Oleh:
Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,
Mengetahui,
Koordinator Program Studi Sarjana Teknik Kimia
Zulfansyah, ST., MT
NIP. 19690222 199703 1 001
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
ii
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Pembuatan Bioetanol dari
Ampas Sagu Menggunakan Hidrolisis dan Fermentasi dengan Variasi Suhu
dan Variasi Ukuran Bahan” tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
PRAKATA
iii
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian
ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Program Studi Sarjana Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau. Pada
kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan banyak ucapan terima kasih kepada
beberapa pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penulisan dan
pelaksanaan penelitian ini hingga selesai.
Terima kasih kepada : Bapak Prof. Ir. Ari Sandhyavitri, MSc. selaku
Dekan Fakultas Teknik Universitas Riau dan bapak Idral, ST., MT., PhD. selaku
Ketua Jurusan Teknik Kimia Universitas Riau, bapak Zulfansyah, ST., MT.
selaku Koordinator Program Studi Sarjana Teknik Kimia Universitas Riau, bapak
Chairul, ST., MT. dan bapak Dr. Rahmad,MT. selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama penyusunan
hingga penelitian ini selesai, bapak Dr. Said Zul Amraini, ST., MT. dan bapak
Ahmad Fadli, ST.,MT.,PhD. selaku dosen penguji yang senantiasa menyediakan
waktunya untuk memberi masukan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan
hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua
orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan, kasih sayang dan semangat
kepada penulis, kepada senior angkatan 2015 yang membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian tentang bioetanol serta kepada rekan-rekan teknik kimia
angkatan 2016 yang turut mendukung serta membantu penulis dalam penulisan
penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna,
untuk itu segala kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan, guna
untuk memperbaiki ke depan. Semoga apa yang telah disampaikan dalam
penelitian ini dapat bermanfaat.
iv
Sebagai civitas akademik Universitas Riau, saya yang bertanda tangan
dibawah ini :
Nama : Aufa Zakya Atsarina dan Teguh Imam Pradhonggo
NIM : 1607123256 dan 1607116192
Program Studi : Sarjana Teknik Kimia
Departemen : Teknik Kimia
Fakultas : Teknik
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Riau Hak Bebas Royalti Non eksklusif (Non-exclusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul “Pembuatan
Bioetanol dari Ampas Sagu Menggunakan Hidrolisis dan Fermentasi dengan
Variasi Suhu dan Variasi Ukuran Bahan”, serta perangkat yang ada (jika
diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non eksklusif ini Universitas Riau
berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan Tugas Akhir saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Pekanbaru
Pada Tanggal : 26 Januari 2021
Yang menyatakan
Penulis I Penulis II
v
Aufa Zakya Atsarina dan Teguh Imam Pradhonggo
Laboratorium Biomassa kayu & Non kayu dan Laboratorium Pulp Making
Program Studi Teknik Kimia S1, Fakultas Teknik Universitas Riau
Aufa.zakya3256@student.unri.ac.id
ABSTRAK
Minyak bumi merupakan bahan bakar fosil dan termasuk sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui. Ketersediaan bahan baku minyak bumi semakin hari semakin menipis,
namun hal ini tidak sejalan dengan kebutuhan manusia akan bahan bakar tersebut yang
akan terus meningkat. Luas daerah sagu produktif di Indonesia sekitar 1,2 juta ha. Ampas
sagu sebagai limbah organik pengambilan tepung pati sagu di lingkungan dapat dijadikan
bioetanol dan menjadi solusi untuk menggantikan ketergantungan manusia terhadap
minyak bumi. Pada penelitian ini dilakukan proses hidrolisis termal dan fermentasi ampas
sagu menggunakan mikroorganisme saccharomyces cerevisiae.. Tujuan dari penelitian ini
untuk menentukan pengaruh variasi suhu dan ukuran ampas sagu terhadap konsentrasi
glukosa yang diperoleh pada proses hidrolisis termal. Variasi suhu yang diuji yaitu
120ºC, 140ºC dan 160ºC dengan ukuran bahan 12 dan 60 mesh. Fermentasi dilakukan di
dalam erlenmeyer 2 L selama 5 hari. Dari penelitian ini diketahui bahwa ukuran bahan
akan mempengaruhi kadar pati dan lignoselulosa. Bahan yang semakin halus dan suhu
hidrolisis yang semakin tinggi akan meningkatkan konsentrasi glukosa yang diperoleh.
Konsentrasi glukosa tertinggi didapatkan pada variasi suhu 160ºC dan ukuran bahan 60
mesh sebesar 13.04 g/L. Proses fermentasi ampas sagu menghasilkan kondisi optimum
pada waktu fermentasi 96 jam dengan kadar bioetanol sebesar 8 %.
vi
Aufa Zakya Atsarina dan Teguh Imam Pradhonggo
Laboratorium Biomassa kayu & Non kayu dan Laboratorium Pulp Making
Program Studi Teknik Kimia S1, Fakultas Teknik Universitas Riau
Aufa.zakya3256@student.unri.ac.id
ABSTRACT
Petroleum is a fossil fuel and is a non-renewable resource. The availability of petroleum
raw materials is running low, however this condition is not in line with human need for
this fuel which will always increase. Sago waste as organic waste of sago starch in the
environment can be used as bioethanol and a solution to replace human dependence on
petroleum. In this study, the process of thermal hydrolysis and fermentation of sago pulp
using the microorganism Saccharomyces cerevisiae was carried out. The purpose of this
study was to determine the effect of temperature and material size variations on the
glucose concentration obtained by thermal hydrolysis process. The temperature variations
tested were 120ºC, 140ºC and 160ºC with material sizes of 12 and 60 mesh. Fermentation
was carried out in 2L erlenmeyer for 5 days. From this research it is known that the size
of the material will affect levels of starch and lignocellulose. More high hydrolysis
temperature and material is more smoth it can result in the glucose concentration obtained
becoming higher. The highest glucose concentration was obtained at a temperature
variation of 160ºC and at Variation material size of 60 mesh that is 13.04 g / L. The
fermentation process of sago waste resulted in an optimum condition at the fermentation
time of 96 hours with bioethanol content of 8%.
DAFTAR ISI
Halaman
vii
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS................................................ iii
PRAKATA ........................................................................................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................................. v
ABSTRAK............................................................................................................ vi
ABSTRACT......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 7
1.5 Sistematika Penulisan........................................................................7
viii
viii
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................57
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
setiap panen menghasilkan 125-140 pohon per tahun. Hutan sagu tersebut tersebar
di Papua seluas 1,2 juta hektar dan Maluku seluas 50 ribu hektar serta 148 ribu
hektar hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi,
Kalimantan, Sumatra, Kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera
Barat). Dari luasan tersebut hanya sekitar 40 % merupakan areal penghasil pati
produktif dengan produktivitas pati 7 ton per hektar per tahun (Tirta et al., 2013).
Salah satu daerah yang tidak kalah terkenal sebagai wilayah perkebunan
sagu yang cukup besar di Indonesia yaitu Pulau Padang di Kepulauan Meranti
Riau. Beraneka ragam jenis tanaman sagu dibudidayakan dan menjadi sumber
penghasilan petani sagu di daerah tersebut (Rahayu, 2013).
Hasil sagu dari perkebunan biasanya akan dikirim ke industri untuk diolah
lebih lanjut, namun biasanya pengolahan oleh industri sagu akan menyisakan kulit
kayu serta serat atau ampas dari sagu tersebut. Limbah sisa dari pengolahan
industri sagu yaitu ampas sagu yang terbuang ke lingkungan, apabila diolah dan
diproses secara efektif dan efisien akan meningkatkan nilai dari limbah ampas
sagu yang semulanya dibuang atau tidak bernilai menjadi bahan yang bernilai
guna tinggi. Limbah ampas sagu akan dimanfaatkan menjadi bahan biomassa
untuk pembuatan bioetanol, hal ini dapat meningkatkan keuntungan karena dari
hasil pengolahan tersebut ampas sagu juga bisa menjadi pengganti ketergantungan
terhadap minyak bumi yang tidak dapat diperbaharui dan mengurangi dampak
lingkungan akibat banyaknya sisa ampas sagu hasil pengolahan tepung pati sagu
yang tidak digunakan.
Penelitian ini akan dapat memberikan manfaat pada lingkungan dan
meningkatkan nilai ampas sagu dari limbah yang tidak termanfaatkan menjadi
bahan yang menghasilkan keuntungan menjanjikan di Riau. Selain itu dengan
melakukan penelitian ini menjadikan bahan perbandingan dari hasil penelitian
bioetanol yang telah dilakukan sebelumnya agar dapat melihat perbandingan hasil
proses yang lebih baik dan efisien serta dampak lain dari hasil bioetanol yang
telah dibuat tersebut dan diharapkan dapat menjadi salah satu solusi bahan
biomassa untuk pembuatan bioetanol sebagai pengganti minyak bumi yang tidak
dapat diperbarui dan cepat atau lambat ketersediaannya akan terus berkurang.
3
1. Bab I : Pendahuluan
Dalam bab I ini dibahas tentang latar belakang, perumusan masalah,
tujuan, manfaat dan sistematika penulisan.
2. Bab II : Tinjauan pustaka
Dalam bab II memuat uraian tentang dasar landasan teori mengenai,
ampas sagu, proses hidrolisis, bioreaktor, nutrisi fermentasi, dan proses
fermentasi.
3. Bab III : Metodologi penelitian
Berisikan tentang tempat, bahan, peralatan yang digunakan serta variabel
dan prosedur penelitian.
8
TINJAUAN PUSTAKA
9
10
Pati sagu diproduksi sebanyak 300 juta ton / tahun dan digunakan sebagai
bahan pembuatan mie, bihun, biskuit dan memiliki kegunaan industri seperti
pengolahan monosodium glutamat, glukosa dan sirup fruktosa. Limbah sagu
dihasilkan sebagai produk samping dari produksi pati sagu. Limbah sagu yang
dihasilkan dari pohon sagu adalah salah satu polimer alami yang termurah, dapat
terurai secara hayati, dan paling mudah tersedia dari semua polimer alami
terbarukan. Selulosa merupakan bahan makromolekul alami yang melimpah
dalam limbah sagu (Pushpamalar et al., 2005).
Terdapat 3 jenis limbah hasil industri ekstraksi sagu yaitu residu selular
empulur sagu berserat (ampas), kulit batang sagu (bark) dan air buangan
(wastewater). Biasanya jumlah kulit batang sagu dan ampas sagu yaitu berkisar
26% dan 14% berdasarkan bobot total balak sagu (Idral et al., 2012).
Haryono et al dalam Dewi et al (2017) menyatakan salah satu komponen
yang berpotensi pada limbah ampas sagu adalah selulosa. Selulosa adalah polimer
alami yang bersifat dapat didegradasi dan terbarukan. Selulosa dari ampas sagu
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan bioetanol.
Limbah empulur sagu merupakan residu berserat yang dihasilkan dari
proses ekstraksi pati sagu (Lai, 2013). Khairunnisah dalam Polii (2016)
mengatakan bahwa pengolahan empulur sagu diperoleh 18.5% pati dan 81.5%
berupa ampas. Ampas sagu terdiri dari serat-serat empulur yang diperoleh dari
hasil pemarutan atau pemerasan isi batang sagu. Limbah ampas merupakan bahan
lignoselulosa yang sebagian besar tersusun atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin.
Polii (2016) melakukan penelitian dalam jurnal pembuatan bioetanol dari
ampas sagu terhadap serat atau ampas sagu yang dalam bahasa biologi disebut
Arenga microcarpa Beccari dan sagu rumbia yaitu Metroxylon sagu, kedua jenis
di atas merupakan limbah dari proses pengolahan tepung pati sagu. Dalam
jurnalnya dikatakan untuk mendapatkan ampas sagu harus melalui sejumlah
tahapan pemrosesan terlebih dahulu yaitu proses pengeringan, penggilingan,
pengayaan sehingga didapatkan hasil akhir limbah serbuk berukuran 40 mesh.
13
2.2.3 Lignin
Sundiyani et al (2019) dikutip dari Novika et al (2002) dan Higuchi
(2004). Lignin merupakan senyawa polimer yang berikatan dengan selulosa dan
hemiselulosa pada jaringan tanaman. Secara alamiah, lignin berfungsi melindungi
komponen lain. Jika masih terdapat lignin maka akan sulit untuk selulosa dan
hemiselulosa dapat terhidrolisis akibat adanya ikatan eter oleh lignin. Lignin dan
monomernya tidak bisa difermentasi menjadi bioetanol.
17
dan memiliki kecenderungan berubah pada saat penentuan kadar lignin. Achmadi
dalam Agustian (2014) menerangkan bahwa pada suasana asam, lignin cenderung
melakukan kondensasi. Peristiwa ini menyebabkan bobot molekul lignin
bertambah dan dalam keadaan yang sangat asam, lignin yang telah terkondensasi
ini akan mengendap. Lignin sebagian akan terlarut di dalam asam pada tahap
hidrolisis kedua dari prosedur lignin klason.
Wiratmaja dalam Agustian (2014) menambahkan bahwa delignifikasi
adalah proses untuk mengurangi kadar lignin. Adanya lignin dalam bahan
berselulosa ini akan menghambat aktivitas enzim yang terdapat di dalam ragi
dalam proses pengkonversian gula sederhana menjadi bioetanol. Sehingga untuk
meningkatkan proses hidrolisis, maka perlu dilakukan proses delignifikasi untuk
mendegradasi lignin dari struktur selulosa dengan menggunakan bantuan senyawa
katalis, salah satu caranya adalah dengan menggunakan katalis kimia berupa
senyawa NaOH.
2.3.2 Proses Pre-treatment
Sebelum proses delignifikasi dilakukan proses pre-treatment, untuk
memecah struktur kristalin selulosa dan memisahkan lignin sehingga selulosa
dapat terpisah. Pre-treatment dapat dilakukan secara kimia maupun fisik. Metode
fisik yang dilakukan adalah dengan menggunakan suhu dan tekanan tinggi,
penggilingan, radiasi, atau pendinginan, kesemuanya membutuhkan energi yang
tinggi. Sedangkan metode pre-treatment secara kimia menggunakan solven untuk
memecah dan melarutkan lignin (metode delignifikasi) (Badger dalam Agustian,
2014).
Dalam proses hidrolisis, pati akan lebih mudah dihidrolisis dari pada
selulosa. Hal ini dikarenakan unit-unit glukosa dalam selulosa mempunyai ikatan
sedangkan dalam pati (amilosa) ikatannya adalah . Perbedaan ikatan ini
sangat signifikan sehingga bisa dilihat saat banyak enzim yang cocok untuk
memecah ikatan 1,4--glikosidik tetapi hanya sedikit enzim yang mampu
menghidrolisis ikatan 1,4- -glikosidik dari selulosa (Rahmad, 2008).
Pati dapat dihidrolisis pada suhu yang jauh lebih rendah dari pada selulosa,
yaitu pada suhu 100oC dan tekanan 1 atm. Hal lain yang mengakibatkan selulosa
sulit terdegradasi adalah penyusun selulosa banyak berstruktur kristal sedangkan
struktur amorf hanya sedikit. Hal ini mengakibatkan selulosa menjadi kurang
reaktif. Dengan adanya katalisator maka akan mengubah mekanisme reaksi
hidrolisis (Rahmad, 2008).
Philipp dalam Rahmad (2008) menerangkan mekanisme reaksi hidrolisis
dengan menggunakan katalisator asam seperti terlihat pada Gambar 2.6. Ion H+
yang berasal dari katalisator akan menyerang selulosa terlebih dahulu. Dengan
masuknya ion H+ tersebut maka struktur selulosa menjadi tidak stabil sehingga
akan memudahkan selulosa bereaksi dengan air (H2O).
22
2.5 Fermentasi
23
kurva. Pada fase ini jumlah Saccharomyces cerevisiae yang mati jumlahnya lebih
banyak sampai akhirnya semua Saccharomyces cerevisiae mati (Azizah et al.,
2012).
2.8 Etanol
Etanol disebut juga etil alkohol merupakan sejenis cairan yang mudah
menguap, mudah terbakar, tidak berwarna, berbau spesifik, dapat bercampur
dengan air dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Etanol merupakan nama IUPAC dari bahan kimia ini. Selain itu, nama
etil alkohol juga lazim digunakan. Sifat – sifat fisik etanol dapat dilihat pada
Tabel 2.2 berikut
Tabel 2.2 Sifat – sifat Fisik Etanol
Ethanol Content 99.8 % vol (min)
Densitas 0.790 g/ml (max)
Appearance Clear, without Particles
Color 5 hazen (max)
Water 0.3 % mass (max)
Starting Point 77 ºC
Dry Point 810C
Flash Point +12 ºC
Explosion limit 3.5-1.5 % vol air
2.9 Bioetanol
Bioetanol merupakan senyawa yang berasal dari etanol (ethyl alcohol)
yang berasal dari sumber daya alam hayati yang dapat digunakan dalam berbagai
macam kebutuhan termasuk bahan bakar alternatif. Bioetanol juga dapat
digunakan sebagai campuran untuk bensin. Penggunaan bioetanol sebagai bahan
bakar alternatif telah banyak digunakan di berbagai negara, terutama di kawasan
Amerika latin. Bioetanol mulai dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif
karena bersifat lebih ramah lingkungan, mudah diproduksi dan dapat dibuat dari
bahan-bahan alami sehingga bersifat terbarukan (Rutz, D dan Rainer J, 2008).
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif memiliki beberapa
kelebihan dari pada bahan bakar konvensional, yaitu:
a. Ketersediaan yang berlimpah.
b. Mampu mereduksi Polusi Udara
c. Mampu menjadi campuran Sumber Daya Alam Non-Renewable
d. Mudah terbiodegradasi dan tidak beracun
e. Produksi dan Penggunaan yang mudah
f. Biaya Produksi yang lebih murah
Bahan baku untuk proses produksi bioetanol diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, yaitu gula, pati dan selulosa. Sumber gula yang berasal dari gula tebu,
gula bit, molase dan buah-buahan dapat langsung dikonversi menjadi bioetanol.
Sumber dari bahan berpati seperti jagung, singkong, kentang dan akar tanaman
harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi gula. Sumber selulosa yang berasal dari
kayu, limbah pertanian, limbah pabrik pulp dan kertas, semuanya harus dikonversi
menjadi gula (Rutz, D dan Rainer J, 2008).
Alat ini mampu mengaduk larutan dengan kecepatan mencapai 632 rpm. Garis
sampel dan reservoir asam dibaut erat ke reaktor (Orozco et al., 2013).
Saluran nitrogen kemudian dipasang ke reservoir asam. Alat ini dilengkapi
termokopel yang mampu mengukur suhu operasi sehingga pengguna dapat
memastikan suhu operasi yang digunakan serta dapat melakukan setel suhu. Alat
ini membutuhkan waktu antara 30 dan 60 menit untuk mencapai suhu yang
diinginkan (Orozco et al., 2013).
33
34
1. Variabel Fermentasi
pH awal : 5 (Rahim dan Dicka, 2009)
Suhu : 28 0C (Endah,2007)
Pengadukan : 200 rpm (Rezky et al., 2014)
Yeast Extract : 4 gr/l (Rezky et al., 2014)
2. Variabel Hidrolisis
Perbandingan ampas sagu : Aquades = 1 : 10
Selanjutnya dilakukan
pengeringan di Oven pada
suhu 105ºC selama 1 jam
Ditimbang
Ampas dioven hingga konstan
sebagai berat (b)
Ditambahkan
150 mL Residu kering kembali direlux t= 2 jam
H2SO4
Ditimbang
Ampas dioven hingga konstan sebagai berat (c)
Ditambahkan
10 mL H2SO4 Residu kering direndam dan didiamkan
72% selama 4 jam
Ditimbang
Ampas dioven hingga konstan sebagai berat (d)
Limbah Sagu 12
dan 60 mesh
Larutan hasil
hidrolisis
Erlenmeyer
Inokulum
3.4.5 Fermentasi
Proses fermentasi dilakukan dengan memasukkan larutan hasil hidrolisis
ke dalam Erlenmeyer Sebanyak 2 L Rezky et al (2014), kemudian ke dalam
Erlenmeyer ditambahkan 0,02 gr/L KH2PO, 0,01 gr/L MgSO4.7H2O, 0.1 gr urea,
0.1 gr NPK, 2 gr glukosa dan 4 gr/L yeast extract sebagai nutrisi, selanjutnya
larutan dihomogenkan menggunakan shaker. Setelah homogen, larutan
Selanjutnya disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 15
menit, kemudian didinginkan hingga mencapai suhu ruang. Larutan ini digunakan
sebagai medium dalam proses fermentasi. Selanjutnya, larutan starter sebanyak
10% dari volume fermentasi dimasukkan ke dalam erlenmeyer berisi larutan hasil
hidrolisis. Menurut Idral et al (2012) yang melakukan pengujian waktu paling
optimum proses fermentasi untuk mendapatkan bioetanol berlangsung selama 4
hari. Setelah proses selesai selanjutnya yaitu dilakukan proses analisis kadar
glukosa akhir menggunakan spektrofotometer sinar tampak dan analisis
konsentrasi bioetanol yang dihasilkan menggunakan alkohol meter.
Urea 0.12 gr
NPK 0.12 gr
KH2PO4 0.1 gr
Larutan Hasil
MgSO4 7H2O 0.01 gr
Hidrolisis 1.8 L
Glukosa 2 gr
200 ml larutan hidrolisis
fermentor
Fermentasi (t = 4 hari)
43
44
Pada Tabel 4.1 dapat dilihat hasil analisa kadar pati dari ampas sagu dengan
berbagai ukuran menunjukkan bahwa perbedaan ukuran ampas sagu memberikan
perbedaan hasil terhadap kadar pati, hemiselulosa, selulosa, lignin, serta kadar
abu dari ampas sagu yang diteliti. Kadar pati tertinggi diperoleh pada ampas sagu
dengan kehalusan 60 mesh yakni 53,41%, sedangkan kadar pati terendah
diperoleh pada ampas sagu dengan kehalusan 12 mesh yakni 39,2%.Untuk kadar
hemiselulosa, ampas sagu dengan kehalusan 12 mesh memiliki persentase yang
lebih rendah yakni 7,5% dibandingkan ampas sagu dengan kehalusan 60 mesh
yaitu sebanyak 9,89%.
Nishita dan Bean dalam Muhandri, (2007) menyatakan bahwa pada bahan
dengan ukuran mesh yang lebih kasar (12 mesh) Sebagian patinya masih terjebak
dalam satu pecahan biji sehingga pati sulit mengalami gelatinisasi. Semakin halus
dan semakin seragam ukuran tepung (60 mesh), maka proses gelatinisasi terjadi
pada waktu yang hampir bersamaan hal ini menyebabkan pati yang masih terjebak
akan lebih banyak terbebas sehingga kadar patinya akan semakin tinggi
Tingginya kadar pati pada ampas sagu dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya karena masih adanya pati (karbohidrat) yang tidak ter-ekstrak ketika
proses ekstraksi sagu dan tertinggal pada serat atau empulur sagu (limbah). Hal ini
dapat terjadi karena proses ekstraksi dari serat atau empulur sagu rumbia
dilakukan secara tradisional (contoh dari proses ekstraksi atau pencucian
menggunakan tangan manusia, (Polii, 2016)).
Kadar hemiselulosa ampas sagu 60 mesh dengan 12 mesh cenderung terlihat
berbeda yaitu hemiselulosa pada ampas sagu 60 mesh sebanyak 9,89% sedangkan
45
pada ampas sagu 12 mesh sebanyak 7,5%. Adanya perbedaan kadar hemiselulosa
pada ampas sagu kasar (12 mesh) dengan ampas sagu yang halus (60 mesh)
dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah proses pengecilan ukuran
partikel ampas sagu. Proses ini merupakan bagian proses pemutusan ikatan
lignoselulosa secara fisika. Pada ampas sagu yang halus (60 mesh) treatment
fisika untuk memisahkan pati, hemiselulosa, dan selulosa terjadi secara maksimal
akibat adanya pengecilan ukuran secara relatif menjadi partikel-partikel yang
berukuran lebih kecil sehingga kadar hemiselulosa pada ukuran 60 mesh akan
lebih mendominasi dibandingkan kadar hemiselulosa pada ukuran 12 mesh.
Pada ampas sagu yang halus (60 mesh) proses hidrolisis karbohidrat
menjadi gula sederhana akan lebih mudah karena penetrasi asam (H2SO4) ke
dalam butiran atau serbuk ampas sagu dapat terjadi dengan sendirinya sehingga
proses konversi karbohidrat menjadi gula akan maksimal, sebaliknya pada ukuran
ampas sagu yang lebih kasar (12 mesh) penetrasi asam ke dalam serat ampas sagu
tidak terjadi secara maksimal karena diameter bahan yang besar akan
mengakibatkan luas permukaan kontak menjadi lebih kecil sehingga tidak semua
bagian serat dari ampas sagu dapat dipenetrasi oleh asam yang akan merubah
karbohidrat menjadi gula sederhana (Polii,2016).
Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap kadar lignin dan selulosa
sebelum proses hidrolisis dengan memvariasikan ukuran partikel ampas sagu
menggunakan saringan mesh. Ampas sagu akan melewati proses delignifikasi
terlebih dahulu, yaitu proses penghilangan kadar lignin yang akan mengganggu
dalam proses mengkonversi selulosa. Lignin yang bertugas membentuk struktur
batang pada tumbuhan sagu dan sekaligus merupakan lapisan terluar dari batang
sagu akan menyelubungi selulosa yang terkandung di dalamnya (Agustian,2014).
Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa kadar selulosa dan lignin dari ampas sagu
dengan ukuran partikel 60 mesh dengan 12 mesh cenderung terlihat berbeda yaitu
selulosa pada ampas sagu 60 mesh sebanyak 25,38% sedangkan pada ampas sagu
12 mesh sebanyak 11,3%. Kadar lignin pada ampas sagu 60 mesh sebanyak
5,09% sedangkan pada ampas sagu 12 mesh sebanyak 12,6%.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka akan
semakin banyak selulosa yang dihasilkan, dan berbanding terbalik dengan kadar
46
4.2 Pengaruh Ukuran Bahan dan Suhu terhadap Glukosa Hasil Hidrolisis
Waterbatch Thermal dengan Alat PARR reaktor
Pada tahapan hidrolisis untuk menghasilkan glukosa dilakukan dengan
prinsip hidrolisis waterbatch thermal atau tanpa menggunakan katalis yang
dioperasikan menggunakan alat PARR reaktor selama 4 jam. Pembahasan ini akan
menjabarkan prinsip proses hidrolisis waterbatch thermal tetap dapat terjadi
walaupun tanpa menggunakan katalis asam, basa maupun enzimatis serta
membahas pengaruh dari variasi suhu 120ºC, 140ºC dan 160ºC dengan variasi
ukuran bahan 60 dan 12 mesh terhadap glukosa yang dihasilkan. Hidrolisis yang
dilakukan hanya menggunakan air dengan panas yang dioperasikan menggunakan
alat PARR reaktor yang secara otomatis akan bekerja dengan memberikan
tekanan tertentu sesuai dengan tingkatan suhu yang telah ditentukan dan selama
waktu tertentu.
Bagian yang akan dimanfaatkan pada ampas sagu ini adalah selulosa.
Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, melainkan selalu
berasosiasi dengan hemiselulosa dan lignin. Lignin yang menyelubungi selulosa
akan menghambat air sebagai reaktan untuk menghidrolisis selulosa pada ampas
sagu. Pada penelitian ini pemberian variasi ukuran bahan, variasi suhu dan kondisi
operasi pada tekanan diatas 1 bar secara tidak langsung merupakan proses
pretreatment fisik. Metode ini akan memecah ikatan hidrogen dalam selulosa
kristal, pemutusan ikatan lignin dan hemiselulosa dari selulosa serta
meningkatkan luas permukaan selulosa untuk selanjutnya diikuti proses hidrolisis
secara waterbatch thermal (Mandadi et al.,2017).
Safitri et al (2016) mengatakan berdasarkan teoritis proses hidrolisis tetap
47
dapat terjadi walaupun tanpa menggunakan katalis. Hal ini sesuai dari hasil
penelitian yang telah dilakukan dimana pada Tabel 4.2 didapatkan konsentrasi
glukosa untuk setiap variasi hidrolisis dengan prinsip waterbatch thermal.
Mekanisme dari suatu proses hidrolisis waterbatch thermal ini yaitu terjadinya
reaksi pemecahan suatu molekul dengan air yang berfungsi sebagai reaktan. Hal
ini dikarenakan selulosa yang merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4
glikosida dalam rantai lurus, sehingga ketika selulosa dihidrolisis dengan air dan
pemanasan dalam rentang waktu tertentu maka ikatan-ikatan β-1,4 glikosida
tersebut akan terlepas dan akan menghasilkan glukosa. Reaksi yang terjadi pada
hidrolisis ini adalah sebagai berikut :
(C6H10O5)x + x H2O → x C6H12O6
(Eka et al., 2014)
Dalam penelitian ini, ampas sagu dikategorikan sebagai sumber selulosa. Dimana
reaksinya adalah :
(Ampas Sagu)x + x H2O xC6H12O6 (gula reduksi)
(Eka et al., 2014)
Sudiyani et al (2019) menambahkan ketika proses hidrolisis berlangsung
dalam larutan, air terurai menjadi kation hidrogen (H+) dan anion hidroksida
(OH−) yang selanjutnya akan bereaksi dengan ion senyawa lain yang
menyebabkan tertinggal atau berlebihnya kation hidrogen (H+) dan anion
hidroksida (OH−) sehingga larutan bersifat sedikit asam atau basa. Jika ion-ion air
tidak bereaksi dengan senyawa pada larutan tertentu, larutan tersebut akan tetap
bersifat netral (masih merupakan pH air). Pada penelitian yang telah dilakukan,
saat diuji pH nya menggunakan alat pH meter, setiap variasi sampel hasil
hidrolisis didapatkan hasil uji pH nya sedikit asam yaitu pada rentang pH 4.21-
4.67. Hal ini menunjukan jika ion-ion air pada hidrolisis yang dilakukan ini sudah
bereaksi dengan senyawa pada larutan yaitu selulosa dan pati.
Dari penelitian yang telah dilakukan. hasil konsentrasi glukosa yang untuk
setiap variasi ukuran bahan dan suhu dapat dilihat pada Tabel 4.2.
48
120 60 6.09
12 5.28
140 60 11.43
12 9.32
160 60 13.04
12 11.75
Dapat dilihat dari Tabel 4.2 bahwa kandungan glukosa pada ukuran bahan
yang lebih halus yaitu 60 mesh memiliki kandungan glukosa yang lebih tinggi
dari pada dilakukannya hidrolisis dengan ukuran bahan lebih besar yaitu 12 mesh
baik pada suhu 120ºC, 140ºC maupun 160ºC. Dimana hasil konsentrasi glukosa
paling kecil yaitu pada variasi suhu 120ºC dan dengan variasi ukuran bahan 12
mesh sebesar 5.28 g/L sedangkan hasil konsentrasi glukosa paling tinggi
ditunjukan oleh variasi suhu 160ºC dengan variasi ukuran bahan 60 mesh sebesar
13.04 g/L.
Fatmawati et al (2008) dalam jurnalnya menyatakan dengan semakin
kecilnya ukuran bahan tersebut maka akan semakin luas bidang kontak dari
larutan penghidrolisis yaitu air, dengan bantuan panas terhadap bahan tersebut
juga meningkatkan aksesibilitas dalam hal hidrolisis heterogen sehingga proses
hidrolisis akan semakin banyak terjadi dan menghasilkan gula pereduksi yang
besar pula. Pada variasi bahan lebih halus yaitu 60 mesh dan suhu lebih tinggi
yaitu 160ºC telah berlangsung proses hidrolisis yang lebih baik dari pada variasi
ukuran bahan dan suhu lainnya. Dimana selulosa yang sebelumnya sudah terpecah
oleh air sebagai reaktan dari polisakarida menjadi monosakarida yaitu glukosa
dengan pemberian variasi ukuran bahan yang lebih halus menyebabkan selain
memperluas bidang kontak secara tidak langsung terjadinya proses pemutusan
ikatan lignoselulosa secara fisika yang lebih sempurna dari pada bahan yang
partikelnya lebih kasar sehingga secara tidak langsung dapat menghilangkan
gangguan kristalinitas lignoselulosa (Monika, 2016)
Bila dihubungkan dengan prinsip perpindahan massa yaitu difusi, glukosa
yang sudah terpecah oleh proses hidrolisis ini selanjutnya akan berpindah atau
49
berdifusi sehingga terlarut dengan air. Kecepatan difusi juga akan dipengaruhi
oleh suhu yang tinggi. Difusi ini akan terus terjadi hingga seluruh glukosa yang
terpecah tersebar secara merata atau mencapai keadaan kesetimbangan dimana
perpindahan molekul tetap terjadi walaupun tidak ada perpindahan konsentrasi.
Holman dalam Rohmawati (2013) menyatakan prinsip hidrolisis dapat
dihubungkan dengan prinsip teori perpindahan massa secara fisika, dimana
koefisien dari perpindahan massa itu merupakan kecepatan spesifik dari
perpindahan massa per unit waktu, perluas kontak dan per unit beda konsentrasi.
Bila dikaitkan terhadap ukuran bahan baku maka bersesuaian dengan hukum Fick
tentang difusi, dimana dinyatakan bahwa fluks massa dari suatu konstituen per
satuan luas berbanding lurus dengan gradien suhu.
(Rohmawati, 2013)
Dengan D adalah konstanta proporsionalitas (tetapan kesebandingan) atau
koefisien difusi, NA adalah fluks massa persatuan waktu dan CA adalah konsentrasi
massa komponen A per satuan volume (Rohmawati, 2013).
Sedangkan bila dihubungkan secara lebih spesifik terhadap suhu
konsentrasi glukosa hasil hidrolisis yang telah dilakukan dengan penelitian yang
telah dilakukan peneliti lainnya dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pada variasi
suhu yang paling tinggi yaitu 160ºC kadar glukosa yang terbaca oleh alat
spektrofotometer UV-VIS juga lebih besar. Hal ini bersesuaian dengan penelitian
yang dilakukan oleh Trisakti et al (2015) yang melakukan hidrolisis termal
menggunakan bahan tepung ampas tebu pada variasi suhu 135ºC, 150ºC dan
165ºC didapatkan konsentrasi glukosa tertinggi pada suhu yaitu 165ºC selama 2
jam dengan persentase glukosa 4.14%. Di dalam jurnal nya juga dinyatakan
bahwa konsentrasi glukosa yang didapatkan akan meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu hidrolisis yang disebabkan oleh monomer-monomer gula
yang akan terlepas dari ikatannya seiring dengan meningkatnya suhu sehingga
perolehan konsentrasi glukosa pun semakin tinggi.
Mandagi et al (2010) juga melakukan penelitian dengan tahapan hidrolisis
secara termal atau tanpa katalis pada eceng gondok dengan memvariasikan suhu
operasi yaitu 143.7ºC, 173.7ºC dan 197.2ºC, % berat 6.4, 4,9 dan 3.9 serta waktu
50
akan menjadi semakin banyak dan produksi bioetanol menjadi semakin tinggi.
Proses ini akan berakhir pada saat kadar bioetanol mencapai titik dimana
konsentrasinya tidak dapat ditolerir lagi oleh sel-sel khamir atau bakteri.
Tingginya kandungan bioetanol akan menghambat pertumbuhan khamir dan
hanya mikroba yang toleran terhadap alkohol saja yang dapat tumbuh.
Fermentasi yang dilakukan menggunakan ampas sagu sebagai substrat
dengan bantuan Saccharomyces cereviciae memperoleh kadar bioetanol tertinggi
sebesar 8,0% dengan waktu fermentasi selama 5 hari.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa dengan
bertambahnya waktu fermentasi maka kadar bioetanol yang dihasilkan akan
semakin tinggi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Proses fermentasi dilakukan menggunakan Saccharomyces cereviciae
sebanyak 4 gr dan kemudian kita dapat membandingkan hasil bioetanol yang
diperoleh terhadap waktu fermentasi yaitu 0 jam, 24 jam, 48 jam,72 jam, 96 jam
dan 120 jam dengan total waktu fermentasi selama 5 hari. kadar bioetanol
terendah terjadi pada waktu fermentasi 0 jam yaitu sebesar 1%. Hal ini terjadi
karena mikroba atau ragi masih berada pada fase adaptasi dan aktivitas mikroba
juga belum optimal untuk menguraikan glukosa menjadi bioetanol.
Gambar 4.2 menunjukan bahwa kadar bioetanol terus mengalami kenaikan
pada waktu fermentasi 24 jam (hari ke-1) sampai pada waktu 96 jam jam (hari ke-
54
4). Hal ini berarti pertumbuhan ragi pada waktu tersebut berada pada fase
eksponensial yaitu fase perkembangan ragi yang meningkat sehingga ragi bekerja
secara optimum untuk mengubah glukosa menjadi bioetanol (Agustina, 2016).
Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa bioetanol tertinggi
dihasilkan pada waktu fermentasi 96 jam yaitu sebesar 8,0%. Dan menurun pada
waktu fermentasi 120 jam. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu fermentasi 96
jam mikroba berada pada fase stasioner dan waktu paling optimum bagi mikroba
untuk dapat menguraikan glukosa menjadi bioetanol.
Penurunan kadar bioetanol pada waktu fermentasi 120 jam disebabkan
karena jumlah mikroba semakin menurun dan akan menuju ke fase kematian. Hal
ini terjadi karena bioetanol yang dihasilkan semakin banyak dan nutrien yang ada
semakin menipis, selain itu bioetanol yang dihasilkan telah teroksidasi lebih lanjut
menjadi asam karboksilat (Noviani dalam Agustina, 2016).
Hubungan antara waktu fermentasi terhadap penurunan konsentrasi glukosa
yang diperoleh pada setiap variasi pengambilan sampel fermentasi dapat dilihat
pada Gambar 4.3.
56
DAFTAR PUSTAKA
Adisti, Fadly.W. 2016. Karakterisasi Pati Sagu (Metroxylon spp.) yang Berasal
Dari Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan, Papua Barat. Institut
Pertanian Bogor : Bogor.
Agustian, H.,dan Atiek Sri Redjeki. 2014. Pengaruh Ukuran Partikel Pelepah
Pisang Dan Konsentrasi Katalis H2SO4 Pada Proses Hidrolisis Terhadap
Konversi Selulosa Menjadi Bioetanol. Universitas Muhammadiyah :
Jakarta.
Astuti.,M, Hafiza, Elis.,Y, Agus,R.,W,Irfan,M.,N, Destiana.,M. 2014. Pedoman
Budaya Sagu. Direktorat Jenderal Perkebunan dan Kementerian Pertanian.
Bambang,W.,S. 2016. Studi Eksperimental Pengaruh Penggunaan Saccharomyces
cerevisiae terhadap tingkat Produksi Bioetanol dengan Bahan Baku Nira
Siwalan. Universitas Muhammadhiyah Yogyakarta : Yogyakarta.
Bian.,J, Feng.,P, Xiao,P.,P, Fang.,X, Run, C.,S, Jhon,F.,K. 2012. Isolation of
hemicelluloses from sugarcane bagasse at different temperatures:
Structure and properties. Institute of Biomass Chemistry and Technology,
Beijing Forestry University: Beijing, China
Budiarni,M dan Togu.2013. Pengaruh Variasi Waktu Fermentasi dan Berat ragi
terhadap Kadar Alkohol pada Pembuatan Bioetanol Limbah Padat tapioka
(Onggok). Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Caesy, C. P. 2018. Pengolahan Tepung Sagu dengan Fermentasi Aerobik
Menggunakan Rhizopus sp. Departemen Teknik Kimia, Fakultas
Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) :
Semarang.
Christophe.J.,B. 1996. Handbook of Pulping and Papermaking ISBN:
9780080533681. Academic Press
De Datta, S. K, 1981. Principles and Practices of Rice Production. New York,
N.Y. (USA): Jhon Wiley and Sons.34 hal.
Dewi, A. M. P. Mimin Y. K, Desi N. E. Yudi P. dan Purnama D. 2017. Ekstraksi
dan Karakteristik selulosa dari Limbah Ampas Sagu. Universitas Gadjah
Mada : Yogyakarta.
57
58
Safitri, R., I.D. Anggita, F.M. Safitri, dan A.A.I. Ratnadewi, 2016, Pengaruh
Konsentrasi Asam Sulfat dalam Proses Hidrolisis Selulosa dari Buah Naga
Merah (Hylocereus costaricensis) untuk Produksi Bioetanol, 9th Industrial
Research Workshop and National Seminar, Universitas Jember.
Subagiyo, Sebastian.,M, Triyanto.2015. Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis
Sumber Karbon, Nitrogen Dan Fosfor pada Medium deMan, Rogosa and
Sharpe (MRS) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat Terpilih Yang
Diisolasi Dari Intestinum Udang Penaeid.Jurnal Kelautan Tropis
Desember 2015 Vol. 18(3):127–13.
Sudiyani, Y., Aiman, S., dan Mansur, D. 2019. Perkembangan Bioetanol G2:
Teknologi dan Perspektif :Jakarta: LIPI Press. ISBN 978-602-496-070-4.
Supatmawati. 2010. Rekayasa Bioproses Produksi Bioetanol Dari Hidrolisis Pati
Sagu (Metroxylon spp.) Menggunakan (Saccharomyces Cerevisiae Var.
Ellipsoides) Pada Kultivasi Nir-Sinambung Dan Semi Sinambung. Institut
Pertanian Bogor : Bogor.
Tirta Parama W.W.K, Novita Indrianti, Riyanti Ekafitri.(2013). Potensi Tanaman
Sagu (Metroxylon sp.) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Indonesia.
Balai Pengembangan Teknologi : Subang
Triantarti dan Hendro,S.,M.2007. Pengaruh Substitusi Terhadap Sukrosa Murni
Oleh Nira Tebu Sebagai Sumber Karbon pada Fermentasi Produksi
Dekstran. Jurnal ILMU DASAR, Vol. 8 No. 2, Juli 2007 : 193-198
Trisakti.,B. Yustina.B.,S.Irvan. 2015. Pembuatan Bioetanol dari Tepung Ampas
Sagu melalui Proses Hidrolisis Termal dan Fermentasi secara Recycle
Vinasse (Pengaruh Konsentrasi Tepung Ampas Tebu, Suhu dan waktu
Hidrolisis). Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 4, No. 3
Tokan,Paulus Bala. 2019. Pengaruh Pengaturan PH Dalam Fermentasi Air Kelapa
Tua (Cocos nucifera L.) Terhadap Kadar Etanol Terdistilasi. Fakultas
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma : Yogyakarta.
United States Departemen of Agriculture (USDA). 2005. Nutrient Database for
Standard Reference.
62
1 ml filtrat hidrolisis
Homogenasi 1 ml arsenomolibdat
7 ml akuades Homogenkan
Absorbansi diukur
dengan spektrofotometer
UV-VIS
63
64
66
67
68
LAMPIRAN D
PROSEDUR PENGGUNAAN ALKOHOLMETER
Alkoholmeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur berat jenis dari
cairan, yaitu rasio cairan dengan densitas air. Alkoholmeter biasanya terbuat dari
kaca dan sebuah silinder dan bola pembobotan dengan merkuri untuk
membuatnya mengapung. Prosedur penggunaanya adalah :
1. Cairan yang akan diuji dituangkan ke dalam gelas ukur 100 mL.
2. Masukkan alkoholmeter ke dalam gelas ukur 100 mL dan alkoholmeter
dengan perlahan diturunkan ke dalam cairan hingga sampai mengapung
bebas.
Titik dimana permukaan cairan menyentuh alkoholmeter yang dicatat. Di
dinding alkoholmeter biasanya terdapat skala pengukuran sehingga %(v/v) dapat
dibaca secara langsung.
LAMPIRAN E
69
PENGOPERASIAN ALAT AUTOCLAVE
70
LAMPIRAN F
PRINSIP KERJA VACUUM ROTARY EVAPORATOR
5. Diatur suhu menjadi 80-85 , tunggu sampai labu pengumpul terisi oleh
71
LAMPIRAN G
HASIL DATA PENELITIAN
Volume titrasi
= 11,6 - 9,6
= 2 mL
Data dilihat dari tabel Luff schroll diperoleh data sebagai berikut :
2 mL = 4,8 mg (Nilai data luff schroll)
Pengenceran sampel
Kadar Pati
Volume titrasi
= 23,5 - 18,9
= 4,6 mL
72
Data dilihat dari tabel Luff schroll diperoleh data sebagai berikut :
5 mL = 12,2 mg (Nilai data luff schroll)
Pengenceran sampel
73
74
Kadar Pati
1. Hemiselulosa
2. Selulosa
3. Lignin
4. Abu
Dimana :
a : Berat sampel (gram) = 2,001 gram
b : Berat residu pada penimbangan pertama ( gram) ` = 1,809 gram
c : Berat residu pada penimbangan kedua (gram) = 1,301 gram
d : Berat residu pada penimbangan ketiga (gram) = 1,103 gram
e : Berat residu pada penimbangan keempat ( gram ) = 1,001 gram
75
1. Hemiselulosa
2. Selulosa
3. Lignin
4. Abu
1. Hemiselulosa
2. Selulosa
3. Lignin
4. Abu
Dimana :
a : Berat sampel (gram) = 6,00 gram
b : Berat residu pada penimbangan pertama ( gram) ` = 7,39 gram
c : Berat residu pada penimbangan kedua (gram) = 5,35 gram
d : Berat residu pada penimbangan ketiga (gram) = 4,00 gram
e : Berat residu pada penimbangan keempat ( gram ) = 1,73 gram
1. Hemiselulosa
dibagi 3 = 7,5 %
2. Selulosa
3. Lignin
dibagi 3 = 12,6 %
77
4. Abu
dibagi3= 3,36%
V1 x M1 = V2 x M2
V1 = 10 mL
V1 x M1 = V2 x M2
V1 = 20 mL
V1 = 40 mL
V1 = 60 mL
V1 = 80 mL
79
Y = ax + b....................................................(H.1)
y = ax + b
y = 0.6186x + 0.0732
dimana : x = konsentrasi gula (g/L)
y = absorbansi (A)
................................................(H.2)
Contoh perhitungan pada variasi hidrolisis dengan variasi ukuran bahan 60 mesh
pada suhu 1600C. Nilai absorbansi 0.88 (A), nilai absorbansi dimasukkan dalam
persamaan sehingga didapat konsentrasi gula awal yaitu sebagai berikut :
0 Jam
8.192693178 1
24 Jam
7.707727126 3
48 jam
6.252828969 4
72 jam
5.767862916 7
96 Jam
3.827998707 8
120 Jam
1.403168445 5
Contoh:
perhitungan pada fermentasi selama 0 jam proses. Konsentrasi gula
8.192693178 g/L , maka konsentrasi alkohol teoritis sebagai berikut:
= 8 mL/100 mL
0,063144 63,144
Maka untuk menghitung yield bioetanol pada waktu 96 jam sebagai berikut
LAMPIRAN H
TABEL DATA LUFF SCHROL
LAMPIRAN I
84
DOKUMENTASI
85
86
Gambar I.5 : Spektrofotometer UV-VIS Gambar I.6 : Hasil Uji Kadar Glukosa