Anda di halaman 1dari 115

SKRIPSI

EFISIENSI PROSES PENGERINGAN TAPIOKA


DI PT UMAS JAYA AGROTAMA
TERBANGGI BESAR – LAMPUNG TENGAH

Oleh :
DENI PRASOJO
F24050261

2009
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
EFISIENSI PROSES PENGERINGAN TAPIOKA
DI PT UMAS JAYA AGROTAMA
TERBANGGI BESAR – LAMPUNG TENGAH

Oleh
DENI PRASOJO
F24050261

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

2009
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

EFISIENSI PROSES PENGERINGAN TAPIOKA


DI PT UMAS JAYA AGROTAMA
TERBANGGI BESAR – LAMPUNG TENGAH

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
DENI PRASOJO
F24050261

Dilahirkan pada 29 Juni 1987


Di Sriagung, Lampung Tengah
Tanggal Lulus :

Menyetujui,
Bogor,

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS Tisa Virgiandriati, STP


Dosen Pembimbing Pertama Dosen Pembimbing Kedua

Menyetujui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


Ketua Departemen ITP
Deni Prasojo. F24050261. Efisiensi Proses Pengeringan Tapioka di PT. Umas
Jaya Agrotama, Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Di bawah bimbingan Tien R.
Muchtadi dan Tisa Virgiandriati.

RINGKASAN
PT. Umas Jaya Agrotama adalah perusahaan pengolahan tapioka yang
terletak di Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Perusahaan ini satu grup dengan
PT. Great Giant Pineapples, yaitu grup Gunung Sewu. Didalam pengolahan
tapioka, PT. Umas Jaya Agrotama menggunakan sistem pengeringan Flash
Drying, yaitu dengan menggunakan udara sebagai media pengeringan. Biaya
pengeringan di PT. Umas Jaya Agrotama masih merupakan aspek biaya produksi
yang tertinggi, kedua setelah biaya bahan baku.
Permintaan tapioka di Indonesia cenderung meningkat karena peningkatan
jumlah industri makanan yang menggunakan bahan baku tapioka. Saat ini,
produksi tapioka Indonesia belum dapat memenuhi pasar dengan maksimal karena
setiap tahun meningkat 10% atau 1,3 juta ton pertahun. Sementara 70% produksi
dihasilkan dari Pulau Sumatra, sedangkan 30% merupakan produksi Pulau Jawa
dan Sulawesi. Hal tersebut mengindikasikan masih luasnya potensi usaha dan
permintaan tapioka di Indonesia
Pengeringan merupakan tahapan proses pengolahan tapioka yang cukup
penting. Salah satu metode pengukuran efisiensi untuk pengeringan udara adalah
dengan melihat keseimbangan panas udara, dengan memperlakukan unit
pengering sebagai sistem adiabatik sehingga tidak ada pertukaran panas dengan
lingkungan. Nilai efisiensi energi pengeringan dapat dihitung dengan
rumus : ή = (T1-T2)/(T1-Ta)
Kurva psikrometri merupakan alat yang cukup baik untuk menganalisis
suatu proses pengeringan udara. Dengan kurva psikrometri dapat diketahui
kemampuan menangkap air dari udara pengering. Dengan mengamati faktor-
faktor yang berkaitan dengan pengeringan diharapkan dapat diketahui kondisi
sebenarnya dari proses pengeringan yang telah berjalan. Dengan data yang
diperoleh dapat diusahakan langkah-langkah perbaikan yang mungkin dapat
dilakukan sehingga proses pengeringan menjadi lebih efisien.
Kegiatan magang dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pengamatan
pendahuluan dan tahap optimasi proses. Pengamatan pendahuluan dilakukan enam
kali pada enam shift produksi yang berbeda, yaitu dua kali pengamatan pada shift
pagi (08.00-16.00 WIB), dua kali pada shift sore (16.00-24.00 WIB), dan dua kali
pada shift malam (24.00-08.00 WIB). Pada pengamatan pendahuluan aspek yang
diamati aspek proses produksi, kualitas produk dan efisiensi energi pengeringan.
Aspek produksi yang diamati meliputi sifat psikrometri udara pengering,
kecepatan pemasukan udara, dan kecepatan pemasukan pati basah. Sifat
psikrometri yang diamati adalah suhu input udara, RH input udara, volume
spesifik input udara, suhu udara basah, suhu udara kering, dan kelembaban mutlak
udara kering dan basah. Aspek kualitas yang diamati adalah kadar air pati basah,
kadar air pati kering, derajat keputihan, persentase kerak, retained on 100 mesh,
fase pengeringan pati basah.
Rata-rata suhu input udara adalah 32,7 oC untuk FD 1 dan 33,3 oC untuk
FD 2. Rata-rata RH input udara adalah 64,6% untuk FD 1 dan 64,2% FD 2.
Rata-rata suhu udara kering adalah 192 oC untuk FD 1 dan 200 oC untuk FD 2.
Rata-rata suhu udara basah adalah 60 oC pada FD 1 dan 62 oC pada FD 2.
Kapasitas penangkapan air udara pengering adalah 0,0553 kg air/kg u.k. untuk FD
1 dan 0,0580 kg air/kg u.k. untuk FD 2. Kecepatan pemasukan udara(debit udara)
adalah 23.063,04 m3 u.k./jam untuk FD 1 dan 26.649,00 m3 u.k./jam untuk FD 2.
Rata-rata kapasitas pengeringan adalah 1479 kg air/jam untuk FD 1 dan 1555 kg
air/jam untuk FD 2. Rata-rata kecepatan pemasukan pati basah adalah
5371 kg/jam untuk FD 1 dan 6651 kg/jam untuk FD 2.
Rata-rata kadar air pati basah adalah 34,35%. Rata-rata kadar air pati kering
tapioka adalah 10,6% untuk FD 1 dan 11,0% pada FD 2. Perbedaan suhu udara
pengering FD 1 dan FD 2 tidak berpengaruh secara nyata pada kualitas pati
kering(derajat keputihan, persentase kerak, dan retained on 100 mesh). Proses
pengeringan pati basah menjadi pati kering (tapioka) telah mencapai tahap falling
rate. Efisiensi energi pengeringan adalah 0,83 (83%) untuk kedua FD. Perbedaan
suhu udara pengering FD 1 dan FD 2 tidak berpengaruh terhadap profil
gelatinisasi pati tapioka.
Rancangan optimasi proses dibuat berdasarkan sifat psikrometri udara
pengering dan kecepatan pemasukan pati basah. Optimasi proses pengeringan
disarankan untuk dilakukan dengan melakukan running proses untuk mengetahui
setting pemasukan pati basah yang memberikan hasil efisiensi proses paling tinggi
dan tetap menghasilkan pati kering yang sesuai/masuk spesifikasi perusahaan.
Berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan, dapat diperkirakan kadar air pati
kering yang diperoleh apabila kecepatan pemasukan diketahui dan suhu udara
basah diketahui. Rancangan optimasi dibuat dengan menggunakan dua asumsi
dasar, yaitu asumsi 1 : dengan menggunakan nilai rata-rata pengamatan
pendahuluan; asumsi 2 : dengan memisahkan kondisi ekstrim siang (pukul 10.00
WIB dan 14.00 WIB)(asumsi 2.a) dan kondisi selain keduanya(asumsi 2.b). Dari
hasil perhitungan berdasarkan kapasitas pengeringan dan kecepatan pemasukan
pati basah, diperkirakan kondisi optimum pengeringan berada pada kecepatan
pemasukan 750 dan 800 rpm pada FD 1 dengan asumsi 1, 2.a, dan 2.b; 700 rpm
pada FD 2 dengan asumsi 1 dan 2.b dan 640 rpm dan 700 rpm pada asumsi 2.a.
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Desa Sriagung, Kecamatan Padangratu, Kabupaten


Lampung Tengah pada tanggal 29 Juni 1987. Penulis adalah anak pertama dari
empat bersaudara dari keluarga Bapak Suroso dan Ibu Sitimurtiah. Penulis
mengawali jenjang pendidikannya di SD Negeri 1 Sriagung pada tahun 1993-
1999. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Padangratu
pada tahun 1999-2002, dan SMA Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2002-
2005.
Penulis lolos seleksi penerimaan mahasiswa IPB pada tahun 2005 melalui
jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang ketika itu baru
menerapkan sistem pendidikan Mayor-Minor, sehingga selama satu tahun penulis
belum memiliki jurusan. Baru setelah satu tahun manjadi mahasiswa IPB, melalui
seleksi internal IPB penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selain
menjalani perkuliahan, penulis aktif dalam Majelis Ta’lim Al Furqon, suatu
wadah kajian islam bagi mahasiswa untuk dapat mempelajari Islam lebih dalam.
Penulis menyelesaikan tugas akhir pada tahun 2009 berupa praktek kerja
magang di PT. Umas Jaya Agrotama, Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Judul
penelitian magang penulis adalah “Efisiensi Proses Pengeringan Tapioka di PT.
Umas Jaya Agrotama, Terbanggi Besar, Lampung Tengah” di bawah bimbingan
Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS dan Tisa Virgiandriati, STP.
KATA PENGANTAR

ِِ‫ِِْ اّ ِ اْ َـ


ِ ا‬

Segala puji hanya milik Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan
ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami
dan kejelekan amal perbuatan kami. Barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka
tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang Allah sesatkan, maka
tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada ilah
yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya,
dan saya bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Sesuatu yang penulis syukuri adalah adanya kemudahan yang Allah berikan
kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Efisiensi Proses
Pengeringan Tapioka di PT. Umas Jaya Agrotama, Terbanggi Besar, Lampung
Tengah. Penulis juga menyadari bahwa didalam penulisan tugas akhir ini tidak lepas
dari bantuan, dorongan, dan dukungan yang diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Untuk itu penulis ingin berterima kasih
kepada :
1. Bapak, Ibu, Ita, Yoga, Yana, Mbah Talip, Mbah Putri dan keluarga besar
atas segala kasih sayang, doa, dan nasehat, serta bantuan secara moril dan
materil yang diberikan kepada penulis
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing akademik
atas pengarahan, perhatian, dan masukan serta kesabarannya membimbing
penulis selama kuliah hingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini
3. Ibu Tisa Virgiandriati, STP. selaku pembimbing lapang yang telah
memberikan bantuan, dukungan, dan semangat selama penulis
melaksanakan magang di PT. Umas Jaya Agrotama
4. Bapak Dr. Ir. Nugraha Edi Suyatma, DEA dan Ibu Nur Wulandari, S.TP,
M.Si yang telah bersedia menjadi dosen penguji, dan telah bersedia pula
memeriksa hasil tulisan penulis.

i
5. Bapak Ir. Hendro Purnomo selaku Manager administrasi di PT. UJA, yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan magang
di PT. Umas Jaya Agrotama
6. Bapak Jimmy Gunawan selaku Manager Factory, Bapak Sutiyono, Bapak Ir.
Sustono, Bapak Sadono Sp., Bapak Edy Sp. Selaku Kabag di PT. UJA atas
bantuan yang diberikan selama penulis melaksanakan magang di PT. UJA
7. Pak kirno, Pak Warikun, Pak Agustinus, dan Staf QC lainnya di PT. UJA 1
lainnya yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada
penulis
8. Pak Asmadi, Pak Surono, dan Mas Kimyarno yang telah memberikan
bantuan dalam mendapatkan tempat kos kepada penulis
9. Erza, Shobur, Muji, Shobur, riza dan rekan-rekan ITP 42, 41, dan 43 atas
dukungan dan bantuannya serta kebersamaan yang telah diberikan
10. Ikwan, Marina,dan Arya rekan satu bimbingan penulis atas bantuan dan
kerjasama yang telah diberikan, serta kebersamaan selama menjadi
bimbingan Ibu Tien
11. Mas Kemal, Mas Sugeng, Mas Anri, Goro, Rifki, Yanto, Angga, Frendy,
dan ikhwan lainnya yang telah memberikan semangat, dukungan serta
nasehat kepada penulis selama penulis kuliah di IPB
12. Dosen-dosen, Staf, dan Pegawai di departemen ITP atas bantuan dan
bimbingan kepada penulis selama penulis kuliah di Departemen ITP,
FATETA, IPB
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang selama
ini telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
tugas akhir ini
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang
membutuhkan dan terhadap pengembangan ilmu, khususnya di Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, FATETA, IPB
Bogor, Agustus 2009
Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ……………………………………………………. i
DAFTAR ISI …………………………………………………..………….. iii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………… vi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… vii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… ix
DAFTAR ISTILAH ………………………………………………………. xi
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………. xii

I. PENDAHULUAN ………………………………………………………..... 1
A. Latar Belakang …………………………………………………………. 1
B. Tujuan …………………………………………………………………... 3
C. Manfaat …………………………………………………………………. 3
D. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Magang ………………………………. 3
II. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN ……………………………………. 4
A. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan ……………………………….... 4
B. Lokasi Perusahaan ……………………………………………………..... 4
C. Struktur Organisasi …………………………………………………….... 5
D. Ketenagakerjaan ……………………………………………………….... 5
E. Produk …………………………………………………………………… 6
F. Pemasaran ……………………………………………………………….. 7
G. Pengolahan Limbah ……………………………………………………… 7
III. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………. 9
A. Singkong ………………………………………………………………… 9
B. Pati …………………………………………………………………….... 11
C. Tapioka …………………………………………………………………. 14
D. Proses Pengeringan …………………………………………………….. 19

iii
a. Teori Dasar …………………………………………………………. 20
b. Pengeringan Udara (Air Drying/Pneumatic Drying) ……………….. 22
c. Efisiensi Energi Pengeringan ………………………………………. 24
d. Psikrometri ………………………………………………………… 25
IV. METODOLOGI …………………………………………………………... 27
A. Kerangka Pemikiran …………………………………………………… 27
B. Kegiatan Magang ……………………………………………………… 28
C. Metode Analisis ……………………………………………………...... 31
V. ASPEK PRODUKSI ……………………………………………………... 36
A. Bahan Baku Produksi ………………………………………………..... 36
a. Bahan Baku Utama ………………………………………………... 36
b. Bahan Pembantu …………………………………………………... 36
B. Proses Produksi ………………………………………………………... 37
a. Penerimaan Bahan Baku/Singkong(Receiving) …………………… 37
b. Pembersihan dan Pengupasan Kulit(Peeling) ……………………... 38
c. Pencucian(Washing) ………………………………………………. 39
d. Pemotongan dan Pencacahan(Chopping) …………………………. 40
e. Pemarutan(Rasping) ………………………………………………. 40
f. Ekstraksi(Extraction) ……………………………………………… 41
g. Pemurnian Suspensi Pati(Separation) …………………………….. 43
h. Penurunan Kadar Air ……………………………………………… 44
i. Pengeringan(Drying) ……………………………………………… 45
j. Pengayakan(Shieving) …………………………………………….. 47
k. Pengemasan(Packing) …………………………………………….. 47
l. Penggudangan …………………………………………………….. 48
C. Pengawasan Mutu …………………………………………………….. 48
1. Pengawasan Mutu Bahan Baku …………………………………… 48
2. Pengawasan Mutu Incoming Material …………………………….. 48
3. Pengawasan Proses(In Plant Quality Control) ……………………. 49
4. Pengawasan Mutu Produk Akhir …………………………………. 49

iv
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………….. 50
A. Kondisi Proses ………………………………………………………… 50
a. Sifat Psikrometri Udara Pengering ………………………………… 50
b. Kecepatan Udara Pengering ……………………………………… 56
c. Kapasitas Pengeringan ……………………………………………. 56
d. Kecepatan Pemasukan Pati Basah ………………………………… 58
e. Sifat Dehidrasi Pati Basah ………………………………………... 59
B. Kualitas Produk ……………………………………………………….. 60
a. Kadar Air ………………………………………………………….. 60
b. Derajat Keputihan, Persen Kerak, Retained on 100 Mesh ……….... 60
c. Sifat Gelatinisasi Pati ………………………………………………. 63
C. Efisiensi Energi ………………………………………………………… 65
D. Rancangan Optimasi Proses ………………………………………….... 67
VII. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………… 72
A. Kesimpulan ……………………………………………………………... 72
B. Saran ……………………………………………………………………. 73

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………... 75


LAMPIRAN ……………………………………………………………………. 77

v
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Hubungan Spesific Grafity dengan kadar pati singkong …………. 16

Tabel 2. Komponen yang diamati dari proses pengeringan ……………….. 29

Tabel 3. Parameter mutu yang diamati dari sampel pati kering

valve cyclone ……………………………………………………... 30

Tabel 4. Karakter varietas singkong yang diterima PT. UJA 1 …………… 36

Tabel 5. Hasil pengamatan kecepatan udara ………………………………. 56

Tabel 6. Sifat Gelatinisasi Tapioka PT. UJA .............................................. 63

Tabel 7. Hasil pengamatan adanya peningkatan kadar air selama

distribusi tapioka dari valve cyclone ke corong pengemasan …… 67

Tabel 8. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash

Dryer 1 dengan menggunakan asumsi 1 ………………………... 69

Tabel 9. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash

Dryer 2 dengan menggunakan asumsi 1 …………………………. 69

Tabel 10. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash

Dryer 1 dengan menggunakan asumsi 2.a ……………………….. 70

Tabel 11. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash

Dryer 2 dengan menggunakan asumsi 2.a ……………………….. 70

Tabel 12. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash

Dryer 1 dengan menggunakan asumsi 2.b ……………………….. 71

Tabel 13. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash

Dryer 2 dengan menggunakan asumsi 2.b ……………………….. 71

vi
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Produk Tapioka PT. UJA : Kemasan @50 Kg, dan

Kemasan @800 Kg …………………………………….………... 7

Gambar 2. Singkong dan Taksonomi Singkong …………………………….. 9

Gambar 3. Hasil pengamatan viskositas dengan Brabender Amylograph …... 14

Gambar 4. Timbangan kadar pati dengan metode Specific Grafity Methode… 16

Gambar 5. Hubungan aktivitas air dengan kecepatan reaksi ……………….. 21

Gambar 6. Pergerakan uap air selama pengeringan ………………………… 21

Gambar 7. Kurva hubungan kadar air dengan kecepatan pengeringan …….. 23

Gambar 8. Sistem Flash Drying sederhana ……………………………….... 23

Gambar 9. Kurva Psikrometri ……………………………………………..... 26

Gambar 10. Root Peeler .................................................................................... 38

Gambar 11. Washer ………………………………………………………….. 39

Gambar 12. Chopper ………………………………………………………… 40

Gambar 13. Rasper ………………………………………………………….. 41

Gambar 14. Ekstraktor vertikal dan ekstraktor horizontal …………………… 42

Gambar 15. Continous centrifugal starch separator ………………………... 44

Gambar 16. Dewatering Centrifuge Unit …………………………………… 45

Gambar 17. Cyclone ………………………………………………………... 46

Gambar 18. Shifter ………………………………………………………….. 47

Gambar 19. Variasi suhu input udara ……………………………………….. 50

Gambar 20. Variasi RH input udara ………………………………………… 51

vii
Gambar 21. Variasi volume spesifik input udara …………………………… 52

Gambar 22. Variasi suhu udara kering ……………………………………… 53

Gambar 23. Variasi suhu udara basah ………………………………………. 54

Gambar 24. Variasi kapasitas penangkapan air udara pengering …………... 55

Gambar 25. Kapasitas pengeringan udara ………………………………….. 57

Gambar 26. Kecepatan pemasukan pati basah ……………………………... 58

Gambar 27. Kurva hubungan kadar air pati basah(b.k.) dengan laju

pengeringan pada suhu 120oC ……………………………….... 59

Gambar 28. Hasil pengamatan kadar air …………………………………… 60

Gambar 29. Pengaruh perbedaan suhu proses pada kualitas produk

derajat putih, persentase kerak, retained 100 mesh …………….. 62

Gambar 30. Variasi efisiensi energi pengeringan ………………………….. 66

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Struktur Perusahaan PT. Umas Jaya Agrotama Factory 1 ....….. 77

Lampiran 2. Bagan proses pengolahan limbah cair tapioka di PT. UJA 1….. 78

Lampiran 3. Syarat mutu teknis tapioka menurut SNI 01-3451-1994 ……… 79

Lampiran 4. Skema unit pemasukan pati basah (feeder oven) di PT. UJA 1.. 80

Lampiran 5. Skema proses pengeringan di PT. UJA 1 …………………….. 81

Lampiran 6. Spesifikasi produk tapioka PT. UJA 1 ……………………….. 82

Lampiran 7a. Hasil pengamatan sifat psikrometri udara pengeringan pada


Flash Dryer 1 ………………………………………………... 83

Lampiran 7b. Hasil pengamatan sifat psikrometri udara pengeringan pada


Flash Dryer 2 ………………………………………………... 84

Lampiran 8. Hasil uji beda suhu input udara Flash Dryer 1 dan
Flash Dryer 2 ………………………………………………... 85

Lampiran 9. Hasil uji beda RH input udara pada Flash Dryer 1 dan
Flash Dryer 2 ………………………………………………… 85

Lampiran 10. Hasil uji beda volume spesifik udara pada Flash Dryer 1
dan Flash Dryer 2 ……………………………………………. 86

Lampiran 11. Hasil pengamatan suhu setelah melewati Steam Heat


Exchanger(Heater uap) dan Oil Heat Exchanger(Heater oli) .. 86

Lampiran 12. Hasil uji beda suhu udara kering Flash Dryer 1 dan
Flash Dryer 2 ………………………………………………… 87

Lampiran 13. Hasil uji beda suhu udara basah Flash Dryer 1 dan
Flash Dryer 2 ………………………………………………… 87

Lampiran 14a Kapasitas penangkapan air udara pengering Flash Dryer 1 ….. 88

Lampiran 14b. Kapasitas penangkapan air udara pengering Flash Dryer 2 ….. 89

ix
Lampiran 15. Hasil uji beda kapasitas penangkapan air Flash Dryer 1 dan
Flash Dryer 2 ………………………………………………… 89

Lampiran 16. Hasil Perhitungan Kapasitas pengeringan …………………… 90

Lampiran 17. Hasil uji beda kapasitas pengeringan pada Flash Dryer 1 dan
Flash Dryer 2 ………………………………………………... 90

Lampiran 18. Data pengamatan pemasukan pati basah ……………………... 91

Lampiran 19. Hasil uji beda kecepatan pemasukan pati basah Flash Dryer 1
dan Flash Dryer 2 ……………………………………………… 91

Lampiran 20. Hasil pengamatan sifat dehidrasi pati basah ………………….. 92

Lampiran 21. Hasil pengamatan kadar air …………………………………... 93

Lampiran 22. Hasil uji beda kadar air pati kering Flash Dryer 1 dan
Flash Dryer 2 ………………………………………………… 93

Lampiran 23. Hasil pengamatan Derajat Putih, Persentase Kerak, dan


Retained on 100 mesh ………………………………………… 94

Lampiran 24. Hasil uji beda derajat putih pati kering Flash Dryer 1
dan Flash Dryer 2 …………………………………………….. 94

Lampiran 25. Hasil uji beda persentase kerak pati kering Flash Dryer 1 dan
Flash Dryer 2 …………………………………………………. 95

Lampiran 26. Hasil uji beda retained on 100 mesh pati kering Flash Dryer 1
dan Flash Dryer 2 …………………………………………….. 95

Lampiran 27. Hasil pengamatan efisiensi energi pengeringan ……………… 96

Lampiran 28. Hasil uji beda efisiensi energi pengeringan Flash Dryer 1
dan Flash Dryer 2 ……………………………………………. 96

x
DAFTAR ISTILAH

Pati basah : pati tapioka setelah melewati tahap penurunan kadar air, dengan kadar air
berkisar 34%. Pabrik tapioka sering menyebut pati basah dengan
istilah “sagu basah”.

Pati kering valve cyclone: tapioka setelah melewati tahap pengeringan pada flash
dryer, tetapi masih mengalami pendinginan dengan uadara, dan
belum siap untuk dikemas.

Pati kering corong pengemasan : tapioka setelah melewati tahap pengeringan pada
flash dryer, telah mengalami pendinginan dengan udara, dan telah
siap untuk dikemas.

Input udara : udara lingkungan yang masuk ke dalam cerobong flash dryer

Udara kering : input udara setelah melewati tahap pemanasan pada heater

Udara basah : udara kering yang telah kontak dengan bahan yang akan dikeringkan,
dan telah dipisahkan dengan bahan pada cyclone

Kapasitas penangkapan air udara pengering : ukuran kemampuan penangkapan air


udara pengering, diketahui dengan menghitung selisih kandungan
air udara basah(kelembaban mutlak udara basah) dengan
kandungan air udara kering(kelembaban mutlak udara kering.
Satuannya adalah Kg air/Kg udara kering.

Kapasitas pengeringan : kemampuan udara untuk menghilangkan air dari bahan per
satuan waktu tertentu, biasanyua satu jam. Dihitung dengan
mengkalikan kapasitas penangkapan air udara dengan kecepatan
udara. Satuannya adalah Kg air/Jam

feeder oven : unit pemasukan pati basah berupa ulir yang berfungsi mengalirkan pati
basah menuju flash dryer

variable speed : unit pengkontrol kecepatan putar feeder oven

xi
kerak : pati kering tidak lolos saringan 80 mesh

Retained on 100 mesh : pati kering tidak lolos saringan 100 mesh

Pulp : singkong setelah melewati tahap pemarutan(rasping)

Milk : suspensi pati singkong setelah melewati tahap ekstraksi tahap I

Light phase : air buangan separator yang memiliki berat jenis paling kecil, terdiri dari
air, asam-asam terlarut, serta sedikit protein dan mineral

Middle phase : air buangan separator yang memilki berat jenis lebih tinggi dari light
phase, mengandung lemak, protein, mineral dan sedikit air

Valve cyclone : katup yang terdapat pada flash dryer, tempat memeriksa kekeringan
tapioka. Terletak di bawah cyclone

xii
DAFTAR SINGKATAN

Tdb : suhu termometer kering (dry bulb temperature)


RH : Kelembaban relatif udara (relative humidity)
u.k. : udara kering
b.k. : basis kering
b.b. : basis basah
SHE : Steam Heat Exchanger
OHE : Oil Heat Exchanger
Ta : suhu Input udara
T1 : suhu udara kering
T2 : suhu udara basah

xiii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Singkong adalah tumbuhan semak keluarga Euphorbiaceae, ditanam
terutama untuk memperoleh umbinya yang mengandung pati. Singkong
merupakan salah satu makanan pokok yang paling penting di daerah tropis,
yang mana singkong ini merupakan urutan keempat sumber energi yang
paling penting. Sedangkan di dunia, singkong menempati urutan ke enam
sumber kalori paling penting di dalam diet manusia (Alves, 2002).
Singkong (Manihot esculenta) disebut juga ubi kayu atau ketela pohon.
Singkong merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri
makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Industri makanan dari singkong cukup
beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik,
gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih
lanjut. Didalam industri makanan, pengolahan singkong, dapat dibagi menjadi
empat golongan, yaitu hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong
yang dikeringkan (gaplek), tepung singkong dan tapioka (Anonim, 2008a).
Tahun 2008 produksi singkong Indonesia melebihi 21 juta ton
(21.757.575 ton), dengan produksi tertinggi di propinsi Lampung
(7.721.882 ton) diikuti Jawa Timur (3.533.772 ton) dan Jawa Tengah
(3.325.099 ton). Tahun 2009 produksi singkong Nusantara diperkirakan
mendekati angka 22 juta ton. Produktivitas singkong nusantara pada tahun
2008 adalah 18 ton/ha, dengan produktivitas tertinggi juga ada di propinsi
Lampung yaitu 24,2 ton/ha diikuti Sumatera Barat dan Sumatera Utara yaitu
sebesar 19,4 ton/ha (Deptan, 2009).
Tapioka adalah pati yang diekstrak dari umbi singkong (Manihot
esculenta). Tapioka dikonsumsi sebagai makanan pokok di beberapa daerah,
dan digunakan secara luas sebagai bahan pengental, terutama pada makanan.
Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri maupun
luar negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah Pulau
Jawa seperti Bogor, Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar
luar negeri berasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa
(Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2004).

1
Permintaan tapioka di Indonesia cenderung meningkat karena
peningkatan jumlah industri makanan yang menggunakan bahan baku tapioka.
Selama ini, sebagian besar hasil produksi tapioka hanya mampu memenuhi
kebutuhan beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Surabaya, Bogor,
Indramayu dan Tasikmalaya. Pada tahun 1996 sampai 2001 Indonesia
menghasilkan rata-rata 15 sampai 16 juta ton tapioka dari industri tapioka
yang berlokasi di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Jumlah produksi tapioka yang
terserap pasar dalam negeri sebanyak 13 juta ton dan permintaan dalam negeri
mengalami peningkatan 10% per tahun. Saat ini, produksi tapioka Indonesia
belum dapat memenuhi pasar dengan maksimal karena setiap tahun meningkat
10% atau 1,3 juta ton pertahun. Sementara 70% produksi dihasilkan dari Pulau
Sumatra, sedangkan 30% merupakan produksi Pulau Jawa dan Sulawesi. Hal
tersebut mengindikasikan masih luasnya potensi usaha dan permintaan tapioka
di Indonesia (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2004).
Tapioka Indonesia sangat berpeluang untuk meraih pasar Asia dan
Eropa. Ketersediaan lahan dan bahan baku serta tenaga yang murah
menyebabkan produk Indonesia mampu bersaing dalam harga. Ekspor tapioka
Indonesia telah menjangkau berbagai negara di Asia dan Eropa, dengan
ekspor terbesar ke Korea (54%) dan Cina (30%) dari total ekspor. Luasnya
negara tujuan ekspor di beberapa negara Asia dan Eropa menunjukkan bahwa
ekspor komoditi ini sangat potensial (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Pertanian, 2004).
Teknologi yang digunakan pada industri tapioka dapat dikelompokkan
menjadi tiga yaitu: pertama; tradisional yaitu industri pengolahan tapioka yang
proses pengeringannya masih mengandalkan sinar matahari dan produksinya
sangat tergantung pada musim, kedua; semi modern yaitu industri pengolahan
tapioka yang menggunakan mesin pengering (flash dryer) dalam melakukan
proses pengeringan dan yang ketiga; full otomate yaitu industri pengolahan
tapioka yang menggunakan mesin dari proses awal sampai produk jadi.
Industri tapioka yang menggunakan peralatan full otomate ini memiliki
efisiensi tinggi, karena dalam proses produksinya hanya memerlukan tenaga

2
kerja yang sedikit, waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka berkualitas
(Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2004).
Efisiensi energi selama pengeringan jelas sangat penting, dimana
konsumsi energi merupakan komponen biaya pengeringan yang utama
(Earle, 1983). Pada PT. Umas Jaya Agrotama biaya energi merupakan
komponen biaya energi terbesar kedua setelah bahan baku. Peningkatan
efisiensi proses pengeringan tapioka merupakan salah satu usaha untuk
meningkatkan efisiensi produksi tapioka secara keseluruhan. Oleh karena itu,
dengan dilakukannya peningkatan efisiensi proses pengeringan tapioka,
diharapkan efisiensi produksi secara total dapat ditingkatkan.

B. Tujuan
Tujuan kegiatan praktek kerja magang ini adalah mengkaji sifat
psikrometri udara pengering dan efisiensi energi proses pengeringan tapioka
di PT Umas Jaya Agrotama. Selanjutnya dapat dirancang usaha optimasi
proses pengeringan tapioka berdasarkan hasil kajian yang telah diperoleh .

C. Manfaat
Menghasilkan data yang dapat digunakan perusahaan sebagai dasar
untuk meningkatkan efisiensi pengeringan tapioka di PT Umas Jaya
Agrotama.

D. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Magang


Kegiatan magang ini dilaksanakan selama empat bulan mulai tanggal 1
April 2009 hingga 1 Agustus 2009. Tempat pelaksanaan magang adalah di PT
Umas Jaya Agrotama, Jl. Lintas Timur Km 77 Terbanggi Besar, Lampung
Tengah.

3
II. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN
A. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan
Pabrik tapioka PT. Umas Jaya Agrotama (UJA) Terbanggi Besar
merupakan perusahaan swasta nasional (PMDN) yang bergerak di bidang
industri tapioka. Pada awal berdiri bernama PT. Umas Jaya Farm. Perijinan
perusahaan ditandatangani melalui surat akta pendirian No. 29 tanggal 5
Maret 1973.
Pembukaaan lahan (land clearing) pertama kali dilaksanakan pada tahun
1975, dilanjutkan pananaman singkong pada tahun 1977. Tahun 1979
dibangun pabrik tapioka skala kecil, baru pada tahun 1982 dibangun pabrik
tapioka skala besar dengan kapasitas produksi terpasang 200 ton/hari.
Umas Jaya Agrotama pada awal berdirinya merupakan perkebunan
singkong dengan nama Umas Jaya Farm. Baru pada tanggal 1 Januari 1996
Umas Jaya Agrotama bergabung dengan PT. Great Giant Pineapples
(PT. GGP) dan menjadi salah satu divisinya. Sejak tanggal 1 Agustus 2004
PT. UJA menjadi perusahaan tersendiri, tidak lagi menjadi divisi dari
PT. GGP. PT. UJA dan PT. GGP merupakan anak perusahaan grup Gunung
Sewu.
PT. Umas Jaya Agrotama memiliki tiga pabrik pengolahan tapioka.
Pabrik UJA 1 yang terletak di daerah Terbanggi Besar, Lampung Tengah,
UJA 2 yang terletak di daerah Gunung Batin, Lampung Tengah dan UJA 3
yang terletak di daerah Jabung, Lampung Timur.

B. Lokasi Perusahaan
Magang yang telah penulis laksanakan berlokasi di pabrik tapioka UJA 1
terletak di Jl. Lintas Timur Km 77 Terbanggi Besar, Lampung Tengah.
Perusahaan ini terletak kurang lebih 52 Km dari pelabuhan udara Branti, dan
kurang lebih 92 Km dari pelabuhan laut Panjang. Pabrik UJA 1 ini memilki
kapasitas produksi 1000 ton Singkong/hari atau setara dengan 200 ton
tapioka/hari.

4
Luas areal bangunan pabrik tapioka UJA 1 kurang lebih 200 hektar
termasuk tempat parkir, taman, gudang, dan kolam limbah. Secara geografis
PT. Umas Jaya Agrotama Factory 1 berbatasan dengan :
 Batas bagian utara : desa transmigrasi angkatan darat (transad), yaitu
desa Bandar Sakti, desa Bandar Agung, desa Tanjung Anom, dan
perkebunan tebu milik PT. Gunung Madu plantation.
 Batas sebelah selatan : Sungai Way Pengubuan, Sungai Way
Joroitong, dan CV Tunas Baru Lampung
 Batas sebelah timur : desa Bandar Rejo, desa Kijung, dan Sungai
Way Pangubuan
 Batas sebelah barat : CV. Ratih Mustika Sari

C. Struktur Organisasi
Pabrik Tapioka UJA 1 dikepalai oleh seorang Manager Factory.
Manager Factory membawahi empat kepala bagian, yaitu bagian Quality
Control (QC), bagian Raw Material (RM), bagian proses dan bagian
Maintenance and Utilities. Struktur organisasi dari pabrik tapioka UJA 1
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Bagian QC terutama bertanggung jawab dalam mengawasi kesesuaian
produk dan proses dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Bagian RM
bertanggung jawab dalam penerimaan bahan baku singkong. Bagian proses
bertanggung jawab dalam pelaksanaan proses produksi. Sedangkan bagian
Maintenance and Utilities bertanggung jawab atas kelangsungan mesin
produksi.

D. Ketenagakerjaan
Jumlah tenaga kerja di PT Umas Jaya Agrotama saat ini mencapai 352
orang. Spesifikasi tenaga kerja di PT.UJA (UJA 1) adalah sebagai berikut :
 121 karyawan, termasuk di dalamnya manager, kepala bagian,
kepala seksi, dan beberapa pelaksana
 88 tenaga kerja harian tetap
 19 tenaga harian lepas

5
 58 tenaga harian borongan
 1 tenaga kerja kontrak
 65 tenaga kerja pindahan dari UJA 2
Berdasarkan pembagian waktu kerja, tenaga kerja di PT. UJA dapat
dibagi menjadi dua, yaitu tenaga kerja non-shift dan tenaga kerja shift.
Untuk tenaga kerja non-shift waktu kerja mulai pukul 08.00 s.d. 16.00 WIB.
Sedangkan untuk tenaga kerja shift waktu kerja tergantung giliran shiftnya.
PT.UJA menerapkan 3 shift untuk produksinya,yaitu shift I (08.00 s.d. 16.00
WIB), shift II (16.00 s.d. 24.00 WIB), dan shift III (24.00 s.d. 08.00 WIB).
Proses produksi di PT. UJA dilakukan terus-menerus selama 24 jam .Proses
dihentikan apabila stok singkong habis, terjadi kerusakan unit proses, atau
apabila akan dilakukan pembersihan alat.
Hari kerja di PT. UJA adalah dari senin hingga sabtu. Apabila suplai
bahan baku masih mencukupi, sabtu dan minggu tetap dilakukan proses, dan
pekerja terhitung lembur. Waktu istirahat untuk hari Senin hingga Kamis
adalah pukul 12.00 s.d. 13.00 WIB. Sedangkan untuk hari Jum’at istirahat
mulai pukul 11.30 s.d. 13.00 WIB. Hari Sabtu waktu kerja hanya sampai
pukul 12.00 WIB.

E. Produk
Produk dari PT. UJA adalah tapioka dalam kemasan. Produk standar dari
PT.UJA adalah tapioka kemasan @ 50 kg dengan merek dagang
“Cap Kodok”. Untuk pemesan khusus, biasanya kemasan yang disediakan
khusus pula, yaitu ukuran @800 kg dan @1000 kg.

6
(a) (b)
Gambar 1. Produk Tapioka PT. UJA : (a) Kemasan @50 kg, (b)
Kemasan @800 kg

F. Pemasaran
Pemasaran PT. UJA dilaksanakan oleh Unit Pemasaran PT. Umas Jaya
Agrotama yang berkedudukan di gedung Chase Plaza Lt. 5, jl. Jendaral
Sudirman Kav. 21, Jakarta Pusat. Untuk penjualan tapioka, pihak marketing
menerima Purchase Order (PO) atau surat kontrak sebagai bukti bahwa harga,
jumlah order, dan spesifikasi telah disetujui. Pihak marketing kemudian
mengeluarkan Delivery Order (DO) ke bagian produksi (Sie. Inventory) untuk
mengirimkan tapioka ke pelanggan.

G. Pengolahan Limbah
Limbah dari pabrik tapioka UJA 1 dapat dikelompokkan menjadi limbah
cair dan limbah padat. Limbah cair terdiri dari air untuk pengolahan, air dari
bahan baku(singkong), komponen terlarut seperti pati, protein, dan lemak.
Limbah cair di PT. UJA 1 dapat mencapai 3000 m3/hari. Limbah cair ini
diolah pada bak-bak pengolahan limbah sebelum kemudian dialirkan ke
sungai. Proses pengolahan limbah cair di PT. UJA 1 melewati tiga tahapan,
yaitu tahap sedimentasi, tahap dekstruksi anaerobik, dan tahap dekstruksi
aerobik. Proses pengolahan limbah cair ini dilakukan pada 15 kolam
pengolahan limbah yang ada di PT. UJA 1. Bagan tahapan pengolahan limbah
cair di PT. UJA 1 dapat dilihat pada Lampiran 2.

7
Limbah padat pada PT. UJA 1 terdiri dari tanah, kulit, dan serat
(onggok). Tanah dan kulit dikumpulkan pada silo untuk kemudian dibawa ke
areal perkebunan dan dibuang disana. Sedangkan onggok digunakan sebagai
bahan pakan penggemukan sapi di PT. Great Giant Livestock (PT.GGL),
yaitu perusahaan penggemukan sapi yang masih satu grup dengan PT. UJA
dan PT GGP, atau dijual kepada masyarakat umum.

8
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Singkong
Singkong (Manihot utilisima Pohl = Manihot esculanta Crantz) adalah
tanaman pangan pokok di banyak daerah di negara-negara tropis, dan dapat
menghasilkan hasil yang tinggi walaupun pada kondisi tanah yang kurang
subur dan curah hujan rendah. Umbi singkong, sebagaimana kebanyakan
tanaman pangan yang berasal dari umbi, terdiri dari mayoritas pati murni,
tetapi daun singkong memiliki protein berkisar 17% dan merupakan sumber
protein yang baik di dalam diet harian (Macdonald dan Low, 1984).
Singkong adalah tumbuhan semak keluarga Euphorbiaceae, ditanam
terutama untuk memperoleh umbinya yang mengandung pati. Singkong
merupakan salah satu makanan pokok yang paling penting di daerah tropis,
yang mana singkong ini merupakan urutan keempat sumber energi yang
paling penting. Sedangkan di dunia, singkong menempati urutan ke enam
sumber kalori paling penting di dalam diet manusia (Alves, 2002).
Klasifikasi Ilmiah
Kerajaan Plantae
Divisi Magnoliophyta
Kelas Magnoliopsida
Ordo Malpighiales
Famili Euphorbiceae
Bangsa Manihoteae
Genus Manihot
Spesies Manihot esculenta
Nama binomial Manihot esculenta
Crantz
(a) (b)
Gambar 2. (a) Singkong(Anonim, 2008a), (b) Taksonomi Singkong
(Anonim, 2009a)

Singkong tumbuh baik pada daerah hangat, dengan suhu harian berkisar
25-29oC, dan cocok untuk tumbuh pada daerah ketinggian 1.500 meter dpl.
Singkong tumbuh dengan baik ketika ada distribusi hujan yang baik sekitar
1.000 – 1.500 mm per tahun. Singkong juga dapat tumbuh pada daerah
yang sangat kering, walaupun hasilnya sangat rendah. Singkong
membutuhkan tanah yang longgar dan berpasir, dan dapat tumbuh dengan

9
baik pada tanah dengan kesuburan rendah. Tanah berat tidak cocok
karena tidak memungkinkan umbi untuk membesar/mengembang
(Macdonald dan Low, 1984).
Singkong secara normal dapat dipanen setelah 9-18 bulan, tetapi dapat
dibiarkan di tanah lebih lama lagi. Apabila terlalu lama dibiarkan
(tidak dipanen), umbi singkong akan menjadi berserat dan menjadi seperti
kayu. Singkong akan rusak secara cepat setelah panen dan tidak dapat
disimpan lebih lama dari 2-3 hari. Hasil panen dapat mencapai 10-25 ton/ha
pada tanaman yang bebas penyakit (Macdonald dan Low, 1984)
Umbi singkong memiliki masa simpan setelah panen yang paling singkat
dibandingkan tanaman umbi utama yang lain. Umbi singkong sangat mudah
rusak dan biasanya menjadi tidak layak makan setelah 24-72 jam setelah
panen akibat proses kerusakan fisiologis yang cepat, dimana terjadi sistesis
komponen fenolik sederhana terjadi membentuk pigmen biru, coklat dan
hitam. Diduga komponen polifenol pada umbi teroksidasi membentuk
substansi kuinon yang membentuk kompleks dengan molekul kecil seperti
asam amino untuk kemudian membentuk pigmen warna yang disimpan dalam
jaringan vaskular. Polifenoloksidase (PPO) adalah enzim yang mengoksidasi
fenol menjadi quinon. Beberapa proses yang dapat menghambat PPO seperti
perlakuan panas, penyimpanan dingin, atmosfer anaerob, dan mencelupkan
umbi pada larutan inhibitor (seperti asam askorbat, glutathione dan KCN).
Kerusakan mikrobial dapat terjadi mengikuti kerusakan fisiologi atau
kerusakan primer, yaitu 5-7 hari setelah panen. Hal ini dikarenakan infeksi
microbial akibat terjadinya kerusakan mekanik pada jaringan. Kerusakan ini
meyebabkan perubahan warna jaringan (Alves, 2002).
Singkong merupakan tanaman dunia baru, hal ini dikarenakan singkong
baru dikenal setelah ditemukannya benua amerika. Bukti arkeologi
menunjukkan dua daerah asal (center of origin) singkong yaitu dari benua
amerika, yaitu satu di meksiko dan amerika tengah, dan yang lainnya di timur
laut Brasil (Grace, 1977). Jenis singkong Manihot esculenta pertama kali
dikenal di Amerika Selatan kemudian dikembangkan pada masa pra-sejarah
di Brasil dan Paraguay. Bentuk-bentuk modern dari spesies yang telah

10
dibudidayakan dapat ditemukan bertumbuh liar di Brasil selatan. Meskipun
spesies Manihot yang liar ada banyak, semua varitas M. esculenta dapat
dibudidayakan (Anonim, 2008a).
Negara-negara timur jauh tidak mengenal singkong sebagai tanaman
pangan hingga tahun 1835 M. Sekitar tahun 1850 M singkong di bawa dari
Brasil ke Jawa, Singapura, dan Malaysia. Ketika penanaman singkong yang
lebih menguntungkan dimulai di Semenanjung Malaya, pertanian singkong
mulai bergerak ke daerah lain di Indonesia. Sekitar tahun 1919-1941 sekitar
98% dari total tepung singkong diproduksi di Jawa, tetapi selama perang dunia
kedua, Brasil mengembangkan dan meningkatkan produksi singkongnya
(Grace, 1977).
Singkong dikenal juga dengan banyak nama : Ubi Ketela atau kaspe
(Indonesia), manioc, rumu, atau yucca (Amerika latin), mandioca atau aipim
(Brasil), manioc (Madagaskar dan Afrika), tapioka (India dan Malaysia),
cassava, dan terkadang cassada (Afrika, Thailand, dan Sri Lanka)
(Grace, 1977).

B. Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai
C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari
dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut
amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai
struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin
mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari
berat total (Winarno, 1992).
Pati pada jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang
berbeda-beda. Dengan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena
mempunyai bentuk, ukuran, letak hilum yang unik, dan juga dengan sifat
birefringent-nya. Sifat birefringent adalah sifat granula pati yang dapat
merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga dibawah mikroskop terlihat
Kristal hitam-putih (Winarno, 1992).

11
Pati memiliki sifat menyerap air. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam
air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun jumlah
air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Granula pati dapat dibuat
membengkak luar biasa, tetapi tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula.
Perubahan tersebut disebut gelatinisasi. Proses gelatinisasi ini dapat dilakukan
dengan cara memanaskan suspensi pati (Winarno, 1992).
Bila suspensi pati dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadinya
gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu
tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang
digunakan. Terjadinya translusensi larutan pati tersebut biasanya diikuti
pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul air menjadi lebih kuat
dari pada daya tarik-menarik antarmolekul pati di dalam granula, air dapat
masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah yang yang menyebabkan
bengkaknya granula pati tersebut. Indeks refraksi butir-butir pati yang
membengkak ini mendekati indeks refraksi air, dan hal inilah yang
menyebabkan sifat translusen (Winarno, 1992).
Proses pembengkakan granula pati ini diikuti dengan peningkatan
viskositas pati. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat
besar, maka kemampuan menyerap air sangat besar. Terjadinya peningkatan
viskositas disebabkan air yang dulunya berada di luar granula dan bebas
bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada di dalam granula
pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1992).
Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati mulai pecah
(Winarno, 1992) atau suhu ketika viskositas mencapai maksimum (ISI, 1999).
Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap jenis pati dan merupaka suatu
kisaran. Dengan menggunakan viskometer suhu gelainisasi dapat ditentukan,
misalnya pada jagung 62-70 oC, beras 68-70 oC, gandum 54,5-64 oC, kentang
58-66 oC, dan tapioka 52-64 oC. Suhu gelatinisasi tergantung juga pada
konsentrasi pati. Semakin kental larutan, suhu tersebut semakin lambat
tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-
kadang turun (Winarno, 1992).

12
Pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula-granula
yang membengkak tersuspensi dalam air panas dan molekul-molekul amilosa
yang terdispersi di dalam air. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus
terdispersi, asalkan pasta pati tersebut tetap dalam keadaan panas. Karena itu
dalam kondisi panas, pasta masih memiliki kemampuan untuk mengalir yang
fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta tersebut kemudian mendingin, energi
kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan
molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa
berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin
pada pinggir-pinggir luar granula, menjadi semacam jaring-jaring membentuk
mikrokristal dan mengendap. Proses kristalisasi kembali pati yang telah
mengalami gelatinisasi ini disebut retrogradasi. Proses retrogradasi ini
biasanya diikuti dengan peristiwa merembasnya air dari dalam gel pati yang
disebut sineresis (syneresis) (Winarno, 1992).
Brabender Amylograph adalah alat yang sangat umum digunakan untuk
menganalisis sifat gelatinisasi pati. Menurut Zobel (1990), Amylograph
digunakan secara luas didalam mengkarakterisasi pasta pati. Enam poin
penting yang terdapat pada kurva viskositas amylograph umumnya dikenal
sebagai :
1. Pasting Temperature – menunjukkan awal pembentukan pasta;
bervariasi berdasarkan jenis pati dan modifikasinya serta adanya aditif
pada suspensinya (Slurry)
2. Peak Viscosity – menunjukkan viskositas maksimum
3. Viskositas pada 95 oC – menunjukkan tingkat kemudahan pemasakan
pasta pati
4. Viskositas setelah holding pada 95 oC selama 1 jam (ISI : 20 menit) –
menunjukkan kestabilan pasta selama pemasakan pada pangadukan
yang relatif pelan.
5. Viskositas pada 50 oC – mengukur setback (peningkatan kembali
viskositas) yang terjadi selama pendinginan pasta panas.
6. Viskositas setelah holding pada 50 oC selama 1 jam (ISI : 20 menit) –
menunjukkan stabilitas pasta di bawah kondisi penggunaan.

13
Contoh analisis sifat gelatinisasi pati menggunakan Brabender
Amylograph dapat dilihat pada Gambar 3.

B
C

Viscosities of unmodified starches


Gambar 3. Hasil pengamatan viskositas dengan Brabender
Amylograph (Moore et al, 1984)

Keterangan pada kentang, A : Pasting temperature, B : Peak viscosity,


C : Viskositas pada suhu 95 oC, D : Viskositas setelah holding pada
suhu 95 oC, E : Viskositas pada 50 oC

C. Tapioka
Tapioka atau pati singkong adalah pati yang diperoleh dari akar yang
menggelembung (umbi) dari tanaman singkong. Terdapat dua jenis singkong
yang umum dibudidayakan yaitu: varietas yang pahit, Jatropha manihot atau
Maniot utilisima dan varietas yang manis, Jatropha dulcis atau Manihot
palmata. Umbi singkong biasanya mengandung sedikit asam sianida (HCN)
yang akan hilang selama proses ekstraksi pati. Varietas yang pahit biasanya
menghasilkan pati yang lebih tinggi dan inilah yang umumnya ditanam untuk
diambil patinya, hanya saja memiliki kandungan HCN yang lebih tinggi dari
varietas manis (Jackson, 1976).
Asam sianida yang ada pada singkong diproduksi akibat adanya aktifitas
enzim terhadap glikosida, phaseolunatin. Jumlah HCN pada singkong terdapat
pada kisaran yang lebar, yaitu 0.01-0.035% didalam umbi singkong pahit. Dan

14
pada bagian korteks varietas manis dengan persentase yang sama. Pada umbi
hanya mengandung 0.004-0.015% HCN. Selama pengeringan di bawah sinar
matahari kandungan HCN dapat turun mencapai 0.0006%-0.0017%. Didalam
proses pembuatan tapioka asam sianida ini sedapat mungkin harus
dikendalikan, karena ketika dibebaskan, HCN akan membentuk ferrosianida
yang berwarna biru (Jackson, 1976).
Secara umum, umbi singkong mengandung 60-75% air dan 20-30% pati,
tetapi variasinya mulai dari yang terendah 12% hingga yang tertinggi 33%.
Singkong pahit kemungkinan memiliki lebih banyak pati dari singkong manis.
Secara komersial, perusahaan membeli singkong dari petani berdasarkan
kandungan pati yang dapat ditentukan dengan metode Specific Gravity
Methode. Metode ini telah digunakan di eropa sebagai dasar pembelian
kentang selama lebih dari 100 tahun. Setelah specific gravity dari sampel
sebanyak 3-4 kg diperoleh, dibandingkan dengan monogram yang
menunjukkan persentase dari pati (Jackson, 1976).
Spesific Gravity (SG) adalah unit dimensionless yang didefinisikan
sebagai rasio dari densitas material terhadap densitas dari air pada suhu yang
spesifik. Spesific Gravity dirumuskan sebagai :
SG = ρ/ ρH2O
dimana : SG = specific gravity, ρ = densitas fluida atau substansi (kg/m3),
ρH2O = densitas air (kg/m3). Densitas air yang umumnya digunakan sebagai
referensi adalah pada 4oC (39oF), pada titik ini densitas air berada pana nilai
tertinggi (1000 kg/m3 atau 62.4 lb/ft3) (Anonim, 2009b)
Sejumlah metode percobaan untuk menentukan spesific gravity dari
padatan, larutan, dan gas telah dibuat. Padatan ditimbang terlebih dahulu di
udara, kemudian ditimbang kembali dengan merendam padatan tersebut
didalam air. Perbedaan bobot diantara penimbangan di udara dengan
penimbangan di dalam air, berdasarkan prinsip archimedes, adalah bobot air
yang digamtikan oleh volume padatan. Apabila padatan memiliki densitas
lebih rendah dari air, beberapa metode harus ditambahkan untuk membuat
singkong benar-benar terendam, seperti dengan menambahkan sistem kerekan
(pulley) atau sinker yang diketahui massa dan volumenya. Spesific gravity dari

15
padatan adalah rasio dari bobot di udara dengan selisih antara bobot di udara
dengan bobot di dalam air (Anonim, 2009c). Contoh alat dapat dilihat pada
Gambar 4.

Keranjang untuk
Skala timbangan menimbang singkong Keranjang untuk
menimbang singkong
Penampung air di dalam air
di udara

Gambar 4. Timbangan kadar pati dengan metode Specific Grafity


Methode (Sungzicaw, 2007)

Spesific gravity metode ini dapat digunakan untuk mengukur kadar pati
singkong dengan melihat hubungan spesific gravity dengan kadar pati.
Hubungan spesific gravity pada singkong dengan kadar pati dapat dilihat pada
Tabel 1 (Sungzikaw,2007).
Tabel 1. Hubungan Spesific Grafity dengan kadar pati singkong
(Sungzikaw, 2007)
Wu Wa Wu-Wa Spesific Kadar Pati
(gram) (gram) (gram) Gravity (%)
5000 440 4560 1.0965 18.2
5000 460 4540 1.1013 19.2
5000 480 4520 1.1062 20.3
5000 500 4500 1.1111 21.3
5000 520 4480 1.1161 22.3
5000 540 4460 1.1211 23.3
5000 560 4440 1.1261 24.4
5000 580 4420 1.1312 25.4
5000 600 4400 1.1364 26.4
5000 620 4380 1.1416 27.4
5000 640 4360 1.1468 28.5
5000 660 4340 1.1621 29.5
Keterangan : Wu=bobot di udara, Wa=bobot di dalam air

16
Pabrik pengolahan tapioka biasanya berlokasi dekat dengan area
penanaman singkong untuk meminimalkan biaya transportasi, dan yang lebih
penting lagi, untuk memungkinkan pemprosesan singkong dengan waktu yang
paling singkat (Corbishley dan Miller, 1984).
Singkong dihantarkan ke pabrik dan disimpan di tempat penyimpanan
(bunker) dari kayu atau beton. Proses bongkar-isi bunker harus selalu diawasi
untuk memastikan singkong yang dipanen lebih awal diproses lebih awal.
Singkong biasanya dipindahkan ke mesin pencuci dengan menggunakan
konveyor. Setelah pencucian, kulit terluar dihilangkan. Bagian lebih dalam
dari kupasan, atau korteks, tidak dibuang karena memiliki pati yang dapat
di-recovery melalui proses yang modern. Mesin pencuci biasanya berupa
mesin berbentuk-U dengan pedal yang menggerakkan singkong yang telah
dicuci ke mesin pengupas. Mesin pengupas dapat terintegrasi pada mesin
pencuci ataupun terpisah. Singkong dikupas dengan abrasi antar singkong atau
antara singkong dengan dinding dan pedal dari mesin pencuci dan pengupas
(Corbishley dan Miller, 1984).
Proses selanjutnya adalah ekstraksi pati. Untuk mendapatkan pati, semua
dinding sel singkong harus dihancurkan. Untuk memperoleh pati dengan
kualitas yang tinggi, singkong yang telah dikupas di potong-potong (chopped)
dulu menjadi berukuran 30-50 mm dan di lanjutkan ke mesin pemarutan
(rasping device). Variasi kecepatan konveyor digunakan untuk mengkontrol
kecepatan pemasukan bahan. Penghancuran yang efisien dibutuhkan untuk
mendapatkan hasil ekstraksi yang tinggi. Fungsi ini dapat dilakukan dalam
satu atau dua tahap, tergantung efisiensi dari mesin. Mesin pemarut adalah
mesin penghancur dengan kecepatan perputaran yang tinggi. Setelah
pemarutan, HCN di singkong akan bebas dan terlarut dalam air pencuci.
Reaksi HCN dengan besi dapat menghasilkan ferrosianida yang berwarna
kebiruan, oleh karena itu mesin pemarut dan mesin-mesin yang lain serta pipa
yang berinteraksi dengan pati dibuat dari stainless steel atau bahan lain yang
resisten (Corbishley dan Miller, 1984).

17
Setelah penghancuran, pulp dicuci dengan menggunakan saringan
(screens) sehingga serat tertahan sedangkan bagian patinya lolos dari saringan.
Saringan ini biasanya berbentuk kerucut berputar, menyudut, atau bak.
Pada setiap kondisi, penyaringan counter current tetap dibutuhkan
(Corbishley dan Miller, 1984).
Larutan pati kasar (crude starch milk) yang telah melewati tahap
pencucian dan penyaringan pada konsentrasi 30Be (54 kg pati/m3), dilewatkan
pada degritting screen, dimana apabila ada benda asing yang kecil akan
dihilangkan, setelah itu masuk ke continous centrifuges dimana pati akan
dipisahkan dari serat yang masih ada dan bahan terlarut. Partikel pati
kemudian disemprotkan melalui nozel-nozel didalam mangkuk bulat,
sedangkan fraksi yang mengandung serat halus dan bahan terlarut dikeluarkan
melalui conical disc dengan bantuan pompa sentrifugal. Air bersih
dimasukkan melalui nozel dekat pati yang dikumpulkan. Air bersih inipun
menggantikan air yang kotor yang dialirkan ke bagian pencuci serat dan
pencuci singkong (Corbishley dan Miller, 1984).
Pada setiap operasi sentrifugasi, pati dicuci dengan air yang mengandung
sulfur dioksida (SO2) 0.05% secara counter current. Penggunaan SO2 penting
untuk mengkontrol aktivitas mikroba pada proses pemisahan pati dengan air.
Larutan yang mengandung pati akan keluar dari proses purifikasi berupa
slurry dengan total solid 38-42%, sedangkan total solid larutan pati yang telah
melewati penyaring vakum adalah 40-45% dan yang telah melewati basket
centrifuge memiliki total solid 32-37%. Larutan pati yang telah dihilangkan
sebagian airnya digerakkan ke pengering, baik itu tipe drum, belt, tunnel, atau
flash. Jenis pengering yang paling umum adalah tipe pengering flash
(pneumatic), yang udara panasnya dihasilkan dari heater (coil uap, gas, atau
burner berbahan bakar minyak) dengan suhu mencapai 1500C. Pati yang telah
kering (k.a. 12-14%) dipisahkan dari udara lembab didalam siklon-siklon,
kemudian digiling dan disaring (Corbishley dan Miller, 1984).

18
Menurut DSN (1994), SNI 01-3451-1994 menyatakan tapioka sebagai
pati (amylum) yang diperoleh dari umbi ubi kayu segar (Manihot utilisima
Pohl atau Manihot usculenta Crantz) setelah melalui proses pengolahan
tertentu, dibersihkan dan dikeringkan. Tapioka digolongkan menjadi tiga jenis
mutu, yaitu mutu I, mutu II, dan mutu III. Syarat mutu tapioka dapat dilihat
dari dua sisi yaitu syarat mutu organoleptik (sehat, tidak berbau apek atau
masam, murni, dan tidak kelihatan ampas dan/atau bahan asing) dan syarat
teknis. Syarat teknis mutu tapioka ini dapat dilihat pada Lampiran 3.

D. Proses Pengeringan
Pengeringan adalah salah satu metode pengawetan makanan yang paling
tua. Masyarakat primitif melakukan pengeringan terhadap daging dan ikan
dibawah sinar matahari jauh sebelum masehi. Sekarang ini pengeringan
makanan tetap penting sebagai metode pengawetan. Pangan kering bisa
disimpan dalam waktu lama tanpa terjadi kerusakan. Alasan utamanya adalah
mikroorganisme yang menyebabkan keracunan dan kerusakan makanan tidak
mampu tumbuh dan memperbanyak diri pada kondisi tidak adanya air bebas
dan banyak enzim yang memacu perubahan komposisi kimia yang tidak
diinginkan tidak dapat berfungsi tanpa adanya air (Earle, 1983). Selain itu
penurunan berat dan kekembaan serta stabilitas penyimpanan dari produk
yang dikeringkan akan mampu menurunkan biaya penyimpanan dan
distribusi. Sebagaimana teknik pengeringan yang menghasilkan produk yang
berkualitas baik dan sesuai telah dikembangkan, lebih banyak produk hasil
pengeringan yang secara komersial yang mungkin akan dikembangkan
(Toledo,1991).
Pengawetan adalah alasan utama dilakukannya pengeringan, akan tetapi
pengeringan dapat juga terjadi bersamaan dengan proses yang lain. Sebagai
contoh pada pemanggangan roti, aplikasi panas menghasilkan gas, mengubah
struktur dari protein dan pati, dan mengeringkan bongkah roti. Kehilangan
air dapat juga terjadi tanpa diinginkan, sebagai contoh pada saat pemeraman
keju dan pada penyimpanan segar atau penyimpanan beku daging
(Earle, 1983).

19
a. Teori Dasar
Secara teknik, pengeringan didefinisikan sebagai aplikasi panas pada
kondisi yang terkontrol untuk menghilangkan mayoritas air yang secara
normal terdapat didalam pangan melalui penguapan (atau pada kasus
freeze drying melalui penyubliman). Definisi ini tidak termasuk operasi
yang menghilangkan air dari bahan pangan yang menghilangkan air lebih
sedikit dari pengeringan (seperti separasi dan pemekatan membran,
evaporasi, dan pemanggangan) (Fellows, 2000).
Pengeringan bahan pangan berarti penghilangan air dari pangan.
Pada kebanyakan kasus, pengeringan dicapai dengan menguapkan air yang
ada pada pangan, dan untuk melakukan ini panas laten penguapan harus
disupply. Sehingga ada dua faktor pengkontrol proses yang penting yang
masuk ke dalam unit operasi pengeringan, yaitu :
(a). transfer panas untuk menyediakan panas laten yang cukup untuk
penguapan
(b) pergerakan air atau uap air melalui material pangan dan kemudian
lepas dari pangan untuk mempengaruhi pemisahan air dari pangan
(Fellows, 2000).
Produk yang dikeringkan menjadi awet karena memiliki aktivitas air
pada level dimana aktivitas mikrobial tidak dapat terjadi atau minimum.
Aktivitas air (aw) di ukur sebagai kelembaban udara kesetimbangan
(equilibrium relative humiditi/ERH), yaitu persen kelembaban udara pada
atmosfir yang kontak dengan produk pada kadar air kesetimbangan.
aw juga merupakan rasio dari tekanan parsial air pada permukaaan produk
(P) dengan tekanan uap jenuh (Po) pada suhu yang sama.
aw = ERH = P/Po
Hubungan antara aw dengan kecepatan kerusakan makanan
ditunjukan oleh Gambar 5. Penurunan aw dibawah 0.7 dapat mencegah
kerusakan mikrobial. Akan tetapi, walaupun kerusakan mikrobial tidak
terjadi pada aw=0.7, pencegahan reaksi kerusakan lain dibutuhkan untuk
mengawetkan makanan secara baik. Usaha yang dilakukan yaitu dengan
menurunkan aw hingga 0.3 (Toledo,1991).

20
Relative reaction rate
Lipid Oxidation

Moisture Content
Maillard

Bacteria
isoterm Yeasts
Enzymes Molds

Water Activity
Gambar 5. Hubungan aktivitas air dengan kecepatan reaksi (FAO, 2002)

Selama pengeringan, air yang diuapkan hanya dari permukaan.


Transfer dari uap air dari permukaan yang lembab ke udara pengering
analog dengan transfer panas, sehingga digunakan koefisien transfer
massa. Flux uap air proporsional terhadap gaya dorong (driving force)
yang dihasilkan akibat adanya perbedaan tekanan uap air pada permukaan
produk dengan tekanan uap air pada udara disekitar produk. Pada waktu
yang bersamaan dengan hilangnya air dari permukaan produk, air
berdifusi dari bagian interior produk ke permukaan (Toledo,1991).

Drying air

Moisture
Food cells

Gambar 6. Pergerakan uap air selama pengeringan(Fellows, 2000)

21
b. Pengeringan Udara (Air Drying/Pneumatic Drying)
Pengeringan udara adalah proses pengeringan yang menggunakan
udara sebagai medium pengeringan. Pada pengeringan udara kecepatan
penghilangan air tergantung pada kondisi udara, sifat bahan pangan dan
desain mesin pengering. Air dalam bahan pangan dapat dikelompokkan
menjadi beberapa kategori berdasarkan derajat keterikatan pada bahan
pangan, akan tetapi utamanya dibagi menjadi dua kategori yaitu air bebas
dan air terikat (Earle, 1983).
Air tertahan pada bahan pangan akibat adanya gaya, yang intensitas
gaya ikat ini bervariasi dari sangat lemah yang menahan air pada
permukaan bahan pangan hingga sangat kuat yaitu berupa ikatan kimia.
Didalam pengeringan, sangat jelas bahwa air terikat dengan lemah maka
akan dapat dihilangkan dari bahan pangan dengan lebih mudah. Sehingga
dapat diharap bahwa kecepatan pengeringan akan menurun apabila kadar
air bahan pangan menurun, dengan air yang masih tersisa menjadi semakin
terikat dengan lebih kuat seiring penurunan jumlahnya pada bahan pangan
(Earle, 1983).
Pada kebanyakan kasus, bagian substansial dari air tidak terikat. Air
ini dapat dianggap sebagai air bebas pada permukaan bahan. Kondisi
dimana pengeringan berjalan ketika air terdapat pada permukaan bahan
(free surface) disebut sebagai constant rate drying. Kecepatan
pengeringan yang tertinggi normalnya terjadi pada situasi constant rate,
kemudian sebagaimana proses pengeringan, kadar air bahan turun dan
pergerakan air dari interior bahan pangan ke permukaan mempengaruhi
kecepatan pengeringan dan membuatnya turun (Earle, 1983). Ketika kadar
air bahan pangan berada dibawah kadar air kritis, kecepatan pengeringan
secara perlahan akan turun hingga mendekati nol pada kadar air
kesetimbangan (dimana bahan pangan menjadi berkesimbangan dengan
udara pengering). Keadaan ini dikenal sebagai falling rate periode
(Fellows, 2000).

22
Drying air

Moisture content

Gambar 7. Kurva hubungan kadar air dengan kecepatan pengeringan


(Fellows, 2000), B-C : Constant rate periode; C-D :
Falling rate periode.

Flash dryer merupakan salah satu aplikasi dari pengeringan udara.


Pada pengeringan jenis ini bubuk basah atau bahan pangan partikulat,
biasanya kadar airnya dibawah 40% dan ukuran partikel berkisar 10-500
µm, dialirkan kedalam cerobong metal dan dicampurkan dengan udara
panas (Fellows, 2000).
Komponen utama dari Flash Drying System adalah cerobong vertikal
atau flash tube dimana proses pengeringan terjadi. Sebuah kipas (fan)
menarik gas pengering (biasanya udara, adakalanya gas inert seperti
nitrogen) melalui pemanas (heater) dan naik melewati flash tube. Feed
(bahan yang akan dikeringkan) masuk ke dalam aliran gas pengering, yang
secara instan melingkupinya dan membawanya ke alat pengumpul yang
biasanya berupa Cyclone atau bag collector (GEA, 2009a).

Cyclone Exhoust
collector fan
Flash
duct

Feed Product

Supply Air
Heater fan Filter
Feeder

Gambar 8. Sistem Flash Drying sederhana (GEA, 2009a)

23
Flash dryer sederhana cocok digunakan untuk produk pada kisaran
yang luas, mulai dari bahan kimia anorganik seperti natrium bikarbonat,
gypsum and alumina hingga produk organik dari pati hingga material
polimer (GEA, 2009b). Pengeringan pneumatik ini relatif memiliki biaya
modal dan pemeliharaan yang rendah, kecepatan pengeringan yang tinggi,
dan kemampuan mengkontrol kondisi pengeringan yang lebih mudah,
yang membuatnya cocok untuk pengeringan bahan yang sensitif terhadap
panas (Fellows, 2000).
c. Efisiensi Energi Pengeringan
Efisiensi energi selama pengeringan jelas sangat penting, dimana
konsumsi energi merupakan komponen biaya pengeringan yang utama.
Pada dasarnya efisiensi energi merupakan rasio dari energi minimum yang
dibutuhkan untuk pengeringan dibandingkan dengan energi yang
benar-benar digunakan. Akan tetapi karena hubungan yang sangat
kompleks antara bahan pangan, air dan media pengering yang biasanya
adalah udara, nilai efisiensi yang diukur dapat berbeda-beda,
masing-masing tepat untuk keadaan yang sesuai. Oleh sebab itu dapat
dipilih parameter pengukuran yang sesuai dengan proses tertentu.
Perhitungan efisiensi sangat berguna ketika menaksir performance mesin
pengering, melakukan pengembangan proses, dan dalam membuat
perbandingan diantara beberapa kelas mesin pengering yang mungkin
dapat menjadi alternatif untuk operasi pengeringan tertentu (Earle, 1983).
Panas harus disupply untuk memisahkan air dari bahan pangan.
Jumlah panas minimum untuk menghilangkan air diperlukan, yaitu untuk
mensupply panas laten penguapan air, sehingga salah satu penggukuran
efisiensi adalah rasio energi minimum dengan energi yang benar-benar
disediakan untuk proses tersebut (Earle, 1983).
Cara pengukuran efisiensi yang dapat digunakan untuk pengeringan
udara adalah dengan melihat keseimbangan panas udara, dengan
memperlakukan unit pengering sebagai sistem adiabatik sehingga tidak
ada pertukaran panas dengan lingkungan. Pada kondisi ini, panas yang
dipindahkan ke dalam bahan pangan untuk proses pengeringan bahan

24
pangan tersebut sebanding dengan penurunan suhu udara pengering, dan
panas yang harus disuplai sebanding dengan peningkatan suhu dari udara
lingkungan didalam pemanas udara (air heater). Sehingga efisiensi dari
pengeringan udara-adiabatik ini dapat didefinisikan sebagai :
ή = (T1-T2)/(T1-Ta)
dimana T1=suhu udara masuk, T2= suhu udara keluar dari pengeringan,
Ta=suhu udara lingkungan. Dalam hal ini selisish antara T1 dan T2, adalah
faktor utama didalam efisiensi (Earle, 1983).
d. Psikrometri
Kapasitas penghilangan air oleh udara tergantung pada kelembaban
udara dan suhu udara. Studi mengenai hubungan antara udara dengan air
yang terkandung didalamnya inilah yang disebut sebagai psikrometri
(Earle, 1983).
Grafik kelembaban sebagai fungsi dari suhu pada berbagai derajat
kejenuhan merupakan inti dari kurva psikrometri. Proses yang terdiri dari
penyerapan dan pelepasan air oleh udara pada suhu ruang, kurva
psikrometri sangat berguna untuk menentukan perubahan didalam suhu
dan kelembaban. Keistimewaan lain dari kurva psikrometri adalah suhu
bola basah (wet bulb temperature). Ketika termometer dibungkus dengan
kaos basah pada bagian ujungnya (bulb) dan ditempatkan pada aliran
udara, penguapan air dari kaos akan mendinginkan bulb sehingga suhu
bulb menjadi lebih rendah dari bulb kering. Perbedaan suhu ini dikenal
sebagai wet bulb depression dan ini merupakan fungsi dari kelembaban
relatif dari udara. Udara yang lebih lembab akan menyebabkan penguapan
lebih rendah, ditunjukkan oleh wet bulb depression yang lebih rendah
(Toledo,1991).

25
Absolute humidity, kg kg-1
Dry bulb temperature, oC

Gambar 9. Kurva Psikrometri (Earle, 1983)

Beberapa hal yang dapat ditentukan dengan menggunakan kurva


psikrometri adalah sebagai berikut (Toledo,1991) :
1. Kelembaban (kelembaban mutlak, H), yaitu rasio massa dari air
terhadap udara kering didalam campuran
2. Kelembaban relatif (% RH), yaitu rasio dari tekanan parsial dari air
di udara dengan tekanan uap air jenuh, dinyatakan dalam persen
3. Suhu bola kering (Dry bulb temperature, Tdb), yaitu suhu udara
yang diukur dengan alat pengukur suhu yang kering
4. Suhu bola basah (Wet bulb temperature, Twb), yaitu suhu udara
diukur dengan alat pengukur suhu yang basah, yang
memungkinkan terjadinya pendinginan dengan adanya penguapan.
5. Titik embun (Dew point), yaitu suhu ketika campuran udara-air
mulai mengalami kondensasi. Pada titik embun, udara dalam
keadaan jenuh dengan uap air. Titik embun juga merupakan suhu
ketika tekanan uap air jenuh sebanding dengan tekanan parsial uap
air di udara.

26
IV. METODOLOGI
A. Kerangka Pemikiran
Pengeringan merupakan tahapan proses pengolahan tapioka yang cukup
penting. Peningkatan efisiensi proses pengeringan tapioka merupakan salah
satu usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi tapioka secara keseluruhan.
Salah satu metode pengukuran efisiensi energi untuk pengeringan udara
adalah dengan melihat keseimbangan panas udara, dengan memperlakukan
unit pengering sebagai sistem adiabatik sehingga tidak ada pertukaran panas
dengan lingkungan sehingga panas yang dipindahkan ke dalam bahan pangan
untuk proses pengeringan bahan pangan tersebut sebanding dengan penurunan
suhu udara pengering, dan panas yang harus disuplai sebanding dengan
peningkatan suhu dari udara lingkungan didalam pemanas udara (air heater).
Sehingga efisiensi dari pengeringan udara-adiabatik ini dapat didefinisikan
sebagai :
ή = (T1-T2)/(T1-Ta)
dimana T1=suhu udara masuk, T2= suhu udara keluar dari pengeringan,
Ta=suhu udara lingkungan. Dalam hal ini selisish antara T1 dan T2, adalah
faktor utama didalam efisiensi (Earle, 1983).
Terdapat tiga faktor saling terkait yang mengendalikan kapasitas udara
untuk menghilangkan air dari bahan pangan yaitu :
1. jumlah uap air yang telah terkandung pada udara sejak awal
2. suhu udara
3. jumlah udara yang melewati (kontak) dengan bahan pangan
Jumlah uap air di udara dapat ditunjukkan sebagai kelembaban mutlak
maupun kelembaban relatif.
Psikrometri adalah studi mengenai hubungan sifat yang saling terkait
didalam sistem udara-uap air. Sifat-sifat ini ditampilkan didalam kurva
psikrometri (Fellows, 2000). Kurva psikrometri merupakan alat yang cukup
baik untuk menganalisis suatu proses pengeringan. Dengan kurva psikrometri
dapat diketahui kemampuan menangkap air dari udara pengering. Dengan
mengamati faktor-faktor yang berkaitan dengan pengeringan diharapkan dapat
diketahui kondisi sebenarnya dari proses pengeringan yang telah berjalan.

27
Dengan data yang diperoleh dapat diusahakan langkah-langkah perbaikan
yang mungkin dapat dilakukan sehingga proses pengeringan menjadi lebih
efisien.

B. Kegiatan Magang
Tahapan kegiatan magang di PT. Umas Jaya Agrotama adalah sebagai
berikut :
1. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan cara bertanya langsung kepada
pegawai di PT. Umas Jaya Agrotama. Wawancara dilakukan untuk
memperoleh informasi berkaitan dengan kondisi umum perusahaan,
proses produksi, pengolahan limbah, dan pengawasan mutu.
2. Pengamatan Pendahuluan
Pengamatan dilakukan pada kondisi proses, kualitas produk, dan
efisiensi energi pengeringan.
a. Kondisi proses
Pengamatan dilakukan terhadap sifat psikrometri udara
pengering, kecepatan udara pengering, kecepatan pemasukan pati
basah, dan sifat dehidrasi pati basah. Pengamatan dilakukan
sebanyak enam kali pada tiga shift produksi yang berbeda. Dua kali
pengamatan dilakukan pada shift siang (08.00-16.00 WIB), dua kali
pada shift sore (16.00-24.00 WIB), dan dua kali pada shift malam
(24.00-08.00 WIB). Hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya
perbedaan sifat psikrometri udara pengering pada waktu pengamatan
yang berbeda. Pada setiap shift produksi dilakukan tiga kali
pengamatan, dengan selang waktu dua jam. Pengamatan hanya
dilakukan tiga kali setiap shiftnya karena dua alasan, pertama karena
banyaknya analisis yang harus dilakukan dalam selang waktu dua
jam, kedua untuk menyesuaikan dengan waktu istirahat karyawan
PT. UJA.

28
Tabel 2. Komponen yang diamati dari proses pengeringan
Titik sampling/ Titik
Pengamatan Komponen yang diamati
pengamatan
Suhu input udara Cerobong pemasukan
(Ta, 0C) udara
Cerobong pemasukan
Relative Humidity (RH, %)
udara
Sifat
psikrometri Volume spesifik input udara Cerobong pemasukan
udara (Vp, m3/kg u.k.) udara
pengering Cerobong (setelah
Suhu udara kering (T1, 0C) melewati oil heat
exchanger)
Cerobong (setelah
Suhu udara basah (T2, 0C)
melewati Cyclone)

Kecepatan Cerobong pemasukan


Kecepatan udara (m/s)
pemasukan udara
udara (debit Luas penampang cerobong Cerobong pemasukan
udara) pemasukan udara (m2) udara
Kecepatan pemasukan pati
Kecepatan Feeder oven
basah (rpm variable speed)
pemasukan pati
basah Dimensi unit pemasukan pati
Unit Feeder oven
basah
Sifat dehidrasi
pati basah (Fase Pati basah feeder oven Feeder oven
pengeringan)

Pengamatan sifat psikrometri dilakukan dengan menggunakan


psikrometer, termocouple dan kurva psikrometri. Psikrometer
digunakan untuk mengetahui suhu input udara dan RH input udara,
termoucouple digunakan untuk mengetahui suhu udara basah dan
suhu udara kering, sedangkan sifat psikrometri yang lain (volume
spesifik, kelembaban mutlak udara basah dan kelembaban mutlak
udara kering) diketahui melalui kurva psikrometri.
Kecepatan pemasukan udara (m/s) diukur dengan menggunakan
EXTECH® Thermo-Anemometer. Debit pemasukan udara (m3/Jam)
dihitung dengan melihat luas penampang cerobong pemasukan
udara. Kecepatan pemasukan pati basah diketahui melalui panel

29
kontrol, yaitu dengan melihat kecepatan putar variable speed feeder
(rpm). Kecepatan dalam rpm ini kemudian digunakan untuk
mengetahui debit pemasukan pati basah (m3/Jam) dengan melihat
dimensi unit feeder oven.
Pengamatan sifat dehidrasi pati basah dilakukan dengan
menggunakanan Kett FD-600. Prinsipnya ialah dengan mengamati
penurunan kadar air pati basah setiap menit selama pengeringan.
b. Kualitas produk
Dilakukan untuk mengetahui pengaruh proses pengeringan
terhadap kualitas produk. Pengamatan dilakukan terhadap kadar air
pati basah, kadar air pati kering, derajat putih pati kering, persentase
kerak, Retained on 100 mesh pati kering, dan, profil gelatinisasi pati.
Tabel 3. Parameter mutu yang diamati dari sampel pati kering valve
cyclone
Pengamatan Metode/alat analisis Titik sampling
Kadar air pati basah Kett F 1B Feeder oven
Kadar air pati kering valve
Kett FD-600 Valve Cyclone
Cyclone
Profil gelatinisasi pati Brabender Amilograph Valve Cyclone
Derajat putih Whiteness meter Valve Cyclone
Persentase kerak Shieve shaker Valve Cyclone
Kehalusan (Retained on
Shieve shaker Valve Cyclone
100 mesh)

c. Efisiensi energi
Dilakukan dengan mengamati suhu input udara (Ta), suhu udara
kering (T1), dan suhu udara basah (T2). Efisiensi energi dihitung
dengan rumus : ή = (T1-T2)/(T1-Ta).
3. Rancangan Optimasi Proses Pengeringan
Optimasi dilakukan dengan melakukan running proses dengan
berdasarkan data yang diperoleh dari pengamatan kapasitas pengeringan
udara pengering (sifat psikrometri udara pengering) dan kecepatan
pemasukan pati basah. Rancangan optimasi proses dibuat dengan cara

30
memperkirakan kadar air pati kering yang akan diperoleh apabila kondisi
psikrometri udara dan kecepatan pemasukan pati basah diketahui.
C. Metode Analisis
1. Pengamatan Dry Bulb Temperature dan RH input udara
Alat : Psikrometer
Prosedur kerja :
a. menghidupkan alat
b. menempatkan posisi sensor elektrik pada titik yang akan diukur
Tdb dan RH nya
c. menekan “Hold”
d. membaca nilai Tdb dan RH pada alat
2. Pengamatan Suhu udara basah dan suhu udara kering
- dengan melihat penunjuk suhu thermocouple pada panel flash dryer
3. Pengamatan Kecepatan udara
Alat : EXTECH® Thermo-Anemometer
Prosedur kerja :
a. menghidupkan alat
b. menempatkan posisi sensor elektrik pada titik yang akan diukur
kecepatan udaranya
c. menekan “Hold”
d. membaca nilai kecepatan udara pada alat (m/s)
e. pengukuran dilakukan pada beberapa titik untuk memperoleh
nilai rata-rata kecepatan udara
f. untuk memperoleh debit udara, kecepatan udara (m/s) kalikan
dengan luas penampang cerobong pemasukan udara (m2)
g. membagi debit pemasukan udara (m3/jam) dengan volume
spesifik udara (m3/kg udara kering) untuk memperoleh kecepatan
pemasukan udara dalam kg udara kering/Jam
4. Kapasitas penangkapan air udara pengering
a. mengamati kelembaban spesifik udara kering (H1) dan
kelembaban spesisik udara basah (H2) dengan kurva psikrometri

31
b. menghitung kapasitas penangkapan air udara pengering dengan
rumus: Kapasitas penangkapan air udara (kg air/kg u.k.) = H2-H1
5. Kapasitas pengeringan
• kapasitas pengeringan dihitung dengan rumus :
kapasitas pengeringan (kg air/Jam) = kapasitas penangkapan air
udara (kg air/kg u.k.) x kecepatan udara (kg u.k./Jam)
6. Pengamatan Kadar air pati basah (PT. UJA 1)
Alat : Moisture Meter KETT F1-B
Bahan : Pati basah DC
Prosedur kerja :
a. memastikan alat bersih dan setimbang
b. mengatur tinggi lampu sehingga suhu analisis 105-1100C
c. menimbang sampel sebanyak 5 gram
d. menghidupkan lampu selama 20 menit
e. mematikan lampu, geser posisi bandul % kadar air pada alat ukur
7. Pengamatan Kecepatan pemasukan pati basah
Prosedur kerja :
a. melihat penunjuk rpm variable speed control pada panel flash
dryer
b. mengalikan dengan faktor konversi untuk rpm ulir feeder oven,
yaitu
0,0875 untuk flash dryer 1 dan 0,0694 untuk flash dryer 2
c. menghitung debit pemasukan dengan rumus :
debit (m3/Jam) = rpm feeder oven (rotasi/menit) x volume 1 pitch
ulir/volume yang dipindahkan dalam sekali putaran ulir
(3,1.10-3 m3/rotasi) x 60 menit/jam
d. menghitung kecepatan dalam kg/jam dengan mengalikan debit
pemasukan (m3/jam) dengan densitas pati basah
(rata-rata = 467,6 kg/m3)
*) skema unit feeder oven dapat dilihat pada Lampiran 4.
8. Pengamatan Kadar air Pati Kering valve cyclone (PT. UJA 1)
Alat : Moisture Meter Kett FD-600

32
Bahan : Pati kering Valve Cyclone

Prosedur kerja :
a. memastikan alat bersih
b. meletakkan pan kosong, tekan Tare sehingga berat terbaca 0,00
gram
c. menimbang sampel pada pan sebanyak 5,00 gram
d. menutup penutup lampu, tekan tombol “START+STOP”
e. mengatur waktu pengeringan 20 menit
f. membaca hasil analisa kadar air setelah pengeringan 20 menit
9. Pengamatan profil gelatinisasi pati (ISI-19-6e, 1999)
Alat : Brabender Amilograph, gelas piala 500 ml,
timbangan , pengaduk magnetik, air destilata
Bahan : Pati kering Valve Cyclone
Prosedur kerja :
Tahap persiapan
a. membuat 5% (w/v) suspensi contoh (ISI 19-6e) dalam 400 ml air.
kemudian suspensi tersebut diaduk dengan menggunakan
pengaduk magnetik sehingga suspensi pati homogen
b. memasukkan suspensi pati ke dalam wadah mangkuk dan
pengaduk berputar
Tahap pengukuran
a. memasang wadah mangkuk berisi contoh tersebut pada alat
Brabender Amilograph
b. sebelum alat dinyalakan, pastikan rekorder terpasang secara benar
dengan pensil pencatat terletak pada garis dasar (0 BU)
c. memberi tanda pada kertas pencatat (recorder) dengan spidol
sebagai awal proses pemasakan. Sumbu x menyatakan waktu
(menit) dan sumbu y menyatakan viskositas (Brabender Unit/BU)
d. mengatur tombol pengontrol pada posisi heating. Set suhu awal
adalah 450C. mengatur alat pada posisi “ON”.

33
e. mengamati saat viskositas mulai terbaca (suhu awal gelatinisasi),
yaitu saat alat pencatat mulai bergerak ke atas dari garis dasar.
f. mengamati saat viskositas mulai menurun, yaitu saat kurva
viskositas mulai menurun setelah mencapai titik puncaknya.
g. melakukan pemanasan hingga suhu 930C, setelah itu holding
selama 20 menit dengan mengatur posisi pengatur suhu pada
posisi holding
h. setelah holding, alat diatur pada posisi cooling (pendinginan).
Pendinginan dilakukan hingga suhu 500C (standar ISI proses
pendinginan hingga suhu 500C tidak lebih dari 20 menit)
i. setelah pendinginan berakhir, alat amilograph dimatikan dan
wadah contoh dikeluarkan dari alat
10. Pengamatan derajat putih (Whiteness) (PT. UJA 1)
Alat : Kett Digital Whitenessmeter Model
C-100-3
Bahan : Pati kering Valve Cyclone
Prosedur kerja :
a. memastikan alat dalam kondisi bersih
b. menghubungkan unit ke power listrik
c. memasang kristal kalibrator (BaSO4), tekan tombol power tunggu
selama 5 menit hingga pada layar display tampil nilai 86.5%
d. jika angka yang tampil bukan 86.5%, tombol “Sens” ditekan
e. mengisikan sampel tapioka pada wadah (cup)
f. mengambil kalibrator dan ganti dengan sampel
g. membaca nilai derajat putih sampel sampai 3 kali
h. memunculkan nilai rata-rata dengan menekan tombol “AV”
11. Persentase kerak dan Kehalusan produk (PT. UJA 1)
Alat : Shieve Shaker dengan saringan ukuran
saringan (shifter) 80 mesh dan 100 mesh
Bahan : Pati kering Valve Cyclone
Prosedur kerja :
a. menimbang sampel sebanyak 50 gram

34
b. meyusun saringan shifter (bagian atas 80 mesh dan bagian bawah
100 mesh)
c. mengunci shieve shaker
d. menghidupkan mesin, waktu shieving diatur selama 10 menit
e. menimbang kerak (tidak lolos 80 mesh), pati kasar (tidak lolos
100 mesh)
f. menghitung persentase kerak dan retained on 100 mesh
- persentase kerak = kerak/sampel x100%
- retained on 100 mesh = pati kasar/(sampel-kerak) x 100%
12. Rancangan Optimasi Proses Pengeringan (Perkiraan kadar air pati kering
Valve Cyclone)
Kadar air pati kering valve cyclone dapat diperkirakan berdasarkan
informasi dari pengamatan pendahuluan dengan menggunakan rumus:
Kadar air
= Total air x 100%
Total solid+total air
= (vinput pati basah x k.a. pati basah)-kapasitas pengeringan) x 100%
(kadar solid x vinput pati basah)+( (k.a. pati basah x vinput pati)-kapasitas
pengeringan))

35
V. ASPEK PRODUKSI
A. Bahan Baku Produksi
a. Bahan Baku Utama
Bahan baku utama produksi tapioka adalah umbi singkong
(Manihot esculanta Crantz). Singkong yang banyak digunakan
di PT. UJA 1 saat ini adalah dari varietas Katsetsar dan Thailand. Ciri-ciri
varietas singkong yang digunakan di PT. UJA I dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakter varietas singkong yang diterima PT. UJA 1
Parameter Varietas
Katsetsart Thailand
Warna kulit luar Coklat muda Coklat muda
Tipis dan mudah Tipis dan mudah
Tekstur kulit luar
terkelupas terkelupas
Warna kulit dalam Coklat Coklat
Warna daging Putih Putih kekuningan
Kadar pati (%) 24-28 21-24
(PT UJA 1, 2009)

Singkong yang digunakan sebagai bahan baku di PT. UJA 1


diperoleh dari petani sekitar perusahaan, petani plasma, dan perkebunaan
milik perusahaan sendiri. Petani plasma merupakan bagian dari sistem
Pertanian Inti Rakyat (PIR), dengan perusahaan sebagai Inti dan
masyarakat sebagai Plasma atau unit pendukung. Didalam sistem PIR,
perusahaan menyediakan tanah, bibit, penyuluhan, dan pengawasan,
sebaliknya petani plasma berkewajiban menjual hasil panennya ke
perusahaan.
b. Bahan Pembantu
1. Air Bersih
Air yang digunakan dalam proses pembuatan tapioka diperoleh
dari sumur bor. Sumur bor yang digunakan di PT. UJA I terdapat pada
tiga lokasi di sekitar areal pabrik. Masing-masing sumur bor memiliki
pompa dengan kapasitas 60, 69, dan 73 m3 per jam. Air sumur
kemudian diproses melalui serangkaian penyaringan pada rumah bak
air.

36
2. Belerang
Belerang merupakan bahan pembantu yang berfungsi membantu
proses ekstraksi pati dari komponen-komponen lain seperti serat dan
kotoran. Selain itu belerang juga dapat berfungsi sebagai anti mikroba
dan juga anti pencoklatan (browning). Menurut Winarno (1984), sulfit
digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K-sulfit, bisulfit, dan
metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit
yang terdisosiasi dan terutama terbentuk pada pH di bawah 3. Molekul
sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba, bereaksi dengan
asetaldehida membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh
enzim mikroba, mereduksi ikatan disulfida enzim, dan bereaksi dengan
keton membentuk hidroksisulfonat yang dapat menghambat
mekanisme pernapasan. Selain sebagai pengawet, sulfit juga dapat
berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi ini akan mengikat
melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat.
Belerang yang digunakan di PT. UJA I adalah padatan belerang
yang berbentuk mangkuk dengan berat rata-rata 700 gram. Kristal
belerang tidak langsung digunakan dalam proses produksi, akan tetapi
di bakar terlebih dahulu di tungku pembakaran. Gas SO2 yang
diperoleh kemudian dilarutkan dengan air di menara air belerang.
Gas SO2 yang terlarut dalam air kemudian akan membentuk larutan
asam sulfit (H2SO3) melalui reaksi:
SO2 + H2O H2SO3.
Air yang telah mengandung asam sulfit ini kemudian dialirkan menuju
proses yang ekstraksi pati dengan menggunakan sistem pipa.

B. Proses Produksi
a. Penerimaan Bahan Baku/Singkong (Receiving)
Bahan baku dibawa ke perusahaan dengan menggunakan truk atau
mobil. Sebelum singkong diturunkan, truk yang berisi bahan baku
ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat kotor singkong dan juga

37
dilakukan sampling sebanyak lima kilogram singkong untuk dilakukan uji
kadar pati. Setelah singkong diturunkan, truk kosong ditimbang kembali
sehingga dapat diketahui berat bersih dari singkong yang diterima.
Lantai penerimaan di PT. UJA 1 merupakan lahan terbuka dengan
luas kurang lebih 900 m2. Pengaturan bahan baku dilakukan dengan
menggunakan kendaraan shovel.
b. Pembersihan dan Pengupasan Kulit (Peeling)
Singkong yang ada di lahan penerimaan kemudian dibawa ke hopper
root peeler dengan menggunakan shovel. Shovel memiliki kapasitas
angkut 1,25 ton sedangkan hopper root peeler sendiri memiliki kapasitas
tampung 2 ton, sehingga untuk memenuhi target produksi 1000 ton
singkong dalam satu jam dilakukan pengisian hopper root peeler sebanyak
33-34 kali. PT. UJA 1 memiliki dua unit root peeler, dengan kapasitas
masing-masing 20 ton per unit per jam.
Root peeler merupakan alat yang berbentuk silinder horizontal
terbuka dengan ulir dan celah-celah pada pinggirnya. Selama proses
pengupasan dan pembersihan, root peeler berputar, sehingga terjadi
gesekan antara dinding root peeler dengan singkong dan gesekan antar
singkong itu sendiri. Adanya gesekan ini mengakibatkan terlepasnya tanah
yang ada pada kulit singkong dan terkikisnya kulit singkong. Singkong
yang telah terkupas kemudian dialirkan ke washer dengan menggunakan
belt conveyor, sedangkan tanah dan kulit singkong dialirkan ke
penampungan limbah padat dengan belt conveyor untuk limbah. Gambar
root peeler dapat dilihat pada Gambar 10.

Dinding
Pengatur aliran root peeler
singkong
Roda
penggerak
silinder

Motor penggerak

Gambar 10. Root Peeler (Korat, 2009)

38
c. Pencucian (Washing)
Pencucian dilakukan dengan menggunakan washer, yaitu berupa bak
pencuci yang dilengkapi dengan susunan propeller. Terdapat dua jenis
propeller yang terdapat pada washer, yaitu jenis wire untuk mengaduk
singkong dan jenis plate untuk mengeluarkan singkong dari bak
pencucian. Pada saat pencucian, propeller berputar sehingga terjadi gaya
gesek/gaya aduk dan gaya dorong yang membuat singkong tercuci serta
secara kontinyu digerakkan menuju screw pembawa singkong ke tahap
berikutnya.
PT. UJA 1 memiliki dua unit washer, dan masing-masing unit terbagi
menjadi dua jalur bak pencucian. Bak pencucian pertama disebut bak
pencucian basah karena pada bak ini singkong direndam dengan air
pencuci. Tujuan dari pencucian basah adalah untuk mengoptimalkan
penghilangan tanah dan kotoran dari singkong. Bak kedua disebut bak
pencucian kering karena singkong tidak direndam, karena celah
pembuangan air pada dasar bak lebih lebar dari bak pertama. Tujuan dari
pencucian kering untuk melkukan pembilasan, menghilangkan sisa
kotoran yang masih tertahan setelah pencucian kering.
Air yang digunakan untuk pencucian berasal dari air bersih dan air
buangan light phase separator I. Pipa air bersih terpasang sepanjang bak
pencucian dan screw conveyor, sedangkan pipa air buangan separator
hanya terpasang pada bak pencucian. Gambar washer dapat dilihat pada
Gambar 11.

Bak pencucian
“basah”
Bak pencucian
“kering”
Pipa air

Propeler

Gambar 11. Washer (Korat, 2009)

39
d. Pemotongan dan Pencacahan (Chopping)
Tahap pemotongan dan pencacahan bertujuan untuk memperkecil
ukuran umbi singkong sebelum dilakukan proses pemarutan. Alat yang
digunakan adalah chopper, yaitu suatu alat yang terdiri dari susunan pisau-
pisau tumpul. Terdapat dua susunan pisau pada chopper, yaitu pisau
dinamis yang berputar selama proses pemotongan, dan pisau statis yang
diam selama proses pemotongan. Bahan yang masuk ke dalam chopper
akan terpotong karena perputaran pisau dinamis dan tahanan dari pisau
statis. Hasil proses pemotongan dan pencacahan adalah chip dengan
dimensi sekitar 40 mm3. Chip ini kemudian dibawa dengan menggunakan
screw conveyor ke proses selanjutnya yaitu pemarutan.
Pisau statis disusun secara horizontal dengan jumlah pisau 21 buah,
sedangkan pisau dinamis memiliki jumlah pisau 22 buah. Tebal pisau
adalah 15 mm, dan lebar celah antar pisau adalah 19 mm. kapasitas motor
dari chopper yang ada di PT. UJA 1 adalah 400 rpm, dengan kapasitas
produksi 40 ton per jam. Gambar chopper dapat dilihat pada Gambar 12.

Puli pemutar
pisau

Pengunci
Gambar 12. Chopper (Korat, 2009)

e. Pemarutan (Rasping)
Pemarutan dilakukan dengan menggunakan alat rasper, yaitu berupa
silinder berputar dengan pisau-pisau gergaji berjumlah 84 per unit rasper.
Setiap pisau memiliki dua sisi pisau dengan panjang pisau 50 cm dan
jumlah mata pisau sebanyak 334 (17 mata pisau per inci). Motor rasper
berputar dengan kecepatan 1545 rpm. Rasper yang ada di PT. UJA 1
memiliki kapasitas parut optimal 18 ton/jam. Selama proses pemarutan,
pisau rasper akan mengalami penumpulan sehingga harus dilakukan
penggantian pisau rasper setiap 8-10 jam.

40
Selama proses pemarutan, singkong mengalami proses gesekan
dengan mata pisau rasper sehingga menjadi pulp. Pulp ini kemudian
ditampung didalam bak penampungan pulp dengan kapasitas 10 m3.
Pada bagian bawah bak penampungan terdapat pompa yang akan
mengalirkan pulp menuju tahap berikutnya yaitu ekstraksi. Untuk
mudahkan pemompaan, pulp ini ditambah dengan air dari middle phase
separator I, buangan separator II, dan cairan hasil penyaringan ekstraktor
pulp III. Gambar rasper dapat dilihat pada Gambar 13.

Silinder rasper
Motor
penggerak Pengapit pisau
rasper

Gambar 13. Rasper (Korat, 2009)

f. Ekstraksi (Extraction)
Ekstraksi adalah tahap pemisahan komponen pati dengan komponen
non pati seperti serat. Prinsip kerja dari proses ekstraksi adalah
memisahkan suspensi pati dengan ampas singkong dengan bantuan filter
(saringan) dan gaya sentrifugal. Dengan adanya gaya sentrifugal, suspensi
pati akan terdorong melewati filter, sedangkan ampas akan tertahan pada
filter.
Proses ekstraksi dilakukan dengan menggunakan alat ekstraktor.
Alat ini dilengkapi dengan pipa input air bersih, pipa input air belerang,
pipa input suspensi pati, hopper ampas dan tangki ekstaktor. Bagian dalam
alat ini terdiri dari bagian kerucut yang dindingnya terbuat dari saringan
dengan ukuran lubang lebih kecil dari ampas. Bagian kerucut ini akan
berputar pada porosnya menghasilkan gaya sentrifugal yang akan
mendorong suspensi melewati saringan sehingga suspensi pati lewat dan
ampas tertahan dan terdorong ke atas menuju hopper ampas. Gambar
ekstraktor dapat dilihat pada Gambar 14.

41
Ekstraksi terbagi menjadi dua bagian, yaitu ekstraksi pulp dan
ekstraksi milk. Ekstraksi pulp dilakukan dengan menggunakan ekstraktor
vertikal dengan putaran 1100 rpm dan menggunakan saringan stainless
steel ukuran 60 mesh. Ekstraksi pulp terbagi menjadi tiga tahap dengan
ukuran saringan yang sama. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan
proses ekstraksi. Jumlah unit ekstraktor vertikal yang digunakan adalah
lima unit untuk setiap tahapnya. Ekstraksi milk terbagi menjadi dua tahap
dangan ukuran saringan adalah 160 mesh untuk tahap I dan 305 mesh
untuk tahap II. Saringan yang digunakan pada ekstraksi milk adalah
berbahan nilon (poliester) dan perputarannya adalah 700 rpm. Suspensi
pati hasil ekstraksi kemudian ditampung dalam tangki untuk kemudian
dialirkan menuju separator untuk proses pemurnian pati.

(a) (b)

Wash water

Feed

To foregoing stage Washed goods

(c)
Gambar 14. (a) ekstraktor vertikal, (b) ekstraktor horizontal (Kotat,
2009), (c) skema proses ektraksi (Corbishley dan
Miller, 1984)

42
g. Pemurnian Suspensi Pati (Separation)
Tahap separasi bertujuan memisahkan suspensi pati dengan kotoran
yang masih mungkin terbawa setelah proses ekstraksi serta komponen
non-pati seperti protein dan lemak. Alat yang digunakan adalah separator.
Prinsip kerja alat ini adalah memisahkan suspensi pati dengan komponen
non-pati berdasarkan berat jenisnya dengan bantuan gaya sentrifugal.
Suspensi pati yang lebih berat akan terpisah karena lebih berat sehingga
turun melewati nozzle, sedangkan komponen lain seperti protein dan
lemak yang lebih ringan akan terbawa keatas dan keluar sebagai waste.
Separator yang digunakan di PT. UJA 1 ada dua macam, yaitu
SDA-130 dan DA-100. Perbedaanya terletak pada output yang dihasilkan.
SDA-130 dapat memisahkan suspensi pati menjadi tiga fase, yaitu light
phase, middle phase, dan suspensi pati murni, sedangkan DA-100 hanya
mampu memisahkan menjadi suspensi pati dan non-pati. Light phase
adalah buangan separator yang berat jenisnya paling kecil, terdiri dari air,
asam-asam terlarut, serta sedikit protein dan mineral. Sedangkan middle
phase adalah buangan separator yang lebih besar berat jenisnya dari light
phase , mengandung lemak, protein, mineral dan sedikit air.
Proses separasi terbagi menjadi tiga tahap. Tahap I menggunakan
jenis separator SDA-130 dengan kecepatan putaran antara 2500-4000 rpm
sesuai kebutuhan. Diameter nozzle yang digunakan adalah 2,1 mm dengan
jumlah nozzle 18. Kekentalan yang dihasilkan berkisar 14 oBe. Tahap II
menggunakan separator DA-100 dengan kecepatan putar 3800 rpm dan
jumlah nozzle 12 buah. Diameter nozzle yang digunakan adalah 2,5 mm
o
dan kekentalan yang dihasilkan berkisar 17 Be. Tahap III juga
menggunakan separator DA-100 dan kecepatan 3800 rpm, hanya saja
diameter nozzle yang digunakan adalah 2,3 mm. kekentalan yang
dihasilkan berkisar 20-21 oBe. Tingkat kemurnian pati yang dihasilkan
tahap ini berkisar 70%-80%. Suspensi pati murni kemudian ditampung
dalam tangki sebelum dialirkan ke Dewatering Centrifuge (DC) untuk
proses penurunan kadar air. Gambar separator dapat dilihat pada Gambar
15.

43
Feed of starch

Outlet for effluent

Separator bowl
Nozzle

Hollow spindle

Outlet for concentrated


starch milk

Inlet for washwater

Pump for washwater

Gambar 15. Continous centrifugal starch separator


(Corbishley dan Miller, 1984)

h. Penurunan Kadar Air


Proses penurunan kadar air dilakukan dengan menggunakan alat
Dewatering Centrifuge (DC). Prinsip kerjanya adalah memisahkan air
bebas pada bahan berdasarkan ukuran partikel dengan bantuan gaya
centrifugal dan kain saring (filter) sehingga menghasilkan pati basah
(pati basah). Kadar air pati basah yang dihasilkan biasanya berkisar
34-36%.
Alat DC yang digunakan di PT. UJA 1 ada dua jenis, yang dibedakan
berdasarkan sistem otomatisasinya. Alat DC manual menggunakan alat
pengeruk yang dioperasikan secara manual. Kecepatan putaran DC
750 rpm dan daya tampung bekisar 325 kg. Sedangkan DC semi otomatis
memiliki pompa hidrolik otomatis, sehingga ketika pengerukan ingin
dilakukan, operator tinggal memencet tombol untuk mengeruk. Kecepatan
putar DC semi-otomatis adalah 1100 rpm dengan daya tampung sebesar
225 kg. masing-masing jenis DC yang ada adalah empat unit, hanya saja
yang beroperasi hanya tiga unit untuk masing-masing jenis DC.
Bagian dalam alat ini terdiri dari anyaman kawat berukuran 4-6 mesh
yang dilapisi dengan kain poliester yang memungkinkan hanya komponen
pati yang tertahan. Air dari suspensi pati akan terdorong melewati kain
poliester akibat adanya gaya sentrifugal. Endapan pati basah yang

44
tertinggal pada kain poliester kemudian dikeruk dengan pisau secara
periodik. Hasil pengerukan DC kemudian ditampung dalam screw feeder
menuju hopper yang dilengkapi propeller sebelum ditarik masuk ke dalam
proses pengeringan melalui feeder oven. Gambar Dewatering Centrifuge
dapat dilihat pada Gambar 16.

Pengeruk
hidrolik
Pemasukan
suspensi
pati

Gambar 16. Dewatering Centrifuge Unit (Korat, 2009)

i. Pengeringan (Drying)
Proses pengeringan yang dilakukan di PT. UJA 1 dilakukan dengan
menggunakan flash dryer. Flash dryer sendiri merupakan cerobong yang
dilengkapi blower pada salah satu ujungnya sebagai penyedot udara, heat
exchanger (steam maupun oli) untuk pemanas udara, input pemasukan pati
basah, dan cyclone untuk memisahkan udara dengan tapioka. Media
pengering yang digunakan pengeringan flash adalah udara yang
dipanaskan. Suhu pengeringan berkisar 190oC-210oC.
Pemasukan pati basah dilakukan pada feeder oven. Sebelum masuk
ke dalam flash dryer, pati basah dilewatkan terlebih dahulu pada slinger,
yaitu berupa pisau berputar yang fungsinya memecah gumpalan pati basah
menjadi lebih kecil. Pengecilan ukuran gumpalan pati basah ini bertujuan
mampercepat proses pengeringan dan menghindari pembentukan kerak
yang terlalu banyak.
Proses pada flash dryer dimulai dengan masuknya udara ke dalam
cerobong. Udara kemudian melewati steam tube heat exchanger. Suhu
udara yang awalnya berkisar 33oC akan menjadi 150-160oC. udara ini
kemudian dipanaskan lagi pada oil tube heat exchanger hingga suhu
mencapai 190-210oC. Udara yang telah panas ini kemudian akan bertemu

45
dengan pati basah yang dimasukkan ke dalam flash dryer melalui feeder
oven hingga proses pengeringan terjadi. Pada saat pengeringan, panas
sensibel dari udara pengering akan ditangkap oleh air pada bahan pangan
dan digunakan sebagai panas laten penguapan. Skema pengeringan pada
flash dryer di PT. UJA 1 dapat dilihat pada Lampiran 5.
Proses pengeringan akan menurunkan kadar air tapioka dari sekitar
dari 34% menjadi kurang dari 12,5% (standar UJA). Tapioka yang telah
kering kemudian dipisahkan dari udara pengering dengan adanya cyclone.
Udara yang berat jenisnya kecil akan diteruskan menuju blower,
sedangkan tapioka yang berat jenisnya lebih rendah akan terperangkap
pada cyclone dan akan turun dan terpisah dari udara. Suhu udara basah
setelah terpisah dari tapioka bervariasi tergantung setting kecepatan
pemasukan pati basah, tetapi nilainya berkisar 60oC. sedangkan suhu
tapioka kering juga bervariasi tetapi nilainya berkisar 45oC. Tapioka yang
terkumpul pada dasar cyclone kemudian dibawa dengan screw conveyor
menuju rotary valve untuk kemudian dialirkan menuju ayakan dengan
bantuan blower yang berbeda dengan blower flash dryer. Gambar cyclone
dapat dilihat pada Gambar 17.

Ke blower exhoust

Cyclone

Screw conveyor
Udara
pendingin Ke packing

Gambar 17. (a) Cyclone, (b) skema cyclone (PT. UJA 1)

Pemanasan udara yang dilakukan pada flash dryer ada dua tahap,
yaitu pemanasan udara dengan steam dan pemanasan udara dengan oli
panas. Pemanasan udara dilakukan dengan dua tahap karena panas yang
dihasilkan dari pemanas steam (150-160oC) belum mencapai suhu proses
yang diinginkan yaitu 200oC-210oC. Jenis penukar panas yang digunakan
adalah penukar panas jenis tabung (tube heat exchanger). Perbedaannya

46
hanya pada sumber panasnya. Pada pemanas steam, panas diperoleh dari
steam yang diperoleh dari pembangkit listrik Cogen Plant Departement
PT. GGP yang letaknya bersebelahan dengan PT. UJA 1. Sedangkan
sumber panas pemanas oli adalah oli yang dipanaskan dengan
menggunakan bahan bakar residu, yaitu fraksi minyak bumi yang lebih
rendah dari minyak tanah.
j. Pengayakan (Shieving)
Tapioka yang telah kering kemudian diayak pada mesin pengayak
(shieveter) dengan ukuran ayakan 80 mesh. Mesin pengayak sendiri
merupakan alat yang menggunakan sistem vibrasi dan gerakan vertikal
untuk memisahkan tapioka halus dengan kerak. Kerak adalah pati kering
yang tidak lolos ayakan 80 mesh. Kecepatan putar alat ini adalah 900 rpm.
Tapioka kering yang telah diayak kemudian dialirkan menggunakan screw
feeeder menuju penampungan untuk kemudian dikemas, sedangkan kerak
dikumpulkan untuk kemudian dilakukan re-proses di bak emergency
process.Gambar shifter dapat dilihat pada Gambar 18
Input tapioka kering

Output kerak
output tapioka halus

Gambar 18. Shifter (Korat, 2009)

k. Pengemasan (Packing)
Tapioka halus dikemas melalui corong pengemasan. Tapioka
dikemas dengan kemasan @50 kg, @800 kg, dan @1000 kg. Kemasan
yang digunakan di PT. UJA mempunyai dua lapisan plastik yang berbeda.
Lapisan dalam (inner plastic) terbuat dari polietilen sedangkan bagian luar
terbuat dari polipropilen.

47
l. Penggudangan
Tapioka yang telah dikemas disusun pada pallet-pallet kemudian
disimpan dalam gudang yang berukuran 2880 m2. Penyusunan pallet
didalam gudang dilakukan dengan menggunakan forklift. Lama
penyimpanan di dalam gudang bervariasi, tetapi batasnya adalah enam
bulan. Sedangkan masa kadaluarsa tapioka produksi PT. UJA 1 menurut
perusahaan adalah dua tahun.

C. Pengawasan Mutu
a. Pengawasan Mutu Bahan Baku
Pengawasan mutu bahan baku dilakukan dengan memeriksa kadar air
dan kadar pati singkong, kandungan tanah singkong, kandungan bonggol
pada singkong, dan kesegaran singkong. Pengiukuran kadar air singkong
dilakukan setiap pagi dengan menggunakan alat Kett-F1-B, sedangkan
kadar pati singkong diukur dengan menggunakan metode Specific Gravity
Methode dangan alat berupa timbangan kadar pati.
Pemeriksaan kandungan tanah, bonggol, dan kesegaran singkong
dilakukan secara langsung dengan mengamati singkong yang diturunkan
dari truk. Kadar pati, kandungan tanah, bonggol, dan kesegaran singkong
menentukan potongan pembelian yang diberlakukan perusahaan kepada
pemasok singkong.
b. Pengawasan Mutu Incoming Material
Pengawasan mutu Incoming Material dilakukan pada belerang,
kemasan, dan benang jahit kemasan. Pengawasan dilakukan untuk
menjamin kualitas incoming material sesuai spesifikasi yang telah
ditetapkan perusahaan.

48
c. Pengawasan Proses (In Plant Quality Contol)
Pengawasan proses dilakukan pada produk antara dan proses.
Parameter yang diamati diantaranya kekentalan (meliputi ampas ekstraktor
I dan II dan milk separator I, II, dan III), residu SO2 milk separator III,
pH ampas dan milk, suhu proses pengeringan, dan timbangan pada
packing.

d. Pengawasan Mutu Produk Akhir


Pengawasan produk akhir meliputi parameter-parameter kualitas
yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Pengamatan dilakukan terhadap
sampel produk 24 jam produksi. Parameter-parameter mutu produk yang
diamati dan standarnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

49
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Proses
Pengamatan proses dilakukan pada empat parameter proses, yaitu sifat
psikrometri udara, kecepatan udara, kecepatan pemasukan pati basah, dan sifat
dehidrasi pati basah.
a. Sifat Psikrometri Udara Pengering
Pengamatan sifat psikrometri udara dilakukan enam kali pada
tiga shift produksi yang berbeda, dua kali pengamatan pada shift siang
(08.00-16.00 WIB), dua kali pada shift sore (16.00-24.00 WIB), dan dua
kali pada shift malam (24.00-08.00 WIB). Parameter psikrometri yang
diamati meliputi suhu input udara, RH input udara, volume spesifik input
udara, suhu udara kering, dan suhu udara basah. Hasil pengamatan sifat
psikrometri udara pengering pada flash dryer 1 dan flash dryer 2 dapat
dilihat pada Lampiran 7a dan 7b.

39
Suhu input udara (oC)

37
35
33
X=32,7
31
X=33,3
29 FD 1
27
FD 2
25
16.00
19.30
21.30
16.00
19.30
21.30
08.00
10.00
14.00
08.00
10.00
14.00
24.00
02.00
04.00
24.00
02.00
04.00

25-May-09 26-May-09 27-May-09 29-May-09 2-Jun-09 3-Jun-09

Waktu pengamatan
Keterangan : FD = Flash Dryer

Gambar 19. Variasi suhu input udara

Hasil pengamatan suhu input udara dapat dilihat pada Gambar 19.
Suhu input udara pengering bervariasi selama 24 jam pengamatan pada
kisaran suhu 27oC hingga 38,9oC. Tidak ada perbedaan yang nyata antara
suhu input udara pada FD 1 dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini
dapat dilihat dari p-value sebesar 0,57 ketika dilakukan uji t
(independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada Lampiran 8. Tidak
adanya perbedaan suhu input udara FD 1 dan FD 2 dikarenakan kedua

50
cerobong pemasukan untuk kedua unit flash dryer terletak pada ruangan
yang sama.
Berdasarkan data, suhu udara tertinggi pada siang hari, puncaknya
pada kisaran pukul 14.00 WIB, sedangkan suhu terendah pada dini hari,
sekitar pukul 04.00 WIB. Rata-rata suhu udara pengering berkisar pada
suhu 33oC (32,7 untuk FD 1 dan 33,3 pada FD 2). Perbedaan suhu input
udara pada waktu pengamatan yang berbeda ini dipengaruhi perbedaan
suhu antara siang dan malam.
100
90
80
X=64,7
70
RH(%)

X=64.2
60
50 FD 1
40 FD 2
30
16.00
19.30
21.30
16.00
19.30
21.30
08.00
10.00
14.00
08.00
10.00
14.00
24.00
02.00
04.00
24.00
02.00
04.00
25-May-09 26-May-09 27-May-09 29-May-09 2-Jun-09 3-Jun-09

waktu pengamatan
Keterangan : FD= Flash Dryer

Gambar 20. Variasi RH input udara

Hasil pengamatan RH input udara dapat dilihat pada Gambar 20. RH


input udara pada keadaan normal bervariasi dengan kisaran 34,6% hingga
76,1%. Nilai RH tinggi pada tanggal 2 juni 2009 dikarenakan terjadi
kebocoran pada pipa aliran steam pada FD 1, sehingga steam keluar dan
bercampur dengan input udara. Nilai RH input udara FD 1 lebih tinggi dari
FD 2 pada saat itu dikarenakan lokasi pemasukan udara FD 1 lebih dekat
ke lokasi kebocoran dibandingkan FD 2. Rata-rata RH udara adalah 64%
(64,2% pada FD 1 dan 64,5 pada FD 2). Secara statistik, RH udara pada
cerobong pemasukan FD 1 tidak berbeda nyata pada taraf signifikasi 5%,
hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih besar dari 0.05, yaitu sebesar
0,92 ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat

51
pada Lampiran 9. Variasi RH pada keadaan normal terjadi karena adanya
pergantian siang dan malam.
0.9100

Volume spesifik (m3/Kg u.k.)


0.9050
0.9000
0.8950
X=0,8963
0.8900
X=0,8942
0.8850
FD 1
0.8800
FD 2
0.8750
16.00
19.30
21.30
16.00
19.30
21.30
08.00
10.00
14.00
08.00
10.00
14.00
24.00
02.00
04.00
24.00
02.00
04.00
25-May-09 26-May-09 27-May-09 29-May-09 2-Jun-09 3-Jun-09

waktu pengamatan
Keterangan : FD = Flash Dryer

Gambar 21. Variasi volume spesifik input udara

Hasil pengamatan volume spesifik input udara dapat dilihat pada


Gambar 21. Pengamatan volume spesifik udara bertujuan untuk
mengetahui massa udara kering yang masuk ke dalam cerobong flash
dryer selama proses pengeringan. Dengan mengetahui debit pemasukan
udara dan volume spesifik udara, dapat diketahui massa udara yang masuk
per satuan waktu tertentu.
Hasil pengamatan menunjukkan volume spesifik udara nilainya
berada pada kisaran 0,8775 hingga 0,9075. Nilai rata-rata adalah pada
kisaran 0,8963 pada FD 1 dan 0,8942 pada FD 2. Secara statistik, volume
spesifik pada cerobong pemasukan FD 1 tidak berbeda nyata dengan FD 2
pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih
besar dari 0.05, yaitu sebesar 0,58 ketika dilakukan uji t (independent t-
test). Hasil uji t dapat dilihat pada Lampiran 10.
Volume spesifik udara bervariasi selama waktu pengamatan
berkaitan dengan variasi suhu udara dan kandungan air udara (RH udara).
Semakin tinggi suhu, udara akan semakin mengembang, sehingga volume
spesifiknya akan semakin besar. Begitu pula dengan kandungan air,
semakin besar kandungan air maka volume spesifik pun akan semakin

52
besar karena setiap kilogram udara kering mengandung semakin banyak
partikel air yang berkontribusi pula pada volume spesifik udara.
220

suhu udara kering (oC)


210
X=200
200
190
X=192
180
170
FD 1
160
150 FD 2
16.00
19.30
21.30
16.00
19.30
21.30
08.00
10.00
14.00
08.00
10.00
14.00
24.00
02.00
04.00
24.00
02.00
04.00
25-Mei-09 26-Mei-09 27-Mei-09 29-Mei-09 02-Jun-09 03-Jun-09

waktu pengamatan
Keterangan : FD = Flash Dryer

Gambar 22. Variasi suhu udara kering

Flash dryer yang ada di PT. UJA 1 menggunakan dua jenis pemanas
(heater), yaitu heater dengan pemanas steam dan heater dengan pemanas
oli. Hasil pengamatan suhu udara kering dapat dilihat pada Gambar 22,
dapat lihat bahwa suhu setelah melewati pemanas steam berkisar 1600C
untuk FD 1 dan 1500C untuk FD 2. Suhu udara lebih besar pada FD 1
karena udara yang mengalir lebih lambat, sehingga waktu kontak dengan
heater lebih lama. Akan tetapi setelah melewati heater oli, suhu udara
kering FD 1 selalu lebih rendah dari FD 2. Ini menunjukkan adanya
kemungkinan permasalahan pada unit penukar panas heater oli pada
FD 1, karena oli yang digunakan pada kedua heater sama, begitu pula
dengan distribusi oli untuk kedua heater oli juga sama. Data hasil
pengamatan suhu setelah melewati Steam Heat Exchanger (Heater uap)
dan Oil Heat Exchanger (Heater oli) dapat dilihat pada Lampiran 11.
Nilai rata-rata suhu udara kering FD 1 adalah 192oC sedangkan FD 2
adalah 200oC. Secara statistik, suhu udara kering pada cerobong
pemasukan FD 1 berbeda nyata dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal
ini dapat dilihat dari p-value yang lebih kecil dari 0.05, yaitu sebesar 0,047
ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada
Lampiran 12. Suhu udara kering pada tanggal 27 Mei 2009 turun drastis

53
hingga 155oC dikarenakan unit pemanas oli dimatikan, sehingga
pemanasan hanya dilakukan dengan pemanas steam.
Suhu udara kering sangat berpengaruh terhadap kapasitas
penangkapan air oleh udara pengering. Hal ini dikarenakan semakin tinggi
suhu udara kering, kelembaban mutlak udara kering akan semakin rendah,
sehingga selisih tekanan uap antara bahan dengan udara pengering pun
semakin besar. Menurut Toledo (1991), transfer uap air dari permukaan
yang lembab ke aliran udara analog dengan pindah panas konveksi,
dimana fluks uap air proporsional dengan driving force yaitu perbedaan
tekanan uap pada permukaan bahan dengan tekanan uap lingkungan,
dalam hal ini udara pengering.
80
suhu udara basah (0C)

75
70
65
X=62
60
55 X=60

50 FD 1
45
FD 2
40
16.00
19.30
21.30
16.00
19.30
21.30
08.00
10.00
14.00
08.00
10.00
14.00
24.00
02.00
04.00
24.00
02.00
04.00

25-May-0926-May-0927-May-0929-May-09 2-Jun-09 3-Jun-09

waktu pengamatan
Keterangan : FD = Flash Dryer

Gambar 23. Variasi suhu udara basah

Hasil pengamatan suhu udara basah dapat dilihat pada Gambar 23.
Penurunan suhu udara dari udara kering menjadi udara basah berkaitan
dengan perpindahan panas sensibel udara pengering menjadi panas laten
penguapan air dari bahan. Menurut Earle (1983) panas yang dipindahkan
ke dalam bahan pangan untuk proses pengeringan bahan pangan sebanding
dengan penurunan suhu udara pengering. Pada proses pengeringan
tapioka, penurunan suhu ini bervariasi terutama tergantung pada kadar air
pati basah dan kecepatan pemasukan pati basah. Pati basah adalah

54
suspensi pati yang telah mengalami penurunan kadar air sehingga kadar
airnya sekitar 34%.
Suhu udara basah rata-rata adalah 60oC untuk FD 1 dan 62oC pada
FD 2. Secara statistik, suhu udara kering pada FD 1 tidak berbeda nyata
dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value
yang lebih besar dari 0.05, yaitu sebesar 0.21 ketika dilakukan uji t
(independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada Lampiran 13. Suhu udara
basah FD 2 tinggi (74oC) pada tanggal 27 Mei jam 08.00 WIB karena
terjadi kekosongan pada saat pemasukan pati basah pada feeder oven
sehingga banyak panas yang tidak digunakan untuk menguapkan air dan
“terbuang” bersama udara basah. Sedangkan pada pukul 14.00 WIB, suhu
udara basah FD 2 rendah (49oC) karena kecepatan pemasukan pati basah
yang tinggi sehingga banyak panas yang terserap bahan dan digunakan
untuk penguapan air bahan.
0.0700
∆H (kg air/kg u.k.)

0.0650 X=0,0580
0.0600 X=0,0553
0.0550
0.0500
0.0450 FD 1
0.0400 FD 2
16.00
19.30
21.30
16.00
19.30
21.30
08.00
10.00
14.00
08.00
10.00
14.00
24.00
02.00
04.00
24.00
02.00
04.00

25-Mei-09 26-Mei-09 27-Mei-09 29-Mei-09 02-Jun-09 03-Jun-09

waktu pengamatan
Keterangan : FD = Flash Dryer

Gambar 24. Variasi kapasitas penangkapan air udara pengering

Hasil pengamatan kapasitas penangkapan air udara pengering dapat


dilihat pada Gambar 24. Kapasitas penangkapan air udara pengering
dihitung berdasarkan sifat psikrometri udara pengering, yaitu selisih
kelembaban mutlak udara kering dengan kelembaban mutlak udara basah.
Nilai rata-ratanya adalah 0,0553 pada FD 1 dan 0,0580 pada FD 2.
Kapasitas penangkapan udara pada FD 2 lebih tinggi dari FD 1 karena
suhu udara kering pada FD 2 lebih tinggi dari FD 1 sehingga driving force
pada FD 2 pun lebih tinggi dari FD 1. Data lengkap mengenai kapasitas

55
penangkapan air udara pengering dapat dilihat pada Lampiran 14a dan
14b. Secara statistik, kapasitas penangkapan air udara pengering pada
FD 1 tidak berbeda nyata dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini
dapat dilihat dari p-value yang lebih besar dari 0.05, yaitu sebesar 0,074
ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada
Lampiran 15.
b. Kecepatan Udara Pengering
Pengamatan kecepatan udara pengering dilakukan pada cerobong
pemasukan udara. Dengan menggunakan alat anemometer, dapat diketahui
kecepatan dari udara pengering. Kecepatan udara ini kemudian dikalikan
dengan luas penampang cerobong pemasukan untuk mengetahui debit
pemasukan udara pengering. Hasil pengamatan kecepatan udara pengering
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil pengamatan kecepatan udara
Flash Kecepatan Luas Penampang cerobong Debit udara masuk
Dryer udara (m/s) pemasukan udara (m2) (m3/jam)
1 3,08 2,08 23.063,04
2 9,87 0,75 26.649,00

Kecepatan pemasukan udara sangat berpengaruh terhadap kapasitas


pengeringan dari flash dryer. Hal ini berkaitan dengan massa udara
pengering yang kontak dengan bahan yang dikeringkan per satuan waktu
tertentu. Semakin cepat pemasukan, berarti semakin banyak massa udara
pengering yang kontak dengan bahan yang dikeringkan dan semakin
banyak pula air yang dapat dihilangkan dari bahan setiap satuan waktunya.
Berdasarkan pengamatan, udara pada FD 2 lebih cepat dari FD 1. Hal ini
karena pada cerobong pemasukan FD 2 ada penambahan kipas untuk
mempercepat pemasukan udara.
c. Kapasitas Pengeringan
Kapasitas pengeringan dihitung dengan mengkalikan kapasitas
penangkapan air udara pengering dengan massa udara pengering yang
melewati bahan yang dikeringkan per satuan waktu tertentu, dalam hal ini
dihitung pada basis satu Jam. Hasil perhitungan kapasitas pengeringan
dapat dilihat pada Lampiran 16.

56
1800
1700

Kapasitas pengeringan (Kg air/Jam)


1600 X=1554.55
1500 X=1479.10
1400
1300
1200
1100 FD 1
1000 FD 2
16.00
19.30
21.30
16.00
19.30
21.30
08.00
10.00
14.00
08.00
10.00
14.00
24.00
02.00
04.00
24.00
02.00
04.00
25-May- 26-May- 27-May- 29-May- 2-Jun-09 3-Jun-09
09 09 09 09

Waktu pengamatan
Keterangan : FD = Flash Dryer

Gambar 25. Kapasitas pengeringan udara

Hasil pengamatan kapasitas pengeringan udara pengering dapat


dilihat pada Gambar 25. Kapasitas pengeringan udara pengering
dipengaruhi dua faktor, yaitu debit udara dan kapasitas penangkapan air
udara. Semakin besar debit udara, semakin besar kapasitas pengeringan.
Begitu juga, semakin tinggi kapasitas penangkapan air udara, kapasitas
pengeringan pun semakin tinggi. Oleh karena itu usaha untuk
meningkatkan kapasitas pengeringan dapat dilakukan dengan
memperhatikan dua faktor tersebut, yaitu dengan meningkatkan kecepatan
udara atau meningkatkan kapasitas penangkapan air udara pengering.
Peningkatan kapasitas penangkapan air udara pengering sendiri dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan suhu udara kering.
Berdasarkan hasil pengamatan, kapasitas pengeringan udara pada
FD 1 (1479.10 kg air/jam) lebih rendah dari FD 2 (1554.55 kg air/jam).
Hal ini dikarenakan selain kapasitas penangkapan air udara pada FD 2
lebih tinggi, kecepatan udara pada FD 2 juga lebih tinggi dari FD 1. Secara
statistik, kapasitas pengeringan pada FD 1 tidak berbeda nyata dengan
FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang
lebih besar dari 0.05, yaitu sebesar 0,079 ketika dilakukan uji t
(independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada Lampiran 17.

57
d. Kecepatan pemasukan pati basah
Kecepatan pemasukan pati basah merupakan aspek yang paling
mungkin dapat diubah-ubah selama proses pengeringan tapioka karena
pengaturannya menggunakan variable speed pada feeder oven. Pengaturan
kecepatan pemasukan pati basah dilakukan oleh operator dengan
menggatur suhu udara basah yang dinginkan pada panel kontrol. Operator
mengaturnya berdasarkan uji sensori terhadap kekeringan menggunakan
telapak tangan. Apabila dirasa kurang kering, operator akan meningkatkan
setting suhu udara basah pada panel kontrol, dan begitu sebaliknya apabila
terlalu basah. Hal ini menunjukkan belum ada ketentuan yang pasti
mengenai pengaturan pemasukan pati basah, dan tentunya diperlukan
usaha untuk mengetahui pengaturan pemasukan pati basah yang paling
tepat, sesuai untuk proses yang sedang berjalan. Hasil pengamatan
kecepatan pemasukan pati basah dapat dilihat pada Lampiran 18 dan
Gambar 26.
7000.00
Kecepatan pemasukan (Kg/Jam)

6500.00
6000.00 X=6651.99
5500.00
5000.00
4500.00 X=5371.26
4000.00
3500.00
3000.00
2500.00
16.00
19.30
21.30
16.00
19.30
21.30
08.00
10.00
14.00
08.00
10.00
14.00
24.00
02.00
04.00
24.00
02.00
04.00

FD 1

25-May-09 26-May-09 27-May-09 29-May-09 2-Jun-09 3-Jun-09 FD 2

waktu pengamatan
Keterangan : FD = Flash Dryer

Gambar 26. Kecepatan pemasukan pati basah

Rata-rata pemasukan pati basah adalah 5371.26 kg/jam pada FD 1


dan 6651.99 kg/jam pada FD 2. Secara statistik, kapasitas pengeringan
pada FD 1 berbeda nyata dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini
dapat dilihat dari p-value yang lebih kecil dari 0.05, yaitu sebesar 0,0003
ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada

58
Lampiran 19. Pemasukan pada FD 2 lebih cepat dari FD 1 karena
kapasitas pengeringan pada FD 2, meskipun secara statistik tidak berbeda
dengan FD 1 pada taraf signifikasi 5%, lebih tinggi dari FD 1 yaitu lebih
tinggi sebesar 75.45 kg/jam, sehingga FD 2 mampu menghilangkan air
lebih banyak (1280 kg air/jam). Kecepatan pemasukan pati basah yang
lebih tinggi pada FD 2 juga berakibat kadar air pati kering rata-rata FD 2
lebih tinggi dari FD 1.
e. Sifat Dehidrasi Pati Basah
Pengamatan sifat dehidrasi pati basah dilakukan untuk mengetahui
tahapan pengeringan dari pati basah. Pengamatan dilakukan dengan
menggunakan Kett FD-600, yaitu dengan mengukur penurunan kadar air
setiap menitnya. Hasil pengamatan sifat dehidrasi pati basah dapat dilihat
pada Lampiran 20 dan Gambar 27.
0.14
laju pengeringan (g air/100 g bahan kering.menit)

0.12
0.10
0.08
0.06
0.04
0.02
0.00
0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00%
kadar air (g air/100 g bahan kering)

ulangan 1 ulangan 2 Poly. (ulangan 1) Poly. (ulangan 2)

Gambar 27. Kurva hubungan kadar air pati basah (b.k.) dengan laju
pengeringan pada suhu 120oC

Pengamatan laju pengeringan pada suhu 120oC dilakukan untuk


mengetahui fase pengeringan dari pati basah. Tampak bahwa pengeringan
pati basah telah mencapai tahap falling rate. Hal ini menunjukkan air yang
tertinggal pada bahan tinggal air terikat, dan air bebas telah dihilangkan
dari bahan dengan proses pada DC.

59
Menurut Fellows (2000), ketika kadar air bahan pangan turun hingga
di bawah kadar air kritis, kecepatan pengeringan secara perlahan akan
turun hingga mendekati nol pada kadar air kesetimbangan. Falling rate
periode ini merupakan tahap paling panjang dari operasi pengeringan, dan
pada beberapa bahan pangan (seperti pengeringan biji-bijian) kadar air
awal bahan yang dikeringkan dan hanya tahap falling rate yang
merupakan tahap pengeringan yang diamati. Menurut Earle (1983), kurva
laju pengeringan falling rate periode ini dipengaruhi oleh sifat spesifik
bahan dan kondisi proses.

B. Kualitas Produk
Pengamatan kualitas produk dilakukan untuk melihat pengaruh
perbedaan suhu proses pada flash dryer 1 dengan flash dryer 2 terhadap
kualitas berupa kadar air, derajat putih, persentase kerak, dan retained on
100 mesh. Pengamatan dilakukan pada pati kering pada valve cyclone.
a. Kadar air
Penggukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan alat FD-600
untuk sampel pati kering dan Moisture Meter KETT F1-B untuk sampel
pati basah. Penggunaan alat uji yang berbeda untuk pati kering dan pati
basah ini menyesuaikan dengan metode analisis yang digunakan
perusahaan. Hasil pengamatan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 21.
dan Gambar 28.
40
35
x=34,4
kadar air (%)

30
25
20
15
x=11,0
10
x=10,6
5 k.a.
k.a. pati
sagu basah
16.00
19.30
21.30
16.00
19.30
21.30
08.00
10.00
14.00
08.00
10.00
14.00
24.00
02.00
04.00
24.00
02.00
04.00

basah
k.a.sagu
k.a. pati kering
kering
FD 1 FD 1
25-Mei-09 26-Mei-09 27-Mei-09 29-Mei-09 02-Jun-09 03-Jun-09 k.a.sagu
k.a. pati kering
FD 2 FD 2
kering
waktu pengamatan
Keterangan : FD = Flash Dryer

Gambar 28. Hasil pengamatan kadar air

60
Data hasil pengamatan kadar air menunjukkan kadar air pati basah
bervariasi mulai dari 33,1% hingga 35,5%, dengan rata-rata 34,3%.
Variasi ini dikarenakan pati basah disuplai oleh delapan unit Dewatering
Centrifuge (DC) yang berbeda. Variasi juga dapat disebabkan oleh waktu
pengisian DC dan penurunan pati basah yang berbeda antar operator.
Variasi kadar air pati basah ini sangat berpengaruh terhadap variasi proses
pengeringan dan juga variasi kadar air pati kering.
Kadar air pati kering valve cyclone bervariasi dari 8,6% hingga
14,2% pada FD 1 dan 9,0 hingga 12,4 pada FD 2. Target kadar air pati
kering valve cyclone adalah 11.42%. Variasi kadar air pati kering valve
cyclone ini disebabkan variasi kadar air pati basah dan variasi kecepatan
pemasukan pati basah. Variasi kadar air pati kering valve cyclone ini
menunjukkan pengaturan pemasukan pati basah belum efisien karena
mengakibatkan penggunaan energi untuk penghilangan air yang tidak
perlu. Nilai rata-rata kadar air pati kering valve cyclone adalah 10,6% pada
FD 1 dan 11,0% pada FD 2. Secara statistik, kadar air pati kering valve
cyclone pada FD 1 tidak berbeda nyata dengan FD 2 pada taraf signifikasi
5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih kecil dari 0.05, yaitu
sebesar 0,39 ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat
dilihat pada Lampiran 22.
b. Derajat putih, Persentase kerak, dan Retained on 100 mesh
Pengamatan derajat putih, persentase kerak, dan retained on 100
mesh dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu
flash dryer 1 dan flash dryer 2 terhadap ketiga parameter kualitas tersebut.
Hasil pengamatan derajat putih, persentase kerak, dan retained on 100
mesh dapat dilihat pada Lampiran 23. dan Gambar 29.

61
95.6 95.7 3.4 1.4
3.2 1.3
100.0 3.5 1.4

Rerained on 100 mesh


Persentase kerak (%)
Derajat putih (%)
3.0 1.2
80.0
2.5 1.0
60.0 2.0 0.8
40.0 1.5 0.6
1.0 0.4
20.0 0.5 0.2
0.0 0.0 0.0
1 2 1 2 1 2
FD FD FD

(a) (b) (c)


Gambar 29. Pengaruh perbedaan suhu proses pada kualitas produk :
(a) derajat putih, (b) persentase kerak, (c) retained on 100
mesh.
Hasil pengamatan derajat putih, persentase kerak dan retained on 100
mesh menunjukkan perbedaan suhu proses pengeringan tidak secara nyata
menyebabkan perbedaan kualitas produk (derajat putih, persen kerak, dan
retained on 100 mesh). Hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih kecil
dari 0.05 ketika dilakukan uji t (independent t-test), yaitu sebesar 0.94
untuk derajat putih (Lampiran 24), 2.04 untuk persentase kerak
(Lampiran 25), dan 2.04 untuk retained on 100 mesh (Lampiran 26).
Derajat putih diukur dengan menggunakan alat Whitenessmeter
berdasarkan perbandingan tingkat keputihan produk dibandingkan dengan
standar BaSO4. Dibandingkan suhu proses, umur singkong lebih
berpengaruh terhadap derajat putih. Menurut Alves (2002) umbi singkong
sangat mudah rusak dan biasanya menjadi tidak layak makan setelah
24-72 jam setelah panen akibat proses kerusakan fisiologis yang cepat,
dimana terjadi sistesis komponen fenolik sederhana terjadi membentuk
pigmen biru, coklat dan hitam. Diduga komponen polifenol pada umbi
teroksidasi membentuk substansi kuinon yang membentuk kompleks
dengan molekul kecil seperti asam amino untuk kemudian membentuk
pigmen warna yang disimpan dalam jaringan vascular.

62
Persentase kerak dan Retained on 100 mesh diukur dengan
menggunakan shieve shaker. Kerak adalah pati yang tidak lolos saringan
80 mesh, sedangkan Retained on 100 mesh adalah pati yang lolos saringan
80 mesh tetapi tidak lolos saringan 100 mesh. Terbentuknya kerak dan
kasarnya tapioka (Retained on 100 mesh tinggi) pada proses pengolahan
tapioka sangat berpengaruh baik pada kualitas tapioka maupun
produktivitas tapioka. Persentase kerak lebih berpengaruh pada
produktivitas, yang mana apabila kerak tinggi maka jumlah produksi akan
turun karena banyak tapioka yang seharusnya menjadi ptoduk jadi justru
menjadi kerak. Sedangkan Retained on 100 mesh lebih berpengaruh
kepada kualitas, dan dipersyaratkan harus lebih rendah dari 2%.
c. Sifat Gelatinisasi Tapioka
Pengamatan sifat gelatinisasi tapioka bertujuan untuk mengetahui
pengaruh perbedaan suhu proses pengeringan antara flash dryer 1 dan
flash dryer 2. Sifat gelatinisasi pati tapioka dapat diamati dengan
menggunakan alat Brabender Amylograph/Viscograph, yaitu dengan
mengamati perubahan viskositas pati akibat terjadinya gelatinisasi pati.
Tabel 6. Sifat Gelatinisasi Tapiokaa PT. UJA
Tapioka Tapioka
Sifat Gelatinisasi FD 1 FD 2
1. Suhu awal gelatinisasi 61 oC 62 oC
2. Suhu gelatinisasi 70 oC 71 oC
3. Viskositas Puncak 880 BU 880 BU
4. Viskositas pada suhu 93 oC 440 BU 440 BU
5. Suhu setelah holding selama 20 menit pada suhu 93 oC 310 BU 310 BU
6. Viskositas setelah pendinginan hingga suhu 50 oC 280 BU 260 BU
7. Viskositas setelah holding selama 20 menit pada 50 oC 260 BU 260 BU
a
Kondisi pengamatan : konsentasi suspensi pati 5% w/v, masuring box
350 cmg

Sifat gelatinisasi pati tapioka dapat dilihat pada Tabel 6. Terlihat


bahwa pada setiap parameter yang diamati relatif tidak ada perbedaan
antara tapioka FD 1 dengan FD 2. Hal ini menunjukkan perbedaan suhu
antara FD 1 (192oC) dengan FD 2 (200oC) tidak berpengaruh nyata
terhadap sifat gel pati yang terbentuk.

63
Menurut Corbishley dan Miller (1984) viskositas tapioka tergantung
pada varietas, area penanaman, waktu panen, umur umbi singkong,
kesuburan tanah, dan curah hujan selama periode penanaman. Meskipun
demikian, proses pengolahan tapioka juga penting. Sedangkan menurut
Winarno (1984), pembentukan gel pati dipengaruhi konsentrasi pati yang
digunakan, pH larutan, dan juga penambahan gula. Semakin kental
larutan, suhu gelatinisasi semakin lama tercapai, sampai suhu tertentu
kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang menurun. pH
optimum untuk pembentukan gel adalah 4-7. Bila pH terlalu tinggi,
pembentukan gel akan makin cepat akan tetapi cepat turun lagi, sedangkan
bila pH terlalu rendah gel lambat terbentuk dan bila pemanasan diteruskan
viskositas akan turun lagi. Sedangkan gula berperan dalam menurunkan
kekentalan, karena gula akan mengikat air sehingga pembengkakan butir-
butir pati lebih lambat, akibatnya suhu gelatinisasi semakin tinggi
(Winarno, 1984).
Sifat-sifat gelatinisasi pati penting didalam desain proses dan produk
untuk produk-produk pasta maupun produk lain yang berbahan dasar pati.
Suhu awal gelatinisasi penting untuk mengetahui mulai suhu berapa pasta
pati didalam suatu proses pangan mulai terbentuk. Suhu gelatinisasi, yaitu
suhu ketika viskositas puncak tercapai penting untuk melihat kualitas gel
pati yang terbentuk. Pengamatan terhadap viskositas gel pati dengan
melakukan holding pada suhu 93oC penting untuk melihat konsistensi gel
pati terhadap pengadukan selama proses pemasakan berlangsung.
Pengamatan suhu setelah pendinginan hingga 50oC bertujuan untuk
melihat apakah ada peningkatan kembali viskositas setelah pasta
didinginkan (setback). Sedangkan pengamatan terhadap viskositas gel pati
dengan melakukan holding pada suhu 50oC bertujuan untuk melihat
kestabilan pasta terhadap pengadukan dalam kondisi dingin.
Hasil pengamatan menunjukkan viskositas puncak pada gel tapioka
cukup tinggi, yaitu 880 BU, hanya saja setelah itu viskositas dengan
sangat cepat turun hingga 440 BU ketika suhu 93oC tercapai. Selain itu
ketika dilakukan holding pada 93oC viskositas pati turun dari 440 BU ke

64
310 BU. Hal ini umum dialami gel yang berasal dari pati asli
(native starch). Pada beberapa produk, sifat ini tidak diinginkan sehingga
banyak digunakan pati modifikasi untuk memperoleh sifat gel yang lebih
baik. Menurut Fennema (1996), produsen pangan umumnya lebih
menyukai pati dengan karakteristik yang lebih baik daripada yang dimiliki
native starch. Pati asli umumnya menghasilkan gel yang memiliki
kerangka yang lemah (weak-bodied), lengket, kenyal ketika dimasak, dan
gel yang tidak bagus ketika didinginkan. Sifat-sifat pati ini ditingkatkan
dengan melakukan modifikasi.
Gel tapioka yang telah diuji tidak mengalami setback ketika
didinginkan, terbukti ketika didinginkan hingga 50oC viskositas turun
menjadi 280/260 BU. Selama pengadukan pada kondisi dingin, gel tapioka
stabil karena viskositasnya tidak berubah setelah dilakukan holding
20 menit pada 50 oC.

C. Efisiensi Energi
Efisiensi energi pengeringan tapioka dihitung dengan melihat
keseimbangan panas udara, yaitu dengan memperlakukan unit pengering
sebagai sistem adiabatik sehingga tidak ada pertukaran panas dengan
lingkungan. Panas yang dipindahkan ke dalam bahan pangan untuk proses
pengeringan bahan pangan tersebut sebanding dengan penurunan suhu udara
pengering, dan panas yang harus disuplai sebanding dengan peningkatan
suhu dari udara lingkungan didalam pemanas udara (air heater).
Efisiensi dirumuskan sebagai : ή = (T1-T2)/(T1-Ta), dimana T1 adalah suhu
udara kering, T2 = suhu udara basah, dan Ta= suhu input udara
(Earle, 1983). Hasil pengamatan efisiensi energi dapat dilihat pada Lampiran
27 dan Gambar 30.

65
0.95

Efisiensi energi pengeringan


0.90

0.85 X=0,83
X=0,83
0.80

0.75 FD 1
FD 2
0.70 16.00
19.30
21.30
16.00
19.30
21.30
08.00
10.00
14.00
08.00
10.00
14.00
24.00
02.00
04.00
24.00
02.00
04.00
25-Mei-09 26-Mei-09 27-Mei-09 29-Mei-09 02-Jun-09 03-Jun-09

waktu pengamatan

Gambar 30. Variasi efisiensi energi pengeringan

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, efisiensi pengeringan


untuk flash dryer (FD) 1 dan 2 berkisar pada nilai rata-rata 0,83 (83%). Secara
statistik efisiensi energi pengeringan FD 1 dan FD 2 tidak berbeda nyata pada
taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih kecil dari
0.05, yaitu sebesar 0,62 ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t
dapat dilihat pada Lampiran 28.
Nilai efisiensi cukup jauh dari nilai rata-rata terjadi pada FD 2 pada
tanggal 27 mei 2009 jam 08.00 WIB dan 14.00 WIB. Pada jam 08.00 WIB
efisiensi pengeringan hanya mencapai 0,76 cukup jauh dibawah rata-rata.
Hal ini dikarenakan ketika itu terjadi kekosongan pada feeder oven, sehingga
terjadi kekurangan bahan untuk dikeringkan (pati basah). Kekurangan
pemasukan ini mengakibatkan benyak energi yang terbuang. Berbeda dengan
pukul 08.00 WIB, pukul 14.00 WIB debit pemasukan pati basah lebih banyak,
sehingga lebih banyak energi yang digunakan untuk menghilangkan air dari
bahan.
Secara teoritis, semakin besar selisih suhu udara kering (T1) dengan
udara basah (T2) maka energi semakin efisien digunakan, akan tetapi perlu
diperhatikan pula kemampuan penghilangan air dari bahan. Dua faktor yang
mempengaruhi penurunan suhu udara ini adalah kadar air pati basah dan debit
pemasukan pati basah. Kadar air pati basah berpengaruh karena pada kisaran

66
kadar air pati basah (34.35%), kecepatan pengeringan telah mencapai falling
rate.
D. Rancangan Optimasi Proses
Optimasi proses pengeringan disarankan untuk dilakukan dengan
melakukan running proses untuk mengetahui setting pemasukan pati basah
yang memberikan hasil efisiensi proses paling tinggi dan tetap menghasilkan
pati kering yang sesuai/masuk spesifikasi perusahaan. Caranya yaitu dengan
secara bertahap menambah kecepatan pemasukan pati basah hingga mencapai
kondisi dimana efisiensi meningkat dan kadar air produk masih sesuai dengan
spesifikasi yang diharapkan. Kecepatan pemasukan pati basah dipilih sebagai
satu-satunya faktor yang diperhatikan dalam optimasi proses karena ini
merupakan komponen yang paling mungkin untuk diatur selama proses
pengeringan.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa kadar air yang dapat
diperkirakan berdasarkan pengamatan psikrometri adalah kadar air tapioka
kering di valve cyclone, sehingga perlu diperhatikan peningkatan kadar air
ketika distribusi tapioka dari valve cyclone ke corong pengemasan. Untuk
mengetahui peningkatan kadar air ini telah dilakukan pengamatan terhadap
kadar air trapioka di valve cyclone dan corong pengemasan untuk melihat
adanya peningkatan kadar air tapioka.
Tabel 7. Hasil pengamatan adanya peningkatan kadar air selama distribusi
tapioka dari valve cyclone ke corong pengemasan
k.a. tapioka vale cyclone selisih
No k.a. tapioka corong
(peningkatan
Pengamatan FD 1 FD 2 rata-rata pengemasan
kadar air)
1 9.4% 12.4% 10.90% 11.80% 0.90%
2 10.4% 11.0% 10.70% 11.80% 1.10%
3 9.4% 11.3% 10.35% 11.90% 1.55%
4 12.5% 10.9% 11.70% 12.50% 0.80%
5 11.6% 10.1% 10.85% 12.40% 1.55%
6 8.8% 12.3% 10.55% 12.10% 1.55%
7 11.2% 12.2% 11.70% 11.90% 0.20%
8 11.1% 10.9% 11.00% 12.00% 1.00%
10.97% 12.05% 1.08%

67
Berdasarkan Tabel 7, dengan target kadar air tapioka kering 12.5%, maka
target kadar air tapioka valve cyclone adalah 11.42%.
Rancangan optimasi proses pengeringan dibuat dengan memperkirakan
kadar air yang akan diperoleh apabila sifat psikrometri dan kecepatan putar
feeder oven (kecepatan pemasukan pati basah) diketahui. Rumus yang
digunakan untuk menghitung kadar air adalah :
Kadar air
= Total air x 100%
Total solid+total air
= (vinput pati basah x k.a. pati basah)-kapasitas pengeringan) x 100%
(kadar solid x vinput pati basah)+( (k.a. pati basah x vinput pati)-kapasitas
pengeringan))

Di dalam memperkirakan kadar air pati kering ini digunakan dua asumsi
dasar. Asumsi ini dibangun berdasarkan hasil pengamatan psikrometri udara
pengering yang telah dilakukan setelah data di luar kontrol (tanggal 27 Mei
dan 10.00 dan 14.00 WIB serta tanggal 2 Juni) dihilangkan. Dua asumsi yang
digunakan yaitu:
1. Dengan menganggap proses berada pada nilai rata-rata sesuai dengan hasil
pengamatan yang telah dilakukan dengan menghilangkan data dari kondisi
diluar kendali. Asumsi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut :
1. k.a. pati basah : 34.4%
2. suhu input udara : 34 oC
3. RH : 60%
4. Volume spesifik : 0.9007 m3/kg u.k.
5. suhu udara kering : 196 oC (FD1) dan 204 oC (FD2)
6. Kec. Udara : 20773.72 kg air/kg u.k (FD1) dan
24003.72 kg air/kg u.k. (FD2)
7. Tidak terjadi kekosongan pada feeder oven (kecepatan putar feeder
oven benar-benar merefleksikan kecepatan pemasukan pati basah)

68
Tabel 8. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 1
dengan menggunakan asumsi 1
Kecepatan suhu udara basah
pemasukan pati
basah
55 57 59 60 61 62 63 64 65
rpm kg/Jam
750 5391.23 8.56 9.10 9.64 9.93 10.22 10.46 10.75 10.98 11.26
800 5750.64 10.76 11.24 11.72 11.98 12.25 12.45 12.71 12.92 13.18
850 6110.06 12.61 13.05 13.48 13.72 13.96 14.14 14.38 14.57 14.80

Perkiraan kadar air tapioka kering (%)

Berdasarkan Tabel 8 maka proses yang optimal diperkirakan ada pada


proses dengan kecepatan pemasukan 750 rpm atau 800 rpm.
Tabel 9. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 2
dengan menggunakan asumsi 1
Kecepatan suhu udara basah
pemasukan pati
basah
55 57 59 60 61 62 63 64 65
rpm kg/Jam
650 6485.69 8.00 8.53 9.05 9.34 9.62 9.85 10.13 10.35 10.63
700 6984.59 10.57 11.04 11.49 11.75 12.00 12.20 12.44 12.64 12.89
750 7483.49 12.69 13.10 13.51 13.73 13.96 14.13 14.36 14.53 14.75

Perkiraan kadar air tapioka kering (%)

Berdasarkan Tabel 9 maka proses yang optimal diperkirakan ada pada


proses dengan kecepatan pemasukan 700 rpm.
2. Dengan menganggap proses terbagi menjadi dua kondisi berdasarkan
perbedaan psikrometri udara siang dan non-siang. Dalam hal ini, siang
adalah pengamatan pada pukul 10.00 WIB dan 14.00 WIB, sedangkan
non-siang adalah pengamat selain kedua waktu tersebut. Asumsi yang
dapat digunakan untuk kedua keadaan ini adalah :
a. Siang
1. k.a. pati basah : 34.4%
2. suhu input udara : 37 oC
3. RH : 43%
4. Volume spesifik : 0.9095 m3/kg u.k.
5. suhu udara kering : 196 oC (FD1) dan 204 oC (FD2)

69
6. Kec. Udara : 20975.83 kg air/kg u.k (FD1) dan 24237.27
kg air/kg u.k. (FD2)
7. Tidak terjadi kekosongan pada feeder oven (kecepatan putar feeder
oven benar-benar merefleksikan kecepatan pemasukan pati basah)
Tabel 10. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 1
dengan menggunakan asumsi 2.a
Kecepatan
suhu udara basah
pemasukan pati
basah
55 57 59 60 61 62 63 64 65
Rpm kg/Jam
750 5391.23 9.20 9.73 10.25 10.54 10.77 11.06 11.28 11.56 11.79
800 5750.64 11.33 11.80 12.27 12.53 12.74 12.99 13.19 13.45 13.65
850 6110.06 13.13 13.56 13.98 14.21 14.40 14.63 14.81 15.04 15.23
Perkiraan kadar air tapioka kering (%)

Berdasarkan Tabel 10 maka proses yang optimal diperkirakan ada pada


proses dengan kecepatan pemasukan 750 rpm atau 800 rpm
Tabel 11. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 2
dengan menggunakan asumsi 2.a
Kecepatan
suhu udara basah
pemasukan pati
basah
55 57 59 60 61 62 63 64 65
Rpm kg/Jam
650 6485.69 8.65 9.16 9.67 9.95 10.17 10.45 10.67 10.94 11.22
700 6984.59 11.14 11.59 12.04 12.29 12.48 12.73 12.92 13.16 13.40
750 7483.49 13.19 13.59 13.99 14.21 14.39 14.61 14.78 15.00 15.21

Perkiraan kadar air tapioka kering (%)

Berdasarkan Tabel 11 maka proses yang optimal diperkirakan ada pada


proses dengan kecepatan pemasukan 650 dan 700 rpm.
b. Non-siang
1. k.a. pati basah : 34.4%
2. suhu input udara : 33 oC (FD1) dan 32 (FD2)
3. RH : 66% (FD1) dan 67% (FD2)
4. Volume spesifik : 0.8951 m3/kg u.k. (FD1) dan 0.8932 m3/kg
u.k. (FD2)
5. suhu udara kering : 196 oC (FD1) dan 204 oC (FD2)

70
6. Kec. Udara : 20644.55 kg air/kg u.k (FD1) dan 23802.51
kg air/kg u.k. (FD2)
7. Tidak terjadi kekosongan pada feeder oven (kecepatan putar feeder
oven benar-benar merefleksikan kecepatan pemasukan pati basah)
Tabel 12. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 1
dengan menggunakan asumsi 2.b
Kecepatan suhu udara basah
pemasukan pati
basah
55 57 59 60 61 62 63 64 65
Rpm kg/Jam
750 5391.23 8.40 8.94 9.48 9.78 10.08 10.31 10.60 10.84 11.12
800 5750.64 10.61 11.10 11.58 11.85 12.11 12.32 12.59 12.79 13.05
850 6110.06 12.48 12.92 13.36 13.60 13.83 14.03 14.26 14.45 14.69

Perkiraan kadar air tapioka kering (%)

Berdasarkan Tabel 12, maka proses yang optimal diperkirakan ada pada
proses dengan kecepatan pemasukan 750 dan 800 rpm.
Tabel 13. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 2
dengan menggunakan asumsi 2.b
Kecepatan
suhu udara basah
pemasukan pati
basah
55 57 59 60 61 62 63 64 65
Rpm kg/Jam
650 6485.69 7.81 8.34 8.87 9.16 9.39 9.68 9.91 10.19 10.47
700 6984.59 10.40 10.87 11.33 11.59 11.79 12.04 12.25 12.50 12.74
750 7483.49 12.54 12.95 13.36 13.59 13.77 14.00 14.18 14.40 14.62

Perkiraan kadar air tapioka kering (%)

Berdasarkan Tabel 13, maka proses yang optimal diperkirakan ada pada
proses dengan kecepatan pemasukan 700 rpm.
Penggunaan dua asumsi dasar ini bukanlah secara bersamaan, artinya
dipilih salah satu yang lebih sesuai dengan kondisi proses yang diinginkan.
Asumsi 1 digunakan apabila diinginkan kondisi pengaturan proses yang lebih
sederhana sehingga lebih memudahkan operator di dalam melaksanakan
instruksi kerja, sedangkan asumsi 2 digunakan apabila pengaturan proses
diinginkan lebih sesuai dengan kondisi psikrometri udara dengan konsekuensi
instuksi kerja akan lebih rumit bagi operator.

71
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sifat psikrometri udara pengering perlu diketahui sebagai dasar
melakukan peningkatan efisiensi proses pengeringan. Hasil pengamatan sifat
psikrometri udara pengering di PT. UJA 1 menunjukkan nilai rata-rata suhu
input udara sebesar 32,7oC untuk FD 1 dan 33,3oC untuk FD 2, rata-rata RH
input udara sebesar 64,6% untuk FD 1 dan 64,2% FD 2, rata-rata suhu udara
kering sebesar 192oC untuk FD 1 dan 200oC untuk FD 2, dan rata-rata suhu
udara basah sebesar 60oC pada FD 1 dan 62 pada FD 2. Kapasitas
penangkapan air udara pengering diperoleh dengan menghitung selisih
kelembaban mutlak udar basah dengan udara kering. Kapasitas penangkapan
air udara pengering hasil pengamatan adalah 0,0553 kg air/kg u.k. untuk
FD 1 dan 0,0580 kg air/kg u.k.
Kecepatan pemasukan udara diamati untuk mengetahui kapasitas
pengeringan dari udara pengering. Dari hasil pengamatan diketahui kecepatan
pemasukan udara adalah 23.063,04 m3/jam untuk FD 1 dan 26.649,00 m3/jam
untuk FD 2. Kapasitas pengeringan hasil perhitungan berdasarkan kapasitas
penagkapan air udara dan kecepatan pemasukan udara adalah 1479.10
kg u.k./jam untuk FD 1 dan 1554.55 kg u.k./jam.
Data mengenai kecepatan pemasukan pati basah penting sebagai dasar
optimasi proses pengeringan. Rata-rata kecepatan pemasukan pati basah
adalah 5371.26 kg/jam untuk FD 1 dan 6651.99 kg/jam untuk FD 2.
Rata-rata kadar air pati basah adalah 34.4%. Rata-rata kadar air tapioka
kering adalah 10,6% untuk FD 1 dan 11,0% pada FD 2. Perbedaan suhu udara
pengering FD 1 dan FD 2 tidak berpengaruh secara nyata pada kualitas
tapioka kering pada taraf signifikasi 5%. Proses pengeringan pati basah
menjadi tapioka kering telah mencapai tahap falling rate. Efisiensi
penggunaan energi untuk pengeringan adalah 0,83 (83%) untuk kedua FD.
Hasil pengamatan sifat gelatinisasi pati tapioka menunjukkan bahwa
perbedaan suhu udara pengering antara FD 1 dan FD 2 tidak berpengaruh
nyata pada perbedaan sifat gelatinisasi pati tapioka pada kedua FD. Hasil
pengamatan menunjukkan suhu awal gelatinisasi pati tapioka adalah 60 oC

72
untuk FD 1 dan 61 oC untuk FD 2, suhu gelatinisasi adalah 70 oC untuk FD 1
dan 71 oC pada FD 2, viskositas puncak 880 BU, Viskositas pada suhu 93 oC
adalah 440 BU, viskositas setelah holding selama 20 menit pada suhu 93 oC
310 BU, viskositas pada 50 oC adalah 280 BU untuk FD 1 dan 260 BU untuk
FD 2, dan viskositas setelah holding selama 20 menit pada 50 oC adalah
260 BU.
Rancangan optimasi proses dibuat berdasarkan sifat psikrometri udara
pengering dan kecepatan pemasukan pati basah. Optimasi proses pengeringan
disarankan untuk dilakukan dengan melakukan running proses untuk
mengetahui setting pemasukan pati basah yang memberikan hasil efisiensi
proses paling tinggi dan tetap menghasilkan pati kering yang sesuai/masuk
spesifikasi perusahaan. Berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan, dapat
diperkirakan kadar air pati kering yang diperoleh apabila kecepatan
pemasukan diketahui dan suhu udara basah diketahui. Pada pembuatan
rancangan optimasi ini digunakan dua asumsi dasar, yaitu dengan
menggunakan nila rata-rata pengamatan pendahuluan dan dengan memisahkan
kondisi ekstrim siang (pukul 10.00 WIB dan 14.00 WIB) dengan kondisi
selain keduanya. Dari hasil perhitungan berdasarkan kapasitas pengeringan
dan kecepatan pemasukan pati basah, diperkirakan kondisi optimum
pengeringan berada pada kecepatan pemasukan 750 dan 800 rpm pada FD 1
dan 700 rpm pada FD 2 dengan asumsi 1 dan 2.b dan 640 rpm dan 700 rpm
pada asumsi 2.a.

B. Saran
Optimasi proses pengeringan sebaiknya dilakukan agar diketahui kondisi
proses pengeringan paling optimum. Hasil optimasi ini dapat digunakan
sebagai dasar pembuatan/verifikasi instruksi kerja proses pengeringan pada
flash dryer. Apabila dimungkinkan, sebaiknya metode penghitungan
kecepatan pemasukan pati basah yang untuk sementara ini dihitung
berdasarkan volume feeder oven diganti dengan cara langsung melakukan
running proses pada rpm tertentu selama 1 menit, dan benar-benar dilihat
volume pati basah yang dialirkan.

73
Perlu dilakukan pula optimasi proses lain selain proses pada flash dryer,
seperti penurunan kadar air pada DC dan proses lainnya, karena setiap proses
saling terkait. Perlu dilakukan pula evaluasi terhadap unit pemanas (heater),
terutama untuk heater oli FD 1, berkaitan dengan efisiensi pindah panas dari
oli panas ke udara pengering.

74
DAFTAR PUSTAKA
Alves, A.A.C. 2002. Cassava botany and psysiology. Di dalam Hallock, R.J. dan
Thresh, J.M (eds). Cassava : Biology, Production and Utilization. CABI
Publishing, New York, halaman 67-80.

Anonim, 2009b. Density, spesific weight and spesific gravity. http://www.


engineeringtoolbox.com/density-specific-weight-gravity-d_290.html[28
Agustus 2009]

Anonim, 2009c. Spesific gravity. http://www.britannica.com/EBchecked/topic/


558700/specific-gravity[28 Agustus 2009]

Anonim. 2008a. Singkong. http://id.wikipedia.org/wiki/Singkong [25 November


2008]

Anonim. 2008b. Tapioca. http://en.wikipedia.org/wiki/Tapioca [25 November


2008]

Anonim. 2009a. Cassava. http://en.wikipedia.org/wiki/Cassava [1 Juli 2009]

Corbishley, D.A. dan Miller, W. 1984. Tapioca, arrowroot, and sago starches :
production. Di dalam Wishtler, R.L., Bemiller, J.N. dan Paaschall, E.F.
(eds). Starch : Chemistry and Technology. Academic Press, Inc., Orlando,
halaman 469-478.

Departemen Pertanian. 2009. Data Produksi Tanaman Pangan Nasional.


http://www.deptan.go.id/ [1 Juli 2009]

Dewan Standardisasi Nasional. 1994. SNI Tapioka : 01-3451-1994.

Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2004. Pengembangan


Usaha Pengolahan Tepung Tapioka.
http://agribisnis.deptan.go.id/layanan_info/ view.php?file=POTENSI-
USAHA-PASCAPANEN/ pengolahantapioka. pdf&folder [25 November
2008]

Earle, R.L. 1983.Unit Operations in Food Processing. Pargamon Press, New


Zealand.

Fellows, P. 2000. Food Processing Technology, Principles and Practice 2nd Ed.
Woodhead publishing Limited, Cambridge.

Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York.

75
Food and Agriculture Organitation. 2000. Handling and Preservation of Fruits and
Vegetables by Combined Methods for Rural Area, Chapter 3.General
Considerations For Preservation Of Fruits And Vegetables.
http://www.fao.org/DOCREP/005/Y4358E/y4358e06.htm [4 Desember
2008]

GEA Processing Engineering Inc. 2009a. Flash Drying Equipment.


http://www.niroinc.com/food_chemical/flash_drying_equipment.asp[1 Juli
2009]

GEA Processing Engineering Inc. 2009b. Process Concepts and Variations.


http://www.niroinc.com/food_chemical/flash_drying_concepts.asp[1 Juli
2009]

Grace, M.R. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organitation of The
United Nation, Roma.

International Starch Institute. 1999. ISI 19-6e Determination of Viscosity of


Starch by Brabender-Comments. Science Park Aarhus, Denmark.

Jackson, A. 1976. Tapioca, cassava or brazilian arrowroot starch. Di dalam


Radley, J.A. (ed). Starch Production Technology Applied Science
Publishers Ltd., London, halaman 189-212.

Korat S.W. Group Co., Ltd. 2009. http://koratsw.com[1 Juli 2009]

Macdonald, I. dan J. Low. 1984. Tropical Field Crop. Evans Brothers Limited,
London.

Moore, C.O., Tuscnhoff, J.V., Hasting, C.W., dan Schannefelt, K.V. 1984.
Aplication of starches in foods. Di dalam Wishtler, R.L., Bemiller, J.N.
dan Paaschall, E.F. (eds). Starch : Chemistry and Technology. Academic
Press, Inc., Orlando, halaman 583-591.

Sungzikaw, S. 2007. Determination of starch content in cassava tubers for trade in


Thailand. Di dalam Workshop on Meteorologi of Agricultural Products
and Foods, 7-9 Februari 2007. Asia Pasific Economic Cooperation

Toledo, R.T. 1991. Fundamentals of Food Process Engineering. Chapman and


Hall, New York.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.

Zobel, H. F. 1984. Gelatinization of starch and mechanical properties of starch


pastes. Di dalam : Whistler, R.L., Bemiller, J.N., dan Paschall, F.E (eds).
Starch : Chemistry and Technology. Academic Press, Inc., Orlando,
halaman 285-305.

76
Lampiran 1. Struktur Perusahaan PT. Umas Jaya Agrotama Factory 1

Production

QA & Mgt. Repr : For ISO 9001

Factory I

QC Production

QC In Plant QC Lab/Analist

Kepala Raw Kepala Proses Kepala Maint.


Material Operator And Utilities
Kapala Seksi Kepala Sub- Proses
Proses -Shift Seksi Proses Kepala Seksi
Petugas Operator Maintenance Mekanik
Timbangan Raw Shovel Alat Berat
Material
Kapala Seksi Truck Driver Mekanik
Waste & Cleaning Kepala Seksi
Petugas Bongkar Maintenance
Raw Material Cleaner
Production
Kapala Seksi Equipment Welder
Packer
Packing
Kepala Seksi Electrician &
Utilities Pipe Filter
Kapala Seksi Petugas
Inventory Gudang
77
Lampiran 2. Bagan proses pengolahan limbah cair tapioka di PT. UJA 1

Air limbah + kulit + tanah No Kolam Limbah Luas


1 Kolam 1 sedimentasi 1 4.449 m2
2 Kolam 2 sedimentasi 2 2.218 m2
3 Kolam 3 sedimentasi 3 5.315 m2
Parit aliran air limbah
4 Kolam 4 sedimentasi 4 5.223 m2
5 Kolam 5 anaerob 1 4.666 m2
6 Kolam 6 anaerob 2 3.623 m2
Washer Kulit Silo Areal Perkebunan 7 Kolam 7 anaerob 3 6.214 m2
8 Kolam 8 anaerob 4 14.598 m2
9 Kolam 9 anaerob 5 23.034 m2
Air Limbah 10 Kolam 10 fakulatif 1 5.916 m2
11 Kolam 11 fakulatif 2 5.997 m2
12 Kolam 12 fakulatif 3 14.503 m2
Parit air limbah 13 Kolam 13 aerob 1 15.946 m2
14 Kolam 14 aerob 2 1.448 m2
15 Kolam 15 bio kontrol 4.474 m2
Total 177.624 m2
Air limbah + kulit +

Kolam penampungan 1 Kolam penampungan 2 Kolam 1 pengendapan 1 Kolam 2 pengendapan 2

Kolam 6 Ananerob 2 Kolam 5 Anaerob 1 Kolam 4 pengendapan 4 Kolam 3 pengendapan 3

Kolam 7 Anaerob 3 Kolam 8 Anaerob 4 Kolam 9 Anaerob 5 Kolam 10 Fakultatif 1

Kolam 14 Aerob 2 Kolam 13 Aerob 1 Kolam 12 Fakultatif 3 Kolam 11 Fakultatif 2

78
Kolam 15 Bio Kontrol Outlet Limbah Sungai Way Pangubuan
Lampiran 3. Syarat mutu teknis tapioka menurut SNI 01-3451-1994
Tabel
Spesifikasi Persyaratan Mutu

Persyaratan
No. Jenis Uji Satuan
Mutu I Mutu II Mutu III
1. Kadar air (b/b) % Maks. 15 Maks. 15 Maks. 15
2. Kadar abu (b/b) % Maks. 0,60 Maks. 0,60 Maks. 0,60
3. Serat dan benda asing (b/b) % Maks. 0,60 Maks. 0,6 Maks. 0,60
4. Derajat putih, % Min. 94,5 Min. 92,0 < 92,0
(BaSO4=100%)
5. Kekentalan Engler 3–4 2,5 – 3 < 2,5
6. Derajat asam ml NaOH Maks. 3 Maks. 3 Maks. 3
1N/100g
7. Cemaran logam**
- Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0 Maks. 1,0
- Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10,0 Maks. 10,0 Maks. 10,0
- Seng (Zn) mg/kg Maks. 40 Maks. 40 Maks. 40
- Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,05 Maks. 0,05 Maks. 0,05
8. Arsen (As) Cemaran mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5 Maks. 0,5

9. mikroba**
- Angka lempeng total koloni/g Maks. 1,0x106 Maks. Maks.
1,0x106 1,0x106
- E. Coli koloni/g Maks. 10 Maks. 10 Maks. 10
- Kapang koloni/g Maks. 10 Maks. Maks.
1,0x106 1,0x106
Catatan :
** Dipersyaratkan bila digunakan sebagai bahan makanan
*) Sumber : DSN, 1994.

79
Lampiran 4. Skema unit pemasukan pati basah (feeder oven) di PT. UJA 1

Oven ( Flash
Panel kontrol Slinger Dryer)

C D

Reducer Φ = 190 mm
: 1/30
Variable speed

A B
120 mm
9 inch 4 inch
Φ = 2 inch
Tebal = 2 mm

80
Lampiran 5. Skema proses pengeringan di PT. UJA 1

Sumber : PT. Umas Jaya Agrotama, 2009 81


Lampiran 6. Spesifikasi produk tapioka PT. UJA 1
No Jenis Uji Satuan Metode Nilai
1 Kadar pati % Titrimetri Minimum 85
2 Kadar air % Gravimetri Maksimum 12,5
3 Kadar abu % Gravimetri Maksimum 0,2
4 Residu SO2 ppm Titrimetri Maksimum 30
5 pH - pH meter 5-7
6 Serat kasar % Gravimetri Maksimum 0,15
7 Viskositas BU Viscometri Minimum 700
(Brabender
Vorinograf)
8 Derajat putih % Whitenessmeter Minimum 94
(BaSO4=100%)
9 Angka Asam ml NaOH Titrimetri Maksimum 2,0
0,1 N

10 Retained on % Gravimetri Maksimum 2,0


100 mesh
11 (special order) % Gravimetri Masimum 0,08
Residu 325
12 mesh (special - Visual Maksimal score 1
order)
Dirt 90 (special
order)

82
Lampiran 7a. Hasil pengamatan sifat psikrometri udara pengeringan pada Flash
Dryer 1
25-Mei-09 26-Mei-09
Parameter
16.00 19.30 21.30 16.00 19.30 21.30
suhu bola kering
(celcius) input udara 32,5 31,5 31,5 33,0 34,1 34,7
(Ta)
RH(%) input udara 71,0 70,9 74,9 63,3 61,4 60,8
Volume spesifik input 0.8963 0.8934 0.8934 0.8978 0.901 0.9028
udara (m3/kg u.k.)
suhu udara kering 200 200 199 199 198 189
suhu udara basah 65 59 61 64 62 61
27-Mei-09 29-Mei-09
Parameter
08.00 10.00 14.00 08.00 10.00 14.00
suhu bola kering
(celcius) input udara 35,0 36,0 38,8 35,5 36,8 38,9
(Ta)
RH(%) input udara 56,9 54,6 34,6 60,6 41,3 36,3
Volume spesifik input 0.9037 0.9066 0.9148 0.9051 0.9089 0.9151
udara (m3/kg u.k.)
suhu udara kering 193 167 155 201 195 195
suhu udara basah 59 58 55 59 64 57
02-Jun-09 03-Jun-09
Parameter
24.00 02.00 04.00 24.00 02.00 04.00
suhu bola kering
(celcius) input udara 29,5 30,5 27,0 31,0 31,9 31,6
(Ta)
RH(%) input udara 93,6 95,3 94,0 64,4 65,3 66,1
Volume spesifik input 0.8875 0.8905 0.8802 0.8919 0,8946 0.8937
udara (m3/kg u.k.)
suhu udara kering 194 190 194 202 191 190
suhu udara basah 63 59 59 60 59 56

83
Lampiran 7b. Hasil pengamatan sifat psikrometri udara pengeringan pada Flash
Dryer 2
25-Mei-09 26-Mei-09
Parameter
16.00 19.30 21.30 16.00 19.30 21.30
suhu bola kering
(celcius) input udara 33,5 31 32 33,4 33 32,4
(Ta)
RH(%) input udara 66 76,1 75,1 63,9 64 65,6
Volume spesifik input 0.8993 0.8919 0.8949 0.899 0.8978 0.896
udara (m3/kg u.k.)
suhu udara kering 208 208 207 207 204 196
suhu udara basah 63 61 61 64 65 60
27-Mei-09 29-Mei-09
Parameter
08.00 10.00 14.00 08.00 10.00 14.00
suhu bola kering
(celcius) input udara 33,6 35,8 38,7 33,2 36,2 38,6
(Ta)
RH(%) input udara 60,8 51,9 39,6 59,8 42,8 38,6
Volume spesifik input 0.9000 0.9060 0.9145 0.8984 0.9072 0.9142
udara (m3/kg u.k.)
suhu udara kering 201 174 164 207 202 202
suhu udara basah 74 59 49 61 61 60
02-Jun-09 03-Jun-09
Parameter
24.00 02.00 04.00 24.00 02.00 04.00
suhu bola kering
(celcius) input udara 29,5 28,5 27 30,5 31,6 30,6
(Ta)
RH(%) input udara 83,5 82,9 78,8 68,5 66,5 71,4
Volume spesifik input 0.8875 0.8846 0.8802 0.8905 0.8937 0.8908
udara (m3/kg u.k.)
suhu udara kering 202 200 204 212 202 201
suhu udara basah 63 62 61 62 62 61

84
Lampiran 8. Hasil uji beda suhu input udara Flash Dryer 1 dan Flash Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances
Flash Dryer 1 Flash Dryer 2
Mean 33.3222222 32.72777778
Variance 10.0465359 9.955065359
Observations 18 18
Hypothesized Mean
Difference 0
Df 34
t Stat 0.56391694
P(T<=t) one-tail 0.28825587
t Critical one-tail 1.6909242
P(T<=t) two-tail 0.57651175
t Critical two-tail 2.0322445

Lampiran 9. Hasil uji beda RH input udara pada Flash Dryer 1 dan Flash Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances
Flash Dryer 1 Flash Dryer 2
Mean 64.73888889 64.21111111
Variance 310.7331046 186.9057516
Observations 18 18
Hypothesized Mean
Difference 0
Df 32
t Stat 0.100376075
P(T<=t) one-tail 0.460336008
t Critical one-tail 1.693888703
P(T<=t) two-tail 0.920672015
t Critical two-tail 2.036933334

85
Lampiran 10. Hasil uji beda volume spesifik udara pada Flash Dryer 1 dan Flash
Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances

Flash Dryer 1 Flash Dryer 2


Mean 0.89873889 0.897027778
Variance 8.6375E-05 8.57209E-05
Observations 18 18
Hypothesized Mean
Difference 0
Df 34
t Stat 0.55338651
P(T<=t) one-tail 0.29180987
t Critical one-tail 1.6909242
P(T<=t) two-tail 0.58361975
t Critical two-tail 2.0322445

Lampiran 11. Hasil pengamatan suhu setelah melewati Steam Heat Exchanger
(Heater uap) dan Oil Heat Exchanger(Heater oli)
suhu udara dari SHE suhu udara dari OHE
Tanggal Jam (oC) (oC)
FD 1 FD 2 FD 1 FD 2
16.00 WIB 160 150 200 208
25-May-09 19.30 WIB 160 150 200 208
21.30 WIB 160 150 199 207
16.00 WIB 160 150 199 207
26-May-09 19.30 WIB 160 150 198 204
21.30 WIB 160 150 189 196
08.00 WIB 160 150 193 201
27-May-09 10.00 WIB 165 155 167 174
14.00 WIB 165 155 155 164
08.00 WIB 160 150 201 207
29-May-09 10.00 WIB 160 155 195 202
14.00 WIB 160 150 195 202
24.00 WIB 160 150 194 202
2-Jun-09 02.00 WIB 160 150 190 200
04.00 WIB 160 150 194 204
24.00 WIB 160 150 202 212
3-Jun-09 02.00 WIB 160 150 191 202
04.00 WIB 160 150 190 201
Rata-rata 161 151 192 200

86
Lampiran 12. Hasil uji beda suhu udara kering Flash Dryer 1 dan Flash Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances
Flash Dryer 1 Flash Dryer 2
Mean 191.777778 200.0555556
Variance 145.947712 144.5261438
Observations 18 18
Hypothesized Mean
Difference 0
Df 34
t Stat -2.06061326
P(T<=t) one-tail 0.02352842
t Critical one-tail 1.6909242
P(T<=t) two-tail 0.04705684
t Critical two-tail 2.0322445

Lampiran 13. Hasil uji beda suhu udara basah Flash Dryer 1 dan Flash Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances
Flash Dryer 1 Flash Dryer 2
Mean 60 61.61111111
Variance 7.764705882 20.4869281
Observations 18 18
Hypothesized Mean
Difference 0
Df 28
t Stat -1.28599701
P(T<=t) one-tail 0.104488764
t Critical one-tail 1.701130908
P(T<=t) two-tail 0.208977527
t Critical two-tail 2.048407115

87
Lampiran 14a. Kapasitas penangkapan air udara pengering Flash Dryer 1

H1 H2 ∆H
Tanggal Jam
(kg air/kg u.k.) (kg air/kg u.k.) (kg air/kg u.k.)
16.00 WIB 0.0221 0.0788 0.0567
25-Mei-09 19.30 WIB 0.0208 0.0801 0.0593
21.30 WIB 0.0217 0.0797 0.0580
16.00 WIB 0.0202 0.0767 0.0565
26-Mei-09 19.30 WIB 0.0208 0.0778 0.0570
21.30 WIB 0.0213 0.0750 0.0537
08.00 WIB 0.0203 0.0766 0.0563
27-Mei-09 10.00 WIB 0.0206 0.0663 0.0457
14.00 WIB 0.0150 0.0565 0.0415
08.00 WIB 0.0223 0.0822 0.0599
29-Mei-09 10.00 WIB 0.0161 0.0704 0.0543
14.00 WIB 0.0159 0.0734 0.0575
24.00 WIB 0.0246 0.0799 0.0553
02-Jun-09 02.00 WIB 0.0266 0.0822 0.0556
04.00 WIB 0.0213 0.0781 0.0568
24.00 WIB 0.0183 0.0777 0.0594
03-Jun-09 02.00 WIB 0.0195 0.0748 0.0553
04.00 WIB 0.0194 0.0756 0.0562
Rata-rata 0.0553

88
Lampiran 14b. Kapasitas penangkapan air udara pengering Flash Dryer 2
H1 H2 ∆H
Tanggal Jam
(kg air/kg u.k.) (kg air/kg u.k.) (kg air/kg u.k.)
16.00 0.0217 0.0826 0.0609
25-Mei-09 19.30 0.0217 0.0836 0.0619
21.30 0.0227 0.0842 0.0615
16.00 0.0208 0.0808 0.0600
26-Mei-09 19.30 0.0204 0.0786 0.0582
21.30 0.0202 0.0773 0.0571
08.00 0.0200 0.0728 0.0528
27-Mei-09 10.00 0.0193 0.0674 0.0481
14.00 0.0172 0.0654 0.0482
08.00 0.0192 0.0803 0.0611
29-Mei-09 10.00 0.0162 0.0749 0.0587
14.00 0.0166 0.0758 0.0592
24.00 0.0219 0.0803 0.0584
02-Jun-09 02.00 0.0204 0.0783 0.0579
04.00 0.0177 0.0774 0.0597
24.00 0.0189 0.0817 0.0628
03-Jun-09 02.00 0.0196 0.0782 0.0586
04.00 0.0198 0.0785 0.0587
Rata-rata 0.0580
Keterangan : H1 = kelembaban mutlak udara kering, H2 = Kelembaban mutlak udara
basah

Lampiran 15. Hasil uji beda kapasitas penangkapan air Flash Dryer 1 dan Flash Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances
Flash Dryer 1 Flash Dryer 2
Mean 0.05527778 0.057988889
Variance 2.1335E-05 1.76646E-05
Observations 18 18
Hypothesized Mean
Difference 0
Df 34
t Stat -1.84185274
P(T<=t) one-tail 0.03711684
t Critical one-tail 1.6909242
P(T<=t) two-tail 0.07423367
t Critical two-tail 2.0322445

89
Lampiran 16. Hasil Perhitungan Kapasitas pengeringan
Kapasitas Massa Udara per Kapasitas
Volume Spesifik
Penangkapan Air Jam Pengeringan
(m3/kg u.k.)
(kg air/kg u.k.) (kg u.k./jam) (kg air/jam)
FD 1 FD 2 FD 1 FD 2 FD 1 FD 2 FD 1 FD 2
0.0567 0.0609 0.8963 0.8993 26817.45 26727.99 1520.55 1627.73
0.0593 0.0619 0.8934 0.8919 26904.50 26949.75 1595.44 1668.19
0.0580 0.0615 0.8934 0.8949 26904.50 26859.40 1560.46 1651.85
0.0565 0.0600 0.8978 0.8990 26772.64 26736.91 1512.65 1604.21
0.0570 0.0582 0.9010 0.8978 26677.56 26772.64 1520.62 1558.17
0.0537 0.0571 0.9028 0.8960 26624.37 26826.43 1429.73 1531.79
0.0563 0.0528 0.9037 0.9000 26597.85 26707.20 1497.46 1410.14
0.0457 0.0481 0.9066 0.9060 26512.77 26530.33 1211.63 1276.11
0.0415 0.0482 0.9148 0.9145 26275.12 26283.74 1090.42 1266.88
0.0599 0.0611 0.9051 0.8984 26556.71 26754.76 1590.75 1634.72
0.0543 0.0587 0.9089 0.9072 26445.68 26495.24 1436.00 1555.27
0.0575 0.0592 0.9151 0.9142 26266.51 26292.36 1510.32 1556.51
0.0553 0.0584 0.8875 0.8875 27083.36 27083.36 1497.71 1581.67
0.0556 0.0579 0.8905 0.8846 26992.12 27172.15 1500.76 1573.27
0.0568 0.0597 0.8802 0.8802 27307.98 27307.98 1551.09 1630.29
0.0594 0.0628 0.8919 0.8905 26949.75 26992.12 1600.82 1695.10
0.0553 0.0586 0.8946 0.8937 26868.41 26895.47 1485.82 1576.07
0.0562 0.0587 0.8937 0.8908 26895.47 26983.03 1511.53 1583.90
Rata-rata kapasitas pengeringan 1479.09 1554.55

Lampiran 17. Hasil uji beda kapasitas pengeringan pada Flash Dryer 1 dan Flash Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances
Flash Dryer 1 Flash Dryer 2
Mean 1479.09783 1554.5485
Variance 16900.9384 14482.85917
Observations 18 18
Hypothesized Mean
Difference 0
Df 34
t Stat -1.80695207
P(T<=t) one-tail 0.03981322
t Critical one-tail 1.6909242
P(T<=t) two-tail 0.07962644
t Critical two-tail 2.0322445

90
Lampiran 18. Data pengamatan pemasukan pati basah

Kecepatan Debit
Kecepatan pemasukan (kg/jam)
Tanggal Jam input (rpm) (m3/jam)
FD 1 FD 2 FD 1 FD 2 FD 1 FD 2 Total
16.00 700 550 9.02 8.96 5031.81 5487.89 10519.70
25-May-
19.30 700 700 9.02 11.41 5031.81 6984.59 12016.40
09
21.30 800 700 10.31 11.41 5750.64 6984.59 12735.23
16.00 700 600 9.02 9.78 5031.81 5986.79 11018.60
26-May-
19.30 700 650 9.02 10.59 5031.81 6485.69 11517.50
09
21.30 700 700 9.02 11.41 5031.81 6984.59 12016.40
08.00 600 350 7.74 5.70 4312.98 3492.29 7805.28
27-May-
10.00 700 550 9.02 8.96 5031.81 5487.89 10519.70
09
14.00 500 600 6.45 9.78 3594.15 5986.79 9580.94
08.00 850 750 10.96 12.22 6110.06 7483.49 13593.55
29-May-
10.00 950 800 12.25 13.04 6828.89 7982.39 14811.28
09
14.00 750 700 9.67 11.41 5391.23 6984.59 12375.82
24.00 750 700 9.67 11.41 5391.23 6984.59 12375.82
2-Jun-
02.00 800 700 10.31 11.41 5750.64 6984.59 12735.23
09
04.00 1000 700 12.89 11.41 7188.31 6984.59 14172.89
24.00 750 800 9.67 13.04 5391.23 7982.39 13373.62
3-Jun-
02.00 800 700 10.31 11.41 5750.64 6984.59 12735.23
09
04.00 700 750 9.02 12.22 5031.81 7483.49 12515.30
Rata-rata 5371.26 6651.99 12023.25

Lampiran 19. Hasil uji beda kecepatan pemasukan pati basah Flash Dryer 1 dan
Flash Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances

Flash Dryer 1 Flash Dryer 2


Mean 5371.261489 6651.988746
Variance 675869.6532 1142013.452
Observations 18 18
Hypothesized Mean
Difference 0
Df 32
t Stat -4.0300453
P(T<=t) one-tail 0.000160928
t Critical one-tail 1.693888703
P(T<=t) two-tail 0.000321856
t Critical two-tail 2.036933334

91
Lampiran 20. Hasil pengamatan sifat dehidrasi pati basah
Ulangan 1 Ulangan 2

Waktu laju pengeringan laju pengeringan


(menit) k.a. k.a. (g air/100 g k.a. k.a. (g air/100 g
(b.b.) (b.k.) bahan (b.b.) (b.k.) bahan
kering.menit) kering.menit)
0 34,60% 52,91% 0,04 34,20% 51,98% 0,07
1 32,30% 49,39% 0,06 29,90% 45,44% 0,03
2 28,20% 43,12% 0,13 27,70% 42,10% 0,13
3 20,00% 30,58% 0,11 19,40% 29,48% 0,11
4 12,70% 19,42% 0,08 12,30% 18,69% 0,08
5 7,40% 11,31% 0,05 7,20% 10,94% 0,05
6 3,90% 5,96% 0,03 3,90% 5,93% 0,03
7 1,90% 2,91% 0,02 2,00% 3,04% 0,02
8 0,80% 1,22% 0,01 1,00% 1,52% 0,01
9 0,40% 0,61% 0,00 0,50% 0,76% 0,00
10 0,20% 0,31% 0,00 0,30% 0,46% 0,00
11 0,20% 0,31% 0,00 0,10% 0,15% 0,00
12 0,10% 0,15% 0,00 0,10% 0,15% 0,00
13 0,00% 0,00% 0,00 0,00% 0,00% 0,00
14 0,00% 0,00% 0,00 0,00% 0,00% 0,00
15 0,00% 0,00% 0,00 0,00% 0,00% 0,00
16 0,00% 0,00% 0,00 0,00% 0,00% 0,00
17 0,00% 0,00% 0,00 0,00% 0,00% 0,00
18 0,00% 0,00% 0,00 0,00% 0,00% 0,00
19 0,00% 0,00% 0,00 0,00% 0,00% 0,00
20 0,00% 0,00% 0,00 0,00% 0,00% 0,00

92
Lampiran 21. Hasil pengamatan kadar air
k.a. tapioka kering
k.a. tapioka basah (%)
(%)
Tanggal Jam
ulangan ulangan
rata-rata FD 1 FD 2
1 2
16.00 34,50 34,80 34,65 10,20 11,00
25-Mei-09 19.30 33,70 32,50 33,10 8,60 11,60
21.30 34,70 33,00 33,85 12,20 9,60
16.00 36,00 33,50 34,75 11,50 10,80
26-Mei-09 19.30 35,00 34,30 34,65 10,60 9,00
21.30 34,40 34,00 34,20 10,60 11,30
08.00 35,30 32,50 33,90 9,70 9,60
27-Mei-09 10.00 34,00 33,30 33,65 8,70 10,90
14.00 35,80 34,50 35,15 9,40 12,40
08.00 35,50 34,50 35,00 10,40 11,00
29-Mei-09 10.00 34,60 33,50 34,05 10,20 10,10
14.00 36,00 35,00 35,50 9,40 11,30
24.00 36,00 34,60 35,30 12,50 10,90
02-Jun-09 02.00 34,80 34,00 34,40 11,60 10,10
04.00 34,50 34,50 34,50 14,20 12,40
24.00 35,00 34,10 34,55 8,80 12,30
03-Jun-09 02.00 33,70 33,50 33,60 11,20 12,20
04.00 33,50 33,50 33,50 11,10 10,90
Rata-rata 34,40 10,60 11,00

Lampiran 22. Hasil uji beda kadar air pati kering Flash Dryer 1 dan Flash Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances

Flash Dryer 1 Flash Dryer 2


Mean 10.6055556 10.96666667
Variance 2.14408497 1.010588235
Observations 18 18
Hypothesized Mean Difference 0
Df 30
t Stat -0.86258106
P(T<=t) one-tail 0.19760559
t Critical one-tail 1.69726085
P(T<=t) two-tail 0.39521118
t Critical two-tail 2.04227245

93
Lampiran 23. Hasil pengamatan Derajat Putih, Persentase Kerak, dan Retained on
100 mesh
k.a. pati Derajat Putih Persentase Retained on 100
Tanggal Jam basah (%) kerak (%) mesh (%)
(%) FD 1 FD 2 FD 1 FD 2 FD 1 FD 2
16.00 34,7 95,4 95,4 3,96 3,98 1,67 1,42
25-Mei-09 19.30 33,1 96,6 96,5 1,22 3,06 0,91 1,22
21.30 33,9 96,0 96,3 3,58 1,80 1,34 1,12
16.00 34,8 95,8 96,5 7,22 4,84 2,81 2,10
26-Mei-09 19.30 34,7 96,8 96,8 2,14 2,08 1,08 0,98
21.30 34,2 96,5 96,5 2,48 2,36 0,84 1,06
08.00 33,9 95,4 95,5 3,14 4,34 0,99 1,34
27-Mei-09 10.00 33,7 95,7 95,7 2,50 2,54 0,94 0,96
14.00 35,2 94,4 93,7 2,14 5,54 0,84 2,18
08.00 35,0 95,0 94,9 1,54 2,88 0,83 1,13
29-Mei-09 10.00 34,1 95,8 95,5 2,68 2,36 1,03 1,13
14.00 35,5 95,2 95,7 3,38 3,86 1,28 1,66
24.00 35,3 95,4 95,3 4,50 2,98 1,30 1,01
02-Jun-09 02.00 34,4 95,0 95,5 3,28 3,18 1,26 1,75
04.00 34,5 95,3 95,1 3,48 2,80 1,30 1,19
24.00 34,6 96,0 96,1 2,72 5,28 1,15 1,56
03-Jun-09 02.00 33,6 95,5 95,1 2,86 3,12 1,28 1,38
04.00 33,5 95,8 95,8 4,96 3,38 1,68 1,61
Rata-rata 34,4 95,6 95,7 3,20 3,40 1,30 1,40

Lampiran 24. Hasil uji beda derajat putih pati kering Flash Dryer 1 dan Flash Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances
Flash Dryer 1 Flash Dryer 2
Mean 95.6444444 95.66111111
Variance 0.36496732 0.550751634
Observations 18 18
Hypothesized Mean
Difference 0
Df 33
t Stat -0.0738931
P(T<=t) one-tail 0.47077077
t Critical one-tail 1.69236026
P(T<=t) two-tail 0.94154155
t Critical two-tail 2.03451529

94
Lampiran 25. Hasil uji beda persentase kerak pati kering Flash Dryer 1 dan
Flash Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances
Flash Dryer 1 Flash Dryer 2
Mean 3.21 3.354444444
Variance 1.902176471 1.166861438
Observations 18 18
Hypothesized Mean Difference 0
Df 32
t Stat -0.34981302
P(T<=t) one-tail 0.364385465
t Critical one-tail 1.693888703
P(T<=t) two-tail 0.72877093
t Critical two-tail 2.036933334

Lampiran 26. Hasil uji beda retained on 100 mesh pati kering Flash Dryer 1 dan
Flash Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances
Flash Dryer 1 Flash Dryer 2
Mean 1.25166667 1.407222222
Variance 0.21700294 0.134985948
Observations 18 18
Hypothesized Mean Difference 0
Df 32
t Stat -1.11239058
P(T<=t) one-tail 0.13712877
t Critical one-tail 1.6938887
P(T<=t) two-tail 0.27425753
t Critical two-tail 2.03693333

95
Lampiran 27. Hasil pengamatan efisiensi energi pengeringan
Waktu Flash Dryer 1 Flash Dryer 2
pengamatan Ta T1 T2 ή Ta T1 T2 ή
16.00 32,5 200 65 0,81 33,5 208 63 0,83
25-Mei-
19.30 31,5 200 59 0,84 31 208 61 0,83
09
21.30 31,5 199 61 0,82 32 207 61 0,83
16.00 33,0 199 64 0,81 33,4 207 64 0,82
26-Mei-
19.30 34,1 198 62 0,83 33 204 65 0,81
09
21.30 34,7 189 61 0,83 32,4 196 60 0,83
08.00 35,0 193 59 0,85 33,6 201 74 0,76
27-Mei-
10.00 36,0 167 58 0,83 35,8 174 59 0,83
09
14.00 38,8 155 55 0,86 38,7 164 49 0,92
08.00 35,5 201 59 0,86 33,2 207 61 0,84
29-Mei-
10.00 36,8 195 64 0,83 36,2 202 61 0,85
09
14.00 38,9 195 57 0,88 38,6 202 60 0,87
24.00 29,5 194 63 0,80 29,5 202 63 0,81
02-Jun-
02.00 30,5 190 59 0,82 28,5 200 62 0,80
09
04.00 27,0 194 59 0,81 27 204 61 0,81
24.00 31,0 202 60 0,83 30,5 212 62 0,83
03-Jun-
02.00 31,9 191 59 0,83 31,6 202 62 0,82
09
04.00 31,6 190 56 0,85 30,6 201 61 0,82
Rata-rata 0,83 Rata-rata 0,83

Lampiran 28. Hasil uji beda efisiensi energi pengeringan Flash Dryer 1 dan Flash Dryer 2
t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances
Flash Dryer 1 Flash Dryer 2
Mean 0.83277778 0.828333333
Variance 0.00043301 0.001026471
Observations 18 18
Hypothesized Mean
Difference 0
Df 29
t Stat 0.4935772
P(T<=t) one-tail 0.31266114
t Critical one-tail 1.699127
P(T<=t) two-tail 0.62532229
t Critical two-tail 2.04522961

96

Anda mungkin juga menyukai