Anda di halaman 1dari 100

HASIL PENELITIAN

PEMBUATAN BIOETANOL DARI AMPAS SAGU


MENGGUNAKAN HIDROLISIS DAN FERMENTASI
DENGAN VARIASI SUHU DAN VARIASI UKURAN BAHAN

Oleh:

AUFA ZAKYA ATSARINA


NIM : 1607123256

TEGUH IMAM PRADHONGGO


NIM : 1607116192

PROGRAM SARJANA TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas akhir dengan judul “Pembuatan Bioetanol dari Ampas Sagu


Menggunakan Hidrolisis dan Fermentasi dengan Variasi Suhu dan Variasi
Ukuran Bahan”

Yang dipersiapkan dan disusun oleh


Aufa Zakya Atsarina (1607123256)
Teguh Imam Pradhonggo (160116192)

Program Studi Sarjana Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Riau


Telah berhasil dipertahankan dihadapan Tim Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
pada tanggal 26 Januari 2021

SUSUNAN TIM PENGUJI


Nama/NIP Jabatan Paraf
Dr. Said Zul Amraini, S.T., M.T.
Penguji 1
NIP.19680927 199803 1 003

Ahmad Fadli, ST.,MT.,PhD


Penguji 2
NIP. 19731025 199803 1 002

Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,

Chairul, ST., MT Dr. Rahmad, MT


NIP. 19711114 199803 1 001 NIP. 19571223 198702 2 001

Mengetahui,
Koordinator Program Studi Sarjana Teknik Kimia

Zulfansyah, ST., MT
NIP. 19690222 199703 1 001
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS

ii
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Pembuatan Bioetanol dari
Ampas Sagu Menggunakan Hidrolisis dan Fermentasi dengan Variasi Suhu
dan Variasi Ukuran Bahan” tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.

Pekanbaru, 26 Januari 2020


Penulis I Penulis II

Aufa Zakya Atsarina Teguh Imam Pradhonggo

PRAKATA

iii
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian
ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Program Studi Sarjana Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau. Pada
kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan banyak ucapan terima kasih kepada
beberapa pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penulisan dan
pelaksanaan penelitian ini hingga selesai.
Terima kasih kepada : Bapak Prof. Ir. Ari Sandhyavitri, MSc. selaku
Dekan Fakultas Teknik Universitas Riau dan bapak Idral, ST., MT., PhD. selaku
Ketua Jurusan Teknik Kimia Universitas Riau, bapak Zulfansyah, ST., MT.
selaku Koordinator Program Studi Sarjana Teknik Kimia Universitas Riau, bapak
Chairul, ST., MT. dan bapak Dr. Rahmad,MT. selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama penyusunan
hingga penelitian ini selesai, bapak Dr. Said Zul Amraini, ST., MT. dan bapak
Ahmad Fadli, ST.,MT.,PhD. selaku dosen penguji yang senantiasa menyediakan
waktunya untuk memberi masukan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan
hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua
orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan, kasih sayang dan semangat
kepada penulis, kepada senior angkatan 2015 yang membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian tentang bioetanol serta kepada rekan-rekan teknik kimia
angkatan 2016 yang turut mendukung serta membantu penulis dalam penulisan
penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna,
untuk itu segala kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan, guna
untuk memperbaiki ke depan. Semoga apa yang telah disampaikan dalam
penelitian ini dapat bermanfaat.

Pekanbaru, 26 Januari 2021


Penulis I Penulis II

Aufa Zakya Atsarina Teguh Imam Pradhonggo


PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

iv
Sebagai civitas akademik Universitas Riau, saya yang bertanda tangan
dibawah ini :
Nama : Aufa Zakya Atsarina dan Teguh Imam Pradhonggo
NIM : 1607123256 dan 1607116192
Program Studi : Sarjana Teknik Kimia
Departemen : Teknik Kimia
Fakultas : Teknik
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Riau Hak Bebas Royalti Non eksklusif (Non-exclusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul “Pembuatan
Bioetanol dari Ampas Sagu Menggunakan Hidrolisis dan Fermentasi dengan
Variasi Suhu dan Variasi Ukuran Bahan”, serta perangkat yang ada (jika
diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non eksklusif ini Universitas Riau
berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan Tugas Akhir saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Pekanbaru
Pada Tanggal : 26 Januari 2021
Yang menyatakan

Penulis I Penulis II

Aufa Zakya Atsarina Teguh Imam Pradhonggo

Pembuatan Bioetanol dari Ampas Sagu Menggunakan Hidrolisis


dan Fermentasi dengan Variasi Suhu dan Variasi Ukuran Bahan

v
Aufa Zakya Atsarina dan Teguh Imam Pradhonggo
Laboratorium Biomassa kayu & Non kayu dan Laboratorium Pulp Making
Program Studi Teknik Kimia S1, Fakultas Teknik Universitas Riau
Aufa.zakya3256@student.unri.ac.id

ABSTRAK
Minyak bumi merupakan bahan bakar fosil dan termasuk sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui. Ketersediaan bahan baku minyak bumi semakin hari semakin menipis,
namun hal ini tidak sejalan dengan kebutuhan manusia akan bahan bakar tersebut yang
akan terus meningkat. Luas daerah sagu produktif di Indonesia sekitar 1,2 juta ha. Ampas
sagu sebagai limbah organik pengambilan tepung pati sagu di lingkungan dapat dijadikan
bioetanol dan menjadi solusi untuk menggantikan ketergantungan manusia terhadap
minyak bumi. Pada penelitian ini dilakukan proses hidrolisis termal dan fermentasi ampas
sagu menggunakan mikroorganisme saccharomyces cerevisiae.. Tujuan dari penelitian ini
untuk menentukan pengaruh variasi suhu dan ukuran ampas sagu terhadap konsentrasi
glukosa yang diperoleh pada proses hidrolisis termal. Variasi suhu yang diuji yaitu
120ºC, 140ºC dan 160ºC dengan ukuran bahan 12 dan 60 mesh. Fermentasi dilakukan di
dalam erlenmeyer 2 L selama 5 hari. Dari penelitian ini diketahui bahwa ukuran bahan
akan mempengaruhi kadar pati dan lignoselulosa. Bahan yang semakin halus dan suhu
hidrolisis yang semakin tinggi akan meningkatkan konsentrasi glukosa yang diperoleh.
Konsentrasi glukosa tertinggi didapatkan pada variasi suhu 160ºC dan ukuran bahan 60
mesh sebesar 13.04 g/L. Proses fermentasi ampas sagu menghasilkan kondisi optimum
pada waktu fermentasi 96 jam dengan kadar bioetanol sebesar 8 %.

Kata Kunci : pretreatment, hidrolisis, saccharomyces cerevisiae, bioetanol, fermentasi

Making Bioethanol from Sago Dregs Using Hydrolysis and


Fermentation with Temperature Variations and Material Size
Variations

vi
Aufa Zakya Atsarina dan Teguh Imam Pradhonggo
Laboratorium Biomassa kayu & Non kayu dan Laboratorium Pulp Making
Program Studi Teknik Kimia S1, Fakultas Teknik Universitas Riau
Aufa.zakya3256@student.unri.ac.id

ABSTRACT
Petroleum is a fossil fuel and is a non-renewable resource. The availability of petroleum
raw materials is running low, however this condition is not in line with human need for
this fuel which will always increase. Sago waste as organic waste of sago starch in the
environment can be used as bioethanol and a solution to replace human dependence on
petroleum. In this study, the process of thermal hydrolysis and fermentation of sago pulp
using the microorganism Saccharomyces cerevisiae was carried out. The purpose of this
study was to determine the effect of temperature and material size variations on the
glucose concentration obtained by thermal hydrolysis process. The temperature variations
tested were 120ºC, 140ºC and 160ºC with material sizes of 12 and 60 mesh. Fermentation
was carried out in 2L erlenmeyer for 5 days. From this research it is known that the size
of the material will affect levels of starch and lignocellulose. More high hydrolysis
temperature and material is more smoth it can result in the glucose concentration obtained
becoming higher. The highest glucose concentration was obtained at a temperature
variation of 160ºC and at Variation material size of 60 mesh that is 13.04 g / L. The
fermentation process of sago waste resulted in an optimum condition at the fermentation
time of 96 hours with bioethanol content of 8%.

Keywords: pretreatment, hydrolysis, saccharomyces cerevisiae, bioethanol,


fermentation

DAFTAR ISI
Halaman

vii
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS................................................ iii
PRAKATA ........................................................................................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................................. v
ABSTRAK............................................................................................................ vi
ABSTRACT......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 7
1.5 Sistematika Penulisan........................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 9


2.1 Sagu ( Metroxylon spp. ).................................................................. 9
2.2 Ampas Sagu.................................................................................... 11
2.3 Proses Pretreatment dan Delignifikasi........................................... 17
2.4 Proses Hidrolisis............................................................................. 19
2.5 Proses Fermentasi........................................................................... 22
2.6 Saccharomyces cerevisiae.............................................................. 25
2.7 Suplemen Fermentasi..................................................................... 28
2.8 Etanol.............................................................................................. 30
2.9 Bioetanol........................................................................................ 31
2.10 PARR reaktor............................................................................... 31

BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 33


3.1 Tempat Penelitian........................................................................... 33
3.2 Alat, Bahan dan Mikroorganisme yang digunakan........................ 33
3.2.1 Alat........................................................................................33
3.2.2 Bahan.....................................................................................33
3.3 Variabel Penelitian ........................................................................ 33

viii
viii

3.3.1 Variabel Tetap.......................................................................33


Variabel Berubah..................................................................34
3.4 Prosedur Penelitian ........................................................................ 34
3.4.1 Persiapan Bahan Baku...........................................................34
3.4.2 Proses Pengujian Bahan Baku...............................................35
3.4.2 Proses Hidrolisis....................................................................37
3.4.3 Persiapan Inokulum .............................................................38
3.4.4 Proses Fermentasi..................................................................39
3.4.5 Proses Pemisahan..................................................................41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 43


4.1 Analisis Bahan Baku ..................................................................... 43
4.2 Pengaruh Ukuran Bahan dan Suhu terhadap Glukosa Hasil
Hidrolisis Waterbatch Thermal dengan Alat PARR reaktor.......... 46
4.3 Proses Fermentasi menghasilkan Bioetanol................................... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 56


5.1 Kesimpulan .................................................................................... 56
5.2 Saran............................................................................................... 56

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................57
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 2.1 Tanaman Sagu...........................................................................11


Gambar 2.2 Struktur berulang Selulosa........................................................ 15
Gambar 2.3 Struktur Monomer Hemiselulosa.............................................. 16
Gambar 2.4 Struktur monomer Lignin......................................................... 17
Gambar 2.5 Efek Pre-treatment................................................................... 19
Gambar 2.6 Mekanisme reaksi hidrolisis dengan katalisator asam.............. 21
Gambar 2.7 Mekanisme Hidrolisis Selulosa dengan Enzim........................ 22
Gambar 2.8 Sel Saccharomyces cerevisiae................................................ 26
Gambar 2.9 Kurva Pertumbuhan Mikroba................................................... 27
Gambar 2.10 PARR reaktor......................................................................... 32
Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Persiapan Bahan Baku............................ 35
Gambar 3.2 Diagram Alir Proses Analisis Lignoselulosa............................ 36
Gambar 3.3 Diagram Alir Proses Analisis Kadar Pati................................. 37
Gambar 3.4 Diagram Alir Proses Hidrolisis................................................. 38
Gambar 3.5 Diagram Alir Proses Inokulum................................................. 39
Gambar 3.6 Diagram alir proses fermentasi................................................. 40
Gambar 3.7 Rangkaian Alat Fermentasi....................................................... 41
Gambar 3.8 Rangkaian Alat Vacuum Rotary Evaporator............................ 42
Gambar 4.1 Konsentrasi Etanol dari Hasil Fermentasi................................ 53
Gambar 4.2 Konsentrasi Gula Sisa dari Hasil Fermentasi........................... 54
Gambar A.1 Diagram Alir Analisis kadar Glukosa...................................... 61
Gambar G.1 Kurva Standar Glukosa............................................................ 76
Gambar I.1 Ampas Sagu.............................................................................. 83
Gambar I.2 PARR reaktor............................................................................ 83
Gambar I.3 Sampel Hidrolisis...................................................................... 83
Gambar I.4 Larutan Hidrolisis...................................................................... 83
Gambar I.5 Spektrofotometer UV-VIS........................................................ 84
Gambar I.6 Hasil Uji Kadar Glukosa........................................................... 84
Gambar I.7 Autoclave.................................................................................. 84
Gambar I.8 Inokulum................................................................................... 84
Gambar I.9 Proses Fermentasi...................................................................... 85
Gambar I.10 Proses Evaporasi..................................................................... 85
Gambar I.11 Hasil Evaporasi....................................................................... 85
Gambar I.12 Uji Alkoholmeter.................................................................... 85

ix
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Komposisi Empulur dan Serat Sagu...............................................13


Tabel 2.2 Sifat – sifat Fisik Bioetanol ..........................................................30
Tabel 4.1 Komposisi Ampas Sagu 60 dan 12 mesh dalam %....................... 44
Tabel 4.2 Konversi Hasil Hidrolisis Waterbatch Thermal dalam g/L........... 48
Tabel G.1 Komposisi Ampas Sagu 60 Mesh Hasil Analisis......................... 74
Tabel G.2 Komposisi Ampas Sagu 12 Mesh Hasil Analisis......................... 75
Tabel G.3 Nilai absorbansi Larutan Glukosa Standar................................... 75
Tabel G.4 Konsentrasi Awal Variasi Suhu dan Waktu Hidrolisis................ 77
Tabel G.5 Konsentrasi Gula Sisa Fermentasi................................................ 78
Tabel G.6 Konsentrasi Bioetanol.................................................................. 79
Tabel G.7 Hasil Bioetanol pada Proses Fermentasi...................................... 80
Tabel H.1 Tabel Data Luff Schroll................................................................ 82

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

A. Prosedur Analisis Kadar Glukosa dengan Samogy-Nelson.................63


B. Analisis Lignoselulosa bahan Baku Metode Chesson Datta................66
C. Prosedur Analisis Uji Kadar Pati bahan Baku......................................68
D. Prosedur Penggunaan Alkohol Meter....................................................69
E. Pengoperasian Autoclave......................................................................70
F. Prinsp Kerja Rotary Evaporator...........................................................71
G. Hasil Data Penelitian.............................................................................72
H. Tabel data Luff Schroll..........................................................................82
I. Dokumentasi.........................................................................................83

xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Minyak bumi merupakan jenis sumber energi tidak terbarukan yang sangat
dibutuhkan oleh Indonesia maupun internasional hingga saat ini. Tingginya
kebutuhan Indonesia akan minyak bumi ini dapat dilihat secara terperinci oleh
data pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Rincian ini dibuat guna melihat gambaran kebutuhan energi dalam negeri hingga
tahun 2030 yang digunakan oleh presiden sebagai dasar dalam mengambil
keputusannya. Data yang didapatkan oleh ESDM menunjukan bahwa 49.7%
tingginya kebutuhan Indonesia terhadap minyak bumi yang cepat atau lambat
ketersediaannya semakin menipis, hal ini tidak berimbang dengan hanya 6%
rendahnya Perkembangan Energi Terbarukan (ESDM, 2012).
Bioetanol merupakan salah satu solusi bahan bakar pengganti minyak
bumi. Bioetanol sendiri merupakan biomassa atau bahan bakar yang berasal dari
tanaman atau limbah tanaman yang diolah dan diproses ulang hingga dapat
menjadi pengganti bahan bakar fosil. Lingkungan menyediakan banyak sumber
biomassa yang dapat diolah menjadi bioetanol seperti limbah kelapa, sagu, nanas
dan tumbuhan lainnya (Rosa et al., 2015).
Indonesia merupakan salah satu daerah yang paling banyak ditemukannya
tanaman sagu (Metroxylon sp.). Tanaman sagu merupakan sumber penghasil
selulosa yang tinggi. Pemanfaatan sagu sebagai sumber karbohidrat lain selain
nasi hingga saat ini sedang dioptimalkan, Papua serta Maluku sudah sejak lama
menjadikan sagu sebagai bahan utama sumber makanan sehari-hari, disamping itu
tanpa kita sadari sebenarnya sudah banyak industri di Indonesia yang
menggunakan sagu sebagai bahan pokok utama dalam bentuk tepung yang
digunakan untuk membuat mie sagu, sohun dan pengaplikasian dalam bidang
industri lainnya (Tirta et al., 2013).
Areal tanaman sagu di Indonesia diperkirakan 95,9 % tersebar di Kawasan
Timur Indonesia dan 4,1 % di Kawasan Barat Indonesia. Areal hutan sagu di
Indonesia sekitar 1,25 juta hektar dengan kepadatan anakan 1.480 per hektar yang

1
2

setiap panen menghasilkan 125-140 pohon per tahun. Hutan sagu tersebut tersebar
di Papua seluas 1,2 juta hektar dan Maluku seluas 50 ribu hektar serta 148 ribu
hektar hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi,
Kalimantan, Sumatra, Kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera
Barat). Dari luasan tersebut hanya sekitar 40 % merupakan areal penghasil pati
produktif dengan produktivitas pati 7 ton per hektar per tahun (Tirta et al., 2013).
Salah satu daerah yang tidak kalah terkenal sebagai wilayah perkebunan
sagu yang cukup besar di Indonesia yaitu Pulau Padang di Kepulauan Meranti
Riau. Beraneka ragam jenis tanaman sagu dibudidayakan dan menjadi sumber
penghasilan petani sagu di daerah tersebut (Rahayu, 2013).
Hasil sagu dari perkebunan biasanya akan dikirim ke industri untuk diolah
lebih lanjut, namun biasanya pengolahan oleh industri sagu akan menyisakan kulit
kayu serta serat atau ampas dari sagu tersebut. Limbah sisa dari pengolahan
industri sagu yaitu ampas sagu yang terbuang ke lingkungan, apabila diolah dan
diproses secara efektif dan efisien akan meningkatkan nilai dari limbah ampas
sagu yang semulanya dibuang atau tidak bernilai menjadi bahan yang bernilai
guna tinggi. Limbah ampas sagu akan dimanfaatkan menjadi bahan biomassa
untuk pembuatan bioetanol, hal ini dapat meningkatkan keuntungan karena dari
hasil pengolahan tersebut ampas sagu juga bisa menjadi pengganti ketergantungan
terhadap minyak bumi yang tidak dapat diperbaharui dan mengurangi dampak
lingkungan akibat banyaknya sisa ampas sagu hasil pengolahan tepung pati sagu
yang tidak digunakan.
Penelitian ini akan dapat memberikan manfaat pada lingkungan dan
meningkatkan nilai ampas sagu dari limbah yang tidak termanfaatkan menjadi
bahan yang menghasilkan keuntungan menjanjikan di Riau. Selain itu dengan
melakukan penelitian ini menjadikan bahan perbandingan dari hasil penelitian
bioetanol yang telah dilakukan sebelumnya agar dapat melihat perbandingan hasil
proses yang lebih baik dan efisien serta dampak lain dari hasil bioetanol yang
telah dibuat tersebut dan diharapkan dapat menjadi salah satu solusi bahan
biomassa untuk pembuatan bioetanol sebagai pengganti minyak bumi yang tidak
dapat diperbarui dan cepat atau lambat ketersediaannya akan terus berkurang.
3

1.2 Rumusan Masalah


Setiap tahunnya jumlah cadangan minyak bumi global akan terus
menurun, hal yang sangat berbanding terbalik dengan terus meningkatnya laju
pertumbuhan penduduk. Tingginya ketergantungan terhadap minyak bumi harus
segera diatasi dan ditanggulangi, diantaranya dengan menggiatkan penelitian
lanjutan mengenai bahan bakar pengganti dari bahan nabati yaitu bioetanol.
Umumnya, teknologi produksi bioetanol ini mencakup 4 (empat) rangkaian
proses, yaitu: persiapan bahan baku, fermentasi, distilasi dan pemurnian.
Mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi alkohol adalah bakteri:
Clostridium acetobutylicum, Klebsiella pneumoniae, Leuconostoc mesenteroides,
Sarcina ventriculi, dan Zymomonas mobilis. Sedangkan dari golongan fungi:
Aspergillus oryzae, Endomyces lactis, Kloeckerasp., Kluyveromyces fragHis,
Mucorsp., Neurospora crassa, Rhizopussp., Saccharomyces beticus, S. cerevisiae,
S. ellipsoideus, S. oviformis, S. saki, dan Tomla sp (Tirta et al., 2013).
Proses hidrolisis dan fermentasi dalam pembuatan bioetanol dengan
berbagai jenis bahan nabati dan variabel variasi sudah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya. Idral et al (2012) melakukan penelitian pada ampas sagu
dengan proses hidrolisis asam dan menggunakan jamur saccharomyces
cerevisiae. Penelitian ini dilakukan pada hidrolisis asam dimana variasi lama
hidrolisis selama 0, 30, 60, 90, 120 dan 150 menit dengan jenis asam yang
divariasikan yaitu HCl dan H2SO4. Proses hidrolisis dilakukan pada setiap
variabel konsentrasi HCl dan H2SO4 0.1 ,0.2, 0.3, 0.4, dan 0.5 N yang bertujuan
agar mengetahui optimasi konsentrasi asamnya. Proses fermentasi pada penelitian
ini dilakukan selama 5 hari dimana setiap harinya ditinjau pengaruh lama
fermentasinya terhadap perubahan pH, jumlah sel selama fermentasi dan kadar
bioetanol yang diperoleh. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa asam yang
paling baik untuk menghidrolisis ampas sagu adalah asam sulfat dengan
konsentrasi 0.3 N selama 120 menit dimana memberikan konsentrasi gula reduksi
sebesar 4.477 g/L. Selama fermentasi berlangsung terjadi penurunan pH medium
dan peningkatan jumlah sel. Produksi bioetanol optimum terjadi pada lama
fermentasi 4 hari dengan konsentrasi bioetanol 7.69%.
4

Rosa et al (2015) melakukan pengujian terhadap alternatif bahan nabati


untuk pembuatan bioetanol yaitu limbah santan dan jus nanas dengan prinsip
fermentasi menggunakan bakteri Saccharomyces cerevisiae. Penelitiannya
dilakukan dengan penanaman kultur di dalam erlenmeyer 500 ml yang
mengandung 350 ml media kultur yaitu limbah santan dan jus nanas, selanjutnya
dilakukan inokulasi dengan 35 ml media kultur untuk fase pertumbuhan. Hasil
dari percobaan yang telah dilakukannya diperoleh konsentrasi bioetanol paling
besar yaitu limbah jus nanas 22% v/v sedangkan limbah santan berada sedikit
dibawah limbah jus nanas yaitu memiliki 20% v/v bioetanol. Untuk konsumsi
gula selama 36 jam di dalam media kultur pada santan didapatkan hasil sebesar
88.62% dan pada limbah jus nanas sebesar 90.6%.
Gustiari et al (2007) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh ragi singkong yang difermentasi dan ditambah saat proses
hidrolisis terhadap kadar bioetanol yang diperoleh saat proses fermentasi dengan
menggunakan bahan ampas sagu. Penelitian ini dilakukan dengan memvariasikan
konsentrasi ampas 9%, 11% dan 13% serta memvariasikan konsentrasi ragi 3%,
5% dan 7% dan diekstrak sebanyak dua kali. Hasil pengujian yang dilakukan
didapatkan hasil tingkat bioetanol paling besar sebanyak 2.1% dan berada pada
konsentrasi ampas sagu 9% dan ragi singkong 7%.
Nugraha et al (2012) melakukan penelitian pembuatan bioetanol berbahan
dasar limbah sagu dilaksanakan dengan menggunakan dua jenis enzim yaitu
-amilase dan glukoamilase dan bahan baku berupa pati, empulur dan serat pada
skala laboratorium. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besarnya kandungan
kadar bioetanol yang dihasilkan dari limbah sagu. Prosedur penelitian ini terdiri
dari proses hidrolisis bahan dengan penambahan enzim alpha amilase, proses
sakarifikasi dengan penambahan enzim glukoamilase, proses fermentasi dengan
penambahan ragi dan berlangsung selama 5 hari dengan berat limbah sagu yang
digunakan adalah 1 kg, 2 kg dan 3 kg yang merupakan variabel peubah dalam
penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada skala laboratorium
penggunaan enzim alpha amilase 100 gr, enzim glukoamilase 100 gr dan ragi 100
gr menghasilkan kadar bioetanol paling tinggi yaitu 1.110% untuk pati sagu
dengan berat 1 kg.
5

Polli (2016) melakukan penelitian dengan ampas sagu dengan variasi


katalis asam sulfat dengan konsentrasi 0.5 N, 1.0 N, 1.5N. dan dihidrolisis selama
2, 3, dan 4 jam pada suhu 121oC Kadar gula tertinggi ditemukan pada serat atau
ampas sagu rumbia dengan perlakuan penambahan asam sulfat 1.5 N yang
dihidrolisis selama 3 jam, yakni 13.90%. Kadar bioetanol tertinggi juga diperoleh
pada hasil fermentasi serat sagu rumbia yang diperlakukan dengan penambahan
asam sulfat 1.0 N yang dihidrolisis selama 3 jam, yakni 13.60%.
Heryani et al (2015) memproduksi bioetanol dari daun nanas melalui
alkaline pretreatment, kemudian dihidrolisis dengan asam sulfat, dan difermentasi
oleh Saccharomyces cerevisiae. Jangkauan variabel yang digunakan ialah
konsentrasi asam sulfat 1, 2, 3, 4, dan 5% dengan waktu hidrolisis 30, 60, 90, dan
120 menit. Diperoleh bioetanol tertinggi pada konsentrasi asam sulfat 2% dengan
waktu 120 menit sebesar 6.244%.
Trisakti et al (2015) meneliti pembuatan bioetanol dari tepung ampas tebu
melalui proses hidrolisis termal dengan variasi konsentrasi tepung ampas tebu
2.94, 3.85 dan 4.76% pada suhu 135ºC, 150ºC serta 165ºC dan selama selang
waktu hidrolisis 1, 1.5 dan 2 jam. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini yaitu
untuk dapat melihat pengaruh dari konsentrasi tepung ampas sagu, suhu dan juga
waktu. Dari penelitian tersebut disimpulkanlah perolehan hasil akhir kadar
glukosa tertinggi pada konsentrasi 2.94%, suhu 165ºC dan dalam waktu hidrolisis
selama 2 jam dengan perolehan 31.022%.
Mandagi et al (2010) dalam jurnalnya peneliti melakukan optimasi proses
perlakuan awal dengan menyingkap fraksi hemiselulosa eceng gondok
menggunakan hidrolisis termal. Tujuan dari penelitian tersebut untuk dapat
mengetahui karakteristik dari eceng gondok serta mengetahui pengaruh dari
konsentrasi eceng gondok yang digunakan, suhu serta waktu hidrolisis. Dalam
penelitiannya dilakukan variasi konsentrasi eceng gondok 6.4, 4.9 dan 3.9% serta
dalam suhu 143.7ºC, 173.3ºC dan 197ºC dengan variasi rentang waktu 1, 2 dan 3
jam dimana hasil perolehan konsentrasi glukosa tertinggi dari penelitian ini yaitu
pada variasi % berat eceng gondok 4.9% dalam waktu 2 jam dengan suhu 197ºC
sebesar 10.225 g/L.
6

Maryana (2010) juga telah melakukan studi pengujian reaksi hidrolisis


glukosa dalam menghasilkan senyawa asam levulinat menggunakan katalis
homogen, katalis heterogen asam dan juga membandingkannya dengan proses
hidrolisis tanpa menggunakan katalis. Dalam penelitiannya melakukan hidrolisis
tanpa menggunakan katalis dengan variasi waktu 4, 6 dan 8 jam dapat diketahui
bahwa untuk waktu hidrolisis paling lama yaitu 8 jam terdeteksi luas humin yang
lebih besar, hal itu menunjukan lebih banyak glukosa yang terbentuk namun
terkonversi menjadi asam formiat jika dibandingkan dengan variasi waktu 6 jam
dan juga 4 jam. Kurva dengan luas humin paling kecil dan memiliki 0% asam
formiat terdapat pada waktu hidrolisis termal selama 4 jam dan dari penelitian ini
juga menunjukan untuk waktu 4 jam telah terjadi pemecahan selulosa menjadi
glukosa dengan tidak terdapatnya hasil samping produk tidak diinginkan atau
asam formiat.
Pada penelitian ini dilakukan pembuatan bioetanol dari ampas sagu
dengan proses hidrolisis waterbacth thermal atau tanpa katalis menggunakan alat
PARR reaktor dengan variasi suhu 120ºC, 140ºC dan 160ºC dan variasi ukuran
bahan 60 dan 12 mesh selama 4 jam, juga telah dilakukan analisis kandungan
pada ampas sagu berdasarkan variasi ukuran bahan 12 dan 60 mesh menggunakan
metode chesson datta dan luff schrool serta melakukan fermentasi untuk
menghasilkan bioetanol dengan menggunakan mikroorganisme Saccharomyces
cerevisiae.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menganalisis komposisi bahan baku ampas sagu berdasarkan variasi
ukuran bahan.
2. Membuat dan menentukan perbandingan hasil akhir yang didapatkan dari
perbedaan suhu dan variasi mesh (ukuran) pada proses hidrolisis
waterbach dengan alat PARR reaktor.
3. Sintesis bioetanol dari ampas sagu dengan mikroorganisme Saccharomyces
cerevisiae
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Bagi Pembangunan Nasional
Meningkatkan pemanfaatan sumber energi terbarukan dan diharapkan
industri bioetanol dapat berkembang pesat sehingga secara tidak langsung
meningkatkan perekonomian nasional.
2. Bagi Perkembangan IPTEK
Menjadi sumber referensi bagi pihak-pihak yang ingin melakukan
penelitian dengan topik yang sama serta memberikan informasi tentang
pemanfaatan ampas sagu sebagai bahan baku untuk produksi bioetanol
yang belum termanfaatkan secara maksimal.
3. Bagi Kelestarian Alam
Membantu mengembangkan pemanfaatan limbah padat industri sagu
sehingga dapat mengurangi efek pencemaran dari limbah padat sagu di
Provinsi Riau Khususnya Kepulauan Meranti.

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan penelitian ini adalah :

1. Bab I : Pendahuluan
Dalam bab I ini dibahas tentang latar belakang, perumusan masalah,
tujuan, manfaat dan sistematika penulisan.
2. Bab II : Tinjauan pustaka
Dalam bab II memuat uraian tentang dasar landasan teori mengenai,
ampas sagu, proses hidrolisis, bioreaktor, nutrisi fermentasi, dan proses
fermentasi.
3. Bab III : Metodologi penelitian
Berisikan tentang tempat, bahan, peralatan yang digunakan serta variabel
dan prosedur penelitian.
8

4. Bab IV : Hasil dan Pembahasan


Bab IV terdiri atas hasil yang telah didapatkan setelah melakukan
penelitian. Hasil yang didapat ditampilkan dalam bentuk grafik atau
ditampilkan dalam bentuk tabel. Hasil berupa grafik maupun tabel
tersebut dibahas dengan berpedoman terhadap tinjauan pustaka.
5. Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab V berisikan kesimpulan atas hasil dan pembahasan dari penelitian
dan saran untuk peneliti-peneliti selanjutnya yang akan melanjutkan
penelitian ini.
6. Daftar Pustaka
Daftar pustaka terdiri dari sumber - sumber bahan pustaka mengenai
penelitian ini.
7. Lampiran
Lampiran terdiri dari cara menghitung penggunaan bahan baku dan
prosedur analisis hasil penelitian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sagu (Metroxylon spp.)

Sagu merupakan tanaman asli Indonesia, karena ditemukan keragamannya


sangat tinggi dan tumbuh mendominasi di kawasan timur Indonesia. Populasi
sagu terkonsentrasi di Indonesia dan Papua Nugini. Di Indonesia sentra
penanaman sagu tersebar di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Riau,
Sulawesi, dan Kalimantan (Astuti et al., 2014).
Tumbuhan sagu (Metroxylon spp.) adalah tumbuhan dengan jenis
monokotil. Berdasarkan USDA dalam Adisti (2016) Taksonomi tumbuhan sagu
adalah sebagai berikut:
Subkelas : Archidae
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae (Palmae)
Genus : Metroxylon Rottb
Potensi produksi sagu dapat mencapai 20 – 40 ton pati kering/ha per tahun
apabila dibudidayakan dengan baik. Pati sagu selain dapat digunakan sebagai
makanan pokok yang potensial, dapat pula dijadikan bahan baku Agroindustri
misalnya bahan baku penyedap makanan monosodium glutamate, Asam laktat
(bahan baku plastik yang dapat terurai), gula cair high fructos syrup dan bahan
baku energi terbarukan (Astuti et al., 2014).
Salah satu bagian terpenting dari tumbuhan sagu adalah batang, Batang
berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan dalam bentuk
karbohidrat. Batang tumbuhan sagu memiliki kulit yang keras dan kuat di bagian
luarnya dengan tebal sekitar 3 – 5 cm. Di bagian dalam batang sagu terdapat
empulur yang mengandung serat-serat pati (Wiraguna, 2009).
Pati sagu termasuk salah satu bahan pangan unggulan karena kandungan
karbohidrat sagu paling tinggi jika dibandingkan dengan tumbuhan penghasil
karbohidrat lain seperti ubi kayu, jagung, dan tebu (Syakir dan Karmawati dalam
Adisti, 2016).

9
10

Menurut Flach dalam Wiraguna (2009) tumbuhan sagu akan mulai


mengakumulasi pati saat pembentukan batang berlangsung sehingga, semakin
lama kandungan pati yang terdapat di dalam batang sagu akan semakin banyak
dan apabila diiringi dengan sinar matahari yang cukup selama masa
pertumbuhannya, kandungan pati dalam batang sagu akan terus meningkat secara
linier sampai saat proses pembentukan bunga sagu. Saat tumbuhan sagu mulai
membentuk buah maka kandungan pati dalam batang sagu akan menurun, karena
sebagian nutrisi yang ada akan digunakan untuk pembentukan buah. Pada fase ini
proses fotosintesis sudah berkurang karena daun-daun sagu yang terbentuk
sebelumnya sudah berukuran lebih kecil.
Tanaman sagu memerlukan ketersediaan air yang cukup semasa
pertumbuhannya. Suplai air melalui hujan antara 2.000 – 4.000 mm/tahun dan
tersebar merata sepanjang tahun. Bulan basah antara 4 – 9 bulan berturut-turut,
dengan bulan kering tidak lebih dari 2 bulan berturut-turut. Menurut
penggolongan Schmidt dan Ferguson, kawasan yang cocok untuk pengembangan
sagu sebaiknya mempunyai tipe A dan B dengan jumlah curah hujan 2.500 –
3.500 mm dan jumlah hari hujan 142 – 209 HH per tahun. Tanaman sagu tidak
terlalu baik jika tergenang permanen. Hasil penelitian dan informasi dari berbagai
sumber menyatakan bahwa genangan (tidak permanen) setinggi <50 cm adalah
kondisi terbaik (Astuti et al., 2014)
Lingkungan yang baik untuk proses pertumbuhan tanaman sagu adalah
lingkungan yang basah dan berlumpur, kaya mineral, akar napas tidak terendam
air, kaya bahan organik, air tanah berwarna coklat dan sedikit masam. Lingkungan
tersebut juga mendukung bagi pertumbuhan mikroorganisme yang akan sangat
berguna bagi pertumbuhan sagu. Sebaliknya pada tanah-tanah yang tidak cukup
mengandung mikroorganisme, pertumbuhan tumbuhan sagu akan terganggu.
Selain itu, pertumbuhan sagu juga dipengaruhi oleh unsur hara yang disuplai oleh
air tawar yang mengandung potasium, kalium fosfat, dan magnesium. Akar napas
sagu yang terendam air terus menerus akan berakibat pada pertumbuhan tanaman
sagu yang terhambat, sehingga pembentukan pati dalam batang sagu juga tidak
maksimal (Haryanto dan Pangloli dalam Wiraguna, 2009).
11

Gambar 2.1 Tanaman sagu (Supatmawati, 2010).


Tumbuhan sagu akan tumbuh dengan baik pada ketinggian 400 m di atas
permukaan laut (dpl). Apabila di atas 400 m dpl pertumbuhannya akan lambat dan
menghasilkan sagu dengan kadar pati yang rendah. Tumbuhan sagu dapat
ditemukan dan tumbuh dengan baik dari daerah Filipina bagian Selatan (utara
Negara Indonesia) sampai ke pulau Rote (Negara Indonesia bagian selatan) atau
dari 10o LU – 10o LS dan dari Kepulauan Pasifik (barat Negara Indonesia) sampai
ke India bagian Timur (Bintoro dalam Wiraguna, 2009).

2.2 Ampas Sagu

Bioetanol yang diperoleh dari biomassa dan tanaman bioenergi telah


dicanangkan sebagai salah satu alternatif bahan bakar bensin yang layak.
Biomassa lignoselulosa merupakan salah satu sumber utama potensial untuk
produksi bioetanol ekonomis secara global. Limbah pertanian, kehutanan (kayu
lunak dan keras) dan industri adalah biomassa lignoselulosa utama. Selain itu
biomassa lignoselulosa bertepung seperti limbah dari pabrik pengolahan pati,
pabrik makanan kentang, pabrik minuman, dan pembuatan bir merupakan bahan
baku yang menjanjikan untuk produksi skala besar di lokasi tropis (Kannan et al.,
2014)
12

Pati sagu diproduksi sebanyak 300 juta ton / tahun dan digunakan sebagai
bahan pembuatan mie, bihun, biskuit dan memiliki kegunaan industri seperti
pengolahan monosodium glutamat, glukosa dan sirup fruktosa. Limbah sagu
dihasilkan sebagai produk samping dari produksi pati sagu. Limbah sagu yang
dihasilkan dari pohon sagu adalah salah satu polimer alami yang termurah, dapat
terurai secara hayati, dan paling mudah tersedia dari semua polimer alami
terbarukan. Selulosa merupakan bahan makromolekul alami yang melimpah
dalam limbah sagu (Pushpamalar et al., 2005).
Terdapat 3 jenis limbah hasil industri ekstraksi sagu yaitu residu selular
empulur sagu berserat (ampas), kulit batang sagu (bark) dan air buangan
(wastewater). Biasanya jumlah kulit batang sagu dan ampas sagu yaitu berkisar
26% dan 14% berdasarkan bobot total balak sagu (Idral et al., 2012).
Haryono et al dalam Dewi et al (2017) menyatakan salah satu komponen
yang berpotensi pada limbah ampas sagu adalah selulosa. Selulosa adalah polimer
alami yang bersifat dapat didegradasi dan terbarukan. Selulosa dari ampas sagu
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan bioetanol.
Limbah empulur sagu merupakan residu berserat yang dihasilkan dari
proses ekstraksi pati sagu (Lai, 2013). Khairunnisah dalam Polii (2016)
mengatakan bahwa pengolahan empulur sagu diperoleh 18.5% pati dan 81.5%
berupa ampas. Ampas sagu terdiri dari serat-serat empulur yang diperoleh dari
hasil pemarutan atau pemerasan isi batang sagu. Limbah ampas merupakan bahan
lignoselulosa yang sebagian besar tersusun atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin.
Polii (2016) melakukan penelitian dalam jurnal pembuatan bioetanol dari
ampas sagu terhadap serat atau ampas sagu yang dalam bahasa biologi disebut
Arenga microcarpa Beccari dan sagu rumbia yaitu Metroxylon sagu, kedua jenis
di atas merupakan limbah dari proses pengolahan tepung pati sagu. Dalam
jurnalnya dikatakan untuk mendapatkan ampas sagu harus melalui sejumlah
tahapan pemrosesan terlebih dahulu yaitu proses pengeringan, penggilingan,
pengayaan sehingga didapatkan hasil akhir limbah serbuk berukuran 40 mesh.
13

Tabel 2.1 Komposisi Empulur dan Serat Sagu


Contoh Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar α- Kadar
(Sampel) Air Pati Lignin Holoselulosa selulosa Hemiselulosa
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
Empulur 16.10 89.55 6.62 12.42 6.29 6.13
Serat 16.45 9.30 11.65 33.75 24.85 8.90
Sumber: (Winarni, 2018).
Dari Tabel 2.1 dapat dilihat serat atau ampas sagu mengandung
hemiselulosa dan selulosa yang yang cukup tinggi. Jika hanya digunakan sebagai
pakan ternak akan sangat mengurangi efektifitas pemanfaatan limbah ini. Salah
satu bentuk pemanfaatan terbarukan ampas sagu yaitu menjadikannya sebagai
sumber bahan bakar terbarukan atau bioetanol.
Karena kandungan selulosa yang cukup tinggi ampas sagu sangat berpotensi
untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol, dikarenakan
syarat utama pembuatan bioetanol yaitu mengandung selulosa sedangkan ampas
sagu sangat kaya akan selulosa (Gustiari, 2018).
Limbah empulur sagu atau 'ampas' sagu merupakan produk samping
lignoselulosa berbutir tepung yang dihasilkan dari Metroxylon sagu (pohon sagu)
setelah ekstraksi pati. Di Sarawak, Malaysia, sekitar 50–110 ton ampas sagu
diproduksi setiap hari dari pabrik pengolahan pati. Limbah empulur sagu (SPW)
mengandung hingga 58% pati, 23% selulosa, 9.2% hemiselulosa dan 4% lignin
dalam bentuk kering (w/w) yang dapat digunakan sebagai bahan baku
lignoselulosa bertepung yang menguntungkan untuk produksi bioetanol. Produksi
bioetanol dari biomassa lignoselulosa melibatkan langkah-langkah yang berbeda
seperti pretreatment, hidrolisis, fermentasi dan pemulihan bioetanol. Perlakuan
awal yang berbeda seperti fisik, kimia, fisika-kimia dan biologi telah dipelajari
dalam beberapa dekade terakhir untuk mengubah karakteristik struktural biomassa
lignoselulosa (Kannan et al., 2014).
Ampas sagu atau yang sering disebut SPW, meski dianggap sampah, tetap
masih mengandung jumlah pati 58%, selulosa 23%, hemiselulosa 9.2% dan lignin
3.9% sehingga akan lebih berharga bila dimanfaatkan dengan tepat (Hua et al.,
2020).
Selama proses produksi tepung sagu, limbah empulur sagu 'ampas'
dihasilkan dalam jumlah yang banyak. Pembuangan SPW di sungai terdekat telah
14

menjadi sumber pencemaran lingkungan. Namun ampas memiliki kandungan pati


yang tinggi berdasarkan berat keringnya. Studi telah dilakukan untuk
memanfaatkan kandungan pati dalam ampas dalam aplikasi yang berbeda, seperti
dalam menyerap ion timbal dan tembaga serta dalam memproduksi bioetanol
(Irwan et all, 2020).
2.2.1 Selulosa
Menurut McKendry dalam Sundiyani et al (2019) selulosa merupakan
karbohidrat golongan polisakarida dan menjadi komponen utama dalam setiap
struktur tanaman. Knauf dan Moniruzzaman dalam Sundiyani et al (2019)
mengatakan bahwa selulosa cenderung membentuk mikrofibril melalui ikatan
inter dan intramolekuler sehingga memberikan ikatan kuat dan struktur yang sukar
larut. Mikrofibril selulosa terdiri dari dua tipe, yaitu kristalin dan amorf.
Penjelasan lebih detail tentang kristalin dan amorf dikutip Sundiyani et al (2019)
dalam judoamidjojo et al (1989) dimana kristalin dari selulosa merupakan struktur
yang semua atomnya memiliki posisi tetap. Kumpulan kristalin selulosa
merupakan kumpulan mikrofibril yang tersusun kuat sehingga mencegah penetrasi
molekul kecil, seperti air. Hal ini menyebabkan selulosa sukar larut dalam air.
Struktur amorf pada selulosa memiliki struktur yang tidak teratur. Hal ini
menyebabkan hanya sedikit molekul selulosa yang dapat dipenetrasi oleh molekul
yang lebih besar seperti enzim. Manusia dan mamalia tidak dapat mencerna
selulosa namun enzim selulase yang dihasilkan jamur, bakteri dan invetebrata
dapat mencernanya.
Selulosa biasanya terdapat di dinding sel tumbuhan dan umumnya
berhubungan dengan zat lain seperti lignin dan hemiselulosa, yang membuatnya
sulit ditemukan dalam bentuk murni. Selulosa adalah polimer kondensasi linier
yang terdiri dari unit glukosa yang disatukan oleh ikatan b- glikosidik antara C (4)
dari satu unit gula dan anomerik C (1) yang lain. Tanaman sagu biasanya
mengandung antara 40–55% selulosa, 15–35% lignin dan 25–40% hemiselulosa
(Pushpamalar et al., 2005).
15

Gambar 2.2 Struktur berulang Selulosa (Pushpamalar et al., 2005).


2.2.2 Hemiselulosa
Sundiyani et al (2019) dikutip dari Gonzalez lopez-Satin et al (1985) dan
Mussato et all (2004) menyatakan hemiselulosa mirip dengan selulosa yang
merupakan polimer gula, namun berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun
dari glukosa, hemiselulosa tersusun dari banyak jenis gula. Monomer gula
penyusun hemiselulosa terdiri dari monomer gula berkarbon 5 (C-5) dan 6 (C-6).
Serat hemiselulosa berbentuk amorf dan tidak membentuk kristalin. Hal ini
menyebabkan hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis menjadi gula. Hidrolisis
hemiselulosa dengan asam kuat encer akan menghasilkan gula heksosa dan
pentose. Namun gula pentosa sulit untuk difermentasi menjadi bioetanol oleh
karena itu diperlukan enzim dan ragi yang spesifik untuk mengonversi
hemiselulosa menjadi bioetanol.
Hemiselulosa merupakan sumber biopolimer terbarukan yang potensinya
sangat besar. Hemiselulosa berpotensi untuk diintegrasikan dalam berbagai
aplikasi, seperti bahan bekas film, pengental, pengemulsi, penstabil dan pengikat
dalam industri makanan, farmasi dan kosmetik. Selain itu, hemiselulosa adalah
bahan kimia prekursor untuk sintesis sejumlah besar zat melalui metode kimia
yang seperti (furfural, 5-hidroksimetil furfural, dan asam levulinat) atau melalui
metode bioteknologi (produksi asam laktat dan asam suksinat). Polimer
hemiselulosa adalah komponen kompleks di dinding sel tumbuhan. Mereka
membentuk ikatan hidrogen dengan selulosa, ikatan kovalen (terutama ikatan
-benzil eter) dengan lignin, dan hubungan ester dengan unit asetil dan asam
hidroksi sinamat, yang membatasi pembebasan polimer hemiselulosa dari matriks
dinding sel (Bian et al., 2012).
16

Oleh karena itu, perlu untuk mengisolasi hemiselulosa dan kemudian


mempelajari fitur strukturalnya sebelum mengubahnya menjadi produk lain yang
bernilai melalui proses yang ekonomis. Sejauh ini, sejumlah metode telah
digunakan untuk mengisolasi polimer hemiselulosa dari tanaman, termasuk
ekstraksi dengan alkali, alkali peroksida, pelarut organik, atau ultrasonikasi dan
ekstrusi sekrup ganda, serta pengolahan uap atau microwave (Bian et al., 2012).
Hemiselulosa Merupakan bahan padat berwarna putih, jarang berbentuk
kristal, merupakan pengisi serat tanaman yang akan menjadi daging kayu.
Hemiselulosa membantu meningkatkan kekuatan kertas (terutama tarik, pecah,
dan lipat). Hemiselulosa secara kimiawi termasuk ke dalam kelas polimer gula,
termasuk gula mannose C6, galaktosa, glukosa, dan asam 4-O-metil-D-glukuronat
dan gula lima karbon xilosa dan arabinose. Hemiselulosa dengan berat molekul
rendah dapat larut dalam larutan alkali encer pada suhu tinggi, karena pada
dasarnya hemiselulosa merupakan polimer linier dengan rantai samping gula
tunggal dan substituen asetil (Christopher, 1996).

Gambar 2.3 Struktur Monomer Hemiselulosa (Christopher, 1996).

2.2.3 Lignin
Sundiyani et al (2019) dikutip dari Novika et al (2002) dan Higuchi
(2004). Lignin merupakan senyawa polimer yang berikatan dengan selulosa dan
hemiselulosa pada jaringan tanaman. Secara alamiah, lignin berfungsi melindungi
komponen lain. Jika masih terdapat lignin maka akan sulit untuk selulosa dan
hemiselulosa dapat terhidrolisis akibat adanya ikatan eter oleh lignin. Lignin dan
monomernya tidak bisa difermentasi menjadi bioetanol.
17

Pada proses konversi biomassa menjadi bioetanol, lignin akan berperan


sebagai penghalang terjadinya proses hidrolisis oleh karena itu perlu perlakuan
awal untuk menghancurkan ikatan lignin agar ikatan polisakarida menjadi
bioetanol optimal.
Lignin adalah polimer kompleks yang terdiri dari unit fenilpropana dan
berbentuk amorf dengan struktur tiga dimensi. Lignin ditemukan pada tumbuhan
berkayu. Lignin adalah perekat atau pengikat pada kayu yang menyatukan serat.
Lignin sangat terkonsentrasi di tengah lamellae. Ada tiga dasar monomer lignin
yang biasa menyusun polimer lignin. Rerumputan dan tumbuhan sedotan
mengandung ketiga monomer lignin, kayu keras mengandung koniferil alkohol
dan sinapil alkohol, dan kayu lunak hanya mengandung alkohol tumbuhan
runjung (Christopher, 1996).

Gambar 2.4 Struktur monomer Lignin (Christopher, 1996).


2.3 Proses Pretreatment dan Delignifikasi

Terdapat perbedaan antara proses pretreatment dan delignifikasi. Berikut


ini akan dijelaskan lebih spesifik mengenai proses delignifikasi dan juga proses
pretreatment.

2.3.1 Proses Delignifikasi


Menurut Yasuda dalam Agustian (2014) lignin memiliki gugus fungsi
yang mengandung oksigen pada posisi benzilik yang sensitif terhadap media asam
18

dan memiliki kecenderungan berubah pada saat penentuan kadar lignin. Achmadi
dalam Agustian (2014) menerangkan bahwa pada suasana asam, lignin cenderung
melakukan kondensasi. Peristiwa ini menyebabkan bobot molekul lignin
bertambah dan dalam keadaan yang sangat asam, lignin yang telah terkondensasi
ini akan mengendap. Lignin sebagian akan terlarut di dalam asam pada tahap
hidrolisis kedua dari prosedur lignin klason.
Wiratmaja dalam Agustian (2014) menambahkan bahwa delignifikasi
adalah proses untuk mengurangi kadar lignin. Adanya lignin dalam bahan
berselulosa ini akan menghambat aktivitas enzim yang terdapat di dalam ragi
dalam proses pengkonversian gula sederhana menjadi bioetanol. Sehingga untuk
meningkatkan proses hidrolisis, maka perlu dilakukan proses delignifikasi untuk
mendegradasi lignin dari struktur selulosa dengan menggunakan bantuan senyawa
katalis, salah satu caranya adalah dengan menggunakan katalis kimia berupa
senyawa NaOH.
2.3.2 Proses Pre-treatment
Sebelum proses delignifikasi dilakukan proses pre-treatment, untuk
memecah struktur kristalin selulosa dan memisahkan lignin sehingga selulosa
dapat terpisah. Pre-treatment dapat dilakukan secara kimia maupun fisik. Metode
fisik yang dilakukan adalah dengan menggunakan suhu dan tekanan tinggi,
penggilingan, radiasi, atau pendinginan, kesemuanya membutuhkan energi yang
tinggi. Sedangkan metode pre-treatment secara kimia menggunakan solven untuk
memecah dan melarutkan lignin (metode delignifikasi) (Badger dalam Agustian,
2014).

Salah satu metode terbaik yang digunakan untuk mengubah biomassa


menjadi gula larut adalah hidrolisis. hidrolisis yang menggunakan enzim
memerlukan kebutuhan energi yang rendah. Namun, masalah utama dalam proses
hidrolisis adalah aksesibilitas selulosa yang rendah karena adanya ikatan yang
kuat antara selulosa dengan lignin. Hal ini mengakibatkan proses konversi
menjadi lebih sulit sehingga diperlukan teknologi pre-treatment yang tepat
(Madadi et al., 2017).
19

Gambar 2.5 Efek Pre-treatment (Nurwahdah et al., 2018)

Metode pre-treatment yang sesuai melibatkan (Madadi et al., 2017):

1. Pemecahan ikatan hidrogen dalam selulosa kristal (Crl).


2. Terjadi proses Break down di antara matriks hemiselulosa dan lignin
yang saling terkait.
3. Meningkatkan luas permukaan yang dapat diakses selulosa untuk
selanjutnya diikuti proses hidrolisis.
Proses pretreatment dapat dilakukan secara fisika melalui proses mekanik
dan pirolisis, proses fisika-kimia (steam explosion, liquid hot water, CO2
explosion dan ammonia fiber explosion), dan kimia (alkali, larutan asam dan
organik). Larutan NaOH merupakan salah satu larutan alkali yang dapat
digunakan sebagai pelarut dalam proses pretreatment (Madadi et al., 2017).

2.4 Proses Hidrolisi

Sundiyani (2019) dalam Taherzadeh et al (2008), Galbe et al (2002) dan


Wyman et all (2005) menyatakan bahwa hidrolisis adalah proses perubahan atau
pemecahan molekul selulosa, hemiselulosa ataupun karbohidrat menjadi gula
sederhana (glukosa dan xilosa). Hidrolisis dengan asam encer tidak memerlukan
recovery asam dan asam tidak akan menghilang selama proses. Asam yang
digunakan biasanya memiliki konsentrasi sekitar 2-5% untuk asam encer dan 10-
30% untuk asam pekat dan dengan suhu reaksi sekitar 170-190°C untuk memecah
20

hemiselulosa dan sekitar 200-230°C untuk memecah selulosa. Pada proses


hidrolisis biasanya menggunakan katalisator untuk mendapatkan glukosa. Bahan
yang digunakan untuk proses hidrolisis adalah pati, selulosa dan atau karbohidrat.
Hidrolisis selulosa merupakan proses pemutusan ikatan b-1,4-glikosida pada
selulosa.
Proses mengubah selulosa menjadi gula diperlukan proses hidrolisis
dengan bantuan asam maupun enzim. Asam yang biasanya digunakan seperti HCl,
H2SO4, H2SO3, HNO3, dan enzim yang umumnya digunakan adalah enzim
selulase. Menurut Wiratmaja dalam Agustian (2014) pembuatan bioetanol dari
bahan yang mengandung selulosa melewati empat tahap, yaitu pre-treatment,
hidrolisis, fermentasi, dan pemurnian.
Wiratmaja dalam Agustian (2014) juga menjelaskan bahan–bahan yang
mengandung selulosa juga mengandung lignin. Lignin merupakan pelindung
selulosa dan hemiselulosa. Lignin dapat mengganggu proses hidrolisis karena
akan menghambat aktivitas enzim di dalam ragi dalam pengkonversian gula
sederhana menjadi bioetanol. Oleh karena itu proses pre-treatment memegang
peranan penting dalam produksi bioetanol. Pre-treatment disebut juga
delignifikasi. Pada umumnya terdapat dua metode dasar ekstraksi gula dari
biomassa, yaitu:
2.4.1 Proses Hidrolisis Konsentrasi Asam (arkanol)
Proses ini berlangsung dengan adanya penambahan 70-77% asam sulfat ke
biomassa yang telah dikeringkan dengan tingkat kelembaban 10%. Asam yang
ditambahkan memiliki rasio mol 1.25 asam untuk 1 biomassa dan pada suhu 50oC.
Air akan ditambahkan untuk mencairkan asam sampai 20-30% kemudian
campuran akan dipanaskan kembali sampai 100oC selama 1 jam. Gel yang telah
dihasilkan dari campuran ini selanjutnya ditekan (di-pressing) untuk memisahkan
campuran gula dengan asam, selanjutnya asam dan gula dipisahkan menggunakan
kolom kromatografi (Handoko, T, dan Arry. M., 2009).
21

Gambar 2.6 Mekanisme reaksi hidrolisis dengan katalisator asam (Rahmad,


2008).

Dalam proses hidrolisis, pati akan lebih mudah dihidrolisis dari pada
selulosa. Hal ini dikarenakan unit-unit glukosa dalam selulosa mempunyai ikatan
 sedangkan dalam pati (amilosa) ikatannya adalah  . Perbedaan ikatan ini
sangat signifikan sehingga bisa dilihat saat banyak enzim yang cocok untuk
memecah ikatan 1,4--glikosidik tetapi hanya sedikit enzim yang mampu
menghidrolisis ikatan 1,4-  -glikosidik dari selulosa (Rahmad, 2008).
Pati dapat dihidrolisis pada suhu yang jauh lebih rendah dari pada selulosa,
yaitu pada suhu 100oC dan tekanan 1 atm. Hal lain yang mengakibatkan selulosa
sulit terdegradasi adalah penyusun selulosa banyak berstruktur kristal sedangkan
struktur amorf hanya sedikit. Hal ini mengakibatkan selulosa menjadi kurang
reaktif. Dengan adanya katalisator maka akan mengubah mekanisme reaksi
hidrolisis (Rahmad, 2008).
Philipp dalam Rahmad (2008) menerangkan mekanisme reaksi hidrolisis
dengan menggunakan katalisator asam seperti terlihat pada Gambar 2.6. Ion H+
yang berasal dari katalisator akan menyerang selulosa terlebih dahulu. Dengan
masuknya ion H+ tersebut maka struktur selulosa menjadi tidak stabil sehingga
akan memudahkan selulosa bereaksi dengan air (H2O).
22

2.4.2 Hidrolisis Enzimatik


Selain penggunaan asam untuk menghidrolisis biomassa menjadi sukrosa,
proses hidrolisis dapat juga dilakukan menggunakan enzim. Enzim yang biasa
digunakan untuk proses ini seperti selulase, amilase ataupun glukoamilase.
Walaupun proses ini sangat mahal, namun masih tetap banyak dikembangkan.
(Handoko, T, dan Arry. M, 2009).

Gambar 2.7 Mekanisme Hidrolisis Selulosa dengan Enzim (Sun, 2002)

2.4.3 Hidrolisis Termal


Hidrolisis termal merupakan proses hidrolisis dengan menggunakan
medium pemanas berupa air. Dengan penggunaan medium air maka korosi
terhadap perangkat hidrolisis lebih dapat diminimalisasi dibandingkan dengan
penggunaan asam. Jenis hidrolisis ini juga hanya sedikit menghasilkan produk
samping yang tidak diinginkan serta limbah yang dihasilkan bersifat ramah
lingkungan. Keunggulan dari hidrolisis termal dibandingkan dengan jenis
hidrolisis lain adalah proses hidrolisis dengan perlakuan panas tidak memerlukan
tahap lebih lanjut seperti tahap pemurnian, tidak perlu dilakukan penyesuaian pH,
maupun penggunaan katalis (Mandagi et al., 2010).

2.5 Fermentasi
23

Fermentasi merupakan suatu proses untuk mengubah suatu substrat


menjadi produk tertentu yang diinginkan dengan menggunakan bantuan mikroba.
Proses fermentasi memiliki beberapa kelebihan, antara lain tidak menimbulkan
efek samping yang negatif, mudah dilakukan, relatif tidak membutuhkan peralatan
khusus dan biayanya murah. Pembuatan sagu dengan fermentasi dapat dilakukan
dengan menggunakan dua metode, yaitu metode fermentasi aerob dan metode
fermentasi anaerob (Iskandar dalam Caesy, 2018).
2.5.1 Metode Fermentasi Aerob
Fermentasi aerob adalah jenis fermentasi yang membutuhkan oksigen.
Fermentasi yang menggunakan fungi (kapang) umumnya bersifat aerob, karena
semua kapang bersifat aerobik, yaitu membutuhkan udara untuk proses
pertumbuhannya. Fermentasi aerob ini bertujuan untuk memproduksi sel kapang
dan enzim hidrolisis (Fardiaz dalam Caesy, 2018).
2.5.2 Metode Fermentasi Anaerob
Fermentasi anaerob adalah jenis fermentasi yang tidak membutuhkan
oksigen. Fermentasi anaerobik berguna untuk menghambat pertumbuhan kapang,
tetapi membiarkan enzim yang telah terbentuk untuk tetap berfungsi (Fardiaz
dalam Caesy, 2018).
2.5.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi:
1. Kadar gula
Bahan dengan konsentrasi gula yang tinggi akan memberikan efek
negatif pada yeast, baik pada pertumbuhan maupun aktivitas
fermentasinya. Kadar glukosa yang baik berkisar 10 - 18%. Apabila
terlalu pekat, aktivitas enzim akan terhambat sehingga waktu fermentasi
menjadi lebih lambat.
2. Derajat Keasaman
Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh baik pada range pH 3 - 6,
namun apabila pH lebih kecil dari 3 maka proses fermentasi akan
berkurang kecepatannya. pH yang paling optimum berada pada range 4,3
- 4,7.
3. Suhu
Suhu pada saat proses fermentasi secara langsung dapat mempengaruhi
24

pertumbuhan mikroba. Untuk pertumbuhan mikroba biasanya cocok pada


o
suhu kamar yaitu sekitar 25 – 27 C. Saccharomyces cerevisiae
mempunyai kemampuan hidup maksimal pada suhu sekitar 40 - 50 oC
dan minimal pada suhu 0oC. Jika suhu tidak diperhatikan, secara tidak
langsung akan mempengaruhi bioetanol yang dihasilkan. Kecepatan
fermentasi akan bertambah sesuai dengan suhu yang optimum, umumnya
27 – 32 oC. Pada 27 oC bioetanol akan hilang menguap sebanyak 0,83%,
pada 32 oC sebesar 1,66%.
4. Nutrisi
Nutrisi dibutuhkan sebagai tambahan makanan bagi pertumbuhan yeast.
Misalnya garam ammonium (NH4CL), (NH2)2CO atau urea, NH4H2PO4
atau NPK, dan garam phosphate (pupuk TSP).
5. Aerasi
Oksigen dibutuhkan dalam pertumbuhan yeast tapi tidak diperlukan
dalam proses pembuatan bioetanol, karena proses fermentasi alkohol
bersifat anaerob. Jika udara terlalu banyak maka mikroba hanya bekerja
untuk memperbanyak jumlah sel sehingga produksi bioetanol menjadi
sedikit. Menurut Hadi et all (2013) dalam jurnal yang disusun oleh (11),
kondisi yang baik selama fermentasi adalah kondisi yang tertutup atau
lebih cenderung anaerob dengan dibatasi oleh udara yang tersedia sedikit
± 10% volume ruang fermentor.
6. Waktu
Waktu diperlukan oleh mikroba untuk mengubah gula menjadi bioetanol.
Lamanya waktu yang dibutuhkan akan berbeda-beda bergantung pada
banyak hal seperti, kandungan gula, jumlah mikroba yang diberikan,
nutrisi dan lain – lain (Bambang, 2016)
Bioetanol diproduksi dari gula melalui proses fermentasi pada kondisi
tertentu. Pati dan berbagai jenis karbohidrat lainnya akan dihidrolisis menjadi gula
terlebih dahulu kemudian difermentasi untuk membentuk bioetanol yang
merupakan nama kimia dari alkohol dengan rumus kimia C 2H5OH. Bioetanol
merupakan cairan biokimia hasil proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat
yang membutuhkan bantuan mikroorganisme. Khamir membutuhkan medium dan
25

lingkungan yang kondusif untuk proses pertumbuhan dan perkembang-biakannya.


Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan pada proses pertumbuhan khamir adalah
karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, zat besi dan magnesium (Prescot dan Dunn
dalam Rahim, 2009).
Unsur karbon banyak diperoleh dari gula, sumber nitrogen diperoleh dari
amonia, asam amino, peptida, pepton nitrat, atau urea tergantung pada jenis
khamir yang digunakan. Fosfor merupakan unsur penting dalam kehidupan
khamir terutama dalam proses pembentukan alkohol dari gula (Prescot dan Dunn
dalam Rahim, 2009).
Produksi bioetanol juga dipengaruhi oleh pH medium fermentasi. pH
sangat berperan penting dalam pertumbuhan mikroorganisme fermentasi. pH
adalah kondisi asam-basa medium suatu mikroorganisme yang mampu
mempengaruhi pertumbuhan atau aktivitas pembelahan sel dari suatu
mikroorganisme. pH yang paling baik dalam kombinasi perlakuan adalah 8.
Konsentrasi ragi, pH medium, dan lama fermentasi akan memberikan dampak
terhadap perkembangan Saccharomyces cerevisiae yang terdapat di dalam ragi
(Taslim, 2017).
2.6 Saccharomyces cerevisiae
Saccharomyces cerevisiae adalah salah satu spesies khamir yang
memiliki kemampuan konversi gula menjadi bioetanol sangat tinggi. Produk
metabolik utama dari Saccharomyces cerevisiae adalah bioetanol, CO2, air serta
beberapa produk lain dalam jumlah yang sangat sedikit. Saccharomyces
cerevisiae bersifat fakultatif anaerob, memerlukan suhu 30oC dan pH 4,0 - 4,6
agar dapat tumbuh dengan baik (Delwegg dalam Rahim, 2009).
Proses fermentasi akan menghasilkan panas, apabila tidak dilakukan
pendinginan, suhu akan semakin meningkat sehingga proses fermentasi
terhambat. Saccharomyces cerevisiae tumbuh optimum pada suhu 25 – 30 oC
dan maksimum pada 35 – 47 oC. pH pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae
yang baik antara 3 - 6. Perubahan pH akan berpengaruh terhadap pembentukan
hasil samping fermentasi. Pada pH tinggi maka lag phase akan berkurang dan
aktivitas fermentasi akan naik (Prescott dan Dunn dalam Rahim, 2009).
26

Gambar 2.8 Sel Saccharomyces cerevisiae (Rahim dan Dicka, 2009).


Pelczar (1988) dan Pitt & Hocking (1997) yang dikutip oleh Estelita
(2009) menyatakan bahwa Saccharomyces cerevisiae tumbuh secara
menggerombol, tidak berflagel dan dapat melepaskan CO 2 dengan cepat,
menyebabkan sel terapung pada permukaan. Koloni S.cerevisiae berwarna
putih kekuningan, mempunyai bentuk tepi yang circular, dan permukaannya
mengkilap (surface glistening). Sel S.cerevisiae berbentuk bundar (spherical),
adakalanya berbentuk ellipsoidal (lonjong, memanjang) sampai cylindrical,
dan menghasilkan pseudomiselium. Berkembangbiak secara vegetatif dengan
cara pertunasan multilateral (budding).
Konjugasi isogami atau heterogen dapat mendahului atau dapat
terjadi setelah pembentukan askus. Dapat berbentuk tonjolan-tonjolan. Setiap
askus dapat mengandung 1-4 spora dengan berbagai bentuk. Spora dapat
berkonjugasi. Disimilasi berlangsung dari oksidatif yang disukai sampai
kepada fermentatif yang dominan. Dalam medium biakan cair biasanya terjadi
pertumbuhan di dasar medium. dikutip oleh (Estelita, 2009) dalam buku
(Pelczar, 1988 dan Pitt & Hocking, 1997).
Pertumbuhan mikroba di dalam suatu kultur mempunyai kurva seperti
terlihat pada Gambar 2.9
27

Gambar 2.9 Kurva Pertumbuhan Mikroba (Rahim dan Dicka, 2009).

Dari Gambar 2.9 dapat dilihat fasa pertumbuhan mikroorganisme ada 4


fase, yaitu:
1. Fase adaptasi/ lag phase.
Fase adaptasi digambarkan dengan garis kurva dari keadaan nol kemudian
sedikit ada kenaikan. Di dalam fase ini Saccharomyces cerevisiae mengalami
masa adaptasi dengan lingkungan dan belum ada pertumbuhan, sehingga
Saccharomyces cerevisiae belum merombak glukosa menjadi bioetanol.
2. Fase eksponensial.
Fase eksponensial digambarkan dengan garis kurva yang mulai
menunjukkan adanya peningkatan yang tajam. Pada fase ini Saccharomyces
cerevisiae mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Di dalam fase ini terjadi
pemecahan glukosa secara besar‐besaran. Hasil pemecahan gula oleh
Saccharomyces cerevisiae dalam keadaan anaerob menghasilkan bioetanol.
Kemungkinan dihasilkan bioetanol paling tinggi pada fase ini.
3. Fase Stationer
Fase stasioner merupakan fase pertumbuhan diperlambat. digambarkan
dengan garis kurva mendatar yang menunjukkan jumlah Saccharomyces
cerevisiae yang hidup sebanding dengan jumlah yang mati.
4. Fase kematian
Fase kematian terjadi apabila nutrisi sudah benar-benar tidak dapat lagi
mencukupi kebutuhan mikroorganisme. digambarkan dengan penurunan garis
28

kurva. Pada fase ini jumlah Saccharomyces cerevisiae yang mati jumlahnya lebih
banyak sampai akhirnya semua Saccharomyces cerevisiae mati (Azizah et al.,
2012).

2.7 Suplemen Fermentasi


Terdapat berbagai nutrisi atau suplemen yang dapat digunakan dalam
proses pembuatan inokulum pada tahapan fermentasi diantaranya sebagai berikut :
2.7.1 (NH2)2CO / Urea
Urea adalah pupuk buatan hasil persenyawaan NH 4 dengan CO2,
kandungan N total pada pupuk urea berkisar 45-46%. Nitrogen dalam urea
berfungsi sebagai penyedia asam nukleat dan asam amino tunggal serta vitamin
yang dibutuhkan Saccharomyces cerevisiae untuk hidup. Selain itu sumber
nitrogen digunakan oleh mikroba untuk mempercepat pertumbuhan sel dalam
fermentasi. Pada umumnya penambahan nitrogen diperlukan untuk pertumbuhan
yeast dan dapat meningkatkan kadar bioetanol yang dihasilkan. Semakin banyak
urea yang ditambahkan konsentrasi bioetanol yang dihasilkan juga semakin
meningkat. Jika terlalu banyak penambahan urea dapat menyebabkan denaturasi
protein sel Saccharomyces cerevisiae atau terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi
hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan molekul protein (Gafiera et al.,
2019).
Penggunaan urea yang berlebih akan membentuk NH3-N yang bersifat
racun dan dapat menghambat pertumbuhan yeast sehingga konsentrasi bioetanol
yang dihasilkan juga semakin menurun. Namun, jika pemberian nitrogen yang
kurang dapat menyebabkan sel Saccharomyces cerevisiae baru berbentuk
pseudohifa sehingga proses meiosis terjadi terlalu cepat sedangkan pemisahan sel
anak dan sel induk belum terjadi. Pembentukan pseudohifa dapat disebabkan
ketidakmampuan Saccharomyces cerevisiae untuk mengkonsumsi gula, tingginya
fosfat dan rendahnya sumber nitrogen. Urea yang memiliki kandungan nitrogen
berperan dalam meningkatkan kadar bioetanol. Yield bioetanol meningkat seiring
dengan penambahan nutrisi (Gafiera et al., 2019).
2.7.2 KH2PO4
Fosfat anorganik secara umum digunakan sebagai buffer, demikian juga di
dalam medium MRS K2PO4 berperan sebagai buffer. Dalam penelitiannya,
29

Subagiyo et al (2015) melakukan penambahan sumber P dalam bentuk KH 2PO4


dan K2HPO4. Hasil penelitian menunjukan terjadi efek meningkatkan kepadatan
sel pada awal waktu kultivasi. Efek yang terjadi pada penambahan garam fosfat
ini terjadi melalui mekanisme buffering yaitu pengendalian nilai pH.
Menurut Hayek & Ibrahim dalam Subagiyo et al (2015) bakteri asam
laktat menghasilkan asam terutama asam laktat selama pertumbuhannya, sehingga
menyebabkan penurunan pH dan mengakibatkan kecepatan pertumbuhan
menurun. Berdasarkan mekanisme kerja buffer maka dimungkinkan terjadinya
efek meningkatkan kepadatan sel pada awal kultivasi oleh penambahan K2HPO4.
Produksi asam organic oleh bakteri asam laktat adalah bergantung pertumbuhan
atau kepadatan sel. Semakin tinggi kepadatan sel semakin banyak asam yang
dihasilkan dan dilepas ke lingkungan, sehingga suatu saat dapat melampaui
kapasitas buffering medium dan terjadi penurunan pH yang nyata, akibatnya
pertumbuhan menjadi lambat.
2.7.3 Na2HPO4
Triantarti dan Hendro dalam Triantarti dan Santoso (2004) yang
menyatakan bahwa perlakuan kadar diKalium hidrogen fosfat dalam medium
fermentasi sebesar 0,5%, 1,0% dan 1,5% (b/v) berpengaruh terhadap tingkat
pertumbuhan Mikroba. Tingkat pertumbuhan optimum dicapai pada perlakuan
1,5% (b/v) namun kadar dekstran yang dihasilkan lebih rendah dari dua perlakuan
lainnya. Hal ini merupakan kenyataan bahwa tingkat pertumbuhan mikroba yang
optimum tidak selalu diikuti dengan kenaikan kadar dekstran. Semakin besar
kadar diKalium hidrogen fosfat dan diNatrium hidrogen fosfat belum tentu akan
diikuti oleh kenaikan kadar dekstran yang dihasilkan.
Hal ini terjadi mungkin disebabkan oleh adanya enzim-enzim hasil sekresi
menghidrolisis dekstran yang dihasilkan pada saat sukrosa dalam medium habis
dikonsumsi (Triantarti dan Dufour dalam Triantarti dan Hendro, 2007).
2.7.4 NH4H2PO4 / NPK
Pertumbuhan mikroorganisme dibantu oleh adanya nutrisi NPK. Fosfor
merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan Saccharomyces cereviceae
terutama untuk pembentukan alkohol dari gula. Pemberian pupuk NPK sebagai
sumber nitrogen, fosfor dan kalium bagi Saccharomyces cereviceae untuk hidup,
30

berkembang, melakukan aktivitas serta meningkatkan pertambahan jumlah sel.


Unsur N berguna bagi pembentukan asam nukleat dan asam-asam amino, unsur K
merupakan kofaktor enzim dan unsur P berguna untuk sintesis asam nukleat,
adenosine trifosfat (ATP), fosfolipid, dan senyawa yang mengandung fosfor
lainnya (Farra et al., 2019)
Farra et al (2019) melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan
bahwa Konversi bioetanol akan meningkatkan sejalan dengan penambahan nutrisi
NPK. Hal ini disebabkan karena NPK dapat membantu ragi untuk hidup sehingga
ragi bisa mengurai glukosa menjadi ethanol. Namun perlu diperhatikan bahwa
penambahan NPK berlebih akan menyebabkan terbentuknya pseudohifa yang
menghambat kerja ragi yang tidak dapat mengkonsumsi gula sehingga tidak dapat
menguraikan glukosa menjadi ethanol.

2.8 Etanol

Etanol disebut juga etil alkohol merupakan sejenis cairan yang mudah
menguap, mudah terbakar, tidak berwarna, berbau spesifik, dapat bercampur
dengan air dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Etanol merupakan nama IUPAC dari bahan kimia ini. Selain itu, nama
etil alkohol juga lazim digunakan. Sifat – sifat fisik etanol dapat dilihat pada
Tabel 2.2 berikut
Tabel 2.2 Sifat – sifat Fisik Etanol
Ethanol Content 99.8 % vol (min)
Densitas 0.790 g/ml (max)
Appearance Clear, without Particles
Color 5 hazen (max)
Water 0.3 % mass (max)
Starting Point 77 ºC
Dry Point 810C
Flash Point +12 ºC
Explosion limit 3.5-1.5 % vol air

Sumber : (Rutz,D dan Rainer J, 2008)


31

2.9 Bioetanol
Bioetanol merupakan senyawa yang berasal dari etanol (ethyl alcohol)
yang berasal dari sumber daya alam hayati yang dapat digunakan dalam berbagai
macam kebutuhan termasuk bahan bakar alternatif. Bioetanol juga dapat
digunakan sebagai campuran untuk bensin. Penggunaan bioetanol sebagai bahan
bakar alternatif telah banyak digunakan di berbagai negara, terutama di kawasan
Amerika latin. Bioetanol mulai dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif
karena bersifat lebih ramah lingkungan, mudah diproduksi dan dapat dibuat dari
bahan-bahan alami sehingga bersifat terbarukan (Rutz, D dan Rainer J, 2008).
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif memiliki beberapa
kelebihan dari pada bahan bakar konvensional, yaitu:
a. Ketersediaan yang berlimpah.
b. Mampu mereduksi Polusi Udara
c. Mampu menjadi campuran Sumber Daya Alam Non-Renewable
d. Mudah terbiodegradasi dan tidak beracun
e. Produksi dan Penggunaan yang mudah
f. Biaya Produksi yang lebih murah
Bahan baku untuk proses produksi bioetanol diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, yaitu gula, pati dan selulosa. Sumber gula yang berasal dari gula tebu,
gula bit, molase dan buah-buahan dapat langsung dikonversi menjadi bioetanol.
Sumber dari bahan berpati seperti jagung, singkong, kentang dan akar tanaman
harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi gula. Sumber selulosa yang berasal dari
kayu, limbah pertanian, limbah pabrik pulp dan kertas, semuanya harus dikonversi
menjadi gula (Rutz, D dan Rainer J, 2008).

2.10 PARR (The Piston (or plug flow) Anaerobic Reaktor)


PARR reaktor merupakan unit reaktor batch yang di aduk secara kontinyu
dalam pengoperasiannya. Reaktor ini mampu beroperasi pada kisaran suhu 10 -
350oC dan mampu dioperasikan sampai tekanan 130 bar. Kondisi operasi
dimodulasi oleh unit pengontrol. Reaktor dikunci dengan ketat oleh 6 baut untuk
menjaga tekanan operasi di dalam bejana selama reaksi. Alat ini dilengkapi jaket
pemanas serta impeller agitator untuk memudahkan pencampuran atau reaksi.
32

Alat ini mampu mengaduk larutan dengan kecepatan mencapai 632 rpm. Garis
sampel dan reservoir asam dibaut erat ke reaktor (Orozco et al., 2013).
Saluran nitrogen kemudian dipasang ke reservoir asam. Alat ini dilengkapi
termokopel yang mampu mengukur suhu operasi sehingga pengguna dapat
memastikan suhu operasi yang digunakan serta dapat melakukan setel suhu. Alat
ini membutuhkan waktu antara 30 dan 60 menit untuk mencapai suhu yang
diinginkan (Orozco et al., 2013).

Gambar 2.10 PARR reaktor (www.parrinst.com).

Dalam Orozco et al (2013) dikatakan untuk menginisialisasi reaksi, katalis


harus diumpankan ke bejana reaksi dari reservoir. Bejana reaksi selanjutnya diberi
tekanan dengan membuka katup nitrogen, sehingga memberi tekanan sesuai yang
kita inginkan. Katup saluran masuk katalis asam kemudian dibuka, menyebabkan
tekanan diferensial antara reservoir dan bejana reaksi yang memungkinkan asam
untuk dikirim ke Bejana. Pengukur tekanan pada Bejana harus selalu dipantau
pada tiap kenaikan tekanan, Setelah semua asam telah diumpankan kemudian
katup masuk ditutup dan stopwatch dinyalakan. Pengambilan sampel dapat
dilakukan pada interval waktu yang diinginkan. Sampel dimasukan pada bejana
sampel kemudian katup bejana sampel dibuka hingga memungkinkan sejumlah
larutan akan memasuki bejana reaksi. Tabung sampel didinginkan menggunakan
air dingin untuk mengurangi panas laju reaksi dan kemudian dibersihkan
menggunakan udara terkompresi untuk mencegah kontaminasi dari sampel
berikutnya. Selanjutnya dilakukan pemurnian dengan vakum dan penyaringan
syringe sebelum dilakukannya analisis HPLC.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat Penelitian


Keseluruhan proses penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biomassa
kayu & Non kayu dan Laboratorium Pulp Making Fakultas Teknik Universitas
Riau.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


Berikut dibawah ini akan dijabarkan alat dan bahan yang dibutuhkan
selama melakukan penelitian ini
3.2.1 Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu PARR reaktor dengan
merek DIU (Duro-United Instrument) made in U.S.A, alat pengayak serat,
fermentor, erlenmeyer, beker gelas, spektrofotometer UV-Vis dengan merek
Spectronic Unicam, piknometer, alkohol meter, oven, Shaker dengan merek
VWR, alat sentrifugasi , tabung reaksi, pipet tetes , autoklaf dengan merek
HIRAYAMA, alat suling alkohol, timbangan analitik dengan merek Mettler
Toledo dan vacuum rotary evaporator dengan merek BOCHI.
3.2.2 Bahan Penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari limbah
ampas sagu hasil proses pengambilan tepung pati sagu dari Pusat Centra Industri
Kecil Menengah (IKM) di Desa Sungai Tohor Kec. Tebing Tinggi Timur Kab.
Kepulauan Meranti. Media persiapan dan hidrolisis terdiri dari : Ampas Sagu dan
aquades. Media fermentasi terdiri dari: saccharomyces cerevisiae, nutrisi
mikroorganisme : (NH2)2CO (Urea), KH2PO4, Na2PO4, dan NH4H2PO4 (NPK) dan
substrat yaitu glukosa.
3.3 Variabel Penelitian
Terdapat 2 variabel dalam penelitian ini yaitu variabel tetap dan variabel
berubah dengan :
3.3.1 Variabel Tetap
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

33
34

1. Variabel Fermentasi
 pH awal : 5 (Rahim dan Dicka, 2009)
 Suhu : 28 0C (Endah,2007)
 Pengadukan : 200 rpm (Rezky et al., 2014)
 Yeast Extract : 4 gr/l (Rezky et al., 2014)

 Volume fermentasi : 2 Liter (Rezky et al., 2014)

2. Variabel Hidrolisis
 Perbandingan ampas sagu : Aquades = 1 : 10

3.3.2 Variabel Berubah


1. Suhu hidrolisis 1200C, 1400C dan 1600C
2. Ukuran Partikel Ampas Sagu 12 dan 60 mesh

3.4 Prosedur Penelitian


3.4.1 Persiapan Bahan Baku
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari limbah sagu
hasil proses pengambilan tepung pati sagu dari Pusat Sentra Industri Kecil
menengah (IKM) Sagu di Desa Sungai Tohor Kec. Tebing Tinggi Timur Kab.
Kepulauan Meranti selanjutnya dicuci, dikeringkan dan dikecilkan ukurannya lalu
diayak agar ukurannya seragam. Ukuran bahan baku harus mencapai tingkat
kehalusan yang sesuai hal ini agar didapatkan kadar karbohidrat dan gula yang
tinggi. Tahap ini menggunakan metode deskriptif dan hasil perlakuan terbaik
menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya.
Dipersiapkan bahan baku
(Limbah Sagu) sebanyak 3 kg

Dijemur dibawah matahari

Diperkecil ukurannya dengan


cara diblender.

Selanjutnya dilakukan
pengeringan di Oven pada
suhu 105ºC selama 1 jam

Dilakukan variasi pengayakan


untuk 12 mesh dan 60 mesh.

Gambar 3.1 Diagram alir proses persiapan bahan baku


3.4.2 Proses Pengujian Bahan Baku
1. Pengujian Kadar Lignoselulosa Metode Chesson-Datta
Prosedur ini dilakukan untuk dapat mengetahui pengaruh variasi
ukuran bahan pada ampas sagu 12 mesh dan juga 60 mesh terhadap komposisi
hemiselulosa, selulosa, lignin, dan abu pada ampas sagu. Mula –mula dilakukan
pada sampel 12 mesh dan dengan prosedur yang sama dilakukan kembali pada
sampel 60 mesh. Diagram alir proses analisis ini dapat dilihat pada Gambar 3.2
Sampel ampas sagu sebanyak 1 gr (a)

direflux T=100ºC, t= 2 jam

Ditimbang
Ampas dioven hingga konstan
sebagai berat (b)

Ditambahkan
150 mL Residu kering kembali direlux t= 2 jam
H2SO4

Ditimbang
Ampas dioven hingga konstan sebagai berat (c)

Ditambahkan
10 mL H2SO4 Residu kering direndam dan didiamkan
72% selama 4 jam

Ditambahkan Setelah 4 jam lalu direfluks pada


230 mL T =100ºC, t = 2 jam
aquades

Ditimbang
Ampas dioven hingga konstan sebagai berat (d)

Residu kering ini selanjutnya dioven Ditimbang


t= 4 jam sebagai berat (e)

Residu difurnace T = 550ºC, t= 4 jam

Gambar 3.2 Diagram alir proses analisis lignoselulosa (Chesson,1978 dalam De


Datta,1981)

2. Pengujian Kadar Pati


Untuk dapat mengetahui pengaruh variasi ukuran bahan 12 mesh dan
juga 60 mesh terhadap kadar pati pada ampas sagu dapat dilakukan seperti pada
Gambar 3.3. dilakukan pada sampel 12 mesh dan pada sampel 60 mesh.

2 gr direndam dengan larutan hexane


sampel t= 30 menit
ditimbang
padatan ditiriskan dan dihidrolisis t= 1 jam
dengan200mL aquades + 20 mL HCl 30%

Di tambahkan 3 tetes fenolftalein. Lalu NaOH 30% hingga berubah


warna menjadi merah bata

fitrat dipisahkan dengan kertas saring

Di lakukan penambahan 10 ml larutan luff schroll terhadap fitrat,


lalu dipanaskan t = 5 menit

Lalu ditambahkan 10 mL kalium iodide dan asam sulfat

Di titrasi dengan natrium tiosulfat hingga berwarna coklat muda

Terakhir ditambahkan fenoltalein hingga berwarna putih susu

Gambar 3.3 Diagram alir proses analisis kadar pati (Harjadi,1993)

3.4.3 Proses Hidrolisis


Proses hidrolisis dilakukan untuk melihat pengaruh variasi ukuran bahan
12 dan 60 mesh atau dengan perbandingan ukuran bahan 1 : 5 serta perbedaan
suhu yaitu 120 0C, 1400C dan 1600C. Dengan adanya variabel hidrolisis tersebut
diharapkan dapat terlihat dan dibandingkan hasil selulosa yang bereaksi menjadi
glukosa dengan penggunaan alat PARR reaktor pada tekanan diatas 1 bar selama
4 jam dengan hanya menggunakan aquades sebagai pelarutnya atau tanpa
menggunakan katalis.
Mula mula limbah padat sagu dengan ukuran 12 mesh sebanyak 50 gram
dimasukkan ke dalam PARR reaktor kemudian ditambahkan aquades dengan
perbandingan massa limbah padat sagu dan volume aquades 1:10 artinya dalam
50 gr sampel ampas sagu digunakan aquades sebanyak 500 mL. Selanjutnya
sampel dihidrolisis pada suhu sesuai variabel penelitian yaitu 1200C, 1400C dan
1500C dengan waktu hidrolisis selama 4 jam. Cara yang sama diulang pada proses
hidrolisis ampas sagu 60 mesh. Diagram alir proses hidrolisis dapat dilihat pada
Gambar 3.2

Limbah Sagu 12
dan 60 mesh

Hidrolisis selama 4 jam


dengan T = 120, T=140
dan T-160

Larutan hasil
hidrolisis

Uji kadar glukosa awal


(samogyi Nelson)

Gambar 3.2 Diagram alir proses hidrolisis

Kemudian kandungan glukosa awal pada larutan hasil proses hidrolisis


dianalisis menggunakan metode Somogyi-Nelson dan diukur konsentrasinya
menggunakan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 540 nm.

3.4.4 Persiapan Inokulum


Persiapan inokulum penting untuk dilakukan sebelum melanjutkan ke
proses fermentasi hal ini dikarenakan agar proses fermentasi dapat berlangsung
dengan baik dalam artian mikroorganisme dapat tumbuh serta berkembang dan
produk yang didapatkan menjadi optimal. Sebelum diinokulasi, media disterilkan
di dalam autoclave selama 15 menit dan pada suhu 120 0C, lalu selanjutnya
didiamkan di suhu ruang hingga dingin. Nutrisi yang disterilkan seperti : 0,02 gr/L
KH2PO4, 0,01 gr/L MgSO4.7H2O, 0.1 gr urea, 0.1 gr NPK , 4 gr/L yeast extract
dan substrat glukosa hasil hidrolisis dengan konsentrasi 10% dari total volume
media fermentasi 2 L pada erlenmeyer selanjutnya ditambahkan mikroorganisme
saccharomyces cerevisiae dan di aduk menggunakan alat shaker selama 4 hari
agar campuran menjadi homogen (Idral et al., 2012).

Larutan Hidrolisis 200 ml + Nutrisi ((NHP)2PO4,


MgSO4, urea, NPK, glukosa dan KH2PO4

Erlenmeyer

Di sterilisasi pada autoclave


(T = 121ºC ; t = 15 menit)

Shaker selama 24 jam


Saccharomyces
cerevisiae

Inokulum

Gambar 3.3 Diagram alir proses Inokulum (Idral et al., 2012)

3.4.5 Fermentasi
Proses fermentasi dilakukan dengan memasukkan larutan hasil hidrolisis
ke dalam Erlenmeyer Sebanyak 2 L Rezky et al (2014), kemudian ke dalam
Erlenmeyer ditambahkan 0,02 gr/L KH2PO, 0,01 gr/L MgSO4.7H2O, 0.1 gr urea,
0.1 gr NPK, 2 gr glukosa dan 4 gr/L yeast extract sebagai nutrisi, selanjutnya
larutan dihomogenkan menggunakan shaker. Setelah homogen, larutan
Selanjutnya disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 15
menit, kemudian didinginkan hingga mencapai suhu ruang. Larutan ini digunakan
sebagai medium dalam proses fermentasi. Selanjutnya, larutan starter sebanyak
10% dari volume fermentasi dimasukkan ke dalam erlenmeyer berisi larutan hasil
hidrolisis. Menurut Idral et al (2012) yang melakukan pengujian waktu paling
optimum proses fermentasi untuk mendapatkan bioetanol berlangsung selama 4
hari. Setelah proses selesai selanjutnya yaitu dilakukan proses analisis kadar
glukosa akhir menggunakan spektrofotometer sinar tampak dan analisis
konsentrasi bioetanol yang dihasilkan menggunakan alkohol meter.
Urea 0.12 gr
NPK 0.12 gr
KH2PO4 0.1 gr
Larutan Hasil
MgSO4 7H2O 0.01 gr
Hidrolisis 1.8 L
Glukosa 2 gr
200 ml larutan hidrolisis

fermentor

Fermentasi (t = 4 hari)

Analisis Gula Akhir dan Analisis Kadar


Alkohol

Gambar 3.4 Diagram alir proses fermentasi (Idral et al., 2012)


5
Keterangan:
6
1. Batang Pengaduk
2. Fermentor 4
3. Penyangga Motor
4. Penyangga Batang
Pengaduk
3
5. Kontrol Kecepatan
Pengaduk
6. Motor 1

Gambar 3.5 Rangkaian Alat Fermentasi

3.4.6 Prosedur Pemisahan


Hasil fermentasi diambil sebanyak 210 ml untuk selanjutnya, sebanyak 10
ml dianalisis kadar gula sisa dengan spektrofotometer UV-Vis dan 200 ml
campuran bioetanol dipisahkan dari mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae,
nutrisi dan larutan gula sisa, dengan cara menguapkan campuran bioetanol dan air
pada suhu 77-80 ºC dengan menggunakan vacuum rotary evaporator, kemudian
bioetanol yang terdapat di dalam campuran bioetanol dan air dianalisis
menggunakan alkoholmeter.
Gambar 3.6 Rangkaian Alat Vacuum Rotary Evaporator
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat, membandingkan dan


menguraikan pengaruh perolehan kadar glukosa akhir ampas sagu berdasarkan
perbedaan variasi ukuran bahan dan suhu hidrolisis menggunakan PARR reaktor
yang bekerja pada tekanan diatas 1 bar (Tekanan operasinya dipengaruhi oleh
suhu hidrolisis dimana pada saat suhu 120ºC, 140ºC, dan 160ºC, menghasilkan
tekanan rata rata sebesar 2,2bar, 4bar, dan 6,2bar) . Proses hidrolisis ini dilakukan
dengan menggunakan air sebagai reaktan yang akan bereaksi dengan lignoselulosa
dan pati sehingga akan memutuskan ikatan lignoselulosa atau disebut juga
dengan proses waterbatch thermal. Sebelum dilakukan proses hidrolisis ini,
ampas sagu yang akan digunakan dikarakterisasi terlebih dahulu untuk
mengetahui komposisi lignoselulosa dan pati yang terdapat pada ampas sagu.
Metode yang digunakan untuk menentukan kadar lignoselulosa ampas sagu adalah
metode Chesson-Datta. Bab ini juga akan memaparkan perolehan bioetanol hasil
fermentasi ampas sagu menggunakan yeast Saccharomyces cerevisiae.

4.1 Analisis Bahan Baku


Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas sagu yang
dihaluskan. Sebelum dilakukan proses hidrolisis dan fermentasi, bahan baku harus
dianalisa terlebih dahulu untuk mengetahui kadar pati, hemiselulosa, selulosa,
lignin dan abu. Adapun masing-masing kadar pati, hemiselulosa, selulosa, lignin
dan abu dari bahan baku yang telah dibedakan ukurannya menjadi 12 dan 60 mesh
diperoleh sebagai berikut:

43
44

Tabel 4.1 Komposisi Ampas Sagu 60 dan 12 mesh dalam %.


Komposisi 60 mesh (%) 12 mesh (%)

Pati 53,41 39,2


Hemiselulosa 9,89 7,5
Selulosa 25,38 11,3
Lignin 5,09 12,6
Abu 2,3 3,37
Lainnya 5,02 26,1

Pada Tabel 4.1 dapat dilihat hasil analisa kadar pati dari ampas sagu dengan
berbagai ukuran menunjukkan bahwa perbedaan ukuran ampas sagu memberikan
perbedaan hasil terhadap kadar pati, hemiselulosa, selulosa, lignin, serta kadar
abu dari ampas sagu yang diteliti. Kadar pati tertinggi diperoleh pada ampas sagu
dengan kehalusan 60 mesh yakni 53,41%, sedangkan kadar pati terendah
diperoleh pada ampas sagu dengan kehalusan 12 mesh yakni 39,2%.Untuk kadar
hemiselulosa, ampas sagu dengan kehalusan 12 mesh memiliki persentase yang
lebih rendah yakni 7,5% dibandingkan ampas sagu dengan kehalusan 60 mesh
yaitu sebanyak 9,89%.
Nishita dan Bean dalam Muhandri, (2007) menyatakan bahwa pada bahan
dengan ukuran mesh yang lebih kasar (12 mesh) Sebagian patinya masih terjebak
dalam satu pecahan biji sehingga pati sulit mengalami gelatinisasi. Semakin halus
dan semakin seragam ukuran tepung (60 mesh), maka proses gelatinisasi terjadi
pada waktu yang hampir bersamaan hal ini menyebabkan pati yang masih terjebak
akan lebih banyak terbebas sehingga kadar patinya akan semakin tinggi
Tingginya kadar pati pada ampas sagu dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya karena masih adanya pati (karbohidrat) yang tidak ter-ekstrak ketika
proses ekstraksi sagu dan tertinggal pada serat atau empulur sagu (limbah). Hal ini
dapat terjadi karena proses ekstraksi dari serat atau empulur sagu rumbia
dilakukan secara tradisional (contoh dari proses ekstraksi atau pencucian
menggunakan tangan manusia, (Polii, 2016)).
Kadar hemiselulosa ampas sagu 60 mesh dengan 12 mesh cenderung terlihat
berbeda yaitu hemiselulosa pada ampas sagu 60 mesh sebanyak 9,89% sedangkan
45

pada ampas sagu 12 mesh sebanyak 7,5%. Adanya perbedaan kadar hemiselulosa
pada ampas sagu kasar (12 mesh) dengan ampas sagu yang halus (60 mesh)
dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah proses pengecilan ukuran
partikel ampas sagu. Proses ini merupakan bagian proses pemutusan ikatan
lignoselulosa secara fisika. Pada ampas sagu yang halus (60 mesh) treatment
fisika untuk memisahkan pati, hemiselulosa, dan selulosa terjadi secara maksimal
akibat adanya pengecilan ukuran secara relatif menjadi partikel-partikel yang
berukuran lebih kecil sehingga kadar hemiselulosa pada ukuran 60 mesh akan
lebih mendominasi dibandingkan kadar hemiselulosa pada ukuran 12 mesh.
Pada ampas sagu yang halus (60 mesh) proses hidrolisis karbohidrat
menjadi gula sederhana akan lebih mudah karena penetrasi asam (H2SO4) ke
dalam butiran atau serbuk ampas sagu dapat terjadi dengan sendirinya sehingga
proses konversi karbohidrat menjadi gula akan maksimal, sebaliknya pada ukuran
ampas sagu yang lebih kasar (12 mesh) penetrasi asam ke dalam serat ampas sagu
tidak terjadi secara maksimal karena diameter bahan yang besar akan
mengakibatkan luas permukaan kontak menjadi lebih kecil sehingga tidak semua
bagian serat dari ampas sagu dapat dipenetrasi oleh asam yang akan merubah
karbohidrat menjadi gula sederhana (Polii,2016).
Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap kadar lignin dan selulosa
sebelum proses hidrolisis dengan memvariasikan ukuran partikel ampas sagu
menggunakan saringan mesh. Ampas sagu akan melewati proses delignifikasi
terlebih dahulu, yaitu proses penghilangan kadar lignin yang akan mengganggu
dalam proses mengkonversi selulosa. Lignin yang bertugas membentuk struktur
batang pada tumbuhan sagu dan sekaligus merupakan lapisan terluar dari batang
sagu akan menyelubungi selulosa yang terkandung di dalamnya (Agustian,2014).
Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa kadar selulosa dan lignin dari ampas sagu
dengan ukuran partikel 60 mesh dengan 12 mesh cenderung terlihat berbeda yaitu
selulosa pada ampas sagu 60 mesh sebanyak 25,38% sedangkan pada ampas sagu
12 mesh sebanyak 11,3%. Kadar lignin pada ampas sagu 60 mesh sebanyak
5,09% sedangkan pada ampas sagu 12 mesh sebanyak 12,6%.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka akan
semakin banyak selulosa yang dihasilkan, dan berbanding terbalik dengan kadar
46

lignin yang mengalami penurunan seiring dengan semakin kecilnya ukuran


partikel (Agustian,2014).
Menurut Sari dalam Agustian (2014) menyatakan Hal ini dapat terjadi
dikarenakan struktur lignin yang mengikat selulosa. Dalam kondisi asam, lignin
akan terkondensasi dan mengendap. Lignin memiliki gugus fungsi oksigen posisi
benzilat yang sensitif terhadap media asam dan memiliki kecenderungan untuk
melakukan kondensasi. Berkurangnya kadar lignin pada ampas sagu akan
memaksimalkan kontak katalis dalam proses konversi selulosa menjadi glukosa.

4.2 Pengaruh Ukuran Bahan dan Suhu terhadap Glukosa Hasil Hidrolisis
Waterbatch Thermal dengan Alat PARR reaktor
Pada tahapan hidrolisis untuk menghasilkan glukosa dilakukan dengan
prinsip hidrolisis waterbatch thermal atau tanpa menggunakan katalis yang
dioperasikan menggunakan alat PARR reaktor selama 4 jam. Pembahasan ini akan
menjabarkan prinsip proses hidrolisis waterbatch thermal tetap dapat terjadi
walaupun tanpa menggunakan katalis asam, basa maupun enzimatis serta
membahas pengaruh dari variasi suhu 120ºC, 140ºC dan 160ºC dengan variasi
ukuran bahan 60 dan 12 mesh terhadap glukosa yang dihasilkan. Hidrolisis yang
dilakukan hanya menggunakan air dengan panas yang dioperasikan menggunakan
alat PARR reaktor yang secara otomatis akan bekerja dengan memberikan
tekanan tertentu sesuai dengan tingkatan suhu yang telah ditentukan dan selama
waktu tertentu.
Bagian yang akan dimanfaatkan pada ampas sagu ini adalah selulosa.
Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, melainkan selalu
berasosiasi dengan hemiselulosa dan lignin. Lignin yang menyelubungi selulosa
akan menghambat air sebagai reaktan untuk menghidrolisis selulosa pada ampas
sagu. Pada penelitian ini pemberian variasi ukuran bahan, variasi suhu dan kondisi
operasi pada tekanan diatas 1 bar secara tidak langsung merupakan proses
pretreatment fisik. Metode ini akan memecah ikatan hidrogen dalam selulosa
kristal, pemutusan ikatan lignin dan hemiselulosa dari selulosa serta
meningkatkan luas permukaan selulosa untuk selanjutnya diikuti proses hidrolisis
secara waterbatch thermal (Mandadi et al.,2017).
Safitri et al (2016) mengatakan berdasarkan teoritis proses hidrolisis tetap
47

dapat terjadi walaupun tanpa menggunakan katalis. Hal ini sesuai dari hasil
penelitian yang telah dilakukan dimana pada Tabel 4.2 didapatkan konsentrasi
glukosa untuk setiap variasi hidrolisis dengan prinsip waterbatch thermal.
Mekanisme dari suatu proses hidrolisis waterbatch thermal ini yaitu terjadinya
reaksi pemecahan suatu molekul dengan air yang berfungsi sebagai reaktan. Hal
ini dikarenakan selulosa yang merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4
glikosida dalam rantai lurus, sehingga ketika selulosa dihidrolisis dengan air dan
pemanasan dalam rentang waktu tertentu maka ikatan-ikatan β-1,4 glikosida
tersebut akan terlepas dan akan menghasilkan glukosa. Reaksi yang terjadi pada
hidrolisis ini adalah sebagai berikut :
(C6H10O5)x + x H2O → x C6H12O6
(Eka et al., 2014)
Dalam penelitian ini, ampas sagu dikategorikan sebagai sumber selulosa. Dimana
reaksinya adalah :
(Ampas Sagu)x + x H2O xC6H12O6 (gula reduksi)
(Eka et al., 2014)
Sudiyani et al (2019) menambahkan ketika proses hidrolisis berlangsung
dalam larutan, air terurai menjadi kation hidrogen (H+) dan anion hidroksida
(OH−) yang selanjutnya akan bereaksi dengan ion senyawa lain yang
menyebabkan tertinggal atau berlebihnya kation hidrogen (H+) dan anion
hidroksida (OH−) sehingga larutan bersifat sedikit asam atau basa. Jika ion-ion air
tidak bereaksi dengan senyawa pada larutan tertentu, larutan tersebut akan tetap
bersifat netral (masih merupakan pH air). Pada penelitian yang telah dilakukan,
saat diuji pH nya menggunakan alat pH meter, setiap variasi sampel hasil
hidrolisis didapatkan hasil uji pH nya sedikit asam yaitu pada rentang pH 4.21-
4.67. Hal ini menunjukan jika ion-ion air pada hidrolisis yang dilakukan ini sudah
bereaksi dengan senyawa pada larutan yaitu selulosa dan pati.
Dari penelitian yang telah dilakukan. hasil konsentrasi glukosa yang untuk
setiap variasi ukuran bahan dan suhu dapat dilihat pada Tabel 4.2.
48

Tabel 4.2 Konversi Hasil Hidrolisis Waterbatch Thermal


Suhu (oC) Waktu (Menit) Konsentrasi Glukosa (g/L)

120 60 6.09
12 5.28

140 60 11.43
12 9.32

160 60 13.04
12 11.75

Dapat dilihat dari Tabel 4.2 bahwa kandungan glukosa pada ukuran bahan
yang lebih halus yaitu 60 mesh memiliki kandungan glukosa yang lebih tinggi
dari pada dilakukannya hidrolisis dengan ukuran bahan lebih besar yaitu 12 mesh
baik pada suhu 120ºC, 140ºC maupun 160ºC. Dimana hasil konsentrasi glukosa
paling kecil yaitu pada variasi suhu 120ºC dan dengan variasi ukuran bahan 12
mesh sebesar 5.28 g/L sedangkan hasil konsentrasi glukosa paling tinggi
ditunjukan oleh variasi suhu 160ºC dengan variasi ukuran bahan 60 mesh sebesar
13.04 g/L.
Fatmawati et al (2008) dalam jurnalnya menyatakan dengan semakin
kecilnya ukuran bahan tersebut maka akan semakin luas bidang kontak dari
larutan penghidrolisis yaitu air, dengan bantuan panas terhadap bahan tersebut
juga meningkatkan aksesibilitas dalam hal hidrolisis heterogen sehingga proses
hidrolisis akan semakin banyak terjadi dan menghasilkan gula pereduksi yang
besar pula. Pada variasi bahan lebih halus yaitu 60 mesh dan suhu lebih tinggi
yaitu 160ºC telah berlangsung proses hidrolisis yang lebih baik dari pada variasi
ukuran bahan dan suhu lainnya. Dimana selulosa yang sebelumnya sudah terpecah
oleh air sebagai reaktan dari polisakarida menjadi monosakarida yaitu glukosa
dengan pemberian variasi ukuran bahan yang lebih halus menyebabkan selain
memperluas bidang kontak secara tidak langsung terjadinya proses pemutusan
ikatan lignoselulosa secara fisika yang lebih sempurna dari pada bahan yang
partikelnya lebih kasar sehingga secara tidak langsung dapat menghilangkan
gangguan kristalinitas lignoselulosa (Monika, 2016)
Bila dihubungkan dengan prinsip perpindahan massa yaitu difusi, glukosa
yang sudah terpecah oleh proses hidrolisis ini selanjutnya akan berpindah atau
49

berdifusi sehingga terlarut dengan air. Kecepatan difusi juga akan dipengaruhi
oleh suhu yang tinggi. Difusi ini akan terus terjadi hingga seluruh glukosa yang
terpecah tersebar secara merata atau mencapai keadaan kesetimbangan dimana
perpindahan molekul tetap terjadi walaupun tidak ada perpindahan konsentrasi.
Holman dalam Rohmawati (2013) menyatakan prinsip hidrolisis dapat
dihubungkan dengan prinsip teori perpindahan massa secara fisika, dimana
koefisien dari perpindahan massa itu merupakan kecepatan spesifik dari
perpindahan massa per unit waktu, perluas kontak dan per unit beda konsentrasi.
Bila dikaitkan terhadap ukuran bahan baku maka bersesuaian dengan hukum Fick
tentang difusi, dimana dinyatakan bahwa fluks massa dari suatu konstituen per
satuan luas berbanding lurus dengan gradien suhu.

(Rohmawati, 2013)
Dengan D adalah konstanta proporsionalitas (tetapan kesebandingan) atau
koefisien difusi, NA adalah fluks massa persatuan waktu dan CA adalah konsentrasi
massa komponen A per satuan volume (Rohmawati, 2013).
Sedangkan bila dihubungkan secara lebih spesifik terhadap suhu
konsentrasi glukosa hasil hidrolisis yang telah dilakukan dengan penelitian yang
telah dilakukan peneliti lainnya dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pada variasi
suhu yang paling tinggi yaitu 160ºC kadar glukosa yang terbaca oleh alat
spektrofotometer UV-VIS juga lebih besar. Hal ini bersesuaian dengan penelitian
yang dilakukan oleh Trisakti et al (2015) yang melakukan hidrolisis termal
menggunakan bahan tepung ampas tebu pada variasi suhu 135ºC, 150ºC dan
165ºC didapatkan konsentrasi glukosa tertinggi pada suhu yaitu 165ºC selama 2
jam dengan persentase glukosa 4.14%. Di dalam jurnal nya juga dinyatakan
bahwa konsentrasi glukosa yang didapatkan akan meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu hidrolisis yang disebabkan oleh monomer-monomer gula
yang akan terlepas dari ikatannya seiring dengan meningkatnya suhu sehingga
perolehan konsentrasi glukosa pun semakin tinggi.
Mandagi et al (2010) juga melakukan penelitian dengan tahapan hidrolisis
secara termal atau tanpa katalis pada eceng gondok dengan memvariasikan suhu
operasi yaitu 143.7ºC, 173.7ºC dan 197.2ºC, % berat 6.4, 4,9 dan 3.9 serta waktu
50

1, 2 dan 3 jam. Dari penelitiannya didapatkan hasil optimum konsentrasi glukosa


pada suhu 197.2 ºC dengan %berat 4.9 dan waktu operasi 2 jam yaitu 10.225g/l,
dimana pada waktu 3 jam dengan variasi suhu kurva penelitiannya mengalami
penurunan seiring dengan naiknya suhu. Berdasarkan jurnal ini dikatakan bahwa
semakin tinggi suhu maka akan semakin meningkatkan konsentrasi glukosa yang
diperoleh namun bila mencapai waktu optimumnya dengan semakin tingginya
suhu maka perolehan konsentrasi glukosa akan semakin menurun oleh karena
gula-gula yang telah terdekomposisi menjadi furfural dan asam levulinat.
Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa masih terdapat peningkatan hasil
konsentrasi glukosa yang diperoleh seiring dengan meningkatnya suhu dari
120ºC, 140ºC dan 160ºC, hal ini menunjukan bahwa pada penelitian ini dengan
waktu hidrolisis selama 4 jam belum terjadinya dekomposisi dari gula-gula
menjadi furfural dan asam levulinat hingga suhu 160ºC. Hal ini diperjelas lagi
oleh Mayangsari dan ahmad (2014) yang menyatakan bahwa terdapat suhu
kesetimbangan termal yang artinya pada suhu tertentu dengan semakin naiknya
suhu maka nilai dari glukosa dapat menurun atau konstan akibat tumbukan antar
partikel partisi bisa berubah pada suhu yang terlalu tinggi dan waktu yang lama
sehingga tidak dapat lagi merubah suatu reaksi dan reaksi akan tetap serta tidak
terpengaruh lagi oleh suhu maka energi dalam larutan tersebut akan tetap sama.
Ini tentu akan berpengaruh pada pemecahan karbohidrat dalam lemna minor, jika
suhunya tidak lagi memberikan pengaruh pada pemecahan karbohidrat menjadi
glukosa maka tidak ada lagi reaksi pembentukan glukosa.
Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa hidrolisis waterbacth thermal
menggunakan alat PARR reaktor dengan variasi suhu 120ºC, 140ºC dan 160ºC
dan variasi ukuran bahan baku 60 dan 12 mesh dapat terjadi dan menghasilkan
konsentrasi glukosa. Menurut Trisakti et al (2015) di dalam Mandagi et al (2010)
hidrolisis termal dengan menggunakan medium pemanas berupa air akan
meningkatkan ketahanan akibat korosi dari asam atau basa terhadap peralatan
hidrolisis. Dengan hanya menggunakan air sebagai medium hidrolisis maka hanya
akan menghasilkan sedikit produk samping yang tidak diinginkan serta limbah
yang dihasilkan bersifat ramah lingkungan. Disamping itu dengan pemilihan jenis
hidrolisis ini maka tidak dibutuhkan lagi tambahan perlakuan lain atau tahapan
51

lanjutan seperti pemurnian, penyesuaian pH maupun penggunaan katalis.


4.3 Proses Fermentasi menghasilkan Bioetanol
Menurut Assegaf dalam moede, (2017) Proses fermentasi merupakan
proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerobik, yaitu proses
tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dipecah pada proses fermentasi
biasanya adalah karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi
oleh beberapa jenis bakteri tertentu. Prinsip dasar fermentasi adalah mengaktifkan
kegiatan mikroba tertentu yang bertujuan untuk mengubah sifat bahan agar dapat
menghasilkan suatu yang bermanfaat. Perubahan tersebut terjadi karena pada saat
proses fermentasi jumlah mikroba akan diperbanyak dan digiatkan
metabolismenya dalam waktu tertentu. Reaksi pembuatan bioetanol dengan
fermentasi sebagai berikut:
C6H12O6 → 2C2H5OH + 2 CO2
(Tokan, 2019)
Dalam tahap pertama fermentasi glukosa selalu terbentuk asam piruvat
melalui jalur glikolisis, yaitu merupakan rangkaian reaksi kimia yang akan
mengurai molekul glukosa (C6) menjadi asam piruvat, NADH2 dan 2 ATP. Pada
tahap kedua, asam piruvat yang terbentuk di dekarboksilasi (pelepasan dua
molekul CO2) sehingga menjadi dua molekul asetaldehid. Kemudian asetaldehid
dengan bantuan katalisator enzim alkohol dehidrogenase direduksi dengan
NADH2 menjadi bioetanol dan selanjutnya molekul NADH2 terdegradasi menjadi
NAD+ serta membebaskan energi (ATP). NAD+ yang terbentuk akan digunakan
untuk melanjutkan proses glikolisis (Campbell dalam Tokan, 2019).
Saccharomyces cerevisiae merupakan galur terpilih yang biasa digunakan
dalam fermentasi alkohol karena mempunyai toleransi yang tinggi terhadap
alkohol. Saccharomyces cerevisiae dapat memfermentasikan sukrosa menjadi
bioetanol pada kondisi netral atau sedikit asam dalam keadaan anaerob, pada
kondisi ini 10% glukosa dapat direspirasi menjadi CO2 dan menghasilkan kadar
bioetanol kurang dari 50% (Hawab dalam Moede, 2017).
Bahan baku yang digunakan dalam proses fermentasi pada penelitian ini
adalah glukosa yang merupakan hasil dari proses hidrolisis ampas sagu. Proses
fermentasi pada penelitian ini dilakukan menggunakan bantuan ragi
52

Saccharomyces cereviciae yang dilakukan secara batch dengan pengambilan


sampel secara continue setiap 24 jam selama 5 hari. Setelah proses fermentasi
untuk menghasilkan bioetanol selesai dilakukan, selanjutnya dilakukan analisis
konsentrasi gula sisa menggunakan metode Nelson-Somogyi dengan alat
spektrofotometer UV-Vis menggunakan panjang gelombang λ = 540 nm. Nilai
absorbansi yang diperoleh dari alat spektrofotometer UV-Vis kemudian
dikonversi ke dalam satuan g/L menggunakan persamaan yang diperoleh dari
kurva standar glukosa. Persamaan yang didapatkan berupa persamaan linier dalam
bentuk y = 0.6186 x + 0.0732. Selanjutnya Persamaan dikalibrasi dan nilai
absorbansi sampel hidrolisis dimasukkan ke persamaan sehingga persamaannya
menjadi x = (y-0.07320)/0.6186.
Proses fermentasi pada suhu yang terlalu rendah akan berlangsung secara
lambat. Sedangkan pada suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan mikroba
Saccharomyces cerevisiae mati sehingga proses fermentasi menjadi tidak dapat
berlangsung. Selain pH dan suhu, pemberian nutrisi juga mempengaruhi
tumbuhnya Saccharomyces cerevisiae (Moede, 2017).
Setelah proses fermentasi, alkohol yang terbentuk harus melalui tahap
pemurnian untuk mendapatkan bioetanol dengan tingkat kemurnian yang lebih
tinggi. Pada umumnya kadar alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi masih
rendah. Salah satu tahap pemurnian alkohol adalah destilasi. Penerapan proses ini
didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan akan menguap pada titik
didihnya. Proses perpindahan massa merupakan salah satu proses penting (Lestari
dalam Tokan, 2019).
Destilasi dilakukan untuk memisahkan bioetanol dari beer (yang sebagian
besar air dan bioetanol). Titik didih bioetanol murni adalah 78 0C sedangkan air
adalah 100 0C. Dengan memanaskan larutan pada suhu 780- 1000C akan
mengakibatkan sebagian besar bioetanol menguap, dan selanjutnya bioetanol
melalui tahap kondensasi sehingga akan dihasilkan bioetanol dengan konsentrasi
95% volume (LIPI dalam Tokan, 2019). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui
efektifitas dari ragi Saccharomyces cereviciae dalam mengkonversi gula menjadi
bioetanol. Pada proses fermentasi, jumlah mikroba juga akan dipengaruhi oleh
waktu fermentasi yaitu semakin lama fermentasi dilakukan maka jumlah mikroba
53

akan menjadi semakin banyak dan produksi bioetanol menjadi semakin tinggi.
Proses ini akan berakhir pada saat kadar bioetanol mencapai titik dimana
konsentrasinya tidak dapat ditolerir lagi oleh sel-sel khamir atau bakteri.
Tingginya kandungan bioetanol akan menghambat pertumbuhan khamir dan
hanya mikroba yang toleran terhadap alkohol saja yang dapat tumbuh.
Fermentasi yang dilakukan menggunakan ampas sagu sebagai substrat
dengan bantuan Saccharomyces cereviciae memperoleh kadar bioetanol tertinggi
sebesar 8,0% dengan waktu fermentasi selama 5 hari.

Gambar 4.2 Konsentrasi Bioetanol dari Hasil Fermentasi

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa dengan
bertambahnya waktu fermentasi maka kadar bioetanol yang dihasilkan akan
semakin tinggi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Proses fermentasi dilakukan menggunakan Saccharomyces cereviciae
sebanyak 4 gr dan kemudian kita dapat membandingkan hasil bioetanol yang
diperoleh terhadap waktu fermentasi yaitu 0 jam, 24 jam, 48 jam,72 jam, 96 jam
dan 120 jam dengan total waktu fermentasi selama 5 hari. kadar bioetanol
terendah terjadi pada waktu fermentasi 0 jam yaitu sebesar 1%. Hal ini terjadi
karena mikroba atau ragi masih berada pada fase adaptasi dan aktivitas mikroba
juga belum optimal untuk menguraikan glukosa menjadi bioetanol.
Gambar 4.2 menunjukan bahwa kadar bioetanol terus mengalami kenaikan
pada waktu fermentasi 24 jam (hari ke-1) sampai pada waktu 96 jam jam (hari ke-
54

4). Hal ini berarti pertumbuhan ragi pada waktu tersebut berada pada fase
eksponensial yaitu fase perkembangan ragi yang meningkat sehingga ragi bekerja
secara optimum untuk mengubah glukosa menjadi bioetanol (Agustina, 2016).
Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa bioetanol tertinggi
dihasilkan pada waktu fermentasi 96 jam yaitu sebesar 8,0%. Dan menurun pada
waktu fermentasi 120 jam. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu fermentasi 96
jam mikroba berada pada fase stasioner dan waktu paling optimum bagi mikroba
untuk dapat menguraikan glukosa menjadi bioetanol.
Penurunan kadar bioetanol pada waktu fermentasi 120 jam disebabkan
karena jumlah mikroba semakin menurun dan akan menuju ke fase kematian. Hal
ini terjadi karena bioetanol yang dihasilkan semakin banyak dan nutrien yang ada
semakin menipis, selain itu bioetanol yang dihasilkan telah teroksidasi lebih lanjut
menjadi asam karboksilat (Noviani dalam Agustina, 2016).
Hubungan antara waktu fermentasi terhadap penurunan konsentrasi glukosa
yang diperoleh pada setiap variasi pengambilan sampel fermentasi dapat dilihat
pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Konsentrasi Gula Sisa dari Hasil Fermentasi


Gambar 4.3 menunjukkan bahwa Semakin lama waktu fermentasi,
konsentrasi gula sisa pada media fermentasi akan semakin kecil yaitu pada waktu
fermentasi 0 jam konsentrasi gula sisanya sebesar 8,193 g/l sedangkan pada waktu
fermentasi 120 jam konsentrasi gula sisanya sebesar 1,403 g/l. Hal ini disebabkan
55

karena selama proses fermentasi berlangsung terjadi peristiwa pengurangan


glukosa sebagai substrat. Glukosa digunakan sebagai makanan untuk mikroba dan
pembentukan bioetanol sebagai produk fermentasi. Semakin besar jumlah
pengurangan glukosa maka bioetanol yang terbentuk pun akan semakin banyak,
sehingga kadar (%) dari bioetanol pun semakin besar (Budiarni,2013).
Rachman menyatakan dalam Rizki (2016) Bahwa semakin lama waktu
fermentasi, konsentrasi gula yang ada akan semakin berkurang. Hal ini
menunjukkan adanya penggunaan gula oleh yeast atau mikroba. Penurunan
konsentrasi gula tersebut terjadi karena yeast membutuhkan substrat untuk
pertumbuhan, baik memperbanyak maupun mempertahankan sel. Gula digunakan
oleh mikroba untuk beraktivitas sehingga menghasilkan bioetanol sebagai
metabolit primer.
Retno menyatakan dalam Rizki (2016) bahwa selain gula yang terdapat
dalam substrat akan dikonversi menjadi bioetanol, sebagian lainnya akan
digunakan sebagai sumber karbon untuk proses pertumbuhan mikroorganisme.
Berbeda dengan kadar bioetanol yang mula mula naik dan akan konstan
bahkan turun Ketika terjadi fase stasioner, Kadar glukosa sisa tidak menunjukkan
perubahan trend dalam grafiknya. Hal ini Terjadi karena setelah jam ke 96,
meskipun Saccharomyces cereviciae sudah banyak yang mati akibat intoleransi
alkohol, Saccharomyces cereviciae tetap menggunakan atau mengkonsumsi
glukosa untuk bertahan hidup (Kusumawati, 2012).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan

1. Ukuran bahan baku akan mempengaruhi kandungan pati dan lignoselulosa


pada bahan, semakin halus bahan maka kandungan pati dan selulosanya
akan semakin tinggi. Kadar pati tertinggi diperoleh pada ampas sagu
dengan kehalusan 60 mesh yakni 53,41%.
2. Semakin halus ukuran bahan baku dan semakin tinggi suhu hidrolisis
maka kadar glukosa yang didapatkan juga akan semakin tinggi. Kadar
glukosa tertinggi terdapat pada variasi ukuran bahan baku 60 mesh dengan
suhu 160ºC sebesar 13.04 g/L.
3. Kadar bioetanol dari hasil fermentasi menggunakan Saccharomyces
cereviciae tertinggi akan diperoleh seiring dengan lamanya waktu
fermentasi. Waktu optimum dapat dihasilkannya bioetanol dari glukosa
selama 96 jam yaitu sebanyak 8%.
5.2 Saran

1. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai bioetanol dengan


memanfaatkan limbah yang mengandung lignoselulosa lainnya.
2. Masih diperlukan penelitian mengenai proses hidrolisis pada berbagai
keadaan seperti asam, basa atau enzimatis.

56
DAFTAR PUSTAKA

Adisti, Fadly.W. 2016. Karakterisasi Pati Sagu (Metroxylon spp.) yang Berasal
Dari Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan, Papua Barat. Institut
Pertanian Bogor : Bogor.
Agustian, H.,dan Atiek Sri Redjeki. 2014. Pengaruh Ukuran Partikel Pelepah
Pisang Dan Konsentrasi Katalis H2SO4 Pada Proses Hidrolisis Terhadap
Konversi Selulosa Menjadi Bioetanol. Universitas Muhammadiyah :
Jakarta.
Astuti.,M, Hafiza, Elis.,Y, Agus,R.,W,Irfan,M.,N, Destiana.,M. 2014. Pedoman
Budaya Sagu. Direktorat Jenderal Perkebunan dan Kementerian Pertanian.
Bambang,W.,S. 2016. Studi Eksperimental Pengaruh Penggunaan Saccharomyces
cerevisiae terhadap tingkat Produksi Bioetanol dengan Bahan Baku Nira
Siwalan. Universitas Muhammadhiyah Yogyakarta : Yogyakarta.
Bian.,J, Feng.,P, Xiao,P.,P, Fang.,X, Run, C.,S, Jhon,F.,K. 2012. Isolation of
hemicelluloses from sugarcane bagasse at different temperatures:
Structure and properties. Institute of Biomass Chemistry and Technology,
Beijing Forestry University: Beijing, China
Budiarni,M dan Togu.2013. Pengaruh Variasi Waktu Fermentasi dan Berat ragi
terhadap Kadar Alkohol pada Pembuatan Bioetanol Limbah Padat tapioka
(Onggok). Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Caesy, C. P. 2018. Pengolahan Tepung Sagu dengan Fermentasi Aerobik
Menggunakan Rhizopus sp. Departemen Teknik Kimia, Fakultas
Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) :
Semarang.
Christophe.J.,B. 1996. Handbook of Pulping and Papermaking ISBN:
9780080533681. Academic Press
De Datta, S. K, 1981. Principles and Practices of Rice Production. New York,
N.Y. (USA): Jhon Wiley and Sons.34 hal.
Dewi, A. M. P. Mimin Y. K, Desi N. E. Yudi P. dan Purnama D. 2017. Ekstraksi
dan Karakteristik selulosa dari Limbah Ampas Sagu. Universitas Gadjah
Mada : Yogyakarta.

57
58

Eka,S.A.Desty,R dan Achmad,R. Konversi Rumput Laut Menjadi Monosakarida


Secara Hidrotermal. Jurnal Teknik POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN:
2337-3539 (2301-9271
Endah, R. D. 2007. Pengaruh Kondisi Fermentasi Terhadap Yield Etanol Pada
Pembuatan Bioetanol Dari Pati Garut. Gema Teknik : Semarang.
[ESDM] Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Indonesia Energy
Outlook. Departemen ESDM : Jakarta.
Estelita,E.,S. 2009. Isolasi Identifikasi Saccharomyces cerevisiae yang
diperbolehkan dari PG-PS Madukismo Yogyakarta yang digunakan dalam
Proses Fermentasi Bioetanol. Universitas Sanata Dharma : Yogyakarta.
Farra,P.,S, Liliya,N.,G, Hardjono.2019.Pengaruh Penambahan Nutrisi NPK dalam
Pembuatan Bioetanol dari Kulit Pisang Kepok dengan Proses Fermentasi.
Distilat Jurnal Teknologi Separasi : Malang
Fatmawati, A. N.,Soetono. N.,Chiptadi dan S., Natalia. 2008. Hidrolisis batang
Padi dengan Menggunakan Asam Sulfat Encer. Universitas Surabaya :
Surabaya.
Gafiera,I.,N, Farra,P.,S,Hardjono.2019.Pengaruh Penambahan Nutrisi Urea dalam
Pembuatan Bioetanol dari Kulit Pisang Kepok dengan Proses Fermentasi.
Distilat Jurnal Teknologi Separasi : Malang
Gustiari, S. koto M.,H. Rahman D., R. Ulfah M. 2018. Pembuatan Bioetanol dari
Ampas Sagu Menggunakan Ragi Tapai. Universitas Bung hatta: Padang.
Handoko, T, dan Arry. M. 2009. Pengaruh Ukuran Baume, Jenis dan Jumlah
enzim Glukoamilase terhadap Perolehan Bioetanol dari Sagu. Fakultas
Teknologi Industri Universitas Katolik Parahyangan : Bandung.
Harjadi, S.S. 1993. Pengantar Agronomi. Departemen Agronomi Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian bogor. P. 185.
Hua,J.,B, Teck,H.,L, Jin,H.,L, Jau,C.,L. 2020. Cellulose nanofibril-based aerogel
derived from sago pith waste and its application on methylene blue
removal.Chemical and Energy Engineering, Universiti Teknologi Malaysia
: Malaysia.
Idral, D.D., S. Marniati, dan Elida.2012.Pembuatan Bioetanol dari Ampas Sagu
dengan Proses Hidrolisis Asam dan Menggunakan Saccharomyces
59

Cerevisiae. Jurnal Kimia UNAND. Volume 1 Nomor 1. ISSN 2301-9921.


Surakarta.
Irwan,M.,R, Abdul,M,A.,N, Vinorharan.,R. 2020, Drying sago pith waste in a
fluidized bed dryer. Universiti Kebangsaaan Malaysia :Malaysia.
Kadek, Ni,A.,D. Amna.,H dan Bambang,A.,H.2018. Pengaruh Suhu dan Jenis
Asam pada Hidrolisis Pati Ubi Talas (Colocasia esculenta L. Schott)
terhadap Karakteristik Glukosa. Jurnal Rekayasa dan Manajemen
Agroindustri ISSN : 2503-488X Vol. 6, No.4, 307-315.
Kannan,S.,T, Abu,S.,A, Farid,N.,A.2014. Bioethanol production from sago pith
waste using microwave hydrothermal hydrolysis accelerated by carbon
dioxide. Universiti Malaysia Sarawak : Malaysia.
Kusumawati.,E dan Dianty,R,D.,K. Pengaruh Waktu Fermentasi terhadap
Bioetanol yang dihasilkan dari Tepung Sorgum Secara Fermentasi
Menggunakan ragi Roti. Politeknik Negeri Bandung : bandung.
Mandadi.,M, Yuanyuan.,T, Aqleem.,A.2017. Pretreatment of Lignocelollusic
Biomass Based on Improving Enzymatic Hydrolysis. Int. J. Appl. Sci.
Biotechnol. Vol 5(1): 1-11.
Mandagi.,R. Yoke.,A. Biana.,G. 2010. Optimasi Proses Perlakuan Awal dalam
Menyikapi Fraksi Hemiselulosa Eceng Gondok Menggunakan Metode
Hidrolisis Termal. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia
“Kejuangan” ISSN 1693 – 4393 Pengembangan Teknologi Kimia untuk
Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia : Yogyakarta.
Maryana,T.,F. 2010. Studi Reaksi Hidrolisis Glukosa untuk Menghasilkan
senyawa Asam Levulinat Menggunakan Katalis Homogen dan Katalis
Heterogen Asam. Universitas Indonesia : Jakarta.
Mayangsari.,V dan Ahmad.,A. 2014. Analisis Pengaruh Variasi Suhu dan Waktu
pada Proses Hidrolisis terhadap Kadar Glukosa dalam Pemanfaatan Lemna
minor sebagai Bioetanol. Jurnal Neutrino Vol. 7, No. 1.
Monika, D. Seema dan G. Sneh, 2016, Pretreatment of Lignocellulosic Biomass
for Bioethanol Production, Jurnal of Agricultural Science and Technology,
Vol. 5, Hal 2-3.
Muhandri, TJ .2007.Pengaruh Ukuran Partikel, Kadar Padatan, NaCl dan Na2CO3
60

Terhadap Sifat Amilografi Tepung Dan Pati Jagung. Staff Pengajar


FATETA-IPB : Bogor.
Nelson.S.1944. A photometric adaptation of the somogyi method for the
determination of glucose. J.Biol.Chem, 153, 375-380.
Nugraha A.,W. 2012. Pemanfaatan Limbah Sagu sebagai Bahan Baku Bioetanol.
Universitas Nasional ‘Veteran’ : Surabaya.
Orozco, A.M., D. Rooney, M.N.M. Ahmad, C. Mangwandi, 2011, Kinetic
Modelling of Dilute Acid Hyrolysis og Lignocellulosic Biomass, School of
Chemistry and Chemical Engineering, Queen’s University Belfast,
Northern Island, United Kingdom.
Polii, F .2016. Penelitian Pembuatan Etanol Dari Serat atau Ampas Sagu. Jurnal
Penelitian Teknologi Industri ISSN No.2085-580X Vol. 8 No. 1: 11-22.
Pushpamalar.,V, Langford,S.,J, Ahmad.,M, Lim,Y.,Y.2006. Optimization of
reaction conditions for preparing carboxymethyl cellulose from sago
waste. Monash University Malaysia : Malaysia.
Rahayu Yeni, Fitmawati, Herman. 2013. Analisis Keanekaragaman Sagu pada
Tiga Habitat di Pulau Padang Kepulauan Meranti. Universitas Semarang :
Semarang.
Rahim dan Dicka. 2009. Produksi Etanol Oleh (Saccharomyces cerevisiae var.
ellipsoideus) Dari Sirup Dekstrin Pati Sagu (Metroxylon sp.)
Menggunakan Metode Aerasi Penuh dan Aerasi Dihentikan. Institut
Pertanian Bogor : Bogor.
Rizki.,Y, Syaiful.,B, Chairul. Fermentasi Larutan Glukosa untuk Produksi Etanol
dengan Teknik Immobilisasi Saccharomyces cerevisiae. . Jom FTEKNIK:
Pekanbaru.
Rezky,M, Chairul dan Irdoni. 2014. Pembuatan Bioetanol dari Nira Nipah dengan
Penambahan Tween 80 dan Ergosterol pada Proses Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cereviceae. Jom FTEKNIK: Pekanbaru.
Rosa,A., D. B,Jorge A.,T.M dan Ricardo.,A.L.2015. Production of bioethanol
from Agro-industria Wastes. Mexico
Rutz D, Rainer Jansen. 2008. Biofuel Tecnology Handbook 2nd Version.
Sylvensteinstr. 281369 : Munchen Germany.
61

Safitri, R., I.D. Anggita, F.M. Safitri, dan A.A.I. Ratnadewi, 2016, Pengaruh
Konsentrasi Asam Sulfat dalam Proses Hidrolisis Selulosa dari Buah Naga
Merah (Hylocereus costaricensis) untuk Produksi Bioetanol, 9th Industrial
Research Workshop and National Seminar, Universitas Jember.
Subagiyo, Sebastian.,M, Triyanto.2015. Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis
Sumber Karbon, Nitrogen Dan Fosfor pada Medium deMan, Rogosa and
Sharpe (MRS) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat Terpilih Yang
Diisolasi Dari Intestinum Udang Penaeid.Jurnal Kelautan Tropis
Desember 2015 Vol. 18(3):127–13.
Sudiyani, Y., Aiman, S., dan Mansur, D. 2019. Perkembangan Bioetanol G2:
Teknologi dan Perspektif :Jakarta: LIPI Press. ISBN 978-602-496-070-4.
Supatmawati. 2010. Rekayasa Bioproses Produksi Bioetanol Dari Hidrolisis Pati
Sagu (Metroxylon spp.) Menggunakan (Saccharomyces Cerevisiae Var.
Ellipsoides) Pada Kultivasi Nir-Sinambung Dan Semi Sinambung. Institut
Pertanian Bogor : Bogor.
Tirta Parama W.W.K, Novita Indrianti, Riyanti Ekafitri.(2013). Potensi Tanaman
Sagu (Metroxylon sp.) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Indonesia.
Balai Pengembangan Teknologi : Subang
Triantarti dan Hendro,S.,M.2007. Pengaruh Substitusi Terhadap Sukrosa Murni
Oleh Nira Tebu Sebagai Sumber Karbon pada Fermentasi Produksi
Dekstran. Jurnal ILMU DASAR, Vol. 8 No. 2, Juli 2007 : 193-198
Trisakti.,B. Yustina.B.,S.Irvan. 2015. Pembuatan Bioetanol dari Tepung Ampas
Sagu melalui Proses Hidrolisis Termal dan Fermentasi secara Recycle
Vinasse (Pengaruh Konsentrasi Tepung Ampas Tebu, Suhu dan waktu
Hidrolisis). Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 4, No. 3
Tokan,Paulus Bala. 2019. Pengaruh Pengaturan PH Dalam Fermentasi Air Kelapa
Tua (Cocos nucifera L.) Terhadap Kadar Etanol Terdistilasi. Fakultas
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma : Yogyakarta.
United States Departemen of Agriculture (USDA). 2005. Nutrient Database for
Standard Reference.
62

Winarni I, Waluyo T K, Komarayati S. 2018. Pembuatan Bioetanol dari Empulur


dan Limbah Serat Sagu dengan Metode Kimiawi dan Enzimatis. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan Vol. 37 No. 1, Maret 2019: 43-5
Wiraguna, Edi. 2009. Taksasi Produksi Tanaman (Metroxylon spp.) Di P.T.
National Timber and Forest Product Unit HTI Murni Sagu, Selat Panjang,
Riau. Institut Pertanian Bogor : Bogor.
LAMPIRAN A
PROSEDUR ANALISIS KADAR GLUKOSA DENGAN SAMOGYI
NELSON

A. Prosedur Analisis Kadar Glukosa


Pengukuran kadar glukosa dilakukan berdasarkan metode Nelson Somogyi
(Sudarmadji, 1997), dimana langkah-langkah yang dilakukan yaitu 2 gram sampel
yang telah dihidrolisis, disaring dengan kertas saring, lalu filtrat yang dihasilkan
dilakukan pengujian kadar glukosa. Sebanyak 1 mL filtrat yang telah diencerkan
dicampur dengan 1 mL larutan Reagen Nelson, dipanaskan selama 20 menit
sampai mendidih, didinginkan, ditambahkan 1 mL larutan arsen, dilakukan
pengadukan dan ditambah dengan 7 mL air destilat. Selanjutnya dilakukan
pengukuran dengan Spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm untuk
mendapatkan nilai absorbansi. Secara lengkap dapat dilihat pada Gambar A.1.

1 ml filtrat hidrolisis

1 ml reagen Dipanaskan selama


(nelson A – nelson B) 20 menit

Homogenasi 1 ml arsenomolibdat

7 ml akuades Homogenkan

Absorbansi diukur
dengan spektrofotometer
UV-VIS

Hitung kadar glukosa

Gambar A.1 Diagram Alir Analisis Kadar Glukosa (Nelson, 1944)

63
64

A.1 Pembuatan Reagen Somogyi-Nelson


Reagen Nelson A dibuat dengan cara melarutkan 12,5 gram garam
Rochelle, 12,5 gram natrium karbonat anhidrat, dan 100 gram natrium sulfat
anhidrat pada 350mL aquades. Kemudian ditambahkan lagi aquades hingga
volumenya 500 mL. Reagen Nelson B dibuat dengan cara melarutkan 7,5 gram
CuSO4.5H2O dengan 50 mL aquades dan ditambahkan 1 tetes asam sulfat pekat,
kemudian di aduk sampai larut. Reagen Nelson-Samogyi dibuat dengan cara
mencampurkan 25 mL Reagen Nelson A dan 1 mL Reagen Nelson B dan dibuat
sewaktu akan menganalisis.

A.2 Pembuatan Larutan Arsenomolibdat


Reagen Arsenomolibdat dibuat dengan cara melarutkan 25 gram
ammonium molibdat pada 450 mL aquades dan ditambahkan 21 mL asam sulfat
pekat. Pada wadah lain 3 gram disodium hidrogen arsenat dilarutkan dalam 25 mL
air suling, kemudian larutan ini dituangkan ke dalam larutan pertama. Larutan
disimpan dalam botol berwarna coklat dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24
jam. Reagen ini baru bisa digunakan setelah masa inkubasi tersebut, ditandai
dengan reagen berwarna kuning.

A.3 Perhitungan Pembuatan Standar Glukosa


Standar glukosa dibuat dengan langkah-langkah berikut: 1 gram glukosa
dilarutkan dengan aquades sebanyak 100 mL dalam gelas kimia kemudian
dipindahkan ke dalam labu takar 10 mL, sisa larutan yang terdapat di gelas kimia
dibilas berulang kali dengan aquades sampai bersih hingga volume larutan pada
labu takar tepat pada garis batas. Larutan ini disebut larutan induk 1000 mg/L
(1000 ppm). Dari larutan induk kemudian diencerkan menjadi 250 mg/L (250
ppm). Larutan ini dibuat larutan standar glukosa 20, 40, 60, 80 dan 100 mg/L
dengan rumus pengenceran:
V1.N1 = V2.N2 .............................................(A.1)

A.4 Penyiapan Larutan Standar Glukosa


Enam tabung reaksi disiapkan, masing-masing diisi dengan 1 mL larutan
glukosa standar tersebut. Satu tabung diisi 1 mL aquades sebagai blanko.
Penambahan Reagen Samogyi-Nelson ke dalam masing-masing tabung dan
65

dipanaskan pada penangas air mendidih selama 20 menit. Setelah dipanaskan,


semua tabung didinginkan bersamaan ke dalam gelas piala yang berisi air dingin.
Setelah didinginkan, 1 mL Reagen Arsenomolibdat ditambahkan, di aduk sampai
semua endapan Cu2O yang ada larut kembali. Setelah semua endapan Cu2O larut
sempurna, ditambahkan 7 mL aquades, di aduk sampai homogen. Masing-masing
larutan diukur absorbannya menggunakan Spektrofotometer Uv-Vis dengan
panjang gelombang maksimal. Kurva standar dibuat hubungan antara konsentrasi
dengan absorban.

A.1.5 Pengukuran dengan Spektrofotometer UV-VIS


Hasil analisis diukur dengan Spektrofotometer Uv-Vis pada panjang
gelombang 540 nm, hingga didapat nilai absorban dari sampel. Kemudian
konsentrasinya memakai kurva kalibrasi standar glukosa sehingga diperoleh hasil
perhitungan konsentrasi glukosa dalam mg/L.
LAMPIRAN B
ANALISIS LIGNOSELULOSA BAHAN BAKU METODE CHESSON –
DATTA

1. Prosedur Analisis Chesson – Datta


Kandungan selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang terkandung dalam
bahan baku dianalisis dengan menggunakan metode Datta yang dikemukakan oleh
Chesson (1981). Tahapan metode Datta adalah :
1. Satu gram sampel kering (berat a ) ditambahkan 150 mL H2O dan
direfluk pada suhu 100oC selama 2 jam. Hasilnya disaring dan
dikeringkan dengan oven sampai beratnya konstan kemudian ditimbang
(berat b)
2. Residu ditambah 150 mL H2SO4 1N, kemudian direfluk selama 2 jam
pada suhu 100oC
3. Hasilnya disaring dan residu dikeringkan hingga beratnya konstan, Berat
ditimbang (berat c )
4. Residu kering ditambahkan 10 mL H2SO4 72% dan direndam pada suhu
kamar selama 4 jam. Kemudian ditambahkan aquades hingga mencapai
volume 240 mL dan direfluk pada suhu 100oC selama 2 jam
5. Residu disaring dan dikeringkan dengan oven pada suhu 150oC sampai
beratnya konstan dan ditimbang (berat d )
6. Tahap terakhir residu dikeringkan dengan oven selama 4 sampai 6 jam
dan beratnya ditimbang (berat e).
7. Sampel terakhir di abukan dengan menggunakan furnace pada suhu 550oC
selama 4 jam.
2. Pengenceran Larutan
Asam sulfat N
H2SO4 97% = 36 N
V1 N1 = V2 N2
V1 36 N = 100 mL . 1 N
V1 = 2,778 mL

66
67

Asam sulfat 72%


V1 N1 = V2 N2
V1 97% = 100 mL X 72%
V1 = 74,227 M
LAMPIRAN C
PROSEDUR PENGUJIAN KADAR PATI

1. Sebanyak 2 gram sampel ditimbang direndam dengan menggunakan larutan


hexane yang bertujuan untuk menghilangkan lemak pada sampel selama 30
menit.
2. Padatan dihidrolisis di dalam erlenmeyer dengan penambahan aquades
sebanyak 200 ml dan HCl 30% 20 ml selama 1 jam.
3. Larutan hidrolisis ditambahkan fenoftalein sebanyak 3 tetes, ditambahkan
NaOH 30% sehingga larutan berubah warna menjadi merah bata.
4. Padatan dan filtrate dipisahkan menggunakan kertas saring.
5. Sebanyak 10 ml filtrate dimasukkan ke dalam erlenmeyer ditambahkan 10 ml
larutan luff schroll ( ini merupakan larutan sampel).
6. Sebanyak 10 ml aquades dimasukkan kendala erlenmeyer ditambahkan 10 ml
larutan luff schroll (ini merupakan larutan blanko)
7. Larutan sampel dan blanko dipanaskan hingga mendidih, setelah mendidih
larutan didinginkan selama 5 menit.
8. Larutan sampel dan blanko ditambahkan 10 ml kalium iodide dan asam sulfat
9. Larutan sampel dan blanko dititrasi dengan menggunakan natrium tiosulfat,
setelah warna larutan berubah menjadi coklat muda, ditambahkan fenolftalein
sehingga berubah menjadi putih susu.
10. Dicatat volume natrium tiosulfat yang dugunakan.

68
LAMPIRAN D
PROSEDUR PENGGUNAAN ALKOHOLMETER

Alkoholmeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur berat jenis dari
cairan, yaitu rasio cairan dengan densitas air. Alkoholmeter biasanya terbuat dari
kaca dan sebuah silinder dan bola pembobotan dengan merkuri untuk
membuatnya mengapung. Prosedur penggunaanya adalah :
1. Cairan yang akan diuji dituangkan ke dalam gelas ukur 100 mL.
2. Masukkan alkoholmeter ke dalam gelas ukur 100 mL dan alkoholmeter
dengan perlahan diturunkan ke dalam cairan hingga sampai mengapung
bebas.
Titik dimana permukaan cairan menyentuh alkoholmeter yang dicatat. Di
dinding alkoholmeter biasanya terdapat skala pengukuran sehingga %(v/v) dapat
dibaca secara langsung.

LAMPIRAN E

69
PENGOPERASIAN ALAT AUTOCLAVE

Prosedur penggunaan alat autoclave adalah sebagai berikut :


1. Periksa kondisi autoclave, apakah terdapat kebocoran atau gangguan
lainnya.
2. Air diisi ke dalam autoclave sekitar ¼ dari tinggi autoclave.

3. Waktu dan suhu autoclave diatur pada 121 selama 15 menit.

4. Alat-alat yang ingin disterilkan dimasukkan ke dalam autoclave

5. Hidupkan autoclave, pada saat suhu telah mencapai 121 , lakukan

sterilisasi selama 15 menit.


6. Matikan autoclave setelah waktu sterilisasi selesai.

70
LAMPIRAN F
PRINSIP KERJA VACUUM ROTARY EVAPORATOR

Rotary evaporator adalah instrumen yang menggunakan prinsip distilasi


(pemisahan). Prinsip utamanya adalah terletak pada penurunan tekanan sehingga
pelarut dapat menguap pada suhu di bawah titik didihnya. Prosedur penggunaan
rotary evaporator adalah sebagai berikut :
1. Waterbatch diisi dengan aquades dan selalu diganti secara berkala.
2. Labu pengumpul dan labu sampel diberi vaselin sebelum dimasukkan
supaya mudah dilepas saat operasi selesai.
3. Kedua labu dimasukkan.
4. Pompa vacum, waterbatch dan aliran air dihidupkan.

5. Diatur suhu menjadi 80-85 , tunggu sampai labu pengumpul terisi oleh

larutan campuran bioetanol air.


6. Setelah operasi selesai, matikan alat dengan aman.

71
LAMPIRAN G
HASIL DATA PENELITIAN

G.1 Pengujian Kadar Pati Ampas Sagu

G.1.1 Sampel 60 mesh


Massa sampel = 2,0213 gr
Volume titrasi sampel = 9,9 mL
Volume titrasi blanko = 11,6 mL

Volume titrasi

= 11,6 - 9,6
= 2 mL
Data dilihat dari tabel Luff schroll diperoleh data sebagai berikut :
2 mL = 4,8 mg (Nilai data luff schroll)

Pengenceran sampel

Kadar Pati

G.1.1 Sampel 12 mesh


Massa sampel = 2 gr
Volume titrasi sampel = 18,9 mL
Volume titrasi blanko = 23,5 mL

Volume titrasi

= 23,5 - 18,9
= 4,6 mL

72
Data dilihat dari tabel Luff schroll diperoleh data sebagai berikut :
5 mL = 12,2 mg (Nilai data luff schroll)

Pengenceran sampel

73
74

Kadar Pati

G.2 Uji Kadar Lignoselulosa


Setelah dilakukan pengujian didapatkan perolehan uji kadar lignoselulosa
sebagai berikut ini
G.2.1 Sampel 60 mes
Uji kadar lignoselulosa digunakan dengan metode Chesson-Datta
Data digunakan rumus sebagai berikut :

1. Hemiselulosa

2. Selulosa

3. Lignin

4. Abu

Dimana :
a : Berat sampel (gram) = 2,001 gram
b : Berat residu pada penimbangan pertama ( gram) ` = 1,809 gram
c : Berat residu pada penimbangan kedua (gram) = 1,301 gram
d : Berat residu pada penimbangan ketiga (gram) = 1,103 gram
e : Berat residu pada penimbangan keempat ( gram ) = 1,001 gram
75

1. Hemiselulosa

2. Selulosa

3. Lignin

4. Abu

Tabel G.1 Komposisi Ampas Sagu 60 Mesh Hasil Analisis


Komposisi Kadar (%)
Pati 53,41
Hemiselulosa 9,89
Selulosa 25,38
Lignin 5,09
Abu 2,3
Lainnya 5,02

G.2.2 Sampel 12 mesh


Uji kadar lignoselulosa digunakan dengan metode Chesson-Datta
Data digunakan rumus sebagai berikut :
76

1. Hemiselulosa

2. Selulosa

3. Lignin

4. Abu

Dimana :
a : Berat sampel (gram) = 6,00 gram
b : Berat residu pada penimbangan pertama ( gram) ` = 7,39 gram
c : Berat residu pada penimbangan kedua (gram) = 5,35 gram
d : Berat residu pada penimbangan ketiga (gram) = 4,00 gram
e : Berat residu pada penimbangan keempat ( gram ) = 1,73 gram

1. Hemiselulosa

dibagi 3 = 7,5 %

2. Selulosa

3. Lignin

dibagi 3 = 12,6 %
77

4. Abu

dibagi3= 3,36%

Tabel G.2 Komposisi Ampas Sagu 12 Mesh Hasil Analisis


Komposisi Kadar (%)
Pati 39,2
Hemiselulosa 7,5
Selulosa 11,3
Lignin 12,6
Abu 3,37
Lainnya 26,1

G.3 Pembuatan Kurva Standar Glukosa


Kurva standar glukosa digunakan untuk mendapatkan persamaan yang
digunakan untuk mengukur konsentrasi gula baik konsentrasi awal maupun
konsentrasi gula pada saat proses fermentasi berlangsung. Kurva standar glukosa
dapat dilihat pada Gambar H.1 berikut ini :
Tabel G.3 Nilai absorbansi Larutan Glukosa Standar
Sampel Absorbansi
x A
0 0
0.1 0.14
0.2 0.26
0.4 0.35
0.6 0.45
0.8 0.56
1 0.67

G.3.1 Pembuatan Glukosa Standar


Prosedur pembuatan larutan standar untuk kurva kalibrasi adalah sebagai
berikut :
78

1. Membuat larutan induk dengan konsentrasi 1 mg/mL (1000 ppm), dengan


menimbang 1 g glukosa anhidrat dan dilarutkan dengan 1000 mL aquades
di dalam labu ukur.
2. Dari larut induk tersebut dilakukan pengenceran sehingga diperoleh
larutan glukosa dengan konsentrasi 0,1; 0,2; 0,4; 0,5; 0,8; dan 1 mg/mL.
Larutan dibuat dengan persamaan:
V1 × M1 = V2 × M2

a. Larutan Glukosa dengan Konsentrasi 0,1 mg/mL

V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 1 mg/mL = 100 mL x 0,1 mg/mL

V1 = 10 mL

b. Larutan Glukosa dengan Konsentrasi 0,2 mg/mL

V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 1 mg/mL = 100 mL x 0,2 mg/mL

V1 = 20 mL

c. Larutan Glukosa dengan Konsentrasi 0,4 mg/mL


V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 1 mg/mL = 100 mL x 0,4 mg/mL

V1 = 40 mL

d. Larutan Glukosa dengan Konsentrasi 0,6 mg/mL


V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 1 mg/mL = 100 mL x 0,6 mg/mL

V1 = 60 mL

e. Larutan Glukosa dengan Konsentrasi 0,8 mg/mL


V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 1 mg/mL = 100 mL x 0,8 mg/mL

V1 = 80 mL
79

f. Larutan Glukosa dengan Konsentrasi 1 mg/mL


V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 1 mg/mL = 100 mL x 1 mg/mL
V1 = 100 mL

Gambar G.1 Kurva Standar Glukosa

Berdasarkan kurva pada Gambar G.1 diperoleh persamaan garis yaitu


sebagai berikut :

Y = ax + b....................................................(H.1)

Persamaan ini digunakan untuk menentukan konsentrasi glukosa larutan


sampel pada penelitian ini dimana y adalah nilai absorbansi pada λ = 540 nm dan
x adalah konsentrasi gula dalam g/L

G.4 Konsentrasi Gula Awal Hasil Hidrolisis


Tabel G.4 Konsentrasi Awal Variasi Suhu dan Waktu Hidrolisis
Suhu Ukuran bahan faktor pengenceran Konsentrasi glukosa(g/l)
(ºC) (mg/ml)
120 60 6.091173618 6.091173618
12 5.282896864 5.282896864
140 60 11.42580019 11.42580019
12 9.324280634 9.324280634
160 60 13.0423537 13.0423537
12 11.7491109 11.7491109

Diketahui : Persamaan kurva larutan standar


80

y = ax + b
y = 0.6186x + 0.0732
dimana : x = konsentrasi gula (g/L)
y = absorbansi (A)

Dengan adanya pengenceran maka persamaan diatas perlu dikalibrasi


dengan faktor pengenceran, sehingga menjadi :

................................................(H.2)

Contoh perhitungan pada variasi hidrolisis dengan variasi ukuran bahan 60 mesh
pada suhu 1600C. Nilai absorbansi 0.88 (A), nilai absorbansi dimasukkan dalam
persamaan sehingga didapat konsentrasi gula awal yaitu sebagai berikut :

Di dalam satuan g/L dapat dikonversikan sebagai berikut:

G.5 Konsentrasi Gula Sisa Hasil Fermentasi

Dari hasil penelitian ini setelah dilakukan pengujian didapatkan


konsentrasi gula sisa fermentasi seperti pada Tabel K.5

Tabel G.5 Konsentrasi Gula Sisa Fermentasi


Fermentasi Absorbansi Konsentrasi Glukosa (g/L)
0 Jam 0,58 8.192693178
24 Jam 0,55 7.707727126
48 jam 0,46 6.252828969
72 jam 0,43 5.767862916
96 Jam 0,31 3.827998707
120 Jam 0,16 1.403168445

G.6 Konsentrasi Bioetanol


Berikut Tabel K.6 memaparkan hasil konsentrasi bioetanol yang diperoleh
Tabel G.6 Konsentrasi Bioetanol
81

Fermentasi Konsentrasi Glukosa Konsentrasi Bioetanol


(g/L) (%)

0 Jam
8.192693178 1
24 Jam
7.707727126 3
48 jam
6.252828969 4
72 jam
5.767862916 7
96 Jam
3.827998707 8
120 Jam
1.403168445 5

G.6.1 Konsentrasi Bioetanol Teoritis

Faktor konversi glukosa-bioetanol

C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2 + Energi

BM C6H12O6 = 180,16 gram/mol


BM 2 C2H5OH = 46,07 gram/mol

1 mol glukosa akan menghasilkan 2 mol bioetanol, sehingga fermentasi 1 gram


glukosa akan menghasilkan bioetanol sebanyak:

Sehingga konsentrasi bioetanol teoritis dapat diukur menggunakan persamaan


sebagai berikut:

Konsentrasi bioetanol teoritis = Konsentrasi gula × 0,5114

Contoh:
perhitungan pada fermentasi selama 0 jam proses. Konsentrasi gula
8.192693178 g/L , maka konsentrasi alkohol teoritis sebagai berikut:

Konsentrasi bioetanol teoritis = 8.192693178 g/L × 0,5114 = 4,18974329 g/L

Tabel G.7 Hasil Bioetanol pada Proses Fermentasi


82

Waktu Konsentrasi Alkohol (%) Etanol Teoritis (g/L)


Fermentasi Glukosa(g/L)
( Jam)
0 8.192693178 1 4.189743291
24 7.707727126 3 3.941731652
48 6.252828969 4 3.197696735
72 5.767862916 7 2.949685095
96 3.827998707 8 1.957638539
120 1.403168445 5 0.717580343

G.6.2 Konsentrasi Etanol yang Dihasilkan


Konsentrasi etanol yang dihasilkan dihitung dengan persamaan sebagai
berikut:

Contoh perhitungan pada variasi 96 jam pada proses fermentasi. Diketahui


konsentrasi alkohol yang didapat dari analisis menggunakan alkohol meter 8%
pada waktu fermentasi 96 jam maka sebagai berikut:

8% v/v = 8 mL alkohol dalam 100 mL alkohol air

= 8 mL/100 mL

0,063144 63,144

Yield etanol yang menghasilkan dihitung dengan membandingkan kadar


etanol yang diperoleh dari penelitian dengan konsentrasi etanol teoritis pada setiap
variasinya. Contoh perhitungan pada fermentasi 96 jam. Diketahui konsentrasi
alkohol yang didapat dari analisis menggunakan alkohol meter 8% pada waktu
fermentasi 96 jam maka sebagai berikut:

Konsentrasi alkohol teoritis = 1.957638539 g/L

Konsentrasi alkohol didapat = 63,144


83

Maka untuk menghitung yield bioetanol pada waktu 96 jam sebagai berikut
LAMPIRAN H
TABEL DATA LUFF SCHROL

Tabel H.1 Tabel Data Luff Schroll


mL Tiosulfat Mg Gula mL Tiosulfat Mg Gula
1 2.4 13 33,0
2 4,8 14 35,7
3 7,2 15 38,5
4 9,7 16 41,3
5 12,2 17 44,2
6 14,7 18 47,1
7 17,2 19 50,0
8 19,8 20 53,0
9 22,4 21 56,0
10 25,0 22 59,1
11 27,6 23 62,2
12 30,3 24 -
Sumber : Departemen Perindustrian Republik Indonesia (1975)
Faktor untuk sukrosa = 0,95
Faktor untuk pati = 0,9

LAMPIRAN I

84
DOKUMENTASI

Gambar I.1 : Ampas Sagu Gambar I.2 : PARR reaktor

Gambar I.3 : Sampel Hidrolisis Gambar I.4 : Larutan Hidrolisis

85
86

Gambar I.5 : Spektrofotometer UV-VIS Gambar I.6 : Hasil Uji Kadar Glukosa

Gambar I.7 : Autoclave Gambar I.8 : Inokulum


87

Gambar I.9 : Proses Fermentasi Gambar I.10 : Proses Evaporasi

Gambar I.11 : Hasil Evaporasi Gambar I.12 : Uji Alkoholmeter

Anda mungkin juga menyukai