Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daging merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani


yang yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain memiliki mutu
protein yang tinggi, juga mengandung asam amino esensial serta jenis mineral
dan vitamin lengkap dan seimbang. Protein yang terkandung didalam daging
sapi yaitu sebesar 15-19% (Kurnia, 2013). Pada awal tahun 2020 mulai di
perbincangkan daging sapi lokal dengan kualitas terbaik yang diberinama
daging sapi lamtoro beef. Daging sapi lamtoro beef merupakan daging sapi
yang dihasilkan dari sapi yang diberikan pakan lamtoro selama proses
pemeliharaannya. Sapi yang diberikan pakan lamtoro akan menghasilkan
kualitas daging yang lebih sehat karna mengandung asam linoleat yang tinggi
dan rendah kandungan lemak jenuh. Kualitas daging lamtoro beef
dipengaruhi oleh menejemen pemeliharaan yang baik, pemilihan umur potong
yang tepat, serta penanganan pasca potong yang baik yaitu melalui proses
pelayuan daging sapi bali yang diberi pakan lamtoro pada suhu 20℃ selama
7 hari sehingga menghasilkan kualitas daging dengan tekstur yang empuk,
berair (juicy), dan citarasa yang segar (Dahlanuddin et. al., 2014).

Beberapa olahan produk peternakan yang berbasis daging sapi sudah


banyak dipasaran semisalnya bakso, nugget dan sosis. Pada pembuatan bakso
yang menggunakan kombinasi daging sapi dan kelinci dengan berbagai
tingkat presentase berpengaruh terhadap daya ikat air dan tingkat kekenyalan,
tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar proteinnya. Kekenyalan tertinggi
dicapai pada kombinasi daging kelinci sebanyak 50% dan kadar air tertinggi
dicapai kombinasi daging kelinci 100% (Bintaro, 2008). Berdasarkan hasil
penelitian pada bakso sapi yang ditambahkan dengan ikan bandeng presto
dapat disimpulkan bahwa bakso sapi yang ditambahkan dengan ikan bandeng
presto putih yang semakin tinggi hingga 15% menaikan kadar lemak,
meningkatkan kekenyalan dan menambah citarasa bakso sapi, tetapi tidak
berpengaruh terhadap kadar air, tidak berbeda jauhnya nilai gizi dan tingginya

1
peningkatan dari kuantitas produksi yang hasilkan dari penggunaan ikan
bandeng presto sebagai bahan campuran bakso daging sapi (Almatsier, S.
2003).

Bakso adalah produk olahan daging khas Indonesia yang biasa


disajikan panas dan mempunyai nilai gizi yang tinggi karena kaya protein
hewani, yang sangat di perlukan tubuh manusia terutama untuk pertumbuhan.
Menurut Astawan (2004), kualitas bakso sangat ditentukan oleh kualitas
daging, jenis tepung, dan pemakaian bahan tambahan seperti garam dan
bumbu. Penggunaan daging yang berkualitas tinggi dan tepung yang baik
disertai dengan perbandingan tepung yang besar dan penggunaan bahan
tambahan makanan yang aman serta cara pengolahan yang benar akan
menghasilkan produk bakso yang berkualitas baik. (BSN (2014).

Bakso dengan bahan baku daging sudah banyak dijumpai dikalangan


masyarakat pada umumnya sangat sering di jumpai dikalangan masyarakat
dan sangat mudah di temukan bakso yang dijumpai adalah bakso daging sapi
pemilihan bahan baku daging sapi dalam pembuatan bakso mempengaruhi
kualitas dan citarasa bakso yang dihasilkan hal terbuat disebabkan karena
daging dengan kualitas yang baik akan menghasilkan bakso dengan kualitas
terbaik. Salah satu daging dengan kualits citaras terbaik yang bisa digunakan
dalam pembuatan bakso adalah daging lamtoro beef. Sementara itu olahan
produk dari daging sapi lamtoro beef yang di kembangakan oleh Dahlanuddin
, et al., pada tahun 2019 menghasilkanakan produk berupa lamtoro beef steak.
Adapun produk olahan yang dapat dikembangkan dari bahan berbasis daging
terutama daging sapi lamtoro beef yang belum pernah dilakukan adalah bakso
Dipasaran sudah banyak produk bakso olahan daging yang berbeda,
kebanyakan produk bakso terbuat dari daging ayam dan daging ikan, jarang
sekali menggunakan daging sapi dan belum pernah menggunakan daging sapi
lamtoro beef sehingga pada penelitian kali ini daging yang berkualitas tinggi
seperti daging lamtoro beef akan digunakan untuk bahan pembuatan bakso.

Oleh karena itu di ajukan usulan penelitian tentang “ Sifat Fisik dan
Nilai Organoleptik Bakso Daging Sapi Lamtoro Beef “ untuk mengetahui

2
kualitas Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daging sapi lamtoro beef
terhadap sifat fisik (susut masak , keempukan, pengukuran pH dan daya ikat
air) dan organoleptik (warna, rasa, kekenyalan, dan bentuk) bakso daging
lamtoro beef. Oleh karena itu dilakukan penelitian dengan judul “ Sifat fisik
dan nilai organoleptik bakso daging sapi lamtoro beef “.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian tentang daging


lamtoro beef yang diolah menjadi bakso, seperti yang diketahui bersama
kajian mengenai pembuatan bakso sudah banyak menggunakan daging
sebagai bahan pembuatan bakso dapat mempengaruhi kualitas dan cita rasa
bakso jenis jenis daging yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso
diantaranya daging sapi, daging ayam, dan bakso daging ikan serta daging
ternak lainnya ( Wibowo, 2000.). Maka dari itu penelitian tentang daging
yang berkualitas bagus seperti lamtoro beef yang diolah menjadi bakso belum
ada kajian mengenai pengolahan daging lamtoro beef menjadi bahan bahan
baku pembuatan bakso.

1.3 Tujuan Penelitian dan Kegunaaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan jenis sifat


fisik dan nilai organoleptik dari bakso yang berbahan daging sapi
biasa dengan daging sapi lamtoro beef

1.3.2 Kegunaaan Penelitian

Kegunaan Penelitian ini yaitu berguna untuk memberi


pemahaman tentang informasi ilmiah dibidang peternakan mengenai
perbandingan kualitas bakso yang berbahan baku daging sapi
lamtoro beef dengan kualitas daging sapi lokal. Informasi ilmiah
yang diperoleh diharapkan dapat dipublikasikan melalui jurnal-jurnal
ilmiah nasional maupun internasional, sehingga bisa bermanfaat
sebagai referensi ataupun data pembanding bagi penelitian searah

3
dengan materi kajian yang lebih luas, Selain itu juga dapat
memberikan alternative pengolahan produk daging berupa bakso,
untuk meningkatkan diversifikasi pengolahan daging sapi lamtoro
beef, dan untuk memberikan salah satu produk olahan daging yang
aman dan bergizi tinggi yang disukai oleh masyarakat.

1.4 Hipotesis
H0 = Tidak ada perbedaan nyata dari kualitas bakso daging sapi
lamtoro beef dan bakso daging sapi biasa dalam uji sifat fisik
dan nilai organoleptik.
H1 = Ada perbedaan nyata dari kualitas bakso daging sapi lamtoro
beef dengan bakso daging sapi biasa dalam uji sifat fisik dan
organoleptik.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Daging

 Daging Lamtoro Beef

Daging lamtoro beef adalah daging yang diperoleh dari


penyembelihan sapi Bali (Bos javanicus) di mana sapi ini diberi pakan 100%
dari tanaman legum pohon lamtoro (Leucaena leucocephala). Sapi ini
dipelihara di pulau Sumbawa yang merupakan proyek penelitian Indobeef
bekerjasama dengan pemerintah Australia.

Keunggulan pemeliharaan dan penggemukan sapi Bali (Bos


javanicus) berbasis lamtoro (Leucaena leucocephala) telah mampu
mempertinggi kenaikan berat badan (ADG, Average Daily Gain) sapi Bali
dari rata-rata 0,2 kg per hari menjadi 0,4-0,7 kg per hari, sesuai dengan
kandungan atau komposisi nutrisi lamtoro dan sumber energi yang diberikan
(Dahlanuddin dkk, 2014). Penggemukkan berbahan dasar lamtoro ini telah
diterapkan oleh lebih dari 2.000 peternak di pulau Sumbawa. Diperkirakan
bahwa tidak kurang dari 10.000 (sepuluh ribu) ekor sapi Bali siap potong
dari sistem penggemukan lamtoro ini tersedia untuk setiap tahunnya di pulau
Sumbawa (Dahlanuddin dkk, 2014). Penggemukan sapi berbasis lamtoro
(Leucaena) diproyeksikan dan diprediksikan akan terus berkembang dan
tumbuh sebagai model penggemukan sapi lokal yang sesuai dengan kondisi
Pulau Sumbawa (Dahlanuddin dkk, 2014).

Walaupun ADG yang dihasilkan masih lebih rendah daripada ADG


sapi Bali yang diberikan pakan berbasis konsentrat (Mastika, 2003), ADG
yang dihasilkan dengan pakan berbasis lamtoro sudah cukup baik karena
pakan yang digunakan adalah pakan lokal yang didapatkan dengan biaya
yang jauh lebih murah (Dahlanuddin dkk, 2019).

5
 Daging Sapi
Daging sapi adalah salah satu bahan pangan yang bernilai gizi
tinggi karena dapat mensuplai kebutuhan manusia untuk protein sebesar
50%, vitamin B12 60%, seng 30%, besi 20% dan niasin 20% (Briggs,
1985). Daging sapi memiliki ciri-ciri warna merah segar, serat halus dan
lemaknya berwarna kuning. Daging sapi memiliki kandungan kalori
20,7%, protein18,8%, dan lemak 14% (Buege, 2001).

2.2 Pengertian Bakso

Bakso merupakan produk olahan daging yang telah dihaluskan,


dicampur dengan bumbu- bumbu, tepung, dan bahan perekat, kemudian
dibentuk bulat dengan diameter 2 – 4 cm sesuai dengan selera dan kebutuhan.
Daging yang biasa digunakan sebagai bahan dalam pembuatan bakso adalah
daging sapi. Untuk membuat bakso halus, umumnya digunakan daging yang
mulus, tidak berlemak, dan tidak berserat kasar, misalnya daging haas,
sandung lamur, dan gending (Suprapti, 2003).

Bakso sapi mempunyai kandungan nutrisi cukup baik karena terbuat


dari daging sapi yang kadar proteinnya tinggi yaitu sebesar 20-22% dengan
kadar lemak 4,8% (lean meat) (Aulawi dan Ninsix, 2009). Menurut Wibowo
(2005), cara paling mudah untuk menilai mutu bakso serta mengenali bakso
dengan kualitas yang baik adalah dengan menilai mutu sensoris atau mutu
organoleptiknya. Paling tidak, ada 5 parameter sensoris utama yang dapat
dinilai, yaitu kenampakan, warna, bau, Standar mutu bakso menurut Standar
Nasional Indonesia, dapat dilihat pada Tabel 2.1

6
Tabel 1 Syarat Mutu Bakso Berdasarkan SNI-3818-2014
No Keriteria gizi Satuan Persyaratan
1. Keadaan bau
Bau - Normal khas
Rasa - Gurih
Warna - Normal
Tekstur - Kenyal
2. Air %b/b Maks 70,0
3. Abu %b/b Maks 3,0
4. Protein %b/b Maks 9,0
5. Lemak %b/b Maks 2,0
6. Boraks - Tidak boleh ada
7. Bahan tabahan makanan - Sesuai dengan SNI-
01-02-1995
8. Cemaran logam
Timbale (Pb) mg/kg Maks 2,0
Tembaga (Cu) mg/kg Maks 2,0
Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0
Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0
Raksa (Hg) mg/kg Maks0,03
9. Cemaran arsen mg/kg Maks 1,0
10. Cemaran Mikroba
Angka lempeng total Koloni/g Maks 1 x10
Bakteri coli from AMP/g Maks 10
Escherichia coli AMP/g <3
Entrococci Koloni/g Maks 1 x103
Clostridium perfringens Koloni/g Maks 1 x102
Salmonella - Negatif
11. Staphylococcus aureus Koloni/g Maks 1 x102

7
Sumber: BSN (2014).

Bakso Menurut Putri (2009), proses pembuatan bakso terdiri dari


beberapa tahapan, yaitu penghancuran daging, pembuatan dan
pencampuran adonan, pencetakan bakso dan pemasakan bakso.
Penghancuran daging memiliki tujuan untuk memperluas permukaan
daging sehingga protein larut garam dapat ditarik keluar yang kemudian
akan menyebabkan perubahan jaringan lunak pada daging menjadi
mikropartikel. Adonan bakso dibuat dengan cara daging yang telah
dihancurkan dicampur dengan garam dan bumbu secukupnya kemudian
ditambahkan dengan tepung, pati, atau tapioka, sedikit demi sedikit sambil
diaduk dan dilumatkan hingga homogen (Yunarni, 2012).

Proses pembuatan adonan bakso memerlukan air es atau air dingin


sebanyak ± 20-30% dari berat adonan dengan tujuan untuk membentuk
emulsi yang baik dan mencegah kenaikan suhu akibat gesekan. Selain itu,
es berfungsi untuk mempertahankan adonan agar tidak kering dan
rendemennya tinggi (Widayat, 2011).

Menurut Yunarni (2012), proses pencetakan bakso dapat dilakukan


dengan tangan dengan cara meremas-remas adonan di tangan kemudian
menekannya ke tengah-tengah jari antara ibu jari dan jari telunjuk
kemudian adonan yang keluar diambil dengan menggunakan sendok.
Pemasakan bakso harus memperhatikan suhu, hal ini berkaitan dengan
proses denaturasi protein pada bakso sehingga terbentuk gel. Proses
pembentukan gel akan terjadi dalam keadaan garam 0,6 M, pH 6, dan suhu
650 C. Proses pemasakan dilakukan dengan menggunakan air mendidih
atau menggunakan uap panas pada suhu 85-900 C (Yunarni, 2012).

Bakso yang matang ditandai dengan mengapungnya bakso ke


permukaan. Selain itu, kematangan bakso juga dapat dilihat dengan
mengiris bakso, apabila bagian dalam tampak mengkilap agak transparan,
tidak keruh seperti adonan lain, maka bakso dikatakan telah matang.

8
Proses pemasakan bakso biasanya dilakukan selama 15 menit. Bakso yang
telah matang dapat langsung dikonsumsi atau dapat disimpan. Proses
penyimpanan bakso dapat dilakukan pada suhu 50 C (Widayat, 2011).

Menurut Sari dan Widjanarko (2015),bahan bakuutama dalam


pembuatan bakso adalah daging sapi dan bahan tambahan lainnya
sepertitepung, garam, es, Sodium Tripolyposphat (STPP) dan bumbu-
bumbu penyedap. Menurut Yunarni (2012), selain garam dan tepung, pada
proses pembuatan bakso digunakan bawang merah, bawang putih, dan
merica.

Bahan pengisi dan pengenyal merupakan bahan bukan daging yang


ditambahkan dalam pembuatan bakso. Fungsi penambahan bahan pengisi
dan pengenyal adalah memperbaiki stabilitas emulsi, mereduksi
penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, meningkatkan
citarasa dan mengurangi biaya produksi (kecuali bahan pengisi), bahan ini
dapat mengabsorpsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula,
sehingga adonan bakso menjadi lebih besar (Aulawi dan Ninsix 2009).

 Tepung
Meningkatkan daya mengikat air karena mempunyai Tapioka
Tepung berpati sebagai bahan pengisi dapat digunakan untuk kemampuan
menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Disamping itu,
tepung berpati dapat mengabsorbsi airdua sampai tiga kali dari berat
semula sehingga adonan bakso menjadi lebih besar (Wibowo, 2013).
Menurut Putri (2009), bahan pengisi yang ditambahkan ke dalam adonan
bakso maksimal sebanyak 50%.
 Garam Dapur (NaCl)
Secara umum garam pada proses memasak digunakan sebagai
bahan penyedap rasa dan pemberi rasa asin pada makanan. Selain itu
garam juga dapat berfungsi sebagai bahan pengawet terutama untuk jenis
mikrobia yang tidak tahan dengan kadar garam tinggi. Garam dalam
proses pembuatan bakso selain berfungsi dalam dua hal tersebut juga
berfungsi sebagai pengekstraksi protein dan pengurain myofibril

9
sehingga garam berperan dalam proses emulsi. Penambahan garam ke
dalam adonan bakso sebaiknya tidak kurang dari 2%, karena
penambahan garam yang kurang dari 1,8% akan menyebabkan
rendahnya protein terlarut pada bakso (Wibowo, 2013).
 Bumbu
Bumbu secara umum dalam proses memasak akan berfungsi dalam
meningkatkan citarasa dalam produk, selain juga sebagai bahan
pengawet makanan alami. Bumbu yang digunakan dalam adonan bakso
secara umum yaitu bawang putih dan lada. Bawang putih akan
membentuk aroma khas bawang putih yang menyebabkan bakso
memiliki aroma bumbu yang kuat. Lada cenderung akan membentuk
rasa agak pedas sehingga apabila ditambahkan dalam jumlah yang
terlalu banyak, bakso yang dihasilkan akan berasa pedas (Wibowo,
2013).

2.1 Sifat Fisik

2.3.1 Daya Ikat Air

Daya Ikat Air atau Water Holding Capacity (WHC) merupakan


kemampuan daging untuk mengikat air oleh protein. Dapat dibagi
menjadi 3 kompartemen air yang terikat didalam otot, yaitu pertama
air yang terikat didalam otot secara kimiawi oleh protein otot sebesar
4-5% sebagai lapisanmonomolecular pertama, air terikat agak lemah
sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap group hidrofilik
sebesar kira-kira 4% dan apabila tekanan uap air meningkat lapisan
kedua ini akan terikat oleh protein. Selanjutnya lapisan ketiga
merupakan molekul-molekul air bebas diantara molekul protein,
sebesar kira-kira 10%. Jumlah air lapisan pertama dan kedua (yang
terikat) merupakan perubahan molekul yang disebabkan oleh
denaturasi protein daging, sedangkan jumlah air terikat yang lebih
lemah (lapisan ketiga) yaitu lapisan diantara molekul protein akan
menurun apabila protein daging mengalami denaturasi (Soeparno,
2011).

10
Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi daya ikat air
protein daging seperti pH, stress, bangsa, suhu dan kelembaban,
pelayua karkas dan aging, tipe otot dan lokasi otot, spesies, umur,
fungsi otot, pakan dan lemak intramuscular (Soeparno, 2011). Daya
ikat air dan tingkat kualitas erat hubungannya dengan pH akhir otot.
pH akan mengalami penurunan 7,2 menjadi 5,5 setelah rigormortis
dan daging akan lebih empuk jika konsentrasi glikogen otot pada saat
pemotongan cukup. Penurunan pH karkas (postemortem) merupakan
penentu utama dari daya ikat air. Tinggi pH akhir makan kurang daya
ikat air daging dan makin besar penurunan pH karkas (postemortem)
akan mempengaruhi daya ikat air (Lawrie, 2003). Menurut Soeparno
(2009) daya mengikat air oleh protein daging adalah kemampuan
daging untuk mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada
pengaruh kekuatan dari luar. Winarno (2002) menyatakan, air
merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Semakin
rendah kadar air suatu bahan pangan, maka semakin tinggi daya tahan
bahan tersebut (Winarno, 2002).

2.3.2 Susut Masak

Susut masak (Cooking loss) adalah berat yang hilang atau


penyusutan berat sampel daging selama pemasakan. Susut masak
merupakan fungsi dari waktu dan temperatur pemasakan. Penyusutan
berat sampel daging yang direbus disebabkan oleh hilangnya air
yang menguap oleh panas (Soeparno, 2011). Selanjutnya dinyatakan
bahwa besarnya susut masak bervariasi antara 15-54,5%. Daging
dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang lebih
baik dari pada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena
kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Suradi,
2006). Selanjutnya,disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap susut masak yaitu: panjangnya serabut otot,
temperatur dan atau lama waktu pemasakan, ukuran sampel

11
penampang lintang dari daging, umur ternak, spesies dan jenis
kelamin.

Susut masak merupakan salah satu indikator dari nilai nutrisi


suatu produk olahan bahan pangan dan faktor yang akan
mempengaruhi nilai ekonomi. Sesuai dengan pendapat Priwindo
(2009) bahwa semakin kecil nilai susut masak maka semakin baik
kualitasnya baik dari rasa maupun organoleptiknya termasuk nilai
ekonomisnya. Soeparno (2009) menyatakan hal sama bahwa dengan
susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih
baik dari pada susut masak yang lebih besar karena kehilangan
nutrisinya selama pemasakan akan lebih sedikit.

2.3.3 Daya Putus

Keempukan dapat ditentukan secara subyektif dan  obyektif


(Soeparno, 2009). Ada tiga aspek kesan pada keempukan daging,
pertama, kemudahan awal penetrasi gigi kedalam daging, kedua,
daging gampang dikunyah menjadi potongan-potongan  kecil dan
ketiga, jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan. Bagi
konsumen, daging yang berasal dari berbagai | spesies dan bangsa
ternak yang berbeda memiliki akseptansi yang berbeda pula.
Perbedaan nilai akseptansi daging tergantung pada factor fisiologis
dan sensasi organoleptic. Salah satu factor yang . merupakan penentu
kelezatan dan daya terima pada daging yaitu - tekstur dan
keempukan. Menurut Soeparno (2005), menyatakan bahwa
keempukan pada daging bervariasi di antara sepsies, bangsa pada
potongan karkas ternak yang sama.

2.3.4 Nilai pH

Soeparno (2009) menyatakan, nilai pH dapat digunakan untuk


menentukan Suatu produk bersifat asam, netral atau basa. Produk
akhir yang mengalami pemasakan dan penggaraman bergantung pada

12
pH daging (Kerry et al., 2002). Kemampuan ekstraksi protein
myofibrilar dipengaruhi oleh nilai pH otot, nilai pH 14 ultimat yang
dipelihara tinggi terhadap kemampuan ekstraksi yang lebih besar
(Lawrie, 1998). Temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH,
sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH
(Soeparno, 2009). Selanjutnya dijelaskan nilai pH yang lebih tinggi
atau lebih rendah dari titik isoelektrik dapat meningkatkan daya
mengikat air.

2.4 Uji Organoleptik

Uji organoleptic merupakan merupakan salah satu metode pengujian


yangmenggunakan pengindraan manusia reaksi atau kesan yang muncul
akibat adanya rangsangan berupa sikap atau keinginan untuk mendekati,
menjauhi, menyukai atau tidak suka terhadap benda peyebab rangsangan.
Reaksi psikologis ataureaksi subyektif merupakan rangsangan yang muncul
karena kesadaran, kesan atau sikap terhadap rangsangan. Hasil penilaian
atau pengukura yang ditentukan oleh pelaku pengukuran merupakan
penilaian secara subyektif (Setiyoko dkk., 2019).

Dalam penilaian organoleptik dikenal beberapa macam panel.


Penggunaan panel-panel ini dapat berbeda tergantung dari tujuannya. Ada 7
macam panel yang biasa digunakan, yaitu:
1). Pencicip perorangan (individual expert).
2). Panel pencicip terbatas (small expert panel).
3). Panel terlatih (trained panel).
4). Panel tak terlatih (untrained panel).
5). Panel agak terlatih.
6). Panel konsumen (consumer panel).
7). Panel anak-anak.

Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian dalam


melakukan penilaian organoleptik (Suhan, 2014).

2.4.1 Warna

13
Warna berperan penting dalam penerimaan makanan, karena
menurut Winarno (2002), secara visual faktor warna tampil lebih
dahulu sehingga sangat menentukan makanan tersebut enak atau
tidaknya dilihat dari segi warnanya. Selain sebagai faktor yang ikut
menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator baik
tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan yang ditandai
dengan adanya warna yang merata dan seragam (Winarno, 2002).

Warna merupakan suatu sifat bahan yang dianggap berasal dari


penyebaran spektrum sinar, begitu juga dengan kilap dari bahan yang
dipengaruhi oleh sinar pantul. Warna bukan merupakan suatu zat,
melainkan sensasi sensoris karena adanya rangsangan dari seberkas
energi radiasi yang jatuh keindra penglihatan/mata (Kartika dkk,
1988). Diantara sifat-sifat produk pangan yang paling menarik
perhatian pada konsumen dan paling cepat memberi kesan suka atau
tidak suka adalah sifat warna (Soekarto, 1990). Cahyono (2013)
menyatakan meskipun warna paling cepat dan mudah memberi kesan
tetapi ternyata paling sulit diberi deskripsi serta tidak mudah cara
pengukurannya.

2.4.2 Aroma

Aroma merupakan factor lain yang berperan dalam menilai


tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Daging
segar yang tidak berbau busuk atau masam melainkan peraroma khas
daging segar. Jenis hewan, pakan, umur daging, jenis kelamin,
lama ..waktu dan kondisi penyimpanan mempengaruhi aroma pada
daging (Marlina dkk., 2012). Menurut Miasih dkk, (2011), normalnya
aroma daging itik yaitu amis dan anyir yang menyebabkan rendahnya
konsumsi daging itik dibandingan dengan daging ayam.

Aroma juga menjadi salah satu bagian atau penentu kualitas


agar makanan atau adonan diterima oleh konsumen. Aroma
(Baubauan) dapat di defenisikan sebagai sesuatu yang dapat diamati

14
dengan indera pembau. Untuk dapat menghasilkan bau, zat-zat bau
yang harus dapat menguap sedikit larut dalam air ataupun sedikit.

2.4.3 Rasa

Rasa merupakan salah satu uji organoleptik yang berhubungan


dengan indera pengecapan. Rasa merupakan kesatuan interaksi antara
sifat-sifat aroma, rasa, dan tekstur merupakan keseluruhan makanan
yang dinilai (Rosniar, 2016).Rasa makanan dapat dikenal dan
dibedakan oleh kuncup-kuncup kecapan yang terletak pada papila
yaitu noda merah jingga pada lidah, faktor yang mempengaruhi yaitu
senyawa kimia, suhu dan konsentrasi dan interaksi pangan dengan
komponen rasa yang lain merupakan atribut rasa banyak ditentukan
oleh formulasi yang digunakan dan kebanyakan tidak dipengaruhi
oleh pengolahan suatu produk pangan (Winarno, 2002).

Bahan pangan tidak hanya terdiri dari salah satu rasa saja tetapi
merupakan gabungan dari berbagai macam rasa sehingga akan
menimbulkan citarasa makanan yang utuh dan padat (Viani, 2017).
Menurut Sujana (2001), ada tiga macam rasa yang sangat menentukan
penerimaan konsumen terhadap bakso, yaitu tingkat keasinan,rasa
daging,tingkat kegurihan yang ditentukan oleh kadar garam dan kadar
daging. Konsumen lebih menyukai rasa daging pada bakso dan tidak
menyukai rasa pahit (Sunarlim, 1992).

2.4.4 Tekstur

Tekstur adalah penginderaan yang dihubungkan dengan rabaan


atau sentuhan yang merupakan peran penting dalam pembentukan
kualitas daging dan perbedaan tekstur dipengaruhi oleh faktor
antemortem seperti genetik, pesies, umur, jenis kelamin, dan stres

15
serta faktor postmortem yang meliputi metode chilling, refrigerasi,
pelayuan dan pembekuan, hal ini disebabkan daging menjadi lebih
kaku dan kenyal (Soeparno, 2009). Tekstur bisa lebih kenyal dengan
penambahan tepung ke dalam adonan bakso, tekstur daging masak
mempengaruhi penambahan dan memberikan kesan sensorik yang
dihubungkan dengan kelekatannya, kesan pada saat dimakan atau
pemotongannya (Forrest et al., 1975). Konsumen lebih menyukai
bakso yang kompak dengan tekstur yang halus (Andayani, 1999).

Menurut Lawrie (2003) salah satu hal yang mempengaruhi


tekstur daging adalah kandungan jaringan ikat serta ukuran berkas
otot, disamping itu kandungan protein daging juga relatif tinggi yang
mempunyai kemampuan mengemulsi lemak yang lebih besar sehingga
sangat mempengaruhi tekstur bakso. Triatmojo (1992) menambahkan
adonan yang emulsinya stabil akan menyebabkan tekstur yang lebih
baik, tekstur juga dipengaruhi oleh tepung sebagai bahan pengisi,
dimana pada saat dimasak protein daging yang mengalami pengerutan
akan diisi oleh molekul-molekul pati yang dapat mengkompakkan
tekstur dan kandungan gluten dari jenis tepung dapat mempengaruhi
tekstur bakso. Menurut Buckle et al. (2009), taraf penambahan bahan
pengisi bertujuan untuk memperbaiki elastisitas dari produk akhir dan
membentuk tekstur padat.

16
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2021 di


Laboratorium Teknologi Pascapanen Fakultas Peternakan Universitas
Mataram dengan menggunakan laboraturium yang berada di Fakultas
Peternakan Universitas Mataram yaitu Laboraturium Teknologi Pengolahan
Hasil Ternak untuk pembuatan bakso Lamtoro Beeef Uji sifat fisik dan nilai
organoleptik.

3.2 Materi Penelitian


3.2.1 Bahan Pembuatan Bakso
Tabel 2. Bahan pembuatan bakso dengan daging sapi lamtoro beef.

No Bahan Perlakuan
P0 P1 P2 P3
Gram Gram Gram Gram

1. - Daging sapi - 500 600 700


Lamtoro beef
- Daging sapi biasa 500 - - -
(kontrol)
2. Garam 25 25 25 25
3. Tepung tapioka 350 350 350 350
4. Merica bubuk 15 15 15 15
5. Penyedap rasa 20 20 20 20
6. Es batu 55 55 55 55
7. Bawang putih 35 35 35 35

17
Total 1000 1000 1100 1200
Sumber : Suryadi (2017).
Keterangan :
P0 = 500 g Daging Sapi Lokal (sebagai kontrol).
P1 = 500 g Daging Sapi Lamtoro Beef.
P2 = 600 g Daging Sapi Lamtoro Beef.
P3 = 700 g Daging Sapi Lamtoro Beef.

3.2.2 Bahan Untuk Uji Sifat Fisik

Tabel 3. Uji sifat Fisik


No Uji sifat Fisik Bahan Jumlah
1. Daya ikat air - Bakso daging lamtoror 3
beef
- Bakso daging sapi lokal 1
2. Susut masak - Bakso daging lamtoror 3
beef
- Bakso daging sapi lokal 1
3. Daya putus - Bakso daging lamtoror 3
beef
- Bakso daging sapi lokal 1
4. pH - Bakso daging lamtoror 3
beef
- Bakso daging sapi lokal 1

3.2.3 Alat Pembuatan Bakso


Tabel 4. Alat Pembuatan Bakso
No. Nama Alat Kegunaa Spesifikasi Jumlah
1. Baskom Untuk meletakan Stainless steel 2
Besar bahan yang telah
ditimbang
2. Kompor Untuk memasak bakso Merek hitachi, 1
dua tungku
3. Timbangan Untuk menimbang Merek camry, 1
Analitik bahan dan bumbu bakso kapasitas 5 kg
4. Dandang Untuk merebus bakso Merek camry, 1
yang telah dibuat kapasitas 5 kg
5. Sendok Untuk membulatkan Stainless steel 1
bakso
6. Penyaring Untuk mengangkat Stainless steel 1
bakso saat matang

18
7. Fine cutter/ Untuk mencampur Merek film, 1
silent cutter adinan dan menggiling Stainless steel
bakso saat matang
8. Mix Untuk menggiling Merek L.E.M, 1
Grander daging Stainless steel

3.2.5 Alat yang Digunakan Dalam Uji Sifat Fisik

Tabel 5. Alat Uji sifat fisik

No. Nama Alat Kegunaan Spesifikasi


Kapasitas Merk Jumlah
1. Timbangan Untuk 2800 gram Ohaus 1
Analitik menimbang
sejumlah bahan
2. pH Meter Untuk 1 – 14 Hanna 1
menentukan
keasaman atau
kebasaan
3. Gelas Ukur Untuk 100 ml Pyrek 1
mengukur
volume cairan
4. Gelas Piala Untuk tempat 100 ml Pyrek 1
(beker) mencampur
cairan
5. Pinset Untuk menjepit - - 1
benda
berukuran kecil
6. Plastik Untuk - - 1
Klip membunngkus
bahan
7. Tenderome Untuk menguji 40 kg Model 1
ter sifat fisik KA-20
daging
(keempukan)
8. Pisau Untuk - - 1
memotong
bahan
9. Penggaris Untuk 30 cm - 1

19
mengukur
panjang bahan
10. Pemanas / Untuk 110 Oc Mammer 1
Waterbath memanaskan
bahan
11. lanjutan Juicer
Table 2 Untuk 250 watt Miyako 1
(Mesin menghaluskan Juice JE-
Ekstrak) bahan 607
12. Thermomet Untuk 150 Oc Assistant 1
er mengukur suhu
13. Kertas Untuk - 1
Label penamaan
sampel
Table lanjutan 2

No. Nama Alat Kegunaan Spesifikasi

Kapasitas Merk Jumlah


14. Pengaduk Untuk - - 1
Kaca mengaduk
bahan

15. Kertas Untuk - - 1


Tissue membersihkan
area penelitian
16. Kain Putih Untuk - - 1
menyaring sari
kemri
17. Baskom Untuk merebus - - 1
daging
18. Piring Untuk tempat - - 4
menaruh daging
19. Balok Untuk tempat - - 1
Kayu / uji sifat
Triplek organoleptik

3.2.6 Alat yang digunakan dalam uji Nilai Organoleptik

Tabel 6. Alat organoleptik


N Nama alat Jumlah Kegunaan
o
1. Kusioner 30 Untuk mengumpulkan informasi
2. Bolpoint 1 Untuk mengisi Kuisioner
3. Piring plastic 1 Untuk meletakkan sampel
4. Nampan 1 Untuk membawa piring berisi sampel kepanelis

20
5. Kertas label 1 Untuk memberi tanda pada sampel

3.3 Metode Penelitian


Langkah-langkah pembuatan Bakso :
1. Menimbang daging sapi lokal dan daging lamtoro beef seberat 500
gram.
2. Daging yang telah ditimbang, dihaluskan menggunakan mix grinder.
3. Memasukan bahan utama dan bumbu yang telah di haluskan.
4. Mengawasi adonan bakso dalam alat pencampur adonan untuk
mencegah adonan tidak merata.
5. Mencetak bakso kemudian merebus bakso menggunakan panci dengan
api besar hingga 45 menit.
6. Mendinginkan bakso yang telah matang menggunakan nampan.
7. Memasukan bakso yang telah didinginkan kedalam plastik kemasan dan
diberi label.

DIAGRAM ALIR

Persiapan

Daging Lamtoro Beef Daging sapi lokal

Penggilingan

Pencampuran dan Penggilingan


es batu + Tepung + Bumbu

Pencetakan

Perebusan

21
Bakso

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan bakso lamtoro beef.

3.4 Variabel yang Diukur


Variabel yang diukur pada penelitian ini yakni :
1. Uji sifat fisik yang meliputi: susut masak, keempukan daya ikat dan pH
pada bakso sapi
2. Uji organoleptik meliputi: warna, rasa, tekstur, dan aroma pada bakso sapi.

3.5 Uji Sifat Fisik

a. Daya Ikat Air (DIA) Daging


1. Ditimbang 0,3 gr bakso sampel
2. Diletakkan sampel bakso diantara dua kertas saring, kemudian
meletakkan kertas saring diantara dua lempengan kaca.
3. Diberi beban 35 kg diatas lempengan kaca selama 10 menit, kemudian
melepaskan beban dan lempengan kaca.
4. Diukur luas/area (daerah basah) pada kertas saring dengan
menggunakan plastik grid.
5. Dihitung DIA dengan rumus sebagai berikut :
daerah basah( cm)
mg H2O= - 8,0
0.0948

MgH 2O
DIA= Kadar Air- x 100
300

a. Pengukuran pH Bakso
1. Ditimbang 10 gr bakso sampel.
2. Dihaluskan/mencacah bakso menggunakan penumbuk/pencacah.

22
3. Dimasukkan bakso yang telah halus kedalam gelas piala.
4. Ditambah 15 ml air destilasi kedalam gelas piala yang berisi sosis
sampel yang telah dihaluskan.
5. Diaduk sampai merata dan mengukur pH bakso dengan pH meter.

b. Pengukuran Keempukan Bakso (Daya Putus warner – Blatzer)


1. Dipotong bakso sampel dengan ukuran sebagai berikut: lebar =1,5cm,
tebal 0,67 cm (Ukuran menggunakan jangka sorong)
2. Diletakkan bakso sampel diatas alat tenderometer dan putar alat
pemotongannya sampai baksonya putus.
3. Dicatat angka yag tertera pada alat tersebut, angka itulah yang
menunjukkan beban daya putus/keempukan bakso (kg/cm)
4. Dihitung daya putus bakso dengan rumus:

beban ×0,454 kg
Daya putus =
1,5 ×0,67 cm 2

Gambar 2. Diagram Sampel Daging.


c. Penentuan Susut Masak Bakso
1. Adonan bakso baik kontrol maupun perlakuan diambil sebanyak 1
sendok kira-kira 10 gr, kemudian dimasukkan kedalam kantung
palstik.
2. Direbus adonan bakso pada suhu 80oC selama 10 menit pada
waterbath.
3. Dibersihkan air yang masih menempel pada permukaan bakso dengan
tissue tanpa ditekan. Kemudian menimbang sampel.
4. Persentase susut masak dihitung dengan rumus

23
berat awal adonan bakso−berat masak
% susut masak = x 100%
berat awal adonan bakso

3.6 Uji Organoleptik


Penilaian sifat organoleptik meliputi warna, aroma, rasa, dan tekstur
yaitu menggunakan 30 panelis tidak terlatih dengan kriteria skor pada
pengujian hedonic 1 – 9. Metode pengujian sifat organoleptic ini berdasarkan
metode yang digunakan oleh Setyaningsih et al., (2010).
1. Langkah pertama para panelis dkumpulkan dan diberi arahan atau
penjelasan singkat tentang maksud dan tujuan dilakukan uji organoleptik.
2. Kemudian para panelis dibimbing untuk menempati ruang uji organoleptic
yang bersekat sehingga antara satu panelis dengan panelis lain tidak dapat
saling berdiskusi.
3. Sampel bakso daging sapi lamtoro beef dan bakso daging sapi lokal diatas
piring plastik yang telah diberi kode dan form yang diberikan pada panelis.
Panelis mulai menguji dengan kriteria yang telah ditentukan dan panelis
diminta mengisi kuisoner yang telah diberikan seperti pada tabel 7.

24
Tabel 7. Desain kuisioner Organoleptik
Nama Panelis :
Umur :

Kode sampel :
Kriteria Skor penilaian
Warna 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Aroma 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Rasa 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Tekstur 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Penerimaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keseluruhan
Sumber : Setianingsih et al,. (2010).
Keterangan :
Kriteria Sekor penilaian

1-3 4-6 7-9

Warna Gelap Terang Sangat terang

Aroma Tidak sedap Sedap Sangat sedap

Rasa Tidak enak Enak Sangat enak

Tekstur Keras Lembut Sangat lembut

Penerimaan Tidak diterima Diterima Sangat diterima


Keseluruhan

3.7 Analisis Data


Rancangan Percobaan
Penelitian ini dirancang berdasarkan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) pola searah dengan 4 perlakuan dengan 3 kali ulangan, data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis Of Varian (ANOVA) dan
dilanjutkan dengan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan
bantuan softwere SPSS 25.

25
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Fisik Bakso Daging Sapi Lamtoro Beef

Rata-rata sifat fisik bakso daging sapi lamtoro beef pada masing-
masing perlakuan disajikan pada tabel.

Tabel 8. Nilai rata-rata sifat fisik bakso daging sapi lamtoro beef
Sifat Fisik Perlakuan Sig Ket

P0 P1 P2 P3 .

Daya Ikat Air (57,71±2,00) a (64,75±1,91)b (62,34±3,51)ab (66.02±4,14)b 0,036 S


Daya Putus (0,171±0,003)d (0,07±0,0015c (0,05±0,001)b (0,04±0,001)a 0,000 S

Susut Masak (15,88±0,76)c (13,21±0,21)b (13,75±0,67)b (12,10±0,12)a 0,000 S

pH 5,73±0,38 5,97±0,15 6,03±0,11 6,16±0,39 0,172 NS

Keterangan : superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
P0 = 500 g Daging Sapi Lokal (sebagai kontrol).
P1 = 500 g Daging Sapi Lamtoro Beef
P2 = 600 g Daging Sapi Lamtoro Beef
P3 = 700 g Daging Sapi Lamtoro Beef
NS = Non Signifikan, Nilai rata-rata ± SD
S = Signifikan.

4.1.1 Daya Ikat Air (DIA)


Daya ikat air merupakan kemampuan daging menahan sejumlah
air selama mendapat pengaruh dari luar seperti pengirisan, pemanasan,
penggilingan ataupun penekanan. Berdasarkan hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa bakso daging sapi lamtoro beef memberikan
pengaruh nyata (P<0,05) dimana nilai rata-rata nilai daya ikat air
bakso yang di dapatkan pada penelitian ini yaitu P 0 (500 g daging sapi
lokal sebagai kontrol) sebesar 57,1%, P1 (500 g daging sapi lamtoro
beef) sebesar 64,74%, P2 (600 g daging sapi lamtoro beef) sebesar
62,33%, dan P3 (700 g daging sapi lamtoro beef) sebesar 66,02%.
Daya ikat air menunjukkan angka yang cendrung meningkat.

26
Hasil analisis menunjukan angka signifikan 0,036 (P<0,05),
artinya penambahan daging lamtoro beef berpengaruh nyata terhadap
daya ikat air pada daging. karna adanya penambahan daging lamtoro
beef maka semakin bertambah tinggi kandungan pH, daya mengikat
air pada objek dalam penelitian ini tergolong masih dalam kisaran
normal. Hal ini sejalan dengan pendapat Zulfahmi dkk. (2014) bahwa
penurunan pH akan berpengaruh pada rendahnya daya mengikat air
pada daging. Derajat keasaman yang tinggi akan menyebabkan
penutupan pada struktur daging sehingga daya ikat air akan
meningkat.

Daya ikat air dari empat perlakuan dan tiga ulangan yang
dilakukan pada penelitian ini berada pada kisaran 57,71% sampai
66,02%. Menurut Soeparno (2015) nilai daya ikat air (DIA) pada
daging sapi berkisar antara 44,31% sampai 77,67%. Hal ini
menunjukan bahwa nilai daya ikat air bakso dalam penelitian ini
masih dalam kisaran daya ikat air normal. Pada penelitian Sudrajat
(2007), daya ikat air bakso kerbau dan bakso sapi dengan penambahan
karagenan 0,3% yaitu 50,99% dan 59,45%. Daya ikat air bakso ikan
tongkol lebih tinggi dengan bakso kerbau dan bakso sapi karena
pengaruh dari penambahan konsentrasi karagenan yang lebih tinggi.
Sylvia (2015) melakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan
beberapa jenis filler terhadap sifat fisik chicken nugget ayam petelur
afkir dimana nilai daya ikat air berada pada kisaran 50,99% sampai
53,17%. .Sedangakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Audina et
al., (2015) untuk daging olahan sosis ayam broiler dengan filler jamur
tiram putih, daya ikat airnya berkisar 31,64% sampai 51,53% dan
penelitian lainnya oleh Prayitno et al., (2009) mendapatkan hasil daya
ikat air sosis daging sapi dengan fortifikasi β-karoten dari labu kuning
berkisar antara 14,15% samapai 58,48%.

27
4.1.2 Daya Putus

Daya putus daging merupakan faktor penting dalam pengolahan


daging, maka semakin tinggi nilai daya putus berarti semakin banyak
daya yang diperlukan untuk memutuskan serabut daging per sentimeter
persegi, yang berarti daging semakin alot atau tingkat keempukan
semakin rendah (Suryati,2007).

Berdasarkan hasil analisis ragam dalam penelitian ini


menunjukkan bahwa Penambahan tingkat konsentrasi daging sapi
lamtoro beef dalam pembuatan bakso dengan konsentrasi yang berbeda
memberikan pengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap daya putus
bakso. Rata-rata nilai yang didapatkan pada penelitian ini yaitu, P0 (500
g daging sapi lokal sebagai kontrol) sebesar 0,17 kg/cm 2, P1 (500 g
bakso daging sapi lamtoro beef) sebesar 0,07 kg/cm 2, P2 (600 g bakso
daging sapi lamtoro beef) sebesar 0,05, dan P3 (700 g bakso daging
sapi lamtoro beef) sebesar 0,04 kg/cm 2. Hal ini sejalan dengan yang
diungkapkan oleh Keeton (2001) bahwa, adanya sejumlah air pada
bakso berpengaruh terhadap kekenyalan yang disebabkan air, lemak
dan tersedianya basil ekstraksi protein yang menyebabkan terjadinya
emulsi, sehingga bakso sapi menjadi pecah.

Dari penelitian diatas menunjukan semakin tinggi penambahan


daging pada bakso sapi lamtoro beef maka semakin rendah pula tingkat
daya putus atau keempukanya. Semakin tinggi nilai daya putus WB
berarti semakin banayak gaya yang diperlukan untuk memutus serabut
daging per sentimeter persegi, yang berarti daging semakin alot atau
tingkat keempukan semakin rendah. Nilai daya putus Warner-Bratzler
menunjukan tingkat keempukan daging. proses pelayuan daging dan
peregangan otot terhadap daya putus Warner-Bratzler menjadi lebih
besar setelah pemasakan. Hal ini diduga karena pengaruh daya
mengikat air yang berbeda sangat nyata. Keberadaan air dalam produk
bakso sapi mempengaruhi. kekenyalan dan daya potong.

28
Faktor yang mempengaruhi daya putus bakso atau keempukan
yaitu Bouchon et al. (2003) menyatakan bahwa temperatur pemasakan
yang tinggi akan menyebabkan banyak rongga di dalam produk daging
yang ditinggalkan oleh air yang menyebabkan produk daging tersebut
porous sehingga keempukannya meningkat. Keempukan sering kali
menyebabkan ketidakpuasan konsumen terhadap kualitas daging.
(Purchas et al., 2002). Menurut (Suryati et al., 2008) keempukan sangat
berkaitan dengan penerimaan konsumen terhadap produk olahan
daging. Berdasarkan hal tersebut dapat dipastikan hal tersebut bahwa
keempukan merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam
industri daging dan pengolahannya.

4.1.3 Susut Masak

Susut masak merupakan bobot produk yang dihasilkan dan


dibandingkan dengan bobot semua bahan yang digunakan untuk
pembuatan bakso. Susut masak yang diperoleh ini berkaitan dengan
kondisi daging atau adonan, proses pemasakan, serta kehilangan zat- zat
makanan yang ada dalam adonan akibat terjdinya reaksi, degradasi dan
perombakan menjadi komponen atau zat-zat yang lebih sederhana
selama proses pemasakan (Sofiana, 2012).

Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bakso


daging sapi lamtoro beef memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01)
dimana nilai rata-rata nilai susut masak bakso yang di dapatkan pada
penelitian ini yaitu P0 (500 g daging sapi lokal sebagai kontrol) sebesar
15,88%, P1 (500 g daging sapi lamtoro beef) sebesar 13,21%, P2 (600 g
daging sapi lamtoro beef) sebesar 13,75%, dan P3 (700 g daging sapi
lamtoro beef) sebesar 12,10% Susut masak pada bakso daging sapi
lamtoro beef berdasarkan perlakuan menunjukkan angka yang cendrung
menurun menunjukan kualitas dari produk tersebut sangat baik.

29
Pada umumnya susut masak bervariasi 1,5% sampai 54,5%
(Soeparno, 2015). Hal ini menunjukan bahwa nilai susut masak bakso
dalam penelitian ini masih dalam kisaran susut masak normal, dimana
susut masak pada penelitian ini berkisar antara 12,10% sampai 13,21%.
Penelitian Mega et al.,(2014) mendapat kan hasil susut masak sosis
daging kambing menggunakan susu kedelai sebagai bahan pengikat
berkisar antara 6,11% sampai 15,73%. Penelitian Sofiana (2012)
mendapatkan hasil susut masak sosis daging sapi penambahan tepung
kedelai sebagai bahan pengikat berkisar antara 5,41% sampai 13,34%.
Penelitian Bulkaini et al., (2014) mendapatkan hasil susut masak sosis
daging sapi dengan tambahan bahan nabati tepung kacang hijau
berkisar antara 2,25 % sampai 4,72%.

Produk olahan daging dengan nilai susut masak yang rendah


mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan dengan nilai
susut masak yang tinggi karena kehilangan nutrisi pada saat proses
pembuatan akan lebih sedikit (Komariah, 2009).

4.1.4 pH
Berdasarkan uji pH yang telah dilakukan masing-masing sampel
diambil 5 gram untuk dicacah menjadi potongan-potongan kecil yang
kemduian diletakkan ke dalam gelas plastik dan dicampurkan dengan 5
ml aquades agar dalam melakukan pengukuran pH lebih mudah,
menunjukkan bahwa pada uji pH bakso tidak menunjukkan adanya
pengaruh yang nyata (P>0,05) Rata-rata nilai yang didapatkan pada
penelitian ini yaitu, Po (500 g dagingsapi lokal sebagai kontrol) sebesar
5,73 P1 (500 g bakso daging sapi lamtoro beef) sebesar 5,97 P2 (600 g
bakso daging sapilamtoro beef) sebesar 6,03 dan P3 (700 g bakso
daging sapi lamtoro beef) sebesar 6,16. Menurut Winarno (1997), pH
bakso memiliki rata-rata sekitar 6,0 dan menurut Bourne (2002) pH
bakso berkisar antara 5,5 sampai 7,2. Jadi pada bakso kontrol (PO)
hingga

Hasil analisis menunjukan angka signifikan 0,172 (P>0,05)

30
sehingga penambahan daging daging lamtoro beef tidak mampu
mempengaruhi pH dari dagingnya. Nilai pH menentukan kualitas
produk bakso, nilai pH pangan menurut Standarisasi Nasional Indonesia
yaitu berkisar antara 6 sampai 7 hal ini berarti bahwa nilai pH dalam
penelitian ini masih memenuhi batasan pH menurut Standar Nasional
Indonesia. pH daging dipengaruhi oleh faktor intristik dan ekstrinstik.
Faktor instrinstik yaitu spesies, jenis otot dan glikogen otot. Faktor
ekstrinstik yang mempengaruhi pH daging yaitu temperatur, perlakuan
pemotongan serta tingkat stres pada ternak (Kurniawan dkk. 2014).
Perlakuan yang tidak menunjukan perbedaan yang signifikan diduga
karena kandungan dalam sari kemiri tidak mempu meningkatkan
glikogen dalam otot atau cadangan glikogen dalam otot sebelum
pemotongan sangat rendah sehingga menyebabkan rendahnya jumlah
asam laktat yang terbentuk (Prakoso dkk. 2020).

Bulkaini et al, (2014) menyatakan bahwa perlakuan selama proses


pengolahan daging dapat mengubah nilai pH. Proses penggilingan akan
menyebabkan kerusakan pada ikatan protein daging yang akan
mempermudah perubahan kedudukan ion H' dan OH saat melakukan
pemasakan.

31
4.2 Nilai Organoleptik Bakso Daging Sapi Lamtoro Beef

Penilaian uji organoleptik melibatkan 30 orang panelis yang tergolong


tidak terlatih. Pengujian skoring dengan nilai 1-9 (nilai terendah I dan nilai
tertinggi 10). Rata-rata nilai organoleptik bakso daging lamtor beef pada
masing- masing perlakuan disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai Organoleptik Nugget Daging Sapi Lamtoro Beef


Nilai Perlakuan Sig Ket.
Organoleptik P0 P1 P2 P3

Warna (7,97±0,49)d (6,35±0,41)c (5,35±0,39)b (4,45±0,28)a 0,000 S


Aroma (7,36±0,23) a
(7,67±0,29) b
(8,14±0,25) c
(8,64±0,36) 0,000
d
S

Rasa (7,53±0,33)a (7,56±0,33)a (7,97±0,25)b (8,19±0,24)c 0,000 S

Tekstur (6,46±0,36)a (6,69±0,26)b (7,61±0,31)c (8,07±0,37)d 0,000 S

Penerimaan (7,45±0,24)a (7,54±0,27)a (8,04±0,28)b (8,57±0,30)c 0,000 S


Keterangan : superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
Perbedaan sangat yang nyata (P<0,01)
P0 = 500 g Daging Sapi Lokal (sebagai kontrol)
P1 = 500 g Daging Sapi Lamtoro Beef
P2 = 600 g Daging Sapi Lamtoro Beef
P3 = 700 g Daging Sapi Lamtoro Beef
NS = Non Signifikan, Nilai rata-rata ± SD
S = Signifikan.

4.2.1 Warna

Secara virtual warna tampil lebih dahulu dan kadang sangat


menentukan mutu suatu produk sebelum faktor-faktor lain yang
dipertimbangkan seperti rasa, aroma, kekenyalan dan penerimaan.
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bakso daging
sapi lamtoro beef memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) dimana
nilai rata-rata warna bakso yang di dapatkan pada penelitian ini yaitu Po
(500 g daging sapi lokal sebagai kontrol) sebesar 7,97 P1 (500 g daging
sapi lamtoro beef) sebesar 6,35 , P2 (600 g daging sapi lamtoro beef)
sebesar 5,35, dan P3 (700 g daging sapi lamtoro beef) sebesar 4,45.
Tingkat pengamatan panelis terhadap warna dari bakso daging sapi
lamtoro beef terletak antara gelap hingga sangat terang. Artinya

32
semakin bertambah jumlah daging maka semakin gelap pula warna
bakso yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukan oleh Sagita (2021)
sosis daging ayam yang ditambahkan dengan tepung mocaf mempunyai
nilai organoleptik warna antara 4,00 sampai 7,50.

Berdasarkan hasil analisisdapat dilihat bahwa nilai signifikansi


yang didapatkan ialah 0,00 (P<0,00) artinya jika diuji secara simultan
maka penambahan daging lamtoro beef memberikan perbedaan sangat
nyata dengan daging sapi local (kontrol). jika dilihat dari nilai superskip
kempat perlakuan memiliki huruf yang berbeda pada baris yang sama
artinya semua perlakuan baik P1, P2 ataupun P3 memberikan
perbedaan yang sangat nyata pada perubahan warna daging. Hal ini
dipengaruhi oleh skor penilaian warna pada setiap perlakuan termasuk
ke dalam kategori gelap terang dan sangat terang.

4.2.2 Aroma

Aroma adalah salah satu faktor penting konsumen dalam memilih


produk makanan yang disukai. Selain berdasarkan gizi, konsumen lebih
dahulu tertarik pada warna, rasa, tekstur dan tidak terlepas dari
hedonism (mendapatkan kenikmatan semata-mata) (Winarno, 2008).
Aroma juga faktor paling penting dari daging. Aroma suka untuk
didefinisikan secara objektif.

Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bakso


daging sapi lamtoro beef memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01)
dimana nilai rata-rata rasa bakso yang di dapatkan pada penelitian ini
yaitu P0 (500 g daging sapi lokal sebagai kontrol) sebesar 7,36, P1 (500
g daging sapi lamtoro beef) sebesar 7,67, P2 (600 g daging sapi lamtoro
beef) sebesar 8,14, dan P3 (700 g daging sapi lamtoro beef) sebesar
8,64 Tingkat pengamatan panelis terhadap aroma dari bakso daging sapi
lamtoro beef terletak antara suka hingga sangat suka. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dahlanuddin dkk.
(2014), bahwa warna daging dan lemak serta skor marbling daging dari

33
sapi yang diberi pakan Leucaena adalah sama. dengan daging Bali lokal
grade tinggi dan memiliki aroma yang sangat khas dan kuat bila
dibandingkan dengan daging sapi yang diberikan pakan tradisional.

Hasil penelitian ini menunjukan nilai signifikan 0,00 (P<0,01)


artinya terdapat perbedaan yang sangat nyata dari setiap perlakuan
terhadap kontrol. Ketiga perlakuan memiliki nilai superskip yang
berbeda baik pada perlakuan pertama, kedua, ketiga ataupun kontrol.
Artinya setiap penambahan daging lamtoro beef menghasilkan aroma
yang sedap dan disukai oleh para panelis. Hal ini diduga bahwa aroma
dari daging lamtoro beef lebih sedap bila di bandingkan dengan daging
sapi local (control).

4.2.3 Rasa

Rasa merupakan faktor penentu penerimaan konsumen terhadap


suatu suatu produk pangan. Meskipun dari aspek lain suatu produk
sangat unggul, misalnya warna yang menarik, aroma yang sedap
maupun tekstur yang baik, jika rasa tidak enak maka pangan tersebut
tidak akan diterima oleh konsumen. Rasa bakso yang diharapkan adalah
yang masih memiliki rasa daging.
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bakso
daging sapi lamtoro beef memberikan pengaruh sangat nyata (P0.01)
dimana nilai rata-rata rasa bakso yang di dapatkan pada penelitian ini
yaitu PO (500 g daging sapi lokal sebagai kontrol) sebesar 7,53, P1
(500 g daging sapi lamtoro beef) sebesar 7,56, P2 (600 g daging sapi
lamtoro beef) sebesar 7,97, dan P3 (700 g daging sapi lamtoro beef)
sebesar 8,19. Tingkat pengamatan panelis terhadap rasa dari bakso
daging sapi lamtoro beef terletak antara tidak sedap hingga sangat
sedap.

Penelitian yang dilakukan oleh Irwansyah (2018) mempunyai


nilai organoleptik rasa sosis sapi dengan penambahan bahan pengikat
seperti tepung tapioka berkisar 7,05 dan dengan penambahan bahan

34
pengikat tepung kacang hijau berkisar 7,56, sedangkan dengan
penambahan tepung jagung memmpunyai nilai organoleptik rasa yaitu
8,19. Sedangkan menurut Dahlanuddin Dkk. (2014) Rasa daging sapi
yang diberi pakan lucanea lebih kuat. Pada indicator ini, sebanyak
85.7% panelis setuju/menjawab iya dan 14.3% panelis tidak
setuju/menjawab tidak untuk potongan daging sapi yang berasal dari
bagian rump. Sementara untuk potongan daging sapi pada bagian
striploin, 75% panelis mengatakan iya dan 12.54% menjawab tidak.
Sisanya (12.5%) belum jelas (not clear).

4.2.4 Tekstur

Tekstur merupakan sensori daging yang berkaitan dengan tingkat


kehalusan bakso. Tekstur suatu bentuk dari daging yang dapat dirasa
dengan rabaan atau sentuhan. Tekstur bersifat kompleks dan terkait
dengan struktur bahan yang terdiri dari tiga elemen yaitu mekanik
(kekerasan, kekenyalan), geometric (berpasir,beremah) dan mouthfeel
(berminyak, berair). Tekstur menjadi salah satu faktor apakah sebuah
daging dapat di konsumsi atau tidak. Tekstur juga menjadi salah satu
alasan seseorang tertarik mengkonsumsi daging tersebut atau tidak.

Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bakso


daging sapi lamtoro beef memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01)
dimana nilai rata-rata tekstur bakso yang di dapatkan pada penelitian ini
yaitu PO (500 g daging sapi lokal sebagai kontrol) sebesar 6,46 , P1
(500 g daging sapi lamtoro beef) sebesar 6,69 , P2 (600 g daging sapi
lamtoro beef) sebesar 7,61 , dan P3 (700 g daging sapi lamtoro beef)
sebesar 8,07.

Tingkat pengamatan panelis terhadap tekstur dari bakso daging


sapi lamtoro beef terletak antara keras hingga sangat lembut. Penelitian
yang dilakukan oleh Mega (2014) mempunyai nilai organoleptik tekstur
sosis ayam dengan penambahan bahan pengikat seperti tepung mocaf
berkisar 3,88 sampai 7,06. artinya bahwa penambahan daging lamtoro

35
beef pada bakso mampu mempengaruhi tekstur daging secara sangat
nyata. Hasil dari Skor/nilai kelembutan daging sapi pakan Leucaena
berkisar antara 2.4 sampai 3.2 kg/cm3. Lebih rendah daripada (agak
kasar) kelembutan daging sapi Bali local (3.56 kg/cm3 untuk daging
sapi “Leucaena Yulianto, tidak dipublikasikan). Dahlanuddin dkk.
(2014). Menurut Soeparmo (2009), faktor yang berpengaruh terhadap
nilai keempukan adalah jaringan ikat dan lemak marbling yang terdapat
dalam produk, juga temperatur yang mempunyai pengaruh bervariasi
terhadap daya ikat air oleh protein daging, susut masak, pH, daging.

4.2.5 Penerimaan

Pengujian tingkat penerimaan dilakukan pada 30 panelis tidak


terlatih dengan uji organoleptik yang bertujuan untuk mengetahui
tingkat penerimaan konsumen terhadap bakso daging sapi lamtoro beef
yang meliputi warna, aroma, rasa, dan tekstur. Berdasarkan hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa bakso daging sapi lamtoro beef
memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) dimana nilai rata-rata
penerimaan bakso yang di dapatkan pada penelitian ini yaitu P0 (500 g
daging sapi lokal sebagai kontrol) sebesar 7,45, P1 (500 g daging sapi
lamtoro beef) sebesar 7,54 , P2 (600 g daging sapi lamtoro beef)
sebesar 8,04, dan P3 (700 g daging sapi lamtoro beef) sebesar 8,57.
Tingkat pengamatan panelis terhadap penerimaan dari bakso daging
sapi lamtoro beef terletak antara diterima hingga sangat di terima.

36
Diagram Radar Organoleptik

P0 P1 P2 P3

Warna

10

Penerimaan Aroma

 P0 : 500g Daging sapi local


Tekstur  P1 : 500g Daging sapi lamtoro beef Rasa
 P2 : 600g Daging sapi lamtoro beef
 P3 : 700g Daging sapi lamtoro beef

Gambar 3. Diagram Radar Organoleptik.

37
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian sifat fisik dan nilai organoleptik bakso


daging sapi lamtoro beef dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Peningkatan daging sapi lamtoro beef pada setiap perlakuannya


berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya ikat air namun, Pada susut
masak semakin tinggi daya mengikat air maka ketika proses pemanasan air
dan cairan nutrisi akan sedikit yang keluar atau terbuang sehingga masa
bakso daging lamtoro beef yang berkurang sedikit. Pada daya putus
berpengaruh sangat nyata (P<0,01), dari penelitian ini menunjukan
semakin tinggi penambahan daging pada bakso sapi lamtoro beef maka
semakin rendah pula tingkat daya putus, menujukan bahwa kualitas produk
itu empuk .
2. Penambahan rasio daging sapi lamtoro beef pada setiap perlakuannya
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai organoleptik warna
menunjukan warna disetiap penambahan daging lamtoro beef menunjukan
warna yang semakin gelap, penambahan daging lamtoror beef
menunjukan aroma semakin kuat dan sedap , penambahan daging daging
lamtoro beef menunjukan rasa semakin enak , penambahan daging daging
lamtoro beef menunjukan tekstur semakin empuk. Pada penerimaan, bakso
daging sapi lamtoro beef lebih diterima dibandingkan dengan bakso
daging sai lokal karena para panelis melihat dari aroma , rasa dan tekstur.
5.2 Saran
Perlu dilakuan penelitian lebih lanjut guna mengetahui kandungan
nutrisi dari bakso daging sapi lamtoro beef dan daya simpan bakso untuk
beberapa waktu yang ditetapkan serta terhadap cemara mikroba, sehingga
dapat menghasilkan bakso daging sapi lamtoto beef dengan gizi dan mutu
yang baik serta aman jika disimpan dalam waktu jangka panjang

38
RINGKASAN
Menurut (Badan Standardisasi Nasional 2015) bakso merupakan salah satu
olahan daging yang popular dan disukai oleh masyarakat. Bakso mempunyai nilai
gizi yang tinggi dengan komposisi gizi bakso berbeda-beda, tergantung pada jenis
daging yang digunakan dan proses pengolahannya. Maka tujuan dilakukannya
penelitian ini untuk mengetahui sifat fisik dan nilai organoleptik bakso daging
lamtoro beef dan sebagai data pembanding untuk penelitian selanjutnya.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan agustus 2021 dengan satu tahap.
Tahap pertama membuat bakso di Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil
Ternak (TPHT) Fakultas Peternakan Universitas Mataram untuk uji sifat fisik dan
nilai organoleptik. Penelitian ini dirancang berdasarkan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) pola searah dengan 4 perlakuan dengan 3 kali ulangan, data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan Analysis Of Varian (ANOVA) dan dilanjutkan
dengan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan bantuan softwere SPSS
25.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya ikat air pada sbakso


menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05). pada masing-masing perlakuan (PO
500g, P1 500g, P2 600g, P3 700g). Daya ikat air paling tinggi diperoleh pada P3
(66.02±4,14), sedangkan daya ikat air paling rendah diperoleh pada PO daging
sapi lokal (control) yaitu (57,71±2,00 mgH2o). Sedangkan daya ikat air pada
bakso yang diberikan perlakuan P1 500g daging lamtoro beef dan P2 600g daging
lamtoro beef masing-masing 64,75±1,91 mgH2O dan 62,34±3,51 mgH2o. Hal ini
sangat dipengaruhi oleh penambahan daging selama pengolahan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada uji susut masak bakso


menunjukkan adanya pengaruh berbeda sangat nyata (P-0,05) pada masingmasing
perlakuan (PO 500g,P1 500g, P2 600, P3 700). Berdasarkan tabel diatas susut
masak paling tinggi diperoleh pada PO (15,88±0,76%), sedangkan susut masak
paling rendah diperoleh pada P3 yaitu (12,10±0,12%). Sedangkan susut masak
pada bakso yang diberikan perlakuan P1 500g daging lamtoro beef' (P1) dan P2
600g daging lamtoro beef (P2). masing-masing 13,21±0,21% dan 13,75±0,67%.

39
Diduga dipengaruhi oleh protein, semakin banyak protein pada suatu produk,
maka semakin kecil tingkat susut masak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada uji daya putus bakso


menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda sangat nyata pada perlakuan P0
500g daging sapi lokal , P1 500g daging sapi lamtoro beef, P2 600g daging
lamtoro beef, P3 700g daging lamtoro beef (P<0,05). Daya putus bakso paling
tinggi diperoleh pada P0 (0,171±0,003 kg/cm2), sedangkan Daya putus paling
rendah diperoleh pada P3 yaitu (0,04±0,001 kg/cm2). Sedangkan keempukan pada
bakso yang diberikan perlakuan P1 500g daging lamtoro beef (P1) dan P2 600g
daging lamtoro beef (P2) masing-masing 0,07±0,0015 kg/cm2 dan 0,05±0,001
kg/cm2. Selain itu posisi sampel bakso saat proses pengkukusan diduga juga
mempengaruhi tingkat keempukan, karena pada saat pengkukusan sampel P1
diletakan paling bawah kemudian P2, P3 dan P0 paling atas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada uji pH bakso tidak berbeda


nyata (P-0,05) pada masing-masing perlakuan (P0 500g daging sapi lokal, Pl S00g
daging sapi lamtoro beef, P2 600g daging sapi lamtoro beef, P3 700g daging
lamtoro beef). Berdasarkan tabel diatas pH paling tinggi diperoleh pada P3
(6,16±0,39), sedangkan susut masak paling rendah diperoleh pada P0 yaitu
(5,73±0,38). Sedangkan susut masak pada bakso yang diberikan perlakuan 500g
daging sapi lamtoro beef (P1) dan 600g daging sapi lamtoro beef (P2) masing-
masing 5,97±0,15 dan 6,03±0,11. Hasil pH pada penelitian ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan pH daging ayam broiler yang masih segar Yaitu 6,8-7,0, hal
ini kemungkinan disebabkan oleh suhu tinggi pada saat Pengukusan bakso.

Penilaian organoleptik digunakan untuk menilai mutu suatu makanan


Dalam penilaian organoleptik memerlukan panel, baik perorangan maupun
kelompok untuk menilai mutu maupun sifat benda dari kesan subjektif. Orang
yang menjadi anggota panel dinamakan panelis. Menurut Soekarto (1985) panel
terbatas merupakan panel yang terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan
tinggi. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor dalam penilaian
organoleptik dan dapat mengetahui cara pengolahan serta pengaruh bahan baku
terhadap hasil akhir. Panel terbatas mengambil keputusan setelah berdiskusi

40
diantara anggota anggotanya. Cara ini dapat mengurangi ketergantungan kepada
seseorang dalam mengambil keputusan, tetapi kadang-kadang antar panelis tidak
sepakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa panel perseorangan terbatas
bertanggung jawab sebagai penguji, mengetahui prosedur kerja dan membuat
kesimpulan dari hal yang dinilai. Organ pengindraan yang berperan adalah
hidung, lidah, mata dalam menentukan keadaan benda yang dinilai. Jenis
kesannya adalah spesifik seperti rasa manis, pahit, asin dengan intensitas kesan
kuat lemahnya suatu rangsangan. Lama kesan adalah bagaimana suatu rangsangan
menimbulkan kesan mudah atau tidak mudahnya hilang setelah dilakukannya
pengindraan. Rasa manis memiliki kesan lebih rendah setelah dibandingkan
dengan rasa pahit sesudahnya (Agusman, 2013). Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan agustus 2021. Penelitian ini dilaksanakan membuat bakso dan uji
organoleptic di Laboratorium TeknologiPengolahan Hasil Ternak (TPHT)
Fakultas Peternakan Universitas Mataram.

Hasil penelitian ini didapatkan penilaian organoleptik (aroma, rasa, warna,


tekstur dan penerimaan keseluruhan) bakso dengan penambahan daging lamtoro
beef di setiap level menunjukkan bahwa berpengaruh sangat nyata (P-0,01). Dari
nilai rataan bakso PO yang didapat menunjukkan panelis suka terhadap bakso
dengan tanpa penambahan daging lamtoro beef dari warna akan tetapi pada
aroma, rasa, tekstur dan penerimaan para panelis kurang menyukai warna dari
bakso lamtoro beef lebih menyukai bakso dengan daging sapi lamtoro beef. Nilai
rataan bakso P1 menunjukkan panelis suka terhadap bakso dengan penambahan
daging lamtoro beef dari aroma, rasa. tekstur dan penerimaan keseluruhan. Nilai
rataan bakso P2 menunjukkan panelis agak menyukai aroma dan rasa bakso
dengan penambahan daging lamtoro beef dan panelis menyukai aroma, rasa,
tekstur dan penerimaan keseluruhan .dari bakso. Sedangkan untuk nilai rataan
bakso P3 menunjukkan bahwa panelis kurang menyukai bakso dengan
penambahan bakso lamtoro beef dari warna.

Kesimpulan dari penelitian ialah Peningkatan daging sapi lamtoro beef


pada setiap perlakuannya berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya ikat air
namun, Pada susut masak semakin tinggi daya mengikat air maka ketika proses

41
pemanasan air dan cairan nutrisi akan sedikit yang keluar atau terbuang sehingga
masa bakso daging lamtoro beef yang berkurang sedikit. Pada daya putus
berpengaruh sangat nyata (P<0,01), dari penelitian ini menunjukan semakin tinggi
penambahan daging pada bakso sapi lamtoro beef maka semakin rendah pula
tingkat daya putus, menujukan bahwa kualitas produk itu empuk .

Penambahan rasio daging sapi lamtoro beef pada setiap perlakuannya


berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai organoleptik warna menunjukan
warna disetiap penambahan daging lamtoro beef menunjukan warna yang semakin
gelap, penambahan daging lamtoror beef menunjukan aroma semakin kuat dan
sedap , penambahan daging daging lamtoro beef menunjukan rasa semakin
enak , penambahan daging daging lamtoro beef menunjukan tekstur semakin
empuk. Pada penerimaan, bakso daging sapi lamtoro beef lebih diterima
dibandingkan dengan bakso daging sai lokal karena para panelis melihat dari
aroma , rasa dan tekstur.

42
DAFTAR PUSTAKA

Aberle, E. D,. J. C Forrest., D. E. Gerrand., and E.W. Mills. 2001. Principles of


Meat Science. Fourth Ed. Kendal/Hunt Publishing company, America.

Astawan, M. 2004. Mengapa Kita Perlu Makan Daging. http://www.diffy.com/


kesehatan/ detail. php?id-235 (24 Desember 2004).

Audina I, Warnoto dan Kususiyah, 2015. Pemberian Jamur Tiram Putih Terhadap
pH, DMA, Susut Masak Sosis, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian,
Universitas Bengkulu.

Aulawi, T dan Retty, N. 2009.Sifat Fisik Bakso Daging Sapi dengan Bahan
Pengenyal dan Lama Penyimpanan yang Berbeda.Jurnal Peternakan, 6 (2):
44-52.

Bouchon, Leo.M. and, L. Nollet. 2007. Handbook of Meat Poultry and Seafood
Ouality, Blackwell. Publishing John Wiley and Sosns,Inc.

Bounton PE, Harris PV, Macfarlane JJ dan O'Shea JM, 1978. Sifat Fisik dan
Parameter Spesifik Kualitas Daging. Hal:263-313, dalam Soepomo. Iimu
danTeknologi Daging. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University.
Yogyakarta.

Brandiy, P.J., Migaki G., Taylor K.E. 1966. Meat Hygiene, 3“Edit. Lea and
Febiger, Philadelphia.

Bulkaini, Samiadi, Kisworo dan Hakim, 2014. Produksi Pangan Fungsional


Berbasis Daging Sapi Dengan Tambahan Bahan Nabati Tepung Kacang
Hijau Untuk Meningkatkan Kualitas Sosis. Laporan Penelitian Fakultas
Peternakan, Universitas Mataram.

Dahlanudin, O. Yanuarianto , D. P. Ouigley (2014). Animal Prodauction Sciens


54 (7).

Hermanianto dan R.Y. Andayani. 2002. Studi perilaku konsumen dan identifikasi
parameter bakso sapi berdasarkan preferensi konsumen di wilayah DKI
Jakarta. J. Teknologi dan Industri Pangan. XIIN1): 1 — 10.

Indrarmono, T. P. 1987. Pengaruh Lama Pelayuan Dan Jenis Daging Karkas Serta
Jumlah Es Yang Ditambahkan Ke Dalam Adonan Terhadap Sifat Fisiko-
Kimia Bakso Sapi. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Irwansyah 2018. Menyatakan Nilai Organoleptik Sosis Sapi Kualitas Rendah


dengan Penambahan Bahan: Pangan Fungsional. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Universitas Mataram.

43
Keeton, J. T., 2001. Formed and emulsion product. Dalam: Perumalla, Effect of
Potassium Lactate and Sodium Diacetate Combination to Inhibit Listeria
Monocytogenes In Low and High Fat Chicken and Turkey Hotdog Model
Systems.CRCPress.BocaRaton.http://benthamscience.com/open'tofsj/articl
es/V006/16TOFSJ.pdf. (Diakses tanggal 4 Maret 2013).

Komariah., 2009. Sifat Fisik Bakso dengan Jamur Tiram Putih (Pleurotus
ostreatus) Sebagai Campuran Bahan Dasar. Jurnal Indonesian Tropic
Animal Agriculture. 30 (1) : 34-41.

Kurniawan, N.P., D. Septinova dan K. Adhianto. 2014. Kualitas Fisik Daging


Sapi Dari Tempat Pemotongan Hewan di Bandar Lampung/urnal Ilmiah
Peternakan Terpadu. 23): 133138.

Kusnadi, D. C., V. P. Bintoro dan A. N. Al-Baarri. 2012. Daya Ikat Air, Tingkat
Kekenyalan dan Kadar Protein pada Bakso Kombinasi Daging Sapi dan
Daging Kelinci. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 1 (2): 28. Semarang.

Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan: Parakassi, A dan Y. Amulia. Meat
Science UI Press. Jakarta.

Mega, O. Suharyanto, Badarina, 1. 2014. Sifat-sifat Fisik Sosis Berbahan Baku


Surimi-like Daging Kambing dengan Menggunakan Susu kedelai Sebagai
Binder. Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu
Peternakan Vol. XVII No.2.

Montolalu, Damry, Ouigley SP, McLennan SR, Poppi DP (2012). Animal


Prodaction Sciens 52, pp 630-635

Ockerman. RW. 1978. Source Book of Food Scientist The avi publ. Co. Inc.
Westport Connecticut.

Prakoso, B., Sundari dan A.M. Susiati.2020.Uji Keasaman dan Uji Organoleptik
Abon Itik Hibrida (Anas Plathyrynchos) yang Dicuring Nanokapsul
Kunyit dengan Level yang Berbeda. Publikasi Fakultas Agroindustri
Universitas Mercu Buana. http. /leprints.mercu.buana-yogya.ac.id. Diakses
20 Mei 2022.

Prayitno, A.H., Firdha M., Afina V.R., Tombak M.B., Bekti PG., dan Soeparno.
2009. Karakteristik Sosis dengan Fortifikasi B-Caroten Dari Labu Kuning.
Buletin Peternakan Vol. 33(2): 111-118 Fakultas Peternakan. Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.

Putri A.F.E. 2009. Sifat fisik dan organoleptik bakso daging sapi pada lama
postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan. Skripsi
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sagita, D.P. 2021, Rasio Tepung Mocaf (Modified Cassava Flour) Dengan
Daging Ayam Terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Sosis. Skripsi.
Fakultas Peternakan, Universitas Mataram.

44
SNI No.01-3818-2014 . Tentang Bakso Daging. Jakarta. Soejoeti, C, Tarwotjo.
1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. PT Gramedia. Jakarta. Soepamo. 1994.
Ilmu dan Teknologi Daging. UCM Press. Yogyakarta.

Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gajah Mada Press,
Yogyakarta. :
Sofiana, A. 2012 Penambahan Tepung Protein Kedelai Sebagai Pengikat Pada
Sosis Sapi. Jurnal Ilmiah Ilmu peternakan, Vol. XV No 1.
Sudrajat, G., 2007. Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Sapi dan Daging
Kerbau Dengan Penambahan Karagenan dan Khitosan. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Sunarlim, R . 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh
Penambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolifosfat terhadap
Perbaikan Mutu. Disertasi. Pasca sarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Suryati, T. 2007. Daging Sifat Fisik Domba yang Diberi Perlakuan Stimulasi
Listrik Voltase Rendah dan Injek Kalsium Klorida. Media Peternakan.
29( 1): 1-6.
Susiwi (2009). Meat composition. Dalam: Y. H. Hui, W. K Nip, R. W. Rogers
dan O. A. Young (editor). Meat Science and Applications. Marcel
dekker, Inc., New York.
Sylvia, 2015. Karakteristik Kimia Bakso Sapi (Kajian Proporsi Tepung
Tapioka:Tepung Porang dan Penambahan NaCl)” dalam journal Pangan
dan Agroindustri. Vol 3, No 3 (halaman 789-792). Malang: Universitas
Brawijaya.
Wibowo S. 2005. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Wibowo. 2000. Membuat Bakso. Penebar Swadaya. Jakarta.Rismunandar. 1993.
Budidaya Lada dan Tataniaganya. Penebar Swadaya. Jakarta. (BSN)
Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI Sosis Daging (SNI 01-
38201995). Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Winarno, F. 2008. Kimia Pangan dan Gizi: Edisi Terbaru. Jakarta. PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Winarto, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Mbrio Press. Bogor.
Yunarni, (2012) Fermented Meat in: E. R Farriworth (Ed). Handbook, of
Fermented Functional Foods. CPC Press, Boca Raton.
Zulfahmi and M.A. Nazeri. 2014. Antioxidant and mineral content of pitaya peel
extract obtained using microwave assisted extraction (MAE).
Australian Journal of Basic and Applied Sciences 10: 63-68

45
46

Anda mungkin juga menyukai