SKRIPSI
DYAH SETYORINI
SKRIPSI
DYAH SETYORINI
Oleh:
DYAH SETYORINI
D24103075
Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
Mengetahui,
Dekan Fakultas Peternakan
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
karuniaNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi
yang berjudul Peranan Mikroorganisme dan Pembenah Tanah untuk Meningkatkan
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah
Latosol dan Tanah Limbah Tailing.
Pembangunan Peternakan Indonesia tidak terlepas dari tuntutan ketersediaan
pakan yang berkualitas dan tersedia sepanjang waktu. Berbagai upaya perlu
dilakukan untuk menjaga ketersediaan hijauan, diantaranya adalah dengan
pemanfaatan lahan-lahan marginal bahkan lahan yang tercemar untuk mengatasi
permasalahan ketersediaan lahan yang kurang.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan
mikroorganisme dan pembenah tanah yang sangat efektif untuk memperbaiki kondisi
fisik dan kimia tanah, meningkatkan penyerapan unsur hara, dan mampu menjerap
logam berat dari dalam tanah yang tercemar logam berat. Selain itu, metode ini juga
sangat menunjang pelestarian lingkungan dan lebih efisien dibandingkan penggunaan
pupuk non-organik.
Selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi, banyak
pelajaran dan masukan yang sangat berarti untuk mengembangkan potensi dan
mengatasi permasalahan dalam kaitannya dengan dunia peternakan. Maka hasil dari
penelitian dan penyusunan skripsi ini juga diharapkan dapat menjadi sumber ilmu
yang bermanfaat bagi mahasiswa maupun masyarakat luas, sehingga mampu
memberikan kontribusi bagi pembangunan peternakan Indonesia.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ........ i
ABSTRACT ...... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............. vi
KATA PENGANTAR ....... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xii
PENDAHULUAN ................................................................................. 1
Latar Belakang ........................................................................... 1
Tujuan ........................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
Calopogonium mucunoides Desv .............................................. 3
Tanah Latosol ............................................................................ 4
Limbah Tailing .......................................................................... 5
Mikoriza ..................................................................................... 7
Asam Humik .............................................................................. 8
Mikroorganisme Pelarut Fosfat . ................................................ 10
Rhizobium .................................................................................. 11
MATERI DAN METODE ..................................................................... 13
Lokasi dan Waktu ...................................................................... 13
Materi ......................................................................................... 13
Metode Penelitian ...................................................................... 13
Rancangan ................................................................................. 13
Model Statistik ........................................................................... 14
Analisis Data .............................................................................. 14
Prosedur ..................................................................................... 14
Peubah yang diamati .................................................................. 16
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 18
Keadaan Umum ........................................................................ 18
Pertumbuhan dan Produksi Calopogonium mucunoides
Desv. Pada Tanah Latosol ........................................................ 23
Pertambahan Panjang Penyebaran ............................................ 25
Jumlah Flash ............................................................................. 25
Berat Kering Akar .................................................................... 26
Berat Kering Tajuk ................................................................... 26
Jumlah Bintil Akar Aktif .......................................................... 27
Berat Kering Bintil Akar Aktif .................................................. 27
Persentase Infeksi Akar ............................................................. 28
Pertumbuhan dan Produksi Calopogonium mucunoides
Desv. pada Tanah Tailing ............. ............................................ 28
Pertambahan Panjang Penyebaran ............................................. 29
Jumlah Flash .............................................................................. 30
Berat Kering Akar ..................................................................... 30
Berat Kering Tajuk . ................................................................... 30
Jumlah Bintil Akar Aktif ........................................................... 31
Persentase Infeksi Akar ............................................................. 32
Peranan Penambahan Mikroorganisme dan Pembenah
Tanah pada Masing-masing Penelitian ...................................... 32
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 35
Kesimpulan ................................................................................ 35
Saran .......................................................................................... 35
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 37
LAMPIRAN .......................................................................................... 39
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Karakteristik Tanah Limbah Tailing Pongkor dan Latosol
Darmaga .... 19
2. Rataan Nilai Setiap Peubah dengan Pemberian Mikroorganisme
dan Pembenah Tanah pada Tanah Latosol .................................... 24
Nomor Halaman
Nomor Halaman
12. Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah Bintil Akar Aktif Calopogonium
mucunoides Desv. Pada Tanah Latosol .. 43
Latar Belakang
Pembangunan peternakan harus didukung dengan pengembangan penyediaan
pakan ternak. Pakan yang cukup dan berkualitas merupakan kebutuhan mutlak yang
harus dipenuhi dalam usaha peternakan. Penyediaan pakan jenis hijauan diawali dari
penanaman dan pemeliharaan tanaman makanan ternak itu sendiri. Selain jenis
rumput, hijauan makanan ternak yang memiliki kandungan nutrisi baik bagi ternak
adalah jenis legum. Salah satu jenis legum yang bernilai gizi baik, mudah
dikembangkan, dan memiliki kemampuan untuk merehabilitasi lahan yang kurang
subur adalah Calopogonium mucunoides Desv atau biasa disebut kalopo.
Produksi tanaman makanan ternak sering mengalami masalah dari segi
ketersediaan dan kualitas lahan. Hal ini karena lahan yang tersedia untuk tanaman
makanan ternak adalah lahan-lahan yang kesuburannya rendah, diantaranya tanah
latosol dan tanah pasca penambangan (tailing). Tanah latosol merupakan tanah yang
banyak terdapat di Indonesia. Namun permasalahannya, tanah latosol memiliki
kapasitas tukar kation yang rendah, sehingga membutuhkan pemupukan untuk
memperbaiki kondisi tanah. Sementara limbah tailing pertambangan emas seperti
yang terdapat di daerah Pongkor memiliki pH cenderung basa, nilai KTK cukup
rendah dengan kandungan Ca terlarut sangat tinggi, yang diikuti dengan rendahnya
ketersediaan unsur hara esensial seperti P, N, K juga Mg. Kondisi ini juga diperparah
dengan kandungan C-organik yang sangat rendah dan jumlah unsur mikro terlarut
seperti Pb yang cukup tinggi (Setyaningsih, 2007). Sifat-sifat tailing yang ekstrim
tersebut, memerlukan perbaikan pada tanah latosol dan tanah limbah tailing agar
dapat digunakan sebagai media tanam.
Upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah latosol dan tanah tailing adalah
dengan cara pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah. Mikroorganisme yang
diduga efektif untuk memperbaiki kondisi kedua jenis tanah tersebut dan dapat
berinteraksi dengan baik dengan tanaman kalopo adalah mikoriza, bakteri pelarut
fosfat, dan Rhizobium. Mikoriza sangat berperan karena mampu menginfeksi sistem
perakaran tanaman inang, yang kemudian akan memproduksi jalinan hifa secara
intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya
dalam menyerap unsur hara dan air. Bakteri pelarut fosfat dalam hal ini juga dapat
ditambahkan dalam memperbaiki kondisi limbah tailing tambang emas yang mampu
mengekstrak P dari bentuk yang tidak tersedia menjadi bentuk yang dapat digunakan
tanaman. Rhizobium juga sangat membantu dalam proses fiksasi nitrogen dan
berpengaruh terhadap hasil panen.
Pembenah tanah yang diduga efektif untuk meningkatkan ketersediaan unsur
hara dalam tanah, serta mampu menjerap mineral adalah asam humik. Asam humik
juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara sehingga dapat dimanfaatkan oleh
tumbuhan untuk tumbuh lebih optimal
Kondisi tanah latosol yang miskin unsur hara dan tingginya kandungan logam
berat dalam tanah tailing menyebabkan produktivitas tanah tersebut rendah.
Sementara kedua jenis tanah tersebut banyak ditemui di Indonesia dan banyak yang
dimanfaatkan sebagai lahan tempat tumbuh tanaman hijauan makanan ternak seperti
kalopo. Penambahan Mikoriza, Rhizobium, Bakteri Pelarut Fosfat, dan Asam Humik
diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah dan penyerapan
unsur hara yang diperlukan tanaman, serta membantu menjerap logam berat sehingga
dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kalopo.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui peranan mikroorganisme potensial tanah dan pembenah tanah untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman legum kalopo yang tumbuh
pada tanah latosol.
2. Mengetahui peranan mikroorganisme potensial tanah dan pembenah tanah untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman legum kalopo yang tumbuh
pada tanah limbah tailing.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Latosol
Tanah ini mempunyai sifat fisik yang baik (struktur) tetapi berkemampuan
rendah untuk menahan kation (sangat mirip dengan tanah berpasir) dan
membutuhkan pemberian pupuk yang agak sering. Banyak tanah di Indonesia
tergolong tanah latosol (Rao, 1994).
Menurut Hardjowigeno (1993) latosol adalah tanah dengan pelapukan lanjut,
sangat tercuci batas-batas horizon baur, kandungan minetral primer (mudah lapuk)
dan unsur hara rendah, pH rendah 4,5-5,5, kandungan bahan organik rendah,
konsistensi gembur, struktur remah, stabilitas agregat tinggi, terjadi akumulasi
seskuioksida akibat pencucian silika. Warna tanah latosol biasanya merah, coklat
kemerahan, coklat, coklat kekuningan, atau kuning, tergantung dari bahan induk,
umur, iklim, dan ketinggian. Di Indonesia latosol umumnya terdapat pada bahan
induk vulkanik baik berupa tufa maupun batuan beku. Ditemukan dari muka laut
hingga ketinggian 900 m, di daerah iklim tropika basah dengan curah hujan antara
2500-7000 mm.
Nama latosol diperuntukkan bagi golongan tanah yang meliputi semua tanah
zonal di daerah tropika dan katulistiwa mempunyai sifat-sifat dominan : (1) nilai
SiO2 (sesquioksida) fraksi lempung rendah, (2) kapasitas penukaran kation rendah,
(3) lempungnya kurang aktif, (4) kadar mineral rendah, (5) kadar bahan larut rendah,
(6) stabilitas agregat tinggi, (7) berwarna merah (Hardjowigeno, 1993).
Latosol meliputi tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan intensif dan
perkembangan tanah lanjut, sehingga terjadi pelindian unsur basa, bahan organik dan
silika, dengan meningggalkan sesquioxid sebagai sisa berwarna merah. Ciri
morfologi yang umum ialah tekstur lempung sampai geluh, struktur remah sampai
gumpal lemah dan konsisten gembur. Warna tanah sekitar merah tergantung susunan
mineralogi, bahan induk, drainase, umur tanah dan keadaan iklim. Latosol terbentuk
di daerah-daerah beriklim humid-tropika tanpa bulan kering sampai subhumid yang
bermusim kemarau agak lama. Bervegetasi hutan basah sampai savana, bertopografi
dataran, bergelombang sampai berbukit dengan bahan induk hampir semua macam
batuan. Tanah latosol meluas di daerah tropika sampai subtropika.
Di Indonesia, tanah latosol umumnya berasal dari batuan induk vulkanik,
baik tuff maupun batuan beku, terdapat mulai dari tepi pantai sampai setinggi 900 m
di atas permukaan laut dengan topografi miring, bergelombang, vulkanic fan sampai
pegunungan dengan iklim basah tropika, curah hujan berkisar antara 2500-7000 mm.
Berdasarkan warnanya, latosol dibagi dalam beberapa macam tanah antara lain
ialah :
1. Latosol merah diwakili tanah Pasekaran (Pekalongan-Jawa Tengah)
2. Latosol merah kekuningan senagai contoh tanah Cibinong ;
3. Latosol coklat-kemerahan, diwakili tanah Citayam (Bogor)
4. Latosol coklat diwakili tanah Kancana ( Bogor)
5. Latosol coklat kekuningan sebagai contoh tanah Sukabumi (Bogor)
6. Latosol merah-ungu, sebagai contoh tanah Plehari (Kalimantan Selatan),
Hardjowigeno (1993).
Limbah Tailing
Magdalena (2005) menyatakan bahwa limbah tailing berasal dari batu-batuan
dalam tanah yang telah dihancurkan hingga menyerupai bubur kental oleh pabrik
pemisah mineral dari bebatuan. Proses itu dikenal dengan sebutan proses
penggerusan. Batuan yang mengandung mineral seperti emas, perak, tembaga dan
lainnya, diangkut dari lokasi galian menuju tempat pengolahan yang disebut
processing plant. Di tempat itu proses penggerusan dilakukan. Setelah bebatuan
hancur menyerupai bubur biasanya dimasukan bahan kimia tertentu seperti sianida
atau merkuri, agar mineral yang dicari mudah terpisah. Mineral yang berhasil
diperoleh biasanya berkisar antara dua persen sampai lima persen dari total batuan
yang dihancurkan. Sisanya sekitar 95% sampai 98% menjadi tailing, dan dibuang ke
tempat pembuangan.
Tailing cenderung memiliki pH tanah yang ekstrim sehingga mendorong
terlarutnya logam-logam berat yang dapat berakibat peracunan pada tanah dan air
dan juga terjadi defisiensi unsur-unsur lain yang diperlukan bagi pertumbuhan
tanaman. Lumpur tailing tambang emas bersifat agak basa (pH 7,6) dan
menyebabkan terjadinya pencemaran logam-logam berat terhadap tanah dan air.
Dengan adanya tailing ini, maka akan mengganggu ekosistem suatu lingkungan
sehingga kualitas dan produksivitas lingkungan tersebut akan menurun. Tailing juga
akan mengurangi persediaan oksigen pada sistem perakaran tanaman karena
kandungan logam berat dalam tanah lebih tinggi daripada kandungan oksigen tanah,
sehingga apabila akumulasi tailing ini semakin banyak maka menyebabkan mikroba
aerob yang bersimbiosis dengan akar tanaman akan akan semakin berkurang
(Setyaningsih, 2007).
Hasil analisis contoh tailing menunjukkan nilai konsentrasi Hg yang sangat
tinggi, yaitu 132-1090,4 ppm. Selain itu material tailing juga masih mengandung
emas, perak dan logam-logam lainnya dalam jumlah yang tinggi. Hal ini
menunjukkan recovery pengolahan yang tidak optimal dan tidak dilakukannya
penanganan tailing secara baik. Unsur-unsur yang biasa terdapat dalam tailing
seperti Cu, Pb, Zn, As dan Cd berasal dari bijih yang diproses. Nilai unsur logam di
dalam contoh tailing berkisar 5-102 ppm Cu, 15-1242 ppm Pb dan 44-1960 ppm Zn.
Kadar logam Pb dan Cu yang relatif tinggi tersebut berhubungan langsung dengan
proses pengolahan emas dengan cara amalgamasi dimana mineral sulfida logam,
khususnya Cu, Pb dan Zn, bersama dengan logam merkuri (Hg) terbuang sebagai
tailing.
Menurut Herman (2006) Pb dalam batuan berada pada struktur silikat yang
menggantikan unsur kalsium (Ca), dan baru dapat diserap oleh tumbuhan ketika Pb
dalam mineral utama terpisah oleh proses pelapukan. Pb di dalam tanah mempunyai
kecenderungan terikat oleh bahan organik dan sering terkonsentrasi pada bagian atas
tanah karena menyatu dengan tumbuhan, dan kemudian terakumulasi sebagai hasil
pelapukan di dalam lapisan humus.
Mikoriza
Rao (1994) menyatakan bahwa asosiasi simbiotik antara fungi dan sistem
perakaran tanaman tinggi memiliki istilah umum yaitu mikoriza (jamak mikorizae)
yang secara harfiah berarti akar fungi.
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah salah satu tipe fungi pembentuk
mikoriza yang akhir-akhir ini cukup populer mendapat perhatian dari para peneliti
lingkungan dan biologis. Fungi ini diperkirakan pada masa mendatang dapat
dijadikan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan,
meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman terutama yang ditanam pada lahan-
lahan marginal yang kurang subur atau bekas tambang/industri. Istilah mikoriza
diambil dari Bahasa Yunani yang secara harfiah berarti fungi (mykos = miko) dan
akar (rhiza). Fungi ini membentuk simbiosa mutualisme antara fungi dan akar
tumbuhan. Fungi memperoleh karbohidrat dalam bentuk gula sederhana (glukosa)
dari tumbuhan. Sebaliknya, fungi menyalurkan air dan hara tanah untuk tumbuhan.
Mikoriza merupakan fungi yang hidup bersimbiosis dengan sistem perakaran
tanaman tingkat tinggi. Walau ada juga yang bersimbiosis dengan rizoid (akar semu)
fungi. Asosiasi antara akar tanaman dengan fungi ini memberikan manfaat yang
sangat baik bagi tanah dan tanaman inang yang merupakan tempat fungi tersebut
tumbuh dan berkembang biak. Fungi mikoriza berperan untuk meningkatkan
ketahanan hidup bibit terhadap penyakit dan meningkatkan pertumbuhan (Madjid,
2009)
Notohadiprawiro (1998) menyatakan bahwa semula diduga hanya beberapa
jenis pohon dan semak hutan saja yang memiliki asosiasi tersebut. Kemudian
ternyata banyak sekali jenis tumbuhan, termasuk tanaman budidaya semusim yang
mempunyai mikoriza. Dalam asosiasi ini fungi membantu tumbuhan menyerap hara,
khususnya fosfat, dan air. Ada kemungkinan fungi memberikan zat tumbuh (auksin)
kepada tumbuhan inang. Sebagai imbalan, fungi memperoleh zat-zat fotosintat (zat
hasil fotosintesis) dari tumbuhan inang. Madjid (2009) juga mengemukakan bahwa
lebih dari 80% tanaman dapat bersimbiosis dengan FMA serta terdapat pada
sebagian besar ekosistem alam dan pertanian serta memiliki peranan yang penting
dalam pertumbuhan, kesehatan dan produktivitas tanaman.
Beberapa fungi menempati akar dan hidup di dalam ataupun di luar akar,
mengambil tanaman dalam bentuk karbohidrat dari tanaman yang ditempatinya
(inang) dan juga memperoleh hara mineral dari dalam tanah. Sebagian tanah mineral
ini, terutama unsur fosfor dapat disediakan untuk tanaman inang. Asosiasi fungi
dengan akar tanaman ini disebut "mikoriza". Berdasarkan susunan infeksinya,
mikoriza dapat dibedakan menjadi dua tipe yang jelas perbedaannya dan beberapa
tipe berada diantara kedua tipe tersebut.
Tipe pertama yang biasa disebut ektomikoriza adalah fungi yang strukturnya
membentuk banyak cabang pada rambut akar tanaman pohon. Struktur mikoriza ini
terdiri dari selimut (mantel) miselium fungi yang menyelimuti akar yang sel
korteksnya membesar dan hifa fungi yang masuk dalam ruang interseluler. Tipe yang
kedua yang disebut endomikoriza, tidak membentuk selimut dan hipa fungi
menginvasi sel korteks akar tanpa mematikannya. Tipe ketiga, strukturnya diantara
ekto dan endomikoriza dan oleh karenanya disebut ektendomikoriza.
Mikoriza Vesikuler-Arbuskuler (mikoriza V-A) terdapat dalam perakaran
dari sebagian besar angiosperma pteridofita, dan briofita, walaupun tidak dijumpai
pada tanaman yang hanya membentuk ektomikoriza. Mikoriza V-A membentuk
struktur karakteristik khusus yang disebut arbuskel dan vesikel. Arbuskel membantu
dalam mentransfer nutriea (terutama fosfat) dari tanah ke sistem perakaran. Rhizobia
dan mikoriza VA sering berinteraksi secara sinergistik menghasilkan bintil akar,
pengambilan nutriea, dan hasil panen yang lebih baik. Pada tanah-tanah yang
memiliki kandungan P yang rendah, interaksi ini sangat jelas, terutama dengan
tambahan fosfat (Rao, 1994).
Asam Humik
Menurut Hardjowigeno (2003), humus merupakan senyawa yang resisten
(tidak mudah hancur) berwarna hitam atau coklat dan mempunyai daya menahan air
dan unsur hara yang tinggi. Tingginya daya menahan (menyimpan) unsur hara adalah
akibat tingginya kapasitas tukar kation (KTK) dari humus, karena humus mempunyai
beberapa gugus aktif terutama gugus karboksil. Tanah yang banyak mengandung
humus atau bahan organik adalah tanah-tanah lapisan atas. Dekomposisi bahan
organik dapat terjadi secara kimia maupun biologi, baik dalam keadaan aerobik
maupun anaerobik dan menghasilkan unsur-unsur hara dan senyawa organik
Asam humik diduga berperan penting dalam pelarutan batuan dan mineral
Senyawa humat memainkan peranan penting dalam pelarutan mineral. Data saat ini
menunjukkan bahwa kapasitas pengasaman dan pengkelatan dari asam organik ini
menyebabkan degradasi dari banyak mineral dan batuan (Tan, 1997).
Rao (1994) menyatakan bahwa bahan humik menempati 70-80 % dari bahan
organik dalam hampir semua tanah mineral dan terbentuk dari hasil pelapukan sisa
tanaman dan hewan dari aktivitas sintetik mikroorganisme. Satu dari karakteristik
yang paling khusus dari bahan humat adalah kemampuannya untuk berinteraksi
dengan ion logam, oksida, hidroksida, mineral dan organik, termasuk pencemar
beracun, untuk membentuk asosiasi, baik yang larut air maupun yang tidak larut air
dari berbagai stabilitas kimia dan biologi yang berbeda.
Ketersediaan humus yang cukup, proses pencucian nutrisi tanaman oleh air
menjadi diperlambat. Keadaan demikian sangat baik bagi elemen-elemen dasar yang
terdiri dari sejumlah senyawa penting, seperti ammonia dan garam-garam potassium,
kalsium dan magnesium. Perubahan yang cepat dalam reaksi sampai keasaman lebih
tinggi atau lebih rendah dapat tercegah oleh sifat-sifat penyanggaan bahan tanah
organik.
Pada humus terdapat sifat-sifat tertentu yang membedakannya dari bahan-
bahan tanaman dan binatang pembentuk atau penyusun humus tersebut. Sifat-sifat ini
dikemukakan sebagai berikut :
a. Berwarna coklat gelap sampai hitam
b. Sebenarnya tidak melarut dalam air, namun demikian sebagian memasuki
larutan koloidal dalam air bersih ;
c. Dari bagian tersebut sebagian besar masuk ke larutan-larutan alkali cair
terutama dalam pendidikan, memberi ekstrak berwarna hitam, sebagian besar
dari ekstrak ini mengendap kalau larutan alkali dinetralisir oleh asam-asam
mineral.
Fungsi humus dalam tanah dapat diperhatikan dari keterkaitan fisik, kimiawi
dan biologisnya, antara lain sebagai berikut :
a. fisik, memodifikasi warna, tekstur dan struktur tanah, demikian pula
kapasitas penahanan kelembaban dan aerasi ;
b. kimiawi, mempengaruhi daya larut (solubilitas) berbagai mineral tanah
tertentu, membentuk senyawa-senyawa dengan beberapa elemen, seperti
besi, dengan demikian menjadi lebih cepat tersedia bagi pertumbuhan
tanaman dan peningkatan sifat-sifat penyanggaan tanah ;
c. biologis, menjadi sumber energi bagi perkembangan mikroorganisme ;
dengan menjadikan tanah sebagai media yang lebih baik bagi
perkembangan tanaman tingkat tinggi ; dan dengan menyediakan unsur-
unsur nutrisi penting tertentu serta senyawa yang diperlukan tanaman-
tanaman tingkat lebih tinggi (Sutedjo dkk, 1991).
Rhizobium
Kebanyakan spesies tanaman yang termasuk dalam sub-famili Papilionidae,
famili Leguminosae mempunyai bintil akar. Bintil akar ini merupakan organ
simbiosis yang mampu melakukan fiksasi N dari udara, sehingga tanaman mampu
memenuhi sebagian besar kebutuhan nitrogen dari hasil fiksasi tersebut.
Bakteri-bakteri yang termasuk dalam genus Rhizobium hidup bebas dalam
tanah dan dalam daerah perakaran tumbuh-tumbuhan legum maupun bukan legum.
Walaupun demikian, bakteri Rhizobium dapat bersimbiosis hanya dengan tumbuh-
tumbuhan legum, dengan menginfeksi akarnya dan membentuk bintil akar di
dalamnya. Perkecualian satu-satunya adalah bintil akar pada Trema (Parasponia)
oleh Rhizobium sp. Pada simbiosis dengan bintil akar legum, legumnya merupakan
mitra yang lebih besar sedangkan Rhizobium adalah partner yang lebih kecil, sering
disebut mikrosimbion. Tanpa legum, populasi Rhizobium dalam tanah akan menurun.
Walaupun demikian, diketahui bahwa Rhizobium dapat lestari 19 sampai 45 tahun
walaupun mereka itu bukan pembentuk spora. Rhizobium lebih mudah terangsang
dalam rizosfer legum daripada dalam rizosfer bukan legum (Rao, 1994).
Interaksi antara bakteri Rhizobium dan sel-sel pada jaringan akar akan
membentuk bintil akar. Pada interaksi ini sel-sel Rhizobium akan berubah bentuk
menjadi bakteroid. Pada bagian tengah sel dari bintil akar yang mengandung bakteri
akan terbentuk pigmen merah yang dinamakan leghemoglobin. Di dalam bakteroid
ini terjadi aktifitas enzim nitrogenase. Adanya leghemoglobin dan enzim nitrogenase
yang dibentuk oleh bakteroid merupakan dua komponen yang memegang peranan
pada proses fiksasi N2.
Pertumbuhan bakteri Rhizobium juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
unsur hara pada lingkungan perakaran, sehingga akan berpengaruh terhadap fiksasi
N2. Kisaran besarnya fiksasi N2 pada asosiasi simbiosis antara leguminosae dengan
bakteri Rhizobium sangat luas karena :
1. Unsur hara tertentu mungkin berada dalam jumlah yang mengganggu
pertumbuhan bakteri Rhizobium pada rizosfer.
2. Unsur hara tertentu mungkin berada dalam jumlah yang mengganggu
pertumbuhan dan perakaran tanaman legum, sehingga akan menghambat
pembentukan dan fungsi bintil akar.
MATERI DAN METODE
Materi
Penelitian ini menggunakan bahan tanam benih legum Calopogonium
mucunoides Desv., mikoriza menggunakan jenis campuran (mycofer) yang terdiri
dari 4 isolat yaitu Glomus manihotis, Glomus etinucatum, Gigaspora margarita, dan
Acaulospora tuberculata, rhizobium, asam humik, mikroorganisme pelarut fosfat,
pupuk NPK mutiara, KOH 2,5%, HCl 2%, Sukrosa 60%, bahan-nahan kimia untuk
pewarnaan akar yaitu tryphan blue, gliserol, asam laktat, aquades, media tumbuh
yaitu tanah latosol Dramaga dan tanah yang berasal dari tailing penambangan emas
PT. Aneka Tambang di daerah Pongkor, Bogor.
Peralatan yang digunakan adalah mistar ukuran 100 cm, alat penyiram air,
bambu/ajir, polybag, gunting, timbangan, oven, kantong semen, kertas koran,
mikroskop, gelas obyek, gelas penutup, pinset, gelas ukur, tabung film.
Metode Penelitian
Rancangan
Penelitian ini terdiri dari dua penelitian yang berbeda. Penelitian pertama
menggunakan media tanam tanah latosol Dramaga, dan penelitian kedua
menggunakan media tanam tanah tailing Pongkor. Masing-masing menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari 7 perlakuan dan 5 ulangan
untuk masing-masing media tanam. Tujuh perlakuan yang digunakan adalah :
A : kontrol (tanpa penambahan mikroorganisme maupun pembenah tanah)
B : Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
C : FMA + Rhizobium
D : FMA + Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)
E : FMA + Asam Humik
F : FMA + BPF + Rhizobium
G : FMA + BPF + Rhizobium + Asam Humik
Asam humik diberikan sebanyak 80 ml per polybag yang diperoleh dari hasil
pengenceran 125 ml per 20 liter air. Rhizobium dan bakteri pelarut fosfat yang
terdapat dalam arang sekam masing-masing diberikan 1 gram per polybag. Bakteri
pelarut fosfat yang terdiri dari 3 isolat dengan kode FT.3.2, F.T.3.3, dan B.80.1649.8.
FMA menggunakan carrier zeolit dan diberikan sebanyak 10 gram per pot polybag.
Masing-masing tanaman diberikan pupuk NPK mutiara dengan dosis 500 kg per ha
tanah, yaitu setara dengan 1,25 gram per polybag.
Model Statistik
Model statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
(Steel dan Torie, 1993) :
Yij = + i + ij
dimana :
Yij = Nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= Nilai rataan umum
i = Pengaruh perlakuan ke-i (i = 1,2, 3, 4, 5, 6, 7)
ij = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.
Analisis Data
Prosedur
Persiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan adalah tanah latosol Dramaga dan tanah tailing
yang diambil dari pertambangan emas PT. Aneka Tambang di daerah Pongkor,
Bogor. Sebelum ditanami, tanah latosol dikeringkan terlebih dahulu selama satu
minggu dengan cara dijemur di dalam rumah. Sedangkan tanah tailing langsung
dimasukkan ke dalam polybag tanpa dijemur terlebih dahulu.
Penanaman
Tanaman yang digunakan adalah kalopo. yang diperoleh dari laboratorium
lapang Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan IPB. Tanah yang akan ditanami diberi pupuk NPK mutiara hingga
merata, kemudian dimasukkan ke dalam polybag dengan kapasitas 5 kg yang telah
diberi kode untuk masing-masing perlakuan. Benih kalopo ditanam dengan
dibenamkan ke dalam 1 lubang tanam dan siram secukupnya. Apabila benih tidak
tumbuh maka dilakukan penyulaman atau penanaman benih kembali.
Pemangkasan
Pemangkasan dilakukan setelah tanaman berumur 2 minggu setelah tanam,
dengan cara memotong bagian atas tanaman. Dipilih 2 tanaman dengan pertumbuhan
terbaik, sedangkan tanaman yang lain dibuang. Pertumbuhan setelah pemangkasan
ini dianggap sebagai pengaruh dari perlakuan yang diberikan.
Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman dan pemberantasan hama
penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari sesuai kapasitas lapang.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap seminggu sekali dengan mengukur panjang
penyebaran dan jumlah flash (ranting daun).
Pemanenan
Pemanenan dilakukan dua kali. Pemanenan pertama dilakukan setelah 40 hari
dengan pemotongan sebagian tajuk tanaman (disisakan 10 cm) untuk ditimbang berat
segar dan berat keringnya. Pemanenan kedua dilakukan 40 hari setelah panen
pertama dengan pemotongan bagian tajuk tanaman untuk ditimbang berat segar dan
berat keringnya. Bagian akar dicuci untuk ditimbang berat segar, berat kering, infeksi
akar, dan dipisahkan bintil akarnya.
Keadaan Umum
Tanaman kalopo ditanam pada 2 media tanam yang berbeda, yaitu tanah
latosol dan tanah tailing penambangan emas PT. Aneka Tambang daerah Pongkor.
Kandungan mineral tanah latosol Darmaga dan tanah tailing dapat dilihat pada Tabel
1. Semua tanaman ditanam dalam rumah kaca yang sama, sehingga faktor
lingkungan lain seperti suhu, kelembaban, lama penyinaran, angin, dan jumlah air
yang diberikan cenderung sama. Suhu rata-rata saat pagi adalah 25,5oC dan 39,3oC
pada siang hari. Kelembaban pada pagi hari 91,9% dan 50,6% pada siang hari.
Selama penelitian dilakukan penyulaman atau penanaman kembali terhadap
beberapa tanaman yang ditanam pada tanah tailing karena banyak tanaman yang
tidak dapat tumbuh, terutama pada tanaman kontrol yang tidak diberikan
penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah. Tanaman yang ditanam pada
tanah latosol menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan tanaman yang
ditanam pada tanah tailing, bahkan beberapa tanaman yang ditanam pada tanah
latosol sudah mulai berbunga saat tanaman berumur 5 minggu. Hal ini terlihat pada
tanaman dengan penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah.
Gulma yang tumbuh pada media tanam diatasi dengan cara mencabut satu
persatu gulma yang tumbuh. Selain gulma juga terdapat hama pada beberapa
tanaman yang ditanam pada tanah latosol maupun tanah tailing. Hama yang
menyerang berupa kutu daun dan ulat daun.
Keterangan :
Rataan dengan huruf besar pada kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Rataan dengan huruf kecil pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
A (kontrol) ; B (FMA) ; C (FMA + Rhizobium); D (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat) ; E ( FMA + Asam
Humik); F ( FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium) ; G (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat +
Rhizobium + Asam Humik) ; PPP I dan II (Pertambahan Panjang Penyebaran Panen I dan II) ; JDT I
dan II (Jumlah Daun Trifoleat Panen I dan II) ; BKT I dan II (Berat Kering Tajuk Panen I dan II) ;
BKA (Berat Kering Akar) ; JBA aktif (Jumlah Bintil Akar Aktif) ; BKBA Aktif (Berat Kering Bintil
Akar Aktif) ; IA (Infeksi Akar)
Pertambahan Panjang Penyebaran
Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah pada tanaman yang ditanam
pada tanah latosol memberikan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) pada panen
pertama, tetapi tidak berbeda nyata pada panen kedua. Berdasarkan uji lanjut
Duncan, perlakuan dengan penambahan FMA pada panen pertama tidak berbeda
nyata dengan kontrol, perlakuan dengan penambahan FMA dan Rhizobium, dan
perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, tetapi berbeda nyata
(P<0,05) dengan perlakuan dengan penmbahan CMA dan BPF, perlakuan dengan
penambahan FMA dan asam humik, dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF,
Rhizobium, dan asam humik.
Penyediaan fosfor yang tidak memadai akan menyebabkan laju respirasi
menurun, lalu berdampak pada laju fotosintesis. Karena fosfor merupakan bagian
integral tanaman di bagian penyimpanan (storage) dan pemindahan (transfer) energi.
Fosfor terlibat pada penangkapan energi sinar matahari yang sampai pada sebuah
molekul klorofil. Begitu energi tersebut sudah tersimpan dalam ADP (Adenosine
Diphosphate) atau ATP (Adenosine Tri Phosphate), ia dapat dipakai untuk
menjalankan reaksi-reaksi yang memerlukan energi, seperti pembentukan sukrosa,
tepung, dan protein yang penting untuk pertumbuhan vegetatif tanaman terutama
panjang penyebaran.
Jumlah Flash
Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah pada panen I dan II tidak
berpengaruh nyata pada pertambahan jumlah flash. Jumlah flash terbanyak pada
panen I adalah pada perlakuan dengan penambahan FMA,BPF, dan Rhizobium, yaitu
29 helai, sedangkan jumlah flash terbanyak pada panen II adalah perlakuan dengan
penambahan FMA dan asam humik dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF,
dan Rhizobium yaitu 26 helai.
Jumlah flash merupakan salah satu bagian yang menunjukkan pertumbuhan
dan perkembangan tanaman pada fase vegetatif. Jumlah daun juga ikut menentukan
tinggi rendahnya biomassa yang dihasilkan dan mempunyai peranan penting ditinjau
dari fungsi sebagai hijauan pakan. Jumlah daun yang dihasilkan pada panen I relatif
sama dengan panen II. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman pada masa
panen II masih menunjukkan hasil yang positif, dan berarti pula bahwa tanaman
masih dapat beradaptasi dan tumbuh dengan baik sampai dengan umur 10 minggu.
Pertumbuhan tanaman kalopo cenderung mengalami perpanjangan
penyebaran yang lebih baik daripada jumlah daun yang terbentuk. Hal ini diduga
karena sebelum terbentuk daun, fotosintat hasil fotosintesis ditranslokasikan untuk
pembelahan sel sehingga akan lebih meningkatkan panjang penyebaran (Maidasari,
2007).
Jumlah Flash
Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah tidak berpengaruh nyata
terhadap jumlah flash. Pada tanaman yang ditanam pada media tailing sangat jelas
terlihat jumlah daun yang rontok dan mati sangat banyak, sehingga jumlah daun yang
bertahan sangat sedikit. Gejala-gejala kekurangan fosfor tidak lekas tampak jelas
seperti jika kekurangan nitrogen. Gejala yang timbul adalah pertumbuhan yang
terhambat, daun menjadi hijau tua, kadang-kadang tampak juga pembentukan
antosianin yang berlebihan. Pada lembaran dan tangkai daun tampak bagian-bagian
yang mati dan akhirnya daun dapat rontok (Setyaningsih, 2007).
Penelitian yang dilakukan pada tanah latosol menunjukkan hasil yang sangat
beragam. Penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah secara umum
menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan dan produksi kalopo
yang ditanam pada tanah latosol.
Penelitian yang dilakukan pada tanah limbah tailing menunjukkan perlakuan
yang secara konsisten menunjukkan mampu meningkatkan pertumbuhan dan
produksi kalopo yang baik adalah perlakuan dengan penambahan FMA, BPF,
Rhizobium, dan asam humik, perlakuan dengan penambahan FMA dan BPF,
perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, dan perlakuan dengan
penambahan FMA.
Pada peubah Pertambahan Panjang Penyebaran, perlakuan yang
menunjukkan hasil yang paling baik berturut-turut adalah perlakuan dengan
penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik, perlakuan dengan
penambahan FMA, dan perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium.
Pada peubah berat kering tajuk, perlakuan yang menunjukkan hasil yang paling baik
berturut-turut adalah perlakuan dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan
asam humik, perlakuan dengan penambahan FMA dan BPF, dan perlakuan dengan
penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium. Sedangkan pada peubah infeksi akar,
perlakuan yang menunjukkan hasil yang paling baik berturut-turut adalah perlakuan
dengan penambahan FMA, BPF, Rhizobium, dan asam humik, perlakuan dengan
penambahan FMA, BPF, dan Rhizobium, dan perlakuan dengan penambahan FMA
dan BPF.
Data tersebut diatas dapat menunjukan bahwa untuk meningkatkan
pertambahan panjang penyebaran, hanya diperlukan perlakuan yang cukup sederhana
yaitu dengan penambahan FMA. Tetapi untuk mendapatkan hasil yang optimal,
dibutuhkan perlakuan dengan penambahan FMA, bakteri pelarut fosfat, Rhizobium,
dan asam humik. Untuk meningkatkan berat kering tajuk, perlakuan yang dapat
diberikan adalah dengan penambahan FMA dan BPF. Penambahan Rhizobium
kurang tepat untuk meningkatkan produksi berat kering tajuk, karena dengan hanya
dengan penambahan FMA dan BPF sudah dapat memberikan hasil yang lebih baik
dari perlakuan dengan penambahan FMA, bakteri pelarut fosfat, dan Rhizobium.
Tetapi untuk mendapatkan hasil yang optimal, dibutuhkan perlakuan dengan
penambahan FMA, bakteri pelarut fosfat, Rhizobium, dan asam humik. Sedangkan
untuk peubah persentase infeksi akar, penambahan FMA, bakteri pelarut fosfat,
Rhizobium dan asam humik menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan hanya
dengan penambahan FMA saja, penambahan FMA dan Rhizobium, FMA dan asam
humik, atau tanpa penambahan sama sekali.
Data yang dihasilkan pada penelitian pada tanah limbah tailing menunjukkan
bahwa dibutuhkan interaksi antara asam humik dengan mikroorganisme tanah untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produksi kalopo pada tanah tailing. Mikroorganisme
yang efektif untuk meningkatkan pertambahan panjang penyebaran adalah FMA.
Selain itu untuk meningkatkan produksi berat kering tajuk, mikroorganisme yang
efektif adalah FMA dan BPF. Sedangkan untuk meningkatkan persentase infeksi
akar, dibutuhkan kombinasi mikroorganisme yang kompleks yaitu FMA, BPF, dan
sekaligus Rhizobium.
Hal ini dikarenakan tanaman kalopo dapat beradaptasi dengan baik pada
tanah latosol yang termasuk tanah marginal. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi
tanaman kalopo yang ditanam pada tanah limbah tailing, karena pada tanah limbah
tailing selain ketersediaan unsur hara yang sangat sedikit, juga terdapat kandungan
unsur logam berat. Nilai unsur logam di dalam contoh tailing berkisar 5-102 ppm Cu,
15-1242 ppm Pb dan 44-1960 ppm Zn. Kadar logam Pb dan Cu yang relatif tinggi
tersebut berhubungan langsung dengan proses pengolahan emas dengan cara
amalgamasi dimana mineral sulfida logam, khususnya Cu, Pb dan Zn, bersama
dengan logam merkuri (Hg) terbuang sebagai tailing (Setyaningsih, 2007). Hal ini
yang membuat pertumbuhan kalopo terhambat, karena keracunan logam berat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah pada tanah latosol belum
cukup efektif untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman Calopogonium mucunoides
Desv. karena tanaman masih bisa beradaptasi dan tumbuh dengan baik pada tanah
latosol meskipun tanpa penambahan mikroorganisme dan asam humik. Hal tersebut
ditunjukkan dengan hasil yang hanya berpengaruh nyata pada peubah pertambahan
panjang penyebaran pada panen I dan berpengaruh sangat nyata pada peubah jumlah
bintil akar aktif.
Tanaman yang ditanam pada tanah tailing sangat memerlukan penambahan
mikroorganisme dan pembenah tanah untuk bisa tumbuh pada tanah tailing.
Tanaman yang ditanam pada tailing memberikan respon terbaik dengan penambahan
Mikoriza, BPF, Rhizobium, dan asam humik terhadap berat kering tajuk dan infeksi
akar oleh mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan peran mikroorganisme
dan pembenah tanah secara bersamaan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman
Calopogonium mucunoides Desv. yang ditanam pada tanah tailing.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui level penambahan
mikroorganisme dan pembenah tanah yang paling optimal untuk tanah tailing. Selain
itu, dibutuhkan penambahan bahan organik untuk meningkatkan kandungan bahan
organik pada tanah tailing.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan segala limpahan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurah untuk tauladan sepanjang masa,
Rasulullah SAW.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, Mas Dian, dan
Mba Wati tercinta yang selalu memberikan doa, kasih sayang, kesabaran, nasehat,
bimbingan moral maupun materil yang tiada henti kepada penulis. Semoga penulis
dapat memenuhi harapan dan memberikan yang terbaik. Amin.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Panca Dewi
MHKS, MSi sebagai dosen pembimbing utama dan Nur Rochmah Kumalasari, S.Pt,
MSi sebagai dosen pembimbing anggota yang selalu sabar dalam mengarahkan,
membimbing, dan memberi motivasi selama penelitian dan penulisan skripsi. Selain
itu juga kepada Ir. Kukuh Budi Satoto. MS dan Ir. Hj. Komalasari, MSi sebagai
dosen penguji pada ujian sidang. Dosen, staf dan laboran Departemen Ilmu Nutrisi
dan Teknologi Pakan dan Laboratorium Agrostologi yang telah membantu selama
penelitian berlangsung, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.
Terima kasih kepada teman-teman sepenelitian Ratih, Rizky, Dewi, dan
Denita atas bantuan, persahabatan dan semangat serta dukungannya selama
penelitian dan penulisan tugas akhir ini. Penulis juga berterimakasih kepada teman-
teman INTP angkatan 40, 41, dan 42, serta keluarga besar F3, Rabithah Farm, ID,
TPI dan Tim Al Hurriyyah 1428 H yang telah memberikan motivasi, dukungan,
persaudaraan dan kebersamaan selama penelitian dan penulisan skripsi.
Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, serta seluruh civitas akademika Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang
membaca dan bagi dunia Peternakan.
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Sumber
Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman
Model Koreksi 0,004(a) 6 0,001 1,663 0,167
Intersep 0,041 1 0,041 97,700 0,000
Perlakuan 0,004 6 0,001 1,663 0,167
Eror 0,012 28 0,000
Total 0,057 35
Total Koreksi 0,016 34
Lampiran 10. ANOVA Persentase Infeksi Akar Calopogonium mucunoides Desv.
Panen II pada Tanah Latosol
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Lampiran 12. Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah Bintil Akar Aktif Calopogonium
mucunoides Desv. pada Tanah Latosol
Perlakuan N Subset
1 2
E 5 4,0000
D 5 5,0000
F 5 8,0000
B 5 8,4000
C 5 9,2000
G 5 9,4000
A 5 10,0000
Sig. 0,493 0,225
Lampiran 13. ANOVA Partambahan Panjang Penyebaran Calopogonium
mucunoides Desv. pada Tanah Tailing
Sumber
Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman
Model Koreksi 1133,550(a) 6 188,925 0,645 0,694
Intersep 129382,400 1 129382,400 441,764 0,000
Perlakuan 1133,550 6 188,925 0,645 0,694
Eror 8200,550 28 292,877
Total 138716,500 35
Total Koreksi 9334,100 34
Lampiran 14. ANOVA Jumlah Flash Calopogonium mucunoides Desv. pada Tanah
Tailing
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Lampiran 15. ANOVA Berat Kering Akar Calopogonium mucunoides Desv. pada
Tanah Tailing
Sumber
Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Keragaman
Model Koreksi 0,510(a) 6 0,085 0,892 0,514
Intersep 2,064 1 2,064 21,680 0,000
Perlakuan 0,510 6 0,085 0,892 0,514
Eror 2,666 28 0,095
Total 5,240 35
Total Koreksi 3,176 34
Lampiran 16. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. pada
Tanah Tailing
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Lampiran 17. ANOVA Berat Kering Tajuk Calopogonium mucunoides Desv. Pada
Tanah Tailing
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Sig.
Lampiran 18. Hasil Uji Lanjut Duncan Berat Kering Tajuk Calopogonium
mucunoides Desv. pada Tanah Tailing
Perlakuan N Subset
1 2 3
A 5 0,000000
C 5 0,030000
B 5 0,600000 0,600000
E 5 0,610000 0,610000
F 5 0,720000 0,720000
D 5 0,870000 0,870000
G 5 1,500000
Sig. 0,053 0,451 0,060
Lampiran 19. Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah flash Calopogonium mucunoides
Desv. pada Tanah Tailing
Perlakuan N Subset
1 2
A 5 7,60
B 5 11,00
C 5 19,80
D 5 23,00 23,00
E 5 25,80 25,80
F 5 26,40 26,40
G 5 42,20
Sig. 0,098 0,080
Lampiran 20. Hasil Uji Lanjut Duncan Persentase Infeksi Akar Calopogonium
mucunoides Desv. pada Tanah Tailing
Perlakuan N Subset
1 2 3 4
A 5 .018003
E 5 .107859 .107859
C 5 .175890 .175890
B 5 .233385 .233385 .233385
D 5 .295363 .295363 .295363
F 5 .394065 .394065
G 5 .461241
Sig. .051 .088 .129 .118