SKRIPSI
i
RINGKASAN
Ayam Walik merupakan salah satu jenis ayam lokal langka yang terdapat di
Indonesia. Ciri khas ayam Walik yaitu bulu yang keriting. Informasi genetik ayam
Walik saat ini sangat terbatas. Informasi genetik diperlukan sebagai pedoman
melakukan pengembangan potensi dan upaya pelestarian ayam Walik di Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi karakteristik sifat kualitatif
dan kuantitatif ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor. Karakteristik
sifat kualitatif dan kuantitatif ayam Walik tersebut dibandingkan dengan ayam
Kampung.
Penelitian dilakukan di Sumedang pada tanggal 15 Juli hingga 7 Agustus
2009 dan Bogor pada tanggal 20 Januari hingga 9 Februari 2010. Ayam Walik yang
digunakan sebanyak 36 ekor (15 jantan, 21 betina) berasal dari Sumedang dan
sebanyak 42 ekor (16 jantan, 26 betina) berasal dari Bogor, sedangkan ayam
Kampung sebanyak 58 ekor (17 jantan, 41 betina) berasal dari Sumedang serta 56
ekor (23 jantan, 33 betina) berasal dari Bogor. Sifat kualitatif yang diamati yaitu
warna bulu, pola bulu, kerlip bulu, corak bulu, warna shank, warna mata dan warna
cuping. Sifat kuantitaif yang diamati yaitu bobot badan, panjang shank, panjang
tibia, panjang femur, panjang rentang sayap, panjang dada, panjang punggung, lebar
dada, lingkar dada dan lingkar tarsometatarsus.
Data sifat kualitatif dianalisis dengan cara menghitung proporsi dan
frekuensi gen, laju introgresi, dan tingkat keaslian gen. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ayam Walik yang terdapat di Sumedang maupun di Bogor
memiliki kesamaan karakteristik sifat kualitatif kecuali pada kerlip bulu. Kerlip bulu
ayam Walik di Sumedang adalah keemasan sedangkan kerlip ayam Walik di Bogor
keperakan. Ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan Bogor
sebagian besar dipengaruhi oleh ayam Barred Plymouth Rock. Tingkat keaslian ayam
Walik yang berada di Sumedang lebih tinggi (50%) dibandingkan ayam Kampung di
Sumedang (33%), ayam Walik (21%) dan ayam Kampung yang terdapat di Bogor
(39%).
Data sifat kuantitatif dianalisis dengan melakukan perbandingan rataan pada
setiap ukuran tubuh. Pengamatan karakteristik sifat kuantitatif menunjukkan bahwa
ukuran tubuh ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan
Bogor secara umum tidak berbeda. Bobot badan ayam Walik dan ayam Kampung
yang terdapat di Sumedang dan Bogor memiliki tingkat keragaman yang tinggi
sedangkan ukuran tubuh lainnya (panjang shank, panjang tibia, panjang femur,
panjang rentang sayap, panjang dada, panjang punggung, lebar dada, lingkar dada,
lingkar tarsometatarsus) memiliki tingkat keragaman yang rendah.
Kata-kata kunci: ayam Walik, sifat kualitatif, sifat kuantitatif
ii
ABSTRACT
iii
KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF
AYAM WALIK DI SUMEDANG DAN BOGOR
iv
Judul Skripsi : Karakteristik Sifat Kualitatif dan Kuantitatif Ayam Walik di
Sumedang dan Bogor
NIM : D14061739
Menyetujui,
Mengetahui:
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
v
RIWAYAT HIDUP
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbilalamin, puji syukur penulis ucapkan atas kehadiran
Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, kasih sayang dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Karakteristik Sifat Kualitatif
dan Kuantitatif Ayam Walik di Sumedang dan Bogor yang merupakan salah satu
syarat mendapatkan gelar Sarjana Peternakan.
Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Sumedang
pada bulan Juli-Agustus 2009 dan di Bogor pada bulan Januari-Februari 2010.
Penelitian dilakukan dengan pengamatan secara langsung terhadap karakteristik sifat
kualitatif dan kuantitatif pada ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor.
Penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ayam lokal khususnya ayam Walik yang merupakan salah satu ayam
lokal langka Indonesia. Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dalam
pengembangan ayam Walik di Indonesia.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru, dan
dapat memberi manfaat bagi pembaca. Semoga Allah SWT meridhoi karya ini.
Amin.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ....................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. iv
RIWAYAT HIDUP ............................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ ix
PENDAHULUAN ................................................................................ 1
Latar Belakang .......................................................................... 1
Tujuan ....................................................................................... 1
viii
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 24
Karakteristik Sifat Kualitatif Ayam Walik .............................. 24
Proporsi Sifat Kualitatif ................................................ 24
Frekuensi Gen Ayam Walik dan Ayam Kampung ........ 33
Laju Introgresi Gen Asing dan Kandungan Gen Asli
Pada Ayam Walik dan Ayam Kampung ....................... 35
Karakteristik Sifat Kuantitatif Ayam Walik dan Ayam Kampung 38
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Rata-rata Bobot Badan, Efisiensi Pakan, Berat Telur,
Produksi Telur Ayam Berbulu Normal dan Ayam Walik
dalam Tiga Generasi 5
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Ayam Walik (a) Jantan Cuckoo, (b) Jantan Hitam, dan
(c) Betina Putih .............................................................................. 4
2. Ayam Kampung Jantan (a) dan Betina (b) ..................................... 5
3. Variasi Warna Shank pada Ayam: (a) Shank Putih (b) Shank
Hijau dan Abu-abu (c) Shank Hitam (d) Shank Kuning ................ 16
4. Variasi Bentuk Jengger pada Ayam: (a) Tunggal, (b) Pea, dan
(c) Ros ........................................................................................... 17
5. Variasi Warna Cuping pada Ayam: (a) Merah, (b) Putih, dan
(c) Merah-Putih ............................................................................. 17
6. Variasi Warna Mata pada Ayam: (a) Oranye, (b) Cokelat, dan
(c) Kuning ..................................................................................... 17
7. Bagan Bagian-bagian Tubuh Ayam .............................................. 19
8. Warna Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Hitam,
(2) Hitam-cokelat, (3) Cokelat, (4) Hitam-putih ............................ 25
9. Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Hitam,
(2) Putih, (3) Hitam-Cokelat dan (4) Cokelat ................................ 25
10. Corak Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Polos
(Jantan), (2) Lurik (Jantan), (3) Polos (Betina) dan
(4) Lurik (Betina) .. 26
11. Corak Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) ) Polos
(jantan), (2) Lurik (Jantan), (3) Polos (Betina) dan
(4) Lurik (Betina) .. 26
12. Kerlip Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Perak
(Jantan), (2) Emas (Jantan), (3) Perak (Betina) dan
(4) Emas (Betina) .. 27
13. Kerlip Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Perak
(Jantan), (2) Emas (Jantan), (3) Perak (Betina) dan (4) Emas
(Betina) .. 27
14. Pola Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Liar
(2) Liar, (3) Hitam dan (4) Hitam . 28
15. Pola Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Hitam,
(2) Kolumbian, (3) dan (4) Liar .................................................... 28
16. Warna Shank Ayam Walik di Sumedang (a) dan di Bogor (b):
(1) Hitam, (2) Hijau, (3) Kuning dan (4) Putih ............................. 29
xi
17. Bentuk Jengger Ayam Walik yang Terdapat di Sumedang:
(1) Tunggal (Jantan), (2) Kapri (Jantan), (3) Tunggal (Betina)
dan (4) Kapri (Betina) 30
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam lokal di Indonesia secara turun temurun telah dipelihara oleh
masyarakat, umumnya yang terdapat di pedesaan baik sebagai hewan piaraan,
penghias halaman, hewan aduan, keperluan ritual maupun tabungan keluarga. Ayam
Walik merupakan salah satu jenis ayam lokal langka yang terdapat di Indonesia.
Ayam Walik di daerah Jawa Barat dikenal dengan ayam Rintit.
Ciri khas yang dimiliki ayam Walik yaitu mempunyai penampilan bulu yang
keriting (terbalik) kearah depan atau belakang, sehingga permukaan kulit tubuhnya
terlihat jelas (Sartika dan Sofjan, 2007). Keunggulan yang dimiliki ayam Walik
dinyatakan dalam Somes (1990) bahwa ayam Walik memiliki metabolisme basal
cepat, produksi kelenjar hormon tiroid dan adrenal yang tinggi, meningkatkan asupan
makanan, konsumsi oksigen, detak jantung, dan peningkatan volume sirkulasi darah.
Bulunya yang terbalik arah tumbuhnya, memberikan keuntungan dengan semakin
mudahnya ayam Walik untuk meregulasikan suhu tubuh pada suhu lingkungan yang
panas sehingga ayam Walik tetap nyaman dalam suhu yang tinggi. Disisi lain, ayam
Kampung merupakan ayam yang paling banyak ditemukan dan menyebar di seluruh
Indonesia. Ayam ini banyak dipelihara dan sangat disukai karena dapat dimanfaatkan
sebagai ayam petelur sekaligus ayam pedaging.
Informasi genetik ayam Walik saat ini sangat terbatas. Belum terkenalnya
ayam Walik di masyarakat dan populasi yang terbatas hanya ada di daerah tertentu
saja menjadikan ayam Walik salah satu jenis ayam lokal langka yang perlu
dieksplorasi. Informasi genetik sangat diperlukan sebagai acuan untuk melakukan
peningkatan mutu genetik ayam Walik dan membantu dalam proses pelestarian
untuk pemanfaatannya yang berkelanjutan. Peningkatan produktivitas tidak hanya
dengan perbaikan manajemen pemeliharaan, tetapi perlu dilakukan peningkatan mutu
genetik dengan mempertahankan sifat-sifat khas ternak tersebut.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai
karakteristik sifat kualitatif yang terdiri dari proporsi fenotipe, frekuensi gen dan
laju introgresi pada ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang
1
dan Bogor. Selain itu juga untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik
sifat kuantitatif (ukuran tubuh: panjang shank, panjang tibia, panjang femur,
panjang rentang sayap, panjang dada, panjang punggung, lebar dada, lingkar
tarsometatarsus, lingkar dada) ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor
yang dibandingkan dengan ayam Kampung.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Walik
Ayam Walik merupakan ayam asli Asia yang dibagi menjadi dua jenis yaitu
large fowl dan Bantam (Roberts, 2008). Menurut Crawford (1990) ayam Walik
termasuk ke dalam breed Bantam yang memiliki kaki yang berbulu. Ayam Walik
atau ayam Rintit merupakan ayam lokal yang mempunyai bulu keriting (terbalik) ke
arah depan atau belakang, sehingga permukaan kulit tubuhnya terlihat jelas. Ayam
jenis ini banyak ditemui di daerah kabupaten Bogor dan Sukabumi. Bentuk dan
perawakan tubuh hampir sama dengan ayam Kampung. Warna bulunya beraneka
ragam, hitam, coklat, coklat kemerahan, coklat kekuningan, putih, blorok bintik-
bintik merah dan hitam atau putih dan hitam dan kombinasi warna lainnya. Kulit
badan, sisik kaki dan paruh berwarna putih kuning atau kehitaman/kelabu tua.
Jengger berbentuk tunggal atau pea, bergerigi berwarna merah (Sartika dan Sofjan,
2007). Roberts (2008) menyatakan bahwa ayam Walik jantan dan betina memiliki
bulu berwarna hitam, biru, putih, kolumbian seperti Wyandotte, hitam-merah, coklat-
merah, bulu kapas, kerlip emas dan merah seperti Rhode Island Red. Ayam Walik
memiliki mata merah serta jengger, muka, cuping dan pial berwarna merah terang
dan warna kaki mengikuti warna paruhnya.
Ukuran ayam Walik berbeda-beda, bobot badan dewasa berkisar 1-3 kg.
Ayam Walik dewasa cukup tahan terhadap perubahan cuaca, tetapi ayam Walik
anakan kurang tahan terhadap dingin dan udara lembab, sehingga membutuhkan
perawatan yang cukup baik (Rukmana, 2003). Menurut Sidadolog et al. (1995) ayam
Walik memiliki efisiensi pakan yang baik, bobot badan, berat telur, produksi telur
yang tinggi.
4
Tabel 1. Rata-rata Bobot Badan, Efisiensi Pakan, Berat Telur, Produksi Telur Ayam
Berbulu Normal dan Ayam Walik dalam Tiga Generasi
F1 F2 F3 F1 F2 F3
Bobot badan(g):
DOC 30,12 30,08 30,43 29,36 29,40 30,32
6 minggu 199,31 199,94 202,36 198,25 201,35 213,04
12 minggu 538,45 585,80 587,23 593,25 608,35 612,34
20 minggu 1210,35 1217,80 1325,24 1219,30 1277,43 1345,64
Dewasa kelamin 1321,83 1352,16 1370,12 1329,30 1354,24 1425,62
Efisiensi Pakan:
0-12 minggu (%) 22,67 22,93 23,12 22,53 22,98 23,43
0-DK (%) 15,30 16,05 18,23 16,20 16,40 17,53
Masa Produksi 13,90 15,56 - 15,33 15,40 -
Berat Telur (g) 42,92 43,25 43,64 42,79 43,35 44,42
Intensitas Produksi (%) 35,25 40,00 43,69 35,80 36,10 39,82
Sumber: Sidadolog et al. (1996)
Ayam Kampung
Ayam Buras atau ayam Kampung popular di Indonesia karena
pemeliharaannya tidak membutuhkan persyaratan yang berat, mempunyai daya tahan
terhadap penyakit yang cukup baik, serta telah beradaptasi dengan lingkungannya
(Soedirdjoatmojo, 1984). Ayam Kampung banyak dipelihara secara tradisional atau
ekstensif di pekarangan atau dibiarkan bebas (Nataamijaya, 2000) dan mudah
ditemukan di desa-desa hampir di seluruh wilayah Indonesia (Sulandari et al., 2007).
Menurut Mansjoer (1985), ayam Kampung mempunyai jarak genetis yang lebih
dekat dengan ayam Hutan Merah Sumatera (Gallus gallus gallus) serta ayam Hutan
Merah Jawa (Gallus gallus javanicus).
(a) (b)
Gambar 2. Ayam Kampung Jantan (a) dan Betina (b) (Sulandari et al. 2007)
5
Tabel 2. Performa Produksi Ayam Kampung dengan Tiga Sistem Pemeliharaan yang
Berbeda (Ekstensif, Semi Intensif dan Intensif)
Sistem Pemeliharaan
Semi
Ekstensif Intensif
Intensif
Produksi Telur (butir/induk/tahun) 47 59 146
Produksi Telur (%) 13 29 40
Daya Tetas (%) 74 79 84
Bobot Telur (g/butir) 39-48 39-48 39-43
Konsumsi Pakan (g/ekor/hari) <60 60-68 80-100
Konversi Pakan >10 8-10 4,9-6,4
Sumber : Diwyanto et al. (1996)
Tabel 3. Ukuran Tubuh Ayam Kampung (mm) dan Koefisien Keragaman Ukuran
Tubuh (%)
Variabel Ukuran Tubuh Ayam Kampung (n=125)
Jantan (n=28) Betina (n=97)
Panjang femur 102,29 6,45 (6,31) 83,48 3,79 (4,54)
Panjang tibia 152,95 10,24 (6,69) 123,14 5,92 (4,81)
Panjang shank 110,04 9,11 (8,28) 85,81 4,52 (5,27)
Lingkar shank 53,29 7,44 (13,96) 39,64 3,02 (7,62)
Panjang sayap 234,79 15,10 (6,43) 192,14 11,61 (6,04)
Tinggi jengger 49,45 19,40(39,23) 16,84 10,09 (59,92)
Sumber: Nugraha (2007)
Sifat Kualitatif
Sifat kualitatif merupakan sifat yang dikontrol oleh beberapa gen yang
memiliki perbedaan yang jelas antar fenotipnya, biasanya bersifat tidak aditif dan
variasinya tidak kontinyu (Noor, 2008). Menurut Warwick et al. (1995), sifat
kualitatif adalah suatu sifat yang dapat mengklasifikasikan individu-individu ke
dalam satu dari dua kelompok atau lebih dan pengelompokan itu berbeda jelas satu
sama lain. Sifat kualitatif sering dipertimbangkan dalam program pemuliaan karena
secara tidak langsung sifat ini berpengaruh terhadap sifat produksi. Warwick et al.
(1995) menambahkan bahwa sifat kualitatif dikendalikan oleh satu atau beberapa gen
dan sedikit atau tidak sama sekali dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga variasi
genetik juga menunjukkan variasi sifat kualitatif. Karakteristik genetik eksternal
dapat netral, bermanfaat atau merugikan, tergantung pada lingkungan ternak itu
dipelihara. Beberapa sifat kualitatif yang penting yang merupakan ciri khas yang
dipakai sebagai patokan untuk penentuan suatu bangsa ayam diantaranya adalah
6
warna bulu, warna kerabang, warna cakar (shank) dan bentuk jengger yang tidak
dipengaruhi oleh lingkungan (Mansjoer, 1985).
8
pada ayam bangsa Amerika dan bangsa-bangsa yang lain, adalah karena adanya
lemak atau pigmen lipokrom (lypocrome) pada lapisan epidermis dan pigmen hitam
atau melanin tidak terdapat pada epidermis dan dermis. Shank yang berwarna hitam
disebabkan oleh adanya pigmen melanin pada epidermis. Shank warna putih, pada
beberapa ayam bangsa Inggris muncul karena tidak adanya kedua pigmen pada
epidermis maupun pada dermis. Shank (cerah dan gelap) pada bangsa ayam kulit
putih didapatkan karena adanya pigmen melanin pada dermis, tetapi keduanya
(melanin dan lipokrom) tidak terdapat pada epidermis. Adanya pigmen lipokrom
pada epidermis dan pigmen melanin pada dermis menyebabkan shank warna hijau
(Jull, 1951).
Pada ayam betina yang mempunyai shank kuning, dapat diperkirakan tingkat
produksi telur yang dihasilkan dengan melihat perubahan warna pada shank. Pigmen
lipokrom yang terdapat pada shank sama dengan pigmen kuning yang terdapat pada
telur, sehingga warna shank dapat dijadikan indikasi tingkat produksi telur seekor
ayam. Faktor tersebut (warna kuning pada shank) bisa juga digunakan dalam proses
pengafkiran ayam petelur (Jull, 1951). Adanya corak lurik (gen B) pada ayam akan
dapat mengurangi jumlah pigmen melanin pada shank (Hutt, 1949).
9
Sifat Kuantitatif
Sifat kuantitatif merupakan sifat yang dikontrol oleh banyak gen yang
perbedaan antar fenotipenya tidak begitu jelas, bersifat aditif dan variasi kontinyu.
Biasanya hubungan antar alel yang paling umum adalah kodominan atau dominan
tidak penuh (Noor, 2008). Menurut Mansjoer (1985), sifat-sifat kuantitatif yang
penting adalah yang ada hubungannya dengan produksi, misalnya bobot badan,
bobot tetas, produksi telur dan umur bertelur pertama. Sifat-sifat kuantitatif selain
dipengaruhi oleh genotipenya juga dipengaruhi oleh lingkungan, serta interaksi
antara genotipe dan lingkungan. Beberapa sifat kuantitatif yang bernilai ekonomis
adalah bobot badan, panjang paha (femur), panjang betis (tibia), panjang cakar
(shank, tarsometatarsus) dan lingkar cakar. Sifat-sifat tersebut dapat dijadikan
parameter pertumbuhan. Beberapa sifat yang berhubungan dengan produktivitas
unggas diantaranya:
1. Panjang shank dan panjang betis, dapat dijadikan penduga untuk mengukur
pertumbuhan, sebab bentuk tulang yang besar menunjukkan pertumbuhan yang
cepat.
2. Panjang paha dan panjang dada merupakan tempat perletakkan daging, sehingga
perkembangan tulang paha, tulang dada dan tulang betis ini akan menunjukkan
produksi daging.
3. Lingkar tarsometatarsus merupakan keliling dari shank, dapat dijadikan dasar
untuk mengetahui bentuk kerampingan shank. Bentuk dari kaki (panjang shank,
lingkar tarsometatarsus) menunjukkan kemampuan dari kaki untuk dapat
menunjang bobot badan, sedangkan kemampuan ayam untuk memproduksi
daging dapat ditunjukkan oleh bobot badan. Berdasarkan hal ini lingkar
tarsometatarsus dapat dijadikan suatu petunjuk untuk mengetahui kemampuan
memproduksi daging.
4. Bobot badan, dengan semakin besarnya bobot badan, maka produksi daging
akan semakin bertambah, sehingga ini bisa dijadikan suatu kriteria dalam
pengukuran produksi daging yang dihasilkan oleh ayam.
10
Karakteristik Ayam Ras Unggul Asing
Ayam Rhode Island Red mempunyai ciri-ciri warna bulunya merah, bentuk
jengger tunggal, warna cuping merah, warna kulit kuning dan warna shank kuning
(Ensminger, 1992). Ayam Rhode Island Red mempunyai bulu berwarna merah
kecoklatan dengan warna hitam pada leher, sayap, dan ekor. Ukuran tubuhnya
sedang (bobot dewasa) jantan 3,54 kg dan betina 2,53 kg (Sudaryani dan Santosa,
1994).
Ensminger (1992) menyatakan bahwa White Leghorn mempunyai ciri-ciri
warna bulu putih, bentuk jengger tunggal dan ros, warna cuping putih, warna kulit
kuning dan warna shank kuning. Ayam Leghorn mempunyai varietas bulu putih dan
varietas bulu kelabu, sifatnya lincah, cepat dewasa, dan jarang mengeram, bentuk
tubuh kecil langsing dan tegap (jantan 2,75 kg dan betina 1,25 kg). Jengger dan pial
berwarna merah, telur warna putih (Sudaryani dan Santosa, 1994).
Ayam Plymouth Rock mempunyai ciri-ciri ukuran tubuh sedang dan agak
bulat terdiri dari varietas bulu putih, coklat dan keemasan, jengger dan pial berwarna
merah, bentuk jengger sebilah (tunggal) dan tegak, telur berwarna coklat (Sudaryani
dan Santosa, 1994).
Frekuensi Gen, Introgresi Gen Asing dan Keaslian Gen Ayam Lokal Indonesia
Frekuensi gen adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan proporsi
dari semua lokus untuk pasangan gen atau rangkaian alel ganda dalam suatu
populasi, yang diduduki oleh satu gen tertentu (Warwick et al., 1990). Frekuensi
genotipe itu semata-mata ditentukan oleh frekuensi gen dan karena itu frekuensi
genotipe secara kebetulan tetap konstan dari generasi ke generasi (Minkema, 1993).
Seleksi akan meningkatkan frekuensi gen yang diinginkan dan menurunkan frekuensi
gen yang tidak diinginkan. Menurut Noor (2008) seleksi diartikan sebagai suatu
tindakan untuk membiarkan ternak-ternak tertentu bereproduksi sedangkan ternak
lainnya tidak diberi kesempatan bereproduksi. Seleksi terdiri dari dua jenis yaitu
seleksi alam dan seleksi buatan. Seleksi alam adalah kekuatan alam yang
menentukan ternak mana yang boleh bereproduksi sedangkan seleksi buatan adalah
manusia yang menentukan ternak mana yang boleh bereproduksi.
11
Menurut Mansjoer (1985) kemurnian ayam Kampung dapat ditentukan
dengan melihat ciri-ciri kualitatif tubuh dari ayam Kampung yang dianggap masih
lokal asli umumnya tampak pada keragaman pola bulu, warna bulu dan sifat
kegenetikaan lainnya. Ayam lokal Indonesia masih mengandung 50% gen asli
apabila dilihat dari pola bulu liar, warna bulu emas, warna cakar hitam dan bentuk
jengger kapri (ii e+e+ ss idid PP), 50% gen berasal dari bangsa-bangsa ayam White
Leghorn, Plymouth Rock dan Rhode Island Red dari Eropa dan Amerika dengan
campuran terbanyak berasal dari bangsa Rhode Island Red yang ditunjukkan oleh
besarnya nilai frekuensi gen untuk warna bulu kolumbian (e) (Nishida et al., 1980).
Nishida et al. (1980) melaporkan bahwa ayam yang terdapat di Indonesia
terutama berasal dari Rhode Island Red, White Leghorn dan Plymouth Rock. Ayam
lokal Indonesia mempunyai konstitusi gen pengontrol karakteristik genetik eksternal
yang berasal dari ketiga bangsa ayam tersebut. Gen pengontrol karakteristik genetik
eksternal pada Rhode Island Red, White Leghorn dan Plymouth Rock adalah ii ee ss
bb IdId pp (warna bulu berwarna, pola bulu kolumbian, kerlip bulu emas, corak bulu
polos, shank putih/kuning, jengger tunggal), II EE SS BB IdId pp (warna bulu putih,
pola bulu hitam, kerlip bulu perak, corak bulu lurik, shank putih/kuning, jengger
tunggal) dan II EE SS BB IdId pp (warna bulu putih, pola bulu hitam, kerlip bulu
perak, corak bulu lurik, shank putih/kuning, jengger tunggal). Berdasarkan
pengamatan Nishida et al. (1980) konstitusi gen pengontrol karakteristik genetik
eksternal pada ayam Kampung adalah ii e+e+ ss idid PP (warna bulu berwarna, pola
bulu liar, kerlip bulu emas, shank hitam/hijau, jengger kapri).
Mansjoer (1985) menyatakan bahwa ayam-ayam yang telah masuk Indonesia
antara lain Australop, New Hampshire, White Cornish, Rhode Island Red, White
Leghorn dan Barred Plymouth Rock. Kehadiran bangsa ayam-ayam tersebut diduga
telah mencemari keaslian ayam Kampung. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya
sifat kualitatif ayam-ayam import tersebut pada ayam Kampung yang ada sekarang
ini. Nishida et al. (1980) menyatakan bahwa ditemukannya gen I dan B pada ayam
Kampung menunjukkan adanya introgresi ayam ras unggul asing.
12
Keragaman Fenotipe Ayam
Keragaman fenotipe merupakan keragaman yang disebabkan oleh adanya
keragaman genetik (VG), keragaman lingkungan (VE) serta keragaman yang timbul
akibat interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan (VGXE). Keragaman
genetik bisa disebabkan oleh gen-gen aditif (VA) dan juga oleh gen yang tidak aditif
(Vn). Aksi gen yang tidak aditif ini bisa disebabkan oleh aksi gen dominan (VD) dan
aksi gen epitasis (VI). Jadi secara lengkap keragaman fenotipe dipengaruhi oleh
keragaman aditif, keragaman gen dominan, keragaman interaksi genetik dan
lingkungan, keragaman lingkungan dan keragaman gen epistasis. Keragaman
lingkungan (VE) dapat disebabkan oleh faktor iklim, cuaca, makanan, penyakit, dan
sistem manajemen (Noor, 2008). Menurut Mansjoer (1985) keragaman fenotipik
pada suatu sifat pada suatu kelompok ternak merupakan petunjuk keragaman
genotipe ternak serta merupakan ekpresi adanya interaksi antara genotipik dan
lingkungan dalam kelompok ternak tersebut. Mansjoer et al. (1989) menekankan
bahwa keragaman sifat kualitatif dapat dijadikan gambaran keragaman genetik.
Menurut Warwick et al. (1990) perbandingan keragaman sifat akan mudah
dilakukan bila simpangan baku dinyatakan sebagai persentase dari rata-rata.
Simpangan baku yang dinyatakan sebagai persentase dari rata-rata disebut koefisien
keragaman (coefficient of variation). Sifat-sifat tertentu untuk suatu bangsa ternak
mempunyai koefisien keragaman khusus, sehingga pengetahuan tentang hal ini
sangat berharga untuk merencanakan atau mengevaluasi percobaan.
13
METODE PENELITIAN
Materi
Ternak
Ternak yang digunakan yaitu ayam Walik jantan dan betina sebanyak 78
ekor. Ayam Walik sebanyak 36 ekor (15 jantan, 21 betina) berasal dari Sumedang
dan sebanyak 42 ekor (16 jantan, 26 betina) berasal dari Bogor. Selain ayam Walik
digunakan pula ayam Kampung sebagai pembanding sebanyak 58 ekor (17 jantan,
41 betina) berasal dari Sumedang serta 56 ekor (23 jantan, 33 betina) berasal dari
Bogor.
Alat
Alat yang digunakan adalah jangka sorong merek Triple brand 0-150 mm
dengan ketelitian 0,02 mm, timbangan merek Kondo kapasitas 10 kg dengan
ketelitian 50 g, pita ukur merek Butterfly dengan ketelitian 1 mm, alat tulis, tabel
pengamatan dan kamera digital merek Kodak 7,3 pixel.
Prosedur
Penentuan Lokasi
Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive method) berdasarkan
hasil survei awal yang menunjukkan bahwa ayam Walik masih terdapat di daerah
Sumedang dan Bogor meskipun dengan jumlah yang terbatas. Penentuan desa pada
kedua daerah tersebut berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar mengenai desa-
desa yang masih terdapat ayam Walik.
Pengumpulan Data
Ayam Walik dan ayam Kampung yang digunakan diperoleh dari peternak
rakyat yang terdapat di daerah Sumedang dan daerah Bogor secara acak.
Pengambilan data dilakukan dengan cara memotret bagian tubuh (kepala, punggung,
secara keseluruhan) ayam Walik dan ayam Kampung untuk data kualitatif,
sedangkan untuk data kuantitatif dilakukan pengukuran langsung terhadap bagian-
bagian tubuh ayam Walik dan ayam Kampung. Ayam Walik dan ayam Kampung
dibedakan menjadi jantan dan betina serta dipisahkan menjadi tahap pertumbuhan
(grower) yang berumur 6-12 minggu dan tahap akhir (finisher) berumur lebih dari 12
minggu (Deptan, 2006).
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3. Variasi Warna Shank pada Ayam: (a) Shank Putih (b) Shank
Hijau dan Abu-abu (c) Shank Hitam (d) Shank Kuning (FAO,
1986)
6. Bentuk Jengger. Bentuk jengger dibedakan menjadi bentuk jengger kapri dan
tunggal. Bentuk jengger kapri ditentukan apabila ditemukan bentuk jengger
berpilah tiga pada ayam, sedangkan bentuk jengger tunggal ditentukan apabila
ditemukan bentuk jengger berpilah satu atau tunggal pada ayam (Gambar 4).
16
(a) (b) (c)
Gambar 4. Variasi Bentuk Jengger pada Ayam: (a) Tunggal, (b) Pea, dan (c) Ros
(FAO, 1986)
7. Warna Cuping. Warna cuping dibedakan menjadi merah, putih dan perpaduan
antara merah dan putih dengan warna dominan merah (Gambar 5).
17
Sifat kuantitatif
Beberapa sifat kuantitatif yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bobot badan diperoleh dengan penimbangan menggunakan timbangan dalam
satuan kg.
2. Panjang shank diperoleh dengan mengukur panjang tulang tarsometatarsus
(shank) menggunakan jangka sorong (cm).
3. Panjang tibia diperoleh dengan mengukur panjang tulang tibia dari patella
sampai ujung tibia menggunakan jangka sorong (cm).
4. Panjang femur diperoleh dengan mengukur panjang tulang femur, menggunakan
jangka sorong (cm).
5. Panjang rentang sayap diperoleh dengan mengukur panjang tulang humerus,
radius ulna dan metacarpus sampai phalanges menggunakan jangka sorong
(cm).
6. Panjang dada diperoleh dengan mengukur ujung tulang dada bagian depan
sampai ujung bagian belakang dengan menggunakan jangka sorong (cm).
7. Panjang punggung diperoleh dengan mengukur panjang tulang dari perbatasan
tulang punggung dengan tulang leher sampai ujung tulang ekor dengan
menggunakan jangka sorong (cm).
8. Lebar dada diperoleh dengan mengukur jarak belakang tulang sendi diantara
sayap punggung kanan dan kiri dengan menggunakan pita ukur (cm).
9. Lingkar tarsometatarsus diperoleh dengan mengukur lingkar tulang shank
dengan menggunakan pita ukur (cm).
10. Lingkar dada diperoleh dengan mengukur lingkar dada menggunakan pita ukur
(cm).
Bagan bagian-bagian tubuh ayam yang diamati ditunjukkan pada Gambar 7.
18
Keterangan: X2 = panjang tarsometatarsus; X3 = panjang tibia; X4 = panjang femur; X8 = panjang
punggung; X9 = panjang sayap; X10 = lingkar dada; X11 = lingkar tarsometatarsus; a =
panjang humerus; b = panjang radius dan ulna; c = panjang metacarpus
Analisis Data
Sifat Kualitatif
19
Perhitungan frekuensi gen warna bulu, pola bulu, corak bulu, kerlip bulu,
warna shank, bentuk jengger, laju introgresi gen asing dan tingkat keaslian gen
mengacu pada rumus Nishida et al. (1980) dan Stanfield (1982) sebagai berikut:
1. Frekuensi Gen Dominan dan Resesif Autosomal
Frekuensi gen dominan untuk sifat warna bulu dan bentuk jengger, yang
merupakan gen-gen autosomal dihitung dengan menggunakan rumus (Nishida et
al., 1980):
Keterangan :
q = frekuensi gen dominan autosomal
R = jumlah individu dengan ekspresi resesif
N = jumlah total individu
2N N
q = q + q
2N+N 2N+N
N-R
q=
N
Keterangan :
q = frekuensi gen dominan pada jantan
N = jumlah total individu jantan
q = frekuensi gen dominan pada betina
R = jumlah individu betina ekspresi resesif
N = jumlah total individu betina
20
3. Frekuensi Gen Alel Ganda
Frekuensi gen untuk pola warna bulu yang merupakan alel ganda dihitung
dengan menggunakan rumus Stanfield (1982) sebagai berikut:
p =1qr
Keterangan :
p = frekuensi gen E
q = frekuensi gen e+
r = frekuensi gen e
Keterangan:
QWL : nilai introgresi gen ayam White Leghorn
QSR : nilai introgresi gen ayam Single Rhode Island Red
QBR : nilai introgresi gen ayam Barred Plymouth Rock
qI : frekuensi gen warna putih
qB : frekuensi gen corak bulu lurik
qId : frekuensi gen warna shank kuning/putih
21
5. Tingkat Keaslian Gen
Tingkat keaslian gen pada ayam Walik dapat diketahui dengan rumus sebagai
berikut:
Keterangan:
QWL : nilai introgresi gen ayam White Leghorn
QSR : nilai introgresi gen ayam Single Rhode Island Red
QBR : nilai introgresi gen ayam Barred Plymouth Rock
Sifat Kuantitatif
Data sifat kuantitatif dianalisis secara deskriptif yang terdiri dari nilai rataan,
simpangan baku dan koefisien keragaman dari bobot badan, panjang shank, panjang
tibia, panjang femur, panjang rentang sayap, panjang dada, panjang punggung, lebar
dada, lingkar tarsometatarsus dan lingkar dada dengan rumus (Steel dan Torrie,
1995):
Perbandingan ukuran tubuh antara ayam Walik dan ayam Kampung yang
terdapat di Sumedang dan Bogor dilakukan dengan menggunakan uji-t dengan rumus
sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1995):
Keterangan:
= rataan ukuran tubuh tertentu ayam Walik
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan Tabel 4, ayam Walik yang terdapat di Sumedang baik jantan dan
betina memiliki fenotipe warna bulu yang berwarna (100%). Warna bulu ini beragam
yaitu hitam, cokelat-hitam, cokelat dan hitam-putih (Gambar 8). Ayam Walik yang
terdapat di Bogor baik jantan maupun betina lebih banyak memiliki fenotipe warna
bulu yang berwarna (98%). Warna bulu beragam yaitu hitam, putih, coklat dan
hitam-cokelat (Gambar 9). Warna bulu ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan
Bogor menunjukkan kesamaan dengan pernyataan Sartika dan Sofjan (2007) bahwa
ayam Walik memiliki warna yang beraneka ragam (hitam, coklat, coklat kemerahan,
coklat kekuningan, putih, blorok bintik merah dan hitam atau putih dan hitam).
Warna bulu yang beragam pada ayam Walik dipengaruhi oleh kerja gen i yang
memicu produksi pigmen melanin. Pigmen melanin terbagi menjadi dua tipe yaitu
eumelanin dan pheomelanin. Eumelanin yang membentuk warna hitam dan biru pada
bulu, dan pheomelanin yang membentuk warna merah-cokelat, salmon, dan kuning
tua (Brumbaugh dan Moore, 1968).
Gambar 8. Warna Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Hitam, (2)
Hitam-cokelat, (3) Cokelat, (4) Hitam-putih
Gambar 9. Warna Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Hitam, (2) Putih,
(3) Hitam-Cokelat dan (4) Cokelat
25
Berdasarkan Tabel 4, Ayam Walik jantan yang terdapat di Sumedang lebih
banyak memiliki corak bulu lurik (67%), sedangkan ayam Walik betina lebih banyak
memiliki corak bulu polos (52%) (Gambar 10). Ayam Walik yang terdapat di Bogor
lebih banyak memiliki corak bulu lurik baik jantan (75%) maupun betina (54%)
(Gambar 11). Corak bulu lurik muncul akibat distribusi melanin pada bulu sekunder
terhambat sehingga timbul hitam bergaris-garis putih pada bulu. Sifat corak lurik
merupakan sifat terpaut kelamin, pada betina ditemukan dalam kondisi hemizigot
(ZBW) sedangkan pada jantan dalam kondisi berpasangan (ZBZB atau ZBZb) (Hutt,
1949).
Gambar 10. Corak Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Polos (Jantan),
(2) Lurik (Jantan), (3) Polos (Betina), dan (4) Lurik (Betina)
Gambar 11. Corak Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Polos (Jantan), (2)
Lurik (Jantan), (3) Polos (Betina) dan (4) Lurik (Betina)
26
Kerlip bulu ayam Walik jantan dan betina yang terdapat di Sumedang
masing-masing adalah kerlip bulu keperakan (80%) dan keemasan (76%) (Tabel 4;
Gambar 12). Ayam Walik yang terdapat di Bogor lebih banyak memiliki kerlip bulu
keperakan baik jantan (75%) maupun betina (58%) (Tabel 4; Gambar 13). Kerlip
bulu keperakan (ZS) bersifat dominan terhadap keemasan (Zs). Seperti halnya corak
bulu, kerlip bulu adalah sifat terpaut kelamin (sex linked) sehingga pada jantan
ditemukan dalam kondisi homozigot atau heterozigot, sedangkan pada betina dalam
kondisi hemizigot (Hutt, 1949). Kerlip bulu kurang terlihat pada ayam yang memiliki
bulu dengan kombinasi warna yang keragamannya sangat kompleks (Suprijatna et
al., 2005).
Gambar 12. Kerlip Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Perak (Jantan),
(2) Emas (Jantan), (3) Perak (Betina) dan (4) Emas (Betina)
Gambar 13. Kerlip Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Perak (Jantan), (2)
Emas (Jantan), (3) Perak (Betina) dan (4) Emas (Betina)
27
Ayam Walik jantan dan betina yang terdapat di Sumedang memiliki
karakteristik fenotipe pola bulu liar, kolumbian dan hitam, dimana pola bulu liar
lebih banyak ditemukan pada ayam Walik (67%; 38%) dibandingkan dengan
kolumbian (0%; 24%) dan hitam (33%; 38%) (Tabel 4; Gambar 14). Ayam Walik
yang terdapat di Bogor baik jantan dan betina juga lebih banyak memiliki
karakteristik fenotipe pola bulu liar (56%; 48%) dibandingkan kolumbian (19%;
12%) dan hitam (25%; 40%) (Tabel 4; Gambar 15). Pola warna liar dipengaruhi oleh
faktor pendistribusian eumelanin. Gen warna liar (e+) dicirikan dengan adanya garis-
garis hitam memanjang di punggung yang mempunyai sifat resesif terhadap warna
hitam polos dan sifat dominan terhadap kolumbian (gen e) (Somes, 1988).
Gambar 14. Pola Bulu Ayam Walik yang terdapat di Sumedang: (1) Liar, (2) Liar,
(3) dan (4) Hitam
Gambar 15. Pola Bulu Ayam Walik yang terdapat di Bogor: (1) Hitam, (2)
Kolumbian, (3) dan (4) Liar
28
Ayam Walik jantan yang terdapat di Sumedang lebih banyak memiliki shank
berwarna hitam/hijau (53%) dibandingkan putih/kuning (47%), sedangkan ayam
Walik betina lebih banyak memiliki shank berwarna putih/kuning (76%)
dibandingkan hitam/hijau (24%) (Tabel 4). Warna shank hitam pada ayam Walik
jantan yang berada di Sumedang dipengaruhi oleh pigmen melanin yang terdapat
pada epidermis, sementara warna shank hijau dipengaruhi oleh pigmen lipokrom
yang terdapat pada epidermis dan pigmen melanin pada dermis (Jull, 1951). Ayam
Walik yang terdapat di Bogor lebih banyak memiliki shank putih/kuning
dibandingkan hitam/hijau baik jantan(81%; 19%) maupun betina (77%; 23%). Warna
shank ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan di Bogor disajikan pada Gambar
16.
Warna shank yang dimiliki ayam Walik betina di Sumedang dan ayam Walik
yang terdapat di Bogor jantan dan betina memiliki kesamaan dengan pernyataan
Sartika dan Sofjan (2007) bahwa ayam Walik memiliki sisik kaki berwarna putih
kuning. Warna kuning pada shank, pada ayam bangsa Amerika dan bangsa-bangsa
yang lain, adalah karena adanya lemak atau pigmen lipokrom (lypocrome) pada
lapisan epidermis dan pigmen hitam atau melanin tidak terdapat pada epidermis dan
dermis. Shank yang berwarna kuning juga dapat dipengaruhi oleh pemberian pakan
yang mengandung karotenoid dan xanthofil seperti jagung kuning. Suprijatna et al.
(2005) menyatakan bahwa warna kuning shank disebabkan oleh pigmen karotenoid
dari pakan. Xantofil pada jagung dapat menyebabkan kaki dan kulit menjadi
berwarna kuning (Anggorodi, 1985).
(a) (b)
Gambar 16. Warna Shank Ayam Walik di Sumedang (a) dan di Bogor (b): (1) Hitam,
(2) Hijau, (3) Kuning dan (4) Putih
29
Ayam Walik jantan yang terdapat di Sumedang lebih banyak memiliki
jengger tunggal (73%) dibandingkan jengger kapri (27%), sedangkan ayam Walik
betina lebih banyak memiliki jengger kapri (52%) dibandingkan jengger tunggal
(48%) (Tabel 4). Ayam Walik jantan yang terdapat di Bogor lebih banyak memiliki
jengger kapri (56%) dibandingkan jengger tunggal (44%) sedangkan ayam Walik
betina lebih banyak memiliki jengger tunggal (80%) dibandingkan jengger kapri
(20%) (Tabel 4). Bentuk jengger ayam Walik di Sumedang dan Bogor disajikan pada
Gambar 17 dan 18. Sartika dan Sofjan (2007) juga menemukan bahwa ayam Walik
memiliki jengger berbentuk tunggal. Menurut Suprijatna et al. (2005) jengger dapat
digunakan sebagai aksesoris seksual, ayam jantan memiliki jengger yang besar dan
tebal serta berwarna merah. Warna merah pada jengger dipengaruhi oleh pembuluh
darah. Ukuran dan tekstur jengger memiliki peranan dalam menentukan masa
produktivitas ayam betina.
Gambar 17. Bentuk Jengger Ayam Walik yang Terdapat di Sumedang: (1) Tunggal
(Jantan), (2) Kapri (Jantan), (3) Tunggal (Betina) dan (4) Kapri
(Betina).
30
Gambar 18. Bentuk Jengger Ayam Walik yang Terdapat di Bogor: (1) Tunggal
(Jantan), (2) Kapri (Jantan), (3) Tunggal (Betina) dan (4) Kapri
(Betina).
Ayam Walik yang terdapat di Sumedang baik jantan maupun betina lebih
banyak memiliki mata berwarna kuning (60%; 52%) dibandingkan warna coklat
(27%; 10%) dan oranye (13%; 38%) (Tabel 4; Gambar 19). Ayam Walik yang
terdapat di Bogor baik jantan maupun betina lebih banyak memiliki mata berwarna
oranye (75%; 50%) dibandingkan warna coklat (13%; 23%) dan kuning (13%; 27%)
(Tabel 4; Gambar 19). Warna mata berhubungan dengan warna shank (Smyth, 1990).
Hal ini dibuktikan pada ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor yang
lebih banyak memiliki warna mata kuning dan oranye (Tabel 4) yang hampir sama
dengan warna shank kuning (Tabel 4). Struktur variasi pewarnaan mata bervariasi
berdasarkan gen tertentu (Smyth, 1990).
31
Gambar 19. Warna Mata Ayam Walik: (1) dan (2) Kuning, (3) Cokelat dan (4)
Oranye
Ayam Walik yang terdapat di Sumedang baik jantan maupun betina lebih
banyak memiliki cuping yang berwarna merah (60%; 38%) dibandingkan warna
merah-putih (40%; 43%). Ayam Walik yang terdapat di Bogor baik jantan maupun
betina lebih banyak memiliki cuping yang berwarna merah (94%; 65%)
dibandingkan merah-putih (6%; 23%). Cuping putih hanya dimiliki oleh ayam Walik
betina yang terdapat di Sumedang sebesar 19% dan di Bogor sebesar 8% (Tabel 4;
Gambar 20). Menurut Suprijatna et al. (2005) warna cuping bervariasi sesuai dengan
masing-masing bangsa ayam.
Gambar 20. Warna Cuping Ayam Walik: (1) dan (2) Merah, (3) dan (4) Merah-Putih
32
Frekuensi Gen Ayam Walik dan Ayam Kampung
Tabel 5. Frekuensi Gen Ayam Walik dan ayam Kampung di Sumedang dan Bogor
Karakteristik Sumedang Bogor
Kualitatif Walik Kampung Walik Kampung
(n=36) (n=58) (n=42) (n=54)
Warna bulu:
qI 0 0.02 0.01 0.02
qi 1 0.98 0.99 0.98
Corak bulu:
qZB 0.47 0.67 0.52 0.70
qZb 0.54 0.33 0.48 0.30
Kerlip bulu:
qZS 0.16 0.33 0.54 0.51
qZs 0.84 0.67 0.47 0.49
Pola bulu:
qE 0.20 0.07 0.10 0.10
qe+ 0.43 0.59 0.51 0.56
qe 0.37 0.33 0.38 0.33
Jengger:
qP 0.24 0.22 0.17 0.18
qp 0.76 0.78 0.83 0.82
Warna shank:
qZId 0.5 0.63 0.79 0.61
qZid 0.5 0.37 0.21 0.39
Keterangan: qI =bulu tidak berwarna; qi= berwarna; qZB=lurik; qZb= polos; qZS= keperakan;
qZs=keemasan; qE=hitam; qe+=liar; qe=kolumbian; qP= pea; qp=tunggal;
qZId=putih/kuning; qZid=hitam/hijau
33
corak polos (53%) sedangkan ayam Kampung memiliki nilai frekuensi yang tinggi
pada corak lurik (67%) (Tabel 5). Kerlip bulu dan pola bulu yang dimiliki ayam
Walik memiliki kesamaan dengan gen asli ayam Kampung. Nishida et al. (1980)
menyatakan bahwa gen yang merupakan gen asli ayam Kampung adalah e+ dan Zs.
Corak bulu polos yang dominan pada ayam Walik di Sumedang menunjukkan
adanya kesamaan dengan Single Rhode Island Red. Jull (1951) menyatakan bahwa
keseluruhan bulu Rhode Island Red murni polos, bebas dari warna apapun.
Ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Bogor memiliki nilai
frekuensi gen yang tinggi pada bulu yang berwarna (98%; 98%), corak bulu lurik
(51%; 70%), kerlip keperakan (53%; 51%) dan pola bulu liar (51%; 56%) (Tabel 5).
Seperti halnya pada ayam Walik yang di Sumedang, ayam Walik yang terdapat di
Bogor menunjukkan kesamaan dengan gen asli ayam Kampung pada kerlip dan pola
bulu. Pengaruh gen asing yang terlihat di ayam Walik yang terdapat di Bogor yaitu
corak bulu lurik. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh dari Barred Plymouth Rock.
Nishida et al. (1980) menyatakan bahwa gen yang terdapat pada Barred Plymouth
Rock yaitu BB. Pada awalnya lurik hitam-putih pada Barred Plymouth Rock lebih
nyata dibandingkan sekarang. Selain itu lurik hitam-putih pada jantan dan betina
sama lebar (Jull, 1951).
34
Frekuensi Gen Warna Shank
Warna shank pada ayam yang diamati adalah putih/kuning dan
hitam/hijau/abu-abu. Menurut Jull (1951), warna shank merupakan ekspresi dari
adanya beberapa pigmen tertentu pada epidermis dan dermis. Ayam Walik yang ada
di Sumedang memiliki frekuensi gen yang sama besar antara warna putih/kuning
(0,5) dan hitam/hijau (0,5) (Tabel 5). Frekuensi gen warna shank pada ayam
Kampung di Sumedang, ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Bogor
menunjukkan frekuensi yang nilainya tinggi pada warna shank putih/kuning (0,63;
0,79; 0,61) (Tabel 5). Warna shank putih/kuning pada ayam Walik dan ayam
Kampung dapat menunjukkan bahwa ayam tersebut telah dipengaruhi oleh gen asing.
Warna shank putih/kuning dapat dipengaruhi oleh ras Amerika, yaitu Single Rhode
Island Red dan Barred Plymouth Rock. Jull (1951) menyatakan bahwa warna shank
kuning terdapat pada semua ras amerika dan beberapa ras lain yang dipengaruhi oleh
lemak atau pigmen lipokrom pada epidermis. Warna shank putih/kuning juga dapat
diduga merupakan hasil dari keturunan ayam Hutan Hijau yang merupakan salah satu
ayam hutan yang ada di Indonesia. Sartika dan Sofjan (2007) menyatakan bahwa
ayam hutan yang menyebar di Indonesia yaitu ayam Hutan Merah (Gallus gallus)
dan ayam Hutan Hijau (Gallus Varius). Ciri spesifik ayam Hutan Hijau yaitu kaki
kekuningan atau agak kemerahan sedangkan ayam Hutan Merah memiliki kaki
berwarna kelabu.
Laju Introgresi Gen Asing dan Kandungan Gen Asli pada Ayam Walik dan
Ayam Kampung
Laju introgresi gen asing yang terdapat pada ayam Walik dan ayam Kampung
di Sumedang dan Bogor disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil perhitungan laju
introgresi gen asing pada ayam Walik dan ayam Kampung (Tabel 6), dapat diketahui
bahwa ayam Walik yang terdapat di Sumedang dan Bogor dipengaruhi oleh Barred
Plymouth Rock (47%; 51%), Single Rhode Island Red (0.4%; 28%) dan White
Leghorn (0%; 0.1%). Ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan di Bogor
dipengaruhi oleh Barred Plymouth Rock (50%; 66%), White Leghorn (0.2%) dan
Single Rhode Island Red (-0.9%; -0.5%) (Tabel 6). Berdasarkan hasil perhitungan
laju introgresi diketahui kandungan gen asli pada ayam Walik dan ayam Kampung.
Gen asli yang dimiliki ayam Kampung di Sumedang, ayam Walik dan ayam
35
Kampung di Bogor masing-masing adalah 33%, 21% dan 39%. Kandungan gen asli
yang dimiliki ayam Walik yang terdapat di Sumedang 50% (Tabel 6).
Tabel 6. Laju Introgresi Gen Asing dan Besaran Gen Asli yang Terdapat pada Ayam
Walik dan Ayam Kampung di Sumedang dan Bogor
Semakin tinggi nilai laju introgresi gen ayam asing terhadap ayam Walik,
maka tingkat keaslian ayam Walik semakin rendah. Penampilan karakteristik ayam-
ayam di Asia Tenggara seperti Indonesia dipengaruhi oleh bangsa-bangsa ayam dari
Eropa dan Amerika yaitu White Leghorn, Rhode Island Red dan Barred Plymouth
Rock (Nishida et al., 1980). Hasil penelitian menunjukkan bahwa introgresi terbesar
yang mempengaruhi ayam Walik dan ayam Kampung yaitu Barred Plymouth Rock.
Hal tersebut sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nishida et al.
(1980) yang menyatakan bahwa pada ayam Kampung nilai introgresi gen asing
tertinggi adalah Single Rhode Island Red dan yang sangat rendah adalah Barred
Plymouth Rock dan White Leghorn. Namun hasil penelitian yang dilakukan Wati
(2007) menunjukkan bahwa pada ayam Kampung nilai pengaruh bangsa ayam ras
unggul asing tertinggi berasal dari Barred Plymouth Rock. Darwati et al. (2002)
menyatakan bahwa ayam lokal Indonesia yang memiliki konstitusi gen pengontrol
mirip dengan Rhode Island Red adalah ayam Merawang yang berasal dari kepulauan
Bangka-Belitung. Tanda minus pada nilai introgresi gen ayam White Leghorn pada
ayam Kampung di Sumedang dan Bogor menunjukkan bahwa ayam Kampung di
Sumedang dan Bogor sangat kecil atau tidak dipengaruhi sama sekali oleh ayam
White Leghorn.
Kandungan gen asli ayam Kampung di Sumedang, ayam Walik dan ayam
Kampung di Bogor lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengamatan yang
dilakukan oleh Nishida et al. (1980) yang menemukan tingkat keaslian ayam
36
Kampung di Indonesia adalah 28-55% dan khusus di Jawa Barat 46%. Kandungan
gen asli ayam Walik yang terdapat di Sumedang yang tinggi menunjukkan tingkat
keaslian ayam Walik tersebut. Peternak yang memiliki ayam Walik di Sumedang
menyatakan bahwa ayam Walik yang mereka miliki diperoleh dari anggota keluarga
peternak yang lain atau hasil perkawinan ayam dengan ayam lain yang berada di
sekitar lokasi kandang dan rumah peternak. Hal ini dapat menyebabkan introgresi
gen asing tidak terjadi jika dibandingkan dengan ayam Walik yang terdapat di Bogor
karena ayam Walik tersebut berasal dari induk yang sama.
Introgresi gen asing diperlukan untuk meningkatkan produktivitas yang
disesuaikan dengan perkembangan pasar, namun hal ini berpotensi menghancurkan
keseimbangan skema produksi dan akhirnya mengancam keberadaan breed lokal
dalam sistem (Simianer, 2005). Hal ini yang menyebabkan populasi ayam Walik
semakin berkurang dan hanya ditemukan di daerah tertentu. Crawford (1990)
menyatakan bahwa unggas yang memiliki gen asli terdapat pada daerah
perkampungan yang dipelihara secara tradisional dengan perhatian yang sangat kecil
dan memiliki penampilan produksi yang sangat rendah. Oleh karena itu perlu
dilakukan upaya pelestarian terhadap ayam Walik karena ayam tersebut memiliki
kemampuan yang lebih tinggi untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan sekitar
dibandingkan ayam berbulu normal, sehingga perlu dilakukan pengembangan
populasinya. Sulandari et al. (2007) menyatakan bahwa ayam Walik memiliki
perbaikan sirkulasi udara panas yang tertahan oleh bulu, sehingga meningkatkan
pembuangan panas melalui penguapan dan meningkatkan kemampuan toleransi
panas terutama di daerah beriklim panas. Pengembangan populasi perlu dilakukan
karena ukuran populasi yang kecil diketahui dapat menyebabkan penurunan
kesehatan dan penampilan reproduksi sehingga beresiko terjadi punahnya ayam
Walik (Simianer, 2005). Pelestarian dapat dilakukan dengan pemanfaatan melalui
pemuliaan sederhana. Upaya pemanfaatan pemuliaan sederhana ayam Walik dapat
dilakukan dengan cara inventarisasi keragaman genetik ayam Walik,
memperkenalkan ayam Walik serta memberi informasi keunggulan-keunggulan yang
dimiliki ayam Walik kepada masyarakat secara luas dan memberikan penyuluhan
kepada peternak mengenai sistem pemeliharaan yang tepat pada ayam Walik.
37
Karakteristik Sifat Kuantitatif Ayam Walik dan Ayam Kampung
Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa secara umum ukuran
tubuh ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan Bogor tidak
berbeda (Tabel 7 dan Tabel 8). Persamaan ukuran tubuh pada ayam Walik dan ayam
Kampung jantan diduga dapat dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan. Sistem
pemeliharaan semi intensif yang diterapkan oleh peternak ayam dengan hanya
memberikan dedak dan sisa makanan manusia yang diberikan dua kali sehari dengan
jumlah yang tidak tetap, tanpa memperhatikan kebutuhan nutrien ayam, tanpa
pemberian vitamin dan keadaan kandang yang tidak nyaman dapat menyebabkan
potensi genetik dari ayam Walik tidak muncul secara optimal. Noor (2008)
menyatakan bahwa ternak yang memiliki mutu genetik tinggi harus dipelihara pada
lingkungan yang baik pula agar ternak dapat menampilkan produksi secara
maksimal.
Ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap tumbuh yang terdapat di
Sumedang memiliki perbedaan pada ukuran panjang dada (P<0,01), dimana ayam
Kampung memiliki panjang dada yang lebih besar (7,40,88 cm) dibandingkan
dengan ayam Walik (6,21,05 cm) (Tabel 7), sedangkan ayam Walik dan ayam
Kampung betina tahap akhir di Sumedang memiliki perbedaan pada ukuran lebar
dada (P<0,05). Ayam Kampung memiliki lebar dada yang lebih besar (13,83,91
cm) dibandingkan ayam Walik (10,71,42 cm) (Tabel 7). Hal ini menunjukkan
bahwa untuk membedakan ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap tumbuh
yang terdapat di Sumedang selain dapat dilihat dari bentuk bulunya yang keriting,
juga dapat dilihat dari ukuran panjang dada dan lebar dada yang kecil pada ayam
Walik.
Ayam Walik dan ayam Kampung jantan tahap akhir yang terdapat di Bogor
memiliki perbedaan pada ukuran lingkar tarsometatarsus. Ayam Walik memiliki
lingkar tarsometatarsus lebih besar (3,80,52 cm) dibandingkan ayam Kampung
(3,30,53 cm) (Tabel 8). Ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap akhir yang
terdapat di Bogor memiliki perbedaan pada ukuran panjang femur dan lebar dada
(P<0,05). Ayam Walik memiliki femur yang lebih panjang (8,20,68 cm)
dibandingkan dengan ayam Kampung (7,70,79 cm) (Tabel 8).
38
Tabel 7. Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman dan Perbandingan Ukuran Tubuh Ayam Walik dan Ayam Kampung di Sumedang
Parameter Ayam Walik Ayam Kampung
Jantan Betina Jantan Betina
Fase tumbuh Fase akhir Fase tumbuh Fase akhir Fase tumbuh Fase akhir Fase tumbuh Fase akhir
(n=7) (n=8) (n=9) (n=12) (n=8) (n=12) (n=14) (n=24)
BB (kg) 0.70.16(21.7) 1.2 0.22(17.6) 0.50.21(28.2) 1.10.17(15.7) 0.70.17(23.4) 1.10.67(58.9) 0.50.11(19.9) 1.10.51(47.3)
PS (cm) 7.20.63(8.8) 8.671.19(13.8) 6.21.08(17.3) 7.50.98(13.0) 7.60.78(10.2) 8.11.33(16.5) 7.00.92(13.2) 7.51.37(18.2)
PT (cm) 10.61.22(11.6) 12.51.39(11.2) 9.41.88(20.0) 11.51.37(11.9) 11.30.84(7.5) 11.91.81(15.2) 10.91.49(13.6) 11.51.99(17.4)
PF (cm) 7.60.55(7.2) 8.91.11(12.3) 6.81.27(18.6) 8.11.01(12.5) 7.90.67(8.5) 8.8 1.62(18.4) 7.70.92(12.1) 8.21.38(16.8)
PRS (cm) 17.21.35(7.8) 21.02.37(11.3) 15.62.33(14.9) 18.61.44(7.8) 18.61.37(7.4) 19.72.35(11.9) 17.41.34(7.7) 18.42.33(12.7)
PD (cm) 7.30.61(8.4) 8.80.94(10.6) 6.21.05(16.9)a 8.41.01(12.1) 7.8 0.83(10.7) 8.6 3.06(35.4) 7.40.88b(11.9)b 8.31.92(23.2)
PP (cm) 10.20.86(8.4) 12.31.17(9.51) 9.81.25(12.8) 11.30.81(7.2) 10.80.97(9.0) 12.31.95(15.9) 10.51.28(12.1) 12.12.03(16.9)
LD (cm) 13.91.41(10.1) 15.91.92(12.1) 12.32.38(19.3) 10.71.42(13.2)A 13.21.78(13.4) 13.84.09(29.6) 13.31.96(14.7) 13.83.91b(28.4)B
LiT (cm) 3.20.21(6.6) 3.90.32(8.3) 3.00.33(10.8) 3.70.44a(11.8) 3.5 0.42(12.1) 3.50.54(15.3) 3.1 0.34(10.9) 3.70.47(12.8)
LiD (cm) 22.72.07(9.1) 27.3 3.31(12.1) 19.53.38(17.3) 26.33.39(12.9) 21.9 2.11(9.6) 23.26.06(26.1) 21.43.18(14.9) 23.75.47(23.1)
Keterangan:
Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata(P<0.05), huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama dan
ditulis kapital menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji-t dengan selang kepercayaan 95%.
BB = bobot badan; PS = panjang shank; PT= panjang tibia; PF= panjang femur; PRS = panjang rentang sayap; PD = panjang dada; PP = panjang punggung; LD =
lebar dada; LiM = lingkar tarsometatarsus; LiD = lingkar dada.
39
39
Tabel 8. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman dan Perbandingan Ukuran Tubuh Ayam Walik dan Ayam Kampung di Bogor
40
Ayam Walik juga memiliki dada yang lebih lebar (9,11,09 cm) dibandingkan
dengan dada ayam Kampung (8,50,77 cm) (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa
untuk membedakan ayam Walik dan ayam Kampung betina tahap akhir yang
terdapat di Bogor dapat dilihat dari ukuran femur yang panjang dan dada yang lebar
pada ayam Walik. Sementara itu untuk membedakan ayam Walik jantan dengan
ayam Kampung dapat dilihat dari ukuran lingkar tarsometatarsus pada ayam Walik
yang lebih besar.
Berdasarkan perhitungan koefisien keragaman dapat diketahui bahwa ayam
Walik dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan Bogor memiliki bobot
badan dengan tingkat keragaman yang tinggi (Tabel 7 dan Tabel 8). Namun ukuran
tubuh lainnya (panjang shank, panjang femur, panjang tibia, panjang rentang sayap,
panjang dada, panjang punggung, lebar dada, lingkar dada, lingkar tarsometatarsus)
pada ayam Walik dan ayam Kampung memiliki tingkat keragaman yang rendah.
Ukuran tubuh yang seragam pada ayam Walik dan ayam Kampung dapat disebabkan
oleh faktor lingkungan. Keragaman lingkungan (VE) dapat disebabkan oleh faktor
iklim, cuaca, makanan, penyakit, dan sistem manajemen (Noor, 2008). Ayam Walik
dan ayam Kampung yang terdapat di Sumedang dan Bogor pada umunya dipelihara
dengan sistem semi intensif. Sistem pemeliharaan semi intensif yang diterapkan oleh
peternak ayam yaitu pemberian pakan berupa dedak dan sisa makanan manusia yang
diberikan dua kali sehari dengan jumlah yang tidak tetap, tanpa memperhatikan
kebutuhan nutrien ayam, tanpa pemberian vitamin dan keadaan kandang yang tidak
nyaman dapat menyebabkan potensi genetik dari ayam Walik tidak muncul secara
optimal. Selain itu lokasi kandang dan pekarangan rumah peternak ayam Walik dan
ayam Kampung yang saling berdekatan memungkinkan ayam Walik maupun ayam
Kampung tersebut berasal dari induk yang sama sehingga ukuran tubuh ayam Walik
dan ayam Kampung memiliki tingkat keragaman yang rendah.
41
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sifat kualitatif ayam Walik
yang terdapat di Sumedang dan ayam Walik yang terdapat di Bogor memiliki bulu
berwarna, corak lurik dan polos, kerlip perak dan emas, pola liar, shank putih/kuning
dan hitam/hijau, jengger tunggal dan kapri, warna mata kuning dan oranye serta
warna cuping merah. Laju introgresi antara ayam Walik dan ayam Kampung yang
terdapat di Sumedang dan Bogor paling besar dipengaruhi oleh Barred Plymouth
Rock. Kandungan gen asli ayam Walik yang terdapat di Sumedang lebih tinggi
dibandingkan ayam Kampung sedangkan ayam Walik yang terdapat di Bogor
memiliki tingkat keaslian lebih rendah dibandingkan ayam Kampung.
Karakteristik sifat kuantitatif ayam Walik dan ayam Kampung yang terdapat
di Sumedang dan di Bogor secara umum tidak berbeda. Ayam Walik dan ayam
Kampung memiliki bobot badan yang tingkat keragamannya tinggi dan ukuran tubuh
(panjang shank, panjang tibia, panjang femur, panjang rentang sayap, panjang dada,
panjang punggung, lebar dada, lingkar dada dan lingkar tarsometatarsus) yang
tingkat keragamannya rendah.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi ayam Walik
terutama kajian terhadap keragaman genetik dan produktivitasnya. Selain itu juga
perlu dilakukan penelitian di daerah lain untuk mengetahui populasi ayam Walik di
Indonesia secara keseluruhan sehingga dapat digunakan untuk menentukan status
keberadaan ayam Walik di Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
` Penulis
DAFTAR PUSTAKA
45
Sudaryanti, T. & H. Santosa. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Sulandari, S., M. S. A. Zein., S. Paryanti, T. Sartika, M. Astuti, T. Widjastuti, E.
Sudjana, S. Darana, I. Setiawan dan D. Garnida. 2007. Sumberdaya genetik
ayam lokal. Keanekaragaman sumber daya hayati ayam lokal Indonesia:
manfaat dan potensi. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Jakarta: 45-67.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono & R. Kartosudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Warwick, E. J., J. M. Astuti, & W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak. Edisi
Kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wati, D. K. 2007. Karakteristik genetik eksternal pada ayam Wareng Tanggerang
dan ayam Kampung. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Peternakan
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Williamson, G. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Terjemahan: SGN Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
46
LAMPIRAN
47
Liar
= 0.426
Hitam
p=1qr
= 1 0.373 0.426
= 0.201
Columbian
r = (6/41)
= 0.383
Liar
48
= 0.5144
Hitam
p=1- q r
= 1 0.383 0.5144
=0.463
Frekuensi Gen Corak Bulu
Ayam Walik Sumedang
Jantan Betina
q = 1 (R/N)1/2
= 1 (5/15) 1/2
= 0.423
= 0.476
Lurik
2N N
q= q +
2N+N q
2N+N
2 (15) 21
= 0.423 + 0.476
2 (15) + 21 2 (15) + 21
= 0.445
Polos
q = 1 lurik
= 1 0.445 = 0.555
Jantan Betina
q = 1 (R/N)1/2
= 1 (4/16) 1/2
= 0.5
= 0.538
49
Lurik
2N N
q= q + 2N+N q
2N+N
= 0.517
Polos
q = 1 lurik
= 1 0.517 = 0.483
Jantan Betina
q = 1 (R/N)1/2
= 1 (12/15)
= 0.106
= 0.238
Perak
2N N
q= q+ q
2N+N 2N+N
2 (15) 21
= 2 (15) + 21 0.106 + 2 (15) + 21 0.238
= 0.16
Emas
q = 1 Perak
= 1 0.16
50
= 0.84
Jantan Betina
q = 1 (R/N)1/2
= 1 (4/16)
= 0.5
= 0.577
Perak
2N N
q= q+ q
2N+N 2N+N
2 (16) 26
= 0.5 + 0.577
2 (16) + 26 2 (16) + 26
= 0.535
Emas
q = 1 Perak
= 1 0.535
= 0.465
Jantan Betina
q = 1 (R/N)1/2
= 1 (7/15) 1/2
= 0.317
= 0.762
51
Shank Putih/Kuning
2N N
q = q+ q
2N+N 2N+N
2 (15) 21
= 0.317 + 2 (15) + 21 0.762
2 (15) + 21
= 0.5
Shank hitam/abu-abu
q = 1 shank putih/kuning
= 1 0.5
= 0.5
Jantan Betina
q = 1 (R/N)1/2
= 1 (3/16)
= 0.812
= 0.769
Shank Putih/Kuning
2N N
q = q+ q
2N+N 2N+N
2 (16) 26
= 0.812 + 0.769
2 (16) + 26 2 (16) + 26
= 0.793
52
Shank hitam/abu-abu
q = 1 shank putih/kuning
= 1 0.793
= 0.21
= (21/36) = 1 0.236
= 0.236 = 0.764
= (28/41) = 1 0.174
= 0.826
= 0.174
53