Anda di halaman 1dari 10

228

Jaelani, Performans Ayam Pedaging ISSN 2085-3548

PERFORMANS AYAM PEDAGING YANG DIBERI ENZIM BETA MANNANASE DALAM RANSUM YANG BERBASIS BUNGKIL INTI SAWIT (Broiler Performance which Using Beta Mannanase Enzyme in Ration Based on Palm Kernel Cake) Achmad Jaelani
Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan Jl. Adhyaksa No. 2 Kayu Tangi Banjarmasin Email ach_jaelaniborneo@yahoo.com

ABSTRACT Palm kernel cake (PKC) is defined as what is left after oil extraction from the palm nuts. The use of PKC in poultry diet is very limited. Study the broiler performances at different levels of beta mannanase enzyme in the diet (0, 200, 300 and 400 ppm). A total of 200 day old chicks were randomly allotted to four dietary treatments. All diets were formulated to be isonitrogenous (22% CP) and isocaloric (3 000 Kkal/kg). Data were analyzed by analysis of variance and followed by the Orthogonal Contrast Test if the treatments were significant. The result of this research indicated that the broiler performances : Final body weight, average daily gain, feed consumtion ( p<0.05) significantly difference to Obstetrical of enzyme beta mannanase 300 ppm in ration give the better result the other treatments. Keywords : Performance, Enzyme, Beta mannanase, Broiler

PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kedua terbesar setelah Malaysia dalam menghasilkan kelapa sawit. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2005 sekitar 5.000.000 hektar dengan total produksi crude palm oil (CPO) sekitar 14.500.000 ton (LRPI, 2006). Disamping produk utama terdapat beberapa produk ikutan yang dihasilkan, salah satunya adalah bungkil inti sawit. Menurut Sindu (1999), rata-rata hasil ikutan bungkil inti sawit sekitar 0.30.6 ton,/ha tanaman/tahun. Hal ini berarti tersedia BIS 1,500,0003,000,000 ton/tahun, namun sayangnya sampai saat ini BIS belum lazim digunakan sebagai pakan ayam ras di Indonesia. Beberapa Industri pakan masih jarang menggunakan BIS dalam campuran ransumnya. Hal ini dikarenakan palatabilitasnya yang rendah, nilai gizi yang renadah seperti kandungan protein yang

rendah bila dibandingkan dengan bungkil kedele dan kacang tanah yaitu sekitar 15,73 17,19% dengan nilai kecernaan protein 58% (Chong et al., 1998). BIS tinggi akan serat kasar yakni berkisar antara 13.015.7%, ADF 31.7%, dan NDF 52% (Daud et al., 1993). Total dinding sel terbanyak adalah mannosa sebesar 56,4%. Formasi linier mannan berbentuk kristal yang cukup tinggi dan ikatan -(1-4) sulit untuk dipecah. -mannan terutama terdapat pada gymnospermae (softwoods). Dengan komposisi seperti itu diduga bahwa BIS tinggi akan polisakarida bukan pati (NSP). Polisakarida bukan pati yang banyak terdapat BIS adalah polisakarida mannan. Komponen mannan ini memiliki kecernaan yang rendah dan akan menghalangi proses penyerapan karbohidrat, asam amino dan mineral dalam usus (protective box effect) (Vranjes dan Wenk, 1995). Untuk dapat meningkatkan nilai nutrisi BIS ini maka dilakukan upaya pengolahan atau

229
Media SainS,Volume 3 Nomor 2, Oktober 2011

ISSN 2085-3548

penggunaan enzim yang mampu mendegradasi polisakarida mannan, salah satunya adalah enzim beta mannanase. Metabolisme mannan menjadi D mannosa dibantu dengan adanya enzim mannan 1,2-(1,3)--mannosidase dengan Enzyme Commission Number (EC) E.C. 3.2.1.77 dan enzim mannan exo-1,2-1,6- mannosidase. Adapun untuk 1,4- -mannan, dapat dihidrolisis menjadi D mannosa dibantu dengan enzim mannan endo-1,4- mannosidase. D mannosa kemudian diubah menjadi D mannosa 6P dengan bantuan enzim hexokinase, glucokinase dan mannokinase. D Mannosa 6P dapat dihidrolisis menjadi D mannosa 1P dengan bantuan enzim phospho mannomutase, selanjutnya D mannosa 1P dihidrolisis menjadi GDP-D-mannosa dengan bantuan enzim nicotinamide-nukleotide denylyltransferase. Ayam pedaging (broiler) merupakan ayam yang telah mengalami seleksi genetik sebagai penghasil daging dengan pertumbuhan yang cepat sehingga waktu pemeliharaannya lebih singkat, pakan lebih efisien dan produksi daging tinggi. Pertambahan bobot ayam yang tinggi ditunjang dengan ransum yang cukup kandungan gizinya. Komposisi ransum ayam pedaging masih didominasi bahan pakan impor, sedangkan bahan pakan lokal seperti BIS masih jarang dipergunakan dalam ransum komersil. Keterbatasan penggunaan BIS dalam ransum sebagian bisa diatasi dengan penambahan enzim beta mannanase yang mampu mendegradasi polisakarida mannan. Dilihat dari kualitas nutrisi, dengan penambahan enzim beta mannanase akan terjadi peningkatan nutrisi, yaitu dengan mendegradasi polisakarida menjadi oligosakarida dan monosakari. Untuk memperkuat pernyataan ini perlu diujikan

pada ternaknya terutama mengenai penampilan ternak dan nilai ekonomisnya. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat penggunaan enzim beta mannanase dalam ransum berbasis bungkil inti terhadap penampilan ayam pedaging.Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama masalah optimalisasi penanganan hasil ikutan kelapa sawit (bungkil inti sawit) yang cukup melimpah menjadi pakan ternak unggas dengan penambahan enzim beta mannanase METODE PENELITIAN Bahan Day old chick (DOC) strain COBB CP 707 sebanyak 100 ekor, BIS, beberapa bahan pakan, air gula, kertas koran, kapur, desinfektan, sekam, vitamin, vitachick, vitastress, vaksin ND dan Gumboro, Peralatan Kandang koloni ukuran 1x1 meter sebanyak 35 petak, Adapun tiap petak kandang ditempatkan 10 ekor ayam pedaging. Lampu pemanas/penerangan 40 watt, tinta penanda, timbangan digital, nampan plastik, kantung plastik ukuran 5 kg, tempat pakan gantung, tempat minum, thermometer dan hygrometer. Metode Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan : R0 = Ransum dengan 0 ppm enzim mannanase R1 = Ransum dengan 200 ppm enzim mannanase R2 = Ransum dengan 300 ppm enzim mannanase R3 = Ransum dengan 400 ppm enzim mannanase

230
Media SainS,Volume 3 Nomor 2, Oktober 2011

ISSN 2085-3548

Tabel 1. Susunan ransum perlakuan dalam penelitian pada ayam pedaging


Bahan ransum Enzim mannanase (ppm) Tepung Jagung Bungkil Kedelai Dedak Padi Halus Bungkil Inti Sawit Corn Gluten Meal Tepung ikan CPO CaCO3 Premix Dikalsium Phosfat Garam DL-methionin Jumlah Perlakuan R0 0 48 17 12.8 0 5 10 5 1 0.5 0.33 0.25 0.12 100 R1 200 47 15 5.8 10 5 10 5 1 0.5 0.33 0.25 0.12 100 R2 300 46 14 2.8 15 5 10 5 1 0.5 0.33 0.25 0.12 100 R3 400 44 12.8 1 20 5 10 5 1 0.5 0.33 0.25 0.12 100

Tabel 2. Kandungan nutrisi ransum perlakuan


Nutrisi Enzim Mannanase (ppm) Protein kasar (%) *) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) ME (kkal/kg) **) Imbangan EM/PK Arginin (%) Glisin+serin (%) Histidin (%) Isoleusin (%) Leusin (%) Lysin (%) Methionin (%) Methionin+sistin (%) Phenilalanin (%) Threonin (%) Triptophan (%) Valin (%) Ca (%) P (%) Cl (%) Mg (mg) K (%) Na (%) Cu (mg) I (mg) Fe (mg) Mn (mg) Se (mg) Zn (mg) Vitamin A (mg) R0 0 22.15 3.98 9.69 3076 138.89 1.317 1.896 0.566 0.878 1.994 1.155 0.590 0.923 1.007 0.824 0.234 1.038 1.043 0.460 0.247 2,411 0.770 0.211 14.744 0.100 120.32 103.59 0.292 83.98 6,003 Kandungan Nutrisi R1 200 21.99 5.40 9.29 3066 139.43 1.401 1.866 0.545 0.915 1.902 1.107 0.587 0.907 0.991 0.808 0.227 1.038 1.090 0.459 0.255 1,990 0.747 0.210 13.264 0.100 104.17 90.84 0.262 80.90 6,003 R2 300 21.93 6.16 9.14 3052 139.20 1.446 1.854 0.535 0.935 1.856 1.085 0.586 0.900 0.985 0.801 0.224 1.039 1.114 0.459 0.260 1,821 0.743 0.209 12.524 0.100 96.82 85.68 0.249 79.42 6,003 R3 400 21.84 7.02 9.11 3021 138.32 1.493 1.842 0.524 0.953 1.804 1.062 0.586 0.892 0.977 0.794 0.220 1.041 1.137 0.459 0.265 1,748.6 0.752 0.208 11.766 0.100 91.06 83.39 0.240 78.04 6,003 Standar NRC 1994 22 3000 139.13 1.25 1.25 0.35 0.80 1.20 1.10 0.50 0.90 0.72 0.80 0.20 0.90 1.00 0.45 0.20 600 0.30 0.20 8.00 0.35 80.0 60.0 0.15 40.0 1,500

231
Media SainS,Volume 3 Nomor 2, Oktober 2011

ISSN 2085-3548

Vitamin D (IU) 1,000 1,000 1,000 1,000 Vitamin E (IU) 25.03 20.57 18.53 16.99 Vitamin B12 (mg) 0.016 0.016 0.016 0.016 Biotin (mg) 0.157 0.120 0.104 0.092 Choline (mg) 1,228.5 1,195.8 1,182.1 1,170.2 Folacin (mg) 0.725 0.571 0.503 0.454 Niacin (mg) 79.454 58.774 49.779 44.002 Pantothenic acid (mg) 11.484 9.954 9.284 8.818 Pyridoxin (mg) 6.822 6.092 5.762 5.518 Riboflavin (mg) 4.283 4.390 4.451 4.526 Thiamin (mg) 6.375 4.675 3.920 3.391 Keterangan : *) Hasil analisa Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fapet IPB (2007) **) Hasil perhitungan dengan ME = 0.7273 GE (Farrel, 1974)

200 10 0.01 0.15 1,300 0.55 35.0 10.0 3.5 3.60 1.80

Peubah yang diamati 1. Bobot akhir Diperoleh dengan penimbangan bobot badan ayam (gram) umur 35 hari pemeliharaan. 2. Pertambahan bobot badan (pbb) Dihitung dari selisih bobot badan akhir percobaan pada minggu ke-5 dengan bobot awal, dihitung dalam gram. Adapun rumusnya :
PBB = W2 W1 T2 -T1

Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (anova) dan apabila menunjukan adanya perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncann (Stell dan Torrie, 1995) dengan menggunakan Program SAS Ver. 6.12 (SAS Institute, 1996).

HASIL DAN PEMBAHASAN Selama 1-2 hari pertama dilakukan masa adaptasi dengan menggunakan ransum komersial dan secara bertahap campuran ransum penelitian yang sesuai perlakuan dengan ransum komersial diberikan mulai dari 25% : 75%, 50% : 50% dan 75% : 25%. Adapun ransum Komersial yang diberikan adalah Ransum Superfeed kode MR-1 yang diproduksi oleh PT. Cheil Jedang Superfeed, Serang Banten. Adapun komposisi pakan sbb. : Kadar air 12%, Protein kasar 22%, Lemak kasar 6%, Serat kasar 4%, Abu 6.5%, Calsium 0.9 -1.2%, Phosfor 0.7-0.9%. 1. Bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan Ayam pedaging (broiler) merupakan ayam yang telah mengalami seleksi genetik sebagai penghasil daging dengan pertumbuhan yang cepat sehingga waktu pemeliharaannya lebih singkat, pakan lebih efisien dan produksi daging tinggi.

Keterangan : W1 = Bobot badan awal minggu (g) T2 = Waktu akhir minggu T1 = Waktu awal minggu 3. Konsumsi ransum Selisih antara ransum yang disediakan pada awal penelitian dengan sisa ransum pada akhir penelitian, dihitung dalam gram. 4. Konversi ransum. Konversi ransum dihitung menggunakan rumus :
Konversi ransum = Rataan konsumsi ransum (g) Rataan pertambahan bobot badan (g)

5. Mortalitas. Dihitung dengan rumus :


Mortalitas (%) = Jumlah ayam yang mati x100% Jumlah seluruh ayam penelitian

232
Media SainS,Volume 3 Nomor 2, Oktober 2011

ISSN 2085-3548

Pertumbuhan ayam pedaging sangat cepat dan pertumbuhan dimulai sejak menetas sampai umur 7 minggu, setelah itu kecepatan pertumbuhan akan menurun (North dan Bell, 1990). Tahap-tahap pertumbuhan ternak membentuk gambaran sigmoidal pada grafik pertumbuhan. Nilai bobot badan akhir dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan. Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran dan pertambahan berat, dalam jaringanjaringan tubuh seperti otak, jantung, tulang, berat daging dan jaringan lainnya. Bobot badan ayam pedaging selama penelitian diperlihatkan pada Tabel 3. Disini

terlihat bahwa perlakuan ransum kontrol (R0) berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan perlakuan ransum yang mengandung 400 ppm enzim mannanase terhadap bobot badan akhir ayam pedaging. Dilihat dari nilai rataan bobot badan akhir, kesemuanya berada di bawah bobot badan akhir perlakuan ransum kontrol. Bobot badan akhir perlakuan R5 mampu mengimbangi perlakuan kontrol. Hal ini berarti bahwa penggunaan BISF hingga 15% memberikan hasil bobot badan akhir yang relatif sama dengan kontrol.

Tabel 3. Rataan bobot badan dan pertambahan bobot badan (g) ayam pedaging umur 35 hari
Perlakuan Bobot badan akhir Pertambahan bobot badan .( g ).... 1,687.36 84.91 1,511.12 71.67 1,641.14 21.95 1,338.33 112.43 1,558.90 89.77 1,373.88 71.30 1,479.00 31.90 1,210.06 112.90 ** ** **

R0 R1 R2 R3

Signifikansi R0 VS R1&R2&R3 ** R1 VS R3 Linier ** Kuadratik ** Keterangan : ** berbeda sangat nyata (p< 0.01) * berbeda nyata (p<0.05) tn tidak berbeda nyata (p>0.05)

Perbandingan bobot badan akhir antara perlakuan berbagai tingkat enzim mannanase berbeda sangat nyata (p<0.01). Hal ini berarti bahwa ayam pedaging yang diberi ransum perlakuan penambahan enzim mannanase menyebabkan bobot akhir yang berbeda. Perbandingan bobot badan akhir pada tingkat pemberian enzim mannanase 200 ppm dan 300 ppm, menunjukan perbedaan yang sangat nyata Disini terjadi penurunan bobot badan akhir dan digambarkan dengan kurva linier.

Bobot badan akhir pada perlakuan R1, R2 dengan R3 menunjukan kurva linier maupun kuadratik yang berbeda sangat nyata (p<0.01). Kurva kuadratik dapat digunakan untuk menentukan titik optimum penggunaan enzim mannanase yang menghasilkan bobot badan akhir tertinggi. Pertambahan bobot badan antara R0 dengan perlakuan R3 menunjukan perbedaan sangat nyata (p<0.01). Perlakuan berbagai tingkat penggunaan enzim mannanase menunjukan perbedaan sangat nyata (p<0.01). Diantara perlakuan tingkat penambahan

233
Media SainS,Volume 3 Nomor 2, Oktober 2011

ISSN 2085-3548

enzim mannanase terendah dan tertinggi, ternyata kurva linier menunjukan hasil yang berbeda sangat nyata (p<0.01), namun kurva kuadratik menunjukan berbeda nyata (p<0.05). Demikian pula halnya dengan perbandingan antara perlakuan R1 maupun R3 menunjukan hasil yang berbeda sangat nyata (p<0.01). Dilihat dari komposisi ransum, kandungan polisakarida mannan pada perlakuan R3 adalah yang paling tinggi yakni 400 ppm. Semakin tinggi penggunaan BIS tanpa pengolahan, maka kandungan polisakarida mannannya akan semakin tinggi. Namun sampai batas penggunnan enzim mannanase 300 ppm yang efektif mampu mendegradasi polisakarida mannan yang ada pada bungkil inti sawit. Hal ini dipertegas

dengan pernyataan Tangendjaja dan Patttyusra (1993) yang menyatakan bahwa penggunaan 10% BIS dapat menyebabkan pertambahan bobot badan lebih rendah daripada kontrol. 2. Konsumsi dan konversi ransum Konsumsi ransum berkaitan erat dengan pertambahan bobot badan dan konversi ransum. Zat nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan diperoleh dari ransum yang dikonsumsi. Secara umum, semakin banyak ransum yang dikonsumsi maka pertumbuhan akan semakin baik. Menurut Wahju (1997), konsumsi ransum ayam broiler selama lima minggu sebesar 1.860,6 gram untuk jantan dan 1.460,2 gram betina.

Tabel 4. Rataan konsumsi (g) dan konversi ransum ayam pedaging selama 35 hari Perlakuan Konsumsi ransum (g) R0 2,634.24 126.22 R1 2,166.50 95.69 R2 2,614.38 57.22 R3 2,114.76 38.28 Signifikansi R0 VS R1&R2&R3 ** R1 VS R3 Linier tn Kuadratik ** Keterangan : ** berbeda sangat nyata (p< 0.01) * berbeda nyata (p<0.05) tn tidak berbeda nyata (p>0.05) Konversi ransum 1.693 0.103 1.574 0.152 1.729 0.059 1.686 0.099 tn tn tn

Berdasarkan data pada Tabel 4, terdapat perbedaan sangat nyata (p<0.01). antara R0 dengan semua perlakuan. Disini terlihat bahwa konsumsi ransum perlakuan R0 tertinggi, dan hanya perlakuan R2 yang mampu mendekati konsumsi ransum R0. Terdapat kesesuaian antara konsumsi ransum pada Tabel 4 dengan bobot badan akhir pada Tabel 3, dimana ayam pedaging perlakuan R0 yang mengkonsumsi ransum tertinggi diperoleh bobot badan tertinggi pula. Demikian pula halnya dengan perlakuan R3 yang mengkonsumsi ransum paling sedikit,

ternyata bobot badan akhirnyapun paling rendah. Menurut Soeharsono (1976); North dan Bell (1990) dan Anggorodi (1985) tingkat energi dalam ransum menunjukan banyaknya ransum yang dikonsumsi ayam. Selanjutnya Scott et al. (1982) mengemukakan bahwa jumlah makanan yang dikonsumsi berbanding terbalik dengan kandungan energi dalam ransum. Ayam yang mengkonsumsi lebih banyak belum tentu pertumbuhannya lebih baik, sebab hal ini dipengaruhi juga oleh

234
Media SainS,Volume 3 Nomor 2, Oktober 2011

ISSN 2085-3548

komposisi zat-zat makanan yang terkandung di dalam ransum (North dan Bell, 1990). Dilihat dari kandungan Folacin ternyata perlakuan R3 dan R6 masing-masing 0.454 mg dan 0.454 mg di bawah standar yang ditetapkan NRC (1994) yaitu 0.55 mg. Menurut Pilliang (2000), defisiensi folacin dapat menyebabkan pertumbuhan tidak baik, dan gangguan pada saluran pencernaan akibat konsumsi makanan yang tidak cukup, gangguan absorpsi zat-zat makanan dan gangguan metabolik lain. Perlakuan R3 dengan tingkatan penambahan enzim mannanase 400 ppm, menyebakan konsumsi yang sangat rendah. Hal ini karena sifat BIS yang memiliki tekstur kering dan gritty, sehingga menyulitkan ayam dalam membuang feses. Disisi lain keberadaan enzim mannanase 400 ppm belum mampu mendegradasi seluruh polisakarida yang ada dalam bungkil inti sawit yang ada sebanyak 20% dalam ransum. Hew dan Jalaludin (1996) hanya menyarankan penggunaan BIS dalam ransum ayam pedaging maksimum 15%. Selain itu menurut Cadogan et al. (1999) konsumsi pakan memiliki korelasi negatif dengan persentase kandungan polisakarida bukan pati dalam ransum. Semakin tinggi kandungan BIS dalam ransum maka kandungan NSP nya semakin tinggi, sehingga akan mengurangi konsumsi ransum. Dilihat nilai konversi ransumnya, perlakuan kontrol (R0) tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan (R1, R2 dan R3).

4. Mortalitas Hasil analisis ragam menunjukan bahwa perlakuan berbagai penambahan enzim mannanase tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas (p<0.05). Secara keseluruhan angka mortalitas semua perlakuan kurang dari 5%. Berdasarkan penelitian Lubis (1980) kematian ayam pedaging yang diberi BIS sebesar 8.3%, dan umumnya hal ini bukan disebabkan pengaruh pemberian BIS, akan tetapi terjepitnya ayam di sekat-sekat cages. Menurut North dan Bell (1990), pemeliharaan ayam pedaging dinyatakan berhasil jika angka kematian secara keseluruhan kurang dari 5%. Angka kematian minggu pertama selama periode pertumbuhan tidak boleh lebih dari 10%, kematian pada minggu selanjutnya harus relatif rendah sampai hari terakhir minggu tersebut dan terus dalam keadaan konstan sampai berakhirnya periode pertumbuhan. Berdasarkan hasil patologi anatomis dari Laboratorium Histopatologi FKH IPB, ayam yang mati memiliki tanda-tanda luar sebagai berikut : muka lebam berwarna kebiru-biruan. Adapun setelah dibedah memiliki tanda-tanda sebagai berikut : terdapat perbarahan pada kedua sisi kiri dan kanan organ caecum, serta terdapat material kasar dan terlihat seperti sekam yang lebih lembut pada kedua organ caecum. Berdasarkan tanda-tanda tersebut dapat disimpulkan bahwa kematian ayam tersebut bukan disebabkan penyakit tertentu, namun dikarenakan ayam memakan sekam dan ayam tidak dapat mencerna sekam. Hal ini terlihat dari sisa sekam yang tidak tercerna pada caecum yang terasa kasar dan menimbulkan luka pada caecum.

235
Media SainS,Volume 3 Nomor 2, Oktober 2011

ISSN 2085-3548

Tabel 5. Rataan mortalitas (%) ayam pedaging selama 35 hari


Perlakuan R0 R4 R5 R6 Signifikansi R0 VS R1&R2&R3 R1 VS R3 Linier Kuadratik Keterangan : ** berbeda sangat nyata (p< 0.01) * berbeda nyata (p<0.05) Mortalitas (%) 4.00 5.48 0.00 0.00 0.00 0.00 2.00 4.48 ** tn tn tn tidak berbeda nyata (p>0.05)

Berdasarkan hasil pathologis anatomis ternyata kematian pada ayam tidak disebabkan oleh ransum perlakuan, melainkan faktor manajemen semata. Bahkan ayam yang mati kebanyakan dari perlakuan kontrol (R0) yang dalam ransumnya sama sekali tidak mengandung BIS maupun BISF. Namun secara keseluruhan tingkat mortalitas masing masing perlakuan berada dibawah 5%. Hal ini menunjukan bahwa manajemen yang dilakukan pada penelitian ini yang meliputi pencegahan penyakit, vaksinasi, pemberian ransum dan air minum, pembrian vitamin dan anti stress, sanitasi kandang sudah cukup baik terbukti dengan tingkat mortalitas yang rendah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penambahan enzim mannanase dalam ransum berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap bobot badan akhir, Pertambahan bobot badan, konsumsi ransum ayam pedaging, namun mortalitas dan konversi ransum tidak dipengaruhi perlakuan (p>0.05). Kandungan enzim mannanase 300 ppm dalam ransum memberikan hasil performan ayam pedaging yang lebih baik dibanding perlakuan penambahan enzim mannanase yang lainnya.

Saran Penggunaan enzim Beta Mannanase dalam ransum ayam pedaging yang berbasis bungkil inti sawit akan efektif apabila diberikan dengan konsentrasi 300 ppm. DAFTAR PUSTAKA A.O.A.C. 1980. Methods of Analysis. 13th Ed. Association of Official Agricultural Chemist. Washington D.C. Chen, Y., J. Long , L. Liao , Y. Zhang , J. Yang . 2000. Study on the production of beta-mannanase by Bacillus M50. Wei Sheng Wu Xue Bao ; 40(1):62-8 Chong, C.H, R. Blair, I. Zulkifli and Z.A. Jelan. 1998. Physical and chemical characteristics of Malaysian palm kernel cake (PKC). Proc. 20th MSAP Conf. 27-28 July. Putrajaya, Malaysia Center for Food and Nutrition Policy (CFNP) Technical Advisory Panel (TAP) Review. 2002. Cell Wall Carbohidrat: Livestock. CFNP, Virginia Corrier, D.E, D.J. Nisbet, C.M. Scanlan, A.G Hollister, D.J. Caldwell, L.A Thomas, B.M. Hargis, T. Tomkins, and J.R. Deloach. 1995. Treatment of commercial broiler chickens with a

236
Media SainS,Volume 3 Nomor 2, Oktober 2011

ISSN 2085-3548

characterized culture of caecal bacteria to reduce Salmonella colonization. Poultry Sci. 74:10931101 Daud, M.J., M.C. Jarvis and A. Rasidah. 1993. Fibre of PKC and its potential as poultry feed. Proceeding. 16th MSAP Annual. Conference, Kuala Lumpur, Malaysia Daud, M.J., and M.C. Jarvis 1993. Effect of driselase on the nutritive value of PKC for poultry diets. Proceeding. 16th MSAP Annual. Conference, Kuala Lumpur, Malaysia ____________________________.1993a. Mannan of palm kernel. Phytochem. 31:463-464 Dawson, K.A. and A.E. Sefton. 2003. Methods and composition for control coccidiosis. US patent 2003 0091589 Decker, J.M. 2000. Introduction to Immunology. Blackwell Science Inc., Massachusetts Devegowda, G., B I R Aravind, and M.G. Morton. 1997. Immunosuppression in poultry caused by aflatoxin and its allevation by Saccharomyces cerevisiae (Yea Sacc, 1026) and Mannanoligosacharides. Proc. Alltech 11 th Annual Asia Pacific Lecture Tour. 121-132. Fernandez, F., M. Hinton, B. van Gils. 2002. Dietary mannan-oligosaccharides and their effect on chicken caecal microflora in relation to Salmonella

enteritidis colonization. Avian Pathology 31(1): 49-58. Gasperz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico, Bandung. Hagglund P., T. Eriksson, A. Collen, W. Nerinckx, M. Claeyssens, H. Stalbrand, 2003. Cellulose-binding module of the Trichoderma reesei beta-mannanase Man5A increases the mannan-hydrolysis of complex substrates. J Biotechnol 2003 Feb 27;101(1):37-48 Haschke, F., A.l. Carrie, Z. Kratky, H.L. Amster, F. Rochat. 2003. Carbohydrate formulation (prebiotic adjuvant) for enhancement of immune response. US patent 2003 0040492 Mislovicova, D., P. Gemeiner, J. Sandula, J. Masarova, A. Vikartovska, P. Docolomansky. 2000. Examination of bioaffinity immobilization by presipitation of mannan and mannancontaining enzymes with legume lectins. Biotechnol. Appl. Biochem. 31:153 159 Samonte, J.L. 2003. b-Mannosidase Activity in Germinating Coconuts. University Faculty Research Office De La Salle University-Dasmarinas Dasmarinas, Cavite Xu, B.V., P. Hgglund, , H. Stlbrand, and J.C. Janson, 2002. endo-beta-1,4Mannanases from blue mussel, Mytilus edulis: purification, characterization, and mode of action. J. Biotechnol. 92, 267-77.

237
Media SainS,Volume 3 Nomor 2, Oktober 2011

ISSN 2085-3548

Anda mungkin juga menyukai