Anda di halaman 1dari 19

PENGGUNAAN EDIBLE COATING BERBAHAN DASAR PATI

TALAS (Colocasia Esculenta L. Schoott ) UNTUK MENJAGA


KUALITAS PENYIMPANAN SOSIS IKAN TONGKOL

PROPOSAL

OLEH:
DELVIANA TANINGO
NIM. 651415046

JURUSAN ILMU TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan tongkol merupakan salah satu jenis ikan yang cukup diminati oleh
masyarakat baik dalam bentuk segar maupun olahan. Ikan tongkol memiliki
banyak keunggulan diantaranya kandungan proteinnya tinggi yaitu 24% dan
harganya terjangkau serta mudah ditemukan dipasaran (Towadi dkk., 2013).
Menurut Khomsan (2006), ikan tongkol memiliki kandungan asam lemak omega
3 sebesar 1,5 g/100g dan asam lemak omega 6 sebesar 1,8 g/100g. Asam lemak
omega-3 juga berperan sebagai asam lemak otak, yang merupakan prekursor asam
lemak esensial linoleat dan linolenat.
Namun pemanfaatan ikan tongkol hingga saat ini masih terbatas, belum ada
upaya inovasi dalam mengolah ikan tongkol menjadi suatu produk pangan dengan
nilai ekonomis yang tinggi serta mutu gizi yang dapat dipertahankan. Upaya
diversifikasi olahan pangan ikan tongkol diperlukan untuk menghasilkan produk
olahan baru dan mempertahankan komposisi gizi yang terkandung didalam daging
ikan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yakni dengan mengolah ikan tongkol
menjadi sosis ikan. Pengolahan ikan tongkol menjadi sosis ikan merupakan salah
satu bentuk usaha diversifikasi olahan pangan.
Sosis ikan merupakan suatu produk berasal dari daging ikan yang
dicampurkan dengan bahan tambahan, dicetak dalam selongsong serta mengalami
proses pemanasan (Raju dkk., 2003). Namun selama ini sosis dicetak dan dikemas
menggunakan selongsong berbahan plastik. Diperlukan upaya menggantikan
kemasan pada sosis yang ramah lingkungan dan dapat dikonsumsi langsung
bersamaan dengan produk sosis tersebut sehingga mengurangi dampak
pencemaran lingkungan.
Pengemasan yang mudah, aman, murah, dan dapat dikonsumsi adalah edible
coating. Edible coating merupakan cara pengemasan yang bersifat biodegradable
yang mampu mencegah produk pangan mengalami kontak dengan udara bebas
yang mengakibatkan kerusakan terhadap kandungan gizi secara oksidatif. Garnida

1
(2006) menyebutkan bahwa polisakarida yang dapat digunakan dalam pembuatan
edible coating yaitu selulosa, pati, pektin, ekstrak ganggang laut, gum, xanthan,
khitosan dan lain-lain. Menurut Nisperos-Carriedo (1994), pati mempunyai
peranan penting dalam larutan edible coating sebagai pengental dan pengikat
dimana amilosa memberikan sifat keras dan amilopektin menye-babkan sifat
lengket.
Salah satu jenis pati yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan edible
coating yaitu dengan menggunakan pati dari umbi talas karena komponen terbesar
dari karbohidrat talas adalah pati. Umbi talas memiliki kandungan zat gizi yang
cukup tinggi seperti pati (18.02%), gula (1.42%), mineral terutama kalsium
(0.028%), dan fosfor (0.061%) (Muchtadi & Sugiyono, 1992). Selain itu, talas
mengandung 13-29% pati, kelembaban 63-85% dan beberapa residu seperti
riboflavin, vitamin C, abu, dll (Karmakar dkk., 2014). Pati talas sangat potensial
sebagai pati industri. Pati talas mempunyai swelling power dan peak viscosity
yang tinggi (Alam dan Hasnain, 2009), serta dapat membentuk struktur gel yang
halus karena ukuran granul yang kecil (Tattiyakul dkk., 2006).
Pemanfaatan pati umbi talas sebagai edible coating belum dilakukan
pengaplikasian ke sosis berbahan dasar ikan tongkol. Oleh karena itu, upaya
diversifikasi produk olahan ikan tongkol menjadi sosis ikan dengan inovasi
pengemasan edible coating yang biogradabel, diharapkan dapat meningkatkan
nilai ekonomi ikan tersebut serta meningkatkan minat masyarakat untuk
mengkonsumsi produk olahan ikan.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas adalah sebagai berikut.
1.2.1 Apakah penambahan konsentrasi CMC dan gliserol pada edible coating pati
talas mempengaruhi karakteristik gizi dari sosis ikan tongkol?
1.2.2 Apakah penggunaan pati talas pada edible coating mempengaruhi
karakteristik gizi dari sosis ikan tongkol?
1.2.3 Bagaimanakah daya terima masyarakat terhadap produk sosis ikan tongkol
pada penelitian ini?

2
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui:
1.3.1 Mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi CMC dan gliserol pada
edible coating pati talas terhadap karakteristik fisikokimia sosis ikan
tongkol.
1.3.1 Mengetahui daya terima masyarakat terhadap produk sosis ikan tongkol
yang dihasilkan.

1.4 Manfaat Penelitian


Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti
maupun bagi masyarakat. Manfaat yang diharapkan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1.4.1 Diharapkan dapat menjadi acuan informasi mengenai kemasan edible yang
ramah lingkungan dan aman terhadap produk
1.4.2 Memberikan informasi dan wawasan mengenai penerapan edible coating
terhadap suatu produk

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sosis Ikan


Sosis merupakan produk emulsi daging yang ditambahkan bahan pengisi,
bahan pengikat dan bumbu-bumbu untuk meningkatkan flavor dan daya terima.
Sosis ikan merupakan suatu produk berasal dari daging ikan yang dicampurkan
dengan bahan tambahan, dicetak dalam selongsong serta mengalami proses
pemanasan (Raju dkk., 2003). Sosis adalah daging cincang yang diberi perlakuan
penambahan pengawet berupa garam serta bahan lainnya meliputi bumbu-bumbu,
bahan pengikat dan air yang kemudian dibentuk dengan ukuran yang sama
menggunakan selongsong yang terbuat dari jaringan ikat usus hewan atau selulosa
sehingga membentuk silinder (Kramlich, 1971).
Sosis adalah produk yang dihasilkan dari emulsi minyak dalam air (oil in
water). Struktur dasar emulsi adalah campuran dari bagian-bagian daging halus
yang tersebar sebagai emulsi lemak dalam air. Berdasarkan metode
pembuatannya, sosis dibagi menjadi 6 kelompok yaitu: sosis segar, sosis asap
tidak dimasak, sosis asap dimasak, sosis masak, sosis fermentasi, dan daging
giling masak. Sosis ready to eat merupakan konversi dari sosis fermentasi kering
yang dilakukan dengan cara mengiris potongan, kemudian dikemas dengan
metode vakum, modifikasi atmosfer yang cukup menjadi permeable atau
penghalang aerobik. Penggunaan teknologi tradisional untuk menjaga sanitasi
pemotongan dan pengemasan sosis fermentasi ready to eat, tidak mungkin dapat
terlaksana (Cabeza dkk., 2009).
Menurut Shierly (2002), tahapan pembuatan sosis ikan adalah sebagai
berikut:
a) Penyiangan dan pencucian
Pembuangan bagian yang tidak diperlukan dari tubuh ikan, antara lain isi
perut, sirip ekor, serta daging bagian perut. Tujuan dari penyiangan dan
pencucian yaitu untuk menghilangkan segala kotoran, darah, dan lendir yang
merupakan sumber bakteri pembusuk dan pathogen.
b) Filleting

4
Filleting merupakan proses memisahkan antara daging dengan
tulangtulangnya serta dilakukan pembuangan kulit.
c) Penggilingan
Penggilingan bertujuan untuk menghaluskan daging sehingga mudah
dicampur dengan bahan-bahan lain untuk membentuk adonan. Penggilingan
daging lumat bertujuan pula untuk memperkecil ukuran, memperoleh daging
giling yang berukuran seragam, mengesktraksi protein larut dalam air dan
larutan garam serta untuk proses emulsifikasi.
d) Pengadonan
Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar agar
semua bahan tercampur merata. Suhu sangat berperan dalam menjaga
kestabilan adonan.
e) Pengisian dalam selongsong
Adonan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong/casing, kemudian diikat
menggunakan benang dengan ukuran yang seragam yaitu 10-15 cm.
f) Perebusan
Pemasakan sosis dilakukan dengan cara perebusan pada suhu 60-70 °C selama
15 menit. Perebusan yang dilakukan terlalu lama dapat menyebabkan zat
makanan akan terkestraksi dan akhirnya terbuang saat perebusan. Setelah
perebusan dilakukan pendinginan agar suhu sesuai dengan suhu ruang.

2.2 Edible Coating


Edible coating merupakan lapisan tipis yang bertujuan untuk memberikan
penahanan yang selektif terhadap perpindahan massa, juga untuk meningkatkan
kemudahan penanganan makanan. Edible coating ini biasanya langsung
digunakan dan dibentuk di atas permukaan produk, seperti buah dan sayur dalam
upaya mempertahankan kualitasnya (Anggarini dkk., 2016). Pada pembuatan
edible coating, bahan yang biasa digunakan yaitu polisakarida dengan plasticizer
berupa gliserol, dimana gliserol ber-fungsi untuk membuat edible coating menjadi
lebih fleksible dan halus (Estiningtyas, 2010). Garnida (2006) menyebutkan

5
bahwa polisakarida yang dapat digunakan dalam pembuatan edible coating yaitu
selulosa, pati, pektin, ekstrak ganggang laut, gum, xanthan, khitosan dan lain-lain.
Edible coating memberikan penahan yang selektif terhadap perpindahan
gas, uap air dan bahan terlarut, mampu menghambat gas CO2 dan O2 serta
perlindungan terhadap kerusakan mekanis sehingga mencegah kontak antara
jenang dodol dengan oksigen yang menyebabkan ketengikan (Maarif, 2011).
Untuk memaksimalkan daya awet suatu produk, edible coating merupakan salah
satu teknik pengawetan produk yang dapat diaplikasikan pada produk yang
berpotensi untuk mencegah hilangnya kelembaban, mengurangi pertukaran air
dan gas, dan memperbaiki tekstur atau penampakan dari produk akhir (Noviani,
2004).
Edible coating menggunakan bahan dasar polisakarida (karagenan) banyak
digunakan terutama pada buah dan sayuran, karena memiliki kemampuan
bertindak sebagai membran permeabel yang selektif terhadap pertukaran gas
karbondioksida dan oksigen (Budiman, 2011). Gliserol merupakan Plasticizer
yang ditambahkan dalam pembuatan edible coating sehingga dapat menghasilkan
edible yang lebih fleksibel dan halus. Menurut hasil penelitian Tamaela dan
Lewerissa (2007) konsentrasi karagenan dan gliserol berpengaruh terhadap
karakteristik edible film. Semakin tinggi konsentrasi karagenan dan gliserol yang
digunakan maka ketebalan edible film yang dihasilkan juga semakin tinggi.
Edible film terbaik dibuat dengan konsentrasi karagenan 2% dan konsentrasi
gliserol 1%.

2.3 Umbi Talas (Colocasia esculenta L. Schoott)


Tanaman talas berasal dari daerah Asia Tenggara selanjutnya talas
menyebar ke Cina, Jepang, daerah Asia Tenggara dan beberapa pulau di
Samudera Pasifik kemudian terbawa oleh migrasi penduduk ke Indonesia. Di
Indonesia talas biasa dijumpai hamper di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi
pantai sampai pegunungan di atas 1000 m dari permukaan laut (Purwono dan
Heni, 2007).

6
Komponen terbesar dari karbohidrat talas adalah pati. Pati merupakan
bagian dari karbohidrat. Pati merupakan sumber utama penghasil energi dari
pangan yang dikonsumsi oleh manusia. Sumber-sumber pati berasal dari tanaman
sereal, umbi-umbian serta beberapa dari tanaman palm seperti sagu. Penyusun
utama pati yaitu amilosa dan amilopektin (Hustiany, 2006).
Umbi talas memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi seperti pati
(18.02%), gula (1.42%), mineral terutama kalsium (0.028%), dan fosfor (0.061%)
(Muchtadi & Sugiyono, 1992). Kandungan zat gizi yang tertinggi dalam talas
adalah pati meskipun bervariasi antar kultivar talas (Hartati & Prana, 2003). Talas
mengandung 13-29% pati, kelembaban 63-85% dan beberapa residu seperti
riboflavin, vitamin C, abu, dll (Karmakar dkk., 2014). Pati talas sangat potensial
sebagai pati industri. Pati talas mempunyai swelling power dan peak viscosity
yang tinggi (Alam dan Hasnain., 2009), serta dapat membentuk struktur gel yang
halus karena ukuran granul yang kecil (Tattiyakul dkk., 2006).
Komposisi zat yang terkandung dalam 100 gram talas, Menurut Rawuh
(2008), dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 1. Komposisi Zat yang Terkandung dalam 100 gr Talas
Talas
Komponen Satuan Talas Kukus Talas Rebus
Mentah
Energi Kal 98 120 -
Protein gr 1,9 1,5 1,17
Lemak gr 0,2 0,3 29,31
Karbohidrat gr 23,7 28,2 0,026
Kalsium mg 28,0 31,0 -
Fospor mg 61,0 63,0 -
Besi mg 1,0 0,7 -
Vit. A RE 3,0 0 -
Vit. C mg 4,0 2,0 -
Vit. B1 mg 0,13 0,05 -
Air ml 73,0 69,2 61,0
Bag.Yg dapat dimakan % 85,0 85,0 -
Sumber : Rawuh, 2008.

7
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November – Desember 2019,
bertempat di Laboratorium Terpadu Fakultas Pertanian, Universitas Negeri
Gorontalo dan di Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri, Manado.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


3.2.1 Alat Penelitian
Peralatan yang akan digunakan pada penelitian ini terdiri dari pisau
stainless, panci, baskom, sendok, penggorengan, blender, timbangan digital,
talenan, kompor. Serta peralatan yang akan digunakan pada proses pengujian
terdiri dari timbangan analitik, oven, tanur, cawan porselen, cawan petri,
desikator, labu ukur, labu kjedhal, soxlet dll.
3.2.2 Bahan Penelitian
Peralatan yang akan digunakan pada penelitian terdiri dari ikan tongkol,
tepung tapioka, es, STPP, minyak goreng, garam, susu skim, karagenan, merica,
bawang putih, bawang merah, jahe, pala. Serta bahan yang akan digunakan pada
proses pengujian terdiri dari H2SO4, NaOH, asam borat, HCL 0,01 N.

3.3 Rancangan Penelitian


Penelitian akan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktor
Tunggal yaitu konsentrasi penambahan pati talas yang terdiri dari 3 taraf
perlakuan yakni 1%, 2% dan 3%. Masing-masing perlakuan dilakukan
pengulangan sebanyak tiga kali. Hasil data penelitian diolah menggunakan
aplikasi Microsoft Office Excel 2007, data yang diperolah akan dilakukan analisis
sidik ragam (Analysis of Variance/ANOVA), serta dilakukan uji lanjut Duncan’s
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kepercayaan 5% untuk mengetahui
perbedaan antar perlakuan mengggunakan aplikasi SPSS versi 16. Rancangan
perlakuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

8
Tabel 1. Konsentrasi Penambahan Pati Talas
Perlakuan Konsentrasi Penambahan Pati Talas
1
T 1%
T2 2%
T3 3%

3.4 Prosedur Penelitian


Tahapan prosedur yang akan dilaksanakan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut.
3.4.1 Pembuatan Pati Talas
Proses pembuatan pati talas pada penelitian ini mengacu pada Retnaningtyas
dan Putri (2014) yang telah dimodifikasi. Proses pembuatan pati meliputi
penyediaan umbi talas, lalu dilakukan pencucian dan kemudian dikupas kulitnya,
selanjutnya dilakukan pencucian kembali dengan air mengalir. Umbi talas bersih
diiris kecil-kecil kemudian dihaluskan dengan cara diblender. Setelah itu
ditambahkan air dengan perbandingan 1:3, lalu didiamkan untuk proses ekstraksi,
setelah itu dilakukan pemerasan dan diendapkan selama 24 jam. Pati jalar
dikeringkan menggunakan oven selama 12 jam pada suhu 60oC. Pati kering
dihaluskan dengan menggunakan blender dan lalu diayak 80 mesh sehingga
didapatkan pati talas. Diagram alir pembuatan pati ubi jalar ungu dapat dilihat
pada Gambar 1.

9
Umbi Talas

Dicuci dan dikupas


kulitnya

Dicuci air mengalir

Diiris tipis

Diblender

Ditambahkan air Didiamkan

Endapan

Dikeringkan

Dihaluskan (Blender)

Diayak 80 mesh

Pati Talas

Gambar 3. Proses Pembuatan Pati Talas

3.4.2 Pembuatan Edible Coating


Proses pembuatan edible coating pada penelitian ini mengacu pada
Anggarini dkk., (2016) yang telah dimodifikasi. Pati talas (sesuai perlakuan: 1%,
2%, dan 3% (b/v), CMC 1,5% (b/v), serta gliserol 3% (v/b) ditimbang. Aquades
100 ml dipanaskan dengan hot plate hingga suhu ±70°C dan suhu dikontrol
dengan menggunakan thermometer. Setiap penambahan bahan, suhu tetap
dipertahankan dan proses pengadukan dibantu dengan strirrer. CMC ditambahkan

10
sedikit demi sedikit dan diaduk selama ±3 menit. Pati talas (sesuai perlakuan)
ditambahkan sedikit demi sedikit dan diaduk selama ±3 menit. Gliserol
ditambahkan dan diaduk hingga larut ±1 menit. Ditunggu sampai larut dan tidak
ada gumpalan, lalu angkat breaker glass berisi edible coating dari hot plate dan
dibiarkan coating hingga mencapai suhu 27oC ( suhu ruang). Proses pembuatan
edible coating dapat dilihat pada Gambar 2.

Aquades Suhu 70oC


dipanaskan

Penambahan CMC 1,5% (b/v)

Diaduk ±3 menit

Sesuai perlakuan:
1%, 2%, dan 3% Penambahan Pati Talas

Diaduk ±3 menit

Penambahan Gliserol 3% (v/v)

Diaduk ±1 menit

Analisis :
Edible Coating - pH
Pati Talas - Viskositas

Gambar 2. Proses Pembuatan Edible Coating Pati Talas

3.4.3 Pembuatan Sosis Ikan Tongkol


Formulasi bahan dalam pembuatan sosis ikan tongkol dapat dilihat pada
Tabel 3. Proses pembuatan sosis pada penelitian ini mengacu pada Adiaprana
dkk., (2016) yang telah dimodifikasi. Pembuatan sosis dilakukan, mula-mula ikan
dicuci dengan air bersih, kemudian dipisahkan dari kulit dan tulang (secara
manual). Daging ikan digiling dengan cara dihaluskan menggunakan blender

11
kemudian dilakukan pencampuran dengan bahan-bahan lainnya. Adonan yang
telah homogen dimasukan kedalam plastik selongsong kemudian dikukus. Tahap
pengukusan yang pertama menggunakan suhu 35-450C selama 20 menit kemudian
dilanjutkan dengan suhu 80-900C selama 20 menit. Sosis matang diangkat dan
ditiriskan. Selanjutnya plastik selongsong dilepaskan, lalu sosis dicelupkan
kedalam edible coating selama 10 menit. Pencelupan dilakukan sebanyak 2 kali
agar merata. Setelah itu sosis dikering-anginkan dan siap dilakukan analisis.
Proses pembuatas sosis ikan tongkol dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 3. Formulasi Sosis Ikan Tongkol


Bahan Baku Jumlah Bahan (gr)
Daging Ikan Segar 45
Tepung Tapioka 19,86
Es 15
Minyak 7,5
Garam 1
Susu Skim 2
Karagenan 2
Merica 0,4
Jahe 0,5
Bawang Putih 3,5
Bawang Merah 2,2
Pala 0,4
Sumber : Nalendrya dkk., (2016)

12
Suhu 35-45oC
Ikan Tongkol Segar Pengukusan I selama 20 menit

Suhu 80-90oC
Dicuci bersih Pengukusan II selama 20 menit

Fillet Ikan Sosis

Dihancurkan Pencelupan kedalam


edible coating
Pencampuran Bahan
Dikering-anginkan
Analisis :
Dimasukkan kedalam - Kadar Air
selongsong - Kadar Abu
Sosis Ikan Tongkol
- Lemak
- Protein
- Karbohidrat

Gambar 3. Proses Pembuatan Sosis Ikan Tongkol

3.5 Parameter Pengamatan


Parameter pengujian pada penelitian meliputi pengujian kadar air (SNI 01-
2891-1992), kadar abu (SNI 01-2891-1992), protein (SNI 01-2891-1992), lemak
(SNI 01-2891-1992), serat kasar (SNI-01-2891-1992), karbohidrat (by difference)
serta organoleptik (Soekarto, 1981) untuk mengetahui daya terima masyarakat
terhadap produk abon pada penelitian ini.

3.5.1 pH (AOAC, 1995)


Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Alat pH meter
distandarisasi terlebih dahulu dengan buffer untuk pH 4 dan pH 7 sesuai kisaran
pH yoghurt. Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan elektroda pH meter ke
dalam 10 ml sampel

13
3.5.2 Viskositas (Menggunakan Viskometer) (Jacobs, 1958)
Viskositas diukur dengan menggunakan Viskometer (Brookfield Digital
Viscometer Model DV-E). Sebelum pengukuran dilakukan pemilihan spindle
dengan cara trial and error. Pembacaan skala lebih dari 100 dipilih spindle yang
lebih kecil dan atau kecepatan yang lebih rendah, sedangkan pembacaan dibawah
10 dipilih spindle yang lebih besar dan atau kecepatan yang lebih tinggi. Prosedur
pengukuran adalah sebagai berikut :
1. Ditimbang 300 ml sampel kecap dalam gelas beaker 500 ml
2. Spindle nomor 5 dipasang pada viskometer dan diatur kecepatan 50 rpm
3. Spindle diturunkan hingga terendam dalam sampel kecap sampai pada garis
batas spindle. Kepala spindle harus berada pada posisi tengah dari sampel
kecap.
4. Dibaca viskositas larutan sampel pada alat kemudian dilakukan perhitungan
sesuai faktor konversi. Dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali pada setiap
sampel.
Rumus : V= ((S,K) x fk)
Keterangan: V= Viskositas, S= Spindel, K= Kecepatan, fk= faktor konversi.

3.5.3 Kadar Air (SNI 01-2891-1992)


Sebanyak 2-5 sampel serbuk kering dimasukkan ke dalam cawan
alumunium yang telah diketahui bobotnya. Cawan yang berisi contoh kemudian
dikeringkan pada oven suhu 105oC selama 3 jam, setelah itu cawan didinginkan
dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot
tetap. Perhitungan :
w1 − w2
Kadar Air = x 100%
w1
Keterangan :
w1 : Bobot sampel awal (g)
w2 : Bobot sampel akhir setelah dikeringkan (g)

14
3.5.4 Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (SNI 01-2891-1992)
Sebanyak 2-3 g contoh dimasukkan ke dalam sebuah cawan porselin
yang telah diketahui bobotnya. Untuk sampel bentuk cairan, contoh diuapkan
diatas penangas air sampai kering. Cawan yang berisi sampel selanjutnya
diarangkan diatas nyala pembakar, lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu
maksimum 550oC sampai pengabuan sempurna (sesekali pintu tanur dibuka
sedikit agar oksigen bisa masuk). Kemudian cawan didinginkan dalam desikator
dan ditimbang. Perhitungan :
w1 − w2
Kadar Abu = 𝑥 100%
w
Keterangan :
w1 : Bobot sampel awal (g)
w2 : Bobot sampel akhir setelah dikeringkan (g)

3.5.5 Protein (SNI-01-2891-1992)


Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl mikro. Timbang
seksama 0,51 gr cuplikan , masukkan kedalam labu kjeldahl 100 ml. Tambahkan
2 gr campuran selen dan 25 ml H2SO4 pekat. Panaskan diatas pemanas listrik atau
api pembakar sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar
2 jam). Biarkan dingin, kemudian encerkan dan masukkan kedalam labu ukur 100
ml, tepatkan sampai tanda garis. Pipet 5 ml larutan dan masukkan kedalam alat
penyuling, tambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP.
Sulingkan selama lebih 10 menit, sebagai penampung gunakan 10 ml larutan asam
borat 2% yang telah dicampur indikator. Bilasi ujung pendingin dengan air suling.
Titrasi dengan larutan HCL 0,01 N. Kerjakan penetapan blanko.
Perhitungan :
(v1 − v2) x N x 0,014 x f. k x fp
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 (%) =
w
Keterangan :
w = bobot cuplikan
v1 = volume HCL 0,01 N yang digunakan penitaran contoh
v2 = volume HCL yang digunakan penitaran contoh

15
N = normalitas HCL
fk = faktor konversi (6,25)
fp = faktor pengenceran

3.5.6 Lemak (SNI-01-2891-1992)


Analisis pengujian lemak dengan alat Soxhlet. Timbang seksama 1-2 gr
contoh, masukkan kedalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Sumbat
selongsong kertas berisi contoh tersebut dengan kapas, keringkan dalam oven
pada suhu tidak lebih dari 80oC selama lebih kurang 1 jam, kemudian masukkan
kedalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih
yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Ekstrak dengan heksana
atau pelarut lemak lainnya selama lebih kurang 6 jam. Sulingkan heksana dan
keringkan ekstrak lemak dalam oven pengering pada suhu 105oC . Dinginkan dan
timbang. Ulangi pengeringan ini hingga bobot tetap.
w − w1
Lemak (%) = x 100%
w2
Keterangan:
w = bobot contoh, dalam gram
w1 = bobot lemak sebelum ekstraksi, dalam gram
w2 = bobot labu lemak sesudah ekstraksi.

3.5.7 Uji Organoleptik (Soekarto, 1981)


Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses
penginderaan. Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan metode uji
kesukaan (hedonic). Metode hedonik yaitu uji tingkat kesukaan terhadap warna,
rasa, aroma, dan tekstur. Contoh yang sudah diberi kode disajikan secara acak
kepada panelis, kemudian panelis (30 Orang) diminta untuk memberikan nilai
menurut tingkat kesukaan jumlah skala yang digunakan yaitu 7 skala uji uji (1 =
sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6
= suka, 7 = sangat suka).

16
DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Official Methods of Analysis. 1995. Washington: Association of Official


Analytical Chemist.

Adiaprana, R., Ma’ruf, W. F., dan Anggo, A. D. 2016. Kajian Kualitas Stabilitas
Emulsi Semi Refined Carrageenan (Src) Dan Tepung Konjak Pada Sosis
Ikan Nila (Oreochromis sp.). J. Peng. & Biotek. Hasil Pertanian. Vol. 5 No.
1

Alam, F. and Hasnain, A. 2009. Studies on swelling and solubility of modified


starch fromTaro (Colocasia esculenta): Effect of pH and temperature,
Agriculturae Conspectus Scientificus, 74, pp. 45–50.

Anggarini, D., Hidayat, N., dan Mulyadi, A. F. 2016. Pemanfaatan Pati Ganyong
Sebagai Bahan Baku Edible coating dan Aplikasinya pada Penyimpanan
Buah Apel Anna (Malus sylvestris) (Kajian Konsentrasi Pati Ganyong dan
Gliserol). Jurnal Teknologi dan Manajemen Agroindustri 5(1): 1-8

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1992. SNI 01–2891–1992 tentang Cara Uji
Makanan dan Minuman. BSN, Jakarta.

Budiman. (2011). Aplikasi Pati Singkong sebagai Bahan Baku Edible coating
untuk Memperpanjang Umur Simpan Pisang Cavendish (Musa
Cavendishii). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Cabeza MC et al. 2009. Safety and quality of ready-to-eat dry fermented sausages
subjected to E-beam radiation. Journal of Meat Science. 83(2): 320-327.

Estiningtyas, H.R. 2010. “Aplikasi Edible Film Maizena dengan Penambahan


Ekstrak Jahe sebagai Antioksidan Alami pada Coating Sosis Sapi”. Skripsi.

Garnida, Y. (2006). Pembuatan Bahan Edible coating dari Sumber Karbohidrat,


Protein dan Lipid untuk Aplikasi pada Buah Terolah Minimal. Infomatek.
8(4): 207-222.

Jacobs, M. B. 1958. The Chemistry and Technology of Food and Food Product.
Interscience Publisher, New York.

Karmakar, P,. Das, A., Olam, K, Md. 2014. Comparative phytochemical screenin
and in vitro evaluation of bioloical activities between aquuuueous and
etanolitic extract of Momordica carantia L. Fruit. Bangladesh: british
journall of pharmaceutical research volume 4 number 6

Khomsan, A. 2006. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Grasindo.
Jakarta.

17
Kramlich WE. 1971. Sausage Product. In: Price J.S and B.S. Schweigert (Eds.).
1987. The Science of Meat Product. San Fransisco: Freeman WH and Co.

Maarif, S. 2011. Mempelajari Pembuatan Edible Coating Berbahan Dasar


Maltodekstrin untuk Pengawetan Buah Terolah Minimal.
http://www.unjabisnis.net/2011/02/mempelajari-pembuatan-edible-
coating.html. Diakses pada 1 Oktober 2019.

Nalendrya, I., Ilmi, I. M. B., dan Arini, F. A. 2016. Sosis Ikan Kembung
(Rastrelliger Kanagurta L.) Sebagai Pangan Sumber Omega 3. Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan 5 (3)

Noviani, H. 2004. Pengembangan Teknologi Kemasan Atmosfer Termodifikasi


pada Penyimpanan Fillet Ikan Mas Segar Menggunakan Edible Coating
dari Karagenan. Departemen Teknologi Hasil Perikanan. IPB. Bogor.

Purwono, H. P. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Jakarta.

Raju CV, Shamasunandar BA, Udupa KS. 2003. The use of nisin as a
preservative in fish sausage stored at ambient (28 ± 2°C) and refrigerated
(6 ± 2°C) temperatures. International Journal of Food Science and
Technology. 38(2): 171-185.

Retnaningtyas, D.A., dan Putri, W.D.R. 2014. Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati
Ubi Jalar Oranye Hasil Modifikasi Perlakuan STPP (Lama Perendaman
dan Konsentrasi). Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 2 (4)

Soekarto, T. S. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil


Pertanian. Bharata Karya Aksara.Jakarta.

Tamaela. P., Lewerissa.S. 2007. Characteristic of Edible Film From Carragenan.


(Skripsi). Univesitas Pattimura.

Tattiyakul, J., Asavasaksakul, S. and Pradipasena, P. 2006. Chemical and physical


properties of flour extracted from taro Colocasia esculenta (L.),
Schottgrown in different regions of Thailand, Science Asia, 32, pp. 279–
284.

Towadi, K., Harmain, R. M., dan Dali, F. A. 2013. Pengaruh Lama Pengasapan
Yang Berbeda Terhadap Mutu Organoleptik dan Kadar Air pada Ikan
Tongkol (Euthynnus affinis ) Asap. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.
Vol. 1 (3).

18

Anda mungkin juga menyukai