Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MIKROBIOLOGI DAN PARASITOLOGI

“RESUME JURNAL FAKTOR YANG MEMPERNGARUHI PERTUMBUHAN


BAKTERI “

NAMA : RISMA KURNIA SARI


NIM : 221053

PROGRAM STUDI DIII FARMASI


POLITEKNIK KATOLIK MANGUN WIJAYA
SEMARANG 2022
JURNAL I

JUDUL : EFEK PEMANFAATAN KARAGINAN SEBAGAI EDIBLE COATING


TERHADAP pH, TOTAL MIKROBA DAN H2S PADA BAKSO SELAMA PENYIMPANAN
16 JAM.

I. LATAR BELAKANG

Bakso merupakan produk olahan daging yang memiliki nutrisi tinggi, dan pH 6.0-6.5
sehingga masa simpan maksimalnya adalah 1 hari (12-24 jam) (Anggadiredja, 2007). Saat
ini banyak usaha yang dilakukan untuk membuat masa simpan bakso menjadi lebih lama,
namun usaha tersebut sering tidak memperhatikan keamanan dan kelayakan konsumsi.
Contoh dari usaha untuk membuat masa simpan bakso menjadi lebih lama adalah dengan
menggunakan bahan-bahan tambahan yang berbahaya seperti formalin atau boraks, sehingga
memerlukan usaha yang lebih memperhatikan keamanan pangan dan kelayakan konsumsi.
Salah satunya adalah dengan menerapkan kemasan edible coating pada bakso sapi. Coating
didefinisikan sebagai bahan lapisan tipis yang diaplikasikan pada suatu produk makanan.
Edible coating merupakan kategori bahan kemasan yang unik yang berbeda dari bahan-
bahan kemasan konvensional yang dapat dimakan. Edible coating diterapkan dan dibentuk
langsung pada produk makanan baik dengan penambahan pembentuk lapisan tipis cair
(liquid film-forming solution), diterapkan dengan cara dikuas, penyemprotan, pencelupan
atau pencairan (Cuq et al.,1995). Edible coating diklasifikasikan menjadi 3 kategori dengan
mempertimbangkan sifat komponennya: hydrocolloids (mengandung protein, polisakarida
dan alginat), lemak (dibentuk oleh asam lemak, acyglycerol atau waxes) dan komposit (yang
terbuat dengan cara menggabungkan zat dari dua kategori). Karaginan adalah polimer yang
larut dalam air dari rantai linear dari sebagian sulfat galaktan yang mengandung potensi
tinggi sebagai pembentuk lapisan tipis (Skurtys et al., 2010). Karaginan berasal dari rumput
laut merah dan merupakan campuran kompleks dari beberapa polisakarida. Lapisan tipis
polisakarida memberikan perlindungan efektif terhadap pencoklatan permukaan dan oksidasi
lemak dan oksidasi komponen makanan lainnya. Selain mencegah hilangnya kelembaban,
lapisan tipis p olisakarida kurang permeabel terhadap oksigen. Penurunan permeabilitas
oksigen dapat menjaga makanan (Lacroix dan Canh, 2005). Kualitas bakso dapat dilihat dari
pH, total mikroba dan H2S. Setiap organisme memiliki kisaran pH tertentu yang masih
memungkinkan untuk pertumbuhan organisme dan juga mempunyai pH optimum. Pada
umumnya, mikroorganisme dapat tumbuh pada pH kisaran 6,6-8,0 dan nilai pH luar pada
kisaran 2,0-1,0 sudah bersifat merusak (Buckle, 1987). Menurut Fardiaz (1992), faktor-
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah zat makanan, pH, air, oksigen, dan
senyawa penghambat pertumbuhan. Ketentuan SNI-7388-2009 total bakteri pada bakso
daging sapi maksimal adalah 1x105 koloni/g. Bahan Animal Agriculture Journal, Vol. 1.
No. 2, 2012, halaman 288 pangan apabila tercemar mikroba dalam jumlah yang banyak akan
mengakibatkan kualitas bakso menurun dan terjadi kebusukan. Daging yang busuk akibat
bakteri akan menyebabkan bau busuk, rasa asam serta akan membentuk gas. Bakteri pada
daging busuk akan mempercepat terbentuknya H2S bila bereaksi dengan metmioglobin akan
menghasilkan warna cokelat (Lawrie,1995).

II. TUJUAN PENELITIAN


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh karaginan rumput laut
sebagai bahan kemasan ber-edible dengan teknik coating terhadap, total mikroba, pH, dan
uji H2S pada bakso selama penyimpanan 16 jam. Manfaat penelitian ini adalah memberikan
informasi dan pengetahuan mengenai pengaruh karaginan rumput laut sebagai bahan
kemasan ber-edible dengan teknik coating terhadap, total mikroba, pH, dan uji H2S pada
bakso selama penyimpanan 16 jam.

III. METODE PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi. tepung
tapioka 15% dari berat daging, garam 2%, bawang putih 2,5%, merica halus 0,8%, es batu
20%, MSG 1% dan karaginan. Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat alat untuk
pembuatan bakso, seperangkat alat untuk uji pH, seperangkat alat uji total mikroba dan
seperangkat alat uji H2S. Pelaksanaan penelitian meliputi rancangan percobaan, persiapan,
pembuatan sampel, pengujian variabel dan analisis data. Tahap persiapan dan pembuatan
sampel meliputi penyediaan alat dan bahan untuk membuat sampel, kemudian diberikan
perlakuan dengan cara dicelupkan dalam edible coating dengan konsentrasi karaginan yang
berbeda (0%; 0,5%; 1%; 1,5% dan 2%). Setelah itu dilakukan pengujian variabel meliputi
kadar pH, total mikroba dan H2S pada penyimpanan 16 jam.

Prosedur penelitian ini meliputi pembuatan edible coating dan pembuatan


bakso. Pembuatan edible coating dimulai dengan menyiapkan tepung karaginan dilarutkan
dalam air suhu 80 °C dan dihomogenkan selama 10 menit. Konsentrasi karagenan adalah 0%
(tanpa pencelupan), 0,5%; 1%; 1,5% dan 2% (b/v). Setelah homogen dimasukkan gliserol
0,75% sebagai plasticizer dan dihomogenkan hingga menjadi larutan yang homogen.
Pembuatan bakso dimulai dengan memotong-motong daging sapi menjadi kecil-kecil dan
digiling dalam mesin penggiling. Penggilingan dilakukan dua tahap agar diperoleh adonan
yang lembut. Bumbu (bawang putih, garam halus dan merica) yang telah dihaluskan dan
bahanbahan lainnya (tepung, es batu) dicampurkan pada proses penggilingan kedua. Adonan
yang telah terbentuk kemudian dicetak menjadi bulatan-bulatan kecil. Bulatan-bulatan bakso
yang telah terbentuk kemudian direbus di dalam panci berisi air panas. Perebusan dilakukan
sampai bakso matang ditandai dengan mengapungnya bakso ke permukaan. Setelah matang
ditiriskan kemudian dicelupkan pada edible coating dengan konsentrasi (0%; 0,5%; 1%; 1,5
dan 2%), disimpan selama 16 jam, dan dilakukan analisis pH, total mikroba dan H2S.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5
perlakuan dan 4 ulangan. Setiap perlakuan adalah tingkat konsentrasi edible coating yang
berbeda, kemudian bakso sapi dicelupkan selama Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2,
2012, halaman 289 30 menit pada larutan edible coating. Perlakuan yang diterapkan adalah
sebagai berikut:

T0 = tanpa pencelupan

T1 = pencelupan pada edible coating konsentrasi 0,5%

T2 = pencelupan pada edible coating konsentrasi 1%

T3 = pencelupan pada edible coating konsentrasi 1,5%

T4 = pencelupan pada edible coating konsentrasi 2%


IV. HASIL PENELITIAN

pH bakso sapi yang paling baik adalah bakso sapi dengan perlakuan (T1),
atau konsentrasi 0,5%. Hal ini menunjukkan bahwa edible coating konsentrasi 0,5%
dapat mencegah kerusakan bakso atau mempertahankan kualitas bakso terutama dilihat
dari penurunan pH dibandingkan dengan konsentrasi 1%, 1,5% dan 2%. Penurunan pH
yang terjadi akibat pengaruh daya mengikat air, daging, keempukan, susut masak dan
warna serta perlakuan edible coating pada bakso selama penyimpanan 16 jam dapat
menghambat keluarnya gas, uap air dan kontak dengan oksigen. Menurut Soeparno
(1992) pH daging berhubungan dengan kemampuan mengikat air, jus daging,
keempukan, susut masak dan warna. Harianingsih (2010) menambahkan bahwa edible
coating merupakan lapisan tipis yang dapat menghambat keluarnya gas, uap air dan
kontak langsung dengan oksigen. Menurut Anggadiredja (2007) bakso daging sapi yang
normal bernilai pH 6.0-6.5 sehingga masa simpan maksimalnya adalah 1 hari (12-24
jam).
Pengaruh Perlakuan terhadap Total Mikroba

Hasil analisis ragam menunjukkan ada pengaruh perlakuan yang nyata


(P<0.05) pada bakso sapi akibat edible coating dengan konsentrasi berbeda. Selanjutnya
hasil uji wilayah ganda Duncan menunjukkan bahwa T0 dan T1 tidak berbeda nyata
(P<0.05). tetapi berbeda nyata (P<0.05) dengan T2, T3, dan T4.
Kemasan edible coating mampu menghambat kontaminasi mikroba yang
merupakan faktor utama kebusukan bakso, sehingga bakso masih baik untuk dikonsumsi,
semakin rendah jumlah bakteri semakin baik kualitas bakso tersebut karena cemaran
bakteri yang dapat menimbulkan kebusukan relatif sedikit. Total mikroba terutama
dipengaruhi oleh kadar pH, ketersediaan nutrisi, air, oksigen dan senyawa pengahambat
baketri, pada perlakuan edible coating sangat berpengaruh dalam menghambat uap air,
gas dan oksigen keluar pada bakso sehingga mengakibatkan bakteri sulit tumbuh.
Menurut Fardiaz (1992) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba
antara lain ketersediaan nutrisi, aktivitas air, oksigen dan senyawa penghambat bakteri.

Pengaruh Perlakuan terhadap H2S

Hasil penelitian yang ada dapat diketahui bahwa pada bakso tanpa perlakuan (TO)
sudah mengalami kebusukan sedangakan bakso pada perlakuan T1,T2,T3, dan T4 belum
mengalami kebusukan. Aktivitas mikroba selama penyimpanan bakso edible coating
mengakibatkan terjadinya pemecahan protein. Protein akan dipecah menjadi senyawa
yang lebih sederhana dan apabila proses ini berlanjut terus akan menghasilkan senyawa
H2S. Hal ini sesuai dengan pendapat Djide (2006) yang menyatakan bahwa H2S
terbentuk oleh beberapa jenis mikroorganisme melalui pemecahan asam amino yang
mengandung unsur belerang seperti lisin dan metionin. H2S dapat juga diproduksi
melalui reduksi senyawa- senyawa belerang anorganik, misalnya : tiosulfat, sulfit atau
sulfat.

Kadar pH bakso tertinggi pada perlakuan edible coating0,5% yaitu 6,44. Kadar
pH masih sependapat dengan Anggadiredja (2007) bakso daging sapi yang normal
bernilai pH 6.0-6.5. Ketentuan SNI-7388-2009 total bakteri pada bakso daging sapi
maksimal adalah 1x105 koloni/g. H2S masih normal belum terjadi kebusukan.

V. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Pemberian edible coating bakso sapi selama penyimpan 16 jam dengan
konsentrasi berbeda paling baik dan efisien terdapat pada bakso dengan konsentrasi 0,5%
yang dilihat dari nilai pH, total mikroba, dan dengan uji H2S yang menunjukan semua
perlakuan edible coating belum mengalami kebusukan, sehingga pemberian edible
coating dapat memperpanjang masa simpan bakso sapi dan dapat mempertahankan
kualitas bakso sapi.

JURNAL 2

JUDUL : ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERADAAN


BAKTERI ESCHERICHIA COLI PADA MAKANAN JAJANAN PEDAGANG KAKI
LIMA DI LINGKUNGAN SEKOLAH DASAR KECAMATAN NGRONGGOT
KABUPATEN NGANJUK.

I. LATAR BELAKANG

Ketersediaan serta keamanan pangan adalah hak dasar manusia, hal tersebut
tercantum dalam Undang-undang No 36 tahun 2009. Setiap hal yang dapat menyebabkan
gangguan kesehatan, termasuk ketidak amanan pangan pada masyarakat Indonesia akan
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan
derajat kesehatan masyarakat juga merupakan investasi bagi pembangunan negara.
Kurangnya perhatian terhadap keamanan pangan seperti tidak higienisnya makanan mulai
proses penyiapan hingga penyajian dapat menimbulkan gangguan kesehatan (Kemenkes,
2011). Penularan penyakit melalui makanan biasa disebut dengan foodborne illness.
Foodborne illness masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena
kurangnya higiene perorangan dan sanitasi lingkungan sehubungan dengan pengolahan
dan penyajian makanan (Supraptini, 2002). World Health Organization (WHO) mencatat,
penyakit yang disebabkan karena foodborne dan waterborne salah satunya adalah diare
yang mengakibatkan korban sedikitnya 2 juta manusia. Penyebab dari penyakit diare
adalah bakteri Eschericha coli (BPOM, 2015). Bakteri Escherichia coli dinilai sebagai
indikator organisme tinja, dimana hubungannya dengan penyakit diare sangat erat
(Gruber et al., 2014). Dalam persyaratan mikrobiologi Escherichia coli dipilih sebagai
indikator tercemarnya 1 2 air atau makanan karena keberadaan bakteri Escherichia coli
dalam sumber air atau makanan merupakan indikasi terjadinya kontaminasi tinja manusia
(Puspitasari, 2013). Selain itu Escherichia coli menunjukkan suatu tanda praktik sanitasi
yang tidak baik karena bisa berpindah dengan kegiatan tangan ke mulut atau dengan
pemindahan pasif lewat makanan, air, susu dan produk-produk lainnya. Escherichia coli
yang terdapat pada makanan atau minuman yang masuk kedalam tubuh manusia dapat
menyebabkan gejala seperti kholera, disentri, gastroenteritis, diare dan berbagai penyakit
saluran pencernaan lainnya (Kurniadi et al.,2013). Berdasarkan informasi data kesehatan
Indonesia tahun 2015, jumlah kasus diare di Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat
kedua setelah provinsi Jawa Barat. Estimasi kasus diare di fasilitas kesehatan sebanyak
1.048.885 kasus. Berdasarkan data profil kesehatan provinsi Jawa Timur, Kabupaten
Nganjuk merupakan salah satu wilayah yang ada di Provinsi Jawa Timur dengan jumlah
kasus penemuan diare sebanyak 22.293 orang. Kecamatan Ngronggot sendiri kasus diare
mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2016 berjumlah 1.689 orang menjadi
1.923 orang pada tahun 2017 (Kemenkes, 2017).

Berdasarkan dari pengambilan data awal dan banyaknya jumlah pedagang kaki
lima yang menjual makanan saat ini, maka perlu dilakukan penelitian bakteriologis untuk
mengetahui kualitas makanan jajanan yang dijual, sehingga peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang uji keberadaan bakteri Escherichi coli pada makanan
jajanan pedagang kaki lima di lingkungan sekolah dasar kecamatan Ngronggot kabupaten
Nganjuk

II. TUJUAN PENELITIAN


Tujuan Umum Mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi keberadaan
bakteri Escherichia coli pada makanan jajanan pedagang kaki lima di lingkungan sekolah
dasar.

III. METODE PENELITIAN

Escherichia coli (E. coli) Escherichia coli merupakan salah satu anggota kelompok
dari Coliform. Karena Escherichia coli adalah bakteri Coliform yang ada pada
kotoran manusia, maka Escherichia coli sering disebut sebagai Coliform fecal
(Aditia et al., 2018). E. coli dapat bertindak sebagai indikator keberadaan pathogen
lainnya, dan mudah dideteksi dalam makanan seperti daging babi, sapi, dan ayam
(Choi, et al., 2018). Kualitas mikrobiologi makanan jajanan dapat ditentukan
berdasarkan nilai MPN Coliform, nilai MPN Coliform fecal, dan jumlah koloni
Escherichia coli. Berdasarkan keputusan Dirjen BPOM No. 7388/B/SK/VII/2009
tentang batas maksimum cemaran mikroba dalam makanan yaitu angka lempeng
total (ALT) (105kol/g) dan MPN (10 kol/g) (BPOM, 2008). Escherichia coli secara
normal terdapat dalam alat – alat pencernaan manusia, hewan, pada usus bayi dan
orang dewasa yang jumlahnya dapat mencapai 109 CFU (colony forming unit)/gr.
Bakteri ini adalah gram negatif , bergerak , berbentuk batang, bersifat fakultatif
anaerob dan termasuk dalam golongan Enterobacteriaceae yang kemudian dikenali
bersifat komensal maupun berpotensi patogen (Arisman, 2009).

IV . HASIL PENELITIAN

Pedagang kaki lima merupakan salah satu mesin penggerak roda


perekonomian kota, namun disisi lain menjadi suatu permasalahan yang
membutuhkan suatu penanganan yang cukup rumit. Peran peadagang sendiri adalah
menjual makanan pada jutaan orang setiap hari dengan berbagai macam yang relatif
murah, terjangkau, dan mudah di akses (Tambekar, et al., 2008). Seperti halnya di
Daerah Bandung, permasalahan pedagang kaki lima berkaitan dengan lokasi
berjualan yang tidak sesuai dengan zona – zona yang sudah diatur di dalam
Peraturan Daerah Kota Bandung yaitu ada zona merah dimana pedagang kaki lima
tidak boleh berjualan, ada zona kuning dimana boleh berjualan di jam tertentu, dan
zona hijau dimana pedagang bebas berjualan tanpa ada batas waktu (Ramadhan,
2015). Permasalahan selanjutnya karena pedagang kaki lima mengganggu para
pengendara kendaraan bermotor. Selain itu, mereka menggunakan sungai dan 24
saluran air untuk membuang sampah dan air cuci yang dapat merusak sungai,
mematikan ikan, dan menyebabkan eutrofikasi. Mereka sering menyediakan
makanan atau barang dengan harga yang lebih murah daripada di toko. Namun,
keberadaan PKL juga ada nilai positif bagi pengguna jalan, terutama sebagai
penyedia kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau (39%) dan mudah dicapai
dari lokasi kegiatan (25%). Selain itu, para pengguna jalan merasa aman saat
berkegiatan di malam hari (14%), merasa senang dengan pelayanan cepat (11%),
dan menjalin hubungan akrab dengan pembeli (11%) (Susanna et al., 2010).

IV. KESIMPULAN

1) Sanitasi lingkungan mempengaruhi keberadaan bakteri E. coli pada makanan jajanan


pedagang kaki lima di Lingkungan SD Kecamatan Karangrejo Kabupaten Nganjuk.

2) Sanitasi peralatan tidak mempengaruhi keberadaan bakteri E. coli pada makanan jajanan
pedagang kaki lima di Lingkungan SD Kecamatan Karangrejo Kabupaten Nganjuk.

3) Personal hygiene penjamah makanan mempengaruhi keberadaan bakteri E. coli nilai


pada makanan jajanan pedagang kaki lima di Lingkungan SD Kecamatan Karangrejo Kabupaten
Nganjuk.

4) Kondisi bahan baku makanan mempengaruhi keberadaan bakteri E. coli pada makanan
jajanan pedagang kaki lima di Lingkungan SD Kecamatan Karangrejo Kabupaten Nganjuk.
JURNAL 3

JUDUL : UJI SINERGIS KONSORSIA BAKTERI INDIGEN LCN


BERKONSORSIA BAKTERI TANAH DI KEBUN PERCOBAAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH METRO UNTUK PENYUSUNAN PANDUAN PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI.
I. LATAR BELAKANG

Pertanian organik merupakan cara produksi tanaman dengan menghindarkan atau


sebesar-besarnya mencegah penggunaan senyawa- senyawa kimia sintetik (pupuk,
pestisida, dan zat pengatur tumbuh). Sistem pertanian organik semaksimal mungkin
dilaksanakan melalui pergiliran tanaman, penggunaan sisa- sisa tanaman, pupuk kandang
(kotoran ternak), kacangan, pupuk hijau, limbah organik off farm, penggunaan pupuk
mineral batuan serta mempertahankan pengendalian hama penyakit secara hayati,
produktivitas tanah, dan suplai hara tanaman, Alamban (dalam Astuti, dkk. 2006:203).

Tanah pertanian ataupun perkebunan pada umumnya miskin akan unsur hara yang
menyebabkan perlu ditambahkannya hara dari luar dengan cara pemupukan. Pertanian
Indonesia yang mayoritas banyak yang menggunakan pupuk kimia atau sintetis
menjadikan permasalahan dalam bidang pertanian. Penggunaan pupuk kimia yang
berkelanjutan dapat menurunkan kesuburan tanah.

Sekarang ini teknologi mikroba penyubur tanah yang dikenal sebagai pupuk hayati
(pupuk mikroba) merupakan produk biologi aktif yang terdiri atas mikroba penyubur tanah
untuk meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, kesehatan tanah. Mengingat
pentingnya mikroorganisme tanah khususnya bakteri di dalam tanah. Maka perlu dilakukan
isolasi dan penentuan jumlah populasi bakteri yang terkandung di dalam tanah, serta
menganalisis bakteri yang didapat dari setiap kedalaman yang berbeda. Mikroba yang
dapat dimanfaatkan untuk membantu petani seperti kegiatan dekomposisi, biopestisida,
dan bioindikator.

II. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 15 konsorsia bakteri indigen LCN
dengan bakteri tanah dapat bersifat sinergis sehingga dapat dikonsorsiumkan. Untuk
memanfaatkan hasil penelitian uji sinergis konsorsia bakteri indigen LCN dengan bakteri
tanah sebagai sumber belajar biologi. Rancangan penelitian yaitu kuantitatif ekpserimen.
Uji sinergis menggunakan Streak Plate Methode pada medium Nutrient Agar. Hasil uji
menunjukkan bahwa X2hitung 56,86 > X2tabel 23,68 dengan α 0.05 pada table chi-square,
sehingga disimpulkan bahwa terdapat sinergis antara Bakteri Indigen LCN dengan Bakteri
Tanah. Hasil validasi menunjukkan panduan praktikum mikrobiologi dengan hasil 96%
mendapatkan kualifikasi sangat baik sehingga layak dijadikan sumber belajar biologi
berupa panduan praktikum mikrobiologi berbasis scientific approach.

III. METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2019-Januari 2020 di Laboratorium


IPA Terpadu UM Metro, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UM Metro.

Sterilisasi Alat dan Bahan

Sterilisasi adalah proses atau kegiatan membebaskan suatu bahan atau benda dari
semua bentuk kehidupan (termasuk virus). Sterilisasi yang digunakan dalam penelitian
yaitu sterilisasi secara fisik dan secara kimia.

Pembuatan Medium

Pembuatan Medium dengan menimbang beef ekstrak 500 gram, pepton 2,5 gram,
dan agar-agar 17,5 gram dengan timbangan analitik. Memasukkan beef ekstrak ke dalam
tabung erlenmeyer 500 ml dan menambahkan aquades sampai 500 ml dicampur dengan
pepton 2,5 gram. Menambahkan agar-agar dan dipanasakn dengan hot plate hingga
mendidih, serta diaduk terus menerus semua agar larut. Menuang media NA (Nutrient
Agar) ke dalam cawan petri 10 ml, dan 5 ml untuk setiap tabung reaksi. Lakukan hal
tersebut sebelum larutan mengental. Menutup cawan petri dan sumbatlah tabung reaksi
dengan kapas dan dilapisi dengan alumunium, bungkuslah cawan petri dengan
kertassampul/dorslag. Kemudian medium disterilisasi menggunakan autoklaf.
Isolasi dan Kultivasi Bakteri Tanah

Pengenceran

Tanah seberat 1 gram dimasukkan ke dalam tabung pengenceran 10-1 secara aseptis dan
selanjutnya dilakukan pengenceran secara bertingkat sampai 10-8.

Penanaman

Pengenceran pertama dan terakhir diambil 0,1 ml untuk ditanam secara spread plate pada mediun
NA, setelah selesai diinkubasi pada suhu 37oC selama 2x24 jam. Koloni akan tumbuh pada media
tersebut. Dari masing-masing koloni yang tumbuh dapat dilakukan kultivasi dengan cara
memindahkan sebagian dari koloni tersebut ke media yang baru di tabung reaksi dalam kondisi
aseptis.

Uji Sinergis Konsorsia Bakteri Indigen LCN dengan Bakteri Tanah di Kebun Percobaan

Masing-masing isolat digoreskan besringgungan satu sama lain menggunakan


metode streak plate/metode gores sehingga antar isolat akan bertemu (Gambar 1.). Diinkubasi
24 jam dan diamati apakah terdapat zona bening atau zona hambat dianatara dua isolat yang
bersinggungan. Isolat dikatakn kompatibel apabla tidak terdapat zona penghambatan pada daerah
pertemuan kedua isolat, dan dikatakan tidak kompatibe; apabila terdapat zona penghambatan
pada daerah kedua isolat tersebut.

IV. HASIL PENGUJIAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diperolah data mengenai uji sinergis
antara bakteri indigen LCN dengan bakteri tanah di 23A Karang Rejo, Metro Utara yang dimana
dengan tiga kali pengulangan. Berdasarkan deskripsi data maka didapatkan gambar diagram
mengenai proporsi mengenai kesinergisan antara bakteri indigen LCN dengan bakteri tanah di 23
A, Karang Rejo, Metro Utara.
Pengujian hipotesis menggunakan uji non parametrik yaitu Anova satu jalur yang
dikenal dengan uji Kruskal-Wallis. Anava non- parametrik digunakan untuk menguji perbedaan
kelompok-kelompok data yang tidak beraturan dan ada asumsi yang kuat bahwa data tersebut
berasal dari populasi yang berdistribusikan secara tidak normal, tidak homogen, bukan merupakan
data interval, dan peneliti tidak memiliki kebebasan dalam melakukan pengamatan. Uji ini
digunakan untuk menguji data yang berasal dari satu variabel bebas dengan data berbentuk
peringkat, rangking atau ordinal, yang dihasilkan suatu indeks yang disebut dengan koefisien.

V. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

Konsorsia Bakteri Indigen LCN dengan Bakteri Tanah menunjukkan hasilnya X2 56,86 > X2
23,68 pada α 0.05 pada table chi-square, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada sinergis antara
Bakteri Indigen LCN dengan Bakteri Tanah di percobaan UM Metro, 23 Karang Rejo Metro Utara.
Kecuali konsorsia bakteri indigen Limbah Cair Nanas (LCN) dengan bakteri tanah yaitu I2 VS
BTR3PO, I3 VS BTR1PO, I3 VS BTR2PO dapat dikatakan bersifat Neutralisme sehingga dapat
dikonsorsiumkan.

Hasil penelitian sebagai sumber belajar biologi untuk mahasiswa program studi pendidikan biologi
strata 1, pada materi pengenalan alat mikrobiologi dan sterilisasi, pembuatan media bakteri, isolasi
dan kutlivasi bakteri, adu bakteri, pengecatan gram dan pewarnaan kapsula bakteri dalam bentuk
panduan praktikum mikrobiologi berbasis pendekatan ilmiah (Scientific Approach).

Anda mungkin juga menyukai