SKRIPSI
2011
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Shelf Life Estimation of Instant Noodle Substituted with Corn
Using Arrhenius Accelerated Method
ABSTRACT
Nowadays, instant noodles corn-based product has been developed by many institutions.
However, shelf life estimation of this product has not studied yet though information about the shelf
life has become consumer rights as stated in PP. 69 1999 Chapter II Clause 2 and 3. Therefore, this
study was aimed to determine the shelf life of instant noodle substituted with corn flour using
accelerated method based on subjective and objective parameters.
Estimation of corn-instant noodle shelf life was started by storing the products at different
storage temperatures (32°C, 37°C, 45°C, 50°C, and 52°C) for five weeks where analyzed in terms of
subjective and objective parameters. The best parameter to determine the shelf life is TBA parameter.
This parameter gives the highest determination coefficient value among the others (R2= 0.975) and
gives low activation energy (62720.82 J/mol). Based on TBA parameter, corn-instant noodle had shelf
life of 81 days at 30°C.
RINGKASAN
Pengembangan produk mi instan berbahan dasar jagung, masih banyak dilakukan untuk
memperoleh formulasi optimal yang akan menghasilkan tekstur yang mendekati tekstur mi instan
terigu pada umumnya. Akan tetapi, pendugaan umur simpan dari produk tersebut masih belum banyak
diteliti. Padahal informasi mengenai umur simpan merupakan hak konsumen seperti yang tertera
dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang label pangan pada Bab II Pasal 2 dan 3 yang berisi bahwa setiap
orang atau pihak yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada
kemasan, dimana keterangan dalam label ini mencangkup kewajiban untuk mencantunkan masa
kadaluarsa produk. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan mi instan
subtitusi jagung dengan metode akselerasi Arrhenius berdasarkan parameter objektif dan subjektif.
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan utama, yaitu tahap produksi mi instan subtitusi
jagung dan tahap pendugaan umur simpan menggunakan Metode Arrhenius. Pada tahap pertama,
pembuatan mi instan subtitusi jagung diproduksi dengan menggunakan formulasi optimal hasil
pengembangan dari saudara Stefanus. Bahan-bahan yang digunakan meliputi tepung terigu 70%,
tepung jagung 30%, guar gum 1%, garam 1%, baking soda 0.3%, dan air 40% (Stefanus, 2010).
Setelah diperoleh produk berupa mi instan subtitusi jagung, produk tersebut kemudian disimpan di
dalam inkubator yang diatur pada suhu 32°C, 37°C, 45°C, 50°C, dan 52°C untuk selanjutnya
dianalisis secara berkala selama lima minggu waktu penyimpanan.
Tahap yang kedua adalah tahap pendugaan umur simpan. Pendugaan umur simpan dilakukan
dengan menggunakan Metode Akselerasi Model Arrhenius. Pendugaan umur simpan tersebut
dilakukan tehadap parameter mutu subjektif dan objektif. Karena pada penelitian ini dilakukan
pendugaan umur simpan berdasarkan parameter subjektif, maka dilakukanlah serangkaian seleksi dan
pelatihan panelis agar dapat diperoleh data penilaian sampel yang relevan dengan kondisi sebenarnya.
Jenis uji yang digunakan dalam seleksi panelis terlatih adalah uji rasa dan aroma dasar serta uji
segitiga. Sedangkan selama pelatihan, para panelis tersebut diperkenalkan menggunakan uji rating
(scoring) untuk memberikan penilaian terhadap beberapa atribut sensori pada produk mi instan
subtitusi jagung. Dari 21 panelis yang mempunyai kesedian waktu dan motivasi yang tinggi untuk
mengikuti seleksi dan pelatihan panelis ini, diperoleh 10 orang kandidat panelis terlatih yang
kemudian dilatih dengan memperkenalkan kepada berbagai sampel mi jagung instan dengan tingkat
kerusakan mutu yang berbeda-beda. Pelatihan ini dilakukan sampai para panelis dapat memberikan
penilaian yang konstan terhadap atribut sensori sampel tersebut. Penetapan parameter kritis yang
dapat menyebabkan produk tidak diterima oleh konsumen juga dilakukan pada saat pelatihan panelis
melalui diskusi focus grup (focus group discussing/FGD). Parameter-parameter kritis yang
selanjutnya akan dianalisis meliputi bilangan TBA, bilangan peroksida, kehilangan padatan akibat
pemasakan (KPAP), warna-Hunter, tekstur-TPA, dan parameter organoleptik seperti flavor, warna,
dan tekstur sesudah direhidrasi.
Berdasarkan pengamatan, dapat dilihat bahwa parameter mutu yang memiliki tren nilai
konstanta penurunan mutu (nilai k) meningkat terhadap kenaikan suhu adalah parameter sensori
(flavor, warna, dan tekstur), parameter bilangan TBA, dan parameter bilangan peroksida. Dengan
demikian, dapat ditentukan lama umur simpan produk mi jagung instan subtitusi pada suhu
penyimpanan 30°C berdasarkan parameter sensori atribut flavor adalah selama kurang lebih 41 hari,
parameter sensori atribut warna selama 23 hari, parameter sensori atribut tekstur selama 26 hari,
parameter bilangan TBA selama 81 hari, dan berdasarkan parameter bilangan peroksida adalah selama
181 hari.
Penetapan umur simpan yang paling sesuai untuk produk mi instan subtitusi jagung ini,
selanjutnya dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat sensitivitas reaksi penurunan muru terhadap
perubahan suhu yang dapat dilihat dari nilai energi aktivasi yang paling rendah dan nilai koefisien k
mutlak atau nilai koefisien korelasi yang paling besar (R2). Berdasarkan hasil pengamatan, dapat
dikatakan bahwa parameter yang dijadikan acuan dalam penentuan umur simpan adalah parameter
atribut flavor secara organoleptik. Hal ini dapat dilihat dari nilai R2 yang cukup besar (0.972), nilai
energi aktivasi yang kecil (85600.94 J/mol), dan memberikan dugaan umur simpan yang cukup
pendek (41 hari). Namun jika dilihat berdasarkan pertimbangan segi ekonominya, umur simpan mi
jagung instan subtitusi dapat ditentukan berdasarkan parameter lainnya karena umur simpan yang
ditentukan dari parameter atribut flavor secara organoleptik dirasa terlalu pendek dan tidak
menguntungkan produsen. Oleh karena itu, berdasarkan alasan di atas dengan tetap memperhatikan
syarat kriteria pemilihan parameter mutu, parameter lain yang dapat digunakan dalam pendugaan
umur simpan adalah parameter bilangan TBA. Parameter ini memberikan nilai koefisien korelasi yang
paling tinggi (0.975) diantara kelimanya. Selain itu energi aktivasinya pun masih belum terlalu besar
(62720.82 J/mol). Menurut parameter TBA, mi jagung instan subtitusi memiliki umur simpan selama
81 hari jika disimpan pada suhu ruang (30°C).
PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI INSTAN SUBTITUSI
JAGUNG DENGAN METODE AKSELERASI-ARRHENIUS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
YUANANDA PARAMA OKTARANI
F 24062713
Menyetujui,
Mengetahui :
Ketua Departemen,
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pendugaan Umur
Simpan Mi Instan Subtitusi Jagung dengan Metode Akselerasi-Arrhenius adalah hasil karya saya
sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
iii
BIODATA PENULIS
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pendugaan Umur Simpan Mi Jagung Instan
Subtitusi Menggunakan Metode Akselerasi Berasarkan Parameter Subjektif dan Objektif
dengan baik dan semaksimal mungkin. Penelitian ini telah dilaksanakan sejak bulan Februari hingga
Juni 2010. Tak lupa pula penulis mengucap Shalawat dan Salan kepada junjungan Nabi Besar,
Muhammad SAW.
Dengan telah diselesaikannya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin
menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung,
dan membimbing penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai, terutama kepada :
1. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberi dukungan dan sabar dalam mendidik penulis hingga
menjadi manusia yang berguna. Terimakasih juga atas segala kasih sayang, doa, dan kehangatan
yang selalu penulis rasakan ketika berada di tengah-tengah kalian. Keluarga besar dari Bapak dan
Ibu yang tidak henti-hentinya mengirimkan doa dan dukungan bagi kesuksesan dan kelancaran
penulis selama belajar di sini.
2. Dr. Ir. Dahrul Syah sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan nasihat, motivasi, segala
pelajaran hidup dari awal penulis menjejakkan langkah di Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan.
3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. selaku dosen pembimbing kedua, karena atas kesabaran, nasihat,
saran, dan kritikan dari beliaulah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr. selaku dosen penguji, atas saran-saran yang membangun serta
masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu yang
bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis serta laboran-laboran ITP dan Seafast Center (Pak
Jun, Pak Deni, Pak Rojak, Pak Gatot, Pak Wahid, Bu Antin, Bu Rub, dan Bu Sri) yang banyak
membantu penulis dalam melakukan penelitian.
6. Sahabat-sahabat saya, Sadek, Henni, Laras, Dinda, Della dan seluruh teman-teman ITP 43,
terimakasih banyak atas segala canda, tawa, suka, duka, susah, sedih atupun senang yang telah
kita alami bersama karena tanpa dukungan dan keberadaan kalian masa-masa mahasiswa ini tidak
akan menjadi lebih berwarna.
7. Pujiarta atas kasih saying, doa, dukungan, semangat, dan kesabaran yang diberikan kepada
penulis.
8. Teman-teman produksi mi jagung, Bernand, Dela, Oni, Tiko, Adit, Stefanus, Abdi, Helen, dan
semua tim produksi angkatan 43, 44, dan 45 yang tidak bisa saya sebutkan atas kebersamaan dan
kerjasamanya.
9. Teman-teman sebimbingan, Yogi, Bojes, Viktor, dan Kak Dita atas kebersamaan dan dukungan
kalian yang hebat.
10. Mba Alina Primasari dan Mas Nono Hartono yang telah setia member dukungan dan
mendampingi penulis sampai saat ini.
11. Para panelis terlatihku, Dela, Mba Maya, Mas Issac, Hanna, Vita, Kanov, Andri, dan semuanya
atas waktu dan kerjasamanya selama penelitian ini berlangsung.
12. Teman-teman TPB, Tunjung, Ratri, Sela, Alin, Memey, Ipin, Ridho, Oyot, Bayu,, semuanya atas
keceriaan dan kebersamaan yang telah kalian bawa ke dalam kehidupan penulis.
v
13. Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan terimakasih banyak,
semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang kalian berikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
vii
(iii) Warna ……………………………………………………………….. 36
(iv) Flavor ………………………………………………………………... 37
g. Penentuan Parameter Pembatas Pemolakan Produk dan Umur
Simpan Produk …………………………………………………………. 38
V. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………………….. 41
A. KESIMPULAN …………………………………………………………………… 41
B. SARAN ……………………………………………………………………………. 41
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………. 43
LAMPIRAN …………………………………………………………………………… 46
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia tepung jagung Pioneer 21 dan tepung jagung kuning ……………. 4
Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung …………………………………………………... 4
Tabel 3. Komposisi kimia biji jagung …………………………………………………………. 6
Tabel 4. Konsentrasi larutan uji deskripsi rasa dasar …………………………………………. 23
Tabel 5. Konsentrasi larutan uji segitga rasa dasar …………………………………………… 24
Tabel 6. Nilai mutu awal mi instan subtitusi jagung berdasarkan beberapa parameter …….. 27
Tabel 7. Nilai kritis mi instan subtitusi jagung berdasarkan beberapa parameter …………... 28
Tabel 8. Nilai R2 dari grafik penurunan mutu menurut ordo reaksi 0 dan ordo reaksi 1 …..... 30
Tabel 9. Nilai koefisien determinasi (R2) dan energi aktivasi (Ea) pada berbagai
parameter ……………………………………………………………………………… 38
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
xi
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jagung merupakan bahan pangan kaya akan sumber karbohidrat yang dapat menjadi bahan
baku aneka produk pangan. Tingkat produktivitas jagung di Indonesia sudah cukup tinggi yaitu
mencapai 17 juta ton pada tahun 2009 (Badan Pusat Satistik, 2009). Jagung banyak diproduksi di
daerah Jawa Timur dan Madura serta merupakan komoditas serealia utama setelah beras. Jagung juga
berperan penting dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, dan pakan. Sebagai bahan
pangan alternatif, jagung dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, subtitusi bagi industri
pengguna terigu, dan konsumen berpangan pokok beras. Selain itu, jagung dapat diolah menjadi
tepung jagung dan dapat digunakan pada pembuatan berbagai produk pangan yang berbahan dasar
tepung terigu seperti pada pembuatan produk mi.
Mi telah menjadi salah satu makanan pokok bagi kebanyakan negara-negara di Asia
termasuk Indonesia dan karakteristik mi terigu sangat melekat kuat pada cita rasa masyarakat
Indonesia. Mi merupakan produk yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen sebagai
makanan sarapan ataupun makanan selingan (Juniawati, 2003). Berdasarkan kajian preferensi
konsumen, sebagian besar responden menyukai produk-produk berbahan dasar jagung. Dengan alasan
tersebut, maka pengembangan produk mi berbahan baku jagung diperlukan sebagai salah satu upaya
untuk mempercepat program diversifikasi pangan.
Mi jagung mempunyai beberapa keunggulan, diantaranya adalah (1) tidak menggunakan
pewarna sintetis karena warna kuning pada mi berasal dari kandungan karoten jagung dan (2) dapat
mengurangi ketergantungan terhadap terigu. Selama ini, teknologi pembuatan mi jagung subtitusi
sudah banyak dikembangkan baik dalam bentuk mi jagung basah, mi jagung kering, ataupun mi
jagung instan (Budiyah, 2004). Tetapi, mi instan cenderung lebih disukai oleh konsumen
dibandingkan dengan mi kering atau jenis mi lainnya karena proses pengolahannya yang relatif mudah
dan tidak membutuhkan banyak waktu (instant). Selain itu, mi instan saat ini dapat disajikan dengan
rasa yang berbeda-beda yang mewakili citarasa Indonesia yang dimulai dari Sabang sampai Merauke
tergantung dari bumbu mi itu sendiri.
Fadhillah (2005) telah melakukan riset mengenai verifikasi formulasi mi jagung instan pada
skala industri. Verifikasi dilakukan dengan menyesuaikan desain proses mi jagung instan dengan
peralatan yang dimiliki oleh pabrik dan ternyata proses produksi mi jagung instan tersebut masih
dimungkinkan untuk diterapkan pada skala industri. Pengembangan produk mi jagung instan juga
merupakan salah satu program dari RUSNAS (Riset Unggulan Strategi Nasional). Untuk dapat
diindustrialisasikan masih perlu dilakukan berbagai macam tahapan seperti proses penggandaan skala
(scale up), analisis biaya, penentuan umur simpan, verifikasi produk, dan analisis bisnis. Penentuan
umur simpan merupakan salah satu hal yang cukup kritis dalam pemasaran suatu produk. Hal ini
disebabkan oleh umur simpan menggambarkan batasan waktu suatu produk masih layak untuk
dikonsumsi.
Umur simpan produk mi instan subtitusi jagung perlu ditetapkan agar masyarakat atau
konsumen dapat mengetahui masa simpan produk tersebut selama penyimpanan. Informasi tentang
umur simpan ini merupakan hak konsumen seperti yang tertera dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang
label pangan pada Bab II Pasal 2 dan 3 yang berisi bahwa setiap orang atau pihak yang memproduksi
pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada kemasan, dimana keterangan dalam
label ini mencangkup kewajiban untuk mencantumkan masa kadaluarsa produk. Oleh karena itu, masa
kadaluarsa sebagai indikator keamanan produk, menjadi salah satu persyaratan paling utama dalam
industri atau usaha kecil menengah untuk ditetapkan (Wahyuningrum, 2010).
Pendugaan umur simpan dapat dilakukan dengan mengevaluasi perubahan mutunya selama
penyimpanan. Perubahan mutu tersebut dapat dilihat dengan adanya perubahan parameter mutu suatu
produk. Arpah (2001) menyatakan bahwa ada dua macam metode yang dapat digunakan untuk
pendugaan umur simpan, yaitu Metode Konvensional dan Metode Akselerasi. Metode konvensional
dapat dilakukan dengan menyimpan produk tersebut sampai mengalami kerusakan dan proses
tersebut memerlukan waktu yang cukup lama. Metode ini biasa diterapkan pada produk yang
mempunyai umur simpan relatif pendek, seperti daging segar, mi basah, dan sebagainya. Metode
akselerasi atau yang biasa disebut dengan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) dapat
digunakan untuk memperpendek waktu penentuan umur simpan suatu produk, yaitu dengan cara
mempercepat terjadinya reaksi penurunan mutu produk pada suatu kondisi penyimpanan yang
ekstrim. Salah satu metode ASLT adalah model Arrhenius. Menurut Kusnandar (2006), model
Arrehnius pada umumnya digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang kerusakannya
banyak dipengaruhi oleh perubahan suhu, yaitu dengan memicu terjadinya reaksi-reaksi kimia yang
berkontribusi pada kerusakan produk pangan. Pendugaan umur simpan model Arrhenius dapat
dilakukan dengan menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim dimana kerusakan produk pangan
tersebut dapat lebih cepat terjadi.
Mi instan subtitusi jagung memiliki kemungkinan kerusakan yang diakibatkan oleh
perubahan suhu ekstrim. Perubahan suhu tersebut dapat memicu terjadinya reaksi oksidasi lemak.
Oksidasi lemak dapat disebabkan oleh tingginya kandungan lemak pada produk mi instan berbasis
tepung jagung ataupun karena adanya proses penggorengan dalam tahapan pembuatan mi instan yang
dapat meningkatkan kandungan lemak total.
Merujuk pada berbagai hal yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini
bertujuan untuk menentukan umur simpan mi instan subtitusi jagung dan untuk mengetahui kapan
produk pangan tersebut sudah dinyatakan tidak layak lagi untuk dikonsumsi.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan mi instan subtitusi jagung dengan
metode accelerated shelf-life testing (ASLT) dengan pendekatan Model Arrhenius.
C. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan perkiraan umur simpan produk mi instan
yang disubtitusi dengan tepung jagung, baik secara subjektif maupun dengan menggunakan parameter
objektif. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat diadopsi oleh investor sehingga dapat mendukung
program diversifikasi pangan pokok dan pengurangan ketergantungan nasional terhadap impor tepung
terigu.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG
1. Jenis Jagung
Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman biji-bijian dari keluarga
rumput-rumputan (Graminae) yang awalnya berasal dari Amerika dan merupakan tanaman serealia
yang paling penting di benua tersebut (Anonim, 2007). Berdasarkan bentuk bijinya (kernel), jagung
dibedakan menjadi 6 tipe utama, yaitu dent, flint, flour, pop, sweet, dan pod corns (Darrah et al,
2003). Perbedaan terbesar antara jagung tersebut terletak pada kualitas, kuantitas, dan komposisi
endospermanya. Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya selaput corneus, horny endosperm pada
bagian sisi dan belakang kernel, sedangkan pada bagian tengahnya, inti jagung lunak dan bertepung
(Johnson, 2000). Jagung jenis flint memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny
endosperm disekeliling granula tengah, kecil, dan halus. Jagung flour merupakan jagung yang banyak
ditanam pada zaman Aztec dan Inca. Karena endosperma jagung flour terdiri dari pati halus dan
selaput corneus, jagung ini sangat mudah sekali untuk digiling karena strukturnya yang lunak. Jagung
jenis pop merupakan salah satu jenis jagung yang paling tua dengan selaput endosperma yang sangat
keras dan memiliki kernel kecil seperti flint. Jagung jenis sweet biasa dikonsumsi sebagai capuran
sayuran dan diyakini sebagai jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati dan endosperma
berwarna bening. Jagung ini merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikenal di United States
dan Canada, dan kepopulerannya semakin mendunia (Lucier, 2000). Jagung jenis pod merupakan
jagung hias dengan kernel tertutup dan pada umumnya tidak ditanam secara komersial (Johnson,
1991).
Jagung yang banyak ditanam di Indonesia diantaranya adalah tipe mutiara (flint) dan
setengah mutiara (semiflint) seperti Jagung Pioneer-2 (setengah mutiara), Jagung Hibrida C-1
(setengah mutiara), Jagung Arjuna (mutiara), dan lain sebagainya (Suprapto dan Marzuki, 2005).
Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, jagung tipe brondong (pop corn), jagung gigi kuda
(dent corn), dan jagung manis (sweet corn) juga terdapat di Indonesia.
Jagung hibrida Pioneer 21 termasuk jenis jagung setengah mutiara/semiflint (Suprapto dan
Marzuki, 2005). Jagung setengah mutiara lebih mudah dibuat tepung dibandingkan dengan jagung
mutiara karena jagung setengah mutiara mengandung endosperma lunak yang lebih banyak
dibandingkan dengan endosperma kerasnya. Jagung Pioneer 21 memiliki beberapa keunggulan antara
lain memiliki ketahanan terhadap kondisi kering, tongkol terisi penuh, dan memiliki potensi hasil
yang tinggi, yaitu mencapai 13.3 ton jagung pipil kering/Ha. Komposisi kimia tepung jagung Pioneer
21 berdasarkan hasil penelitian Etikawati (2007) dan jagung kuning (FAO, 2005) dapat dilihat pada
Tabel 1.
. Saat ini, tanaman jagung sudah mulai berkembang sangat luas di Indonesia. Daerah-daerah
penghasil utama tanaman jagung diantaranya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Madura,
DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Tanaman jagung ini sangat
intensif dibudidayakan di daerah Jawa Timur dan Madura karena selain tanah dan iklimnya yang
sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman jagung, di daerah tersebut khususnya Madura, jagung
banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 1998).
Tabel 1. Komposisi kimia tepung jagung Pioneer 21 dan tepung jagung kuning
Komposisi Kimia Jagung Pioneer 21 Jagung Kuning
Kadar air (%) 5,46 14
Kadar protein (%) 6,32 6,6
Kadar abu (%) 0,31 0,5
Kadar lemak (%) 1,73 2,8
Kadar karbohidrat (%) 86,18 76,1
Kadar amilopektin (%) 43,52 -
Kadar amilosa (%) 23,04 -
Kadar karoten (ppm) - 1,3
Retinol equivalen (ppm) - 0,21
Keterangan : (-) Tidak tercantum
Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada
tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan sehingga jumlah baris atau deret
biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu sampai hitam
(Effendi dan Sulistiati, 1991). Biji jagung dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu kulit (pericarp),
endosperma, lembaga (germ), dan tudung pangkal (tip cap). Adapun komposisi tiap bagiannya dapat
dilihat pada Tabel 2.
Pericarp adalah lapisan yang berfungsi membungkus biji dan melindungi bagian dalam biji
jagung. Lapisan ini tersusun oleh 6 lapis sel, yaitu epicarp (lapisan paling luar), mesocarp, dan
tegmen yang terdiri dari lapisan spermoderm dan periperm. Menurut Watson (2003), pericarp
merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari jaringan tebal (62-160μm).
Endosperma merupakan bagian terbesar biji jagung yang biasanya memiliki berat 80-85%
dari berat total dan mengandung pati yang berfungsi sebagai cadangan energi. Sel endosperma
ditutupi oleh granula pati yang membentuk matriks dengan protein yang sebagian besar adalah zein
(Johnson, 1991). Lapisan yang membungkus endosperma adalah lapisan aleuron. Lapisan ini juga
menyelubungi lembaga dan menjadi pembatas antara endosperma dengan kulit (pericarp).
Endosperma jagung terdiri dari dua bagian, yaitu endosperma keras (horny endosperm) yang tersusun
dari sel-sel yang lebih kecil serta tersusun rapat dan endosperma lunak (floury endosperm) yang
tersusun dari pati yang lebih banyak dan tidak serapat pada bagian keras (Muchtadi dan Sugiyono,
1989).
4
Lembaga sebagian besar tersusun dari pati yang digunakan sebagai sumber energi utama
perkecambahan biji jagung (Johnson, 2000). Lembaga terletak pada bagian dasar dan berhubungan
erat dengan endosperma. Lembaga tersusun dari dua bagian, yaitu bagian embrio yang mengandung
30,8% protein dan bagian skutelum yang merupakan tempat cadangan makanan selama
perkecambahan biji (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas
tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung dan merupakan bagian terkecil pada biji jagung.
Menurut Boyer dan Shannon (2003), komponen terbesar dalam biji jagung adalah
karbohidrat (72% dari berat biji) yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas terdapat pada bagian
endosperma. Endosperma matang terdiri dari 86% pati yang tersusun atas dua polimer glucan, yaitu
amilosa (25-30%) dan amilopektin (70-75%). Adapun struktur dari biji jagung dapat dilihat pada
Gambar 1.
Selain itu, jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya tergantung umur dan
variteas jagung tersebut. Kandungan lemak dan protein pada jagung muda lebih rendah jika
dibandingkan dengan jagung tua. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada bagian lembaganya.
Asam lemak penyusunnya terdiri atas lemak jenuh berupa palmitat dan stearat seta asam lemak tidak
jenuh berupa oleat dan linoleat. Protein terbanyak dalam jagung adalah zein (prolamin) yang larut
dalam 70% alkohol dan glutelin.
Biji jagung juga mengandung beberapa vitamin seperti kolin (567 mg/kg), niasin (28 mg/kg),
asam pantotenat (6.6 mg/kg), piridoksin (5.3 mg/kg), tiamin (3.8 mg/kg), riboflavin (1.4 mg/kg), asam
folat (0.3 mg/kg), biotin (0.08 mg/kg), serta vitamin A (β-karoten) dan vitamin E (α-tokoferol)
masing-masing sebesar 2.5 mg/kg dan 30 IU/kg (Watson, 2003). Komposisi kimia dari biji jagung
dapat dilihat pada Tabel 3.
5
Tabel 3. Komposisi kimia biji jagung
Komponen Pati (%) Protein (%) Lipid (%) Gula (%) Abu (%) Serat (%)
Biji utuh 73,4 9,1 4,4 1,9 1,4 9,5
Endosperma 87,6 8,0 0,8 0,62 0,3 1,5
Lembaga 8,3 18,4 33,2 10,8 10,5 14
Pericarp 7,3 3,7 1,0 0,34 0,8 90,7
Tip cap 6,3 9,1 3,8 1,6 1,6 95
Sumber: Watson (2003)
B. TEPUNG JAGUNG
Tepung jagung adalah tepung yang diproduksi dari jagung pipil kering dengan cara
menggiling halus bagian endosperma jagung yang mengandung pati sekitar 86-89%. Tepung jagung
berwarna kuning dengan tingkat kecerahan yang berbeda-beda. Penggilingan biji jagung kedalam
bentuk tepung merupakan suatu proses pemisahan kulit, endosperm, lembaga dan tip cap. Endosperma
merupakan bagian dari biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang
tinggi. Kulit yang memiliki kandungan serat tinggi harus dipisahkan karena dapat membuat tepung
bertekstur kasar. Selain itu, lembaga yang merupakan bagian biji jagung dengan kandungan lemak
tertinggi juga harus dipisahkan agar tepung tidak menjadi tengik. Begitu pula dengan tip cap yang
harus dipisahkan sebelum penepungan agar tidak terdapat butir-butir hitam pada tepung olahan
(Johnson dan May, 2003).
Berdasarkan penelitian Juniawati (2003), pembuatan tepung jagung lebih baik dilakukan
dengan menggunakan metode penggilingan kering. Penggilingan kering umumnya banyak dilakukan
dalam skala besar (Suprapto dan Marzuki, 2005). Penggilingan tepung jagung metode kering
dibedakan menjadi dua tahapan. Penggilingan pertama dilakukan dengan menggunakan hammer mill
yang bertujuan untuk memisahkan bagian endosperma jagung dengan kuit, lembaga, dan tip cap.
Hasil dari penggilingan kasar tersebut kemudian direndam dan dicuci dalam air untuk memisahkan
grits jagung yang banyak mengandung pati dari kulit, lembaga, dan tip cap yang dapat menjadi
sumber kontaminasi. Penggilingan kedua merupakan penggilingan grits jagung yang telah
dikeringkan menggunakan disc mill (penggiling halus) sehingga dihasilkan tepung jagung. Tepung
jagung tersebut kemudian diayak dengan menggunakan saringan berukuran 100 mesh atau kurang
sesuai dengan ukuran partikel tepung akhir yang diinginkan.
Proses penepungan jagung dapat menghasilkan rendemen yang berbeda-beda. Berdasarkan
penelitian Rianto (2006), proses penepungan jagung dengan menggunakan ayakan sebesar 80 mesh
akan menghasilkan rendemen sebesar 40%. Tetapi, tekstur mi yang dihasilkan dari tepung tersebut
tidak sehalus mi yang dibuat dari tepung jagung berukuran 100 mesh. Proses penepungan jagung yang
menggunakan ayakan 100 mesh mempunyai rendeman sebesar 24% (Merdiyanti, 2008). Penurunan
rendeman ini disebabkan oleh penggunaan ayakan tepung yang semakin kecil. Selain itu, kehilangan
rendemen selama proses dapat terjadi pada saat proses perendaman dan penyucian yaitu sebesar 48%.
Menurut Merdiyanti (2008), lama waktu perendaman jagung dapat meningkatkan rendemen
penepungan, semakin lama jagung tersebut direndam maka akan membuat semakin lunak endosperma
biji jagungnya dan semakin banyak pula tepung jagung yang dihasilkan.
Tepung jagung dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk mi baik sebagai
pengganti sebagian atau seluruh penggunaan tepung terigu. Adapun keunggulan dari penggunaan
tepung jagung diantaranya adalah dapat mengurangi biaya bahan baku dan produksi, tidak
6
menggunakan pewarna sintetis untuk memberikan warna kuning yang diinginkan karena adanya
kandungan beta karoten, dan dapat mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan bahan baku
tepung terigu.
Penggunaan tepung jagung dalam pembuatan mi dibatasi oleh karakteristik fungsional tepung
jagung itu sendiri yaitu kandungan protein gluten yang rendah dan karakteristik protein gluten yang
berbeda dengan protein gluten yang ada di tepung terigu (Juniawati, 2003). Hal ini menyebabkan
tepung jagung tidak dapat membentuk lembaran adonan yang elastis dan kompak sebagaimana yang
terjadi pada adonan tepung terigu. Pembentukan lembaran adonan tepung jagung dapat terbentuk
apabila dilakukan proses pemanasan (pengukusan) terlebih dahulu untuk menggelatinisasi sebagian
pati yang akan berfungsi sebagai binding agent dalam pembentukan lembaran adonan (Budiyah,
2004).
Warna kuning tepung jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat di dalam
biji jagung. Pigmen ini termasuk ke dalam golongan pigmen karotenoid yang memiliki gugus
hidroksil. Pigmen xantofil yang utama adalah lutein dan zeaxanthin yang mencapai 90% dari total
pigmen karotenoid yang terdapat di dalam jagung. Warna kuning tepung jagung sangat berpengaruh
terhadap mi yang dihasilkan. Mi jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mi jagung
dibandingkan mi terigu karena tidak memerlukan adanya penambahan bahan pewarna untuk
memperoleh mi yang berwarna kuning (Fadhillah, 2005).
C. MI INSTAN
Mi instan menurut Standar Industri Indonesia (SII) 1716-90 adalah produk makanan kering
dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan yang berbentuk
khas mi dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih maksimal selama 4
menit. Selain itu, definisi mi instan menurut SNI 01-3551-1996 adalah mi yang dibuat dari adonan
terigu atau tepung lainnya dan dapat diberi perlakuan alkali dimana proses pregelatinisasi pati
dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan atau proses dehidrasi lainnya.
Mi instan dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan proses pengeringannya. Pertama
adalah mi instan goreng (instant fried noodle) dimana pengeringannya dilakukan dengan cara
menggoreng dan kedua adalah mi instan kering (instant dried noodle) dimana mi dikeringkan dengan
udara panas sehingga dihasilkan mi instan. Mi instan goreng mampu menyerap minyak hingga 20%
selama penggorengan (Astawan, 1999). Mi instan kering memiliki kadar air yang rendah dan tahan
lama (tidak mudah tengik) karena tidak adanya proses penggorengan. Namun, mi instan kering juga
memiliki kekurangan jika dibandingkan dengan mi instan goreng, yaitu rasa gurih yang rendah akibat
kandungan rendah lemaknya.
Menurut Sunaryo (1985), bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan mi instan
adalah tepung terigu atau tepung beras atau tepung lainnya dan air, sedangkan bahan tambahan yang
digunakan antara lain garam, air abu, bahan pengembang, zat warna, dan bumbu-bumbu. Tepung
terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur dan merupakan sumber karbohidrat dan juga
protein. Air berfungsi sebagai media reaksi anatara karbohidrat dengan gluten, melarutkan garam, dan
membentuk sifat kenyal gluten. Garam berperan untuk memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat
air, meningkatkan elastisitas, dan fleksibilitas mi. Air abu berfungsi untuk mempercepat pembentukan
gluten dan meningkatkan sifat kenyal. Bahan pengembang digunakan untuk mempercepat
pengembangan adonan dan mencegah penyerapan minyak selama penggorengan mi. Zat warna yang
ditambahkan bertujuan memberikan warna khas pada mi, sedangkan bumbu-bumbu biasa
7
ditambahkan untuk memberikan flavor tertentu pasa produk mi instan tersebut. Selain itu, pada
pembuatan mi juga sering ditambahkan CMC (Carboxyl Metil Cellulose) yang berfungsi sebagai
pengembang dan dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air, serta
mempertahankan keempukan mi selama penyimpanan.
Proses pembuatan mi instan terdiri atas beberapa tahap, yaitu pencampuran (mixing),
pembentukan lembaran adonan dan pencetakan (pressing dan slitting), pemotongan (cutting),
pengukusan (steaming), penggorengan (frying), pendinginan dan pengemasan (cooling and packing)
(Dashanjiang Machine Ltd, 2003).
1. Pencampuran
Pencampuran (mixing) adalah proses mencampurkan bahan utama (raw material) yang terdiri
atas tepung terigu dan tapioka dengan larutan garam di dalam suatu alat mixer pada waktu tertentu
hingga diperoleh adonan yang homogen. Proses ini bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air,
menghasilkan adonan yang homogen, dan membentuk adonan yang mempunyai struktur gluten yang
baik. Adonan terbentuk karena gluten mengembang ketika menyerap air dan pengadukan
menyebabkan serat gluten tersusun baik (saling bersilang dan terbungkus pati) sehingga adonan
menjadi halus dan elastis.
2. Pembentukan Lembaran dan Pencetakan
Pembentukan lembaran dan pencetakan adonan (pressing) adalah proses mencetak adonan
yang telah dicampur homogen sehingga membentuk lembaran adonan dengan ketebalan tertentu.
Slitting merupakan proses dimana lembaran adonan dipotong atau disisir menjadi untaian mi. Tahapan
ini bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dengan arah yang sama secara merata sehingga
lembaran adonan menjadi lembut dan elastik serta dapat dipotong atau disisir menjadi untaian mi dan
dibentuk menjadi bergelombang.
3. Pemotongan
Pemotongan (cutting) adalah proses memotong untaian mi dengan ukuran tertentu dan
melipat menjadi dua bagian sama panjang sesuai dengan varian yang dikehendaki. Proses ini
bertujuan untuk memotong untaian mi sesuai ukuran.
4. Pengukusan
Pengukusan (steaming) adalah proses pengukusan untaian mi dengan menggunakan uap air
panas bersuhu 100-110°C. Proses ini bertujuan untuk memasak mi menjadi sifat mi yang solid.
Pemanasan ini menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati dan koagulasi gluten. Gelatinisasi
menyebabkan pati meleleh ke permukaan mi membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi
penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mi.
5. Penggorengan
Penggorengan (frying) adalah proses pengeringan dengan menggunakan minyak sebagai
medianya. Tahapan ini merupakan proses untuk meletakkan mi basah (setelah pengukusan) di dalam
mangkok penggorengan kemudian merendamnya dengan menggunakan minyak dengan suhu dan
waktu tertentu (deep frying). Proses ini bertujuan untuk mengurangi kadar air di dalam mi dan
pemantapan pati tergelatinisasi.
6. Pendinginan dan Pengemasan
Pendinginan (cooling) adalah proses pendinginan mi setelah keluar dari oven. Pendinginan
dilakukan dengan hembusan udara atau kipas dalam lorong pendingin. Setelah pendinginan, mi
dikemas dan dikelim (sealing).
8
D. MI JAGUNG
Akhir belakangan ini, banyak pihak yang telah melakukan penelitian ke arah proses
pembuatan mi berbahan dasar jagung baik dalam bentuk mi jagung basah, mi jagung kering, ataupun
mi jagung instan. Mi jagung dapat dibuat dengan menggunakan pati jagung ataupun tepung jagung
dengan berbagai macam persentase penambahan. Selain itu, mi jagung juga dapat diproduksi dengan
menggunakan teknologi kalendering ataupun teknologi ekstrusi. Teknologi kalendering merupakan
teknologi pembuatan mi dengan membentuk lembaran adonan terlebih dahulu sebelum pembentukan
untaian mi, sedangkan teknologi ekstrusi merupakan teknologi pembentukan untaian mi dengan
menggunakan mesin ekstruder pasta (Sigit, 2008). Proses pembuatan mi jagung instan 100% terdiri
dari tahap pencampuran, pengukusan pertama, pengulian, pencetakan, pengukusan kedua, dan
pengeringan (Juniawati, 2003), sedangkan pada pembuatan mi jagung instan subtitusi hanya terdiri
dari tahap pencampuran, pengistirahatan, pembentukan lembaran adonan, pencetakan, pemotongan,
pengukusan, dan penggorengan.
Persentase tepung jagung yang dapat digunakan untuk mensubtitusi tepung terigu pada
teknik pembuatan mi yang biasa masih terbatas karena karakteristik protein gluten yang terdapat
dalam tepung jagung berbeda dengan yang terdapat dalam tepung terigu sehingga tepung jagung sulit
membentuk lembaran adonan yang elastis dan kompak tanpa bantuan pemanasan (Kusnandar et al.,
2009). Oleh karena itu, beberapa penelitian mulai memanfaatkan penambahan pati, protein jagung,
dan bahkan dengan melakukan modifikasi pada pati tepung jagung untuk memperbaiki elastisitas
adonan. Budiyah (2005) telah memanfaatkan penggunaan pati dan protein jagung (corn gluten meal)
dalam pembuatan mi jagung instan untuk meningkatkan elastisitas produk. Sedangkan, Indrawuri
(2010) menggunakan pati termodifikasi dengan teknik HMT (high moisture treatment) dalam
pembuatan mi jagung instan.
Jenis protein yang membentuk massa lengket dengan larutan garam yang sangat encer
disebut dengan gliadin. Sedangkan sebagian protein lain yang tidal larut, yaitu glutenin akan melemas
dan membentuk struktur serat yang kokoh dengan protein yang larut tersebut sehingga dapat
membentuk adonan yang sangat fleksibel dan tahan banting. Hal ini disebabkan oleh kandungan asam
amino prolin yang cukup tinggi pada glutenin dimana asam amino prolin mempunyai struktur yang
sedikit berlipat. Lipatan tersebut akan terbuka selama proses mixing dan kneading sehingga struktur
menjadi renggang dan menyebabkan adonan menjadi elastis (Fennema, 1996).
Pada riset skala industri yang dilakukan oleh Fadlillah (2005) memperlihatkan bahwa pada
pembuatan mi jagung instan, industri dapat menambahkan protein gluten terigu untuk menghasilkan
adonan yang viskoelastis. Tetapi, penambahan gluten ini dapat meningkatkan biaya produksi sehingga
penggunaan protein gluten terigu ini tergantung pada kebijakan dan strategi bisnis masing-masing
industri.
Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat mi pada awalnya dicampurkan terlebih dahulu
hingga homogen. Sebelum adonan dibentuk menjadi lembaran, diperlukan waktu untuk memberi
kesempatan adonan untuk beristirahat sejenak. Pengistirahatan adonan ini bertujuan untuk
menyeragamkan penyebaran air dan pengembangan gluten (Kusnandar et al., 2010).
Kusnandar et al. (2010) menyatakan bahwa pada tahap pembentukan lembaran (sheeting),
adonan dimasukkan ke dalam roll press dengan tujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten. Pada
saat dipress, serat-serta gluten yang tidak beraturan segera ditarik memanjang dan searah oleh tekanan
antara dua roller sampai ketebalan 1.6 mm. Setelah itu dilakukan pembentukan untaian mi dan
pemotongan.
9
Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan mi terigu karena setelah tahapan pemotongan
menjadi untaian mi dilakukan tahap pengukusan. Proses pengukusan ini bertujuan menggelatinisasi
sebagian besar pati, yaitu sekitar 70%, sehingga dapat berperan sebagai pengikat adonan. Protein
endosperma jagung banyak mengandung zein (sekitar 60%) yang tidak dapat membentuk massa
adonan yang elastic-cohesive bila hanya ditambahkan air dan diuleni. Oleh karena itu, tanpa
pengukusan, adonan tidak akan bersifat elastik dan kompak. Lama dan waktu pengukusan dapat
bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak, tetapi tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang
diharapkan hampir sama (Juniawati, 2003)
Institut of Food Technologist (IFT) mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai
selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang
memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi, sedangkan National
Food Prosessor Association mendefinisikan umur simpan sebagai kualitas produk secara umum yang
dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas
masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah, 2001).
Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi
di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan sehingga pada saat
tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu
akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai
jangka waktu kadaluwarsa. Bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah
kadaluwarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimum dan pada umumnya mutu gizi pangan
tersebut menurun walaupun penampakannya masih bagus.
Penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam suatu kondisi
yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk tersebut menjadi rusak (Speigel, 1992).
Penentuan umur simpan sangat penting dalam proses penyimpanan. Oleh karena itu, dalam
menentukan umur simpan suatu produk pangan perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut-atribut
mutu produk tersebut. Menurut Syarief et al. (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan
produk pangan yang dikemas antara lain:
1. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit
dan belum digunakan.
2. Keadaan alamiah atau sifat pangan dan mekanisme berlangsungnya perubahan seperti kepekaan
terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik.
3. Ukuran dan kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau,
termasuk perekat, penutupan, dan bagian-bagian lain yang terlipat.
Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya, seperti untuk
produk yang berlemak parameter yang diukur biasanya berupa derajat ketengikan, produk yang
disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba,
dan untuk produk berwujud bubuk, cair, atau kering parameter yang diukur adalah kadar airnya.
Untuk satu produk, yang diuji bukan semua parameternya, melainkan hanya salah satu saja, yaitu
parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen.
Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena
penetapan kadaluwarsa dengan metode konvensional atau biasa disebut sebagai metode ESS
(Extended Storage Studies) dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri sampel produk pada kondisi
10
normal sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai mutu yang telah
kadaluwarsa. Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut maka digunakan metode
ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau dikenal dengan sebutan metode akselerasi. Pada metode
ini, kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan
penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief, 2000). Selain itu, penggunaan metode
akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang
berasngkutan (Ellis, 1994).
Metode ASLT ini pada awalnya dilakukan dengan membuat plot data hubungan antara nilai
mutu (Q t ) untuk masing-masing suhu terhadap waktu pengamatan (t, hari) menurut reaksi ordo O dan
1. Selanjutnya berdasarkan persamaan tersebut dapat diperoleh nilai konstanta laju reaksi/penurunan
mutu (k t ) dan dengan membandingkan nilai R2-nya, maka dapat ditentukan pula ordo reaksi yang
paling cocok. Kemudian, penetapan umur simpannya dapat diperoleh melalui ekstrapolasi suhu
penyimpanan pada persamaan Arrhenius (1.1).
k t = k o .exp (Ea/RT) (1.1)
dimana:
k t = konstanta laju penurunan mutu
k o = konstanta (faktor frekuensi yang tidak tergantung suhu)
Ea = energi aktivasi
T = suhu mutlak (K)
R = konstanta gas (1.986 kal/mol K)
Untuk menentukan umur simpan (t s ) pada suhu penyimpanan tertentu sebagaimana yang diinginkan
dapat pula digunakan persamaan berikut :
Untuk laju reaksi ordo nol : t s = (Q 0 -Q t )/k T (1.2)
Untuk laju reaksi ordo 1 : ts = [ln(Q 0 -Q t )]/k T (1.3)
dimana:
t = umur simpan (hari)
Q 0 = nilai mutu awal
Q t = nilai batas kritis / batas mutu akhir
k T = konstanta penurunan mutu pada suhu T
Dalam model Arrhenius ini, suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap produk
pangan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula laju reaksi berbagai senyawa kimia dan
semakin mempercepat terjadinya penurunan mutu produk (Hariyadi et al., 2006). Menurut Kusnandar
(2006), produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah
makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus buah, mi
instan, frozen meat, dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya
oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi
kecoklatan). Menurut Labuza (1982), reaksi penurunan mutu pada kebanyakan produk pangan
mengikuti ordo reaksi nol dan satu serta hanya sedikit yang mengikuti ordo reaksi lain.
Tipe kerusakan yang tergolong dalam reaksi ordo nol menurut Labuza (1982) diantaranya (1)
degradasi enzimatis, misalnya pada buah dan sayuran segar serta beberapa pangan beku; (2) browning
11
non enzimatis, misalnya pada biji-bijian kering, produk susu kering; dan (3) oksidasi lemak, misalnya
peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering dan pangan beku.
Pada reaksi ordo nol, laju perubahan A menjadi B dinyatakan seperti pada persamaan (1.4).
−𝑑𝑑𝑑𝑑
= 𝑘𝑘 (1.4)
𝑑𝑑𝑑𝑑
dengan mengintegralkan kedua ruas persamaan diatas, diperoleh persamaan (1.5).
A = A 0 – kt (1.5)
dimana:
A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t
A 0 = nilai mutu awal
t = waktu penyimpanan (dalam hari, bulan atau tahun)
Tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam reaksi ordo satu diantaranya (1)
ketengikan, misalnya pada minyak salad dan sayuran kering; (2) pertumbuhan mikroorganisme pada
ikan dan daging, serta kematian mikoorganisme akibat perlakuan panas; (3) produksi off flavor oleh
mikroba; (4) kerusakan vitamin dalam makanan kaleng dan makanan kering; dan (5) kehilangan mutu
protein (makanan kering) (Labuza, 1982).
Jika pada reaksi ordo nol persentase kehilangan masa simpan per hari bersifat konstan pada
suhu tetap, maka pada reaksi ordo satu penurunan mutu terjadi secara eksponensial. Pada reaksi ordo
satu, laju perubahan A menjadi B dinyatakan dalam persamaan (1.6).
−𝑑𝑑𝑑𝑑
= 𝑘𝑘𝑘𝑘 (1.6)
𝑑𝑑𝑑𝑑
dengan integrasi, diperoleh persamaan sebagai berikut:
ln A = ln A 0 – kt (1.7)
dimana:
A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t
A 0 = nilai mutu awal
K = konstanta laju reaksi ordo satu
t = waktu penyimpanan (dalam hari, bulan atau tahun)
Menurut Arpah (2001), dalam penggunaannya untuk menetapkan umur simpan, persamaan
Arrhenius menggunakan beberapa asumsi, yaitu:
1. Hanya ada satu jenis reaksi yang dihubungkan dengan penurunan mutu produk. Asumsi ini
penting dalam hal melihat pengaruh suhu karena jika suhu meningkat, maka reaksi-reaksi yang
memiliki energi aktivasi yang lebih tinggi dari reaksi yang diamati, dapat mulai berlangsung dan
mempengaruhi mutu produk.
2. Tidak terjadi perubahan fase selama reaksi berlangsung dan mempengaruhi konsentrasi reaktan.
3. Pengaruh fase lain, misalnya jika terjadi proses partisi dari komponen reaktan ke dalam fase
minyak atau lemak tidak dipengaruhi temperatur.
4. Tidak ada pengaruh pengolahan dan penanganan terhadap reaksi. Dalam hal ini, bagaimanapun
proses pengolahan apabila produk disimpan pada suhu yang memungkinkan untuk tejadinya
reaksi maka reaksi akan berlangsung.
5. Analisis penurunan konsentrasi komponen dan penentuan nilai k tidak didasarkan pada analisis
hedonik.
12
F. SELEKSI DAN PELATIHAN PANELIS TERLATIH
Penggunaan panelis terlatih diperlukan dalam memberikan penilaian terhadap atribut sensori
produk mi instan subtitusi jagung karena penilaian tersebut akan digunakan dalam penentuan umur
simpan sehingga diharapkan hasil penilaian dari para panelis dapat menggambarkan kondisi produk
sebenarnya. Selain itu, evaluasi sensori ini juga diperlukan terutama untuk mendukung keseluruhan
riset sehingga diperoleh data berdasarkan parameter subjektif yang dapat digunakan untuk mendukung
pengukuran berdasarkan parameter objektif.
Pemilihan panelis terlatih merupakan suatu hal yang kritis dalam uji sensori. Di dalam indutri
pangan, panelis sensori merupakan salah satu hal yang paling penting di dalam perkembangan dan
quality control mereka. Kesuksesan ataupun kegagalan panelis tersebut tergantung pada tahapan
seleksinya (Meilgaard et al., 1999). Sebelum melakukan serangkaian tahapan seleksi, panelis tersebut
harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti memiliki motivasi, sehat secara fisik (tidak mempunyai
alergi atau intolerance terhadap suatu produk), mempunyai ketersediaan waktu, dan lain sebagainya.
Seleksi panelis dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu identifikasi rasa dan aroma dasar,
uji segitiga (triangle test), dan uji rangking (ranking test). Metode seleksi ini bertujuan untuk melihat
kemampuan para panelis dalam membedakan karakter diantara banyak produk dan membedakan
intesitas dari karakter tersebut (Meilgaard et al., 1999). Uji identifikasi rasa dan aroma dasar bertujuan
untuk menentukan kemampuan panelis dalam membedakan berbagai atribut rasa dan aroma dasar. Uji
ini juga digunakan untuk menguji kemampuan dasar indra pencicipan dan penciuman. Uji segitiga
dilakukan untuk mengetahui kemampuan panelis dalam menemukan suatu perbedaan diantara atribut
sampel yang sama. Uji rangking dilakukan untuk mengetahui kemampuan panelis dalam membedakan
intensitas atribut sampel yang diujikan. Panelis yang lolos tahapan seleksi (screening test) adalah
panelis yang benar menjawab lebih dari 75% uji identifikasi rasa dan aroma dasar, lebih dari 60% uji
segitiga, dan panelis yang dapat mengurutkan dengan benar pada uji rangking.
Pelatihan panelis diawali dengan mengajarkan prosedur yang benar kepada para panelis
dalam memperlakukan contoh pada saat pengujian dilakukan. Panelis tersebut harus ditekankan untuk
membaca prosedur terlebih dahulu secara teliti sebelum melakukan pengujian. Panelis juga dituntut
untuk mengabaikan kesukaan mereka terhadap suatu karakter atau atribut dan harus berkonsentrasi
agar dapat membedakan atribut antara sampel yang sedang diujikan. Panelis kemudian diperkenalkan
kepada berbagai macam atribut sampel yang nanti akan diujikan. Setelah dilakukan beberapa kali
perkenalan, panelis diminta untuk melakukan simulasi pengujian yang sebenarnya. Pelatihan ini terus
dilakukan sampai panelis dapat memberikan hasil yang signifikan dan konsisten.
13
III. METODOLOGI PENELITIAN
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung jagung Pioneer 21, tepung
terigu Cakra Kembar, air, minyak goreng, baking powder, guar gum, garam, dan bahan-bahan yang
digunakan dalam analisis TBA dan peroksida.
Alat-alat yang digunakan dalam produksi tepung jagung dan pembuatan mi instan subtitusi
jagung adalah disc mill, hammer mill, vibrator screen, timbangan, oven pengering (dryer), dough
mixer, roll press, steaming box, dan deep-fat frying yang semuanya tersedia di Pilot Plant Seafast
Center-IPB, sedangkan alat-alat lain yang digunakan dalam analisis adalah neraca analitik,
spektrofotometer, inkubator, gelas piala, erlenmeyer, buret, pipet, labu takar, dan kompor penangas.
Peralatan untuk uji organoleptik yang diperlukan yaitu perangkat pengujian seperti gelas-gelas saji,
sendok plastik, wadah saji, dan kompor.
B. METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian akan dilakukan melalui dua tahapan utama, yaitu pembuatan mi instan
subtitusi jagung dan pendugaan umur simpan (shelf-life) produk mi instan subtitusi jagung dengan
metode Accelerated shelf Life Testing (ASLT) Model Arrhenius. Tahapan kegiatan penelitian ini
secara terperinci dapat dilihat pada Gambar 2. Pembuatan mi instan subtitusi jagung dilakukan dengan
metode sheeting, kemudian mi tersebut disimpan selama 5 minggu pada kondisi diatas normal, yaitu
pada suhu 32, 37, 45, 50, dan 52°C. Penentuan umur simpan dilakukan menggunakan metode
Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) Model Arrhenius berdasarkan parameter bilangan TBA,
peroksida, kehilangan padatan akibat pemasakan atau cooking loss, tekstur, dan warna. Selain itu,
penentuan umur simpan ini juga ditentukan berdasarkan parameter-parameter organoleptik (flavor,
tekstur setelah direhidrasi, dan warna). Adapun penjelasan mengenai setiap tahapannya dapat
dijabarkan sebagai berikut ini:
Tahap pembuatan mi instan subtitusi jagung diawali dengan melakukan penepungan jagung
terlebih dahulu. Tahapan proses penepungan jagung ini dapat dilihat pada Gambar 3. Proses
penepungan ini dimulai dengan penggilingan kasar menggunakan mesin hammer mill. Setelah itu,
jagung direndam dalam air untuk memisahkan endosperma dari bagian lembaga, kulit dan tip cap.
Grits jagung yang dihasilkan ditiriskan dan dikeringkan untuk kemudian digiling secara halus
menggunakan disc mill. Tepung jagung kasar yang dihasilkan kemudian diayak menggunakan ayakan
berukuran 100 mesh hingga dihasilkan tepung jagung halus berukuran 100 mesh.
Setelah diperoleh tepung jagung halus, pembuatan mi instan subtitusi jagung dapat
dilanjutkan dengan menggunakan formulasi hasil optimalisasi pada penelitian mi jagung instan yang
dilakukan sebelumnya oleh Stefanus (2010) dengan tahapan yang dapat dilihat pada Gambar 4. Mi
instan subtitusi jagung tersebut kemudian dibandingkan teksturnya baik dari segi kekenyalan maupun
elastisitasnya dengan mi instan biasa yang dibuat dari tepung terigu sebagai kontrol.
TUJUAN
1. Menentukan umur simpan (shelf life) mi jagung instan dengan metode ASLT
Model Arrhenius dan parameter organoleptik
2. Menentukan parameter terbaik untuk pendugaan umur simpan
T
Penentuan Umur Simpan A
(shelf life) H
A
P
II
Analisis Organoleptik Analisis Fisik Analisis Kimia
- Uji Skoring/Rating - Kadar Air - Bilangan TBA
- Cooking loss/KPAP - Bilangan Peroksida
- Warna sebelum direhidrasi
- Tekstur sesudah direhidrasi (TPA)
Penyimpanan
(32, 37, 45, 50 dan 52°C; 5 minggu)
Mi Jagung
T
A
H
Pembuatan Mi Jagung Instan Metode Sheeting
A
P
I
Tepung Jagung 100 mesh
Penepungan
Jagung Pipil
15
Jagung pipil
Grits jagung
Umur simpan produk pangan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan suatu produk
pangan untuk mengalami kerusakan hingga tingkat yang tidak dapat diterima pada kondisi
penyimpanan, proses, dan pengemasan yang spesifik. Umur simpan produk pangan juga diartikan
sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi
yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi (Arpah, 2001).
Tahap pendugaan umur simpan produk mi instan subtitusi jagung dilakukan dengan metode
Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) Model Arrhenius. Tahap ini dilakukan dengan menyimpan mi
instan tersebut pada kondisi suhu ekstrim, menghitung kinetika penurunan mutu, dan menentukan
umur simpan pada suhu yang diinginkan.
16
Tepung jagung 30%, tepung terigu 70 %, garam 1%, guar gum 1%,
baking powder 0.3%, air 40% (berdasarkan hasil penelitian terpisah)
Pada penelitian ini, produk mi instan subtitusi jagung sebanyak 50 g akan disimpan pada
lima kondisi suhu ekstrim, yaitu 32°C, 37°C, 45°C, 50°C, dan 52°C sehingga diharapkan mampu
mempercepat terjadinya reaksi penurunan mutu produk. Semakin banyak suhu yang digunakan
akan memberikan persamaan Arrhenius yang lebih baik dan lebih dipercaya dalam memprediksi
umur simpan produk pada berbagai suhu penyimpanan, karena persamaan tersebut diperoleh dari
lima suhu penyimpanan. Penyimpanan mi instan ini hanya menggunakan satu jenis kemasan yang
memang biasa digunakan untuk produk mi instan, yaitu kemasan PP. Produk mi instan subtitusi
jagung kemudian diamati dan dianalisis parameter mutunya selama 5 minggu (pada minggu ke-
1,2,3,4,dan 5). Parameter mutu yang diamati diantaranya adalah bilangan TBA, bilangan
17
peroksida, cooking loss/Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP), warna dengan
menggunakan Chromameter, tekstur dengan menggunakan TPA (Texture Profile Analyzer), dan
beberapa faktor mutu berdasarkan parameter organoleptik seperti rasa dan bau tengik, warna, dan
tekstur sesudah direhidrasi.
Mi jagung instan
Penetapan ordo reaksi (ordo nol atau ordo satu) melalui kurva
dengan nilai R2 tertinggi
18
Pemplotan nilai mutu (Q) pada masing-masing suhu dan jenis atribut terhadap waktu
pengamatan (t) dapat dilihat seperti pada Gambar 6.
Berdasarkan plot data tersebut, dapat ditentukan model persamaan (2.1 dan 2.2) dari
masing-masing ordo reaksi beserta nilai R2-nya.
Ordo nol : Qt = Qo – kTt (2.1)
Ordo satu : ln Q t = ln Q o - k T t (2.2)
dimana:
Q o = nilai mutu awal penyimpanan
Q t = nilai mutu pada waktu penyimpanan t
k T = konstanta laju reaksi/penurunan mutu pada suhu T
t = waktu penyimpanan (hari)
Dengan membandingkan nilai R2-nya, dapat ditentukan orde reaksi yang paling sesuai
(nilai R2 lebih tinggi). Kemudian melalui persamaan yang diperoleh, ditentukan nilai konstanta
laju penurunan parameter mutu produk (k) pada masing-masing suhu penyimpanan. Dengan
demikian, akan diperoleh nilai k pada 3 suhu yang berbeda. Nilai k pada suhu T tertentu ini
merupakan selisih nilai mutu awal dan nilai mutu pada penyimpanan selama t yang dibagi dengan
lama penyimpanan t.
Penghitungan umur simpan produk pada suhu tertentu selanjutnya dapat ditentukan
dengan menghubungkan nilai k yang telah diperoleh dan nilai suhu yang diinginkan melalui
pemplotan ln k dan 1/T pada kurva, sehingga dapat diketahui ekstrapolasi umur simpan produk
pada tingkatan suhu lain dan besar energi aktivasinya. Selanjutnya umur simpan dapat ditentukan
berdasarkan rumus sebagai berikut:
Umur simpan ordo nol dapat dihitung dengan persamaan (2.3).
A0 − At
t= (2.3)
k
Umur simpan ordo satu dapat dihitung dengan persamaan (2.4).
ln (A0) – ln (At)
t= (2.4)
k
Keterangan:
t = umur simpan (hari)
A 0 = nilai mutu awal/konsentrasi awal
A t = nilai mutu akhir/konsentrasi pada titik batas kadaluarsa (titik kritis)
k = konstanta (laju reaksi)
Ea = energi aktivasi
T = suhu mutlak (K)
19
R = konstanta gas (1.986 kal/mol K; 8.314 J/mol.K)
Nilai k yang telah diperoleh kemudian dihubungkan dengan suhu menggunakan
persamaan Arrhenius. Secara empiris, pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi dinyatakan
sebagai persamaan (2.5).
k = k 0 e-(Ea/RT) (2.5)
Persamaan diatas dapat diubah menjadi persamaan (2.6).
𝐸𝐸𝐸𝐸 1
ln k = ln k 0 - (2.6)
𝑅𝑅 𝑇𝑇
Sehingga, melalui plot kurva antara ln k dan 1/T menghasilkan garis lurus yang dapat
diketahui ekstrapolasi umur simpan produk pada tingkatan suhu lain dan energi aktivasinya
sebesar slope dikali konstanta gas (1.986 kal/mol K atau 8.314 J/mol.K).
Parameter mutu yang digunakan pada pendugaan umur simpan ini adalah bilangan TBA
(thio barbituric acid), bilangan peroksida, KPAP (Kehilangan Padatan AKibat Pemasakan), skor
warna, dan tekstur
3. Metode Analisis
Pada analisis bilangan TBA, asam 2-thiobarbituriat akan bereaksi dengan malonaldehid
membentuk warna merah, yang intensitasnya dapat diukur dengan spektrofotometer.
Malonaldehid sebagai hasil oksidasi lipid mengindikasikan adanya ketengikan pada produk.
Pengukurannya dapat dilakukan dengan menghancurkan mi instan subtitusi jagung sebanyak 10
gram ke dalam waring blender bersama 50 ml akuades selama 2 menit. Kemudian, pindahkan
secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml akuades. Atur pH menjadi
1.5 dengan menambahkan HCl 4M sebanyak 2.5 ml. Tambahkan batu didih dan pencegah buih
secukupnya dan pasang labu destilasi pada alat destilasi. Destilasi dijalankan dengan pemanasan
tinggi sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan.
Aduk merata destilat yang diperoleh, pipet 5 ml destilat ke dalam tabung reaksi bertutup.
Tambahkan 5 ml pereaksi TBA, tutup, campur merata lalu panaskan selama 35 menit dalam air
mendidih. Selanjutnya buat larutan blanko dengan menggunakan 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi,
dan beri perlakuan seperti penetapan sampel. Dinginkan tabung reaksi dengan air pendingin,
kemudian ukur absorbansinya pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai
titik nol. Analisis bilangan TBA ini dilakukan selama sampling dalam penyimpanan, sehingga
dapat mendukung hasil analisis sensori subyektif oleh panelis.
20
ml pelarut CH 3 COOH-CHCl 3 kemudian kocok. Setelah itu, tambahkan 0.5 ml KI ke dalam
erlenmeyer dan tambahkan aquades sebanyak 30 ml. Titrasi contoh tersebut dengan Na 2 S 2 O 3 o.1
N sampai warna kuning hampir hilang lalu segera tambahkan 0.5 ml indikator larutan pati 1%.
Lanjutkan titrasi sampai warna biru menghilang. Bilangan peroksida ditetapkan dengan rumus
(2.7).
(𝑉𝑉𝑉𝑉−𝑉𝑉𝑉𝑉 )×𝑁𝑁
Bilangan peroksida (BP) = x 1000 (2.7)
𝑊𝑊
Keterangan:
BP = bilangan peroksida (meq peroksida/kg contoh)
Vs = volume Na 2 S 2 O 3 untuk titrasi contoh (ml)
Vb = volume Na 2 S 2 O 3 untuk titrasi blangko (ml)
N = konsentrasi Na 2 S 2 O 3 (N)
W = berat contoh (gr)
21
instrumen. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan probe berbentuk silinder, dengan
diameter 35 mm. Lakukan pengaturan kondisi pengukuran Texture Analyzer berdasarkan
golongan contoh bahan yang diukur.
Seuntai sampel mi yang telah direhidrasi dengan panjang melebihi diameter probe
diletakkan di atas landasan, lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan
hubungan antara gaya untuk mendeformasi dengan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan
absolute (+) peak dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak, dengan satuan
gram force (gf), kekenyalan diperoleh dari rasio antara dua area kompresi, dan elastisitas
diperoleh dari pembagian antara jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan kedua dengan
jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan yang pertama.
f. Analisis Organoleptik
Analisis Organoleptik
- Uji Skoring/Rating
Panelis Terlatih
Calon Panelis
Seleksi Panelis
- Uji Deskriptif
- Uji Segitiga
Panelis
22
Pemilihan panelis merupakan hal yang kritis dalam uji sensori. Panelis yang potensial
harus mempunyai ketersediaan waktu untuk mengikuti serangkaian pelatihan dan uji-uji
organoleptik, mempunyai kondisi fisik yang sehat, mempunyai motivasi, serta indera sensorinya
juga harus berfungsi secara normal. Seleksi panelis merupakan langkah awal yang dilakukan
untuk memperoleh 10 orang panelis yang bersedia dilatih. Seleksi ini dilakukan terhadap sekitar
50 orang calon panelis yang kemudian diberikan serangkaian tes organoleptik sehingga diperoleh
sebanyak 10 orang. Tahapan ini bertujuan mengetahui kepekaan sensori calon panelis. Pengujian
yang dilakukan mencakup uji identifikasi terhadap rasa dan aroma dasar dan uji segitiga.
Pada uji identifikasi baik rasa maupun aroma dilakukan dengan tujuan untuk melihat
kemampuan panelis dalam mengenali dan mendeskripsikan rasa serta aroma dasar. Calon panelis
diminta untuk menentukan lima rasa dasar dalam 5 larutan uji serta mendeskripsikan aroma dari
flavor-flavor yang disajikan. Flavor uji yang akan disajikan kepada panelis meliputi contoh-
contoh flavor caramel, cis-3-hexenal, eugenol, kacang, rancid (tengik), acid, dan fruity,
sedangkan untuk contoh uji rasa dasar, tingkatan konsentrasi yang digunakan dapat dilihat pada
Tabel 4.
Selanjutnya, pada uji segitiga, calon panelis diminta untuk menilai atau mengidentifikasi
satu sampel yang berbeda diantara ketiga sampel yang disajikan. Uji segitiga dilakukan dengan
menggunakan beberapa set rasa maupun aroma dasar yang memiliki perbedaan konsentrasi serta
dilakukan sebanyak 10 ulangan untuk melihat konsistensi panelis dalam memberikan jawaban.
Konsentrasi larutan yang biasa digunakan pada uji segitiga rasa dasar dapat dilihat seperti pada
Tabel 5. Tetapi, sehubungan dengan parameter-parameter organoleptik yang dibutuhkan untuk
kepentingan penelitian, uji segitiga kali ini dilakukan untuk menguji atribut tekstur (kekerasan,
kekenyalan, dan elastisitas) dan atribut aroma (bau tengik). Format kuesioner uji-uji dalam seleksi
panelis ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
Calon panelis yang lolos seleksi menjadi kandidat panelis terlatih adalah panelis yang
mampu mengidentifikasi 100% rasa dasar dan minimal 50% dari aroma dasar melalui metode
deskripsi. Selain itu, panelis yang terpilih adalah panelis yang menjawab dengan benar 60% dari
semua seri uji segitiga yang dilakukan.
Setelah diperoleh kandidat 10 orang panelis terlatih, maka dilakukanlah serangkaian
proses pelatihan dalam bentuk diskusi fokus grup (FGD). Menurut Meilgaard et al. (1999), proses
pelatihan panelis terlatih membutuhkan waktu selama 40 hingga 120 jam. Semakin kompleks
atribut yang diujikan, maka waktu pelatihan panelis yang dibutuhkan juga akan semakin lama.
Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap
atribut rasa dan aroma, terutama yang terkait dengan kepentingan penelitian. Tahapan ini terdiri
23
dari pengenalan bahasa flavor, pengenalan skala, dan pelatihan penilaian suatu sampel tertentu
(Stone dan Sidel, 2004).
Diskusi fokus grup (FGD) dapat dilakukan oleh panel leader bersama dengan para
panelis terlatih untuk menentukan atribut mutu kritis yang menyebabkan produk mi instan
subtitusi jagung menjadi tidak diterima. Selain itu, mereka diminta untuk menentukan atau
mengidentifikasi produk yang diperkirakan sudah tidak dapat lagi diterima oleh konsumen.
Identifikasi produk yang sudah tidak dapat diterima (produk kritis) pada tahap simulasi
kerusakan, selanjutnya didiskusikan bersama panelis terlatih melalui tahap FGD ini. Penentuan
produk kritis tersebut didasarkan pada terjadinya kesepakatan diantara panelis. Produk kritis yang
sudah disepakati kemudian akan diberi penilaian secara subjektif untuk dijadikan batas skor nilai
mutu yang ditolak atau biasa disebut dengan nilai kritis. Penilaian ini juga didasarkan atas
kesepakatan bersama diantara panelis. Selain penilaian secara subjektif, produk tersebut juga diuji
secara objektif sehingga akan diperoleh nilai kritis berdasarkan beberapa parameter objektif yang
telah disebutkan di atas.
Tidak berbeda dengan nilai kritis, penentuan nilai awal produk mi instan subtitusi jagung
juga dilakukan melalui FGD. Para panelis diberikan sampel produk yang baru diproduksi dan
mereka diminta untuk menilai mutu awalnya. Nilai awal untuk parameter subjektif ditentukan
berdasarkan rata-rata penilaian dari nilai mutu yang diberikan oleh setiap panelis, sedangkan nilai
awal untuk parameter objektif ditentukan dengan menganalisis langsung produk mi instan
subtitusi jagung yang baru diproduksi tersebut.
Setiap panelis diberikan latihan pada selang waktu tertentu secara berulang-ulang sampai
diperoleh hasil evaluasi sensori yang konsisten serta kesepakatan mengenai istilah sensori
tertentu. Latihan sensori ini meliputi pelatihan terhadap atribut-atibut kritis yang telah
diidentifikasi pada tahap FGD, seperti rasa tengik, warna, dan tekstur mi instan subtitusi jagung
setelah rehidrasi. Pada pelatihan atribut tengik, panelis akan diperkenalkan berbagai jenis tingkat
ketengikan pada produk mi instan serupa ataupun produk lainnya.
Parameter-parameter organoleptik diujikan kepada para panelis terlatih melalui uji rating
atau yang biasa disebut dengan uji scoring. Pengujian atribut mutu produk oleh panelis terlatih
akan dilakukan terhadap (1) rasa/bau tengik, (2) warna, dan (3) tekstur setelah rehidrasi, sesuai
24
dengan hasil kesepakatan dalam FGD. Uji skoring baik pada atribut mutu rasa/tengik maupun
atribut warna dilakukan oleh panelis sebelum produk mi jagung instan direhidrasi.
Pada atribut rasa/bau tengik, panelis diminta untuk mengunyah dan mendeteksi rasa/bau
tengik/off flavor mi jagung instan yang disajikan dan memberikan nilai sesuai dengan kolom
yang sudah tersedia. Untuk atribut warna, panelis diminta untuk mendeskripsikan perubahan
warna mi instan subtitusi jagung sebelum rehidrasi selama penyimpanan. Berbeda halnya dengan
kedua atribut diatas, atribut tekstur dilakukan terhadap produk mi instan subtitusi jagung baik
sebelum maupun sesudah rehidrasi. Panelis yang telah mengevaluasi sensori seperti telah
dijelaskan diatas, kemudian diminta untuk menilai/memberi skor masing-masing contoh uji pada
tiap-tiap atribut selama sampling penyimpanan. Nilai mutu kritis yang ditolak pada uji rasa/bau
tengik adalah 3, pada uji warna adalah 5, dan pada uji tekstur adalah 4. Format uji skoring secara
jelas dapat dilihat seperti pada Lampiran 2.
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses pembuatan mi instan subtitusi jagung terdiri dari tahap pencampuran (mixing),
pembentukan lembaran adonan (sheeting), pembentukan untaian mi (sliting), pengukusan (steaming),
penggorengan (frying), pendinginan (cooling), dan pengemasan. Formulasi yang digunakan adalah
formulasi optimal yang telah dilakukan oleh Stefanus (2010) dengan komposisi sebagai berikut:
tepung terigu yang digunakan sebanyak 49.19%, tepung jagung 21.08%, guar gum 0.705%, garam
0.705%, baking soda 0.21%, dan air 28.11%. Guar gum berfungsi dalam mempengaruhi daya ikat
adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air, mempengaruhi sifat adonan, dan mempertahankan
keempukan mi selam penyimpanan. Garam digunakan sebagai komponen pemberi rasa, meperkuat
tekstur, mengikat air, dan meningkatkan elastisitas serta fleksibilitas mi. Baking soda dapat
membentuk struktur bahan menjadi lebih berpori karena dapat membentuk gas CO 2 . Struktur bahan
yang berpori akan lebih mudah menyerap air sehingga waktu rehidrasi yang dibutuhkan menjadi lebih
cepat.
Bahan-bahan yang sudah tersedia kemudian dicampur di dalam vary mixer, agar terbentuk
adonan yang baik, homogen, memiliki kadar air yang cukup, dan terbentuk matriks pati yang baik
untuk memudahkan pengepresan (sheeting). Mutu adonan mi yang baik harus cukup kuat, tidak
melekat kembali ketika proses sheeting, dan tidak memiliki retakan-retakan atau tonjolan-tonjolan
(kekompakan adonan mi) pada lembaran adonan yang dihasilkan (Park dan Baik, 2004). Sheeting
merupakan proses pembentukan lembaran adonan samapai ketebalan tertentu. Sheeting dilakukan
dengan menggunakan sheeter dengan prinsip memberikan tekanan pada adonan berulang-ulang
diantara dua roll logam sehingga adonan semakin menyatu dan kompak satu sama lain. Setelah itu,
kemudian dilakukan tahapan slitting dimana lembaran adonan akan dipotong dan dibuat menjadi
untaian-untaian mi sesuai ukuran yang diinginkan. Proses slitting bertujuan untuk membentuk adonan
menjadi lembut dan elastis serta dapat dipotong atau disisir menjadi untaian mi dan dibentuk menjadi
bergelombang. Setelah proses slitting selesai, maka dilakukan tahapan pengukusan.
Proses pengukusan harus dilakukan secara cepat setelah mi tersebut dipotong (slitting).
Penundaan pengukusan akan menyebabkan mi menjadi keras dan kering karena air dalam matriks gel
pati teruapkan (retrogradasi). Pengukusan atau steaming dilakukan selama 15 menit pada suhu 100°C.
Proses ini bertujuan untuk memasak mi mentah menjadi sifat mi yang solid (Budiyah, 2004). Pada
tahap pengukusan akan terjadi proses gelatinisasi. Pada saat gelatinisasi, granula pati tepung akan
mengembang karena molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan terperangkap
pada susunan molekul amilosa dan amilopektin. Setelah pengukusan akan dihasilkan untaian adonan
yang kohesif dan elastik yang kemudian dilanjutkan dengan tahapan penggorengan.
Proses penggorengan adalah proses dimana bahan makanan yang dimasukkan ke dalam ketel
segera menerima panas dan kandungan air dalam bahan pangan akan menguap dan ditandai dengan
timbulnya gelembung-gelembung pada mi selama proses penggorengan. Penggorengan dilakukan
dengan teknik deep fat frying. Dengan cara ini, air akan menguap secara cepat dari permukaan ketika
dicelupkan ke dalam minyak dan digantikan oleh minyak sehingga terbentuk pori-pori yang terjadi
karena adanya perpindahan massa. Namun, kelemahan dari deep fat frying akan meningkatkan
kandungan lipid mi instan subtitusi jagung yang berpengaruh terhadap keawetanya.
Setelah dilakukan tahapan penggorengan, mi kemudian didinginkan (cooling). Cooling
adalah proses pendinginan mi setelah keluar dari oven. Pendinginan mi dilakukan dengan diangin-
anginkan secara manual. Setelah didinginkan, mi dikemas dalam kemasan plastik polypropylene (PP)
dan dikelim (sealing). Mi yang sudah dikemas kemudian disimpan selama lima minggu pada suhu
32°C, 37°C, 45°C, 50°C, dan 52°C di dalam inkubator. Adapun inkubator yang digunakan dapat
dilihat pada Gambar 8.
Tabel 6. Nilai mutu awal mi instan subtitusi jagung berdasarkan beberapa parameter
Parameter Nilai Awal
Bilangan TBA
0.1396
(mg malonaldehid/kg sampel)
Bilangan Peroksida
0.1298
(mili-equivalen/kg sampel)
Kadar Air (%) 4.38
KPAP (%) 1.26
Warna
L 59.10
a 7.03
b 34.95
Tekstur
Kekerasan (gf) 1690.4
Kekenyalan (gf) 0.2174
Elastisitas 0.6146
Tekstur organoleptik 7
Warna organoleptik 6.8
Flavor organoleptik 7
27
C. PENDUGAAN UMUR SIMPAN
Nilai kritis produk mi instan subtitusi jagung juga ditentukan pada saat diskusi fokus grup
(FGD) selama pelatihan panelis terlatih. Para panelis terlatih menetapkan produk yang sudah tidak
dapat diterima lagi oleh konsumen. Panelis tersebut kemudian berunding untuk menetapkan batas skor
nilai mutu kritis dari produk yang sudah dipilih. Nilai kritis ditetapkan berdasarkan adanya
kesepakatan bersama diantara panelis. Produk tersebut kemudian, dianalisis secara kimiawi maupun
fisik untuk mendapatkan data objektifnya yang meliputi data bilangan TBA, bilangan peroksida,
Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP), warna menggunakan chromameter, dan tekstur
menggunakan Texture Profile Analyzer (TPA). Adapun nilai kritis setiap parameter dapat dilihat pada
Tabel 7.
28
13.4685 meq/kg sampel. Parameter tekstur dikorelasikan dengan pengukuran tekstur menggunakan
TPA (texture profile analyzer). Nilai kritis atribut tekstur secara subjektif menunjukkan angka 5 dan
nilai ini berkorelasi dengan nilai kekerasan sebesar 3242.43 gf, nilai kekenyalan sebesar 0.4283 gf,
dan nilai elastisitas sebesar 0.7429 pada pengukuran menggunakan texture profile analyzer (TPA).
Sedangkan parameter KPAP diukur secara objektif dengan menggunakan sampel kritis hasil
penolakan organoleptik.
Laju perubahan mutu setiap parameter pada produk mi instan subtitusi jagung dapat berbeda-
beda. Jika laju kerusakan parameter tersebut terjadi secara konstan atau linier maka mengikuti ordo
reaksi nol, sedangkan jika laju kerusakan parameter tersebut terjadi secara exponensial atau logaritmik
maka mengikuti ordo reaksi satu.
Pemilihan ordo reaksi yang sesuai dapat dilakukan dengan memplotkan nilai mutu masing-
masing parameter setiap minggunya mengikuti ordo reaksi nol ataupun ordo reaksi satu. Ordo reaksi
yang terpilih adalah ordo reaksi yang mempunyai nilai koefisien korelasi (R2) yang lebih besar. Ordo
reaksi yang sesuai bagi setiap parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.
a. Bilangan TBA
Analisis bilangan thiobarbituric acid (TBA) dilakukan setiap minggu pada produk yang
telah disimpan di dalam inkubator yang berbeda suhunya, yaitu 32°C, 37°C, 45°C, 50°C, dan 52
°C. Penyimpanan pada kelima suhu ini diharapkan dapat mempercepat terjadinya kerusakan pada
produk sehingga umur simpan ditentukan berdasarkan penggunaan ekstrapolasi ke suhu
penyimpanan.
Data bilangan TBA yang diperoleh dari pengukuran mi instan subtitusi jagung setiap
minggunya, kemudian di plotkan ke dalam ordo 0 dan ordo 1. Pada ordo 0, data bilangan TBA
(sumbu-y) diplotkan terhadap waktu penyimpanan (sumbu-x), sedangkan pada ordo 1 yang
diplotkan ke dalam sumbu-y adalah dalam bentuk ln bilangan TBA. Adapun data hasil
pengukuran bilangan TBA dapat dilihat pada Lampiran 15.
Setelah data tersebut diplotkan ke dalam ordo 0 dan ordo 1, maka ordo reaksi yang
paling sesuai adalah ordo reaksi yang mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) paling tinggi
yaitu ordo reaksi nol. Dari kelima persamaan garis tersebut, kemudian dapat diperoleh nilai
konstanta laju penurunan mutu produk (k) pada masing-masing suhu penyimpanan, yaitu sebesar
0.004, 0.007, 0.010, 0.0018, dan 0.019 yang dapat dilihat pada Lampiran 17. Nilai k yang
semakin meningkat menunjukkan semakin tingginya laju penurunan mutu pada suhu
penyimpanan yang semakin tinggi. Adanya tren peningkatan nilai k ini akan memberikan nilai
koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi pada model Arrhenius. Selain itu, peningkatan nilai
k ini menunjukkan bahwa parameter bilangan TBA dipengaruhi oleh adanya perubahan suhu,
sehingga dapat digunakan untuk perhitungan pendugaan umur simpan.
Perhitungan umur simpan produk pada suhu tertentu selanjutnya dapat ditentukan
dengan menghubungkan nilai k yang telah diperoleh dengan nilai suhu yang diinginkan melalui
29
Tabel 8. Nilai koefisien determinasi (R2) dari grafik penurunan mutu menurut ordo reaksi 0 dan ordo
reaksi 1
R2
Suhu Penyimpanan Ordo reaksi
Parameter Ordo Reaksi Ordo Reaksi
(°C) yang dipilih
0 1
TBA 32 0.711 0.701
37 0.566 0.546
45 0.839 0.801 0
50 0.937 0.929
52 0.924 0.933
Peroksida 32 0.932 0.872
37 0.947 0.849
45 0.919 0.874 0
50 0.989 0.883
52 0.989 0.882
30
pemplotan ln k dan 1/T pada kurva (Gambar 9), sehingga dapat diketahui ekstrapolasi umur
simpan produk pada tingkatan suhu lain dan besar energi aktivasinya. Dari persamaan tersebut,
diperoleh nilai energi aktivasinya (Ea) sebesar 62.780,82 J/mol dan laju perubahan mutu (nilai k)
pada suhu ruang sebesar 0.0036. Umur simpan produk mi instan subtitusi jagung pada suhu ruang
(30°C) dapat diketahui dengan memasukkan nilai k, nilai kritis, dan nilai awal produk pada
persamaan tersebut, yaitu selama kurang lebih 81 hari atau 3 bulan.
-1
-2
Ln Kt
-3
y = -7544.x + 19.26
R² = 0.975
-4
-5
-6
1/T (K-1)
b. Bilangan Peroksida
31
0.00306 0.00312 0.00318 0.00324 0.00330
0.5
0.0
-0.5
Ln Kt -1.0
-1.5
y = -12338x + 38.11
-2.0
R² = 0.974
-2.5
-3.0
1/T (K-1)
Gambar 10. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan parameter bilangan peroksida
d. Warna
Warna merupakan salah satu komponen terpenting bagi suatu produk pangan (Gokmen,
2006). Warna juga sering diasosiasikan sebagai faktor yang menggambarkan tingkat kesegaran,
kematangan, daya beli, dan keamanan dari suatu produk. Selain itu, konsumen menggunakan
penglihatan mereka untuk mengevaluasi warna produk ketika mereka akan membeli produk
tersebut (Hatcher et al., 2000). Oleh karena itu, warna menjadi faktor yang harus dikontrol untuk
menjaga mutu dari suatu produk pangan.
32
Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna. Cahaya
tersebut bisa diserap ataupun dipantulkan oleh permukaan benda. Identitas suatu warna
ditentukan oleh panjang gelombang cahaya tersebut. Panjang gelombang warna yang masih dapat
ditangkap oleh mata manusia berkisar antara 380-780 nanometer. Jika pigmen pada suatu benda
menyerap cahaya maka, benda tersebut akan terlihat berwana. Begitu pula yang terjadi pada
warna mi instan subtitusi jagung.
Warna pada produk mi instan subtitusi jagung dapat mengalami perubahan selama
penyimpanan. Hal ini desebabkan oleh pigmen karoten yang terdapat pada mi jagung itu sendiri
tidak stabil terhadap panas sehingga diperkirakan produk akan mengalami perubahan warna.
Pengukuran warna produk dilakukan dengan menggunakan chromameter Hunter Lab. Nilai L
menunjukkan tingkat kecerahan (light), nilai a menunjukkan karakteristik warna merah dan hijau,
dan nilai b memperlihatkan karakteristik warna kuning dan biru (Papadakis et al., 2000).
Pengukuran warna dilakukan selama 5 minggu dengan menggunakan alat chromameter.
Hasil pengukuran warna mi instan subtitusi jagung dapat dilihat pada Lampiran 25 untuk nilai L,
Lampiran 27 untuk nilai a, dan Lampiran 29 untuk nilai b. Tabel tersebut menunjukkan
perubahan mutu warna yang terjadi selama 5 minggu penyimpanan pada produk mi instan
subtitusi jagung. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa, hasil yang diperoleh baik pada nilai
kecerahan (L), nilai warna merah (a), dan nilai warna kuning (b), ketiganya tidak menunjukkan
perubahan warna yang berbanding lurus dengan meningkatnya suhu penyimpanan sehingga
parameter warna tidak dapat digunakan untuk pendugaan umur simpan mi instan subtitusi jagung.
Hal tersebut juga dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2) pada masing-masing atribut
yang sangat kecil, bahkan ada yang dibawah 0.100 sehingga dapat dikatakan bahwa nilai mutu
yang terukur tidak menunjukkan adanya keeratan data satu sama lain dan akan menghasilkan
perhitungan umur simpan yang tidak akurat.
e. Tekstur
Tekstur mi instan subtitusi jagung diukur dengan menggunakan alat Texture Profile
Analyzer (TPA). Parameter yang dilihat pada pengukuran kali ini adalah kekerasan, kekenyalan,
dan elastisitas dari produk tersebut. Kekerasan merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat
gaya tekan yang diberikan. Kekenyalan merupakan daya tahan bahan untuk lepas oleh adanya
gaya tekan. Sedangkan elastisitas diartikan sebagai kemampuan mi matang untuk kembali ke
kondisi semula setelah diberikan tekanan pertama. Data hasil pengukuran tekstur menggunakan
TPA dapat dilihat pada Lampiran 31 untuk atribut kekerasa, Lampiran 33 untuk atribut
kekenyalan, dan Lampiran 35 untuk atribut elastisitas.
Berdasarkan hasil pengukuran selama 5 minggu, dapat dilihat bahwa nilai kekerasan,
kekenyalan, dan juga elastisitas tidak menunjukkan penurunan mutu yang signifikan dengan
semakin meningkatnya suhu penyimpanan. Hal ini memperlihatkan bahwa parameter tekstur
tidak dipengaruhi oleh perubahan suhu dan reaksi deteriorasi yang terjadi berlangsung sangat
lambat. Selain itu, kondisi mi pada saat pengukuran berbeda-beda sehingga akan mempengaruhi
tekstur mi tersebut. Mi yang diukur pada urutan terakhir akan cenderung lebih keras karena mi
tersebut sudah dalam kondisi dingin dan kaku. Oleh karena itu, parameter tekstur tidak dapat
digunakan untuk pedugaan umur simpan karena diperkirakan dapat memberikan model Arrhenius
yang tidak baik.
33
f. Analisis Organoleptik
Sebelum dilakukan pengukuran parameter tektur, warna, dan flavor secara organoleptik,
diperlukan serangkaian seleksi dan pelatihan untuk memperoleh panelis terlatih. Panelis terlatih
ini diharapkan akan dapat memberikan penilaian yang sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Panelis terlatih digunakan untuk mengevaluasi mutu sensori mi instan subtitusi jagung
selama penyimpanan. Pembentukan panelis terlatih ini diawali dengan seleksi panelis dan
kemudian diikuti dengan serangkaian pelatihan panelis. Menurut Meilgaard (1999), tahapan
seleksi panelis terlatih untuk uji pembedaan meliputi matching test yang terdiri dari uji kesesuaian
atau uji identifikasi terhadap rasa dan aroma dasar, uji rangking, dan uji pembedaan dalam bentuk
uji segitiga.
Seleksi panelis terlatih menggunakan 2 macam metode, yaitu uji rasa dan aroma dasar
dan uji segitiga. Form dari uji-uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3. Calon panelis yang lolos
seleksi yang menjadi kandidat panelis terlatih adalah panelis yang dapat menjawab dengan benar
sekurang-kurangnya 80% untuk uji deskriptif dan 60% untuk uji segitiga (Meilgaard et al., 1999).
Calon panelis terlatih yang lolos uji rasa dan aroma dasar kemudian diminta untuk melakukan uji
segitiga. Pada uji segitiga panelis diminta untuk mengidentifikasi 1 sampel berbeda dari 3 sampel
yang disediakan berdasarkan atribut tekstur, warna, dan tingkat ketengikannya. Berdasarkan uji-
uji tersebut diperoleh 11 orang calon panelis terlatih yang dapat dilihat pada Lampiran 4.
Panelis yang terpilih dalam kepentingan penelitian ini adalah panelis yang memiliki
waktu dan motivasi tinggi dalam mengikuti serangkaian pelatihan yang diadakan secara
konsisten. Calon panelis terlatih yang telah diseleksi harus mengikuti rangkaian pelatihan secara
kontinu sehingga dapat secara layak dikatakan terlatih dalam hal evaluasi mi instan subtitusi
jagung. Setelah diperoleh calon panelis terlatih, maka dapat dilakukan pelatihan panelis selama 5
minggu (10 kali tatap muka, 2 jam). Proses pelatihan ini lebih cepat dibandingkan yang dijelaskan
dalam Meillgard, et al (1999) karena calon panelis terlatih tersebut sudah dapat memberikan nilai
yang konstan terhadap perbedaan suhu penyimpanan dan dapat mengidentifikasi dengan baik
perbedaan tekstur, warna, dan flavor antar sampel mi selama 5 minggu penyimpanan pada suhu
penyimpanan yang berbeda-beda.
Tahap pelatihan panelis bertujuan untuk meningkatkan kemampuan panelis dalam
mengenali, membedakan, mendeskripsikan, dan mengkuantifikasi atribut sensori yang terdapat
dalam suatu produk dengan menggunakan bahasa flavor yang telah disepakati bersama (Heymann
et al,. 1993). Namun demikian, pada intinya tahap pelatihan panelis ini bertujuan untuk melatih
kepekaan dan konsistensi panelis dalam mengevaluasi kualitas mi dari sudut pandang beberapa
atribut/parameter kritis.
Jenis uji yang digunakan dalam pelatihan panelis ini adalah uji rating atribut. Uji rating
ini menggunakan skala 1-7 yang bertujuan untuk memberi keleluasaan kepada panelis dalam
mengevaluasi sampel dalam kisaran atau rentang nilai skala yang lebih luas. Lawless dan
Heymann (1998) menyatakan bahwa penggunaan skala kategori dengan tingkatan skala yang
lebih banyak diperbolehkan sehingga dapat memberikan alternatif yang cukup kepada panelis
dalam mempresentasikan tingkat perbedaan yang ada.
34
Pada awal proses pelatihan para calon panelis terlatih diperkenalkan dengan beberapa
sampel mi dari mulai sampel mi reference, sampel mi yang masih dalam kondisi bagus atau
belum lama diproduksi sampai mi yang sudah mengalami penyimpanan 5 minggu, mengalami
penurunan mutu, dan berbau tengik. Menurut Diana (2008), reference untuk pelatihan harus
merupakan reference yang baik (as an anchor point), yaitu memiliki variasi yang terukur dimana
panelis masih dapat membedakan intensitasnya. Dalam hal ini, reference yang digunakan adalah
sampel mi instan subtitusi jagung yang belum lama diproduksi atau yang disimpan di suhu ruang.
Penggunaan reference pada setiap kali pengujian selama pelatihan berguna untuk memperlihatkan
kepada panelis mengenai batas mutu awal sampel yang belum mengalami penyimpanan karena
adanya kemungkinan panelis tidak dapat mengingat mutu awal produk.
Perkenalan sampel ini dilakukan setiap kali pertemuan sampai panelis dapat merasakan
perbedaan antara sampel mi yang sudah mulai mengalami penurunan mutu dengan mi yang masih
dapat diterima konsumen. Setelah para panelis dapat memberikan penilaian yang konstan
terhadap perubahan mutu produk, maka panelis tersebut sudah siap untuk melakukan berbagai
serangkaian uji yang sebenarnya.
Selain itu, hasil diskusi grup bersama panelis memperlihatkan bahwa parameter penting
yang berperan terhadap penolakan produk oleh konsumen adalah atribut flavor (aroma tengik),
warna mi sebelum direhidrasi, dan tekstur mi setelah direhidrasi. Beberapa parameter hasil
kesepakatan diskusi dari panelis inilah yang ditetapkan sebagai parameter kritis organoleptik dan
selanjutnya diujikan selama penyimpanan. Sebagai pendukung data subyektif ini, ditetapkan pula
beberapa analisis objektif dalam pendugaan umur simpan, yaitu analisis bilangan TBA, bilangan
peroksida, kehilangan padatan akibar pemasakan (KPAP), analisis warna dengan chromameter
dan analisis tekstur dengan texture profile analyzer (TPA). Setelah itu, para calon panelis terlatih
tersebut diminta untuk menentukan skor nilai mutu awal dan nilai mutu yang ditolak (nilai kritis)
melalui FGD (Focus Group Discussing).
Nilai mutu awal ditentukan dengan memberikan penilaian terhadap produk mi instan
subtitusi jagung yang baru diproduksi. Hasil penilaian sensori tersebut kemudian dirata-ratakan
dan dijadikan nilai mutu awal untuk parameter subjektif, sedangkan untuk parameter objektif,
nilai mutu awal diperoleh dengan menganalisis sampel yang baru diproduksi secara kimiawi
maupun fisik. Berbeda dengan nilai mutu awal, nilai mutu kritis untuk parameter subjektif
ditentukan berdasarkan kesepakatan yang terjadi di antara panelis tersebut pada saat FGD,
sedangkan parameter objektif ditentukan dengan menganalisis sampel secara kimiawi maupun
fisik yang sebelumnya telah ditentukan sebagai sampel pembatas penolakan produk.
(ii) Tekstur
Hasil uji sensori oleh para panelis terlatih terhadap atribut tekstur mi instan subtitusi
jagung selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 5. Jika data tersebut diolah lebih lanjut
lagi, dapat dilihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2) ordo ke satu lebih besar dibandingkan
ordo ke nol, sehingga pendugaan umur simpan selanjutnya dapat mengikuti reaksi ordo ke satu.
Ketiga persamaan tersebut mempunyai nilai k yang semakin meningkat dengan semakin
tingginya suhu penyimpanan seperti terlihat pada Lampiran 7. Hal ini menunjukkan bahwa laju
penurunan mutu produk semakin tinggi pula dengan meningkatnya suhu penyimpanan dan dapat
dikatakan juga bahwa parameter organoleptik atribut tekstur sangat sensitif terhadap perubahan
suhu.
35
Nilai k tersebut, kemudian diplotkan ke dalam grafik yang dapat dilihat pada Gambar 11
dengan 1/T sebagai sumbu-x dan ln k sebagai sumbu-y. Dari persamaan tersebut dapat diperoleh
nilai energi aktivasinya sebesar 28.151,2 J/mol dan dapat diperoleh pula nilai k pada suhu ruang
(30°C) sebesar 0.0417. Selanjutnya nilai k tersebut diplotkan ke dalam persamaan perhitungan
umur simpan mengikuti ordo ke satu, sehingga dapat diperoleh umur simpan mi instan subtitusi
jagung berdasarkan parameter organoleptik atribut tektur selama kurang lebih 26 hari.
-2.5
-2.6
y = -3386.x + 7.998
R² = 0.897
Ln Kt
-2.7
-2.8
-2.9
-3.0
1/T (K-1)
Gambar 11. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan atribut tekstur organoleptik
(iii) Warna
Atribut mutu lain yang dinilai pada pendugaan umur simpan mi instan subtitusi jagung
secara organoleptik adalah atribut warna. Data hasil pengukuran atribut warna dapat dilihat pada
Lampiran 5. Setelah data tersebut diolah lebih lanjut lagi, dapat dilihat bahwa nilai koefisien
determinasi (R2) ordo satu lebih besar daripada ordo nol, sehingga penurunan mutu atribut warna
ini mengikuti reaksi ordo ke satu. Pada Lampiran 10 dapat dilihat juga bahwa konstanta laju
penurunan mutu (k) atribut warna semakin meningkat dengan semakin tingginya suhu. Hal ini
menunjukkan bahwa parameter organoleptik atribut warna peka terhadap perubahan suhu
penyimpanan. Selanjutnya konstanta (k) ini kemudian digunakan untuk membuat grafik
pendugaan umur simpan seperti yang terlihat pada Gambar 12.
Berdasarkan grafik tersebut dapat diperoleh energi aktivasi dari atribut warna sebesar
40.539,05 J/mol dengan konstanta laju penurunan mutu (nilai k) sebesar 0.0252. Selain itu, dapat
diperoleh pula umur simpan mi instan subtitusi jagung berdasarkan parameter sensori atribut
warna, yaitu selama kurang lebih 23 hari.
36
0.00308 0.00312 0.00316 0.00320 0.00324
0.0
-0.5
-1.0
-1.5
Ln Kt
y = -4876.x + 12.41
-2.0
R² = 0.882
-2.5
-3.0
-3.5
1/T (K-1)
Gambar 12. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan atribut warna organoleptik
(iv) Flavor
Atribut flavor merupakan salah satu atribut mutu yang akan mempengaruhi penolakan
konsumen terutama karena timbulnya aroma tengik. Aroma tengik ini disebabkan oleh adanya
reaksi autooksidasi dan oksidasi asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, dan
asam linolenat (Nawar, 1996).
Data hasil penilaian mi instan subtitusi jagung terhadap atribut flavor dapat dilihat pada
Lampiran 5. Data tersebut kemudian diplotkan ke dalam grafik ordo 0 dan ordo 1 untuk melihat
ordo yang paling sesuai dengan penurunan atribut flavor ini. Karena nilai koefisien determinasi
(R2) ordo 0 lebih besar dari ordo 1, maka ordo yang dipilih untuk pendugaan umur simpan
selanjutnya adalah ordo reaksi nol. Dari persamaan-persamaan ordo 0 tersebut, akan diperoleh
nilai k (Lampiran 13) atau laju penurunan mutu atribut flavor yang dapat dilihat dari gradient
persamaan tersebut. Nilai k tersebut semakin meningkat dengan meningkatnya suhu
penyimpanan, sehingga parameter ini dapat digunakan untuk perhitungan umur simpan. Nilai k
yang diperoleh kemudian diplotkan ke dalam persamaan Arrhenius sehingga diperoleh grafik
seperti yang terlihat pada Gambar 13.
Dari persamaan tersebut dapat diperoleh energi aktivasinya sebesar 85.600,94 J/mol dan
nilai k sebesar 0.0973. Selain itu dengan memasukan nilai k pada suhu tertentu (suhu kamar,
30°C) ke dalam persamaan perhitungan umur simpan untuk ordo 0, maka akan diperoleh umur
simpan dari mi instan subtitusi jagung selama kurang lebih 41 hari.
37
0.00308 0.00312 0.00316 0.00320 0.00324
0.00
-0.20
-0.40
-0.60
-0.80
Ln Kt
-1.00
-1.20
y = -10296x + 31.65
-1.40
R² = 0.972
-1.60
-1.80
1/T(K-1)
Gambar 13. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan atribut flavor organoleptik
Tabel 9. Nilai koefisien korelasi (R2), energi aktivasi (Ea), dan umur simpan pada berbagai
parameter.
Umur
Parameter R2 Ea (J/mol) Persamaan Arrhenius Simpan
(hari)
Bil. TBA 0.975 62720.82 ln k = -7544(1/T) + 19.26 81
Peroksida 0.974 102578.13 ln k = -12338(1/T) + 38.11 181
Atribut tekstur 0.897 28151.20 ln k = -3386(1/T) + 7.998 26
Atribut warna 0.882 40539.06 ln k = -4876(1/T) + 12.41 23
Atribut flavor 0.972 85600.94 ln k = -10296(1/T) + 31.65 41
Dengan melihat Tabel 9, jika ditinjau dari kriteria seperti yang tertera dalam Kusnandar
(2006), maka dapat dikatakan bahwa parameter yang dapat dijadikan acuan dalam penentuan
umur simpan adalah parameter atribut warna secara organoleptik. Hal ini dapat dilihat dari nilai
R2 yang cukup besar, nilai energi aktivasi yang kecil, dan memberikan dugaan umur simpan yang
paling pendek. Tetapi, walaupun atribut warna memberikan umur simpan paling pendek, hal ini
tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, karena proses pendugaan umur simpan itu sendiri
dilakukan selama 35 hari dan produk sampai pada minggu ke-5 pun belum menunjukkan
kerusakan mutu yang signifikan. Selain itu, jika dilihat dari hubungan energi aktivasi dengan
38
umur simpan yang dihasilkan oleh parameter organoleptik atribut warna, terjadi ketidaksesuaian
hubungan sebab-akibat didalamnya. Hubungan tersebut adalah semakin besar energi aktivasi
suatu reaksi, maka semakin tinggi pula energi yang dibutuhkan untuk terjadinya suatu reaksi,
sehingga reaksi deteriorasi yang terjadi pun tidak secepat reaksi dengan energi aktivasi yang lebih
kecil dan akan menghasilkan umur simpan yang lebih lama. Nilai energi aktivasi atribut warna
lebih besar daripada atribut tekstur dan seharusnya atribut warna mempunyai umur simpan yang
lebih lama dibandingkan dengan atribut tesktur, tetapi ternyata umur simpan atribut warna lebih
pendek dibandingkan dengan atribut tekstur. Ketidaksesuaian pendugaan umur simpan dapat
disebabkan oleh reaksi kerusakan (deteriorasi) yang terjadi pada parameter organoleptik atribut
warna merupakan reaksi ordinal, bukan interval sehingga atribut ini tidak cocok digunakan untuk
pendugaan umur simpan Metode Arrhenius. Hal ini pada umunya juga terjadi pada semua
parameter organoleptik, sehingga parameter organoleptik ini sebaiknya tidak digunakan untuk
pendugaan umur simpan Metode Arrhenius.
Parameter mutu yang masih memungkinkan digunakan sebagai parameter mutu
penolakan produk adalah parameter bilangan TBA dan bilangan peroksida saja. Pengukuran
parameter bilangan TBA dan bilangan peroksida ini didasarkan pada adanya reaksi autooksidasi
lemak yang akan menghasilkan senyawa intermediet berupa peroksida dan produk akhir berupa
malonaldehid yang menyebabkan timbulnya bau tengik pada produk.
Reaksi oksidasi lemak berlangsung secara spontan. Adapun persyaratan berlangsungnya
reaksi secara spontan adalah sebagai berikut: (1) terjadinya penurunan entalpi (ΔH negatif), (2)
terjadinya peningkatan entropi (ΔS positif), dan (3) mempunyai nilai energi Gibbs (ΔG) negatif
(Petrucci, 1985). Entalpi merupakan energi internal yang terdapat di dalam suatu sistem ditambah
dengan energi yang digunakan untuk melakukan kerja, entropi merupakan derajat
ketidakteraturan yang terjadi di dalam suatu sistem, dan energi Gibbs menggambarkan kapasitas
dari suatu sistem untuk melakukan kerja (Blaxter, 1989). Oksidasi lemak mempunyai nilai ΔH
negatif (Blaxter, 1989) dan ΔS positif sehingga akan dihasilkan nilai ΔG negatif dan reaksi pun
akan berlangsung secara spontan. Nilai ΔS yang positif ini disebabkan oleh terjadinya perubahan
bentuk selama reaksi dari padat menjadi gas sehingga terjadi peningkatan ketidakteraturan sistem
dan menyebabkan nilai ΔS positif.
Jika dilihat berdasarkan pertimbangan ekonomi dan keamanan pangannya, umur simpan
yang ditentukan dari parameter organoleptik atibut warna dirasa terlalu pendek dan tidak
menguntungkan produsen sehingga umur simpan mi instan subtitusi jagung ditentukan
berdasarkan parameter yang lain. Oleh karena itu, dengan tetap memperhatikan syarat kriteria
pemilihan parameter mutu, parameter lain yang dapat digunakan dalam pendugaan umur simpan
adalah parameter bilangan TBA. Parameter ini mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) yang
lebih besar, energi aktivasi yang lebih kecil, dan umur simpan yang lebih pendek dibandingkan
dengan parameter bilangan peroksida, sehingga parameter TBA lebih baik digunakan sebagai
parameter penolakan produk daripada bilangan peroksida. Berdasarkan parameter bilangan TBA,
mi instan subtitusi jagung ini memiliki umur simpan selama 81 hari atau kurang lebih selama 3
bulan jika disimpan pada suhu ruang (30°C).
Umur simpan mi instan tersebut tergolong cukup pendek karena pada umumnya, mi
instan yang ditemukan di pasaran mempunyai masa kadaluarsa sekitar 4-6 bulan setelah waktu
produksi. Umur simpan yang cukup pendek ini dapat disebebkan oleh kandungan lemak pada
produk ini lebih tinggi dibandingkan dengan produk mi instan di pasaran. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan alat untuk meniriskan mi instan setelah proses penggorengan. Tahapan penirisan
pada penelitian ini tidaklah optimal. Penirisan hanya dilakukan dengan meletakkan mi tersebut di
39
atas kertas minyak setelah diangkat dari deep fat frying. Sedangkan di industri, proses penirisan
minyak goreng dibantu dengan melewatkan mi tersebut di atas conveyor belt yang bergoyang
untuk meniriskan minyak.
40
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pendugaan umur simpan produk mi instan subtitusi jagung dilakukan dengan menggunakan
metode Arrhenius. Pendugaan umur simpan ini didasarkan pada beberapa parameter subjektif dan
objektif. Pengukuran parameter subjektif dilakukan dengan menggunakan penilaian dari para panelis
terlatih. Adapun parameter yang diukur adalah parameter terhadap atribur flavor tengik, tekstur, dan
juga warna. Sedangkan pengukuran parameter objektif dilakukan terhadap bilangan TBA
(thiobarbitusic acid), bilangan peroksida, KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan)/cooking
loss, warna, dan tekstur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk mi instan subtitusi jagung mengalami
penurunan mutu yang cukup signifikan selama penyimpanan, terutama pada parameter bilangan TBA,
parameter bilangan peroksida, dan parameter subjektif. Laju penurunan mutu parameter bilangan
TBA, peroksida dan parameter subjektif atribut flavor mengikuti ordo reaksi nol. Hal ini
memperlihatkan bahwa laju penurunan mutu tersebut tidak dipengaruhi oleh konsentrasi dan terjadi
secara konstan. Sedangkan untuk parameter organoleptik atribut tekstur dan warna mengikuti ordo
reaksi satu, sehingga penurunan parameter tersebut terjadi secara eksponensial.
Parameter mutu kritis yang paling sesuai untuk digunakan adalah parameter bilangan TBA
karena parameter bilangan TBA mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) yang paling besar dan
energi aktivasi yang cukup kecil. Parameter bilangan TBA akan menghasilkan pendugaan umur
simpan mi instan subtitusi jagung yang disimpan pada suhu ruang (30°C) selama 81 hari atau kurang
lebih selama 3 bulan.
B. SARAN
Mi instan subtitusi jagung mempunyai umur simpan yang relatif lebih pendek jika
dibandingkan dengan yang ada di pasaran, yaitu sekitar 81 hari. Umur simpan yang pendek ini dapat
menjadi kendala yang besar jika produk mi instan subtitusi jagung ingin dikomersialisasikan secara
besar-besaran. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian lanjutan yang dapat memperpanjang umur
simpan produk mi instan subtitusi jagung, diantaranya dengan melakukan beberapa kajian mengenai
pengaruh penggunaan jenis kemasan dan kajian cara-cara penghambatan laju kerusakan oksidasi dari
mi instan tersebut. Selain itu, diperlukan juga adanya modeling pendugaan umur simpan yang dapat
digunakan untuk menghitung umur simpan pada berbagai suhu penyimpanan dan diperlukannya suatu
tindakan verifikasi atas modeling tersebut.
Di lain pihak, untuk dapat dikomersialisasikan lebih lanjut diperlukan suatu strategi
pemasaran yang tepat. Penggunaan strategi pemasaran yang tepat dari berbagai pihak industri mi
jagung dapat membantu menangani masalah keterbatasan umur simpan mi instan subtitusi jagung
yang relatif masih pendek. Misalkan saja pembukaan industri-industri kecil dan menengah dapat
dilakukan di beberapa daerah yang potensial untuk pemasaran produk ini bukan hanya di beberapa
titik terpusat saja. Hal ini dapat menurunkan waktu transportasi dari mi instan subtitusi jagung
sehingga masa kadaluarsa produk tersebut tidak terbuang di jalan dan dapat segera menjangkau pasar-
pasar lokal. Di samping itu, produksi jagung juga harus terus ditingkatkan dari tahun ke tahun, karena
dikhawatirkan jika pengembangan produk berbahan dasar jagung yang tidak diimbangi dengan
peningkatan volume produksinya, akan berdampak pada penurunan stock untuk kebutuhan lainnya,
seperti kebutuhan untuk pakan ternak dan lain sebagainya.
42
DAFTAR PUSTAKA
44
Putra, S.N. 2008. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode
Kalendering. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rianto, B.F. 2006. Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mie Basah Berbahan Baku Tepung
Jagung. Skripsi. Depertemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sandewi, F.A. 2005. Pengaruh Pemanasan dengan Gelombang Mikro (Microwave) terhadap
Mortalitas Serangga Imago Sitophilus zaemais (Coleopterata: Curcilionidae) dan
Keturunnya. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Shukla, R. dan M. Cheryan. 2000. Zein: the industrial protein from corn. J Industrial Crops and
Products 13 (2000): 171-192.
Sigit, N.P. 2008. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode
Kalendering. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Spiegel, A. 1992. Shelf-Life Testing. Di dalam: Brown, W. E. Plastics in Food Packaging: Properties,
Design, and Fabrication. Marcel Deker, Inc. New York.
Standar Nasional Indonesia. 1996. SNI 01-3551-1996 tentang Mi Instan. Dewan Standardisasi
Nasional. Jakarta.
Stefanus. 2010. Formulasi dan Optimasi Waktu Penggorengan Produk Mi Jagung Instan. Skripsi.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Stone, H dan J.L. Sidel. 2004. Sensory Evaluation Practises. Elsevier, Amsterdam.
Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suprapto dan H.A.R. Marzuki. 2005. Bertanam Jagung (edisi revisi). Cetakan ke-14. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Syarief, R., S. Santausa, dan St. Isyana B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium
Rekayasa Proses Pengemasan Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Syarief dan Y. Halid. 1993. Teknologi Pengemasan Pangan. Arcan. Bandung.
Taylor, T.P., O. Fasina, dan L.N Bell. 2008. Physical properties and consumer liking of cookies
prepared by replacing sucrose with tagose. J. Food Sci 73(3): 145-151.
Thomson, D.M.H. 1986. The Meaning of Flavor. Di dalam: Birch, GG. dan MG. Lindley (ed.).
Development in Food Flavors. Elsevier, London.
Wahyuningrum, I. 2010. Analisis Preferensi Konsumen terhadap Produk Mie Kering Jagung Subtitusi
dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi-Model Arrhenius. Skripsi.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Warisno. 1998. Budidaya Jagung Hibrida. Gramedia. Jakarta.
Watson. 2003. Description, Development, Structure, and Composition of The Corn Kernel. Di dalam:
White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition.
American Association of Cereal Chemistry Inc. St. Paul, Minnesota, USA.
45
LAMPIRAN
Lampiran 1. Format kuisioner seleksi panelis
47
Uji Segitiga
Petunjuk:
Berikut ini akan disediakan 1 set minyak goreng dan 3 set mi instan yang terdiri dari 2 sampel uji sama
dan 1 sampel uji beda. Lakukan pencicipan (untuk atribut kekerasan dan kekenyalan), dan
perabaan/peregangan (untuk atribut elastisitas) pada 3 set mi instan (1 set untuk 1 atribut) serta
penciuman untuk atribut (aroma) pada 1 set sampel minyak goreng secara berurutan dari kiri ke kanan
satu per satu. Kemudian identifikasi mana sampel yang berbeda.
Berikan tanda contreng () didepan kode sampel yang berbeda.
48
Lampiran 2. Format kuesioner uji rating
Nama : ……………………………….
Tanggal Pengujian : ………………………………
Petunjuk:
1. Dihadapan Anda terdapat 3 set sampel yang terdiri dari 3 sampel berbeda. Cantumkan kode
sampel sesuai yang ada dihadapan Anda.
2. Cicipi sampel pertama untuk atribut flavor. Kemudian deskripsikan sampel dengan memberi
tanda checklist (√) pada skor masing-masing atribut yang Anda pilih (sampel harus habis pada
satu kali penyicipan)
3. Cicipi sampel kedua dengan mengunyah seluruh sampel yang tersedia kemudian beri
penilaian dengan memberi tanda checklist (√) pada skor masing-masing atribut yang Anda
pilih.
4. Berilah penilaian secara kasat mata terhadap warna pada set sampel ketiga dan beri tanda
checklist (√) pada skor masing-masing atribut yang Anda pilih.
Kode contoh
Atribut Spesifikasi/ intensitas Skor
…. …. …. ….
Normal kuning 7
Normal, mulai terlihat pudar 6
Warna sedikit pudar 5
Warna Warna pudar sebagian 4
(kemasan) Warna pudar dominan 3
Warna mulai menghitam 2
Warna sebagian besar mulai menghitam akibat
1
tumbuhnya kapang
.... .... …. ….
Normal 7
Normal, off flavor mulai tercium tetapi sangat lemah 6
Flavor Off flavor tercium jelas 5
(sebelum Off flavor tercium jelas, tengik sangat lemah 4
direhidrasi) Off flavor tercium kuat, tengik 3
Off flavor tercium kuat, sangat tengik 2
Off flavor tercium kuat, sangat amat tengik 1
…. …. …. ….
49
Tidak mudah patah, kenyal 7
Sedikit patah, kenyal 6
Tekstur Sedikit patah, kurang kenyal 5
sesudah Mudah patah, kurang kenyal 4
rehidrasi Mudah patah dan hancur, kurang kenyal 3
Mudah patah dan hancur, tidak kenyal 2
Sangat mudah patah dan hancur, tekstur lunak 1
Komentar:
Diantara ketiga sampel tersebut, menurut Anda apakah sampel tersebut masih dapat diterima oleh
konsumen? Jika Ada tuliskan kodenya pada kolom yang disediakan! (boleh lebih dari 1)
Jawab:
Atribut Kode Sampel yang Ditolak
Tekstur
Flavor
Warna
50
Lampiran 3. Hasil seleksi panelis pada serangkaian uji
Persentase
Panelis Uji Identifikasi Lulus Seleksi
Uji Segitiga
Rasa Aroma
Panelis 1 50 60 25 tidak
Panelis 2 100 100 75 ya
Panelis 3 80 40 50 tidak
Panelis 4 80 80 50 tidak
Panelis 5 100 100 100 ya
Panelis 6 100 100 100 ya
Panelis 7 100 100 75 ya
Panelis 8 100 100 100 ya
Panelis 9 60 60 50 tidak
Panelis 10 80 60 25 tidak
Panelis 11 40 20 25 tidak
Panelis 12 100 100 75 ya
Panelis 13 80 20 25 tidak
Panelis 14 100 100 100 ya
Panelis 15 60 40 50 tidak
Panelis 16 80 0 75 tidak
Panelis 17 100 100 75 ya
Panelis 18 100 100 100 ya
Panelis 19 80 40 50 tidak
Panelis 20 60 40 75 tidak
Panelis 21 100 100 100 ya
51
Lampiran 4. Rekapitulasi konsep pelatihan panelis mi instan subtitusi jagung
No. Tujuan Jenis Uji Hasil
Menetapkan parameter mutu kritis mi jagung instan
Parameter mutu kritis berdasarkan kesepakatan antara panelis
1 subtitusi yang berpotensi mengalami kerusakan FGD
meliputi warna, flavor, dan tekstur sesudah direhidrasi
selama penyimpanan
Nilai mutu kritis untuk parameter warna adalah nilai 5, untuk
2 Menetapkan nilai mutu kritis setiap parameter FGD parameter flavor adalah nilai 3, dan untuk parameter tekstur
adalah nilai 4
Melatih panelis dalam memberi nilai/skor pada saat Keragaman penilaian panelis cukup tinggi sehingga belum
3 FGD dan uji rating
penilaian sampel dihasilkan penilaian skor yang benar-benar sama
Melihat konsistensi panelis dalam memberikan Secara keseluruhan, panelis dapat memberikan skor dalan
4 FGD dan uji rating
nilai/skor kisaran ragam yang tidak terlalu besar
52
Lampiran 5. Rekapitulasi data dan nilai k berdasarkan beberapa parameter organoleptik
Lampiran 6. Grafik ordo nol dan satu parameter sensori atribut tekstur
R² = 0.922 2.00
6.00 R² = 0.94
5.00 y = -0.434x + 6.619
Ln (SMT)
1.50 y = -0.077x + 1.894
4.00 R² = 0.903 R² = 0.931
3.00 1.00
y = -0.434x + 6.419 y = -0.079x + 1.86
2.00 R² = 0.783 0.50 R² = 0.821
1.00
0.00 Suhu 37 0.00 Suhu 37
0 2 4 6 Suhu 45 0 2 4 6 Suhu 45
Minggu Suhu 50 Minggu Suhu 50
53
Lampiran 7. Pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut tekstur
Suhu (°C) Suhu (K) Sb X (1/T) kt Sb Y(Ln k t )
37 310 0.00323 0.052 -2.9565
45 318 0.00314 0.077 -2.5639
50 323 0.00310 0.079 -2.5383
R Ea Shelf Life
At A0 Ln k t kt
(J/mol.K) (J/mol) Hari Minggu Bulan
8.314 28151.20 4 7 -3.1769 0.0417 26.34 3.76 0.94
-2.5
-2.7
-2.8
-2.9
-3.0
1/T (K-1)
54
Lampiran 9. Grafik ordo nol dan satu parameter sensori atribut warna
Ln (SMW)
5.00 1.50
y = -0.277x + 6.509 y = -0.047x + 1.874
4.00
R² = 0.879 1.00 R² = 0.887
3.00
2.00 y = -0.408x + 6.471 y = -0.074x + 1.873
0.50
1.00 R² = 0.925 R² = 0.933
0.00 0.00
Suhu 37 Suhu 37
0 2 4 6 0 2 4 6
Suhu 45 Suhu 45
Minggu Minggu
Suhu 50 Suhu 50
R Ea Shelf Life
At A0 Ln k t kt
(J/mol.K) (J/mol) Hari Minggu Bulan
8.314 40539.06 5 6.7 -3.6824 0.0252 23.36 3.34 0.83
55
Lampiran 11. Grafik pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut warna
y = -4876.x + 12.41
-2.0
R² = 0.882
-2.5
-3.0
-3.5
1/T (K-1)
Lampiran 12. Grafik ordo nol dan satu parameter organoleptik atribut flavor
6.00 R² = 0.794
5.00 y = -0.428x + 6.971 1.50
Ln (SKF)
y = -0.072x + 1.949
4.00 R² = 0.962
R² = 0.959
3.00 1.00
y = -0.52x + 6.8 y = -0.092x + 1.920
2.00 R² = 0.873 0.50 R² = 0.891
1.00
0.00 0.00
Suhu 37 Suhu 37
0 2 4 6 0 2 4 6
Suhu 45 Suhu 45
Minggu Minggu
Suhu 50 Suhu 50
56
Lampiran 13. Pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut flavor
R Ea Shelf Life
At A0 Ln k t kt
(J/mol.K) (J/mol) Hari Minggu Bulan
8.314 85600.94 3 7 -2.3302 0.0973 41.12 5.87 1.47
Lampiran 14. Grafik pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut flavor
-1.00
-1.20
y = -10296x + 31.65
-1.40
R² = 0.972
-1.60
-1.80
1/T(K-1)
57
Lampiran 15. Data pengukuran bilangan TBA (thio barbituric acid) dalam satuan (mg malonaldehid/kg sampel)
Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C 37°C 45°C 50°C 52°C
0 0.1392 0.1392 0.1392 0.1392 0.1392
1 0.1520 0.1599 0.1719 0.1724 0.1723
2 0.1411 0.1333 0.1805 0.1887 0.1645
3 0.1567 0.1505 0.1860 0.1902 0.1910
4 0.1582 0.1754 0.1910 0.2097 0.2128
5 0.1622 0.1793 0.1988 0.2440 0.2479
2
R 0.711 0.566 0.839 0.937 0.924
Lampiran 16. Grafik ordo nol dan satu parameter bilangan TBA
Ordo Reaksi Nol y = 0.004x + 0.140 Ordo Reaksi Satu y = 0.028x - 1.958
R² = 0.701
R² = 0.711
0.30 y = 0.007x + 0.137 y = 0.047x - 1.981
0 2 4 6
TBA (mg malonaldehid/kg)
58
Lampiran 17. Pendugaan umur simpan parameter bilangan TBA
Ea Shelf Life
R (J/mol.K) At A0 Ln k t kt
(J/mol) Hari Minggu Bulan
8.314 62720.816 0.4272 0.1392 -5.6377 0.0036 80.88 11.55 2.89
-1
-2
Ln kt
-3
y = -7544.x + 19.26
-4 R² = 0.975
-5
-6
1/T (K-1)
59
Lampiran 19. Data pengukuran bilangan peroksida (meq/kg sampel)
Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C 37°C 45°C 50°C 52°C
0 0.1299 0.1299 0.1299 0.1299 0.1299
1 0.1731 0.2732 0.3728 0.6029 0.5729
2 0.3730 0.7059 1.0889 1.6057 1.6383
3 0.4394 0.7728 2.5705 2.8374 2.8368
4 0.4727 0.9389 2.6701 3.7027 3.6366
5 0.5395 1.0718 2.9361 4.7353 4.6681
2
R 0.932 0.947 0.919 0.989 0.989
Lampiran 20. Grafik ordo nol dan satu parameter bilangan peroksida
Ordo Reaksi Nol y = 0.086x + 0.139 Ordo Reaksi Satu y = 0.294x - 1.897
R² = 0.932 R² = 0.872
5 y = 0.193x + 0.164 0 2 4 6 y = 0.409x - 1.681
R² = 0.947 R² = 0.849
4 y = 0.640x + 0.027 2.5
Bil Peroksida (meq/kg)
Ln (Bil Peroksida)
y = 0.958x - 0.128 y = 0.685x - 1.408
1.0
R² = 0.989 0.5 R² = 0.883
2
y = 0.945x - 0.115 0.0 y = 0.685x - 1.419
1 R² = 0.989 -0.5 R² = 0.882
-1.0
Suhu 32 Suhu 32
0 -1.5 Suhu 37
Suhu 37 -2.0
0 2 4 6 Suhu 45 Suhu 45
-1 -2.5 Suhu 50
Minggu Suhu 50 Minggu
Suhu 52 Suhu 52
60
Lampiran 21. Pendugaan umur simpan parameter bilangan peroksida
Ea Shelf Life
R (J/mol.K) At A0 Ln k t kt
(J/mol) Hari Minggu Bulan
8.314 102578.13 13.4685 0.12985 -2.6095 0.0736 181.30 25.90 6.47
0.0
-0.5
-1.0
Ln kt
-1.5
y = -12338x + 38.11
-2.0
R² = 0.974
-2.5
-3.0
1/T (K-1)
61
Lampiran 23. Data pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) (%)
Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C 37°C 45°C 50°C 52°C
0 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25
1 1.33 1.19 1.25 1.21 1.44
2 1.23 1.24 1.25 1.23 1.30
3 1.24 1.19 1.25 1.23 1.26
4 1.21 1.19 1.21 1.17 1.27
5 1.19 1.18 1.21 1.19 1.25
2
R 0.512 0.528 0.612 0.548 0.143
Lampiran 24. Grafik ordo nol dan satu parameter KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan)
Ln (KPAP)
KPAP (%)
R² = 0.612 R² = 0.612
0.80 y = -0.011x + 1.242 0.20 y = -0.009x + 0.217
0.60 R² = 0.548 0.15 R² = 0.546
0.40 y = -0.014x + 1.330 0.10 y = -0.010x + 0.283
0.20 R² = 0.143 0.05 R² = 0.141
0.00 Suhu 32 0.00 Suhu 32
0 2 4 6 Suhu 37 0 2 4 6 Suhu 37
Suhu 45 Suhu 45
Minggu Suhu 50 Minggu Suhu 50
Suhu 52 Suhu 52
62
Lampiran 25. Data pengukuran warna (nilai L)
Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C 37°C 45°C 50°C 52°C
0 59.10 59.10 59.10 59.10 59.10
1 62.97 60.14 62.16 61.23 63.03
2 63.74 59.91 63.58 61.37 63.49
3 65.75 66.98 63.89 59.89 62.10
4 59.27 62.68 62.73 60.13 61.27
5 64.04 62.28 64.56 62.81 62.58
2
R 0.094 0.338 0.646 0.311 0.136
Lampiran 26. Grafik ordo nol dan satu parameter warna (nilai L)
Ordo Reaksi Nol y = 0.446x + 61.36 Ordo Reaksi Satu y = 0.007x + 4.116
R² = 0.095 R² = 0.094
68.00 4.22
y = 0.873x + 59.66 y = 0.014x + 4.088
67.00 4.20
66.00 R² = 0.322 R² = 0.338
y = 0.838x + 60.57 4.18
65.00 y = 0.013x + 4.103
Ln (Nilai L)
64.00 R² = 0.650 4.16 R² = 0.646
Nilai L
63
Lampiran 27. Data pengukuran warna (nilai a)
Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C 37°C 45°C 50°C 52°C
0 7.03 7.03 7.03 7.03 7.03
1 4.45 6.80 4.78 7.11 4.35
2 4.17 6.55 5.36 5.72 4.08
3 2.97 5.12 4.90 7.00 3.68
4 3.95 6.19 5.66 6.63 5.28
5 3.59 6.41 5.00 5.44 4.11
2
R 0.574 0.259 0.260 0.353 0.277
Lampiran 28. Grafik ordo nol dan satu parameter warna (nilai a)
Ln (Nilai a)
5.00 R² = 0.260 1.5 R² = 0.233
Nilai a
64
Lampiran 29. Data pengukuran warna (nilai b)
Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C 37°C 45°C 50°C 52°C
0 34.95 39.45 39.45 39.45 34.95
1 35.02 34.54 33.08 32.84 32.91
2 34.09 32.03 33.57 32.33 31.97
3 31.69 34.41 33.29 33.19 31.00
4 32.10 33.80 33.02 32.42 32.40
5 32.16 33.00 30.93 31.36 30.94
2
R 0.774 0.440 0.637 0.554 0.658
Lampiran 30. Grafik ordo nol dan satu parameter warna (nilai b)
Ln (Nilai b)
R² = 0.637 R² = 0.653
Nilai b
25.00
y = -1.166x + 36.51 3.55 y = -0.033x + 3.594
20.00
R² = 0.554 R² = 0.566
15.00 3.50
y = -0.644x + 33.97 y = -0.019x + 3.525
10.00
R² = 0.658 3.45 R² = 0.660
5.00
0.00 Suhu 32 3.40 Suhu 32
0 2 4 6 Suhu 37 0 2 4 6 Suhu 37
Suhu 45 Suhu 45
Minggu Suhu 50 Minggu Suhu 50
Suhu 52 Suhu 52
65
Lampiran 31. Data pengukuran TPA (nilai kekerasan) (gf)
Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C 37°C 45°C 50°C 52°C
0 1690.4 1690.4 1690.4 1690.4 1690.4
1 3596.4 1782.4 3101.5 2271.7 3476.7
2 3600.6 3645.5 3292.9 3944.0 3947.1
3 2425.8 5439.4 2992.4 3929.2 2104.2
4 2532.1 3089.8 2845.6 2627.3 3481.3
5 3002.2 4344.8 3073.7 3959.2 3482.2
2
R 0.006 0.480 0.292 0.436 0.177
Lampiran 32. Grafik ordo nol dan satu parameter TPA (nilai kekerasan)
Ln (nilai kekerasan)
R² = 0.480 R² = 0.580
8.4
Nilai Kekerasan
66
Lampiran 33. Data pengukuran TPA (nilai kekenyalan) (gf)
Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C 37°C 45°C 50°C 52°C
0 0.2174 0.2174 0.2174 0.2174 0.2174
1 0.3225 0.2290 0.3153 0.2854 0.3247
2 0.4794 0.2857 0.3081 0.3169 0.3630
3 0.4874 0.3961 0.3889 0.3432 0.5146
4 0.4221 0.2949 0.3576 0.2887 0.3834
5 0.3889 0.3875 0.3293 0.3394 0.3542
2
R 0.366 0.662 0.496 0.549 0.317
Lampiran 34. Grafik ordo nol dan satu parameter TPA (nilai kekenyalan)
Ln (nilai kekenyalan)
R² = 0.496 -0.4 R² = 0.514
0.3 y = 0.018x + 0.252 y = 0.066x - 1.387
-0.6
0.2 R² = 0.549 -0.8 R² = 0.549
y = 0.028x + 0.287 -1.0 y = 0.094x - 1.289
0.1 R² = 0.317 R² = 0.395
-1.2
0.0 Suhu 32 -1.4 Suhu 32
0 2 4 6 Suhu 37 -1.6 Suhu 37
Suhu 45 -1.8 Suhu 45
Minggu Suhu 50 Minggu Suhu 50
Suhu 52 Suhu 52
67
Lampiran 35. Data pengukuran TPA (nilai elastisitas)
Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C 37°C 45°C 50°C 52°C
0 0.6146 0.6146 0.6146 0.6146 0.6146
1 0.6674 0.6096 0.6266 0.6920 0.6336
2 0.5749 0.6850 0.6311 0.6723 0.6408
3 0.6741 0.6257 0.7434 0.6508 0.6960
4 0.6241 0.6160 0.7884 0.6867 0.6266
5 0.6678 0.5944 0.6548 0.6993 0.7426
R2 0.101 0.057 0.352 0.420 0.525
Lampiran 36. Grafik ordo nol dan satu parameter TPA (nilai elastisitas)
Ordo Reaksi Nol y = 0.006x + 0.620 Ordo Reaksi Satu y = 0.010x - 0.479
R² = 0.101 R² = 0.100
1.0 y = -0.004x + 0.634 0 2 4 6 y = -0.006x - 0.456
R² = 0.057 R² = 0.060
0.8 0.0
y = 0.022x + 0.619 y = 0.033x - 0.479
Nilai Elastisitas
68