasi dari hewan lain, baik liar maupun peliharaan, makanan laut, susu,

buah-buahan dan sayuran. Yersinia dapat tumbuh dengan lambat pada

temperatur lemari es.

Pencegahan

Selalu memasak atau memanaskan kembali makanan yang akan

dikonsumsi dengan sempurna dan seksama. Disamping itu personal hygiene dan

sanitasi yang baik sangat diperlukan untuk menghindari yersiniosis.

Tabel 1 di bawah ini berisi rangkuman dari beberapa Bakterial Foodborne

Disease yang mencantumkan masa inkubasi, lama sakit, gejala, cara penularan dan jenis

makanan asal hewan sebagai sumber penularan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 151


Tabel 8. Reberapa jenis bakteri penyebab foodborne disease dan bahan
makanan asal hewan sebagai makanan perantara.

Jenis bakteri Masa Lama sakit Gejala Cara Jenis makanan


inkubasi penularan
Salmonella 6-48 jam 3-5 hari Sakit perut, Infeksi Daging, daging
diare, mual, ayam dan
kedinginan, produknya, telur,
demam, pusing produk susu

Staphylococcus 0,5-8 jam 1-2 hari Muntah yang Toksin Daging ham, es
aureus hebat, diare, dalam krim, keju
sakit perut dan Makanan
kejang

Clostridium 9-15 jam 1 hari Nyeri perut, Toksin Daging yang telah
perfringens diare, mual dalam usus dimasak dan daging
ayam

Clostridium 12-48 jam Kematian dalam Pandangan Toksin Susu segar dan
botolinum 1-8 hari, atau kabur, kesulitan dalam daging ayam
periode berbicara, makanan
penyembuhan menelan dan
lebih dari 6-8 bernafas
bulan

Campylobacter 2-10 hari 1-10 hari Demam, infeksi Daging


jejuni pusing, nyeri
otot, diare, sakit
perut, mual

III. EKOLOGI ORGANISME DALAM MAKANAN

Bakteri penyebab penyakit yang ditularkan melalui makanan memerlukan suhu dan

zat gizi yang terdapat pada induk semangnya (manusia atau hewan) untuk tumbuh dan

berkembang biak. Akan tetapi mereka dapat dipindahkan ke induk semang lainnya secara

langsung atau tidak langsung melalui makanan. Beberapa jenis makanan, dalam bentuk

cair maupun padat, dapat bertindak sebagai media perantara tersebut dimana bakteri

tersebut dapat tumbuh bahkan berkembang biak apabila komposisi bahan makanan dan

lingkungan sekitarnya mendukung.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 152


Jumlah suatu organisme dalam suatu makanan akan ditentukan oleh 3 (tiga) hal

pokok yaitu: a) sifat alamiah bahan makanan, b) suhu bahan makanan, dan c) lama

penyimpanan bahan makanan tersebut. Sedangkan jumlah atau dosis organisme yang

diperlukan untuk dapat menginfeksi atau menghasilkan toksin yang cukup untuk

menimbulkan gejala sakit tergantung kepada: a) jenis organisme, dan b) kondisi

kesehatan orang yang mengkonsumsi makanan terkontaminasi.

Jenis makanan yang paling sering diasosiasikan dengan kejadian penyakit

keracunan makanan adalah makanan yang berasal dari hewan terutama daging dan

daging unggas, beserta hasil olahannya.

Kasus penyakit yang ditularkan melalui makanan pada umumnya diawali oleh

kontaminasi yang terjadi pada saat mempersiapkan makanan (daging dan daging unggas)

dan lamanya penyimpanan makanan yang telah dimasak sebelum dikonsumsi. Beberapa

jenis organisme. memiliki ekologi yang khas dan sering diasosiasikan dengan jenis

makanan ini, yaitu :

1. Clostridiurn

Kasus enteritis C. perfringens biasanya terjadi setelah mengkonsumsi makanan

yang mengalami pemanasan ulang. Dalam proses pemasakan (misalnya direbus, dikukus

atau dipanggang), suhu makanan biasanya tidak lebih dari 100°C. Pada suhu ini masih

ada sebagian spora yang tetap bertahan dan dengan pemanasan kembali, bentuk spora

akan berubah menjadi bentuk vegetatif. Apabila makanan tersebut mengalami proses pen

dinginan lambat (didinginkan pada suhu ruangan) sebelum dikonsumsi, maka pada saat

suhu mencapai suhu ideal untuk berkernbang biak (dibawah 50°C) sel vegetatif akan

menjadi aktif dan berkemang biak dengan cepat. Untuk dapat menimbulkan gejala sakit,

diperlukan adanya sel vegetatif dalam jumlah banyak dalam makanan. Gejala sakit timbul

akibat toksin yang dihasilkan di usus pada saat pembentukan spora karena C. perfringens

tidak membentuk spora pada makanan yang dikontaminasinya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 153


Spesies lain dari genus Costridium adalah C botulinum yang lebih bersifat fatal.

Pembentukan toksin tejadi pada makanan. Beruntunglah bahwa toksin C. botulinum lebih

sensitif terhadap panas.

2. Staphylococcus aureus
Dalam intoksikasi staphylococcus, keracunan makanan umumnya dihubungkan

dengan daging masak yang dikonsumsi dalam keadaan dingin. Diduga organisme

tersebut berasal dari tangan orang yang terlibat dalam proses produksi, pengirisan atau

penyajian.

3. Salmonella sp

Hampir seluruh serotipe salmonella yang berhasil mencapai makanan berasal dari

bahan mentah. Daging unggas dan daging, pada umumnya sudah terkontaminasi ketika

masih di tempat pemrosesan karkas. Kontaminasi silang yang terjadi antara bahan mentah

dengan makanan yang telah dimasak dapat terjadi melalui tangan, permukaan peralatan

memasak dan peralatan lainnya serta pakaian pekerja.

IV. PENGENDALIAN
Penyakit yang ditularkan melalui makanan pada umumnya terjadi akibat kesalahan

manusia dalam proses penanganan makanan yang menyebabkan terkontaminasinya

makanan oleh bakteri. Mengingat titik-titik rawan yang memungkinkan terjadinya

kontaminasi adalah a) saat mempersiapkan makanan, dan b) pada periode penyimpanan

makanan sejak setelah dimasak hingga saat dikonsumsi, maka beberapa hal yang perlu

mendapat perhatian adalah :

1. Saat mempersiapkan makanan

Pemisahan antara bahan mentah dengan makanan yang telah dimasak yang perlu

diterapkan dalam alur kerja secara umum di industri makanan. Untuk itu perlu adanya

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 154


pembagian area serta pemisahan pekerja dan peralatan yang dibedakan antara bahan

mentah dan makanan yang telah masak.

Bagi para pengolah makanan harus selalu mencuci tangan dan peralatan setiap kali

selesai memegang/mengerjakan bahan mentah produk hewani terutama bila

hendak menangani makanan matang.

Penanganan produk hewani dalam bentuk segar atau belum dimasak perlu

diperhatikan dengan seksama agar cairan yang berasal dari daging (drip) tidak

mengkontaminasi makanan atau permukaan benda lain disekitarnya

2. Periode penyimpanan makanan sejak setelah dimasak hingga saat dikonsumsi.

Penanganan makanan setelah dimasak.

Pendinginan makanan secara cepat pada suhu 4-8°C (suhu lemari es)

sangat penting untuk mencegah tumbuh dan berkembang biaknya bakteri

kontaminan. Pemanasan kembali hanya dilakukan apabila makanan akan segera

dikonsumsi.

Mempertahankan suhu internal makanan

Bagi makanan yang akan disajikan panas suhu minimum harus tetap

60°C. Sedangkan makanan yang disajikan dalam keadaan dingin suhu internal

tidak lebih dari 5,5°F.

Untuk mempermudah pengawasan suhu internal, sebaiknya makanan

yang dimasak dalam jumlah besar (terutama daging sapi, daging kalkun) dibagi

menjadi beberapa bagian yang lebih kecil.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 155


BAB VI

PEDOMAN TEKNIS SANITASI LINGKUNGAN

RUMAH PEMOTONGAN HEWAN/UNGGAS

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang.
Rumah Pemotongan Hewan (RPH)/Rumah Pemotongan Unggas (RPU) adalah

suatu bangunan atau komplek bangunan dengan disain tertentu yang dipergunakan

sebagai tempat memotong hewan/unggas secara benar bagi konsumsi masyarakat luas

serta harus memenuhi syarat tertentu.

Dalam era pembangunan yang berwawasan lingkungan, Rumah Pemotongan

Hewan/Unggas sebagai unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat, aman

serta halal harus memperhatikan faktor lingkungan.

Di dalam kegiatannya RPH/RPU memberikan dampak penting berupa produk

limbah organik yang dihasilkan dari proses pemotongan hewan/unggas dan apabila

penanganan limbahnya tidak dikelola sesuai dengan aspek-aspek lingkungan dapat

mengakibatkan dampak negatif yang membahayakan kesehatan masyarakat. Pada

umumnya limbah yang dihasilkan RPH/RPU berupa limbah cair, limbah padat, limbah

udara dan kebisingan. Limbah cair antara. lain dalam bentuk sisa-sisa darah, urine dan air

kotor yang merupakan sisa penggunaan air pada proses produksi/pembersihan serta

sisa-sisa pemakaian o1i pada peralatan pemotongan hewan atau generator listrik. Limbah

padat antara lain dalam bentuk kotoran hewan, bagian-bagian/irisan karkas yang diafkir

serta bangkai hewan mati akibat kasus-kasus tertentu. Sedangkan limbah udara dalam

bentuk bau kotoran hewan serta asap yang berasal dari pembakaran hewan yang

mati/bagian-bagian karkas yang diafkir. Kebisingan ditimbulkan oleh permakaian mesin

disel pada saat-saat tertentu. Dalam penyelenggaraan kegiatan RPH/RPU diupayakan

agar senantiasa ber-motto-kan “Meningkatkan dampak positif kegiatan yang terkait dan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 156


menurunkan serendah mungkin dampak negatifnya adalah tindakan yang bijaksana dan

ramah terhadap lingkungan", .

Batasan-batasan teknis Rumah Potong Hewan Unggas dan Kesehatan Lingkungan.

(1) Rumah Pemotongan Hewan/Unggas (RPH/RPU) adalah suatu bangunan dengan

disain tertentu yang dipergunakan sebagai tempat memotong hewan/unggas secara

benar bagi konsumsi masyarakat luas.

(2) Usaha pemotongan hewan / unggas adalah kegiatan yang dilakukan Perorangan atau

Badan Hukum yang melaksanakan pemotongan hewan / unggas di Rumah

pemotongan Hewan / Unggas milik sendiri atau milik pihak lain atau menjual jasa

pemotongan hewan / unggas.

(3) Hygiene adalah kesehatan masyarakat yang khusus meliputi segala usaha untuk

melindungi, memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan badan dan jiwa, baik

untuk umum maupun untuk perorangan, dengan tujuan memberikan dasar-dasar

kelanjutan hidup yang sehat serta mempertinggi kesejahteraan dan daya guna

perikehidupan manusia.

(4)Sanitasi adalah suatu. penataan, kebersihan yang, bertujuan meningkatkan /

mempertahankan kejadian suatu tempat atau benda vang sehat sehingga tidak

berpengaruh negatif terhadap lingkungan hidup sekitarnya.

(5) Lingkungan hidup adalah suatu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan

dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang

mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk

hidup lainnya.

(6) Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,

energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan

lingkungan oleh kegiatan menusia dan oleh proses alam, sehingga kualitas

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 157


lingkungan harus sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi

kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.

(7) Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan,

pemeliharaan, pengawasan. pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan

hidup.

(8) Dampak lingkungan adalah perubahan lingkungan yang dikaitkan oleh suatu kegiatan.

(9)Pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana

menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana, dalam pembangunan

yang berkesinambungan untuk meningkatkan, mata hidup.

(10)Pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) adalah

pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi saat ini tanpa

mengurangi, kemampuan generasi-geperasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan

dan aspirasinya.

(11)Limbah adalah buangan dari proses pemotongan hewan potong dan hasil ikutannya

yang tidak dimanfaatkan.

(12)BOD (Biological Oxigen Demand) adalah banyaknya oksigen dalam miligram

perliter (mgr/liter) yang diperlukan untuk menguraikan benda organik oleh bakteri

sehingga limbah tersebut menjadi jernih kembali.

(13)COD (Chemical Oxigen Demand) adalah banyaknya oksigen dalam miligram perliter

(mgr/liter) yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda

organisme secara kimiawi.

II. DASAR HUKUM


1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Peternakan dan Kesehatan Hewan.

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok, Pemerintahan Di

Daerah.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 158


3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

4. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983, tentang Kesehatan Masyarakat

Veteriner.

5. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1983, tentang Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan.

6. SK Menteri KLH No. Kep-12/MENKLH/l/1994, tentang Pedoman Umum Upaya

Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)

7. SK Menterl Pertanian No. 752/Kpts/OT.210/10/1994. tentang Pedoman Teknis

Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan

(UPL) Rencana Usaha atau Kegiatan lingkup Pertanian.

8. SK Menteri Pertanian No. 555/Kpts/TN.240/9/1986, tentang Syarat-syarat Rumah

Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan.

9. SK Menteri Pertanian No. 557/Kpts/TN.520/9/1987, tentang Syarat-syarat Rumah

Pemotongan Unggas (RPU) dan Usaha Pemotongan Unggas.

10. SK Menteri Pertanian No. 295/Kpts/TN 240/3/1989, tentang Pemotongan Babi

dan Penanganan Daging Babi serta Hasil Ikutannya.

11. SK Menteri Pertanian No. 413/Kpts/TN 310/7/1992, tentang Pemotongan Hewan

Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya.

12. SK Menteri Pertanian No. 306/Kpts/TN.330/4/1994., tentang, Pemotongan

Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta hasil ikutannya.

III. MAKSUD DAN TUJUAN


Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan

Lingkungan (UPL) ini dibuat untuk:

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 159


1. Memberikan petunjuk yang lebih rinci serta memberikan arahan kepada

pemrakarsa atau konsultan di dalam menyusun dokumen UKL dan UPL suatu

jenis rencana usaha atau kegiatan

2. Kepentingan pengelola/petugas dari suatu rencana usaha atau kegiatan di dalam

melaksanakan kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan

Diharapkan dengan adanya pedoman teknis ini pemrakarsa dan atau konsultan ataupun

pengelola dapat lebih mudah menyusun UKL dan UPL bagi rencana usaha atau kegiatan

RPH/RPU agar memenuhi kriteria pembangunan yang berwawasan lingkungan.

IV. PEDOMAN TEKNIS

1. Lokasi

Lokasi Rencana Usaha atau Kegiatan pendirian RPH/RPU berdasarkan Rencana

Umum Tata Ruang (RUTR) bila ada atau Pola Dasar Pembangunan Daerah

Tingkat II yang bersangkutan.

2. Lahan
Untuk mencegah timbulnya masalah sosial terutama keresahan masyarakat maka

status tanah harus jelas dan sesuai bagi kegiatannya / peruntukannya menurut

peraturan perundang- undangan yang berlaku

3. Bangunan
(1) jenis bangunan

Pada dasarnya jenis bangunan yang ada pada komplek RPH/RPU adalah

a. bangunan utamaRPH/RPU.

b. kandang peristirahatan yang sebagian dipergunakan untuk pemeriksaan

antemortem.

c. laboratorium sederhana untuk RPH/RPU tipe C dan D yang dapat

dipergunakan untuk pemeriksaan kuman dengan pewarnaan cepat, parasit.

pH, pemeriksaan permulaan pembusukan dan kesempurnaan pengeluaran

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 160


darah. Untuk RPH/RPU tipe A dan B perlu dilengkapi dengan peralatan

unuk pencemaran mikroba dan residu.

d. tempat memperlakukan hewan/unggas atau karkas yang ditolak berupa

tungku pembakaran atau penguburan.

e. tempat isolasi hewan yang ditunda penanganannya

f. bak pengendap pada saluran buangan cairan menuju ke sungai/kali

g. ruang administrasi, tempat penyimpanan alat, kamar mandi dan WC.

h. halaman yang dapat dipergunakan sebagai tempat parkir kendaraan.

i. tempat penampungan sementara kotoran padat belum diangkut keluar

komplek RPH/RPU

(2) Konstruksli bangunan.

Konstruksi bangunan dibuat dari beton, semen atau besi anti karat. Pada

tempat-tempat tertentu sesuai dengan syarat-syarat RPH/RPU:

a. berdinding dalam kedap air terbuat dari semen porselin atau bahan yang

sejenis setinggi 2m sehingga mudah untuk dibersihkan.

b. berlantai kedap air, landai kearah saluran pembuangan, agar air mudah

mengalir, tidak licin dan sedikit kasar.

c. sudut pertemuan antar dinding dan dinding dengan lantai berbentuk

melengkung.

d. berventilasi yang cukup, untuk menjamin pertukaran udara, ventilasi

harus dilengkapi dengan kawat kasa.

(3) Tata letak bangunan

Tata letak dan kondisi tempat serta struktur bangunan sangat menentukan tata

lingkungan dari RPH yang merupakan salah satu parameter kebersihan

lingkungan kota. Bentuk lahan, jenis tanah, pondasi agar sesuai untuk

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 161


bangunan permanen. Bentuk bangunan harus disesuaikan dengan tahapan

proses pemotongan sehingga produk akhir tidak tercemar oleh penanganan

yang tidak higienis. Komplek RPH/RPU dibatasi dengan dinding pagar atau

pagar kawat untuk keamanan lalu lintas hewan ataupun manusia. Komplek

RPH babi bila berada pada satu lokasi harus dipisahkan dengan tembok

pembatas setinggi 4m.

4. Peralatan
Peralatan yang diperlukan untuk RPH/RPU yang berwawasan lingkungan selain

peralatan untuk operasional RPH/RPU, juga harus dilengkapi dengan peralatan

pemantauan lingkungan.

(1) Peralatan untuk operasional RPH/RPU:

a. Alat-alat yang dipergunakan untuk persiapan sampai dengan penyelesaian

proses permotongan termasuk alat penggerek dan penggantung karkas

pada waktu pengulitan serta pakaian khusus untuk tukang sembelih dan

pekerja lainnya harus dijaga kebersihannya.

b. Peralatan yang lengkap untuk petugas pemeriksaan harus dijaga

kebersihannya.

c. Penyediaan air bersih yang cukup dan khusus untuk RPH babi/unggas

tersedia air hangat yang dipakai untuk perontokan bulu.

d. Penerangan yang cukup;

e. Alat pemelihara kebersihan

f. Kendaraan angkut daging yang memenuhi persyaratan.

(2) Peralatan pemantauan lingkungan.

Pernantauan lingkungan harus dilaksanakan secara berkala

Beberapa contoh peralatan yang dipakai pemantau lingkungan, antara lain:

a. Alat pengukur BOD/COD

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 162


b. Alat pengukur zat padat tersuspensi

c. Alat pengukur pH

d. Alat pengukur kebisingan

e. Alat pengukur debu

f. Alat pengukur kadar amoniak terlarut

g. Alat lain-lain (yang dianggap per1u).

Pemantauan rutin dilaksanakan bekerjasama dengan laboratorium lingkungan

yang ada atau laboratorium- laboratorium yang diberi wewenang dan dapat

melakukan pengujian tersebut.

5. Tenaga kerja
Tenaga kerja pada RPH/RPU terbagi atas:

1) Karyawan resmi RPH/RPU umumnya terdiri dari tenaga teknis (dokter

hewan/paramedis peternakan) dan tenaga non teknis. Untuk tenaga non teknis

(misalnya penjaga keamanan, karyawan pembersih lingkungan) hendaknya

dapat menggunakan tenaga yang berasal dari lokasi RPH/RPU setempat.

Terhadap semua tenaga tersebut harus dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh

Dokter yang berwenang secara berkala dan dinyatakan sehat dengan surat

keterangan dokter.

2) Tenaga pengguna jasa

Untuk kesehatan daging dan lingkungan semua yang terkait dengan kegiatan

RPH/RPU harus berbadan sehat.

6. Ternak
Ternak yang masuk pada komplek RPH/RPU harus sehat bebas dari penyakit

hewan menular (dibuktikan dengan surat keterangan kesehatan hewan).

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 163


7. Makanan Ternak
Makanan ternak yang berupa. hijauan makanan ternak harus berasal dari daerah

yang bebas dari penyakit hewan menular serta dalam keadaan bersih dan segar,

sedangkan makanan ternak yang berasal dari hasil olahan industri harus berasal dari

industri yang mempunyai izin. Penempatan hijauan makanan ternak dan makanan

olahan industri ditempatkan sedemikian rupa sehingga terjaga keutuhannya dan

tidak merupakan tempat hama lainnya.

8. Air
Air yang dipergunakan untuk RPH/RPU ada 2 golongan,yaitu :

(1) Golongan B, yaitu air yang dapat dipergunakan sebagai air minum dan

keperluan rumah tangga (termasuk air yang dipergunakan sejak awal sampai

akhir memerosesan pemotongan sampai konsumen demikian pula untuk pen-

cucian peralatan).

(2) Golongan C, yaitu air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan.

dan petemakan (minum temak, pencucian kandang).

Penjelasan baku mutu air sebagaimana. dimaksud di atas dapat dilihat pada tabel 1).

Sumber air dapat berasal dari PAM atau sumur bor (dengan izin). Bila.

menggunakan sumur bor maka harus dibuat dengan jarak 15-30 meter dari septic

tank yang ada.

9. Perizinan
Surat Izin Usaha Pemotongan Hewan/Unggas, baru dapat diberikan bila

RPH/RPU telah membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya

Pemantauan Lingkungan (UPL) sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 164


10. Pengujian hasil
Bila terjadi sengketa terhadap hasil uji laboratorium yang dilakukan maka. sebagai

rujukan :

(1) Terhadap hygiene daging dapat merujuk kepada Laboratorium Kesmavet

Pemerintah yang ada atau ke Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan

atau Balai Penyidikan Penyakit Hewan diwilayahnya dan Lokasi Pengujian

Produk Peternakan.

(2) Terhadap lingkungan dapat merujuk kepada Laboratorium Lingkungan

Pemerintah atau laboratorium-laboratoriur lingkungan yang diberi wewenang

untuk itu.

11.Organisasi
Di dalam struktur organisasi RPH/RPU harus tergambar jelas bagian yang

bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hygiene dan sanitasi lingkungan serta

kaitan koordinasi dengan instansi yang terkait.

12. Interaksi komponen kegiatan RPH/RPU dcngan komponen lingkungan.


Sejak awal pembuatan RPH/RPU beberapa kegiatan yang beriteraksi dengan

komponen lingkungan yaitu, dengan:

(1) Komponen Fisika dan Kimia.

a. Air

Parameter kegiatan RPH/RPU yang berinteraksi dengan air adalah kenaikan

BOD/COD, warna, minyak dan lemak, amoniak, bau air, zat padat terlarut

(kekeruhan) dan bakteri Coli serta perubahan pH. Pengujian mutu kualitas

lingkungan air sebelun operasional dan pada saat operasional secara rutin perlu

dilakukan, untuk mengetahui perubahan mutu kualitas akibat suatu kegiatan. Bila.

perubahan yan terjadi melebihi ambang batas baku mutu maka di perkirakan telah

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 165


terjadi perusakan lingkungan. Titik pengambilan sampel air untuk pengujian baku

mutu pada saat prakonstruksi dan pada saat operasional harus pada tempat yang

sama dan harus diberi tanda.

Baku mutu air pada titik pembuangan pada badan limbah tidak boleh melebihi

baku mutu peruntukannya.

b.Udara

Parameter komponen kegiatan RPH/RPU yang mempengaruhi udara adalah

kebisingan akibat suara hewan/unggas dan generator listrik yang dipergunakan saat-

saat tertentu (umumnya pada malam hari). Suara bising yang tidak menganggu

adalah di bawah 80 desibel dengan jarak 200 meter dari pusat kebisingn, diambil

dari titik arah berlawanan angin dominan. Parameter lain adalah Carbon monoksida.

(CO) yang timbul akibat pembakaran sisa-sisa potongan karkas yang diafkir,

bangkai hewan mati dan sisa-sisa makanan ternak.

c.Topographi

Air buangan harus memperhatikan keadaan topographi lokasi agar tidak timbul

erosi atau abrasi.

(2) Komponen Biota Perairan.

Kualitas lingkungan perairan dapat tercermin dengan adanya plankton, benthos dan

ikan. Keberadaan biota perairan yang ada pada saat prakonstruksi perlu mendapat

perhatian untuk tetap dipertahankan kelangsungan hidupnya dengan menghindari

kondisi perairan yang tercemar.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 166


(3) Komponen Biota Darat

Keberadaan biota darat pada saat prakonstruksi perlu diperhitungkan terutama pada

biota darat yang dapat menyebarkan hama lalat. Kenaikan jumlah biota tersebut

mencerminkan kurang baiknya penanganan limbah padat.

(4) Komponen sosial budaya.

Keberadaan RPH/RPU pada. suatu daerah hendaknya memberikan dampak positif

bagi sosial budaya masyarakat di wilayah dimana RPH/RPU tersebut berada.

13. Limbah RPH/RPU


Jenis potensi limbah yang berasal dari proses kegiatan RPU antara lain :

(1) Limbah cair berupa sisa-sisa. darah, air kencing (urine hewan dan air kotor

yang merupakan sisa-sisa. penggunaan air pada saat proses produksi /

pembersihan, sisa-sisa pemakaian oli pada. peralatan pemotongan hewan atau

mesin diesel serta air yang berasal dari pembersihan pada kandang

peristirahatan / kandang isolasi dan yang berasal dari laboratorium.

(2) Limbah padat dapat berupa. kotoran hewan, sisa-sisa kandang,

bagian-bagian/irisan karkas yang diafkir serta bangkai hewan mati akibat

kasus-kasus tertentu.

(3) Limbah udara dapat berupa bau kotoran hewan, bau urine, kebisingan yang

ditimbulkan oleh pemakaian mesin diesel pada. saat tertentu serta asap yang

berasal dari pembakaran hewan mati/bagian-bagian karkas yang diafkir.

Secara praktis; pengolahan limbah menurut kelas RPH/RPU dapat dilihat pada

tabel 2.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 167


14. Upaya Pengelolaan Limbah RPH/RPU
Yang dimaksud dengan upaya pengelolaan limbah adalah upaya terpadu dalam

pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pemulihan dan

pengembangan limbah.

(1)Pengelolaan limbah cair :

Yang dimaksud limbah cair adalah limbah yang berbentuk cair atau fluida yang

sering kali menimbulkan permasalahan lingkungan. Karakteristiknya mudah

mengalir, banyak menimbulkan persoalan lingkungan karena efek yang

ditimbulkannya mencakup area yang sangat luas.

Limbah cair yang berasal dari RPH/RPU bersumber pada :

a. Perkantoran dan laboratorium

b. Pencucian jeroan, pencucian kamar potong dan pencucian ruang pencabut

bulu.

c. Pencucian kandang peristirahatan, kandang isolasi dan kotak pengangkut

unggas.

d. Alat generator listrik.

e. Air bekas pendinginan karkas.

Pengelolaan limbah cair. yang bersumber pada:

a. Perkantoran dan laboratorium.

Limbah cair yang berasal dari perkantoran dan laboratorium dialirkan

pada septik tank dengan ukuran tertentu dengan memperhitungkan sifat

kerembesan tanah, sehingga. tidak berpenggaruh negatif pada lingkungan,

b. Darah, urine, air sisa pencucian-jeroan, pencucian ruang pemotongan,

pencucian kandang / kotak pengangkut unggas serta kandang isolasi.

Limbah cair yang dihasilkan dari tempat ini dialirkan pada saluran yang

selalu terpelihara dan untuk selanjutnnya ditampung dalam kolam

oksidasi sebelum dibuang pada kali/sungai yang ada. Air yang dibuang

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 168


pada badan kali/sungai, baku mutunya tidak boleh merobah baku mutu

awal sungai sebelum ada kegiatan dimaksud atau peruntukan sungai/kali

tersebut.

c. alat generator listrik

Oli untuk generator listrik tidak diperkenankan untuk dibuang dan

sebaiknya ditampung untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada

tungku pembakaran.

Beberapa metoda penanganan limbah cair antara lain :

a. Metoda Sedimentasi atau klasifikasi adalah cara perlakuan yang paling sederhana,

bermanfaat dan ekonomis untuk memisahkan cairan dan padatan. Pelaksanaannya

yaitu dengan memakai bak dengan ukuran tertentu untuk menampung aliran

sejumlah air limbah beberapa jam sampai beberapa hari.

Kolam/bak tersebut terdiri dari :

(a) Bak penyaringan untuk kotoran padat yang ukuran besar.

(b) Bak stabilisasi untuk mengendapkan sisa kotoran padat yang tersuspensi dalam

limbah cair. Limbah padat yang dihasilkan dari dalam bak untuk selanjutnya

diproses menjadi pupuk atau biogas.

(c) Bak indikator yang digunakan sebagal indikator kualitas limbah cair yang

dihasilkan sebelum dialirkan ke sungai umum.

b. Metoda Koagulasi dan Sedimentasi yaitu dengan menambah bahan perkoagulan

(misalnya alum) berbentuk presipitat menggumpal. Campuran air presipitat diaduk

perlahan-lahan untuk meningkatkan aglomerasi bahan tersuspensi dan presipitat.

Kemudian diikuti dengan sedimentasi untuk menyingkirkan bahan yang mengendap

dan selanjutnya dengan filtrasi untuk menyingkirkan yang halus. Koagulasi dan

sedimentasi dipadukan dengan filtrasi menghasilkan afluen yang jernih.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 169


c.Metoda Granular/metoda Filtrasi kurang dipakai untuk keperluan air limbah.

Metoda ini menggunakan pasir, arang atau kombinasi keduanya sebagai filter.

d.Metoda Flow Equalization terdiri dari tangki penyimpanan dan alat pemompa untuk

mengurangi fluktuasi dalam laju aliran limbah ke sistern perlakuan. Proses akan

berjalan lebih baik jika jumlah air limbah yang ditambahkan bersifat konstan.

e.Metoda perlakuan biologik adalah proses anaerobik, laguna aerobik dan variasi serta

proses activited Sludge dan high rate traciling filter. Dapat diterapkan pula rotaring

biological contractor. Sistem anaerob memakai mikrobia anaerobik dan fakultatif yang

bekerja pada ketiadaan DO untuk mengurai limbah organik. Sistem anaerobik memiliki

daya menghilangkan sebagian besar BOD dan padatan tersuspensi dan sangat efektif

pada limbah yang mempunyi kadar inisial BOD dan padatan organik yang tinggi.

Proses ini ekonomik dan memerlukan lahan yang kecil. Sistem anaerobik memakai

laguna (tanggul tanah) dan tangki beton yang berisi campuran mikroorganisme dan air

limbah. Biasanya sistem ini dipakai pada tahap pertama yang kemudian diikuti dengan

laguna aerobik. Sistem ini menurunkan initial organic yang tinggi ke konsentrasi yang

lebih mudah diperlakukan dengan sistem aerobik.

f. Variasi dari proses "activited sludge"' digunakan bila jumlah air limbah relatif kecil.

Pada dasarnya proses ini merupakan suatu sistim yang memanfaatkan pertumbuhan

mikroorganisme secara aktif untuk menguraikan limbah cair secara biologis.

(2) Pengelolaan limbah padat.

Yang dimaksud limbah padat pada setiap negara tidak sama, tergantung dari

kondisi, jenis, bentuk dan komponen limbah. Klasifikasi secara umum sebagai

berikut:

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 170


a. sampah organik mudah busuk (garbage), yatu limbah padat semi basah

berupa bahan organik yang umumnya berasal dari sektor pertanian dan

makanan. Limbah ini mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah

membusuk. Limbah yang termasuk katagori ini pada RPH/RPU adalah:

kotoran unggas. isi jeroan dan sisa-sisa makanan ternak.

b. sampah organik yang tidak membusuk (rubbish) yang lebih padat, cukup

kering dan sulit terurai oleh mikroorganisme sehingga sulit membusuk.

Contoh limbah ini pada RPH/RPU antara lain: kertas, plastik, kaca, botol

d1l.

c. sampah bangkai binatang (dead animal) yaitu semua limbah yang berupa

bangkai hewan, bagian karkas yang diafkir serta afkiran sampel organ sisa

hasil pemeriksaan laboratorium.

d. sampah abu (ashes) yaitu limbah yang mudah terbawa angin tetapi tidak

mudah membusuk. Contoh: bulu (bulu halus dari kegiatan perontokan

bulu).

Penanganan (pengelolaan) limbah Padat di RPH/RPU:

Umumnya limbah padat yang dihasilkan oleh RPH/RPU sebagian besar dapat

diproses lebih lanjut sehingga. mempunyai nilai ekonomi. Cara penanganan limbah padat

tersebut di atas ditangani sesuai dengan sifat limbah itu sendiri:

a. Penanganan limbah padat mudah membusuk (garbage)

Untuk penanganan limbah ini sebaiknya disediakan tempat penampungan yang

berlantai semen bersudut miring sehingga mudah untuk dibersihkan, atau dalam

keadaan kering dapat dimasukkan dalam karung plastik untuk diolah menjadi kompos

lalu dijual sebagai pupuk kandang.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 171


b.Penanganan limbah padat tidak membusuk (rubbish)

dilakukan antara lain terhadap :

(a) kertas dan plastik dapat dikumpulkan dan dijual untuk didaur ulang atau.

dibakar.

(b) botol obat-obatan setelah dibersihkan dapat dikumpulkan dan dijual atau

dikubur

(c) kuku dan tanduk dapat dikumpul untuk dijual sebagai bahan kerajinan

tangan atau dibakar.

c.Penanganan limbah bangkai hewan (dead anirnal)


Penanganannya dapat dilakukan dengan penguburan sedalam 4 meter dari

permukaan tanah atau dibakar. pada tungku pembakaran. Bulu kasar dikumpulkan

dikeringkan kemudian dimasukkan dalam karung plastik untuk diolah lebih lanjut

sebagai bahan kerajinan rumah tangga.

d.Penanganan terhadap limbah abu (ashes)

Penanganannya dilakukan pengumpulan dengan memasukkan pada kantong plastik

warna hitam untuk kemudian dibakar pada tungku pembakaran.

(3) Pengelolaan limbah udara


Yang dimaksud limbah udara yang diihasilkan RPH/RPU adalah:

a. Gas Carbon Monoksida (CO) dan Nitrogen oksida (NO) yang dihasilkan

akibat pembakaran hewan, afkiran karkas dan lain-lain, gas-gas tersebut

beracun bagi kehidupan manusia maupun biota darat.

b. Bau timbul akibat kotoran maupun urine hewan yang tidak dikendalikan.

c. Bising timbul akibat suara. hewan/unggas dan generator listrik yang

digunakan sewaktu-waktu.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 172


Penanganan limbah udara.

a. Hasil pembakaran bangkai, afkiran karkas dan lain-lain akan menghasilkan gas

antara lain Carbon Monoksida (CO2) dan Nitrogen Monoksida (NO). Agar

cemaran tersebut tidak membahayakan manusia dan biota yang ada, tungku

pembakaran dibuat sedemikian rupa dengan ketinggian lebih tinggi dari

pemukiman penduduk. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah gas-gas tersebut

mengenai kehidupan penduduk dan biota darat akibat hembusan angin.

b. Bising akibat suara generator listrik dapat diredam dengan menempatkan

generator tersebut dalam ruangan kedap suara. Bising yang diperkenankan

maximal 80 dbA, atau dapat dibantu dengan penanaman pohon sekitar sumber

suara serta upaya penempatan sumber suara pada lokasi yang berjauhan dengan

pemukiman. Dari segi, kemesinan sebagai sumber suara dapat juga dipilih

mesin-mesin dengan RPM (Rotation Per Minute) yang rendah sehingga tingkat

kebisingannya rendah. Perawatan mesin yang teratur akan pula dapat

memperbaiki dampak kebisingan.

c. Bau yang menyengat dapat dikurangi dengan menjaga tempat tersebut selalu

kering dan bersih, serta tidak membiarkan kotoran tersebut bertumpuk terlalu

lama.

15.Upaya Pemantauan Lingkungan RPH/RPU


Yang dimaksud dengan Upaya Pemantauan Lingkungan adalah suatu kegiatan

pengawasan dan pengendalian terhadap suatu pelaksanaan kegiatan selama kegiatan

itu masih berlangsung

Upaya pemantauan dilakukan antara lain dengan:

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 173


(1) Membentuk struktur/unit kerja dalam RPH/RPU yang bertanggung jawab

terhadap lingkungan hidup yang melakukan monitoring dan evaluasi secara

reguler dengan:

a. Melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap limbah RPH/RPU secara

priodik.

b. Memantau keluhan masyarakat di sekitar lokasi RPH/RPU

c. Mengadakan evaluasi terhadap hasil pemeriksaa laboratorium dan

keluhan masyarakat untuk perbaikan penanganan limbah RPH/RPU.

d. Membuat laporan secara priodik mengenai pengendalian limbah

RPH/RPU kepada Direktorat Jenderal Peternakan c.q Direktur Bina

Kesehatan Hewan.

(2) Meningkatkan koordinasi hasil penanganan limbah dengan instansi terkait yaitu

Dinas Peternakan, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum/Pengairan, Biro

Kependudukan dan Lingkungan Hidup Propinsi / Bapedal dan dengan

masyarakat.

(3) Meningkatkan peran serta aktif masyarakat dengan meningkatkan kesadaran

mereka melalui pembinaan dan bimbingan agar apabila terjadi pencemaran

lingkungan segera melapor kepada aparat yang terkait untuk segera diambil

langkah-langkah perbaikan. Untuk tidak terjadi kesimpangsiuran dalam tugas

pemantauan kualitas lingkungan, dokumen UKL dan UPL dapat dijadikan

pedoman untuk pemantauan berkesinambungan dan untuk itu titik tempat

pemantauan awal serta metoda awal merupakan titik yang tetap dan selalu

dipergunakan selama kegitan berlangsung, demikian pula metodenya. Untuk

keperluan itu diperlukan buku khusus pencatatan perubahan kualitas

lingkungan tiap bulannya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 174


Metoda dan Analisa pemantauan limbah.

a .Metoda dan analisa komponen fisika-kimia.

Untuk mengungkapkan kualitas kimia-fisik- komponen lingkungan diperlukan data

kualitas kimia fisik. Data tersebut dapat diperoleh dari data sekunder yang berasal

dari institusi yang bertanggungjawab terhadapdata tersebut, serta data primer yang

berasal dari penelitian sendiri,

Data-data tersebut harus memenuhi persyaratan.

(a) Dapat dipertanggungjawabkan

(b) dapat dipercaya

(c) absah

Untuk mernenuhi ketiga syarat tersebut, perlu diperhatikan :

(a) Cara pengambilan sampel (sampling)

(b) Metoda analisa

(c) Cara mengevaluasi hasil analisa

i. Cara pengambilan sampel

ii.Pengambilan sampel air

Pengambilan sampel air, dengan memperhatikan,beberapa aspek antara lain:

(a) .Lokasi sampling, perlu didasarkan pada batas wilayah studi yang bertitik tolak

pada ruang rencana kegiatan serta diperluas ke ruang ekosistem serta ruang

administrasi, sehingga dalam menentukan lokasi sampling perlu diperhatikan.

i. Tata ruang di dalam wilayah studi. Tata ruang perlu diamati untuk melihat

aktivitas-aktivitas kegiatan yang ada di wilayah tersebut, sifat, dan perilaku

kegiatan, topograpi yang ada serta penggunaan lahan lainnya.

ii .Tata air di dalam wilayah studi. Tata air di dalam wilayah studi perlu diamati,

untuk melihat sebaran/distribusi dari afluen dan emisi yang berasal dari

kegiatan-kegiatan yang ada.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 175


Dari kedua hal tersebut di atas dianalisis lokas lokasi yang terpengaruh dan yang

tidak terpengaruh oleh rencana kegiatan dengan mempertimbangkan:

i. Tujuan pengambilan sample

ii. Pengaruh limbah lainnya

iii. Sifat limbah / jenis pencemaran yang akan disampling

iv. Kemudahan dan keselamatan pengambilan sampling

(b) Waktu dan frekuensi sampling

untuk menentukan waktu dan frekuensi yang tepat, perilaku pembuangan limbah

perlu di gambarkan dengan jelas terlebih dahulu.

(c) Cara dan teknis sampling

Dalam pengambilan sampel harus diperhatikan:

i. Sampel yang diambil harus representative dan dapat dipercaya (reliable)

ii. Volume sampel harus sesuai dengan yang akan dianalisa.

iii. sampel harus diambil dengan menghilangkan pengaruh-pengaruh lain pada

kondisi lapangan yang tidak mendukung.

(d) Alat pengambilan sampel

Beberapa jenis alat pengambilan sampel air digunakan berdasarkan metoda

pengambilan sampel yang diinginkan antara lain:

i. Alat pengambilan sampel setempat (point sampler). Selain botol biasa, ada pula

alat khusus yang dapat mengambil sampel air pada kedalaman yang

diinginkankan. Untuk sungai menggunakan tipe horizontal misalnya alat

Wohlenberg. Untuk danau dan waduk menggunakan tipe vertikal misalnya

Ruttner.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 176


ii. Alat pengambil sampel gabungan (integrated sampler). Misalnya menggunakan

tabung USDH.

iii. Alat pengambilan sampel automatik. Alat ini digunakan untuk memperoleh

sampel-sampel pada serentetan waktu yang tepat. Biasanya digunakan untuk

limbah industri atau instalasi pengolahan limbah.

b. Metoda pengambilan sampel air ada 3 (tiga) yaitu:

a) Sampel sesaat (grab sampel)

Pengambilan sampel ini dilaksanakan apabila suatu sumber air mempunyai

karakteristik yang tidak banyak berubah di dalam suatu periode atau di dalam

batas jarak tertentu. Umumnya metoda ini dapat dipakai untuk sumber alamiah,

tetapi tidak mewakili air buangan sumber air yang banyak dipengaruhi air

buangan Untuk air buangan yang karakteristiknya banyak berubah, sampel

sesaat diambil berturut-turut untuk jangka waktu tertentu dan pemeriksaanya

dilakukan sendiri-sendiri. Jangka waktu, selang pengambilan sampel berkisar 3

menit sampai 1 jam atau lebih. Parameter yang dapat diukur dengan metode ini

adalah: pH, kadar gas terlarut, oksigen terlarut, CO2, sulfida, sianida dan

klorin.

b) Sampel gabungan waktu (composite samples)adalah gabungan sampel-sampel

sesaat yang diambil dari satu tempat yang sama pada waktu yang berbeda.

Umumnya pengambilan sampel dilakukan terus-menerus selama 24 jam akan

tetapi dalam beberapa hal dilakukan secara intensif untuk jangka waktu yang

lebih pendek, misalnya selama periode beroperasinya kegiatan atau selama

terjadinya proses pembuangan. Metoda ini tidak dapat dilakukan untuk

pemeriksaan unsur-unsur yang memerlukan sampel sesaat. Volume akhir

sampel gabungan adalah 3-5 liter.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 177


c) Sampel gabungan tempat (integrated samples).

Adalah gabungan sampel-sampel sesaat yang dari tempat berbeda pada waktu

yang sama. Hasil pemeriksaan menunjukkan keadaan rata-rata suatu daerah atau

tempat pemeriksaan. Metoda ini berguna apabila diperlukan pemeriksaan

kualitas air dari suatu penampang aliran sungai yang dalam atau lebar

bagian-bagian pada penampang tersebut memiliki kualitas yang berbeda.

Metoda ini tidak untuk pemeriksaan kualitas air danau atau waduk.

d) Penyimpanan dan pengawetan sampel air.

Sebaiknya analisa air dilakukan segera setelah pengambilan sampel. Apabila

analisa akan di tangguhkan pada keesokan harinya usaha terbaik adalah

pendinginan sampel sampai 40C. Apabila tidak memungkinkan dapat

menggunakan zat pengawet di bawah ini.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 178


Tabel 9. Karakteristik Tempat Penyimpanan, Jumlah Sampel dan Kondisi Penyimpanan
Sampel Air Limbah Menurut Parameter yang Diukur

PENETAPAN TEMPAT KEPERLUAN PENYIMPANAN


PENYIMPANAN SAMPEL (ml) TERLAMA dan
PENGAWETAN
BOD P,G 100 24 jam, pendinginan

COD P,G 100 Analisa segera tambah


H2SO4, pH<2 (7 hari)

Bau G 100-500 Analisa segera pendinginan


40C (7 hari)

pH G - Analisa segera

Suhu P,G - Analisa segera

Residu Klorin G 200-500 Analisa segera

Warna 100-500 Pendinginan 40C 24 jam

Minyak dan G 1000 Tambah HCl atau H2SO4


lemak sampai, pH<2 (24 hari)

Amonia P,G 500 Analisa segera atau


diawetkan 7 hari dengan
0,8 ml H2SO4 pekat/liter

Kekeruhan P,G - Analisa pada hari yang


sama simpan didalam
tempat yang gelap untuk
analisa sampai 7 hari

Bakteri Coli Gelas steril 300 Segera, pendinginan

Keterangan
P : Plastik Polipropilen
G : Gelas

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 179


c.Pengambilan sample udara
Didalam pengambilan sample udara dikenal 2 metoda yaitu :

(a) metoda basah (wet method), pada prinsipnya adalah sampel udara diabsorbsi oleh

suatu larutan kimia yang selektif terhadap jenis gas yang disampling, yang

kemudian larutan dianalisis di laboratorium dengan metoda analisis tertentu.

Peralatan terdiri dari serangkaian impinger, pompa penghisap udara dan selang

penghubung.

(b) Metoda kering (dry method), yaitu sample udara di analisis dengan menggunakan

energi cahaya hasil reaksi kima secara langsung. Peralatan sampling terdiri dari

peralatan yang langsung dapat menganalisis di lapangan.

Untuk sampel udara, analisa harus capat dilaksanakan, pengawetan dilakukan

dengan pendinginan pada 40 C dan tidak lebih dari 24 jam.

d. Pengambilan sampel kebisingan udara.


Peralatan sampling terdiri dari peralatan yang langsung dapat menganalisis di lapangan.

Gambaran tingkat kebisingan pada beberapa kegiatan adalah sebagai berikut :

(a) pembicaraan biasa 60 dbA

(b) Daerah pemukiman 65 dbA

(c) Daerah hutan 40-45 dbA

(d) Kereta api 95 db

Di Indonesia talah ditetapkan nilai ambang batas kebisingan kerja sebesar 85 dbA.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 180


Tabel 10. Metode Analisis Baku Laboratorium
NO PARAMETER METODA PERALATAN

1 Kekeruhan Photometri/Nephelometri Turbidimeter/Nephelometer


2 Warna Perbandingan visual Tabung Nessler
dengan standar pt-Co
3 Suhu Pengukuran langsung Thermometer
4 Amonia Nessler Spektrophotometer
5 PH Elektrometeri PH meter
6 Zat padat tersuspensi Photometri Photometer
7 Chlorida Titrasi
8 COD Reflux dichromat Titrimeter
9 BOD Pengenceran Inkubator
10 Minyak dan Lemak Ekstraksi 1-1-2 Spektophotometer
Trichloroetan

e.Metoda dan analisa komponen Biologi


Komponen biologis, merupakan salah satu komponen lingkungan yang

kemugkinan terkena dampak, sehingga perlu pula diketahui komponen biologi secara

jelas terutama yang diperkirakan terkena dampak.

Bentuk dampak tersebut antara lain dapat berupa:

(a) berkurangnya luas habitat

(b) turunnya kualitas habitat

(c) eksploitasi dan perburuan yang berlebihan

(d) pemanfaatan teknologi yang tidak bijaksana

(e) penurunan populasi

(f) penurunan keanekaan

(g) peledakan populasi tertentu, dll

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 181


Metoda pengumpulan data biota darat:

(a) Contoh metoda pengambilan data vegetasi.

Metoda tanpa plot:

- Buat garis utara sesuai dengan arah kompas.

- Buat garis transek tegak lurus garis utama, pada ujung garis utama.

- Tentukan sejumlah titik sepanjang garis transek

- Ukur jarak dan diameter pohon terdekat. Buat garis-garis transek berikutnya

sejajar garis pertama dan berselang-seling dikedua sisi garis utama.

- Pada setiap garis transek dibuat atau dikerjakan seperti cara di atas.

- Menghitung jarak rata-rata:

Total jarak
=
4 × Jumlah titik

-Kerapatan pohon per hektar:

10.000
=
rata − rata jarak

(b) Beberapa contoh pengumpulan data satwa

i. Sensus.

Adalah perhitungan semua jenis satwa yang meliputi suatu areal pada suatu waktu

tertentu atau suatu interval waktu pada areal tertentu.

ii.Pendugaan populasi dengan perhitungan total: Wilayah jelajah satwa diketahui

terlebih dahulu.

- Areal cukup kecil.

- Satwa mudah dilihat

- Satwa relatif menetap

- perlu diulang beberapa kali untuk menghindari perhitungan ulang

iii. Pendugaan populasi dengan perkiraan

Derajat kebenaran dipengaruhi oleh:

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 182


- Lama pejabat ditempat itu.

- Aktifitas pejabat dalam mengetahui kawasannya.

- Cara perkiraaan berdasarkan: jejak kaki, suara, lihat langsung, kombinasi

langsung dan tidak langsung.

iv. Pendugaan "Capture Recapture".

- menangkap jumlah satwa dan menandai.

- melepas jumlah satwa yang ditandai.

- menangkap kembali sejumlah satwa.

- Populasi terduga (N).

H.n
N=
M
H = jumlah satwa yang ditandai
n = populasi yang tertanda dan tertangkap kembali
M = jumlah satwa yang ditangkap

e. Metoda analisa biota perairan.

Kualitas lingkungan perairan parameternya ditentukan dengan-adanya ikan, plankton

dan bentos.

(a) Pengumpulan plankton.

i. Pengumpulan kualitatif di kolam atau di danau dapat dilakukan dengan

menggunakan jala plankton baik secara horizontal maupun vertikal.

Pengambilan contoh plankton pada perairan yang banyak tumbuhan

terapung dengan menggunakan jala plankton bertangkai.

ii. Pengumpulan secara kualitatif, dengan cara air yang telah diketahui

volumenya dituangkan pada jala plankton. Plankton yang terjaring

dikumpulkan dan dihitung.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 183


(b) Pengumpulan bentos.

i. Bentos pada air tergenang.

Pengmpulan bentos dari dasar sungai, kolam atau sawah yang tergenang dapat

dilaksanakan dengan alat Ekmandrege yang mempunyai luas 20 x 20 cm2.

Contoh: lumpur yang mengandung komonikan bentos dimasukan kedalam ember

kemudian dituangkan dalam kantung plastik dan diberi pengawet Formalin 40%

secukupnya lalu dibawa ke laboratorium yang ditunjuk untuk dihitung.

ii.Bentos pada air mengalir.

Pengumpulan bentos pada air mengalir, misalnya sungai dapat menggunakan jala

Surber yang mempunyai luas 40 x 25 cm2. Jala tersebut harus diletakan pada

dasar perairan dari sungai dengan arah menentang aliran arus. Caranya: area

seluas 0,1 m2, kita aduk-aduk dengan hati-hati sehingga organisme bentos yang

melekat di batu-batu, pasir, atau lumpur tercuci akan hanyut dan terapung dijala

Surber, kemudian kita masukan dalam kantung plastik dan diberi formalin 40%

untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dihitung.

f. Metoda analisa komponen sosial budaya.


Dampak yang timbul pada komponen sosial budaya pada tiap periode kegiatan

berbeda-beda, sesuai dengan periode kegiatan tersebut. Dampak yang timbul pada:

(a)Periode Prakonstruksi.

Pada periode ini umumnya dampak yang muncul adalah proses ganti rugi

pemilikan tanah. Untuk mengatasi hasil ini tokoh masyarakat informal perlu

diikutsertakan di dalam penentuan nilai rugi. Persepsi masyarakat terhadap

rencana kegiatan usaha perlu dipertimbangkan, untuk merencanakan kegiatan

masa akan datang dan untuk itu perlu diambil beberapa sampel pendapat

masyarakat dengan metode quesioner.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 184


(b)Periode Konstruksi.

Dampak yang muncul pada periode ini adalah masalah ketenagakerjaan.

Umumnya tenaga yang dapat diserap dari masyarakat setempat adalah tenaga

kerja non teknis yang hanya dipekerjakan untuk sementara. Penggunaan tenaga

kerja non teknis berasal dari masyarakat setempat hendaknya diperhitungkan

jumlah penggunaannya tanpa harus memberi janji-janji pada masyarakat.

(c)Periode Pasca Konstruksi (Operasional).

Dampak yang timbul pada periode ini antara lain

i.Pendapatan masyarakat.

Untuk menambah pendapatan masyarakat, kerjasama dengan KUD di dalam

pengolahan kotoran sebagai bahan pupuk kandang merupakan tindakan yang

bijaksana dan melestarikan simpatik masyarakat.

ii.Kesehatan masyarakat.

Tidak atau kurang memperhatikan sanitasi lingkungan RPH dapat

menimbulkan penyakit pada masyarakat dan bahkan dapat menimbulkan

wabah penyakit. Penyakit dimaksud dapat yang bersifat zoonosis maupun non

zoonosis.

iii. Keagamaan

Faktor religius merupakan faktor sangat mendasar terutama pada RPH babi.

Limbah buangan yang perlakuannya ceroboh dapat menimbulkan protes

masyarakat.

iv.Budaya

Keberadaan RPH hendaknya turut berpartisipasi melestarikan budaya yang ada.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 185


(d)Penilaian Rona Awal lingkungan dan selama kegiatan.

Berdasarkan hasil analisa yang didapat dengan metoda ilmiah yang dipilih dari

cara-cara di atas maka dapat digambarkan/didiskripsikan keadaan awal

komponen lingkungan dari satu kawasan. Keadaan awal kualitas lingkungan

inilah yang menjadi tolak ukur dalam pengendalian dampak yang timbul akibat

suatu kegiatan. Pendataan data awal dan data selama kegiatan dengan metoda

dan analisa yang sama dapat mengambarkan atau dapat memperkirakan

penurunan atau kenaikan angka-angka besaran yang berpengaruh pada rona

lingkungan awal, sehingga bila terjadi kenaikan besaran dapat diketahui sedini

mungkin.

V. LAIN-LAIN
1. Saran penyempurnaan dokumen UKL dan UPL dari rencana usaha atau kegiatannya

yang dibiayai baik oleh APBN atau swasta yang izin usahanya dikeluarkan oleh

instansi berwenang tingkat pusat, BUMN lingkup Dep. Pertanian, dilakukan oleh

Badan Agribisnis bersama-sama dengan Direktorat Jenderal yang membidangi dan

membina rencana usaha atau kegiatan tersebut

2. Saran penyempurnaan dokumen UKL dan UPL dari rencana usaha atau kegiatan

yang dibiayai oleh APBD atau APBN apabila penyelenggara rencana kegiatan

tersebut diserahkan kepada daerah atau swasta yang izin usahanya dikeluarkan oleh

instansi yang berwenang tingkat daerah, dilakukan Kepala Kantor Wilayah

Departemen Pertanian setempat bersama-sama dengan Dinas Peternakan Dati I yang

membidangi dan membina rencana usaha atau kegiatan tersebut.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 186


3. Saran penyermurnaan tertulis atas dokumen UKL dan UPL disampaikan kepada

pemrakarsa oleh instansi yang disertai dokumen tersebut selambat-lambatnya 15

(lima belas) hari kerja terhitung dokumen diterima.

4. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ada saran penyempurnaan tertulis, maka

dokumen UKL dan UPL tersebut anggap telah memenuhi persyaratan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 187


BAB VII

PENYAKIT YANG DITULARKAN OLEH SUSU DAN PRODUK SUSU

Susu dapat merupakan sumber penyakit bagi manusia, dan sebenarnya tanpa

adanya perlakuan pasteurisasi banyak penyakit yang ditimbulkan sehubungan dengan

konsumsi susu yang kurang higienis. Secara garis besar, penyakit yang dibawa oleh susu

dapat berasal dari dua sumber :

1. Langsung dari sapi, karena banyak dari penyakit yang diderita sapi dapat

juga mempengaruhi manusia.

2. Dengan penularan susu dari sumber luar selama pengangkutan dari sapi

sampai ketangan konsumen.

Beberapa penyakit yang dapat ditularkan langsung dari sapi adalah sebagai berikut :

Tuberkulosis
Dari semua penyakit yang ditularkan melalui susu, tuberkulosis adalah yang

paling menonjol. Mycobacterium bovis adalah penyebab penyakit pada sapi dan dapat

dipindahkan kedalam kedalam susu, terutama bila ambingnya kena infeksi. Sampai

ditemukannya prosedur pasteuriasi yang efektif, susu adalah salah satu bahan pangan

penyebab utama tuberculosis pada populasi sapi juga telah terbukti sangat efektif untuk

mengurangi kasus kasus tuberkulosis yang ditularkan melalui susu.

Salmonellosis
Salmonella merupakan komponen mikroorganisme yang sangat sering sebagai

penyebab keracunan makanan. Walaupun bakteri dapat dirusak oleh pasteurisasi, namun

bakteri dapat berasal dari lingkungannya untuk selanjutnya mencemaris susu. Sumber

utama kontaminasi bakteri ini biasanya berasal dari jenis burung dan binatang pengerat.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 188


Cara terbaik untuk memastikan bahwa produk terbebas dari Salmonella adalah dengan

jalan kontrol yang ketat terhadap proses produksi dan higiene lingkungan.

Brucellosis
Brucellosis yang disebabkan karena infeksi pada sapi disebabkan oleh Brucella

abortus, organisme yang menyebabkan terjadinya keguguran kandungan. Penyakit ini

bersifat menular dan gejala-gejala infeksi pada manusia adalah demam yang berselang-

seling, banyak keringat, sakit kepala dan badan sakit semua.

Leptospirosis
Penyakit sapi ini disebabkan oleh jenis dari kelompok Leptospira dan pada

manusia ditandai dengan influensa dan gejala-gejala jenis typhoid.

Demam Q
Demam Q adalah penyakit seperti radang paru-paru (pneumonia) yang berasal

dari Rickettsia. Organisme penyebabnya adalah Coxiella burnetti yang dapat disebarkan

melalui udara.

Staphylococcus aureus
Walaupun bakteri ini sendiri dapat dirusak oleh perlakuan pemanasan,

Stapylococcus aureus dapat menghasilkan toksin yang bersifat tahan panas sehingga akan

tetap bertahan dengan perlakuan pasteurisasi dan menyebabkan terjadinya keracunan. Hal

ini menunjukkan bahwa sekalipun bakteri tidak ditemukan dalam bahan pangan (susu),

namun tidak berarti bahwa bahan pangan tersebut bebas dari kemungkinan terjadinya

keracunan. Toksin biasanya dihasilkan apabila jumlah mikroorganisme pencemar cukup

tinggi yakni 106/g. Organisme tidak dapat tumbuh dengan baik pada temperatur rendah.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 189


Higiene yang baik serta kontrol suhu merupakan tindakan yang mesti dilakukan untuk

meminimalkan munculnya bahaya.

Listeria monocytogenes
Sebagian besar bakteri pattogen pada produk susu bersifat mesophilik sehingga

tidak dapat tumbuh pada temperatur refrigerasi. Tetapi tidak sama halnya dengan bakteri

Listeria monocytogenes yang dapat tumbuh pada suhu 00C. L. monocytogenes bersifat

peka terhadap panas dan dapat dirusak dengan suhu pasteurisasi. Terajadinya cemaran

pada produk setelah perlakuan panas diduga akibat terjadinya cemaran setelah

pasteurisasi. L.monocytogenes juga dapat tumbuh pada media yang mengandung 10%

NaCl.

Organismen lain yang Terdapat di dalam Susu “Emerging pathogens”


Dua organisme yang menjadi perhatian akhir akhir ini didalam produk susu yaitu

Bacillus cereus dan E.coli O157. Walaupun toksin yang dihasilkan oleh B.cereus sudah

diketahui beberapa tahun yang lalu, namun belakangan ini, organisme ini mengalami

peningkatan yang cukup nyata terutama pada produk susu sebagai akibat dari daya

dukung lingkungan untuk pertumbuhannya. Pada temperatur refrigerasi B.cereus secara

cepat berkembang dibandingkan dengan Gram negatif psychrotrophs. Apabila bakteri

Gram negatif tidak ada, masa simpan dari produk yang didinginkan akan dapat

diperpanjang, namun akan berdampak terhadap pertumbuhan bakteri B.cereus yang lebih

cepat.

Beberapa strain E.coli telah diketahui berkaitan dengan kejadian wabah keracunan

makanan, namun strain E.coli O157 yang dianggap sebagai bakteri patogen yang sejati.

Strain bakteri ini dapat menyebabkan terjadinya hemolytic colitis dan hemolytic uremic

syndrome (HUS) terutama pada anak-anak. HUS merupakan penyakit ginjal yang meluas

yang dapat mengawali terjadinya gagal ginjal dan berakhir dengan kematian. Organisme

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 190


telah dapat diisolasi dari sapi dan juga pada susu akibat adanya kontaminasi feces.

Organisme ini bersifat tidak tahan panas dan tidak dapat tumbuh pada suhu pasteurisasi.

Beberapa kelompok mikroorganisme yang kadang-kadang terkait dengan kejadian

foodborne illness yaitu : Campylobacter spp dan Yersinia enterocolitica. Campylobacter

spp dan Yersinia enterocolitica merupakan dua organisme yang dapat dirusak oleh suhu

pasteurisasi, namun kehadiran mikroorganiosme ini pada susu dianggap sebagai akibat

dari adanya kontaminasi dari lingkungan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 191


BAB VIII

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI SUSU DI

INDONESIA

I. PENDAHULUAN
Sejalan dengan munculnya paradigma baru pembangunan sektor pertanian,

pembangunan peternakan sebagai bagian dari pembangunan sektor pertanian harus pula

menyesuaikan dengan paradigma baru tersebut. Dalam hal ini, maka peran pemerintah

sesuai dengan perkembangan manajeman publik dan dikaitkan dengan Undang-Undang

tentang Otonomi Daerah, akan lebih banyak terkait dengan rumusan-rumusan kebijakan

makro yang menciptakan insentif bagi pengembangan agribisnis sapi perah,

pengembangan kelembagaan pelayanan dan kelembagaan pelaku agribisnis, sehingga

peternak sapi perah tersebut mampu mengembangkan usahanya sendiri.

Keberhasilan pembangunan peternakan melalui pemberdayaan perekonomian

rakyat memerlukan dukungan 3 tiang penyangga meliputi : 1) tiang utama, yaitu

pembangunan komoditi ternak yang berbasis sumber daya alam lokal (jenis ternak

potong, kambing, domba ayam buras dan itik), 2) tiang pendukung adalah pembangunan

komoditi ternak yang memerlukan investasi dan teknologi tinggi (komoditi ternak ayam

ras petelur dan daging, babi dan sapi perah), dan 3) tiang pelengkap yaitu pembangunan

komoditi ternak yang memiliki potensi baru (komoditi aneka ternak seperti kelinci,

merpati, rusa, burung unta, dll).

Pengembangan persusuan nasional telah dimuali secara intensif sejak tahun 1979

melalui usaha pengembangan usaha sapi perah yang berbasis pada peternakan rakyat.

Beberapa upaya pendukung keberhasilan program tersebut telah memperlihatkan hasil

yang cukup baik. Upaya tersebut melalui impor bibit sapi perah, penerapan teknologi IB,

perkreditan, dan pembenahan secara sistematis usaha persusuan meliputi aspek produksi,

kelembagaan serta pemasaran.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 192


Namun demikian, selama kurun waktu tersebut laju pertumbuhan produksi susu di

Indonesia belum bisa mengimbangi laju konsumsi susu dalam negeri yang terus

meningkat. Pada tahun 1979, konsumsi susu dalam negeri adalah sebesar 532,7 ribu ton

sedangkan produksi susu segar dalam negeri (SSDN) dalam tahun yang sama adalah

sebesar 72 ribu ton. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi SSDN terhadap konsumsi

susu dalam negeri adalah sebesar 13,5%. Pada tahun 2001, seiring dengan meningkatnya

pendapatan masyarakat, maka konsumsi susu meningkat menjadi 1.330 ribu ton.

Sementara itu produksi SSDN mencapai 505 ribu ton atau meningkat 26 kali lipat dalam

kurun waktu 21 tahun. Jumlah ini hanya dapat memenuhi 30,8 % konsumsi susu nasional.

Rendahnya produksi susu dalam negeri disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan

dengan mutu bibit, belum berkembangnya manajemen sapi perah, kesehatan hewan,

kualitas pakan dan penerapan praktek hygiene sanitasi pada rantai produk susu.

Disamping itu, krisis ekonomi yang berkepanjangan telah pula mempengaruhi

perkembangan persusuan nasional mengingat tingkat ketergantungan yang tinggi

terhadap agroinput dan teknologi luar.

Upaya peningkatan produksi susu melalui pemberdayaan usaha peternakan rakyat

merupakan upaya mengurangi ketergantungan impor sekaligus sebagai upaya dalam

memperbaiki gizi masyarakat, terutama di pedesaan, untuk meningkatkan derajat

kesehatan. Dengan tidak diberlakukannya lagi kebijakan rasio susu melalui Keputusan

Presiden No. 4/1998, diperlukan upaya-upaya strategis yang terkait dengan peningkatan

efisiensi dan produktivitas sapi perah rakyat melalui program yang terpadu, terfokus,

terkonsentrasi dan berkelanjutan.

II. SITUASI DAN KONDISI USAHA SAPI PERAH DI INDONESIA


Sekitar 80% usaha peternakan sapi perah di Indonesia merupakan usaha keluarga

di pedesaan dalam skala kecil dengan rata-rata kepemilikan kurang dari 4 ekor sapi

laktasi / peternak. Sedangkan usaha sapi perah dalam skala besar masih sangat terbatas

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 193


dan umumnya merupakan unit usaha yang baru tumbuh. Dalam komposisi seperti ini,

secara kasar diperkirakan 64% produksi SSDN berasal dari peternak skala kecil.

Berdasarkan hasil Sensus Pertanian yang dilakukan BPS, jumlah rumah tangga peternak

sapi perah di Indonesia meningkat dari 31.438 KK pada tahun 1973 menjadi 64.663 KK

pada tahun 1983 dan meningkat lagi menjadi 98.000 KK pada tahun 1993.

Peternakan sapi perah di Indonesia masih dicirikan dengan tingkat manajemen

dan pemeliharaan yang sederhana. Bahkan di lokasi pemeliharaan baru, seringkali

ditemukan kondisi ternak dan praktek pemeliharaannya jauh dibawah standar, sehingga

tingkat produksi susunya masih sangat rendah dibandingkan dengan potensi genetik bibit

yang mungkin dapat dihasilkan, disamping rendahnya kualitas susu akibat tingginya

cemaran mikroba.

Dari segi penyebaran usaha peternakan sapi perah di Indonesia, sekitar 97%

populasi dan produksi susu sapi perah terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sedangkan

penghasil susu diluar Jawa adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Sumatra Selatan

dengan taraf kontribusi terhadap susu nasional sebesar 3%. Kondisi ini menimbulkan

masalah pada penyediaan lahan sebagai basis ekologi budidaya sapi perah mengingat

keterbatasan penyediaan lahan karena berbagai kepentingan lainnya.

Penerapan teknologi Inseminasi Buatan (IB) pada sapi perah telah mulai

diintroduksikan sejak tahun 1969, dan sejak tahun 1979 IB dilakukan secara terprogram

dalam suatu paket kebijaksanaan untuk perbaikan mutu dan peningkatan populasi. Sejak

tahun 1994 mulai diintroduksikan teknologi transfer embrio (ET).

Tekonologi budidaya lain yang diterapkan pada usaha peternakan sapi perah

adalah paket teknologi SAPTA USAHA, yaitu implementasinya dilaksanakan bersama

oleh pemerintah dan masyarakat melalui Koperasi Persusuan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 194


III. PERMASALAHAN
Permasalahan yang dihadapi dalam pembinaan dan pengembangan usaha sapi

perah di Indonesia meliputi beberapa hal sebagai berikut :

1. Mutu Bibit Sapi Perah


Pada saat dimulainya program persusuan nasional, bibit sapi perah yang

berasal dari impor memiliki mutu yang baik. Namun, seiring dengan berjalannya

waktu, performans mereka kian menurun akibat perkawinan silang yang kurang

memperhatikan pemilihan bibit yang baik, faktor agroklimat yang relatif kuarng

mendukung serta penerapan manajemen peternakan yang relatif masih tradisional.

Faktor-faktor tersebut mengakibatkan rendahnya produksi dan produktivitas per

satuan ternak. Dewasa ini, rata-rata produksi susu baru mencapai 10-12

liter/ekor/hari, masih jauh dari kemampuan genetic mereka yang seharusnya dapat

mencapai sekitar 20 liter/ekor/hari. Disamping itu jumlah sapi perah produktif

juga menurun, hanya 42% dari total populasi sapi perah dan dari jumlah tersebut

70% yang laktasi. Relatif rendahnya produktivitas ditandai pula dengan calving

interval yang cukup panjang, yaitu lebih dari 16 bulan.

2. Skala Kepemilikan
Jumlah rata-rata pemilikan ternak relative rendah, yaitu sekitar 2-4

ekor/peternak. Padahal jumlah yang ideal pemilikan ternak berskala ekonomi atau

yang cukup sebagai usaha pokok menunjang kehidupan peternak adalah 10-15

ekor atau rata-rata 7 ekor sapi laktasi.

Rendahnya skala kepemilikan mempunyai korelasi yang tinggi dengan

kepemilikan lahan, terutama peternak sapi perah di pulau Jawa, yang rata-rata

hanya memiliki sekitar 0,25 ha/petani. Dimasa mendatang, khususnya

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 195


pengembangan sapi perah di Pulau Jawa, akan dihadapkan kepada dimensi-

dimensi tantangan baru yaitu kendala terbatasnya ketersediaan lahan. Sementara

itu, pengembangan usaha peternakan sapi perah ternyata belum terpola sesuai

dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detil Tata Ruang

(RDTR). Kondisi ini telah menimbulkan masalah yang cukup serius, khususnya

disentra-sentra produksi susu sebagai akibat adanya konflik kepentingan diantara

berbagai sektor dan sub sektor.

3. Teknologi
Keterampilan sumber daya manusia yang masih rendah, terutama ditinjau

dari asfek penerapan pengetahuan dan teknologi serta keterbatasan sarana dan

prasarana pemeliharaan sapi perah menyebabkan tidak diterapkannya praktek

higiene dengan baik dan benar. Hal tersebut tercermin dari masih tingginya

jumlah cemaran mikroba, khususnya jumlah angka lempeng total (Total Plate

Count). Ditingkat penampungan susu (Milk Collecting Center), sebagian besar

susu segar yang disalurkan ke IPS memiliki TPC sekitar 10-20 juta CFU/ml susu

segar, jauh diatas Standar Nasional Indonesia Susu Segar (SNI 01-3141-1998)

yang menetapkan TPC maksimum adalah 1 juta CFU/ml susu segar.

4. Penyakit Hewan Menular


Keterbatasan modal dan teknologi peternak menyebabkan mudahnya

ternak terserang penyakit menular. Beberapa jenis penyakit yang sering

ditemukan adalah mastitis, brucellosis, tuberculosis, prolapsus uteri dan kembung.

Apabila penyakit-penyakit ini tidak dikendalikan dapat mempengaruhi produksi

maupun produktivitas ternak sapi perah.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 196


Soedarwanto, dkk (1990), melaporkan bahwa lebih dari 80% sapi perah

produktif positif terhadap mastitis subklinis yang menyebabkan penurunan

produksi hingga 15-18%.

5. Pelayanan Koperasi Susu


Koperasi persusuan hanya berkonsentrasi pada peroduksi dan pemasaran

yang menciptakan ketergantungan koperasi kepada IPS. Sementara usaha

penunjang seperti kegiatan pengadaan bibit, pakan dan pengolahan belum

ditangani secara sungguh-sungguh sebagai kegiatan yang akan berdampak kepada

peningkatan produktivitas, kualitas dan efisiensi usaha. Disamping itu, unit susu

pada KUD banyak yang mendapat beban dari unit usaha lain dalam KUD tersebut

seperti usaha sayuran, palawija dan sebagainya yang sering merugi. Hal tersebut

menyebabkan banyaknya pungutan yang dibebankan kepada peternak anggota

koperasi.

6. Ketergantungan Pasar Susu Segar Dalam Negeri kepada IPS

Selama ini sekitar 85% produksi SSDN dijual ke IPS sebagai bahan baku

industri. Dengan adanya reformasi ekonomi, melalui Inpres No. 4 tahun 1998,

maka tata niaga susu dibebaskan sesuai mekanisme pasar, sehingga tidak ada lagi

kewajiban bagi IPS untuk menyerap susu produksi dalam negeri sebagai bahan

baku, dan produk SSDN dituntut untuk dapat bersaing dengan susu impor baik

dari segi kualitas maupun harganya. Apalagi, beberapa IPS besar akan

menerapkan sistem reward and penalty dalam penyerapan produksi SSDN.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 197


IV. PROGRAM PENGEMBANGAN

1. Sasaran Pengembangan
Dengan terjadinya reformasi ekonomi, maka sasaran pengembangan persusuan

nasional dalam upaya pembinaan meliputi :

1) Peningkatan produktivitas bibit sapi perah dalam negeri menjadi 15

liter/ekor/hari.

2) Pengembangan pembibitan sapi perah dalam negeri

3) Peningkatan skala usaha budidaya di peternak dan koperasi agar lebih

ekonomis

4) Pengembangan GKSI agar mempunyai unit pengolahan sendiri

5) Peningkatan kemitraan IPS dalam membantu budidaya sapi perah

6) Efisiensi pemasaran susu di Indonesia

7) Promosi dan kampanye minum susu segar.

2. Upaya Jangka Pendek, Jangka Menengah dan Jangka Panjang


Upaya-upaya yang diperlukan dalam rangka pengembangan persusuan nasional

merupakan upaya yang terintegrasi. Mengingat besarnya tantangan dan

kompleksnya permasalahan yang dihadapi, maka program pengembangan tersebut

dibagi kedalam upaya jangka pendek, upaya jangka menengah dan upaya jangka

panjang.

a. Jangka Pendek
1) Reorganisasi Fungsi KUD

Dalam mewujudkan kesejahteraan peternak anggota koperasi, perlu

diadakan reformasi manajemen KUD dengan paradigma baru

sehingga peran koperasi dalam memberikan pelayanan kepada

anggota menjadi lebih efisien dan efektif khususnya dalam hal

efisiensi biaya penanganan susu, biaya operasional, dll.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 198


2) Restrukturisasi Kredit Peternak

Untuk mengurangi beban peternak sapi perah terhadap kredit yang

belum dapat dilunasi, perlu uapaya dari pemerintah untuk melakukan

pemutihan kredit operasi sapi perah atau dengan melakukan

penghapusan tunggakan yang masih ada menjadi beben pemerintah.

3) Peningkatan Kualitas Susu

Upaya peningkatan kualitas susu melalui peningkatan penyediaan

fasilitas infrastruktur dalam setiap tahap penanganan susu segar

mulai dari tingkat peternak, koperasi susu sampai dengan IPS.

b. Jangka Menengah
1) Mempercepat program Sapi Pengganti (replacement program)

Untuk memperbaiki kualitas genetik sapi perah di Indonesia, perlu

penyediaan dana untuk pembelian sedikitnya 10.000 ekor sapi perah

bibit impor. Sapi - sapi tersebut selanjutnya akan disebarkan secara

selektif kepada anggota koperasi yang telah memenuhi persyaratan

tenis yang ditetapkan.

Disamping itu perlu penyediaan dana kredit murah (loan) untuk

menghidupakan program pembesaran anak sapi sebanyak 30.000

ekor (20% dari jumlah betina laktasi).

2). Meningkatkan Modal Peternak

Perlu ditingkatkan akses petani peternak sapi perah kepada sumber

permodalan melalui sistem kredit atau bantuan luar negeri sehingga

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 199


peternak dapat meningkatkan sekala usaha serta memperbaiki

manajemen pemeliharaannya.

3). Meningkatkan Produktivitas dan Produksi

Upaya-upaya untuk menaikkan produktivitas dan produksi ditempuh

melalui perbaikan mutu bibit, penyediaan pakan yang bermutu,

pemberantasan dan pengendalian penyakit hewan menular seperti

mastitis klinis maupun sub-klinis dan brucellosis, serta

meningkatkan paraktek higiene

4). Meningkatkan Keamanan dan Kualitas Produk SSDN

Upaya untuk meningkatkan keamanan dan kualitas produk SSDN

ditempuh melalui pengembangan sistem standarisasi pada setiap

rantai kegiatan agribisnis sapi perah serta pengembangan sistem

jaminan keamanan dan mutu pangan.

Dalam menerapkan kebijakan sistem jaminan keamanan dan mutu

pangan tersebut diperlukan langkah-langkah pembinaan yang

meliputi : a) Pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) sebagai

implementasi penerapan program praktek higiene seperti Good

Manufacturing Practices, Good Handling Practices, dll, b)

Penerapan labelisasi ASUH, dan c) Penerapan dan pengembangan

sistem HACCP

5). Diversifikasi Pengembangan

Upaya peningkatan produksi susu akan diusahakan juga melalui

pemberdayaan ternak lain diluar sapi perah, seperti sapi potong yang

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 200


potensial menghasilkan susu untuk diperah dan juga ternak kambing

perah.

Sebagai tahap awal, akan dilakukan identifikasi lokasi uji coba di

Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Program ini

sekaligus merupakan upaya membiasakan masyarakat untuk minum

susu segar dan juga sebagai upaya transfer teknologi budidaya sapi

perah kepada para peternak bukan sapi perah.

c. Jangka Panjang
1). Relokasi Usaha Peternakan Sapi Perah

Diperlukan penyediaan dana bantuan luar negeri (loan) untuk

relokasi usaha sapi perah dari usaha rumah tangga ke Kawasan

Usaha Peternakan (KUNAK) di pulau Jawa maupun diluar Jawa

dengan mengintroduksikan jenis-jenis sapi perah yang cocok dengan

iklim tropis

2). Pembangunan Unit Pengolahan Susu

Untuk meningkatkan posisi tawar peternak serta memperluas segmen

pasar, perlu diperkenalkan teknologi pengolahan susu sederhana

sebagai upaya diversifikasi produk melalui pengembangan industri

rumah tangga. Untuk itu perlu diupayakan pembangunan unit

pengolahan susu (milk processing plant) di wilayah-wilayah sentra

produksi sapi perah yang dikelola oleh koperasi susu setempat.

3). Meningkatkan Populasi Sapi Perah

Upaya untuk meningkatkan populasi ternak sapi perah dilakukan

melalui peningkatan manajemen reproduksi, sterility control, rearing

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 201


management dan menekan angka kematian pedet. Selain itu untuk

meningkatkan populasi diusulkan untuk dilakukan importasi ternak

sapi perah dari luar negeri yang secara bertahap dan teratur

pelaksanaanya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 202


BAB IX

PEDOMAN SELEKSI DAN PENYEMBELIHAN

HEWAN QURBAN

Pedoman ini diperuntukkan Panitia Pelaksana Kegiatan Penyembelihan Hewan Qurban

dan Masyarakat. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Qurban adalah

sebagai berikut:

I. SELEKSI HEWAN QURBAN

1. Jantan :
- tidak dikastrasi/dikebiri

- testis/buah zakar masih lengkap (2 buah), bentuk dan letaknya simetris.

2. Cukup Umur
a. Kambing/Domba

Umur lebih dari 1 (satu) tahun ditandai dengan timbulnya sepasang gigi

tetap.

b. Sapi/Kerbau

Umur 2 (dua) tahun ditandai dengan tumbuhnya sepasang gigi tetap.

c. Petunjuk untuk mengetahui umur hewan qurban :

Gambar 6. Petunjuk Mengetahui Umur Hewan Qurban

3. Sehat :
a. tidak cacat (pincang, mata buta/picak) telinga tidak rusak

b. bulu bersih dan mengkilap

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 203


c. lincah

d. muka cerah

e. nafsu makan baik

f. lubang kumlah (mulut, mata, hidung, telinga dan anus) bersih dan

normal.

g. Suhu badan normal (± 37°C, tidak demam).

II. PENYEMBELIHAN HEWAN QURBAN

1. Persiapan

a. Tempat penyembelihan hendaknya terpisah dari sarana umum serta tempat

penjualan makanan dan minuman dan dibuatkan lubang yang cukup dalam

(lebih dari 1 meter) untuk menampung darah hasil penyembelihan.

b. Peralatan : Pisau/golok dan peralatan lain yang digunakan untuk memotong

hendaknya diasah dengan tajam, bersih serta tidak berkarat.

c. Hewan diistirahatkan/dikarantina minimal 3 hari.

2. Pemeriksaan Sebelum Penyembelihan (ante mortem)

Dilakukan pemeriksaan sebelum pemotongan (ante mortem) agar hanya hewan

sehat yang dipotong dengan memperhatikan ciri-ciri sehat seperti di atas.

3. Penyembelihan

Penyembelihan dilakukan dengan tata cara agama Islam sesuai dengan Fatwa

Majelis Ulama Indonesia antara lain :

a. Membaca Basmallah (Bisimillahirrahmaanirrahim) dan mengumandangkan

takbir saat mulai penyembelihan.

b. Memutus jalan makanan (mari').

c. Memutus dua urat nadi (wadajain).

d. Memutus jalan napas (hulqum).

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 204


e. Hewan dipotong dengan sekali tekan/potong tanpa mengangkat pisau dari

leher (namun kepala tidak langsung dipisahkan).

4. Pemeriksaan setelah penyembelihan (post mortem)

a. Pemeriksaan organoleptis adalah pemeriksaan terhadap bau, warna,

konsisten/kekenyalan daging.

b. Limpa normal, kenyal tidak terjadi pembengkakan atau hancur.

5. Petugas penyembelihan dan pemotongan daging setelah bekerja harus

membersihkan dirinya dengan sabun dan sebaiknya dilanjutkan dengan

menggunakan larutan pemati kuman (desinfektan).

6. Setelah digunakan alat-alat penyembelihan, dibersihkan dengan cara seperti di atas

dan sisa-sisa penyembelihan dibuang, dibakar dan disucihamakan dengan baik.

III. HIMBAUAN

1. Dalam menghadapi Idul Adha (Hari Raya Qurban) masyarakat tidak perlu cemas,

sepanjang hewan yang akan disembelih tersebut telah diperiksa oleh dokter hewan

atau petugas yang ditunjuk atau mengikuti tata cara tersebut di atas atau

menghubungi Dinas Peternakan setempat.

2. Daging hewan, termasuk daging hewan qurban agar dimasak dengan baik dan

benar serta dihindari memakan daging yang dimasak setengah matang,

3. Kepada anggota masyarakat yang merasa ada sesuatu gejala, atau kelainan yang

patut dihubungkan dengan penyakit Anthrax atau lainnya agar segera berkonsultasi

kepada dokter atau Puskesmas terdekat.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 205


BAB X

PEDOMAN PENYEMBELIHAN HALAL

Dalam hukum Islam (Shari'ah) dikenal kesucian daging ternak untuk konsumsi manusia

yang disebut dengan Zakah terdiri dari 3 jenis yaitu

1. Sembelih (Dhabh)

2. Dibunuh (Nahr)

3. Ditusuk

A. DISEMBELIH (DHABH)
Dhabh adalah bahasa Arab yang, artinya disembelih. Saat ternak disembelih

dengan tata cara Islamik, maka daging yang diperoleh secara hukum Islam

layak dikonsumsi (daging halal).

Metode penyembelihan secara Islamik diperlukan persyaratan sebagai berikut :

1. Pemotongan/Penyembelihan

Islam mengajarkan untuk menghargai kesucian hidup dan tidak menyukai

kekejaman terhadap kehidupan.

a. Ternak yang dipotong harus dilakukan dengan belas kasih dan kebaikan. Nabi

Muhammad SAW bersabda :

Allah memutuskan tentang apa yang harus dilakukan dengan sempurna.dan

mulia. Oleh karena itu ketika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik; dan

ketika kamu menyembelih., sembelihlah dengan baik; tajamkan pisaumu dan

tangani dengan kebaikan disaat kamu menyembelih.

(Muslim)

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 206


b. Ternak yang disembelih harus dilakukan dengan belas kasih, jangan badannya

tertekan, tidak ketakutan pada waktu dipotong dengan pisau tajam yang ada. di

hadapannya.

Tidak boleh ada anggota tubuh yang dilepas sebelum sempurna kematiannya

Abdullah bin Yazid menjelaskan :

"Nabi Muhammad SAW melarang An-Nuhba (merampok, mengambil paksa)

dan Al-Muthla (amputasi)".

(Sahih Bukhari)

c. Penyembelihan harus dilakukan tanpa merusak sistim syaraf, otak atau syaraf

tulang belakang. Penembakan dengan peluru atau pemingsanan (stunning) tata

cara sebelum dipotong masih menjadi pertanyaan dan merupakan subjek Ijtihad.

Stunning di Indonesia dapat dibenarkan melalui Fatwa MUI.

d. Ternak harus bebas penyakit dan bebas pengaruh pengobatan hormon anabolic

seperti hormon kelamin betina dan DES (diethyl-stylbestrol).

2. Keyakinan Islam

Muslim percaya bahwa Allah SWT memerintah atas kehidupan dari seluruh alam

dan agar mempergunakan ternak yang sehat atas izin Allah.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Menjadi.tanggung jawabmu terhadap Allah di dalam menghargai kematian hewan.

Kendarailah olehmu dalam kondisi baik dan bunuhlah olehmu serta makanlah

dagingnya disaat ternak tersebut dalam keadaan baik".

(Abu Dawud)

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 207


Islam mengajarkan Muslim untuk menghormati kehidupan dan karena itulah

ternak boleh dibunuh dengan seizin Allah untuk keperluan dimakan.

Nabi Muhammad SAW bersabda :

"Barang siapa yang membunuh anak burung tanpa alasan yang jelas, maka ia akan

mengadu kepada Allah pada hari pembalasan dan berkata Tuhanku, dia telah

membunuhku dengan sia-sia dan telah membunuhku tanpa tujuan".

(Nasa’i dan Ibn Habban)

a. Penyembelih harus seorang Muslim laki-laki atau perempuan yang sehat. Hal ini

untuk menjamin berlakunya tujuan pengorbanan karena Allah. Penyembelih

Islam yang patut adalah melaksanakan karena Allah. Dalam Islam untuk

melaksanakan suatu pekerjaan diniatkan perbuatannya karena Allah. Tujuannya

harus seiring dengan ketentuan dan maksud tujuannya.

b. Ternak yang akan disembelih akan disukai bila menghadap Ka'bah (di Makkah,

Saudi Arabia) sebelum disembelih.

c. Nama Allah harus secara khusyuk dimohonkan pada ternak yang disembelih

sebagai berikut:

"Bismillah, Allahu Akbar" (Dengan nama Allah, Allah Maha Besar).

Dalam membaca do'a adalah termasuk "Tasmiya: nama Allah dan Takbir:

rnengagungkan kebesaran Allah.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 208


"Makanlah olehmu dengan apa yang disebut nama Allah,…..”(Al-Qur'an 6:118)

“…dan jangan engkau makan dimana nama Allah tidak

disebutkan,…”(Al-Qur'an 6:121).

Harus dicatat bahwa sejak disembelih tidak menurut aturan belas kasih, belum

dapat dikatakan jalan kasih sayang. Pada waktu disembelih hanya diucapkan

"bismillah". Tidak perlu diikuti lanjutan "Ar-Rahman nir-Rahim".

3. Peralatan Pemotongan
Ternak yang akan disembelih harus menggunakan pisau tajam, sehingga

ternak tidak terlalu menderita sakit saat disembelih.

4. Prosedur Penyembelihan
Penyembelihan dilakukan dari muka leher. Kerongkongan (oesophagus/Mirree),

pipa udara (trachea/Halkoom) dan kedua pembuluh darah balik (Vena jugularis

dan arteri carotid/Wadajain) dipotong sehingga ternak mati tanpa memotong

syaraf belakang (spinal cord), Keempat saluran tersebut dinamakan dalam

bahasa Arab Mirree, Halkoom dan dua Wajidan dipotong antara kerongkongan

dan kepala dari tulang dada (Libba). Pemotongan beberapa pembuluh darah

arteri yang menuju otak ternak dengan segera suplai darah ke otak berhenti.

Oleh karena itu otak akan segera kehilangan fungsi seperti kelemahan yang

disebabkan suplai oxygen berkurang (Cerebral ischaemia dengan anoxaemia).

Inilah yang menyebabkan ternak tidak sadar dan ternak tidak menderita sakit.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 209


5. Kematian ternak melalui perdarahan

Darah yang mengalir akan segera mengering, kematian ternak terjadi karena

pengeluaran darah yang sempurna.

Nabi Muhammad SAW bersabda :

"Halal untukmu memakan daging dari ternak yang mengalir sempurna darahnya

dan atasnya disebut nama Allah".

(Sahih Bukhari)

Dalam ritual Islamik metoda penyembelihan pada kedua pembuluh darah balik

(Vena Jugularis) dan pembuluh darah carotid yang membawa, darah dari jantung ke

otak terputus sehingga darah akan segera mengering sehingga aliran darah ke otak

terhenti.

Ketika syaraf tulang belakang (spinal cord) tidak putus, perintah otak ke jantung

untuk mengalirkan darah lebih banyak lagi untuk segera keluar sehingga denyut

nadi, pernapasan menurun serta pengeluaran darah yang terjadi akibat kontraksi

otot. Tujuan pengeluaran darah segera mungkin dimaksudkan agar tidak menjadi

medium tumbuhnya mikro-organisme yang dapat mempengaruhi kualitas daging

karkas. Hasil penelitian laboratorium antara ternak yang disembelih dan

pengeluaran darahnya sempurna dengan yang ditusuk diperlihatkan bahwa bakteri

yang tumbuh 3 hingga 4 kali lebih sedikit dari pada ternak yang pengeluaran

darahnya tidak sempurna.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 210


6. Penanganan setelah penyembelihan

Setelah selesai penyembelihan ternak harus ditangani dengan hati-hati, kepala, kulit

dan bagian lainnya dilepas hanya setelah benar-benar ternak telah mati dengan

sempurna.

“….Saat setelah penyembelihan selesai makanlah dari padanya,…(Al-Qur'an 22-

36)

Umar bin Khattab r.a. berkata :

"Tinggalkan mereka (setelah ternak disembelih) dalam ketenangan hingga

sempuma kematiannya".

(Al-Muhalla oleh Ibn Hazm)

Berkenaan hal tersebut, Ibn Hazm percaya bahwa, tidak halal makan bagian dari

ternak yang dipotong sebelum kematiannya sempurna hingga. tubuhnya terasa

dingin.

B. DIBUNUH (NAHR)

Nahr dalam bahasa Arab berarti melukai pembuluh darah balik (vena jugularis). Kata

Nahr disebutkan dalam Al-Qur’an 108:2. Dalam kasus ini terjadi pada ternak unta dan

jerapah yang dilakukan pembunuhan dengan ditusuk dalam rongga kerongkongan lalu

dipotong dengan pisau langsung ke atas bagian dada.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 211


Nabi Muhammad SAW menerima laporan dan ditanya oleh Badil Ibn Warga'a

ketika berziarah ke Mina :

"Termasuk zakahkah (dipotong atau dibunuh) yaitu dengan memotong

kerongkongan ke bawah hingga bagian atas dada". [Authenthic Hadith, Al Fiqh

Ala 9 Al Madahib Al Arba'ah (Kitab Al Sha'b), halaman 413 Hadith dinyatakan

oleh AI-Daraqutni].

C. Ditusuk (Stabbing)
Ini salah satu bentuk zakall yang terjadi dengan melukai hewan yang berakibat

fatal dari tusukan seperti dipanah atau ditembak.

Rafi bin Khadry menceritakan :

"Kami bersama Rasulullah SAW saat seekor unta lari tersesat jauh, lalu kami pergi

mengejar dengan beberapa kuda tetapi tidak berhasil. Akhimya seseorang dari kami

membidik dengan panah dan mengenai bagian belakangnya. Kemudian Rasulullah

SAW bersabda "unta seperti itu dapat disamakan dengan binatang liar yang mana

karena tidak dapat mengendalikannya lalu dilakukan penikaman untuk menguasainya"

(Authentic Hadiths dalam Sahih Bukhari mengatakan diantara hewan dapat dikatakan

liar apabila mereka lari dari kendalian).

Prosedur Penyembelihan Halal pada Industri Rumah Potong Hewan.

Berikut prosedur penyembelihan halal di bawah pengawasan agar pemotongan halal

bonafide yang berlaku umum yaitu :

1. Hewan/unggas yang disembelih harus sehat, bebas dari penyakit dan cacat;

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 212


2. Hewan/unggas yang disembelih dengan cara belas kasih tanpa timbul rasa takut

saat disembelih;

3. Tidak ada bagian tubuh ternak yang dilepas sebelum mati sempurna;

4. Apabila menggunakan metoda pengekangan atau mengurangi rasa sakit untuk

mengendalikan ternak, maka harus yakin ternak masih hidup sebelum

disembelih, karena dapat mengarah kepada haram bila mati sebelum disembelih;

5. Penyembelihan dilakukan oleh seorang muslim yang terlatih;

a. Menyebut nama "Allah dan Maha Besar" harus dilisankan dengan khusyuk oleh

pemotong muslim (sebelum disembelih) sebagai berikut "Bismillah, Allahu

Akbar";

7. Penyembelihan dilakukan dengan pisau yang tajam dan dilakukan dengan

ayunan yang cepat sehingga hewan tidak menderita sakit saat disembelih. Dalam

kasus belum sempurna sembelihnya, maka dapat diulang proses penyembelihan

tersebut segera tanpa tertunda;

8. Pemotong harus mulai dari depan leher dengan memotong saluran makanan

(oesophagus/Mirree), saluran pernapasan (trachea/halkoom) dan 2 (dua)

pembuluh darah (vena jugularis dan arteri carotid /wajidan) di leher tanpa

terpotong kepalanya;

9. Darah harus mengalir keluar cepat dengan sempurna;

10. Setelah disembelih hewan unggas harus ditangani dengan hati-hati, kepala, kulit

dan bagian-bagian tubuh lainnya tidak boleh dilepas sebelum yakin benar-benar

sempurna kematiannya;

11. Setelah dilepas kulitnya, karkas harus dicap dengan cap resmi halal pemotongan

untuk memudahkan identifikasi. Karkas harus ditangani dan diawasi secara teliti,

terpisah dari karkas atau bagian daging yang non halal;

12. Perlakuan yang memadai mencegah sedemikian rupa sehingga dicegah

kontaminasi dengan daging dan olahannya yang non halal;

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 213


13. Apabila daging dikemas harus dengan kemasan berlabel halal dan bersegel dan

atau ditempatkan dalam kontainer tersendiri/terpisah, tersegel dan dikunci;

14. Pengangkutan daging halal dan non halal tidak boleh dicampur dalam satu,

15. kontainer meskipun dalam kemasan bersegel.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 214


BAB XI

PENANGANAN, PENGIRIMAN DAN PEMOTONGAN YANG MANUSIAWI

9.1 Stress dan Rasa Sakit pada Binatang


Reset ilmuwan telah menunjukan bahwa binatang berdarah hangat (termasuk

didalamnya hewan-hewan ternak) dapat merasakan sakit dan memiliki emosi atau rasa

takut. Pada khususnya binatang mamalia, termasuk ternak dalam kelompok ini, memiliki

struktur otak yang membuat mereka merasakan rasa takut dan penderitaan atas rasa sakit,

dan merasakan rasa sakit seperti halnya manusia. Rasa takut dan sakit adalah penyebab

utama stres pada hewan ternak dan stres ini mempengaruhi kualitas daging tersebut.

Bilamana binatang-binatang tersebut diperlakukan pada situasi-situasi yang tidak

biasa atau pada keadaan-keadaan yang disebabkan oleh kesengajaan manusia, adalah

tanggung jawab moral manusia untuk memastikan penanganan hewan-hewan ini dengan

baik sehingga mereka tidak menderita secara berlebihan dan mereka tidak mengalami

penanganan yang kasar, atau mendapatkan stres dan luka-luka.

Penanganan ternak yang efisien, berpengalaman dan tepat, dengan memakai

teknik dan fasilitas-fasilitas yang dianjurkan, dan mengambil langkah-langkah yang dapat

mengurangi rasa sakit pada hewan dan kecelakaan yang mengakibatkan luka, akan

mengurangi stes pada binatang dan menjaga kualitas pada daging dan produk

sampingannya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 215


9.2 Efek Stres dan Luka pada Kualitas Daging dan Produk Sampingan

A. Kualitas Daging
Energi yang dibutuhkan untuk aktivitas otot pada hewan hidup didapatkan

dari gula (glikogen) yang terdapat pada urat. Pada binatang yang sehat dan cukup

istirahatnya, kandungan glikogen pada susunan uratnya sangat tinggi. sesudah

hewan dipotong atau dijagal, kandungan glikogen dalam urat berubah menjadi

asam laktik dimana urat dalam daging akan mengeras (Rigor Mortis).

Asam laktik dibutuhkan dalam pembentukan daging, dalam hal ini

menjadi lezat dan empuk, menjaga kualitas daging yang baik dan memiliki warna

daging yang baik juga. Bilamana hewan stres sebelumnya dan selama penjagalan,

jumlah glikogon berkurang dan tingkat asam laktik yang berkembang pada daging

menjadi berkurang sesudah penjagalan. Hal ini akan mengurangi kualitas daging.

Daging Pucat Lembek Berair / Pale Soft Exudative (PSE) Meat (Gambar 1)

PSE pada babi disebabkan oleh stres singkat beberapa saat sebelum

penjagalan, sebagai contoh selama penurunan/bongkar muat, penangkapan,

pengurungan dan proses pemingsanan.

Dalam hal ini hewan mengalami kegelisahan dan ketakutan yang tinggi

yang disebabkan oleh penanganan yang kurang baik, perkelahian pada

pengurungan dan teknik pemingsanan yang buruk. Semua ini dapat

mengakibatkan proses biokimia pada susunan urat khususnya penurunan drastis

pada glikogen urat dan daging menjadi sangat pucat dengan pengerasan tingkat

asam (tingkat keasaman 5,4 – 5,6 sesudah penjagalan) dan aroma yang buruk.

Jenis daging ini sulit untuk dipakai dan sama sekali tidak dapat dipakai oleh

pedagang daging atau produser daging dan hanya dibuang pada tingkat terburuk.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 216


Membiarkan babi-babi beristirahat selama satu jam sebelum dijagal dan

penanganan yang baik akan sangat mengurangi resiko PSE.

Daging Gelap Keras dan Kering / Dark Firm and Dry (DFD) Meat
(Gambar 1)

Kondisi ini dapat ditemui pada daging sapi atau biri-biri dan kadang-kadang pada

daging babi dan burung unta sesaat sesudah penjagalan. Daging tampak lebih

gelap dan kering dari batas normal dan memiliki tekstur yang lebih keras.

Glikogen urat hilang pada saat penangkapan, pengiriman dan saat sebelum dijagal

dan sebagai akibatnya pada saat sesudah hewan dipotong, terdapat sedikit

produksi asam laktik, yang menyebabkan kondisi DFD pada daging.

Daging pucat Daging Bagus Daging gelap keras


Lembek berair dan kering
(PSE) daging (DFD) daging

Gambar 7. Perbandingan Daging PSE, Daging Bagus dan Daging DFD

Daging ini berkualitas tidak baik karena memiliki rasa yang berkurang

dan warna gelap. Daging tidak dapat diterima oleh para konsumen dan memiliki

daya tahan tidak lama untuk disimpan karena memiliki tingkat keasaman (pH)

yang tidak normal pada daging (6,4 – 6,8). DFD pada daging bersumber dari

binatang yang stress, terluka, atau berpenyakit sebelum disembelih.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 217


Kerusakan Pada Daging
Sangatlah penting bagi binatang untuk bebas dari stres dan luka dari

proses penangkapan hingga pemotongan, sehingga tidaklah secara sia-sia

menghilangkan persediaan glikogen para serat-serat urat. Juga sangatlah penting

bagi binatang untuk dapat beristirahat selama 24 jam sebelum penjagalan. Hal ini

berguna agar glikogen urat dalam tubuh diganti sebanyak-banyaknya (kecuali

babi, yang harus dikirim dan dipotong seminim mungkin dari stres, tetapi tidak

diistitahatkan terlalu lama sebelum dipotong). Sangatlah penting dimana tingkat

glikogen pada urat daging yang dipotong setinggi-tingginya. Asam ini memberi

tingkat keasaman (pH) yang ideal, diukur sesudah 24 jam sesudah penjagalan,

pada level 6,2 atau lebih rendah.

Tingkat 24 h (atau lebih) keasaman lebih dari 6,2 mengidentitaskan

bahwa hewan telah stress, terluka atau terjangkit penyakit sebelum dipotong.

Asam laktik pada susunan urat memiliki efek atas pertumbuhan bakteri

yang telah mengkontaminasi daging selama proses pemotongan dan pengirisan-

pengirisan daging. Bakteria-bakteria ini menyebabkan rusaknya daging pada saat

penyimpanan, khusunya didaerah-daerah yang bersuhu hangat, dan daging mulai

bau, warna berubah, anyir dan kotor. Inilah yang disebut sebagai kerusakan

daging, dan hal ini mengakibatkan daya tahan daging berkurang, yang

mengakibatkan pemborosan terhadap bahan makanan yang sangat berharga.

Bilamana kriteria yang mengkontaminasi bahan makanan ini adalah jenis yang

beracun, konsuman daging ini bisa sakit yang mengakibatkan perawatan medis

yang mahal dan hilangnya jam kerja manusia itu untuk ekonomi nasional. Oleh

karena itu, daging dari binatang yang menderita stres atau luka-luka selama

penangkapan, pengiriman dan pemotongan, tampaknya memiliki daya tahan yang

lebih singkat yang disebabkan oleh kerusakan tersebut. Hal ini mungkin penyebab

utama dari pemborosan daging selama proses produksi.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 218


Memar atau Luka (Gambar 2 dan 3)

Memar adalah hilangnya darah dari saluran darah yang rusak kedalam

serat urat-urat. Hal ini disebabkan oleh hentakan fisik dari tongkat atau batu,

tanduk binatang, gesekan besi, atau binatang terjatuh dan dapat terjadi setiap saat

selama proses penangkapan, pengiriman, pengurungan, atau pemingsanan.

Memar dapat beragam ukurannya dari yang ringan (diameter sekitar 10cm)

sampai dengan tingkat parah hingga lumpuh, kerusakan daging atau bisa juga

kerusakan kesemua bagian tubuh hewan.

Gambar 8. Memar Akut pada Daging Sapi

Daging yang memar tidaklah baik untuk bahan makanan karena:

- Tidak dapat diterima oleh para konsumen.

- Tidak dapat dipakai untuk pemrosesan atau pabrik.

- Cepat rusak, karena daging yang berdarah adalah tempat yang baik

untuk berkembangnya bakteria.

- Seharusnya dengan alasan-alasan diatas, hal-hal itu harus dicegah.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 219


Memar adalah penyabab umum penyia-nyiaan daging dan dapat secara

drastis dikurangi dengan mengikuti teknk-teknik benar dalam penangkapan,

pengiriman, dan pemotongan ternak.

Luka-luka (Gambar 4) seperti tersobek, urat haemorrhagic dan patah

tulang, yang terjadi selama proses penangkapan, pengiriman, dan pengurungan,

sangatlah mengurangi nilai daging yang disebabkan oleh bagian-bagian yang

terluka atau dalam kasus-kasus terburuk daging secara keseluruhan tidak dapat

dipakai dan harus disingkirkan. Bilamana infeksi bakteri terjadi pada luka-luka

tersebut, ini menyebabkan timbulnya bisul bernanah dan septicemia dan daging

keseluruhan harus disingkirkan.

Gambar 9. Memar Parah pada Kepala Sapi

Gambar 10. Luka karena Transportasi

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 220


B. Kwalitas Lapisan Kulit dan Kulit
Lapisan kulit dan kulit harus meliliki nilai tertinggi pada setiap produk

dari hewan ternak, selain dari bagian dagingnya, khususnya untuk kulit sapi dan

burung onta. Pada babi dan ayam, kulitnya adalah bagian dari daging yang dapat

dimakan.

Bahan kulit yang berguna hanyalah dapat dari kulit yang tidak rusak dan

diproses dengan baik. Penanganan yang baik pada bahan ini sangatlah penting

untuk mendapatkan komoditas yang bernilai tinggi. Penanganan yang ceroboh

terhadap lapisan kulit dan kulit ini dapat merugikan perusahaan yang

menanganinya.

Gambar 11. Kerusakan Kulit, Pengecapan dan Luka

Kulit dan hewan potong (gambar 11) dapat rusak karena penanganan

yang buruk terhadap hewan ini seperti contoh-contoh berikut:

1. Sebelum pemotongan
- Pengecapan yang buruk

- Luka karena tanduk, pecut, tongkat, pagar berduri dan terluka

- Fasilitas penangkaran yang tidak sesuai

- Kendaraan pengiriman yang dirancang dan dibuat dengan

buruk.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 221


2. Selama Pemotongan
- Karena binatang panik sehingga melukai dirinya sendiri

- Pemukulan atau mendorong paksa binatang

- Menyeret binatang atau daging

Pertimbangan atas penanganan hewan yang manusiawi selama

perjalanan/pengiriman dan penangkaran akan meningkatkan kualitas daging dan

produk sampingannya.

9.3 Prinsip-prinsip Tingkah Laku Binatang


Hewan ternak bertingkah laku berbeda-beda tergantung situasi yang berbeda pula.

Untuk tingkat yang lebih luas, tergantung spesies binatang tersebut. Pengetahuan dasar

dari tingkah laku binatang pada suatu situasi dari daerah peternakan hingga tempat

penjagalan, akan membantu orang-orang yang menanganinya pada manajemen hewan

ternak untuk menghindari ternak dari rasa stress atau luka-luka.

Sebagai contoh binatang-binatang yang tidak terbiasa berhubungan dengan

manusia, seperti di peternakan ataupun di pelelangan yang sesak, tidak akan gampang

didekati ataupun disentuh. Binatang-binatang ini membutuhkan tangga penurunan yang

lebih baik sewaktu diturunkan dari truk, kurungan dan arena yang memadai dibandingkan

binatang yang lebih jinak. Petugas yang menaikkan hewan tak jinak ke atas truk harus

tahu psikologi binatang untuk menghindari luka baik bagi hewan tersebut ataupun untuk

dirinya sendiri. Sedangkan binatang - binatang seperti lembu jantan, atau binatang

penarik pedati lainnya atau hewan yang lebih terjinakkan atau yang sering diacsinfeksi

(untuk menghilangkan kutu-kutu) dan binatang yang tinggal dekat manusia, seperti di

pedesaan, umumnya jauh lebih jinak dan mudah dikendalikan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 222


Hubungan Penglihatan, Pendengaran dan Penciuman Binatang Berkaitan dengan

Stres dan Luka


Binatang pemamah biak dapat membedakan berbagai warna, warna binatang jenis

ini sangatlah sensitif terhadap kuning, hijau dan biru. Pengalaman telah membuktikan

bahwa hewan ternak, khususnya sapi dan babi, juga burung onta, sangatlah peka terhadap

cahaya kontras. Hal ini membuat mereka ragu - ragu dan menghindar dari got, juga

burung onta sangatlah peka terhadap cahaya kontras. Hal ini membuat mereka ragu-ragu

dan menghindar dari got, pintu gerbang dan perubahan dari basah ke kering atau dari

lantai semen ke lantai metal. Pencahayaan harus merata dan redup dan pencahayaan dari

terang ke gelap haruslah dihindari. Cahaya ultraviolet dan sedikit remang-remang

memiliki efek penenang terhadap unggas dan burung onta.

Beberapa hewan ternak seperti sapi dan burung onta memiliki sudut pandang yang

luas dan untuk menghindari mereka dari rasa takut dari lingkungan di sekitarnya,

kurungan penangkar, arena penampungan, kandang pemingsanan dan pagar-pagar

penyekat harus memiliki sisi-sisi yang kuat. Binatang juga takut terhadap benda bergerak

dan juga ruang gelap dimana mereka bisa menolak masuk ke ruangan gelap.

Binatang ini mempunyai kecenderungan untuk berpindah dari areal gelap ke

daerah yang terang. Pencahayaan ekstra dan tidak langsung akan memudahkan

pemindahan hewan-hewan itu dalam kandang-kandang pengurungan. Menambah lampu

untuk menerangi pintu masuk area kandang dan menyingkirkan lampu. untuk

menghindari cahaya yang berlebihan dapat mempengaruhi tingkah laku hewan-hewan

tersebut. Semua spesies binatang akan ragu-ragu atau menolak untuk begerak bilamana

mereka melihat sesuatu di area yang membuat mereka merasa takut. Seperti cahaya yang

terang, rantai-rantai yang mengkilap, manusia atau peralatan yang bergerak, bayangan

atau air yang menetes. Hewan yang jinak akan berhenti bergerak dan memandang

gangguan itu yang telah membuat mereka takut. Jika angin berhembus ke arah mereka,

hal ini harus dihindari atau dihilangkan. Bilamana binatang-binatang ini ragu-ragu,

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 223


gangguan penyebabnya harus disingkirkan, bukannya memaksa hewan-hewan itu untuk

bergerak. Benda-benda yang bergerak dapat membuat hewan-hewan ini takut. Memaksa

mereka untuk mendekati kendaraan secara tiba-tiba, atau masuk ke kurungan atau.

bangunan membuat mereka panik.

Sapi domba dan burung onta memiliki pendengaran yang sensitive khususnya

terhadap suara dengan frekwensi tinggi. Suara yang tidak mempengaruhi pendengaran

manusia, seperti kebisingan yang keras dan terputus-putus, menyakiti pendengaran

binatang itu, mengurangi kebisingan yang terburuk tetapi paling mudah dikurangi.

Walaupun dapat dikatakan bahwa di daerah pedesaan dimana hewan-hewan hidup dekat

dengan manusia dimana mereka dikumpulkan setiap malam dan secara berkala

didesinfeksi, beberapa dari suara-suara itu berguna untuk mengumpulkan hewan tersebut.

Sebagai contoh di desa-desa dimana sapi-sapi terbiasa dengan teriakan dan suara keras

untuk meningkatkan pergerakan mereka.

Walaupun demikian, biasanya kebisingan meningkatkan kesetresan psikologi

binatang. Hal inj juga terjadi pada saat peng' sebelum penjagalan itu sendiri. Penjagalan

pada tempat yang kecil, tenang mengurangi hormon stres hewan dibandingkan tempat

yang, dan bising.

Dalam kaitannya dengan bau, bau yang menusuk khususnya yang aneh, bisa

membuat hewan gelisah dan panik. Hal ini dapat dilihat dari binatang yang mana mereka

tidak terbiasa satu dengan yang lain dan atau kondisi lingkungan baru dari satu sumber

kepada sekelompok babi yang terkumpul akan mengurangi kegelisahan memudahkan

pemindahan sapi - sapi itu ke area pemingsanan. Bilamana seekor menjadi gelisah dan

hiruk pikuk selama proses penjagalan, hewan-hewan berikutnya biasanya akan gelisah

juga dan hari penjagalan itu menjadi suatu rantai reaksi tak terputus dari

binatang-binatang yang panik itu. Keesokan harinya, sesudah areal dan

peralatan-peralatan telah dicuci hewan - hewan itu akan tenang. Bau stres pada darah

hewan yang sangat stres dapat dicium oleh binatang lain dan dapat menimbulkan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 224


kepanikan. Darah dari binatang yang tidak begitu sress memiliki efek yang sedikit

terhadap hewan lain. Riset terhadap sapi dan babi membuktikan bahwa hormon stress

terdapat pada air ludah dan kencing mereka. Babi dan sapi biasanya menghindari benda

atau tempat terkontaminasi oleh air kencing dari binatang yang stress.

Cara Memperlakukan

Prinsip Umum
Prinsip pertama terhadap penggiringan hewan adalah menghindari kepanikan pada

hewan-hewan tersebut. Dibutuhkan waktu sampai 30 menit bagi hewan untuk menjadi

tenang dan membuat detak jantung mereka menjadi normal sesudah proses penggiringan

yang sembrawut. Hewan yang tenang bergerak dengan mudah dan tidak susah

memindahkan mereka dari kurungan mereka. Petugas harus bergerak dengan lambat tapi

pasti dan menghindari teriakan-teriakan.

Hewan akan gelisah bilamana mereka dipisahkan dari yang lain. Bilamana hewan

yang dipisahkan menjadi gelisah, hewan lainnya harus digabungkan dengannya. Jolokan

listrik (frods) harus dipakai seminimal mungkin atau hanya dipakai untuk hewan yang

keras kepala saja. Adalah lebih manusiawi dan tidak menyakiti binatang bilamana

diberikan kejutan listrik ringan dibandingkan pukulan dengan tongkat atau plintiran pada

ekornya. Jolokan yang dijalankan dengan batere (gambar 6) lebih baik dari jolokan

dengan sambungan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 225


Gambar 12: Jolokan yang Dijalankan dengan Batere.

listrik langsung (gambar 12). Voltase yang dipakai seharusnya tidak melebihi 32 V dan

tidak dipakai pada bagian-bagian sensitif hewan seperti mata, urat, anus atau vagina

Ganbar 13. Jolokan yang Dijalankan dengan TeganganTtinggi (tidak disarankan)

Selain penjolok (prods), alat penggiring lain dapat juga dipakai cambuk dengan

ikatan (straps) (Gambar 13), kertas atau plastik yang digulung, tongkat dengan bendera

atau panil. Panil untuk mengiring babi adalah lembaran yang terbut dari bahan yang

keras, seperti kayu, plastik dan. lain-lain yang berukuran kurang lebih 1 M″ yang

dipegang oleh penggiring untuk menghalangi pandangan dan gerakan babi sehingga bisa

menuntun arah mereka. Tanpa panil ini, sangatlah sulit menggiring babi dengan cara

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 226


yang mudah, sebagaimana pemakaian bendera, kertas gulung, tangkai pohon atau halauan

tangan sebagaimana menggiring domba atau sapi. Hewan yang ragu-ragu dapat digiring

Gambar 14. Cambuk dengan Ikatan untuk Menggiring Ternak

kekurungan atau kendaraan dengan jalan, hewan yang jinak diberi jalan terlebih dahulu

sehingga binatang lainnya akan mengikutinya.

Burung Onta sangatlah bersifat panik dan seharusnya ditangani dengan penuh

perhatian. Mereka memiliki tendangan yang kuat. Burung yang jinak dapat dituntun

dengan mudah dengan menggunakan “penggiring (handlers)" (Gambar 9). Pengait

penggembala (gambar 10) yang dikaitkan dengan di seputar leher adalah pembantu

penggiring yang sangat berguna atau dengan menempatkan tutup kepala akan membuat

burung ini lebih menurut.

Gambar 15. Menggiring Burung Onta yang Jinak ke Areal Pemingsanan


.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 227


Gambar 16. Aitan Pengembala Dipakai untuk Menggiring Burung Onta

Penggiringan (handling) di Kurungan dan Arena Hewan dengan Jumlah Banyak


Menjejali kurungan dengan banyak hewan adalah kesalahan umum paling besar

dalam proses penggiringan. Kurungan dan lorong dari areal halaman seharusnya diisi

setengahnya. Penggiring harusnya juga tidak memaksakan masuk hewan ke area yang

sesak. Hewan harus dituntun ke arena penampungan tanpa didorong paksa. Bilamana

hewan-hewan itu didorong paksa ke pintu penampungan, proses penggiringan ini menjadi

sangat sulit. Hewan yang berjubel - jubel tidak dapat berputar untuk masuk ke arena

penampungan. Bilamana seekor hewan tidak mau masuk ke kurungan dengan satu jalur,

ia. mungkin ragu-ragu karena kendala yang ada di depannya, seperti orang yang sedang

bergerak.

Zone Lari dan Titik Keseimbangan


Zone lari seekor binatang adalah zone keselamatan binatang dan para penggiring

harus bekerja berdasarkan sudut zone terbang ini.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 228


Bilamana seekor binatang menoleh atau hanya menatap seorang manusia, orang

itu ada di luar zone lari binatang itu. Bila orang memasuki zone, binatang itu akan

menghindar. Bila. seekor binatang dalam kurungan atau area pengumpulan menjadi

gelisah karena seseorang terlalu dekat dengannya, hal ini menunjukkan bahwa orang itu

ada pada zone lari hewan itu dan orang itu harus mundur menjauh. Pemasangan pagar

kokoh pada kurungan (gambar 12) dan pemingsanan (gambar 25) membantu hewan

menjadi tenang karena adanya batas antara mereka dengan orang-orang yang mendekat.

Ukuran zone lari tergantung seberapa liar atau jinak binatang itu. Binatang dengan

temperamen gerak yang tinggi akan memiliki zone lari yang lebih luas. Binatang yang

hidup dekat manusia akan memiliki, zone lari yang lebih sempit dibandingkan dengan

binatang yang jarang bertemu manusia. Binatang yang panik memiliki zone lari yang

lebih besar dari yang sedang tenang. Binatang yang terlalu jinak tidak memiliki zone lari

dan akan sangat susah untuk menggiringnya.

Gambar 17: Zone Lari dan Titik Keseimbangan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 229


Gambar 18 : Tikungan Kurungan Sapi dengan Pagar Kokoh.

Untuk membuat hewan maju ke depan, penggiring harus berada di belakang titik

keseimbangan, yaitu di dekat pundak hewan. Untuk membuat hewan mundur, penggiring

harus berada di depan titik keseimbangan hewan. Gambar 13 menggambarkan bentuk

pergerakan penggiring, yang mana dapat mengurangi pemakaian penjolok listrik. Sapi,

domba dan babi akan bergerak maju dalam area, bilamana seorang petugas berpapasan

dengan hewan pada arah yang berlawanan dengan kemauan pergerakan hewan, petugas

itu harus bergerak cepat untuk melampaui titik keseimbangan hewan dipundaknya untuk

membuat hewan itu bergerak ke depan. Hewan itu tidak akan bergerak sampai petugas itu

melewati pundaknya dan ada pada posisi pinggang hewan itu.

Gambar 19: Bentuk Pergerakan Penggiring untuk Membuat Hewan Bergerak ke Arah
Kurungan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 230


Sapi akan maju ke depan bilamana petugas lewat pada titik keseimbangan hewan

dipundaknya. Petugas berjalan pada arah berlawanan sepanjang lorong satu jalur

penggiringan.

Rancangan Fasilitas Penggiringan


Resiko luka pada stres selama proses penggiringan hewan bisa sangat tinggi, yang

mengakibatkan kerugian finansial bagi produser, perusahaan. pengiriman dan penjagalan.

Sebagai contoh pagar kurungan yang dibuat dengan. buruk (Garnbar 14) yang membuat

hewan kepanasan terhadap terik matahari. Fasilitas-fasilitas pada peternakan, halaman

pelelangan dan rumah-rumah penjagalan yang dirancang dan dibangun dengan baik

(Gambar 15, 16, 17, 18, 20, 21) akan banyak memberikan sumbangan ke arah

keselamatan penggiringan hewan, yang mana dapat mengurangi resiko luka-luka

Gambar 20 : Pemagaran yang Buruk.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 231


Gambar 21: Kurungan yang Dibangun dengan. Baik untuk Menurunkan dan Menaikkan
Hewan.

Gambar 22: Lerengan untuk Babi dan Area untuk Menurunkan Muatan untuk Kendaraan
Menuju Kurungan untuk Babi.

Gambar 23: Kurungan Hewan Menunggu Saat Penjagalan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 232


Kurungan/Kandang: Kandang hewan pada peternakan, area makan, halaman

pelelangan dan penjagalan harus memiliki ruang yang cukup untuk hewan untuk

berbaring (Tabel 1, Gambar 17,18).

Tabel 11. Kebutuhan Luas Tempat (m) untuk Ternak dengan Jenis yang Berbeda.

Sapi Lepas 2.0-2.8

Terikat 3.0

Babi Kecil 0.6

Besar 0.9

Domba 0.7

Burung Onta 0.9

Kerbau dan babi hutan harus dikandangkan secara. individu, dan bilamana diikat

mereka harus bisa berbaring. Air harus mudah dicapai. Bak minum dan mandi harus

cukup tinggi atau aman untuk menghindari hewan dari jatuh atau tenggelam. Pada daerah

dingin, kandang harus memiliki dinding dan atap untuk menghindari hewan dari stres

terhadap cuaca buruk. Untuk daerah tropis, atap sangatlah penting untuk suatu kandang

untuk melindungi hewan, khususnya babi, dari struk panas atau sengatan matahari

Gambar 24: Pancuran Air untuk Mendinginkan Babi.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 233


Pada kandang terbuka tanda atap dan penuh, sapi-sapi yang bebas pun akan menderita

(Gambar 14) kandang burung onta harus sebagian tertutup agar lebih gelap sehingga

hewan menjadi nyaman.

Gambar 25: Kandang Terbuka tanpa Peneduh.

Gambar 26: Kandang Burung Onta yang Tertutup untuk Membuat Lebih Gelap.

Pemisah : Pagar atau pemisah terbuat dari besi bulat (Gambar 20), kayu atau beton

(Gambar 21, 22) harus halus dan tanpa tonjolan-tonjolan seperti engsel, ujung-ujung yang

rusak atau kawat. Ruangan-ruangan harus terhindar dari resiko terperangkap atau luka

bagi binatang-binatang.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 234


Gambar 27 : Pagar Bulat Licin untuk Pembatas Kandang-kandang.

Tabel 12. Jarak Pagar dan Tinggi untuk Hewan-hewan yang Berbeda.

Jarak Pagar Tinggi Pagar

Sapi 20 cm 1,5 m

Domba. / Kambing 15 cm 0,9 m

Babi 15 cm 0,9 m

Burung Onta 20 cm 1,5 m

Lantai (Gambar 22, 23) Lantai kandang harus anti licin dan memiliki kecuraman tak

lebih dari 1 : 10. Jika hewan tergelincir dapat menyebabkan memar, patah tulang, terkilir

atau kerusakan kulit. Lantai beton harus memiliki ruas kasar ditutupi dengan celah-celah

agar tidak licin, disamping untuk memudahkan membersihkannya. Menghindari

pembuatan lantai yang licin sudah dianggap cukup.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 235


Gambar 28: Pagar Tube dan Dinding Semen untuk Dinding Pembatas Kandang dan
Lantai Anti Licin.

Gambar 29: Celah-celah pada Lantai Kandang Anti Licin.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 236


Lorong: jalur-jalur lorong sangat penting untung

hewan untuk berjalan atau digiring keluar atau masuk

kendaraan pengangkut atau menuju kandang-kandang

atau area penjagalan. Lorong-lorong ini harus sempit

sehingga hewan tidak bisa berbalik atau terjepit satu

sama lainnya. Hal ini bisa melukai hewan, bilamana

mereka panik atau ditangani dengan salah. Lebar

lorong harus sekitar 76 cm, tergantungjenis hewan

(Gambar 24, 25, 26, 27).

Gambar 30: Lorong Jalur untuk Sapi dari Kandang


Pengumpulan ke Area Pemingsanan.

Bila bias, jalur lorong harus berkelok untuk

memudahkan gerakan hewan (Gambar 12). Area

penjagalan atau kandang sebelum pemingsanan harus

memiliki sisi-sisi yang kokoh untuk menghindari

amukan hewan-hewan itu.

Gambar 31:
Sapi yang Menunggu didepan Lorong Kotak
Pemingsanan.

Lerengan dan Panggung: Kedua struktur ini sangatlah penting untuk menaikkan dan

menurunkan hewan dari kendaraan pengangkut atau menggiring mereka ke fasilitas

penjagalan. Lerengan harus memiliki celah bersilang atau undakan-undakan (10 cm

tinggi dan 30 cm dalamnya) untuk memudahkan berjalan dan menghindari tergelincir.

Lerengan harus mempunyai kemiringan pada sudut 20 derajat atau kurang (Gambar

15,16)

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 237


Gambar 32 Babi - babi dari Kandang Pengumpulan Memasuki Jalur

Gambar 33
Jalur-jalur untuk Babi Menuju Area Pemingsanan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 238


9.5 Transportasi Hewan
Kebutuhan akan transportasi hewan ternak menjadi sangat penting, dalam

perdagangan perternakan dan untuk tingkat yang lebih rendah pada daerah pedesaan atau

sektor terkait lainnya. Hewan-hewan ini perlu dipindahkan untuk sejumlah alasan seperti

penjualan, penjagalan, pengumpulan, pemindahan ke padang rumput atau pemindahan

kepemilikan. Metoda pemindahan umumnya dengan berjalan kaki, dengan kendaraan

bermotor, dengan kereta api, dengan kapal laut dan udara.

Umumnya pada negara-negara berkembang kebanyakan ternak-ternak itu

dipindahkan dengan berjalan kaki, melalui jalan atau dengan kereta api. Dalam sejarah

hewan-hewan dikirim dengan berjalan kaki, tetapi dengan peningkatan urbanisasi

penduduk dan perdagangan produksi hewan, pengiriman dengan kendaraan dan kereta

mengalahkan cara ini.

Pengiriman hewan tak dapat dipungkiri sangatlah stres hingga beresiko luka pada

mata rantai operasi dari peternakan dan rumah jagal dan membuat penderitaan pada

hewan itu dan kerugian produksi.

Efek Transportasi
Transportasi yang buruk dapat berdampak tak baik bagi hewan-hewan itu dan

dapat mengakibatkan kerugian pada kualitas dan produksi yang lumayan banyak.

Efek transportasi termasuk :


a. Stres : Mengakibatkan DFD pada daging sapi dan PSE pada daging

sapi (gambar 1);

b. Memar : Barangkali yang paling buruk dan terbanyak tersia-siakan

dalam industri daging (gambar 2);

c. Terinjak : Terjadi bila hewan terjatuh di atas lantai licin penuh sesak

(gambar 37,39);

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 239


d. Mati lemas : Biasanya terjadi sesudah terinjak-injak,

e. Serangan jantung : Biasanya terjadi pada babi yang terlalu banyak makan sebelum

dimuat dan dikirim;

f. Struk karena panas : Babi sangat peka terhadap temperatur dan kelembaban;

g. Terbakar matahari : Terik matahari sangat mempengaruhi babi;

h. Bengkak : Pengekangan hewan atau mengikat kaki tanpa dibalik-balik

menyebabkan hal ini;

i. Keracunan : Binatang bisa mati karena makan tumbuhan beracun dalam

perjalan kaki mereka;

j. Serangan : Hewan yang tak dijaga dalam perjalanan mereka dapat

diserang hewan lain;

k. Dehidrasi : Hewan yang melakukan perjalan jauh tanpa air minum yang

cukup dapat kehilangan berat badan mereka dan mungkin mati;

l. Kelelahan : Dapat terjadi karena beberapa penyebab seperti hewan hamil

tua atau kondisi lemah;

m. Luka-luka : Patah tulang, kena tanduk dan lain-lain (Gambar 4);

n. Perkelahian : Terjadi bila kendaraan penuh sesak dimuati babi atau di antara

hewan bertanduk.

Metode Pengiriman

Sapi
Metode yang paling tepat memindahkan sapi adalah dengan. berjalan kaki,

dengan kendaraan. motor atau melalui kereta api. Memindahkan hewan dengan berjalan

kaki atau yang disebut sebagai "trekking" (Gambar 28) hanya cocok bilamana tidak ada

infrastruktur seperti jalan atau rel kereta api, atau bilamana jarak dari peternakan. dan

tujuan dekat. Metode ini lambat dan beresiko bagi keselamatan hewan dan nilai dari

hewan-hewan itu. Transportasi dengan kereta api sangat berguna untuk perjalanan

singkat dimana lerengan penaikan hewan harus ada pada area dekat rel dan perjalanan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 240


Gambar 34:

Memindahkan Sapi
dengan Berjalan Kaki

langsung ke tempat tujuan. Transportasi dengan kendaraan sangat jauh lebih baik dan

adalah metode pilihan utama dan yang paling aman.

Cara yang paling memuaskan. adalah mengirim hewan dengan memakai kendaran

bermotor (Gambar 29, 30). Pengiriman melalui rel kereta (Gambar 31) membutuhkan

manjamen yang lebih hati-hati dan “trekking" hanya baik untuk jarak yang telah

diperhitungkan.

Gambar 35:

Kendaraan Bermotor
Melalui Jalan untuk
Pengiriman Sapi -sapi
(rusuk bersilang)
untuk Lantai
Menghindari
Tergelincirnya Hewan)

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 241


Gambar 36 :
Truk Besar untuk
Sapi di Panggung
Penurunan Muatan

Gambar 37.
Roli Kereta Api untuk Mengangkut Sapi

Gambar 38.
Truk dengan Kandang Susun Dua
Pengiriman Domba/Kambing

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 242


Domba/Kambing
Diantara. hewan pangan, domba/kambing paling mudah dikirim dan biasa dikirim baik

melalui jalan kaki, rel atau kendaraan. Truk dengan. kendaraan susun dua. juga sesuai

untuk hewan ini.

Babi
Babi paling sulit dikirim, dan metode paling baik adalah dengan kendaraan atau. rel

kereta untuk situasi khusus.

Unggas
Ayam atau unggas lain seperti kalkun atau bebek dikirim paling baik dengan kendaraan.

Kelompok-kelompok unggas harus dipilah-pilah dalam keranjang-keranjang dari plastik,

yang bisa disusun. di atas satu dan yang lain dalam kendaraan dan dapat dengan mudah

dicuci/bersihkan sesudah pemakaian. Tutup keranjang untuk memasukkan hewan dan

pada sisinya untuk mengambil unggas-unggas itu.

Burung Onta
Kulit dan daging Burung Onta pada khususnya sangat berharga, sehingga pengiriman

dengan. kendaraan adalah cara yang paling cocok.

Sesudah memilih cara pengiriman yang sesuai untuk hewan-hewan potong tersebut,

adalah penting untuk memperhitungkan faktor yang lain untuk menjaga kesehatan dan

keselamatan. hewan-hewan tersebut.

Jenis-jenis Kendaraan
Setiap kendaraan yang dipakai untuk mengirim hewan potong haruslah

berventilasi baik, memiliki lantai anti licin dengan selokan air yang baik dan peneduh

dari matahari dan hujan, khususnya untuk babi.

Ventilasi: Kendaraan pengangkut harus tidak tertutup penuh, kekurangan ventilasi

membuat hewan stres bahkan mati lemas, khususnya bila udara panas. Sirkulasi udara

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 243


yang buruk membuat terkumpulnya gas kendaraan yang bisa membuat keracunan. Babi

khususnya sangat sensitif terhadap panas, kelembaban. yang tinggi, dan stres akibat

keringat berlebihan. Kendaraan dengan. ventilasi yang baik sangatlah penting (Gambar

29,30,34). Perputaran. udara bebas pada lantai kendaraan sangatlah penting untuk

membantu hilangnya amonia dari air seni hewan.

Gambar 39:

Truk dengan Ventilasi yang Baik


untuk Pengiriman. Babi.

Lantai: Lantai anti-licin pada semua kendaraan penting untuk menghindari jatuhnya

hewan. Jeruji silang yang terbuat dari kayu atau besi (Gambar 29) sangat cocok. Jenis

bahan lain untuk menghindari terpeleset pada permukaan lantai kendaraan seperti rumput

atau bubuk gergajian tidaklah sesuai. Penyeimbang tambahan untuk hewan, untuk

pembatas-pembatas di dalam kendaraan yang boleh terbuat dari kayu atau besi bulat atau

papan-papan. yang kuat. Lantai yang rusak bisa mematahkan kaki atau luka yang lainnya

(Gambar 35). Lantai kendaraan harus tingginya sama dengan lerengan untuk menurunkan

hewan-hewan itu. (Gambar 16) atau hewan bisa terluka bila meloncat dari kendaraan

atau. diangkat dengan tenaga manusia pada saat memindahkan mereka.

Luas Lantai: Hewan membutuhkan luas ruang lantai yang memadai sehingga mereka

bisa berdiri dengan nyaman tanpa perlu berdesak-desakan. Kelebihan. muatan dapat

mengakibatkan luka-luka ataupun kematian hewan (Tabel 37, 38, 39).

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 244


Gambar 40: Kaki Sapi Menjulur
dari Lantai Truk yang
Rusak.

Gambar 41:
Fasilitas Penaikan Hewan
yang Buruk

Gambar 42:
Truk dengan Kelebihan
Muatan Kambing.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 245


Gambar 43:

Kambing yang Bertumpuk


-tumpuk pada
Bagian Belakang
sebuah Truk.

Gambar 44.Truk dengan Muatan Kerbau Berlebihan

Tabel 13. Perkiraan Luas Lantai untuk Transportasi Berbagai Jenis Hewan

Jenis Hewan Luas Lantai / Hewan (M-)

Sapi Dewasa 1.0 - 1.4*


Sapi Muda 0.3
Babi Kecil 0.3
Sedang 0.4
Besar 0.8
Domba/Kambing 0.4
Burung Onta 0.8
* 50 - 60 cm panjang kendaraan per ekor diangkut menyilang

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 246


Ukuran harus dibuat sesuai jenis hewan dan ukuran tubuh. Bila luas lantai terlalu

luas untuk sejumlah binatang, pemisah harus dipasang agar binatang tidak

terpental-pental.

Sisi/pagar: Sisi-sisi kendaraan harus cukup tinggi untuk menjaga hewan-hewan itu,

khususnya babi, untuk melompat keluar dan melukai mereka sendiri. Pada bagian dalam

harus diberi pelapis pada bagian pinggang, sebagai contoh dengan ban tua untuk

mengurangi memar pada sapi dan burung onta. Juga tidak ada celah yang membuat kaki

mereka. keluar atau patah. Pintu masuk yang sempit juga bisa membuat memar pada

pinggang hewan. Roli karena harus juga dipasang pelapis untuk menghindari memar.

Atap: Atap tidaklah penting bagi kendaraan pengangkut untuk hewan-hewan yang tidak

terjemur berjam-jam dalam perjalanan (Gambar 29, 30). Kendaraan untuk babi harus

beratap untuk babi, kecuali jika babi-babi itu dikirim pagi-pagi sekali atau pada malam

hari. Unggas harus dilindungi dari sengatan matahari dan hujan. Pengiriman dengan

sangkar atau kurungan (Gambar 33) akan melindungi mereka dari luka-luka. Ukurannya

harus cukup besar sehingga mereka bisa duduk dan memutar-mutar kepalanya. Ventilasi

harus cukup.

Pada ukuran kecil dengan kondisi yang primitif, hewan-hewan dengan cara yang sangat

tidak sesuai, yang bisa menyebabkan sakit yang luar biasa, atau bisa juga kematian

karena lemas, stres akibat panas, dehidrasi dan lain-lain (Gambar 40, 41, 42,71).

Gambar 45 :
Transportasi Babi yang Tidak Baik
dalam Sebuah Keranjang.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 247


Gambar 46:
Transportasi Bebek yang Terbaik di
atas Sepeda Air.

Gambar 47:
Transportasi Ayam yang Tidak Baik
di Atas Becak.

Tindakan Pencegahan Sebelum Menaikan ke Kendaraan Pengangkut


Berikut ini adalah sejumlah prosedur sederhana yang dapat diterapkan sebelum menaikan

hewan ke dalam kendaraan, yang akan mengurangi resiko luka dan stres pada hewan:

1. Kumpulkan sesaat sapi-sapi atau babi-babi supaya kesal satu dengan yang lain

sehingga mereka bisa berpejalanan lebih baik dibandingkan langsung berangkat

dengan hewan lain yang mereka belum kenal. Sapi harus dikumpulkan dan didiamkan

dalam kandang bersama-sama paling tidak selama 24 sebelum diangkut. Binatang

yang menjadi korban atau masih liar harus disingkirkan pada saat itu perkelahian

diantara babi yang tidak mengenal satu dengan yang lain adalah lumrah, yang bisa

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 248


menyebabkan luka pada kulit, luka lain dan stres. Campur babi-babi dari

kandang-kandang yang berbeda sebelum dinaikkan ke dalam kendaraan, lulurkan

babi-babi itu dengan kotoran. atau cairan dari kandang yang sama sehingga mereka

berbau sama.

2. Kebanyakan hewan dapat diberi makan dan minum sebelum dikirim. Ini adalah efek

penenang. Tetapi babi jangan diberi makan sebelum dikirim karena makanan akan

meragi dan gas menyebabkan tekanan pada jantung yang berakhir ke serangan

jantung dan kematian.

3. Jangan mencampur binatang yang bertanduk dan tak bertanduk pada kendaraan karena

bisa menyebabkan memar atau luka-luka. Spesies binatang yang berbeda tidak boleh

juga dicampur. Domba, kambing dan sapi muda di bawah 6 bulan dapat dicampur dan

binatang per ekor dapat dikirim dalam keranjang longgar yang diikat pada lehernya.

Kaki tidak boleh diikat dan binatang-binatang itu harus dibalik setiap kurang lebih 3

menit. Babi tidak boleh dikirim (dengan hewan jenis lain bila tidak dipisahkan dengan

penyekat (Gambar 43). Kerbau tidak dibawa bersama-sama dengan ternak lain kalau

tidak dipisahkan dengan penyekat yang kokoh.

Gambar 48. Pengangkutan yang Salah

dimana Babi, Kambing dan Domba


Ada di Dalam Truk yang Sama

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 249


4. Hewan yang berpenyakit, terluka, kurus atau hamil tua tidak boleh dikirim dan hewan

yang tidak sehat, kelebihan berat tidak dapat berperjalanan jauh karena mereka tidak

tahan berdiri dalam guncangan mobil.

5. Kendaraan harus dilengkapi dengan lerengan yang dapat dilepas untuk

membantu dalam situasi yang tak diharapkan seperti kerusakan kendaraan

yang terlalu lama dimana hewan-hewan harus diturunkan.

Pengoperasian Transportasi
Beberapa faktor harus dipertimbangkan selama perjalanan agar hewan-hewan itu tidak

menderita, terluka atau mati.

1. Trekking - Hanya sapi, domba dan kambing agar bisa berjalan kaki

dengan lancar, dalam hal ini ada juga beberapa resiko. Perjalanan itu

harus direncanakan, dengan memperhatikan jarak yang ada ditempuh,

waktu untuk merumput, minum dan beristirahat pada malam hari. Hewan

harus dijalankan pada saat sejuk sepanjang hari, dan bilamana berjalan

hingga rel kereta api mereka harus diistirahatkan sejenak sebelum

dinaikkan ke dalam kereta. Jarak maksimum yang harus ditempuh

hewan-hewan ini tergantung dari beberapa faktor seperti cuaca, situasi

badan, umur dan lain-lain, tetapi jarak yang tercantum pada Tabel 14

tidak boleh dilebihi untuk trekking.

Tabel 14. Jarak Maksimum untuk Trekking

Jenis Hewan Satu Hari Perjalanan lebih dari sehari


Hari Pertama Hari Selanjutnya
Sapi 30 krn 24 krn 22 krn
Domba 24 krn 24 krn 16 krn
Kambing 24 krn 24 km 16 km

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 250


2. Waktu - Lingkungan dengan temperatur tinggi akan meningkatkan resiko stres

terhadap panas dan tingkat kematian selama perjalanan. Sangatlah penting untuk

mengirim hewan pada pagi atau sore yang sejuk atau bahkan bisa pada malam hari.

Khususnya untuk babi, kombinasi kelembaban dan suhu yang panas bisa mematikan

untuk babi. Panas dapat meningkat pada kendaraan. Membasahi babi dengan air akan

membantu mendinginkan mereka.

3. Lama Perjalanan - Bila bisa berjalanan harus singkat dan langsung, tanpa

pemberhentian-pemberhentian. Jika kendaraan berhenti, babi berkecenderungan untuk

berkelahi. Sapi dan domba/kambing tidak boleh berperjalanan lebih dari 36 jam dan

harus diturunkan sesudah 24 jam untuk diberi makan dan minum, bila perjalanan lebih

panjang dari itu. Babi harus dilengkapi dengan kesempatan minum yang lebih sering

selama perjalanan yang lama, khususnya pada kondisi panas dan lembab.

4. Cara Menyetir - Kendaraan harus disetir dengan baik gas dan stop yang tiba-tiba.

Tikungan-tikungan harus dilampaui dengan hati-hati dan tenang. Harus ada petugas

kedua mengawasi bilamana ada hewan yang sakit sehingga kendaraan dapat dihentikan

untuk merawatnya. Pengemudi kereta harus menghindari truk yang menyalip dengan

muatan hewan.

5.Kedinginan - Angin bertiup pada hewan basah pada perjalanan musim dingin akan

mengakibatkan kedinginan (Wind Chill) dimana temperatur badan akan menurun dengan

drastis, mengakibatkan stress dan kematian.

9.7. Pemotongan Hewan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 251


Salah satu kewajiban dalam melakukan perubahan dari hewan ternak menjadi

bahan makanan dan bahan sampingan lainnya adalah untuk memotong atau menjagal

binatang itu dengan cara yang manusiawi serta memproses daging yang didapatkan

dengan cara yang hygienis dan efisien.

Menyiapkan Hewan untuk Dipotong

Pada saat pemotongan, hewan harus berada pada kondisi sehat dan secara

psikologi normal. Hewan jagalan harus telah beristirahat dengan baik sebelumnya.

Hewan-hewan ini harus diistirahatkan, sebaiknya dalam satu malam, khususnya bila

mereka telah menempuh perjalanan jauh. Tetapi, babi dan unggas biasanya dipotong pada

saat mereka tiba dimana jarak perjalanan biasanya singkat dan penangkaran bisa

membuat mereka stress. Hewan harus diberi cukup air selama penangkaran dan jika

diperlukan dapat pula diberikan makan. Penangkaran diijinkan untuk hewan yang terluka

atau menjadi korban hewan lain untuk diidentifikasi dan bagi hewan yang sakit dapat

dikarantina dulu.

Apabila siap untuk dijagal, hewan sebaiknya digiring menuju area pemingsanan

dengan tenang dan tanpa kehebohan dan keributan. (Gambar 8, 9, 26). Penggiringan

dapat dibantu dengan menggunakan tongkat kanvas (Gambar 8), kertas atau plastik yang

digulung, dan dapat pula digunakan penjolok (Gambar 6) untuk hewan-hewan yang keras

kepala atau susah untuk dijinakkan. Hewan tidak boleh dipukul atau dipelintir ekornya.

Hewan-hewan itu harus digiring dalam barisan (Gambar 24, 25, 27) ke dalam area

pemingsanan dimana mereka dimasukkan dalam pilah-pilah kandang sebelum

dipingsankan.

Kandang Penahanan

Sangat penting kalau hewan jagal dikurung dalam pilah-pilah atau kotak

penahanan khusus sebelum dipingsanan atau dipotong. Hal ini untuk menjaga stabilitas

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 252


atau gerak hewan sehingga saat pemingsanan dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.

Beberapa jenis kotak khusus ini disesuaikan untuk hewan-hewan yang berbeda seperti:

Sapi

Suatu kotak pemingsanan adalah metode umum untuk mengekang atau mengendalikan

sapi (Gambar 25, 44). Lebar ukuran kotak harus secukupnya agar hewan tidak bisa

berputar, agar mudah dipingsankan. Lantai kotak harus anti licin. Suatu cengkramaan

leher yang biasa dipakai para petani untuk menahan gerakan hewan, sudah cukup baik

untuk usaha sederhana (Gambar 45). Pengekangan sapi yang jinak diluar kotak

pengekang cukup efektif apabila dilakukan dengan cara mengamankan kepalanya pada

suatu haltar dan mengikat talinya dengan rantai besi yang ditanamkan ke lantai semen.

Dianjurkan bagi petugas untuk berdiri di belakang pagar besi pengaman (Gambar 46).

Gambar 49 : Kotak Pemingsanan untuk Sapi.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 253


Gambar 50 : Sederhana, Lorong yang Bermanfaat dan Lengkraman Leher untuk
Mangendalikan Sapi.

Gambar 51 : Skala Kecil Operasi. Posisi Petugas Sebelum Pemingsanan yang Berada di
Belakang Pagar Besi Pengaman.

Domba/Kambing

Kurungan pemingsanan yang terbuat dari besi sangatlah tepat (Gambar 47). Tetapi,

hewan-hewan itu dapat dipingsankan dengan cara manual dengan memuaskan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 254


Gambar 52: Kurungan Pemingsanan untuk Domba/ Kambing.

Babi

Kurungan pemingsanan sangat tepat untuk babi (Gambar 48). Mengumpulkan beberapa

babi dalam suatu ruangan kecil sudah sesuai, tetapi hanya untuk pemingsanan dengan

cara pemingsanan listrik (Gambar 57,58). Tidak perlu dipertimbangkan untuk melakukan

secara manual.

Unggas

Ayam digantung pada kakinya di gantungan yang bergerak (Gambar 49). Harus

dilakukan dengan baik untuk menghindari luka dan stress. Pada perusahaan penjagalan

kecil, unggas dapat ditempatkan kepalanya pada pengekangan berbentuk kerucut

(Gambar 30).

Burung Onta

Hewan ini bertemperamen tinggi, dan karena mereka bisa menendang, mereka harus

dikekang dengan baik. Hal ini dapat dilakukan dengan menggiring mereka menuju

kurungan yang berbentuk huruf V dan telah dilapisi pengempuk, dengan kepalanya

menghadap ujung kurungan dan langsung dijepit sesudah pemingsanan listrik dimulai.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 255


Hewan-hewan tidak dapat didiamkan dalam kurungan pemingsanan dalam waktu yang

lama dan seharusnya dipingsankan segera setelah diamankan. Petugas harus cukup dilatih

dan diawasi dengan baik. Di beberapa negara, petugas yang menangani proses

pemingsanan harus terlatih dan memiliki ijin resmi.

Gambar 53 : Kurungan Pemingsanan untuk Babi.

Gambar 54 : Unggas Digantung pada Kakinya pada Gantungan Berputar sebelum


Pemingsanan Elektronik.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 256


Gambar 55 : Corong Berbentuk Kerucut untuk Pemingsanan/Pemotongan Unggas dalam
Skala Usaha Kecil

Metode Pengumpulan

Baik sekali kalau membuat hewan pingsan dahulu sebelum mereka dijagal untuk

mengurangi rasa sakit, ketidaknyamanan dan stres dari proses pemotongan ini.

Kebanyakan negara maju dan negara berkembang memiliki aturan penjagalan, dengan

perkecualian cara penjagalan keagamaan seperti kosher atau halal. Untuk situasi-situasi

tertentu, pemotongan tradisional dapat mengecualikan pemingsanan sebelum penjagalan.

Dalam metode pemotongan apapun, hewan harus dibuat tidak sadar dalam waktu yang

cukup sehingga hasil darah yang keluar dapat membuat hewan ini mati dan kekurangan

oksigen pada otak (cerebral anoxia). Dengan kata lain, kematian harus terjadi sebelum

hewan sadarkan diri dari pingsannya bukan pada saat keluamya darah. Ada tiga cara

untuk melaksanakan proses pemingsanan : pemukulan (percussian), listrik atau elektronik

(electrical) dan gas (gas). Dua cara pertama umumnya dipakai di negara-negara

berkembang.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 257


Pemingsanan Dengan Memukulan

Metode ini dilaksanakan dengan hentakan fisik pada otak hewan (gambar 51).

Captive Bolt

Metode ini bekerja seperti pinsip senapan yang menembakkan peluru kosong dimana

benda ini mementalkan semacam baut pendek (dari batang besi) dari laras bedil.

Tembakan baut itu menghentakkan tulang otak dan akan membuat hewan pingsan karena

telah merusak susunan otak atau meningkatkan tekanan yang membuat memar pada otak

(Gambar 52). Cara penembakan baut ini mungkin merupakan alat pemingsanan yang

paling serbaguna karena bisa dan cocok dipakai untuk sapi, babi, domba dan kambing

dan bisa juga untuk kuda dan onta, dan dapat dipakai di seluruh belahan dunia (walaupun

pemingsan listrik lebih baik dari pistol baut untuk memingsankan babi dan domba). Ada

berbagai pabrik pistol baut ini, dan biaya untuk pemakainnya sangatlah minim setelah

pengembalian modal untuk pembelian alat ini. Pemakai harus memiliki persediaan pelor

yang memadai, yang mungkin dengan kaliber berbeda untuk pestol pemingsanan dari

pabrik yang berbeda. Hal ini membuat alat ini sebagai suatu pilihan, khususnya di

negara-negara berkembang.

Ada dua jenis senapan ini. Satu memiliki pegangan dan pelatuk, dan satu lagi dengan

laras yang langsung digenggam yang ditempelkan ke tulang otak dan akan langsung

meletus pelurunya (Gambar 52, 53).

Jenis lain memiliki ujung yang rata menyerupai jamur (Gambar 55). Pingsan terjadi

melalui ketukan kuat pada kepala, otak tidak tertembus, karena hewan tidak terbunuh,

dimana metode ini dapat diterima dikebanyakan negara yang menerapkan pemotongan

halal. Bila dipakai, alat tembak ini diletakkan pada titik yang tepat pada kepala hewan

(Gambar 51, 53, 54). Perawatan alat yang buruk membuat pemingsanan yang buruk juga

dimana senapan harus dibersihkan dan diperbaiki secara berkala, sesuai dengan instruksi

pabriknya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 258


Gambar 56: Penempatan Senapan yang Benar untuk Pemingsanan Hewan yang Berbeda
Seperti Kuda, Sapi, Kambing, Domba dan Babi

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 259


Gambar 57 : Pemakaian Captive Pistol/Captive Bolt Pistol (CBP)

A. Bagian bawah dikeluarkan dari bagian utama CBP untuk memasukkan


pelurunya.
B. CBP pada posisi menembak (peluru paku dikeluarkan melalui pelatuk)
C. CBP dengan baut yang dikeluarkan sesudah penembakan (cincin karet
menghentikan hentakan dan baut sebagian keluar).

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 260


Gambar 58: Senapan dengan Laras yang Dipegang dengan Tangan.

Gambar 59: Posisi Salah untuk Memegang Pistol.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 261


Gambar 60: Pistol dengan Penembak Berujung Seperti Jamur.

Untuk pemingsanan yang efisien, sangatlah penting untuk pemakai dilatih dengan

baik dalam pemakaian bedil pemingsanan ini. Bilamana pemakai tak terlatih, akuritas

pemingsanan akan berkurang, rotasi dua penembak sangat disarankan. Pemingsanan

untuk babi yang lebih besar dibutuhkan peluru yang lebih kuat karena rongga sinus pada

tulang kepala lebih besar. Kerbau besar memiliki ujung bertulang pada kepala depannya

dan membuat penembakan lebih susah. Penembakan seperti ini tidak sesuai untuk

memingsankan burung onta. Otak mereka terlalu kecil untuk cara ini.

Tembakan Senapan

Dalam situasi dimana hewan terlalu bringas untuk ditangani dengan cara-cara umum,

seperti misalnya bila mereka tidak mau masuk ke rumah jagal atau digiring kekurungan

penjagalan, tembakan dengan peluru bermoncong bulat sangat efektif. Peluru berkaliber

22 sudah cukup untuk binatang. Menembak dengan peluru bebas berbahaya bagi

penembak. Bilamana hewan ini akan dipotong, harus ditembak dengan tepat, pada saat

hewan itu sedang berdiri atau berbaring di atas tanah yang empuk untuk menghindari

pantulan peluru ke penembak.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 262


Pemingsanan Elektronik

Metode pemingsanan ini sangat cocok untuk babi, domba atau kambing, unggas

dan burung onta (pemakaian untuk sapi atau hewan yang lebih besar masih dalam tahap

pengembangan, tetapi bilamana tidak dipakai dengan tepat hal ini bisa menyebabkan

haemoorhage yang luar biasa pada urat-urat dan struktur tulang belakang.) Pemingsanan

elektronik menyebabkan shok elektroplektik atau epilektik pada otak. Situasi ini harus

berlangsung dalam waktu yang cukup untuk memotong hewan sehingga hewan ini mati

dari cerebral anoxia. Aliran listrik voltase rendah dipasang dengan menerapkan dua

elektroda, yang ditempat di kedua sisi otak dengan alat cepitan.

Karena otak hewan berukuran kecil, elektroda-elektroda ini harus secara tepat dan

kuat dipasangkan ke kedua sisi kepala hewan, seperti domba, kambing, babi atau burung

onta (Gambar 56, 57, 58, 59).

Gambar 61 : Cepitan untuk Pemingsanan Elektronik untuk Domba dan Kambing.

Cara lain adalah menempatkan satu elektroda di bawah rahang dan yang satu lagi

pada sisi leher di belakang telinga. Tipe pemingsanan kepala ini sangat baik dan hewan

cepat pingsannya. Hewan harus dipotong sesegera mungkin sesudah pemingsanan ini.

Pemingsanan yang kurang baik menyebabkan serangan atau gangguan pada jantung,

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 263


sehingga elektroda ketika dipasang pada bagian lain tubuh elektroda-elektroda disalurkan

melalui jepitan atau tang. Alat ini tidak boleh dipasang pada daerah-daerah sensitif

seperti mata, bagian dalam telinga atau rektum.

Gambar 62: Jepitan Listrik untuk Memingsankan Babi.

Gambar 63: Jepitan Listrik untuk Memingsankan Babi.

Burung onta sebaiknya hanya dipingsankan dengan cara elektronik saja. Jepitan

ditaruh pada kedua sisi kepala, di bawah dan di belakang mata atau atas dan di bawah

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 264


kepala (Gambar 54). Unggas dapat dipingsankan dengan cara elektronik dengan suatu

alat yang dioperasikan secara manual (Gambar 60) atau dengan memakai mandi air

atomatik (Gambar 61). Dalam hal ini unggas diseret melewati air yang dialiri listrik

bertegangan rendah.

Gambar 64: Jepitan Listrik untuk Memingsankan Burung Onta.

Gambar 65 : Kotak Pemingsanan Listrik yang Dioperasikan Secara Manual untuk


Pemotongan Unggas bagi Usaha Kecil.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 265


Gambar 66: Air Bermuatan Listrik untuk Pemingsanan Unggas.

Kekuatan tegangan listrik adalah kombinasi antara ampere dan voltase yang

sesuai dengan jenis hewannya. Alat ini dilengkapi dengan meteran yang mengukur

tegangan listrik yang benar. Petunjuk tegangan listrik / waktu untuk hewan-hewan yang

berbeda tercantum dalam tabel berikut.

Tabel 15. Tegangan dan Waktu yang Dianjurkan untuk Pemingsanan Elektrik.

Jenis Hewan M/Amps Amps Volts Waktu (detik)


Babi min. 125 min. 1,25 mak. 123 mak. 10 (hingga
EPS*)
Domba/Kambing 100-125 1,0-1,25 75-125 mak. 10 (hingga
EPS*)
1.5-2 kg broiler 200 2,0 50-70 5
Unggas
Kalkun 200 2,0 90 10
Burung Onta 150-200 1,5-2,0 90 10-15
* EPS adalah shok elektroplektik

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 266


Untuk domba, kambing, babi dan burung onta, selama proses ini kaki menghentak

ke belakang, kepala lunglai dan mata tertutup. Sesudah 10 detik atau lebih, otot-otot

mulai melemas yang diikuti dengan gerak-gerak seperti mengayuh. Elektroda harus

dihentikan pada saat ini karena proses pemingsanan telah selesai (Gambar 58).

Cara alternatif lain yang dipakai untuk memingsankan unggas adalah dengan

memakai voltase tinggi (300 - 500 volts) yang menyebabkan perhentian jantung yang

seketika. Telah diakui bahwa melalui cara ini pemingsanan yang tak memadai, yang

dapat terjadi dalam beberapa kasus kalau memakai voltase rendah, dapat dihindari.

Elektroda-elektroda harus dalam kondisi baik dan tidak rusak, dan dibersihkan setiap

hari. Pemakai harus mahir untuk menguasai posisi yang tepat dan pemakaian yang baik

atas elektroda-elektroda ini. Pengaliran aliran listrik ke otak dibantu dengan memotong

rambut di atas bagian yang akan dikenakan atau membasahi elektroda-elektroda itu. Jika

semua bagian muka atau badan basah, aliran listrik akan konslet pada otak.

Kesalahan operator dalam memasang alat pada titik yang salah pada kepala

hewan, tidak akan membuat hewan itu pingsan, tetapi akan mengakibatkan shok gagal

atau “The Nighmore State or Leduc” atau “saat mimpi buruk Leduc”. Hewan menjadi

lumpuh dan tak bisa berbunyi tetapi belum pingsan. Alat pemingsanan walaupun

sesederhana apapun harus memiliki transpormer atau sirkuit listrik lainnya yang

mencantumkan minimum amper dan voltase yang disarankan, untuk mengatahui

insenbilitas.

Sayangnya dibanyak negara berkembang, alat pemingsan rakitan sendiri banyak

dipakai.. Alat ini mungkin hanyalah kabel-kabel sederhana yang dipasang ke hewan atau

jepitan buatan sendiri tetapi tanpa transformer yang bisa mencapai ukuran listrik yang

tepat (Gambar 70). Alat pemingsan buatan sendiri yang sambung langsung ke sumber

listrik sangat menyakitkan bagi hewan dan juga sangat berbahaya bagi pemakai karena

mungkin terdapat kabel-kabel yang terbuka

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 267


Gambar 67: Pemingsanan Listrik untuk Sapi pada Rumah Penjagalan Besar. Alat
Dihidupkan dengan Remote Control sesudah Hewan Masuk pada Kotak
Pemingsanan.
Biasanya pemingsanan listrik untuk sapi dan spesies besar lainnya dapat

mengakibatkan haemorrhage berlebihan atau kerusakan tulang belakang karena

pengembangan otot yang berlebihan. Hal ini khususnya terjadi jika teknologi yang tidak

canggih yang dipakai. New Zealand dan beberapa negara lain telah mengembangkan

metode-metode yang modern untuk memingsankan sapi untuk mengatasi masalah ini,

khususnya untuk expor daging sapi ke berbagai negara muslim atau pendirian rumah -

rumah penjagalan di negara - negara muslim dimana metode ini dapat diterima (Gambar

62,63). Tehnik New Zealand ini disebut sebagai 'The Ranguiru System1 atau Wairoa

Process2 dan pemingsanan pada kepala saja.

1. The Ranguiry System adalah pemingsanan listrik yang telah dimodifikasi, yang

diterapkan pada penjagalan sapi cara barat, dimana pemingsanan dilakukan pada

otak dan jantung berhenti berdenyut, tidak dapat diterima sebagai halal bagi

Muslim.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 268


2. The Wairoa Process adalah teknik yang dikembangkan di New Zealand, yang

melibatkan pemingsanan listrik pada kepala saja. Tidak membuat hewan sakit

walau akhirnya pemotongan dibatalkan. Jantung masih tetap berdenyut. Sistem ini

manusiawi, aman untuk petugas dan umumnya dapat diterima sebagai halal bagi

Muslim.

Pemingsanan Gas Karbon Dioksida

Pemakaian karbon dioksida (CO2) dapat dikatakan cara baru dalam pemingsanan

dan cocok untuk babi dan unggas. Tetpai hanya dapat dipakai pada perusahaan besar

karena perlengkapan yang dipakai cukup mahal. Pada dasamya hewan dipingsankan

dengan memakai beberapa konsentrasi CO2 pada udara. Kohsentrasi CO2 untuk

memingsankan babi paling tidak 80% dalam udara selama 45 detik dan 65% untuk

unggas selama 15 detik. Tetapi penerimaan cara ini dari sudut kemanusiaan masih

dipertanyakan. Untuk beberapa tipe gen babi mungkin memuaskan, dan bisa membuat

stres untuk gen-gen lainnya.

Pada saat ini gas Argon sedang diuji untuk tujuan pemingsanan. Diperkirakan gas

Argon memiliki beberapa kelebihan dibandingkan CO2, tetapi harganya lebih mahal.

Gambar 68 : Diagram Pemingsan Babi dengan CO2.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 269


Proses masuknya babi pada terorongan (O2/a), diturunkan pada ruang dengan konsentrasi

CO2 yang tinggi dimana mereka akan pingsan (h), dinaikkan lagi c dan dikeluarkan dari

terowongan (a).

Gambar 69 : Jalur dan Pintu Masuk menuju Terowongan CO2.

Gambar 70 : Pemingsanan Kerbau dengan Pukulan Palu.

Cara Salah Memingsankan Hewan

Tujuan untuk memingsankan hewan sebelum dipotong pada rumah jagal yang

baik dengan cara-cara seperti pemakaian alat penembak (captive bolt pistols), jepitan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 270


listrik atau gas CO2. Untuk memingsankan babi dengan memukul kepalanya dengan palu

besar adalah metode yang lumrah khususnya di negara-negara berkembang. Metode ini

hanya membutuhkan tenaga manual, tidak perlu perawatan alat-alat atau suku cadang

seperti peluru, dan oleh karenanya menjadi murah (Gambar 66).

Pukulan palu pasti disukai untuk alasan itu, tetapi dibutuhkan petugas yang

terlatih. Sering kali pukulan tambahan dibutuhkan, bila hewan tidak dipukul pada sasaran

yang tepat. Metode palu ini terbukti memiliki tingkat kesalahan yang tinggi dan harus

digantikan dengan salah satu metode di atas. Khususnya cara salah dapat dilihat dari

pemotongan babi, dimana beberapa babi digiring ke kandang pemingsanan dan secara

sembrono dipukul dengan palu. Karena mereka bergerak kesana kemari, banyak hewan

tidak dipukul dengan tepat dan dibutuhkan pukulan-pukulan tambahan atau sampai pada

saat pemotongan dalam keadaan masih sadar (Gambar 66, 67).

Pada banyak negara berkembang, pemingsanan hewan besar (sapi, kerbau) masih

dilaksanakan dengan memakai pisau yang lancip dan tajam, yang kadang - kadang

disebut sebagai “puntilla” atau “Spanish pike” atau belati (Gambar 68,69). Pisau dipakai

untuk menusuk urat syarat tulang belakang (spinal cord) melalui daerah (foramen

magnum) diantara tulang otak dan posisi leher tulang belakang. Pada saat menusukkan

pisau dan mengenai urat syarat tulang belakang (spinal cord) melalui daerah (foramen

magnum) diantara tulang otak dan posisi leher tulang belakang, hewan akan pingsan. la

tetap tak bergerak yang memudahkan pemotong, tetapi hewan tetap hidup hingga darah

habis keluar. Cara ini harus dihentikan karena tidak manusiawi.

Cara tak manusiawi yang sama terhadap pemingsanan hewan ini dilaksanakan

dengan menusuk tendon Achilles, yang membuat hewan tak sadarkan diri. Cara ini sering

dilihat pada rumah jagal onta. Pada penjagalan onta sering juga dilihat dimana mengikat

kaki-kaki mereka dengan kabel. Hal ini membuat hewan menderita dalam posisi duduk

dan mereka dibiarkan seperti ini berjam-jam sebelum mereka dipotong.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 271


Cara salah juga dilaksanakan dalam pemakaian cara listrik pada penjagalan.

Jepitan listrik tentu saja dapat dibuat oleh bengkel-bengkel lokal di negara-negara

berkembang, tetapi pemasangan parameter sangat perlu untuk pemingsanan yang efisien

dan manusiawi. Jepitan listrik tanpa parameter, memakai aliran listrik langsung tidak

hanya menyebabkan penderitaan luar biasa tetapi juga dapat menurunkan kwalitas daging

yang dihasilkan.

Sangat tidak dapat diterima cara-cara dengan memakai kabel listrik yang dipasang

ke tungkai kaki dan leher binatang dan membuat hewan mendapat shok listrik dengan

menyambungkannya ke aliran listrik utama. Hal yang sama juga tak baik kalau pemakai

penembak listrik yang langsung dipasang ke sumber listrik (Gambar 7) dengan memakai

voltase tinggi untuk "memingsankan" sapi juga tidak manusiawi. Lebih lagi, hal ini dapat

merusak kwalitas daging dan kulit.

Satu cara menyiksa yang dipakai untuk memingsankan babi di beberapa negara

Asia, babi-babi, pada saat dipindahkan dari peternakan ke rumah jagal, dipaksa masuk ke

dalam kurungan yang terbuat dari best. Keranjang best ini hanya memuat satu ekor babi

tapi babi sama sekali tidak bisa bergerak di dalamnya, keranjang-keranjang itu ditumpuk-

tumpuk. Babi-babi didiamkan di dalam keranjang - keranjang tanpa air dan ventilasi.

Sampai akhir dijagal tanpa proses pemingsanan di dalam masing-masing keranjang itu

(Gambar 71).

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 272


Gambar 71 : Sekelompok Babi sesudah Dipalu dan Sedang Dibasahi sebelum Dipotong.
Beberapa Babi Belum Sepenuhnya Pingsan.

Gambar 72: Belati untuk membunuh hewan besar.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 273


Gambar 73: Pemotongan Babi dalam Keranjang Besi dengan Memakai Pisau dengan
Pegangan Panjang.

Gambar 74: Jepitan Listrik Rakitan Sendiri.

Pemotongan Ritual atau Religius (Halal dan Kosher)

Kebanyakan negara maju dan negara berkembang membutuhkan hukum yang

mengatur pemingsanan hewan sebelum dipotong. Hal ini dibutuhkan untuk menghindari

penderitaan selama pemotongan. Tetapi perkecualian berlaku untuk pemotongan cara

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 274


Yahudi (Kosher) dan Muslim (Halal), dimana pemingsanan biasanya tidak diijinkan dan

binatang langsung ditusuk dengan memakai pisau tajam pada tenggorokannya dan

memotong urat-urat darah. Hal ini menyebabkan kehilangan darah yang tiba-tiba dan

sangatbanyak yang diiringi dengan kehilangan kesadaran dan kematian. Tetapi banyak

autontas menganggapnya pemotongan ini tidak memuaskan dan hewan bisa tidak pingsan

dan mengalami penderitaan selama proses pemotongan.

Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan sampai hal ini dapat diterima seperti:

1. Hewan yang akan dipotong dengan cara Kosher atau Halal harus benar-benar

dikekang khususnya pada bagian kepala dan leher sebelum pemotongan

kerongkongannya. Gerakan-gerakan hewan menyebabkan potongan yang tak

baik, pendarahan yang buruk/ dan proses pingsan yang lambat (jika terjadi) dan

rasa sakit. Ini adalah implikasi servis pada keadaan hewan. Pisau yang dipakai

memotong leher dan urat darah harus setajam silet dan tanpa gerigi-gerigi dan

kerusakan. Hal ini untuk memastikan potongan yang tepat dan halus pada leher

disamping rahang dan terjadinya pemuncratan darah yang cepat dan banyak.

Pengeluaran darah yang buruk menyebabkan pingsan yang lambat dan

mengurangai kwalitas daging.

2. Hewan tidak boleh dibelenggu dan dibasahi sebelum pemotongan. Hal ini

membuat mereka merasa tidak nyaman dan stres. Pembahasan harus dilaksanakan

hanya sesudah hewan kehilangan kesadarannya. Kurungan hewan harus nyaman

untuk hewan.

3. Keahlian petugas sangatlah penting dalam pelaksanaan pemotongan yang sesuai

dengan agama, dan pemerintah harus mengeluarkan surat ijin untuk penjagal.

Tehnik yang buruk mengakibatkan penderitaan dan kekejaman terhadap hewan.

Pemotongan keagamaan harus dilaksanakan dengan memberikan perhatian pada

detail dan memastikan bahwa metode, perlengkapan dari petugas yang tepat.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 275


Pemotongan dengan cara ini sangatlah lambat.

Senapan yang sesuai untuk pemingsanan bila memakai baut yang berbentuk jamur

(Gambar 55). Senapan ini adalah bentuk penyempurnaan dari baut baisa dimana baut ini

tidak merusak otak dan menyebabkan kematian. Hal ini seharusnya lebih bisa diterima

oleh pemuka-pemuka agama, dan pemakaian ini lebih mendorong cara pemotongan yang

lebih manusiawi diantara Muslim di negara-negara berkembang, sehingga meningkatkan

perhatian terhadap hewan.

Untungnya, banyak autoritas Muslim menerima beberapa bentuk jenis

pemingsanan sebelum hewan dijagal. Banyak autoritas Muslim menerima pemingsanan

dengan listrik untuk sapi, domba dan unggas, dimana daging disiapkann untuk komunitas

Muslim, karena binatang yang dipingsankan dapat hidup lagi bila pemotongan tidak

dilaksanakan. Pemingsanan dengan listrik juga menjadi pilihan pada negara-negara

pengeksport daging dimana pemingsanan diwajibkan hukum, untuk ekspor ke negara-

negara Muslim. Hal yang sama terjadi pada negara-negara dengan minoritas Muslim

dengan regulasi-regulasi kesejahteran hewan yang diijinkan memakai cara-cara

pemotongan halal, tetapi dengan kombinasi pemingsanan listrik.

Setiap jenis pemingsanan hewan yang akan dijagal tidak dapat diterima sesuai dengan

aturan Kosher Yahudi.

Pemotongan

Pemotongan adalah salah satu bagian dari proses penjagalan dimana saluran darah

utama pada laher dipotong yang membuat darah mengalir dari tubuh hewan yang

menyebabkan kematian pada hewan. Pisau pemotong harus selalu diasah. Pisau tumpul

akan melamakan proses ini dan ujung-ujung saluran darah tidak terpotong dengan baik.

Hal ini akan menyebabkan penggumpalan darah prematur dan menyumbat saluran-

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 276


saluran darah, yang menyebabkan pelambatan pendarahan dan memperpanjang masa

menuju pingsan dan insentivitas. Proses harus cepat dan tepat. Pada unggas, domba dan

kambing dan burung onta, leher dipotong di sebelah rahang (Gambar 72, 73, 74).

Gambar 75 : Pemotongan Unggas (Bebek). Hewan Dipingsankan Sesudah Melewati


Siraman Air dengan Aliran Listrik untuk Dipingsankan.

Gambar 76 : Tusukan untuk Memotong Domba.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 277


Gambar 77: Tusukan untuk Memotong Burung Onta

Cara standar untuk memotong sapi adalah dengan menusuk kulit diantara dada

dan geraham dengan potongan membujur sepanjang 30 cm. Lalu dengan alasan higieens,

pisau bersih hams dipakai dan dimasukkan dengan kemiringan 45° untuk mencapai urat

leher (Gambar 75) jugular dan carotid.

Pada babi, tusukan membujur dibuat ke dalam dada untuk mencapai urat-urat

darah paling dalam (Gambar 76).

Untuk semua tusukan, urat-urat leher jugular dan carotid hams benar-benar

tertembus. Jika semua urat darah tidak terpotong, pengeluaran darah mungkin belum

berakhir, yang menyebabkan penggumpalan darah dalam jaringan tubuh, yang dapat

mengakibatkan kerusakan cepat pada daging.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 278


Waktu minimum dibutuhkan diantara proses pemingsanan dan pemotongan karena

dua alasan berikut:

a. Kelambatan yang berkepanjangan bisa mengakibatkan tingkat kepingsanan

khususnya bila hewan dipingsankan dengan cara elektrik. Sebagai contoh unggas

yang dipingsankan dengan listrik akan sadarkan diri dalam waktu 1-3 menit.

Umumnya, pemotongan unggas harus dilaksanakan dalam waktu 15 detik sesudah

pemingsanan. Untuk hewan lain, interval antara pemingsanan dan penusukan

harus dibuat sesingkat mungkin. Waktu di bawah satu menit sangat baik (Gambar

77).

b. Kelambatan dalam pemotongan akan mengakibatkan bertambahnya tekanan

darah, dan jaringan darah akan rusak dan menyebabkan haemorrhage pada urat.

Darah berlebihan ini pada jaringan tubuh akan meningkatkan kerusakan pada

daging yang akhirnya menyia-nyiakan daging itu sendiri.

Gambar 78 : Tusukan pada pemotongan sapi.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 279


Gambar 79 : Tusukan pada Pemotongan Babi.

Gambar 80: Pengaturan Pemingsanan yang Baik dan Pemotongan Langsung untuk Babi
pada Rumah Jagal ukuran Menengah.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 280


Menentukan Tingkat Kepingsanan PadaPenjagalan

Adalah penting untuk mengetahui bila seekor binatang telah tak sadar sesudah

proses pemingsanan, karena pemotongan dan pengirisan tidak boleh dimulai hingga

proses pemingsanan telah benar-benar selesai.

Bila sapi, domba, kambing dan babi dipingsankan dengan captive bolt/senapan,

hewan itu akan pingsan langsung. Hewan tetap bernafas seperti biasa. Tidak akan ada

kedipan refiek bila matanya disentuh. Tanda-tanda belum pingsan harus diperhatikan

sebelum proses pemotongan, biasanya pada saat tubuh hewan digantung pada rel

pemotongan.

Pada hewan domba, kambing, babi dan burung onta yang dipingsankan secara

elektrik, serangan “Grand Mal” yang menyebabkan pingsan yang cepat. Hal ini

menyebabkan kekejangan urat-uat yang berakhir sampai 30 detik. Hewan tidak boleh

dikatakan pingsan selama 30 detik ini. Hewan tidak mengeluarkan suara, seperti

mengembek dan lain – lain. Bersuara bertanda bahwa hewan itu masih merasakan sakit.

Tidaklah normal kalau hewan masih menendang-nendang sesudah proses pemingsanan

dengan cara apapun. Bila hewan memiliki gerakan refleks menendang, kepalanya

menganggung-nganguk. Bila hewan itu berusaha menggerak-gerakkan kepalanya, hal mi

masih dapat dipakai sebagai ukuran bahwa mereka masih sadar. Seekor binatang yang

menunjukkan gerakan-gerakan ini harus dipingsankan ulang.

Petugas yang menilai tingkat kepingsanan ini harus berkonsentrasi dengan melihat

ke kepala hewan. Hembusan napas dapat diijinkan, ini adalah tanda-tanda kematian otak.

Bilamana lidah menjulur ke luar, lembek dan lunglai, hewan itu memang benar-benar

pingsan.

Kepala unggas yang telah dipingsankan dengan listrik harus lunglai sesudah

pemingsanan. Unggas yang belum benar-benar pingsan akan menunjukkan gerakan-

gerakan, refleks dan menaikkan kepalanya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 281


Serangan tiba-tiba “grand mat” adalah suatu tingkat epilepsi yang berat yang ditunjukan

oleh gangguan Paroxysmul pada aktifitas electrik pada otak. Hal ini mengakibatkan

penderitaan penyakit sawan yang kadang-kadang datang atau “Periodic convulsion” pada

tubuh atau “epileptic fit”.

1. Menjaga Standar Perlakuan terhadap Binatang


Orang – orang yang menangani beratus – ratus penjagalan hewan akan menjadi

tidak peka terhadap penderitaan dan memiliki kecenderungan menjadi kasar atau

terhadap pekerjaannya maka mereka harus selalu dimonitor. Para manajer harus menjaga

standar tinggi terhadap pengoperasian terhadap perlakuan binatang.

Lima Titik Kontrol Utama


Sangat dianjurkan untuk memakai sistem dengan tipe HACCP untuk mengukur

dan memonitor efesiensi dan pelaksanaan petugas penanganan hewan dan

pemotongannya. HACCP atau Hazard Analysis and Critial Control Points adalah suatu

sistem yang secara mendasar dipakai pada perusahaan – perusahaan yang berkaitan

dengan hewan potong untuk memastikan keamanan bahan makanan. Dengan

melaksanakan sistem ini dengan Critical Control Points (CCPs) pada proses ini, berbagai

tahap – tahap penting, yang dilaksanakan oleh petugas yang menangani dan memotong

hewan, dapat dimonitor untuk meyakinkan bahwa hal ini dilaksanakan dengan baik, yang

menuju perbaikan – perbaikan yang pasti pada kualitas perlakuan terhadap binatang dan

pengoperasiannya. System penilaian yang obyektif terhadap standar yang telah diterima

dan juga antara penilai dapat juga dibuat.

Lima kontrol utama dalam menangani dan pemotongan hewan secara singkat

dijelaskan disini.

Titik control yang dianjurkan dalam pengawasan dan evaluasi adalah :

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 282


2. Kebersihan Pemingsanan – Persentasi pingsannya hewan pada usaha yang

pertama (kebersihan dinilai sesuai kreteria pada halaman 84/85)

a. pemingsanan captive bolt / senapan – penembakan yang benar.

b. pemingsanan jepitan listrik – penempatan yang benar.

3. Tingkat Pingsan pada Rel Pemotongan – Persentasi binatang yang masih

pingsan sebelum dan sesudah pemotongan (memakai kreteria sama seperti nomor

1)

4. Suara – Persentase sapi atau babi yang mengeluarkan selama proses pemingsanan

seperti tembakan yang meleset, pemakaian jepitan listrik yang berlebihan, tekan

yang berlebihan pada kotak pemingsanan yang tak berhasil, dan lain sebagainya.

Setiap hewan diskor sebagai yang bersuara dan tak bersuara selama penanganan

dan pemingsanan, tidak selama berada dalam penangkaran atau kurungan. Skor

suara untuk domba tidak dipakai karema mereka biasanya berbunyi pada itu.

5. Terpeleset dan Terjatuh – Persentase hewan yang terpeleset atau terjatuh selama

penggirian atau memingsankan. Tempat – tempat tertentu harus dipilih untuk

penelitian.

6. Jepitan Listrik – Persentase hewan yang membutuhkan pecutan dengan

penghalau listrik

Pengawasan dan audit terhadap CCPs ini harus dilaksanakan secara regular.

Penilaian Objektif terhadap Pelaksanaan Standar pada Titik Kontrol Utama


1a. Captive Bolt / Senapan – Ketepatan pemingsanan

(skor setiap hari minimum 20 ekor atau 20 % pada perusahaan besar)

- Luar Biasa : 99 – 100% langsung pingsan dengan satu tembakan.

- Dapat diterima : 95 – 98%

- Tak dapat diterima : 90 – 94%

- Masalah serius : kurang dari 90%

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 283


Langkah : jika ketepatan satu tembakan berada dibawah 95% tindakan langsung harus

dilaksanakan untuk meningkatkan persentase.

1b. Pemingsanan Elektrik – Ketepatan penempatan jepitan.

(skor semua babi, domba atau burung onta atau minimum 100 pada perusahaan besar)

- Luar Biasa -99,5 – 100% pemasangan jepitan listrik yang benar.

- Dapat diterima -99,4 – 99%

- Tak dapat diterima – 98 – 95%

- Masalah serius 95%

7. Titik Pingsan Sesudah Pemingsanan


(skor minimum 20 hewan atau 20% pada perusahaan besar)

- bila hewan dibasahi /direndam langsung sesudah pemingsanan,

perhatikan saat – saat sesudah pembasahan (kecuali kalau memang

benar – benar terlihat hewan masih sadar)

- jika hewan ditaruh diatas lantai, tunggu 15 – 30 detik sebelum

mengevaluasi untuk membiarkan kejangan – kejangan berhenti

(khususnya pada pemingsanan elektrik)

- setiap hewan yang menunjukkan bahwa mereka masih sadar, harus

segera dipingsankan lagi.

- Luar biasa - sapi - kurang dari 1 per 1000 atau 0.01%

- babi - kurang dari 1 per 200 atau 0,05%

- Dapat diterima - sapi - kurang dari 1 per 500 atau 0,2%

- babi - kurang dari 1 per 1000 atau 0,1%

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 284


3a. Kreteria Untuk Sapi Yang Bersuara
8. Dalam kandang atau areal pengumpulan, kotak pemingsanan atau krangkeng –

krangkeng.

(skor minimum 20 hewan atau 20% pada perusahaan besar). Skor setiap hewan yang

mengeluarkan suara sebagai YA dan yang tidak mengeluarkan suara sebagai TIDAK

- luar biasa - 0,05% atau kurang dari sapi YA

- dapat diterima - 3% atau kurang YA-nya

- tak dapat diterima - 4 – 10% YA

- masalah serius - lebih dari 10% YA

3b. Kreteria Untuk Babi Yang Bersuara

9. Dalam krangkeng, kandang, pemingsanan, atau selama pemingsanan

(Skor minimum 20 babi atau 10% pada perusahaan besar)

Skor setiap hewan YA untuk yang bersuara dan TIDAK untuk yang tidak mengeluarkan

suara.

- Luar Biasa - 0% untuk babi YA

- Dapat Diterima -1% atau kurang untuk babi YA untuk yang

dikrangkeng, 0% karena salah menempatkan jepitan

- Tidak dapat Diterima - 2% atau lebih YA dalam kurungan atau kandang

Untuk mengurangi tingkat babi yang bersuara meningkatkan kwalitas daging babi

dan meningkatkan PSE

Jangan memakai skor ini untuk domba.

4. Terpeleset atau Terjatuh dalam Area Pemingsanan


- Termasuk pintu masuk kurungan, area, kandang pengumpulan dan area penurunan

hewan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 285


(Skor minimum 20 hewan atau 10% pada perusahaan besar)

Skor YA untuk terpeleset dan TIDAK untuk yang tidak tergelincir.

- Luar Biasa - tidak ada yang terpeleset atau terjatuh

- tidak dapat diterima - 1% jatuh (atau badan menyentuh lantai)

- Masalah Serius - 5% terjatuh atau 15% terpeleset

5. Pelaksanaan Pecutan Listrik


Jika pecutan membuat hewan bersuara, aliran listrik berarti terlalu kuat.

(Skor miminum 20 hewan atau 10% pada perusahaan besar)

Skor YA untuk yang bersuara dan TIDAK untuk yang tidak bersuara (Tabel 16 dan 17)

Tabel 16. Kreteria Skor Pecutan Listrik untuk Sapi

Area Pintu masuk ke Jumlah % babi


pengumpulan ke krangkeng yang dipecut
kandang pemingsanan

Luar Biasa Tidak ada YA 5% - kurang 5% - kurang


Dapat diterima Tidak ada YA 10% - kurang 10% - kurang
Tak dapat diterima - 20% - kurang 20% - kurang
Masalah serius - - 50% - kurang

Tabel 17. Kriteria Skor Pecut Listrik untuk Babi

Area pengumpulan Pintu masuk ke Jumlah % babi


ke kandang krangkeng yang dipecut

Luar biasa Tidak ada YA 10% - kurang 10% - kurang


Dapat diterima Tidak ada YA 15% - kurang 15% - kurang
Tak dapat diterima - - 25% - kurang
Masalah serius - - 50% - kurang

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 286


BAB XII
PEMERIKSAAN KESEHATAN ANTE- MORTEM DAN POST-MORTEM

I. PEMERIKSAAN KESEHATAN ANTE-MORTEM

Pendahuluan

Daging yang beredar di masyarakat hendaknya daging yang sehat dan

berkualitas baik. Untuk pengadaan daging yang sehat dan berkualitas,

memerlukan serangkaian pemeriksaan dan pengawasan, mulai dari penyediaan

dari penyediaan ternak potong yang sehat melalui pemeriksaan hewan sebelum

disembelih (pemeriksaan ante-mortem), tukang potong yang memenuhi syarat

kesehatan dan memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar pemotongan

ternak, pemeriksaan setelah hewan dipotong (pemeriksaan post-mortem),

penyediaan alat angkutan daging yang memadai, dan tersedianya kios daging

yang memenuhi syarat kesehatan untuk pendistribusian daging kepada konsumen.

Pengertian, Maksud dan Tujuan Pemeriksaan Ante-Mortem

Pemeriksaan kesehatan ante-mortem adalah pemeriksaan ternak dan unggas

potong sebelum disembelih. Adapun maksud pemeriksaan ante-mortem adalah

agar teknak yang akan disembelih hanyalah ternak sehat, normal dan memenuhi

syarat. Sedangkan ternak yang sakit hendaknya ditolak untuk dipotong. Tujuan

dari pemeriksaan ante mortem agar daging yang akan dikonsumsi masyarakat

adalah daging yang benar-benar sehat dan bermutu. Khusus untuk pemotongan

ternak sapi, selain kondisinya harus sehat dan normal, juga harus memenuhi

syarat.

Memenuhi syarat disini dimaksudkan agar ternak sapi yang akan dipotong

tidak melanggar peraturan yang telah ditentukan pemerintah. Peraturan yang

mengatur tentang pemotongan ternak antara lain : 1) Staatsblad Nomor 614 tahun

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 287


1936 tentang Pemotongan Ternak Besar Betina Bertanduk. Inti dari peraturan ini

adalah ternak besar betina bertanduk, yaitu sapi dan kerbau betina dilarang

dipotong. Peraturan lainnya adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri dan Menteri

Pertanian Nomor 18/1979 dan Nomor 05/Ins/Um/3/1979 tentang Pelarangan

Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina

Bibit, dan Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali tanggal 1 Oktober

1980 tentang Pelarangan dan Pencegahan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau

Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina Bibit (Arka, dkk., 1983).

Menurut Direktorat Kesmavet (2005) Tujuan pemeriksaan ante-mortem

adalah :

1. Mencegah pemotongan hewan yang secara nyata menunjukkan gejala klinis

penyakit hewan menular dab zoonosis atau tanda-tanda yang menyimpang.

2. Mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya untuk keperluan pemeriksaan

post-mortem dan penelusuran penyakit di faerah asal ternak,

3. Mencegah kontaminasi dari hewan atau bagian dari hewan yang menderita

penyakit kepada petugas, peralatan RPH dan lingkungan,

4. Menentukan status hewan dapat dipotong, difunda atau tidak boleh dipotong,

5. Mencegah pemotongan ternak betina bertanduk produktif.

Pelaksana, Tempat dan Peralatan

Pelaksana pemeriksaan ante-mortem hádala 1) dokter hewan berwenang

yang ditunjuk, dan 2) Paramedik yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter

hewan yang berwenang.

Pemeriksaan ante-mortem dilakukan di kandang penampungan hewan siap

potong. Syarat kandang penampungan harus bersih, kering, terang (intensitas

cahaya minimum 540 luks), terhindar dari panas matahari dan hujan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 288


Peralatan yang dibutuhkan dalam pemeriksaan ante-mortem adalah : 1) jas

laboratorium yang bersih, 2) sepatu bot, 3) stempel/cap “S”

Untuk dapat melakukan pemeriksaan kesehatan ternak ante-mortem, maka

diperlukan fasilitas yang memadai. Fasilitas yang harus dimiliki selain kandang

tempat pengumpulan ternak adalah kandang jepit (fixasi). Kandang untuk

pengumpulan ternak harus cukup terang agar pemeriksa dapat bergerak dengan

leluasa diantara ternak untuk mengadakan pengamatan dengan seksama terhadap

ternak dalam keadaan diam/istirahat atau dalam keadaan bergerak. Kandang jepit

diperlukan untuk pemeriksaan kesehatan seekor ternak dengan lebih seksama.

Misalnya untuk eksplorasi rectal yang bertujuan untuk mendiagnosis kebuntingan,

mengukur suhu tubuh, pemasangan identifikasi ternak yang meragukan

kesehatannya, dan untuk memperkirakan umur ternak betina yang akan dipotong.

Prosedur Pemeriksaan Kesehatan Ante-Mortem

Adapun prosedur pemeriksaan ante-mortem adalah sebagai berikut :

• Pemeriksaan ante-mortem dilakukan maksimum 24 jam sebelum hewan

disembelih. Jika melebihi waktu tersebut maka dilakukan pemeriksaan ante-

mortem ulang.

• Hewan harus diistirahatkan minimum 12 jam sebelum penyembelihan.

• Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati gejala klinis dan patognomonis

dengan cara :

a) Mengamati (inspeksi) dengan cermat dan seksama terhadap sikap dan

kondisi (status Gizi, sistem pernafasan, sistem pencernaan dan lain-

lain) hewan potong pada saat berdiri dan bergerak yang dilihat dari

segala arah. Amati ternak tersebut dalam keadaan bergerak. Ternak

dibangunkan, dan diperhatikan pada waktu bergerak. Ternak lumpuh

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 289


atau patah kaki, bergerak kaku dan lain-lain dipindahkan ke kandang

khsusus untuk mendapat pemeriksaan yang lebih teliti.

b) Mengamati dengan cermat dan seksama lubang-lubang kumlah

(telinga, hidung, mulut, anus) dan kelenjar getah bening

(limfoglandula superficial) pada ternak, apakah ada pembengkakan

atau tidak. Demikian pula, catat jika ada kotoran pada mata, keluar

cairan pada mata (lacrimasi) dan leleran pada hidung.

c) Apabila dicurigai atau diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, hewan

dipisahkan dan atau diberi tanda. Seluruh ternak yang abnormal dari

hasil pengamatan ini, dipisahkan segera ke kandang penampungan

lain yang dilengkapi dengan kandang jepit untuk pemeriksaan ternak

secara individual yang lebih seksama.

• Selanjutnya dilakukan pemeriksaan :

a) Status Gizi dan keaktifan hewan, dengan melihat penampilan

(performance) tubuh secara keseluruhan. Hewan dengan status Gizi jelek

ditandai dengan kekurusan (cahexia), yakni ditunjukkan dengan

pertulangan yang menonjol.

b) Kulit dan keadaan bulu. Dilakukan dengan melihat kondisi kulit secara

umum. Untuk pemeriksaan keadaan bulu, dilakukan dengan melihat

kekusaman dan kebersihan bulu terutama bagian belakang.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 290


c) Selaput lendir. Melihat seluruh selaput lendir yang ada yaitu conjunctiva,

mulut, hidung, preputium atau vulva dan rectum terhadap warna dan

kebasahan/kelembaban.

d) Mata dan telinga. Melihat adanya kelainan pada mata dan telinga.

• Amati gejala-gejala penyakit zoonosis dan penyakit menular lainnya. Ternak

yang menderita penyakit, tidak boleh disembelih, karena dagingnya tidak

layak untuk dikonsumsi dan dapat membahayakan kesehatan konsumen

(Meat Borne Diseases).

Konklusi (Kesimpulan) Akhir dari Pemeriksaan Ante-Mortem

Konklusi akhir dari pemeriksaan kesehatan ante-mortem dapat dibedakan

menjadi tiga, yaitu :

• Kelompok pertama adalah ternak yang dapat dipotong reguler, yaitu

kelompok ternak yang sehat, normal dan memenuhi syarat (tidak melanggar

peraturan pemotongan).

• Kelompok kedua, adalah ternak yang ditolok untuk dipotong, yaitu kelompok

ternak yang menderita penyakit, abnormal dan melanggar peraturan

pemotongan. Contoh untuk kelompok ini adalah ternak sakit, ternak cacat,

ternak betina produktif, bibit, bunting dan pedet yang umurnya terlalu muda.

• Kelompok ketiaga, adalah ternak yang menderita kelainan lokal seperti patah

kaki/fractur, luka, memar, abses, neoplasma/tumor, dan kondisi kesehatan

ternak tersebut meragukan (suspected). Ternak kelompok ketiga ini dipisah-

kan dari pemotongan reguler. Penyembelihannya dilakukan setelah

pemotongan reguler. Pertimbangan kondisi ante-mortem dikaitkan dengan

penemuan post-mortem untuk memberikan kesimpulan akhir terhadap

disposisi daging dan organ-organ tubuhnya.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 291


Menurut Direktorat Kesmavet (2005), keputusan pemeriksaan ante-

mortem dikelompokkan menjadi hewan boleh dipotong, ditunda, atau tidak boleh

dipotong. Terhadap hewan yang boleh dipotong segera diberikan stempel/cap

“S” di daerah pinggul.

Gambar 81. Pemeriksaan Ante-Mortem

Tabel 18. Keputusan Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Ante-Mortem

Hasil Pemeriksaan Keputusan


* Hewan normal/sehat 1. Diijinkan untuk
* Hewan dengan kelainan terlokasi, seperti tumor pada dipotong
mata, pneumonia dll
* Hewan lumpuh/ambruk karena kecelakaan namun 2. Harus segera dipotong
tidak menunjukkan gejala penyakit
* Hewan menderita atau menunjukkan gejala sakit, 3. Dipotong dengan
seperti pada lampiran 1 pengawasan dokter
hewan
* Hewan tenderita gejala sakit yang belum dapat 4. Ditunda pemotongan-
ditentukan gejala penyakitnya (menunggu hasil Nya
laboratorium)
* Hewan tenderita atau menunjukkan gejala penyakit 5. Dilarang dipotong
akut, seperti ántrax, tetanus, malleus, dll

II PEMERIKSAAN KESEHATAN POST-MORTEM

2.1 Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Post-Mortem

Yang dimaksud dengan pemeriksaan kesehatan post-mortem adalah

pemeriksaan kesehatan ternak setelah disembelih.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 292


Tujuan pemeriksaan post-mortem adalah (Dirkesmavet, 2005) :

1) Memberikan jaminan bahwa karkas , daging dan jeroan yang dihasilkan

aman dan layak dikonsumsi.

2) Mencegah beredarnya bagian/jaringan abnormal yang berasal dari

pemotongan hewan sakit, misalnya pada kasus cacing hati, cysticercosis,

tuberculosis, brucellosis, coryza ganggraenosa bovum, haemorrhagic

septicemic, piroplasmosis, surra, arthritis, hernia, fracture, abcess,

actinomycosis, actinobacillosis, mastitis, septichaemia, cachexia, hydrops,

oedema, dan ephitelimia.

3) Memberikan informasi untuk penelusuran penyakit di daerah asal ternak.

2.2 Pelaksana, Tempat dan Peralatan

Petugas yang dapat melakukan pemeriksaan post-mortem adalah 1)

dokter hewan berwenang yang ditunjuk, dan 2) Keurmaster/juru uji daging

yang ditunjuk dan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang.

Untuk melakukan pemriksaan post-mortem diperlukan :

a) Jas laboratorium putih yang bersih, apron dan sepatu bot

b) Penerangan yang cukup (intensitas cahaya pada tempat pemeriksaan

minimum 540 luks) atau pemeriksa dapat mengidentifikasi/melihat

prubahan warna pada organ misalnya pucat atau kemerahan,

c) Meja porselin/stainless steel

d) Pengait kepala dan jeroan

e) Pisau yang tajam dan pengasah pisau,

f) Sarana air bersih dan saniter atau air panas (>82C) untuk mensuci-

hamakan pisau,

g) Tempat penampung bagian-bagian atau organ yang diafkir,

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 293


h) Plastik specimen untuk pengambilan sample organ yang dicurigai. Semua

peralatan harus dibersihkan dan disuci-hamakan sebelum dan sesudah

digunakan untuk pemeriksaan, serta jika tercemar van atau jeringan yang

diduga mengandung bibit penyakit.

Pemeriksaan kesehatan post-mortem dibagi dua, yaitu :

1) pemeriksaan rutin, dan

2) pemeriksaan khusus.

Pemeriksaan rutin dilaksanakan dengan intensitas normal setiap hari

meliputi pemeriksaan kesehatan kepala ternak, dan kelenjar getah bening

(limfoglandula) yang terdapat di dalamnya, pemeriksaan limfoglandula

praescapularis, limfoglandula praefemoralis, limfoglandula visceralis,

pemeriksaan organ-organ tubuh, pemeriksaan permukaan karkas, pleura, dan

potongan-potongan karkas. Sedangkan pemeriksaan khusus adalah pemeriksaan

yang lebih seksama terhadap karkas dan organ-organ tubuh dari ternak yang lebih

dicurigai pada pemeriksaan ante-mortem. Ternak-ternak yang mendapat

pemeriksaan khusus ini termasuk kelompok ternak yang dipotong darurat

(emergency slaughter), baik karena mengalami kelainan lokal atau karena kondisi

kesehatannya meragukan, sehingga perlu mendapat pemeriksaan yang lebih teliti

setelah disembelih.

2.3 Prosedur Pemeriksaan Post-Mortem


Pemeriksaan post-mortem dilaksanakan segera sesudah selesai

penyembelihan sampai dengan proses pembelahan karkas.

Menurut Arka dkk. (1985), pemeriksaan kesehatan kepala ternak meliputi

pemeriksaan pada permukaan luarnya, apakah ada kelainan (pembengkakan,

abses) atau luka-luka. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap indicator

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 294


penyakit dan abnormalitas yang mungkin ditemukan. Indikator penyakit yang

terdapat pada kepala ternak meliputi pemeriksaan limfoglandula mandibularis

yang terletak pada pipi bagian bawah, dekat kelenjar liur, limfoglandula parotis

yang terletak di atas otot pipi (musculus masetter) dan limfoglandula

supra/retropharyngealis yang terletak di bagian atas (superior) pharynx. Untuk

memastikan apakah bagian kepala ternak ini tidak mengalami penyakit infeksi,

maka semua limfoglandula tersebut harus sehat, tidak mengalami

pembengkakan/hipertrofi atau pengecilan/rudimenter, peradangan, pedarahan,

atau pernanahan. Adakalanya pada bagian kepala ternak menderita infestasi

parasit. Untuk memastikan ada tidaknya infestasi parasit pada bagian kepala

ternak, dapat dilihat pada bagian mata (cacing Thelazia sp). Adanya cysticercus

pada bagian kepala ternak dapat diperiksa secara teliti pada otot pipi, dan otot

pangkal lidah. Otot pipi diiris bagian luar dan bagian dalamnya sejajar dengan

tulang rahang bawah (os mandibula). Permukaan lidah diperiksa, apakah terdapat

peradangan, abses dan lain-lain. Konsistensi jeringan masa lidah dipalpasi, apakah

terdapat pengerasan, pembengkakan dan lain-lain. Jika bagian kepala terinfestasi

oleh cacing gelembung/cysticercus maka akan terlihat adanya benjolan-benjolan

kecil sebesar biji jagung/beras pada otot pipi dan otot lidah yang dikenal dengan

istilah beberasan (Arka dkk., 1985).

Menurut Dirkesmavet (2005), tahapan pemeriksaan post-mortem adalah

sebagai berikut :

(1) Pemeriksaan kepala dan lidah


a. Kepala yang sudah dipisahkan dari badan hewan digantung dengan

kait pada hidung dengan bagian rahang bawah menghadap ke arah

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 295


pemeriksa. Seluruh bagian kepala termasuk lubang hidung dan

telinga diinspeksi dan dipalpasi.

b. Lidah dikeluarkan dengan cara menyayat dengan bentuk huruf V dari

dagu sejajar ke kedua siku mandibula. Lidah ditarik dan dilakukan

penyayatan pada pangkal kedua sisi lidah kemudian ditarik ke bawah

sehingga bagian pangkal lidah terlihat jelas.

c. Lidah kemudian diinspeksi, dipalpasi, dan dikerok pada permukaan

lidah untuk melihat kerapuhan papila lidah dan jika diperlukan

dilakukan penyayatan di bagian bawah lidah untuk melihat adanya

cysticercus bovis dan Actinobacillosis. Perhatikan selaput lendir dan

palatum (langit-langit) dan bibir.

d. Limfoglandula retropharyngealis, tonsil, lgl.parotideus, lgl.submaxil-

laris, dan lgl.mandibularis diinspeksi, dipalpasi dan jika perlu disayat

melintang. Untuk melihat apakah limfoglandula normal (konsistensi

kenyal, ukuran normal, lokasi tidak terfixir dan apabila disayat warna

putih dikelingi zona coklat/hitam) atau terdapat kelainan.

Gambar 82. Pemeriksaan Kepala

e. Penyayatan otot masetter internus dan masetter externus sejajar

tulanga rahang untuk memeriksa adanya kista cysticercus dan

actinomycosis pada tulang mandibula.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 296


(2) Pemeriksaan Trachea dan Paru
Pemeriksaan trachea dilakukan dengan inspeksi dan insisi pada bagian

pertemuan cincin tulang rawan, untuk melihat kemungkinan kelainan pada

mukosa, lumen, peradangan, buih, dan infestasi cacing. Paru harus

digantungkan pada kait, kemudian dilakukan inspeksi dengan mengamati

seluruh permukaan paru dan kemungkinan adanya perubahan warna.

Selanjutnya dilakukan palpasi dan insisi pada kedua lobus paru untuk

mendeteksi kemungkinan adanya sarang-sarang tuberculosis, cacing, tumor

atau abses dan dan pemeriksaan lgl.mediastinalis cranialis dan

lgl.mediastinalis caudatus dan lgl.bifurcatio trachealis dextra/sinistra

(lgl.bronchialis). Paru yang sehat akan memperlihatkan warna merang terang

(pink), konsistensi lunak dan terdapat suara krepitasi pada saat dipalpasi.

Gambar 83. Pemeriksaan Paru-paru

Menurut Arka dkk. (1985), organ paru-paru yang sehat pada

pemeriksaan secara langsung/inspeksi terlihat berwarna merah muda/pink,

bentuknya terdiri atas banyak lobus (multilobularis). Pada waktu dipalpasi,

yaitu dipegang dan diremas-remas, konsistensinya terasa seperti spon atau

bunga karang karena pada bagian alveoli banyak terdapat udara. Untuk

memastikan apakah paru-paru tersebut benar-benar sehat, maka dilakukan

irisan pada limfoglandula bronchialis yang terletak pada bagian bronchus kiri

dan kanan dari paru-paru, dan limfoglandula mediastinalis yang terdapat

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 297


ditengah-tengah memanjang antara lobus kiri dan kanan dari paru-paru,

bentuknya pipih. Jika kedua limfoglandula ini tidak menunjukkan adanya

perubahan (tidak membesar/mengecil, meradang, berdarah, bernanah), maka

ini menunjukkan bahwa paru-paru tersebut sehat/tidak mengalami infeksi.

Irisan juga perla dilakukan dari dasar paru-paru sampai bagian ujungnya

(apex) untuk melihat kemungkinan adanya aspirasi, misalnya darah atau sisa

makanan yang masuk ke dalam paru-paru saat penyembelihan.

(3) Pemeriksaan Jantung


Dilakukan inspeksi dan palpasi untuk mengamati kemungkinan adanya

peradangan selaput jantung (pericarditis). Selanjutnya dilakukan penyayatan

pericardium untuk melihat adanya cairan pericardium. Kemudian dilakukan

insisi otot jantung (myocardium) sejajar dengan sulcus coronarius (antara

ventrikel kanan dan ventrikel kiri) untuk melihat degenerasi, peradangan dan

infestasi cacing (Echinococcus dan Cysticercus).

Gambar 84. Pemeriksaan Jantung

Menurut Arka dkk. (1985), pemeriksaan jantung dapat dilakukan

dengan pengamatan langsung, yaitu melihat warna dan bentuk dari jantung

tersebut. Jantung yang sehat berwarna coklat sampai sawomateng, bentuknya,

pada bagian apex-nya meruncing. Pada waktu dipegang dan diremas-remas,

konsistensi jantung terasa sangat kenyal/liat karena otot jantung selalu

berkontraksi sehingga mengalami hipertrofi (bertambah besar) dan hiperflasi

(bertambah banyak). Untuk memastikan apakah jantung tersebut benar-benar

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 298


sehat, maka dilakukan irisan dari dari dasar sampai ke ujung jantung dengan

arah tegak lurus terhadap bidang pemisah atrium dan ventrikel. Bekuan darah

yang ada pada jantung dikeluarkan, karena merupakan media yang baik untuk

perkembangbiakan mikroba yang dapat memperpendek masa simpan jantung

. Diperiksa bidang sayatan pada otot jantung (myocardium) apakah ada

perdarahan berupa ptechiae atau echimosae, atau kelainan-kelainan misalnya

cysticercosis, Echinococcosis dan lain-lain. Myocardium yang lembek,

biasanya akibat ternak menderita sepsis.

(4) Pemeriksaan Alat pencernaan dan Esofagus


Usus dan lambung segera dikeluarkan setelah dilakukan pengulitan.

Pemeriksaan dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya pembengkakan

lgl.mesenterica. Usus disayat untuk melihat lumen dan mukosa usus terhadap

kemungkinan perdarahan dan infestasi cacing. Pemeriksaan esofagus dilakukan

dengan inspeksi, palpasi dan insisi untuk melihat kemungkinan adanya

cysticercus dan sarcosporidia pada lumen esofagus.

Gambar 83. Pemeriksaan Rumen, Retikulum, Omasum dan Abomasum

Menurut Arka dkk. (1985), lambung dan usus yang sehat, secara inspeksi

terlihat selaput serosanya licin mengkilap. Limfoglandula mesentericus diamati

dan disayat sebagai indikator adanya penyakit atau penyimpangan-penyimpangan

lainnya. Limfoglandula ini terletak pada lemak mesenterium sepanjang curvatura

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 299


minor usus, merupakan rantai bersambung dari abomasum sampai caecum.

Penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi pada saluran pencernaan

dapat berupa bintik TBC, gastritis, enteritis dan lain-lainnya.

Gambar 86. Pemeriksaan dan Penyayatan Lgl. Mesenterica

(5) Pemeriksaan Hati


Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada seluruh lobus

hati untuk melihat warna, ukuran, konsistensi dan kelainan-kelainan. Jika perlu

dilakukan penyayatan. Pemeriksaan kesehatan hati yang sehat dengan

pengamatan langsung terlihat permukaannya rata, licin, mengkilat, tepi-tepinya

tipis dan tajam, parenkimnya berwarna merah coklat sawomateng. Hati terdiri

atas 5 (lima) lobus (multi lobularis) yang berwarna coklat sampai sawomateng.

Hati dipalpasi untuk mengetahui konsistensi dan untuk mengetahui keadaan

abnormal yang terdapat pada bagian luar dan bagian dalam hati.. Hati yang sehat,

konsistensinya padat elastis. Sebagai indicator pada hati adalah limfoglandula

portalis (jumlahnya 3-5 buah) terletak pada bagian dorsal hati, melekat pada

jaringan lemak disekitar pembuluh darah (vena porta). Limfoglandula portalis

disayat satu-persatu sebagai indicator kemungkinan adanya kelainan pada hati.

Demikian pula pembuluh empedu besar disayat untuk memeriksa kemungkinan

adanya infestasi cacing hati.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 300


Gambar 87. Pemeriksaan Hati

(6) Pemeriksaan Limpa

Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada seluruh

permukaan limpa untuk melihat warna, ukuran limpa, dan konsistensi. Jika perlu

dilakukan insisi. Kemungkinan yang diperlukan antara lain adanya

pembengkakan, kerapuhan, kista hidatid dan anthrax.

Gambar 88. Pemeriksaan Limpa

Menurut Arka dkk. (1985), limpa yang sehat (normal) berbentuk pipih,

tipis dan memanjang. Bila dipalpasi, konsistensinya terasa lembut elastis. Tepi-

tepi tipis dan tajam, warnanya abu-abu kebiruan atau Madang-kadang

sawomateng. Parenkimnya berwarna merah tua dengan konsistensi lembut

elastis. Penyimpangan yang mungkin terjadi pada limpa antara lain limpa

membesar/membengkak, kinsistensinya keras, tepi-tepinya tumpul, warnanya

berubah, dan usapan pada parenkimnya rapuh. Irisan pada limpa dibuat ditengah-

tengah secara memanjang, pada limpa yang sehat, bidang irisannya terlihat

kering.

(7) Pemeriksaan Ambing dan Karkas

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 301


Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi untuk melihat

adanya pembengkakan, lepuh-lepuh pada puting dan kulit ambing.

Kemungkinan yang ditemukan antara lain adanya mastitis dan cacar.

Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada seluruh

permukaan bagian luar dan dalam karkas serta limfoglandula untuk mengetahui

kondisi karkas (cachexia), hemoragi, memar, fraktura, ikterus (terutama dapat

dilihat pada tendo dan mukosa), oedema, kista cacing dan pembengkakan

limfoglandula. Jika perlu dilakukan penyayatan pada m.intercostalis dan

diafragma untuk melihat kemungkinan adanya cysticercus.

Limfoglandula yang diperiksa pada karkas antara lain :

Gambar 89. Limfoglandula pada Karkas yang Diperiksa

a) Lgl. Prescapularis superior (terletak diantara dada, leher dan kaki depan),

b) Lgl. Supramammaria (terletak disekitar ambing),

c) Lgl. Axillaris propius (terletak diketiak antara kaki depan dan dada),

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 302


d) Lgl. Popliteus (terletak di atas otot gastrocnemius, antara otot-otot daging

biceps femoris dan semitendonosus (disekitar paha bagian belakang),

e) Lgl, Ischiadicus (terletak disekitar daerah pinggul).

Menurut Arka dkk. (1985), pemeriksaan kesehatan karkas dilakukan

dengan mengamati bagian permukaannya, apakah terdapat lecet-lecet, luka-luka

dan kelainan lainnya. Demikian pula pemeriksaan dilakukan pada rongga dada

dan rongga perut. Dalam keadaan sehat, selaput serosa rongga dada dan rongga

perut terlihat licin dan mengkilat. Bagian-bagian karmas yang mencurigakan

dapat dipalpasi untuk mengetahi konsistensinya. Indikator adanya infeksi kuman

(penyakit) pada karkas yaitu 1) limfoglandula praescapularis yang terletak sedikit

di atas persendian pundak, agak tertanam ke dalam bantalan lemak, serta tertutup

oleh otot brachicephalicus (berbentuk lonjong dan berukuran besar), 2)

limfoglandula praefemoralis terletak sekitar 12-15 cm di atas patella (tempurung

lutut). Limfoglandula ini berbentuk lonjong, memanjang serta pipih, 3)

limfoglandula ingualis superficiales yang terletak di leer scrotum disebelah penis,

di depan cincin inguinal. Limfoglandula ini tertanam di dalam lemak scrotum

pada ternak jantan yang dikastrasi (dikebrii). Pemeriksaan terhadap kemungkinan

karmas terinfestasi oleh parasit (cacing gelembung/cisticercosis), dapat dibuktikan

dengan mengiris pada otot antariga (intercostae) dan otot diafragma.

(8) Pemeriksaan Ginjal


Pemeriksan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi untuk mengetahui

adanya pembengkakan, oedema, dan peradangan. Jika perlu dilakukan

penyayatan. Kemungknan yang ditemukan antara laian nefritis, tumor, kista dan

calculi renalis.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 303


Menurut Arka dkk. (1985), secara inspeksi, ginjal yang sehat terlihat

berwarna coklat, bentuknya menyerupai kacang. Jika dipalpasi konsistensinya

terasa kenyal. Ginjal yang sehat, selaputnya mudah dikupas (tidak lengket). Irisan

pada ginjal dilakukan di tengah-tengah secara memanjang, dan diperiksa bidang

irisan ginjal, yaitu pada bagian cortex dan medullanya. Pada bagian medulla,

kemungkinan terdapat batu ginjal, cacing atau timbunan lemak. Indikator adanya

penyakit pada ginjal dapat dilihat pada limfoglandula renalis. Limfoglandula ini

diiris untuk melihat apakah ada peradangan atau kelainan lainnya.

2.4 Keputusan Pemeriksaan Post-Mortem


Keputusan akhir pemeriksaan post-mortem pa karkas dan bagian-bagiannya

didasarkan atas hasil seluruh pengamatan (inspeksi) palpasi, dan pengirisan,

membaui, tanda-tanda ante-mortem dan pemeriksaan laboratorium bila

diperlukan. Bila tidak ditemukan adanya kelainan pada karkas dan jeroannya

yang disebabkan oleh penyakit atau ketidak normalan lainnya, maka selanjutnya

karkas lulus uji dan dianggap layak untuk dikonsumsi dan diberi cap.

Formula tinta yang digunakan untuk stempel/cap pada daging yang dinyatakan

lulus pemeriksaan adalah :

• alkohol absolut ………………….. 50 cc

• Gliserin ………………………… 250 cc

• Kristal violet ……………………...50 cc

• Akuades ad ……………………1.000 cc

Pada kelainan yang dianggap lokal, karkas diijinkan untuk dikonsumsi bila

kelainan tersebut telah dihilangkan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 304


Tabel 19. Keputusan Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Post-Mortem

Hasil Pemeriksaan Keputusan


* Daging dari hewan yang tidak menderita penyakit Baik untuk dikonsumsi
* Daging dari hewan potong yang menderita manusia
penyakit bersifat local, setelah bagian yang tidak
layak dibuang
* Daging dari hewan potong yang menderita Ditolak untuk dikonsumsi
penyakit akut, seperti anthrax, malleus, rabies, manusia
tetanus, radang paha, blue tangue akut dll
* Daging yang warna, baud an konsistensinya tidak Dapat dikonsumsi manusia
normal, seperti kasus septichaemia, cahexia, setelah bagian yang tidak layak
hydrops dan oedema. dikonsumsi dibuang
*Daging dari hewan yang menderita trichenellosis, Dapat dikonsumsi manusia
cysticercosis, babesiosis, surra, sarcosporidiosis, setelah mendapat perlakukan
brucellosis, tuberculoais dan ingus jahat. pemanasan sebelum diedarkan

Menurut Arka dkk. (1985), konklusi/kesimpulan akhir dari hasil

pemeriksaan post-mortem, dapat digolongkan atas :

1. Karkas dan organ-organ tubuh yang sehat dapat diteruskan ke pasaran umum

untuk dikonsumsi masyarakat.

2. Karkas dan organ-organ tubuh yang mencurigakan ditahan untuk

pemeriksaan final yang lebih seksama.

3. Bagian-bagian yang sakit dan abnormal secara local hendaknya disayat dan

disingkirkan (sfkir), sedangkan selebihnya dapat diteruskan ke pasaran

umum.

4. Karkas dan organ-organ tubuh yang sakit dan abnormal secara umum/

keseluruhan, maka karkas dan organ-organ tubuh tersebut disingkirkan

(afkir) semuanya.

5. Karkas dan organ-organ tubuh yang sehat akan akan diteruskan ke pasaran

umum diberi cap “Baik”.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 305


Untuk memperoleh daging yang sehat dan bermutu baik, maka semua proses

sebelum pemotongan sampai rantai pemasarannya harus mendapatkan pengawasan dan

pemeriksaan yang ketat. Prose tersebut dimulai dari :

1) Pemeriksaan kesehatan ternak sebelum disembelih (Ante-mortem)

Ternak yang akan disembelih harus benar-benar sehat, normal dan memenuhi syarat

(tidak melanggar peraturan pemotongan).

2) Tenaga personal Rumah potong, harus memeriksakan kesehatan secara berkala, dan

harus memiliki keterampilan dalam memotong ternak.

3) Pemotong harus mengikuti prinsip-prinsip dasar dalam pemotongan ternak, seperti :

a. ternak harus diistirahatkan sebelum dipotong

b. ternak harus dipuasakan sebelum dipotong

c. pemotongan humanis (animal welfare)

d. penorehan leher sesingkat mungkin.

e. Pengeluaran darah semaksimal mungkin.

f. Pekerjaan dilakukan sebersih mungkin.

g. Pekerjaan daging harus terpisah dengan pekerjaan kotor

4) Daging yang dihasilkan dari RPH harus diangkut dengan menggunakan alat angkutan

daging khusus (Idealnya berupa bus tertutup yang dilengkapi dinding aluminium, kait

penggantung karkas dan pendingin ruangan).

5) Daging tersebut hendaknya dijual dikios-kios daging khusus yang memenuhi syarat

kebersihan dan kesehatan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 306


Beberapa gambar kelainan pada karkas dan organ :

Gambar 90 : Kista pada Otot Masseter


(pada bagian dalam otot dapat ditemukan adanya pengerasan/benjolan)

Gambar 91 : Pembengkakan Limpa


(limpa lebih besar dan lebih berwarna gelap dibandingkan dengan limpa normal)

Gambar 92: Pembengkakan Limfoglandula Mesenterica


(Limfoglandula bengkak, keras dan terfiksir)

Gambar 93 : Tubercullosis pada Peru-paru


(Adanya bungkul-bungkul di paru-paru disertai bintik putih pada hati)

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 307


Lampiran 1.
Hewan yang berdasarkan pemeriksaan ante-mortem disembelih di bawah
pengawasan dokter hewan pada kasus penyakit :
1) Coryza gangraenosa bovum
2) Haemorrhagic septicemia
3) Piroplasmosis
4) Surra
5) Arthritis
6) Hernis
7) Fractura
8) Abses
9) Epithelimia
10) Actinomycosis
11) Actinobacillosis
12) Mastitis
13) Septicemia
14) Cachexia
15) Hydrops
16) Oedema
17) Brucellosis
18) Tuberculosis

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 308


BAB XIII

KEBIJAKAN MENGENAI KEAMANAN DAN KUALITAS DAGING


INDONESIA

I. LATAR BELAKANG

Faktor eksternal (globalisasi) dan faktor internal (nasional dan sektoral)


merupakan lingkungan strategis (LINGSTRA) yang perlu diperhatikan
pengaruhnya terhadap pembangunan khususnya pembangunan peternakan.

Kemajuan atau pengetahuan dan teknologi (IPTEK), terjadinya revolusi


komunikasi serta terbentuknya pemusatan ekonomi dunia telah mengubah pola
investasi, produksi, perdagangan, konsumsi, transportasi, komunikasi dan
lain-lain.

Terbentuknya pasar tunggal Eropa, diberlakukannya persetujuan GATT


(General Agreement on Trade and Tariffs) dan berdirinya, WTO (World Trade
Organizanon) serta terbentuknya perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dan juga
APEC, memerlukan perhatian dan kehati-hatian dalam menghadapi tantangan
dan peluang global tersebut.

Secara nasional ada tiga faktor yang berpengaruh, yaitu (1) pertumbuhan
penduduk, (2) terjadinya transformasi struktur perekonomian dan (3)
globalisasi.

Pertambahan penduduk walaupun sudah dapat ditekan sampai 1,9 % namun


secara absolut masih besar yaitu sekitar 3-4 juta jiwa per tahun. Konsekuensi
dari pertambahan penduduk ini sangat luas yang menyangkut kebutuhan pokok
seperti pangan, papan, pendidikan serta lapangan kerja.

Terjadinya pergeseran dari sektor primer (pertanian, pertambangan ke sektor


sekunder (industri) dan tertier (jasa) menunjukkan terjadinya transformasi
struktur perekonomi di Indonesia.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 309


Sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menurun,
dari 56% (1969) menjadi 19% (1993) sektor industri naik dari 9% menjadi 21%
dan tersier naik dari 35% menjadi 60%.

Pengaruh globalisasi khususnya dengan diberlakukannya perdagangan bebas,


setiap negara tidak dibenarkan lagi melakukan proteksi yang berlebihan
terhadap industrinva. Kebijaksanaan proteksi melalui "non tariff barrier" tidak
dibenarkan lagi. sernua harus diganti dengan kebijakan tariff. Subsidi ekspor
dan subsidi dalam bentuk apapun tidak diperkenankan.

1. Reorientasi Pembangunan Peternakan

Mengacu kepada hasil-hasil yang dicapai maupun harnbatan dan tantangan yang
dihadapi selama PJP I, serta sejalan pula reorientasi pembangunan pertanian,
maka pada PJP II dilakukan REORIENTASI dalam pembangunan peternakan
yang meliputi sejumlah perubahan-perubahan yang mendasar.

(1) Kebijaksanaan Dasar Pembangunan Peternakan

Perubahan tersebut meliputi 3 (tiga) perangkat kebijaksanaan dasar


pembangunan peternakan yaitu (a) Perangkat kendali (policy instruments)
sebagai rambu- rambu, (b) Perangkat pendukung. (management tools)
sebagai piranti, dan (c) Perangkat operasional (operational measures)
sebagal jurus-jurus.

a. Perangkat Kendali (Policy Instruments) sebagai rambu-rambu.

(a) Wawasan Pembangunan Peternakan

Wawasan pembangunan petemakan yang semula hanya dititikberatkan


pada budidaya ternak, harus diperluas menjadi peternakan sebagai
suatu industri biologis kedua yang dikendalikan oleh manusia dan
mencakup 4 komponen yaitu (a) peternak harus dipandang sebagai
subyek pembangunan yang harus ditingkatkan pendapatan dan
kesejahteraannya; (b) ternak sebagai obyek yang harus ditingkatkan
produktivitasnya; (c) lahan sebagai basis ekologi pakan dan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 310


lingkungan budidaya yang harus diamankan pemanfaatannya; serta (d)
teknologi sebagai alat untuk mengoptimalisasikan penggunaan sumber
daya pembangunan.

Berdasarkan corak usaha tani ternak maka pada saat ini telah
berkembang 4 tipologi usaha peternakan yakni peternakan sebagai (a)
usaha sambilan, (b) cabang usaha, (c) usaha pokok dan (d) usaha
industri.

(b) Strategi Pendekatan

Pendekatan pembangunan peternakan yang dilaksanakan terdiri dari 3


(tiga) strategi, yaitu (a) pendekatan teknis (tunggal), (b) pendekatan
terpadu (integrated), dan (c) pendekatan agribisnis.

(c) Pola Pembangunan Peternakan

Untuk melaksanakan pembinaan usaha petemakan terdiri dari 3 (tiga)


pola yakni (a) Pola Unit Pelayanan Proyek (UPP), (b) Pola Kerjasama
(PIR) dan (c) Pola Swadana.

b. Perangkat Pendukung (Management Tools) sebagai Piranti.

(a) Dana Pembangunan

Kebutuhan dana sub sektor peternakan pada Pelita V bersumber dari


pemerintah maupun non pemerintah. Selama Pelita V diperlukan
investasi sebesar Rp. 2,90 trilyun. Kontribusi daftar pemerintah relatif
lebih kecil yaitu 45% sedangkan investasi swasta dan swadaya
peternakan mencapai 55%. Pada Pelita VI investasi yang diperlukan
berjumlah Rp 5,5 trilyun dimana diperkirakan 17,5% berasal dari
pemerintah dan 82,5% dari swasta.

(b) Tenaga

Sub sektor peternakan selama Pelita V diharapkan mampu


menciptakan tenaga kerja sebanyak 321 ribu satuan tenaga pria (STP).

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 311


Realisasi penciptaan lapangan kerja yakni dari 1.550,9 ribu STP pada
awal Pelita V (1988) menjadi 2.027,0 ribu STP pada akhir Pelita V
(1992). Pada Pelita VI Sub sektor peternakan diharapkan dapat
menyerap 454 ribu angkatan kerja.

(c) Kelembagaan

Struktur kelembagaan yang ada pada pembangunan sub sektor


peternakan adalah :

i. Kelembagaan pemerintah, yang terdiri dari:

(i) Departemen (Direktorat Jenderal Peternakan, Badan


Pendidikan dan Latihan, Puslitbang Nak)

(ii) Non Departemen (FKH dan Fapet)

(iii) Daerah (Dinas Peternakan)

ii. Kelembagaan semi pemerintah seperti komisi- komisi (obat,


pakan, bibit dan pestisida).

iii. Kelembagaan non pemerintah. yang tergabung dalam Masyarakat


peternakan lndonesia (MASTERINDO) sebagai forum koordinasi.
Masterindo ditopang 14 organisasi pilar yang terdiri dari 2
organisasi profesi dan 12 organisasi fungsional.

(d) Ketentuan Perundang-undangan

Sampai saat ini peraturan perundang-undangan disub sektor


peternakan yang telah dimiliki adalah 1 (satu) buah Undang-Undang
(UU No. 6 Tahun1967); 5 (lima) buah Peraturan Pemerintah
(PP17/1973; PP 15/1977; PP 16/1977; PP 22/1983 dan PP 78/1992), 1
(satu) buah Keputusan Presiden (Keppres 22/1990); 1 (satu) buah
Inpres (Inpres 2/1991); SK Menteri Pertanian, SK Direktur jenderal
Peternakan dan beberapa ordonansi yang saat ini masih digunakan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 312


c. Perangkat Operasional (Operasional Measures) sebagai jurus.

Untuk melanjutkan dan meningkatkan pembangunan peternakan


diperlukan perangkat operasional berupa jurus-jurus sebagai upaya
menghadapi dimensi baru permasalahan peternakan yaitu :

(a) Dimensi Kuantitas

Pada dimensi ini diharapkan adanya keseimbangan antara permintaan


dan penawaran akan komoditi hasil peternakan. Untuk ini diperlukan
penyesuaian antara pertumbuhan populasi ternak dengan pertumbuhan
produksi dan konsumsi. Selain itu akan terkait pula dengan kegiatan
ekspor impor hasil-hasil peternakan.

(b) Dimensi Kualitas

Dalam rangka memenuhi tuntutan akan kualitas yang terus meningkat


terhadap produk peternakan maka diperlukan standarisasi dan
pengamanan hasil-hasil peternakan. Untuk itu telah ditetapkan
standarisasi pakan, bibit, produk/hasil peternakan dan kesehatan
hewan. Sedangkan untuk pengamanan hasil peternakan telah dilakukan
upaya- upaya penekanan kerugian pasca panen dan upaya penyusunan
batas maksimum residu dan cemaran pada produk peternakan.

(c) Dimensi Efisiensi

Di masa mendatang efisiensi usaha peternakan akan terus berkembang.


Dalam hal ini pertimbangan kelayakan teknis, ekonomi dan sosial
merupakan pertimbangan utama dalam usaha peternakan.

(d) Dimensi Teknologi

Dalam pembangunan peternakan dimensi teknologi mempunyai


peranan penting di dalam meningkatkan produksi dan produktiifitas
ternak. Khususnya menyangkut bioteknologi maka pengertiannya
adalah memanfaatkan proses biologi melalui rekayasa genetik yang
terarah dan rekayasa proses untuk menghasilkan teknologi unggul
berupa ternak dan hasil-hasil peternakan yang berkualitas.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 313


(e) Dimensi pemasaran

Produk hasil peternakan akan dihadapkan pada peluang pasar, baik


dalam negeri maupun luar negeri. Pemasaran di dalam negeri
mempunyai prospek yang cukup baik oleh karena permintaan yang
cukup tinggi. Sedangkan pemasaran ke luar negeri (ekspor) telah mulai
dikembangkan komoditas baru (seperti DOC, ternak babi, telur tetas
telur konsumsi, susu, daging domba, dan daging ayam),disamping
Ekspor komoditas konvensional(kulit, tulang, dan tanduk). Hal ini
menunjukkan peranan komoditas baru semakin tinggi

(f) Dimensi Konsumsi

Situasi konsumsi Pangan hewani menunjukkan bahwa walaupun


tingkat pencapaian konsumsinya relatif rendah namun setiap tahun
telah terjadi peningkatan yang cukup berarti. Tingkat pencapaian
konsumsi akan protein hewani asal ternak baru mencapai 3,77 gram/
kapita / hari (1994) sehingga hanya mencapai 83,8% dari target norma
gizi berdasarkan Widya Karya Pangan dan gizi tahun 1988 sebesar 4,5
gram/ kapita/hari.

Apabila dibandingkan hasil Widya Karya Pangan dan Gizi,tahun 1993


yang mentargetkan penduduk Indonesia mengkonsumsi protein hewani
sebesar 6,0 gram/kapita/hari, maka jumlah protein hewani yang
dikonsumsi rata-rata pada tahun 1994 baru mencapai 67,8% dari
target.

(g) Dimensi Perilaku

Dimensi perilaku akan melibatkan perilaku petani Peternak dan


Pembina peternak. Perilaku petani peternak diarahkan kepada
pembinaan kelompok usaha tani, yang tergabung di dalam Koperasi
Unit Desa (KUD).

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 314


(2) Misi Pembangunan Peternakan

Pembangunan sub sektor peternakan akan mengalami perubahan-perubahan


mendasar karena dihadapkan pada 3 (tiga) tuntutan yaitu pemanfaatan
teknologi peternakan yang semakin meningkat oleh karena tuntutan efisiensi
dan standarisasi serta berkembangnya industrialisasi; (b) Tuntutan kualitas
produk peternakan dan pengamanan konsumen sebagai akibat tuntutan
kualitas hidup dan kehidupan yang semakin meningkat; (c) Tuntutan sistem
informasi yang lebih handal antara lain untuk keperluan "market
intelegence", sistem informasi paras dan harga, peramalan wabah penyakit,
tingkat produksi, dan penyakit hewan sebagai akibat pembangunan yang
semakin kompleks dan kompetitif .

a. Aspek Ekonomi

Seperti telah dimaklumi bahwa sub sektor peternakan sebagai bagian


integral dari sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam
menahan laju turunnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) Nasional. Sub sektor peternakan dipandang
sebagai sumber pertumbuhan baru sektor pertanian karena terbukti dapat
bertumbuh dengan cepat dalam PJP I yang ditunjukan dengan me-
ningkatnya sumbangan sub sektor peternakan terhadap PDB sektor
pertanian dari 6% (1969) menjadi 11,3 (1992). Dalam Pelita VI pangsa
PDB peternakan terhadap pertanian diharapkan dapat meningkat dari
11,3% menjadi 13%. Untuk mencapai target demikian, segala usaha di
bidang peternakan sebagai industri biologik harus ditunjang oleh upaya
pembinaan kesehatan hewan dan pengamanan bahan pangan asal ternak
yang utuh dan lebih efisien.

Disamping itu peternakan merupakan komoditas pertanian yang bemilai


komersial tinggi sebagaimana dinyatakan Bapak Presiden dalam
pidatonya tanggal 16 Agustus 1993: "Dalam rangka peningkatan
kesejahteraan petani dan mendukung proses industrialisasi, peningkatan
produksi komoditi pertanian yang bernilai komersial tinggi seperti

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 315


hortikultura, peternakan dan perikanan harus didorong dan diberi
perhatian khusus".

Sehubungan dengan itu pengembangan komoditas peternakan yang


memiliki potensi sebagai sumber pertumbuhan baru dan bernilai
komersial tinggi seperti sapi potong, sapi perah dan unggas perlu
dimantapkan.

b. Aspek Teknis

Selama PJP I (1969-19193) pembangunan peternakan telah


menunjukkan keberhasilan-keberhasilan yang dapat dilihat dari indikator
makro yaitu peningkatan pangsa PDB dari 6% (1969) menjadi 11,3
(1992), populasi ternak meningkat dari 11,5 juta satuan ternak (1969)
menjadi 33,9 juta satuan ternak (1993) dan produksi daging naik dari
309 ribu ton (1960) menjadi 1372 ribu ton (1993). Secara rinci perkem-
bangan populasi ternak dan penambahan strukturnya selama PJP I
disajikan pada Tabel-1 dan perkembangan produksi daging dan
perubahan strukturnya disajikan pada Tabel-2.

Demikian juga terjadi peningkatan konsumsi daging, telur dan susu


sesuai dengan perkembangan produksi, berkembangnya ekspor-import,
peningkatan investasi dan penyerapan tenaga kerja.
Keberhasilan-keberhasilan ini merupakan modal untuk melangkah lebih
lanjut.

(3) Sistem Kesehatan Hewan Nasional (SISKESWANNAS)

Dalam rangka pemantapan peternakan sebagai Industri biologis kedua yang


dikendalikan manusia, maka harus didukung oleh kondisi yang ideal yang
merupakan tugas dan peran bidang kesehatan hewan. Kondisi yang ideal
berupa ternak sehat, lingkungan budidaya yang bebas dari penyakit
berbahaya, produk peternakan yang aman, sehat, utuh/murni dan halal untuk
konsumsi manusia sebagai komoditi ekspor.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 316


Mengacu pada arahan dan sasaran pembangunan di bidang ekonomi dan
pertanian, serta khususnya pembangunan sub sektor peternakan, maka
pembinaan kesehatan hewan ditujukan untuk mendukung tercapainya
sasaran pembangunan dengan menciptakan kondisi-kondisi yang ideal
tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut khususnya pada Pelita VI, maka
dalam upaya penanganan bidang kesehatan hewan diperlukan adanya
pendekatan kesehatan hewan dimensi baru. Sistim pembinaan dengan
dimensi baru tersebut Sistem Kesehatan Hewan Nasional (SIS-
KESWANNAS).

a. Wawasan

Dalam memasuki era tinggal landas, wawasan kesehatan hewan diubah


dan dikembangkan menjadi kesehatan hewan yang harus dipandang
sebagai bagian dari kesehatan masyarakat (public health), bagian dari
penyediaan pangan asal ternak (food animal) dan bagian dari
pembangunan pertanian. (agriculture development)

b. Pendekatan

Untuk mewujudkan wawasan tersebut maka pendekatan bidang


kesehatan hewan harus diubah dari pendekatan hewan (animal diseases
approach) ke pendekatan kesehatan hewan secara utuh (animal health
approach).

c. Sistem Pembinaan

Sistem pembinaan kesehatan hewan nasional merupakan bagian dari


sistem pembangunan peternakan. Oleh karena itu sistem pembinaan
kesehatan hewan nasional dalam PJP II (khususnya Pelita VI) perlu
disesuaikan dengan perkembangan dari sistem pembangunan peternakan
itu sendiri.

Sistem pembinaan kesehatan hewan nasional dikembangkan menjadi 4


(empat) sub sistem yaitu:

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 317


a. Sub sistem Pelayanan Kesehatan Hewan Terpadu.

Yaitu suatu sistem Pemeliharaan kesehatan hewan (animal health


management) pada berbagai tingkat usaha atau tipologi usaha
peternakan. Sasarannya adalah pemeliharaan kesehatan ternak
pada berbagai tingkat usaha sebagai upaya agar ternak dapat
berproduksi optimal.

Arah sub sistem ini adalah memelihara. kesehatan ternak sebagai


rambu, dengan piranti Pos Kesehatan Hewan, Klinik Hewan,
Rumah Sakit Hewan, Dokter Hewan mandiri, mantri hewan dan
Balai Penyuluhan Pertanian, Sedangkan sebagai jurus adalah
pelayanan kesehatan hewan.

Secara ringkas mengenai SISKESATANNAS dapat dilihat pada


Bagan lampiran 1.

b. Sub sistem Pengamanan Lingkungan Budidaya

Yaitu suatu sistem pengendalian dan pemberantasan penyakit


hewan di lingkungan budidaya peternakan dengan menciptakan
wilayah sabuk kebal (immune belt area) terutama untuk
mengamankan investasi masyarakat di bidang Industri Peternakan.
Sasarannya adalah lingkungan budidaya ternak yang bebas dari
Penyakit hewan menular berbahaya.

Arah sub sistem ini adalah mengamankan lingkungan budidaya


peternakan dengan pencegahan, pengendalian, pemberantasan dan
penanggulangan wabah sebagai rambu. Sebagal piranti adalah
Dinas Peternakan, Balai Penelitian Veteriner dan instansi terkait,
sedangkan sebagai Jurus adalah sistem kewaspadaan dini (Early
Warning System).

c. Sub Sistem Pengamanan Sumber Daya Alam

Yaitu suatu sistem untuk mempertahankan wilayah Indonesia


sebagai wilayah bebas penyakit hewan menular penting (major

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 318


disease), melalui tindak penolakan atau karantina dan surveillance
(pengamatan dan investigasi). Sasarannya adalah melindungi
wilayah Indonesia dan masuknya penyakit hewan menular penting
yang dapat mengancam kesehatan ternak nasional dan kesehatan
manusia yang mengkonsumsi bahan asal ternak.

Arah sub sistem ini adalah mengamankan sumber daya alam


sebagai rambu, sebagai piranti adalah karantina hewan, Balai
Penelitian Veteriner dan instansi terkait, sedangkan sebagai jurus
adalah pelayanan kekarantinaan dan perlakuan bewan.

d. Sub Sistem Pengamanan Hasil Peternakan

Yaitu suatu sistem untuk melindungi konsumen hasil ternak dari


ancaman cemaran mikroorganisme (contaminant) dan residu
(bahan hayati, kimiawi, obat, hormon, logam berat dan lain
sebagainya) yang terbawa atau terkandung dalam produk/hasil
peternakan. Sasarannya adalah menciptakan kondisi agar
produk/hasil peternakan vang dikonsumsi masyarakat atau
diekspor aman (safe), sehat (sound), utuh/murni (wholesome) dan
halal.

Arah dari sub sistem ini adalah mengamankan produk peternakan


dengan piranti Rumah Pemotongan Hewan/Unggas, laboratorium
kesmavet, Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan
(BPMSOH), Loka Pengujian Mutu Produk Peternakan, pengawas
obat hewan dan pengawas kesmavet. Sedangkan sebagai jurus
adalah pengawasan dan pengendalian obat hewan serta peng-
awasan bahan pangan hewani asal ternak dan hasil olahannya.

3 Permintaan dan Penyediaan Daging

Dalam kurun waktu PJP I terjadi peningkatan permintaan daging sapi dan
kerbau sebagai akibat dari kenaikan jumlah penduduk, dan pendapatan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 319


masyarakat. Pertumbuhan ekonomi nasional naik sebesar 7,1% per tahun dan
pendapatan masyarakat meningkat dari US$ 70 per kapita pada tahun 1969
menjadi US$ 940 per kapita pada tahun 1994. Peningkatan jumlah penduduk
dan pendapatan masyarakat sebagai hasil pembangunan nasional menyebabkan
kemampuan daya beli dan tingkat konsumsi mayarakat meningkat pula. Untuk
memenuhi kebutuhan akan daging yang semakin meningkat tersebut maka
tingkat pemotongan sapi dan kerbau menjadi tinggi.

Data konsumsi dan produksi daging dalam tahun 1990-1995 menunjukan bahwa
pertumbuhan penyediaan tidak dapat mengimbangi pertumbuhan permintaan.
Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,1%, laju pertambahan penduduk 1,8%
dan elastisitas permintaan daging terhadap pendapatan 1,3% maka pertumbuhan
permintaan daging menjadi sebesar 6,89% (6,9%). Sementara itu pertumbuhan
produksi dalam negeri hanya naik (3,9% ) per tahun.

Menghadapi situasi permintaan dan penyediaan daging tersebut, maka


diperlukan sumber pasokan baru yang berasal dari industri peternakan rakyat
dan impor daging.

Untuk pemenuhan bahan pangan khususnva daging bagi kebutuhan masyarakat


luas, maka tuntutan konsumen selain berupa tuntutan pemenuhan secara
kuantitatif diperlukan pula pemenuhan tuntutan yang berupa syarat-syarat
kuantitatif (aspek nilal gizi), syarat-syarat higiene (aspek kesehatan dan
syarat-syarat serta keadaan yang menjamin ketentraman bathin masyarakat yang
mengkonsumsi (aspek kehalalan).

4. Kebijakan Pengaturan/Pengendalian dan Pengawasan Daging.

Dalam pengembangan ternak potong khususnya sapi dan kerbau serta


pengaturan kebutuhan daging terdapat 3 (tiga) prinsip atau azas yang harus
dipenuhi yaitu (1) prinsip kelestarian sumber daya ternak nasional, (2) prinsip
keseimbangan penyediaan permintaan (suplai-demand) daging dan (3) prinsip
mengurangi ketergantungan impor.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 320


Oleh karena itu penyediaan daging sapi/kerbau untuk memenuhi permintaan
dalam negeri perlu dikendalikan agar prinsip pelestarian (peningkatan populasi)
dapat dicapai dan ketergantungan impor dapat dikurangi.

II. KERAGAMAN POTENSI DAGING

Dalam pembangunan jangka Panjang I (PJP I) telah terjadi perkembangan dan


perubahan struktur populasi ternak dan produk, hasil ternak yang menggembirakan.

1. Perkembangan Populasi Ternak.

Pada tabel 1 disajikan perkembangan populasi ternak perubahan strukturnya


selama 1969-1994

Tabel 20
Perkembangan dan Perubahan Struktur
Populasi Ternak Tahun 1969-1994

Rincian 1969 1993 1994**)


Populasi Satuan ternak Populasi Satuan ternak Populasi Satuan ternak
(000 A.U. % (000 A.U. % (000 A.U. %
ekor) ekor) ekor)

Sapi Perah 52 38.119 0,32 369 266.200 0,78 330 250.000 0,7
Sapi Potong 6.447 4.888.760 41,32 11.696 8.661.300 25,38 11.010 8.349.000 24,4
Kerbau 2.940 2.669.814 22,56 3.408 3.060.300 9.02 3.109 2.823.000 8,3
Kambing 7.554 866.051 7,32 11.640 1.320.400 3,90 11.886 1.365.000 4,0
Domba 2.998 376.249 3,18 6.911 840.500 2,48 6.485 814.000 2,4
Kuda 642 441.311 3,73 646 448.900 1,32 585 402.000 1,2
Babi 2.878 576.600 4,86 9.122 1.727.000 5,10 9.010 1.802.000 5,3
Ayam Buras 61.788 1.235.760 10,44 280.058 5.186.400 15,30 229.991 4.598.000 13,5
Ayam Petelur 688 13.760 0,12 59.101 1.094.700 3,22 54.950 1.099.000 3,2
Ayam Pedaging 25.462*) 509.240 4,30 627.672 10.539.200 31,06 592.788 11.856.000 34,7
Itik 7.269 218.070 1,85 28.577 829.700 2,44 27.277 818.000 2,4
Jumlah 11.832.734 100,00 33.924.500 100,00 34.176.000 100,00

Keterangan: *) Populasi ayam pedaging 1981


**) Angkatan sementara

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 321


Dari tabel 20 tersebut jelas bahwa secara absolute semua jenis ternak
mengalami peningkatan selama PJP I, kecuali kerbau dan kuda yang
penigkatannya sangat kecil.

Yang menarik dari perkembangan itu adalah meningkatnya pangsa populasi


ayam buras dari 10,4% menjadi 13,5 %, ayam petelur dari 0,12% menjadi 3,2%,
ayam pedaging dari 4,3% menjadi 34,7% dan itik dari 1,9% menjadi 2,44%.

Yang juga menarik untuk disimak adalah menurunnya pangsa populasi sapi
potong dari 41,3% menjadi 24,4%, Kerbau dari 22,5% menjadi 8,3%, kambing
dari 7,3% menjadi 4,0%, domba daari 3,1% menjadi 2,4% dan kuda dari 3,7%
menjadi 1,2%.

2. Perkembangan Produksi Daging

Pada tabel 2 disajikan perkembangan produksi daging dan perubahan


strukturnya yang terjadi dari tahun 1969-1994.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 322


Tabel 21
Perkembangan dan Perubahan Struktur
Produksi Daging Tahun 1969-1994

Rincian 1969 1993 1994*)


Populasi Pangsa Populasi Pangsa Populasi Pangsa
(ton) (%) (ton) (%) (ton) (%)

1. Sapi 165.900 55,31 308.900 22,50 358.000 25.5


2. Kerbau 48.500 15,68 50.100 3,70 54.000 3,8
3. Kambing 12.000 3,88 76.600 5,60 72.000 5,1
4 Domba 9.700 3,31 41.800 3,10 -

Ruminansia 235.100 76,01 477.400 34,90 484.000 34,4

5. Kuda 800 0,25 1.800 0,01 2.000 0,1


6. Babi 34.200 11,07 152.000 11,19 184.000 13,1

Non Ruminansia 35.000 11.32 153.800 11,20 186.000 13,2

7. Ayam buras 29.400 9,50 282.000 20,54 250.000 17,8


8 Ayam pedaging - - 447.900 32,63 474.000 33,7
9 Itik 9.800 3,17 11.400 0,83 11.000 0,8

Unggas 39.200 12,67 741.300 53,90 735.000 52,3

Jumlah 309.300 100,0 1.372.500 100,0 1.404.000 100,0

Keterangan : *) Angka sementara

Dari tabel-2 ini dengan jelas digambarkanbahwa produksi daging untuk semua
jenis temak meningkat dengan cukup pesat, kecuali produksi daging kerbau dan
kuda yang relatif sedikit peningkatannya.

Yang menarik perhatian dari tabel-2 tersebut adalah menurunnya pangsa


produksi daging sapi dari 53,3% pada tahun 1969 menjadi 25,5% pada tahun
1994. Begitu juga pangsa produksi daging kerbau menurun cukup cepat dari

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 323


15,6% menjadi 3,8%. Secara keseluruhan pangsa produksi daging Ruminansia
(sapi, kerbau, kambing, domba) turun dari 76,0% (1969) menjadi 34,4% (1994).

Dilain pihak yang juga menarik perhatian adalah meningkatnya pangsa


produksi daging unggas, sedang pangsa produksi daging non ruminansia boleh
dikatakan tetap

Secara keseluruhan pangsa daging unggas naik dari 12,7% pada awal PJP I
(1969) menjadi 54,02% pada. akhir PJP I (1993) dan 55,7% pada tahun 1994.
Kenaikan pangsa ini terutama naiknya pangsa, produksi daging ayam, buras
(dari 9,5% menjadi 21,2-%) dan daging ayam pedaging (broiler) dan belum
dikenal pada awal PJP I menjadi 33,7% pada tahun 1994

3. Perkembangan Konsumsi Daging

Konsumsi bahan pangan hewan asal ternak khususnya. daging meningkat sesuai
dengan perkembangan produksi. Sesuai standar nasional tahun 1988 konsumsi
protein hewani per kapita adalah 55 gram protein yang terdiri dari 80% (44
gram) protein nabati dan 20% (11gram) protein hewani, yang terbagi atas 6.5
gram protein asal ikan dan 4,5 gram protein asal ternak. Dari 4.5 gram perkapita
khusus dari daging sebesar 7,6 kg/kapita/tahun. Pencapaian sasaran konsumsi
daging pada tahun 1994 mencapai 7,40 kg (97,4%). Konsumsi protein asal
ternak dari standar 4,5% gram/kapita/ hari , pada. tahun 1994 baru dapat dicapai
3,77 gram/kapita/ hari (83,8%).

Apabila dibandingkan dengan Standar Nasional tahun 1993 yang mantargetkan


konsumsi protein hewani sebesar 6,0 gram/kapita/hari, maka jumlah protein
hewani yang dikonsumsi rata-rata pada tahun 1994 baru mencapal 67,8%.

III. K E B IJ AKAN KEAMANAN DAN KUALITA S DAGING

1. Keamanan Pangan

(1) Pengertian Umum

Keamanan pangan (food safety) secara umum, merupakan hal yang


kompleks dan sekaligus merupakan dampak dari hasil interaksi antara
toksisitas mikrobiologik, kimiawi, status gizi dan ketenteraman bathin.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 324


Ke-empatnya saling berkaitan dan saling mempengaruhi, sehingga. faktor
food safety dapat dikatakan muncul sebagai suatu masalah yang dinamis
seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

a. Toksisitas dan Residu

(a) Toksisitas

Toksisitas mikrobiologik dan toksisitas kimiawi, terhadap bahan


pangan asal ternak dapat terjadi pada setiap mata rantai
penanganannya mulai dari saat pra produksi, produksi, pasca
produksi dan pengolahan sampai saat didistribusikan dan disajikan
kepada konsumen.

(b) Residu

Residu adalah sesuatu yang tertinggal di dalam produksi hasil


peternakan setelah proses produksi selesai. Pestisida, obat-obatan
hewan, logam berat dan lain-lainnya dapat merupakan residu
yang tertinggal di jaringan lemak, organ-organ dalam atau
jaringan lain setelah hewan diberi pengobatan dengan obat
hewan untuk penyembuhan penyakit atau pencegahan penyakit
atau untuk meningkatan kesehatan hewan.

Vaksin, antibiotika dan obat-obatan hewan lainnya banyak


digunakan untuk peningkatan kesehatan hewan. Pestisida
digunakan untuk meningkatkan produksi tanaman pangan dan
"Pest Control" untuk pengendalian hama penyakit tanaman.

c. Persyaratan Bahan Pangan Asal Ternak

Untuk pemenuhan bahan pangan hewani asal ternak khususnya daging


maka disamping pemenuhan secara kuantitatif diperlukan pemenuhan
syarat-syarat kuali- arat kualitatif (aspek nilai gizi), syarat-syarat
hygiene (aspek kesehatan) dan syarat-syarat dan keadaan yang men-

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 325


jamin ketenteraman bathin masyarakat yang menggunakan (aspek
kehalalan).

Untuk memperoleh produk daging yang memenuhi syarat keamanan,


kesehatan, keutuhan/kemurnian dan kehalalan, maka dengan cara.
menentukan tata cara pemotongan hewan dan penanganan daging
sedemikian rupa sehingga memperoleh daging yang aman (safe), sehat
(sound), utuh/ murni (wholesome) dan halal.

Persyaratan kehalalan sebagai salah satu hukum yang


dipakai/digunakan umat manusia terhadap pemanfaatn barang
(termasuk makanan) sebagai upaya kesatuan dan persatuan bangsa.
Oleh karena itu segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah adalah
diperuntukan bagi manusia. Allah memerintahkan kepada orang orang
yang beriman untuk makan dan minum dari rizki atau barang-barang
yang HALAL dan BAIK (Halalan Thayyiban)-

(2) Pengaturan Kebutuhan Daging

Bahwa dalam rangka menghadapi perubahan yang cepat pada PJP II


antara lain berupa tantangan (globalisasi), tuntutan (peternakan sebagai
sumber peternakan baru) dan tuntunan (deregulasi dan lain-lain), maka
perlu dilakukan upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat,
mengefektifkan pembinaan dan pengawasan di lapangan.

Sebagai suatu proses yang berkesinambungan dalam pengaturan /


penetapan alokasi ternak potong, maka keputusan-keputusan yang diambil
tidak terlepas dari keputusan perternakan di BIAK, yaitu Baru melakukan
Identifikasi dan Analisa Kinerja, kemudian pertemuan di LAMPUNG
yang menyepakati 3 (tiga) Prinsip pengaturan perdagingan dengan motto
'TIGA-UNG dari Lampung, dan pertemuan di KALBAR (PONTIANAK)
yang menetapkan 2 hal yaitu (1) Penetapan Kebijakan Operasional Baru
(KALBAR), berupa upaya De-sistemisasi dan Deformatisasi perizinan
pengeluaran dan pemasukan ternak, produk peternakan dan bahan baku
pakan, serta (2) Menggalang Potensi Timbal Balik Asosiasi Peternakan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 326


(PONTIANAK), untuk membangun peternakan rakyat sapi potong di
dalam negeri.

2. Keamanan dan Kualitas Daging

(1) Produsen

Sasaran kebijakan program pengembangan ternak potong (sapi) dan


penyediaan daging adalah berasal dari 3 (tiga) produsen, yaitu peternakan
rakyat, industri peternakan rakyat dan impor daging.

Dalam. rangka mengembangkan peternakan rakyat sapi potong telah


ditetapkan sasaran kebijaksanaan penataan segmen pasar dan sasaran
program pengembangannya.

Langkah kebijaksanaan yang telah disepakati di Lampung adalah "Gaung


Lampung" yaitu :

a. Peternakan rakyat tetap sebagai tulang punggung.

Untuk mencapai sasaran yang ditetapkan, dilakukan langkah-langkah


konsolidasi yang ditempuh melalui pendekatan teknis, terpadu dan
agribisnis. Dalam pendekatan teknis kegiatan seperti inseminasi buatan
(IB), uji coba alih janin (Embrio Transfer), perbaikan penyediaan
pakan melalui Gemarrampak dan sistem Tiga Strata, serta gerakan
Serentak redistribusi ternak (Gertak Radisnak) dan pengendalian
penyakit Jembrana dan Brucellosis akan ditingkatkan.

b. Industri peternakan rakyat, yaitu industri penggemukan sebagai


pendukung.

Pengembangan industri peternakan rakyat melaluiu konsep kemitraan


atau Peternakan Inti Rakyat (PIR) yaitu PIR Penggemukan, PIR
Bakalan, PIR Pakan dan PIR Saham.

Untuk menunjang program ini telah dilakukan deregulasi yaitu


penurunan bea masuk sapi bakalan dari 15% menjadi 0% seperti yang
diberlakukan impor bibit ternak.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 327


Disamping itu juga dilakukan upaya menarik investasi melalui.
penanaman modal asing (PMA atau PMDN) dan bantuan proyek
(IFAD III) serta pengembangan PT. Bina Mulya Ternak melalui
kerjasama dengan Heytsburry Pastoral Group dari Australia.

c. Impor daging sebagai penyambung

Impor daging sebagai pelengkap/penyambung (suplai demand),


terutama untuk mengisi pasokan daging berkualitas ke pasar khusus.

(2) Konsumen

Untuk menjaga keseimbangan pasar dan mencegah terjadinya persaingan


pasar yang dapat menimbulkan keresahan, maka dilakukan penataan
segmen pasar yang terdiri dari: pasar umum (wet market), pasar khusus
(swalayan, restauran, hotel, katering dan offshore) dan pasar industri
(industri sosis, krupuk paru dan pengalengan/Pengolahan daging lainnya).

Suplai daging dari peternakan rakyat (PIR) dipasok yang utama ke pasar
umum, sebagian lagi ke pasar khusus dan industri. Suplai daging dari
lindustri peternakan rakyat (PIR) dipasok terutama pada pasar khusus dan
sebagian lagi ke pasar umum dan industri.

Sasaran kebijaksanaan program pengembangan ternak potong (sapi dan


kerbau) adalah 90% dan peternakan rakyat, 9% dari industri peternakan
rakyat dan 1% dari impor daging.

Situasi pasokan tahun 1994 adalah 89% dari peternakan rakyat, 8% dari
industri peternakan rakyat dan 3% impor. Untuk pasokan tahun 1995
adalah 78% dari peternakan rakyat, 16% dari industri peternakan rakyat
dan 6% dari impor. Sedangkan untuk pasokan tahun 1996 diperkirakan
78% dari peternakan rakyat, 17% dan industri peternakan rakyat dan 5%
dari impor.

(3) Perlakuan

Untuk menjembatani antara produsen ternak / daging dan konsumen


tersebut, maka memerlukan perlakuan-perlakuan yang melibatkan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 328


berbagai instansi, antara lain pihak Pemerintah Pusat (Ditjen. Peternakan,
Pusat Karantina Pertanian), Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi dan
pihak swasta seperti Yayasan Lembaga Konsumen dan Majelis Ulama
Indonesia.

a. Pemotongan Hewan dan Penanganan Daging

(a) Dasar hukum pengaturan

Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan Staatblad 1936 No. 714


dan 715 yang mengatur tentang campur tangan Pemerintah di
bidang kehewanan termasuk urusan "Veteriner Hygiene' dan
Staatblad 1937 No. 512, maka urusan veteriner hygiene yang
menyangkut urusan setempat diserahkan kepada Kotapraja /
Kabupaten. Mengingat setiap daerah yang sifatnya otonom ber-
wenang mengatur urusan rumah tangga wilayahnya
masing-masing, maka dengan dasar peraturan di atas diterbitkan
Peraturan-Peraturan Daerah. Dengan demikian Peraturan Daerah
ini di setiap daerah menjadi tidak seragam tergantung kepada
kebutuhan keperluan daerah masing-masing.

Dengan perkembangan sosio ekonomi, peraturan perundangan


yang telah ada perlu mendapat penyesuaian sehingga
diterbitkannya "UndangUndang No. 6 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan" Sebagai
penjabaran dari pasal 21 Undang-Undang tersebut telah
dikeluarkan “Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 1983
tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner" Istilah Kesehatan
Masyarakat Veteriner merupakan penegasan difinitif dari arti
veteriner hygiene, yaitu bidang yang mengurusi kesehatan di
bidang beteriner.

Bertitik tolak dari Undang~Undang dan Peraturan Pemerintah di


atas, maka telah diterbitkan beberapa peraturan pelaksanaannya

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 329


berupa SK. Menteri Pertanian sebagai pedoman yang terinci antara
lain:

i. SK. Menteri Pertanian No. 555/Kpts /TN.240/9/1986, tentang


Syarat-syarat RPH dan Usaha Pemotongan Hewan;

ii. SK. Menteri Pertanian No. 557/KptsF/TN.520/9/1987, tentang


Syarat-Syarat RPU dan Usaha Pemotongan Unggas;

iii. SK. Menteri Pertanian No. 295/Kpts/TN.240/5/1989, tentang


Pemotongan Babi dan Penanganan Daging Babi serta Hasil
Ikutannya;

iv. SK Menteri Pertanian No. 413/Kpts/TN.310/7/1992, tentang


Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta
Hasil Ikutannya;

v. SK. Menteri Pertanian No. 306/Kpts/TN.330/4/1994 tentang


Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging serta hasil
Ikutannya.

Dengan adanya peraturan perundangan berikut peraturan


pelaksanaannya diharapkan adanya keseragaman di dalam
pengaturan, penanganan dan pengawasan di bidang kesehatan
masyarakat veteriner.

(b) Pelaksanaan Proses Pemotongan Hewan Penanganan Daging.

Apabila dilihat dalam proses vroduksl daging, maka tahap-tahap


pemeriksaan dan pengawasannya meliputi :

i. Proses pengawasan/pemeriksaan kesehatan ternak.

ii. Proses pemotongan

iii. proses pengangkutan

iv. Proses peredaran

v. Proses keamanan sampai ke tangan konsumen.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 330


Berbagai jenis kegiatan dalam penanganan daging meliputi :

i. Kegiatan pemulihan kondisi dengan cara ternak


diistirahatkan dahulu minimal selama 12 jam sebelum
dipotong.

ii. Kegiatan pemeriksaan kesehatan terhadap ternak yang akan


dipotong (pemeriksaan ante mortem) dengan cara :

(i) Mengamati keadaan hewan dengan seksama;

(ii) Pengujian laboratorium apabila ada kecurangan.

iii. Kegiatan penyembelihan :

(i) Penyembelihan hewan ternak dapat dilakukan dengan dua


cara, yaitu dengan atau tanpa. pemingsanan terlebih
dahulu. Apabila hewan ternak vang disembelih tersebut
bukan babi, maka pemingsanannya dilakukan menurut
cara yang sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) tanggal 23 Oktober 1976 untuk pemingsanan
dengan cara mekanik dan dipertegas dengan Fatwa MUI
tanggal 10 Oktober 1990 untuk pemingsanan dengan cara
elektrik serta Fatwa MUI tanggal 2 Desember 1993 untuk
sistim pemotongan ayam.

(ii) Penyembelihannya dilakukan oleh seorang muslim


menurut tata cara agama Islam dan dilakukan menurut
cara yang sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) tanggal 23 Oktober 1976, (untuk pemotongan
hewan/ternak sapi/kerbau) dan Fatwa MUI tanggal 2
Desember 1993 untuk pemotongan ayam. yaitu dilakukan
dengan pisau yang tajam memutuskan hulqum (tempat
berjalan nafas), mari' (tempat berjalan makanan) dan
waldajain (dua urat nadi) hewan yane akan disembelih
dengan terlebih dahulu membaca Basmallah.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 331


iv. Kegiatan pemeriksaan daging (pemeriksaan post Mortem).

(i) Setelah hewan ternak yang disembelih tidak


menunjukkan tanda-tanda bergerak dan darahnya berhenti
mengalir, maka dilakukan penyelesaian penyembelihan
dan pemeriksaan kesehatan daging dan bagian- bagiannya
secaraa utuh oleh petugas pemeriksa yang berwenang.

(ii) Pengujian laboratorik apabila ada kecurigaan.

(iii)Hasil keputusan dari pemeriksaan post mortern tersebut


dinyatakan dengan memberikan:

- stempel/cap pada daging sapi/kerba karnbing/domba


dan kuda

- label pada kemasan daging unggas.

v. Kegiatan pelayuan daging.

Setelah diperiksa kesehatannya, maka dilakukan pelayuan /


peristirahatan daging (kecuali daging unggas) di ruang
pelayuan dengan cara tetap menggantungnya selama 8 jam
sehingga darah yang masih tertinggal akan habis dan daging
yang dihasilkan akan lebih sehat dan lebih empuk.

vi. Kegiatan pengangkutan

Setelah dipotong menjadi beberapa bagian, maka daging


dipindahkan ke alat pengangkut daging yang memenuhi
persyaratan. Dalam memindahkan daging/jeroan dari RPH ke
alat pengangkut dan dari alat pengangkut ke tempat
penyimpanan atau tempat penjualan daging, maka tetap
dihindarkan adannya pencemaran, baik terhadap
mikroorganisme maupun terhadap barang yang diharamkan
oleh agama Islam:

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 332


vii. Kegiatan peredaran daging.

Di dalam peredaran saat penyajian/penjualan daging di


pasar/toko daging, maka secara jelas dipisahkan sama sekali
antara tempat/los penjualan daging bukan babi dengan los
penjualan daging babi. serta los daging juga terpisah dengan
tempat penjualan komoditi lainnya. Demikian juga penjualan
daging di toko maupun pasar swalayan, lemari/show case
maupun ruang penyimpan daging terpisah antara daging/hasil
olahan vang berasal dari daging babi dengan daging/hasil
olahan yang berasal dari daging selain babi.

viii. Kegiatan pengolahan.

Selain dikonsumsi sebagai daging segar/beku, maka dengan


beraneka ragamnya selera permintaan konsumen maka
daging juga diolah menjadi berbagai macam jenis daging
hasil olahan. Agar daging hasil olahan yang dikonsumsi
tersebut juga benar-benar halal dan tidak tercampur dengan
barang haram, maka dagingnya sebagai bahan baku utama.
harus berasal dari daging yang halal pula.

Untuk mendapatkan daging yang halal tersebut maka


dagingnya harus benar-benar berasal dari hewan ternak
bukan babi yang sehat dan dipotong di RPH dengan proses
pemotongan serta penanganan daging sebagaimana di atas.

Agar supaya daging dapat diolah menjadi daging olahan


maka harus ditambahkan bahan tambahan yang dapat berupa
shortening, stabilizer dan emulsifier diharuskan berasal dari
lemak nabati atau lemak hewani selain babi yang telah dikaji
secara kimiawi dan hukum Islam sehingga dijamin halal.
Pabrik pengolah daging (meat processing plant) yang
mengolah babi jelas terpisah dengan tempat
pemroses/pengolah daging bukan babi.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 333


Dengan adanya dukungan kelengkapan ketentuan hukum di
atas, maka 2 sasaran yang diharapkan yaitu aspek kesehatan
dan kehalalan bagi konsumen dapat dicapai.

Dengan proses penanganan tersebut maka sebenarnya


pemeriksaan dan pengawasan Produksi daging telah melalui
berbagai tingkat yang menuju kepada usaha yang maksimal
untuk tetap menjaga persyaratan konsumen baik dari segi
hygiene (kesehatan) maupun dari segi kehalalan.

b. Kehalalan Daging

(a) Dasar hukum/Syariat Agama Islam

Persyaratan mengenai kehalalan sebagai salah satu hukum yang


dipakai/digunakan umat manusia terhadap pemanfaatan barang
(termasuk makanan) secara tegas dan jelas telah diamanahkan
dalam Kitab Suci Al-Qur'an:

i. Surat At Baqarah ayat 173, yang terjemahannva:


"Sesunguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah".

ii. Surat Al An 'am ayat 145, yang terjemahannya"Katakanlah;


"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makan itu bangkai atau darah
yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua
itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah".

iii Surat Al An’am ayat 121, yang terjemahannya: Dan


janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut narna
Allah ketika menyembelihnya".

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 334


iv. Surat Al An’am ayat /118, yang terjemahannva: "Maka
makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama
Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada
ayat-ayatNya".

(b) Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Sebagai dasar operasonalisasi pelaksanaan penyembelihan hewan


dan cara pemingsanan maka agar kaum muslimin mendapatkan
kepastian hukum dan kehalalannya dikeluarkan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia, yaitu :

i. Fatwa MUI tanggal 23 Oktober 1976 tentang Penyembelihan


Hewan Secara Mekanisasi dengan Pemingsanan secara
Mekanis;

ii. Fatwa MUI- tanggal 10 Oktober 1990 tentang Penegasan:


Keputusan Komisi Farwa MUI tentang Teknik Pemingsanan
Hewan secara Elektrik dalam Penyembelihan.

ii. Fatwa MUI tanggal 2 Desember 1993 tentang Fatwa Halal


Atas Sistim Pernotongan Ayam.

c. Kualitas Daging

Untuk dapat bersaing di pasar yang bebas dan kompetitif saat ini,.
Perlu ditanamkankan kepada pelaku agribisnis "perdagingan" sejak
dari hulu sampai hilir bahwa. di dalam daging yang akan dipasarkan
ini harus terdapat unsur jaminan penerapan standarisasi. Di dalam
mengantisipasi tuntutan pasar yang bebas maka pemerintah melalui
DSN (Dewan Standarisasi Nasional) telah membuat Sistem
Standarisasi Nasisonal (SSN) yang merupakan dasar dan Pedoman
bagi setiap kegiatan standarisasi di Indonesia.

Standar Nasional Indonesia (SNI) di bidang peternakan adalah standar


yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian yang disusun oleh Direktorat
Jenderal Peternakan melalui Pusat Standarisasi dan Akreditasi Badan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 335


Bisnis Departemen Pertanian kemudian disahkan oleh Dewan
Standarisasi Nasional (DSN).

Dalam rangka pelaksanaan Peraturan-Pemerintah Indonesia No.15/91


tentang Standarisasi Nasional dan Keppres No. 12/91 tentang
Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia
Departemen Pertanian melalui Pusat Standarisasi Akreditasi Badan
Agribisnis mengatur mengenai standarisasi, sertifikasi dan akreditasi
di lingkungan Departemen Pertanian.

Penerapan standar nasional di lingkup Direktorat Jenderal Peternakan


dapat dicapai melalui pelaksanaan perumusan standar sesuai prosedur
yang berlaku, adanya kelengkapan sarana pengujian didukung oleh
sistem jaringan akreditasi laboratorium, sistem pengawasan, sistem
evaluasi dan adanya peraturan perundangan beserta sangsinya serta
tenaga pengawas mutu .

Sampai saat ini standar daging yang sudah dibuat adalah:

(a) Standar karkas sapi . SNI 01-3932-1995

(b) Standar karkas kerbau: SNI 01-3933-1995

(c) Standar daging sapi/kerbau: SNI 01-3947-1995

(d) Standar daging kambing/domba: SNI 01-3948- 1995

(e) Standar. ayam beku dan pengolahannya: SNI 01-3146-1992

Disamping itu sedang dibuat standar potongan-potongan daging sapi


(meat cut-up).

d. Langkah untuk Meningkatkan Keamanan dan Kualitas Daging

Dengan mengingat adanya saling keterkaitan /interaksi antara


faktor-faktor yang mempengaruhi keamanan pangan asal ternak
dimaksud, maka perlu adanya peningkatan 3 (tiga) unsur utama yang
terlibat dalam pengamanan/pengendaliannya yaitu:

(a) Sistim

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 336


Untuk lebih meningkatkan pengamanan bahan pangan asal ternak,
maka diterapkan sistim pengendalian yang intensif, yaitu
pengamanan dilakukan sejak pra produksi, proses produksi,
pengolahan, penanganan, pengangkutan, penyimpanan,
pendistribusian, pemasaran hingga dihidangkan pada konsumen
(Preharvest Food Safety Program). Dalam pelaksanaannya, sistim
pengamanan yang ditempuh adalah dengan cara pengamatan
(surveillance), pernantauan (monitoring) dan perneriksaan
(inspection) di RPH/ RPU dan tempat-tempat strategis lainnya.

(b) Infrastruktur

Untuk mendukung pengamanan bahan pangan asal ternak ini


diperlukan adanya peningkatan sarana perangkat keras antara lain
RPH/RPU dan perangkat lunak berupa kelembagaan.

i. Perangkat keras

(i) Program renovasi /pembangunan RPH dengan rancang


bangun RPH Indonesia.

Dalam rangka program renovasi/ pembangunan RPH-RPH


di seluruh Indonesia, sehingga dapat menghasilkan produk
daging yang bermutu, sehat, aman, utuh/ murni an halal
maka telah selesai dibuat suatu rancang bangun RPH model
Indonesisa,. RPH tersebut dirancang dan diproduksi di
dalam negeri dengan mempertimbangkan 3 (tiga ) aspek,
yaitu aspek teknis(persyaratan konstruksi dan kesehatan),
aspek ekonomi (sumber pendapatan dan kegiatan
ekonomi), serta aspek sosial(memberikan pelayanan dan
ketentraman bathin masyarakat).

Dalam rangka renovasi dan pembangunan RPH di


Indonesia dimaksud antara lain dilakukan dengan:

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 337


- Memanfaatkan dana Inpres Dati I/ Dati II atau dana
APBD lainnya.

- Melalui kerjasama dengan pihak luar negeri.

- Melalui sistem tukar bangun (ruils lag) dengan pihak


swasta.

(ii) Akreditasi/ standarisasi dan sertifikasi RPH, sekaligus


pemasangan Nomer Kontrol Veteriner(NKV).

Sesuai dengan SK Menteri Pertanian No.


555/Kpts/TN.240/1996 tentang syarat- syarat Rumah
Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan maka
berdasarkan perdaran daging yang dihasilkan, RPH
dikelompokan menjadi 4 (empat) type yaitu Type A, Type
B, Type C, dan Type D.

Dengan adanya 4 macam type RPH tersebut maka dengan


berdasarkan SK Direktur Jenderal Petcrnakan No. 254/
TN.520/Kpts/DJP/Deptan/1995 tentang Pedoman
Pemberian NKV Rumah Pemotongan Hewan/Unggas dan
Tempat Pemrosesan Daging, diadakan standarisasi dan
pemberian Sertifikat sekaligus pemberian NKV.

Dengan telah dipunyai NKV pada setiap RPH maka


bentuk/model, ukuran dan tujuan stempel termasuk
pencatuman NKV sebagaimana tercantum di dalam SK.
Menterli Pertanian No. 413 Tahun 1992 tersebut harus
dilaksanakan. Dengan demikian pengawasan pemotongan
hewan dan peredaran dagingnya akan menjadi lebih mudah.

(iii)Penataan Rumah Pernotongan Ayam di DKI Jakarta

Rencana penataan rumah pemotongan ayam di wilayah


DKI Jakarta setelah melalui beberapa kali pertemuan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 338


dengan pihak terkait disimpulkan dengan berbagai pokok
pemikiran sebagai berikut:

- Pola pemasaran avain pedaging di Jakarta terdiri dan 3


segmen pasar (ukuran berat di bawah 1 kg. 1-1,2 k.g dan
1,5-1,8 kg) dengan berbagai pasar seperti pasar umum,
supermarket, restoran ayam (fried chicken,, catering).

- jalur pemasaran avam pedaging pada saat ini metalui 4


jalur yakni jalur I (62%), jalur II (22%), jalur III
(13%) dan jalur IV (3%).

- Rencana penataan hanya diarahkan kepada 2 jalur


yakni :

- dari produsen ke pangkalan ayam yang


didesain/ditingkan menjadi Tempat Pemotan
Ayam yang memenuhi persyaratan teknis
langsung konsumen.

- dari produsen ke Rumah pemotongan Ayam ke


konsumen

Rencana Penataan tersebut diterapkan dalam dua tahapan,


yakni tahap I untuk wilayah Jakarta Timur dan Jakarta
Pusat dan tahap II untuk Jakarta Utara, Jakarata Barat dan
Jakarta Selatan.

Masalah utama yang harus ditangani adalah masalah


koordinasi antara unsur yang terkait pemerintah dan non
pemerintah yang terdiri dari berbagai Instansi
kelembagaan. Untuk itu diusulkan Jaringan Kerja
Pembentukan Komisi Pengujian Sertifikasi Makanan Halal.

ii. Kelembagaan

Rencana Pembentukan Komisi Pengujian dan Sertifikasi


Makanan Halal sebagai implemtasi Inpres No. 2 Tahun 1991.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 339


Dalam Instruksi Presiden No. 2 tahun tentang Peningkatan
Pembinaan dan pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan
Olahan, maka masalah kehalalan bahan makanan menjadi
perhatian disamping mutu, kesehatan dan keselamatan. Dalam
konsidenrans, INPRES No. 2 tahun 1991 tersebut dinyatakan
bahwa "masyarakat perlu dilindungi terhadap produksi dan
peredaran makanan olahan yang tidak memenuhi syarat
terutama dari segi mutu, kesehatan. kcselamatan dan
keyakinan agama".

Sebagai bagian implementasi dari INPRES No. 2 tahun


1991, dalarn kesempatan lokakarya nasional tentang "Sertifikat
Daging Halal" (25 Januariu 1994 di Jakarta) telah disampaikan
pemikiran perlunya dibentuk suatu kelembagaan indepeden
yaitu "Komisi Pengujian dan Sertifikasi Makanan Halal".

b. Tenaga sumber daya manusia

Sumber daya manusia dalam penanganan dan pengamanan bahan


pangan asal ternak adalah sangat penting terutama yang berkaitan
dengan aparat pemerintah yang perlu terus dilakukan pembinaan dan
peningkatan kemampuannya dengan berbagai latihan/ traning baik di
dalam maupun di luar negeri. Sumber daya ini harus berwawasan
lingkungan, cepat berespon terhadap perubahan, mampu mengadopsi
ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki etika profesional.

Selain itu Sumber daya manusia dari masyarakat sendiri, baik sebagai
peternak, pedagang, pengolah atau pelaksana pemotongan hewan
ternak diperlukan pula pembinaan dan upaya peningkatan kesadaran
dan rasa tanggung jawabnya sesuai dengan profesi masing- masing.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 340


2. Operasionalisasi\

(1) Dalam rangka operasionalisasi kebijakan di atas serta dalam rangka


penetapan alokasi ternak potong dan bibit tahun 1996, telah dilaksanakan
pertemuan koordinasi di Pontianak, Kalimantan Barat pada tanggal 5-7
Desember 1995.

Rapat koordinasi dihadiri oleh Direktur Jenderal Peternakan beserta para


Direktur lingkup Ditjen Peternakan, para Kepala Dinas Peternakan Dati I
seluruh indonesia beserta staf dan asosiasi peternakan tingkat nasional
(APFI dan ASPIDI).

(2) Upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat, mengefektifkan


pembinaan dan pengawasan di lapangan melalui upaya De-sisteminasi dan
De-formatisasi (DSF) perizinan serta apresiasi dan pemasyarakatan DSF
kepada perusahaan, dinas dan instansi terkait.

(3) Uji coba sistem dan prosedur dengan format baru januari 1996.

IV. KESIMPULAN

1. Memasuki PJP II, pembangunan peternakan dihadapkan pada tantangan, tuntutan


dan tuntunan baru karena pengaruh strategi global, nasional dan sektoral.

2. Perubahan-perubahan pola investasi, produksi, perdagangan dan konsumsi di


tingkat global, pertumbuhan penduduk dan transformasi struktural di tingkat
nasional, mengharuskan dilakukannva reorientasi pembangunan pertanian dan
reorientasi pembangunan peternakan.

3. Reorientasi pembangunan peternakan cukup mendasar meliputi kaedah


pembangunan, perangkat kendali (wawasan, tipologi, strategi pendekatan, dan
pola pembangunan), perangkat pendukung (dana, tenaga, kelembagaan, peraturan
perundang-undangan) dan perangkat operasional (dimensi kualitas, kuantitas,
efisienst, teknologi, pasar, konsumsi perilaku).

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 341


4. Untuk mengantisipasi dan mendukung tercapaimya sasaran pembangunan
peternakan, maka penanganan bidang sehatan hewan diperlukan adanya
pendekatan kesehatan hewan dimensi baru (dari animal disease approach ke
health approach) dengan sistem pembinaan kesehatan nasional. Wawasannya
adalah bahwa kesehatan hewan dipandang sebagai bagian kesehatan masyarakat,
bagian dari penyediaan Pangan asal ternak dan bagian dari pembangunan
peternakan.

5. Menghadapi situasi permintaan dan penyediaan daging, maka diperlukan sumber


pasokan baru. Hal ini disebabkan karena dibidang konsumsi dan produksi daging
dalam tahun 1990-1995 menunjukkan petumbuhan pcnyediaan daging tidak dapat
mengimbangi pertumbuhan permintaan akan daging. Dengan pertumbuhan
ekonomi nasional 7,1%, pertumbuhan penduduk 1,8% dan elastisitas permintaan
daging terhadap pendapatan 1.3%, maka pertumbuhan permintaan daging adalah
sebesar 6,99%. Sementara pertumbuhan produksi (penyediaan daging dari dalam
negeri) hanya naik 3,9% per tahun.

6. Kebijaksanaan dalam pengaturan kebutahan daging harus dikaitkan dengan 3


(tiga) prinsip, yaitu :

(1) Menjaga kelestarian sumber daya ternak nasional

(2) Menjaga supplai demand.

(3) Mengurangi ketergantungan impor sapi bakalan dan import daging.

7. Situasi tata niaga daging sapi menurut mekanisme pasokannya terdiri dari:

(1) Segmen pasar umum yakni pasar, daging hasil peternakan rakyat.

(2) Segmen pasar khusus yakni hotel restauran, pasar swalayan, offshore dan lain-
lain, pasar bagi hasil industri peternakan rakyat.

(3) Segmen pasar industri berupa pengolahan dan pengalengan daging.

8. Motto dalam pengaturan daging adalah Tiga Gaung dari Lampung berupa :

(1) Peternakan rakyat tetap merupakan tulang punggung

(2) Industri Peternakan Rakyat menjadi pendukung

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 342


(3) Impor daging sebagai penyambung supplai demand

9. Untuk mencapai sasaran dalam pengaturan kebutuhan daging, diperlukan


langkah-angkah kegiatan konsolidasi, peternakan rakyat sapi potong,
pengebangan industri peternakan rakyat melalui kemitraan serta impor daging
sebagai pelengkap.

10. Untuk pemenuhan daging bagi kebutuhan masyarakat luas maka disamping
pemenuhan secara kuantitatif diperlukan pula pemenuhan syarat-syarat kualitatif
(aspek nilai gizi), syarat- syarat hygyene (aspek kesehatan) dan perlu pula
memenuhi syarat dan keadaan yang menjamin ketenteraman bagi masyarakat
yang menggunakan (aspek kesehatan).

11. Keamanan bahan pangan asal ternak khususnya daging merupakan hal yang
kompleks dan sekaligus merupakan dampak dari hasil interaksi antara toksisitas
mikrobiologik, kimia, status gizi dan ketenteraman bathin. Oleh karena itu dipilih
sistem dalam menangani daging sejak diproduksi, diolah, diproses, diangkut,
disimpan, didistribusikan dan dipasarkan serta dihidangkan kepada konsumen
serta ditentukan 3 (tiga) unsur utama, yang terlihat dalam pengendaliannya, yaitu
(a) sistem/proses produksi, (b) infra struktur dan (c) sumber daya manusia dan
kelembagaannya.

12. Persyaratan mengenai kehalalan sebagai salah satu hukum syariat agama Islam
yang dipakai/digunakan umat manusia terhadap pemanfaatan barang (termasuk
makanan) telah secara tegas dan jelas diamanahkan dalam Kitab 'Suci
AI~Qur’An. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pemotongan hewan dengan
menggunakan pemingsanan (mekanik dan e1ektrik menjadi dasar
operasionalisasinya dalam penymbelihan yang halal untuk memproduksi daging
yang halal pula.

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAK AN

JAKARTA.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 343


BAB XIV

PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAMPENGAWASAN BAHAN

MAKANAN ASAL HEWAN MEMPERKENALKAN KONSEP HACCP

(HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT)

I. PENDAHULUAN
1. Pembangunan peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dan

sektoral dituntut antara lain menyediakan bahan pangan asal hewan yang berkualitas

dan aman bagi masyarakat konsumen. Hal tersebut merupakan dampak dari pada

tuntutan kualitas hidup dan kehidupan yang semakin meningkat. Untuk pemenuhan

kebutuhan bahan pangan asal hewan diperlukan suatu sistim pengawasan baik

terhadap aspek kuantitatif/kualitatif maupun syarat-syarat higiene. Kebijakan Sistim

Kesehatan Hewan Nasional (SISKESWANAS) dalam PJPT II diarahkan antara lain

pada, pengamanan produk/hasil peternakan yang dilakukan sejak pra produksi.

proses produksi. pengolahan. penanganan, penyimpanan, pengangkutan, pemasaran

hingga dihidangkan kepada konsumen (Preharvest Food Safety- Program). Dalam

pelaksanaannya, sistim pengamanan yang ditempuh adalah dengan cara pengamatan

(surveillance), pemantauan (monitoring) dan pemeriksaan (inspection) terhadap

setiap mata rantai pengadaan bahan pangan asal hewan. Kegiatan pengawasan dalam

rangka pengamanan hasil peternakan dapat dilaksanakan di Rumah Pemotongan

Hewan/Unggas (RPH/RPU), industri pengolahan bahan pangan asal hewan, tempat

penampungan susu/telur serta pelabuhan impor.

Berbagai langkah pembinaan dan regulasi telah ditetapkan namun masih diperlukan

upaya peningkatan effektivitas peran pengawasan pada mata rantai pengadaan

pangan. Pendekatan melalui konsep HACCP (Hazard Analysis Critical Control

Point) merupakan salah satu alternatif untuk mengevaluasi sistim pengawasan mulai

identifikasi awal sampai ke pemenuhan kepuasan konsumen yang pada prinsipnya

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 344


untuk memberikan jaminan keamanan dan kualitas pangan. Keberhasilan pendekatan

konsep ini diantaranya dapat ditempuh dengan dukungan teknis melalui pelatihan

bagi personal yang berhubungan dengan bahan pangan dan memerlukan suatu

penekanan di dalam pelaksanaannya di lapangan.

2. Konsep HACCP ini mempunyai peranan cukup penting dalam mengantisipasi

liberalisasi perdagangan dimana kita akan dihadapkan pada daya saing harga dan

tuntutan kualitas yang semakin disadari oleh masyarakat konsumen. Dengan telah

ditanda tangani perjanjian GATT oleh negara-negara anggota World Trade

Organization (WTO) yang merupakan suatu forum negosiasi perdagangan dunia

menuju satu pasar global (One Global Market) maka mau tidak mau harus memenuhi

komitmen-komitmen yang tercantum dalam GATT tersebut. Untuk negara

berkembang termasuk Indonesia masih mempunyai tenggang waktu 10 tahun

(1994-2004) untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian internal yang meliputi

penurunan tarif. konversi hambatan nontarif menjadi tarif maupun hal lain seperti

subsidi ekspor, support domestik. Sanitary dan Phytosanitary (SPS) untuk

meningkatkan daya saing. Khusus untuk produk-produk pertanian diperlukan

kesepakatan mengenai aplikasi SPS yang memang konsisten dengan aturan GATT.

Kesepakatan ini mengatur tindakan perlindungan keamanan pangan (Food Safetv)

yang perlu dijalankan oleh masing-masing negara anggota WTO dalam bidang

kesehatan hewan dan tumbuhan (Animal and Plant Health).

Bentuk ini diterjemahkan dalam standar-standar yang semakin ketat melalul dua

bentuk yaitu ISO 9000 untuk non pangan dan berbagai variasinya dan HACCP untuk

pangan. Jadi tuntutan pasar akan mutu dan persyaratan kesehatan semakin tinggi.

Oleh karena itu dalam upaya merebut pasaran domestik maupun Internasional

masalah mutu dan kesehatan harus diperhatikan dan menjadi acuan dalam proses

produksi. Untuk maksud tersebut maka strategi pembangunan pertanian didasarkan

pada pendekatan sistemik secara terpadu dan berkelanjutan dengan memperhatikan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 345


berbagai sub sistemnya meliputi penyedlaan alat/sarana produksi, proses produksi

penanganan pasca panen dan penyuluhan/agroindustri serta permasaran.

II. KONSEP HACCP


Konsep HACCP pertama kali dikemukakan tahun 1972 di Amerika pada

konperensi nasional tentang "Food Protection" Kemudian konsep ini berkembang dan

dimanfaatkan oleh kalangan industri makanan di Inggris dan baru tahun 1993, codex

menetapkan konsep HACCP sebagai "A Food Safety Management Tool". Beberapa

negara Asean telah pula menerapkan konsep HACCP sebagai upaya menunjang

program jaminan mutu (Quality Assurance). Prinsip dasar penerapan konsep ini pada

hakekatnya lebih ditekankan pada upaya pencegahan (prevention) dan permeriksaan

(inspection).

Berbagai pihak mendefinisikan konsep HACCP sebagai suatu metoda

pendekatan kepada identifikasi dan penetapan "hazard" serta resiko yang ditimbulkan

berkaitan dengan proses produksi, distribusi dan penggunaan makanan (oleh

konsumen) dengan maksud untuk ditetapkan pengawasannya sehingga diperoleh

produk yang aman dan sehat.

III. PENGERTIAN HACCP


HACCP (analisa bahaya dan pengendalian titik kritis) merupakan suatu

pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi "hazard” dan menetapkan upaya

pengawasannya. Pengertian "hazard" sendiri merupakan titik kerawanan terhadap

pencemararn baik yang sifat mikrobiologi, kimia maupun phisik yang secara

potensial dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Critical Control Point (CCP)

adalah merupakan langkah atau prosedur dimana tindak pengawasan dilaksanakan

untuk mengeliminasi, mencegah atau memperkecil "hazard" sampai pada tingkat

yang tidak membahayakan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 346


Penerapan konsep ini akan mempermudah upaya pengendalian secara

langsung terhadap cermaran mikroorganisme, kimia maupun phisik lainnya serta

nnenghindarkan kelemahan-kelemahan pada sistim pengawasan yang sudah ada dan

mengurangi ketergantungan pada pengujian-pengujian yang sifatnya rutin.

Dengan menitik beratkan pada pengawasan faktor kunci yang dapat

mempengaruhi keamanan dan kualitas pangan maka petugas pengawas, produsen

maupun konsumen dapat menjamin terhadap tingkat keamanan pangan yang

dikehendaki.

Pada prinsipnya konsep HACCP dapat diterapkan pada semua mata rantai

pangan mulai saat pengadaan bahan mentah, processing/pengotahan, pengangkutan,

pemasaran, restoran serta rumah tangga.

IV. PRINSIP PELAKSANAAN HACCP


1. Mengidentifikasi "hazard" dan memperkirakan kemungkinan bahaya yang

ditimbulkan (hazard analysis) pada mata rantai pangan serta menetapkan langkah

langkah pengendaliannya sampai pada tingkat yang tidak membahayakan.

2. Menetapkan Critical Control Point (CCP) / titik tindak pengawasan yang diperlukan

unruk pengendahan hazard". Apabila kehilangan kendali di dalam pengawasannya

kemungkinan akan berpeluang menimbulkan resiko bagi kesehatan. Ada 2 tipe titik

tindak pengawasan :

1) CCP1 merupakan titik tindak pengawasan yang dapat menjamin keamanan

produk.

2) CCP2 merupakan titik tindak pengawasan yang hanya dapat memperkecil

kemungkinan bahaya yang timbul akibat pencemaran.

3. Menetapkan kriteria/persyaratan yang menunjukkan pengawasan pada CCP yang

ditetapkan tersebut telah berjalan sesuai prosedur. Yang penting dilakukan pada tahap

ini adalah menetapkan tindakan yang sesuai sehingga. adanya "hazard” dapat diatasi.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 347


Faktor-faktor yang dimonitor dapat berupa antara lain pengawasan waktu dan suhu

pada makanan diproses dengan pemanasan, water activity pada beberapa produk

makanan tertentu, pH atau derajat keasaman produk makanan yang difermentasi,

batas kadar klorine air pendingin makanan kaleng, pengaturan temperatur untuk

makanan dingin saat didistribusikan, petunjuk penanganan makanan yang harus

dicantumkan pada label produk agar diketahui para konsumen. Semua kriteria

tersebut tertulis dengan jelas dan mudah dimengerti oleh operator diikuti

pernyataan-pernyataan batas yang dapat ditolerir apabila perlu.

4. Menetapkan dan. menerapkan prosedur untuk memonitor setiap CCP. Monitoring

diperlukan untuk mencek apakah pengawasan pada setiap CCP telah dilaksanakan.

Monitoring yang dilakukan dapat berupa :

1) Perneriksaan organoleptik/observasi visual, terhadap bahan baku, kebersihan

peralatan/tempat permrosesan, kebersihan karyawan, prosedur penanganan dan

penyimpanan serta fasilitas pengangkutan.

2) Pemeriksaan fisik/kimia maupun mikrobiologis.

3) Recording/pencatatan terhadap faktor-faktor penting lainnya yang diperlukan

untuk dikontrol. Prosedur monitoring yang dipilih hendaknya dapat

mengantisipasi keadaan yang tidak diinginkan baik sebelum suatu proses dimulai

atau sedang berjalan.

5. Menetapkan dan menerapkan tindakan yang perlu diambil apabila ternyata menurut

hasil monitoring menunjukan bahwa kriteria yang ditetapkan untuk mengawasi CCF

tidak berjalan sebagaimana mestinya.

6. Verifikasi atau mencek kembali dengan mempergunakan informasi pendukung dan

pengujian untuk meyakinkan bahwa HACCP telah berjalan sebagaimana

direncanakan. Verifikasi tersebut dapat dilaksanakan oleh bagian kontrol kualitas

(Quality Control) atau pihak lain sebagai unsur pengawas (pemerintah atau lembaga

konsumen). Seringkali adanya pencemaran teridentifikasi oleh pihak lain sebagai

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 348


implikasi yang menunjukkan kelemahan sistim pengawasan yang ada. Hal tersebut

memerlukan, tindakan yang tepat untuk dapat mengantisipasinya.

V. LANGKAH-LANGKAH PENERAPAN KONSEP -HACCP.


1. Pembentukan tim HACCP

Dalam penerapan sistim HACCP diperlukan suatu evaluasi "hazard" yang berkaitan

dengan bahan baku, tahapan pemrosesan/produksi, pengepakan, kondisi penyimpanan

serta penggunaan produk. Evaluasi tersebut diperlukan untuk:

1) Mengidentifikasi "hazard" potensial pada bahan baku yang kemungkinan besar

mengandung substansi beracun/pathogen atau yang dapat mendukung

pertumbuhan mikroorganisme.

2) Mengidentifikasi sumber kontaminasi dengan menganalisa pada setiap mata rantai

pengadaan pangan.

3) Mengidentifikasi kondisi potensial dimana mikroorganisme dapat bertahan atau

berkembang biak selama, proses produksi, penyimpanan, distribusi sampai ke

konsumen.

4) Mengetayhui bahaya dan resiko dari "hazard" yang telah diidentifikasi.

Agar pelaksanaan evaluasi secara teknis dapat berjalan efektif diperlukan suatu sistim

audit yang detail terhadap pelaksanaan proses produksi termasuk peralatan teknis, dan

prosedur operasionainya. Sistim audit tersebut akan berjalan dengan baik apabila

dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari para analisis dari berbagai disiplin ilmu

(ahli mikrobiologi pangan bekerjasama dengan ahli teknologi pangan dan lain-lain).

2. Penjelasan produk secara lengkap termasuk informasi mengenai komposisi makanan

dan pendistribusiannya.

3. Identifikasi sasaran penggunaan makanan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 349


4. Penetapan bagan alir yang menguraikan proses produksi Bagan alir tersebut harus

dibuat oleh tim HACCP yang mampu mengidentifikasi titik kerawanan berkaitan

dengan "hazard” pada setiap tahapan proses dan mampu mengkaitkan titik tersebut

antara tahap sebelum dan sesudahnya sehingga dapat mengefektifkan sistim

pengawasan.

5. Penerapan bagan alir untuk meyakinkan apakah dalam pelaksanaan operasionalnya

tidak bertentangan dengan bagan alir yang telah ditetapkan dan memperbaiki bagan

alir apabila diperlukan serta menerapkan prinsip HACCP di dalam pelaksanaan

operasionalnya.

6. Penetapan "hazard" pada. setiap mata. rantai dan menentukan langkah-langkah

pengawasannya.

7. Mengidentifikasi Critical Control Points (CCP)/titik tindak pengawasan dengan

menggunakan "CCP Decision Tree” yaitu sistim untuk menganalisa "hazard" yang

teridentifikasi dengan menjawab pertanyaan yang berurutan (secara skematis

diuraikan pada bagan 1).

8. Penetapan Critical Limit (limit kristis) yaitu batas toleransi yang harus dipenuhi untuk

menjamin bahwa CCP secara efektif mengendalikan "hazard".

9. Penetapan sistim monitoring untuk setiap CCP.

10. Penetapan tindakan yang perlu diambil apabila pada hasil monitoring tersebut

pengawasannya tidak sesuai.

11. Penetapan prosedur verifikasi.

12. Recording/pencatatan dan dokumentasi.

Secara skematis penerapan konsep HACCP disajikan pada bagan 2.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 350


Gambar 94. BAGAN APFLIKASI “CCP DECISION TREE”
PADA SETIAP LANGKAH KRITIS DALAM PROSES PRODUKSI
(JAWAB PERTANYAAN SECARA BERURUTAN)
1. Apakah langkah-langkah pencegahan yang
ada telah dapat mencegah, mengeliminasi
atau mengontrol timbulnya “hazard”
potensial?

Ya Tidak

Apakah kontrol terhadap “hazard”


pada tahap ini diperlukan?

Tidak Ya

Tidak diidentifikasi Modifikasi langkah-langkah,


sebagai CCP proses/produk sehingga
terdapat langkah-langkah
pencegahan

2. Apakah langkah-langkah pencegahan


tersebut telah mampu mengeliminasi atau
mengurangi kemungkinan “hazard”
potensial sampai pada tingkat yang tidak
membahayakan?

Tidak Ya

3. Dapat “hazard” potensial yang telah


diidentifikasi tersebut terjadi melebihi
tingkat yang tidak membahayakan atau
meningkat sampai pada tingkat yang
membahayakan?

Ya Tidak

Tidak diidentifikasi
sebagai CCP

4. Apakah langkah-langkah pencegahan


berikutnya dapat mengeliminasi atau
mengurangi “hazard potensial yang telah
diidentifikasi sampai pada tingkat yang tidak
membahayakan

Ya

Tidak diidentifikasi sebagai CCP Tidak CCP

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 351


(Critical Control Point)
TIM HACCP

URAIAN PRODUK
(PROSES PRODUKSI)

IDENTIFIKASI PENGGUNA MAKANAN

PENETAPAN BAGAN ALIR

PENERAPAN BAGAN ALIR

IDENTIFIKASI HAZARD PADA SETIAP MATA RANTAI DAN


PERTIMBANGAN LANGKAH PENGAWASAN

HAZARD LANGKAH PENGAWASAN


MIKROBIOLOGI
KIMIA
FISIKA

IDENTIFIKASI CCP DENGAN MENGGUNAKAN “HACCP


DECISION TREE” PADA SETIAP TAHAP PROSES

PENETAPAN LIMIT KRITIS UNTUK SETIAP CCP

MONITORING

TINDAKAN KOREKSI YANG PERLU DIAMBIL

VERIFIKASI

RECORDING/DOKUMENTASI

Gambar 95. Tahapan Langkah-Langkah Penerapan HACCP

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 352


Gambar 96. CONTOH APLIKASI HACCP DI RPH
1. APLIKASI DI RPH
(1) Bagan alir proses produksi daging di RPH
PETERNAK Ccp2

PENGANGKUTAN/TRANSPORTASI

ISTIRAHAT

PEMERIKSAAN

PEMERIKSAAN ANTE MORTEM

PROSES PENYEMBELIHAN

SAPI, KERBAU, DOMBA, KUDA BABI

PELEPASAN KULIT Ccp2


Ccp2 PENCELUPAN KEDALAM AIR PANAS Ccp2

PENGELUARAN JEROAN Ccp2 PENGEROKAN Ccp2

PEMBELAHAN KARKAS PENGELUARAN JEROHAN Ccp2

PEMERIKSAAN DAGING/ PEMBELAHAN KARKAS


POST MORTEM

PEMERIKSAAN DAGING/POST MORTEM


PELAYUAN/PENIRISAN

PELAYUAN/PENIRISAN

PELEPASAN TULANG PENGANGKUTAN Ccp2


PELEPASAN TULANG PENGANGKUTAN Ccp2

PENGEPAKAN KONSUMEN
PENGEPAKAN KONSUMEN

PENDINGINAN
Ccp1 PENDINGINAN
(COLD STORAGE) Ccp1
(COLD STORAGE)

PENGANGKUTAN Ccp1
PENGANGKUTAN Ccp2

KONSUMEN
KONSUMEN
Kecil kemungkinan terkontaminasi (minor contamination)
Besar kemungkinan terkontaminasi (mayor contamination)
CCP1 Merupakan CCP yang efektif
CCP2 Tidak absolut

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 353


Tabel 22. PROSEDUR KERJA HACCP

Analisa kerawanan/Hazard Analisis


N Tahap Kritis Resiko Potensial yang Tindak Pengawasan Prosedur/Langkah-Langkah
o. Terjadi Pengawasan dan Pencegahan

1. Peternak *) − Residu Pakan (pestisida) Sistem Manajemen − Pengawasan Lalulintas hewan


− Residu antibiotika/hormon beternak yang baik − Pengawasan pemberian pakan
− Penyakit − Pengawasan waktu henti obat
sebelum dipotong
− Pengawasan Hygiene sanitasi
lingkungan sekitar lokasi
peternakan

2. Pengangkutan/ − Penyebaran penyakit − Hanya hewan sehat yang − Pengawasan kesehatan hewan yang
transportasi*) dipotong dimilai dari peternakan dengan
melakukan seleksi hewan yang akan
dipotong
− Stress − Hindari mengangkut − Sesuaikan daya tampung/kapasitas
hewan dalam jumlah kendaraan angkut dengan jumlah
banyak ternak

3. Istirahat*) Stress setelah menempuh Beri istirahat yang cukup − Hewan diistirahatkan pada kandang
perjalanan jauh paling sedikit 12 jam yang bersih dan tenang serta diberi
sebelum disembelih makanan yang cukup
− Perlakukan hewan yang akan
dipotong dengan baik
− Sebaiknya hewan dicuci sebelum
disembelih (untuk menghindari
kontaminasi karkas)

4. Pemeriksaan − Sesuai dengan SK. Menteri


Petugas kurang terlatih dalam − Upayakan petugas
antemortem Pertanian No.
mendeteksi hewan sakit pemeriksa kesehatan
413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang
hewan yang terlatih
pemotongan hewan potong dan
− Hanya hewan sehat yang penanganan danging serta hasil
dipotong ikutanya dan SK.Menteri Pertanian
No.295/Kpts/TN.240/5/1986
tentang pemotongan babi dan
penanganan daging babi dan hasil
ikutanya

5. Pemingsanan − Pencucian alat pemingsanan (boks


− Kontaminasi pada kulit − Petugas harus terlatih stunning) sebelum dipergunakan
hewan yang akan disembelih dalam melaksanakan
− Pemeriksaan terhadap alat
melalui lantai alat pemingsanan pemingsanan
pemingsanan (boks Stuning)
− Pemingsanan terhadap hewan
karena pelaksanaan proses
pemingsanan yang tidak
efektif

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 354


1 2 3 4 5
6. Pemotongan halal − Hewan tidak menghadap ke − Hewan harus − Hewan potong disembelih oleh
kiblat dihadapkan ke kiblat juru sembelih Islam menurut tata
sebelum disembelih cara yang sesuai dengan fatwa
Majelis Ulama Indonesia antara
lain :
− Memutus jalan nafas
(hulqum)
− Memutus jalan makan
(mari’)
− Memutus dua urat nadi
(wadajain)
− Membaca Bismillah
sebelumnya
− Hewan dalam keadaan mati − Petugas harus terlatih − Hewan potong yang disembelih
(bangkai) disembelih melakukan pengawasan harus sesuai dengan Fatwa MUI
keadaan hewan sebelum antara lain :
dan setelah − Apabila hewan yang telah
dipingsankan dipingsankan tidak jadi
disembelih dapat bangun dan
sehat kembali
− Apabila disembelih darah
yang keluar harus memancar
sesuai dengan denyut nadi

7. Proses penyembelihan Kontaminasi saat Mencegah atau


− Kebersihan pekerja atau petugas
penyembelihan mengurangi kontaminasi
penyembelihan termasuk
dengan: kebersihan peralatan yang
b. Proses penyembelihan
digunakan
dilakukan secara
− Mencegah kontaminasi silang
hygienis
− Memelihara kebersihan area
c. Mengikat oesophagus
penyembelihan
− Mencegah kontaminasi dari
isirumen dengan mengikat
oesophagus sebelum digantung
(untuk penyelesaian proses
selanjutnya)
8. Pelepasan kulit *) Kontaminasi baik secara fisik Mencegah/mengurangi
b. Sapi/kerbau/domba/ maupun mikrobiologi kontaminasi pada − Kebersihan pekerja atau
kuda permukaan karkas petugas
− Mencegah kontaminasi silang
antara kulit dengan karkas
melalui peralatan/tangan
− Pelepasan kulit dilakukan
dengan cara yang benar
(pengulitan kearah bawah lebih
kecil kemungkinan terjadinya
kontaminasi daripada
pengulitan ke arah atas
− Peningkatan pengawasan
terhadap temperatur

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 355


1 2 3 4 5
c. Babi
− Pencelupan Mikroorganisme yang − Temperatur air harus
kedalam air berasal dari kulit / isi rumen tetap dipertahankan
panas dapat mengkontaminasi karkas diatas 50°C
melalui luka tusukan di daerah
leher/trachea yang dapat
menembus kedalam jaringan
yang lebih dalam dan apabila
jantung masih berfungsi dapat
mencapai paru-paru yang
berakibat kerusakan pada
paru-paru

9. Pengeluaran jeroan *) − Isi perut − Mencegah kontaminasi − Kebarsihan pekerja/petugas


− Kemungkinan robeknya pada daerah kaki − Oesophagus harus tetap dalam
rumen dan usus belakang keadaan terikat
− Memisahkan langsung − Hindari robeknya rumen
penanganan daerah − Mencegah kontaminasi dari isi
kepala rumen/perut dengan mengikat
rectum
− Mencuci jeroan dengan air

10 Pembelahan karkas Kontaminasi karkas dari alat Mencegah kontaminasi Pencucian alat dan tangan petugas
. (gergaji) dan pekerja/petugas pada karkas sebelum pembelahan karkas

Pemeriksaan jeroan Kontaminasi karkas dan Mencegah kontaminasi − Pencucian alat dan tangan
11 dan karkas (post jeroan dari alat (pisau) dan pada karkas dan jeroan pekerja/petugas sebelum
. mortem) petugas/pekerja pemeriksaan post mortem
− Sesuai dengan SK Menteri
Pertanian No.
413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang
pemotongan hewan potong dan
penanganan daging serta hasil
ikutannya dan SK Menteri
Pertanian No.
295/Kpts/TN.240/5/1989 tentang
pemotongan babi dan penanganan
daging babi dan hasil ikutanya

− Mencegah kontaminasi antara


Pelayuan − Tempertur atau sirkulasi − Mencegah/mengurangi karkas dengan pekerja atau
/pemeriksaan udara ruang pelayuan kontaminasi dengan petugas
12
. − Waktu pelayuan membatasi petugas
− Kemungkinan kontaminasi yang ada dalam ruang − Pengawasan rutin dan teratur
karena kontak antara pelayuan terhadap sirkulasi udara atau
karkas dengan petugas − Mencegah/mengurangi temperatur ruangan
kerusakan daging
dengan pengawasan
pengatur suhu/sirkulasi
udara

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 356


1 2 3 4 5
13 Pelepasan/tulang − Kontaminasi daging Mencegah/mengurangi − Kebersihan pekerja/petugas
. melalui alat, kontaminasi antara daging − Mencegah kontaminasi daging
pekerja/petugas dengan pisau dan dengan alat (pisau) dan tangan
− Temperatur/sirkulasi udara pekerja/petugas pekerja
ruangan − Mencuci pisau dengan air panas
− Pengawasan teratur terhadap
sirkulasi udara/temperatur
ruangan

Pengepakan − Kontaminasi daging Mencegah/ mngurangi − Kebersihan pekerja


14 melalui alat, kontaminasi antara daging − Mencegah kontaminasi antara
. pekerja/petugas dengan pekerja dan daging dengan pembungkus
− Temperatur/sirkulasi udara alat/barang lain diruang daging
ruangan pengepakan
− Pengawasan teratur terhadap
temperatur ruangan

Pendinginan *) Pertumbuhan/perkembang − Temperatur ruang


− Karkas harus segera didinginkan
biakan bakteri/ pendingin 0-4°C
− Karkas diatur sedemikian rupa
15 mikroorganisme selama proses − Temperatur karkas
sehingga tidak saling
. pendinginan harus tetap bersinggungan satu sama lain
dipertahankan
sehingga kontaminasi antar karkas
maksimum 4°C setelah
dapat dihindari
8 jam pendinginan
− Kontrol terhadap temperatur
jumlah karkas
ruang pendingin setiap jam
disesuaikan dengan
kapasitas ruang
pendingin
− Total plate count < 10
− Total MPN <2400
setelah didinginkan

Pengangkutan *) Kontaminasi pada karkas − Selama pengangkutan


yang diangkut daging, suhu
dipertahankan dan
16 hindari dari proses
. kondensasi

Oprasional − Lantai − Upayakan lantai


pembersihan − Penerapan program sanitasi
pemotongan/lingkungan pemotongan/lingkunga lingkungan setelah proses
RPH yang kotor n RPH yang bersih pemotongan. Selama proses
17 pemotongan diupayakan
. lingkungan yang sebersih
mungkin

Penanggulangan − Peralatan yang kotor − Upayakan peralatan − Sterilisasi semua peralatan yang
lalat/insekta pemotongan/penangan

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 357


an daging yang bersih berhubungan dengan proses
− Kontaminasi lewat − Pengewasan dan pemotongan/penanganan daging
lalat/insekta pencegahan − Pengawasan adanya lalat/insekta
18 pada awal operasional
.

1 2 3 4 5
− Penerapan pemberantasan
lalat/insekta

19 Konsumen Kontaminasi dan kerusakan Penanganan dan − Kebersihan penanganan


. daging selama proses penyimpanan yang benar − Daging dipotong sedemikian rupa
penyimpanan dan penanganan sesuai kebutuhan
di tangan konsumen − Hindari pencairan kembali
terhadap daging beku (thawing)
secara berulang-ulang
Catatan : *) Merupakan CCP

Langkah-langkah pengawasan dan pencegahan tersebut harus senantiasa

dimonitor/dipantau untuk melihat apakah CCP memenuhi persyaratan dan tidak

melampaui batas toleransi yang harus dipenuhi (Critical Limit).

Apabila CCP melampaui batas toleransi yang harus dipenuhi maka harus dilakukan

tindakan koreksi. Hasil monitoring/pemantauan dan tindakan koreksi harus dicatat dan

dikompilasikan sehingga dapat dievaluasi untuk peningkatan sistem pengawasan.

Verifikasi dilaksanakan untuk meyakinkan bahwa HACCP telah berjalan

sebagaimana direncanakan.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 358


DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Bina Kesehatan Hewan. 1995. Peningkatan Peranan Pemerintah dalam


Pengawasan Bahan Makanan Asal Hewan Memperkenalkan Konsep HACCP.
Manual Kesmavet. No. 45/1995. ISSN : 0216-4868. Direktorat Bina Kesehatan
Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal 1-
18

Direktorat Bina Kesehatan Hewan. 1995. Penyakit yang Ditularkan Melalui Makanan
yang Disebabkan oleh Bakteri (Mikrobial Foodborne Disease). Manual
Kesmavet. No. 45/1995. ISSN : 0216-4868. Direktorat Bina Kesehatan Hewan.
Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal 19-33

Direktorat Bina Kesehatan Hewan. 1995. Pedoman Teknis Sanitasi Lingkungan Rumah
Pemotongan Hewan / Unggas. Manual Kesmavet. No. 45/1995. ISSN : 0216-
4868. Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan.
Departemen Pertanian. Jakarta. Hal 34 – 68

Direktorat Bina Kesehatan Hewan. 1995. Kebijakan Mengenai Keamanan dan Kualitas
Daging Indonesia. Manual Kesmavet. No. 45/1995. ISSN : 0216-4868.
Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen
Pertanian. Jakarta. Hal 94 – 131

Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2001 Tugas dan Fungsi Direktorat


Kesehatan Masyarakat Veteriner. Manual Kesmavet. Direktorat Kesehatan
Masyarakat Veteriner. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan.
Departemen Pertanian. Jakarta. Hal 33-42

Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner.2002. Pedoman Penyembelihan Halal.


Manual Kesmavet. No. 01/2002. ISSN : 0216-4868. Direktorat Kesehatan
Masyarakat Veteriner. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan.
Departemen Pertanian. Jakarta. Hal 19-24

Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner.2002. Pedoman Seleksi dan Penyembelihan


Hewan Qurban. Manual Kesmavet. No. 01/2002. ISSN : 0216-4868. Direktorat
Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan.
Departemen Pertanian. Jakarta. Hal 25-27

Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner.2002. Kebijakan Pemerintah dalam


Meningkatkan Produksi Susu di Indonesia. Manual Kesmavet. No. 01/2002.
ISSN : 0216-4868. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktorat
Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal 34 -41

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 359


Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2002. Peraturan Perundangan Kesmavet
Edisi 1. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktorat Jenderal Bina
Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. 119 hal.

Gradin, P.G.C.T. 2001. Petunjuk untuk Penanganan, Pengiriman dan Pemotongan Hewan
yang Manusiawi. (diterjemahkan oleh Marjaya W). Food and Agriculture of
The United Nations Regional Office for Asia and The Pacific. 84 hal.

Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 360

Anda mungkin juga menyukai