Anda di halaman 1dari 22

KERUSAKAN BAHAN MAKANAN PADA DAGING

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Mikrobiologi Pangan
yang dibina oleh Prof. Dr. Dra. Utami Sri Hastuti, M.Pd

oleh
Kelompok 1 / Offering GH-W
Atika Dewi Evitasari (140342600581)
Enggar Puji Wahyuningsasi (130342615314)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Februari 2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyusun makalah Mikrobiologi Pangan dengan judul Kerusakan
Bahan Makanan pada Daging tepat pada waktunya. Makalah ini ditulis dengan
tujuan agar mahasiswa dapat memahami mikroba penyebab kerusakan pada
makanan. Tim penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu tim penulis dalam menyusun makalah, yaitu kepada :
1. Prof. Dr. Dra. Utami Sri Hastuti, M.Pd selaku pembina mata kuliah
Mikrobiologi Pangan.
2. Kedua orang tua kami yang telah memberikan dukungan materi, moril dan
spiritual.
3. Seluruh teman seperjuangan Jurusan Biologi Offering GH-W tahun 2014,
yang banyak membantu dan memberi masukan dalam penyempurnaan
makalah penulis.
4. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Tim penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, tim penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Tim penulis juga berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Malang, Februari 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................................ 2
1.4 Manfaat......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Daging................................. 3
2.2 Ciri Kerusakan Bahan Makanan yang
Mengandung Protein..................................................................................... 4
2.3 Tahap Kerusakan Bahan Makanan
yang Mengandung Protein........................................................................... 5
2.4 Penyebab Kerusakan pada Daging............................................................. 6
2.5 Bakteri Kontaminan yang Bersifat
Patogen pada Daging................................................................................. 7

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan................................................................................................. 16
3.2 Saran........................................................................................................... 16

DAFTAR RUJUKAN...................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hampir semua pangan, kecuali pangan steril dapat menjadi tempat hidup
dan berkembang baik satu atau lebih jenis mikroorganisme. Beberapa jenis
mikroorganisme dapat digunakan untuk memproduksi pangan fermentasi, tetapi
beberapa jenis mikroorganisme dapat menyebabkan kerusakan pangan dan
menimbulkan permasalahan kesehatan (Sopandi, T & Wardah, 2014).
Kelompok mikroba seperti bakteri dan jamur merupakan penyebab
terjadinya kerugian pada bahan makanan. Bakteri patogen dapat memproduksi
racun atau toksin yang menyebabkan suatu penyakit pada manusia. Bakteri dapat
menghasilkan toksin yang bersifat endotoksin dan eksotoksin (Supardi, I &
Sukamto, 1999). Mikroorganisme merugikan merupakan mikroorganisme yang
kehadirannya dalam pangan dapat mengubah sifat organolaptik pangan yang tidak
dikehendaki, menurunkan berat atau volume, menurunkan nilai gizi, mengubah
bentuk dan susunan komponen pangan, serta menghasilkan toksin (Sopandi, T &
Wardah, 2014)
Daging merupakan makanan yang digemari oleh masyarakat, hal tersebut
dikarenakan rasa daging yang lezat. Selain itu daging juga mengandung banyak
protein. Namun daging sapi, ikan dan daging lainnya mudah mengalami
kerusakan jika tidak disimpan di tempat yang benar. Kerusakan pada daging
sering disebabkan oleh bakteri atau mikroorganisme kontaminan penyebab
kerusakan. Invasi mikroorganismae menyebabkan produk daging dan ikan tidak
menarik karena terjadi pembusukan (Lawrie, 1995). Ciri daging yang mengalami
pembusukan dilihat dari warna sudah tidak menarik, perubahan bau, terdapat
lendir, dan perubahan rasa.

Mikroorganisme patogen dapat masuk ke dalam pangan hewani (daging 2


ii
dan produk ikan) selama produksi dan pengolahan.
ii Daging dapat terkontaminasi
oleh isi saluran pencernaan selama penyembelihan, dan ikan oleh isi saluran
pencernaan selama pengolahan. Kontaminasi pangan hewani sumber kontamina
material feses dipanang sangat penting karena dapat membawa patogen enteris.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam makalah ini penulis
menginginkan pada pembaca atau masyarakat supaya lebih mengetahui ciri
daging yang telah mengalami proses pembusukan. Diharapkan masyarakat lebih
teliti dalam memilih bahan makanan khususnya daging.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana ciri kerusakan bahan makanan yang mengandung protein?
1.2.2 Bagaimana tahap kerusakan bahan makanan yang mengandung protein?
1.2.3 Apa saja penyebab kerusakan pada daging?
1.2.4 Apa saja bakteri kontaminan yang bersifat patogen pada daging?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui ciri kerusakan bahan makanan yang mengandung
protein.
1.3.2 Untuk mengetahui tahap kerusakan bahan makanan yang mengandung
protein.
1.3.3 Untuk mengetahui penyebab kerusakan pada daging.
1.3.4 Untuk mengetahui bakteri kontaminan yang bersifat patogen pada daging.
1.4 Manfaat
1.4.1 Pembaca dapat mengetahui ciri kerusakan bahan makanan yang
mengandung protein.
1.4.2 Pembaca dapat mengetahui tahap kerusakan bahan makanan yang
mengandung protein.
1.4.3 Pembaca dapat mengetahui penyebab kerusakan pada daging.
1.4.4 Pembaca dapat mengetahui bakteri kontaminan yang bersifat patogen pada
daging.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Daging


Daging adalah bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan
protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh. Daging
memiliki kandungan gizi yang tinggi, lengkap, dan seimbang. Namun, kandungan
gizi yang tinggi pada daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroba, sehingga daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak
atau perishable. Kerusakan pada daging dapat disebabkan karena adanya benturan
fisik, perubahan kimia, dan aktivitas mikrob (Soeparno, 2005). Daging yang
terkontaminasi oleh mikroba akan mengalami perubahan tekstur, bau, warna, dan
rasa. Perbedaan antara daging segar dengan daging yang sudah terkontaminasi
bakteri dapat dilihat pada gambar 2.1.

a. A
A

B
Gambar 2.1. Perbedaan daging segar (A) dan daging busuk (B).
Keterangan: Daging segar masih terlihat bagus dari segi tekstur, warna, dan aroma.
Sementara daging busuk sudah mengalami perubahan tekstur, warna, dan aroma.

2.2 Ciri Kerusakan Bahan Makanan yang Mengandung Protein 4

Produk makanan yang sehat sangat dipengaruhi oleh pemilihan bahan


mentah pangan yang bermutu baik, yang memenuhi standar kesehatan dan
keamanannya. Oleh karena itu untuk dapat menghasilkan produk pangan yang
bermutu dan aman dikonsumsi bahan mentah harus dipilih terlebih dahulu.
Diperlukan ketelitian dalam memilih bahan mentah yang bermutu baik, dengan
melihat ciri fisiknya, hal ini bisa dijadikan panduan dalam memilih bahan mentah
pangan. Apabila mengalami kerusakan mikrobiologis, akan timbul: bau busuk
khas protein yang disebut bau putrid. Mikroba yang berperan adalah bakteri
(mampu memecah protein menjadi senyawa sederhana seperti cadaverin,
putrescin, skatol, H2S dan NH3 yang menyebabkan bau busuk. Ciri-ciri
kerusakan yang harus diperhatikan:
1) Menunjukkan rasa yang tidak enak
2) Menjukkan bau yang tidak sedap atau busuk
3) Pencairan jaringan protein sehingga bahan berair dan lembek.
4) Penggumpalan (susu)
Kontaminasi bahan makanan oleh bakteri berasal dari bergabai sumber ,
antara lain manusia, udara, makanan mentah, hewan, serangga, buangan, debu dan
kotoran, serta air yang tidak untuk diminum. Manusia membawa bakteri di
rambut, telinga, hidung, tenggorokan, usus dan kulit, terutama tangan. Batuk,
bersin dan meludah akan memindahkan bakteri. Menggaruk luka pada kulit akan
menyebarkan mikroba yang berbahaya. Makanan mentah yang mungkin
mengandung bakteri yaitu daging, unggas, buah dan sayuran (terutama sayuran
dari dalam tanah), ikan, kerang. Bakteri dari berbagai sumber dapat dipindahkan
pada makanan melalui kontak langsung, permukaan tempat kerja, pisau, pakaian
dan tangan yang tidak dicuci merupakan pembawa untuk memindahkan bakteri ke
makanan (kontak tidak langsung).
Peralatan yang dipakai dapat menkontaminasi makanan selama proses
produksi. Bahan kimia, termasuk pestisida, pemutih dan bahan pembersih lainnya
dapat mengkontaminasi makanan apabila tidak digunakan dengan hati-hati.
Apabila benda yang berbahaya dimasukkan dalam makanan secara sengaja, ini
disebut kontaminasi disengaja dan merupakan tindakan kejahatan (Setyawan,
2008). Pencegahan kontaminasi pangan seperti yang dianjurkan dalam Setyawan 5
(2008) adalah sebagai berikut:
1. Menyentuh makanan sedikit mungkin.
2. Menghindarkan makanan dari semua sumber bakteri.
3. Menutup makanan.
4. Menghindarkan hewan dan serangga dari tempat makanan.
5. Membuang sisa makanan dan sampah lain dengan hati-hati.
6. Menjaga tempat sampah tetap tertutup.
7. Menjaga segalanya sebersih mungkin.
Ketika menyimpan makanan, penting untuk melakukan perputaran stok
agar makanan yang lama digunakan lebih dulu. Jangan membuat stok makanan
yang berlebihan. Makanan kering, makanan dalam botol dan kaleng harus
disimpan dalam ruangan yang kering, berventilasi baik, tidak di lantai, dan dalam
wadah yang kedap udara apabila perlu. Semua makanan harus disimpan dalam
wadah bertutup rapat untuk mencegah kontaminasi (Setyawan, 2008).
2.3 Tahap Kerusakan Bahan Makanan yang Mengandung Protein
Kebusukan pangan, disebabkan oleh jenis mikroba pembusuk yang
terdapat di dalam pangan. Ada empat tahap proses kerusakan pangan yang
mengandung protein yaitu:
1) Diawali oleh kontaminasi mikroba pembusuk pada protein bahan pangan,
selanjutnya akan terbentuk koloni mikroba pembusuk pada bahan pangan yang
terkontaminasi.
2) Koloni mikroba tersebut dengan cepat akan menggunakan dan memetabolisme
senyawa organik yang mempunyai bobot molekul rendah, yang
karakteristiknya bergantung kepada jenis kebusukan pangan. Pada tahap
tersebut, populasi mikroba akan bertambah dengan cepat.
3) Mikroba akan menghasilkan enzim proteolitik yang mampu memecah protein
berbobot molekul tinggi menjadi oligopeptida dan asam amino bebas yang siap
dimanfaatkan oleh mikroba, jika senyawa organik berbobot molekul rendah
telah habis.
4) Pada tahap akhir pembusukan, populasi mikroba menjadi statis karena protein
6
maupun nutrisinya semakin berkurang, serta terakumulasinya berbagai jenis
racun yang dapat meracuni mikroba itu sendiri.

2.4 Penyebab Kerusakan pada Daging


Salah satu sifat daging dan produk hasil ternak adalah mudah mengalami
kerusakan. Daging mudah mengalami kerusakan akibat adanya aktivitas pada
daging atau produk daging, karena daging memenuhi persyaratan untuk
perkembangan mikroorganisme termasuk mikroorganisme perusak, karena:
a. Mempunyai kadar air yang tinggi (68-75%)
b. Kaya dengan zat yang mengandung nitrogen dengan komplek yang berbeda
c. Karbohidrat yang tinggi
d. Kaya akan mineral untuk pertumbuhan mikroba
e. Mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme (5,3-6,5)
(Albiner 2002)
Keberadaan mikroorganisme pada daging atau produk olahan daging
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor intrinsik yang meliputi: aktivitas air, komposisi nutrien, pH, potensial
redoks, adanya bahan pengawet alami dan tambahan.
b. Faktor pengolahan
c. Faktor ektrinsik yang meliputi suhu, kelembapan dan susunan gas
d. Faktor implisit (berbagai mikroba yang terdapat pada bahan makanan
terkadang mengakibatkan dua atau lebih jenis mikroorganime hidup bersama
saling menguntungkan atau sebaliknya yang satu merugikan pertumbuhan
mikroorganisme lain
e. Faktor makanan, yang pada dasarnya terbagi atas makanan yang mudah rusak,
makanan yang awet dan bahan pangan yang awet (Supardi dan Sukanto1999).
Karena daging atau produk daging proses sangat mudah mengalami
kerusakan oleh adanya aktivitas mikroorganisme perusak maka diperlukan
penanganan penyimpanan atau pengolahan yang sesuai. Pada dasarnya metode
penyimpanan atau pengolahan tersebut hanya bisa menghambat pertumbuhan
mikroorganime perusak, sehingga dari setiap metode hanya bisa mempertahankan
kualitas daging atau produk daging untuk jangka waktu yang terbatas (Soeparto
1992). Terkecuali proses penanganan dengan metode sterilisasi yang bisa 7
mempertahankan kualitas daging dan produk daging dalam jangka waktu yang
lama dengan catatan bahwa persyaratan yang lain tetap terpenuhi seperti keadaan
pengemasan yang baik. Kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawa
berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil
pemecahan protein oleh mikroorganisme. Daging yang rusak memperlihatkan
perubahan organoleptik, yaitu bau, warna, kekenyalan, penampakan, dan rasa
(Simanjuntak dan Rivai 2009). Berbagai tanda kerusakan pada daging:
a. Perubahan kekenyalan pada daging disebabkan oleh pemecahan struktur
daging oleh berbagai bakteri
b. Pembentukan lendir pada daging disebabkan oleh pertumbuhan berbagai
mikroba seperti bakteri
c. Pembentukan asam
d. Pembentukan warna hijau pada daging, terutama disebabkan oleh:
pembentukan hydrogen peroksida (H2O2)
e. Pembentukan warna kuning pada daging
f. Perubahan bau, misalnya: timbulnya bau busuk oleh berbagai bakteri karena
terbentuknya amonia, H2S, Indol dan senyawa amin seperti diamin kadaverin
dan putresin
Untuk menghambat dan mencegah pertumbuhan bakteri pada daging yang
dapat menyebabkan perubahan daging, maka daging harus selalu disimpan pada
suhu dibawah 4 derajat celcius. Masa simpan daging dalam freezer yang
dianjurkan adalah:
1) Daging segar dapat disimpan selama 3-6 bulan
2) Daging giling segar dapat disimpan selama 3-4 bulan

2.4 Bakteri Kontaminan yang Bersifat Patogen pada Daging


1. Escherichia coli
E. coli adalah bakteri gram-negatif, anaerobik fakultatif dan non spora. Sel
E. coli berbentuk batang yang panjangnya sekitar 2 mikrometer (m) dan
diameternya 0,5 m, dengan volume sel 0,6-0,7 m 3, bentuk sel bakteri dapat
dilihat pada gambar 2.2. E. coli dapat hidup di berbagai substrat. E. coli
menggunakan fermentasi asam campuran dalam kondisi anaerobik, menghasilkan
laktat, suksinat, etanol, asetat dan karbondioksida. Dalam bidang mikrobiologi 8
pangan, dikenal istilah bakteri indikator sanitasi. Bakteri indikator sanitasi adalah
bakteri yang keberadaannya dalam pangan menunjukkan bahwa pangan tersebut
pernah tercemar oleh kotoran manusia atau hewan, karena bakteri tersebut lazim
terdapat dan hidup pada usus manusia atau hewan. Jadi adanya bakteri tersebut
pada pangan menunjukkan bahwa dalam satu atau lebih tahap pengolahan pangan
tersebut pernah mengalami kontak dengan kotoran yang berasal dari usus manusia
dan hewan. (Hariyadi, 2005).

Gambar 2.2. Bentuk sel bakteri E. coli (Sumber: http://www.foodpoisonjournal.com)


Keterangan: bakteri E. coli biasa hidup di saluran percernaan manusia dan hewan.
Makanan yang pernah tercemar oleh kotoran akan berpengaruh besar terhadap
kontaminasi bakteri, sehingga makanan akan menjadi cepat busuk atau rusak.

2. Salmonella sp
Salmonella sp merupakan bakteri patogen berbahaya sehingga di dalam
produk pangan tidak diperbolehkan mengandung Salmonella sp. Bakteri dari
genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi, jika tertelan dan masuk ke
dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Salmonella sp
yang mencemari makanan dapat berkembang biak secara cepat karena keadaan
lingkungan yang panas dan lembab menstimulir pertumbuhannya.
Salmonella sp mungkin terdapat pada makanan dalam jumlah tinggi tetapi
tidak selalu menimbulkan perubahan dalam hal warna, bau, maupun rasa dari
makanan tersebut. Semakin tinggi jumlah Salmonella sp di dalam suatu makanan,
maka semakin besar timbulnya gejala infeksi pada orang yang menelan makanan
tersebut dan semakin cepat waktu inkubasi sampai gejala infeksi (Supardi dan
Sukamto,1999).
Salmonella merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae,
berbentuk batang Gram negatif, fakultatif anaerobik dan aerogenik. Biasanya
bersifat motil dan mempunyai flagella peritrikus, kecuali S. gallinarum-pullorum
yang selalu bersifat non-motil, bentuk sel bakteri Salmonella sp dapat dilihat pada 9
gambar 2.3. Kebanyakan strain bersifat aerogenik, dapat mengguanakan sitrat
sebagai sumber karbon, tidak membentuk H2S (Supardi dan Sukamto, 1999).
Suhu optimum yang mendukung pertumbuhan Salmonella sp adalah 37C, tetapi
secara umum bakteri ini tumbuh pada suhu antara 4-45C dan pada pH antara 4,0-
9,0 dengan pH optimum 7,0 (Gast, 1991).

Gambar 2.3. Bakteri Salmonella sp (Sumber: http://www.sciencephoto.com)


Keterangan: bakteri Salmonella sp dapat menyebabkan infeksi apabila tertelan oleh
manusia, jika tertelan dan masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut
salmonellosis.

3. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif dengan diameter antara
0,8-1,0 mikron, non motil, dan tidak berspora, bentuk sel bakteri Staphylococcus
aureus dapat dilihat pada gambar 2.4. Koloni Staphylococcus aureus, berwarna
putih atau krem dan kadang-kadang berwarna kuning atau oranye. Tumbuh
optimum pada suhu 30C - 37C. Bersifat fakultatif anaerob, katalase positif dan
oksidase negatif (Public Health England, 2014).
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi baik pada manusia
maupun pada hewan. Bakteri ini tumbuh baik pada suhu tubuh manusia dan juga
pada bahan pangan yang disimpan pada suhu kamar serta menghasilkan toksin
pada suhu tersebut. Dosis infeksi toksin kurang dari 1,0 g pada pangan tercemar
dapat menimbulkan gejala intoksikasi stafilokokal (BSN, 2009).
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan bumblefoot, infeksi pada kulit
dan radang sendi pada ayam, sedangkan pada manusia bakteri ini dapat
menyebabkan penyakit yang berkaitan dengan toxic shock syndrome sebagai
akibat dari keracunan pangan (Khusnan etal, 2008). Selain itu, Staphylococcus
aureus juga dapat memproduksi berbagai toksin antara lain:
a) Eksotoksin alpha yang sangat beracun 10
b) Toksin beta yang terdiri dari hemolisin yang dapat menyebabkan lisis pada sel
darah merah
c) Toksin F dan S, yaitu protein eksoseluler dan bersifat leukositik
d) Hialuronidase, yaitu suatu enzim yang dapat memecah asam hialuronat
e) Suatu grup enterotoksin yang terdiri dari protein sederhana (Djide dan Sartini,
2008)
Keberadaan Staphylococcus aureus dalam bahan pangan erat kaitannya
dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan
(Hidayati, 2012). Lingkungan yang kotor memudahkan perkembangan
mikroorganisme dalam produk unggas (Djaafar, 2007). Infeksi mikroorganisme
pada bahan pangan dipeternakan dapat terkandung di dalam daging segar dan
dapat pula bertahan selama proses pengolahan. Proses pemotongan secara
kontinyu dan higienitas yang tidak terjaga juga dapat menjadi sumber penularan
mikroorganisme dari karkas yang satu ke karkas yang lainnya (Siagian, 2002).
Proses penanganan mulai dari pasca panen hingga ke konsumen di
Indonesia masih banyak yang tidak dijaga sanitasi higiene produknya. Kondisi
demikian memudahkan bakteri Staphylococcus aureus yang selalu berada di
lingkungan bahkan pada tubuh manusia untuk mengontaminasi daging (Chotiah,
2009). Staphylococcus aureus dapat rusak dengan pemasakan produk pangan yang
benar, namun toksin yang dihasilkan dapat tahan terhadap pemanasan,
pendinginan, dan pembekuan (BSN, 2009).
Gambar 2.4. Bakteri Staphylococcus aureus (www.bacteriainphotos.com)
Keterangan: Bakteri ini tumbuh baik pada suhu tubuh manusia dan juga pada bahan
pangan yang disimpan pada suhu kamar serta menghasilkan toksin pada suhu tersebut.
Dosis infeksi toksin kurang dari 1,0 g pada pangan tercemar dapat menimbulkan gejala
intoksikasi stafilokokal.

4. Listeria monocytogenes 11
Listeria monocytogenes merupakan salah satu bakteri patogen pada hewan
atau ternak dan manusia. Bakteri ini berperan penting sebagai agen penyebab
foodborne disease yaitu penyakit yang ditularkan melalui makanan. Penyakit yang
timbul dikenal dengan nama listeriosis (Amaglianiet al., 2004; Murianaetal.,
2002; Rivoalet al., 2010, Stephan et al., 2003; Vela et al., 2001).
Listeria monocytogenes merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang
pendek, dapat berbentuk tunggal, tersusun paralel membentuk rantai pendek atau
seperti huruf V. Diameter sel berukuran 0,4 0,5 m dan panjang 0,5 2,0 m.
Pertumbuhan bakteri tersebut pada media agar dengan waktu inkubasi lebih dari
24 jam akan menunjukkan variabilitas bentuk sel. Pada kultur yang lebih tua
tersebut bakteri tampak berbentuk filamentous dengan panjang 6 20 m
(Sutherland, 1998). Bentuk sel bakteri Listeria monocytogenes dapat dilihat pada
gambar 2.5.
Temperatur optimal untuk pertumbuhan tumbuh L. monocytogenes adalah
35 37C. Bakteri ini mampu tumbuh pada temperatur 1 50C, mampu
bertahan hidup pada perlakuan pasteurisasi dengan suhu 72C selama 15 detik dan
dapat hidup pada pH 4,3 9,4 (Nadalet al., 2007). Listeria monocytogenes
bersifat intra-seluler fakultatif, psikotrofil dan mampu membentuk biofilm.
Bakteri ini motil atau bergerak dengan flagella pada suhu 20 25C, tidak
membentuk spora, sangat kuat dan tahan terhadap efek mematikan dari
pembekuan, pengeringan dan pemanasan (Abdelgadiret al., 2009; Freitaget al.,
2009; Murianaet al., 2002; Ragonetal., 2009; Sutherland, 1998).
Listeria monocytogenes merupakan mikroorganisme yang menghuni
saluran pencernaan baik hewan maupun manusia. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa 1 10% manusia mungkin memiliki L. monocytogenes di
dalam ususnya (Ragonet al., 2009; Stephanet al., 2003). L. Monocytogenes juga
dapat mempengaruhi orang yang sehat karena bakteri ini merupakan febrile
gastro-enteritis (Estebanet al., 2009).
L. monocytogenes bersifat patogen oportunistik yaitu apabila bakteri ini
ditemukan dalam jumlah sedikit di saluran pencernaan manusia yang sehat, maka
bakteri tersebut bersifat tidak patogen dan tidak menyebabkan gejala klinis.
Sebagian besar L.monocytogenes bersifat patogen pada tingkat tertentu. Listeria 12
monocytogenes dapat menginfeksi bermacam-macam tipe sel induk semang atau
hospes baik sel ternak maupun manusia. Rute infeksi diawali ketika bakteri L.
monocytogenes melintasi saluran pencernaan setelah hospes mengkonsumsi
makanan yang terkontaminasi. Selanjutnya, bakteri tersebut masuk ke dalam
sirkulasi darah dan menyebar ke jaringan hati, limpa, plasenta ibu hamil/hewan
bunting atau jaringan lain yang peka. Distribusi bakteri tersebut diperantarai oleh
makrofag. Di dalam sel yang peka, L. monocytogenes akan bereplikasi di dalam
sel sitosol sel hospes terinfeksi dan menyebar dari satu sel ke sel yang lain tanpa
terpapar oleh respon imun humoral, komplemen atau sel polymorfo-nuclear
(Caryet al., 2000; Freitaq et al., 2009).
Manusia menderita listeriosis setelah mengkonsumsi produk pangan yang
terkontaminasi oleh bakteri L. monocytogenes. Dari kasus yang dilaporkan,
penyebabnya adalah mengkonsumsi produk pangan asal ternak berupa daging
ayam/sapi mentah atau tidak dimasak dengan sempurna, hot dog yang tidak
dipanaskan ulang, keju lunak, susu mentah, susu pasteurisasi atau makanan yang
dibuat dari susu yang tidak dipasteurisasi, serta makanan siap santap yang lain
yang disimpan lama dalam refrigerator. Kemampuannya untuk tumbuh pada
temperatur rendah hingga 1C memungkinkan bakteri ini berkembang biak dalam
makanan yang disimpan di lemari pendingin. Bahan pangan siap santap tanpa
pemanasan ulang dapat terkontaminasi oleh bakteri ini setelah proses pengolahan
atau dimasak tetapi belum dikemas (Abdelgadiret al., 2009; CDC, 2010;
Estebanet al., 2009; Jay, 1996; Kim dan Cho, 2010).
Gambar 2.5. Bentuk sel bakteri Listeria monocytogenes dan koloni pada media agar.
Keterangan: diameter sel berukuran 0,4 0,5 m dan panjang 0,5 2,0 m. Pertumbuhan
bakteri tersebut pada media agar dengan waktu inkubasi lebih dari 24 jam akan
menunjukkan variabilitas bentuk sel. Pada kultur yang lebih tua tersebut bakteri tampak
berbentuk filamentous dengan panjang 6 20 m.

5. Campylobacter spp. 13
Campylobacter merupakan bakteri penyebab kampilobakteriosis. Bakteri
ini ditemukan dalam saluran pencernaan hewan (Doyle,2004,). Ada 3 spesies yang
telah diidentifikasi sangat berbahaya pada hewan dan manusia, yaitu C. jejuni, C.
coli, dan C.upsaliensi (Altekruse et al., 1994). C. jejuni dilaporkan sebagai salah
satu bakteri penyebab foodborne disease pada manusia (Altekruseet al., 2008).
Pangan potensial pembawa bakteri C. jejuni dan Campylobacter lainnya antara
lain ayam, telur, daging, susu dan produk-produknya yang dimasak tidak
sempurna, serta non-chlorinated water (lihat gambar 2.6).
Masa inkubasi kampilobakteriosis antara 1-10 hari setelah makan-
makanan yang terkontaminasi bakteri tersebut secara oral (Doyle, 1998). Gejala
sakit dapat bervariasi dari yang ringan sampai parah. Kematian jarang terjadi
akibat infeksi ini. Gejala klinis ditandai dengan diare encer (kadang-kadang
disertai darah), demam, sakit abdomen, mual, sakit kepala, dan ngilu/ sakit pada
otot.

Gambar 2.6. Bakteri Campylobacter spp.


Keterangan: Campylobacter merupakan bakteri penyebab kampilobakteriosis.
Bakteri ini ditemukan dalam saluran pencernaan hewan C. jejuni dilaporkan
sebagai salah satu bakteri penyebab foodborne disease pada manusia

6. Clostridium spp.
Bakteri Clostridium perfringens dan C. Botulinum umum terdapat di alam,
misalnya tanah, sampah, debu,kotoran hewan dan manusia, serta bahan makanan
asal hewan. Bakteri ini menghasilkan 5-7 jenis enterotoksin tipe A, B, C, D, E,
dan F, dan sebagai penyebab keracunan makanan pada hewan dan manusia
(Nantel, 1999; Labbe, 2004). C. botulinum menghasilkan 7 jenis toksin tipe A, B,
C, D, E, F, dan G (Lihat gambar 2.7)Tipe A, B, E, dan F menghasilkan botulinum
yang berbahaya bagi manusia; tipe C menyebabkan botulinum pada burung, kura-
kura, sapi, domba, dan kuda; tipe D banyak menyerang sapi dan kambing di
Australia dan Afrika Selatan; sedangkan tipe G jarang dilaporkan (Sonnabend et 14
al., 1985).
Masa inkubasi bisa lebih cepat antara 6-10 jam, terutama pada makanan
yang mengandung toksin tipe E. Terkadang timbul gangguan badan seperti lemas,
pusing, vertigo, dan penglihatan berkunang-kunang (Nantel, 1999). Gangguan
penglihatan lainnya juga dapat terjadi seperti penglihatan kabur, penglihatan
ganda, biji mata menonjol, dan gangguan refleksi terhadap cahaya.
Botulinum juga dapat menyebabkan kelumpuhan (paralisis) pada
tenggorokan sehingga tidak dapat menelan, selanjutnya diikuti oleh kelumpuhan
otot yang menyebabkan lidah dan leher tidak dapat digerakkan (Supardi dan
Sukamto, 1999). C. perfingens juga umum ditemukan di alam, bahkan dapat
ditemukan pada permukaan tubuh orang sehat. Bakteri ini merupakan penyebab
utama keracunan makanan pada manusia (Supardi dan Sukamto, 1999).
Enterotoksin perfringens tipe A sangat berbahaya dan banyak mencemari pangan,
(Labbe, 2004). Gejala keracunan karena enterotoksin perfringens dapat berupa
sakit perut bagian bawah, diare dan pengeluaran gas serta jarang disertai dengan
demam dan pusingpusing. Gejala keracunan enterotoksin perfringens timbul 8
24 jam, dengan rata-rata 12 jam setelah mengonsumsi pangan yang mengandung
toksin perfringens (Siegmund, 1979).

Gambar 2.7. Clostridium botulinum


Keterangan: C. botulinum menghasilkan 7 jenis toksin tipe A, B, C, D, E, F, dan G . Tipe A,
B, E, dan F menghasilkan botulinum yang berbahaya bagi manusia.

7. Coliform
Coliform merupakan bakteri yang memiki habitat normal di usus manusia
dan juga hewan. Oleh karena itu bakteri Coliform, terutama Escherichia coli,
menjadi indikasi dari kontaminasi fekal pada air minum maupun makanan.
Penyebaran Coliform dari manusia ke manusia yang lain dapat terjadi melalui
jalur fekal oral yaitu dengan cara manusia memakan makanan atau minuman yang
telah terkontaminasi feses manusia. Infeksi Coliform pada manusia seringkali 15
disebabkan oleh konsumsi makanan produk hewan yang tercemar, misalnya
daging. Bakteri ini merupakan penghuni normal dalam saluran pencernaan
manusia dan hewan, maka digunakan secara luas sebagai indikator pencemaran
(Pelczar, 2007:169).
Coiliform mengakibatkan adanya kerusakan yang tidak diinginkan
sehingga makanan tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk mencegah adanya
kerusakan dan adanya bakteri patogen pada bahan pangan diperlukan suatu
penanganan lebih lanjut. Penanganan ini diharapkan dapat memberi daya tahan
yang lebih lama terhadap bahan makanan dan menjamin keamanan bahan
makanan agar layak untuk dikonsumsi konsumen atau masyarakat.
Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Batas Maksimum Cemaran
Mikroba pada Daging (Dalam Satuan CFU/gr).

Keterangan : (*) dalam satuan MPN/gram


(**) dalam satuan kualitatif
MPN :Most Probable Number/angka paling memungkinkan/paling
mendekati
CFU : Coloni Forming Unit
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Ciri-ciri kerusakan bahan makanan yang mengandung protein ditunjukkan
dengan rasa yang tidak enak,bau yang tidak sedap atau busuk, pencairan
jaringan protein sehingga bahan berair dan lembek.
3.1.2 Tahap-tahap kerusakan bahan makanan yang mengandung protein diawali
oleh kontaminasi mikroba pembusuk pada protein bahan pangan. Koloni
mikroba tersebut dengan cepat akan menggunakan dan memetabolisme
senyawa-senyawa organik. Mikroba akan menghasilkan enzim-enzim
proteolitik pada tahap akhir pembusukan.
3.1.3 Penyebab kerusakan pada daging dikarenakan beberapa factor: (1) faktor
intrinsic. (2) faktor pengolahan, (3) faktor ektrinsik, (4) faktor implicit, (5)
faktor makanan.
3.1.4 Beberapa bakteri kontaminan yang bersifat patogen pada daging antara lain
Escherichia coli,Coliform, Clostridium spp., Campylobacter spp., Listeria
monocytogenes, Staphylococcus aureus, Salmonella Sp.

3.3 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis untuk pembuatan makalah
selanjutnya adalah diperlukan sifat keuletan dan tanggungjawab dalam proses
penyusunan makalah. Penyusun makalah diharapkan disusun jauh-jauh hari agar
didapat hasil yang maksimal.
16
DAFTAR RUJUKAN

Abdelgadir, A.M.M.A., K.K. Srivastava and P.G. Reddy. 2009. Detection of


Listeria monocytogenes in readyto-eat meat products. Am. J. Anim.
Vet. Sci. 4(4): 101 107.

Altekruse, S.F, M.L. Cohen and D.L. Swerdlow. 2008. Perspective: Emerging
Foodborne Diseases. USA: Centers for Diseases Control and
Prevention.

Amagliani, G., G. Brandi, E. Omiccioli, A. Casiere, I.J. Bruce and M. Magnani.


2004. Direct detection of Listeria monocytogenes from milk by
magnetic based DNA isolation and PCR. Food Microbiol. 21: 597-
603.

Badan Standardisasi Nasional. Bahan Makanan Asal Hewan. SNI No. 01-6366-
2000. Jakarta.

Cary, J.W., J.E. Linz and D. Bhatnagar. 2000. Microbial foodborne diseases:
Mechanisms of pathogenesis and toxin synthesis. First Edition. USA:
Technomic Publishing Company Inc.

CDC (Centers For Disease Control dan Prevention). 2010. Listeria


monocytogenes. www.ksfoodsafety.org.

Djaafar TF dan S Rahayu. 2007. Cemaran Mikroba pada Produk Pertanian,


Penyakit yang Ditimbulkan dan Pencegahannya. Jurnal Litbang
Pertanian. 26(2): 67-75.

Djide MN dan Sartini. 2008. Analisis Mikrobiologi Farmasi. Makassar:


Laboratorium Mikrobiologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin.

Esteban, J.I., B. Oporto, G. Aduriz, R.A. Juste and A. Hurtado. 2009. Faecal
shedding and strain diversity of Listeria monocytogenes in healthy
ruminants and swine in Northern Spain. BMC Vet. Res. 5: 2-10.

Freitag, N., G.C. Port and M.D. Miner. 2009. Listeria monocytogenes-from
saprophyte to intracellularpathogen. Nat Rev Microbiol. 7(9): 623.
doi:10.1038/nrmicro2171.
Gast, K.R. 1991. S. enteritidis. Dalam: B.W. Calnek, W.B. Charles, R.N.D. Larry,
dan Y.M. Saif. (Editors). Disease of Poultry.10th Edition. USA: IOWA
State University Press.

17
Hariyadi RD. 2005. Bakteri Indikator Sanitasi dan Keamanan Air Minum. 18
http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_bctrindktr.php.

Hariyadi, P. 2000. Dasar dasar Teori dan Praktek Proses Termal. Bogor: Pusat
Studi Pangan dan Gizi IPB.

Jay, J.M. 1996. Modern Food Microbiology. Fifth Edition. New York. Pp:
Chapman and Hall.

Khusnan, SIO Salasia, dan Soegiyono. 2008. Isolasi, Identifikasi, dan


Karakterisasi Fenotip Bakteri Staphylococcus aureus dari Limbah
Penyembelihan dan Karkas Ayam Potong. Jurnal Veteriner. 9(1): 45-
51.

Kim, H. and J. Cho. 2010. Simple and rapid detection of Listeria monocytognes in
fruit juice by real-time PCR without enrichment culture. Food Control
21: 1419-1423.

Labbe, G.R. 2004. Clostridium perfringens. In: Bacteria Associated with


Foodborne Diseases. Scientific Status Summary. Institute of Food
Technology pp. 15 16.

Lawrie. (1995). Ilmu Daging. Penerjemah Parakkasi. UI Press, Jakarta.


Muriana, P.M., W. Quimby, C.A. Davidson and J. Grooms. 2002. Postpackage
pasteurization of ready-to-eat deli meats by submersion heating for
reduction of Listeria monocytogenes. J. Food Prot. 65(6): 963-969.

Nantel, A.J. 1999. Clostridium botulinum. International Programme on Chemical


Safety-Poisons Information Monograph 858. World Health
Organization pp. 1-5.

Pierson, M.O. and N.R. Reddy 2004. Clostridium botulinum In: Bacteria
Associated with Foodborne Diseases. Institute of Food Technology.
Scientific Status Summary pp. 16-18.

Plezar, J.Michael.dan Chan,E.C.S. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 1.


Jakarta: Universitas Indonesia.

Rasyaf, M. 1990. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.


Siagian A. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Siegmund, O.H. 1979. Infectious diseases. In: The Merck Veterinary Manual. A
Handbook og Diagnosis and Therapy for The Veterinarian. Fifth
Edition. Siegmund, O.H. (Ed.). Merck & Co., INC. Rahway, N.J. USA
pp. 236-507.

Soeharsono, 2002. Zoonosis, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit 19


Kanisius, Yogyakarta hlm. 45-47.
Supardi, I & Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Bandung: Alumni.

Suprapti, M. Lies. 2002. Pengawetan Telur. Yogyakarta: Kanisius.


Sutherland, P.S. 1989. Listeria monocytogenes. In: Foodborne Microorganisme of
Public Health Significance, Fourth Edition AIFST (NSW BRANCH).
Buckle, K.A., J.A. Davey, M.Y. Eyles, X.D. Hucking. K.G. Newton
and E.J. Stuttard. Food Microbiol. Group pp. 289-311.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi keempat. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Sopandi, T & Wardah,. 2014. Mikrobiologi Pangan. Yogyakarta: ANDI.


Standar Nasional Indonesia. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas
Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta:
Badan Standardisasi Nasional.

Stephan, R., S. Schumacher and M.A. Zychowska. 2003. The VIT technology for
rapid detection of Listeriamonocytogenes and other Listeria spp. Int.
J. Food Microbiol. 89: 287-290.

Sudaryani, T . 1996. Kualitas Telur. Jakarta: Penebar Swadaya.


Supardi dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Bandung: Penerbit Alumni.

Vela, A.I., J.F. Fernndez-Garayzbal, M.V. Latre, A.A Rodrguez, L. Domnguez


and M.A. Moreno. 2001. Antimicrobial susceptibility of
Listeriamonocytogenes isolated from meningoencephalitis in sheep.
Int. J. Antimicrob. Agents 17: 215-220.

Anda mungkin juga menyukai