Anda di halaman 1dari 36

TUGAS MAKALAH

HUBUNGAN KARAKTERISTIK BAHAN PANGAN HEWANI


DENGAN PENYIMPANAN

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Food Service

Dosen Pengampu:
Dr. Ir. Adi Magna Patriadi Nuhriawangsa, S.Pt., M.P., IPM.

Disusun Oleh:
KELOMPOK 5
1. Jauharotul Farida (S532008019)
2. Nadia Farah Diba (S532008025)
3. Rahmat Hidayat (S532008030)
4. Rofi’atul Hanifah (S532008045)
5. Rosalinda Abir Hanifah (S532002009)
6. Vadira Rahma Sari (5320008036)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU GIZI


FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan salah satu tugas dari mata kuliah Food
Service ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya penulis tidak dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Segala keterbatasan penulis masih mempunyai banyak kekurangan
dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
diharapkan guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat membantu menambah
wawasan menjadi luas, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang membaca.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………………….. i


KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………... ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………...……………….. iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………………. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………. 1
C. Tujuan……….………………………………………………………………………… 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Karakterisik Bahan Pangan Hewani …...………………….………………………….. 3
B. Daging ………………………………………………..…………………..………..…. 4
C. Penyimpanan Daging Unggas ……………………..…………………………………. 9
D. Penyimpanan Telur ………………………………………………………………….. 10
E. Ikan ……………………………………………………………..…………………… 12
F. Seafood …………………………………………………….………………………… 15
G. Perubahan dalam Penyimpanan Bahan Pangan Hewani Secara Fisik, Kimia
dan Biologi …….……………………………………………………………………. 16
H. Perubahan Selama Penyimpanan Berdasarkan Jenis Hewani ………………………. 23

BAB III PENUTUP


A. Simpulan …………………………………………………………………………….. 29
B. Saran ………………………………………………………………………………… 29
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….. 30

iii
DAFTAR GAMBAR

No Gambar Halaman
1. Daging Sapi ……………………..…………………………………………………….. 5
2. Pembekuan daging sapi ………....…………………………………………………….. 8
3. Kondisi ikan yang memar ……………………………………………………………. 17
4. Proses autolisis pada daging …………………………………………………………. 19
5. Kondisi ikan burst belly ……………………………………………………………… 21

iv
DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman
1. Cara menyimpan daging …………………………………………………………...… 4
2. Material dan Bahaya yang ditimbulkan oleh Sumber Bahaya Fisik ………………… 17

3. Senyawa Kimia yang terkandung dalam Bahan Pangan ………………………..…… 20


4. Jenis Bakteri Pembusuk …………………………………………………………...… 22
5. Jenis Bakteri Patogen ………………………………………………………………... 22

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati (organik), air, dan
bahan tambahan makanan (non organik). Secara garis besar, bahan pangan dari sumber hayati
dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pangan nabati dan bahan pangan hewani.
Bahan pangan hewani merupakan bahan-bahan makanan yang berasal dari hewan atau olahan
yang bahan dasarnya dari hasil hewan. Pangan hewani merupakan salah satu bahan pangan
yang mempunyai kandungan gizi tinggi dan mempunyai peranan dalam peningkatan derajat
kesehatan dan kecerdasan. Hal ini dikarenakan protein hewani mengandung asam amino
esensial yang lebih lengkap dan seimbang dibandingkan dengan protein nabati. Selain itu,
protein hewani lebih mudah dicerna dan diabsorpsi, sehingga mempunyai nilai hayati yang
lebih baik (Sudono dkk, 1989).
Bahan pangan hewani meliputi susu, telur, daging dan ikan serta produk-produk
olahannya. Kesegaran pangan hewani tidak dapat ditingkatkan, namun dapat dipertahankan
(Junianto, 2003). Salah satu cara untuk mempertahankan kualitas bahan pangan hewani
adalah melalui penyimpanan. Namun, saat ini masih banyak masyarakat yang tidak tahu cara
menyimpan bahan makanan yang benar terutama bahan makanan hewani, sehingga
penyimpanan dilakukan disembarang tempat. Pada dasarnya, penyimpanan bahan makanan
tidak bisa ditempatkan dimana saja. Penyimpanannya harus memperhatikan beberapa hal
seperti suhu, lokasi penyimpanan, luas tempat penyimpanan, dll.
Penyimpanan bahan pangan hewani secara umum tidak jauh berbeda dengan
penyimpanan bahan basah lain yang terdiri dari pendinginan dan pembekuan. Kedua proses
ini juga disesuaikan dengan karakteristik masing-masing bahan dan lama waktu penyimpanan
yang diinginkan. Selama proses penyimpanan, pertumbuhan mikroorganisme dapat ditekan
sehingga umur simpan akan bertambah. Namun, perubahan enzimatis dan non-enzimatis
tetap berlangsung dengan kecepatan yang lebih rendah (Ghaly et al., 2010).
Penyimpanan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan bahan yang berakibat pada
penurunan mutu. Oleh karena itu, makalah ini dibuat dengan harapan dapat membantu
memberikan informasi penyimpanan bahan makanan hewani yang tepat sesuai karakteristik
dan tujuan penyimpanan agar mutunya tetap terjaga.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik bahan pangan hewani dengan penyimpanan?
2. Bagaimana penyimpanan bahan pangan hewani?

1
3. Bagaimana perubahan dalam penyimpanan bahan pangan hewani secara fisik, kimia dan
biologi?
4. Bagaimana perubahan selama penyimpanan berdasarkan jenis pangan hewani?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memahami gambaran tentang hubungan karakteristik bahan pangan hewani dengan
penyimpanan
2. Tujuan Khusus
a. Memahami karakteristik bahan pangan hewani.
b. Memahami karakteristik penyimpanan bahan pangan hewani (daging sapi, ikan,
seafood, telur, daging unggas).
c. Mengetahui perubahan dalam penyimpanan bahan pangan hewani secara fisik, kimia
dan biologi.
d. Mengetahui perubahan selama penyimpanan berdasarkan jenis pangan hewani

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Karakteristik Bahan Pangan Hewani


1. Pengertian
Penyimpanan bahan makanan hewani adalah suatu tata cara menata, menyimpan,
memelihara bahan makanan kering dan basah, baik kualitas maupun kuantitas di tempat
penyimpanan bahan makanan kering dan basah. Bahan makanan hewani bersifat lunak dan
lembek sehingga mudah terpenetrasi oleh faktor tekanan dari luar.
2. Prinsip
Bahan pangan hewani memiliki daya simpan yang jauh lebih pendek daripada bahan
makanan nabati bila dalam keadaan segar (kecuali telur). Pendeknya daya simpan ini
terkait dengan struktur jaringan hasil hewani dimana bahan makanan hewani tidak
memiliki jaringan pelindung yang kuat dan kokoh sebagaimana pada hasil tanaman. Selain
itu, disebabkan oleh tingginya kandungan air dan sifat-sifat komponen penyusun lainnya
yang merupakan komponen potensial untuk pertumbuhan mikroba. Hanya telur, bahan
pangan hewani yang mempunyai daya tahan agak tinggi, karena kulit telur melindungi
bagian dalamnya.
Karakteristik masing-masing bahan makanan hewani sangat spesifik sehingga tidak
bisa digeneralisasi. Sifat-sifat daging sangat berbeda dengan sifat susu, telur maupun ikan.
Selain memiliki sifat lunak, bahan makanan hewani tidak tahan terhadap tekanan dan
hantaman. Bahan makanan hewani pada umumnya merupakan sumber protein dan lemak.
3. Tujuan
Tujuan adalah agar tersedia bahan makanan hewani siap pakai dengan kualitas dan
kuantitas yang tepat sesuai dengan perencanaan yang ada dan agar bahan makanan tidak
mudah rusak dan kehilangan nilai gizinya. Semua bahan makanan dibersihkan terlebih
dahulu sebelum disimpan agar terbebas dari bakteri.
4. Pemanfaatannya
Berdasarkan pemanfaatannya bahan pangan hewani dapat dimanfaatkan sebagai berikut:
a. Menghasilkan daging dan karkas, seperti sapi, kerbau, dan kambing. Karkas adalah
daging yang belum dipisahkan dari tulang kerangkanya. Pemotongan karkas
menghasilkan bagian-bagian daging yang berbeda mutunya, yang mana menimbulkan
perbedaan harga dan cara pengolahannya.
b. Daging unggas juga penghasil daging, seperti ayam kampong dan ayam ras. Daging
unggas merupakan bahan pangan yang baik, karena serat-seratnya pendek dan lunak
dan memiliki struktur otot daging yang serupa dengan hewan mamalia. Itik penghasil
daging adalah itik manila dan belibis. Karkas pada unggas meliputi otot, lemak, tulang
dan kulit.

3
c. Daging ikan bersumber dari ikan laut, ikan darat dan ikan migrasi yang berdasarkan
komposisinya disusun atas daging merah dan daging putih. Komposisi kimia daging
tergantung pada jenis atau species, umur, jenis kelamin, musim, daerah kehidupan, dan
jenis makanan.
5. Cara Penyimpanan
Dalam penyimpanan bahan makanan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut:
a. Penyimpanan harus dilakukan dalam suatu tempat khusus yang bersih dan memenuhi
syarat.
b. Barang-barang harus diatur dan disusun dengan baik sehingga :
1) Mudah untuk mengambilnya.
2) Tidak menjadi tempat bersarang atau bersembunyi serangga dan tikus.
3) Tidak mudah membusuk dan rusak, untuk bahan-bahan yang mudah membusuk
harus disediakan tempat penyimpanan dingin.
c. Cara penyimpanan bahan pangan hewani seperti daging, yaitu:
Tabel 1. Cara Penyimpan Daging
Cara Penyimpanan Suhu Fungsi
Penyimpanan dingin 4ºC – 10ºC Untuk bahan makanan yang berprotein yang
(chilling) akan segera diolah kembali
Penyimpanan dingin 0ºC – 4ºC Untuk bahan berprotein yang mudah rusak
sekali (freezing) untuk jangka waktu sampai 24 jam
Penyimpanan beku < 0ºC Untuk bahan makanan protein yang mudah
(frozen) rusak untuk jangka waktu > 24 jam
Sumber: Depkes RI (2004).

B. Daging Sapi
1. Definisi
Daging merupakan salah satu komoditi peternakan yang menjadi andalan sumber
protein hewani dan sangat menunjang untuk memenuhi kebutuhan dasar bahan pangan di
Indonesia. Daging terbagi ke dalam dua jenis, yaitu daging ternak besar seperti sapi dan
kerbau, maupun daging ternak kecil seperti domba, kambing, dan babi. Meski dengan
adanya berbagai ragam jenis daging, produk utama penjualan komoditi peternakan adalah
daging sapi potong (Gunawan, 2004).
Menurut Kusumo (2012) atribut utama perbedaan kualitas fisik daging sapi potong
lokal dan impor antara lain rasa dan aroma, warna, perlemakan (marbling), dan tekstur.
Warna daging sapi yang baik adalah berwarna merah cerah. Tekstur daging yang baik adal
ah apabila ditekan dengan jari tangan serat daging tidak akan hancur tapi akan kembali
kebentuk awal, apabila serat daging hancur ketika ditekan berarti daging tersebut sudah
rusak. Rasa dan aroma daging yang baik adalah beraroma khas daging sapi. Lemak
(marbling) daging sapi yang baik adalah berwarna putih kekuningan yang berarti daging

4
tersebut berasal dari sapi yang masih muda sehingga daging menjadi empuk lembut dan
terasa lebih gurih.

Gambar 1. Daging Sapi


2. Penyimpanan
a. Macam-macam Metode Penyimpanan
1) Refrigerasi
Penyimpanan karkas atau daging pada temperatur dingin meskipun dalam waktu
yang singkat diperlukan untuk mengurangi kontaminasi atau untuk mengendalikan
kerusakan dan perkembangan mikroorganisme. Kemungkinan kerusakan daging
atau karkas selama penyimpanan dingin dapat diperkecil dengan cara penyimpanan
karkas dalam bentuk yang belum dipotong-potong. Penyimpanan dingin biasanya
diartikan sebagai pengunaan suhu rendah dalam kisaran 1 o sampai 3,50C, suhu yang
jauh melebihi permulaan pembekuan otot, tetapi masih berada dalam suhu optimum
-2oC dan 7oC bagi pertumbuhan mikroorganisme psikrofilik.
Temperatur internal karkas sesaat setelah pemotongan biasanya berkisar antara
30oC dan 39oC, dan selama proses pendinginan temperatur internal karkas ini harus
diturunkan secepat mungkin sampai lebih kurang 5oC atau lebih rendah. Karkas sapi,
babi, domba dan anak sapi dapat didinginkan dengan penggantungan di dalam ruang
pendingin pada temperature chilling (dingin) −4oC sampai 0oC.
2) Pembekuan dan Penyimpanan Beku
Pembekuan adalah proses yang sangat baik untuk pengawetan daging dan
daging proses. Proses pembekuan tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap
sifat kualitatif maupun organoleptik termasuk warna dan flavor, tetapi penyimpanan
beku bias mengakibatkan penurunan daya terima bau dan flavor. Nilai nutrisi daging
secara relatif tidak mengalami perubahan selama pembekuan dan penyimpanan beku
dalam jangka waktu terbatas.
Syarat untuk memperoleh hasil daging beku yang baik adalah daging segar
harus beasal dari ternak yang sehat, pengeluaran darah pada saat pemotongan harus
sesempurna mungkin, temperatur karkas atau daging harus secepatnya diturunkan
pada temperatur dingin, periode pelayuan harus dibatasi, karkas atau daging
dibungkus dengan menggunakan material yang berkualitas baik dan temperatur
pembekuan setidak-tidaknya −18oC atau lebih rendah.

5
3) Proses Termal
Proses termal adalah metode yang dipergunakan untuk membunuh
mikroorganisme pembusuk dan mikroorganisme toksikogenik di dalam daging.
Jumlah panas yang dipergunakan pada preservasi daging atau daging proses ada dua
macam yaitu pemanasan sedang atau moderat, temperature produk mencapai 58 oC
sampai 75oC dan pemanasan pada temperature tinggi biasanya lebih tinggi daripada
100oC.
b. Cara Penyimpanan
Cara menyimpan daging sapi supaya tahan lama menurut kami adalah dengan
menyimpan daging sapi itu sendiri di kulkas atau freezer. Dengan menyimpan daging
sapi di kulkas dapat menghentikan berkembangnya bakteri yang ada di dalam daging
sapi. Dengan pembekuan yang ada di dalam kulkas atau freezer maka daging sapi akan
awet hingga 2 bulan jika benar cara menyimpan daging sapi. Langkah-langkah untuk
cara menyimpan daging sapi di freezer yang baik dan benar adalah:
1) Pilihlah daging yang segar dan baru
Dengan memilih daging yang segar dan baru maka akan lebih awet jika disimpan di
dalam freezer karena belum lama terkena udara. Jika sudah terkena udara maka
bakteri di dalam daging akan berkembang.
2) Cuci bersih daging sapi tersebut
Cuci daging sapi hingga bersih, agar hilang semua kotoran yang ada di dalam daging
tersebut. Mencuci daging otomatis akan menghilangkan berbagai jenis kotoran yang
ada di dalam daging sapi, namun jangan terlalu bersih karena akan menghilangkan
kesegaran daring sapi tersebut.
3) Potong daging agar tidak terlalu besar
Ukuran freezer sangat kecil jadi sebisa mungkin untuk memperkecil ukuran daging
sapi, dengan begitu akan menghemat ruang dalam freezer. Dan mudah untuk di
masukan dalam toples atau wadah, dan tentunya tahan lama.
4) Bumbui daging (jika bisa)
Untuk memberikan rasa yang enak maka perlu dibumbui dahulu agar meresap
sampai ke dalam daging. Jadi kita tinggal mengolah daging tersebut tanpa di bumbui
dahulu dan juga rasa daging akan penuh cita rasas yang enak.
5) Simpan dalam wadah tertutup
Wadah untuk menyimpan daging sapi usahakan di tutup dengan rapat agar udara
tidak bisa masuk. Dengan menyimpan dalam wadah tertutup maka akan lebih awet
dan daging sapi tetap segar saat ingin diolah atau dimasak.

6
6) Pengaturan suhu freezer
Tahap terakhir adalah dengan mengatur suhu freezer tersebut, dengan mengatur suhu
minus 18oC maka daging di dalam wadah akan tetap segar. Jadi itu adalah beberapa
cara menyimpan daging sapi di freezer dengan baik dan benar.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Daging Sapi
a. Metode pelayuan
Penanganan daging sapi setelah pemotongan dinamakan pelayuan yang mana
caranya dengan menggantungnya atau menyimpan pada titik beku sekitar -1,50C dalam
jangka waktu tertentu. Proses ini bertujuan untuk:
1) Pembentukan asam laktat dan glikogen otot terjadi secara sempurna sehingga bakteri
akan tumbuh secara terhambat.
2) Lapisan luar daging kering sehingga dapat ditahannya kontaminasi mikroba
pembusuk dari luar.
3) Darah akan keluar secara sempurna.
4) Memperoleh rasa daging yang khas dan empuk yang optimum.
5) Metode pemasakan
Proses pemasakan pada daging berbeda-beda, maksudnya daging yang memiliki
jaringan ikat sedikit lebih baik dimasak dengan kering misal di goreng, cara ini beda
dengan pemasakan daging yang memiliki jaringan ikat banyak.
b. Tingkat keasaman (pH) daging
Nilai pH yang dimiliki oleh daging sapi adalah salah satu kriteria kualitas daging
sapi terutama pada rumah potong hewan. Pada umumnya pH pada daging ketika hidup
adalah sekitar 7,0 – 7,2 yang akan menurun secara bertahap menjadi 5,6 – 5,7 dalam
waktu 6 – 8 jam dan pH ini tidak akan lebih rendah dari 5,3 karena enzim yang terlibat
pada proses glikolisis anaerob tidak akan bekerja lagi.
c. Lemak intramuscular atau marbling
Marbling adalah lemak yang ada diantara serabut otot yang berfungsi untuk
mempertahankan keutuhan daging dan sangat berpengaruh terhadap cita rasa.
d. Metode penyimpanan dan pengawetan
Daging sapi bisa disimpan dengan cara laju pendingin misalnya, yang mana dilakukan
ketika daging baru dipotong demi mencegah penurunan kualitas.
4. Pengaruh Penggunaan Bahan Pengemas Terhadap Kualitas Kimia Daging
Sapi Beku
Kerusakan yang terjadi di dalam daging dapat dicegah dengan menggunakan beberapa
cara pengawetan antara lain pendinginan, pembekuan, pengasinan, pengasapan,
pengeringan, irradiasi dan penambahan bahan-bahan lain. Cara-cara tersebut prinsipnya
adalah untuk menekan aktivitas mikrobia dan mengurangi proses enzimatis yang dapat
mempercepat kerusakan daging. Produk dari aktivitas ini adalah daging sapi beku.

7
Gambar 2. Pembekuan daging sapi
Pembekuan daging sapi secara plain menyebabkan banyak kerusakan. Salah satunya
adalah freezer burn, atau gosong akibat pembekuan. Tanda-tanda ini cukup mudah
dijumpai ketika sobat frozeners membuka daging yang sudah lama diletakkan didalam
kulkas, dengan ciri warna cokelat. Kerusakan ini biasanya diikuti dengan munculnya
lender, sebagai tanda daging sudah tidak segar lagi. Alternatif untuk mencegahnya ialah
dengan menggunakan pengemas.
Penggunaan bahan pengemas dalam pembekuan daging dapat mencegah terjadinya
gosong beku (Freezer burn) yang dapat menyebabkan perubahan flavor, warna, tekstur
dan penampakan daging beku yang tidak menarik, selain itu pengemas dapat mengurangi
terjadinya desikasi, dehidrasi dan oksidasi lemak, sehingga kualitas daging beku dapat
dipertahankan. Plastik polietilen (PE), plastik polipropilen (PP) dan aluminium foil dapat
digunakan sebagai bahan pengemas.
Plastik PE lebih direkomendasikan untuk dijadikan sebagai pengemas produk daging
sapi beku. Hal ini didasari oleh sifat dari jenis plastik ini sendiri, yaitu lentur, tembus
cahaya, dan difusifitas udara cukup baik. Sehingga disperse krisral es yang terbentuk lebih
merata, dan tidak merusak produk daging sapi beku yang kita simpan. Meskipun,
pengemas lain jenis plastik PP maupun Alufo juga dapat digunakan, namun tidak lebih
baik dari penggunaan plastik PE. Secara kualitas kimiawi produk daging sapi beku banyak
mengandung air, lemak, dan protein. Senyawa protein ini peka terhadap perubahan suhu
yang terjadi, yang akibatnya sering terjadinya denaturasi. Denaturasi adalah peristiwa
dimana ikatan protein rusak oleh adanya pengaruh suhu dan asam. Penyebabnya bisa
disebabkan karena paparan suhu yang ekstrim, sehingga untuk mencegahnya pengemasan
dianjurkan untuk dilakukan.
Setelah sapi dipotong dagingnya masih melakukan proses metabolisme, yang disebut
sebagai fase rigormorthis. Pada fase ini mempengaruhi kesegaran dan tekstur dari daging
sapi beku yang kita konsumsi. Sehingga, untuk menjaga prosesnya agar berjalan dengan
baik cara pengemasanlah yang paling bisa diandalkan.

8
C. Penyimpanan Daging Unggas
Daging unggas merupakan bahan makanan bergizi tinggi yang mudah untuk didapat,
rasanya enak, teksturnya empuk, baunya tidak terlalu amis serta harga yang terjangkau oleh
semua kalangan masyarakat sehingga disukai banyak orang dan sering digunakan sebagai
bahan utama dalam pembuatan makanan. Daging ayam yang biasa di konsumsi di Indonesia
adalah ayam pedaging (broiler) dan ayam kampung. Kedua jenis ayam ini sering
diperdagangkan sudah dalam bentuk karkas (Windiani dan Ari, 2014).
Produk pangan memiliki daya simpan yang terbatas (shelf life), tergantung jenis bahan
pangan dan kondisi penyimpanannya. Daya simpan bahan pangan adalah lama waktu sejak
bahan pangan diproduksi sampai diterima oleh konsumen dengan kondisi mutu yang baik.
Daya simpan ini digunakan sebagai dasar penentuan waktu kadaluarsa bahan pangan. Waktu
kadaluarsa adalah batasan akhir dari masa simpan bahan pangan. Artinya dengan berakhirnya
waktu kadaluarsa bahan pangan tersebut tidak layak lagi untuk dikonsumsi, meskipun
sebenarnya makanan tersebut belum busuk atau beracun (Suradi, 2009).
Pada umumnya kerusakan daging ayam disebabkan oleh kontaminasi bakteri yang
berasal dari bulu, kulit, dan saluran pencernaan ayam. Pencemaran daging ayam oleh
Salmonella dapat juga terjadi karena induk menderita Salmonellosis atau dapat juga berasal
dari tanah, tinja yang mengandung bakteri Salmonella sp. Selain itu dapat juga terjadi saat
transportasi, pemasaran, dan ditempat penyembelihan (Hobbs dan Robert, 1993).
Salah satu cara untuk mempertahankan kualitas produk pangan yaitu dengan dilakukan
penyimpanan pada suhu rendah. Penyimpanan suhu rendah dapat dilakukan dengan
menggunakan suhu dingin dan beku. Lama penyimpanan daging mempunyai pengaruh besar
adanya bakteri yang tumbuh pada daging, semakin lama penyimpanan pada suhu ruang akan
menghasilkan banyak basa yang berakibat semakin meningkatnya aktivitas mikroorganisme
yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pembusukan (Suradi, 2012).
Pendinginan pada suhu refrigerator merupakan cara yang paling sederhana dan sering
digunakan untuk mengawetkan serta memperpanjang masa simpan daging ayam.
Pendinginan dapat menghambat pertumbuhan bakteri, karena suhu dingin akan menurunkan
energi kinetik semua molekul dalam sistem, sehingga menurunkan kecepatan reaksi kimia
termasuk aktivitas metabolisme sel bakteri (Pestariati, 2002).
Penanganan dan penyimpanan daging unggas juga harus menjadi kepedulian bagi
konsumen agar tetap mendapatkan produksi daging yang aman dikonsumsi (Hobbs dan
Robert, 1993):
1. Perlu dilakukan perlakuan pada daging unggas yang akan disimpan dalam keadaan beku,
dengan cara daging unggas dipotong-potong sesuai selera dan kebutuhan yang diperlukan.
Kemudian lakukan pengemasan dalam wadah tertutup dan bersih dan berikan tanggal
pembelian daging sebelum dimasukkan dalam freezer
2. Lakukan pencucian tangan sebelum dan sesudah mempersiapkan daging;

9
3. Usahakan ruang atau tempat mempersiapkan daging unggas (dapur) terbebas dari
insektisida dan rodentia (lalat, tikus, kecoa dan semut)
4. Gunakan peralatan yang bersih untuk menyimpan daging unggas
5. Suhu penyimpanan daging unggas pada suhu 0 - 4 oC masa simpan 2-3 hari dan suhu
freezer (-18 oC) masa simpan 6 – 8 bulan

Penyimpanan daging unggas dalam suhu freezer akan terjadi perubahan antara lain
glikolisis, denaturasi protein, perubahan akibat aktivitas enzim dan mikroba. Selain itu,
kenaikan konsentrasi padatan intraseluler selama pembekuan dapat mengakibatkan
perubahan fizik dan kimia terhadap sel-sel bakteri, seperti perubahan pH, tekanan uap, titik
beku, tegangan permukaan dan potensial oksidai-reduksi (Muchtadi dkk, 2015).

D. Penyimpanan Telur
Bahan pangan telur adalah bahan yang mudah mengalami kerusakan. Kerusakan pada
telur dapat terjadi secara fisik, kimia maupun biologis, sehingga terjadi perubahan selama
masa penyimpanan. Oleh karena itu dalam pemilihan telur ayam perlu memperhatikan
kualitasnya. Secara keseluruhan kualitas sebutir telur ayam tergantung pada kualitas telur
ayam sebelah dalam (isi telur) dan kualitas telur ayam bagian luar (kulit telur) (Sudaryani,
2009).
Telur harus ditangani segera setelah dibeli di peternak, pasar ataupun dibeli dari warung–
warung, penanganan telur bertujuan untuk memperlambat penurunan kualitas atau kerusakan
telur (Rachmawan, 2001). Penurunan mutu dapat disebabkan oleh penguapan air, penguapan
karbon dioksida dan aktivitas mikroba. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab
kerusakan tersebut yaitu lama waktu penyimpanan, suhu dan kelembapan ruang
penyimpanan, kotoran yang ada pada kulit telur dan teknik penaganan serta peralatan yang
digunakan dalam penanganan (Muchtadi dkk, 2015).
Cara mempertahankan mutu telur yaitu dengan mencegah penguapan air dan terlepasnya
gas–gas lain dari dalam isi telur, serta mencegah masuk dan tumbuhnya mikroba di dalam
telur selama mungkin. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menutup pori–pori kulit telur
atau mengatur kelembaban dan kecepatan aliran udara dalam ruangan penyimpanan
(Winarno, 2002).
Penyimpanan telur pada dasarnya dilakukan untuk mencegah terjadinya penguapan air.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan penyimpanan telur yaitu (Sudaryani,
2000):
a. Telur dibersihkan terlebih dahulu dengan menggosok kulit telur dengan kertas ampril
(amplas) yang halus secara hati-hati. Cara lain dengan mencuci telur dalam air hangat (±
60 oC) yang bersih dan mengalir agar kotoran yang ada di permukaan kulit telur segera
terbuang bersama aliran air. Selain itu untuk mempercepat penghilangan kotoran yang
menempel pada kulit telur dapat digunakan kain.

10
b. Kulit telur yang akan disimpan harus utuh, tidak retak atau pecah.
c. Telur disimpan pada tempat yang sejuk atau dingin, ruangan bersih dengan udara segar.
Temperatur baik untuk penyimpanan telur adalah 10 - 13 oC dengan kelembapan 75 - 80
%. Apabila ingin disimpan lebih lama lagi (± 6 bulan) digunakan alat pendingin dengan
suhu 0 - 15 oC dan kelembapan 85 - 90%.
d. Tempat penyimpanan telur bebas dari bau atau uap-uap kertas seperti uap (bau) dari
minyak tanah, kreolin, cat tembok, dan sebagainya. Sebab telur memiliki sifat mudah
menyerap bau melalui pori-pori kerabang telur.
e. Tata cara menyimpan telur dengan meletakkan bagian ujung yang tumpul di sebelah atas
dan bagian yang lancip di bagian bawah. Tujuannya agar kantong udara berada disebelah
atas, sehingga tidak tertekan oleh isi telur yang dapat menyebabkan telur cepat rusak.
Selama proses penyimpanan, telur akan mengalami perubahan kualitas sejalan dengan
lamanya waktu penyimpanan. Perubahan yang dapat terjadi antara lain:
a. Penurunan berat telur, yang disebabkan oleh penguapan air terutama di albumen dan
keluarnya gas CO2, NH3, N2 dan H2S akibat terjadinya pemecahan senyawa-senyawa
organik dalam telur (Stadelman dan Cotteril, 1973).
b. Bertambahnya diameter kantung udara. Kantung udara terbentuk diantara membran kulit
luar dan membran kulit dalam. Dengan demikian selama proses penyimpanan volume
ruang udara akan meningkat (Haryoto, 1996).
c. Pergeseran; Pada telur segar posisi kuning telur ditengah, makin lama penyimpanan posisi
kuning telur akan bergeser ke pinggir, bahkan semakin lama telur disimpan kuning telur
akan pecah yang disebabkan pecahnya membran vitelin karena penurunan elastisitasnya
dan penurunan kekentalan putih telur.
d. Penurunan grafik telur; Telur apabila disimpan terlalu lama akan melayang dalam air, hal
ini disebabkan karena meningkatnya ukuran kantung udara.
e. Perubahan bau, aroma dan rasa.
f. Peningkatan jumlah putih telur, karena pergeseran air dari albumin ke kuning telur.
Adanya beberapa perubahan yang dapat terjadi selama penyimpanan, maka beberapa hal yang
dianjurkan antara lain (Muchtadi dkk, 2015):
a. Menyimpan telur sebaiknya di dalam almari pendingin. Daya simpan telur di suhu ruang
adalah 8 hari sedangkan di dalam kulkas bisa bertahan hingga 3 minggu. Setelah ini,
kualitas telur akan menurun.
b. Walaupun isi telur tersimpan di dalam cangkang, pori-pori kulit telur tetap bisa menyerap
aroma dari luar. Oleh karena itu simpan telur di ruangan yang tidak berdekatan dengan
bahan pangan berbau tajam, seperti ikan, durian dan terasi.

11
E. Ikan
1. Definisi ikan
Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak, terutama ikan segar
(Hadiwiyoto 1993). Menurut Junianto (2003), kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan,
namun dapat dipertahankan. Proses pengawetankan dengan cara pendinginan dapat
mempertahankan masa kesegaran (shelf life) ikan.
2. Pengawetan Ikan Suhu Rendah
Secara garis besarnya, pengawetan dengan suhu rendah pada ikan dapat dikelompokkan
menjadi dua metode, yaitu:
a. Penyimpanan ikan
1) Cooling
Cooling dilakukan pada temperatur 4°C sampai -1°C. Dengan menggunakan
cara ini pertumbuhan mikroorganisme akan terhambat, sehingga kesegaran ikan
dapat dipertahankan untuk beberapa waktu yang singkat.
Sebelum melakukan pengawetan suhu rendah terhadap ikan, pada umumnya
terlebih dulu dilakukan proses pra pendinginan (precooling). Proses ini
dimaksudkan untuk menghilangkan kalor secara cepat. Terdapat beberapa metode
yang dapat digunakan dalam proses precooling ini, yaitu:
a) Peng-es-an/icing yang dilakukan dengan menggunakan es sebagai media
pendingin dalam wadah.
b) Pendinginan dalam udara dingin dengan cara disimpan dalam chiller atau lemari
es.
c) Pendinginan dalam air dengan cara direndam dalam air (air tawar, air laut atau air
garam) yang ditambahkan es atau secara mekanis sehingga menjadi dingin.
d) Combined Blast and Contact Cooling (CBCC) yang merupakan kombinasi antara
blast freezing dan contact freezing dan pada umumnya digunakan untuk ikan fillet
(Arnþórsdóttir et al., 2008).
b. Pembekuan (Freezing)
Cara ini dilakukan pada suhu -18°C sampai -30°C. Pada suhu serendah ini,
pertumbuhan mikroorganisme akan benar-benar dapat terhenti dan ikan dapat disimpan
dalam jangka waktu yang lebih lama. Kedua cara pengawetan tersebut cukup efektif
digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada ikan. Akan tetapi,
perubahan enzimatis dan non-enzimatis di dalam tubuh ikan sendiri akan tetap
berlangsung, hanya saja dengan kecepatan yang lebih rendah (Ghaly et al., 2010).
Beberapa metode pembekuan adalah sebagai berikut:
1) Sharp freezing
Produk yang dibekukan diletakkan di atas lilitan pipa evaporator (refrigerated coil).
Alat yang digunakan disebut sharp freezer. Pembekuan ini berlangsung lambat.

12
2) Air-blast freezing
Produk diletakkan dalam ruangan yang ditiupkan udara beku didalamnya
dengan blower yang kuat. Pembekuan berlangsung cepat.. Alat yang digunakan
disebut air-blast freezer. Produk yang dihasilkan dengan menggunakan sistem ini
biasanya tidak mulus (firm), bisa saja bengkok-bengkok karena pada saat
pembekuan dilakukan daging ikan mengalami pengkerutan.
3) Immersion freezing
Immersion freezing adalah pembekuan produk dalam air (larutan garam) yang
direfrigrasi, pembekuan berlangsung cepat dan sering digunakan di kapal penangkap
udang dan tuna. Alatnya yang digunakan disebut brine freezer. Jenis freezer ini
khusus digunakan untuk pembekuan ikan-ikan utuh seperti tuna, udang dengan
kepala dan ikan sebelah. Cara pembekuan menggunakan metode ini dengan
mencelupkan ikan kedalam larutan garam (NaCl) bersuhu -17°C atau dengan
penyemprotan ikan menggunakan brine dingin. Ikan yang hendak dicelup diletakkan
di dalam keranjang atau peti terdahulu, sedangkan larutan garam ditampung dalam
tangki pembekuan yang dingin dan dilingkari pipa-pipa evaporator. Selain untuk
membekukan ikan, sistem ini biasanya juga digunakan dalam pembuatan es balok
4) Cryogenic freezing
Cryogenic freezing ialah membekukan produk dengan semprotan bahan
cryogen, misalnya karbondioksida cair dan nitrogen cair. Alatnya yang digunakan
disebut liquid carbon dioxide freezer dan liquid nitrogen freezer. Cara
pembekuannya adalah dengan memasukkan ikan ke dalam ruangan melalui ban
berjalan (conveyor). Setelah ikan berada di dalam ruangan kemudian disemprotkan
pendingin/pembekunya. Pada freezer ini, produk bersinggungan langsung dengan
bahan pendingin. Ikan di atas ban stainless steel mula-mula bersinggungan dengan
gas nitrogen bersuhu -50°C. Makin jauh, suhu bahan pendingin secara berangsur-
angsur berubah menjadi -196°C. Sebelum melintasi semprotan cairan nitrogen,
dilakukan precooling terlebih dahulu. Jika langsung disemprot tanpa precooling,
ikan akan rusak akibat penurunan suhu yang mendadak. Pada tahap precooling, 50%
panas telah dikeluarkan dari ikan.
Keuntungan utama penggunaan freezer nitrogen ialah pembekuan berlangsung
sangat cepat dan ukuran freezer sangat kecil. Freezer ini tidak membutuhkan mesin
pendingin (kompresor, kondensor, cooler, dll), sehingga pemeliharaan dan listrik
yang diperlukan untuk menjalankan freezer sangat kecil. Meskipun ukuran freezer
kecil dan tidak memerlukan mesin pendingin, diperlukan ruang penyimpanan yang
besar dan akses untuk tangki nitrogen. Selain itu, mahalnya biaya penyediaan
nitrogen dan kontinuitas penyediaannya sekurang-kurangnya 4 kali lipat biaya air
blast freezer.

13
5) Contact-plate freezing
Contact-plate freezing adalah metode membekukan produk diantara rak-rak
yang direfrigrasi dan pembekuan berlangsung cepat. Alat yang digunakan disebut
contact plate freezer. Pada sistem ini, terjadi kontak langsung antara ikan dan plate
pendingin dengan cara ikan dimasukkan ke dalam almari/cabinet pendingin baik
secara individu ataupun secara block yang langsung bersentuhan dengan plate yang
dialiri oleh media pendingin (refrigerant) selama beberapa waktu tergantung dari
ketebalan ikan dan suhu refrigrantnya.
3. Faktor yang Mempengaruhi Penyimpanan
a. Ukuran cold storage
Pada pendinginan menggunakan es, volume kotak yang lebih luas akan
mempercepat pencairan es. Hal ini berkaitan dengan jumlah panas yang masuk ke
dalam kotak melalui permukaannya. Semakin besar luas permukaan maka panas yang
masuk ke dalam kotak semakin besar pula.
Jenis material kotak peng-es-an yang sering sering di gunakan saat ini oleh para
pelaku penanganan ikan di Indonesia antara lain: kayu, plastik polietilen, fiberglass,
dan styrofoam. Dari berbagai macam kemasan tersebut urutan jenis kemasan yang dapat
memperlambat peleburan es adalah styrofoam, kemudian di ikuti dengan plastik
polietilen, fiberglass, dan kayu. Namun, dalam praktiknya kotak atau wadah untuk
pendinginan ikan dengan es umumnya di buat dari kombinasi berbagai jenis material,
misalnya styrofoam dengan kayu dan plastik dengan kayu. Penggunaan isolasi dalam
wadah pendinginan di maksudkan untuk memperkecil jumlah panas yang masuk dari
luar kemasan ke dalam kemasan sehingga es menjadi lebih lama untuk melebur. Suhu
luar kemasan yang tinggi akan menyebabkan panas yang masuk kedalam kemasan juga
besar sehingga peleburan es semakin cepat.
b. Jumlah es
Pada pendinginan menggunakan es, selain ukuran wadah, jumlah es yang di
gunakan juga harus di sesuaikan. Jika jumlah es terlalu sedikit dibandingkan jumlah
ikannya maka suhu pendinginan yang dihasilkan tidak cukup dingin untuk
mempertahankan kesegaran ikan dalam waktu yang di tentukan. Sebaiknya, bila jumlah
es terlalu banyak dapat menyebabkan ikan kerusakan fisik karena himpitan atau tekanan
dari bongkahan es.
Perbandingan es dan ikan yang dipergunakan selama pendinginan bervariasi antara
1:4 sampai 1:1. Perbandingan tersebut tergantung pada waktu penyimpanan yang
diperkirakan, suhu udara diluar kemasan, dan jenis wadah penyimpanan. Ketebalan
lapisan ikan berpengaruh terhadap kecepatan penurunan suhu tubuh ikan. Semangkin
tipis lapisan ikan, kecepatan penurunan suhunya semangkin cepat.

14
c. Kondisi fisik ikan
Kondisi fisik ikan sebelum penanganan harus di perhatikan. Ikan-ikan yang kondisi
fisiknya jelek, misalnya lecet-lecet, memar, sobek, atau luka pada kulit, sebaiknya
dipisahkan dari ikan yang kondisi fisiknya baik. Hal ini di sebabkan darah dari ikan
yang luka akan mencemari atau mengontaminasi ikan yang masih baik kondisinya.

F. Seafood
1. Definisi
Seafood atau hidangan laut adalah kumpulan organisme laut yang dapat dimanfaatkan
untuk makanan. Kumpulan organisme laut tersebut, antara lain tumbuhan laut, mollusks
atau kerang-kerangan, crustacean atau hewan laut berkulit keras, dan ikan (Sikorski, 1990).
Dalam hal penyimpanannya, seafood tidak berbeda jauh dengan ikan.
Mikobra atau patogen dapat mudah tumbuh pada suhu 5oC sampai 60 oC, sehingga
usahakan seafood tidak terpapar suhu tersebut dalam waktu yang lama. Sebelum dilakukan
penyimpanan, sebaiknya dipastikan terlebih dahulu apakah seafood masih baik mutunya
atau tidak. Untuk seafood yang bermutu rendah atau nyaris rusak sebaiknya tidak
dibekukan, karena seafood beku bermutu rendah akan cepat menjadi rusak (busuk) ketika
proses thawing atau pengolahan.
2. Penyimpanan Seafood
a. Penyimpanan suhu dingin
Penyimpanan ini dilakukan dalam refrigerator. Saat membeli seafood segar dan
dalam kondisi dingin maka seafood dapat disimpan di dalam refrigerator. Lama
penyimpanan di dalam refrigerator yaitu 1 hari sampai 2 hari saja dengan suhu yang
tidak lebih dari 4oC. Untuk menjaga suhu seafood tetap stabil, hindari pengisian
refrigerator hingga penuh. Simpan seafood didalam wadah/kemasan makanan yang
bersih, tidak bocor dan tertutup rapat. Hindari menyimpan makanan di dalam wadah
terbuka karena akan mengakibatkan terjadinya kontaminasi dengan makanan yang lain.
b. Penyimpanan beku
Penyimpanan ini dilakukan di dalam freezer. Seafood dapat simpan hingga 3 bulan
sampai 6 bulan dengan suhu ideal yaitu -18oC. Hinadri penggunaan wadah terbuka saat
menyimpanan seafood dalam freezer. Simpan di dalam wadah yang bersih, tertutup dan
tidak bocor. Penyimpanan seafood pada wadah terbuka akan mengakibatkan terjadinya
pengeringan/dehidrasi di permukaan atau yang lebih sering disebut dengan freezer
burn. Seafood yang mengalami freezer burn akan mengalami perubahan warna pada
permukaannya, penyimpangan citarasa serta perubahan tekstur menjadi kering.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan seafood agar mutunya
tidak menurun, yaitu:

15
a. Suhu
Setelah dibeli di pasar atau ditangkap di laut, kesegaran makanan laut harus
dipertahankan. Kesegaran seafood dapat dijaga dengan memasukkannya ke dalam
kemasan berisi es. Pendinginan yang cepat dan tepat dapat dilakukan melalui pemberian
es dan atau referigasi. Dalam penerapannya, seafood tidak boleh lebih hangat dari 4°C
untuk produk dingin, serta tidak boleh lebih hangat dari -18°C untuk produk beku.
b. Penanganan
Produk seafood sebagaimana produk perikanan lainnya merupakan produk dengan
kandungan tinggi protein dan lemak yang menyebabkan produk ini sangat mudah
mengalami kebusukan. Tanpa pendinginan yang seksama dalam waktu kurang dari 7
jam, seafood akan cepat rusak dan dapat menimbulkan risiko keracunan makanan akibat
mikroba patogen dan produk dekomposisi ikan (seperti histamin).

G. Perubahan dalam Penyimpanan Bahan Pangan Hewani Secara Fisik, Kimia dan Biologi
Penyimpanan bahan pangan hewani akan mengalami serangkaian proses perombakan
yang mengarah ke penurunan mutu. Proses perombakan yang terjadi pada ikan dan ternak
dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pre rigor, rigor dan post rigor mortis. Pre rigor
adalah tahap dimana mutu dan kesegaran bahan pangan sama seperti ketika masih hidup.
Rigor mortis adalah tahap dimana bahan pangan memiliki kesegaran dan mutu seperti ketika
masih hidup, namun kondisi tubuhnya secara bertahap menjadi kaku. Pada bahan hewani,
seperti ikan dan ternak, perubahan bahan pangan dari kondisi elastis menjadi kaku terlihat
nyata dibandingkan bahan pertanian. Namun hingga tahap rigor mortis, ikan dan ternak dapat
dikatakan masih segar. Namun memasuki tahap post rigor mortis, proses pembusukan daging
ikan telah dimulai. Ada tiga faktor yang mempengaruhi penurunan mutu bahan pangan, yaitu
kerusakan fisik, kimia, dan biologis (Pudjirahaju, 2017).
1. Perubahan Secara Fisik
Kerusakan fisik yang dialami bahan pangan dapat disebabkan oleh perlakuan fisik,
seperti terbanting, tergencet, atau terluka. Perlakuan tersebut dapat menyebabkan
terjadinya memar, luka, dan adanya benda asing (Pudjirahaju, 2017).
a. Memar
Memar dialami oleh bahan pangan yang disebabkan karena dipukul, terbanting
atau tergencet. Ikan yang meronta sesaat sebelum mati atau pedagang yang membanting
ikan agar segera mati telah menyebabkan ikan mengalami memar. Semua upaya
mematikan ikan yang dimaksudkan agar ikan menjadi mudah untuk disiangi. Bahan
pangan yang memar akan mudah mengalami proses pembusukan. Rusaknya jaringan di
bagian yang memar akan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik. Pada
ikan, bagian yang memar cenderung menjadi lunak dan kemerahan (Pudjirahaju, 2017).

16
Gambar 3. Kondisi Ikan yang memar
b. Luka
Bahan pangan dapat mengalami luka yang diakibatkan tusukan atau sayatan oleh
benda tajam. Penggunaan pengait pada saat akan mengangkat ikan hasil tangkapan
dapat menyebabkan luka pada ikan. Apabila tidak segera ditangani dengan benar, luka
tersebut dapat menjadi jalan bagi mikroba pembusuk untuk memasuki bagian tubuh
ikan dan merombak komponen di dalamnya (Pudjirahaju, 2017).
c. Adanya Benda Asing
Pasir, isi hekter, rambut, kuku, patahan kaki serangga, atau pecahan gelas adalah
beberapa contoh benda-benda asing yang sering dijumpai pada saat akan menyantap
makanan dibanyak warung makan bahkan restauran. Produk perikanan yang mengalami
penahanan di pelabuhan masuk negara tujuan karena pada saat pemeriksaan terbukti
mengandung benda-benda asing seperti paku, jarum, patahan kaki serangga, pecahan
kaca dan masih banyak lagi. Itulah beberapa contoh bahaya fisik (Physical Hazard)
tentang bahaya keamanan pangan (Pudjirahaju, 2017).
Berdasarkan definisinya, bahaya fisik dapat diartikan sebagai benda –benda asing
yang berasal dari luar dan tidak normal ditemukan dalam bahan pangan yang secara
potensial dapat menyebabkan kerugian bagi konsumen yang secara tidak sengaja
memakannya. Keberadaan bahaya fisik ini perlu ditelusuri karena dapat menyebabkan
bahaya bagi konsumen.
Tabel 2. Material dan Bahaya yang ditimbulkan oleh Sumber Bahaya Fisik
Material Bahaya yang Ditimbulkan Sumber
Kaca Menyebabkan luka, pendarahan, Botol, lampu, thermometer,
mungkin membutuhkan pembedahan dll
untuk mengeluarkannya
Kayu Menyebabkan inferksi, mungkin Pallet, box, bangunan, dll
membutuhkan pembedahan untuk
mengeluarkannya
Batu Mematahkan gigi Bangunan termasuk keramik
Besi/Logam Menyebabkan infeksi dan mungkin Mesin, Kawat, Karyawan
memerlukan pembedahan untuk
mengeluarkannya

17
Tulang Menyangkut dikerongkongan dan Proses pengolahan yang
menyebabkan trauma tidak benar serta unit
pengolahan yang tidak baik
Plastik Menyebabkan infeksi Pallet, bahan pengepak dan
pekerja
Personil Menyebabkan gigi patah, tertusuk dan Anting – anting, kalung,
mungkin dibutuhkan pembedahan giwang, cincin, dll
untuk mengeluarkannya

Upaya untuk menghindari terjadinya bahaya fisik dapat dilakukan mulai dari
proses produksi di unit pengolahan hingga preparasi makanan di rumah-rumah.
Penggunaan alat metal detektor merupakan salah satu cara yang paling banyak
digunakan unit pengolahan ikan untuk mencegah terbawanya material logam di dalam
produk ikan. Upaya penanggulangan bahaya fisik dengan mendekati sumber bahaya
juga merupakan langkah yang sangat tepat untuk dilakukan di unit-unit pengolahan.
Upaya seperti mengatur para pekerja untuk tidak mengenakan berbagai macam
perhiasan (kalung, giwang, cincin), dan melengkapi para pekerja dengan peralatan kerja
yang baik, serta memeriksa peralatan agar tetap aman selama proses produksi
berlangsung merupakan tindakan preventif yang sangat tepat untuk dilakukan. Dalam
lingkungan keluarga, proses pengolahan masakan yang dilakukan secara hati-hati
sangat dianjurkan untuk mengurangi risiko bahaya fisik yang masih mungkin terjadi
(Pudjirahaju, 2017).
d. Pemberian Perlakuan
Perlakuan yang diberikan, baik selama penanganan dan pengolahan dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan fisik bahan pangan. Perlakuan pemanasan yang
diberikan dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi, yaitu menguapnya cairan dari bahan
pangan. Pemanasan juga dapat menyebabkan komponen protein mengalami denaturasi,
yaitu berubahnya struktur fisik dan struktur tiga dimensi dari protein. Suhu pemanasan
yang dapat menyebabkan denaturasi protein adalah lebih besar dari 70o C (Pudjirahaju,
2017).

2. Perubahan Secara Kimia


Penurunan kandungan senyawa kimia pada bahan pangan dapat terjadi selama proses
pencucian dan pemanasan. Selama berlangsung proses pencucian bahan pangan, banyak
komponen senyawa kimia yang akan larut, seperti beberapa protein, vitamin B dan C, dan
mineral (Pudjirahaju, 2017).
a. Autolisis
Autolisis adalah proses perombakan jaringan oleh enzim yang berasal dari bahan
pangan itu tersebut. Proses autolisis terjadi pada saat bahan pangan memasuki fase post
rigor mortis. Ikan yang mengalami autolisis memiliki tekstur tubuh yang tidak elastis,

18
sehingga apabila daging tubuhnya ditekan dengan jari akan membutuhkan waktu relatif
lama untuk kembali kekeadaan semula. Bila proses autolisis sudah berlangsung lebih
lanjut, maka daging yang ditekan tidak pernah kembali ke posisi semula. Proses
autolisis dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekelilingnya. Suhu yang tinggi
akan mempercepat proses autolisis ikan yang tidak diberi es (Pudjirahaju, 2017).

Gambar 4. Proses Autolisis pada Daging


b. Oksidasi
Reaksi oksidasi pada bahan pangan bisa mengakibatkan kerusakan mutu pada
makanan yang berupa munculnya aroma yang tidak disukai, berubahnya warna
makanan menjadi kurang menarik, rusaknya sebagian zat gizi termasuk vitamin, dan
terbentuknya senyawa-senyawa baru produk oksidasi yang mungkin membahayakan
bagi kesehatan (Raharjo, 2018).
Selama ini yang telah banyak diajarkan kepada mahasiswa dan diteliti oleh para
peneliti kimia pangan adalah reaksi oksidasi lemak tidak jenuh pada bahan makanan
oleh oksigen di udara yang menimbulkan aroma yang tidak sedap. Ikan termasuk salah
satu bahan pangan yang banyak mengandung lemak, terutama lemak tidak jenuh.
Lemak tidak jenuh adalah lemak yang mengandung ikatan rangkap pada rantai
utamanya. Lemak demikian ber-sifat tidak stabil dan cenderung mudah bereaksi.
Lemak pada ikan didominasi oleh lemak tidak jenuh berantai panjang (Polyun-
saturated fatty acid / PUFA). Produk tanaman yang diketahui mengandung lemak tinggi
cukup banyak, seperti kelapa, kelapa sawit, bunga matahari, wijen, jagung. Pada ternak,
kandungan lemak dapat diketahui dari banyaknya gajih pada daging. Selama
penyimpanan, lemak tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi sehingga terbentuk
senyawa peroksida. Peristiwa yang sama dapat terjadi pada bahan pangan yang
mengandung susu (Pudjirahaju, 2017).
c. Browning
Kandungan karbohidrat pada produk perikanan sekitar 1 persen, kecuali pada jenis
kerang-kerangan yang dapat mencapai 10%. Selama proses pengolahan, karbohidrat
akan mengalami proses perubahan warna. Karbohidrat yang semula berwarna
keputihan cenderung berubah menjadi kecoklatan. Proses perubahan ini lebih dikenal
sebagai reaksi browning (Pudjirahaju, 2017).

19
Reaksi browning terdiri dari empat tipe, yaitu reaksi Maillard, karamelisasi,
oksidasi vitamin C (asam askorbat), dan pencoklatan fenolase. Tiga yang pertama
merupakan kelompok reaksi non enzimatis, sedangkan yang terakhir adalah reaksi
enzimatis. Reaksi Maillard adalah reaksi pencoklatan non enzimatik. Rekasi ini terjadi
karena kondensasi gugus amino dan senyawa reduksi menghasilkan perubahan
kompleks. Reaksi Maillard terjadi bila bahan pangan mengalami pemanasan atau
penyimpanan (Pudjirahaju, 2017).
Namun, beberapa reaksi Maillard yang menyebabkan warna kehitaman atau bau
tidak sedap pada makanan memang tidak diharapkan. Perubahan warna pada baso ikan
yang memiliki warna spesifik putih bersih dan bakso udang yang berwarna merah muda
memang tidak diharapkan. Efek browning yang terjadi pada daging berwarna merah
relatif tidak terlihat (Pudjirahaju, 2017).
d. Senyawa Kimia Pencemar
Pengertian mengenai senyawa kimia pencemar adalah senyawa kimia yang
terkandung dalam bahan pangan, baik secara alami maupun sengaja ditambahkan.
Senyawa kimia pencemar dapat berupa senyawa alami maupun sintetis. Keberadaan
senyawa kimia pencemar dalam bahan pangan dapat mempengaruhi rasa dan
kenampakan. Rasa dari bahan pangan yang tercemar senyawa kimia pencemar terasa
agak menyimpang, tergantung dari senyawa kimia yang mencemarinya. Kenampakan
beberapa bahan pangan yang tercemar senyawa kimia dapat dilihat dengan mudah.
Jenis kerang-kerangan yang memiliki kemampuan sebagai filter biologis terhadap
logam berat, dagingnya cenderung memiliki kenampakan merah kehitaman dan
memiliki tubuh relatif lebih besar (Pudjirahaju, 2017).
Tabel 3. Senyawa Kimia yang terkandung dalam Bahan Pangan
Senyawa Kimia
Tipe Produk Ambang Batas
Pencemar
Mercury Semua jenis ikan kecuali tuna 0.5 ppm
beku dan segar, hiu, dan ikan
pedang
Arsenik Konsetrat Protein Ikan 3.5 ppm
Lead Konsetrat Protein Ikan 0.5 ppm
Flouride Konsetrat Protein Ikan 150 ppm
2, 3, 7, 8 TCDD (Dioxin) Semua produk Ikan 20 ppt
DDT dan metabolisme Semua produk Ikan 5.0 ppm
DDT
PCB Semua produk Ikan 2.0 ppm
Piperonyl butoksida Ikan kering 1.0 ppm
Bahan Kimia Pertanian Semua produk Ikan 0.1 ppm
Lainnya dan Turunannya

20
3. Perubahan Secara Biologi
Kerusakan biologis pada bahan pangan dapat disebabkan oleh aktivitas mikroba patogen
dan pembusuk, baik berupa bakteri, virus, jamur, kamir ataupun protozoa (Pudjirahaju,
2017).
a. Burst Belly
Tubuh ikan mengandung banyak mikroba, terutama di bagian permukaan kulit,
insang, dan saluran pencernaan. Ikan yang tertangkap dalam keadaan perutnya
kenyang, maka di saluran pencernaan banyak mengandung enzim pencernaan. Enzim
tersebut merupakan gabungan dari enzim yang berasal dari bahan pangan atau mikroba
yang hidup di sekelilingnya. Apabila tidak segera disiangi, enzim ini akan mencerna
dan merusak jaringan daging yang ada di sekitarnya, terutama di bagian dinding perut.
Peristiwa pecahnya dinding perut ikan yang disebabkan aktivitas enzim dikenal dengan
sebutan burst belly (Pudjirahaju, 2017).

Gambar 5. Kondisi Ikan Burst Belly


b. Aktivitas Mikroba Merugikan
Kerusakan biologis yang dialami bahan pangan dapat disebabkan oleh adanya
mikroba merugikan, bahan pangan sudah beracun, atau bahan pangan yang menjadi
beracun. Bahan pangan mengandung sejumlah mikroba, baik mikroba yang
menguntungkan maupun merugikan. Mikroba ini hidup secara berdampingan, dan biasa
disebut sebagai flora alami. Mikroba merugikan terdiri dari mikroba pembusuk dan
pathogen. Mikroba pembusuk merupakan mikroba yang dapat menimbulkan kerusakan
pada bahan pangan.
Kerusakan biologis yang ditimbulkan oleh aktivitas mikroba merugikan adalah
meningkatnya kandungan senyawa racun atau penyakit yang disebabkan oleh aktivitas
mikroba patogen. Mikroba pembusuk akan menyebabkan bahan pangan menjadi busuk
sehingga tidak dapat atau tidak layak dikonsumsi. Mikroba pembusuk akan merombak
bahan pangan menjadi komponen yang tidak diinginkan, seperti protein yang diubah
menjadi amonia dan hydrogen sulfida; karbohidrat menjadi alkohol, dan lemak menjadi
keton dan asam butirat. Ciri khas dari peningkatan aktivitas mikroba pembusuk antara
lain tercium bau busuk, bahan menjadi lunak berair dan masih banyak lainnya. Mikroba
patogen merupakan kelompok mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. Bahan

21
pangan yang mengandung mikroba patogen cenderung menjadi berbahaya bagi
manusia yang mengkonsumsinya (Pudjirahaju, 2017).
Tabel 4. Jenis Bakteri Pembusuk
Shewanella putrifaciens Acinetobacter
Photobacterium phosphoreum Alcaligenes
Pseudomonas spp Micrococcus
Vibrionacaea Bacillus
Aerobacter Staphylococcus
Lactobacillus Flavobacterium
Moraxella

Tabel 5. Jenis Bakteri Patogen


Bacillus cereus Vibrio parahaemolyticus
Escherichia coli Salmonella spp
Shigella sp Clostridium botulinum
Streptococcus pyogenes Clostridium perfringens
Vibrio cholerae Staphylococcus aureus
Listeria monocytogenes

c. Senyawa Racun
1) Bahan Pangan sudah Beracun
Beberapa bahan pangan diketahui sudah mengandung racun secara alami, sehingga
bila dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan (Pudjirahaju, 2017).
a) Keracunan Ciguatera
Keracunan ciguatera banyak dialami bila mengkonsumsi ikan karang. Ikan
ini beracun apabila mengkonsumsi makanan beracun dan menjadi tidak beracun
setelah beberapa saat tidak mengkonsumsi makanan tersebut. Jenis racun yang
dikandung oleh ikan karang tersebut antara lain brevetoksin, dinofisis toksin,
asam domoik, asam okadaik, pektonotoksin, saksitoksin, dan yessotoksin
(Pudjirahaju, 2017).
b) Tetrodotoxin
Tetrodotoksin adalah racun yang dikandung oleh ikan dari keluarga
Tetraodontidae. Ikan ini diketahui mengandung racun di bagian gonad, hati, usus,
dan kulitnya. Sedangkan bagian dagingnya tidak mengandung racun. Jenis ikan
yang dikenal mengandung tetrodotoksin ini adalah ikan buntal. Tetradotoxin juga
dapat diisolasi dari spesies lain seperti ikan parrot, kodok dari genus Atelpus,
oktopus, dan kepiting xanthid (Pudjirahaju, 2017).
c) Keracunan Kerang
Keracunan kerang akan terjadi apabila mengkonsumsi kerang yang
mengandung senyawa racun. Kerang bersifat biofilter, sehingga kerang yang

22
hidup di perairan tercemar racun atau logam berat akan berpotensi sebagai
penyebab keracunan (Pudjirahaju, 2017).
2) Bahan Pangan menjadi Beracun
Bahan pangan yang semula tidak beracun dan aman dikonsumsi dapat berubah
menjadi beracun karena alasan tertentu. Keracunan ikan tongkol yang sering terjadi
banyak disebabkan karena ikan tongkol yang semula segar berubah menjadi beracun
karena cara penanganan yang kurang baik. Daging berwarna merah pada ikan
tongkol segar mengandung banyak asam amino histidin. Proses penurunan mutu
yang dalami ikan tongkol akan merombak histidin menjadi histamin. Senyawa
histamin inilah yang dapat menyebabkan timbulnya rasa gatal, keracunan, dan
bahkan mengakibatkan kematian (Pudjirahaju, 2017). Berubahnya bahan pangan
yang semula aman dikonsumsi menjadi berbahaya bila dikonsumsi dapat
dipengaruhi oleh:
a) Pemanasan yang kurang sempurna sehingga memungkinkan mikroba merugikan
tumbuh dan melaksanakan aktivitasnya.
b) Proses pendinginan yang kurang sempurna juga dapat memicu aktivitas mikroba
merugikan. Proses pendinginan bahan pangan yang sudah dimasak tidak boleh
lebih dari 4 jam. Hindari pula mempertahankan bahan pangan pada suhu danger
zone.
c) Infeksi pekerja juga dapat memicu perkembangan mikroba merugikan.
d) Kontaminasi silang yang terjadi antara bahan pangan dengan bahan mentah yang
merupakan sumber mikroba.

H. Perubahan Selama Penyimpanan Berdasarkan Jenis Hewani


Bahan pangan hewani meliputi daging, telur, dan ikan. Bahan makanan hewani lebih
rawan terhadap kerusakan mikrobiologis, biologis, fisik dan kimia. Kerusakan mikrobiologis
disebabkan oleh mikroba. Daging atau bahan pangan hewani lainnya mudah rusak terhadap
tingginya kandungan air dan mikroba. Untuk menjaga kesegaran daging, setelah penerimaan
bahan makanan, daging langsung dimasukkan ke dalam freezer tanpa dicuci terlebih dahulu.
Penanganan bahan pangan hewani terutama daging dan ikan apabila tidak langsung
digunakan dengan cara sistem rantai dingin yaitu penerapan suhu dingin selama proses
penyimpanan pada suhu di bawah +4 °C untuk mencegah atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dan menghambat aktivitas enzim (Cahyaningtyas, 2020).
1. Daging
Daging merupakan bahan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, karena
daging mengandung protein yang cukup tinggi dengan kandungan asam amino esensial
yang lengkap (Ani, 2016). Ciri-ciri daging segar menurut Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013 adalah sebagai berikut:

23
a. Daging Sapi
1) Berwarna merah segar.
2) Seratnya halus.
3) Lemaknya lunak dan berwarna kuning.
b. Daging Kambing
1) Berwarna merah muda.
2) Seratnya halus.
3) Lemaknya keras dan berwarna putih.
4) Berbau khas (prengus)
c. Daging Kerbau
1) Berwarna merah tua.
2) Seratnya kasar.
3) Lemaknya keras dan berwarna kuning.
Sedangkan ciri-ciri daging secara umum adalah tampak mengkilat, berwarna cerah,
dan tidak pucat; tidak tercium bau asam atau busuk; dagingnya elastik, bila ditekan dengan
jari akan segera kembali (kenyal) atau tidak kaku; serta bila dipegang tidak lengket tetapi
terasa basah dan tidak berlendir (Ani, 2016).
Menurut Aritonang, 2012 ada banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme pada daging, termasuk temperatur, kadar air/kelembaban, oksigen,
tingkat keasaman dan kebasahan (pH), dan kandungan gizi daging. Daging sangat cocok
bagi perkembangan mikroorganisme, termasuk mikroorganisme perusak/pembusuk (Ani,
2016), karena:
a. Mempunyai kadar air yang tinggi.
b. Kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitasnya yang berbeda.
c. Mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasikan.
d. Kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme.
e. Mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme (5,3-6,5).
Mikroflora pada daging mungkin terdiri dari bakteri mesofilik yang berasal dari hewan
tersebut, bakteri tanah dan air dari lingkungan, bakteri yang berasal dari manusia dan
peralatan selama pengolahan. Jenis-jenis bakteri yang sering terdapat pada daging segar
misalnya koliform, E. coli, enterokoki, S. aureus, C. perfringens, dan Salmonella (Ani,
2016). Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, kerusakan pada
daging dapat dikenal karena tanda-tanda sebagai berikut:
a. Adanya perubahan bau menjadi tengik atau bau busuk.
b. Terbentuknya lendir.
c. Adanya perubahan warna.
d. Adanya perubahan rasa menjadi asam.
e. Tumbuhnya kapang pada bahan.

24
2. Unggas
Daging unggas merupakan sumber protein yang baik karena mengandung asam-asam
amino esensial yang lengkap dan dalam perbadingan jumlah yang baik. Selain itu, serat-
serat dagingnya pendek dan lunak sehingga mudah dicerna. Yang termasuk daging unggas
adalah ayam, itik, dan burung. Jenis ayam penghasil daging, yaitu ayam kampung dan
ayam pedaging atau ayam broiler (Ani, 2016). Daging ayam yang berkualitas memiliki
ciri-ciri seperti berikut:
a. Warna daging putih kemerahan, tidak pucat dan tidak kebiru-biruan.
b. Warna lemak putih kekuningan dan merata di bawah kulit.
c. Tidak ada tanda-tanda memar atau tanda lain yang mencurigakan.
d. Kalau ditekan, daging ayam cepat kembali ke bentuk asalnya.
e. Kulit tidak licin atau berlendir dan tidak lengket saat diraba.
f. Mengeluarkan aroma khas daging ayam segar dan tidak berbau menyengat
Unggas dinyatakan berpenyakit jika mengandung mikroorganisme patogen atau
toksin yang dapat membahayakan konsumen. Unggas yang sakit tidak boleh dipotong,
disamping untuk menjaga keselamatan konsumen juga untuk menghindari terjadinya
kontaminasi pada air, peralatan, dan karkas lain. Beberapa mikroorganisme patogen yang
potensial dalam daging ayam, antara lain: Salmonella, Comilobacter, Listeria, dan
Staphilococcus aureus. Pencemaran oleh mikroorganisme dapat terjadi selama proses
produksi, tergantung oleh kondisi ayam ketika masih hidup (Ani, 2016).
3. Telur
Telur merupakan salah satu makanan yang bernilai gizi tinggi bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak maupun orang dewasa. Sebagai bahan pangan hewani, telur
mempunyai arti penting karena mengandung bahan-bahan yang bernilai gizi tinggi,
sebagai bahan pangan sumber protein, telur mengandung semua jenis asam amino esensial.
Di dalam telur juga terdapat aneka zat gizi lain terutama lemak, vitamin, dan mineral, akan
tetapi untuk zat gizi kabohidrat sangat sedikit. Hampir setiap bagian telur mempunyai
unsur yang sangat bermanfaat bagi tubuh, karena banyaknya zat-zat pembangun yang
terdapat didalamnya, mudah dicerna dan lezat rasanya, serta merupakan bahan makanan
yang sangat popular dan digemari oleh anak-anak sampai usia lanjut (Ani, 2016).
Ada banyak jenis hewan yang dapat menghasilkan telur. Dari sekian banyak telur yang
dihasilkan oleh beberapa hewan hanya beberapa jenis telur yang yang biasa
diperdagangkan dan dikonsumsi manusia, yaitu telur ayam, telur bebek, telur puyuh, dan
telur ikan. Telur ayam dibagi menjadi dua jenis, yaitu telur ayam kampung (buras) dan
telur ayam negeri (ras) (Ani, 2016). Ciri-ciri telur segar menurut Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013 adalah sebagai berikut:
a. Tampak bersih dan kuat.
b. Tidak retak dan tidak berbau.

25
c. Tidak terdapat noda atau kotoran pada cangkang.
d. Mempunyai lapisan zat tepung pada permukaan cangkang.
e. Cangkang telur kering, mengkilap, kasar dan bersih.
f. Bila dimasukkan ke dalam air, telur akan tenggelam.
g. Bila dilihat dengan cahaya matahari/lampu, telur tidak menunjukkan adanya bintik
hitam didalamnya.
h. Jika telur digoyang tidak berbunyi.
Telur merupakan salah satu bahan pangan yang segar dan bersifat mudah rusak
sehingga terjadi penurunan kualitas bila disimpan dalam jangka waktu tertentu
sebagaimana produk bahan pangan segar lainnya(Ani, 2016). Telur utuh yang masih
terbungkus kulitnya dapat rusak secara fisik maupun karena pertumbuhan mikroba
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Jumlah mikroba dalam telur semakin
meningkat sejalan dengan lamanya penyimpanan. Mikroba ini akan menghancurkan
senyawa-senyawa yang ada di dalam telur menjadi senyawa berbau khas yang mencirikan
kerusakan telur. Pada saat baru dikeluarkan oleh ayam, telur cukup steril. Kontaminan
mikroba terjadi akibat penanganan dan pengolahan telur berikutnya. Mikroba akan
mengkontaminasi kulit telur dan seterusnya akan memasuki pori-pori telur dan membran
telur. Organisme kontaminan tersebut dapat tumbuh pada membran kulit telur, putih telur,
bahkan memasuki kuning telur.
Pada umunya penyimpanan suhu rendah sekitar 0o C dapat membatasi pertumbuhan
mikroba (An, 2016). Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013 tanda –
tanda kerusakan telur utuh adalah sebagai berikut:
a. Adanya perubahan fisik, seperti penurunan berat karena airnya menguap, pembesaran
kantung telur karena sebagian isi telur berkurang.
b. Timbulnya bintik-bintik berwarna hijau, hitam atau merah karena tumbuhnya bakteri.
c. Tumbuhnya kapang perusak telur.
d. Timbulnya bau busuk.
Kerusakan lain yang disertai dengan timbulnya bau menyimpang dapat disebabkan
oleh spesies bakteri Alcaligenes, Escherichia, Flavobacterium, dan Aerobacter. Kapang
perusak telur antara lain spesies-spesies Penicillium, Chlalosporium, Altenaria, dan
Botrytis (Ani, 2016).
4. Ikan
Ikan dan produk-produk perikanan lainnya merupakan bahan pangan sumber protein
hewani. Tetapi ikan merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak sehingga
memerlukan penanganan khusus untuk mempertahankan mutunya. Disamping
menyediakan protein hewani dalam jumlah relatif tinggi, ikan juga memberikan asam-
asam lemak tidak jenuh berantai panjang yang sangat diperlukan oleh tubuh (Ani, 2016).

26
Selain itu, ikan dikenal sebagai sumber vitamin A yang utama disamping vitamin-
vitamin lainnya, serta berbagai macam mineral yang diperlukan oleh tubuh manusia. Oleh
karena itu, ikan sangat diharapkan menjadi sumber zat gizi (protein, lemak, vitamin, dan
mineral) untuk meningatkan status gizi dan kesehatan masyarakat (Ani, 2016). Ciri-ciri
ikan yang segar menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013 adalah sebagai
berikut:
a. Warna kulit terang, cerah, dan tidak lebam.
b. Sisik ikan masih melekat.
c. Dagingnya elastis atau kenyal.
d. Insang berwarna merah segar dan tidak bau.
e. Mata menonjol, jernih tidak suram.
f. Tidak berlendir dan tidak berbau busuk.
g. Ikan akan tenggelam dalam air.
Kondisi ikan sangat dipengaruhi oleh kerusakan fisik dan jumlah populasi mikroba
pembusuk. Kerusakan fisik pada tubuh ikan berupa memar akibat benturan dan luka
terkena benda tajam merupakan jalan masuk bagi mikroba pembusuk untuk merombak
daging ikan. Mikroba pembusuk yang terdapat pada tubuh ikan berasal dari perairan
dimana ikan tersebut hidup atau dipelihara. Di antara sekian banyak kerusakan, kerusakan
ikan yang paling menonjol adalah kerusakan yang disebabkan oleh enzim dan bakteri,
yaitu kerusakan yang mengakibatkan pembusukan (Ani, 2016).
Jenis mikroba utama yang dapat menyebabkan terjadinya proses pembusukan pada
ikan segar adalah bakteri. Bakteri berasal dari tubuh ikan sendiri, terkontaminasi dari
media tempat hidupnya atau lingkungan pengolahan atau penyimpanan. Dalam kondisi
yang sesuai, mikroba dapat berkembang dengan cepat sehingga jumlah mikroba akan
meningkat cepat. Ikan mengandung sejumlah bakteri yang disebut resident flora atau
bakteri asli. Bakteri ini terdapat di permukaan lender (kulit), insang, dan saluran
pencernaan. Jumlah dan jenis bakteri asli ini dipengaruhi oleh musim dan lingkungan (Ani,
2016).
Penanganan hasil perikanan merupakan masalah penting karena merupakan
komoditas yang mudah rusak. Untuk itu, ikan yang baru ditangkap apabila tidak segera
dilakukan penanganan akan cepat menjadi busuk. Untuk mendapatkan mutu ikan sebagai
bahan pangan yang baik, perlu dilakukan penangan yang baik pula. Setelah hewan mati,
kerja fagosit berhenti dan memungkinkan bakteri berkembangbiak serta tersebar keseluruh
jaringan. Setelah ikan mati mekanisme yang erat hubunganya dengan sistem pengendalian
metabolisme segera tidak berfungsi. Sehingga bakteri akan tumbuh dan menyebar ke
berbagai jaringan melalui sistem vaskuler (Ani, 2016). Menurut Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013 Ikan rentan sekali rusak oleh serangan mikroba, berikut ini
tanda-tanda kerusakan ikan karena mikroba:

27
a. Adanya bau busuk karena gas ammonia, sulfida atau senyawa busuk lainnya.
b. Terbentuknya lendir pada permukaan ikan.
c. Adanya perubahan warna, yaitu kulit dan daging ikan menjadi kusam atau pucat.
d. Adanya perubahan daging ikan menjadi tidak kenyal lagi.

28
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Karakteristik bahan pangan hewani dengan penyimpanan bertujuan agar tersedia bahan
makanan hewani siap pakai dengan kualitas dan kuantitas yang tepat sesuai dengan
perencanaan yang ada dan agar bahan makanan tidak mudah rusak dan kehilangan nilai
gizinya.
2. Umur simpan daging selama pembekuan sangat tergantung dari berbagai faktor,
diantaranya adalah jenis daging, ukuran daging, mutu bahan baku, teknik pembekuan, jenis
dan cara pengemasan, suhu pembekuan, dan lain-lain. Daging beku sebelum diolah
biasanya dilakukan thawing (penyegaran kembali) terlebih dahulu.
3. Penyimpanan daging unggas dilakukan dengan menggunakan suhu dingin dan beku.
Penanganan dan penyimpanan daging unggas juga harus diperhatikan seperti waktu
penyimpanan, suhu, wadah dan higine sanitasi.
4. Telur perlu segera ditangani untuk memperlambat penurunan mutu yang disebabkan oleh
penguapan air, penguapan karbon dioksida dan aktivitas mikroba. Penyimpanan telur pada
dasarnya dilakukan untuk mencegah terjadinya penguapan air, selama penyimpanan perlu
memperhatikan waktu penyimpanan, suhu dan kelembapan ruang penyimpanan
5. Penyimpanan ikan dan seafood secara umum tidak jauh berbeda. Penyimpanan ini terdiri
dari dua jenis yaitu cooling dan freezing. Cooling merupakan metode penyimpanan dengan
suhu yang tidak lebih dari 4oC, sedangkan freezing menggunakan suhu yang lebih rendah
dibandingkan cooling yaitu dalam rentang -18°C sampai -30°C. Sebelum memasuki proses
cooling terlebih dahulu dilakukan proses precooling untuk mengurangi panas pada bahan
secara cepat. Precooling dapat dilakukan melalui peng-es-an/icing, pendinginan dalam
chiller atau refrigerator, perendaman dan Combined Blast and Contact Cooling (CBCC).
Sedangkan freezing dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti sharp, air-blast,
immersion, cryogenic, dan contact-plate freezing. Dalam penyimpanan juga perlu
diperhatikan ukuran cold storage, suhu, jumlah es, kondisi fisik ikan dan penanganannya
sebelum dimasukkan kedalam penyimpanan agar kesegaran ikan dan seafood dapat
dipertahankan.
B. Saran
Untuk mendapatkan pangan segar yang tahan lama, sebaiknya disimpan pada suhu dingin
karena suhu dingin memperlambat pertumbuhan mikroba. Tetapi khusus untuk bahan segar
sejenis ikan sebaiknya disimpan dalam freezer dan disaat melakukan penyimpanan sebaiknya
jangan disimpan bercampuran antara bahan makanan hewani dengan bahan makanan nabati
karena dapat menimbulkan kontaminasi, serta jangan menyimpannya secara bertumpuk
karena dapat menurunkan mutu dan kualitas bahan pangan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, I. K.,, Sudono A, dan H. Nadjib. 1989. Diktat Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan
Ilmu Produksi, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
A.E. Ghaly, D. Dave, S. Budge and M.S. Brooks. 2010. Fish Spoilage Mechanisms anda
Preservation Techniques: Review. American Journal of Applied Sciences. 7 (7): 859-877.
Ani, Nuraini. 2016. Tinjauan Keamanan Pangan Berdasarkan Skor Keamanan Pangan (SKP)
dan Angka Kuman Lauk Hewani Berkuah Santan Pada Penyelenggaraan Makanan di
Pondok Pesantren Bina Umat Yogyakarta. Yogyakarta: Politeknik Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Arnþórsdóttir, M. G., A. Arason dan B. Margeirsson. 2008. Combined Blast and Contact Cooling-
Effects on Physiochemical Characteristics of Fresh Haddock (Melanogrammus
aeglefinus) Fillets. Iceland: Matis Ltd.
Cahyaningtyas, Santira. 2020. Kajian Penerimaan Bahan Makanan Lauk Hewani Di Instalasi
Gizi Rsud Panembahan Senopati Bantul. Yogyakarta: Politeknik Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2004. Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman. Jakarta: Dirjen PPL dan PM.
Gunawan Lia. 2004. Analisa Perbandingan Kualitas Fisik Daging Sapi Impor Dan Daging Sapi
Lokal. Universitas Kristen Petra.
Hadiwiyoto S. 1993. Tehnologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta. Liberty.
Haryoto. 1996. Pengawetan Telur Segar. Yogyakarta: Kanisius
Hobbs, BC., dan Robert D. 1993. Food Poisoning and Food Hygiene, sixth edition. Edward
Arnold a member of Hodder Heatline Group, London.
Ilyas, S. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan: Teknik Pembekuan Ikan. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.\
Junianto. 2003. Tehnik Penanganan Ikan. Jakarta. Penerbit Swadaya.
Khairi, I. 2012. Media dan Teknik Pendinginan Ikan. dalam
https://ihsanulkhairi86saja.wordpress.com/2012/01/23/media-dan-teknik-pendinginan-
ikan-2/, diakses pada tanggal 24 Oktober 2020.
Kusumo, C. D. 2012. Wagyu beef. Jakarta: Agromedia.
Muchtadi, T. R., Sugiyono, dan Ayustaningwarno, F. 2015. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan
Cetakan Kelima. Bandung: Alfabeta.
Pestariati. 2002. Pengaruh Lama Penyimpanan Daging Ayam pada Suhu Refrigerator terhadap
Jumlah Total Kuman, Salmonella sp, Kadar Protein dan Derajat Keasaman, Tesis.
Universitas Airlangga, Surabaya.
Pudjirahaju, Ir. Astutik. 2017. Pengawasan Mutu Pangan. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta: Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Raharjo, S. 2018. Kerusakan Oksidatif Pada Makanan. Gadjah Mada University Press. ISSN:
978-979-420-620-1.
Sikorski, Z. E. 1990. Seafood: Resources, Nutritional Compotition, and Preservation. CRC Press.
Stadelman, W. J., dan Cotteril, Q. J. 1973. Egg Science and Technology, Wesport: The AVI
Publishing Co Inc.
Sudaryani, T. 2000. Kualitas Telur. Jakarta: Penebar Swadaya.
__________ . 2009. Kualitas Telur. Jakarta: Penebar Swadaya.
30
Suradi, K. 2012. Pengaruh Lama Penyimpanan pada Suhu Ruang terhadap Perubahan Nilai pH,
TVB, dan Total Bakteri Daging Kerbau. Jurnal Ilmu Ternak. Vol. 12 (2): 912.
Winarno, F. G. 2002. Telur: Komposisi, Penaganan dan Pengolahannya. Bogor: M-Brio Press.

31

Anda mungkin juga menyukai