Anda di halaman 1dari 60

PERANAN MIKROORGANISME DAN PEMBENAH TANAH

UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI


Calopogonium mucunoides Desv. PADA TANAH LATOSOL DAN
TANAH LIMBAH TAILING

SKRIPSI
DYAH SETYORINI

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN

DYAH SETYORINI. D24103075. 2010. Peranan Mikroorganisme dan Pembenah


Tanah untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Calopogonium mucunoides
Desv. pada Tanah Latosol dan Tanah Limbah Tailing. Skripsi. Program Studi Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Panca Dewi MHKS, MSi


Pembimbing Anggota : Nur Rochmah Kumalasari, S.Pt, MSi

Produksi tanaman makanan ternak sering mengalami masalah dari segi


ketersediaan dan kualitas lahan. Hal ini karena lahan yang tersedia untuk tanaman
makanan ternak adalah lahan yang kesuburannya rendah seperti tanah latosol dan
tanah tailing. Salah satu tanaman makanan ternak dari jenis legum yang memiliki
kandungan nutrisi yang baik bagi ternak, mudah dikembangkan, memiliki daya tahan
yang baik terhadap tanah kurang subur, dan sekaligus memiliki kemampuan untuk
merehabilitasi lahan yang kurang subur adalah Calopogonium mucunoides Desv.
Namun, rendahnya kandungan unsur hara pada tanah latosol dan tailing tambang
emas menjadi kendala bagi pertumbuhan tanaman karena tidak tercukupinya nutrisi
yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhan tanaman Calopogonium mucunoides
Desv.
Upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah latosol dan tanah tailing
tambang emas adalah dengan cara pemberian mikroorganisme tanah seperti
mikoriza, bakteri pelarut phosphate, dan Rhizobium serta pemberian pembenah tanah
yaitu asam humik. Pemberian mikroorganisme dan asam humik pada kedua media
diharapkan mampu memperbaiki kondisi fisik dan kimia, meningkatkan penyerapan
unsur hara, dan mampu menjerap logam berat dari dalam tanah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan mikroorganisme dan
pembenah tanah terhadap pertumbuhan dan produksi legum Calopogonium
mucunoides Desv. yang ditanam pada tanah latosol dan tanah tailing. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Juni 2007 sampai dengan bulan Januari 2008 di
Laboratorium Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini terdiri dari dua penelitian. Penelitian pertama menggunakan
media tanam tanah latosol Dramaga, dan penelitian kedua menggunakan media
tanam tanah tailing Pongkor. Masing-masing menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari 7 perlakuan dengan 5 ulangan untuk
masing-masing media tanam. Perlakuan yang diberikan terdiri atas Tanpa Perlakuan
(A), Mikoriza (B), Mikoriza + Rhizobium (C), Mikoriza + Bakteri Pelarut Fosfat (D),
Mikoriza + Asam Humat (E), Mikoriza + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium (F),
Mikoriza + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium + Asam Humat (G). Peubah yang
diamati adalah pertambahan panjang tajuk, jumlah flash (tangkai daun), produksi
berat kering tajuk, produksi berat kering akar, jumlah bintil akar aktif, berat kering
bintil akar aktif, dan persentase infeksi akar.
Hasil yang diperoleh pada media tanah latosol adalah pemberian
mikroorganisme dan asam humik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap rataan
pertambahan panjang penyebaran panen I, dan berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap jumlah bintil akar aktif. Hasil tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
rataan pertambahan panjang penyebaran panen II, jumlah flash panen I dan II, berat
kering tajuk, berat kering akar, berat kering bintil akar aktif, dan persentase infeksi
akar. Hasil yang diperoleh pada media tailing adalah pemberian mikroorganisme dan
asam humik berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap berat kering tajuk dan
persentase infeksi akar, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap rataan pertambahan
panjang penyebaran, jumlah flash, dan berat kering akar.

Kata kunci : Mikroorganisme Potensial Tanah, Pembenah Tanah, Calopogonium


mucunoides Desv., Tanah Latosol, Tanah Tailing
ABSTRACT

Soil Microorganism and Soil Conditioner Role on Growth and Production of


Calopogonium mucunoides Desv. in Latosol and Pit of Tailing Soil

D. Setyorini, PDMH. Karti, NR. Kumalasari


The experiment was aimed to analyze the effect of application Soil
Microorganism and Soil Conditioner on growth and production of Calopogonium
mucunoides Desv. in latosol and pit of tailing from gold mining of Pongkor, Bogor.
Completely Randomized Design applied with 7 treatments and 5 replications. The
treatments were A (control), B (Arbuscular Mycorrhizal (AM) Fungi), C (AM Fungi
+ Rhizobium), D (AM Fungi + Phosphate Solublelizing Bacteria (PSB)), E (AM
Fungi + Humic Acid), F (AM Fungi + PSB + Rhizobium), G (AM Fungi + PSB +
Rhizobium + Humic Acid). The data were analyzed with Analyzed of Variance
(ANOVA) and for the significant differences were further tested by Duncan range
test. Variables measured were length gain, number of flash , root production, shoot
production, root infection percentage, and root nodules production. The results
showed addition of Mycorrizhal, Phosphate Solublelizing Bacteria, Rhizobium and
humic acid in latosol soil ware significantly for shoot length gain (P<0,05), and root
nodules production (P<0,01). Addition of Mycorrizhal, Phosphate Solublelizing
Bacteria, Rhizobium and humic acid in tailing were significantly for shoot production
(P<0,01) and root infection percentage (P<0,01).

Keyword : Soil Potential Microorganism, Soil Conditioner, Calopogonium


mucunoides Desv., Latosol, Tailing Soil,
PERANAN MIKROORGANISME DAN PEMBENAH TANAH
UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI
Calopogonium mucunoides Desv. PADA TANAH
LATOSOL DAN TANAH LIMBAH TAILING

SKRIPSI
DYAH SETYORINI

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PERANAN MIKROORGANISME DAN PEMBENAH TANAH
UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI
Calopogonium mucunoides Desv. PADA TANAH LATOSOL DAN
TANAH LIMBAH TAILING

Oleh:
DYAH SETYORINI
D24103075

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian


Lisan pada tanggal 6 April 2010

Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

Dr. Ir. Panca Dewi MHKS, MS Nur Rochmah K, S.Pt, MSi


NIP. 196110251987032002 NIP. 198102142006042015

Mengetahui,
Dekan Fakultas Peternakan

Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr


NIP. 196701071991031003
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 30 September 1985 di Madiun, Jawa Timur.


Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sugiarto dan Ibu
Nanik Sumarni.
Jenjang pendidikan formal penulis diawali dari pendidikan Taman Kanak-
kanak pada tahun 1990-1991 di Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Imanuel Bekasi.
Pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1991-1997 di Yayasan yang sama. Jenjang
pendidikan dilanjutkan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 81
Jakarta Timur tahun 1997-2000, dilanjutkan ke jenjang pendidikan menengah di
Sekolah Menengah Umum (SMUN) 48 Jakarta Timur pada tahun 2000-2003. Penulis
diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2003.
Selama menjalankan pendidikan di IPB penulis aktif di Dewan Perwakilan
Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (DPM TPB) IPB sebagai Bendahara Divisi
Advokasi dan Keasramaan, sekaligus sebagai anggota Depertemen Keputrian Forum
Aktivitas Mahasiswa Muslim Al Anaam (FAMM Al Anaam) pada tahun
kepengurusan 2003/2004. Tingkat kedua penulis aktif sebagai Bendahara DPM
Fakultas Peternakan IPB tahun kepengurusan 2004/2005 dan sebagai pengurus
Islamic Student Centre (ISC) Dewan Keluarga Masjid Al Hurriyyah (DKM Al
Hurriyyah). Tahun kepengurusan berikutnya (2005/2006) penulis aktif sebagai Ketua
Komisi Keuangan di DPM Fakultas Peternakan. Penulis juga pernah berpartisipasi
dalam proses belajar mengajar di IPB sebagai Asisten Mata Kuliah Pendidikan
Agama Islam pada tahun 2005. Diluar lingkungan kampus penulis bersama rekan
sealmamater mendirikan dan menjalankan usaha di bidang ilmunya, yaitu peternakan
kelinci Rabithah Farm sejak awal tahun 2009.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
karuniaNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi
yang berjudul Peranan Mikroorganisme dan Pembenah Tanah untuk Meningkatkan
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah
Latosol dan Tanah Limbah Tailing.
Pembangunan Peternakan Indonesia tidak terlepas dari tuntutan ketersediaan
pakan yang berkualitas dan tersedia sepanjang waktu. Berbagai upaya perlu
dilakukan untuk menjaga ketersediaan hijauan, diantaranya adalah dengan
pemanfaatan lahan-lahan marginal bahkan lahan yang tercemar untuk mengatasi
permasalahan ketersediaan lahan yang kurang.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan
mikroorganisme dan pembenah tanah yang sangat efektif untuk memperbaiki kondisi
fisik dan kimia tanah, meningkatkan penyerapan unsur hara, dan mampu menjerap
logam berat dari dalam tanah yang tercemar logam berat. Selain itu, metode ini juga
sangat menunjang pelestarian lingkungan dan lebih efisien dibandingkan penggunaan
pupuk non-organik.
Selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi, banyak
pelajaran dan masukan yang sangat berarti untuk mengembangkan potensi dan
mengatasi permasalahan dalam kaitannya dengan dunia peternakan. Maka hasil dari
penelitian dan penyusunan skripsi ini juga diharapkan dapat menjadi sumber ilmu
yang bermanfaat bagi mahasiswa maupun masyarakat luas, sehingga mampu
memberikan kontribusi bagi pembangunan peternakan Indonesia.

Bogor, Juli 2010

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ........ i
ABSTRACT ...... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............. vi
KATA PENGANTAR ....... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xii
PENDAHULUAN ................................................................................. 1
Latar Belakang ........................................................................... 1
Tujuan ........................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
Calopogonium mucunoides Desv .............................................. 3
Tanah Latosol ............................................................................ 4
Limbah Tailing .......................................................................... 5
Mikoriza ..................................................................................... 7
Asam Humik .............................................................................. 8
Mikroorganisme Pelarut Fosfat . ................................................ 10
Rhizobium .................................................................................. 11
MATERI DAN METODE ..................................................................... 13
Lokasi dan Waktu ...................................................................... 13
Materi ......................................................................................... 13
Metode Penelitian ...................................................................... 13
Rancangan ................................................................................. 13
Model Statistik ........................................................................... 14
Analisis Data .............................................................................. 14
Prosedur ..................................................................................... 14
Peubah yang diamati .................................................................. 16
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 18
Keadaan Umum ........................................................................ 18
Pertumbuhan dan Produksi Calopogonium mucunoides
Desv. Pada Tanah Latosol ........................................................ 23
Pertambahan Panjang Penyebaran ............................................ 25
Jumlah Flash ............................................................................. 25
Berat Kering Akar .................................................................... 26
Berat Kering Tajuk ................................................................... 26
Jumlah Bintil Akar Aktif .......................................................... 27
Berat Kering Bintil Akar Aktif .................................................. 27
Persentase Infeksi Akar ............................................................. 28
Pertumbuhan dan Produksi Calopogonium mucunoides
Desv. pada Tanah Tailing ............. ............................................ 28
Pertambahan Panjang Penyebaran ............................................. 29
Jumlah Flash .............................................................................. 30
Berat Kering Akar ..................................................................... 30
Berat Kering Tajuk . ................................................................... 30
Jumlah Bintil Akar Aktif ........................................................... 31
Persentase Infeksi Akar ............................................................. 32
Peranan Penambahan Mikroorganisme dan Pembenah
Tanah pada Masing-masing Penelitian ...................................... 32
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 35
Kesimpulan ................................................................................ 35
Saran .......................................................................................... 35
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 37
LAMPIRAN .......................................................................................... 39
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Karakteristik Tanah Limbah Tailing Pongkor dan Latosol
Darmaga .... 19
2. Rataan Nilai Setiap Peubah dengan Pemberian Mikroorganisme
dan Pembenah Tanah pada Tanah Latosol .................................... 24

3. Nilai Setiap Peubah dengan Pemberian Mikroorganisme dan


Pembenah Tanah pada Tanah Tailing ........................................... 29
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Perbandingan tanaman kalopo yang ditanam pada tanah latosol


(kiri) dan tanah limbah tailing (kanan) ....................................... 18
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. ANOVA Pertambahan Panjang Penyebaran Panen I


Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah Latosol .. 40

2. ANOVA Berat Kering Tajuk Panen I Calopogonium mucunoides


Desv. pada Tanah Latosol ... 40

3. ANOVA Jumlah Flash Panen I Calopogonium mucunoides


Desv. pada Tanah Latosol ... 40

4. ANOVA Pertambahan Panjang Penyebaran Calopogonium


mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol ... 41

5. ANOVA Jumlah Flash Calopogonium mucunoides Desv. Panen


II pada Tanah Latosol 41

6. ANOVA Berat Kering Akar Calopogonium mucunoides Desv.


Panen II pada Tanah Latosol ... 41

7. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv.


Panen II pada Tanah Latosol .. 42

8. ANOVA Jumlah Bintil Akar Aktif Calopogonium mucunoides


Desv. Panen II pada Tanah Latosol 42

9. ANOVA Berat Kering Bintil Akar Aktif Calopogonium


mucunoides Desv. Panen II pada Tanah Latosol .... 42

10. ANOVA Persentase Infeksi Akar Calopogonium mucunoides


Desv. Panen II pada Tanah Latosol 43

11. Hasil Uji Lanjut Duncan Pertambahan Panjang Penyebaran


Calopogonium mucunoides Desv. Panen I pada Tanah Latosol . 43

12. Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah Bintil Akar Aktif Calopogonium
mucunoides Desv. Pada Tanah Latosol .. 43

13. ANOVA Partambahan Panjang Penyebaran Calopogonium


mucunoides Desv. Pada Tanah Tailing ... 44

14. ANOVA Jumlah Flash Calopogonium mucunoides Desv. Pada


Tanah Tailing .. 44

15. ANOVA Berat Kering Akar Calopogonium mucunoides Desv.


Pada Tanah Tailing . 44
16. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv.
Pada Tanah Tailing 45

17. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv.


Pada Tanah Tailing . 45

18. Hasil Uji Lanjut Duncan Berat Kering Tajuk Calopogonium


mucunoides Desv. pada Tanah Tailing ... 45

19. Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah flash Calopogonium mucunoides


Desv. Pada Tanah Tailing ... 46

20. Hasil Uji Lanjut Duncan Persentase Infeksi Akar Calopogonium


mucunoides Desv. pada Tanah Tailing ... 46
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pembangunan peternakan harus didukung dengan pengembangan penyediaan
pakan ternak. Pakan yang cukup dan berkualitas merupakan kebutuhan mutlak yang
harus dipenuhi dalam usaha peternakan. Penyediaan pakan jenis hijauan diawali dari
penanaman dan pemeliharaan tanaman makanan ternak itu sendiri. Selain jenis
rumput, hijauan makanan ternak yang memiliki kandungan nutrisi baik bagi ternak
adalah jenis legum. Salah satu jenis legum yang bernilai gizi baik, mudah
dikembangkan, dan memiliki kemampuan untuk merehabilitasi lahan yang kurang
subur adalah Calopogonium mucunoides Desv atau biasa disebut kalopo.
Produksi tanaman makanan ternak sering mengalami masalah dari segi
ketersediaan dan kualitas lahan. Hal ini karena lahan yang tersedia untuk tanaman
makanan ternak adalah lahan-lahan yang kesuburannya rendah, diantaranya tanah
latosol dan tanah pasca penambangan (tailing). Tanah latosol merupakan tanah yang
banyak terdapat di Indonesia. Namun permasalahannya, tanah latosol memiliki
kapasitas tukar kation yang rendah, sehingga membutuhkan pemupukan untuk
memperbaiki kondisi tanah. Sementara limbah tailing pertambangan emas seperti
yang terdapat di daerah Pongkor memiliki pH cenderung basa, nilai KTK cukup
rendah dengan kandungan Ca terlarut sangat tinggi, yang diikuti dengan rendahnya
ketersediaan unsur hara esensial seperti P, N, K juga Mg. Kondisi ini juga diperparah
dengan kandungan C-organik yang sangat rendah dan jumlah unsur mikro terlarut
seperti Pb yang cukup tinggi (Setyaningsih, 2007). Sifat-sifat tailing yang ekstrim
tersebut, memerlukan perbaikan pada tanah latosol dan tanah limbah tailing agar
dapat digunakan sebagai media tanam.
Upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah latosol dan tanah tailing adalah
dengan cara pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah. Mikroorganisme yang
diduga efektif untuk memperbaiki kondisi kedua jenis tanah tersebut dan dapat
berinteraksi dengan baik dengan tanaman kalopo adalah mikoriza, bakteri pelarut
fosfat, dan Rhizobium. Mikoriza sangat berperan karena mampu menginfeksi sistem
perakaran tanaman inang, yang kemudian akan memproduksi jalinan hifa secara
intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya
dalam menyerap unsur hara dan air. Bakteri pelarut fosfat dalam hal ini juga dapat
ditambahkan dalam memperbaiki kondisi limbah tailing tambang emas yang mampu
mengekstrak P dari bentuk yang tidak tersedia menjadi bentuk yang dapat digunakan
tanaman. Rhizobium juga sangat membantu dalam proses fiksasi nitrogen dan
berpengaruh terhadap hasil panen.
Pembenah tanah yang diduga efektif untuk meningkatkan ketersediaan unsur
hara dalam tanah, serta mampu menjerap mineral adalah asam humik. Asam humik
juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara sehingga dapat dimanfaatkan oleh
tumbuhan untuk tumbuh lebih optimal
Kondisi tanah latosol yang miskin unsur hara dan tingginya kandungan logam
berat dalam tanah tailing menyebabkan produktivitas tanah tersebut rendah.
Sementara kedua jenis tanah tersebut banyak ditemui di Indonesia dan banyak yang
dimanfaatkan sebagai lahan tempat tumbuh tanaman hijauan makanan ternak seperti
kalopo. Penambahan Mikoriza, Rhizobium, Bakteri Pelarut Fosfat, dan Asam Humik
diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah dan penyerapan
unsur hara yang diperlukan tanaman, serta membantu menjerap logam berat sehingga
dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kalopo.

Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui peranan mikroorganisme potensial tanah dan pembenah tanah untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman legum kalopo yang tumbuh
pada tanah latosol.
2. Mengetahui peranan mikroorganisme potensial tanah dan pembenah tanah untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman legum kalopo yang tumbuh
pada tanah limbah tailing.
TINJAUAN PUSTAKA

Calopogonium mucunoides Desv.


Legum Calopogonium mucunoides Desv. atau biasa disebut kalopo atau
kacang asu di Indonesia, berasal dari Amerika Selatan Tropik yang bersifat perennial
(tahunan), merambat membelit dan hidup didaerah-daerah yang tinggi kelembaban
udaranya. Daun-daun yang terbentuk dengan lebat dalam waktu 5 bulan setinggi 1
sampai 2 kaki (60,98 cm). Dalam waktu 7 sampai 8 bulan sesudah penanaman,
produksi biji sangat banyak dan tanaman baru terjadi dari biji-biji sangat banyak dan
tanaman baru terjadi dari biji-biji ini (Reksohadiprojo, 1985).
Reksohadiprojo (1985) menyatakan bahwa kalopo adalah salah satu spesies
legum tahunan yang agak tahan terhadap naungan. Perbanyakan tanaman dilakukan
secara vegetatif dan generatif. Tanaman ini dapat memiliki panjang 1-4 meter.
Berbatang keras dan ditumbuhi rambut-rambut yang agak panjang, berwarna kelabu
atau coklat dan tumbuh mengarah ke bawah. Daun penumpu berbentuk segitiga,
berukuran 2-4 mm. Daun trifoliate, bentuk anak daun lonjong telur atau lonjong
belah ketupat dengan bagian kaki daun yang membulat atau berbentuk baji dan
bagian ujung helaian anak daun yang membulat pula. Kedua permukaan daun
ditumbuhi rambut-rambut panjang. Ukuran daun antara 2,5-12 cm panjang, dan lebar
2-10 cm (Setyaningsih, 2007).
Menurut Sanchez (1993) strain Rhizobium yang tumbuh lamban ini,
mengeluarkan zat yang bersifat basa, sedangkan strain yang cepat tumbuh yang khas
pada legum daerah iklim sedang mengeluarkan zat yang bersifat asam. Spesies
legum yang mempunyai mekanisme mengeluarkan basa meliputi Stylosanthes dan
Desmodium spp., Pueraria phaseoloides, Centrocema pubescens, Calopogonium
mucunoides, Macroptilium lathyroides, Phaseolus atropurpureus, dan Lotononis
bainesii.
Beberapa spesies legum termasuk kalopo ternyata dapat menyesuaikan diri
luar biasa baiknya pada keadaan tanah asam yang tidak subur. Sebagian besar dari
legum tersebut bersimbiosis dengan Rhizobium tipe kacang tunggak yang tumbuh
lamban, yang ditemui pada sebagian besar tanah tropika yang asam, dan dengan
demikian tidak memerlukan inokulasi.
Kalopo termasuk dalam sub famili Papilionaceae, tumbuhan ini termasuk
kedalam pupuk hijau berbentuk semak/menjalar pada permukaan tanah dan mampu
membelit ke atas tanaman yang tumbuh di atasnya. Perakaran tanaman berbentuk
serabut yang banyak dijumpai bintil akar yang mengandung bakteri Rhizobium.
Selama ini kalopo digunakan sebagai tanaman pionir dalam merehabilitasi lahan
terdegradasi akibat erosi, pada perkebunan sawit dan karet digunakan sebagai
tanaman penyubur tanah (Purwanto, 2007).

Tanah Latosol
Tanah ini mempunyai sifat fisik yang baik (struktur) tetapi berkemampuan
rendah untuk menahan kation (sangat mirip dengan tanah berpasir) dan
membutuhkan pemberian pupuk yang agak sering. Banyak tanah di Indonesia
tergolong tanah latosol (Rao, 1994).
Menurut Hardjowigeno (1993) latosol adalah tanah dengan pelapukan lanjut,
sangat tercuci batas-batas horizon baur, kandungan minetral primer (mudah lapuk)
dan unsur hara rendah, pH rendah 4,5-5,5, kandungan bahan organik rendah,
konsistensi gembur, struktur remah, stabilitas agregat tinggi, terjadi akumulasi
seskuioksida akibat pencucian silika. Warna tanah latosol biasanya merah, coklat
kemerahan, coklat, coklat kekuningan, atau kuning, tergantung dari bahan induk,
umur, iklim, dan ketinggian. Di Indonesia latosol umumnya terdapat pada bahan
induk vulkanik baik berupa tufa maupun batuan beku. Ditemukan dari muka laut
hingga ketinggian 900 m, di daerah iklim tropika basah dengan curah hujan antara
2500-7000 mm.
Nama latosol diperuntukkan bagi golongan tanah yang meliputi semua tanah
zonal di daerah tropika dan katulistiwa mempunyai sifat-sifat dominan : (1) nilai
SiO2 (sesquioksida) fraksi lempung rendah, (2) kapasitas penukaran kation rendah,
(3) lempungnya kurang aktif, (4) kadar mineral rendah, (5) kadar bahan larut rendah,
(6) stabilitas agregat tinggi, (7) berwarna merah (Hardjowigeno, 1993).
Latosol meliputi tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan intensif dan
perkembangan tanah lanjut, sehingga terjadi pelindian unsur basa, bahan organik dan
silika, dengan meningggalkan sesquioxid sebagai sisa berwarna merah. Ciri
morfologi yang umum ialah tekstur lempung sampai geluh, struktur remah sampai
gumpal lemah dan konsisten gembur. Warna tanah sekitar merah tergantung susunan
mineralogi, bahan induk, drainase, umur tanah dan keadaan iklim. Latosol terbentuk
di daerah-daerah beriklim humid-tropika tanpa bulan kering sampai subhumid yang
bermusim kemarau agak lama. Bervegetasi hutan basah sampai savana, bertopografi
dataran, bergelombang sampai berbukit dengan bahan induk hampir semua macam
batuan. Tanah latosol meluas di daerah tropika sampai subtropika.
Di Indonesia, tanah latosol umumnya berasal dari batuan induk vulkanik,
baik tuff maupun batuan beku, terdapat mulai dari tepi pantai sampai setinggi 900 m
di atas permukaan laut dengan topografi miring, bergelombang, vulkanic fan sampai
pegunungan dengan iklim basah tropika, curah hujan berkisar antara 2500-7000 mm.
Berdasarkan warnanya, latosol dibagi dalam beberapa macam tanah antara lain
ialah :
1. Latosol merah diwakili tanah Pasekaran (Pekalongan-Jawa Tengah)
2. Latosol merah kekuningan senagai contoh tanah Cibinong ;
3. Latosol coklat-kemerahan, diwakili tanah Citayam (Bogor)
4. Latosol coklat diwakili tanah Kancana ( Bogor)
5. Latosol coklat kekuningan sebagai contoh tanah Sukabumi (Bogor)
6. Latosol merah-ungu, sebagai contoh tanah Plehari (Kalimantan Selatan),
Hardjowigeno (1993).

Limbah Tailing
Magdalena (2005) menyatakan bahwa limbah tailing berasal dari batu-batuan
dalam tanah yang telah dihancurkan hingga menyerupai bubur kental oleh pabrik
pemisah mineral dari bebatuan. Proses itu dikenal dengan sebutan proses
penggerusan. Batuan yang mengandung mineral seperti emas, perak, tembaga dan
lainnya, diangkut dari lokasi galian menuju tempat pengolahan yang disebut
processing plant. Di tempat itu proses penggerusan dilakukan. Setelah bebatuan
hancur menyerupai bubur biasanya dimasukan bahan kimia tertentu seperti sianida
atau merkuri, agar mineral yang dicari mudah terpisah. Mineral yang berhasil
diperoleh biasanya berkisar antara dua persen sampai lima persen dari total batuan
yang dihancurkan. Sisanya sekitar 95% sampai 98% menjadi tailing, dan dibuang ke
tempat pembuangan.
Tailing cenderung memiliki pH tanah yang ekstrim sehingga mendorong
terlarutnya logam-logam berat yang dapat berakibat peracunan pada tanah dan air
dan juga terjadi defisiensi unsur-unsur lain yang diperlukan bagi pertumbuhan
tanaman. Lumpur tailing tambang emas bersifat agak basa (pH 7,6) dan
menyebabkan terjadinya pencemaran logam-logam berat terhadap tanah dan air.
Dengan adanya tailing ini, maka akan mengganggu ekosistem suatu lingkungan
sehingga kualitas dan produksivitas lingkungan tersebut akan menurun. Tailing juga
akan mengurangi persediaan oksigen pada sistem perakaran tanaman karena
kandungan logam berat dalam tanah lebih tinggi daripada kandungan oksigen tanah,
sehingga apabila akumulasi tailing ini semakin banyak maka menyebabkan mikroba
aerob yang bersimbiosis dengan akar tanaman akan akan semakin berkurang
(Setyaningsih, 2007).
Hasil analisis contoh tailing menunjukkan nilai konsentrasi Hg yang sangat
tinggi, yaitu 132-1090,4 ppm. Selain itu material tailing juga masih mengandung
emas, perak dan logam-logam lainnya dalam jumlah yang tinggi. Hal ini
menunjukkan recovery pengolahan yang tidak optimal dan tidak dilakukannya
penanganan tailing secara baik. Unsur-unsur yang biasa terdapat dalam tailing
seperti Cu, Pb, Zn, As dan Cd berasal dari bijih yang diproses. Nilai unsur logam di
dalam contoh tailing berkisar 5-102 ppm Cu, 15-1242 ppm Pb dan 44-1960 ppm Zn.
Kadar logam Pb dan Cu yang relatif tinggi tersebut berhubungan langsung dengan
proses pengolahan emas dengan cara amalgamasi dimana mineral sulfida logam,
khususnya Cu, Pb dan Zn, bersama dengan logam merkuri (Hg) terbuang sebagai
tailing.
Menurut Herman (2006) Pb dalam batuan berada pada struktur silikat yang
menggantikan unsur kalsium (Ca), dan baru dapat diserap oleh tumbuhan ketika Pb
dalam mineral utama terpisah oleh proses pelapukan. Pb di dalam tanah mempunyai
kecenderungan terikat oleh bahan organik dan sering terkonsentrasi pada bagian atas
tanah karena menyatu dengan tumbuhan, dan kemudian terakumulasi sebagai hasil
pelapukan di dalam lapisan humus.
Mikoriza
Rao (1994) menyatakan bahwa asosiasi simbiotik antara fungi dan sistem
perakaran tanaman tinggi memiliki istilah umum yaitu mikoriza (jamak mikorizae)
yang secara harfiah berarti akar fungi.
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah salah satu tipe fungi pembentuk
mikoriza yang akhir-akhir ini cukup populer mendapat perhatian dari para peneliti
lingkungan dan biologis. Fungi ini diperkirakan pada masa mendatang dapat
dijadikan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan,
meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman terutama yang ditanam pada lahan-
lahan marginal yang kurang subur atau bekas tambang/industri. Istilah mikoriza
diambil dari Bahasa Yunani yang secara harfiah berarti fungi (mykos = miko) dan
akar (rhiza). Fungi ini membentuk simbiosa mutualisme antara fungi dan akar
tumbuhan. Fungi memperoleh karbohidrat dalam bentuk gula sederhana (glukosa)
dari tumbuhan. Sebaliknya, fungi menyalurkan air dan hara tanah untuk tumbuhan.
Mikoriza merupakan fungi yang hidup bersimbiosis dengan sistem perakaran
tanaman tingkat tinggi. Walau ada juga yang bersimbiosis dengan rizoid (akar semu)
fungi. Asosiasi antara akar tanaman dengan fungi ini memberikan manfaat yang
sangat baik bagi tanah dan tanaman inang yang merupakan tempat fungi tersebut
tumbuh dan berkembang biak. Fungi mikoriza berperan untuk meningkatkan
ketahanan hidup bibit terhadap penyakit dan meningkatkan pertumbuhan (Madjid,
2009)
Notohadiprawiro (1998) menyatakan bahwa semula diduga hanya beberapa
jenis pohon dan semak hutan saja yang memiliki asosiasi tersebut. Kemudian
ternyata banyak sekali jenis tumbuhan, termasuk tanaman budidaya semusim yang
mempunyai mikoriza. Dalam asosiasi ini fungi membantu tumbuhan menyerap hara,
khususnya fosfat, dan air. Ada kemungkinan fungi memberikan zat tumbuh (auksin)
kepada tumbuhan inang. Sebagai imbalan, fungi memperoleh zat-zat fotosintat (zat
hasil fotosintesis) dari tumbuhan inang. Madjid (2009) juga mengemukakan bahwa
lebih dari 80% tanaman dapat bersimbiosis dengan FMA serta terdapat pada
sebagian besar ekosistem alam dan pertanian serta memiliki peranan yang penting
dalam pertumbuhan, kesehatan dan produktivitas tanaman.
Beberapa fungi menempati akar dan hidup di dalam ataupun di luar akar,
mengambil tanaman dalam bentuk karbohidrat dari tanaman yang ditempatinya
(inang) dan juga memperoleh hara mineral dari dalam tanah. Sebagian tanah mineral
ini, terutama unsur fosfor dapat disediakan untuk tanaman inang. Asosiasi fungi
dengan akar tanaman ini disebut "mikoriza". Berdasarkan susunan infeksinya,
mikoriza dapat dibedakan menjadi dua tipe yang jelas perbedaannya dan beberapa
tipe berada diantara kedua tipe tersebut.
Tipe pertama yang biasa disebut ektomikoriza adalah fungi yang strukturnya
membentuk banyak cabang pada rambut akar tanaman pohon. Struktur mikoriza ini
terdiri dari selimut (mantel) miselium fungi yang menyelimuti akar yang sel
korteksnya membesar dan hifa fungi yang masuk dalam ruang interseluler. Tipe yang
kedua yang disebut endomikoriza, tidak membentuk selimut dan hipa fungi
menginvasi sel korteks akar tanpa mematikannya. Tipe ketiga, strukturnya diantara
ekto dan endomikoriza dan oleh karenanya disebut ektendomikoriza.
Mikoriza Vesikuler-Arbuskuler (mikoriza V-A) terdapat dalam perakaran
dari sebagian besar angiosperma pteridofita, dan briofita, walaupun tidak dijumpai
pada tanaman yang hanya membentuk ektomikoriza. Mikoriza V-A membentuk
struktur karakteristik khusus yang disebut arbuskel dan vesikel. Arbuskel membantu
dalam mentransfer nutriea (terutama fosfat) dari tanah ke sistem perakaran. Rhizobia
dan mikoriza VA sering berinteraksi secara sinergistik menghasilkan bintil akar,
pengambilan nutriea, dan hasil panen yang lebih baik. Pada tanah-tanah yang
memiliki kandungan P yang rendah, interaksi ini sangat jelas, terutama dengan
tambahan fosfat (Rao, 1994).

Asam Humik
Menurut Hardjowigeno (2003), humus merupakan senyawa yang resisten
(tidak mudah hancur) berwarna hitam atau coklat dan mempunyai daya menahan air
dan unsur hara yang tinggi. Tingginya daya menahan (menyimpan) unsur hara adalah
akibat tingginya kapasitas tukar kation (KTK) dari humus, karena humus mempunyai
beberapa gugus aktif terutama gugus karboksil. Tanah yang banyak mengandung
humus atau bahan organik adalah tanah-tanah lapisan atas. Dekomposisi bahan
organik dapat terjadi secara kimia maupun biologi, baik dalam keadaan aerobik
maupun anaerobik dan menghasilkan unsur-unsur hara dan senyawa organik
Asam humik diduga berperan penting dalam pelarutan batuan dan mineral
Senyawa humat memainkan peranan penting dalam pelarutan mineral. Data saat ini
menunjukkan bahwa kapasitas pengasaman dan pengkelatan dari asam organik ini
menyebabkan degradasi dari banyak mineral dan batuan (Tan, 1997).
Rao (1994) menyatakan bahwa bahan humik menempati 70-80 % dari bahan
organik dalam hampir semua tanah mineral dan terbentuk dari hasil pelapukan sisa
tanaman dan hewan dari aktivitas sintetik mikroorganisme. Satu dari karakteristik
yang paling khusus dari bahan humat adalah kemampuannya untuk berinteraksi
dengan ion logam, oksida, hidroksida, mineral dan organik, termasuk pencemar
beracun, untuk membentuk asosiasi, baik yang larut air maupun yang tidak larut air
dari berbagai stabilitas kimia dan biologi yang berbeda.
Ketersediaan humus yang cukup, proses pencucian nutrisi tanaman oleh air
menjadi diperlambat. Keadaan demikian sangat baik bagi elemen-elemen dasar yang
terdiri dari sejumlah senyawa penting, seperti ammonia dan garam-garam potassium,
kalsium dan magnesium. Perubahan yang cepat dalam reaksi sampai keasaman lebih
tinggi atau lebih rendah dapat tercegah oleh sifat-sifat penyanggaan bahan tanah
organik.
Pada humus terdapat sifat-sifat tertentu yang membedakannya dari bahan-
bahan tanaman dan binatang pembentuk atau penyusun humus tersebut. Sifat-sifat ini
dikemukakan sebagai berikut :
a. Berwarna coklat gelap sampai hitam
b. Sebenarnya tidak melarut dalam air, namun demikian sebagian memasuki
larutan koloidal dalam air bersih ;
c. Dari bagian tersebut sebagian besar masuk ke larutan-larutan alkali cair
terutama dalam pendidikan, memberi ekstrak berwarna hitam, sebagian besar
dari ekstrak ini mengendap kalau larutan alkali dinetralisir oleh asam-asam
mineral.
Fungsi humus dalam tanah dapat diperhatikan dari keterkaitan fisik, kimiawi
dan biologisnya, antara lain sebagai berikut :
a. fisik, memodifikasi warna, tekstur dan struktur tanah, demikian pula
kapasitas penahanan kelembaban dan aerasi ;
b. kimiawi, mempengaruhi daya larut (solubilitas) berbagai mineral tanah
tertentu, membentuk senyawa-senyawa dengan beberapa elemen, seperti
besi, dengan demikian menjadi lebih cepat tersedia bagi pertumbuhan
tanaman dan peningkatan sifat-sifat penyanggaan tanah ;
c. biologis, menjadi sumber energi bagi perkembangan mikroorganisme ;
dengan menjadikan tanah sebagai media yang lebih baik bagi
perkembangan tanaman tingkat tinggi ; dan dengan menyediakan unsur-
unsur nutrisi penting tertentu serta senyawa yang diperlukan tanaman-
tanaman tingkat lebih tinggi (Sutedjo dkk, 1991).

Mikroorganisme Pelarut Fosfat


Baik fosfat anorganik maupun fosfat organik terdapat di dalam tanah. Bentuk
anorganik adalah senyawa-senyawa Ca, Fe, Al, dan F. Fosfor organik mengandung
senyawa-senyawa yang berasal dari tanaman dan mikroorganisme dan tersusun dari
asam nukleat, fosfolipid, dan fitin. Materi organik yang berasal dari sampah tanaman
mati dan membusuk kaya akan sumber-sumber fosfor organik.
Fosfat tanah baru dapat tersedia untuk perakaran tanaman atau oleh
mikroorganisme tanah melalui sekresi asam organik, oleh sebab itu mikroorganisme
tanah yang dapat melarutkan fosfat memegang peranan dalam memperbaiki tanaman
budidaya yang mengalami defisiensi fosfor. Mikroorganisme tanah juga mungkin
membebaskan fosfat anorganik yang dapat larut (H2PO4) ke dalam tanah melalui
peristiwa dekomposisi senyawa organik yang kaya fosfat.
Pelarutan fosfat oleh perakaran tanaman dan mikroorganisme tergantung pH
tanah. Pada tanah netral atau basa yang memiliki kandungan kalsium yang tinggi,
terjadi pengendapan kalsium fosfat. Mikroorganisme dan perakaran tanaman mampu
melarutkan fosfat seperti itu dan mengubahnya sehingga dengan mudah menjadi
tersedia dengan tanaman. Sebaliknya, tanah yang asam umumnya miskin akan ion
kalsium, dan karenanya fosfatnya diendapkan dalam bentuk senyawa besi atau
aluminium yang tidak dengan mudah dapat dilarutkan oleh perakaran tanaman atau
oleh mikroorganisme tanah. Salah satu cara untuk memperbaiki defisiensi fosfor
pada tanaman ialah dengan menginokulasi biji atau tanah dengan mikroorganisme
pelarut fosfat bersama-sama dengan pupuk berfosfat.
Bakteri pelarut fosfat diketahui mereduksi pH substrat dengan mensekresi
sejumlah asam organik seperti asam-asam format, asetat, propionat, laktonat,
glikolat, fumarat, dan suksinat. Beberapa di antara asam-asam ini (asam hidroksi)
mungkin membentuk khelat dengan kation-kation seperti Ca dan Fe dan khelasi
semacam ini berakibat pelarutan fosfat yang efektif (Rao, 1994).
Bakteri pelarut fosfat seperti Bacillus sp dan Pseudomonas sp merupakan
mikroba tanah yang mempunyai kemampuan melarutkan P tidak tersedia menjadi
tersedia (Widawati dan Suliasih, 1999). Menurut Buntan (1992) dalam aktivitasnya
bakteri pelarut P akan menghasilkan asam-asam organik diantaranya asam sitrat,
glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glikooksalat, malat, fumarat, tartarat dan alfa
ketobutirat. Meningkatnya asam-asam organik tersebut biasanya diikuti dengan
penurunan pH, sehingga mengakibatkan pelarutan P yang terikat oleh Ca, sehingga
akan meningkatkan ketersediaan fosfat dalam tanah.

Rhizobium
Kebanyakan spesies tanaman yang termasuk dalam sub-famili Papilionidae,
famili Leguminosae mempunyai bintil akar. Bintil akar ini merupakan organ
simbiosis yang mampu melakukan fiksasi N dari udara, sehingga tanaman mampu
memenuhi sebagian besar kebutuhan nitrogen dari hasil fiksasi tersebut.
Bakteri-bakteri yang termasuk dalam genus Rhizobium hidup bebas dalam
tanah dan dalam daerah perakaran tumbuh-tumbuhan legum maupun bukan legum.
Walaupun demikian, bakteri Rhizobium dapat bersimbiosis hanya dengan tumbuh-
tumbuhan legum, dengan menginfeksi akarnya dan membentuk bintil akar di
dalamnya. Perkecualian satu-satunya adalah bintil akar pada Trema (Parasponia)
oleh Rhizobium sp. Pada simbiosis dengan bintil akar legum, legumnya merupakan
mitra yang lebih besar sedangkan Rhizobium adalah partner yang lebih kecil, sering
disebut mikrosimbion. Tanpa legum, populasi Rhizobium dalam tanah akan menurun.
Walaupun demikian, diketahui bahwa Rhizobium dapat lestari 19 sampai 45 tahun
walaupun mereka itu bukan pembentuk spora. Rhizobium lebih mudah terangsang
dalam rizosfer legum daripada dalam rizosfer bukan legum (Rao, 1994).
Interaksi antara bakteri Rhizobium dan sel-sel pada jaringan akar akan
membentuk bintil akar. Pada interaksi ini sel-sel Rhizobium akan berubah bentuk
menjadi bakteroid. Pada bagian tengah sel dari bintil akar yang mengandung bakteri
akan terbentuk pigmen merah yang dinamakan leghemoglobin. Di dalam bakteroid
ini terjadi aktifitas enzim nitrogenase. Adanya leghemoglobin dan enzim nitrogenase
yang dibentuk oleh bakteroid merupakan dua komponen yang memegang peranan
pada proses fiksasi N2.
Pertumbuhan bakteri Rhizobium juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
unsur hara pada lingkungan perakaran, sehingga akan berpengaruh terhadap fiksasi
N2. Kisaran besarnya fiksasi N2 pada asosiasi simbiosis antara leguminosae dengan
bakteri Rhizobium sangat luas karena :
1. Unsur hara tertentu mungkin berada dalam jumlah yang mengganggu
pertumbuhan bakteri Rhizobium pada rizosfer.
2. Unsur hara tertentu mungkin berada dalam jumlah yang mengganggu
pertumbuhan dan perakaran tanaman legum, sehingga akan menghambat
pembentukan dan fungsi bintil akar.
MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Laboratorium Lapang Agrostologi
untuk budidaya. Analisis bobot kering tajuk, akar, dan bintil akar, serta persentase
infeksi akar dilakukan di Laboratorium Agrostologi, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2007-Januari 2008.

Materi
Penelitian ini menggunakan bahan tanam benih legum Calopogonium
mucunoides Desv., mikoriza menggunakan jenis campuran (mycofer) yang terdiri
dari 4 isolat yaitu Glomus manihotis, Glomus etinucatum, Gigaspora margarita, dan
Acaulospora tuberculata, rhizobium, asam humik, mikroorganisme pelarut fosfat,
pupuk NPK mutiara, KOH 2,5%, HCl 2%, Sukrosa 60%, bahan-nahan kimia untuk
pewarnaan akar yaitu tryphan blue, gliserol, asam laktat, aquades, media tumbuh
yaitu tanah latosol Dramaga dan tanah yang berasal dari tailing penambangan emas
PT. Aneka Tambang di daerah Pongkor, Bogor.
Peralatan yang digunakan adalah mistar ukuran 100 cm, alat penyiram air,
bambu/ajir, polybag, gunting, timbangan, oven, kantong semen, kertas koran,
mikroskop, gelas obyek, gelas penutup, pinset, gelas ukur, tabung film.

Metode Penelitian
Rancangan
Penelitian ini terdiri dari dua penelitian yang berbeda. Penelitian pertama
menggunakan media tanam tanah latosol Dramaga, dan penelitian kedua
menggunakan media tanam tanah tailing Pongkor. Masing-masing menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari 7 perlakuan dan 5 ulangan
untuk masing-masing media tanam. Tujuh perlakuan yang digunakan adalah :
A : kontrol (tanpa penambahan mikroorganisme maupun pembenah tanah)
B : Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
C : FMA + Rhizobium
D : FMA + Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)
E : FMA + Asam Humik
F : FMA + BPF + Rhizobium
G : FMA + BPF + Rhizobium + Asam Humik
Asam humik diberikan sebanyak 80 ml per polybag yang diperoleh dari hasil
pengenceran 125 ml per 20 liter air. Rhizobium dan bakteri pelarut fosfat yang
terdapat dalam arang sekam masing-masing diberikan 1 gram per polybag. Bakteri
pelarut fosfat yang terdiri dari 3 isolat dengan kode FT.3.2, F.T.3.3, dan B.80.1649.8.
FMA menggunakan carrier zeolit dan diberikan sebanyak 10 gram per pot polybag.
Masing-masing tanaman diberikan pupuk NPK mutiara dengan dosis 500 kg per ha
tanah, yaitu setara dengan 1,25 gram per polybag.
Model Statistik
Model statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
(Steel dan Torie, 1993) :
Yij = + i + ij
dimana :
Yij = Nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= Nilai rataan umum
i = Pengaruh perlakuan ke-i (i = 1,2, 3, 4, 5, 6, 7)
ij = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.
Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA)


dan jika memberikan hasil yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan
(Steel dan Torie, 1993).

Prosedur
Persiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan adalah tanah latosol Dramaga dan tanah tailing
yang diambil dari pertambangan emas PT. Aneka Tambang di daerah Pongkor,
Bogor. Sebelum ditanami, tanah latosol dikeringkan terlebih dahulu selama satu
minggu dengan cara dijemur di dalam rumah. Sedangkan tanah tailing langsung
dimasukkan ke dalam polybag tanpa dijemur terlebih dahulu.
Penanaman
Tanaman yang digunakan adalah kalopo. yang diperoleh dari laboratorium
lapang Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan IPB. Tanah yang akan ditanami diberi pupuk NPK mutiara hingga
merata, kemudian dimasukkan ke dalam polybag dengan kapasitas 5 kg yang telah
diberi kode untuk masing-masing perlakuan. Benih kalopo ditanam dengan
dibenamkan ke dalam 1 lubang tanam dan siram secukupnya. Apabila benih tidak
tumbuh maka dilakukan penyulaman atau penanaman benih kembali.
Pemangkasan
Pemangkasan dilakukan setelah tanaman berumur 2 minggu setelah tanam,
dengan cara memotong bagian atas tanaman. Dipilih 2 tanaman dengan pertumbuhan
terbaik, sedangkan tanaman yang lain dibuang. Pertumbuhan setelah pemangkasan
ini dianggap sebagai pengaruh dari perlakuan yang diberikan.
Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman dan pemberantasan hama
penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari sesuai kapasitas lapang.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap seminggu sekali dengan mengukur panjang
penyebaran dan jumlah flash (ranting daun).
Pemanenan
Pemanenan dilakukan dua kali. Pemanenan pertama dilakukan setelah 40 hari
dengan pemotongan sebagian tajuk tanaman (disisakan 10 cm) untuk ditimbang berat
segar dan berat keringnya. Pemanenan kedua dilakukan 40 hari setelah panen
pertama dengan pemotongan bagian tajuk tanaman untuk ditimbang berat segar dan
berat keringnya. Bagian akar dicuci untuk ditimbang berat segar, berat kering, infeksi
akar, dan dipisahkan bintil akarnya.

Peubah yang Diamati


Panjang Penyebaran
Panjang penyebaran diperoleh dengan mengukur panjang legum dari
permukanan tanah hingga ujung legum yang terpanjang.
Jumlah Flash
Jumlah flash dihitung berdasarkan jumlah individu baru yang tumbuh.

Berat Kering Akar


Berat kering akar diperoleh dengan cara menimbang akar yang telah
dikeringkan selama 48 jam dengan diangin-anginkan dan selanjutnya dilakukan
pengeringan dengan oven dengan suhu 70oC selama 48 jam.

Berat Kering Tajuk


Berat kering tajuk diperoleh dengan cara menimbang tajuk yang telah
dikeringkan selama 48 jam dengan diangin-anginkan dan selanjutnya dilakukan
pengeringan dengan oven dengan suhu 70oC selama 48 jam.

Jumlah Bintil Akar Aktif


Jumlah bintil akar aktif diperoleh dengan menghitung bintil akar aktif yang
terbentuk selama penelitian.

Persentase Infeksi Akar


Penghitungan jumlah akar terinfeksi dilakukan melalui teknik pewarnaan
akar (Phyllip dan Hayman, 1970) yang dimodifikasi oleh teknik Koske dan Gemma
(1989). Pewarnaan akar dilakukan dengan cara akar dicuci hingga bersih dan
dimasukkan ke dalam tabung film, kemudian ditambahkan KOH 2,5%. Setelah akar
berwarna bening, KOH 2,5% dibuang, kemudian akar dicuci dibawah air mengalir
dan disaring menggunakan saringan teh. Setelah bersih dari KOH 2,5%, akar
kembali disimpan dalam tabung tertutup yang telah ditambahkan HCl 2%.
Perendaman dengan HCl 2% dilakukan selama 24 jam, kemudian larutan HCl
dibuang dan diganti dengan larutan pewarna (staining). Apabila pewarnaan terlalu
pekat, maka ditambahkan larutan pelarut warna (distaining). Selanjutnya 10 buah
akar sepanjang 1 cm diambil, kemudian diletakkan pada gelas objek dan ditutup
dengan gelas penutup. Penghitungan jumlah akar yang terinfeksi dilakukan dibawah
mikroskop dengan perbesaran 10 x 10. Persentase akar yang terinfeksi dihitung
dengan rumus sebagai berikut :

Persentase infeksi akar = jumlah akar yang terinfeksi x 100%


jumlah contoh akar
Berat Kering Bintil Akar Aktif
Bintil akar yang aktif ditunjukkan dengan warna kemerahan bila bintil akar
dibelah. Jumlah bintil akar yang terbentuk pada akar setiap individu tanaman
dikering anginkan selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan pengeringan dalam oven
pada suhu 70oC selama 48 jam lalu ditimbang.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum
Tanaman kalopo ditanam pada 2 media tanam yang berbeda, yaitu tanah
latosol dan tanah tailing penambangan emas PT. Aneka Tambang daerah Pongkor.
Kandungan mineral tanah latosol Darmaga dan tanah tailing dapat dilihat pada Tabel
1. Semua tanaman ditanam dalam rumah kaca yang sama, sehingga faktor
lingkungan lain seperti suhu, kelembaban, lama penyinaran, angin, dan jumlah air
yang diberikan cenderung sama. Suhu rata-rata saat pagi adalah 25,5oC dan 39,3oC
pada siang hari. Kelembaban pada pagi hari 91,9% dan 50,6% pada siang hari.
Selama penelitian dilakukan penyulaman atau penanaman kembali terhadap
beberapa tanaman yang ditanam pada tanah tailing karena banyak tanaman yang
tidak dapat tumbuh, terutama pada tanaman kontrol yang tidak diberikan
penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah. Tanaman yang ditanam pada
tanah latosol menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan tanaman yang
ditanam pada tanah tailing, bahkan beberapa tanaman yang ditanam pada tanah
latosol sudah mulai berbunga saat tanaman berumur 5 minggu. Hal ini terlihat pada
tanaman dengan penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah.
Gulma yang tumbuh pada media tanam diatasi dengan cara mencabut satu
persatu gulma yang tumbuh. Selain gulma juga terdapat hama pada beberapa
tanaman yang ditanam pada tanah latosol maupun tanah tailing. Hama yang
menyerang berupa kutu daun dan ulat daun.

Gambar 1. Perbandingan tanaman kalopo yang ditanam pada tanah latosol


(kiri) dan tanah limbah tailing (kanan)

Tabel 1. Karakteristik Tanah Limbah Tailing Pongkor dan Latosol Darmaga

Limbah Tailing Latosol Kriteria


Sifat Tanah
Nilai a
Kriteria Nilai b
Kriteria Sedang
pH H2O (pH 1:1) 7.1a netral 4.33b masam 6,6-7,5c
pH KCl (pH 1:1) 5.8a - - -
KTK N NH4O Ac pH 7.0 sangat 17-24c
3.03a 16.64b rendah
rendah
KB (%) 100a sangat tinggi 52b sedang 36-60c
C-org (%) Walkley & Black sangat 2,01-3,00c
0.39a 2.13b sedang
rendah
N-total (%) Kjeldhal sangat 0,21-0,50c
0.05a 0.3b sedang
rendah
P (ppm) Bray I 11.7a rendah 3.8b sangat rendah 16-25c
P (ppm) HCl 25% 119.9a 195.4b 21-40c
Ca (me/100 g) N NH4O Ac pH 7.0 30.75a sangat tinggi 1.25b sedang 6-10c
Mg (me/100 g) N NH4O Ac pH sangat rendah 1,1-2,0c
0.38a 0.5b
7.0 rendah
c
K (me/100 g) N NH4O Ac pH 7.0 0.2a rendah 0.12b sangat rendah 0,4-0,5
Na (me/100 g) N NH4O Ac pH rendah 0,4-0,7c
0.6a sedang 0.3b
7.0
Al (me/100 g) N KCl - 2.02b sangat rendah 21-30c
H (me/100 g) N KCl 0.04a 0.29b -
Fe (ppm) 0.05 N HCl 0.68a 6,48 b 0.5-5c
Cu (ppm) 0.05 N HCl 0.005-
0.32 a 2,64b
0.015c
Zn (ppm) 0.05 N HCl 0.001-
0.52a 6,20 b
0.025c
Pb (ppm) 0.05 N HCl 4.8a - -
Fe (ppm) N HCl 25% 1520.2a - -
Cu (ppm) N HCl 25% 49.6a - -
Zn (ppm) N HCl 25% 37.4a - -
Pb (ppm) N HCl 25% 172a - -
Tekstur pasir (%) 53.35a 9.84b -
Tekstur debu (%) 41.22a 11.4b -
Tekstur liat (%) 5.43a 78.82b -
Keterangan :
a
Setyaningsih, 2007
Limbah Tailing Latosol
b
Rafianty, 2006
c
Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dan Madjid (2009)
Hasil analisis tanah dari laboratorium menghasilkan data tanah yang berupa
angka (kuantitatif). Begitu juga dengan hasil analisis tanah yang digunakan dalam
penelitian ini. Hasil analisa tanah yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari
beberapa sumber melalui studi pustaka. Hasil analisis tanah yang dijadikan kajian
dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan berbagai penelitian, Pusat
Penelitian Tanah pada tahun 1993 melakukan pengklasifikasian kriteria
pengharkatan sifat kimia dan fisika tanah kedalam istilah-istilah yang tidak
kuantitatif (tidak dinyatakan dengan angka-angka, yaitu; sangat rendah, rendah,
sedang, tinggi dan sangat tinggi). Salah satu kegunaan istilah-istilah ini adalah untuk
mencocokkan karakteristik sifat tanah dengan kriteria kesesuaian lahan yang dibuat
oleh PPT/FAO/LREP II untuk suatu komoditas tertentu.
Pada penelitian ini, karakteristik sifat tanah yang diambil dari berbagai
sumber (data sekunder) disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat
diperbandingkan 2 jenis tanah yang berbeda, yaitu Latosol dan Limbah Tailing.
Secara umum, sifat tanah dibagi menjadi 2 (dua) yaitu sifat kimia tanah dan
sifat fisik tanah. Sifat kimia tanah yang disajikan pada Tabel 1, diantaranya adalah
pH, KTK, KB, C-org, N-total, P, Ca, Mg, K, Na, Al, H, Fe, Cu, Zn, sedangkan sifat
fisik tanah yang disajikan pada tabel hanya tekstur tanah (pasir, debu, dan liat).
Deskripsi masing-masing sifat tanah adalah sebagai berikut.
Reaksi tanah (pH). Reaksi tanah merupakan salah satu parameter penting
yang menentukan ketersediaan unsur hara atau mudah tidaknya unsur hara diserap
oleh tanaman. Pada tanah masam misalnya, unsur P kurang tersedia bagi tanaman
karena difiksasi oleh Al, sedangkan pada tanah-tanah alkalis, unsur P juga jarang
tersedia bagi tanaman karena difiksasi oleh Ca. Pada tabel terlihat bahwa limbah
tailing memiliki pH H2O 7,10 (netral), sedangkan Latosol memiliki pH H2O 4,3
(masam). Sementara itu, kisaran pH netral yaitu antara 6,6-7,5. Dalam penelitian ini
digunakan tanaman kalopo yang memiliki karakteristik tahan terhadap kondisi tanah
yang masam, sehingga mampu bertahan dan dapat tumbuh dan berproduksi dengan
baik pada tanah latosol.
KTK. Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca++, Mg++, K+, Na+, NH4+,
H+, Al3+ dan sebagainya. Di dalam tanah, kation-kation tersebut terlarut di dalam air
tanah atau dijerap oleh koloid-koloid tanah. Kapasitas Tukar Kation (KTK) adalah
banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah per satuan
berat tanah (biasanya per 100g). Kapasitas tukar kation merupakan salah satu
indikator kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan
menyediakan unsur hara yang lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Nilai
kapasitas tukar kation ini dipengaruhi oleh jenis dan jumlah fraksi liat, bahan
organik, serta derajat kemasaman tanah. Berdasarkan dari tabel diatas, limbah tailing
memiliki KTK sebesar 3,03 me/100 g (sangat rendah), nilai ini lebih kecil daripada
KTK latosol yaitu 16,64 me/100 g (sedang).
Kejenuhan Basa (KB). Kejenuhan basa (KB) menunjukkan perbandingan
antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan
kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Tanah dengan kejenuhan
basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian
dan merupakan tanah yang subur. KB berhubungan erat dengan pH tanah, dimana
tanah-tanah dengan pH rendah umumnya mempunyai KB rendah, sedangkan tanah-
tanah dengan pH tinggi mempunyai KB yang tinggi pula. Dari tabel dapat dilihat
bahwa KB tanah tailing dan latosol berturut adalah 100% (sangat tinggi) dan 52%
(sedang).
C-organik. C-organik (bahan organik) merupakan sumber unsur hara yang
penting bagi tanaman. Bahan organik dapat memperbesar kapasitas tukar kation
tanah melalui gugus fenolnya. Pengaruh bahan organik secara fisik adalah
meningkatkan pembutiran (granulasi) dan menaikkan kemampuan mengikat H2O.
Bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah. Biasanya pengaruh bahan
organik terhadap sifat fisik maupun kimia tidak sebanding dengan jumlah bahan
organik yang terdapat dalam tanah. Setengah dari kapasitas tukar kation tanah
umumnya berasal dari bahan organik. Bahan organik juga berperan sebagai
pemantap agregat tanah yang baik. Karbon (C) merupakan penyusun bahan organik,
selain Nitrogen (N), Fosfor (P), Sulfur (S) dan unsur-unsur mikro. Kadar bahan
organik dalam lapisan olah tanah pertanian berkisar dari rendah hingga 5% pada
tanah mineral dan bisa mendekati 60% pada tanah organik. Di bawah lapisan olah,
kadar bahan organik memperlihatkan kecenderungan menurun. Besaran kadar C-
organik tanah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya iklim, topografi,
pengelolaan tanah dan kondisi antropogenik lainnya. Dari tabel dapat dilihat bahwa
kandungan C-organik limbah tailing sangat rendah (sebesar 0,39%), sehingga
diperlukan upaya penambahan bahan organik pada tanah tailing agar dapat
dimanfaatkan sehingga menjadi lahan yang produktif. Tanah latosol memiliki
kandungan bahan organik yang sedang (2,13%), sehingga cukup baik untuk
memenuhi standard penggunaan lahan untuk pertanian.
N-total. Unsur Nitrogen merupakan unsur hara yang paling dibutuhkan oleh
tanaman dan termasuk unsur hara makro. Ketersediaan unsur Nitrogen bagi tanaman
di dalam tanah dapat melalui pemupukan, hasil fiksasi N dari udara oleh Rhizobium
sp., atau dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tanah. Nilai N-total pada
limbah tailing dan latosol berturut-turut sebesar 0,05% (sangat rendah) dan 0,3%
(sedang). Nilai N-total yang sangat rendah pada tanah limbah tailing menunjukkan
bahwa tanah limbah tailing memerlukan upaya penambahan unsur N. Dalam hal ini,
penambahan pupuk kandang dari peternakan unggas dapat menjadi solusi dari
rendahnya kandungan N-total dan sekaligus rendahnya kandungan bahan organik
pada tanah limbah tailing.
Fosfor (P) dan Kalium (K). Fosfor dan Kalium merupakan unsur hara
terbanyak yang dibutuhkan oleh tanaman setelah unsur Nitrogen. Bagi tanaman,
unsur fosfor berfungsi dalam proses pembentukan bunga atau saat primordia. Pada
tanaman padi kekurangan unsur P akan mengakibatkan gagalnya pembungaan yang
dapat menggagalkan panen. Dari tabel nilai P dan K pada limbah tailing sebesar 11,7
ppm (Bray I)-rendah dan 0,20 me/100 g (rendah). Sedangkan kandungan P dan K
pada latosol berturut-turut sebesar 3,8 ppm (sangat rendah) dan 0,12 me/100 g
(sangat rendah). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan mikroorganisme yang
berfungsi untuk meningkatkan ketersediaan fosfor dalam tanah merupakan salah satu
solusi bagi ketersediaan unsure fosfor dan kalium yang sangat rendah pada tanah
latosol.
Kalsium (Ca), Natrium (Na), dan Magnesium (Mg). Magnesium dalam tanah
berasal dari mineral mafik (biotit, augit, hornblenda dan amfibol), batukapur dan
garam. Kalsium dalam tanah berasal dari mineral primer (seperti: plagioklas, bitit-
mika, augit, dan lain-lain), garam sederhana dan karbonat. Natrium menentukan
salinitas dalam tanah. Ketiga unsur tersebut termasuk unsur makro, sehingga
ketersediaannya biasanya cukup banyak di dalam tanah. Berdasarkan dari tabel nilai
Ca, Na, dan Mg pada limbah tailing berturut-turut sebesar 30,75 me/100 g (sangat
tinggi), 0,60 me/100 g (sedang), dan 0,38 me/100 g (sangat rendah). Sementara itu,
pada latosol kandungan Ca, Na, dan Mg berturut-turut sebesar 1,25 me/100 g
(sedang), 0,30 me/100 g (rendah), dan 0,50 me/100 g (rendah).
Almunium (Al), Besi (Fe), Tembaga (Cu), Seng (Zn). Unsur-unsur ini sering
disebut unsur mikro. Unsur mikro adalah unsur yang dibutuhkan oleh tanaman dalam
jumlah sedikit. Secara umum unsur ini sangat sedikit dibutuhkan oleh tanaman,
sehingga masa habisnya di dalam tanah cukup lama. Penggunaan lahan yang terus
menerus dapat menyebabkan mempercepat habisnya unsur ini tersedia bagi tanaman.
Pada tabel kandungan Al, Fe, Cu, dan Zn untuk tanah limbah tailing berturut-turut,
0,68 ppm, 0,32 ppm, 0,52 ppm, sedangkan pada tanah latosol adalah 2,02 me/100 g
Al (sangat rendah), 5,24 ppm, 3,74 ppm, 2,81 ppm.
Tekstur tanah. Tekstur tanah merupakan karakteristik sifat fisik tanah.
Tekstur tanah dapat diartikan sebagai proporsi antara pasir, debu dan liat, dengan
satuan persen komposisi dari ketiganya. Tekstur tanah menentukan tata air, tata
udara, kemudahan pengolahan dan struktur tanah. Komposisi pasir, debu dan liat
pada limbah tailing adalah 53,35% pasir, 41,22% debu dan 5,43% liat, dari
komposisi tersebut limbah tailing memiliki tekstur lempung berpasir (sandy loam).
Sementara itu, untuk tanah latosol komposisinya adalah 9,84% pasir, 11,4% debu
dan 78,83% liat, hal ini menunjukkan bahwa tekstur tanah latosol adalah liat (clay)
(Widiatmaka dan Hardjowigeno, 2007)

Pertumbuhan dan Produksi Calopogonium mucunoides Desv.


pada Tanah Latosol
Penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap rataan pertambahan panjang penyebaran pada panen I, dan
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) pada jumlah bintil akar aktif kalopo serta tidak
berpengaruh nyata pada rataan pertambahan panjang penyebaran panen II, jumlah
flash panen I dan II, berat kering tajuk pada panen I dan II, berat kering akar, berat
kering bintil akar aktif, dan persentase infeksi akar. Rataan perlakuan setiap peubah
disajikan pada Tabel 2.
Menurut Buntan (1992) dalam aktivitasnya bakteri pelarut P akan
menghasilkan asam-asam organik diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat,
oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan alfa ketobutirat. Meningkatnya asam-
asam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH, sehingga
mengakibatkan pelarutan P yang terikat oleh Ca, sehingga akan meningkatkan
ketersediaan fosfat dalam tanah.
Penambahan BPF pada perlakuan dengan penambahan FMA dan BPF dan
perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik
memungkinkan peningkatan ketersediaan fosfat dalam tanah. Kandungan fosfor yang
tinggi akan menyebabkan laju fotosintesis meningkat maka akan merangsang
pertumbuhan yang mengakibatkan pertambahan panjang penyebaran tajuk pada
tanaman meningkat.

Tabel 2. Rataan Nilai Setiap Peubah dengan Pemberian Mikroorganisme dan


Pembenah Tanah pada Tanah Latosol.
Peubah

Rataan Rataan BKBA


Perlakuan JDT I JDT II BKT I BKT II BKA JBA aktif IA
PPP I PPP II aktif

(cm/minggu) (helai) (gram/pot) (butir) (gram/pot) (%)


ab A
A 29.13 14.84 23 25 2.85 2.28 0.60 9.9 0.033 12.5
b A
B 21.25 13.56 21 21 2.47 1.79 0.53 8.2 0.064 23.4
ab A
C 27.44 13.78 27 22 3.03 2.09 0.30 9 0.052 20.5
a B
D 36.00 16.98 27 24 2.79 1.82 0.64 4.7 0.026 24.7
a B
E 35.78 17.59 25 26 2.84 2.36 0.51 3.6 0.02 15.8
ab A
F 28.90 14.51 29 26 3.23 2.22 0.81 7.8 0.043 28
a A
G 34.45 15.15 26 25 3.62 1.93 0.80 9.2 0.039 24.7

Keterangan :
Rataan dengan huruf besar pada kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Rataan dengan huruf kecil pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
A (kontrol) ; B (FMA) ; C (FMA + Rhizobium); D (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat) ; E ( FMA + Asam
Humik); F ( FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium) ; G (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat +
Rhizobium + Asam Humik) ; PPP I dan II (Pertambahan Panjang Penyebaran Panen I dan II) ; JDT I
dan II (Jumlah Daun Trifoleat Panen I dan II) ; BKT I dan II (Berat Kering Tajuk Panen I dan II) ;
BKA (Berat Kering Akar) ; JBA aktif (Jumlah Bintil Akar Aktif) ; BKBA Aktif (Berat Kering Bintil
Akar Aktif) ; IA (Infeksi Akar)
Pertambahan Panjang Penyebaran
Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah pada tanaman yang ditanam
pada tanah latosol memberikan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) pada panen
pertama, tetapi tidak berbeda nyata pada panen kedua. Berdasarkan uji lanjut
Duncan, perlakuan dengan penambahan FMA pada panen pertama tidak berbeda
nyata dengan kontrol, perlakuan dengan penambahan FMA dan Rhizobium, dan
perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, tetapi berbeda nyata
(P<0,05) dengan perlakuan dengan penmbahan CMA dan BPF, perlakuan dengan
penambahan FMA dan asam humik, dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF,
Rhizobium, dan asam humik.
Penyediaan fosfor yang tidak memadai akan menyebabkan laju respirasi
menurun, lalu berdampak pada laju fotosintesis. Karena fosfor merupakan bagian
integral tanaman di bagian penyimpanan (storage) dan pemindahan (transfer) energi.
Fosfor terlibat pada penangkapan energi sinar matahari yang sampai pada sebuah
molekul klorofil. Begitu energi tersebut sudah tersimpan dalam ADP (Adenosine
Diphosphate) atau ATP (Adenosine Tri Phosphate), ia dapat dipakai untuk
menjalankan reaksi-reaksi yang memerlukan energi, seperti pembentukan sukrosa,
tepung, dan protein yang penting untuk pertumbuhan vegetatif tanaman terutama
panjang penyebaran.

Jumlah Flash
Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah pada panen I dan II tidak
berpengaruh nyata pada pertambahan jumlah flash. Jumlah flash terbanyak pada
panen I adalah pada perlakuan dengan penambahan FMA,BPF, dan Rhizobium, yaitu
29 helai, sedangkan jumlah flash terbanyak pada panen II adalah perlakuan dengan
penambahan FMA dan asam humik dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF,
dan Rhizobium yaitu 26 helai.
Jumlah flash merupakan salah satu bagian yang menunjukkan pertumbuhan
dan perkembangan tanaman pada fase vegetatif. Jumlah daun juga ikut menentukan
tinggi rendahnya biomassa yang dihasilkan dan mempunyai peranan penting ditinjau
dari fungsi sebagai hijauan pakan. Jumlah daun yang dihasilkan pada panen I relatif
sama dengan panen II. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman pada masa
panen II masih menunjukkan hasil yang positif, dan berarti pula bahwa tanaman
masih dapat beradaptasi dan tumbuh dengan baik sampai dengan umur 10 minggu.
Pertumbuhan tanaman kalopo cenderung mengalami perpanjangan
penyebaran yang lebih baik daripada jumlah daun yang terbentuk. Hal ini diduga
karena sebelum terbentuk daun, fotosintat hasil fotosintesis ditranslokasikan untuk
pembelahan sel sehingga akan lebih meningkatkan panjang penyebaran (Maidasari,
2007).

Berat Kering Akar


Penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata
pada berat kering akar tanaman kalopo. Berat akar tertinggi diperoleh dari tanaman
yang diberi perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, yaitu sebesar
0,81 gram, dan berat akar terendah pada tanaman yang diberi perlakuan dengan
penambahan FMA dan Rhizobium yaitu sebesar 0,30 gram.

Berat Kering Tajuk


Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata
terhadap berat kering tajuk antar perlakuan, baik pada panen I maupun pada panen II.
Berat kering tajuk tertinggi pada panen I diperoleh pada tanaman yang diberi
perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik yaitu
sebesar 3,62 gram, dan berat kering tajuk terkecil pada tanaman yang diberi
perlakuan 2,47 gram. Pada panen II, tanaman yang memiliki berat tajuk terbesar
adalah tanaman yang diberikan perlakuan perlakuan dengan penambahan FMA dan
asam humik yaitu sebesar 2,36 gram, dan tanaman yang memiliki berat tajuk terkecil
adalah tanaman yang diberikan perlakuan perlakuan dengan penambahan FMA yaitu
sebesar 1,79 gram.
Rata-rata berat kering tajuk pada panen I lebih besar dibandingkan berat
kering tajuk pada panen II. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tajuk yang
pesat pada masa awal pertumbuhan tanaman. Perlakuan yang diberikan belum
memberikan pengaruh yang optimal terhadap berat kering tajuk. Hal ini karena
tanaman kalopo memiliki bintil akar yang berfungsi untuk memfiksasi nitrogen dari
udara sehingga bermanfaat bagi tanaman, sehingga tanaman dapat memenuhi
kebutuhan nitrogen untuk pertumbuhannya dari simbiosis dengan Rhizobium yang
menginfeksi rambut akar dan masih dapat memperlihatkan pertumbuhan yang
memuaskan pada tanah asam seperti pada tanah latosol (Safitri, 2008).

Jumlah Bintil Akar Aktif


Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah berpengaruh sangat nyata
terhadap jumlah bintil akar aktif. Berdasarkan uji lanjut Duncan, perlakuan kontrol,
perlakuan dengan penambahan FMA, perlakuan dengan penambahan FMA dan
Rhizobium, perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, dan
perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap perlakuan perlakuan dengan penambahan FMA dan
BPF dan perlakuan dengan penambahan FMA dan asam humik.
Tanaman yang diberi perlakuan dengan FMA tunggal dan interaksi antara
FMA dan Rhizobium menunjukkan hasil yang sangat nyata. Hal ini disebabkan
karena Rhizobium dan mikoriza (FMA) sering berinteraksi secara sinergistik
menghasilkan bintil akar, pengambilan nutriea, dan hasil panen yang lebih baik. Pada
tanah-tanah yang memiliki kandungan P yang rendah, interaksi ini sangat jelas,
terutama dengan tambahan fosfat. Interaksi yang menguntungkan ini sering
ditemukan pada beberapa jenis legum (Rao, 1994).
Kontrol menunjukkan produksi bintil akar aktif yang paling tinggi dan tidak
berbeda nyata dengan perlakuan dengan penambahan FMA, perlakuan dengan
penambahan FMA dan Rhizobium, perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan
Rhizobium, dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam
humik. Hal ini disebabkan karena tanah latosol yang digunakan tidak disterilisasi
terlebih dahulu. Menurut Safitri (2008) adanya mikroorganisme endogen dalam
tanah juga sangat berperan dalam pembentukan bintil akar pada kontrol.

Berat Kering Bintil Akar Aktif


Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata
terhadap berat kering bintil akar aktif. Perlakuan yang memberikan hasil berat kering
bintil akar aktif terbesar adalah perlakuan dengan penambahan FMA yaitu sebesar
0,064 gram, sedangkan yang terkecil adalah perlakuan dengan penambahan FMA
dan asam humik yaitu 0,023 gram. Tetapi keduanya tidak berbeda nyata secara
statistik.
Menurut Rao (1994) keasaman tanah dapat menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan berkurangnya populasi Rhizobium dalam tanah. Keasaman yang cukup
tinggi pada tanah latosol memungkinkan terhambatnya pertumbuhan Rhizobium
sehingga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan.

Persentase Infeksi Akar


Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata
terhadap persentase infeksi akar. Pembentukan mikoriza sangat bergantung pada
tersedianya karbohidrat-karbohidrat sederhana yang berlebihan di dalam akar
tumbuhan. Mikoriza akan berkembang baik jika tumbuhan mendapat cahaya siang
penuh dan status unsur hara dalam kondisi sedikit defisien dalam N dan P (Imas dkk,
1989). Tanaman yang tidak diberikan mikroorganisme dan pembenah tanah masih
mampu menyediakan fotosintat yg berlebih dan digunakan oleh mikoriza untuk
hidup dan berkembang, dan menginfeksi akar tanaman.
Persentase infeksi akar terbesar terdapat pada perlakuan dengan penambahan
FMA, BPF, dan Rhizobium yaitu sebesar 30%, sedangkan persentase infeksi akar
terkecil terdapat pada kontrol yaitu sebesar 12,5%. Data diatas menunjukkan bahwa
seluruh perlakuan penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah memberikan
hasil yang lebih baik dari perlakuan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan FMA tunggal maupun interaksi FMA dengan Rhizobium, asam humik,
dan BPP mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah sehingga
tanaman dapat melakukan fotosintesis yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan
dan aktivitas infeksi oleh FMA.

Pertumbuhan dan Produksi Calopogonium mucunoides Desv. Pada Tanah


Tailing
Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah berbeda sangat nyata
(P<0,01) terhadap berat kering tajuk dan infeksi akar, tetapi tidak berbeda nyata
terhadap pertambahan panjang penyebaran, jumlah flash, berat kering akar, jumlah
bintil akar aktif, dan berat bintil akar aktif. Rataan perlakuan tiap peubah pada media
tailing disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Nilai Setiap Peubah dengan Pemberian Mikroorganisme dan


Pembenah Tanah pada Tanah Tailing
Peubah
Perlakuan Rataan PPP
JDT BKT (g/pot) BKA (g/pot) IA (%)
(cm/minggu)
C
A 0.07 2 0.00 0.00 1.8C
B 4.61 6 0.60BC 0.33 23BCC
C 0.78 3 0.03C 0.24 17.4CC
D 2.45 10 0.87AB 0.23 28.6ABC
E 2.78 9 0.61BC 0.24 10.7CC
F 3.59 12 0.72BC 0.43 37.9AB
G 5.92 12 1.50A 0.23 43.7A
Keterangan :
Rataan dengan huruf besar pada kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Rataan dengan huruf kecil pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
A (kontrol) ; B (FMA) ; C (FMA + Rhizobium); D (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat) ; E ( FMA + Asam
Humik); F ( FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium) ; G (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat +
Rhizobium + Asam Humik) ; PPP (Pertambahan Panjang Penyebaran) ; JDT (Jumlah flash) ; BKT
(Berat Kering Tajuk) ; BKA (Berat Kering Akar) ; IA (Infeksi Akar)

Pertambahan Panjang Penyebaran


Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata
terhadap pertambahan panjang penyebaran. Perlakuan perlakuan dengan
penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium memiliki rata-rata pertambahan panjang
penyebaran yang paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Sedangkan
perlakuan C memiliki rata-rata pertambahan panjang penyebaran yang terkecil yaitu
0,07 cm/minggu.
Tailing memiliki kandungan tekstur yang didominasi oleh fraksi liat
(78,82%), cenderung bersifat basa dengan pH mencapai 7,1, nilai KTK cukup
rendah, dengan kandungan Ca terlarut sangat tinggi, yang diikuti dengan rendahnya
ketersediaan unsur hara esensial seperti P, N, K, serta Mg. Kandungan C-organik
sangat rendah, selain itu juga tailing memiliki jumlah unsur mikro logam terlarut
seperti Pb yang sangat tinggi (4,80 ppm). Salah satu mekanisme yang
memungkinkan Pb meracuni tanaman adalah adanya reaksi ion Pb dengan gugus
fosfat sehingga mempengaruhi pembentukan ADP ataupun ATP pada tanaman yang
digunakan sebagai energi untuk proses fotosintesis dan respirasi (Setyaningsih,
2007). Hal ini menyebabkan proses fotosintesis tanaman terganggu dan
menyebabkan pertambahan panjang penyebaran tanaman tidak signifikan.

Jumlah Flash
Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata
terhadap jumlah flash. Pada tanaman yang ditanam pada media tailing sangat jelas
terlihat jumlah daun yang rontok dan mati sangat banyak, sehingga jumlah daun yang
bertahan sangat sedikit. Gejala-gejala kekurangan fosfor tidak lekas tampak jelas
seperti jika kekurangan nitrogen. Gejala yang timbul adalah pertumbuhan yang
terhambat, daun menjadi hijau tua, kadang-kadang tampak juga pembentukan
antosianin yang berlebihan. Pada lembaran dan tangkai daun tampak bagian-bagian
yang mati dan akhirnya daun dapat rontok (Setyaningsih, 2007).

Berat Kering Akar


Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata
terhadap berat kering akar. Tekstur tailing yang liat dan tidak berpori atau tidak
berrongga akan menghambat akar untuk menembus media tailing. Kondisi media
tailing yang liat dan agregat yang padat serta kompak menyulitkan akar tanaman
menembus dan mengambil unsur hara (Maulidesta, 2005). Tekstur tailing yang padat
juga akan mengurangi persediaan oksigen pada sistem perakaran tanaman karena
kandungan logam berat dalam tanah lebih tinggi daripada kandungan oksigen tanah.
Hal ini akan menyebabkan pertumbuhan akar terganggu.

Berat Kering Tajuk


Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah berpengaruh sangat nyata
terhadap berat kering tajuk. Berdasarkan uji lanjut Duncan, perlakuan dengan
penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik tidak berbeda nyata dengan
perlakuan dengan penambahan FMA dan BPF, tetapi berbeda sangat nyata dengan
kontrol, perlakuan dengan penambahan FMA, perlakuan dengan penambahan FMA
dan Rhizobium, perlakuan dengan penambahan FMA dan asam humik, dan perlakuan
dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium.
Berat kering lebih banyak digunakan untuk mengukur pertumbuhan dan
produktivitas tanaman karena kandungan airnya tidak terlalu beragam (Salisbury et.
al, 1995). Berat kering tajuk yang diperoleh sesuai dengan pertambahan panjang
penyebaran dan jumlah daun yang dihasilkan oleh setiap tanaman yang diberi
perlakuan maupun kontrol. Data diatas menunujukkan bahwa terjadi interaksi antara
mikroorganisme dan pembenah tanah yang berdampak kepada berat kering tajuk
yang sangat berbeda nyata antara tanaman yang tidak diberikan mikroorganisme dan
pembenah tanah, dengan tanaman yang diberikan mikroorganisme dan pembenah
tanah. Kombinasi terbaik untuk meningkatkan berat kering tajuk adalah dengan
menambahkan FMA, Rhizobium, BPF, dan Asam Humik.
Terjadinya peningkatan berat kering tajuk ini berhubungan dengan pengaruh
asam humik dalam meningkatkan penyerapan hara, baik hara makro maupun mikro.
Asam humik dapat meningkatkan permeabilitas membran sel yang pada akhirnya
dapat meningkatkan penyerapan hara yang kemudian menjadi tersedia dengan
adanya aktivitas mikroorganisme FMA, Rhizobium, dan BPF. Banyaknya akar
dengan permeabilitas membran yang tinggi akan menguntungkan bagi proses
kolonisasi akar oleh mikoriza. Karena proses kolonisasi akan lebih mudah terjadi
pada akar-akar dengan permeabilitas membran yang tinggi (Delvian, 2007). Dengan
demikian terjadi simbiosis mutualistik bagi perkembangan tanaman dengan
mikroorganisme FMA, Rhizobium, dan BPF.

Jumlah Bintil Akar Aktif


Sebagian tanaman yang ditanam pada tanah tailing tidak menghasilkan bintil
akar. Hanya 1 tanaman yang menghasilkan bintil akar, yaitu tanaman dengan
perlakuan dengan penambahan FMA dan asam humik dengan jumlah bintil akar aktif
3 butir dan dengan berat kering 0,0079 gram. Bintil akar terbentuk karena aktivitas
Rhizobium yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Bakteri Rhizobium dapat
bersimbiosis dengan menginfeksi akar tanaman legum dan membentuk bintil akar di
dalamnya. Secara umum Rhizobium membutuhkan karbohidrat, vitamin, dan mineral
dari tanaman inangnya untuk pertumbuhannya. Semua tanaman baik yang diberikan
mikroorganisme dan pembenah tanah maupun kontrol tidak mampu menyediakan
fotosintat yang cukup untuk digunakan oleh Rhizobium untuk hidup dan
menghasilkan bintil akar.

Persentase Infeksi Akar


Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian mikroorganisme dan
pembenah tanah berpengaruh sangat nyata terhadap infeksi akar tanaman kalopo.
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, perlakuan dengan penambahan FMA, BPF,
Rhizobium, dan asam humik berbeda nyata dengan kontrol, perlakuan dengan
penambahan FMA, perlakuan dengan penambahan FMA dan Rhizobium, dan
perlakuan dengan penambahan FMA dan asam humik.
Menurut Harley dan Smith (1997), peningkatan efisiensi dari penerimaan
nutrisi dengan adanya fungi tergantung kepada proses penting yaitu pengambilan
nutrisi oleh miselium dalam tanah, translokasi untuk beberapa jarak dalam hifa untuk
struktur fungi inter radikal dalam akar, kemudian memindahkan ke sel tanaman
melewati permukaan yang kompleks di antara simbion. Dengan demikian jumlah
infeksi yang banyak belum tentu menunjukkan bahwa semua fungi atau hifa
melewati ketiga proses tersebut, yang akhirnya berpengaruh terhadap pengambilan
nutrisi yang akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pernyataan tersebut
membuktikan bahwa akar yang banyak terinfeksi FMA belum tentu efektif dalam
meningkatkan pertumbuhan tanaman pada media tailing (Safitri, 2008).

Peranan Penambahan Mikroorganisme dan Pembenah Tanah pada


Masing-masing Penelitian

Penelitian yang dilakukan pada tanah latosol menunjukkan hasil yang sangat
beragam. Penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah secara umum
menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan dan produksi kalopo
yang ditanam pada tanah latosol.
Penelitian yang dilakukan pada tanah limbah tailing menunjukkan perlakuan
yang secara konsisten menunjukkan mampu meningkatkan pertumbuhan dan
produksi kalopo yang baik adalah perlakuan dengan penambahan FMA, BPF,
Rhizobium, dan asam humik, perlakuan dengan penambahan FMA dan BPF,
perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, dan perlakuan dengan
penambahan FMA.
Pada peubah Pertambahan Panjang Penyebaran, perlakuan yang
menunjukkan hasil yang paling baik berturut-turut adalah perlakuan dengan
penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik, perlakuan dengan
penambahan FMA, dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium.
Pada peubah berat kering tajuk, perlakuan yang menunjukkan hasil yang paling baik
berturut-turut adalah perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan
asam humik, perlakuan dengan penambahan FMA dan BPF, dan perlakuan dengan
penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium. Sedangkan pada peubah infeksi akar,
perlakuan yang menunjukkan hasil yang paling baik berturut-turut adalah perlakuan
dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik, perlakuan dengan
penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, dan perlakuan dengan penambahan FMA
dan BPF.
Data tersebut diatas dapat menunjukan bahwa untuk meningkatkan
pertambahan panjang penyebaran, hanya diperlukan perlakuan yang cukup sederhana
yaitu dengan penambahan FMA. Tetapi untuk mendapatkan hasil yang optimal,
dibutuhkan perlakuan dengan penambahan FMA, bakteri pelarut fosfat, Rhizobium,
dan asam humik. Untuk meningkatkan berat kering tajuk, perlakuan yang dapat
diberikan adalah dengan penambahan FMA dan BPF. Penambahan Rhizobium
kurang tepat untuk meningkatkan produksi berat kering tajuk, karena dengan hanya
dengan penambahan FMA dan BPF sudah dapat memberikan hasil yang lebih baik
dari perlakuan dengan penambahan FMA, bakteri pelarut fosfat, dan Rhizobium.
Tetapi untuk mendapatkan hasil yang optimal, dibutuhkan perlakuan dengan
penambahan FMA, bakteri pelarut fosfat, Rhizobium, dan asam humik. Sedangkan
untuk peubah persentase infeksi akar, penambahan FMA, bakteri pelarut fosfat,
Rhizobium dan asam humik menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan hanya
dengan penambahan FMA saja, penambahan FMA dan Rhizobium, FMA dan asam
humik, atau tanpa penambahan sama sekali.
Data yang dihasilkan pada penelitian pada tanah limbah tailing menunjukkan
bahwa dibutuhkan interaksi antara asam humik dengan mikroorganisme tanah untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produksi kalopo pada tanah tailing. Mikroorganisme
yang efektif untuk meningkatkan pertambahan panjang penyebaran adalah FMA.
Selain itu untuk meningkatkan produksi berat kering tajuk, mikroorganisme yang
efektif adalah FMA dan BPF. Sedangkan untuk meningkatkan persentase infeksi
akar, dibutuhkan kombinasi mikroorganisme yang kompleks yaitu FMA, BPF, dan
sekaligus Rhizobium.
Hal ini dikarenakan tanaman kalopo dapat beradaptasi dengan baik pada
tanah latosol yang termasuk tanah marginal. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi
tanaman kalopo yang ditanam pada tanah limbah tailing, karena pada tanah limbah
tailing selain ketersediaan unsur hara yang sangat sedikit, juga terdapat kandungan
unsur logam berat. Nilai unsur logam di dalam contoh tailing berkisar 5-102 ppm Cu,
15-1242 ppm Pb dan 44-1960 ppm Zn. Kadar logam Pb dan Cu yang relatif tinggi
tersebut berhubungan langsung dengan proses pengolahan emas dengan cara
amalgamasi dimana mineral sulfida logam, khususnya Cu, Pb dan Zn, bersama
dengan logam merkuri (Hg) terbuang sebagai tailing (Setyaningsih, 2007). Hal ini
yang membuat pertumbuhan kalopo terhambat, karena keracunan logam berat.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah pada tanah latosol belum
cukup efektif untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman Calopogonium mucunoides
Desv. karena tanaman masih bisa beradaptasi dan tumbuh dengan baik pada tanah
latosol meskipun tanpa penambahan mikroorganisme dan asam humik. Hal tersebut
ditunjukkan dengan hasil yang hanya berpengaruh nyata pada peubah pertambahan
panjang penyebaran pada panen I dan berpengaruh sangat nyata pada peubah jumlah
bintil akar aktif.
Tanaman yang ditanam pada tanah tailing sangat memerlukan penambahan
mikroorganisme dan pembenah tanah untuk bisa tumbuh pada tanah tailing.
Tanaman yang ditanam pada tailing memberikan respon terbaik dengan penambahan
Mikoriza, BPF, Rhizobium, dan asam humik terhadap berat kering tajuk dan infeksi
akar oleh mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan peran mikroorganisme
dan pembenah tanah secara bersamaan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman
Calopogonium mucunoides Desv. yang ditanam pada tanah tailing.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui level penambahan
mikroorganisme dan pembenah tanah yang paling optimal untuk tanah tailing. Selain
itu, dibutuhkan penambahan bahan organik untuk meningkatkan kandungan bahan
organik pada tanah tailing.
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan segala limpahan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurah untuk tauladan sepanjang masa,
Rasulullah SAW.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, Mas Dian, dan
Mba Wati tercinta yang selalu memberikan doa, kasih sayang, kesabaran, nasehat,
bimbingan moral maupun materil yang tiada henti kepada penulis. Semoga penulis
dapat memenuhi harapan dan memberikan yang terbaik. Amin.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Panca Dewi
MHKS, MSi sebagai dosen pembimbing utama dan Nur Rochmah Kumalasari, S.Pt,
MSi sebagai dosen pembimbing anggota yang selalu sabar dalam mengarahkan,
membimbing, dan memberi motivasi selama penelitian dan penulisan skripsi. Selain
itu juga kepada Ir. Kukuh Budi Satoto. MS dan Ir. Hj. Komalasari, MSi sebagai
dosen penguji pada ujian sidang. Dosen, staf dan laboran Departemen Ilmu Nutrisi
dan Teknologi Pakan dan Laboratorium Agrostologi yang telah membantu selama
penelitian berlangsung, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.
Terima kasih kepada teman-teman sepenelitian Ratih, Rizky, Dewi, dan
Denita atas bantuan, persahabatan dan semangat serta dukungannya selama
penelitian dan penulisan tugas akhir ini. Penulis juga berterimakasih kepada teman-
teman INTP angkatan 40, 41, dan 42, serta keluarga besar F3, Rabithah Farm, ID,
TPI dan Tim Al Hurriyyah 1428 H yang telah memberikan motivasi, dukungan,
persaudaraan dan kebersamaan selama penelitian dan penulisan skripsi.
Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, serta seluruh civitas akademika Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang
membaca dan bagi dunia Peternakan.

Bogor, Juli 2010

Penulis
DAFTAR PUSTAKA

Buntan, A. 1992. Efektivitas bakteri pelarut dan kompos terhadap peningkatan


serapan fosfor dan efisiensi pemupukan fosfor pada tanaman jagung. Tesis.
Program Pasca Sarjana IPB. Bogor
Delvian. 2007. Penggunaan asam humik dalam kultur trapping fungi mikoriza
arbuskula dari ekosistem dengan salinitas tinggi. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian
Indonesia. 9 : 124 129
Hakim, N, M. Yusuf, A.M. Lubis, G.N. Sutopo, M. Amin, G.B. Hong & H.H.
Barley. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung.
Lampung
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Presindo.
Jakarta
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta Harley, J. L dan
S. E. Smith. 1997. Myccorrhizal Symbions. Academic Press. London
Hardjowigeno, S & Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tata Guna Lahan. Gadjahmada University Press. Yogyakarta
Harley, J. L & S. E. Smith. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press. London
Herman, D. Z. 2006. Tinjauan terhadap tailing mengandung unsur pencemar Arsen
(As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) dari sisa pengolahan
bijih logam. Jurnal Geologi Indonesia. 1 : 31 - 36
Imas, T., R. S. Hadioetomo, A. W. Gunawan & Y. Setiadi. 1989. Mikrobiologi
Tanah II. PAU Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Lakitan, B. 2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta
Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian
Unsri & Prodi Ilmu Tanaman, Program S2, Program Pascasarjana,
Universitas Sriwijaya. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia.
Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. [Februari 2010]
Magdalena, M. 2005. Paradoks, Kepentingan Usaha Pertambangan dan Lingkungan.
http://www.bppt.go.id.html. [22 Juli 2007]
Maidasari. 2007. Pengaruh penambahan bioenzim, bioaktivator, asam humik, dan
FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam) de Witt). Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Maulidesta, N. 2005. Efek pemberian mikoriza dan pembenah tanah terhadap
produksi leguminosa pada media tailing liat dari pasca penambangan timah.
Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Notohadiprawiro, T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
Purwanto. 2007. Mengenal Lebih Dekat Tanaman Leguminosa. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta
Rafianty, D. 2006. Efektivitas pupuk urea dan ZA dengan penambahan pupuk TSP
terhadap pertumbuhan dan serapan hara tanaan jagung (Zea mays L.) pada
latosol Draaga. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rao, N.S.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI Press.
Jakarta
Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Safitri, R. 2008. Pemberian mikroorganisme dan asam humik pada tanah latosol dan
tailing untuk memperbaiki pertumbuhan dan produksi Centrosema pubescens
Benth. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Salisbury, F. B. & C. W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. ITB. Bandung
Sanchez, P. A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika, jilid 2 Pedro A Sanchez ;
Terjemahan Amir Hamzah. Penerbit ITB. Bandung
Setyaningsih, L. 2007. Pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula dan kompos aktif
untuk meningkatkan pertumbuhan semai mindi (Melia azedarach LINN)
pada media tailing tambang emas pongkor. Tesis. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Steel, R. G. D. & J.H Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan
Biometrik. Terjemahan: M. Syah. PT. Gramedia. Jakarta
Sutedjo,M. M, A. G. Kartasapoetra, & R. D. S. Sastroatmodjo. 1991. Mikrobiologi
Tanah. Rineka Cipta. Jakarta
Tan, K. H. 1997. Principles of Soil Chemistry. Marcell Dekker, Inc, New York,
Bacel an Hongkong
Widawati, S & Suliasih. 1999. Status populasi bakteri pelarut fosfat (BPF) pada
kondisi lahan pasca reklamasi. Jurnal Reklamasi Lahan Bekas Penambangan
Emas Jampang. Hal. 97-108
LAMPIRAN
Lampiran 1. ANOVA Pertambahan Panjang Penyebaran Panen I Calopogonium
mucunoides Desv. pada Tanah Latosol
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Model Koreksi 7781,336(a) 6 1296,889 2,960 0,023
Intersep 291519,119 1 291519,119 665,417 0,000
Perlakuan 7781,336 6 1296,889 2,960 0,023
Eror 12266,799 28 438,100
Total 311567,255 35
Total Koreksi 20048,135 34

Lampiran 2. ANOVA Berat Kering Tajuk Panen I Calopogonium mucunoides Desv.


pada Tanah Latosol
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Model Koreksi 3,707a 6 0,618 0,879 0,523


Intersep 304,293 1 304,293 432,827 0,000
Perlakuan 3,707 6 0,618 0,879 0,523
Eror 19,685 28 0,703
Total 327,685 35
Total Koreksi 23,392 34

Lampiran 3. ANOVA Jumlah Flash Panen I Calopogonium mucunoide sDesv. pada


Tanah Latosol
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.
a
Model Koreksi 994,68 6 165,78 0,96 0,46
Intersep 101090,31 1 101090,31 586,03 0,00
Perlakuan 994,68 6 165,78 0,96 0,46
Eror 4830,00 2 172,50
Total 106915,00 3
Total Koreksi 5824,68 3
Lampiran 4. ANOVA Pertambahan Panjang Penyebaran Calopogonium mucunoides
Desv. Panen II pada Tanah Latosol

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Model Koreksi 1133,550(a) 6 188,925 0,645 0,694


Intersep 129382,400 1 129382,400 441,764 0,000
Perlakuan 1133,550 6 188,925 0,645 0,694
Eror 8200,550 28 292,877
Total 138716,500 35
Total Koreksi 9334,100 34

Lampiran 5. ANOVA Jumlah Flash Calopogonium mucunoides Desv. Panen II pada


Tanah Latosol
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Model Koreksi 3994,800(a) 6 665,800 1,716 0,154


Intersep 277235,000 1 277235,000 714,707 0,000
Perlakuan 3994,800 6 665,800 1,716 0,154
Eror 10861,200 28 387,900
Total 292091,000 35
Total Koreksi 14856,000 34

Lampiran 6. ANOVA Berat Kering Akar Calopogonium mucunoides Desv. Panen II


pada Tanah Latosol

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Model Koreksi 0,920(a) 6 0,153 1,346 0,271


Intersep 12,636 1 12,636 110,947 0,000
Perlakuan 0,920 6 0,153 1,346 0,271
Eror 3,189 28 0,114
Total 16,745 35
Total Koreksi 4,109 34
Lampiran 7. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. Panen
II pada Tanah Latosol
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Model Koreksi 1,557(a) 6 0,260 1,457 0,230


Intersep 144,750 1 144,750 812,886 0,000
Perlakuan 1,557 6 0,260 1,457 0,230
Eror 4,808 27 0,178
Total 151,928 34
Total Koreksi 6,365 33

Lampiran 8. ANOVA Jumlah Bintil Akar Aktif Calopogonium mucunoides Desv.


Panen II pada Tanah Latosol
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Model Koreksi 159,943(a) 6 26,657 5,140 0,001


Intersep 2082,857 1 2082,857 401,653 0,000
Perlakuan 159,943 6 26,657 5,140 0,001
Eror 145,200 28 5,186
Total 2388,000 35
Total Koreksi 305,143 34

Lampiran 9. ANOVA Berat Kering Bintil Akar Aktif Calopogonium mucunoides


Desv. Panen II pada Tanah Latosol

Sumber
Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman
Model Koreksi 0,004(a) 6 0,001 1,663 0,167
Intersep 0,041 1 0,041 97,700 0,000
Perlakuan 0,004 6 0,001 1,663 0,167
Eror 0,012 28 0,000
Total 0,057 35
Total Koreksi 0,016 34
Lampiran 10. ANOVA Persentase Infeksi Akar Calopogonium mucunoides Desv.
Panen II pada Tanah Latosol
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Model Koreksi 0,097(a) 6 0,016 2,234 0,069


Intersep 1,641 1 1,641 225,718 0,000
Perlakuan 0,097 6 0,016 2,234 0,069
Eror 0,204 28 0,007
Total 1,942 35
Total Koreksi 0,301 34

Lampiran 11. Hasil Uji Lanjut Duncan Pertambahan Panjang Penyebaran


Calopogonium mucunoides Desv. Panen I pada Tanah Latosol
Perlakuan N Subset
1 2
B 5 63,7600
C 5 82,3200 82,3200
F 5 86,7100 86,7100
A 5 87,3880 87,3880
G 5 103,3400
E 5 107,3300
D 5 108,0000
Sig. 0,113 0,097

Lampiran 12. Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah Bintil Akar Aktif Calopogonium
mucunoides Desv. pada Tanah Latosol
Perlakuan N Subset
1 2
E 5 4,0000
D 5 5,0000
F 5 8,0000
B 5 8,4000
C 5 9,2000
G 5 9,4000
A 5 10,0000
Sig. 0,493 0,225
Lampiran 13. ANOVA Partambahan Panjang Penyebaran Calopogonium
mucunoides Desv. pada Tanah Tailing
Sumber
Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman
Model Koreksi 1133,550(a) 6 188,925 0,645 0,694
Intersep 129382,400 1 129382,400 441,764 0,000
Perlakuan 1133,550 6 188,925 0,645 0,694
Eror 8200,550 28 292,877
Total 138716,500 35
Total Koreksi 9334,100 34

Lampiran 14. ANOVA Jumlah Flash Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah
Tailing
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Model Koreksi 3877,886(a) 6 646,314 2,742 0,032


Intersep 17338,314 1 17338,314 73,570 0,000
Perlakuan 3877,886 6 646,314 2,742 0,032
Eror 6598,800 28 235,671
Total 27815,000 35
Total Koreksi 10476,686 34

Lampiran 15. ANOVA Berat Kering Akar Calopogonium mucunoides Desv. pada
Tanah Tailing
Sumber
Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman
Model Koreksi 0,510(a) 6 0,085 0,892 0,514
Intersep 2,064 1 2,064 21,680 0,000
Perlakuan 0,510 6 0,085 0,892 0,514
Eror 2,666 28 0,095
Total 5,240 35
Total Koreksi 3,176 34
Lampiran 16. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. pada
Tanah Tailing
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Model Koreksi 7,899(a) 6 1,317 5,098 0,001


Intersep 13,392 1 13,392 51,857 0,000
Perlakuan 7,899 6 1,317 5,098 0,001
Eror 7,231 28 0,258
Total 28,523 35
Total Koreksi 15,130 34

Lampiran 17. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. Pada
Tanah Tailing
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.

Model Koreksi 0,733(a) 6 0,122 5,159 0,001


Intersep 2,030 1 2,030 85,696 0,000
Perlakuan 0,733 6 0,122 5,159 0,001
Eror 0,663 28 0,024
Total 3,426 35
Total Koreksi 1,396 34

Lampiran 18. Hasil Uji Lanjut Duncan Berat Kering Tajuk Calopogonium
mucunoides Desv. pada Tanah Tailing
Perlakuan N Subset
1 2 3
A 5 0,000000
C 5 0,030000
B 5 0,600000 0,600000
E 5 0,610000 0,610000
F 5 0,720000 0,720000
D 5 0,870000 0,870000
G 5 1,500000
Sig. 0,053 0,451 0,060
Lampiran 19. Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah flash Calopogonium mucunoides
Desv. pada Tanah Tailing
Perlakuan N Subset
1 2
A 5 7,60
B 5 11,00
C 5 19,80
D 5 23,00 23,00
E 5 25,80 25,80
F 5 26,40 26,40
G 5 42,20
Sig. 0,098 0,080

Lampiran 20. Hasil Uji Lanjut Duncan Persentase Infeksi Akar Calopogonium
mucunoides Desv. pada Tanah Tailing
Perlakuan N Subset
1 2 3 4
A 5 .018003
E 5 .107859 .107859
C 5 .175890 .175890
B 5 .233385 .233385 .233385
D 5 .295363 .295363 .295363
F 5 .394065 .394065
G 5 .461241
Sig. .051 .088 .129 .118

Anda mungkin juga menyukai