MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Mikrobiologi Pangan
yang dibina oleh Prof. Dr. Dra. Utami Sri Hastuti, M.Pd
oleh
Kelompok 1 / Offering GH-W
Atika Dewi Evitasari (140342600581)
Enggar Puji Wahyuningsasi (130342615314)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyusun makalah Mikrobiologi Pangan dengan judul Kerusakan
Bahan Makanan pada Daging tepat pada waktunya. Makalah ini ditulis dengan
tujuan agar mahasiswa dapat memahami mikroba penyebab kerusakan pada
makanan. Tim penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu tim penulis dalam menyusun makalah, yaitu kepada :
1. Prof. Dr. Dra. Utami Sri Hastuti, M.Pd selaku pembina mata kuliah
Mikrobiologi Pangan.
2. Kedua orang tua kami yang telah memberikan dukungan materi, moril dan
spiritual.
3. Seluruh teman seperjuangan Jurusan Biologi Offering GH-W tahun 2014,
yang banyak membantu dan memberi masukan dalam penyempurnaan
makalah penulis.
4. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Tim penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, tim penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Tim penulis juga berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................................ 2
1.4 Manfaat......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Daging................................. 3
2.2 Ciri Kerusakan Bahan Makanan yang
Mengandung Protein..................................................................................... 4
2.3 Tahap Kerusakan Bahan Makanan
yang Mengandung Protein........................................................................... 5
2.4 Penyebab Kerusakan pada Daging............................................................. 6
2.5 Bakteri Kontaminan yang Bersifat
Patogen pada Daging................................................................................. 7
DAFTAR RUJUKAN...................................................................................... 17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
a. A
A
B
Gambar 2.1. Perbedaan daging segar (A) dan daging busuk (B).
Keterangan: Daging segar masih terlihat bagus dari segi tekstur, warna, dan aroma.
Sementara daging busuk sudah mengalami perubahan tekstur, warna, dan aroma.
2. Salmonella sp
Salmonella sp merupakan bakteri patogen berbahaya sehingga di dalam
produk pangan tidak diperbolehkan mengandung Salmonella sp. Bakteri dari
genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi, jika tertelan dan masuk ke
dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Salmonella sp
yang mencemari makanan dapat berkembang biak secara cepat karena keadaan
lingkungan yang panas dan lembab menstimulir pertumbuhannya.
Salmonella sp mungkin terdapat pada makanan dalam jumlah tinggi tetapi
tidak selalu menimbulkan perubahan dalam hal warna, bau, maupun rasa dari
makanan tersebut. Semakin tinggi jumlah Salmonella sp di dalam suatu makanan,
maka semakin besar timbulnya gejala infeksi pada orang yang menelan makanan
tersebut dan semakin cepat waktu inkubasi sampai gejala infeksi (Supardi dan
Sukamto,1999).
Salmonella merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae,
berbentuk batang Gram negatif, fakultatif anaerobik dan aerogenik. Biasanya
bersifat motil dan mempunyai flagella peritrikus, kecuali S. gallinarum-pullorum
yang selalu bersifat non-motil, bentuk sel bakteri Salmonella sp dapat dilihat pada 9
gambar 2.3. Kebanyakan strain bersifat aerogenik, dapat mengguanakan sitrat
sebagai sumber karbon, tidak membentuk H2S (Supardi dan Sukamto, 1999).
Suhu optimum yang mendukung pertumbuhan Salmonella sp adalah 37C, tetapi
secara umum bakteri ini tumbuh pada suhu antara 4-45C dan pada pH antara 4,0-
9,0 dengan pH optimum 7,0 (Gast, 1991).
3. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif dengan diameter antara
0,8-1,0 mikron, non motil, dan tidak berspora, bentuk sel bakteri Staphylococcus
aureus dapat dilihat pada gambar 2.4. Koloni Staphylococcus aureus, berwarna
putih atau krem dan kadang-kadang berwarna kuning atau oranye. Tumbuh
optimum pada suhu 30C - 37C. Bersifat fakultatif anaerob, katalase positif dan
oksidase negatif (Public Health England, 2014).
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi baik pada manusia
maupun pada hewan. Bakteri ini tumbuh baik pada suhu tubuh manusia dan juga
pada bahan pangan yang disimpan pada suhu kamar serta menghasilkan toksin
pada suhu tersebut. Dosis infeksi toksin kurang dari 1,0 g pada pangan tercemar
dapat menimbulkan gejala intoksikasi stafilokokal (BSN, 2009).
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan bumblefoot, infeksi pada kulit
dan radang sendi pada ayam, sedangkan pada manusia bakteri ini dapat
menyebabkan penyakit yang berkaitan dengan toxic shock syndrome sebagai
akibat dari keracunan pangan (Khusnan etal, 2008). Selain itu, Staphylococcus
aureus juga dapat memproduksi berbagai toksin antara lain:
a) Eksotoksin alpha yang sangat beracun 10
b) Toksin beta yang terdiri dari hemolisin yang dapat menyebabkan lisis pada sel
darah merah
c) Toksin F dan S, yaitu protein eksoseluler dan bersifat leukositik
d) Hialuronidase, yaitu suatu enzim yang dapat memecah asam hialuronat
e) Suatu grup enterotoksin yang terdiri dari protein sederhana (Djide dan Sartini,
2008)
Keberadaan Staphylococcus aureus dalam bahan pangan erat kaitannya
dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan
(Hidayati, 2012). Lingkungan yang kotor memudahkan perkembangan
mikroorganisme dalam produk unggas (Djaafar, 2007). Infeksi mikroorganisme
pada bahan pangan dipeternakan dapat terkandung di dalam daging segar dan
dapat pula bertahan selama proses pengolahan. Proses pemotongan secara
kontinyu dan higienitas yang tidak terjaga juga dapat menjadi sumber penularan
mikroorganisme dari karkas yang satu ke karkas yang lainnya (Siagian, 2002).
Proses penanganan mulai dari pasca panen hingga ke konsumen di
Indonesia masih banyak yang tidak dijaga sanitasi higiene produknya. Kondisi
demikian memudahkan bakteri Staphylococcus aureus yang selalu berada di
lingkungan bahkan pada tubuh manusia untuk mengontaminasi daging (Chotiah,
2009). Staphylococcus aureus dapat rusak dengan pemasakan produk pangan yang
benar, namun toksin yang dihasilkan dapat tahan terhadap pemanasan,
pendinginan, dan pembekuan (BSN, 2009).
Gambar 2.4. Bakteri Staphylococcus aureus (www.bacteriainphotos.com)
Keterangan: Bakteri ini tumbuh baik pada suhu tubuh manusia dan juga pada bahan
pangan yang disimpan pada suhu kamar serta menghasilkan toksin pada suhu tersebut.
Dosis infeksi toksin kurang dari 1,0 g pada pangan tercemar dapat menimbulkan gejala
intoksikasi stafilokokal.
4. Listeria monocytogenes 11
Listeria monocytogenes merupakan salah satu bakteri patogen pada hewan
atau ternak dan manusia. Bakteri ini berperan penting sebagai agen penyebab
foodborne disease yaitu penyakit yang ditularkan melalui makanan. Penyakit yang
timbul dikenal dengan nama listeriosis (Amaglianiet al., 2004; Murianaetal.,
2002; Rivoalet al., 2010, Stephan et al., 2003; Vela et al., 2001).
Listeria monocytogenes merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang
pendek, dapat berbentuk tunggal, tersusun paralel membentuk rantai pendek atau
seperti huruf V. Diameter sel berukuran 0,4 0,5 m dan panjang 0,5 2,0 m.
Pertumbuhan bakteri tersebut pada media agar dengan waktu inkubasi lebih dari
24 jam akan menunjukkan variabilitas bentuk sel. Pada kultur yang lebih tua
tersebut bakteri tampak berbentuk filamentous dengan panjang 6 20 m
(Sutherland, 1998). Bentuk sel bakteri Listeria monocytogenes dapat dilihat pada
gambar 2.5.
Temperatur optimal untuk pertumbuhan tumbuh L. monocytogenes adalah
35 37C. Bakteri ini mampu tumbuh pada temperatur 1 50C, mampu
bertahan hidup pada perlakuan pasteurisasi dengan suhu 72C selama 15 detik dan
dapat hidup pada pH 4,3 9,4 (Nadalet al., 2007). Listeria monocytogenes
bersifat intra-seluler fakultatif, psikotrofil dan mampu membentuk biofilm.
Bakteri ini motil atau bergerak dengan flagella pada suhu 20 25C, tidak
membentuk spora, sangat kuat dan tahan terhadap efek mematikan dari
pembekuan, pengeringan dan pemanasan (Abdelgadiret al., 2009; Freitaget al.,
2009; Murianaet al., 2002; Ragonetal., 2009; Sutherland, 1998).
Listeria monocytogenes merupakan mikroorganisme yang menghuni
saluran pencernaan baik hewan maupun manusia. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa 1 10% manusia mungkin memiliki L. monocytogenes di
dalam ususnya (Ragonet al., 2009; Stephanet al., 2003). L. Monocytogenes juga
dapat mempengaruhi orang yang sehat karena bakteri ini merupakan febrile
gastro-enteritis (Estebanet al., 2009).
L. monocytogenes bersifat patogen oportunistik yaitu apabila bakteri ini
ditemukan dalam jumlah sedikit di saluran pencernaan manusia yang sehat, maka
bakteri tersebut bersifat tidak patogen dan tidak menyebabkan gejala klinis.
Sebagian besar L.monocytogenes bersifat patogen pada tingkat tertentu. Listeria 12
monocytogenes dapat menginfeksi bermacam-macam tipe sel induk semang atau
hospes baik sel ternak maupun manusia. Rute infeksi diawali ketika bakteri L.
monocytogenes melintasi saluran pencernaan setelah hospes mengkonsumsi
makanan yang terkontaminasi. Selanjutnya, bakteri tersebut masuk ke dalam
sirkulasi darah dan menyebar ke jaringan hati, limpa, plasenta ibu hamil/hewan
bunting atau jaringan lain yang peka. Distribusi bakteri tersebut diperantarai oleh
makrofag. Di dalam sel yang peka, L. monocytogenes akan bereplikasi di dalam
sel sitosol sel hospes terinfeksi dan menyebar dari satu sel ke sel yang lain tanpa
terpapar oleh respon imun humoral, komplemen atau sel polymorfo-nuclear
(Caryet al., 2000; Freitaq et al., 2009).
Manusia menderita listeriosis setelah mengkonsumsi produk pangan yang
terkontaminasi oleh bakteri L. monocytogenes. Dari kasus yang dilaporkan,
penyebabnya adalah mengkonsumsi produk pangan asal ternak berupa daging
ayam/sapi mentah atau tidak dimasak dengan sempurna, hot dog yang tidak
dipanaskan ulang, keju lunak, susu mentah, susu pasteurisasi atau makanan yang
dibuat dari susu yang tidak dipasteurisasi, serta makanan siap santap yang lain
yang disimpan lama dalam refrigerator. Kemampuannya untuk tumbuh pada
temperatur rendah hingga 1C memungkinkan bakteri ini berkembang biak dalam
makanan yang disimpan di lemari pendingin. Bahan pangan siap santap tanpa
pemanasan ulang dapat terkontaminasi oleh bakteri ini setelah proses pengolahan
atau dimasak tetapi belum dikemas (Abdelgadiret al., 2009; CDC, 2010;
Estebanet al., 2009; Jay, 1996; Kim dan Cho, 2010).
Gambar 2.5. Bentuk sel bakteri Listeria monocytogenes dan koloni pada media agar.
Keterangan: diameter sel berukuran 0,4 0,5 m dan panjang 0,5 2,0 m. Pertumbuhan
bakteri tersebut pada media agar dengan waktu inkubasi lebih dari 24 jam akan
menunjukkan variabilitas bentuk sel. Pada kultur yang lebih tua tersebut bakteri tampak
berbentuk filamentous dengan panjang 6 20 m.
5. Campylobacter spp. 13
Campylobacter merupakan bakteri penyebab kampilobakteriosis. Bakteri
ini ditemukan dalam saluran pencernaan hewan (Doyle,2004,). Ada 3 spesies yang
telah diidentifikasi sangat berbahaya pada hewan dan manusia, yaitu C. jejuni, C.
coli, dan C.upsaliensi (Altekruse et al., 1994). C. jejuni dilaporkan sebagai salah
satu bakteri penyebab foodborne disease pada manusia (Altekruseet al., 2008).
Pangan potensial pembawa bakteri C. jejuni dan Campylobacter lainnya antara
lain ayam, telur, daging, susu dan produk-produknya yang dimasak tidak
sempurna, serta non-chlorinated water (lihat gambar 2.6).
Masa inkubasi kampilobakteriosis antara 1-10 hari setelah makan-
makanan yang terkontaminasi bakteri tersebut secara oral (Doyle, 1998). Gejala
sakit dapat bervariasi dari yang ringan sampai parah. Kematian jarang terjadi
akibat infeksi ini. Gejala klinis ditandai dengan diare encer (kadang-kadang
disertai darah), demam, sakit abdomen, mual, sakit kepala, dan ngilu/ sakit pada
otot.
6. Clostridium spp.
Bakteri Clostridium perfringens dan C. Botulinum umum terdapat di alam,
misalnya tanah, sampah, debu,kotoran hewan dan manusia, serta bahan makanan
asal hewan. Bakteri ini menghasilkan 5-7 jenis enterotoksin tipe A, B, C, D, E,
dan F, dan sebagai penyebab keracunan makanan pada hewan dan manusia
(Nantel, 1999; Labbe, 2004). C. botulinum menghasilkan 7 jenis toksin tipe A, B,
C, D, E, F, dan G (Lihat gambar 2.7)Tipe A, B, E, dan F menghasilkan botulinum
yang berbahaya bagi manusia; tipe C menyebabkan botulinum pada burung, kura-
kura, sapi, domba, dan kuda; tipe D banyak menyerang sapi dan kambing di
Australia dan Afrika Selatan; sedangkan tipe G jarang dilaporkan (Sonnabend et 14
al., 1985).
Masa inkubasi bisa lebih cepat antara 6-10 jam, terutama pada makanan
yang mengandung toksin tipe E. Terkadang timbul gangguan badan seperti lemas,
pusing, vertigo, dan penglihatan berkunang-kunang (Nantel, 1999). Gangguan
penglihatan lainnya juga dapat terjadi seperti penglihatan kabur, penglihatan
ganda, biji mata menonjol, dan gangguan refleksi terhadap cahaya.
Botulinum juga dapat menyebabkan kelumpuhan (paralisis) pada
tenggorokan sehingga tidak dapat menelan, selanjutnya diikuti oleh kelumpuhan
otot yang menyebabkan lidah dan leher tidak dapat digerakkan (Supardi dan
Sukamto, 1999). C. perfingens juga umum ditemukan di alam, bahkan dapat
ditemukan pada permukaan tubuh orang sehat. Bakteri ini merupakan penyebab
utama keracunan makanan pada manusia (Supardi dan Sukamto, 1999).
Enterotoksin perfringens tipe A sangat berbahaya dan banyak mencemari pangan,
(Labbe, 2004). Gejala keracunan karena enterotoksin perfringens dapat berupa
sakit perut bagian bawah, diare dan pengeluaran gas serta jarang disertai dengan
demam dan pusingpusing. Gejala keracunan enterotoksin perfringens timbul 8
24 jam, dengan rata-rata 12 jam setelah mengonsumsi pangan yang mengandung
toksin perfringens (Siegmund, 1979).
7. Coliform
Coliform merupakan bakteri yang memiki habitat normal di usus manusia
dan juga hewan. Oleh karena itu bakteri Coliform, terutama Escherichia coli,
menjadi indikasi dari kontaminasi fekal pada air minum maupun makanan.
Penyebaran Coliform dari manusia ke manusia yang lain dapat terjadi melalui
jalur fekal oral yaitu dengan cara manusia memakan makanan atau minuman yang
telah terkontaminasi feses manusia. Infeksi Coliform pada manusia seringkali 15
disebabkan oleh konsumsi makanan produk hewan yang tercemar, misalnya
daging. Bakteri ini merupakan penghuni normal dalam saluran pencernaan
manusia dan hewan, maka digunakan secara luas sebagai indikator pencemaran
(Pelczar, 2007:169).
Coiliform mengakibatkan adanya kerusakan yang tidak diinginkan
sehingga makanan tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk mencegah adanya
kerusakan dan adanya bakteri patogen pada bahan pangan diperlukan suatu
penanganan lebih lanjut. Penanganan ini diharapkan dapat memberi daya tahan
yang lebih lama terhadap bahan makanan dan menjamin keamanan bahan
makanan agar layak untuk dikonsumsi konsumen atau masyarakat.
Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Batas Maksimum Cemaran
Mikroba pada Daging (Dalam Satuan CFU/gr).
3.3 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis untuk pembuatan makalah
selanjutnya adalah diperlukan sifat keuletan dan tanggungjawab dalam proses
penyusunan makalah. Penyusun makalah diharapkan disusun jauh-jauh hari agar
didapat hasil yang maksimal.
16
DAFTAR RUJUKAN
Altekruse, S.F, M.L. Cohen and D.L. Swerdlow. 2008. Perspective: Emerging
Foodborne Diseases. USA: Centers for Diseases Control and
Prevention.
Badan Standardisasi Nasional. Bahan Makanan Asal Hewan. SNI No. 01-6366-
2000. Jakarta.
Cary, J.W., J.E. Linz and D. Bhatnagar. 2000. Microbial foodborne diseases:
Mechanisms of pathogenesis and toxin synthesis. First Edition. USA:
Technomic Publishing Company Inc.
Esteban, J.I., B. Oporto, G. Aduriz, R.A. Juste and A. Hurtado. 2009. Faecal
shedding and strain diversity of Listeria monocytogenes in healthy
ruminants and swine in Northern Spain. BMC Vet. Res. 5: 2-10.
Freitag, N., G.C. Port and M.D. Miner. 2009. Listeria monocytogenes-from
saprophyte to intracellularpathogen. Nat Rev Microbiol. 7(9): 623.
doi:10.1038/nrmicro2171.
Gast, K.R. 1991. S. enteritidis. Dalam: B.W. Calnek, W.B. Charles, R.N.D. Larry,
dan Y.M. Saif. (Editors). Disease of Poultry.10th Edition. USA: IOWA
State University Press.
17
Hariyadi RD. 2005. Bakteri Indikator Sanitasi dan Keamanan Air Minum. 18
http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_bctrindktr.php.
Hariyadi, P. 2000. Dasar dasar Teori dan Praktek Proses Termal. Bogor: Pusat
Studi Pangan dan Gizi IPB.
Jay, J.M. 1996. Modern Food Microbiology. Fifth Edition. New York. Pp:
Chapman and Hall.
Kim, H. and J. Cho. 2010. Simple and rapid detection of Listeria monocytognes in
fruit juice by real-time PCR without enrichment culture. Food Control
21: 1419-1423.
Pierson, M.O. and N.R. Reddy 2004. Clostridium botulinum In: Bacteria
Associated with Foodborne Diseases. Institute of Food Technology.
Scientific Status Summary pp. 16-18.
Siegmund, O.H. 1979. Infectious diseases. In: The Merck Veterinary Manual. A
Handbook og Diagnosis and Therapy for The Veterinarian. Fifth
Edition. Siegmund, O.H. (Ed.). Merck & Co., INC. Rahway, N.J. USA
pp. 236-507.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi keempat. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Stephan, R., S. Schumacher and M.A. Zychowska. 2003. The VIT technology for
rapid detection of Listeriamonocytogenes and other Listeria spp. Int.
J. Food Microbiol. 89: 287-290.